I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan upaya peningkatan kualitas kesejahteraan sosial perorangan, keluarga, kelompok dan komunitas dalam masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dirnana setiap orang mampu mengambil peran dan menjalankan fungsinya dalam kehidupan. Pada masa Orde Baru pemerintahan yang bersifat sentralistik sangat kuat dalam segala aspek. Pembangunan di daerah dikendalikan oleh Pusat, sehingga cenderung membuat pasif masyarakat di daerah dan mematikan daya kreatifitas mereka. Namun dengan berjdannya waktu, keadaan tersebut tahap demi tahap berubah. Desentralisasi, demokratisasi, dan akuntabilitas pemerintahan daerah merupakan tiga kata kunci yang penting dalam perubahan tersebut dan dalam implementasi otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi menjadi Nomor 32 Tahun 2004. Otonomi daerah bermakna sebagai peluang yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan kualitas masyarakatnya dan berbagi tanggungjawab dengan pemerintah pusat dalam rneningkatkan pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial lainnya. Hal ini rnerupakan sirnbol perubahan dalam tata pemerintahan di Indonesia pasca Reformasi 1998. Era tersebut sebagai ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam menentukan arah pembangunan. Mandat dalam Undangundang No. 32 tahun 2004 tersebut menyatakan bahwa masyarakat memperoleh kesempatan untuk mengartikulasikan aspirasinya secara leluasa ke dalam mekanisme formal dalam sistem politik pemerintahan di tingkat daerah. Kehidupan bermasyarakat dan bernegara rnenjadi semakin dinamis dan yang paling penting adalah adanya pengalaman baru bagi masyarakat untuk mengembangkan kreatifltas dan prakarsanya secara konstruktif. Bila kita lihat amanat konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dimana negara mempunyai kewajiban sesuai dengan ketentuan hukum yang tercanturn dalam Undang-Undang Dasar Tal~un1945, khususnya Pasal 34 Ayat 1 yang berbunyi "fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara", dan Pasal34 Ayat 2 yang
menyatakan "negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan", maka amanat tersebut semakin relevan seiring dengan pergeseran paradigma pembangunan Indonesia yang mengedepankan otonomi daerah dan otonomi masyarakat. Masalahnya
sekarang,
masyarakat
telah
ter"ninabobokanV
pada
ketergantungan pemerintah pusat, sehingga memarjinalkan peran masyarakat lokal. Setelah termarjinalisasi akibat represi kekuasaan pusat selama tiga dekade, masyarakat lokal mengalami kesulitan untuk mengartikulasikan otonominya sebagai gerakan perkembangan yang mandiri Ketika gelombang krisis yang terjadi pada pertengahan tahun 1997, ekses yang ditimbulkannya masih sangat terasa hingga sekarang. Kondisi yang sudah buruk tersebut semakin parah dengan ditambahnya konflik internal yang muncul
sebagai manifestasi krisis kebangsaan. Kerusakan akibat kebrutalan massa semakin memperberat beban krisis. Krisis yang berkepanjangan ini tak m g berimplikasi pada penurunan derajat hidup rakyat. Pengangguran dan kemiskinan adalah akibat yang tidak dapat dihindari. Diantara masyarakat yang paling rentan tertimpa beban krisis, tidak lain adalah rakyat yang berpenghasilan rendah atau marginal. Keadaan masyarakat yang semakin terpuruk, menunjukkan situasi darurat yang segera memerlukan pertolongan.
Fenomena yang terjadi seperti ini
memerlukan "campur tangan" dari pihak yang benvenang untuk mengubah keadaan mereka agar memiliki kehidupan yang lebih baik. "Campur tangan" tersebut dapat berbentuk perlindungan sosial dan atau pemberdayaan. Jaminan Sosial yang merupakan bagian dari perlindungan sosial terbagi dalam dua bagian, yaitu bantuan sosial dan asuransi sosial. Bantuan sosial dapat bersifat permanen dan tidak permanen, dimana yang pemanen peruntukkannya adalah kepada orang-orang yang tidak dapat lagi diberdayakan, sedangkan yang tidak permanen adalah untuk orang-orang yang mengalami musibah seperti bencana alam atau bencana sosial (kerusuhan). Asuransi sosial saat ini lebih banyak yang bersifat komersial.
