1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Jakarta telah mengalami pertumbuhan dan pembangunan yang sangat pesat sehingga menjadi magnet bagi penduduk di luar Jakarta untuk bermigrasi ke tempat ini. Ada harapan besar dan faktor mental yang mempengaruhi kemajuan mereka seperti semangat untuk berjuang mengadu nasib di daerah orang lain. Bahkan, seiring dengan perjalanan waktu, kehadiran pendatang telah membuat keberadaan penduduk asli Jakarta yang dikenal dengan orang Betawi, cenderung semakin terpinggirkan. Tercatat pada hasil Sensus Penduduk tahun 1930 jumlah mereka sekitar 64 persen jumlah penduduk Jakarta (Shahab, 2004). Namun, pada tahun 2000 jumlah mereka hanya tinggal sekitar 27,65 persen dari jumlah penduduk Jakarta (Badan Pusat Statistik, 2000).
Namun demikian, menurut
media on line Berita Jakarta, 2009, banyak pula pendatang yang ke Jakarta tanpa dibekali ketrampilan yang akhirnya menjadi warga miskin di kota ini karena tidak memiliki pekerjaan tetap bahkan menjadi pengangguran. Berkaitan dengan kehadiran pendatang, urbanisasi di Indonesia tercatat mulai merupakan fenomena yang signifikan sejak masa kemerdekaan Republik Indonesia (Rustiadi dan Panuju, 1999). Awal urbanisasi di Indonesia, faktor dorongan untuk bermigrasi dari pedesaan akibat kemiskinan nampak jauh lebih kuat dari faktor daya tarik perkotaan. Akibatnya karakteristik perkotaan di Indonesia, khususnya kota Jakarta, sangat diwarnai oleh keberadaan tenaga kerja sektor informal dan pengangguran tak kentara atau disguished unemployment (Temple, 1974 dalam Rustiadi dan Panuju,1999). Di sisi lain, pembangunan selama masa orde baru yang bias ke perkotaan dan bias Jawa menjadi sebab utama perbedaan karakteristik kota Jakarta dan kotakota
lain
di
Indonesia
sehingga
menimbulkan
ketimpangan,
misalnya
ketimpangan distribusi akses penduduk terhadap sumber-sumberdaya, kesempatan kerja dan pendapatan. Ketimpangan tersebut menyebabkan derasnya proses (speed up processes) migrasi penduduk dari wilayah pedesaan ke kota ini. Mereka, pendatang yang berasal dari sebaran etnik yang beragam (multietnik), beramairamai mencari rizki di Jakarta. Namun, sebagian penduduk tersebut tidak
2
memiliki keahlian dan ketrampilan khusus sehingga timbul beberapa dampak sosial, seperti masalah pengangguran yang berkaitan erat dengan masalah kemiskinan (Affendi, 1999), yang pada akhirnya merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah daerah DKI Jakarta. Upaya mengatasi permasalahan kemiskinan telah banyak dilakukan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta, seperti dalam bidang perbaikan permukiman (kampung), persediaan air, sanitasi dan transportasi, serta penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Namun, hasilnya masih kurang memuaskan, masih banyak jumlah penduduk miskin yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tercatat jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta sekitar 286,9 ribu orang (3,42 persen) pada tahun 2002, cenderung bertahan menjadi 294,1 ribu orang pada tahun 2003 (Badan Pusat Statistik, 2004). Jumlah tersebut kemudian turun menjadi 277,1 ribu (3,2 persen) orang pada tahun 2004 (Badan Pusat Statistik, 2004), meningkat menjadi sekitar 405,7 ribu orang (4,61 persen) pada tahun 2007 (Badan Pusat Statistik, 2007), perlahan-lahan turun hingga menjadi 312,2 ribu (3,48 persen) pada tahun 2010 (Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2010), dan meningkat kembali menjadi 363,42 ribu (3,75 persen) pada tahun 2011 (Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2011). Persentase penduduk miskin di DKI Jakarta sejak tahun 2002 sampai tahun 2011 seperti yang telah disebutkan, cenderung tidak memiliki pola dengan besaran yang sulit turun dari angka tiga sampai empat persen. Sulit untuk turunnya persentase angka kemiskinan tersebut merupakan perihal yang menimbulkan pertanyaan mengingat pemerintah Provinsi DKI Jakarta cenderung sangat besar perhatiannya terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Apakah kisaran angka tersebut ini mengindikasikan suatu keadaan kemiskinan yang apabila dilihat dari sisi kuantitasnya relatif sudah dalam tingkatan „orang miskin yang tersisa‟ sehingga sangat sulit untuk dientaskan (hard core poverty) juga merupakan suatu pertanyaan. Barangkali dalam keadaan serupa ini, faktor budaya yang belum berpihak kepada kemajuan seperti prilaku pasrah menjalani kehidupan, sikap yang sudah tidak atau belum termotivasi untuk bekerja keras, berperan bahkan mendominasi prilaku penduduk miskin tersebut.
