HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kebijakao Sot lui Kebijakan yang berjalan saat ini sangat menentukan bagi keberlangsungan kualitas DAS dan fungsi waduk. DAS yang diindikasikan berkualitas baik ditandai oleh kondisi tutupan vegetasi laban, kualitas air, kemampuan menyimpan air, dan curah hujan.
Kebijakan yang digunakan untuk waduk yang berfungsi
sebagai pasokan air bagi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan air yang dapat dimanfaatkan sebagai barang pubJik adalah kebijakan dengan pendekatan pasar dan bukan pasar.
Kebijakan menggunakan pendekatan pasar adalah izin
melepaskan pencemar yang dapat ditransfer (transferable discharge permit-TDP) dan economic instruments (EI) seperti kompensasi, intema1isasi ke dalam biaya perusahaan, serta pajak dan subsidi. Sedangkan, kebijakan menggunakan pendekatan bukan pasar dilakukan dengan menggunakan kebijakan command and
control (CAC) atau perintah dan pengawasan, seperti administrasi dan perundangundangan (Turner el at. 1994; Fauzi 2004). Ada tiga aspek yang dijadikan sebagai parameter untuk mengkaji
kebijakan saat ini, yaitu aspek
kebij~
aspek
kelembag~
dan aspek
peraturan.
1. Aspek Kebijakan Kebijakan pengelolaan sumberdaya air mengacu pa.da Undang-Undang No. II Tahun 1974 tentang Pengairan yang digantikan posisinya oleh UndangUndang No. 7 Tabun 2004 tentang Sumberdaya Air. HasH kajian menunjukJcan bahwa kewenangan dan tanggung jawab untuk pengelolaan wilayah DAS ditangani oleh berbagai Jembaga. Wilayah sungai menjadi kewenangan dan tanggung jawab Departemen Pekerjaan Umum yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1991 tentang Sungai. Berkaitan .dengan hutan, menjadi kewenangan dan tanggung jawab Departemen Kehutanan. sesuai dengan UndangUndang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Berkaitan dengan DAS, seperti yang disebutkan pada Pasal 4 dalam Peraturan Pemerintah No. 33 Tabun 1970 tentang
Perencanaan
Hutan,
menjadi
kewenangan dan tanggung jawab
Departemen Kehutanan. Urusan lingkungan bidup menjadi kewenangan dan
49
tanggung jawab Kementerian Lingkungan I Iidup sesuai aturan yang berlaku pada Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 lentang Pengelolaan Lingkungan }-udup. Kewenangan dan tanggung jawab
pemerintahan daerah melalui pemberian
desentralisasi dan olonomi oleh pemerintab dituangkan dalam Undang-Undang No. 32 Tabun 2004 tentang Pemerintah Daerah menjadi urusan bagi pemerintah provinsi dan kabupaten serta kota
Penanganan pengelolaan DAS oleh berbagai sektor dapat memberikan implikasi adanya
ketidak-terpaduan penerapan dalam perencanaan, pelaksanaan
dan pengawasan. sehingga dapat menimhuikan terjadinya pertentangan antara satu lembaga dengan lembaga lain. Berbagai persoalan yang ada dalam kaitan dengan kebijakan tidak dapat dilepaskan_dari kewenangan dan tanggw1g jawab yang dimiliki masing-masing instansj atau lembaga, bail< Pemerintah Pusat maupun Pemcrintah Daerah (Gambar 6 dan 7). Pemerintah diwakili Departemeo PekeJjaan Urnum dan Departemen lain
I
I'ERENCANAAN DAS
P£LAKSANAAN
·1
14
~
J
• Departemen flU • Departemen rerkail • Jasa Tina II dan indonesia Pnwer
2. 3.
4. S.
DA
+
I·
PENCiAWASAN D
-I
Departcml:n Pekel)aan Unwm Departcmen Kehutanan Departemen Energi dan S'umber Daya MInerai Departerncn tcrkail Sasa Tina U daD 1ndonesia Power
+
• J)eparn:men flU • Departcmcn Kehutanan • Deparn:men ESDM • Departemen terkart • Pcmda
,
I
~
I
I
Hubtmgan antara pemerin:ti.dengan pemerintah daerah
I I I
~
Pemcrintah Daerah (Kowllnangan dan Tanggung Jawab) r----------------------
----------------------,
GUBERNUR
I
I
I
I I
I
I I
.. I
l.. MI
f
Ma~varakat
KeleranglUl
GambaT 6
II
Bapeda (Perencanaan)
= ---------.
.
1I
U lnas
I
I
BPLHD
(/'cngcndali an )
etda
11 I
16
.. .
GlJIlS koordlnasJ Ildak langsung
Kewenangan dan tanggungjawab Pemerintah dikoordinasikan oleh Departemen Pekerjaan Umum dan hubungannya denganPemda dalam pengeJolaan DAS Citarum.