Jaminan sosial merupakan komponen dalam kaitannya dengan hak-hak asasi manusia yang berlaku universal bagi seluruh warga Negara. Tujuan utama jaminan sosial adalah memberikan perlindungan sosial terhadap upaya pemenuhan hak atas kebutuhan dasar. Kaidah ini menekankan bahwa, jaminan sosial mengandung muatan normatif yang mengatur hak dari setiap warga Negara untuk memperoleh taraf kesejahteraan sosial yang layak bagi kemanusiaan. Oleh karena itu, jaminan sosial dapat diformulasikan secara kontekstual dalam pembangunan kesejahteraan sosial sebagai refleksi dari pelaksanaan kewajiban Negara terhadap warganya yang mengalami resiko sosial (social hazards). Eksistensi jaminan sosial semakin relevan karena dalam kenyataan menunjuWtan bahwa warga masyarakat baik perorangan, kelompok, keluarga maupun
komunitas tertentu
seringkali mengalami ketidakpastian
yang
mengganggu atau menghambat fungsi sosialnya. Ketidakberfungsian sosial ini mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar mereka, seperti kehilangan penghasilan ketika tidak bekerja, resiko kerja, pendidikan dasar untuk anak, pelayanan kesehatan dasar, dan kebutuhan dasar lainnya. Dalam kondisi seperti ini, jaminan sosial menjadi sangat penting karena merupakan landasan bagi pemenuhan pelaksanaan hak asasi manusia (HAM), sehingga mutlak dilaksanakan oleh pemerintah. Namun demikian bukan berarti masyarakat tidak dapat berperan serta dalam memberikan perlindungan sosial terhadap warga masyarakat lain yang tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan fungsi sosialnya secara baik. Mereka bisa memberikan perhatiannya dalam berbagai bentuk bantuan baik yang bersifat materiil maupun non materiil. Jurnlah penduduk Kota Bandung sebanyak 2.232.624 jiwa dengan kepadatan rata-rata 13.346 jiwaKm2, sedangkan jumlah penduduk miskin sebanyak 71.292 orang atau 3,193%. (jabar.bps.go.id:2005). Berdasarkan jumlah penduduk miskin Kota Bandung yang relatif cukup tinggi, maka perlu adanya peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Untuk rnencapai sumberdaya manusia yang berkualitas perlu peningkatan kemampuan intelegensia, penguasaan teknik-teknik pekerjaan dan pembinaan perilaku. Ini dilakukan dengan tujuan untuk menempatkan komunitas miskin tersebut pada martabat yang lebih baik.