3
Berkaitan dengan seriusnya perhatian pemerintah Indonesia pada umumnya, maupun pemerintah provinsi DKI Jakarta pada khususnya terhadap pengentasan kemiskinan terindikasi dari sikapnya yang seiring dengan perjalanan waktu, terus menyempurnakan upaya pengentasan kemiakinan.
Program
penanggulangan kemiskinan yang cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin, seperti beras untuk orang miskin (raskin), jaringan pengaman sosial untuk orang miskin (JPS), kini juga disertai dengan program yang berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup, seperti bebas biaya sekolah SD dan SLTP, serta fasilitas kesehatan berupa berobat gratis bagi orang miskin.
Selain itu, penanggulangan kemiskinan yang sebelumnya dilakukan
secara terpisah oleh suatu instansi maupun departemen, perencanaannya mulai dilakukan dengan lebih terkoordinir dibawah Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejateraan Rakyat (Menko Kesra) agar tidak terjadi tumpang tindih. Tim ini terus disempurnakan. Berdasarkan Perpres Nomor 15 tahun 2010 dibentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K)
sebagai penyempurnaan dari Perpres
Nomor 13 Tahun 2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. TNP2K diketuai oleh Wakil Presiden yang bertanggung jawab kepada Presiden. Selanjutnya, di dunia internasional pada dekade terakhir, strategi pembangunan dan program bantuan yang mempertimbangkan unsur keberagaman budaya telah menjadi perhatian penting dan bersifat global.
Melengkapi
pemikiran-pemikiran mengenai upaya pengetasan kemiskinan pada masa-masa sebelumnya, faktor budaya kembali diangkat sebagai salah hal diperhitungkan dalam pengentasan kemiskinan tersebut.
yang
Budaya dipandang
sebagai suatu syarat perlu bagi kesejahteraan umat manusia karena suatu kemajuan tak lepas dari peran budaya. Nilai-nilai budaya penting dalam proses kemajuan manusia karena hal ini membentuk cara orang-orang berpikir tentang kemajuan. Kebiasaan, ide dan nilai-nilai yang berkembang pada masing-masing etnik terbentuk dari suatu pengalaman budaya yang panjang dan telah menjadi kebiasaan dari suatu masyarakat.