50
Gambar 6 menunjukkan bahwa
fungsi perencanaan berada pada
Pemerintah Pusat, yaitu dibawah koordinasi Departemen Pekerjaan Umum, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasan dengan anggota semua instansi terkait di tingkat Pemerintah Pusat. Sementara i~ pelaksanaan dari hasil rencana yang telah disepakati menjadi kewenangan dan tanggung jawab masingmasing instansi terkait di tingkat Pemerintah Pusat. Di lain pihak, semua instansi terkait menjadi penanggting jawab pengendalian kegiatan di lapangan dengan Pemerintah Daerah. Hal ini sesuai dengan UU No. 11 Tahun 1974 yang telah diubah dengan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Pada UU tersebut Pasal 86 Ayat 1, 2, dan 3 dinyatakan bahwa koordinasi berada di tangan dewan sumberdaya air atau nama lain yang bertugas menyusun serta merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan sumberdaya air dengan keputusan presideIi. Kewenangan dan tanggungjawab dan masing-masing instansi atau lembaga yang menangani di tingkat pusat dapat menimbulkan keragaman dalam solusi karena bersifat elitism (Bate 1994), yaitu mekanisme pengelolaan dan atas ke bawah. Mekanisme yang dipakai ini seperti yang dikemukakan oleh Healey (1990). bahwa proses kebij akan dimulai dari formulasi kebij akan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat sebagai program nasional sampai pada irnplementasi spesifik yang dijabarkan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat. Pemerintah Daerah, dalam hal ini Guhemur,
menerima pendelegasian
tanggung jawab pengawasan dan dampak yang terjadi melalui koordinasi dengan Pemerintah Pusat di dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah. Didasari atas kewenangan dan tanggung jawab berada pada Pemerintah Pusat, seperti disebutkan dalam peraturan perundangan bahwa perencanaan dapat terkoordinasi oIeh instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya (UU No.7 Tahun 2004 Pasal 26 Ayat 1. Pasal 34 Ayat 1 dan Pasal 42 Ayat 1 tentang Sumberdaya Air), tidak secara tegas menyebutkan perencanaan dan
lembaga yang melakukan
pengelolaan air. Hal ini dapat memperlemah
peran dan
partisipasi Pemerintah Daerah dalam perencanaan uotuk mengelola potensi yang ada di daerahnya agar dapat memanfaatkan potensi sumberdaya tersebut secara optimal.
51
Selain itu, lemahnya peran daerah dalam keterlibatan pada proses perumusan kebijakan untuk menge10la sumberdaya daerahnya, mengakibatkan adanya ke1emahan
keterpaduan di dalam penerapan, misalnya tindakan dan
tujuan yang tidak sejalan, disebabkan kekosongan wadah untuk pelaksanaan kebijakan dalam tingkat koordinasi dan belurn adanya peraturan pelaksanaannya dalam penjabaran kebijakan ke tingkat yang paling bawah. Kebijakan yang dikemukakan lebih banyak bersifat top down atau elitism (Bate 1994), sehingga dalam pelaksanaannya di lapangan mengalami kelemahlm seperti ego sektoral, yang berakibat negatif terhadap ekosistem DAS dan Waduk. Saguling. Sebagai contoh, Keputusan Presiden No. 9 Tabun 1999 tent.ang Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan Pemeliharaan Kelestarian Daerah Aliran Sungai dipimpin oleh Departemen Pekerjaan Umwn dengan anggota berbagai instansi pemerintah (Gambar 6). Selain itu, Peraturan Pemerintah No. 94 Tabun 1999 tentang Perusahaan Umum Jasa Tirta II, yaitu kegiatan pengelolaan atas air dan surnber-swnber air di Wilayah Sungai Citarum berada pada Perum Jasa Tirta II. Peraturan pemerintah tersebut memberikan tugas dan kegiatan kepada usaba negara dalam rangka pengelolaan sumber-sumber air di Sungai Citarum. Walaupun usaba air diberikan kepada swasta, tetapi pengelolaan mulai dari perencanaan sampai pada pengendalian tetap menjadi bagian dari pada Pemerintah Daenth. Gambar 6 tersebut menunjukkan babwa adanya kelemahan dalam kegiatan '. koordinasi dalam hubungan antara Pemerintah Posat dengan Pemerintah Daerab. Hal ini dapat terlihat adanya kewenangan dan tanggung jawab yang tersekat-sekat berdasarkan kewilayahan dan bukan berdasarkan pada ekologi air.
Selain itu,
pada Pasal13 Ayat 3 dan Pasal14 (h) UU No.7 TahW12004 tentang Sumberdaya Air, wilayah sungai strategis nasional menjadi kewenangan dan tangguog jawab Pemerintah Posat dan bukan menjadi kewenangan dan tanggung jawab Pemerintab Daerah. Kondisi ini menyebabkan lembaga-Iembaga terkait yang menangani wilayah DAS Citarum Hulu ditingkat pemerintahan daerah kurang dapat berfungsi dan berperan uotuk mengkoordinasikan berbagai kegiatan bagi efektivitas Waduk Saguling. dengan konsekuensi masing-masing sektor dan
52
daerah berjalan sendiri-sendiri, sehingga keterpaduan belurn dapat tereaiisir dengan baik.
2. Aspek Kelembagaan Pengelolaan DAS Citarum Hulu melibatkan bebempa lembaga pengelola dalam meningkatkan daya guna dan basil guna, seperti untuk: pasokan energi listrik bagi Jawa dan Bali. Beberapa lembaga pengelola terlibat sesuai dengan tugas dan fungsinya demi ketersediaan dan kelancaran
pelayanan untuk
kebutuhan masyarakat. Peraturan Daerah (PERDA) No. 15 Tahun 2000 tentang Dinas Daerah Provinsi Jawa Barat,
Dinas adalah unsur peJaksana yang
mempunyai tugas pokok merumuskan kebijakan operasional dan melaksanakan sebagian kewenangan desentralisasi provinsi dan kewenangan yang dilimpahkan kepada Gubernur. Sedangkan fungsi Dinas adalah melakukan perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya, pemberian perizinan dan pelaksanaan peJayanan umum, serta pemberian pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya. Lembaga yang terkait dalam pengelolaan DAS Citarum Hulu tersebut,
yaitu
Dinas Tata Ruang dan Pemukiman, Dinas
Pengelolaan
Sumberdaya Air, Dinas Kehutanan, dan Dinas Perindustrian sebagai unsur pelaksana yang bersifat tek.:lis operasional. PERDA No. 16 Tahun 2000 tentang
Lembaga Teknis Daerah Provinsi
Jawa Barat, sebagai unsur penunjang dipimpin oleh Kcpala Badan. Tugas dari lembaga teknis adalah merumuskan kebijakan teknis dan melaksanakan kewenangan tertentu pemerintah provinsi sesuai dengan kebutuhan daerah dan kewenangan yang dilimpahkan kepada Gubemur. Fungsi dati lembaga teknis adalah melakukan perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya dan pelayanan penunjang penyelenggaraan pemerintah provinsi. 8eberapa Badan terkait dengan penanganan di wilayah DAS, yaitu Badan Perencanaan Daerah (8apeda) dan BOOan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) sebagai unsur penunjang yang bersifat koordinatif. organisasi
Gambar 7 menunjukkan struktur
di tingkat Pemerintah Daerah tentang adanya kelemahan dalam
mekanisme manajemen dalam arti perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam pengelolaan DAS Citarum Hulu untuk efektivitas WOOuk Saguling.