Untuk menunjang ha1 tersebut, maka perlu adanya pemberdayaan terhadap komunitas. Pemberdayaan itu sendiri merupakan penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, sehingga terbentuk komunitas yang mandiri. Di samping itu, "campur tangan" dalam bentuk pemberdayaan juga merupakan salah satu alternatif yang penting dalam proses pengembangan masyarakat. Tujuan pemberdayaan itu sendiii adalah untuk meningkatkan derajat hidup masyarakat, kesejahteraan dan keseimbangan di dalam banyak segi kehidupan baik lingkungan fisik maupun sosial. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam proses pemberdayaan perlu dilakukan kolaborasi dengan berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders). Untuk itu perlu dibentuk jejaring agar proses pemberdayaan tersebut dapat bermanfaat secara maksimal yang dirasakan oleh komunitas bersangkutan. Pelaksanaan pemberdayaan itu sendiri tidak terlepas dari partisipasi dan inisiatif komunitas tersebut, karena adanya prakarsa lokal akan menegakkan konsep pembangunan yang partisipatif sekaligus memberdayakan potensi lokal. Program pengembangan masyarakat merupakan salah satu alternatif untuk mengubah pola hidup masyarakat miskin menjadi kehidupan yang lebih baik. Dalam proses pengembangan masyarakat dapat dilakukan pendampingan melalui disiplin ilmu pekerjaan sosial. Pada hakekatnya pekerjaan sosial merupakan suatu bidang keahlian yang mempunyai tanggung jawab untuk memperbaiki dan atau mengembangkan interaksi diantara orang dengan lingkungan sosialnya, sehingga orang itu memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas kehidupan mereka, mengatasi kesulitan-kesulitan, serta mewujudkan aspirasi-aspirasi dan nilai-nilai mereka. Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan pokok kajian adalah :
"Bagaimana strategi yang tepat untuk melaksanakan jaminan sosial berbasis komunitas dalam upaya pengembangan model perlindungan sosial? " 1.2 Rumusan Masalah Lokasi kajian yang praktikan lakukan adalah di Kelurahan Jamika Kecamatan Bojongloa Kaler Kota Bandung. Lokasi tersebut berada di sebelah Barat pusat Kota Bandung dan memiliki ciri komunitas yang unik akibat dari
heterogennya masyarakat setempat, tidak saja dari berbagai daerah di Indonesia namun juga dari etnis lain, terutama etnis Cina. Kelurahan
Jamika
merupakan
daerah
yang
menjadi
pionir
dikembangkannya mekanisme jaminan sosial melalui rintisan ujicoba program Askesos dari Departemen Sosial RI, dimana daerah ini terpilih karena beberapa ha1 ,yaitu : 1. Daerah terpadat di Indonesia
Penduduk Kelurahan Jamika adalah 25.461 jiwa yang terdiri dari 12.831 jiwa laki-laki dan 12.630 jiwa perempuan, tidak sebanding dengan jurnlah luas lahan yang hanya 54 Ha. 2. Antusias warga yang ingin ikut program Askesos dan tenaga-tenaga lapangan
yang siap merekrut nasabah. 3. Keinginan yang kuat untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya, sehingga
berkembang dengan baik dan akhirnya mendapat dampak yang baik pula yaitu diadopsi menjadi kebijakan Pemerintah Daerah Tingkat Provinsi dengan diluncurkannya dana APBD yang menyebar pada beberapa kabupatedkota lainnya. Kelurahan Jamika sering dijadikan tempat pencanangan program-program pemerintah daiam memberdayakan masyarakat. Kelurahan Jamika juga telah mengembangkan
kerjasama
dengan
berbagai
pihak
eksternal
dalam
pengembangan potensi kemasyarakatan melalui warganya yang banyak aktif di tingkat Kecamatan maupun Pemerintah Kota, dan selalu mendapat penghargaan. Amanat konstitusi Undang-undang Dasar 1945 yang dijabarkan lebih rinci dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kesejahteraan Sosial, Pasal 4 Ayat (I), menyatakan bahwa "usaha pembangunan di bidang kesejahteraan sosial meliputi pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial melalui penyelenggaraan suatu sistem jaminan sosial", dan Pasal 8 yang menyatakan bahwa "masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengadakan
usaha
kesejahteraan
sosial
dengan
mengindahkan
garis
kebijaksanaan dan ketentuan-ketentuan sebagaimana ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan".