Bahkan, menurut Lindsay, 1999, dalam
Harrison dan Hutington, 2006, budaya adalah sebuah penentu penting kemampuan
4
suatu negara untuk makmur karena budaya membentuk pemikiran orang-orang mengenai resiko, penghargaan dan kesempatan. Terkait dengan persoalan kemiskinan di DKI Jakarta, Adiati (2005) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kebijakan penanggulangan kemiskinan di Jakarta masih seragam, belum spesifik berdasarkan masing-masing akar permasalahannya. Kembali mengaitkan apakah faktor budaya berperan dalam hal kemiskinan di DKI Jakarta, terdapat fenomena “orang Betawi” yang selama ini dianggap sebagai penduduk asli kota Jakarta. menurut Shahab (2004), secara spasial orang Betawi semakin terdesak ke daerah pinggiran kota Jakarta dan secara sosial, mereka semakin sering berinteraksi dengan etnik-etnik lain yang datang dan berdiam di kota ini. Secara ekonomi maupun budaya, masyarakat Betawi kinipun termasuk kelompok yang kian jauh terpinggirkan. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang masuk dalam kelompok masyarakat berada (Bamus Betawi, 2005). Berkaitan dengan pendapat yang menyebutkan suatu kemajuan tak lepas dari peran budaya, sejak lebih dari tiga dekade yang lalu, antropolog Indonesia, Koentjaraningrat (1997), pernah menyarankan pentingnya mengetahui variasi sistem nilai budaya pada masyarakat sebelum membuat perangsang yang tepat bagi masyarakat yang bersangkutan agar memiliki sikap mental yang tepat bagi pembangunan. Fenomena mengenai penduduk miskin yang tidak mudah untuk ditanggulangi, yang terjadi pada penduduk asli dan juga terjadi pada penduduk pendatang, di sisi lain, terjadi pula fenomena sebagian masyarakat Betawi yang mengalami proses pemiskinan sehingga tidak bisa bertahan di Jakarta, merupakan topik yang dipandang menarik dan bermanfaat untuk diteliti. Bagaimana karakteristik sosial, ekonomi, dan budaya dapat menjelaskan kemiskinan pada penduduk Betawi vis-a-vis pendatang menjadi penting untuk dikaji. Penelitian ini akan menganalisis kemiskinan yang akan dibatasi pada kasus penduduk Betawi (penduduk asli) vis-a-vis penduduk pendatang di DKI Jakarta. 1.2. Perumusan Masalahan Penelitian Pembangunan yang bias ke perkotaan di Indonesia selama ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan pemerintah pusat dalam memeratakan pembangunan. Akibatnya terjadi ketimpangan yang semakin
5
melebar antara distribusi akses penduduk di kawasan kota, khususnya DKI Jakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia, dan wilayah lainnya terhadap sumbersumberdaya, kesempatan kerja dan pendapatan. Gejala pemusatan aktivitas beserta konsekuensinya terjadi di DKI Jakarta sebagai kota terbesar di Indonesia. Hal ini membuat Jakarta mempunyai daya tarik yang besar bagi penduduk Indonesia. Jakarta bukan hanya pusat pemerintahan, tetapi juga pusat pertumbuhan ekonomi, pusat perdagangan, pusat jasa, pusat pendidikan, pusat industri, pusat investasi, dan sebagainya. Kemudian, Jakarta menjadi salah satu kota yang mempunyai daya tarik yang tinggi bagi hampir seluruh penduduk Indonesia. Bagi penduduk yang tinggal di luar Jakarta, kota ini dianggap kota yang dapat memberikan pengharapan akan masa depan. Dengan situasi perdesaan yang semakin sulit, taraf subsisten, terbatasnya fasilitas dan infrastruktur, dapat dipahami bahwa pada akhirnya terjadi migrasi penduduk yang berlebihan dari wilayah perdesaan maupun kota-kota lainnya ke Jakarta. Arus migrasi yang berlebih pada akhirnya menimbulkan kepincangankepincangan pada lembaga masyarakat di Jakarta, yang dapat mengarah pada masalah sosial kemiskinan. Sharp, et. al (1996: 173-191) yang dikutip kembali oleh Kuncoro (2003), mencoba mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dari sisi ekonomi.
Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya
ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia.
Kualitas sumberdaya yang
rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan.