53
I
I
GUI3ERNUR
1
I I
Level !'i1llll3
Level . 1lIIl3 Dmas-DinllS Dacrah
Bapeda
,'1
I
1
I
PereDeana (KompUasi)
,
, ,,
I
;
14------ -~'
il
I
Usulan
It
~ 8D
n
Hasil
Pengendalian
Rencana
Kegilltan
LH
---- +
Biro Keuangan
Lli
PeJaksanaan
Keterangan;
I
BPI~HD
------------ ---1 -Penge.1daJ i
Pelllk.~ana
etda
gads koordinasi yang tidal< langsung disebabkan masing-masing telah memiliki usulan perencanaan, tinggal pengesahan pada Bapcda untuk mcndapatkan dana.
Gambar 7
truktur kelembagaan Pemda Provinsi.
Penjelasan tentang dinas daerah sebagai unsur pelaksana yang bersifat teknis operasional dan badan
daerah sebagai unslii pemmjang yang bersifat
koordinatif yang terkait dengan wilayab DAS adalah sebagai berikut: a) Dinas Tata Ruang dan Pemukiman (TRP) Dinas TRP berfungsi merumuskan kebijakan operasjonal dan melaksanakan 'ebagian kewenangan desentralisasi provin i serta yang dilimpahkan kepada Gubernur. Dinas TRP melaksanakan rencana tata ruang wilayah Provin i Jawa Barat. Lernbaga ter ebut melaksanakan tugas dan fungsi yang sangat strategis dalam menunjang kehldupan dan peningkalan tata kehidupan masyarakat di wiJayah DAS.
karena DAS merupakan kebutuhan
vital untuk kepentingan
irigasi, pertanian indus1ri. air bersih dan PLTA. Fungsj rencana Lata ruang wilayah Provinsi Jawa Barat adalah untuk rnemberikan arall.all kebijakan pokok ten tang pemanfaatan ruang dan struktur tata ruang di daerah Provins:i Jawa Barat sesuai dengan kondisi dan potensi wilayah yang dimj]jki.
j
54
Arab kebijakan yang ditempuh dalarn Rencana Tata Ruang
Wilayah
(RTRW) Provinsi Jawa Barat meliputi arahan pada pengelolaan kawasan lindung dan budidaya, kawasan perkotaan dan pedesaan, kawasan pemuki~ hutan, pertanian, pertambangan, perindustrian, parawisata, pengembangan sistem prasarana wilayah, dan araban kebijakan dalarn penggunaan swnberdaya alarn yang terpadu dengan sumberdaya manusia dan buatan. b) Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Dinas
PSDA
berfungsi
merumuskan
kebijakan
operasiona1
dan
melaksanakan sebagian kewenangan desentralisasi provinsi dan yang dilimpahkan kepada Gubernur. Dinas PSDA bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sumberdaya air, agar pemanfaatannya
ini dalam melaksanakan fungsinya melakukan perencanaan dan pengembangan sumberdaya
air,
melakukan data
base sumberdaya air dan hidrologi,
mengendalikan kuantitas sumberdaya air, pemantauan kualitas air, alokasi air yang difokuskan pada sungai, pemeliharaan prasarana sungai, penanganan irigasi lintas kabupatenlkota, pelestarian dan konservasi situ, proses perizinan air permukaaan, dan pemakaian tanah negara serta. evaluasi sumberdaya air. Tugas Dinas PSDA saat ini dihadapkan dengan meningkatnya kegiatan industri dan tingginya pertumbuhan penduduk dari tahun ke tallUn yang menuntut pemenuhan kebutuhan sumberdaya air yang memenuhi syarat-syarat kesehatan. Tantangan ini menuntut agar sumberdaya air dioptimalkan dengan memanfaatkan mata air, air tanah, dan air permukaan. c) Dinas Kehutanan Dinas Kehutanan berfungsi merumuskan kebijakan operasional dan melaksanakan sebagian kewenangan desentralisasi provinsi dan yang dilimpahkan kepada Gubernur. Dinas Kehutanan bertanggung jawab dalam pengelolaan penggunaan laban hutan serta araban rehabilitasi lahan hutan dan konservasi
tanah agar tercapai kondisi
hu~
tanah dan air serta lingkungan yang optimal
dalam membantu mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan
(sustainable development). Dinas Kehutanan melakukan penyusunan pola rehabilitasi laban dan konservasi tanah (RLKT), dengan harapan terjalin
55
koordinasi dalam pereneanaan dan pengelolaan DAS yang menjadi pegangan dan arahan dalam rehabilitasi tanah dan konservasi laban untuk tujuan peningkatan kemampuan sumberdaya alam, hutan, tanah dan air. d) Dinas Perindustrian Setiap industri yang ada di sepanjang alur sungai dalam pemanfaatan aIr permukaan, baik untuk kegunaan proses produksi maupun untuk. keperluan buangan limbah, merupakan tanggung jawab Dinas Perindustrian Provinsi Jawa Barat. Dinas Perindustrian bekerjasama dengan Dinas PSDA, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD). dan Pemerintah Kabupaten Bandung, membuat keputusan diizinkan atau tidaknya industri mengambil air permukaan dari badan sungai untuk keperluan kegiatannya dan untuk tempat pembuangan limbah industri. Kebijakan dalam pemberian izin ·oleh setiap industri baik untuk kebutuhan proses produksi maupun untuk keperluan buangan limbah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tabun 1982 tentang Tata Pengaturan Air,
ya!lg
menyatakan bahwa penggunaan air atau sumber air untuk. kegiatan usaha industri dan pertambangan, termasuk usaha pertambangan minyak dan gas bumi diatur oleh menteri
bersama yang bersanglrutan.
