perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian dan pembahasan penelitian ini terdiri dari dua subbab, yaitu: (A) hasil penelitian dan (B) pembahasan. Berikut dideskripsikan hasil penelitian dan pembahasan. A. Hasil Penelitian 1. Latar Belakang Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel “Kancing yang Terlepas” Karya Handry TM a. Adat Sebuah masyarakat memiliki kebiasaan-kebiasaan yang telah diwariskan secara turun temurun sehingga menjadi adat yang selalu dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Adat yang ada di dalam komunitas masyarakat menjadi sebuah kekayaan tersendiri bagi masyarakatnya yang bisa menjadi ciri identitas masyarakat tersebut. Masyarakat Pecinan Semarang, yaitu etnis Tionghoa memiliki
beberapa
adat
yang
khas
yang
membedakannya
dengan
etnis/masyarakat yang lain. Adat yang ditunjukkan dalam novel adalah perayaan Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, dan tradisi berkabung saat anggota keluarga meninggal. Budaya masyarakat Pecinan Semarang yang paling menonjol dan masih kental sampai sekarang adalah budaya perayaan Tahun Baru Imlek, yaitu tahun baru berdasarkan penanggalan orang Tionghoa. Pada hari-hari menjelang Imlek, suasana di pemukiman Pecinan Semarang nampak meriah. Orang orang bersuka cita, rumah-rumah dipasangi lampion berwarna merah, bahkan ada yang mengecat pilar rumah dengan warna merah. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut ini. Sebenarnya orang-orang kaya di seputar Gang Pinggir ingin membuat perayaan sepanjang malam. Namun mereka sungkan akan penderitaan orang-orang sekitar. Akhirnya mereka hanya memasang lampion di beberapa rumah besar. (KYT:161). commit to user
71
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Yang ia lihat saat ini, Gang Pinggir terkesan memerah. Orang-orang bersuka cita, rumah-rumah makan saling mematut diri dengan hiasan berwarna cerah. (KYT: 218). Hampir mendekati perayaan Imlek. Hujan turun berkepanjangan. Suasana malam di Gang Pinggir tidak penah berubah dari sebelumnya. Rumah-rumah tua berbenah, dibersihkan dari debu-debunya, sebagian pilarnya dicat merah. (KYT:307). Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, masyarakat etnis Tionghoa sangat bersuka-cita dengan datangnya Tahun Baru Imlek. Seperti pernyataan dalam novel bahwa biasanya orang-orang kaya di seputar Gang Pinggir menggelar perayaan sepanjang malam, walaupun di saat itu disebutkan tidak digelar perayaan karena situasi Gang Pinggir yang penuh teror. Rumah-rumah penduduk dan juga rumah makan dipenuhi hiasan berwarna merah, karena dalam kepercayaan
mereka,
warna
merah
adalah
warna
yang
melambangkan
kemakmuran dan kebahagiaan. Yang paling khas dari hiasan-hiasan tersebut adalah lampion berwarna merah. Selain itu, rumah-rumah juga berbenah dengan dibersihkan dari debu-debu. Selain kemeriahan yang terlihat di pemukiman Pecinan Semarang, saat menjelang Tahun Baru Imlek, masyarakat membuat berbagai macam makanan sebagai tanda suka cita penyambutan Tahun Baru Imlek. Saat menjelang Tahun Baru Imlek, tempat peribadatan maupun orang kaya dermawan pun mulai sibuk memberi derma. Derma tersebut biasanya berbentuk pembagian makanan untuk kaum miskin. Berikut kutipan yang menunjukkan hal tersebut. Beberapa klenteng besar mulai sibuk. Tempat-tempat peribadatan di gang kecil cukup sibuk juga. Orang-orang terlihat sibuk mengatur pembagian makanan untuk kaum papa. (KYT: 307) Di sepanjang jalan besar, terutama di rumah-rumah makan terkenal, orang-orang yang tahun ini memiliki keberuntungan besar akan terlihat dari caranya mempersiapkan Imlek Raya. Sedangkan orang-orang miskin akan merapat ke Rumah Makan Mei Wei selain beberapa rumah makan ternama lainnya. Rumah Makan A Kiang dan Rumah Makan Lombok masuk hitungan untuk dikunjungi. Ketiga rumah makan besar itu terbiasa memberi derma besar. (KYT: 307-308) commit to user
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tan Kong Gie jauh-jauh hari telah menyebar pengumuman. Ia akan membagikan banyak makanan kepada orang-orang miskin. Acara pembagian biasanya berlangsung beberapa hari menjelang Imlek. Ia juga berjanji akan menggelar pertunjukan wayang potehi sepanjang tiga malam berturut-turut tepat di halaman Rumah Makan Mei Wei. Lebih mencengangkan lagi, Tan bermaksud untuk membangun tempat peribadatan menengah, persis di tengah distrik ini. (KYT:308) Berdasarkan
kutipan-kutipan
tersebut,
digambarkan
bahwa
rumah
peribadatan yang berupa klenteng terlihat sibuk karena mempersiapkan tradisi mereka, yaitu membagikan makanan bagi kaum papa. Selain itu rumah-rumah makan terkenal yang memiliki keuntungan besar ditahun sebelumnya juga memberi derma besar kepada orang-orang miskin, sehingga orang-orang miskin berdatangan untuk menerima derma tersebut. Dalam novel disebutkan Rumah Makan Mei Wei, Rumah Makan A Kiang, dan Rumah Makan Lombok. Bahkan Tan Kong Gie, pemilik Rumah Makan Mei Wei merayakan hari besar itu dengan menggelar wayang potehi serta membangun tempat peribadatan di tengah distrik. Bagian dari perayaan Tahun Baru Imlek adalah Cap Go Meh. Cap Go Meh melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Tahun Baru Imlek
bagi
komunitas
dari dialek Hokkien dan
Tionghoa secara
di
seluruh
harafiah
dunia.
Istilah
berarti hari kelima
ini belas
berasal dari
bulan pertama (Cap = Sepuluh, Go = Lima, Meh = Malam). Ini berarti, masa perayaan Tahun Baru Imlek berlangsung selama lima belas hari. Masyarakat Pecinan Semarang juga merayakan Cap Go Meh sebagai bagian dari tradisi perayaan Tahun Baru Imlek. Hal tersebut dapat ditunjukkan pada kutipan sebagai berikut. Hawa panas seperti ini paling hanya beberapa lama saja berlangsung, karena di awal tahun 1960-an, Cap Go Meh dipastikan jatuh pada musim penghujan. (KYT: 76) Ing Wen terus mengayuh sepeda ke lorong lain. lorong perkotaan tempat rumah-rumah penuh dengan gelantungan lampion. Tepat di perempatan, Ing Wen berusaha menikmati semaraknya lampu-lampu menjelang Tahun Baru Imlek. Akan terjadi perayaan besar pada penanggalan bulan purnama di hari pertama. pada penanggalan ke-15, commitPuncaknya, to user
perpustakaan.uns.ac.id
74 digilib.uns.ac.id
berlangsung Cap Go Meh, perayaan Tahun Baru paling besar bagi kalangan orang-orang Tionghoa. (KYT:218) Berpijak dari kutipan-kutipan di atas, diketahui bahwa Cap Go Meh akan segera tiba dan jatuh di musim penghujan. Ada perayaan besar yang digelar pada penanggalan bulan purnama di hari pertama yang puncaknya pada penanggalan ke-15. Hari tersebutlah akan digelar perayaan Tahun Baru paling besar bagi kalangan Tionghoa, yang disebut dengan Cap Go Meh. Selain budaya perayaan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh, sebagaimana etnis Tionghoa di tempat lain, masyarakat Pecinan Semarang juga memiliki tradisi saat anggota keluarganya meninggal. Keluarga mendiang akan menggelar pelayatan sesuai dengan kekayaan yang dimiliki. Semakin kaya keluarga tersebut, semakin besar pula pelayatan yang digelar. Keluarga mendiang biasanya memakai pakaian belacu warna putih mangkak, sedangkan mendiang sendiri mengenakan busana kebesarannya. Masa berkabung dilakukan selama beberapa hari sebelum jenazah diperabukan/dikremasi. Berikut kutipannya. Rumah seluas setengah perkampungan Sebandaran ini berbenah menyambut para takziah. Istri Oen Kiat telah mengenakan pakaian belacu berwarna putih mangkak. Demikian pula ketiga putra-putri mereka yang mulai beranjak remaja. (KYT:70) Tetes air mata itu jatuh ke bagian tubuh Oen Kiat yang terbungkus rapi baju kebesaran. (KYT:74) Di kawasan selatan, seorang tokoh sedang berpulang. Keluarga menggelar pelayatan besar-besaran. Isak tangis dan doa-doa dipanjatkan. Keluarga itu semakin menunjukkan kekayaannnya dengan cara merencanakan perabuan yang tidak biasa. (KYT:98) Rencana penguburan anak tertua Tan Kong Gie tidak terlalu menjadi pusat perhatian warga. Meskipun biasanya berkabung bagi handai taulan dan para tetangga adalah perayaan utama. Biasanya mereka akan berbondongbondong setor kesedihan, sambil membawa angpao untuk dimasukkan ke jambangan duka. (KYT:425) Berpijak dari kutipan-kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa keluarga Oen Kiat menggelar pelayatan besar-besaran. Hal itu menunjukkan bahwa kekayaan mereka teramat besar. Istri to danuser anak-anak Oen Kiat menggunakan commit
perpustakaan.uns.ac.id
75 digilib.uns.ac.id
pakaian belacu berwarna putih mangkak sebagai tanda bahwa mereka anggota keluarga dari almarhum Oen kiat yang sedang berduka.
Berbeda dengan
almarhum Oen Kiat yang memakai baju kebesaran. Kebiasaan berkabung bagi handai taulan dan tetangga merupakan perayaan utama yang ditandai datangnya mereka untuk melayat sambil membawa angpao untuk dimasukkan dalam jambangan duka yang sudah disiapkan. Dalam tradisi ritual orang meninggal dalam etnis Tionghoa masyarakat Pecinan semarang, tangis bersahut-sahutan hampir menjadi tradisi. Ada pengatur khusus yang mempersiapkan tangisan bersama dari para kerabat untuk menunjukkan rasa duka yang dalam terhadap kepergian mendiang.
Berikut
kutipannya. Tangis bersahut-sahutan hampir menjadi tradisi ritual sang-seng orangorang Tionghoa. Bahkan ada pengatur khusus yang mempersiapkan tangisan bersama dari para kerabat, sekadar menunjukkan rasa duka yang dalam terhadap kepergian Oen Kiat. (KYT:74) b. Pekerjaan Masyarakat dalam novel Kancing yang Terlepas secara umum memiliki pekerjaan yang beragam. Tingkat ekonomi di Gang Pinggir, Pecinan Semarang yang ditunjukkan Handry TM memiliki perbedaan yang signifikan. Terdapat orang-orang kaya yang umumnya berprofesi sebagai pedagang, pengusaha rumah makan, ataupun tuan tanah. Selain itu, dalam novel ini terdapat juga masyarakat ekonomi rendah yang berprofesi sebagai pelayan, pedagang kecil, pemusik, pekerjaan kurang terpuji seperti pencopet, penjambret, dan pemulung, bahkan pekerjaan yang berkaitan dengan kondisi politik saat itu seperti agen politik dan telik sandi. Sementara itu, tokoh utama dari novel Kancing yang Terlepas, yaitu Siaw Giok Hong/Boenga Lily memiliki pekerjaan sebagai biduan dan penari. Ia dibimbing oleh Tek Siang, tauke orkes yang mendirikan kelompok orkes “Perkoempoelan Tjahaya Timoer”. Terdapat pula tokoh Timoer Laoet yang berprofesi sebagai pemain rebab Cina. Berikut kutipan yang menunjukkan pekerjaan Siaw Giok Hong/Boenga Lily dan tokoh lain yang berkecimpung dalam dunia musik. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
76 digilib.uns.ac.id
Di ruangan lain, awak orkes yang berjumlah lima belas orang itu biasanya membentuk petak-petak sederhana untuk persiapannya sendiri. Bagian musik terdiri atas Biola Cina berjumlah empat orang, kecapi, tetabuhan, dan kempyengan---perkusi yang terdiri atas lempengan logam berlapislapis---menempati pojok selatan. Sementara penyanyi, vokalis latar, dan pembantu umum lainnya, berpetak-petak di bagian tengah. (KYT:22) Lantas, dimana Giok Hong berada saat para awak orkes itu bersiap latihan? Ia pasti mempersiapkan diri, berdandan mematut wajah di kamarnya sendiri. Sebuah kamar kecil yang disiapkan Tek Siang khusus untuk sang primadona. (KYT:23) Disana, seorang penggesek rebab Cina telah duduk dengan tenang. Pemusik klasik ini sudah tidak muda lagi. Setelah sedikit basa-basi, Tan memperkenalkan penggesek rebab Cina itu dengan nama Timoer Laoet. (KYT:188) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Tek Siang memiliki orkes tradisional Tionghoa yang dinamakan “Perkoempoelan Orkes Tjahaya Timoer”. Biduan perkumpulan tersebut tidak lain adalah Siaw Giok Hong, dengan anggota-anggota lainnya yang berjumlah lima belas, seperti Biola Cina berjumlah empat orang, kecapi, tetabuhan, dan kempyengan---perkusi yang terdiri atas lempengan logam berlapis-lapis. Juga penyanyi,
vokalis latar, dan
pembantu umum lainnya. Mereka memiliki petak-petak tersendiri di rumah Tek Siang untuk mempersiapkan pementasan, sedangkan sang primadona, yaitu Giok Hong ditempatkan di kamar khusus. Di kamar itulah Giok Hong berdandan mematut wajah mempersiapkan pementasan. Dalam kutipan juga diketahui bahwa terdapat tokoh Timoer Laut yang berprofesi sebagai penggesek rebab cina yang mengiringi nyanyian Boenga Lily. Ekonomi kelas tinggi yang mendominasi novel Kancing yang Terlepas terlihat pada pekerjaan tokoh Tek Siang, The Oen Kiat, dan Tan Kong Gie. Mereka adalah pedagang besar atau dapat disebut juga tauke. Berikut kutipannya. Semua orang tahu, Tek Siang bukanlah seniman murni. Selain mahir bermusik, ilmu berdagangnya teruji cerdik. Mulai dari berdagang rempah sampai tembakau. Paling menonjol adalah usaha jual-beli tanahnya yang menggurita. Tidak heran, selain berjulukan tauke orkes, Tek Siang punya commit julukan lain sebagi tuan tanah keciltodiuser distrik ini. (KYT:7-8)
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Oen Kiat terhitung anak saudagar penyalur gandum terbesar di kota ini. Jangan dilihat bentuk rumahnya yang kusam dari tampak luarnya. Itu Cuma gerbang kecil dari luas tanah orangtuanya yang setengah perkampungan. (KYT:33) Meminta lebih seperti apakah Oen Kiat maksudkan? Kalau bos penyalur gandum terbesar itu menghendaki, apapun harus terjadi. (KYT: 43) Tan bukanlah pedagang baru. Bersama Tan Boen Poo, sang kakak, telah puluhan tahun ia membuka usaha rumah makan di kawasan ini. Ketika sang kakak meninggal, kendali usaha akhirnya ditanganinya sendiri. (KYT:165) Berpijak dari kutipan-kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Tek Siang yang dikenal sebagai seniman memiliki pekerjaan lain, yaitu: berdagang rempah, tembakau, dan usaha jual-beli tanah. Oleh karena itu, selain berjulukan tauke orkes, Tek Siang punya julukan lain sebagi tuan tanah kecil di distrik ini. Begitu pula dengan tokoh kaya lain, yaitu Oen Kiat yang merupakan bos penyalur gandum terbesar di kota Semarang. Pekerjaan itu diturunkan dari orang tua Oen Kiat yang merupakan saudagar penyalur gandum terbesar di Semarang. Luas tanah orangtuanya bahkan sebesar setengah perkampungan. Tokoh kaya lain, yaitu Tan Kong Gie yang puluhan tahun membuka usaha Rumah Makan Mei Wei di kawasan Gang Pinggir, Pecinan Semarang. Walaupun novel ini didominasi oleh tokoh-tokoh yang berkuasa, terdapat pula tokoh-tokoh pembantu yang memiliki pekerjaan biasa dan tergolong miskin.
Tokoh-tokoh
tersebut
terkadang
berperan
sebagai pelayan/orang
kepercayaan si tokoh kaya. Tokoh-tokoh tersebut kadang dimanfaatkan oleh si tokoh kaya untuk melakukan pekerjaan rahasia. Dalam novel ini, terdapat tokoh Ing Wen, Pardjan, Soeroto, dan Djafar. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan sebagai berikut. “Oh, iya, Koh. Mari, Nik,” sahut Ing Wen, perempuan lajang yang sudah sejak muda ikut membantu orkes di rumah ini. (KYT:28) Di hadapan Tek Siang, Pardjan seorang tukang kebun yang sangat dipercaya. Segala hal tentang rumah ini diserahkan padanya. Yang pintar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
78 digilib.uns.ac.id
pasti Oen Kiat. Secara jeli, ia bisa memegang Pardjan dan menjadikannya agen rahasia bagi kepentingan dirinya. (KYT:65) Soeroto terhitung karyawannya yang paling setia. Ia selalu mengangguk terhadap perintah Tan Kong Gie. Bahkan, kemana pun Tan pergi, Soeroto diminta mengawal. ( KYT:210) Dari pedagang perempuan berkulit gelap itu terjantongi nama Djafar, sipir paling menderita. Nama di administrasi Djafar Oemar, cuma berpangkat kopral. Di Kampung Krobokan biasa dipanggil Koetjing. (KYT:361-362) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Ing Wen, Pardjan, Soeroto, dan Djafar merupakan pelayan dari tokoh-tokoh kaya dalam novel Kancing yang Terlepas. Ing Wen adalah pelayan Tek Siang yang sudah lama mengabdi di rumah Tek Siang. Ia sangat setia pada Tek Siang, berbeda dengan Pardjan, tukang kebun Tek Siang yang menjadi mata-mata dari tokoh Oen Kiat. Walaupun bekerja di rumah Tek Siang, ia dipercaya menjadi agen rahasia yang membantu kepentingan Oen Kiat. Selain itu terdapat Soeroto, pelayan Tan Kong Gie yang sangat setia pada majikannya karena selalu menuruti perintah Tan Kong Gie. Tokoh Djafar, sipir penjara yang miskin memiliki peran orang menderita yang bekerja sama dengan Tek Siang untuk menyelundupkan surat pada Boenga Lily di penjara. Ia melakukan hal itu demi imbalan yang diberikan Tek Siang lewat Ing Wen. Profesi lainnya di Gang Pinggir, Pecinan Semarang yaitu pelayan biasa dan pedagang kecil. Novel Kancing yang Terlepas ini juga menyorot pekerjaan di luar Gang Pinggir, yaitu Kampung Pindrikan yang umumnya berprofesi sebagai pencopet, penjambret, pemulung, bahkan pelacur. Sebagaimana layaknya rumah makan besar dan ramai, pelayanannya tidak seperti warung biasa. Para penyaji itu mengenakan pakaian seragam. Mereka memperlakukan sang tamu ibarat raja. Mulai dari pelataran utama, hingga memilihkan meja di ruang tamu. (KYT:185) Para pedagang kecil di sekitar Rumah Makan Mei Wei gulung tikar, karena tidak lagi ada keramaian di malam hari. (KYT:317) “Kami anak-anak pinggir rel kereta api. Orangtua kami ada yang pencopet, penjambret, pengais barang-barang bekas,” sahut Paidi. Kakak kami ada yang melacur,” sahut Nardjo. (KYT:343) commit to user
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Novel ini tidak lepas dari profesi aparat keamanan yang mengamankan wilayah Gang Pinggir. Orang yang paling bertanggung jawab di wilayah rayon militer Gang Pinggir Pecinan Semarang adalah Prasetijo, kekasih Boenga lily saat Boenga Lily ditahan di penjara setempat. Prasetijo berperan penting terhadap nasib Tek Siang dan warga lain Gang Pinggir yang ditangkap dan ditahan. Selain itu, karena terperdaya oleh pesona Boenga Lily, dia juga membantu Boenga Lily untuk keluar dari penjara ke tahanan khusus di tempat yang dirahasiakan, yaitu rumah peninggalan Jepang di kawasan Tjandi Baroe. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam kutipan berikut. Belum sampai teriakan Lily, Soeroto, dan Tan Kong Gie melengking secara bersamaan, tiba-tiba sebuah truk patroli menderum ke arah mereka. Truk kecil itu datang dengan sejumlah pasukan berseragam. Mereka adalah aparat keamanan, lengkap dengan senjata di tangan.(KYT:321) Di sebuah ruangan, Tek Siang dipertemukan dengan komandannya langsung. “Ada keperluan apa dengan orang-orang yang membuat kegaduhan itu?” kata sang komandan, sambil tangannya menunjuk keempat orang yang masih diinterogasi di ruangan khusus. (KYT:326) “Bapak Komandan, namaku Lily...” “Panggil aku Prasetijo. Aku orang yang paling bertanggung jawab di wilayah rayon militer ini. Anak-anak harus diamankan dari pengaruh buruk komunis.” (KYT:349) Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa saat terjadi huru-hara di Gang Pinggir, masyarakat Gang Pinggir, yaitu: Lily, Soeroto, Timoer Laut, dan Tan Kong Gie ditangkap oleh aparat keamanan setempat. Mereka tertangkap saat para aparat tersebut sedang mengadakan patroli terkait situasi Pecinan yang sedang dipenuhi kerusuhan. Selain itu diketahui pula bahwa komandan yang bertanggung jawab di wilayah rayon militer tempat tersebut bernama Prasetijo. Ia menahan warga Gang Pinggir dan juga anak-anak Kampung Pindrikan yang diduga telah dipengaruhi oleh agen komunis. Novel yang berlatarbelakang pergantian Orde Lama ke Orde Baru pada tahun
1960-an
ini
menampilkan
kekacauan
politik
saat
itu.
Kondisi
pemerintahan yang tidak jelas antara mendukung atau menggulingkan kekuasaan commit to user Boeng Karno memunculkan beberapa gerakan pro/anti pemerintah. Hal ini
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengakibatkan
banyak
pihak
yang diam-diam mengikuti sebuah gerakan
melawan pemerintah, seperti halnya Boenga Lily. Terdapat pula profesi telik sandi yang bertugas memata-matai lawan politik. Berikut kutipannya. Aku menjadi agen politik sebuah organisasi pengecut di negeri ini,” katanya dalam hati. (KYT:402) “Tugas utama kamu menjadi orang yang dibicarakan oleh khalayak. Kawasan yang mulai memujamu dalam waktu dekat harus kamu tinggalkan. Kawasan itu kelak akan hancur, warga sekitar diam-diam akan mencurigai siapa dirimu,” kata penasihat gerakan yang tidak pernah dikenal bagaimana bentuk utuh wajahnya. (KYT:402) “Karena saya bukan pengemudi gerobak yang sebenarnya. Saya ini telik sandi. Kenapa, Nik? Itu juga pekerjaan biasa, sama dengan pekerjaanmu sebagai pasukan bela negara.” “Aku sungguh terkagum dengan pekerjaan Bapak yang mulia ini. Telik sandi untuk siapa?” “Untuk asing. Kami memata-matai gerakan politik kiri di negeri ini. (KYT:442) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas,
diketahui bahwa Boenga Lily
mengakui pada dirinya sendiri bahwa ia menjadi agen politik sebuah organisasi pengecut di Indonesia saat itu. Secara tersirat, disebutkan bahwa Boenga Lily menjadi agen dari kelompok Komunis (PKI). Ia bertugas menjadi orang yang dibucarakan oleh khalayak, sehingga saat kawasan Pecinan dibakar, ia akan dicurigai sebagai pelaku dari pembakaran kawasan tersebut. Disebutkan pula bahwa Boenga Lily terkecoh oleh seorang pengemudi gerobak yang mengaku menjadi telik sandi bagi organisasi asing.
c. Pendidikan Pendidikan yang dibahas di novel Kancing yang Terlepas ini bukan berupa pendidikan
formal,
namun
non
formal.
Contohnya
pendidikan
kesenian,
khususnya seni orkes yang dijalani oleh Siaw Giok Hong dari usia dua belas tahun hingga usia 20 tahun. Sejak usia dini, Siaw Giok Hong dididik menjadi biduan dan penari oleh Tek Siang yang merupakan tauke orkes sehingga menjadikannya primadona yang terkenal di kawasan Gang Pinggir. Tak hanya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
81 digilib.uns.ac.id
suaranya yang indah, gerak tubuhnya pun membuat para penonton orkes terkesima. Hal tersebut dapat ditunjukkan dari kutipan berikut. “Sejak umur dua belas tahun aku disini, Koh Siang asuh, kemudian kau manja. Aku kaujadikan penyanyi orkes dan primadona. Kata orang-orang di luaran, aku berbakat, tapi bakat itu pasti ndak datang begitu saja. Ada garis keturunan yang mendahuluinya.” (KYT:16) “Dia anak asuh kami. Sejak kecil kami didik menjadi biduan dan penari di orkes Cina Gang Pinggir.” (KYT:328) Orang-orang yang berkerumun itu, selain Ing Wen, adalah para lelaki yang dulunya menjadi saksi kejayaan Siaw Giok Hong. Mulai dari kecil hingga remaja. Mereka pula yang dengan sabar membimbing primadona kecil itu hingga menjadi terkenal. (KYT:355) Dari kutipan-kutipan di atas, diketahui bahwa Giok Hong sudah diasuh oleh Tek Siang sejak umur dua belas tahun. Ia dididik menjadi penyanyi orkes atau primadona di Perkoempolan Orkes Tjahaya Timoer. Ia juga dibimbing oleh Ing Wen, pelayan Tek Siang dan juga awak orkes lainnya. Selain pendidikan untuk menjadi penyanyi dan penari, Tek Siang juga menerapkan aturan ketat agar Giok Hong menjaga suara indahnya. Hal itu dapat dilakukan dengan mengonsumsi ramuan rempah-rempah dan memperhatikan makanan yang akan dikonsumsi oleh sang primadona. Tek Siang juga mengajarkan Giok Hong untuk patuh. Berikut ini kutipan yang menunjukkan hal tersebut. Hal yang sama tidak akan didapat oleh Giok Hong. Dengan penuh cinta yang luar biasa, Tek Siang memperlakukan aturan ketat bagi primadonanya. Tidak boleh sembarangan mengudap makanan yang mengenyangkan. Untuk Giok Hong, Tek Siang memerintahkan pembantunya menyediakan air putih dan beberapa jenis buah-buahan terpilih. Tidak ketinggalan, ramuan rempah-rempah yang terasa pahit di lidah namun akan berdampak indah di pita suara. “Kamu harus mempertajam suaramu, Giok Hong. Kamu sudah mulai dewasa dan menjadi primadona kelas satu di kota ini.” (KYT:23) Tapi ada pantangan keras bagi Lily untuk tidur terlalu malam. Selepas menyanyi, ia harus dikawal ke kamar. Ada pintu besi yang terkunci dari luar, letaknya persis di depan lorong kamar tadi. Semua perintah itu oleh to user Boenga Lily dianggap commit sebagai peraturan ketat biasa. Menurut
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengakuannya, “Sejak kecil, Koh Tek Siang mengajarkan kepatuhan seperti ini,” katanya, hanya kepada Tan Kong Gie. (KYT:200) Dari kutipan-kutipan di atas, diketahui bahwa Tek Siang memperlakukan aturan ketat pada primadonanya, seperti tidak boleh mengudap sembarangan makanan, mengkonsumsi buah-buahan terpilih dan air putih, serta ramuan rempah-rempah yang bagus untuk mempertajam suara Giok Hong. Diketahui pula bahwa aturan untuk tidak tidur terlalu larut yang diperlakukan Tan Kong Gie tidak berbeda dengan Tek Siang. Seiring
dengan
menghilangnya
Siaw
Giok
Hong,
ketenaran
Perkoempoelan Tjahaya Timoer pun seakan meredup karena ditinggalkan oleh primadonanya. Siaw Giok Hong yang terkenal di Gang Pinggir sudah tidak lagi meramaikan Gang Pinggir dengan suara merdunya. Kemudian hadir sosok Boenga Lily yang merupakan jelmaan dari Siaw Giok Hong yang telah berganti rupa. Selain ditugaskan untuk menjadi biduan yang dibicarakan oleh khalayak, Boenga Lily mengemban tugas sebagai agen politik gerakan bawah tanah. Oleh karena itu, ia terlebih dahulu dididik oleh seseorang tentang apa saja keahlian khusus yang diperlukan untuk menjadi agen politik. Berikut kutipan yang menunjukkan hal tersebut. Menjadi anggota organisasi bawah tanah menguras tenaga yang luar biasa. Terlintas dalam benaknya, bagaimana ia harus berlatih di tengah malam saat belajar menerjemahkan simbol rahasia. Indoktrinasi disampaikan di pagi buta. (KYT:402) Novel ini juga sedikit menampilkan semangat belajar anak yang kurang mampu, yang tinggal di sekitar rel kereta api, yaitu Kampung Pindrikan. Walaupun tidak didapat dari lembaga formal, Soekini digambarkan sebagai anak yang pintar. Berikut kutipannya. Selain pintar, Soekini pandai menghafal. Hitung-hitungan, meskipun tidak didapat dari sekolah, ia selalu juara di antara yang lain. (KYT:339) Dalam novel ini, tidak digambarkan pendidikan secara formal yang ditempuh oleh tokoh-tokohnya. Padahal dalam kehidupan nyata, etnis Tionghoa sangat menjunjung tinggi pendidikan formal. Banyak dari warga etnis Tionghoa commit to user yang menempuh jenjang pendidikan yang tinggi.
perpustakaan.uns.ac.id
83 digilib.uns.ac.id
d. Agama dan Kepercayaan Ajaran Konghucu yang dianut oleh orang Tionghoa khususnya dalam novel ini masyarakat Pecinan Semarang, sebenarnya merupakan filosofi hidup yang kemudian dimaknai sebagai agama. Agama ini mempercayai satu Tuhan yang biasa disebut Thian. Ajaran utamanya adalah zhi (kebijaksanaan dan pencerahan), ren (cinta kasih yang universal) dan yong (keberanian atas dasar kesusilaan dan rasa malu). Yong dibagi menjadi dua, yaitu li (kesusilaan) dan yi (kebenaran).
Dengan demikian manusia dapat menjadi xin
(yang dapat
dipercaya). Lima konsep yang disebut Wu Chang (lima kebajikan) inilah yang menjadi pokok dari ajaran Konghucu (Rahmayani, 2014:15). Walaupun agama ini mempercayai adanya satu Tuhan, ajaran Konghucu juga mengenal dewadewi yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Dalam novel ini ditunjukkan Maktjou Poo (Dewi Laut) dan Zhao Jun Ye/Zhao Wang Ye (Dewa Dapur). Perhatikan kutipan berikut. “Kita semua berharap Giok Hong adalah titisan Maktjouw Poo, Dewi Laut yang menjaga kota pantai ini dari badai dan gelombang besar,”katanya. (KYT:21) Zhao Jun Ye adalah sebutan lain Dewa Dapur. Istilah itu juga kerap disebut Zao Wang Ye, sangat populer di kalangan orang-orang yang saleh keyakinan. Zao Jun Ye akan melaporkan segala kebaikan orang-orang di bumi kepada Thian Kung, Tuhan yang Agung. Konon, menurut keyakinan, akan lebih baik memakan buah-buahan segar yang sangat berkualitas. Ini semua bakalan mempengaruhi penilaian Dewa Dapur kepada Tuhan yang Agung. (KYT:25-26) Kata-kata menyebut Yang Maha tinggi dengan panggilan Thian, sungguh menentramkan Boenga Lily. (KYT:302) Tan menangis sejadi-jadinya. Ia bersujud, memohon ampun terhadap Thian yang Maha Suci. Ia ingin menolong anaknya, barangkali masih bisa diselamatkan. (KYT:395) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, diketahui bahwa terdapat Dewi Laut dalam keprcayaan etnis Tionghoa atau yang disebut Maktjou Poo. Hal tersebut diketahui dari pernyataan Oen Kiat yang menganggap Giok Hong layaknya titisan Dewi Laut. Terdapat pulacommit Zhao Jun Ye/ Zao Wang Ye yang berarti Dewa to user
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dapur. Zao Jun Ye bertugas melaporkan segala kebaikan orang-orang di bumi kepada Thian Kung, Tuhan yang Agung. Menurut keyakinan, memakan buahbuahan segar yang sangat berkualitas akan bakalan mempengaruhi penilaian Dewa Dapur kepada Tuhan yang Agung. Selain itu, disebutkan bahwa Thian adalah istilah “Tuhan” dalam etnis Tionghoa. Kepercayaan yang dianut etnis Tionghoa termasuk masyarakat Pecinan Semarang
memiliki filosofi yang baik.
Contohnya Asal usul pemaknaan
perayaan makan ronde dan onde-onde dimaksudkan untuk mengelabui Dewa Dapur. Ada juga filosofi mengenai orang yang berkeringat, yang dalam keyakinan Tek Siang adalah gerakan memuliakan Thian. Arti pertanda cuaca saat Tahun Baru Cina pun ditunjukkan dalam kutipan berikut ini. Pesta memakan ronde dan onde-onde memiliki filosofi sangat dalam. Dimaksudkan untuk mengelabui Dewa Dapur. Makanan lengket yang sengaja dipersembahkan itu konon akan dimakan Dewa Dapur. Ketika ronde dan onde-onde lengket di mulut, manusia berharap sang Dewa tak sempat mealaporkan hal yang buruk-buruk atas perbuatan manusia. Itulah asal usul pemaknaannya. (KYT:26) Orang yang berkeringat, dalam keyakinan Tek Siang adalah gerakan memuliakan Thian. Ajaran itu didapat dari petuah mendiang neneknya yang wafat lima belas tahun lalu. “Cucuran keringat itu sebanding dengan ceceran dupa yang meleleh,” kata mendiang. “Thian menyuruh Dewa Dapur mencatat kebaikan para pekerja keras, sekalipun dia tidak pernah sembahyang,” katanya. Ucapan itu sangat melekat di hati Tek Siang yang beranjak tua. Tidaklah heran jika kerja keras adalah bagian dari ritual hidupnya. Meski bukan berarti sembahyang di depan altar lantas ditinggal. (KYT:77) Tahun baru Cina tanpa hujan dan halilintar, sungguh kerontang rezeki. Jika jatuh kemarau panjang pada saat itu, bersiap-siaplah untuk prihatin sepanjang tahun. “Karena dewa tidak sudi singgah ke bumi dan tidak menebarkan rezeki,” kata seorang peramal di pojok Gang Pinggir itu. (KYT:312) Berpijak dari kutipan-kutipan di atas, dapat diketahui bahwa terdapat filosofi yang mengartikan pesta memakan ronde dan onde-onde adalah untuk mengelabui Dewa Dapur. Makanan lengket yang sengaja dipersembahkan itu konon akan dimakan Dewa Dapur. Sehingga ketika ronde dan onde-onde lengket commit to user di mulut, manusia berharap sang Dewa tak sempat mealaporkan hal yang buruk-
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
buruk atas perbuatan manusia. Selain itu, digambarkan kepercayaan Tek Siang bahwa orang yang berkeringat adalah gerakan memuliakan Thian. Cucuran keringat itu sebanding dengan ceceran dupa yang meleleh. Thian menyuruh Dewa Dapur mencatat kebaikan para pekerja keras, sekalipun dia tidak pernah sembahyang. Kemudian arti dari cuaca pada saat Tahun Baru Imlek, yaitu lebih baik hujan sepanjang hari karena menggambarkan rejeki yang datang sepanjang tahun. Masyarakat
etnis
Tionghoa
yang
menganut
kepercayaan
tradisional
Tiongkok, yaitu Konghucu dan Tao memiliki rumah ibadah yang disebut dengan klenteng. Konsep ajaran Konghucu menitikberatkan pada unsur-unsur kebaikan manusia (Rahmayani, 2014:118). Ibadah dapat dilakukan di rumah ataupun rumah
ibadah
khusus.