Ketiga,
kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Selanjutnya, migrasi penduduk dari berbagai wilayah di Indonesia ke Jakarta telah membuat kota ini memiliki kepadatan penduduk yang tinggi juga terdiri dari pendatang yang berasal dari berbagai suku bangsa (multietnik). Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Ismani (1991), salah satu ciri masyarakat kota yang sangat menonjol adalah heterogenitasnya dalam berbagai bidang
6
kehidupan dan penghidupan. Heterogenitas tersebut dapat dilihat dari tingkat sosial ekonominya berbeda-beda, tingkat pendidikan dan agama juga berlainan satu sama lain, mata pencaharian berbeda dan lain sebagainya. Di samping itu, pada berbagai negara yang berpenduduk multi ethnic, penduduk di daerah perkotaannya cenderung berasal dari kelompok-kelompok etnik (ethnic group) yang berbeda-beda. Meskipun Jakarta terdiri dari masyarakat yang berasal dari beragam suku bangsa, namun penduduk yang dianggap sebagai penduduk asli adalah suku Betawi. Dalam sensus 1930 orang Betawi merupakan mayoritas penduduk kota Jakarta, yaitu sebesar 778.953 orang atau sekitar 64 persen dari jumlah penduduk (Shahab, 2004). Seiring dengan perjalanan waktu, komposisi tersebut saat ini telah mengalami penurunan menjadi sekitar 27,65 persen atau sebesar 2.301.587 orang dari 8.324.707 orang penduduk Jakarta pada tahun 2000 (Badan Pusat Statistik, 2000). Penduduk Betawi sejak dulu telah hidup berdampingan dan melakukan interaksi sosial dengan penduduk pendatang. Penduduk Betawi sendiri enggan untuk merantau. Menurut Alwi yang dikutip oleh Shahab, 2002, sifat tidak mau meninggalkan kampung atau merantau, memang sifat yang telah turun-temurun bagi orang Betawi.
Dalam salah satu bukunya, Shahab mengemukakan
enggannya masyarakat Betawi merantau punya kaitan dengan sejarah. Ditetapkannya Batavia sebagai pusat pemerintahan sejak masa Hindia Belanda telah membuat kota ini memiliki banyak fasilitas. “Mau sekolah, tidak usah pergi jauh-jauh. Lapangan pekerjaan relatif banyak tersedia, kantor-kantor bejibun. Dan, yang paling penting dekat dengan keluarga”, begitu ungkapan mereka. Tokoh Betawi Djabir, Alwi Mas‟oed, dan Firman Muntaco (seperti yang dikutip oleh Shahab, 2002), mengakui ada faktor negatif akibat enggannya etnis Betawi pergi merantau.
Akibatnya, hidup mereka menjadi lebih santai dan kurang
menghadapi tantangan. Bagi pendatang, apabila tidak sukses tinggal di Jakarta biasanya malu untuk pulang kampung.
Tidak demikian bagi orang Betawi,
mereka berkesempatan untuk mendatangi famili yang agak berkecukupan untuk mendapatkan bantuan.
7
Pada masa lampau penduduk Betawi cenderung tertinggal dalam kehidupan masyarakat, padahal mereka adalah penduduk asli Jakarta. Menurut Shahab, 2004, sampai dengan sebelum tahun 1975, tidak satupun literatur yang menyebutkan kelebihan dari etnik ini, bahkan disebutkan bahwa suku Betawi merupakan kelompok inferior di Jakarta. Betawi dianggap merupakan kelompok inferior pada masa itu, sebenarnya dapat dihubungkan dengan kehidupan Betawi pada masa lampau. Menurut hasil penelitian ahli sejarah dan ekonomi, L. Castles, yang meneliti komposisi sukubangsa penduduk Jakarta melaporkan bahwa jumlah penduduk Betawi yang melek huruf pada tahun 1930 sebesar 11,9 persen, suatu angka yang terlampau rendah untuk daerah perkotaan. Perkembangan selanjutnya, tercatat pada tahun 1961, hanya sekitar dua persen penduduk Betawi yang menamatkan sekolah lanjutan pertama. Bila ditelaah dari sejarah Betawi di masa lampau, seperti yang diungkapkan oleh Castle (1967), yang dikutip kembali oleh Koentjaraningrat (1975), bahwa taraf pendidikan yang rendah dari penduduk Jakarta asli disebabkan karena mulai permulaan abad ke-17 sistem pemerintah kolonial Belanda selalu bersifat langsung, dengan membawa sendiri formasi pegawainya, baik yang berbangsa Belanda maupun yang berbangsa Indonesia dari daerah-daerah lain di Jakarta. Orang Jakarta sendiri tak pernah diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengurusan daerahnya sendiri, sehingga sejak dulu mereka tak pernah dikembangkan keinginannya untuk masuk ke dalam golongan kepegawaian, dan dengan demikian juga suatu keinginan untuk maju dalam pendidikan sekolah. Pada saat itu, orang Jakarta asli jarang ada yang menduduki jabatan-jabatan tinggi dalam kepegawaian atau dalam pemerintahan.