Selanjutnya, keperluan buangan
limbah eair dan padat pada Pasal 19 PP tersebut, pemerintah wajib menilai kegunaan untuk keperluan tersebut serta akibatnya terhadap keseimbangan air baik kualitas maupun kuantitasnya di dalam wilayah tata pengaturan air yang bersangkutan. Terpenuhinya persyaratan pembuangan air limbah beserta bahanbahan limbah lainnya sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku menjadi aeuan utama Keterlibatan sumberdaya air
Dinas
Perindustrian
Sungai Citarum
Jawa
terbatas pada
Barat
dalam
pengelolaan
tugas pokok dan fungsinya
sebagai pelaksana dan pembina industri dan penanganan limbah industri serta optimalisasi pemanfaatan air permukaan untuk proses produksi demi kelestarian sumberdaya air dan kebutuhan kehidupan yang berkelanjutan.
56
e) Badan Perencanaan Daerah (BAPEDA) Bapeda Provinsi Jawa Barat berfungsi sebagai koordinator perencanaan daerah agar pada program pembangunan terdapat keselarasan. keserasian, dan keterpaduan antar berbagai sektor pengelola di daerah Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 16 Tabun 2000 tentang Lembaga Teknis Daerah Provinsi Jawa Barat, Bapeda Jawa Barat mempunyai tugas merumuskan kebijakan teknis di bidang koordinasi perencanaan diantara satuan organisasi lain dalam lingkungan Pemerintahan Daerah yang berada di wilayah Jawa Barat untuk penataan ruang dan lingkungan hidup, perekonomian regional, sosial budaya, administrasi publik dan pembiayaan, serta monitoring dan evaluasi. Bapeda Provinsi lawa Barat dalam melaksanakan tugas dan fungSinya meJakukan kerjasama dengan berbagai instansi yang ada di Daerah Provinsi Jawa Barat untuk kelancaran proses perencanaan daerah secara rnenyeluruh yang dilakukan secara terkoordinasi dalam suatu kesatuan mang yang dinamis, selanjutnya dapat memberikan pengesahan anggaran untuk tabun berjalan bagi masing instansi yang ada f) Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD)
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No.16 Tahun 2000 tentang Lembaga Teknis Daerah Provinsi Jawa Barat, BPLHD mempunyai togas pokok melakukan perumusan kebijakan teknis dalam melaksanakan analisis mengenai dampak lingJrungan, pengendalian pencemaran lingkungan, dan pengendalian kerusakan lingkungan. BPLHD adaIah salah satu badan yang bertugas melakukan pengendalian lingkungan hidup di Provinsi Jawa Barat, sehingga dalam me1aksanakan fungsinya melakukan koordinasi dalam hal pengendalian dan pengawasan, sept:rti perizinan pemanfaatan. pengendalian pencemaran. dan kerusakan lingkungan. Tugas, pokok dan fungsi kelembagaan baik dilla5 maupun badan tersebut ditinjau dari aspek perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan ditemukan adanya kelemahan mekanisme kerjasama antar lembaga. Kelemahan dalam aspek manajemen tersebut terutama dilihat pada aspek perencanaan dan pengawasan. Dalam aspek perencanaan, lembaga yang menangani pelaksanaan koordinasi
57
terkesan dengan mengumpulkan kegiatan semua komponen yang ada di lingkungan Provinsi. Oleh karena itu, perencanaan yang diusulkan terlihat berdasarkan sektor per sektor, tidak. secara kesisteman dalarn lingkup provinsi. sehingga wilayah DAS hanya terlihat dari aspek yang lebih keeil seperti penanganan banjir dan limbah yang diusulkan masing-masing instansi yang menangani. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Pasal22 (k). Pemda mempunyai kewajiban untuk melestarikan lingkungan hidup dan pada Pasal 17 Ayat 2 (a); Pernda rnempunyai kewenangan untuk rnelaksanakan pemanfaatan SDA dan sumberdaya lainnya. Untuk itll, koordinasi perencanaan seyogianya ditangani menyeluruh dengan pendekatan ekologi. Kegiatan yang tidak dalam satu perencanaan akan memperlemah pada alokasi anggaran, sehingga aspek perencanaan terse but rnemberikan konsekuensi bersifat jangka pendek dan sesaat. Untuk
aspek
pengawasan,
BPLHD
berfungsi
sebagai
koordinator
pengendalian lingkungan hidup, disisi lain Bapeda berfungsi sebagai koordinator perencanaan. Fungsi pengendalian dimulai setelah fungsi pelaksanaan berjalan dengan baik sesuai rencana kerja yang telah diusulkan dalam satu tabun anggaran. Sesuai rnekanisme manajemen fungsi pengendalian tersebut berperan dalam pengawasan kegiatan yang dilaksanakan berbagai sektor pelaksana. Sedangkan. fungsi perencanaan ini dirnulai dari musyawarah rencana pembangunan dari tingkat desa sampai tingkat provinsi dengan usulan rencana kegiatan sesuai dengan kebutuhan rnasyarakat dan sektor pelaksana kegiatan di lapangan. Di dalam
musyawarah rencana pernbangunan ini,
usulan rencana kegiatan
disampaikan sesuai dengan tugas dan fungsi sektor masing-masing. Dari mekanisme ini, kurang memperlihatkan sinkronisasi dan kebcrlanjutan lingkungan hidup dalam perencanaan tersebut secara utuh disebabkan fungsi pelaksanaan berada di sektor lain secara tersebar. Kegiatan lingkungan hidup bukan hanya dilakukan dalam aspek pengendalian dan perencanaan untuk menciptakan keserasian, tetapi juga pelaksanaan yang merupakan satu kesatuan kegiatan berdasarkan tujuan dengan menggunakan pendekatan ekologi. Oleh karena itu, penanganan lingkungan hidup lebih menguntungkan dilakukan dengan gabungan cara yang bersifat operasional dengan yang bersifat koordinatif. Penanganan lingkungan hidup lebih efektif bilamana dilakukan oleh satu lembaga dengan sifat