Klenteng
dalam kehidupan
masyarakat
Tionghoa
berfungsi sebagai tempat religius dan sosial. Setiap pemukiman Tionghoa selalu dilengkapi dengan
klenteng,
termasuk
pemukiman Gang Pinggir,
Pecinan
Semarang dalam Novel Kancing yang Terlepas ini. Berikut ini dapat dibuktikan dalam kutipan berikut ini. Beberapa klenteng besar mulai sibuk. Tempat-tempat peribadatan di gang kecil cukup sibuk juga. (KYT:307) Lebih mencengangkan lagi, Tan bermaksud untuk membangun tempat peribadatan menengah, persis di tengah distrik ini. (KYT:308) Dari kutipan-kutipan di atas dapat diketahui bahwa Gang Pinggir memiliki tempat peribadatan berupa klenteng. Terdapat beberapa klenteng di Pecinan Semarang tersebut. Selain tempat peribadatan khusus di setiap pemukiman etnis Tionghoa, setiap rumah biasanya memiliki tempat khusus untuk sembahyang. Tempat tersebut berupa meja yang ditata menyerupai tempat sesaji. Terdapat hio untuk bersembahyang dan biasanya dipasang beberapa foto mendiang leluhur keluarga tersebut. Di sudut kamar ini terdapat altar kecil untuk sembahyang. Sepetak meja berukuran tak seberapa, ditata menyerupai tempat sesaji. Menjelang perayaan Imlek seperti sekarang, Giok Hong terbiasa mempersiapkan altar userPatung dewa dapur diletakkan di kecil bagi sembahyangan commit Zao JuntoYe.
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tengahnya, di kiri kanan patung tersebut menempel sepasang lirik yang ditulis di atas kertas merah. Tulisan itu semacam doa. (KYT:44) Persis di sebelahnya, ada sepetak ruangan yang sangat remang, tempat sesaji dan sembahyangan. Satu dua foto buram terpajang disana. Mungkin foto kakek nenek Tan. (KYT:182) Jika tersakiti, yang menjadi tumpuan keluhan adalah foto mendiang leluhurnya, lantas mencari hio untuk bersembahyang. (KYT:238) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, dapat diketahui bahwa di rumahrumah warga Gang Pinggir, khususnya yang digambarkan di rumah Tek Siang dan Tan Kong Gie. Dalam rumah Tek Siang terdapat ruangan khusus berisi altar kecil untuk sembahyang. Di sudut kamar tersebut diletakkan sepetak meja berukuran tak seberapa dan ditata menyerupai tempat sesaji. Patung Dewa Dapur diletakkan di tengahnya, dan di kiri kanan patung tersebut menempel sepasang lirik yang ditulis di atas kertas merah. Tulisan itu semacam doa. Begitu pula dengan rumah Tan Kong Gie yang memiliki ruangan yang sangat remang, tempat sesaji dan sembahyang. Satu dua foto buram leluhur Tan terpajang disana. Terdapat juga hio untuk bersembahyang. e. Kondisi Sosial Kondisi sosial yang ditampilkan dalam novel Kancing yang Terlepas berupa status sosial masing-masing tokoh dalam masyarakat, baik yang berkaitan dengan perekonomian maupun posisi tokoh dalam masyarakat. Golongan orang
kaya diwakili oleh Tek Siang dan Oen Kiat. Tek Siang
memiliki status sosial yang terpandang di masyarakat karena dikenal sebagai tauke orkes dan saudagar yang kaya raya. Begitu pula dengan Oen Kiat yang merupakan anak penyalur gandum terbesar di kota Semarang. Berikut kutipan yang menunjukkan golongan orang kaya. Di kawasan Gang Pinggir, nama Koh Tek Siang sudah tidak asing lagi. Ia orang kaya yang sepanjang hidupnya tak pernah lepas dari orkes (KYT:7). Semua orang tahu, Tek Siang bukanlah seniman murni. Selain mahir bermusik, ilmu berdagangnya teruji cerdik. Mulai dari berdagang rempah sampai tembakau. Paling commit menonjol adalah usaha jual-beli tanahnya yang to user
perpustakaan.uns.ac.id
87 digilib.uns.ac.id
menggurita. Tidak heran, selain berjulukan tauke orkes, Tek Siang punya julukan lain sebagi tuan tanah kecil di distrik ini. (KYT:7-8) Oen Kiat terhitung anak saudagar penyalur gandum terbesar di kota ini. Jangan dilihat bentuk rumahnya yang kusam dari tampak luarnya. Itu Cuma gerbang kecil dari luas tanah orangtuanya yang setengah perkampungan (KYT:33). Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut, dinyatakan bahwa Tek Siang adalah orang kaya yang berdagang rempah, tembakau, serta tanah di samping sebagai tauke orkes. Begitu pula Oen Kiat yang kaya sejak dari kecil karena memiliki orang tua yang berprofesi sebagai saudagar penyalur gandum terbesar di kota Semarang. Selain Tek Siang, banyak orang kaya di seputar Gang Pinggir. Misalnya pembeli Rumah Makan Mei Wei yang biasanya berprofesi sebagai pedagang besar, yang harta kekayaannya sangat berlimpah. Pembeli rumah makan Mei Wei merupakan golongan orang berkelas. Bagi yang tidak kaya dan berkelas, mereka tidak berani masuk ke rumah makan tersebut. Kutipannya ditunjukkan berikut. Di malam hari Rumah Makan Mei Wei dikerumuni pembeli. Hanya yang berkelas yang berani masuk rumah makan tersebut. Mereka ini kelasnya para pedagang besar atau pemilik cita rasa tinggi, yang harta kekayaannya sangat berlimpah (KYT:185) Selain menampilkan masyarakat dari golongan orang kaya, dalam novel Kancing yang Terlepas, Handry TM juga menampilkan masyarakat dari golongan bawah/ miskin. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam kutipan berikut. Kampung kumuh dan penampung warga miskin itu sangat padat penghuni. Mulai dari penjahat kelas teri hingga bajingan kasar. Terlihat dari bagaimana cara kampung Se’ Ong dikelola, tidak siapa pun berani memiliki harapan hidup selamanya di sana. Gang-gang itu sempit sekali. Rumah-rumah petak berimpit, di kiri-kanannya cenderung kusam. Warga Kampung Se’ Ong selalu berbicara keras. Mereka lebih suka bertikai daripada berembuk secara lembut (KYT:20). “Kami dikenal sebagai Kelompok Pinggir Rel. Perkampungan kami sangat kuat bergotong-royong, juga ditakuti oleh perkampungan lain. orangtua kami mahir berkelahi.” (KYT:344). commit to user
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Antar kampung sering terjadi perkelahian. Orang-orang tua di kampung kami tidak takut mati.” Inilah wajah-wajah asli bocah pinggiran kota. Mereka sudah telanjur kerap lapar, sehingga tidak takut kalau tidak makan (KYT:344). Dari kutipan-kutipan di atas, dapat diketahui bahwa novel ini juga menampilkan golongan miskin, contohnya Kampung Se’ Ong yang kumuh dan padat oleh warga berimpit,
dan
yang miskin.
Gang-gangnya sempit, rumah-rumah petak
kusam yang menggambarkan tipikal rumah orang miskin.
Warganya pun suka bertikai daripada berembuk dengan baik. Selain Kampung Se’ Ong, ditampilkan pula Kampung Pindrikan yang
warganya ditakuti pleh
perkampungan lain. Kampung Pindrikan berada di pinggiran rel. Warga di perkampungan itu kuat bergotong royong, namun suka berkelahi dengan perkampungan lain. Perbedaan golongan orang kaya dan golongan orang miskin dapat ditunjukkan dalam kutipan berikut ini. Rupanya penonton terbagi dalam dua kelas berbeda. Golongan biasa adalah orang-orang kampung dengan pakaian seadanya. Tampak dari wajah mereka yang terlihat kurang bahagia. Untuk mengambil posisi duduk di lantai paling depan pun orang-orang tidak bernyali. Golongan yang satunya tentu sangat istimewa. Terlihat dari cara berdandannya, cara menatap orang-orang sekitar, dan dongakan kepala congkak. Kelompok ini pasti orang yang tinggal di seputar Pecinan, beberapa dari mereka, kental sekali meniru gaya para ningrat Eropa. Mengenakan jas putih,dasi, topi, dan bawahan celana panjang komprang (KYT:32-33). Sebenarnya orang-orang kaya di seputar Gang Pinggir ingin membuat perayaan sepanjang malam. Namun mereka sungkan akan penderitaan orang-orang sekitar. Akhirnya mereka hanya memasang lampion di beberapa rumah besar. Orang-orang keturunan Tionghoa yang tidak mampu tetap bergaul bersama etnis Koja dan para penghuni di gang belakang (KYT:161-162). Harga-harga menjulang, bahan pokok semakin susah didapat. Yang kaya bertambah kaya, yang miskin tiada terhitung jumlahnya (KYT:317). Mereka sebenarnya raja-raja kecil di jalan raya. Kelompok Soebali merupakan kelompok yang paling ditakuti kelompok bermain dari kelompok kampung mana pun. Anehnya, mereka memiliki kekerabatan commit to user
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
luar biasa dengan kelompok anak-anak bermata sipit dari kawasan Gang Pinggir (KYT:337). Berdasarkan
kutipan-kutipan
di
atas,
diketahui
bahwa
terdapat
kesenjangan pada golongan orang kaya dan golongan orang miskin. Misalnya saja saat menonton pertunjukan orkes yang diadakan oleh Tek Siang. Penonton terbagi menjadi dua
golongan,
yaitu golongan biasa yang tidak
berani
mengambil posisi duduk di lantai depan. Berbeda dengan golongan lainnya yang duduk di barisan depan dan menatap orang-orang sekitar dengan dongakan kepala congkak, ataupun meniru gaya berpakaian para ningrat Eropa. Selain itu perbedaan juga nampak pada saat merayakan Hari Raya Imlek. Orang-orang kaya akan membuat perayaan dan memasang lampion-lampion besar berwarna merah di rumahnya yang besar, sedangkan orang-orang keturunan Tionghoa yang tidak mampu tetap bergaul bersama etnis Koja dan para penghuni di gang belakang. Kemudian perbedaan semakin nampak saat harga bahan pokok melonjak. Yang kaya bertambah kaya, sedangkan yang miskin bertambah miskin. Namun tidak terdapat kesenjangan pada anak-anak Pecinan dan Kampung Pindrikan. Walaupun berbeda etnis, anak-anak Kampung Pindrikan memiliki kekerabatan luar biasa dengan kelompok anak-anak bermata sipit dari kawasan Gang Pinggir
f. Tempat Tinggal Handry TM mengambil beberapa latar tempat dalam novel Kancing yang Terlepas. Tempat tinggal yang dijadikan latar penceritaan Handry TM adalah Semarang, khususnya di daerah Gang Pinggir, Pecinan. Pecinan ini merupakan tempat yang melatari sebagian besar berbagai kejadian dalam cerita. Di Kampung Naga inilah tempat tinggal para tokoh penting dalam cerita, seperti Siaw Giok Hong, Tek Siang, Oen Kiat, dan Tan Kong Gie. Kawasan Pecinan dibelah oleh Kali Kuping dan Gang Pinggir berbentuk mirip lorong panjang yang meliuk dari utara ke selatan. Berikut ini kutipan yang menunjukkan latar tempat tinggal dalam novel Kancing yang Terlepas. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
90 digilib.uns.ac.id
Suara jangkrik bersahutan perlahan di tengah gerumbul parit di luar rumah. Gemericik air Kali Kuping, sungai yang membelah kawasan Pecinan, dari selatan ke utara, berkelok ke arah timur, membentuk semacam lagu sunyi. (KYT:11) Kehidupan malam mulai bergegas di Gang Pinggir ini. Orang-orang, dengan berbagai macam kepentingan, keluar rumah berikut uang di genggaman. Rumah-rumah “cinta” terselubung mulai kedatangan tamu. (KYT:11) Lorong Gang Pinggir terlihat memanjang, meliuk dari bentangan utara ke selatan. Jika diamati dengan seksama, lorong itu menyerupai jalanan panjang tanpa ujung. Di tepiannya, melintas jembatan yang tidak terlalu besar, terdapat perkampungan yang luar biasa porak-poranda. Orang-orang mengenalnya sebagai Kampung Se’ Ong. (KYT:19) Di kampung Naga, demikian orang-orang menyebut nama lain Pecinan. Situasi keseharian mereka seperti itu. Gang Pinggir merupakan perpaduan antara keindahan dan keburukan, berimbang antara kemuliaan doa bagi para dewa dan kejahatan yang merajalela. Kedengkian dan iri hati menjadi pemandangan sehari-hari. Perempuan dan harta benda adalah hiasan hidup yang saling diperebutkan. (KYT:167) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, diketahui bahwa Pecinan, Semarang adalah kawasan yang menjadi sebagian besar latar tempat berlangsungnya kejadian-kejadian dalam cerita. Kali Kuping adalah sungai yang membelah kawasan Pecinan, dari selatan ke utara, berkelok ke arah timur. Lorong Gang Pinggir memanjang, meliuk dari bentangan utara ke selatan. Jika diamati dengan seksama, lorong itu menyerupai jalanan panjang tanpa ujung. Di tepiannya, melintas jembatan yang tidak terlalu besar, terdapat perkampungan Se’ Ong. Gang Pinggir merupakan perpaduan antara keindahan dan keburukan, berimbang antara kemuliaan doa bagi para dewa dan kejahatan yang merajalela. Kedengkian dan iri hati menjadi pemandangan sehari-hari. Perempuan dan harta benda adalah hiasan hidup yang saling diperebutkan. Kehidupan malam Gang Pinggir juga diisi oleh orang-orang yang bertujuan datang ke “rumah cinta” kawasan tersebut. Rumah Tek Siang, yang juga merupakan tempat Siaw Giok Hong tumbuh dan dirawat sejak umur 12 tahun adalah rumah yang tidak hanya dijadikan commit to user sebagai tempat tinggal. Rumah tauke orkes itu juga dijadikan tempat latihan para
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
awak orkes “Perkoempoelan Tjahaya Timoer” dan akan disulap menjadi tempat pertunjukan
orkes
tersebut
apabila
sedang
pentas.
Karakteristik
yang
menunjukkan bahwa pemiliknya adalah orang etnis Tionghoa adalah adanya ornamen naga kembar yang terletak persis di daun pintu. Berikut ini kutipan yang menunjukkan tempat tinggal Tek Siang. 1961 Tulisan itu masih terpampang gagah di atas gerbang bangunan rumah. “Perkoempoelan Tjahaya Timoer” . tulisan dengan huruf cetak tebal, yang sebenarnya kurang beraturan jika dihitung dari sudut keindahan. Sudah barang tentu, ini rumah besar milik “orang gila” bernama Tek Siang. Di kawasan Gang Pinggir, nama Koh Tek Siang sudah tak asing lagi. (KYT:7) Sebuah lorong memanjang, berukuran lima Sebenarnya, lorong itu merupakan penghubung dan rumah utama “kerajaan kecil” Tek Siang. Di yang berjumlah lima belas orang itu biasanya sederhana untuk persiapannya sendiri. (KYT:22)
hingga sepuluh meter. antara bale-bale tengah ruangan lain, awak orkes membentuk petak-petak
Rumah itu, seperti biasa, terkesan sunyi. Dari luar tampak ornamen naga kembar terletak persis di daun pintu. Daun teratai terhampar di kolam kecil samping gerbang rumah itu, termasuk bagian keindahan yang tidak terpungkiri. Ketika menjamu tamu bisnisnya, Tek Siang menyulap halaman tengah rumah itu menjadi panggung. Dengan harapan, tidak sembarang orang bebas masuk menyaksikan penampilan khusus di tempat itu. (KYT:386) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, dapat diketahui bahwa tempat tinggal tokoh utama novel ini, yaitu Siaw Giok Hong berada di rumah Tek Siang. Di rumah itu pula berdiri orkes tradisional Cina yang bernama “Perkoempoelan Tjahaya Timoer”. Hal itu dapat dilihat dari tulisan di atas gerbang bangunan rumah yang dicetak dengan huruf cetak tebal. Rumah Tek Siang dijadikan tempat latihan awak orkes sekaligus tempat pementasan orkes tersebut. Terdapat sebuah
lorong
memanjang,
berukuran
lima
hingga
sepuluh
meter
yang
merupakan penghubung antara bale-bale tengah dan rumah utama Tek Siang. Di ruangan lain, awak orkes yang berjumlah lima belas orang membentuk petakpetak sederhana untuk persiapannya sendiri. Rumah tersebut memiliki ornamen commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
92 digilib.uns.ac.id
hewan ciri khas etnis Tionghoa, yaitu ornamen naga kembar terletak persis di daun pintu. Di kawasan Gang Pinggir terdapat beberapa rumah makan yang cukup terkenal. Salah satu rumah makan yang terkenal tersebut dimiliki oleh tokoh Tan Kong Gie, pengusaha rumah makan “Mei Wei”. Rumah makan tersebut yang akhirnya menjadi tempat bekerja sang biduan baru di kawasan Gang Pinggir, Boenga Lily dan pengiringnya, Timoer Laoet. Bagian belakang bangunan rumah makan Mei Wei digunakan untuk tempat tinggal keluarga Tan Kong Gie. Rumah Makan Mei Wei tidak seperti rumah makan biasa karena ditata menyerupai rumah panggung dan memiliki teras memanjang serta cukup lebar. Pengunjung dapat memilih meja di dalam ataupun di teras. Berikut ini kutipan yang menggambarkan tempat tinggal Tan Kong Gie/Rumah Makan Mei Wei. Distrik Gang Pinggir tidak lagi seelok dulu. Tapi orang-orang kaya masih bisa menikmati harumnya ca babi panggang di beberapa rumah makan besar. Salah satu rumah makan terkenal yang menyediakan penampilan orkes sederhana, terletak di kelokan jalan tengah menuju Sebandaran. Rumah makan berwarna putih kusam itu memasang plang nama “Mei Wei” tepat di atas pintu. Setiap jumat malam, ada saja penyanyi yang didatangkan. Hanya dengan iringan rebab klasik, mereka menyanyikan lagu-lagu cinta. (KYT:165) Keduanya masuk ke bagian dalam bangunan. Melewati lorong agak panjang dengan lampu penerang yang terkesan muram. “Rumahnya besar sekali,” gumam Lily, memecah kebekuan. “Iya besar. Ini rumah makan yang bagian belakangnya untuk tempat tinggal,” jawab si pegawai. “Dimana kamar untukku?”. “Belum kelihatan dari sini. Di ujung paling belakang. Dekat tempat sembahyang.” (KYT:181) Tidak seperti bangunan rumah makan biasa, Mei Wei ditata menyerupai rumah panggung. Untuk mencapai ruang makan utama, para tamu harus menapaki lantai bertangga tiga lapis. Terasnya memanjang dan cukup lebar. Siapa saja boleh memilih, hendak bersantap di dalam atau cukup di teras. Antara teras dan ruang dalam, dibatasi terali besi dengan bentuk bunga-bunga. (KYT:185) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Rumah Makan Mei Wei milik Tan Kong Gie yang menjadi tempat tinggal sekaligus bekerja Boenga Lily terletak di kelokan jalan tengah menuju Sebandaran. Rumah Makan commit to user Mei Wei mendatangkan penyanyi setiap jumat malam. Hanya dengan iringan
93 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rebab klasik, mereka menyanyikan lagu-lagu cinta. Rumah milik Tan Kong Gie tersebut besar yang terdiri dari rumah makan di bagian depan dan tempat tinggal di bagian belakang. Dan kamar yang ditempati oleh GiokHong berada di ujung paling belakang, dekat tempat sembahyang. Mei Wei ditata menyerupai rumah panggung. Untuk mencapai ruang makan utama, terdapat lantai bertangga tiga lapis. Terasnya memanjang dan cukup lebar. Antara teras dan ruang dalam, dibatasi terali besi dengan bentuk bunga-bunga. Selain tempat tinggal yang terletak di Pecinan Semarang, terdapat latar tempat tinggal di kota lain, yaitu tempat tinggal Oen Kiat. Oen Kiat memiliki rumah peristirahatan di kawasan Ungaran yang didatangi setiap sebulan sekali saat meluangkan waktu di sela-sela kegiatan berdagang. Selain itu, rumah ketiga yang dirahasiakan tempatnya, yaitu dua kota jaraknya dari Semarang. Rumah ketiga itu digunakan oleh Lena Teng,
istri mendiang Oen Kiat untuk
menyembunyikan Siaw Giok Hong dan putranya, Zeng. Lingkungan rumah tersebut masih asri karena terletak di lembah yang dikelilingi oleh hamparan perbukitan dan hutan. Lembah itu bersaput kabut dan memiliki udara lembab yang terasa hingga ke kulit. Rumah ketiga tersebut berdiri di bukit dan jaraknya cukup jauh dari rumah-rumah warga pedesaan. Rumah-rumah pedesaan tersebut bertipikal besar berlantaikan kayu dan terbuat dari jati tua. Rumah ketiga milik Oen Kiat ini biasanya didatangi oleh Oen Kiat dengan sejumlah perempuan. Saat itulah rumah tersebut terdengar ramai dan riuh. Namun suasana ramai hanya bertahan paling tidak tiga malam, sesudahnya sunyi senyap. Hanya satu-dua karyawan penghuni rumah yang tampaknya sibuk membenahi sisa pesta di hari sesudahnya. Berikut ini kutipan yang menunjukkan hal tersebut. Zeng menyebut sebuah rumah tua di kawasan Ungaran. Tidak jauh dari perbukitan yang keliahatan dari jalan raya rumah itu berdiri. Itulah rumah peristirahatan keluarga Oen Kiat yang didatangi saban sebulan sekali, setelah mereka penat melawan kesibukan berdagang. (KYT:105) Lembah yang hijau ranum dan masih perawan. Dari jarak pandang yang cukup jauh, lembah itu bersaput kabut. Udara lembabnya terasa hingga ke kulit. Meresap dingin ke permukaan daging. “Ini rumah mendiang yang ketiga, setelah yang di Ungaran tadi.” (KYT:114) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
94 digilib.uns.ac.id
Lena Teng menggeleng. “Tidak penting untukmu. Yang pasti, ini sudah bukan lagi Semarang. Ini kota jauh, melompati dua kota dari Semarang. (KYT:115) Rumah Lena Teng diapit tiga rumah seluas sepertiga dari rumahnya. Orang-orang desa di sekitarnya kerap menggunjingkan keberadaan rumah Lena. Keramaian di dalam sering terdengar, terutama jika Tuan Besar datang dengan sejumlah perempuan. Suasana riuh semacam itu biasanya tidak berlangsung lama. Paling tiga malam, sesudahnya sunyi senyap. Hanya satu-dua karyawan penghuni rumah yang tampaknya sibuk membenahi sisa pesta di hari sesudahnya. (KYT:139) Novel ini juga menampilkan tempat tinggal yang kumuh, yaitu Kampung Pindrikan. Kampung Pindrikan adalah kampung yang dihuni oleh anak-anak yang ditahan di penjara bersama Boenga Lily dan lainnya. Kampung tersebut berada di pinggir rel kereta api. Rumah-rumah di Kampung Pindrikan tipikal tempat tinggal kumuh yang berupa rumah tempel dan hanya terbuat dari seng dan kardus bekas yang didapatkan dari sisa bangunan. Rumah Soekini tidak jauh dari stasiun kereta api. Paidi adalah kakak sepupunya. Rumah keduanya bersebelahan. Merupakan rumah tempel yang hanya terbuat dari sisa seng dan kardus. Ayah Paidi kakak tertua ibu Soekini. Mereka bahu-membahu mencari sisa bangunan untuk merapatkan rumah masing- masing. (KYT:339) “Kamu anak-anak Pindrikan, ya?” bentak tentara itu. (KYT:341) “Kami anak-anak pinggir rel kereta api”. (KYT (343) “Kami dikenal sebagai Kelompok Pinggir Rel. Perkampungan kami sangat kuat bergotong-royong, juga ditakuti oleh perkampungan lain. Orangtua kami mahir berkelahi.” (KYT:344) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, digambarkan bahwa rumah Soekini dan Paidi tidak jauh dari stasiun kereta api. Perkampungan Pindrikan tersebut memiliki warga yang kuat bergotong-royong dan ditakuti oleh perkampungan lain karena orangtua mereka mahir berkelahi. Latar tempat lainnya, yaitu rumah di kawasan Tjandi Baroe yang digunakan Prasetijo sebagai tempat tahanan khusus untuk Boenga Lily. Rumah tersebut adalah rumah tua peninggalan Jepang. Di sekitar rumah tahanan khusus commit to user
95 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Boenga Lily tersebut, banyak rumah kosong berukuran besar. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan sebagai berikut. “Ini rumah tua peninggalan Jepang. Negara tidak mengurusi lagi. Anggap saja, untuk sementara rumah kita.” Di kiri kanan kawasan Tjandi Baroe, banyak rumah kosong berukuran besar. (377:378) g. Bahasa Bahasa dalam suatu karya sastra digunakan pengarang sebagai media untuk
menyampaikan
jalan
cerita
kepada
pembaca.
Pengarang
bebas
menggunakan bahasa sendiri agar pembaca mudah memahami jalan cerita yang dimaksudkan oleh pengarang. Bahasa yang digunakan Handry TM dalam novel Kancing yang Terlepas adalah bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca. Selain bahasa dominan yaitu bahasa Indonesia, Handry TM memasukkan kalimat, frasa, dan kata dalam bahasa Tionghoa dan bahasa Jawa untuk memperhidup suasana, setting, dan inti cerita. Hal tersebut juga membuat pembaca terutama yang sedaerah dengan pengarang merasa dekat dengan kisah dalam novel. Dari segi bahasa tulis, novel ini menggunakan ejaan bahasa Indonesia tempo dulu, yaitu tepatnya tahun 1960-an. Handry TM memberikan catatan makna dari bahasa Tionghoa dan bahasa Jawa pada setiap penggunaan bahasa-bahasa tersebut di dalam novel. Hal ini bertujuan agar pembaca di luar etnis Tionghoa dan luar Jawa dapat memahami dan mengerti makna cerita yang disuguhkan dalam karyanya. Berikut kutipankutipan yang menunjukkan bahasa etnis Tionghoa yang digunakan Handry TM dalam mendukung peristiwa-peristiwa dalam novel Kancing yang Terlepas. Sebelum ini, yang tertempel di gerbang rumah itu hanyalah tulisan “Fan Mang De Shui Xin”. Menurut pengakuan Tek Siang, kalimat tadi dicomot begitu saja dari buku kuno peninggalan almarhum ayahnya. Jika diartikan secara kasar, “Fan Mang De Shui Xin” kira-kira bermakna “Gemericik Air yang Bermula dari Hati” (KYT:8) “Koh!” perempuan muda itu membentak. Benar-benar membentak. “Zui fan---penjahat!” katanya lagi. (KYT:16) Song zhu bang wan Zai feng zhong yao ye Hai feng dai laile ai de nancommit to user
96 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bei... Zai nan bu]lan zhu le wo Wo yong bao jin Wo shi wu neng wei li le mi ren de lang man (KYT:89) “Oen Kiat, wo de sheng huo zong shi kun nan de, yin wei di yi..”---Kau memang menyusahkan hidupku sejak dulu...”Bing ren---sabarlah, Koh Siang...” (KYT:108) Para tamu memberi semangat dengan cara menyelipkan angpao langsung ke dalam genggaman tangan biduan itu. (KYT:219) “Thian?” Paidi tidak paham maksud istilah itu. “Tuhan akan membantu seperlunya untuk kita.” (KYT:346) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dihiasi dengan bahasa etnis Tionghoa, baik berupa, kata, frasa, kalimat, ataupun ungkapan. Sebagian besar bahasa tersebut diberi arti/maknanya dalam bahasa Indonesia, walaupun terdapat beberapa yang tidak diberi artinya. Misalnya, gerbang rumah Tek Siang yang diberi tulisan “Fan Mang De Shui Xin” yang disusul dengan pencantuman arti oleh Handry TM, yaitu “Gemericik Air yang Bermula dari Hati”. Terdapat pula syair berbahasa Tionghoa (KYT:89) yang turut menghiasi novel karya Handry TM. Ungkapan Thian yang bermakna “Tuhan” sering muncul dalam keseluruhan cerita. Istilah angpao juga muncul dalam novel ini yang memiliki arti uang yang biasanya dimasukkan ke dalam amplop merah yang digunakan untuk memberi hadiah/sumbangan seseorang dalam etnis Tionghoa. Namun seiring perkembangan zaman, istilah angpao banyak digunakan juga oleh orang yang bukan etnis Tionghoa untuk menyebut uang yang diberikan saat Hari Raya Idul Fitri, ataupun hanya untuk hadiah saja. Selain itu, terdapat kata sapaan (sistem kekerabatan) berupa panggilan khas etnis Tionghoa dalam novel ini, Misalnya Tek Siang yang sering dipanggil “Koh Siang” oleh Giok Hong. Koh berasal dari kata Engkoh yang memiliki arti “lelaki yang sudah tua/eyang”. Kemudian, Tek Siang yang memanggil Giok Hong dengan Niek yang berasal dari kata Nonik dan memiliki arti “anak kecil perempuan”. commit to user
97 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selain penggunaan bahasa Tionghoa yang digunakan Handry TM dalam menceritakan kisah-kisah yang terjadi, beberapa kata, frasa, dan kalimat juga menggunakan bahasa Jawa, khususnya Jawa Tengah. Bahasa Jawa digunakan karena setting dalam novel ini berada di wilayah Pecinan, Kota Semarang (ibukota Jawa Tengah). Kutipannya sebagai berikut. Yang lain ndak perlu berdandan. Orang ledhis-ledhis—bau apak—seperti kalian ndak perlu bersolek diri. Menghabiskan wedhak dan bikin kucel pakaian!!” (KYT:29) “Kamu cari-cari, mbok kok goleki piye carane supaya bisa udhar, ya tetep ndak isa. Semua ini Dewa-lah yang kuasa. Banyak-banyaklah sembahyang,” kata Ing Wen dengan terus menatapi mata Hong yang berkedip-kedip. “Kowe aja nangis, ya. Ndak baik, nangis terus.” (KYT:31) “Siang, hebat sekali kowe. Luar biasa punya primadona kempling seperti dheweke,” serunya lagi pada Tek Siang. (KYT:43) Hanya Soekini, perempuan kecil, yang sejak tadi berlindung di balik gerumbulan blarak kelapa yang jatuh dari pohonnya. (KYT:338) “Nanti aku laporkan ke komandan sampeyan. Ayo, berani berkata lagi seperti tadi?” (KYT:342) Di luar perkiraan, bersama teh tadi, beberapa potong jadah---kue terbuat dari ketan---bakar telah tersaji. (KYT:401) Berpijak dari kutipan-kutipan di atas, dapat diketahui bahwa selain menggunakan bahasa Tionghoa,
beberapa kata,
frasa,
dan kalimat juga
menggunakan bahasa Jawa, khususnya Jawa Tengah. Bahasa Jawa terdiri dari tiga tingkatan, yaitu krama (tingkatan tertinggi), madya (tingkatan menengah), dan ngoko (tingkatan terendah).
Bahasa Jawa yang digunakan oleh para tokoh-
tokoh dalam novel ini adalah bahasa Jawa ngoko. Bahasa Jawa ngoko biasanya dianggap sebagai bahasanya masyarakat umum, rendahan, kuli, petani, atau antar teman karib, juga untuk berbicara dengan orang yang tingkatan sosialnya lebih rendah. Hal tersebut menunjukkan kurang baiknya etnis Tionghoa di Gang Pinggir, Pecinan Semarang dalam berbahasa, khususnya bahasa Jawa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
98 digilib.uns.ac.id
Novel ini memiliki setting tahun 1960-an, oleh karena itu pengarang menggunakan ejaan bahasa Indonesia lama untuk bahasa tulisan dalam novel ini. Hal ini dilakukan pengarang untuk mendukung setting cerita yang pada saat itu menggunakan ejaan bahasa Indonesia lama. Berikut kutipannya. Sampai-sampai, ia menciptakan lagu sedih berjudul Hanjoet di Soengai Asmara. Itulah lagu pertama yang Tek Siang tulis dalam bahasa Indonesia. Hanjoet di Soengai Asmara, toempah ini tjinta kerana engkau terlena Tiada lagi saudara, selain seteroe nyang teroes membara... (KYT:9) “Dalam Kepergiankoe njang beberapa hari ini, koeharap kamoe bisa membakar roemahkoe dan memboenoeh Zeng djoega Giok Hong di tengah hoetan. Boeang ke djoerang, djangan sampek orang tau kedoeanja adalah anakkoe...---Tjik Lena.”(KYT:150) Poetus soedah tjintaku padamoe/kerana perang tak berkesoedahan/ lenjap entah rindoe di malam-malamkoe/ lantaran tak lagi tahoe di mana kini engkaoe berada.. (KYT:189) Ada yang bertuliskan: “Tetaplah di belakang Soekarno!” Ada pula tematema seperti: “Revolusi Setengah Hati” atau: “Doekoeng Pemerintahan Baroe!” atau setidaknya begini: “Waspadai Kafir Baroe!. (KYT:317) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, bahasa tulisan dalam novel Kancing yang Terlepas tidak menggunakan bahasa Indonesia ejaan baru seperti sekarang ini, namun menggunakan ejaan lama. Seperti dalam kutipan diatas, huruf vokal “u” menjadi “oe”, contohnya “sudah” menjadi “soedah”. Huruf “y” menjadi “nj”, misalnya “yang” menjadi “njang”. Huruf “c” menjadi “tj”, contohnya “cinta” menjadi “tjinta”. Kemudian huruf “j” menjadi “dj” seperti “juga” yang menjadi “djoega”.
h. Etnis Novel Kancing yang Terlepas menceritakan suatu peristiwa yang berlatar di Pecinan Semarang, Jawa Tengah tepatnya di kawasan Gang Pinggir. Etnis yang banyak mendiami Gang Pinggir dalam novel Kancing yang Terlepas adalah etnis Tionghoa. Masyarakat Pecinan khususnya seniman seperti Tek Siang, masih melantunkan syair dan lagu yang menceritakan asal usul mereka to user yang memiliki leluhur orang commit Tiongkok. Etnis Tionghoa di Gang Pinggir
perpustakaan.uns.ac.id
99 digilib.uns.ac.id
merupakan peranakan dari orang Hokkian/Tiongkok yang berkelana untuk menemukan jalan hidup di tempat lain. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam kutipan berikut. Ada yang bersenandung lagu-lagu kenangan, tentu saja kenangan leluhur mereka turun-temurun sebagai orang susah, para Hokkian dari perkampungan miskin daratan Cina paling selatan. Senandung pelarian yang akhirnya menemukan jalan hidupnya di tempat ini (KYT:77) Sebagai pemusik, Tek Siang pasti bisa menyambung benang merah lagu itu. Lirik tadi sekilas pernah dibacanya dari buku kuno syair Tiongkok pemberian papahnya. Syair-syair pengelana, kelompok orang-orang terusir, dan asmara yang tidak terselesaikan. (KYT:269) Secara sejarah dan budaya, bersikap ataukah tidak bersikap, warga Pecinan telah dianggap anak-cucunya RRT (Repoeblik Rakjat Tjina). Lebih celaka lagi, mereka dianggap anteknya komunis. Tidak mendukung pemerintah, akan berhadapan dengan massa rakyat yang bersatu padu mendukung Boeng Karno (KYT:317). Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, asal-usul etnis Tionghoa di Indonesia turut diceritakan dalam lagu-lagu kenangan maupun buku syair kuno yang dimiliki Tek Siang dari ayahnya. Menurut lagu-lagu kenangan tersebut, etnis Tionghoa di Indonesia dulunya merupakan orang susah, yaitu para Hokkian dari perkampungan miskin daratan Cina paling selatan. Sedangkan menurut syairsyair kuno dalam buku, diceritakan orang Tionghoa di Indonesia ataupun di negara lain merupakan pengelana dan kelompok orang-orang terusir. Selain itu digambarkan kehidupan etnis Tionghoa secara sejarah dan budaya, mereka dianggap anak-cucunya RRT (Repoeblik Rakjat Tjina). Parahnya, mereka dianggap antek komunis. Jika mereka tidak mendukung pemerintah, mereka akan berhadapan dengan massa rakyat yang bersatu padu mendukung Boeng Karno Etnis Tionghoa di Indonesia dalam novel Kancing yang Terlepas dibedakan menjadi dua, yaitu Cina totok dan Cina peranakan. Perhatikan kutipan berikut ini. Lantas setumpuk catatan lagu-lagu Tionghoa peranakan dibuka, Lily dipersilakan berlatih lagu sesuai pilihannya (KYT:188). commit to user
100 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Andaikata negeri ini masih lama dipimpin Boeng Karno, owe yakin orang-orang totok dan peranakan akan dilindungi. Tapi sayang, Boeng Karno bukanlah mandor negara yang pintar mengatur.” (KYT:428) Berpijak
dari kutipan-kutipan di atas, etnis Tionghoa di Indonesia
dibedakan menjadi etnis Tionghoa peranakan, seperti yang digambarkan dari lagu-lagu yang digunakan Lily sebagai latihan, dan juga totok. Hal tersebut juga digambarkan dari dialog Tek Siang yang menyebut di negeri ini terdapat orangorang totok dan peranakan.