Tokoh seperti Husni Thamrin
misalnya, merupakan terkecualian yang jarang. Sementara, di tempat-tempat lain di Indonesia keinginan rakyat untuk bersekolah sudah lama dirangsang dengan adanya kesempatan-kesempatan untuk menjadi pegawai negeri dan guru. Intepretasi tentang hal yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan penduduk Betawi pada masa lampau seperti yang telah diungkapkan di atas, diperkuat lagi dengan orientasi penduduk Betawi ke arah agama Islam yang amat kuat dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa lampau, sekolah mereka hubungkan
8
dengan cara hidup orang Belanda atau orang Cina, yang dalam hati sanubari mereka tidak mereka sukai.
Sedangkan pengaruh dari guru-guru mengaji
mendorong mereka untuk memilih belajar mengaji atau masuk pesantren ataupun madrasah dan tidak pergi ke sekolah tempat orang Belanda dan Cina (non muslim) pergi bersekolah. Menurut Soekanto, 1990, pola prilaku yang dipengaruhi nilai-budaya dapat berubah (perubahan sosial) apabila pola prilaku tersebut dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Sejalan dengan hal itu, menurut Shahab (2004), perubahan sosial telah terjadi pada penduduk Betawi seperti yang pernah diungkapkannya “orang Betawi bangkit sehingga menepis pandangan streotype tentang orang Betawi”. Namun, masih ada sebagian pengamat yang memandang betawi sebagai kelompok inferior.
Meskipun pendapat ini dibantah oleh Asbah, 1992 yang
dikutip kembali oleh Shahab 2004 “Banyak orang sok tahu mengenai Betawi, tetapi sebenarnya pengetahuan mereka cuma di permukaan saja. Jangan katakan bahwa orang Betawi sedang tenggelam, menyingkirlah kamu yang bermaksud demikian”. Tabel 1. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan Kepala Rumahtangga Tidak Miskin dan Miskin pada Penduduk Betawi vis-a-vis Penduduk Pendatang, Tahun 2004 Pendidikan tertinggi yang ditamatkan
Tidak Miskin Miskin
Pendatang Betawi Pendatang Betawi
Total
Tidak/ belum pernah sekolah
Tidak tamat SD
SD
SLTP
SLTA
Perguruan Tinggi
1,35 5,65 5,97 6,05 2,33
5,40 10,87 14,98 9,84 6,69
16,05 25,07 30,54 34,89 18,23
19,76 19,14 29,48 29,63 19,85
42,50 33,25 19,02 19,60 40,11
14,94 6,01 0,00 0,00 12,79
Sumber: Badan Pusat Statistik, Susenas Kor 2004, diolah.
Data menunjukkan bahwa sebagian besar kepala rumahtangga Betawi miskin memiliki pendidikan terakhir Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah (34,89 persen), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 (pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala rumahtangga tidak miskin dan miskin pada penduduk Betawi dan penduduk pendatang).
Padahal seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
9
pendidikan berkaitan dengan produktivitas.
Produktivitas yang rendah pada
gilirannya menyebabkan upah yang rendah. Hal menarik yang dapat dilihat dari tingkat pendidikan pada tabel tersebut adalah pada penduduk miskin, tingkat pendidikan kepala rumahtangga Betawi relatif sama dengan tingkat pendidikan kepala rumahtangga pendatang.