58
operasional dan sifat koordinatif. Dalam penanganan oleh satu lembaga ini, lembaga tersebut dapat melaksanakan mekanisme manajerial antar instansi operasional dan instansi koordinatif dengan basil adanya suatu kesepakatan yang utuh. Hasil ini diteruskan ke Bapeda yang bertanggung jawab dalam koordinasi perencanaan dalam lingkup provinsiuntuk mendapatkan pengesahan dan anggaran. Dalarn
menangani
DAS
Citarum
Hulu,
terkesan
kurang
bersifat
komprehensif dan menyeluruh untuk meocari dan mellyelesaikan akar persoalan agar tercipta nuansa keterpaduan. Konsekuensi tersebut meogakibatkan dioas sebagai unsur pelaksana melakukan kegiatan yang bersifat mikro, yaitu melakukan hal yang bersifat sektoral kedinasan dan berjalan sendiri sesuai dengan rencana dan tugas pokok dan fungsinya. Hal ini terlihat dari pola pemanfaatan laban oleh masyarakat yang belum terkendali, semakin menunumya debit air ratarata pada musim kemarau dan terjadi banjimya di musim penghujan, tetjadinya erosi di DAS Citarum Hulu, dan masih ditemukan di lapangan adanya akumulasi' . baban-bahan pencemar yang dibuang ke sungai, sehingga kondisi air sungai tidak dapat digunakan untuk keperluan terteotu. Oleh karena itu, wilayah DAS sebagai ekosistem sebaiknya dipandang sebagai wilayah yang bersifat makro dan komprehensif dalam penanganan baik dalam aspek perencanaan, pengendalian dan pengawasan dengan meJibatkan semua lembaga terkait. Kondisi tersebut memerlukan penguatan kelembagaan yang lebih koordinatif sesuai proses manajemen dengan memandang wilayah DAS secara menyeluruh dan terpadu. Gambar 7 menunjukkan adanya kehilangan link and match dalam mekanisme manajemen DAS yaitu pereocanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Kehilangan link and match tersebut disebabkan oleh kekosongan koordinasi bagi efektivitas Waduk Saguling sebagai alat perumusan dan penerapan kebijakan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah serta masyara1
mengakibatkan
rendahnya
koordinasi
perencanaan dan
pelaksanaan antar sektor serta masyarakat. Konsekuensi tersebut menyebabkan kehilangan mekanisme manajemen dan mutu pelayanan.
Lemahnya kapasitas
59
ienibaga menyebabkan penerapan kebijakan yang dilaksanakan sulit menc..apai tujuan dan sasaran yang diharapkan. Oleh karena itu, yang ada dalam lembaga perlu diberdayakan melalui akselerasi
pemberday~
yaitu partisipasi dan
konsultasi publik terhadap Pemerintah Daerah dan masyarakat. Keterlibatan berbagai lembaga dalam perumusan kebijakan di tingkat provinsi seperti Dinas Pengelolaan Sumberd.aya Air, Dinas Tata Ruang dan Pemukiman, Dinas Kehutanan. Bapeda, dan BPLHD.
merupakan tugas dan
fungsi regulator yang terkesan masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Gamba! 7 ' juga menunjukkan bahwa adanya kehilangan ke1embagaan koordinatif sebagai akibat kelemahan hubungan kerja atau komunikasi. sehingga pemberdayaan yaitu partisipasi dan sosialisasi dalam arti organisasi tidak akan berjalan secara efektif dan efisien.
3. Aspek Peraturan Secara umum, peraturan adalah suatu keputusan yang mengikat dan hal'us dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Apabila tidak dil~ keputusan ak.an memperoleh sanksi sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Berbagai alat kebijakan (peraturan) dikeluarkan untuk pelestarian dan pemanfaatan aiI. Peraturan perundangan yang mempunyai hubungan dengan pengelolaan sumberdaya air seperti yang disebutkan terdahulu, yaitu Undang-Undang (UU) No. II Tabun 1974 tentang Pengairan digantikan oleh UU No.7 Tabun 2004 tentang Sumber Daya Air. UU No. 23 Tabun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tabun 1999 tentang Kehutanan,
UU
No. 32 Tabun 2004 tentang
PEMDA. Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tabun 1982 tentang Tata Pengaturan Air. Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 1991 tentang Sungai, PP No. 94 Tabun 1999 tentang Perusahaan Umum (perum) Jasa Tirta II. PP No. 77 Tabun 2001 tentang Irigasi, dan PP No. 82 Tabun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Fragmentasi pengelolaan dalam suatu kawasan atau wilayah seperti DAS yang didasari
oleh Peraturan
Perundangan dapat
menimbulkan konflik
pengelolaan kepentingan antar instansi yang terlibat di dalam DAS, seperti diizinkannya pemanfaatan tambang di kawasan hutan yang sesungguhnya
60
merupakan kawasan lindung atau daerah tangkapan air (antara Departemen Kehutanan dan Departemen ESDM). Selain itu, terjadi twnpaIlg tindih peraturan seperti garis sempadan sungai, yaitu diatur
PP No. 35 Tabun
1991 tentang
Sungai, yang kemudian diatur juga pada PP No. 47 Tabun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayab Nasional dan UU No. 24 TablUl 1997 tentang penataan ruang, serta UU No.5 Tabun 1990 ten tang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Dalam UU No. 7 Tabun 2004 tentang Sumberdaya Air, terlihat adanya sentralisasi pemikiran yang ditunjukkan dengan kewenangan dan tanggungjawab tidak jelas antara Pemerintah (dalam UU No. 32 Tabun 2004 tentang Pemda, Pemerintah Pusat
disebut Pemerintah) dan Pemedntah Daerab yang muncul