2. Nilai Pendidikan dalam Novel Kancing yang Terlepas Karya Handry TM Sebuah karya sastra yang baik, khususnya novel pasti mengandung nilainilai pendidikan yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Nilai pendidikan merupakan hal yang penting untuk diintegrasikan dalam novel karena bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat serta menjadikan manusia berbudaya. Novel Kancing yang Terlepas mengandung nilai-nilai pendidikan yang terdiri dari nilai pendidikan sosial, moral, budaya, agama, dan historis. Nilai pendidikan tersebut dijelaskan secara tersirat maupun tersurat melalui dialog antartokoh dan melalui penjelasan pengarang. a. Nilai Pendidikan Sosial Nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku.
Nilai pendidikan sosial
berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi perananperanan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya. Kehidupan sosial yang digambarkan dalam novel Kancing yang Terlepas lebih banyak mengulas tentang kehidupan masyarakat etnis Tionghoa di Gang Pinggir, Pecinan Semarang. Namun kehidupan bermasyarakat antara etnis Tionghoa dan Jawa juga tetap menjadi sorotan pengarang. Nilai pendidikan sosial dalam novel Kancing yang Terlepas terlihat pada rasa hormat yang dimiliki warga Gang Pinggir terhadap tokoh Tek Siang yang dianggap memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan di Gang Pinggir. Karena commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
101 digilib.uns.ac.id
sifat Tek Siang yang dermawan, banyak warga Gang Pinggir yang menunjukkan perhatiannya dengan mengirim bingkisan berupa makanan dan obat-obatan. Bahkan Tan Kong Gie, pemilik Rumah Makan Mei Wei pun memberikan bubur beras lembut bagi Tek Siang setiap harinya, sebagaimana yang terdapat dalam kutipan berikut. Kalau saat ini warga Gang Pinggir tidak ingin bergunjing, karena mereka sangat menghormati Tek Siang. Betapapun, orang itu membawa pengaruh besar terhadap kehidupan di sini. Tek Siang sangat dermawan, ia tahu persis bergaul dengan orang-orang yang dapat memajukan distriknya (KYT:163). Betapa orang tua itu hanya sakit pikiran, tetapi juga sakit perasaan. Orangorang yang pernah merasa dekat padanya, hanya bisa mengirim bingkisan berupa makanan atau obat-obatan (KYT:163). Dengan kerendahan hati dan penuh penghormatan, setiap sore Tan Kong Gie memerintahkan tukang masaknya menanak bubur beras lembut bagi Tek Siang (KYT:166). “Datanglah kemari setiap senja. Kami tanakkan bubur halus cuma-cuma untuk Koh Siang”, katanya. Ing Wen merasakan kekerabatan ini. Cukup lama sudah ia tidak menemukan ketulusan hati seperti ini (KYT:166). Selain warga Gang Pinggir yang memiliki solidaritas tinggi terhadap tokoh Tek Siang, nilai pendidikan sosial juga ditunjukkan dalam keluarga Tan Kong Gie. Keluarga Tan Kong Gie, yaitu istri dan anak-anaknya selalu menurut pada keputusan Tan Kong Gie sebagai kepala keluarga mereka. Mereka tidak pernah bertengkar dan berdebat panjang mengenai segala keputusan yang diambil untuk mensejahterakan keluarga mereka. Mereka lebih suka mengangguk, mengamini, namun siap membantu melaksanakan keputusan Tan Kong Gie. Tan Kong Gie pun menyayangi keluarganya, walaupun sempat membuat keluarga itu hampir hancur dengan memadu kasih terhadap wanita lain. Hal tersebut tercermin pada kutipan berikut. Bagi keluarga besar Tan, rapat seperti ini sudah menjadi kebiasaan. Namun bukan tradisi keluarga ini untuk berdebat panjang. Seperti yang sudah-sudah, Tan menjadi pemutus dan penggagas segala permainan dagang rumah makan besarnya. commitSementara to user istri serta ketiga anaknya lebih
perpustakaan.uns.ac.id
102 digilib.uns.ac.id
suka diam. Mengangguk, mengamini, dan siap membantu melaksanakan (KYT:183). Tidak muncul pertanyaan apalagi pertikaian. yang mereka lakukan hanyalah mengangguk, percaya terhadap apa kemauan Tan, yang sudah sangat teruji membawa usaha keluarga ini menjadi besar. (KYT:183) Dalam pikirannya, ia ingin secepatnya pulang membereskan seluruh urusan bersama Tek Siang. Kemudian kembali ke anak-istri, memperkuat rumah tangganya yang hampir pecah selama ini (KYT:372). “Begitukah, Koh? Rasanya baru kemarin kita mengasuh. Kesalahan kita akan dihitung di Hari Akhir nanti.” “Kita ikhlaskan saja ya, Nik... ayo kita bersepakat untuk ikhlas.” Mereka berpelukan lagi, saling mencium pipi, saling melindungi, dan mengasihi (KYT:427). Nilai pendidikan sosial juga terlihat pada saat etnis Tionghoa merayakan Imlek. Golongan warga Gang Pinggir yang kaya terbiasa memberikan derma terhadap orang-orang yang tidak mampu. Tokoh Tan Kong Gie, pemilik Rumah Makan Mei Wei yang tergolong kaya pun membagikan banyak makanan terhadap kaum miskin. Namun Tan Kong Gie menjaga jarak terhadap semua ini. Keberhasilan usahanya selalu dibarengi dengan derma. Ia memberi banyak makanan kepada orang fakir. Berbuat sebaik mungkin terhadap siapa saja yang melintasi rumah makannya. Tan adalah pribadi lembut seorang pedagang teguh. Keluarganya sangat disukai kanan-kiri (KYT:167). Orang-orang terlihat sibuk mengatur pembagian makanan untuk kaum papa. Di sepanjang jalan besar, terutama di rumah-rumah makan terkenal, orang-orang yang tahun ini memiliki keberuntungan besar akan terlihat dari caranya mempersiapkan Imlek raya. Sedangkan orang-orang miskin akan merapat ke Rumah Makan Mei Wei selain beberapa rumah makan ternama lainnya. Rumah Makan A Kiang dan Rumah Makan Lombok masuk hitungan untuk dikunjungi. Ketiga rumah makan besar itu terbiasa memberi derma besar terhadap orang-orang tidak mampu (KYT:307-308). Tan Kong Gie jauh-jauh hari telah menyebar pengumuman. Ia akan membagikan banyak makanan kepada orang-orang miskin. Acara pembagian biasanya berlangsung beberapa hari menjelang Imlek (KYT:308). commit to user
103 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Namun tampak juga nilai pendidikan sosial yang digambarkan dengan diskriminasi pemerintah terhadap etnis Tionghoa di zaman pergantian Orde Lama menjadi Orde Baru. Hal yang menyangkut perbedaan perlakuan tersebut perlu dihindari di masa kini. Pada saat pergantian Orde Lama menjadi Orde Baru, kaum Tionghoa seolah dianaktirikan oleh pemerintah Indonesia. Mereka dicurigai telah mendukung kelompok komunis sehingga terjadilah peristiwa pembakaran pemukiman masyarakat etnis Tionghoa, seperti yang digambarkan pada kutipan sebagai berikut. Isu politik yang berkepanjangan menjadikan warga Tionghoa terpelajar amat gelisah . Berhari-hari mereka diganggu kabar melalui telepon dan sobekan surat kabar yang diselundupkan. Kabar itu datang dari para kerabat di Djakarta dan Kuala Loempoer. Menurut berita, Pemerintah Indonesia akan membatasi kehidupan sosial kaum keturunan. (KYT:162) “Di distrik ini, orang-orang Cina dikerdilkan. melangkah,” kata Tek Siang (KYT:355)
Kita
harus
pintar
“Agar ada kesan bahwa kelompok Tionghoa adalah kelompok komunis, dengan demikian harus disudutkan,” sambung Prasetijo (KYT:381). “Kabar burung itu akhirnya terbukti,” beberapa dari mereka mulai mengingat-ingat tanda-tanda sebelumnya. Sudah cukup lama berita pembakaran di kawasan Pecinan beredar. Warga mengira berita itu teror belaka. Tidak menyangka ada orang berhati iblis yang tega menghancurkan kawasan tersebut. Orang-orangpun membentuk barikade, menutup jalan-jalan.menanyai orang tidak dikenal yang lewat di distrik itu. Mencari air sebanyak mungkin untuk meredakan api yang mengamuk di kampung mereka. Sebagian besar Gang Pinggir dilalap api. Tidak seorangpun tahu, siapa yang memporak-porandakan semua itu (KYT:393394). “Andaikata negeri ini masih lama dipimpin Boeng Karno, owe yakin orang-orang totok dan peranakan akan dilindungi. Tapi sayang, Boeng Karno bukanlah mandor negara yang pintar mengatur.” (KYT:428) “Owe sendiri bingung. Apakah Gang Pinggir dan sekitarnya hendak disingkirkan dari kota Semarang? Kami seperti dibedakan dari kampungkampung lain.” “Bukannya itu mestinya pertanyaan dari kami? Kalian sejak berpuluhpuluh tahun di Gang Pinggir mendapat keistimewaan dari Pemerintah Belanda.” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
104 digilib.uns.ac.id
“Oh itu politik kelas tinggi. Politik kekuasaan saat orang sseperti owe tidak berkepentingan mendalaminya.” (KYT:429) Nilai kerukunan yang tidak memandang etnis dan golongan sosial juga ditunjukkan oleh Handry TM. Kelompok Soebali yang tinggal di pinggir rel kereta dan bukan berasal dari etnis Tionghoa digambarkan pengarang memiliki kekerabatan yang baik dengan anak-anak di Gang Pinggir. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut. Mereka sebenarnya raja-raja kecil di jalan raya. Kelompok Soebali merupakan kelompok yang paling ditakuti kelompok bermain dari kelompok kampung mana pun. Anehnya, mereka memiliki kekerabatan luar biasa dengan kelompok anak-anak bermata sipit dari kawasan Gang Pinggir (KYT:337). Anak-anak itu juga memiliki sikap sosial yang baik karena menyatakan untuk tidak saling bermusuhan. Mereka memiliki pemahaman yang baik bahwa perang saudara bukanlah perbuatan yang patut dilakukan seperti yang tersurat dalam kutipan berikut ini. “Kita akan perang saudara, tahukah kalian apa artinya perang saudara?” “Oh, aku tahu. Perang yang melibatkan antara diri kita sendiri. Melawan saudara sendiri.” (KYT:336) “Kita harus bersumpah. Kita tidak akan bermusuhan. Ayo bersumpah!” kata Soebali. Lagaknya sudah seperti pemimpin (KYT:337). b. Nilai Pendidikan Moral Moral merupakan tingkah laku perbuatan manusia yang dipandang dari nilai baik-buruk, benar dan salah berdasarkan adat kebiasaan dimana individu itu berada. Nilai moral dibagi menjadi dua segi, yaitu segi positif dan negatif. Nilai moral positif dan negatif tersebut perlu disampaikan karena memiliki pesan teladan yang bermanfaat bagi pembaca. Segi positif ditonjolkan sebagai hal yang patut ditiru, direnungi, dan diteladani. Demikian dengan segi negatif juga perlu disampaikan kepada pembaca agar tidak tersesat serta dapat membedakan hal yang baik dan buruk. Novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM memberikan nilai pendidikan bagaimana bersikapcommit yang tobaik user terhadap sesama di lingkungan
105 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bermasyarakat dan mempertahankan pendirian yang teguh agar tidak terseret karena pengaruh hal-hal buruk. Nilai pendidikan moral yang terdapat dalam novel Kancing yang Terlepas salah satunya adalah menghormati orang yang lebih tua. Orang yang dihormati tersebut dalam novel ini adalah Tek Siang. Bentuk penghormatan terhadap Tek Siang misalnya terlihat pada anggota orkes “Perkoempoelan Tjahaya Timoer” yang tidak mengolok langsung mengenai apa yang terjadi di dalam orkes. Selain itu, Tan Kong Gie memperlihatkan rasa hormatnya pada Tek Siang dengan memberikan makanan pada Tek Siang yang sedang sakit dan juga memerintahkan anaknya untuk memberi hormat ketika bertemu dengan Tek Siang. Berikut kutipan yang menunjukkan hal tersebut. Untuk mengolok langsung apa yang terjadi di tobong orkes ini, mereka tidak terlalu berani. Risikonya terlalu besar terhadap kelangsungan hidup perkumpulan ini (KYT:27). Dengan kerendahan hati dan penuh penghormatan, setiap sore Tan Kong Gie memerintahkan tukang masaknya menanak bubur beras lembut bagi Tek Siang (KYT:166). “Begitu berhadapan dengan Koh Siang, kamu harus memberi hormat,” kata Tan wanti-wanti pada Sioe (KYT:386). Sebagai tokoh pemimpin orkes “Perkoempoelan Tjahaya Timoer”, Tek Siang juga harus dapat bersikap tegas terhadap anak buahnya. Tek Siang harus tegas
menghukum kekurangajaran
yang
telah
dilakukan anggota orkesnya
walaupun sebenarnya ia tidak tega. Hal tersebut mengandung nilai moral bahwa seorang pemimpin tidak boleh dilemahkan pikirannya dan kuat pendiriannya agar tidak terjadi lagi hal yang tidak diinginkan. Hal tersebut dapat ditunjukkan dari kutipan berikut. Tapi jangan coba-coba menggoda, ia bukan jenisnya macan tua yang suka iga kelinci sekenanya. Tatapannya akan terhunjam sinis andai ia tidak menghendaki (KYT:9). Di balik pintu, laki-laki tua itu pun mengusap air mata iba. Ingin sekali dibukanya pintu tersebut, lantas membawa masuk Giok Hong ke kamarnya. Namun martabat dirinya sebagai pemimpin melarang keras melemahkan pikiran. Giok Hong harus menerima hukuman atas kekurangajarannya (KYT:46). commit to user
106 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selain itu, nilai pendidikan moral juga didapat dari tulisan pengarang yang menyatakan bahwa kesedihan tidak baik untuk dipelihara. Hal tersebut tersirat dari nasihat Ing Wen pada Hong untuk menghindari keluh kesah. Kemudian juga tampak pada nasihat Lena Teng kepada anak-anaknya untuk tidak selalu dirundung kesedihan karena The Oen Kiat meninggal. Ia berkata bahwa mereka boleh bersedih, tetapi setelah pemakaman The Oen Kiat tidak boleh bersedih lagi.
Berkaitan dengan itu, Lena Teng juga meminta Tek Siang untuk
memaafkan
kesalahan
suaminya,
The
Oen
Kiat semasa hidup.
Berikut
kutipannya. “Lho...Lho...lho, jangan begitu, Nik. Omongan seperti itu pertanda bibit ketidaksenangan. Cik Ing ndak suka Hong berkeluh kesah begitu (KYT:28) “Bersedihlah hari ini hingga beberapa hari menjelang pemakaman papah kalian. Setelah itu, kita ndak boleh bersedih lagi (KYT:71). “Apakah dia pernah menyakitimu, Koh? Kalau iya ikhlaskanlah untuk memaafkannya.” (KYT:72) Kepedihan sudah terlalu lama mendera. Giok Hong sudah tidak mampu lagi memperkirakan kepedihan seperti apa di masa datang. Hanya satu harapan, semoga ada masa yang bisa membalik seluruh takdirnya (KYT:122). Novel Kancing yang Terlepas juga memuat tokoh yang dapat diteladani karena sifat-sifatnya yang baik, misalnya Tan Kong Gie. Tan Kong Gie adalah pribadi yang bijaksana, dermawan, tulus, dan rendah hati. Hal ini tampak pada dialognya dengan Boenga Lily yang mengatakan bahwa Boenga Lily dapat menganggapnya sebagai ayahnya sendiri. Selain itu, ia juga tidak pernah menyakiti orang lain dan mengeluh tentang kehidupannya. Sifat-sifat Tan Kong Gie tersebut bernilai pendidikan moral karena dapat menjadi teladan bagi pembaca novel Kancing yang Terlepas. Berikut kutipannya. Kini Tan Kong Gie meitikkan air mata. Menjadi laki-laki bijaksana kadang perlu menitikkan air mata (KYT:178). “Anggap aku ayahmu sendiri. Anggap, sekarang inilah memulai hidupmu, di rumah ini. Kenapa kamucommit semarah to ini?” user (KYT:193).
perpustakaan.uns.ac.id
107 digilib.uns.ac.id
Ing Wen mengangguk. Pasrah terhadap kemarahan yang akan ditimpakan. Tapi tidak, dengan wajah tulus, laki-laki tua itu lantas mendekat, bicara setengah berbisik padanya, “Berarti Tek Siang belum makan malam, ya?” (KYT:224). Tan tidak pernah menyakiti orang lain. Jika tersakiti, yang menjadi tumpuan keluhan adalah foto mendiang leluhurnya, lantas mencari hio untuk bersembahyang. Tan tidak pernah mengeluh terhadap kehidupannya. Bahkan ketika lambat laun Rumah Makan Mei Wei menjadi besar, Tan pun tidak menunjukkan kegembiraan yang berlebihan. (KYT:238). Sebagai lelaki yang dikenal bijaksana, hati kecil Tan menolak untuk memaksa. (KYT:367) Hidup harus rela, harta benda Cuma titipan dewa.” “Ambillah, Koh. Saya ikhlas, mungkin memang buka rezeki saya.” (KYT:391) Seseorang dengan moral yang baik akan mempengaruhi moral orang-orang di sekitarnya. Sosok Tan Kong Gie yang memiliki sifat dan sikap yang terpuji telah menjadi teladan bagi keluarga dan pelayannya. Seperti sikap Tan Kong Gie, istri dan anaknya juga memiliki pribadi yang utuh dengan giat bekerja daripada banyak berbicara. Begitu pula dengan pelayan Tan Kong Gie, Soeroto juga memperoleh pelajaran hidup tentang kebaikan karena telah lama hidup dengannya. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut. Sungguh keluarga yang sangat sederhana. Baik dari segi jumlah maupun persoalan yang terolah. Mereka tidak banyak bicara, melainkan bekerja. Tutur kata dan ekspresi istri serta ketiga anak yang kesemuanya perempuan itu, cerminan dari pribadi yang utuh ( KYT:184). Berpikiran kotor memang jauh dari kebiasaan Soeroto. Bertahun-tahun hidup bersama Tan Kong Gie, ia selalu memperoleh pelajaran bab demi bab tentang kebaikan. Tentang bagaimana menghadapi godaan (KYT:238). Jeda sejenak, istri Tan merenung lama. Tidak bisa berpikir lain kecuali berusaha membahagiakan suaminya. Yang lebih penting, ia tidak ingin kehilangan laki-laki ini (KYT:261). “Begitu berhadapan dengan Koh Siang, kamu harus memberi hormat,” kata Tan wanti-wanti pada Sioe (KYT:386). commit to user
108 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selain pesan pengarang yang positif, novel Kancing yang Terlepas juga menampilkan
nilai
moral
negatif sebagai pelajaran
bagi pembaca
agar
menghindari tingkah laku yang kurang baik. Nilai moral negatif ditampilkan pada para lelaki yang memiliki hubungan gelap dengan Siaw Hiok Hong/Boenga Lily, yaitu Tek Siang, The Oen Kiat, Tan Kong Gie, dan Prasetijo. Padahal baik secara hukum maupun agama, perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan karena mereka tidak memiliki ikatan yang sah dengan sang wanita. Siaw Giok Hong pun seolah menikmati perannya sebagai wanita penggoda untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Nilai moral negatif tersebut dapat dibuktikan dalam kutipan berikut. Tidak Cuma yang hampir tengah arena. susah si tamu
mnggenggam tangan, dalam suasana pesta pora, laki-laki susah menyangga tubuhnya sendiri itu malah berjoget di Giok Hong masih meladeni, dengan terus menempel gerakan istimewa ini (KYT:40).
Ly, kamu sedang menggodaku. Ketahuilah, belum pernah aku tergoda sehebat ini pada perempuan selain istriku. Ini bagian yang paling aku hindari. Kamu benar-benar menyiksa malam- malamku.” (KYT:234). Namun dini hari ini, Soeroto mendapati tuannya dengan ketidakbijaksanaan yang berbeda. Tidur setengah telanjang di kamar seorang perempuan muda. Meninggalkan nyonya besar yang selalu setia di kamarnya (KYT:238). Kalimat saling memuji dan saling memberi ruang, menjadi pemanis di tengah-tengah percumbuan mereka. “Bukankah Mas Pras telah berkeluarga?” “Tidak perlu bertanya bagaimana mengatasinya. Aku jagonya menyimpan rahasia. Negara memercayaiku, apalagi keluargaku.” (KYT:376) “Anak siapa dia?” “Hasil hubungan gelap papahku dengan pembantu rumah tangga kami.” “Jadi, di tubuh Lily mengalir darah papah Koh Tek Siang?” “Owe tidak peduli. Owe perlakukan dia sebagai adik sekaligus pelampias nafsu. Sampai sekarang owe tidak pernah menikah dan berhubungan badan dengan orang lain kecuali Giok Hong”. (KYT:412-413) Nilai moral negatif juga ditampilkan oleh tokoh Giok Hong yang tidak segan-segan melakukan tindakan pembunuhan untuk melawan orang yang to user menyakitinya. Kemudian ia jugacommit membunuh kedua pelayan Prasetijo yang tidak
109 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memiliki
kesalahan
apa-apa
agar
kejahatannya
tersamarkan.
Tindakan
perencanaan pembunuhan juga dilakukan oleh Lena Teng untuk menguasai harta warisan suaminya. Begitu pula dengan Tek Siang yang membunuh anak dari Tan Kong Gie, Sioe yang dianggap telah menentang rencana busuknya untuk menipu keluarga Tan Kong Gie. “Dalam Kepergiankoe njang beberapa hari ini, koeharap kamoe bisa membakar roemahkoe dan memboenoeh Zeng djoega Giok Hong di tengah hoetan. Boeang ke djoerang, djangan sampek orang tau kedoeanja adalah anakkoe...---Tjik Lena.” (KYT:150) “Owe yang memerintahkan untuk membunuhnya. Kalau sudah marah besar, owe bisa lebih keji dari kakek moyang binatang buas sekalipun.” (KYT:413) Tidak ada rasa jijik atau bahkan menyesali, Lily menancapkan ujung pisaunya berkali-kali di dada dan perut kekasihnya ini. Setelah yakin Prasetijo tidak bergerak lagi, baru Lily beranjak, menuju kamar mandi, membasuh sisa darah di tangannya dengan tenang sekali (KYT:438). Seketika itu pula nafsu iblis Lily membuncah. Mendadak Lily balik ke rumah tadi. Dengan mengendap-endap ia menemui Pak Mangoen terlebih dahulu. Tanpa pikir panjang, orang tua itu dicekiknya dari belakang hingga hilang napas. Kemudian ia mencari istri Pak Mangoen yang masih terisak menghadapi peristiwa tragis kematian Parasetijo. Tanpa pikir panjang, pisau yang masih berada tidak jauh dari mayat Prasetijo pun dirampasnya. Ia bunuh dengan keji istri Pak Mangoen seketika itu juga. (KYT:440) “Aku baru saja membunuh beberapa orang. Aku menjadi buronan negara, lebih baik bersembunyi di balik lindungan orang-orang Bapak.” (KYT:446) Selain pembunuhan dan hubungan gelapnya dengan beberapa lelaki, Giok Hong juga melakukan tindakan kurang terpuji dengan menjadi agen mata-mata bagi gerakan kiri. Menjadi agen politik organisasi anti pemerintah adalah tindakan yang kurang terpuji karena tidak menunjukkan sifat nasionalisme. Meskipun banyak perilaku Giok Hong yang kurang terpuji, ia sebenarnya memiliki jiwa yang terdidik. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut. Aku menjadi agen politik sebuah organisasi pengecut di negeri ini,” katanya dalam hati (KYT:402). commit to user
110 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Aku bersama-sama Giok Hong sejak ia menjelang remaja. Ia anak baik, jiwanya sangat terdidik,” lanjut Ing Wen (KYT:171).
c. Nilai Pendidikan Budaya Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi tingkah laku manusia.
Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang
disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan kepercayaan, simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan perilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Nilai-nilai budaya tampak pada simbol-simbol, slogan, moto, visi misi, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok moto lingkungan dan organisasi. Handry TM melalui novel Kancing yang Terlepas menjelaskan adat/tradisi budaya etnis Tionghoa yang berada di Gang Pinggir, Pecinan Semarang. Pecinan Semarang memiliki banyak nilai budaya yang dapat kita jadikan pelajaran. Novel Kancing yang Terlepas menampilkan budaya-budaya yang unik yang dimiliki masyarakat etnis Tionghoa di Pecinan Semarang dan tidak dimiliki oleh etnis yang lain. Salah satu budaya yang menonjol, yaitu Cap Go Meh yang melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Tahun Baru Imlek bagi komunitas Tionghoa di seluruh dunia. Masyarakat Pecinan Semarang merayakan Cap Go Meh sebagai bagian dari tradisi perayaan Tahun Baru Imlek. Hal tersebut dapat ditunjukkan pada kutipan sebagai berikut. Hawa panas seperti ini paling hanya beberapa lama saja berlangsung, karena di awal tahun 1960-an, Cap Go Meh dipastikan jatuh pada musim penghujan. (KYT: 76) Ing Wen terus mengayuh sepeda ke lorong lain. lorong perkotaan tempat rumah-rumah penuh dengan gelantungan lampion. Tepat di perempatan, Ing Wen berusaha menikmati semaraknya lampu-lampu menjelang Tahun Baru Imlek. Akan terjadi perayaan besar pada penanggalan bulan purnama di hari pertama.puncaknya, pada penanggalan ke-15, berlangsung Cap Go Meh, perayaan Tahun Baru paling besar bagi kalangan orang-orang Tionghoa (KYT:218). commit to user
111 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Budaya Cap Go Meh merupakan bagian dari budaya perayaan Tahun Baru Imlek, yaitu tahun baru berdasarkan penanggalan orang Tionghoa. Pada hari-hari menjelang Imlek, suasana di pemukiman Pecinan Semarang nampak meriah. Orang orang bersuka cita, rumah-rumah dipasangi lampion berwarna merah, bahkan ada yang mengecat pilar rumah dengan warna merah. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut ini. Yang ia lihat saat ini, Gang Pinggir terkesan memerah. Orang-orang bersuka cita, rumah-rumah makan saling mematut diri dengan hiasan berwarna cerah. (KYT: 218). Hampir mendekati perayaan Imlek. Hujan turun berkepanjangan. Suasana malam di Gang Pinggir tidak penah berubah dari sebelumnya. Rumah-rumah tua berbenah, dibersihkan dari debu-debunya, sebagian pilarnya dicat merah. (KYT:307). Masyarakat
Pecinan
Semarang
juga
memiliki tradisi saat
anggota
keluarganya meninggal. Keluarga mendiang akan menggelar pelayatan sesuai dengan kekayaan yang dimiliki. Semakin kaya keluarga tersebut, semakin besar pula pelayatan yang digelar. Keluarga mendiang biasanya memakai pakaian belacu warna putih mangkak, sedangkan mendiang sendiri mengenakan busana kebesarannya. Masa berkabung dilakukan selama beberapa hari sebelum jenazah diperabukan/dikremasi. Selain itu, dalam tradisi ritual orang meninggal dalam etnis Tionghoa masyarakat Pecinan semarang, tangis bersahut-sahutan hampir menjadi tradisi. Ada pengatur khusus yang mempersiapkan tangisan bersama dari para kerabat untuk menunjukkan rasa duka yang dalam terhadap kepergian mendiang. Berikut kutipannya. Rumah seluas setengah perkampungan Sebandaran ini berbenah menyambut para takziah. Istri Oen Kiat telah mengenakan pakaian belacu berwarna putih mangkak. Demikian pula ketiga putra-putri mereka yang mulai beranjak remaja. (KYT:70) Tetes air mata itu jatuh ke bagian tubuh Oen Kiat yang terbungkus rapi baju kebesaran. (KYT:74) Tangis bersahut-sahutan hampir menjadi tradisi ritual sang-seng orangorang Tionghoa. Bahkancommit ada to pengatur user khusus yang mempersiapkan
112 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tangisan bersama dari para kerabat, sekadar menunjukkan rasa duka yang dalam terhadap kepergian Oen Kiat. (KYT:74) “Kami akan menggelar masa perkabungan selama tujuh hari sebelum perabuan,” tambah Lena lagi. (KYT:75) Di kawasan selatan, seorang tokoh sedang berpulang. Keluarga menggelar pelayatan besar-besaran. Isak tangis dan doa-doa dipanjatkan. Keluarga itu semakin menunjukkan kekayaannnya dengan cara merencanakan perabuan yang tidak biasa. (KYT:98) d. Nilai Pendidikan Agama Nilai pendidikan agama
merupakan sudut pandang yang mengingat
manusia dengan Tuhan pencipta alam dan seisinya. Agama merupakan pegangan hidup bagi manusia yang dapat menanamkan sikap manusia untuk tunduk dan taat kepada Tuhan atau dalam keseharian disebut dengan takwa. Salah satu nilai pendidikan agama yang ditanamkan dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM adalah selalu memohon pertolongan dari Tuhan (Thian) apabila memiliki kesulitan hidup. Seperti yang ditunjukkan tokoh Giok Hong dan Ing Wen yang selalu menyebut nama Thian ketika ia tengah memanjatkan doa untuk penderitaan yang ia dan Tek Siang alami selama ini. “Thian, aku mohon pertolongan, aku tidak berdaya.. desisnya dalam hati (KYT:93). “Oh, Thian... Thian Yang Maha Segala. Jauhkan Koh Siang dari derita yang panjang dan melelahkan,” Ing Wen memohon doa pada Ia Yang Agung (KYT:113). “Oh, Thian. Janganlah kau perpanjang penderitaanku melalui perintah dewa-dewa. Aku sudah terlalu letih menjalani ini semua (KYT:122). “Thian?” Paidi tidak paham maksud istilah itu. “Tuhan akan membantu seperlunya untuk kita.” (KYT:346) Ajaran Kong Hu Chu yang dianut masyarakat Gang Pinggir, Pecinan Semarang juga memiliki ritual ibadah seperti ajaran agama yang lain, yaitu sembahyang. Sembahyang merupakan salah satu cara berkomunikasi penganut ajaran ini dengan Tuhan dan Dewa-Dewa. Seperti yang ditunjukkan oleh Nasihat commit to user Ing Wen pada Giok Hong untuk sering bersembahyang karena hal ini akan
perpustakaan.uns.ac.id
113 digilib.uns.ac.id
menambah keimanan dan menguatkan hati Giok Hong terhadap kehidupanyang diratapinya. Sembahyang juga dilakukan oleh tokoh Tan Kong Gie yang bersifat religius. Ia tidak pernah mengeluh dengan hidupnya dan segera bersembahyang apabila hatinya sedang tersakiti. Tek Siang juga menunjukkan cara berdoa pada Yang Maha Tinggi dengan menyekutukan tangan di celah lubang udara tertinggi di rumahnya. “Kamu cari-cari, mbok kok goleki piye carane supaya bisa udhar, ya tetep ndak isa. Semua ini Dewa-lah yang kuasa. Banyak-banyaklah sembahyang,” kata Ing Wen dengan terus menatapi mata Hong yang berkedip-kedip. “Kowe aja nangis, ya. Ndak baik, nangis terus.” (KYT:31) Tan tidak pernah menyakiti orang lain. Jika tersakiti, yang menjadi tumpuan keluhan adalah foto mendiang leluhurnya, lantas mencari hio untuk bersembahyang. Tan tidak pernah mengeluh terhadap kehidupannya. Bahkan ketika lambat laun Rumah Makan Mei Wei menjadi besar, Tan pun tidak menunjukkan kegembiraan yang berlebihan (KYT:238). Tek Siang pun mencari celah lubang udara tertinggi di rumah ini. Ada celah udara menyerupai jendela di dinding atas sana. Ia pun segera menyekutukan tangan, membentuk persembahan pada Yang Maha tinggi di langit sana (KYT:302). Pasangan Tan Kong Gie dan istrinya juga menunjukkan sifat religiusitas dengan mengikhlaskan kejadian buruk yang menimpa keluarga mereka, yaitu saat anak mereka, Sioe meninggal. Mereka juga mengingat bahwa Hari Akhir pasti akan datang dan kesalahan mereka akan terhitung. “Begitukah, Koh? Rasanya baru kemarin kita mengasuh. Kesalahan kita akan dihitung di Hari Akhir nanti.” “Kita ikhlaskan saja ya, Nik... ayo kita bersepakat untuk ikhlas.” Mereka berpelukan lagi, saling mencium pipi, saling melindungi, dan mengasihi. (KYT:427) Rasa berdosa terhadap Tuhan merupakan salah satu tanda bahwa seseorang masih mengingat tentang keberadaan Tuhan. Sebagaimana tokoh Tan dan Lily yang diselimuti rasa berdosa karena memiliki hubungan yang tidak semestinya. Mereka diselimuti rasa berdosa setiap kali mendengar kata-kata dosa. Hal itu dibuktikan juga oleh pernyataan Timoer Laoet bahwa sebenarnya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
114 digilib.uns.ac.id
orang-orang berdosa lah yang menghakimi dirinya sendiri ketika berbuat salah, dan mereka harus bertobat dengan cara mereka sendiri. Berikut kutipannya. Setiap kali mendengar kata-kata dosa, pikiran Tan dan Lily selalu diselimuti berbagai rasa berdosa. Terkadang, keduanya berpandangpandanganan, dan mencoba menghibur diri sendiri. (KYT:314) “Siapakah yang mengajarimu menghakimi orang-orang berdosa, sehingga mereka menitikkan air mata begitu mendengar syair-syairmu yang menghantam rasa salahnya?” “Tidak ada. Orang-orang berdosa itu sedang menghakimi dirinya sendiri. Ia harus bertobat dengan caranya sendiri.” (KYT:314) Lantas katanya, “Thian, bahkan para Utusan Langit seperti dewa-dewi itu, tidak bekerja sepenuh hati dalam membersihkan hati para penghuni bumi. Dewa hanya menggiring hawa keinginan kita, tidak mengarahkan hendak bagaimana kita. Jiwa kitalah yang menghendaki semua ini. Maka, jika Tuan Besar ingin bertobat, giringlah hati kecil Tuan agar mengaku dosa.” (KYT:315) Tan menangis sejadi-jadinya. Ia bersujud, memohon ampun terhadap Thian yang Maha Suci. Ia ingin menolong anaknya, barangkali masih bisa diselamatkan. (KYT:395) Cara beribadah tidak hanya dilakukan dengan bersembahyang, karena menurut kutipan di bawah ini, Dewa Dapur mencatat kebaikan para pekerja keras walaupun ia tidak melakukan sembahyang. Bekerja keras merupakan bagian dari ibadah meskipun bukan berupa bersembahyang di altar doa dan membakar dupa/hio. Selain itu, beribadah juga dapat ditunjukkan dengan beramal seperti tokoh Tan dalam kutipan di bawah ini yang membangun tempat ibadah di Pecinan. Orang yang berkeringat, dalam keyakinan Tek Siang adalah gerakan memuliakan Thian. Ajaran itu didapat dari petuah mendiang neneknya yang wafat lima belas tahun lalu “Cucuran keringat itu sebanding dengan ceceran dupa yang meleleh,” kata mendiang. “Thian menyuruh Dewa Dapur mencatat kebaikan para pekerja keras, sekalipun dia tidak pernah sembahyang,” katanya. Ucapan itu sangat melekat di hati Tek Siang yang beranjak tua. Tidaklah heran jika kerja keras adalah bagian dari ritual hidupnya. Meski bukan berarti sembahyang di depan altar lantas ditinggal. (KYT:77) Lebih mencengangkan lagi, Tan tobermaksud untuk membangun tempat commit user peribadatan menengah, persis di tengah distrik ini (KYT:308).