Sementara itu, pada penduduk tidak miskin
persentase tingkat pendidikan kepala rumahtangga terlihat semakin rendah dibandingkan tingkat pendidikan kepala rumahtangga pendatang pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan sebaliknya. Dari data tersebut nampaknya pendapat
streotype tentang orang Betawi masih belum sepenuhnya dapat
dihilangkan. Shahab, 2004, pernah mengemukakan bahwa orang Betawi sampai tahun 1960-an mungkin tidak pernah merasakan ada tantangan hidup yang cukup berarti. Pada masa itu mereka masih dininabobokan oleh aset besar yang dimilikinya. Mereka rata-rata masih punya tanah yang luas dengan tanaman yang hasilnya bisa bisa memenuhi kebutuhan hidup. Bila kebetulan ada kesulitan, bisa diatasi dengan menjual sebagian tanah tadi. Keadaan demikian menyebabkan mereka menjadi terlena dan lengah dalam menghadapi dan menuju hari depannya. Keadaan terlena tersebut mungkin masih membekas pada sebagian penduduk Betawi pada saat ini, khususnya bagi mereka yang terlambat untuk berpikir prokemajuan. Upaya pemerintah untuk memastikan tidak ada kelompok-kelompok masyarakat yang tertinggal dalam proses pembangunan diantaranya dengan terus konsisten dalam melakukan pengentasan kemiskinan dengan strategi yang diantaranya adalah melalui perbaikan keadaan sosial, ekonomi, dan budaya, serta melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Namun, pengentasan kemiskinan yang sebelumnya dilakukan melalui pendekatan berdasarkan gejala kemiskinan yang ada dan bersifat seragam, perlu diperkaya dengan pemahaman terhadap orientasi nilai budaya pada penduduk miskin yang diduga akan bersifat beragam. Apalagi untuk kota Jakarta dengan penduduk dengan beragam budaya. Dengan demikian, diharapkan dapat diketahui terapi yang lebih efektif dalam pengentasan kemiskinan.
10
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, bagaimana menjelaskan kemiskinan yang terjadi khusus penduduk Betawi dan pendatang di Jakarta merupakan hal yang masih perlu dikaji. Oleh sebab itu, yang menjadi permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana kemiskinan pada penduduk Betawi sebagai penduduk asli DKI Jakarta
vis-a-vis penduduk pendatang?
Sementara yang
menjadi permasalahan khusus dalam penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana karakteristik kemiskinan pada rumah tangga betawi vis-avis penduduk pendatang?
2.
Bagaimana menjelaskan kecenderungan keadaan sosial, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi kemiskinan di DKI-Jakarta?
3.
Bagaimana orientasi nilai-budaya pada penduduk Betawi miskin vis-avis penduduk pendatang miskin dalam menjalani kehidupannya seharihari, terutama yang berkaitan dengan upaya untuk dapat keluar dari kemiskinan?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan batasan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian secara umum adalah memahami persoalan kemiskinan pada penduduk Betawi sebagai penduduk asli DKI Jakarta vis-a-vis penduduk pendatang. Tujuan khususnya adalah: 1.
Mengetahui karakteristik kemiskinan penduduk Betawi vis-a-vis penduduk pendatang .
2.
Mengetahui kecenderungan keadaan sosial, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi kemiskinan di DKI-Jakarta
3.
Mengetahui orientasi nilai-budaya pada penduduk Betawi miskin vis-àvis penduduk pendatang miskin dalam menjalani kehidupannya seharihari, terutama yang berkaitan dengan upaya untuk dapat keluar dari kemiskinan.
1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat: 1. Memberikan tambahan referensi bagi para pengambil kebijakan (policy maker) yaitu pemerintah Provinsi DKI-Jakarta pada
11
khususnya dan pemerintah Indonesia pada umumnya dalam menyusun kebijakan pengentasan kemiskinan. 2. Memberikan inspirasi bagi pemerintah daerah lainnya dalam mengentasakan kemiskinan. 3. Memberikan informasi bagi para akademisi mengenai aspek-aspek yang berhubungan dengan persoalan kemiskinan.