dalam beberapa pasal dan kontroversi pengaturan antara substansinya (Boyce 2003). Sebagai contoh, Pasal 74 Ayat 3
berbunyi bahwa Pemerintah dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya dalam pengelolaan sumberdaya air, menetapkan pelaksanaan kegiatan pendampingan dan pelatihan. Namun, di Pasal 13, 14, dan 15, tidak dinyatakan secara tegas wcwcnang dan tanggung jawab kegiatan pendampingan dan pelatihan tersebut (Boyce 2003). Pengelolaan yang samar-samar bagi Pemerintah Daerah
dan
masyarakat disebabkan adanya privatisasi. Hal ini akan menimbulkan persoalan karena dihadapkan pada kendala kelembagaan di daerah, Dari beberapa contoh yang dikemukakan tersebut, aspek peraturan dalam kelembagaan merupakan hal penting dan tidak dapat diabaikan agar penanganan pengelolaan DAS terlaksana dengan baik. Berbagai lapisan masyarakat membutuhkan air, akan tetapi sumber air terbatas, sehingga terjadi persaingan dan konflik kepentingan antar sektor pengelola air. Sebagai contoh, pertanian, irigasi, tenaga listrik dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sebagai konsekuensi, masing-masing sektor dalam pemanfaatan air kebutuhan
menyusun program dan kegiatan sesuai dengan tingkat
atau sasaran yang ingin dicapai oleh masing-masing sektor. Hal
tersebut dapat terjadi disebabkan rendahnya keterlibatan antar sektor dalam upaya pemanfaatan dan pelestarian wilayah DAS sebagai daerah tangkapan air. Gibson
e/!l1. (1994) menyebutkan bahwa peran yang berbeda mempunyai persepsi yang
61
berbeda terhadap perilaku dalam situasi tertentu. Peran yang berbeda·beda yang sulit untuk. diselaraskan menyebabkan teIjadinya potensi konflik kepentingan. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengalokasian sumberrlaya air yang tidak merata berdasarkan urutan kebijakan skala prioritas yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982, Bab III Pasal 3 dan Pasal 9 tentang Tata Guna Pengaturan Air. PP tersebut menyebutkan bahwa untuk menjamin terselenggaranya tata pengaturan air secara nasional yang dapat
memberikan
manfaat yang sebesar-besamya bagi kepentingan masyarakat di segala bidang kehidupan dan penghidupan, ditetapkan pola uotuk perlindungan, pengembangan, dan penggunaan air dan/atau sumber air, yang didasarkan atas wilayah sungai, wewenang dan tanggung jawab atas sumber air. Namun, dapat teIjadi ketidak konsistenan pelaksanaan di lapangan disebabkan adanya PP No. 77 Tahun2001 tentang Irigasi pada Pasal 14 dan Pasal 18 Ayat 6, yang menyatakan bahwa pada kondisi ketersediaan air yang sangat terbatas, BupatilWalikota atao Gubemur dapat menetapkan penyesuaian alokasi air bagi para pemegang hak guna air sesuai asas keadilan dan keseimbangan. Hal ini memungkinkan pemanfaatan air diberikan untuk. prioritas lain yang sesuai dengan skala prioritas pembangunan daerah, yang memungkinkan pendistribusian air menjadi tidak beraturan dan tidak tertata rapi sesuai prioritas peruntukkan.
Hal tersebut dapat berpengaruh
terhadap efektivitas Waduk Saguling. Penjabaran UU No. 24 Tahun 1997 tentang Penataan Ruang dapat juga memberikan penafsiran ke tingkat paling bawah berbeda. Penjabaran penafsiran yang berbeda dari berbagai sektor dan daerah clapat menimbulkan konflik seperti penerbitan Peraturan Daerah (PERDA) tentang Rencana Tata Roang Wilayah KabupatenlKota masing-masing daerah yaitu Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi, serta Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Bandung mengeluarkan Perda No. 12 Tabuo 2001 bahwa kawasan Bandung Utara (KBU) adalah kawasan tertentu yang berfungsi lindung. Provinsi Jawa Barat mengeluarkan Perda No.2 Tabun 2003
berisi kebijakan bahwa KBU adalah kawasan lindung baik di
kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan.
Sedangkan, Kota Cimahi
menerbitkan Perda No. 23 Tabun 2003 yang berisi bahwa KBU diperuntukkan sebagai laban pemukiman. Sebaliknya, Kota Bandung mengeluarkan Perda No.2
62
Tahun 2004 yang berisi bahwa K8U adalah kawasan lindung. Konflik aturan tersebut disebabkan oleh berkembangnya tekanan masyarakat yang tinggi dengan Iwnsckucnsi mcningkatnya pcnnintaan akan ruang williyah scrta sumberdaya alam, yang pada gilirannya bila tidak dikendaJikan secara bijaksana
Oleh karena itu.
kealpaan koordinasi
dapat menyebabkan
penjabaran ke tingkat bawah kurang efektif sehingga efektivitas kelembagaan tidak dapat tercapai. Peran pemerintah dalam pengendalian pencemaran air becdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 82 Tahun 2001 tentang PengeJolaan KuaJitas Air dan PengendaJian Pencemaran Air, bertujuan untuk melindungi
penurunan
kualitas air dari batas yang diizinkan atau diinginkan menurut pemanfaatarinya. Sehubungan dengan PP terse but yang berkaitan dengan hasil penelitian tentang kualitas air memperlihatkan bahwa kondisi aJiran air pada bagian tengah sampai ke hilir (waduk) tercemar oleh buangan limbah industri dan buangan limbah rumah tangga, sehingga
pemanfaatannya
tidak dapat
digunakan untuk
kebutuhan tertentu. Hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pencemaran terjadi akibat dari lemahnya koordinasi dan keterpaduan antar sektor disebabkan rendahnya keterlibatannya antar sektor sumberdaya perairan di wilayah DAS.