115 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e. Nilai Pendidikan Historis Nilai pendidikan historis yang digambarkan dalam novel Kancing yang Terlepas ini adalah nilai historis pemerintahan Republik Indonesia pada pergantian zaman Orde Lama menjadi Orde Baru. Tahun 1960-an yang menjadi latar novel ini, menampilkan sejarah pemerintahan Indonesia di kala itu. Saat itu, sudah terjadi perpecahan sikap politik antara Soekarno dan Mohammad Hatta. Soekarno-Hatta adalah dua tokoh besar Indonesia yang sangat berjasa kepada bangsa Indonesia. Hubungan keduanya telah menempatkan keduanya menjadi tokoh Dwitunggal Indonesia. Namun di balik itu terdapat dinamika antara Soekarno Hatta. Hubungan harmonis masa pendudukan Jepang tak bertahan lama.
Perpecahan tokoh Dwitunggal tersebut ditandai dengan mundurnya
Mohammad Hatta sebagai wakil presiden Indonesia pada 1 Desember 1956. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam kutipan berikut ini. Meski Indonesia telah merdeka lima belas tahun lalu, Tek Siang toh tetap belum mengakui Republik ini sebagai tanah tumpah darahnya. Pikiran kolotnya mulai berubah ketika mendapat cerita saudara misannya, Oen Lie, tentang terjadinya perpecahan sikap politik antara Mohammad Hatta dan Soekarno. Tek siang kian tertarik mempelajari orang-orang kunci pendiri negara yang nyaris kocar-kacir ini. Puncaknya, penggesek biola tua itu menyimpulkan, sungguh pedihlah persahabatan yang dikoyak perselisihan (KYT:8). Sesuai dengan sejarah Indonesia di masa itu, novel Kancing yang Terlepas juga
menggambarkan
hubungan
politik
tokoh
dengan
Soekarno
komunis.
yang
Komunis
dikasak-kusukkan digosipkan
akan
memiliki menguasai
pemerintahan Indonesia di kala itu. Digambarkan sebagai "dalang" besar, Soekarno mendapatkan kekuasaan dari usahanya menyeimbangkan kekuatan yang
berlawanan
dan
semakin
bermusuhan
antara Tentara
Nasional
Indonesia (TNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1965, PKI telah menembus semua tingkat pemerintahan, mendapatkan pengaruh besar dan juga mengurangi kekuasaan TNI. Tentara telah terbagi, antara sayap kiri yang pro-PKI, dan sayap kanan yang didekati oleh negara-negara Barat. Hal tersebut commit to user dapat dibuktikan dalam kutipan berikut.
perpustakaan.uns.ac.id
116 digilib.uns.ac.id
Berita lain yang memanas di Radio Repoeblik Indonesia adalah ketidakpastian arah politik Soekarno. Soekarno mulai dikasak-kusuk sedang main mata dengan komunis. Sudah menjadi hal umum di kalangan warga warga Tionghoa, kasak-kusuk politik dari Jakarta, akan merembet pesat dari rumah satu ke rumah mewah para saudagar, hingga distrikdistrik rapat Pecinan (KYT:48). Yang tidak mampu merencanakan apa pun, hanya pasrah menunggu. Selebaran gelap menjadi gosip sehari-hari yang berseliweran di pikiran mereka. Belum lagi, katanya Komunis akan menguasai tampuk pemerintahan (KYT:162). Pada masa Demokrasi terpimpin (1959-1966), PKI melancarkan kampanye besar-besaran untuk meningkatkan popularitas. Lagu “genjer-genjer” merupakan salah satu propaganda yang disukai dan dinyanyikan di berbagai kesempatan. Akibatnya orang mulai mengasosiakan lagu ini sebagai “lagu PKI”. Berikut ini kutipan yang menunjukkan lagu tersebut merupakan lagu partai komunis. “Kalian kenal lagu Genjer-genjer?” “Ha? Genjer-genjer? Wah, sekampung kami mulai pintar menyanyikan lagu itu, Pak Tentara”. (KYT:41) “Itu lagunya (genjer-genjer) partai komunis. Itu berbahaya buat negeri ini,” katanya. (KYT:42) Handry TM dalam novel Kancing yang Terlepas ini menonjolkan dampak pergeseran politik Indonesia
terhadap etnis Tionghoa pada pergantian ke zaman
Orde Baru. Pemerintah Indonesia dikabarkan akan membatasi kehidupan sosial kaum keturunan karena dianggap sebagai antek dari kelompok komunis. Isu politik
yang tersebar melalui telepon dan sobekan surat kabar yang
diselundupkan tersebut membuat warga etnis Tionghoa gelisah. Mereka merasa dikerdilkan dan tersingkir dari kota Semarang. Ketika Indonesia memasuki masa guncangan politik dan krisis pada tahun 1965, semua organisasi Tionghoa dan semua sekolah Tionghoa ditutup. Berikut kutipan yang menunjukkan. Isu politik yang berkepanjangan menjadikan warga Tionghoa terpelajar amat gelisah. Berhari-hari mereka diganggu kabar melalui telepon dan sobekan surat kabar yang diselundupkan. Kabar itu datang dari para kerabat di Djakarta dan Kuala Loempoer. Menurut berita, Pemerintah Indonesia akan membatasi commit kehidupan sosial kaum keturunan. (KYT:162) to user
117 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selebaran dimana-mana. Temanya beragam. Ada yang bertuliskan: “Tetaplah di belakang Soekarno!” Ada pula tema-tema seperti: “Revolusi Setengah Hati” atau: “Doekoeng Pemerintahan Baroe!” atau setidaknya begini: “Waspadai Kafir Baroe!. Siapa mendukung siapa, siapa menyerang siapa, orang-orang Gang Pinggir tak paham mengartikannya. Secara sejarah dan budaya, bersikap ataukah tidak bersikap, warga Pecinan telah dianggap anak-cucunya RRT (Repoeblik Rakjat Tjina). Lebih celaka lagi, mereka dianggap anteknya komunis. Tidak mendukung pemerintah, akan berhadapan dengan massa rakyat yang bersatu padu mendukung Boeng Karno. (KYT:317) “Di distrik ini, orang-orang Cina dikerdilkan. melangkah,” kata Tek Siang. (KYT:355)
Kita
harus
pintar
“Agar ada kesan bahwa kelompok Tionghoa adalah kelompok komunis, dengan demikian harus disudutkan,” sambung Prasetijo. “Owe sendiri bingung. Apakah Gang Pinggir dan sekitarnya hendak disingkirkan dari kota Semarang? Kami seperti dibedakan dari kampung-kampung lain.” (KYT:381) “Bukannya itu mestinya pertanyaan dari kami? Kalian sejak berpuluhpuluh tahun di Gang Pinggir mendapat keistimewaan dari Pemerintah Belanda.” “Oh itu politik kelas tinggi. Politik kekuasaan saat orang sseperti owe tidak berkepentingan mendalaminya.” (KYT:429) Pada tahun 1965 Suharto mulai berkuasa sesudah penggagalan percobaan kudeta (dikenal dengan sebutan gerakan 30 September atau G30S atau gestapu) yang ditengarai didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa sesudah upaya kudeta tersebut, pecah kerusuhan anti-Tionghoa di kota-kota besar di Indonesia. Di tengah kerusuhan ini, massa menyerang sekolah dan organisasi masyarakat Tionghoa dan merusak mobil, motor, rumah, dan toko milik orang Tionghoa untuk mengungkapkan rasa permusuhan mereka terhadap Tiongkok, orang Tionghoa, atau kepada penganut aliran Komunis. Dalam novel ini, rumah keluarga Oen Kiat termasuk dalam sasaran kerusuhan anti Tionghoa. Rumah itu dibakar karena tersengar kabar bahwa Oen Kiat ikut membiayai gerakan pemuda di Partai Komunis Indonesia. Pemukiman di Gang pinggir pun seolah dihancurkan karena sebagian besar dilalap oleh api. Berikut kutipan yang menunjukkan kerusuhan anti-Tionghoa tersebut.
commit to user
118 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Rumah belakang keluarga Oen Kiat justru dibakar massa, bertiup kabar bahwa Oen Kiat ikut membiayai gerakan pemuda yang mulai mesra dengan Partai Komunis Indonesia. Para pembakar itu, jelas bukan orangorang Sebandaran, kawasan tempat Oen Kiat tinggal. Orang-orang itu entah dari mana asalnya (KYT:162). “Kabar burung itu akhirnya terbukti,” beberapa dari mereka mulai mengingat-ingat tanda-tanda sebelumnya. Sudah cukup lama berita pembakaran di kawasan Pecinan beredar. Warga mengira berita itu teror belaka. Tidak menyangka ada orang berhati iblis yang tega menghancurkan kawasan tersebut. Orang-orangpun membentuk barikade, menutup jalan-jalan.menanyai orang tidak dikenal yang lewat di distrik itu. Mencari air sebanyak mungkin untuk meredakan api yang mengamuk di kampung mereka. Sebagian besar Gang Pinggir dilalap api. Tidak seorangpun tahu, siapa yang memporak-porandakan semua itu. (KYT:393394) Dari radio amatir, terdengar kasak-kusuk, pemerintahan Soekarno hendak dijatuhkan. Entah dari mana berita itu bermula. Yang pasti, kabar tentang negara baru ini dirasa sudah mulai melemah di kalangan masyarakat paling bawah. (KYT:316) Novel ini juga menggambarkan bahwa pemerintahan Soekarno hendak digulingkan. Terdapat suatu kelompok yang diikuti oleh Boenga Lily yang menginginkan sebuah negara yang dipimpin oleh Sang Pembenar atau panglima tertinggi.
Negara
tersebut
memiliki konsep
sejahtera
bersama
dan
akan
menghancurkan konsep republik dan kerajaan. Berikut kutipannya. “Bukankah yang hendak menggulingkan pemerintahan adalah kawankawan dekat pemerintah sendiri? Kata Tek Siang gusar.” (KYT:329) Tanpa tersurat secara jelas, mereka memuja-muja sebuah negara yang dipimpin oleh Sang Pembenar, atau panglima tertinggi yang kelak akan dimitoskan sebagai panutan. Negara dengan konsep sejahtera bersama, petani dan orang kecil menjadi prioritas mobilisasi utama. Pergerakan itu tidak jelas apa namanya. Namun, yang Lily ingat, mereka akan menghancurkan konsep republik dan kerajaan. (KYT:402) 3. Relevansi Novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dengan Pembelajaran Sastra di Perguruan Tinggi. Penelitian ini mengkaji hubungan novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dengan pembelajaran sastra di Perguruan Tinggi. Novel Kancing commit to user yang Terlepas karya Handry TM dikaji dengan menggunakan pendekatan
perpustakaan.uns.ac.id
119 digilib.uns.ac.id
sosiologi sastra beserta nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya. Selanjutnya, pendekatan sosiologi sastra dan nilai-nilai pendidikan tersebut dapat digunakan peneliti untuk mengetahui kegunaan novel Kancing yang Terlepas sebagai bahan pembelajaran sastra di Perguruan Tinggi. Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa informan. Dari pertanyaan yang diajukan, dua informan memberikan tanggapan bahwa novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM ini memiliki relevansi dengan pembelajaran sastra di Perguruan Tinggi. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kutipan wawancara berikut. Dalam hal ini relevansinya dengan pembelajaran sastra secara umum karya ini bisa memberikan pengayaan terhadap kehidupan sastra di Indonesia. Dalam arti bisa melengkapi karena persoalan dalam novel ini begitu kompleks karena kehidupan sosial budaya dalam masyarakat Cina yang tertuang dalam novel ini bisa menjadi pengayaan bagi pembaca dari berbagai etnis dalam ranah pembelajaran sastra di Indonesia terutama di Perguruan Tinggi. (CLHW 1, 2015) Menurut saya layak dan bisa juga dijadikan materi ajar dengan alasan bahwa dari sisi bentuknya sebagai novel, sementara isinya memang kaya ada berbagai persoalan yang bisa dipelajari. Apakah karya ini dapat ditinjau dari sisi feminisme, sosiologi sastra, dan psikologi dari tokohtokohnya, dan kehidupan sosial masyarakatnya. Bahkan dapat ditinjau dari sisi sejarahnya sendiri. Atau dari sisi pengarangnya yang kita lihat sastra jurnalistiknya karena pengarang adalah wartawan. Artinya, novel ini sebagai bacaan saya kira dimensinya tidak hanya dari isi karya itu tetapi juga bisa ditinjau dari sisi ekstrinsiknya atau dari segi pragmatisnya, yaitu bagaimana sambutan masyarakat terhadap novel ini seperti apa. (CLHW 1, 2015) Kehidupan sosial budaya masyarakat dalam novel Kancing yang Terlepas ini dapat melengkapi karya-karya sastra berlatarkan sosial budaya dan sejarah Indonesia. Jadi, wawasan mengenai sosial budaya masyarakat etnis Cina yang terdapat di dalam novel ini dapat bermanfaat dalam pembelajaran sastra. (CLHW 2, 2015) Novel ini cocok dijadikan materi ajar, misalnya pada materi sosiologi sastra bisa, Mbak. (CLHW 2, 2015) Berdasarkan data-data yang diuraikan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa novel Kancing yang Terlepas commit to karya user Handry TM memiliki relevansi
120 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan pembelajaran Sastra di Perguruan Tinggi. Informan 1 menyatakan bahwa novel ini dapat ditinjau dari sisi feminisme, sosiologi sastra, psikologi sastra, dan juga pragmatis. Selain itu, menurut informan 2 wawasan mengenai sosial budaya masyarakat etnis Cina yang terdapat di dalam novel ini dapat bermanfaat dalam pembelajaran sastra. Kehidupan sosial budaya masyarakat dalam Kancing yang Terlepas ini dapat dijadikan referensi sebagai karya-karya sastra
yang
berlatarkan sosial budaya dan sejarah Indonesia.
4. Tanggapan Pembaca terhadap Novel Kancing yang Terlepas Karya Handry TM Eksistensi karya sastra di hadapan pembaca adalah salah satu tujuan penciptaan karya sastra oleh pengarang. Sebuah karya sastra yang diterbitkan akan dinikmati, dinilai, dan diberi tanggapan oleh pembacanya. Pengarang, karya sastra, dan pembacanya memiliki hubungan yang linier. Hal ini memiliki arti bahwa setelah pengarang menciptakan karya sastra, karya sastra tersebut akan mendapat tanggapan dari para pembaca. Pembaca novel tersebut akan memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya. Tanggapan pembaca dapat menjadi salah satu tolok ukur keberterimaan karya sastra dalam masyarakat dan dapat
menentukan sebuah karya sastra dianggap berkualitas
atau tidak. Sebuah karya sastra akan memiliki tanggapan yang berbeda-beda dari para pembacanya. Hal ini dapat terjadi karena setiap pembaca memiliki perbedaan pemahaman makna dan perbedaan penilaian terhadap sebuah karya sastra yang dibacanya sehingga peneliti dapat mengambil berbagai sisi resepsi yang didapat dari pembaca. Hal ini berkaitan dengan sosiologi pembaca dalam lingkup sosiologi sastra yang memfokuskan diri pada hubungan antara karya sastra dengan masyarakat. Keduanya memiliki hubungan dan saling mempengaruhi, baik pada masyarakat penunulisnya, masyarakat yang digambarkan dalam karya sastra, maupun masyarakat pembacanya. Karya sastra harus mampu hadir dalam kehidupan bermasyarakat dan secara aktif memberi pengaruh pada kehidupan commit to user bermasyarakat bagi masyarakat pembacanya.
121 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Peneliti dalam penelitian ini juga mengkaji data yang diambil dari tanggapan pembaca. dalam hal ini tidak ada batasan yang menentukan berapa banyak informan yang menanggapi novel Kancing yang Terlepas, karena penelitian ini bersifat kualitatif. Namun terdapat lima informan yang telah dipilih untuk menanggapi novel ini. Tanggapan pembaca ini dibagi menjadi dua jenis pembaca, yaitu pembaca ideal atau ahli dan pembaca umum. Pembaca ideal dipilih dari kalangan sastrawan dan dosen sastra Indonesia, sedangkan pembaca umum dipilih dari kalangan mahasiswa. Pembaca ideal tersebut adalah Drs. Yant Mujiyanto, M.Pd., Dra. Murtini, M.S., dan Riana Wati, S.S., M.A., sedangkan pembaca umumnya adalah Abdurrakhman Hadiyanto,
S.
Pd.
dan Yani
Isnaniyah, S. Pd. Sebelum wawancara, peneliti membuat beberapa pertanyaan sebagai titik fokus permasalahan yang akan diteliti sehingga relevan dengan penelitian. Kemudian, wawancara dilakukan baik secara langsung dengan informan maupun berdiskusi melalui email. Berikut ini tanggapan pembaca terhadap novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dari peneliti. a. Drs. Yant Mujiyanto, M.Pd Tanggapan pembaca dalam uraian ini diambil berdasarkan kutipan catatan lapangan hasil wawancara 5 (CLHW 5). Yant Mujiyanto memberi tanggapan mengenai novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM ini memiliki tema lebih kepada kemelut rumah tangga dalam perkumpulan Orkes Tjahaya Timoer. Menurut Yant Mujiyanto, novel ini menonjolkan gaya hidup hedonis tokoh utama, Siaw Giok Hong dengan pasangan kumpul kebonya, Tek Siang. Kemudian muncul pihak ketiga yang membuat situasi runyam. Hal ini terungkap dalam petikan wawancara sebagai berikut. Tema novel ini menurut saya adalah kemelut rumah tangga dalam perkumpulan Orkes Tjahaya Timoer, gaya hidup hedonis tokoh utama dengan pasangan kumpul kebonya. Kemudian munculnya pihak ketiga yang bikin runyam dan berakhir dengan serentetan kematian/pembunuhan. (CLHW 5, 2015) commit to user
122 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kemudian yang ingin diungkapkan pengarang dalam novel menurut Yant Mujiyanto
adalah
hasrat
bercerita
secara
mendalam dan jernih tentang
perempuan, politik, dan kekuasaan. Novel fiksi ini bercerita gonjang-ganjing politik prolog epilog G 30 S/PKI. Pandangan Yant Mujiyanto terhadap keseluruhan peristiwa dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM adalah
penghayatan
Tionghoa.
mendalam
Peristiwa-peristiwa
terhadap dalam
kehidupan
novel
ini
sosial
budaya
menguatkan
etnis
bagaimana
kehidupan sosial budaya etnis ini, seprti dunia kesenian etnis Tionghoa, dunia bisnisnya, dan dunia klangenan beserta aspek kriminalitas yang mereka lakukan. Berikut kutipan wawancaranya. Pandangan saya terhadap keseluruhan peristiwa dalam novel ini adalah penghayatan yang mendalam terhadap sosial budaya masyarakat etnis Tionghoa dengan segala pernak-perniknya menyangkut dunia kesenian mereka (orkes), sepak terjang bisnis mereka, juga dunia klangenan mereka serta aspek kriminalitas yang mereka lakukan. (CLHW 5, 2015) Menurut Yant Mujiyanto, latar novel Kancing yang Terlepas sangat erat dengan sejarah Indonesia tahun 1965-an, karena disana ditampilkan huru-hara penangkapan
orang-orang
etnis
Tionghoa
yang
dianggap
terlibat
kudeta
berdarah G 30 S. Juga opini-opini pro dan kontra yang muncul seputar geger 1965. Kehidupan sosial budaya masyarakat dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM menurut Yant Mujiyanto sangat jelas dan digambarkan secara baik. Pengarang dinilai dapat menghidupkan suasana sosial budaya masyarakat etnis Tionghoa pada tahun 60-an. Hal itu ditunjang dengan dialog antar tokoh yang ada pada novel ini yang menggunakan dialek etnis Tionghoa, yaitu pemakaian kosakata bahasa Mandarin. Selain itu, hal yang lebih membuat hidup gambaran mengenai sosial budaya novel ini dapat dilihat dari adegan-adegan di perkumpulan orkes yang dibina oleh Tek Siang, yang kebetulan berada di rumah Tek Siang. Berikut ini petikan wawancara yang menyatakan pendapat Yant Mujiyanto mengenai kehidupan sosial budaya masyarakat novel Kancing yang Terlepas. Mengenai kehidupan sosial budaya masyarakat etnis Tionghoa dalam to user sangat piawai melukiskannya. novel ini, saya melihat commit sang pengarang
123 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dialog yang muncul pada tokoh-tokoh dengan menggunakan dialek yang dicampuri pemakaian kosakata bahasa Mandarin menambah hidup suasana. Adegan di tempat hiburan (pentas orkes) dan situasi rumah tangga Tek Siang, Oen Kiat dll mencerminkan potret sosial budaya tersebut. (CLHW 5, 2015) Kehidupan yang ada dalam novel berdasarkan realitas di masyarakat Indonesia, menurut Yant Mujiyanto cukup menyatu, artinya pengarang berhasil menjadikan novelnya sebagai layar proyeksi kehidupan, dan dipadukan dengan dunia batin pengarang sehingga jauh dari deskripsi dunia jurnalistik dan investigasi. Gaya bahasa dalam novel Kancing yang Terlepas menurut Yant Mujiyanto bertaburan aneka ragam gaya bahasa. Yaitu dominan metafora, simile, hiperbola, personifikasi, paralelisme, klimaks, antiklimaks, satire, croni, sarkasme, paradoks, pleonasme, dll. Pengaruh novel Kancing yang Terlepas dalam diri Yant Mujiyanto adalah novel ini dapat menambah beberapa wawasan, yaitu mengenai sosial budaya masyarakat Tionghoa, suasana pemukiman Pecinan Semarang pada tahun 1960an, dan orkes etnis Tionghoa pada masa itu. Selain itu melalui novel ini, Yant Mujiyanto juga dapat membayangkan situasi huru-hara penangkapan warga etnis Tionghoa yang dituduh bekerja sama dengan kelompok komunis dan juga penangkapan serta penyiksaan yang dilakukan oleh TNI kepada mereka. Pendapat tersebut terungkap dalam petikan wawancara berikut ini. Pengaruh novel Kancing yang Terlepas bagi saya, saya mendapatkan wawasan cukup luas tentang sosial budaya masyarakat Tionghoa, suasana Pecinan Semarang pentas orkes tahun 1960-an, huru-hara penangkapan, penyiksaan dan penahanan orang-orang yang dituduh terlibat G30 S tahun 1965. Melalui novel ini, saya merasa diajak menikmati nostalgia masa lalu yang manis dan pahit. (CLHW 5, 2015) Berkaitan
dengan
uraian sebelumnya,
nilai pendidikan dalam novel
Kancing yang Terlepas karya Handry TM menurut Yant Mujiyanto, yaitu nilai budaya, nilai moral, dan nilai religius/agama. Nilai budaya diperoleh dari pendidikan seni budaya dalam pentas orkes Perkoempoelan Tjahaya Timoer yang dipelopori oleh Tek Siang dengan primadonanya, Giok Hong. Sedangkan, to user nilai moral bukannya diperoleh commit dari tokoh-tokoh utama, namun justru didapat
124 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dari tokoh-tokoh pembantu yang setia melakukan perintah majikan-majikannya, sekaligus
menjadi
teman
bagi
majikannya
secara
psikologis.
Nilai
religius/agama juga dapat ditangkap dari adegan saat tokoh-tokoh sedang berdoa. Mereka selalu menyebut nama Thian (Tuhan) saat berkeluh kesah mengenai
kehidupannya.
Hal
tersebut
dapat
dibuktikan
dengan
petikan
wawancara berikut ini. Dalam novel karya Handry TM ini saya temukan juga sejumlah nilai didik, namun tidak banyak. Saya lebih banyak menjumpai refleksi kehidupan sosial masyarakat Tionghoa, kejiwaan mereka disini. Novel dibuka dengan lukisan yang indah tentang pendidikan seni budaya dalam pentas orkes Perkoempoelan Tjahaya Timoer. Pengetahuan saya tentang miskinnya apresiasi seni orang-orang Tionghoa terbantah dengan kehadiran pentas orkes yang dipelopori Tek Siang dengan Giok Hong sang primadona. Ironisnya, nilai-nilai moral justru ditampilkan oleh tokoh-tokoh pembantu (yang kebetulan menjadi pembantu) seperti Ing Wen, Pardjan, Soeroto, yang setia membersamai majikan-majikan mereka, ikut memperlancar aktivitas mereka, bisa menjadi teman curhat yang meringankan beban. Dengan porsi kecil, kita juga bisa menjumpai adanya kasih sayang dan pengorbanan tokoh-tokoh cerita. Nilai religius ditandai pada waktu-waktu tertentu tokoh-tokoh cerita berdoa, mencurahkan keluh kesah kepada Tuhan. (CLHW 5, 2015) Selanjutnya, menurut pendapat Yant Mujiyanto, novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dapat dijadikan pilihan bacaan bagi mahasiswa perguruan tinggi karena memuat pengetahuan dan manfaat bagi mahasiswa perguruan
tinggi.
Pengetahuan
dan
manfaat
tersebut,
yaitu
memperoleh
wawasan yang cukup luas dan mendalam tentang budaya penduduk etnis Tionghoa di wilayah Pecinan Semarang pada tahun 1960-an. Kemudian manfaat lainnya yaitu mahasiswa dapat menikmati karya sastra ini dari segi pendiksian dan aneka gaya bahasanya. Mereka dapat berimajinasi dengan penggambaran yang dilakukan oleh Handry TM dalam novel tersebut. Selanjutnya, mahasiswa mendapatkan gambaran mengenai sejarah yang pernah terjadi di Indonesia, yaitu kemelut sosial politik keruntuhan Orde Lama pada tahun 1960-an dan penumpasan orang orang yang dianggap berperan dalam tragedi G 30 S/PKI. Berikut kutipan wawancara yang menunjukkkannya. Menurut saya dapat dijadikan pilihan bacaan mahasiswa perguruan tinggi commit to user karena memuat pengetahuan dan manfaat bagi mahasiswa perguruan
125 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tinggi: (1) Memperoleh wawasan yang cukup luas dan mendalam tentang sosial budaya penduduk etnik Tiongkok di wilayah Pecinan (Gang Pinggir dan kawasan Kota Lama) Semarang dengan denyut kehidupan masyarakatnya yang spesifik pada tahun-tahun 1960-an; (2) Menikmati keindahan pendiksian dan aneka gaya bahasa serta hadirnya sejumlah imajeri, membuat novel ini bisa dianggap punya nilai sastra yang tinggi; dan (3) Pembaca mendapatkan gambaran tentang sejarah kemelut sosial politik keruntuhan Orde Lama berikut penumpasan orang-orang yang dianggap terlibat G 30 S/PKI oleh penguasa Orde Baru. (CLHW 5, 2015) Kemudian kritik dan saran Yant Mujiyanto terhadap novel ini adalah adanya sedikit kejanggalan tentang perusakan wajah Giok Hong yang kemudian menjelma Boenga Lily yang cantik jelita. Sedangkan sarannya, sebaiknya novel ini lebih ditingkatkan pemasarannya terutama untuk para pembaca etnis Cina karena rasanya novel ini sangat tepat untuk mereka.
b. Dra. Murtini, M. S. Infoman kedua yang menanggapi novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM adalah Dra. Murtini, M.S., dosen sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas maret. Hasil wawancara dengan beliau terangkum dalam catatan lapangan hasil wawancara 1 (CLHW 1). Berdasarkan kutipan hasil wawancara dengan Dra. Murtini, M.S., beliau menanggapi bahwa tema dari novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM ini merupakan gambaran dari kehidupan bermasyarakat yang sangat kompleks. Tema novel ini dinilai berhubungan dengan masalah kemanusiaan. Masalah yang diusung novel ini menurut Murtini sesuai dengan yang dituliskan di dalam novel, yaitu masalah perempuan, politik, dan kekuasaan yang dimunculkan oleh tokoh
utamanya,
Siaw
Giok
Hong.
Berikut
kutipan
wawancara
yang
menunjukkannya. Iya, saya kira tema dari novel ini merupakan suatu gambaran dari masyarakat yang sangat kompleks yang berhubungan dengan masalah kemanusiaan, seperti yang tertera dalam novel yang menuliskan tentang masalah perempuan, politik, dan kekuasaan yang dimunculkan oleh tokoh utama, Siaw Giok Hong. (CLHW 1, 2015). commit to user
126 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan pendapat Murtini, pengarang dalam novel Kancing yang Terlepas ingin mengungkapkan peristiwa sejarah yang pernah terjadi di Indonesia pada khususnya dampaknya terhadap masyarakat etnis Tionghoa. Pengarang ingin mengungkapkan bahwa kelompok
minoritas seperti etnis
Tionghoa pun ikut berperan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu pengarang juga ingin menggembarkan bahwa kelompok etnis Tionghoa dari zaman Kemerdekaan sampai sekarang ini selalu menjadi pihak yang dicurigai, padahal terdapat sebagian dari mereka yang turut membantu berdirinya NKRI. Data tersebut didapatkan dari kutipan wawancara berikut. Melalui latar belakang sejarah itu, yang tidak tertera di mata pelajaran, pengarang ingin memunculkan bahwa ada komunitas yang dianggap minoritas ternyata juga ikut urun (berperanan) itu terlibat dalam pemerintahan republik Indonesia dalam hal ini ingin menampilkan sepak terjang kelompok Cina yang diwakili oleh Tek Siang, Tan Kong Gie, dll. Artinya bahwa komunitas ini ikut membantu tentang kehadirannya di RI, hanya pengarang ingin mengungkapkan bahwa kelompok Cina dari zaman Kemerdekaan sampai sekarang ini selalu menjadi pihak yang dicurigai, sehingga pengarang ingin mengungkapkan bahwa kelompok ini ikut andil dalam berdirinya bangsa ini. (CLHW 1, 2015). Bertemali dengan uraian di atas, Murtini berpendapat mengenai kehidupan sosial budaya masyarakat dalam novel Kancing yang terlepas karya Handry TM. Dari segi sosial, masyarakat etnis Tionghoa dinilai Murtini dapat berbaur dengan masyarakat setempat tetapi dengan cara yang kurang baik. Dalam novel tersebut, masyarakat etnis Tionghoa dalam menjalin hubungannya dengan masyarakat setempat seringkali berupa pemberian uang atau makanan. Hal itu memunculkan pertanyaan Murtini apakah masyarakat etnis Tionghoa sudah biasa melakukan perilaku
suap
dalam berhubungan bermasyarakat atau dalam berdagang.