Amanat konstitusi dan Undang-undang ini semakin relevan seiring dengan pergeseran paradigma pembangunan Indonesia yang mengedepankan otonomi daerah dan otonomi masyarakat. Sistem jaminan sosial seperti yang telah diamanatkan dalam konstitusi dan Undang-undang, merupakan komponen dalam hak-hak asasi manusia yang berlaku universal bagi seluruh warga negara, yang diarahkan untuk memberikan perlindungan terhadap ketidakmampuan seseorang dalam situasi tertentu. Oleh karena itu, jaminan sosial merupakan manifestasi dari hak setiap warga negara atas taraf kesejahteraan sosial yang layak bagi kemanusiaan. Beranjak dari amanat tersebut di atas, maka berbagai upaya atau program perlindungan sosialljaminan sosial bagi warga negara telah dibentuk dan dilaksanakan, namun jangkauannya belum mencakup seluruh lapisan masyarakat, karena baru sebagian kecil saja yang dilayani, seperti Pegawai Negeri Sipil, TNI, POLRI, dan pekerja formal yang pelaksanaannya dilakukan oleh BUMN, seperti PT. TASPEN, PT. ASKES, Asabri, dan PT. Jamsostek, sedangkan sektor informal sampai saat ini belum ada yang menyentuh. Menurut Badan Pusat Statistik, tahun 2004 jumlah penduduk Indonesia adalah sebanyak 212.003.000 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut, yang bekerja di sektor informal sebanyak 40.702.603 jiwa (19%), seperti pedagang kecil, penjual jasa (tukang ojeg, becak, kuli, dan lain-lain) serta buruh yang tidak memiliki hubungan kerja dengan pihak lain (majikan-pekerja). Jumlah penduduk Kota Bandung yang bekerja di sektor informal sebanyak 390.709 jiwa atau 17,5%. (jabar.bps.go.id:2005). Mereka inilah yang menjadi prioritas sasaran program jaminan sosial (perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial) karena termasuk para pekerja yang beresiko kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Mengingat jumlah para pekerja mandiri sektor informal yang begitu besar dan belum terjangkau oleh badan asuransi sosial yang ada, maka Pemerintah melalui Departemen Sosial sejak tahun 1996 telah melaksanakan ujicoba Program Jaminan Sosial dengan kegiatan Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) bagi para pekerja dimaksud, dengan melibatkan organisasi sosial sebagai mitra pengelola program.
Program Askesos merupakan suatu upaya penguatan kapasitas warga untuk dapat mengembangkan kegiatan ekonomi produktifnya secara optimal, namun dibarengi oleh adanya bentuk perlindungan sosial yang memang seharusnya menjadi tumpuan pemerintah. Perintisan model pemberdayaan melalui Program Askesos dalam konteks otonomi daerah, pada dasarnya dapat dikatakan bertujuan ganda, yaitu: pertama, melepaskan diri dari jebakan alur penghisapan sumberdaya warga ke luar kontrolnya; dan kedua, sekaligus mencari jalan untuk mengelola proses produksi dan konsumsi lokal yang dapat memenuhi syaratsyarat sosial dan ekologis yang tepat. Pada tingkatan awal Askesos ini lebih merupakan penguatan kapasitas kolektif yang belum bergerak kearah aksi. Melalui Program Askesos, persoalan pengembangan dan pemecahan masalah dalam kegiatan ekonomi sehari-hari dibicarakan secara terprogram. Langkah pengembangan kemampuan ini merupakan salah satu kunci untuk dapat memberdayakan warga yang selama ini secara sadar maupun tidak berada pada posisi dimana sumberdaya mereka ditarik ke luar wilayah kelolanya, yakni pada kehidupan mereka yang marginal, sehingga yang diperoleh tidak dapat dinikmati apalagi disimpan dalam bentuk tabungan ataupun dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih krusial. Selama bertahun-tahun Kelurahan Jamika terkenal dengan kepadatan penduduknya yang dimbangi dengan kumuhnya pemukiman serta jumlah angka