daJam usaha-usaha perlindungan Pemikiran tersebut disebabkan bahwa
adanya sektor yang terkonsentrasi pads pemanfaatan sumberdaya perairan, sehingga kontribusinya pada penyelamatan dan pelestarian sumberdaya perairan sangat rendah dan tidak optimal. Berdasarkan gambaran ketiga aspek tersebut, yaitu kebijakan, kelembagaan, dan peraturan, maka dapat dipahami penanganar. masalah DAS akan menyangkut banyak pihak terkait dalam suatu tatanan kelembagaan. Tanpa penanganan yang koordinatif melaJui kebijakan terpadu yang efektif akan semakin menghambat peningkatan kuaJitas lingkungan dan sosiaJ ekonomi masyarakat. Lemahnya integrasi dan sinergitas disebabkan lemahnya mekanisme yang mewakili semua
stakeholders. Oleh karena itu, kerangka keIja yang praktis dan logis melalui satu peraturan yang komprehensif meJibatkan semua stakeholders menunjukkan mekanisme kerja yang jeJas antar lembaga untuk menyelesaikan persoaJan
63
penyelamatan lingkungan dan meminimalkan konflik kepentingan di wilayah DAS. Kekosongan lembaga koordinatif. untuk menjadi mediator bagi terjadinya integrasi semua kepentingan yang dapat memuaskan stakeholders dan memenuhi kebutuhan pengelolaan DAS disebabkan belwn terpenuhinya antara lain: SDM aparatur yang profesional dan
8DM masyarakat yang bervisi lingkungan
berkelanjutan yaitu melaksanakan konservasi dan l'ehabilitasi, serta melakukan penjabaran
peraturan
ke ' tingkat
bawah,
bervisi
ekosistem
DAS
yang
berRelanjutan (kuantitas dan kualitas) sesuai peruntukkannya yang secara konsisten dilaksanakan di lapangan.
KUBlitBs Perairao DAS Citarum Hulu Kualitas perairan DAS Citarum Hulu dalam penelitian ini ditunjukkan oleh beberapa parameter kualitas air, baik sifat fisik maupun kimia air.
Hasil
penelitian tentang kualitas perairan di lokasi penelitian secara rinei dijelaskan
berikut ini. 1. Sirat Fisika Air Ada dua parameter kualitas air yang diteliti untuk menentukan kualitas perairan di DAS Citarum Hulu dan Waduk Saguling. yaitu suhu dan daya bantar listrik (DHL). B. Suhu Suhu merupakan derajat panas air yang dinyatakan dalam satuan panas (OC), yang biasanya sangat mudah berubah oleh pergantian musim, letak lintang suatu wilayah dan ketinggian dari permukaan laut (Effendi 2003). Hasil penelitian suhu pada Tabel 12 menunjukkan bahwa suhu di lokasi penelitian tidak memperlihatkan hal yang berbeda jauh antara satu stasiun dengan stasiun yang lain.
64
Tabel ] 2 HasiJ pengukuran suhu periode Maret - Juni 2003
No I 2 3 4 5 6 7
Lokasi Cikawao Majalaya Cijeruk Desa Kp MelaY'! Nanjung Waduk ~aguling Di tuar Turbin
Maret 23.3 23.9 26.2 26.0 26.7 29.7 26.9
Subu (Oe) April Mei 23.3 . 23.3 23.9 23.9 26.2 26.2 26.0 26.0 26.7 26.7 29.7 29.7 26.9 26.9
Juni
27.7 26.2 31.0 28.4 27.2 29.7 28.1
Penelitian yang dilaksanakan dengan pengukuran suhu air dari bagian hulu ke hilir pada pagi dan sore hari dengan kedalaman pada air permukaan untuk seluruh lokasi pada bulan Maret-Mei 2003 menunjukkan hasil yang tidak begitu berbed~ yaitu untuk lokasi I
·C), Kampung Cijeruk (26.2 ·C), Kampung Melayu (26.0 ·C), Nanjung (26.7 ·C), air waduk (29.7 ·C), dan air turbin (26.9 ·C). Kondisi tersebut inenunjukkan suhu air yang stabil selama periode Maret sampai Mei 2003 (TabeI12). Batas ambang suhu perairan pada 26 •C sebagai suhu normal. Pada periode Juni 2003 menunjukkan perubahan suhu yang lebih besar dibanding periode pengukuran lainnya (Maret - Mei 2003) untuk seluruh lokasi perairan dengan perubahan suhu terbesar
pada lokasi Cijeruk, dari 26.2 ·C menjadi 31.0 ·C.
Perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan musim yang secara langsung akan mempengaruhi
suhu perairan.
Kondisi
musim kernarau selama periode
pengukuran Juni 2003 mengalami kenaikan stau peningkatan suhu perairan bila dibanding dengan saat musim hujan pada periode Maret - Mei 2003. Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen yang akhimya tidak mampu memenuhi kadar oksigen terlarut bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi (Effendi 2003). Sedangkan, di wilayah Waduk Saguling mengalami kestabilan suhu perairan selama periode pengambilan sampeJ dengan kisaran suhu adalah 29.7 °c.
65
b. Daya Hantar Listrik (DUL) Daya hantar listrik (DHL) merupakan kemampuan air untuk menghantar listrik dan juga merupakan salah satu parameter yang dapat menggambarkan banyaknya garam anorganik yang terlarut dalam air (Loch 1981). HasH penelitian pada Tabel 13 tef<'..ebut menunjukkan bahwa terjadi naik turon daya hantar listrik. (DHL)
pada satu stasiun dengan stasiun lainnya.