Kemudian menimbulkan pertanyaan lanjutan apakah perilaku suap dilakukan karena etnis Tionghoa adalah kelompok minoritas di negara Republik Indonesia, ataukah memang sudah menjadi kebiasaan mereka dari zaman nenek moyang. Perilaku seperti itu juga memunculkan kesimpulan bahwa orang pribumi mudah menerima suap dan diperbudak. Selanjutnya dari segi budaya, tampak usaha seorang tauke kaya, tek Siang commit to user yang mempelopori berdirinya kesenian etnis Tionghoa melalui Perkoempoelan
127 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tjahaya Timoer. Hal itu dinilai Murtini bahwa Tek Siang ingin mengembangkan kesenian dan berjuang untuk membangkitkan kesenian dari negeri Tiongkok tersebut. Hal itu tergambar dalam kutipan wawancara berikut. Mengenai sosial budaya, kita melihat dulu segi budaya yang tampak, terdapat orkes dalam perkumpulan Cina itu, perkumpulan tjahaya timoer yang ditampilkan disitu, Tek Siang ingin mengembangkan kesenian itu berarti dia akan berjuang dan bergerak salah satunya di ranah kesenian. (CLHW 1, 2015) Menurut
Murtini,
pandangan
dunia
pengarang
dalam
menciptakan
kehidupan masyarakat dalam novel, yaitu pengarang menyuguhkan hiruk pikuk persoalan sosial politik yang terjadi di Indonesia. Kemudian pengarang ingin mengangkat bahwa yang dapat mengukir sejarah Indonesia bukan hanya orangorang besar, tetapi juga orang-orang kecil berperan dalam pembentukan NKRI. Pendapatnya tentang pandangan dunia pengarang, sosok yang biasa pun ikut membangun kehidupan. Murtini berpendapat bahwa gaya bahasa dalam novel ini relatif mengalir. Pengarang memiliki kebiasaan untuk menuliskan syair lagu dengan ejaan lama, begitu pula nama orang dan nama kota. Hal tersebut senada dengan sejarah 60an dimana tahun 60-an masih menggunakan ejaan lama. Pilihan katanya mudah ditangkap menjadi satu kesatuan yang utuh dalam cerita, meskipun disisipi oleh istilah Jawa dan Cina untuk memperkuat karakter tokoh dan jalan cerita sehingga maksud pengarang tersampaikan. Novel Kancing yang Terlepas apabila ditinjau dari segi sastra, dari unsur intrinsiknya sudah memenuhi karya sastra. Sebagai novel, menurut Murtini novel ini termasuk kategori lancar, bukannya novel yang absurd/abstrak artinya, dipandang dari sastra, novel memiliki sifat konvensional. Pengalurannya runtut dari awal sampai akhir meskipun terdapat satu pengaluran yang agak tergesa-gesa. Inti dari novel ini menurut Murtini adalah pengarang ingin memberikan informasi kepada pembaca bahwa etnis Tionghoa adalah bagian dari masyarakat Indonesia. Walaupun sekarang ini Murtini berpendapat bahwa etnis ini agak diistimewakan dari etnis lain. Seharusnya Handry TM lebih menunjukkan etnis commit toMenurut user Cina dan pribumi yang lebih membaur. Murtini, novel Kancing yang
128 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terlepas karya Handry TM ini memiliki nilai-nilai pendidikan yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh mahasiswa. Murtini berpendapat bahwa pelajar pada era sekarang ini berbeda dengan pelajar pada era terdahulu. Novel ini dapat digunakan mahasiswa untuk membedakan yang mana baik buruknya kehidupan sehingga dapat meneladani hal-hal yang baik saja tanpa harus terpengaruh dengan nilai buruknya. Nilai pendidikan yang dapat dipetik adalah apabila seseorang ingin meraih sesuatu, atau ingin berprofesi sesuatu itu harus diperoleh dengan cara yang benar agar tidak memiliki nasib yang tragis, seperti yang digambarkan oleh tokoh Giok Hong yang nasibnya berakhir tragis. Selain itu hidup harus ditempuh dengan kejujuran dan apa adanya, berlawanan dengan sikap Tek Siang dan Tan Kong Gie yang saling telikung untuk mendapatkan hal yang mereka inginkan.
Kutipan wawancara yang menunjukkannya sebagi
berikut. Saya berpendapat, nilai pendidikan yang dapat dipetik adalah orang yang ingin meraih sesuatu atau ingin berprofesi sesuatu, misalnya pemimpin atau penyanyi harus diperoleh dengan cara yang benar karena apabila diperoleh dengan cara yang tidak benar akan memiliki nasib yang tragis pada akhirnya. Seperti contohnya dalam novel ini, Giok Hong yang berprofesi sebagai penyanyi memiliki suara dan dididik dengan bagus pada akhirnya menempuh hidupnya dengan cara yang tidak benar. Dia merasa sebagai korban, padahal kalau ia memiliki prinsip, ia akan memiliki hidup yang tidak berakhir tragis. Tokoh Tek Siang dan Tan Kong Gie yang saling tikung juga mengajarkan bahwa hidup harusnya ditempuh dengan kejujuran dan apa adanya. Sama saja ia memperoleh sesuatu yang diinginkan tetapi hidupnya tidak tenang. (CLHW 1, 2015) Keterkaitan kehidupan sosial budaya masyarakat dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dan relevansinya dengan pembelajaran sastra menurut Murtini, yaitu secara umum karya ini bisa memberikan pengayaan terhadap kehidupan sastra di Indonesia. Dalam arti bisa melengkapi karena persoalan dalam novel ini begitu kompleks karena kehidupan sosial budaya dalam masyarakat Cina yang tertuang dalam novel ini bisa menjadi pengayaan bagi pembaca dari berbagai etnis dalam ranah pembelajaran sastra di Indonesia terutama di Perguruan Tinggi. commit to user
129 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selanjutnya, berdasarkan CLWH 1, novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM
dapat dijadikan pilihan bacaan oleh mahasiswa perguruan tinggi,
juga dapat dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran sastra perguruan tinggi. Novel ini dinilai Murtini memiliki isi yang kaya dengan persoalan yang bisa dipelajari. Novel ini dapat ditinjau dari sisi feminisme, sosiologi sastra, dan psikologi sastra. Selain itu dapat dipelajari juga sisi sejarahnya dan sastra jurnalistik
karena
pengarangnya
yang
merupakan
wartawan.
Novel
ini
dimensinya tidak hanya dari isi karya itu tetapi juga dari unsur ekstrinsik dan pragmatisnya. Berikut kutipan wawancara yang menunjukkannya. Menurut saya layak dan bisa juga dijadikan materi ajar dengan alasan bahwa dari sisi bentuknya sebagai novel, sementara isinya memang kaya ada berbagai persoalan yang bisa dipelajari. Apakah karya ini dapat ditinjau dari sisi feminisme, sosiologi sastra, dan psikologi dari tokohtokohnya, dan kehidupan sosial masyarakatnya. Bahkan dapat ditinjau dari sisi sejarahnya sendiri. Atau dari sisi pengarangnya yang kita lihat sastra jurnalistiknya karena pengarang adalah wartawan. Artinya, novel ini sebagai bacaan saya kira dimensinya tidak hanya dari isi karya itu tetapi juga bisa ditinjau dari sisi ekstrinsiknya atau dari segi pragmatisnya, yaitu bagaimana sambutan masyarakat terhadap novel ini seperti apa. (CLHW 1, 2015) c. Riana Wati, S. S, M. A. Riana Wati, S. S., M. A. Seorang dosen sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya, UNS memberi tanggapan mengenai novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM sebagai novel yang bertemakan kehidupan masyarakat etnis Tionghoa.
Novel ini mengusung kondisi sosial budaya masyarakat etnis
Tionghoa pada tahun 1960-an. Hal tersebut diwakili oleh tokoh-tokoh dalam novel Kancing yang Terlepas sebagai masyarakat Gang Pinggir, Pecinan Semarang. Tema tersebut diungkapkan oleh informan dalam kutipan wawancara berikut. Iya, tema dari novel ini yaitu kehidupan masyarakat etnis Tionghoa. Kondisi sosial budaya masyarakat Cina pada masa 60-an itu sudah cukup diwakili oleh kelompok Gang Pinggir dengan tokoh-tokohnya tersebut. (CLHW 2, 2015) Berdasarkan CLHW 2, Riana Wati mengaku bingung terhadap masalah commit to user yang ingin diungkapkan oleh Handry TM dalam novel Kancing yang Terlepas
130 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebut. Menurut beliau, gambaran mengenai masyarakat etnis Tionghoa dalam novel ini kurang bagus karena penuh dengan sifat yang kurang baik dari tokohtokohnya. Walaupun pengarang memiliki banyak referensi mengenai budaya Tionghoa, Riana Wati menilai novel ini kurang menggambarkan sosial budaya masyarakat Tionghoa di Indonesia yang baik. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam petikan wawancara sebagi berikut. Saya agak bingung menjawab pertanyaan ini karena pada awalnya saya berpikir Handry TM ingin mengungkapkan sosial budaya masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia. Namun apabila menilik novel ini, gambaran Handry TM mengenai masyarakat etnis Tionghoa saya rasa kurang bagus karena penuh dengan intrik dan saling telikung. Padahal, saya lihat Handry TM memiliki banyak referensi dari buku-buku yang ia pinjam dari kawannya yang beretnis Cina. (CLHW 2, 2015) Berbeda penggambaran
dengan
uraian
di
atas,
menurut
pendapat
Riana
Wati,
tentang kehidupan sosial budaya masyarakat dalam novel
Kancing yang Terlepas karya Handry TM ini sudah cukup bagus. Kehidupan sosial budaya masyarakat etnis Tionghoa bisa dilihat dari ciri khas kehidupan sosial
budaya
masyarakat
etnis
Tionghoa
yang
sebenarnya.
Misalnya
penggunaan nama-nama tokoh yang sesuai, budaya Cap Go Meh, Imlek, dan makanan khas kue keranjang, altar pemujaan, dan juga istilah-istilah Cina. Dari sisi religiusnya pun sudah melukiskan kenyataan karena novel ini menyorot kepercayaan etnis Tionghoa, yaitu Thian (Tuhan) dan juga dewa-dewanya. Hal yang masih dirasa kurang oleh Riana Wati adalah konsep diri dari tokoh-tokoh dalam novel yang diragukan apakah mewakili keturunan Tionghoa asli di Indonesia. Berikut kutipan wawancara yang menggambarkan. Penggambarannya sudah cukup bagus. Bisa dilihat dari nama-nama tokohnya yang sudah sesuai, kemudian kondisi budayanya misalnya ada Cap Go Meh, budaya Imlek, makanan kue keranjang, ada altar pemujaan, kemudian istilah-istilah Cina. Selain itu terdapat penggambaran dewadewa yang dipuja, atau seperti istilah Thian yang berarti tuhan, seperti di Indonesia yang sering menyebut tuhan saat kesulitan. Namun ada yang kurang menurut saya, yaitu konsep diri dari tokoh-tokohnya, apakah itu mewakili orang keturunan Cina pada kenyataannya. Seperti contohnya tokoh Tan Kong Gie yang awalnya baik kemudian buruk sehingga tidak bisa diraba bagaimana sifatnya. (CLHW 2, 2015) commit to user
131 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Riana Wati, pandangan dunia pengarang dalam menciptakan kehidupan masyarakat dalam novel kurang bisa mewakili orang keturunan Cina secara keseluruhan walaupun mungkin pengetahuannya tentang orang keturunan Cina banyak mengingat ia adalah seorang wartawan. Namun menurutnya, Handry TM ingin menyorot kehidupan masyarakat etnis Cina yang dianggap minoritas di negeri ini. Kemudian dari segi gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam novel ini menurut Riana Wati bukan bahasa yang absurd, tetapi bahasa yang realitas, apa adanya/lugas. Terkadang kalau ada beberapa ungkapan bahasa Jawa dan Tionghoa untuk mendukung setting cerita. Bagi Riana Wati, sastra itu merupakan karya yang indah karena bahasanya. Fungsinya pun memberi amanat dan menghibur. Kemudian apabila dikaitkan dengan novel Kancing yang Terlepas, apakah itu mendidik dan menghibur, jawabannya akan sangat subjektif. Menurutnya, terdapat nilai yang mendidik dan juga kurang mendidik. Mendidik karena menggambarkan kehidupan sosial budaya etnis Cina dan kurang mendidik karena terdapat beberapa adegan panas dan jalan pikiran tokoh yang culas/licik. Dikatakan cukup menghibur karena menambah wawasan kita mengenai kebudayaan etnis Cina. Inti cerita novel Kancing yang Terlepas ini menurut Riana Wati adalah kehidupan seorang biduanita etnis Tionghoa yang berjuang dan ingin sosoknya tercatat dalam sejarah negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Riana Wati, nilai-nilai pendidikan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh mahasiswa yakni dari novel Kancing yang Terlepas ini, adalah perlunya konsep diri dan prinsip hidup yang jelas. Riana Wati melanjutkan bahwa kita harus memiliki pendirian yang kuat agar tidak mudah terombang-ambing dengan kerasnya
kehidupan
apalagi
ditipu
oleh
orang
lain.
Berikut
kutipan
wawancaranya. Nilai pendidikan yang dapat diambil yaitu milikilah konsep hidup dan prinsip hidup yang jelas. Jangan mudah terombang-ambing dengan pendirian diri sendiri. Jangan mudah terpengaruh dengan orang lain apalagi terpengaruh sisi negatifnya karena dapat mencelakakan diri sendiri. Seperti tokoh Giok Hong itu pendiriannya kurang kuat sehingga mudah ditipu oleh orang yang menyamar sebagai tukang pedati. (CLHW commit to user 2, 2015)
perpustakaan.uns.ac.id
132 digilib.uns.ac.id
Keterkaitan kehidupan sosial budaya masyarakat dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dan relevansinya dengan pembelajaran sastra menurut Riana Wati kehidupan sosial budaya masyarakat dalam novel Kancing yang Terlepas ini dapat melengkapi karya-karya sastra berlatarkan sosial budaya dan sejarah Indonesia. Jadi, wawasan mengenai sosial budaya masyarakat etnis Cina yang terdapat di dalam novel ini dapat bermanfaat dalam pembelajaran sastra. Kemudian, berdasarkan CLWH 2, novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM
dapat dijadikan pilihan bacaan oleh mahasiswa perguruan tinggi,
juga dapat dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran sastra perguruan tinggi. Hal tersebut berdasarkan pendapat Riana Wati bahwa mahasiswa tingkat tinggi sudah dewasa karena memiliki kemampuan analisis yang luas dan tajam. Novel ini dapat dijadikan referensi mengenai kondisi masyarakat etnis Cina pada tahun 1960-an. Novel ini juga dapat dipelajari dalam materi sosiologi sastra. Namun Riana Wati memberikan catatan bahwa mahasiswa tingkat awal perlu mendapat bimbingan untuk mengkaji novel ini berhubung daya nalarnya yang masih susah membedakan hitam putih dunia. Hal tersebut tertuang dalam kutipan wawancara berikut. Bagi saya layak saja kalau diperuntukkan mahasiswa perguruan tinggi karena berusia dewasa. Tapi dengan catatan, mahasiswa tingkat awal yang baru lulus SMA itu menurut saya masih belum bisa membedakan hitam dan putih yang terkandung dalam karya sastra sehingga bisa saja mereka hanya mengikuti perilaku dari tokoh-tokohnya. Tetapi kalau untuk mahasiswa tingkat tinggi yang lebih dewasa, mereka memiliki analisis yang luas dan tajam itu bisa. Novel ini dapat dijadikan referensi bahwa ada kondisi masyarakat etnis Cina di tahun 60-an seperti yang ditunjukkan dalam novel. Dengan demikian, mahasiswa bertambah wawasannya. (CLHW 2, 2015) d. Yani Isnaniyah, S. Pd. Informan selanjutnya adalah Yani Isnaniyah, S. Pd. yang merupakan mahasiswa Pasca PBI UNS sebagai pembaca umum. Berdasarkan Catatan Lapangan Hasil Wawancara 4 (CLHW 4) menyebutkan bahwa tema dari novel commit to user kehidupan perempuan di tengah Kancing yang Terlepas ini adalah mengenai
133 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kejamnya politik dan kekuasaan pada masa itu. Hal ini sesuai dengan petikan wawancara berikut. Tema dalam novel Kancing yang Terlepas Karya Handry TM adalah mengenai kehidupan politik dan kekuasaan yang menjadikan perempuan sebagai korban (CLHW 4, 2015) Yang ingin diungkapkan pengarang dalam novel Kancing yang Terlepas karya
Handry
TM
menurut
Yani
Isnaniyah
adalah
pengarang
ingin
mengungkapkan misteri yang terjadi pada tahun 60-an. Misteri yang tercipta saat keadaan Negara Indonesia pada keadaan yang tidak aman karena banyak terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh komunis. Keadaan tersebut semakin menyudutkan
warga
Tionghoa
yang
merupakan
minoritas
warga
negara
Indonesia. Pandangan Yani Isnaniyah terhadap keseluruhan peristiwa dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM adalah novel ini membebaskan pembaca untuk memberikan penafsiran terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam novel. Menurut Yani Isnaniyah, pembaca bebas menginterpretasikan apa makna di balik kejadian di dalam novel yang kebanyakan berupa misteri. Hal tersebut memiliki arti bahwa imajinasi setiap pembaca berbeda-beda. Misalnya peristiwa di akhir novel yang menceritakan lenyapnya Boenga Lily yang dibawa oleh orang yang menyamar sebagai tukang pedati. Hal tersebut tertuang dalam kutipan wawancara berikut. Keseluruhan novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM adalah pada umumnya novel tersebut membebaskan kepada pembaca untuk memberikan penafsiran terhadap setiap kejadian yang diceritakan oleh pengarang karena secara umum kejadian-kejadian dalam novel tersebut masih misteri. Para pembaca diberikan kebebasan untuk memberikan interpretasi tersendiri untuk mengungkap makna dibalik cerita tersebut. Sebagai contoh, cerita itu diakhiri dengan peristiwa-peristiwa yang masih misterius dengan dilenyapkannya Boenga Lily, dibawa seseorang entah kemana. Hal tersebut tidak diungkapkan secara jelas. (CLHW 4, 2015) Menurut Yani Isnaniyah, bagian dari novel yang paling berkesan, yaitu ketika anak kecil ditangkap oleh tentara karena menyanyikan lagu Genjer-Genjer. Di dalam penjara mereka diinterogasi mengenai lagu tersebut, darimana mereka commitlagu to user tahu lagu itu, siapa yang mengajarkan tersebut. Kemudian tentara tersebut
134 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menjelaskan mengenai lagu-lagu Genjer-Genjer merupakan lagu partai Komunis. Hal ini memberikan sebuah tanda tanya mengenai komunisme di negara Indonesia dan orang-orang terlibat di dalamnya. Selanjutnya, kehidupan sosial budaya masyarakat dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM mnurut Yani Isnaniyah menggambarkan kehidupan sosial budaya masyarakat etnis Tionghoa. Novel ini menjabarkan budaya/adat kebiasaan mereka, misalnya kesenangan mereka akan pesta pora yang dirayakan dengan adanya orkes. Kemudian prosesi pemakaman masyarakat etnis
Tionghoa yang mendatangkan tim untuk
kebanggan
masyarakat
etnis
Tionghoa
yang
menangisi almarhum, menjadikan
wanita
dan
sebagai
perhiasan dunia. Berikut ini kutipan wawancaranya. Kehidupan sosial budaya masyarakat novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM menggambarkan kehidupan sosial masyarakat Tionghoa dengan adat kebiasaan mereka, mulai dari kesenangan untuk berpesta, kematian seseorang harus ada tim untuk menangis, kecintaan yang luar biasa terhadap sesuatu, dan menjadikan seorang wanita sebagai kebanggaan atau perhiasan. (CLHW 4, 2015) Kemudian berdasarkan pendapat Yani Isnaniyah, kaitan latar novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dengan sejarah pada masa itu adalah pada masa itu banyak hal yang masih menjadi misteri mengenai peristiwa yang terjadi pada tahun 60-an. Pada tahuan 60-an di dalam sejarah merupakan bagian di mana Bangsa Indonesia sedang terjadi konflik antara Pemerintahan dan Komunis yang ingin menghancurkan ideologi yang ada. Sedangkan kehidupan yang ada dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM berdasarkan realita yang ada pada masyarakat Indonesia adalah orang yang memiliki uang merekalah yang berkuasa dan politik selalu bersifat misteri, tidak secara jelas mengungkapkan mana yang benar dan mana yang salah. Selanjutnya, gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam novel menurut Yani Isnaniyah secara umum mudah untuk dipahami tapi di sisi lain terdapat ungkapan atau bahasa yang menggunakan bahasa Cina yang tidak dimengerti oleh pembaca tanpa adanya keterangan tambahan. commit to user
135 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM ini memiliki pengaruh bagi Yani Isnaniyah. Setelah mengetahui kehidupan masyarakat etnis Tionghoa yang dijabarkan di dalam novel, Yani Isnaniyah ingin mengetahui lebih dalam lagi mengenai kehidupan sosial budaya dari masyarakat etnis Tionghoa. Hal ini membuatnya
memiliki
keingintahuan
lebih
mengenai
budaya/adat
lainnya
sehingga ia bertanya kepada temannya merupakan keturunan etnis Tionghoa. misalnya saja dalam novel tersebut menceritakan bahwa terdapat tim Sang Seng, yang bertugas menangisi orang etnis Tionghoa yang meninggal. Tim tersebut diberikan imbalan berupa angpao. Berikut ini petikan wawancaranya. Pengaruh setelah membaca novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM adalah kehidupan masyarakat Cina yang bertentangan dengan kehidupan sehari-hari yang dialami pembaca sehingga membuat pembaca ingin mengetahui lebih dalam bagaimana adat-istiadat dalam budaya Cina. (CLHW 4, 2015) Nilai-nilai pendidikan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari menurut Yani Isnaniyah diantaranya, (1) rasa mencintai. Novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM ini menggambarkan rasa cinta yang menggebu-gebu dari tokoh-tokohnya, (2) menjadi orang yang mampu berterima kasih, (3) menghormati orang yang lebih tua, dan (4) saling menghargai sesama. Berkaitan dengan uraian di atas, Yani Isnaniyah berpendapat bahwa novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM ini dapat dijadikan pilihan bacaan bagi mahasiswa perguruan tinggi. Hal itu didasari oleh kenyataan bahwa dengan membaca
novel tersebut,
mahasiswa
perguruan tinggi dapat memperoleh
pengetahuan dan wawasan mengenai kehidupan sosial budaya masyarakat etnis Tionghoa. Selain itu novel ini juga bermanfaat untuk menambah pengetahuan karya sastra Indonesia yang diciptakan berdasarkan sejarah Indonesia. Berikut kutipan yang menggambarkannya. Novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dapat dijadikan pilihan bacaan bagi mahasiswa perguruan tinggi. Dengan membaca novel tersebut dapat memperoleh pengetahuan mengenai adat istiadat dan kebudayaan masyarakat Tionghoa dan menambah wawasan berkaitan dengan karya sastra yang bertolak dari kehidupan sejarah. (CLHW 4, 2015) commit to user
136 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kritik dan saran Yani Isnaniyah untuk novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM adalah pada novel tersebut banyak menggunakan bahasa Cina yang belum tentu dimengerti oleh masyarakat secara umum sehingga ungkapan yang menggunakan bahasa Cina hendaknya diberi penjelasan dalam bahasa Indonesia.
e. Abdurrakhman Hadiyanto, S. Pd. Informan kelima adalah Abdurrakhman Hadiyantto, S.Pd yang merupakan mahasiswa Pasca PBI UNS sebagai pembaca umum. Tanggapan pembaca dalam uraian ini diambil berdasarkan kutipan catatan lapangan hasil wawancara 3 (CLHW
3).
Berdasarkan
kutipan
wawancara,
Abdurrakhman
memberi
tanggapan bahwa tema novel Kancing yang Terlepas ini menarik karena memiliki alur cerita yang tidak mudah ditebak. Hal itu menjadikan novel ini tidak membosankan untuk dibaca. Abdurrakhman memberi pendapat bahwa kejutan-kejutan dalam novel ini membuat semakin menarik. Contohnya saat adegan Giok Hong yang menghasut anak tertua Lena Teng untuk memusuhi ibunya
sendiri.
Peneliti
mengungkap
hal
tersebut
berdasarkan
kutipan
wawancara berikut. Menarik, novel alur cerita yang tidak mudah ditebak menjadikan novel ini menarik untuk dibaca. Selain itu, muncul kejutan-kejutan kecil dalam cerita sehingga membuat saya merasa terangsang untuk segera menyelesaikan membaca novel ini. Seperti ketika Giok Hong memiliki pemikiran untuk menghasut anak tertua Lena Teng untuk memusuhi ibunya sendiri. Bagian tersebut menurut saya sangat bagus, bahasa yang digunakan cukup sederhana sehingga mudah dipahami meski ada beberapa yang sukar dipahami tiap kata namun maknanya tetap dapat dipahami. (CLHW 3, 2015) Menurut Abdurrakhman, yang ingin diungkapkan pengarang dalam novel adalah kehidupan dan sudut pandang orang pecinan di tanah Jawa pada era tahun 60an. Penulis mencoba membangkitkan imajinasi pembaca tentang kehidupan dan persepektif orang Pecinan di era 60an. Selain itu, kebudayaan yang ditampilkan dalam cerita mempertegas bahwa cerita ini ingin mengangkat kembali memori tentang masa itu. Penulis ingin menyampaikan peranan, konflik, kedukaan dan akibat yang dirasakan orang Pecinan commit pada to usermasa itu, sehingga pembaca tahu
137 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bahwa tidak hanya orang pribumi saja yang merasa tertindas dan mengalami masa sulit pada waktu itu, namun orang Pecinan juga merasakan. Kemudian,
pandangan
Abdurrakhman terhadap
keseluruhan peristiwa
dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM yaitu baik, karena saling terkait antara peristiwa satu dengan peristiwa yang lainnya. Konfliknya pun beragam sehingga menumbuhkan keinginan pembaca untuk segera menyelesaikan novel ini. Misalnya pada cerita awal yang mengungkapkan rasa cinta antara Tek Siang dengan Giok Hong yang begitu dalam, dilanjutkan dengan perasaan kehilangan yang amat sangat karena Giok Hong diculik. Korelasi yang baik juga digambarkan dari tokoh Boenga Lily yang muncul sebagai jelmaan dari Giok Hong. Pendapat Abdurrakhman tersebut dapat dibuktikan dengan kutipan berikut. Bagus, saling berkaitan satu dengan lain dan tertata rapi. Dari awal cerita mengenai bagaimana Tek Siang mencintai Giok Hong, kemudian berlanjut dengan penggambaran perasaan kehilangan yang begitu dalam dari Tek Siang ketika Hong diculik Lena Teng, sampai pada ketika muncul seorang biduan yang bernama Boenga Lily yang sangat mirip dengan Hong memiliki korelasi yang sangat bagus. Ceritanya berkaitan antara cerita satu dengan cerita sebelumnnya. Kemudian konflik yang muncul dalam tiap peristiwa juga beragam dan baru sehingga saya kian terangsang untuk membaca dan menyelesaikan novel ini. (CLHW 3, 2015) Abdurakhman berpendapat bahwa bagian dari novel Kancing yang Terlepas yang paling berkesan ketika sedikit demi sedikit mulai memiliki perasaan pada Zeng walaupun awalnya tidak suka. Menurut Abdurakhman hal itu menarik karena sesuai dengan pepatah yang dikutip Lena Teng “tresno jalaran saka kulino”. Selain itu, usia yang lebih dewasa tidak menjadi masalah bagi Hong yang mungkin pada masa itu, wanita yang lebih tua jarang menikahi pria yang lebih muda karena dianggap sebagai sesuatu yang tidak wajar, hal tersebut juga masih berlaku pada masa sekarang meski sudah tidak setabu dulu. Kehidupan sosial budaya masyarakat dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM menurut Abdurrakhman, dari segi sosial cukup jelas, begitu pula dari segi budayanya.
Dari segi sosial,
novel ini mennjukkan hubungan
masyarakat etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi yang membaur. Walaupun commit to user terdapat perbedaan etnis dan kelas sosial, mereka dapat hidup berdampingan.
138 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sayangnya keadaan itu berubah saat terjadi peristiwa usaha peruntuhan Orde Lama menjadi Orde Baru. Kemudian dari segi budaya, Abdurrakhman menilai sangat istiadat,
menarik
karena
terdapat
pengetahuan-pengetahuan
kepercayaan/agama yang dianut,
mengenai adat
dan juga perayaan hari besar
masyarakat etnis Tionghoa. hal tersebut dapat dibuktikan dengan kutipan wawancara berikut. Dari segi sosial cukup jelas karena saya mendapatkan gambaran mengenai bagaimana masyarakat etnis Tionghoa di Gang Pinggir saling berinteraksi. Antara masyarakat etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi saling membaur. Begitu pula hubungan antara si kaya dan miskin. Mereka dapat hidup berdampingan walaupun pada akhirnya masyarakat etnis Tionghoa di Pecinan Semarang dipinggirkan karena situasi politik yang runyam. Sedangkan dari segi budayanya sangat menarik karena dengan membaca novel ini wawasan saya mengenai budaya masyarakat keturunan Tionghoa semakin bertambah. Adat istiadat, kepercayaan yang dianut, bahkan hari raya serta makanan khas etnis Tionghoa dijelaskan secara apik. (CLHW 3, 2015) Kemudian menurut Abdurrakhman, kaitan latar novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dengan sejarah pada masa itu adalah latar novel Kancing yang Terlepas adalah gambaran dari sejarah yang pernah terjadi di Indonesia, tepatnya pada masa kehancuran Orde Lama tahun 1960-an. Pada masa itu terjadi peristiwa kudeta yang dilakukan oleh kelompok komunis yang kabarnya bekerja sama dengan presiden Soekarno. Kehidupan yang ada dalam novel Kancing yang Terlepas ini berdasarkan realita yang ada di masyarakat Indonesia menurut pendapat Abdurrakhman berkorelasi. Masyarakat Pecinan dalam novel diceritakan mayoritas sebagai pedagang, dalam realitanya benar bahwa kaum Pecinan di Indonesia mayoritas berdagang. Selain itu, kebudayaan yang adapun hampir sama, menikmati orkes sambil meminum arak sudah menjadi kebiasan yang wajar bagi para warga Pecinan. Gaya
bahasa
yang
digunakan
pengarang
dalam
novel
menurut
Abdurrakhman lepas dan sederhana. Penyisipan kata-kata berbahasa asing menjadi daya tarik tersendiri, baik bahasa Cina ataupun bahasa Jawa dipadu commit to user tidak menimbulkan bias makna. padankan oleh penulis dengan baik sehingga
139 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penulis
terkesan
lepas dalam memilih kata yang digunakan terlihat dari
bagaiamana kata yang digunakan adalah istilah-istilah ataupun kata yang sudah sering dijumpai atau digunakan sehingga mudah dipahami. Berlanjut dari uraian di atas, membaca novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM memberi pengaruh tersendiri bagi Abdurrakhman.
Berkaca dari
peristiwa Giok Hong yang berhasil menghasut anak tertua Lena Teng, Zeng untuk mencelakai ibu kandungnya sendiri, menurut Abdurrakhman hal tersebut juga dapat terjadi di kehidupan nyata. Dengan demikian Abdurrakhman menjadi lebih mewaspadai kejahatan-kejahatan yang bisa saja dilakukan oleh orang terdekat. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kutipan wawancara berikut. Ada, lebih waspada. Berkaca dari peristiwa Hong yang berhasil menghasut anak kandung tertua dari Lena Teng yaitu Zeng untuk berkomplot dengan Hong untuk membakar rumah ibunya sendiri. Dari situ, saya berpikir bahwa bisa saja itu terjadi di kehidupan nyata. Kejahatan justru bisa dilakukan oleh orang-orang terdekat. Maka dari itu harus lebih waspada dan berhati-hati. (CLHW 3, 2015) Selanjutnya, Abdurrakhman menyatakan bahwa novel ini memiliki nilainilai pendidikan yang dapat diterapkan sehari-hari. Nilai-nilai pendidikan
itu
adalah pekerja keras, loyal dalam bekerja, dan religius. Pekerja keras ditunjukkan oleh Tek Siang yang selalu berlatih dan melatih anggota orkesnya secara
giat
untuk
menghasilkan pementasan yang indah.
Loyalitas yang
dilakukannya dalah ia tetap memainkan alat musiknya sendiri sebagai wujud kecintaannya terhadap kesenian itu. Ia juga dapat mengontol emosinya ketika wanita yang dicintainya, Giok Hong tengah berjoget dengan sahabatnya sendiri, Oen Kiat. Nilai religius menurut Abdurrakhman dilukiskan dari sikap para tokoh yang selalu mengingat Thian (Tuhan) dalam menjalani kehidupannya termasuk ketika mengalami musibah. Selain itu dilukiskan pula adat istiadat penguburan orang etnis Tionghoa yang meninggal secara agama/kepercayaan mereka. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kutipam wawancara berikut. Ada beberapa, seperti pekerja keras, loyal dalam bekerja, dan religius. Pekerja keras digambarkan dari kegiatan latihan hingga pementasan orkes milik Tek Siang, semua anggota termasuk Tek Siang melakukan latihan tanpa mengenal lelah demi dapatto user melakukan pertunjukan dengan baik. commit Khusus Tek Siang dia menunjukan loyalitasnya dengan memainkan sendiri
140 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
alat musiknya dengan baik dan dapat mengontrol emosinya ketika Hong digoda oleh Oen Kiat yang masih sahabatnya sendiri. Sedangkan religius digambarkan dari bagaimana cara penguburan dengan adat cina, sesaji yang lengkap, dan peristiwa dalam memanjatkan doa ketika tokoh mendapatkan musibah bukan malah mengumpat. (CLHW 3, 2015) Berkaitan dengan uraian di atas, Abdurrakhman berpendapat bahwa novel Kancing yang Terlepas Karya Handry TM dapat dijadikan pilihan bacaan bagi mahasiswa perguruan tinggi. Namun dengan catatan bahwa mahasiswa perlu diberi penjelasan bagaimana menerima isi bacaan dengan cara positif, bukannya secara mentah. Sebagai bahan ajar pembelajaran sastra, mahasiswa masih perlu dibimbing untuk membedakan hal mana yang tidak patut dicontoh, misalnya pada hubungan percintaan tanpa status pernikahan yang dilakukan oleh Tek Siang dan Giok Hong. Hal ini diungkapkan berdasarkan kutipan wawancara berikut. Bisa, asalkan diberi penjelasan dan arahan yang tepat sehingga mahasiswa yang membaca tidak menerima isi bacaan secara mentah-mentah. Perlu bimbingan dalam menggunakan novel ini sebagai bahan pembelajaran karena ada beberapa hal yang perlu dijelaskan seperti hubungan percintaan yang tidak dalam status pernikahan yang bahkan sudah melakukan hubungan badan. Hal tersebut perlu dijelaskan agar mahasiswa tidak salah mengartikan. (CLHW 3, 2015) Kemudian kritik dan saran untuk novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dari Abdurakhman, yaitu latar belakang sejarah Indonesia pada masa pergantian Orde Lama menjadi Orde Baru perlu dijelaskan lagi secara mendalam agar pembaca lebih memahami kondisi politik pada masa itu.
B. Pembahasan 1. Latar Belakang Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel “Kancing yang Terlepas” Karya Handry TM Pendekatan sosiologi sastra mencakup sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi pembaca. Sosiologi karya sastra adalah bagaimana pembaca memaknai karya sastra melalui aspek sosial yang terdapat di dalam karya sastra tersebut (Wellek commit dan Warren, to user 2014:100). Pemahaman terhadap
141 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sosial budaya karya sastra diperlukan untuk memahami kaitan atau hubungan karya sastra dengan keadaan sosial budaya masyarakat dalam kehidupan nyata. Jadi,
sosiologi karya
sastra
menilik
sejauh mana sebuah karya sastra
mencerminkan sebuah masyarakat. Sosiologi karya sastra dalam sebuah karya sastra dapat berupa bahasa, tempat tinggal, pekerjaan, agama dan kepercayaan, pendidikan, falsafah hidup, adat istiadat, dan lain-lain. Sosiologi karya sastra di dalam novel Kancing yangTerlepas karya Handry TM merupakan rekaman kehidupan masyarakat etnis Tionghoa khususnya di Gang Pinggir, Pecinan Semarang pada masa kehancuran Orde Lama tahun 1960an. Pada masa pergantian Orde Lama menjadi Orde Baru tersebut, masyarakat etnis Tionghoa mengalami diskriminasi dari pemerintah Indonesia. Karena dianggap memiliki hubungan dengan kelompok komunis, banyak orang etnis Tionghoa yang ditangkap dan ditahan, bahkan pemukiman mereka dibakar oleh orang yang tidak menyukai pergerakan kelompok komunis. Peristiwa tersebut menggambarkan pelanggaran hak asasi manusia dan ketimpangan-ketimpangan sosial. Di Gang Pinggir, karakter para tokoh saling bertemu, bergesekan, bertukar
pikiran
tentang
ideologi dan jiwa nasionalisme.