kemiskinan yang cukup signifikm, sehingga mengakibatkan penurunm produkstivitas warga, khususnya pengusaha kecil yang mandiri menjadi buruh usaha dan makin banyaknya penarik becak serta orang-orang yang di PHK akibat krisis ekonomi tahun 1998-2000 yang lalu. Secara m u m , posisi mereka tidak pemah beranjak dari kedudukannya yang terlalu rendah untuk dapat menjaga keselamatan ekonomi dan kesejahteraannya. Buruh, ibu-ibu pedagang bakulan dan pekerja mandiri sektor informal lainnya lebih sering menjadi aktor bagi akumulasi surplus yang mereka tidak ketahui mekanismenya tapi mereka dapat merasakan dampaknya. Hanya sebagian kecil dari mereka yang bisa mendapatkan kembali 'tetesan surplus' melalui upah dan margin tipis dari penjualan produk yang mereka terima. Upaya untuk memahami mengapa secara ekonomi mereka tidak berdaya dan bagaimana tindakan-tindakan kolektif dapat dikembangkan, akhirnya mereka bersama-sama
dengan fasilitator lokal yang dibantu oleh Yayasan Setia Budi Utama (YASBU) serta adanya Program yang diluncurkan oleh Departemen Sosial mengembangkan program bersama dalam Program Askesos yang dimulai pada tahun 1996. Aspek terpenting dari program ini adalah berupaya meneguhkan kembali kedaulatan ekonomi mereka atas sumber daya yang ada di Kelurahan Jamika dan sekitarnya Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dimmuskan masalah kajian sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik pekerja mandiri sektor informal di Kelurahan Jamika
Kota Bandung ?
2. Bagaimana hubungan pekerja mandiri sektor informal dengan berbagai potensi lokal yang ada di wilayah Kelurahan Jamika ? 3. Bagaimana pengetahuan pekerja mandiri
sektor informal mengenai
keberadaan program janlinan sosial ?
4. Apakah faktor internal dan eksternal pekerja mandiri sektor informal dapat mempengaruhi jalannya program jaminan sosial ? 5. Bagaimana perenacanaan program pengembangan jaminan sosial dalam upaya
pemberdayaan komunitas ? 1.3 Tujuau Kajian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan umum yang akan dicapai melalui kajian ini adalah mengkaji jaminan sosial berbasis komunitas sebagai upaya pengembangan jenis perlindungan sosial inklusif dan selanjutnya menyusun rencana program pengembangan jaminan sosial dimaksud melalui pemberdayaan komunitas Kelurahan Jamika, khususnya pekerja mandiri sektor informal. Untuk mencapai tujuan mum tersebut, maka tujuan khusus dari kajian ini adalah : 1. Mendeskripsikan karakteristik pekerja mandiri sektor informal di Kelurahan
Jamika Kota Bandung. 2. Menganalisis hubungan pekerja mandiri sektor informal dengan berbagai
potensi lokal yang ada di wilayah Kelurahan Jamika.
3. Memahami pengetahuan pekerja mandiri sektor informal terhadap keberadaan program jaminan sosial. 4. Menganalisis faktor internal dan eksternal pekerja mandiri sektor informal
yang dapat mempengaruhi jalannya program jaminan sosial.
5. Merencanakan program pengembangan jaminan sosial dalam upaya pemberdayaan komunitas. 1.4 Kegunaan Kajian 1. Kegunaan praktis, diharapkan dapat menjadi masukan model kebijakan yang
partisipatif bertumpu pada warga masyarakat, khususnya bagi instansi yang terlibat dalam pelaksanaan jaminan sosial. 2. Kegunaan strategis, diharapkan dapat memberikan kontribusi atas penyusunan
strategi pelayanan sosial yang melibatkan banyak pihak dan bertumpu pada kemampuan masyarakat lokal, sehingga perumusan kerangka kerja strategis penanganan masalah-masalah sosial tetap mempertimbangkan konteks lokal dalam perspektif pemberdayaan masyarakat.
3. Kegunaan akademis, diharapkan memperkaya referensi tentang praktekpraktek pengembangan masyarakat yang tumbuh secara partisipatif.