Nilai DHL yang tinggi
rnenunjukkan tingginya kadar garam terlarut yang dapat terionisasi dalam suatu perairan. Kandungan garam terlarut dalam air yang tinggi kurang disukai untuk pertanian, karena dapat menghambat daya serap air dan unsur-unsur hara oleh akar tanaman. lrianto dan Machbub (tanpa tabun) berpendapat bahwa DHL juga rnerupakan parameter yang menunjukkan tingkat salinitas dari suatu badan air, yang berpengaruh terhadap kehidupan akuatik. pemanfaatan air baku, - dan rnempercepat tetjadinya korosivitas pada sistem pembangkit listrik. Pengukuran DHL pada bulan Maret sampai Juni 2003 dari bagian huIu ke hilir untuk seluruh lokasi penelitian menunjukkan basil yang cenderung mengalami kenaikan tetapi
masih di bawah baku mutu (Tahel 13) Peraturan
Pemerintab No. 20 Tabun 1990 yang telab di ubab menjadi Peraturan Pemerintah No. 82 Tabun 2001 tentang Penge101aan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, yaitu 2 250 J.U11hoslcm untuk kualitas air golongan D. Boyd (1988) herpendapat bahwa DHL perairan alami 20 - 1 500 J.U11hoslcm. Tahel 13 Hasil pengukuran daya hantar listrik (DHL) periode Maret - Juni 2003 No
Lokasi
I
Cikawao Majalaya Cijeruk Desa Kp Melayu Nanjung Waduk Saguling Di luar Turbin
2 3 4
5 6 7
Maret 110
100 280 245 280 300 310
DHL (umbos/em) April Mei 155 170
185 600 330
495 290 315
215 600 440 600 280 360
Juni
230 290 1200 900 1 100 340 495
Tahel 13 tersebut menunjukkan bahwa nilai DHL untuk lokasi air Sungai Citarum di Cikawao tidak menunjukkan perubahan yang hesar selama periode pengambilan bulan Maret sampai Juni. bahkan pada periode pengambilan AprilMei relatif sarna. Hal ini juga terjadi untuk lokasi air Sungai Citarum di Majalaya
66
yang tidak menunjukkan perubahan DHL yang begitu besar. Perubahan nilai DHL yang relatif besar terjadi pada daerah lokasi air sungai C:tarum di Cijeruk yaitu
280 J.1mhos/cm pada bulan Maret menjadi 1200 J.1mhoslcm pada bulan Juni. Besamya perubahan nilai DHL ini diakibatkan oleh besarnya buangan air limbah baik dari industri kecil dan menengah maupun rumah tangga ke badan air penerima. Peningkatan nilai DHL selain dipengaruhi oIeh tingkat pencemaran di sekitar aliran sungai, kadar garam terlarut akan semakin tinggi meningkatnya suhu perairan.
dengan
Kadar garam terlarut akan meningkatkan DHL
seperti natrium (Na+), magnesium (Mg2),
klorida (Cr), dan sulfat (SOl-).
AdlJllya garam-garam tersebut juga disebabkan sistem filtrasi tanah di sekitar aliran, sehingga garam mudah terlarut ke perairan sungai. Data fisika terSebut menunjukkan adanya perubahan lingkungan perairan atau adanya pencemaran yang perlu ditanggulangi dan dicennati berdasarkan pendekatan pada lingkungan hidup_
2. Sifat Kimia Air Ada lima parameter sifat kimia kualitas air yang diteliti untuk menentukan kualitas perairan di DAS Citarurn dan Waduk Saguling, yaitu nilai pH, total
dissolved solid (TOS), dissolved oxygen (DO), biologyca/ oxygen demand (BOD), dan pengukuran logam.
a. Nilai pH Nilai pH dari suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asarn dan basa yang merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam air. Nilai pH perairan nonnal adalah netraI dalarn kisaran nilai 7.0 (Saeni 1989). Perubahan nilai pH dalam suatu perairan clapat diakibatkan oleh keberadaan karbonat, bikarbonat dan hidroksida yang akan menaikkan tingkat kebasaan air yaitu pH tinggi (alkalis atau basa). pH yang tinggi umumnya mengandung padatan terlarut yang tinggi seperti limbah cair agroindustri. Semakin tinggi nilai pH, maka semakin tinggi nilai aJkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida (C02) bebas.
67
Larutan yang bersifat asam atau pH rendah bersifat korosif. Tingkat keasaman air juga dapat naik oleh asam-asam mineral kuat, asam-asam lemah " seperti asetat dan garam-garam terhidrolisis seperti ferro sulfat dan aluminiwn sulfat (Pudjianto 1984). Oleh karena itu, apabiJa nilai pH air yang kurang dari 5.0 atau lebih besar dari 9.0
berarti perairan itu sudah tercemar berat, sehingga
kehidupan biota air akan terganggu dan tidak layak digunakan untuk keperluan rumab tangga. Oleh karena itu, pengukuran nilai pH sangat penting dalam pengujian sifat kimia air, karena akan dipergunakan untuk menentukan tingkat alkalinitas dan kandungan CO2 dalam suatu perairan. Tabel 14 rnernperlihatkan bahwa nilai pH dari berbagai lokasi pengukuran tergolcng pada ambang batas penggunaan air golongan D dan masih di bawab baku mutu (pH 7.0 netral) Peraturan Pcmerintah No. 20 Tabun 1990 yang telah diubah rnenjadi Peraturan Pemerintah No. 82 Tallun 2001 teiltang PengeloJaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencernaran Air. Tabel 14 Hasil pengukuran pH pada periode Maret-Juni 2003 No 1 2 3 4 5 6 7
Lokasi Cikawao Majalaya Cijeruk Desa Kp Melayu Nanjung Waduk Saguling Di luar Turbin
pH Maret 6.88 6.85 6.45 7.38 6.39 7.24 6.50
A~ril
6.40 6.14 6.51 6.38 6.30 7.04 6.57
Mei 6.96 6.97 6.99 7.02 6.96 7.03 7.04
Juni 7.17 7.01 7.22 7.10 7.20 7.00 7.02
Tabel 14 tersebut menunjukkan adanya perbedaan nilai pH air pada periode Maret 2003, dengan perubahan terbesar pada Desa Kampung Melayu dan Waduk Saguling. Perubahan ini kemungkinan diakibatkan oleh adanya bahan·bahan pencemar yang masuk ke badan sungai
seperti kandungan asam organik dan
baban anorganik. sehingga menimbulkan adanya perbedaan pH Sungai Citarurn. Pada periode pengukuran selanjutnya ·(April - Juni 2003), perubahan pH paling kecil terjadi pada Waduk Saguling disebabkan karena air waduk bersifat lebih homogen selain kondisi arus yang relatif stabil, sehingga tidak menimbulkan perubahan yang signifikan.