Melalui potret
kehidupan dalam novel ini, pembaca mendapat pengetahuan baru dalam bidang sosial dan politik yang terjadi pada periode pergantian Orde Lama menjadi Orde Baru. Selanjutnya, ketimpangan-ketimpangan sosial yang terdapat dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM ini sejalan dengan temuan penelitian Singer (2011:318) yang mengemukakan bahwa ketimpangan-ketimpangan sosial juga ditemukan dalam novel anak-anak. Berdasarkan pembacaan tiga teks sampel, Tales of a Fourth Grade Nothing, A Wrinkle in Time, and Hitty: Her First Houndred Years, Singer menemukan bahwa novel anak-anak juga berkisah mengenai kesenjangan sosial, dan pembaca diajak untuk berpikir kritis terhadap hubungan sosial tersebut. Perbedaan antara kedua penelitian ini adalah ketimpangan-ketimpangan sosial dan pelanggaran hak asasi di dalam novel Kancing yang Terlepas terjadi commit to user pada masyarakat Gang Pinggir, Pecinan Semarang saat periode kehancuran Orde
142 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lama, sedangkan pada penelitian Singer membahasa kesenjangan sosial pada kehidupan anak-anak di Amerika. Penggambaran wilayah dan kondisi sosial yang berbeda yang diceritakan di dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dengan penelitian Singer menjadi salah satu keunggulan dalam penelitian ini. Selanjutnya, Penelitian Agustina yang berjudul “Peranan Sastra Daerah dalam Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan” (2010) membahas bentuk sastra daerah, fungsi sastra daerah, dan peranan sastra daerah dalam penanaman nilainilai pendidikan. Agustina menyimpulkan bahwa secara umum, sastra daerah berperan sebagai media untuk mengingat nilai-nilai yang pernah dikembangkan para leluhurnya baik itu nilai agama, budaya, dan adat istiadat. Bagi para mudamudi sastra daerah dapat dijadikan sarana dalam pengembangan bahasa, dan mencurahkan isi hati serta keinginan-keinginannya. Selain itu, sastra daerah sangat
berguna
sebagai
alat
komunikasi
yang
dapat
berperan
dalam
menyampaikan ajaran-ajaran moral, sopan santun, etika dalam pergaulan hidup sehari-hari. Lewat pemilihan bahan sastra yang baik dapat menanamkan nilainilai edukasi/pendidikan kepada anak didik. Penelitian Agustina mempunyai persamaan dengan penelitian ini yang mengkaji nilai-nilai pendidikan yang dapat diambil setelah membaca novel Kancing yang Terlepas Karya Handry TM. Perbedaan penelitian Agustina dengan Penelitian ini, yaitu pada objek penelitiannya, peneliti mengkaji novel, sedangkan Agustina mengkaji cerita anak. Selain itu, penelitian ini juga mengkaji karya sastra dengan pendekatan sosiologi sastra, sedangkan penelitian Agustina hanya mengkaji nilai-nilai pendidikan saja. Penelitian di atas sejalan dengan penelitian yang diungkapkan Mohajer (2005: 37-41) yang memberikan pandangan menyeluruh tentang sastra anakanak dalam konteks berbasis nilai pendidikan. Sastra untuk anak-anak menurut Mohajer dapat membantu mengembangkan keterampilan dan sikap, yang memberdayakan dan membantu mereka dalam membuat pilihan yang tepat dalam hidup. Mohajer menekankan bahwa mendongeng merupakan salah satu commit to cara ampuh menanamkan nilai-nilai danusermengkomunikasikan pesan positif
143 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara implisit dan terpadu. Hal ini sejalan dengan penelitian ini yang mengkaji nilai- nilai pendidikan yang dapat diambil dari suatu karya sastra. Latar belakang sosial budaya yang ditemukan peneliti dalam Novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM sebagai berikut: adat, pekerjaan, pendidikan, kondisi sosial, agama dan kepercayaan, tempat tinggal, bahasa, dan etnis. Kedelapan data tersebut didapat dari telaah naskah novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM atau yang disebut dengan analysis content. Analisis konten atau isi dokumen adalah cara untuk menjawab rumusan masalah penelitian yang diajukan peneliti sebelumnya. a. Adat Adat atau yang disebut tradisi dapat diartikan cara atau kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan sejak lama. Menurut Mulyana dan Rakhmat (2005:69), adat atau tradisi merupakan aspek budaya yang dapat diekspresikan dalam kebiasaan-kebiasaan tidak tertulis. Menurut pendapatnya, tradisi-tradisi harus ditelaah kembali secara teratur untuk melihat relevansi dan validasi tradisitradisi tersebut. Karena perubahan semakin cepat, tradisi-tradisi harus direvisi dan disesuaikan dengan kondisi yang berubah pada zaman teknologi yang menuju terciptanya suatu budaya di dunia. Masyarakat Pecinan Semarang, yaitu etnis Tionghoa memiliki beberapa adat yang khas yang membedakannya dengan etnis/masyarakat yang lain. Adat yang ditunjukkan dalam novel adalah perayaan Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, dan tradisi berkabung saat anggota keluarga meninggal. Budaya masyarakat Pecinan Semarang dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM yang paling menonjol dan masih kental sampai sekarang adalah budaya perayaan Tahun Baru Imlek, yaitu tahun baru berdasarkan
penanggalan
orang
Tionghoa.
Tahun
Baru
Imlek merupakan
perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan tahun baru Imlek dimulai di hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru Imlek dikenal sebagai Chuxi yang berarti "malam pergantian tahun". Di commit user Tiongkok, adat dan tradisi wilayah yangtoberkaitan dengan perayaan Tahun Baru
144 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Imlek sangat beragam. Namun, kesemuanya banyak berbagi tema umum seperti perjamuan makan malam pada malam Tahun Baru, serta penyulutan kembang api. Meskipun penanggalan Imlek secara tradisional tidak menggunakan nomor tahun malar, penanggalan Tionghoa di luar Tiongkok seringkali dinomori dari pemerintahan Huangdi. Setidaknya sekarang ada tiga tahun berangka 1 yang digunakan oleh berbagai ahli, sehingga pada tahun 2009 masehi "Tahun Tionghoa" dapat jadi tahun 4707, 4706, atau 4646. Tahun baru Imlek biasanya berlangsung sampai 15 hari. Pada hari raya Imlek,
bagi etnis Tionghoa adalah suatu keharusan untuk melaksanakan
pemujaan kepada leluhur, seperti, dalam upacara kematian, memelihara meja abu atau lingwei (lembar papan kayu bertuliskan nama almarhum leluhur), bersembahyang leluhur pada hari Ceng Beng (hari khusus untuk berziarah dan membersihkan kuburan leluhur). Oleh sebab itu, pada Hari Raya Imlek anggota keluarga akan mengunjungi rumah anggota keluarga yang memelihara lingwei (meja abu) leluhur untuk bersembahyang. Atau mengunjungi rumah abu tempat penitipan
lingwei leluhur untuk
bersembahyang.
Pada hari-hari menjelang
Imlek, suasana di pemukiman Pecinan Semarang nampak meriah. Orang orang bersuka cita, rumah-rumah dipasangi lampion berwarna merah, bahkan ada yang mengecat pilar rumah dengan warna merah. Selain kemeriahan yang terlihat di pemukiman Pecinan Semarang, saat menjelang Tahun Baru Imlek, masyarakat membuat berbagai macam makanan sebagai tanda suka cita penyambutan Tahun Baru Imlek. Saat menjelang Tahun Baru Imlek, tempat peribadatan maupun orang kaya dermawan pun mulai sibuk memberi derma. Derma tersebut biasanya berbentuk pembagian makanan untuk kaum miskin. Bagian dari perayaan Tahun Baru Imlek adalah Cap Go Meh. Cap Go Meh melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Tahun Baru Imlek
bagi
komunitas
dari dialek Hokkien dan
Tionghoa secara
di
seluruh
harafiah
dunia.
Istilah
berarti hari kelima
ini belas
berasal dari
bulan pertama (Cap = Sepuluh, Go = Lima, Meh = Malam). Ini berarti, masa perayaan Tahun Baru Imlek berlangsung selama lima belas hari. Pada hari Cap commit user Go Meh, tanggal 15 Imlek saat bulan topurnama, Umat melakukan sembahyang
145 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penutupan tahun baru pada saat antara Shien Si (jam 15:00-17:00) dan Cu Si (jam 23:00-01:00). Upacara sembahyang dengan menggunakan Thiam hio atau upacara besar ini disebut Sembahyang Gwan Siau (Yuanxiaojie). Sembahyang kepada Tuhan adalah wajib dilakukan, tidak saja pada hari-hari besar, namun setiap hari pagi dan malam, tanggal 1 dan 15 Imlek dan hari-hari lainnya. Selain itu,
perayaan
ini
dirayakan
dengan
jamuan
besar
dan
berbagai
kegiatan. Masyarakat Pecinan Semarang juga merayakan Cap Go Meh sebagai bagian dari tradisi perayaan Tahun Baru Imlek. Selain budaya perayaan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh, sebagaimana etnis Tionghoa di tempat lain, masyarakat Pecinan Semarang juga memiliki tradisi saat anggota keluarganya meninggal. Keluarga mendiang akan menggelar pelayatan sesuai dengan kekayaan yang dimiliki. Semakin kaya keluarga tersebut, semakin besar pula pelayatan yang digelar. Keluarga mendiang biasanya memakai pakaian belacu warna putih mangkak, sedangkan mendiang sendiri mengenakan busana kebesarannya. Warna merah dilarang digunakan dalam upacara kematian karena memiliki arti kebahagiaan. Saat terdapat orang Tionghoa yang mati,
mayatnya akan dibersihkan dan dimandikan untuk
memberi penghormatan terakhir. Setelah dimandikan, mayat disapu dengan minyak wangi dan disolek. Hal itu bertujuan untuk mengharumkan almarhum saat berada di alam akhirat. Kemudiannya mayat tersebut dipakaikan dengan pakaian yang bagus. Lazimnya pakaian tersebut adalah pakaian yang dipakai ketika hari pernikahan. Oleh karena itu, masyarakat Cina menyimpan pakaian pernikahan untuk dipakai sewaktu meninggal dunia. Sama halnya dengan The Oen Kiat yang memakai baju kebesarannya saat meninggal. Kemudian, almarhum turut dipakaikan dengan aksesori yang lain terutama wanita. Kemudian mayat akan dimasukkan ke dalam peti yang terbuat dari kayu yang diukir apabila almarhum dikubur dan tidak dikremasi. Bagi yang kaya, peti mati diukir dengan bersalutkan logam. Hal ini untuk menunjukkan kedudukan seseorang semasa hidupnya. Namun dalam novel ini, The Oen Kiat diceritakan bahwa tidak dikubur melainkan dikremasi. Menurut adat Tionghoa, abu sisa commit to user
146 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kremasi itu akan dibawa pulang untuk diletakkan di meja abu di altar leluhur yang biasanya disediakan di rumah, ada juga yang disebar di gunung/laut. Masa berkabung dilakukan selama beberapa hari sebelum jenazah diperabukan/dikremasi.
Dalam tradisi ritual orang
Tionghoa
Pecinan
masyarakat
semarang,
tangis
meninggal dalam etnis bersahut-sahutan
hampir
menjadi tradisi. Keluarga, sanak saudara, dan sahabat almarhum biasanya menangis dan meratapi kepergian almarhum seraya mengungkapkan betapa almarhum telah berbuat jasa semasa hidupnya. Tangisan yang mengungkit keburukan almarhum dilarang karena roh almarhum dianggap akan tersiksa dan tidak tentram. Apabila orang yang menangisi alharhum tidak banyak, anggota keluarga akan membayar orang untuk menangisi almarhum. Seperti halnya dalam Novel Kancing yang Terlepas, Lena Teng menyewa orang untuk menangisi kematian suaminya, The Oen Kiat. Ada juga pengatur khusus yang mempersiapkan tangisan bersama dari para kerabat untuk menunjukkan rasa duka yang dalam terhadap kepergian mendiang. Kenyataannya,
pada masa pemerintahan Soeharto, kebudayaan etnis
Tionghoa sempat dikekang. Terdapat Keputusan Presiden pada Desember 1967 yang isinya menyatakan bahwa Pemerintah tidak membedakan antara Tionghoa WNA dan Tionghoa WNI. Untuk menghindari eksklusifisme rasial maka pemerintah memilih untuk mengasimilasikan orang-orang etnis Tionghoa
itu
dan melakukan berbagai usaha untuk memutuskan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Proses asimilasi salah satunya terlihat dalam pembatasan kegiatan-kegiatan keagamaan hanya dalam keluarga, dan tidak mengizinkan pagelaran dalam perayaan hari raya tradisional Tionghoa di muka umum. Namun peraturan itu berakhir pada masa pemerintahan Presiden Abdurrakhman Wahid yang mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 6/2000 yang isinya mencabut Inpres No. 14/1967. Kebijakan presiden Abdurrakhman Wahid itu melahirkan kebebasan etnis Tionghoa dalam menjalankan ritual keagamaan, adat istiadat, serta memperbolehkan pengekspresian terhadap kebudayaannya di Indonesia. commit to user
147 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Pekerjaan Pekerjaan merupakan aktivitas utama yang dilakukan oleh manusia. Manusia hidup memerlukan beraneka macam kebutuhan akan afiliasi, kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan akan kebebasan, dan kebutuhan akn prestasi dan kemampuan. Kebutuhan akan kehidupan merupakan kebutuhan fisiologis yang harus dipenuhi oleh manusia. Untuk memenuhu kebutuhan tersebut manusia harus bekerja. Masyarakat dalam novel Kancing yang Terlepas secara umum memiliki pekerjaan yang beragam. Tingkat ekonomi di Gang Pinggir, Pecinan Semarang yang ditunjukkan Handry TM memiliki perbedaan yang signifikan. Terdapat orang-orang kaya yang umumnya berprofesi sebagai pedagang, pengusaha rumah makan, ataupun tuan tanah. Selain itu, dalam novel ini terdapat juga masyarakat ekonomi rendah yang berprofesi sebagai pelayan, pedagang kecil, pemusik, pekerjaan kurang terpuji seperti pencopet, penjambret, dan pemulung, bahkan pekerjaan yang berkaitan dengan kondisi politik saat itu seperti agen politik dan telik sandi. Sementara itu, tokoh utama dari novel Kancing yang Terlepas, yaitu Siaw Giok Hong/Boenga Lily memiliki pekerjaan sebagai biduan dan penari. Ia dibimbing oleh Tek Siang, tauke orkes yang mendirikan kelompok orkes “Perkoempoelan Tjahaya Timoer”.
Pada dasarnya,
alat musik
tradisional
Tionghoa dimainkan secara solo maupun secara bersama-sama dalam sebuah orkes yang besar atau dalam grup-grup musik mandarin kecil. Dalam hal ini, Tek Siang memilikigrup musik tradisional bernama “Perkoempoelan Tjahaya Timoer”. Zaman dahulu tidak ada konduktor di ensambel musik Tionghoa, ataupun penggunaan partitur musik pada saat pentas. Musik biasanya telah dihapalkan oleh pemusiknya, kemudian dimainkan tanpa alat bantu, sehingga kerjasama tim sangat dibutuhkan. Seperti halnya Tek Siang yang bukannya menjadi konduktor, tetapi ikut bermain alat musik dengan anggota grup lainnya. Terdapat pula tokoh Timoer Laoet yang berprofesi sebagai pemain rebab Cina. Ia bermain solo karena hanya mengirinya suara dari Boenga Lily. alat musik commit to user tradisional Tiongkok dibagi menjadi empat jenis, yaitu alat musik gesek, petik,
148 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tiup, dan pukul (perkusi). Dalam novel ini, Timor Laoet menggunakan rebab Cina yang termasuk dalam kelompok alat musik gesek. Alat musik gesek terdiri dari erhu (Rebab Tiongkok, badannya menggunakan kulit ular sebagai membran, menggunakan dua senar, yang digesek dengan penggesek terbuat dari ekor kuda), Gaohu (sejenis dengan Erhu hanya dengan nada lebih tinggi), Gehu (alat musik gesek untuk nada rendah), dan Banhu (rebab Tiongkok dengan badan terbuat dari batok kelapa dengan papan kayu sebagai membrannya). Ekonomi kelas tinggi yang mendominasi novel Kancing yang Terlepas terlihat pada pekerjaan tokoh Tek Siang, The Oen Kiat, dan Tan Kong Gie. Mereka adalah pedagang besar atau dapat disebut juga tauke. Pada umumnya, warga Tionghoa di Indonesia memilih bekerja di bidang perdagangan. Hal ini dikarenakan pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto, tak ada pilihan bidang pekerjaan lain. kalaupun terjun di dunia politik, orang etnis Tionghoa hanya menjadi bendahara. Sementara itu, menurut sejarawan JJ Rizal (2012), warga Tionghoa mulai terbiasa berdagang karena pada zaman penjajahan Belanda penduduk asal China menjadi perantara jual-beli untuk berhubungan dengan masyarakat. Hal ini membuat warga Tionghoa dipandang sebagai penguasa ekonomi. Hal ini relevan dengan tokoh di novel Kancing yang Terlepas yang memiliki pekerjaan berdagang, seperti Tek Siang, Oen Kiat, dan Tan Kong Gie. Novel ini juga
menampilkan
tokoh-tokoh pembantu yang memiliki
pekerjaan biasa dan tergolong miskin. Tokoh-tokoh tersebut terkadang berperan sebagai pelayan/orang kepercayaan si tokoh kaya. Tokoh-tokoh tersebut kadang dimanfaatkan oleh si tokoh kaya untuk melakukan pekerjaan rahasia. Dalam novel ini, terdapat tokoh Ing Wen, Pardjan, Soeroto, dan Djafar. Profesi lainnya di Gang Pinggir, Pecinan Semarang yaitu pelayan biasa dan pedagang kecil. Novel Kancing yang Terlepas ini juga menyorot pekerjaan di luar Gang Pinggir, yaitu
Kampung
Pindrikan
yang
umumnya
berprofesi
sebagai pencopet,
penjambret, pemulung, bahkan pelacur. Novel ini tidak lepas dari profesi aparat keamanan yang mengamankan wilayah Gang Pinggir. Orang yang paling bertanggung jawab di wilayah rayon commit to user militer Gang Pinggir Pecinan Semarang adalah Komandan Prasetijo, kekasih
149 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Boenga Lily saat Boenga Lily ditahan di penjara setempat. Prasetijo berperan penting terhadap nasib Tek Siang dan warga lain Gang Pinggir yang ditangkap dan ditahan. Pada masa kehancuran Orde Lama, TNI bertugas memberantas orang-orang yang bergabung di partai komunis. TNI terpecah menjadi dua sikap politik, yaitu golongan kanan yang pro dengan pemerintah dan memerangi partai komunis, dan golongan kiri yang mendukung partai komunis secara diam-diam. Dalam hal ini, Prasetijo adalah golongan kanan yang bertugas menahan dan menghabisi pengikut partai komunis. Walaupun banyak warga Tionghoa yang tidak tahu menahu mengenai partai komunis, mereka tetap ditangkap dan ditahan. Pada akhirnya, ia terperdaya oleh pesona Boenga Lily lalu membantu Boenga Lily untuk keluar dari penjara ke tahanan khusus di tempat yang dirahasiakan, yaitu rumah peninggalan Jepang di kawasan Tjandi Baroe. Candi merupakan sebuah kelurahan yang termasuk dalam kecamatan Candisari, Semarang. Daerah Candi terbagi dua kawasan, yaitu Candi lama dan Candi baru, seperti yang digambarkan sebagai lokasi penahanan khusus Boenga Lily. Novel yang berlatarbelakang pergantian Orde Lama menjadi Orde Baru pada tahun 1960-an ini menampilkan kekacauan politik saat itu. Kondisi pemerintahan yang tidak jelas antara mendukung atau menggulingkan kekuasaan Boeng Karno memunculkan beberapa gerakan pro/anti pemerintah. Hal ini mengakibatkan
banyak
pihak
yang diam-diam mengikuti sebuah gerakan
melawan pemerintah, seperti halnya Boenga Lily. Terdapat pula profesi telik sandi yang bertugas memata-matai lawan politik.
c. Pendidikan Novel Kancing yang Terlepas ini tidak membahas pendidikan berupa pendidikan
formal,
namun
non
formal.
Contohnya
pendidikan
kesenian,
khususnya seni orkes yang dijalani oleh Siaw Giok Hong dari usia dua belas tahun hingga usia 20 tahun. Sejak usia dini, Siaw Giok Hong dididik menjadi biduan dan penari oleh Tek Siang yang merupakan tauke orkes sehingga menjadikannya primadona yang terkenal di kawasan Gang Pinggir. Tak hanya commit to user
150 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
suaranya yang indah, gerak tubuhnya pun membuat para penonton orkes terkesima. Selain pendidikan untuk menjadi penyanyi dan penari, Tek Siang juga menerapkan aturan ketat agar Giok Hong menjaga suara indahnya. Hal itu dapat dilakukan dengan mengonsumsi ramuan rempah-rempah dan memperhatikan makanan yang akan dikonsumsi oleh sang primadona. Tek Siang juga mengajarkan Giok Hong untuk patuh. Menghilangnya Siaw Giok Hong membuat ketenaran Perkoempoelan Tjahaya Timoer pun seakan meredup karena ditinggalkan oleh primadonanya. Siaw Giok Hong yang terkenal di Gang Pinggir sudah tidak lagi meramaikan Gang Pinggir dengan suara merdunya. Kemudian hadir sosok Boenga Lily yang merupakan jelmaan dari Siaw Giok Hong yang telah berganti rupa. Selain ditugaskan untuk menjadi biduan yang dibicarakan oleh khalayak, Boenga Lily mengemban tugas sebagai agen politik gerakan bawah tanah. Oleh karena itu, ia terlebih dahulu dididik oleh seseorang tentang apa saja keahlian khusus yang diperlukan untuk menjadi agen politik. Novel ini juga sedikit menampilkan semangat belajar anak yang kurang mampu, yang tinggal di sekitar rel kereta api, yaitu Kampung Pindrikan. Kampung Pindrikan merupakan kampung yang terletak di kawasan Kota Semarang. Pada tahun 1960-an kawasan tersebut merupakan jalan setapak dan menjadi batas antara Kelurahan Celengan dan Kelurahan Bulu Lor. Walaupun Soekini tidak mendapat pendidikan dari lembaga formal, Soekini digambarkan sebagai anak yang pintar. Berdasarkan
data-data
yang
didapatkan,
dalam
novel
ini
tidak
digambarkan pendidikan secara formal yang ditempuh oleh tokoh-tokohnya. Padahal dalam kehidupan nyata,
etnis Tionghoa sangat menjunjung tinggi
pendidikan formal. Banyak dari warga etnis Tionghoa yang menempuh jenjang pendidikan
yang
tinggi.
Kemudian,
pada
kenyataannya,
pendidikan orang
Tionghoa pada masa Orde Baru mengalami diskriminasi. Sesudah pergolakan tahun 1965, sekolah Tionghoa menjadi sasaran kekerasan oleh kelompok anticommit to user Komunis dan diperintahkan untuk ditutup oleh Departemen Pendidikan dan
perpustakaan.uns.ac.id
151 digilib.uns.ac.id
Kebudayaan pada bulan Juli 1966. Dalam Kebijakan Dasar untuk Memecahkan Masalah Cina, terdapat butir yang melarang sekolah-sekolah Tionghoa dan menganjurkan anak-anak Tionghoa untuk masuk ke sekolah umum negeri atau swasta. Pada saat ini, pendidikan masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia tidak dibedakan dengan masyarakat etnis pribumi. Hanya saja, terdapat sekolah-sekolah swasta tertentu yang biasanya didominasi oleh pelajar dari etnis Tionghoa.
d. Agama dan Kepercayaan Kehidupan beragama di Indonesia tidak terlepas dari pelaksanaan UUD pasal 29. Negara menjamin kebebasan untuk melaksanakan ajaran agama dan beribadah sesuai dengan ajaran masing-masing. Pembinaan kerukunan hidup antar umat beragama telah dilaksanakan melalui musyawarah kerukunan hidup bernegara dan pertemuan antar pimpinan umat beragama dan pemerintah. Agama adalah dasar atau pedoman manusia dalam menjalani kehidupan. Manusia melalui ajaran agamanya dapat mebina hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan hubungan dengan ciptaan Tuhan lainnya. Emosi keagamaan sering digambarkan oleh pengarang baik tersurat maupun tersirat sehingga terungkap adanya nilai-nilai religius pada sikap dan perilaku para tokoh dalam sebuah novel. Keyakinan pada Tuhan yang terdapat pada seorang individu akan berpengaruh terhadap perilaku individu tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Agama sebagai wujud ajaran keyakinan kepada Tuhanmemuat ajaran yang penting dilakukan dan ajaran yang dilarang. Masyarakat Pecinan Semarang dalam novel ini menganut ajaran agama Khonghucu. Ajaran Khonghucu yang dianut oleh orang Tionghoa khususnya dalam novel ini masyarakat Pecinan Semarang, sebenarnya merupakan filosofi hidup yang kemudian dimaknai sebagai agama. Agama Khonghucu adalah istilah yang muncul sebagai akibat dari keadaan politik Indonesia. Agama Khonghucu lazim dikaburkan makna dan hakikatnya dengan konfusianisme sebagai filsafat. Konfusianisme muncul dalam bentuk agama di beberapa negara seperti Korea, Jepang, Taiwan, Hong Kong, dan RRC. Dalam bahasa Tionghoa, commit to userKongjiao atau Rujiao. Agama ini agama Khonghucu seringkali disebut sebagai
152 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mempercayai satu Tuhan yang biasa disebut Thian. Ajaran utamanya adalah zhi (kebijaksanaan dan pencerahan), ren (cinta kasih yang universal) dan yong (keberanian atas dasar kesusilaan dan rasa malu). Yong dibagi menjadi dua, yaitu li (kesusilaan) dan yi (kebenaran). Dengan demikian manusia dapat menjadi xin (yang dapat dipercaya). Lima konsep yang disebut Wu Chang (lima kebajikan) inilah yang menjadi pokok dari ajaran Konghucu (Rahmayani, 2014:15). Kemudian ajaran ini memiliki ajaran delapan kebajikan, yaitu Xiao (laku bakti), Ti (rendah hati), Zhong (Setia), Xin (dapat dipercaya), li (susila), Yi (bijaksana), Lian (suci hati), dan Chi (tahu malu). Walaupun agama ini mempercayai adanya satu Tuhan, ajaran Konghucu juga mengenal dewa-dewi yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Dalam novel ini ditunjukkan Maktjou Poo (Dewi Laut) dan Zhao Jun Ye/Zhao Wang Ye (Dewa Dapur). Di zaman Orde Baru, pemerintahan Soeharto melarang segala bentuk aktivitas
berbau
kebudayaan
dan
tradisi
Tionghoa
di
Indonesia.
Ini
menyebabkan banyak pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa menjadi tidak berstatus sebagai pemeluk salah satu dari 5 agama yang diakui. Untuk menghindari
permasalahan
politis,
pemeluk
kepercayaan
tadi
kemudian
diharuskan untuk memeluk salah satu agama yang diakui. Klenteng yang merupakan tempat ibadah kepercayaan tradisional Tionghoa juga terpaksa mengubah nama dan menaungkan diri menjadi vihara yang merupakan tempat ibadah agama Budha. Hal ini relevan dengan cerita dalam novel yang menyatakan bahwa terdengar desas-desus agar masyarakat etnis Tionghoa dibatasi kehidupannya. Kepercayaan yang dianut etnis Tionghoa termasuk masyarakat Pecinan Semarang
memiliki filosofi yang baik.
Contohnya Asal usul pemaknaan
perayaan makan ronde dan onde-onde dimaksudkan untuk mengelabui Dewa Dapur. Ada juga filosofi mengenai orang yang berkeringat, yang dalam keyakinan Tek Siang adalah gerakan memuliakan Thian. Masyarakat etnis Tionghoa yang menganut kepercayaan tradisional Tiongkok, yaitu Khonghucu dan Tao memiliki rumah ibadah yang disebut dengan klenteng. Konsep ajaran commit to user
153 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Khonghucu menitikberatkan pada unsur-unsur kebaikan manusia (Rahmayani, 2014:118). Ibadah dapat dilakukan di rumah ataupun rumah ibadah khusus. Klenteng atau kelenteng (bahasa hokian:miao) adalah sebutan untuk tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia pada umumnya. Dikarenakan di Indonesia penganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disamakan
sebagai penganut
agama
Khonghucu,
maka
klenteng
dengan
sendirinya disamakan sebagai tempat ibadah agama Khonghucu. Di beberapa daerah, klenteng juga disebut dengan tokong. Klenteng dalam kehidupan masyarakat Tionghoa berfungsi sebagai tempat religius dan sosial. Klenteng bagi masyarakat Tionghoa tidak hanya berarti sebagai tempat ibadah saja. Selain Gong-guan (kongkuan), klenteng mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan komunitas Tionghoa di masa lampau. Setiap pemukiman Tionghoa selalu dilengkapi dengan klenteng, termasuk pemukiman Gang Pinggir, Pecinan Semarang dalam Novel Kancing yang Terlepas ini. Selain tempat peribadatan khusus di setiap pemukiman etnis Tionghoa, setiap rumah biasanya memiliki tempat khusus untuk sembahyang. Tempat tersebut berupa meja yang ditata menyerupai tempat sesaji. Terdapat hio untuk bersembahyang dan biasanya dipasang beberapa foto mendiang leluhur keluarga tersebut, atau hanya berupa papan berisi nama dan tanggal kematian. Di zaman Orde Baru, pemerintahan Soeharto melarang segala bentuk aktivitas
berbau
kebudayaan
dan
tradisi
Tionghoa
di
Indonesia.
Ini
menyebabkan banyak pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa menjadi tidak berstatus sebagai pemeluk salah satu dari 5 agama yang diakui. Untuk menghindari
permasalahan
politis,
pemeluk
kepercayaan
tadi
kemudian
diharuskan untuk memeluk salah satu agama yang diakui. Kemudian setelah Presiden Abdurrakhman Wahid (Gus Dur), mencabut instruksi presiden No. 14/1967 dan keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1978. Agama Konghucu kini secara resmi dianggap sebagai agama di Indonesia. Kultur Tionghoa dan semua yang terkait dengan aktivitas Tionghoa kini diizinkan untuk dipraktekkan. commit to user
154 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Warga Tionghoa Indonesia dan pemeluk Konghucu kini dibebaskan untuk melaksanakan ajaran dan tradisi mereka.
e. Kondisi Sosial Kita harus mengakui bahwa manusia merupakan makhluk sosial karena manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan manusia lain bahkan untuk urusan sekecil apapun kita tetap membutuhkan orang lain untuk membantu. Kondisi sosial merupakan gambaran hubungan manusia dengan sesama dalam kehidupan bermasyarakat. Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial yang juga dapat dinamakan sebagai proses sosial, karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan
hubungan-hubungan antara
perorangan,
sosial antara
yang kelompok
dinamis
yang
manusia,
menyangkut
maupun
antara
perorangan dan kelompok manusia. Interaksi sosial antara kelompok manusia terjadi sebagai suatu kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggotaanggotanya. Tanpa adanya interaksi sosial maka tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Proses sosial adalah suatu interaksi atau hubungan timbal balik atau saling mempengaruhi antar manusia yang berlangsung sepanjang hidupnya di dalam masyarakat. Kondisi sosial yang ditampilkan dalam novel Kancing yang Terlepas berupa status sosial masing-masing tokoh dalam masyarakat, baik yang berkaitan dengan perekonomian maupun posisi tokoh dalam masyarakat. Golongan orang
kaya diwakili oleh Tek Siang,Tan Kong Gie, dan Oen Kiat.
Tek Siang memiliki status sosial yang terpandang di masyarakat karena dikenal sebagai tauke orkes dan saudagar yang kaya raya. Begitu pula dengan Oen Kiat yang merupakan anak penyalur gandum terbesar di kota Semarang. Kemudian Tan Kong Gie yang sudah sejak lama mendirikan rumah makan Mei Wei. Selain Tek Siang, banyak orang kaya di seputar Gang Pinggir. Misalnya pembeli Rumah Makan Mei Wei yang biasanya berprofesi sebagai pedagang besar, yang harta kekayaannya sangat berlimpah. Kemudian, novel Kancing yang Terlepas commit to user dari golongan orang kaya. karya Handry TM juga menampilkan masyarakat
155 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Etnis Tionghoa memiliki peranan besar dalam perekonomian Indonesia. Stratifikasi sosial di masa kolonial menempatkan etnis Tionghoa di atas pribumi melahirkan
kecemburuan
sosial.
Di masa kemerdekaan,
bangsa Indonesia
mengalami perubahan stratifikasi sosial, etnis Tonghoa mendapat perlakuan berbeda di bidang ekonomi akibat dominan di bidang perekonomian. Dalam novel Kancing yang Terlepas, Handry TM juga menampilkan masyarakat dari golongan bawah/ miskin. Hal tersebut dapat diwakili oleh warga Kampung Pindrikan yang bertempat tinggal di pinggiran rel. Rumah mereka terbuat dari potongan-potongan kardus seadanya. Perbedaan golongan orang kaya dan golongan orang miskin dalam novel Kancing yang Terlepas dapat ditunjukkan saat menonton pagelaran orkes yang diadakan oleh Tek Siang. Penonton terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan biasa yang tidak berani mengambil posisi duduk di lantai depan. Berbeda dengan golongan lainnya yang duduk di barisan depan dan menatap orang-orang sekitar dengan dongakan kepala congkak, ataupun meniru gaya berpakaian para ningrat Eropa. Selain itu perbedaan juga nampak pada saat merayakan Hari Raya Imlek. Orang-orang kaya akan membuat perayaan dan memasang lampion-lampion besar berwarna merah di rumahnya yang besar. Kemudian perbedaan semakin nampak saat harga bahan pokok melonjak. Yang kaya bertambah kaya, sedangkan yang miskin bertambah miskin. Namun tidak terdapat
kesenjangan pada anak-anak
Pecinan dan Kampung Pindrikan.
Walaupun berbeda etnis, anak-anak Kampung Pindrikan memiliki kekerabatan luar biasa dengan kelompok anak-anak bermata sipit dari kawasan Gang Pinggir. Pada saat ini, kondisi perekonomian warga etnis Tionghoa pada umumnya kaya raya, walaupun ada pula yang tidak tergolong kaya. Hal itu dikarenakan warga etnis Tionghoa yang dikenal gigih dan giat dalam bekerja. Selain itu, etnis Tionghoa memiliki budaya Guanxi. Guanxi adalah budaya Cina yang berarti membangun jejaring. Tradisi Tionghoa menekankan pentingnya membangun jejaring yang dapat membawa keuntungan bagi semua pihak yang berada di dalam hubungan tersebut. Pada kenyataannya, jejaring adalah faktor penting to user kesuksesan seseorang. Sebagaicommit contoh, tradisi ini menekankan pentingnya
156 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menjamu orang. Hal ini sesuai dengan novel Kancing yang Terlepas yang menyorot
budaya
perjamuan
makanan
etnis
Tionghoa
untuk
menjalin
kekerabatan antar sesama. Selain itu, etnis Tionghoa yang umumnya menganut ajaran Konghucu, memiliki sistem yang mengatur hubungan antar individu yang biasa disebut WuLun.
Jenis hubungan
dalam Wu-Lun dibagi
menjadi
lima
diantaranya:
(1)
loyalitas dan tanggung jawab: hubungan bawahan ke atasan; (2) cinta dan kepatuhan: ikatan orang tua dan anak; (3) kewajiban dan penyerahan diri: hubungan suami-istri; (4) senioritas: senior ke junior; dan (5) kepercayaan: hubungan pertemanan. Pembagian interaksi sosial ini membuat masyarakat etnis Tionghoa terbiasa menempatkan diri mereka secara tepat di berbagai jenis hubungan.
f. Tempat Tinggal Handry TM mengambil beberapa latar tempat dalam novel Kancing yang Terlepas. Tempat tinggal yang dijadikan latar penceritaan Handry TM adalah Semarang, khususnya di daerah Gang Pinggir, Pecinan. Pecinan atau Kampung Cina merujuk kepada sebuah wilayah kota yang mayoritas penghuninya adalah orang Tionghoa. Pecinan banyak terdapat di kota-kota besar di berbagai negara dimana orang Tionghoa merantau kemudian menetap, dan memiliki keturunan disana. Pecinan ini merupakan tempat yang melatari sebagian besar berbagai kejadian dalam cerita. Kawasan Pecinan Semarang ini menjadi salah satu pemegang pengaruh besar terhadap pembentukan Kota Semarang dan memiliki nilai historis yang tidak lekang dimakan waktu. Awal terbentuknya kawasan Pecinan ini dikarenakan pemberontakan orang Tionghoa di daerah Batavia pada tahun 1740 kepada Belanda, namun berhasil digagalkan di tahun 1743. Ketakutan Belanda terhadap kaum Tionghoa inilah yang kemudian membuat Belanda memindahkan orang Tionghoa di Semarang yang dulunya tinggal di daerah Gedong Batu ke kawasan sekarang ini. Tujuannya agar Belanda mudah mengawasi pergerakan dari orang- orang Tionghoa karena berdekatan dengan commit to user
157 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tangsi Militer milik Belanda yang terletak di Jl. KH.Agus Salim atau Jurnatan (sekarang menjadi Miramar Restaurant). Sebagai sebuah kawasan yang pernah menjadi pusat perdagangan dan jasa kaum Tionghoa pada jaman dahulu, Pecinan Semarang memiliki potensi ekonomi, sosial, dan budaya yang sangat kuat. Kawasan ini sudah dipertegas oleh Pemerintah kota Semarang masuk dalam daftar kawasan revitalisasi melalui Surat Keputusan (SK) Wali Kota No 650/157 tanggal 28 Juni 2005 mengatur tentang Revitalisasi Kawasan Pecinan, dan sekaligus sebagai pusat wisata budaya Tionghoa di kota Semarang. Kawasan Pecinan Semarang ini berdekatan
dengan Kawasan
Kota
Lama
Semarang (Little
Netherlands),
Komplek Jurnatan (pusat perdagangan di kota Semarang), Pasar Tradisional Johar (salah satu bangunan yang memiliki desain arsitektur terbaik dijamannya karya Herman Thomas Karsten). batas wilayah Pecinan Semarang yaitu, batas utara Pecinan Semarang yaitu Jl. Gang Lombok (klenteng Tay Kak Sie), batas timur Kali Semarang, batas selatan Kali Semarang Jl. Sebandaran I, dan batas barat JL. Beteng. Di Kampung Naga inilah tempat tinggal para tokoh penting dalam cerita, seperti Siaw Giok Hong, Tek Siang, Oen Kiat, dan Tan Kong Gie. Kawasan Pecinan dibelah oleh Kali Kuping dan Gang Pinggir berbentuk mirip lorong panjang yang meliuk dari utara ke selatan. Rumah Tek Siang, yang juga merupakan tempat dimana Siaw Giok Hong tumbuh dan dirawat sejak umur 12 tahun adalah rumah yang tidak hanya dijadikan sebagai tempat tinggal. Rumah tauke orkes itu juga dijadikan sebagai tempat latihan para awak orkes “Perkoempoelan Tjahaya Timoer” dan akan disulap menjadi tempat pertunjukan orkes tersebut apabila sedang pentas. Karakteristik yang menunjukkan pemiliknya adalah orang etnis Tionghoa adalah adanya ornamen naga kembar yang terletak persis di daun pintu. Selanjutnya, di kawasan Gang Pinggir terdapat beberapa rumah makan yang cukup terkenal. Salah satu rumah makan yang terkenal tersebut dimiliki oleh tokoh Tan Kong Gie, pengusaha rumah makan “Mei Wei”. Rumah makan tersebut yang akhirnya menjadi tempat bekerja sang biduan baru di kawasan Gang Pinggir, Boenga Lily user dan pengiringnya, Timoer Laoet.commit Bagianto belakang bangunan rumah makan Mei
perpustakaan.uns.ac.id
158 digilib.uns.ac.id
Wei adalah untuk tempat tinggal keluarga Tan Kong Gie. Rumah Makan Mei Wei tidak seperti rumah makan biasa karena ditata menyerupai rumah panggung serta memiliki teras memanjang dan cukup lebar. Pengunjung dapat memilih meja di dalam ataupun teras. Selain tempat tinggal yang terletak di Pecinan Semarang, terdapat latar tempat tinggal di kota lain, yaitu tempat tinggal Oen Kiat. Oen Kiat memiliki rumah peristirahatan di kawasan Ungaran dan rumah ketiga yang dirahasiakan tempatnya, yaitu dua kota jaraknya dari Semarang. Rumah ketiga itu digunakan oleh Lena Teng, istri mendiang Oen Kiat untuk menyembunyikan Siaw Giok Hong dan putranya, Zeng. Lingkungan rumah tersebut masih asri karena terletak di lembah yang dikelilingi oleh hamparan perbukitan dan hutan. Rumah tersebut berada di wilayah pedesaan yang rumahnya bertipikal besar berlantaikan kayu dan terbuat dari jati tua. Novel ini juga menampilkan tempat tinggal yang kumuh, yaitu Kampung Pindrikan. Kampung Pindrikan adalah kampung yang dihuni oleh anak-anak yang ditahan di penjara bersama Boenga Lily dan lainnya. Kampung tersebut berada di pinggir rel kereta api. Rumah-rumah di Kampung Pindrikan bertipikal tempat tinggal kumuh yang berupa rumah tempel dan hanya terbuat dari sisa seng dan kardus yang didapatkan dari sisa bangunan. Latar tempat lainnya, yaitu rumah di kawasan Tjandi Baroe yang digunakan Prasetijo sebagai tempat tahanan khusus untuk Boenga Lily. Rumah tersebut adalah rumah tua peninggalan Jepang. Candi merupakan sebuah kelurahan yang termasuk dalam kecamatan Candisari, Semarang. Daerah Candi terbagi dua kawasan, yaitu Candi lama dan Candi baru, seperti yang digambarkan sebagai lokasi penahanan khusus Boenga Lily.
g. Bahasa Bahasa merupakan alat komunikasi yang berupa sistem lambang bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia yang berwujud lisan dan tulisan. Pengarang dalam menciptakan karya sastra berusaha untuk melakukan komunikasi dengan pembaca melalui bahasa. Agar bahasa yang digunakan oleh pengarang mudah commitbebas to usermenggunakan bahasa. Pengarang dipahami oleh pembaca, pengarang
perpustakaan.uns.ac.id
159 digilib.uns.ac.id
dalam menggunakan bahasa sedikit puitis tetapi mudah dipahami. Kepuitisan bahasa yang digunakan pengarang untuk menambahkan keindahan dan sebagai bukti hasil sastra yang berkualitas, dengan keindahan pada bahasa dan tata kalimat yang tertata sesuai struktur akan memudahkan pemahaman pembaca terhadap novel. Terkait dengan bahasa sebagai medium sastra diperkuat oleh (Ratna, 2004:16) bahwa medium utama karya sastra adalah bahasa, bahasalah yang mengikat keseluruhan aspek kehidupan, disajikan melalui cara-cara yang khas dan unik, berbeda dengan bentuk-bentuk penyajian tersebut dilakukan agar peristiwa yang sesungguhnya dapat dipahami secara lebih bermakna, lebih intens, dan dengan sendirinya lebih luas dan mendalam. Bahasa yang digunakan Handry TM dalam novel Kancing yang Terlepas adalah bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca. Selain bahasa dominan yaitu bahasa Indonesia, Handry TM memasukkan kalimat, frasa, dan kata dalam bahasa Tionghoa dan bahasa Jawa agar pembaca lebih akrab dan dekat dengan situasi sosial masyarakat dalam novel tersebut. Hal tersebut juga membuat pembaca terutama yang sedaerah dengan pengarang merasa lebih intim dan dekat dengan kisah dalam novel. Handry TM memberikan makna dari bahasa Tionghoa dan bahasa Jawa setiap penggunaan bahasa-bahasa tersebut digunakan di dalam novel. Hal ini bertujuan agar pembaca di luar etnis Tionghoa/luar Jawa dapat memahami dan mengerti makna cerita yang disuguhkan dalam karyanya. Novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dihiasi dengan bahasa etnis Tionghoa, baik berupa, kata, frasa, kalimat, ataupun ungkapan. Sebagian besar bahasa tersebut diberi arti/maknanya dalam bahasa Indonesia, walaupun terdapat beberapa yang tidak diberi artinya. Misalnya, gerbang rumah Tek Siang yang diberi tulisan “Fan Mang De Shui Xin” yang disusul dengan pencantuman arti oleh Handry TM, yaitu “Gemericik Air yang Bermula dari Hati”. Terdapat pula syair berbahasa Tionghoa (KYT:89) yang turut menghiasi novel karya Handry TM. Ungkapan Thian yang bermakna “Tuhan” sering muncul dalam keseluruhan cerita. Istilah angpao juga muncul dalam novel ini yang memiliki commitketo dalam user amplop merah yang digunakan arti uang yang biasanya dimasukkan
perpustakaan.uns.ac.id
160 digilib.uns.ac.id
untuk memberi hadiah/sumbangan kepada orang lain dalam etnis Tionghoa. Namun seiring perkembangan zaman, istilah angpao banyak digunakan juga oleh orang non etnis Tionghoa untuk menyebut uang yang diberikan saat Hari Raya Idul Fitri, ataupun hanya untuk hadiah saja. Selain itu, terdapat kata sapaan (sistem kekerabatan) berupa panggilan khas etnis Tionghoa dalam novel ini, Misalnya Tek Siang yang sering dipanggil “Koh Siang” oleh Giok Hong. Koh berasal dari kata Koko yang memiliki arti “kakak lelaki”. Kemudian, Tek Siang yang memanggil Giok Hong dengan Niek yang berasal dari kata Nonik dan memiliki arti “anak kecil perempuan”. Selain menggunakan bahasa Tionghoa, beberapa kata, frasa, dan kalimat juga menggunakan bahasa Jawa, khususnya Jawa Tengah. Bahasa Jawa digunakan karena setting dalam novel ini berada di wilayah Pecinan, Kota Semarang (ibukota Jawa Tengah). Bahasa Jawa terdiri dari tiga tingkatan, yaitu: krama (tingkatan tertinggi), madya (tingkatan menengah), dan ngoko (tingkatan terendah). Bahasa Jawa yang digunakan oleh para tokoh-tokoh dalam novel ini adalah bahasa Jawa ngoko. Bahasa Jawa ngoko biasanya dianggap sebagai bahasanya masyarakat umum, rendahan, kuli, petani, atau antar teman karib, juga untuk berbicara dengan orang yang tingkatan sosialnya lebih rendah. Hal tersebut menunjukkan kurang baiknya etnis Tionghoa di Gang Pinggir, Pecinan Semarang dalam berbahasa, khususnya bahasa Jawa. Novel ini memiliki setting tahun 1960-an, oleh karena itu pengarang menggunakan ejaan bahasa Indonesia lama untuk bahasa tulisan dalam novel ini. Hal ini dilakukan pengarang untuk mendukung setting cerita yang pada saat itu menggunakan ejaan bahasa Indonesia lama. Bahasa tulisan dalam novel Kancing yang Terlepas tidak menggunakan bahasa Indonesia ejaan baru seperti sekarang ini, namun menggunakan ejaan lama. Seperti dalam kutipan yang dipaparkan di hasil penelitian, huruf vokal “u” menjadi “oe”, contohnya “sudah” menjadi “soedah”. Huruf “y” menjadi “nj”, misalnya “yang” menjadi “njang”. Huruf “c” menjadi “tj”, contohnya “cinta” menjadi “tjinta”. Kemudian huruf “j” menjadi “dj” seperti “juga” yang menjadi “djoega”. commit to user
161 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
h. Etnis Handry TM dalam novelnya yang berjudul Kancing yang Terlepas menceritakan suatu peristiwa yang berlatar di Pecinan Semarang, Jawa Tengah tepatnya di kawasan Gang Pinggir. Etnis yang banyak mendiami Gang Pinggir dalam novel Kancing yang Terlepas adalah etnis Tionghoa. Tionghoa adalah salah satu etnis di Indonesia yang asal usul mereka dari Tiongkok. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang
(Hokkien), Tengnang
(Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa mandarin mereka disebut Tangren atau lazim disebut Huaren. Disebut Tangren dikarenakan sesuai dengan kenyataan
bahwa
orang-orang
Tionghoa-Indonesia
mayoritas
berasal dari
Tiongkok selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Tiongkok utara menyebut diri mereka sebagai orang Han. Hal ini relevan dengan isi cerita, yaitu masyarakat Pecinan khususnya seniman
seperti
Tek
Siang,
masih
melantunkan
syair
dan
lagu
yang
menceritakan asal usul mereka yang memiliki leluhur orang Tiongkok. Etnis Tionghoa di Gang Pinggir merupakan peranakan dari orang Hokkian/Tiongkok yang berkelana untuk menemukan jalan hidup di tempat lain. Seperti yang digambarkan dalam isi cerita, leluhur etnis Tionghoa di Indonesia merupakan para Hokkian, orang-orang susah yang berasal dari perkampungan miskin daratan Cina paling selatan. Mereka kemudian menemukan jalan hidupnya di negara lain, yaitu Indonesia. Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul
dalam
sejarah
Indonesia,
bahkan
sebelum
Republik
Indonesia
dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinastidinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya. Etnis Tionghoa di Indonesia dalam novel Kancing yang Terlepas commit to user dibedakan menjadi dua, yaitu Cina totok dan Cina peranakan. Totok adalah
162 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
istilah dari bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti “baru” atau “murni” dan digunakan untuk mendeskripsikan para pendatang yang lahir di luar negeri serta berdarah murni. Dalam novel ini, Cina totok bermakna orang yang lahir di Tiongkok dan pindah ke negara Indonesia. Mereka yang dipanggil Cina totok memiliki makna yaitu warga Tionghoa di Indonesia yang berdarah murni,
terutama
untuk
membedakannya
dengan
Babah
atau
peranakan.
Peranakan, memiliki arti yang berkebalikan dan digunakan untuk menyebut penduduk yang telah bercampur dengan warga pribumi di Indonesia, dalam hal ini adalah Cina peranakan. Orang Tionghoa peranakan adalah istilah yang digunakan oleh para keturunan imigran Tionghoa yang sejak akhir abad ke-15 dan abad ke-16 telah berdomisili di kepulauan Nusantara (sekarang Indonesia), termasuk
Malaya
Britania
(sekarang
Malaysia
Barat
dan
Singapura).
Kebanyakan peranakan adalah keturunan dari orang Hoklo (Hokkien), meskipun sejumlah yang cukup besar adalah keturunan orang Tiociu atau orang Kanton. Peranakan sendiri adalah keturunan ras campuran, sebagian Tionghoa, sebagian pribumi Nusantara. Coppel (dalam Dawis, 2010:82-83) menyatakan orang Indonesia Tionghoa cenderung membedakan totok dan peranakan menurut garis sosial dan budaya ras. Tionghoa totok berarti orang Tionghoa asli dan murni, sedangkan seorang peranakan berarti orang Tionghoa dari keturunan campuran. Arti kedua mengikuti arti pertama: sejak imigrasi orang Tionghoa ke Indonesia sebelum abad ke-20 hampir semuanya meliputi pria. Oleh sebab itu dianggap bahwa orang Tionghoa yang lahir di Indonesia adalah peranakan.
2. Nilai Pendidikan dalam Novel Kancing yang Terlepas Karya Handry TM a. Nilai Pendidikan Sosial Sastra sebagaimana halnya dengan karya seni yang lain, hampir setiap zaman memegang peranan penting, karena ia hampir selalu mengekspresikan nilai-nilai kemanusiaan terutama di tengah-tengah kehidupan modern yang ditandai dengan kemajuan teknologi. Jadi, dengan membaca karya sastra commit to user
163 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diharapkan perasaan pembaca lebih pada tahap persoalan kemanusiaan, dan penghayatan sosial, serta mencintai kebenaran dan keadilan. Kesadaran terhadap
nilai-nilai sosial akan membawa manusia pada
kesadarannya bahwa hidup dia tidak akan lepas dari bantuan orang lain. kesadaran itu mutlak diperlukan agar dalam setiap tindakan memiliki batas-batas tertentu dan selalu mengukur semua perbuatan dan kacamata kemanusiaan. Ukuran tindakan manusia sebagai bagian dari masyarakat secara keseluruhan, nukan berapa besar tindakan itu menguntungkan dirinya, melainkan masyarakat lain di sekitarnya. Nurgiyantoro (2012:233-234) mengemukakan bahwa tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pendangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual. Selain itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas. Kebutuhan individu yang satu terhadap individu lainnya tidak sekadar untuk memperoleh bantuan agar kebutuhan hidup secara materi yang tidak dapat diusahakan sendiri dapat terpenuhi, tetapi juga kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya nonmateri, seperti mencurahkan rasa kasih sayang, mengemukakan pendapat, dan lain sebagainya (Djumhana, 2003:123). Nilai pendidikan sosial yang digambarkan dalam novel Kancing yang Terlepas
karya
Handry
TM
lebih banyak
mengulas tentang kehidupan
masyarakat etnis Tionghoa di Gang Pinggir, Pecinan Semarang. Namun kehidupan bermasyarakat antara etnis Tionghoa dan Jawa juga tetap menjadi sorotan pengarang. Dimulai pada rasa hormat yang dimiliki warga Gang Pinggir terhadap tokoh Tek Siang yang dianggap memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan di Gang Pinggir. Karena sifat Tek Siang yang dermawan, banyak warga
Gang
Pinggir
yang
menunjukkan
perhatiannya
dengan
mengirim
bingkisan berupa makanan dan obat-obatan. Bahkan Tan Kong Gie, pemilik Rumah Makan Mei Wei pun memberikan bubur beras lembut bagi Tek Siang to user yang memiliki solidaritas tinggi setiap harinya. Selain warga commit Gang Pinggir
164 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terhadap tokoh Tek Siang, nilai pendidikan sosial juga ditunjukkan dalam keluarga Tan Kong Gie. Keluarga Tan Kong Gie, yaitu istri dan anak-anaknya selalu menurut pada keputusan Tan Kong Gie sebagai kepala keluarga mereka. Mereka tidak pernah bertengkar dan berdebat panjang mengenai segala keputusan yang diambil untuk mensejahterakan keluarga mereka. Mereka lebih suka mengangguk, mengamini, namun siap membantu melaksanakan keputusan Tan Kong Gie. Tan Kong Gie pun menyayangi keluarganya, walaupun sempat membuat keluarga itu hampir hancur dengan memadu kasih terhadap wanita lain. Nilai pendidikan sosial juga terlihat pada saat etnis Tionghoa merayakan Imlek. Golongan warga Gang Pinggir yang kaya terbiasa memberikan derma terhadap orang-orang yang tidak mampu. Tokoh Tan Kong Gie, pemilik Rumah Makan Mei Wei yang tergolong kaya pun membagikan banyak makanan terhadap kaum miskin. Nilai kerukunan yang tidak memandang etnis dan golongan sosial juga ditunjukkan oleh Handry TM. Kelompok Soebali yang tinggal di pinggir rel kereta dan bukan berasal dari etnis Tionghoa digambarkan pengarang memiliki kekerabatan yang baik dengan anak-anak di Gang Pinggir. Anak-anak itu juga memiliki sikap
sosial yang
baik
karena
menyatakan
untuk
tidak
saling
bermusuhan. Mereka memiliki pemahaman yang baik bahwa perang saudara bukanlah perbuatan yang patut dilakukan. Namun tampak juga nilai pendidikan sosial yang digambarkan dengan diskriminasi pemerintah terhadap etnis Tionghoa di zaman pergantian Orde Lama menjadi Orde Baru. Hal yang menyangkut perbedaan perlakuan tersebut perlu dihindari di masa kini. Pada saat pergantian Orde Lama menjadi Orde Baru, kaum Tionghoa seolah dianaktirikan oleh pemerintah Indonesia. Mereka dicurigai telah mendukung kelompok komunis sehingga terjadilah peristiwa pembakaran pemukiman masyarakat etnis Tionghoa. b. Nilai Pendidikan Moral Moral merupakan tingkah laku manusia yang dipandang dari nilai baikburuk, benar dan salah berdasarkan adat kebiasaan dimana individu itu berada. user moral yang sebenarnya disebut Suseno (1987:58) menegaskan commit bahwa to“Sikap
perpustakaan.uns.ac.id
165 digilib.uns.ac.id
moralitas. Moralitas adalah sikap hati yang terungkap dalam tindakan lahiriah, tindakan yang merupakan ungkapan sepenuhnya dan sikap hati”. Kesadaran manusia untuk senantiasa bersikap dan bertindak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di lingkungannya akan dapat membentuk pribadi seseorang yang senantiasa memegang teguh nilai-nilai moral yang telah dimilikinya. Moral merupakan tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari nilai baik-buruk, benar dan salah berdasarkan adat kebiasaan dimana individu itu berada. Nilai moral dibagi menjadi dua segi, yaitu segi positif dan negatif. Kedua hal itu perlu disampaikan karena memiliki pesan teladan yang bermanfaat bagi pembaca. Segi positif ditonjolkan sebagai hal yang patut ditiru, direnungi, dan diteladani. Demikian dengan segi negatif juga perlu disampaikan kepada pembaca agar tidak tersesat serta dapat membedakan hal yang baik dan buruk. Seperti halnya orang belajar, ia akan berusaha untuk bertindak lebih baik jika tidak tahu hal-hal buruk dan tidak pantas dilakukan. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pendangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. karya sastra mengandung penerapan nilai moral dalam sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan (Noor, 2011:64) Pendidikan moral yang disajikan dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM memberikan nilai pendidikan bagaimana bersikap yang baik terhadap sesama di lingkungan bermasyarakat dan mempertahankan pendirian yang teguh agar tidak terseret karena pengaruh hal-hal buruk. Salah satunya adalah menghormati orang yang lebih tua. Orang yang dihormati tersebut dalam novel ini adalah Tek Siang. Bentuk penghormatan terhadap Tek Siang misalnya terlihat pada anggota orkes “Perkoempoelan Tjahaya Timoer” yang tidak mengolok langsung mengenai apa yang terjadi di dalam orkes. Selain itu, Tan Kong Gie memperlihatkan rasa hormatnya pada Tek Siang dengan memberikan makanan pada Tek Siang yang sedang sakit dan juga memerintahkan anaknya to user untuk memberi hormat ketika commit bertemu dengan Tek Siang. Sebagai tokoh
166 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemimpin orkes “Perkoempoelan Tjahaya Timoer”, Tek Siang juga harus dapat bersikap tegas terhadap anak buahnya. Tek Siang harus tegas menghukum kekurangajaran yang telah dilakukan anggota orkesnya walaupun sebenarnya ia tidak tega. Hal tersebut mengandung nilai moral bahwa seorang pemimpin tidak boleh dilemahkan pikirannya dan kuat pendiriannya agar tidak terjadi lagi hal yang tidak diinginkan. Selain itu, nilai pendidikan moral juga didapat dari tulisan pengarang yang menyatakan bahwa kesedihan tidak baik untuk dipelihara. Hal tersebut tersirat dari nasihat Ing Wen pada Hong untuk menghindari keluh kesah. Kemudian juga tampak pada nasihat Lena Teng kepada anak-anaknya untuk tidak selalu dirundung kesedihan karena The Oen Kiat meninggal. Ia berkata bahwa mereka boleh bersedih, tetapi setelah pemakaman The Oen Kiat tidak boleh bersedih lagi.
Berkaitan dengan itu, Lena Teng juga meminta Tek Siang untuk
memaafkan kesalahan suaminya, The Oen Kiat semasa hidup. Kemudian, novel Kancing yang Terlepas juga memuat tokoh yang dapat diteladani karena sifatsifatnya yang baik, misalnya Tan Kong Gie. Tan Kong Gie adalah pribadi yang bijaksana, dermawan, tulus, dan rendah hati. Hal ini tampak pada dialognya dengan
Boenga
Lily
yang
mengatakan
bahwa
Boenga
Lily
dapat
menganggapnya sebagai ayahnya sendiri. Selain itu, ia juga tidak pernah menyakiti orang lain dan mengeluh tentang kehidupannya. Sifat-sifat Tan Kong Gie tersebut bernilai pendidikan moral karena dapat menjadi teladan bagi pembaca novel Kancing yang Terlepas. Seseorang dengan moral yang baik akan mempengaruhi moral orang-orang di sekitarnya. Sosok Tan Kong Gie yang memiliki sifat dan sikap yang terpuji telah menjadi teladan bagi keluarga dan pelayannya. Seperti sikap Tan Kong Gie, istri dan anaknya juga memiliki pribadi yang utuh dengan giat bekerja daripada banyak berbicara. Begitu pula dengan pelayan Tan Kong Gie, Soeroto juga memperoleh pelajaran hidup tentang kebaikan karena telah lama hidup dengannya. Novel Kancing yang Terlepas juga menampilkan nilai moral negatif commit user sebagai pelajaran bagi pembaca agar tomenghindari tingkah laku yang kurang
167 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
baik. Nilai moral negatif ditampilkan pada para lelaki yang memiliki hubungan gelap dengan Siaw Hiok Hong/Boenga Lily, yaitu Tek Siang, The Oen Kiat, Tan Kong Gie, dan Prasetijo. Padahal baik secara hukum maupun agama, perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan karena mereka tidak memiliki ikatan yang sah dengan sang wanita. Siaw Giok Hong pun seolah menikmati perannya sebagai wanita penggoda untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Nilai moral negatif juga ditampilkan oleh tokoh Giok Hong yang tidak segan-segan melakukan tindakan pembunuhan untuk melawan orang yang menyakitinya. Kemudian ia juga membunuh kedua pelayan Prasetijo yang tidak memiliki kesalahan apa-apa agar kejahatannya tersamarkan.
Tindakan perencanaan
pembunuhan juga dilakukan oleh Lena Teng untuk menguasai harta warisan suaminya. Begitu pula dengan Tek Siang yang membunuh anak dari Tan Kong Gie, Sioe yang dianggap telah menentang rencana busuknya untuk menipu keluarga Tan Kong Gie. Selain pembunuhan dan hubungan gelapnya dengan beberapa lelaki, Giok Hong juga melakukan tindakan kurang terpuji dengan menjadi agen mata-mata bagi gerakan kiri. Menjadi agen politik organisasi anti pemerintah adalah tindakan yang kurang terpuji karena tidak menunjukkan sifat nasionalisme. Meskipun banyak perilaku Giok Hong yang kurang terpuji, ia sebenarnya memiliki jiwa yang terdidik.
c. Nilai Pendidikan Budaya Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang mengandung pengetahuan,
kepercayaan,
kemampuan-kemampuan
lain
kesenian, yang
moral, didapat
hukum, seseorang
adat
istiadat,
sebagai
dan
anggota
masyarakat. Kebudayaan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Budaya adalah suatu sistem ide/pemikiran. Hal ini disebabkan, budaya dapat mencakup sistem ide yang dimiliki secara bersama, sistem konsep, kaidahkaidah yang mendasari tata cara kehidupan manusia. Dalam hal ini, yang commitpada to user dimaksudkan budaya lebih mengacu persoalan-persoalan yang dipelajari
168 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
manusia, bukan hal-hal yang mereka kerjakan serta benda-benda yang telah dihasilkan (Sutiyono, 2010:40). Nilai budaya dalam karya sastra dapat pula dijadikan sebagai sumber pembelajaran untuk mengenal budaya bangsa. Adat atau tradisi diartikan sebagai cara atau kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan sejak dahulu kala. Kebiasaan yang dimaksud seringkali sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Pada masyarakat pedesaan, nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dengan lainnya sebagai acuan perilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, moto, visi dan misi, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan atau organisasi. Budaya yang tumbuh dalam masyarakat gang Pinggir, Pecinan Semarang tidak hanya dalam kehidupan berinteraksi dalam keseharian, tetapi juga ada yang tumbuh dan berkembang dalam bidang kesenian. Masyarakat etnis Tionghoa di Gang Pinggir, Pecinan Semarang memiliki banyak nilai budaya yang dapat dijadikan pelajaran dan diintegrasikan dengan budaya-budaya lain pada saat proses pembelajaran agar menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa tentang budaya di luar daerahnya. Handry
TM
melalui
novel Kancing
yang
Terlepas
menjelaskan
adat/tradisi budaya etnis Tionghoa yang berada di Gang Pinggir, Pecinan Semarang. Pecinan Semarang memiliki banyak nilai budaya yang dapat kita jadikan pelajaran. Novel Kancing yang Terlepas menampilkan budaya-budaya yang unik yang dimiliki masyarakat etnis Tionghoa di Pecinan Semarang dan tidak dimiliki oleh etnis yang lain. Salah satu budaya yang menonjol, yaitu Cap Go Meh yang melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Tahun Baru Imlek bagi komunitas Tionghoa di seluruh dunia. Masyarakat Pecinan Semarang merayakan Cap Go Meh sebagai bagian dari tradisi perayaan commit user merupakan bagian dari budaya Tahun Baru Imlek. Budaya Cap GotoMeh
169 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perayaan Tahun Baru Imlek, yaitu tahun baru berdasarkan penanggalan orang Tionghoa. Pada hari-hari menjelang Imlek, suasana di pemukiman Pecinan Semarang nampak meriah. Orang orang bersuka cita, rumah-rumah dipasangi lampion berwarna merah, bahkan ada yang mengecat pilar rumah dengan warna merah. Masyarakat
Pecinan
Semarang
juga
memiliki tradisi saat anggota
keluarganya meninggal. Keluarga mendiang akan menggelar pelayatan sesuai dengan kekayaan yang dimiliki. Semakin kaya keluarga tersebut, semakin besar pula pelayatan yang digelar. Keluarga mendiang biasanya memakai pakaian belacu warna putih mangkak, sedangkan mendiang sendiri mengenakan busana kebesarannya. Masa berkabung dilakukan selama beberapa hari sebelum jenazah diperabukan/dikremasi. Selain itu, dalam tradisi ritual orang meninggal dalam etnis Tionghoa masyarakat Pecinan semarang, tangis bersahut-sahutan hampir menjadi tradisi. Ada pengatur khusus yang mempersiapkan tangisan bersama dari para kerabat untuk menunjukkan rasa duka yang dalam terhadap kepergian mendiang.
d. Nilai Pendidikan Agama Nilai pendidikan agama atau keagamaan dalam karya sastra sebagian menyangkut moral, etika, dan kewajiban. Hal ini menunjukkan adanya sifat edukatif (Nurgiyantoro, 2012:317). Dasar dari pendidikan agama adalah hakikat makhluk yang beragama. Tujuan pendidikan keagamaan adalah membentuk manusia yang beragama atau pribadi yang religius. Jarak antara agama dan sastra, maupun sastra dengan manusia, tidak pernah ada. Ia adalah kesatuan yang terpadu dan menghembuskan pesan kepada manusia ke segala arah (Noor, 2011:23). Dengan demikian, cukup beralasan jika peneliti menyimpulkan bahwa tujuan agama dan sastra adalah sama, yaitu demi terciptanya moral yang baik dalam masyarakat. Pada intinya, karya sastra seharusnya dpat memberikan hikmah yang baik yang bisa memberikan pembacanya tercerahkan. Hikmah commit to user tersebut dapat berupa nilai dan kearifan.
170 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Nilai pendidikan agama yang dapat dipetik dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM adalah selalu memohon pertolongan dari Tuhan (Thian) apabila memiliki kesulitan hidup. Seperti yang ditunjukkan tokoh Giok Hong dan Ing Wen yang selalu menyebut nama Thian ketika ia tengah memanjatkan doa untuk penderitaan yang ia dan Tek Siang alami selama ini. Ajaran Kong Hu Chu yang dianut masyarakat Gang Pinggir, Pecinan Semarang juga memiliki ritual ibadah seperti ajaran agama yang lain, yaitu sembahyang. Sembahyang merupakan salah satu cara berkomunikasi penganut ajaran ini dengan Tuhan dan Dewa-Dewa. Seperti yang ditunjukkan oleh Nasihat Ing Wen pada Giok Hong untuk sering bersembahyang karena hal ini akan menambah keimanan
dan
menguatkan
hati
Giok
Hong
terhadap
kehidupan
yang
diratapinya. Sembahyang juga dilakukan oleh tokoh Tan Kong Gie yang bersifat religius. Ia tidak pernah mengeluh dengan hidupnya dan segera bersembahyang apabila hatinya sedang tersakiti. Tek Siang juga menunjukkan cara berdoa pada Yang Maha Tinggi dengan menyekutukan tangan di celah lubang udara tertinggi di rumahnya. Pasangan Tan Kong Gie dan istrinya juga menunjukkan sifat religiusitas dengan mengikhlaskan kejadian buruk yang menimpa keluarga mereka, yaitu saat anak mereka, Sioe meninggal. Cara beribadah tidak hanya dilakukan dengan bersembahyang, karena menurut kutipan di bawah ini, Dewa Dapur mencatat kebaikan para pekerja keras walaupun ia tidak melakukan sembahyang. Bekerja keras merupakan bagian dari ibadah meskipun bukan berupa bersembahyang di altar doa dan membakar dupa/hio. Selain itu, beribadah juga dapat ditunjukkan dengan beramal seperti tokoh Tan dalam kutipan di bawah ini yang membangun tempat ibadah di Pecinan. Mereka juga mengingat bahwa Hari Akhir pasti akan datang dan kesalahan mereka akan terhitung. Selain itu nilai pendidikan agama yang terkandung adalah rasa berdosa terhadap Tuhan merupakan salah satu tanda bahwa seseorang masih mengingat tentang keberadaan Tuhan. Sebagaimana tokoh Tan dan Lily yang diselimuti rasa berdosa karena memiliki hubungan yang tidak to user setiap kali mendengar kata-kata semestinya. Mereka diselimuti commit rasa berdosa
171 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dosa. Hal itu dibuktikan juga oleh pernyataan Timoer Laoet bahwa sebenarnya orang-orang berdosa lah yang menghakimi dirinya sendiri ketika berbuat salah, dan mereka harus bertobat dengan cara mereka sendiri.
e. Nilai Pendidikan Historis Menurut ahli sejarah Kartodirdjo (2009:5), sejarah dapat didefinisikan sebagai berbagai bentuk penggambaran kolektif di masa lampau. Setiap wilayah memiliki cerita masa lalu yang merupakan cikal bakal pembentukan dan pertumbuhannya. Sejarah sebuah wilayah ada yang kelam dan juga yang manis. Pendidikan sejarah tidak hanya tertuang dalam buku-buku ilmiah, tetapi juga dalam karya sastra. Nilai sejarah banyak tersirat dalam cerita atau kisahkisah
yang
dituangkan
pengarang
dalam karyanya.
Nilai sejarah dapat
membentuk sikap terhadap permasalahan yang dihadapi agar peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau dapat dijadikan pengajaran yang berguna. Di dalam karya
sastra,
peristiwa-peristiwa
lama
sering diungkapkan karena dalam
penciptaan karya sastra, pengarang tidak dapat terlepas dari peristiwa-peristiwa yang ada di daerahnya. Nilai pendidikan historis yang digambarkan dalam novel Kancing yang Terlepas ini adalah nilai historis pemerintahan Republik Indonesia pada pergantian zaman Orde Lama menjadi Orde Baru. Tahun 1960-an yang menjadi latar novel ini, menampilkan sejarah pemerintahan Indonesia di kala itu. Saat itu, sudah terjadi perpecahan sikap politik antara Soekarno dan Mohammad Hatta. Soekarno-Hatta adalah dua tokoh besar Indonesia yang sangat berjasa kepada bangsa Indonesia. Hubungan keduanya telah menempatkan keduanya menjadi tokoh Dwitunggal Indonesia. Namun di balik itu terdapat dinamika antara Soekarno Hatta. Hubungan harmonis masa pendudukan Jepang tak bertahan lama.
Perpecahan tokoh Dwitunggal tersebut ditandai dengan mundurnya
Mohammad Hatta sebagai wakil presiden Indonesia pada 1 Desember 1956. Novel
ini
juga
menggambarkan
bahwa
pemerintahan
Soekarno
hendak
digulingkan. Terdapat suatu kelompok yang diikuti oleh Boenga Lily yang commit to user menginginkan sebuah negara yang dipimpin oleh Sang Pembenar atau panglima
172 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tertinggi.
Negara tersebut memiliki konsep
sejahtera bersama dan akan
menghancurkan konsep republik dan kerajaan. Novel Kancing yang Terlepas juga menggambarkan tokoh Soekarno yang dikasak-kusukkan
memiliki
hubungan
politik
dengan
komunis.
Komunis
digosipkan akan menguasai pemerintahan Indonesia di kala itu. Digambarkan sebagai "dalang" besar, Soekarno mendapatkan kekuasaan dari usahanya menyeimbangkan
kekuatan
yang
berlawanan
dan
semakin
bermusuhan
antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada
tahun
1965,
PKI
telah
menembus
semua
tingkat
pemerintahan,
mendapatkan pengaruh besar dan juga mengurangi kekuasaan TNI. Tentara telah terbagi, antara sayap kiri yang pro-PKI, dan sayap kanan yang didekati oleh negara-negara Barat. Pada masa Demokrasi terpimpin (1959-1966), PKI melancarkan kampanye besar-besaran untuk meningkatkan popularitas. Lagu “genjer-genjer” merupakan salah satu propaganda yang disukai dan dinyanyikan di berbagai kesempatan. Akibatnya orang mulai mengasosiasikan lagu ini sebagai “lagu PKI”. Handry TM dalam novel Kancing yang Terlepas ini menonjolkan dampak pergeseran politik Indonesia terhadap etnis Tionghoa pada pergantian ke zaman Orde Baru. Pemerintah Indonesia dikabarkan akan membatasi kehidupan sosial kaum keturunan karena dianggap sebagai antek dari kelompok komunis. Isu politik
yang tersebar melalui telepon dan sobekan surat kabar yang
diselundupkan tersebut membuat warga etnis Tionghoa gelisah. Mereka merasa dikerdilkan dan tersingkir dari kota Semarang. Ketika Indonesia memasuki masa guncangan politik dan krisis pada tahun 1965, semua organisasi Tionghoa dan semua sekolah Tionghoa ditutup. Pada tahun 1965 Suharto mulai berkuasa sesudah penggagalan percobaan kudeta (dikenal dengan sebutan gerakan 30 September atau G30S atau gestapu) yang ditengarai didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa sesudah upaya kudeta tersebut, pecah kerusuhan anti-Tionghoa di kota-kota besar di Indonesia. Di tengah kerusuhan ini, massa menyerang sekolah dan to user mobil, motor, rumah, dan toko organisasi masyarakat Tionghoa commit dan merusak
173 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
milik orang Tionghoa untuk mengungkapkan rasa permusuhan mereka terhadap Tiongkok, orang Tionghoa, atau kepada penganut aliran Komunis. Dalam novel ini, rumah keluarga Oen Kiat termasuk dalam sasaran kerusuhan anti Tionghoa. Rumah itu dibakar karena tersengar kabar bahwa Oen Kiat ikut membiayai gerakan pemuda di Partai Komunis Indonesia. Pemukiman di Gang Pinggir pun seolah dihancurkan karena sebagian besar dilalap oleh api. 3. Relevansi Novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dengan Pembelajaran Sastra di Perguruan Tinggi. Berdasarkan catatan lapangan hasil wawancara, terdapat 5 informan yang menyatakan bahwa novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM mempunyai relevansi dengan pembelajaran sastra di Perguruan Tinggi. Materi penceritaan novel dapat dijadikan sebagai bahan materi ajar, misalnya dalam mata kuliah feminisme, psikologi sastra, dan sosiologi sastra. Latar belakang sosial budaya yang terdapat dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dapat dianalisis
menggunakan
pendekatan
sosiologi
sastra.
Selain
itu,
dengan
pendekatan sosiologi sastra tersebut dapat diketahui ada atau tidaknya relevansi antara sebuah karya dan pengarang. Selain unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga dapat digunakan sebagai materi mahasiswa untuk mengidentifikasi berbagai unsur-unsur yang terdapat di dalam
sebuah
novel.
Unsur-unsur
intrinsik
meliputi
tema,
judul,
alur,
penokohan/perwatakan, setting, dan amanat. Unsur ekstrinsik meliputi hal-hal di luar teks dan unsur di dalam penceritaan sebuah novel. Dengan unsur intrinsik dan ekstrinsik tersebut, mahasiswa dapat memperluas pengetahuannya dan memaknai sebuah novel secara keseluruhan. Berdasarkan uraian di atas, dari menganalisis novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dan wawancara terhadap informan, peneliti menjabarkan uraian pembahasan penelitian yang meliputi: latar belakang sosial budaya; tanggapan pembaca; nilai-nilai pendidikan; dan relevansinya dengan pembelajaran sastra di Perguruan Tinggi. Dari analisis novel dan wawancara terhadap informan, ditemukan bahwa commit novel to userKancing yang Terlepas memiliki
174 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
latar
belakang
sosial budaya
yang
terdiri dari budaya/adat,
pekerjaan,
pendidikan, agama dan kepercayaan, kondisi sosial, tempat tinggal, bahasa, dan etnis. Tanggapan dari beberapa informan dan adanya 5 nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM membuat novel tersebut memiliki kualitas yang baik dan dapat dijadikan sebagai bahan ajar di pembelajaran sastra Perguruan Tinggi.
4. Tanggapan Pembaca terhadap Novel Kancing yang Terlepas Karya Handry TM Peneliti mengutip penelitian Herlina (2013:155-158) yang sama-sama menelaah novel. Perbedaan penelitian ini yaitu pada salah satu pendekatannya. Penelitian Herlina menggunakan pendekatan resepsi sastra, sedangkan peneliti tidak menggunakan teori tersebut dan hanya dengan sosiologi sastra. Peneliti berpendapat bahwa konsep resepsi sastra yang mengkaji hubungan antara masyarakat dan karya sastra merupakan salah satu aspek dalam kajian sosiologi sastra, yaitu sosiologi pembaca. dengan demikian, sosiologi sastra dapat mencakupi relevansi antara pengarang, karya sastra, dan pembaca yang berada dalam garis linier. Bertemali dengan uraian di atas, penelitian ini melibatkan pembaca untuk mengetahui seberapa besar pemahaman dan penilaian mereka terhadap novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM. Hal ini sejalan dengan Wijayanti
(2013:
112)
yang
menyebutkan
bahwa
tanggapan
pembaca
diperlukan untuk menafsirkan makna terhadap teks-teks karya sastra serta menemukan keberagaman pemahaman terhadap karya sastra tersebut. Peneliti menggunakan metode wawancara untuk mendapatkan tanggapan dari para pembaca. Sebelumnya, peneliti memberikan naskah novel Kancing yang terlepas karya Handry TM dan sinopsisnya untuk dibaca. Selanjutnya, peneliti mewawancarai pembaca yang peneliti telah ditentukan sebelumnya. Tanggapan pembaca dalam penelitian ini melibatkan lima informan yang telah dipilih untuk menanggapi novel ini. Tanggapan pembaca ini dibagi menjadi dua commit user jenis pembaca yaitu pembaca ideal atautoahli dan pembaca umum. Pembaca ideal
175 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dipilih dari kalangan sastrawan dan dosen bahasa sastra Indonesia, sedangkan pembaca umum dipilih dari kalangan mahasiswa. Kelima informan tersebut adalah Drs. Yant Mujiyanto, M.Pd., Dra. Murtini, M.S., Riana Wati, S.S., M.A., Abdurrakhman Hadiyanto, S. Pd., dan Yani Isnaniyah, S. Pd. Pembaca memberikan pendapatnya mengenai karya sastra yang dibacanya, yaitu novel Kancing yang Terlepas Karya Handry TM. Novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM ini memiliki tema yang menarik, yaitu gambaran dari kehidupan bermasyarakat yang sangat kompleks. Tema novel ini dinilai berhubungan dengan masalah kemanusiaan. Masalah yang
diusung,
yaitu
masalah
perempuan,
politik,
dan
kekuasaan
yang
dimunculkan oleh tokoh utamanya, Siaw Giok Hong. Data tersebut didapatkan dari informan 1, yaitu Dra. Murtini, M.S. (CLHW 1). Hal lain yang ditanggapi Murtini, yaitu pengarang dalam novel Kancing yang Terlepas yang ingin mengungkapkan peristiwa sejarah yang pernah terjadi di Indonesia pada khususnya
dampaknya
terhadap
masyarakat
etnis
Tionghoa.
Selain
itu
pengarang juga ingin menggambarkan bahwa kelompok etnis Tionghoa dari zaman Kemerdekaan sampai sekarang ini selalu menjadi pihak yang dicurigai, padahal terdapat sebagian dari mereka yang turut membantu berdirinya NKRI. Mengenai kehidupan sosial budaya masyarakat dalam novel Kancing yang terlepas karya Handry TM, Murtini menanggapi dari segi sosial, masyarakat etnis Tionghoa dinilai Murtini dapat berbaur dengan masyarakat setempat tetapi dengan cara yang kurang baik. Dalam novel tersebut, masyarakat etnis Tionghoa dalam menjalin hubungannya dengan masyarakat setempat seringkali berupa pemberian uang atau makanan. Hal itu memunculkan pertanyaan Murtini apakah masyarakat etnis Tionghoa sudah biasa melakukan perilaku suap dalam berhubungan bermasyarakat atau dalam berdagang. Kemudian menimbulkan pertanyaan lanjutan apakah perilaku suap dilakukan karena etnis Tionghoa adalah kelompok minoritas di negara Republik Indonesia, ataukah memang sudah menjadi kebiasaan mereka dari zaman nenek moyang. Perilaku seperti itu juga memunculkan kesimpulan bahwa orang pribumi mudah menerima suap dan user usaha seorang tauke kaya, Tek diperbudak. Selanjutnya dari segicommit budaya,totampak
176 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Siang
yang
mempelopori
berdirinya
kesenian
etnis
Tionghoa
melalui
Perkoempoelan Tjahaya Timoer. Hal itu dinilai Murtini bahwa Tek Siang ingin mengembangkan kesenian dan berjuang untuk membangkitkan kesenian dari negeri Tiongkok tersebut. Menurut
Murtini,
pandangan
dunia
pengarang
dalam
menciptakan
kehidupan masyarakat dalam novel, yaitu pengarang ingin mengangkat bahwa yang dapat mengukir sejarah Indonesia bukan hanya orang-orang besar, tetapi juga orang-orang kecil berperan dalam pembentukan NKRI. Kemudian, Murtini berpendapat gaya bahasa dalam novel ini relatif mengalir. Pengarang memiliki kebiasaan untuk menuliskan syair lagu dengan ejaan lama, begitu pula nama orang dan nama kota yang senada dengan sejarah 60-an dimana tahun 60-an masih menggunakan ejaan lama. Pilihan katanya mudah ditangkap menjadi satu kesatuan yang utuh dalam cerita, meskipun disisipi oleh istilah Jawa dan Cina untuk memperkuat karakter tokoh dan jalan cerita. Novel Kancing yang Terlepas apabila ditinjau dari segi sastra, dari unsur intrinsiknya sudah memenuhi karya sastra. Sebagai novel, menurut Murtini novel ini termasuk kategori lancar, bukannya novel yang absurd/abstrak artinya, dipandang dari sastra, novel memiliki sifat konvensional. Inti dari novel ini menurut Murtini adalah pengarang ingin memberikan informasi kepada pembaca bahwa etnis Tionghoa adalah bagian dari masyarakat Indonesia.
Murtini
berpendapat
bahwa
seharusnya
Handry
TM
lebih
menunjukkan etnis Cina dan pribumi yang lebih membaur. Menurut Murtini, novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM ini memiliki nilai-nilai pendidikan yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh mahasiswa. Novel ini dapat digunakan mahasiswa untuk membedakan yang mana baik buruknya kehidupan sehingga dapat meneladani hal-hal yang baik saja tanpa harus terpengaruh dengan nilai buruknya. Nilai pendidikan yang dapat dipetik adalah apabila seseorang ingin meraih sesuatu, atau ingin berprofesi sesuatu itu harus diperoleh dengan cara yang benar agar tidak memiliki nasib yang tragis, seperti yang digambarkan oleh tokoh Giok Hong yang nasibnya berakhir tragis. Selain to user itu hidup harus ditempuh dengancommit kejujuran dan apa adanya, berlawanan dengan
177 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sikap Tek Siang dan Tan Kong Gie yang saling telikung untuk mendapatkan hal yang mereka inginkan. Keterkaitan kehidupan sosial budaya masyarakat dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dan relevansinya dengan pembelajaran sastra menurut Murtini, yaitu secara umum karya ini bisa memberikan pengayaan terhadap kehidupan sastra di Indonesia. Dalam arti bisa melengkapi karena persoalan dalam novel ini begitu kompleks karena kehidupan sosial budaya dalam masyarakat Cina yang tertuang dalam novel ini bisa menjadi pengayaan bagi pembaca dari berbagai etnis dalam ranah pembelajaran sastra di Indonesia terutama di Perguruan Tinggi. Selanjutnya, berdasarkan CLWH 1, novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM
dapat dijadikan pilihan bacaan oleh mahasiswa perguruan tinggi,
juga dapat dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran sastra perguruan tinggi. Novel ini dinilai Murtini memiliki isi yang kaya dengan persoalan yang bisa dipelajari. Novel ini dapat ditinjau dari sisi feminisme, sosiologi sastra, dan psikologi sastra. Selain itu dapat dipelajari juga sisi sejarahnya dan sastra jurnalistik
karena
pengarangnya
yang
merupakan
wartawan.
Novel
ini
dimensinya tidak hanya dari isi karya itu tetapi juga dari unsur ekstrinsik dan pragmatisnya. Peneliti juga mengambil data dari dosen sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya UNS, yaitu Riana Wati, S.S., M.A. menurut informan 2 ini, novel Kancing yang Terlepas bertemakan kehidupan masyarakat etnis Tionghoa. Novel ini mengusung kondisi sosial budaya masyarakat etnis Tionghoa pada tahun 1960-an. Hal tersebut diwakili oleh tokoh-tokoh dalam novel Kancing yang
Terlepas
sebagai
masyarakat
Gang
Pinggir,
Pecinan
Semarang.
Berdasarkan CLHW 2, Riana Wati menyatakan gambaran mengenai masyarakat etnis Tionghoa dalam novel ini kurang bagus karena penuh dengan sifat yang kurang
baik
dari tokoh-tokohnya.
Walaupun pengarang memiliki banyak
referensi mengenai budaya Tionghoa, Riana Wati menilai novel ini kurang menggambarkan sosial budaya masyarakat Tionghoa di Indonesia yang baik. commit to user
178 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Informan berpendapat penggambaran tentang kehidupan sosial budaya masyarakat dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM ini sudah cukup bagus. Dikatakan oleh informan 2, kehidupan sosial budaya masyarakat etnis Tionghoa bisa dilihat dari ciri khas kehidupan sosial budaya masyarakat etnis Tionghoa yang sebenarnya. Misalnya penggunaan nama-nama tokoh yang sesuai, budaya Cap Go Meh, Imlek, dan makanan khas kue keranjang, altar pemujaan,
dan juga istilah-istilah Cina.
Dari sisi religiusnya pun sudah
melukiskan kenyataan karena novel ini menyorot kepercayaan etnis Tionghoa, yaitu Thian (Tuhan) dan juga dewa-dewanya. Hal yang masih dirasa kurang oleh Riana Wati adalah konsep diri dari tokoh-tokoh dalam novel yang diragukan apakah mewakili keturunan Tionghoa asli di Indonesia. Menurut Riana Wati, pandangan dunia pengarang dalam menciptakan kehidupan masyarakat dalam novel kurang bisa mewakili orang keturunan Cina secara keseluruhan walaupun mungkin pengetahuannya tentang orang keturunan Cina banyak mengingat ia adalah seorang wartawan. Kemudian dari segi gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam novel ini menurut Riana Wati bukan bahasa yang absurd, tetapi bahasa yang realitas, apa adanya/lugas. Bagi Riana Wati, sastra itu merupakan karya yang indah karena bahasanya. Fungsinya pun memberi amanat dan menghibur. Kemudian apabila dikaitkan dengan novel Kancing yang Terlepas, terdapat nilai yang mendidik dan juga kurang mendidik. Mendidik karena menggambarkan kehidupan sosial budaya etnis Cina dan kurang mendidik karena terdapat beberapa adegan panas dan jalan pikiran tokoh yang culas/licik. Dikatakan cukup menghibur karena menambah wawasan kita mengenai kebudayaan etnis Cina. Inti cerita novel Kancing yang Terlepas ini menurut Riana Wati adalah kehidupan seorang biduanita etnis Tionghoa yang berjuang dan ingin sosoknya tercatat dalam sejarah negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Riana Wati, nilai-nilai pendidikan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh mahasiswa yakni dari novel Kancing yang Terlepas ini, adalah perlunya konsep diri dan prinsip hidup yang jelas. Riana Wati melanjutkan bahwa kita commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
179 digilib.uns.ac.id
harus memiliki pendirian yang kuat agar tidak mudah terombang-ambing dengan kerasnya kehidupan apalagi ditipu oleh orang lain. Keterkaitan kehidupan sosial budaya masyarakat dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dan relevansinya dengan pembelajaran sastra menurut Riana Wati kehidupan sosial budaya masyarakat dalam novel Kancing yang Terlepas ini dapat melengkapi karya-karya sastra berlatarkan sosial budaya dan sejarah Indonesia. Jadi, wawasan mengenai sosial budaya masyarakat etnis Cina yang terdapat di dalam novel ini dapat bermanfaat dalam pembelajaran sastra. Kemudian, berdasarkan CLWH 2, novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM
dapat dijadikan pilihan bacaan oleh mahasiswa perguruan tinggi,
juga dapat dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran sastra perguruan tinggi. Hal tersebut berdasarkan pendapat Riana Wati bahwa mahasiswa tingkat tinggi sudah dewasa karena memiliki kemampuan analisis yang luas dan tajam. Novel ini dapat dijadikan referensi mengenai kondisi masyarakat etnis Cina pada tahun 1960-an. Novel ini juga dapat dipelajari dalam materi sosiologi sastra. Namun Riana Wati memberikan catatan bahwa mahasiswa tingkat awal perlu mendapat bimbingan untuk mengkaji novel ini berhubung daya nalarnya yang masih susah membedakan hitam putih dunia. Informan ketiga yang menanggapi novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM adalah Abdurrakhman Hadiyanto, S.Pd., mahasiswa pasca sarjana Universitas Sebelas Maret (UNS). Menurut Abdurrakhman, tema novel Kancing yang Terlepas ini menarik karena memiliki alur cerita yang tidak mudah ditebak. Hal itu menjadikan novel ini tidak membosankan untuk dibaca. Abdurrakhman memberi pendapat bahwa kejutan-kejutan dalam novel ini membuat semakin menarik. Contohnya saat adegan Giok Hong yang menghasut anak tertua Lena Teng untuk memusuhi ibunya sendiri. Menurut informan 3 ini, yang ingin diungkapkan pengarang dalam novel adalah kehidupan dan sudut pandang orang pecinan di tanah Jawa pada era tahun 60an. Selain itu, kebudayaan yang ditampilkan dalam cerita mempertegas bahwa commitmemori to user tentang masa itu. Penulis ingin cerita ini ingin mengangkat kembali
180 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyampaikan peranan, konflik, kedukaan dan akibat yang dirasakan orang Pecinan pada masa itu, sehingga pembaca tahu bahwa tidak hanya orang pribumi saja yang merasa tertindas dan mengalami masa sulit pada waktu itu, namun orang Pecinan juga merasakan. Kemudian,
pandangan
Abdurrakhman terhadap
keseluruhan peristiwa
dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM yaitu baik, karena saling terkait antara peristiwa satu dengan peristiwa yang lainnya. Konfliknya pun beragam sehingga menumbuhkan keinginan pembaca untuk segera menyelesaikan novel ini. Misalnya pada cerita awal yang mengungkapkan rasa cinta antara Tek Siang dengan Giok Hong yang begitu dalam, dilanjutkan dengan perasaan kehilangan yang amat sangat karena Giok Hong diculik. Korelasi yang baik juga digambarkan dari tokoh Boenga Lily yang muncul sebagai jelmaan dari Giok Hong. Kehidupan sosial budaya masyarakat dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM menurut Abdurrakhman, dari segi sosial cukup jelas, begitu pula dari segi budayanya. Dari segi sosial, novel ini mennjukkan hubungan masyarakat etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi yang membaur. Walaupun terdapat perbedaan etnis dan kelas sosial, mereka dapat hidup berdampingan. Sayangnya keadaan itu berubah saat terjadi peristiwa usaha peruntuhan Orde Lama menjadi Orde Baru. Kemudian dari segi budaya, Abdurrakhman menilai sangat menarik karena terdapat pengetahuan-pengetahuan mengenai adat istiadat, kepercayaan/agama yang dianut, dan juga perayaan hari besar masyarakat etnis Tionghoa. Kemudian menurut Abdurrakhman, kaitan latar novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dengan sejarah pada masa itu adalah latar novel Kancing yang Terlepas adalah gambaran dari sejarah yang pernah terjadi di Indonesia, tepatnya pada masa kehancuran Orde Lama tahun 1960-an. Pada masa itu terjadi peristiwa kudeta yang dilakukan oleh kelompok komunis yang kabarnya bekerja sama dengan presiden Soekarno. Kehidupan yang ada dalam novel Kancing yang Terlepas ini berdasarkan realita yang ada di masyarakat Indonesia menurut pendapat Abdurrakhman berkorelasi. Masyarakat Pecinan commit to user dalam novel diceritakan mayoritas sebagai pedagang, dalam realitanya benar
181 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bahwa kaum Pecinan di Indonesia mayoritas berdagang. Selain itu, kebudayaan yang adapun hampir sama, menikmati orkes sambil meminum arak sudah menjadi kebiasan yang wajar bagi para warga Pecinan. Gaya
bahasa
yang
digunakan
pengarang
dalam
novel
menurut
Abdurrakhman lepas dan sederhana. Penyisipan kata-kata berbahasa asing menjadi daya tarik tersendiri, baik bahasa Cina ataupun bahasa Jawa dipadu padankan oleh penulis dengan baik sehingga tidak menimbulkan bias makna. Bagi informan 3, membaca novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM memberi pengaruh tersendiri. Berkaca dari peristiwa Giok Hong yang berhasil menghasut anak tertua Lena Teng, Zeng untuk mencelakai ibu kandungnya sendiri, menurut Abdurrakhman hal tersebut juga dapat terjadi di kehidupan nyata. Dengan demikian Abdurrakhman menjadi lebih mewaspadai kejahatan-kejahatan yang bisa saja dilakukan oleh orang terdekat. Selanjutnya, Abdurrakhman menyatakan bahwa novel ini memiliki nilainilai pendidikan yang dapat diterapkan sehari-hari. Nilai-nilai pendidikan
itu
adalah pekerja keras, loyal dalam bekerja, dan religius. Pekerja keras ditunjukkan oleh Tek Siang yang selalu berlatih dan melatih anggota orkesnya secara
giat
untuk
menghasilkan pementasan yang indah.
Loyalitas yang
dilakukannya dalah ia tetap memainkan alat musiknya sendiri sebagai wujud kecintaannya terhadap kesenian itu. Ia juga dapat mengontol emosinya ketika wanita yang dicintainya, Giok Hong tengah berjoget dengan sahabatnya sendiri, Oen Kiat. Nilai religius menurut Abdurrakhman dilukiskan dari sikap para tokoh yang selalu mengingat Thian (Tuhan) dalam menjalani kehidupannya termasuk ketika mengalami musibah. Selain itu dilukiskan pula adat istiadat penguburan orang etnis Tionghoa yang meninggal secara agama/kepercayaan mereka. Berkaitan dengan uraian di atas, Abdurrakhman berpendapat bahwa novel Kancing yang Terlepas Karya Handry TM dapat dijadikan pilihan bacaan bagi mahasiswa perguruan tinggi. Namun dengan catatan bahwa mahasiswa perlu diberi penjelasan bagaimana menerima isi bacaan dengan cara positif, bukannya secara mentah. Sebagai bahan ajar pembelajaran sastra, mahasiswa masih perlu to user dibimbing untuk membedakan commit hal mana yang tidak patut dicontoh, misalnya
perpustakaan.uns.ac.id
182 digilib.uns.ac.id
pada hubungan percintaan tanpa status pernikahan yang dilakukan oleh Tek Siang dan Giok Hong. Kemudian kritik dan saran untuk novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dari Abdurakhman, yaitu latar belakang sejarah Indonesia pada masa pergantian Orde Lama menjadi Orde Baru perlu dijelaskan lagi secara mendalam agar pembaca lebih memahami kondisi politik pada masa itu. Informan selanjutnya adalah Yani Isnaniyah, S. Pd. yang merupakan mahasiswa Pasca PBI UNS sebagai pembaca umum. Berdasarkan Catatan Lapangan Hasil Wawancara 4 (CLHW 4) menyebutkan bahwa tema dari novel Kancing yang Terlepas ini adalah mengenai kehidupan perempuan di tengah kejamnya politik dan kekuasaan pada masa itu. Yang ingin diungkapkan pengarang dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM menurut Yani Isnaniyah adalah pengarang ingin mengungkapkan misteri yang terjadi pada tahun 60-an, yaitu saat keadaan Negara Indonesia pada keadaan yang tidak aman karena banyak terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh komunis. Keadaan tersebut semakin menyudutkan warga Tionghoa yang merupakan minoritas warga negara Indonesia. Pandangan Yani Isnaniyah terhadap keseluruhan peristiwa dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM adalah novel ini membebaskan pembaca untuk memberikan penafsiran terhadap peristiwaperistiwa yang terjadi di dalam novel. Menurut Yani Isnaniyah, pembaca bebas menginterpretasikan apa makna di balik
kejadian di dalam novel yang
kebanyakan berupa misteri. Hal tersebut memiliki arti bahwa imajinasi setiap pembaca berbeda-beda. Misalnya peristiwa di akhir novel yang menceritakan lenyapnya Boenga Lily yang dibawa oleh orang yang menyamar sebagai tukang pedati. Menurut Yani Isnaniyah, bagian dari novel yang paling berkesan, yaitu ketika anak kecil ditangkap oleh tentara karena menyanyikan lagu Genjer-Genjer. Di dalam penjara mereka diinterogasi mengenai lagu tersebut, darimana mereka tahu lagu itu, siapa yang mengajarkan lagu tersebut. Hal ini memberikan sebuah tanda tanya mengenai komunisme di negara Indonesia dan orang-orang terlibat di to user masyarakat dalam novel Kancing dalamnya. Selanjutnya, kehidupan commit sosial budaya
183 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang Terlepas karya Handry TM mnurut Yani Isnaniyah menggambarkan kehidupan sosial budaya masyarakat etnis Tionghoa. Novel ini menjabarkan budaya/adat kebiasaan mereka, misalnya kesenangan mereka akan pesta pora yang dirayakan dengan adanya orkes. Kemudian prosesi pemakaman masyarakat etnis
Tionghoa
kebanggaan
yang
masyarakat
mendatangkan etnis
tim untuk
Tionghoa
yang
menangisi almarhum, menjadikan
wanita
dan
sebagai
perhiasan dunia. Kemudian berdasarkan pendapat informan 4 ini, kaitan latar novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dengan sejarah pada masa itu adalah pada masa itu banyak hal yang masih menjadi misteri mengenai peristiwa yang terjadi pada tahun 60-an. Pada tahuan 60-an di dalam sejarah merupakan bagian di mana Bangsa Indonesia sedang terjadi konflik antara Pemerintahan dan Komunis yang ingin menghancurkan ideologi yang ada. Sedangkan kehidupan yang ada dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM berdasarkan realita yang ada pada masyarakat Indonesia adalah orang yang memiliki uang merekalah yang berkuasa dan politik selalu bersifat misteri, tidak secara jelas mengungkapkan mana yang benar dan mana yang salah. Selanjutnya, gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam novel menurut Yani Isnaniyah secara umum mudah untuk dipahami tapi di sisi lain terdapat ungkapan atau bahasa yang menggunakan bahasa Cina yang tidak dimengerti oleh pembaca tanpa adanya keterangan tambahan. Novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM ini memiliki pengaruh bagi Yani Isnaniyah. Setelah mengetahui kehidupan masyarakat etnis Tionghoa yang dijabarkan di dalam novel, Yani Isnaniyah ingin mengetahui lebih dalam lagi mengenai kehidupan sosial budaya dari masyarakat etnis Tionghoa. Hal ini membuatnya
memiliki
keingintahuan
lebih
mengenai
budaya/adat
lainnya
sehingga ia bertanya kepada temannya merupakan keturunan etnis Tionghoa. misalnya saja dalam novel tersebut menceritakan bahwa terdapat tim Sang Seng, yang bertugas menangisi orang etnis Tionghoa yang meninggal. Tim tersebut diberikan imbalan berupa angpao. commit to user
184 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Nilai-nilai pendidikan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari menurut Yani Isnaniyah diantaranya, (1) rasa mencintai, (2) menjadi orang yang mampu berterima kasih, (3) menghormati orang yang lebih tua, dan (4) saling menghargai sesama. Berkaitan dengan hal itu, Yani Isnaniyah berpendapat bahwa novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM ini dapat dijadikan pilihan bacaan bagi mahasiswa perguruan tinggi. Hal itu didasari oleh kenyataan bahwa dengan membaca novel tersebut, mahasiswa perguruan tinggi dapat memperoleh pengetahuan dan wawasan mengenai kehidupan sosial budaya masyarakat etnis Tionghoa.
Selain itu novel ini juga bermanfaat untuk
menambah pengetahuan karya sastra Indonesia yang diciptakan berdasarkan sejarah Indonesia. Kritik dan saran Yani Isnaniyah untuk novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM adalah pada novel tersebut banyak menggunakan bahasa Cina yang belum tentu dimengerti oleh masyarakat secara umum sehingga
ungkapan
yang
menggunakan
bahasa
Cina
hendaknya
diberi
penjelasan dalam bahasa Indonesia. Drs. Yant Mujiyanto, M.Pd., yang merupakan sastrawan sekaligus dosen Pendidikan Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi UNS memberi tanggapan mengenai novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM memiliki tema kemelut rumah tangga dalam perkumpulan Orkes Tjahaya Timoer. Informan 5 ini menyatakan bahwa novel ini menonjolkan gaya hidup hedonis tokoh utama, Siaw Giok Hong dengan pasangan kumpul kebonya, Tek Siang. Kemudian muncul pihak ketiga yang membuat situasi runyam seperti contohnya tokoh The Oen Kiat dan berakhir dengan serentetan kematian/pembunuhan. Kemudian yang ingin diungkapkan pengarang dalam novel menurut Yant Mujiyanto
adalah
hasrat
bercerita
secara
mendalam dan jernih tentang
perempuan, politik, dan kekuasaan. Novel fiksi ini bercerita gonjang-ganjing politik prolog epilog G 30 S/PKI. Pandangan Yant Mujiyanto terhadap keseluruhan peristiwa dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM adalah
penghayatan
Tionghoa.
mendalam
Peristiwa-peristiwa
terhadap
kehidupan
dalam novel commit to user
ini
sosial
budaya
menguatkan
etnis
bagaimana
185 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kehidupan sosial budaya etnis ini, seprti dunia kesenian etnis Tionghoa, dunia bisnisnya, dan dunia klangenan beserta aspek kriminalitas yang mereka lakukan. Menurut Yant Mujiyanto, latar novel Kancing yang Terlepas sangat erat dengan sejarah Indonesia tahun 1965-an, karena disana ditampilkan huru-hara penangkapan
orang-orang
etnis
Tionghoa
yang
dianggap
terlibat
kudeta
berdarah G 30 S. Juga opini-opini pro dan kontra yang muncul seputar geger 1965. Kehidupan sosial budaya masyarakat dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM menurut Yant Mujiyanto sangat jelas dan digambarkan secara apik. Pengarang dinilai dapat menghidupkan suasana sosial budaya masyarakat etnis Tionghoa pada tahun 60-an. Menurut informan 5 tersebut, hal itu ditunjang dengan dialog antar tokoh yang ada pada novel ini yang menggunakan dialek etnis Tionghoa, yaitu pemakaian kosakata bahasa Mandarin. Selain itu, hal yang menambah unsur kehidupan sosial budaya novel ini dapat dilihat dari adeganadegan di perkumpulan orkes yang dibesut oleh Tek Siang, yang kebetulan berada di rumah Tek Siang. Kehidupan yang ada dalam novel berdasarkan realitas di masyarakat Indonesia, menurut Yant Mujiyanto cukup menyatu, artinya pengarang berhasil menjadikan novelnya sebagai layar proyeksi kehidupan, dan dipadukan dengan dunia batin pengarang sehingga jauh dari deskripsi dunia jurnalistik dan investigasi. Gaya bahasa dalam novel Kancing yang Terlepas menurut Yant Mujiyanto bertaburan aneka ragam gaya bahasa. Yaitu dominan metafora, simile, hiperbola, personifikasi, paralelisme, klimaks, antiklimaks, satire, croni, sarkasme, paradoks, pleonasme, dll. Pengaruh novel Kancing yang Terlepas dalam diri Yant Mujiyanto adalah novel ini dapat menambah beberapa wawasan, yaitu
mengenai sosial budaya masyarakat Tionghoa,
suasana pemukiman
Pecinan Semarang pada tahun 1960-an, dan orkes etnis Tionghoa pada masa itu. Selain itu melalui novel ini, Yant Mujiyanto juga dapat membayangkan situasi huru-hara penangkapan warga etnis Tionghoa yang dituduh bekerja sama dengan kelompok komunis dan juga penangkapan serta penyiksaan yang dilakukan oleh TNI kepada mereka. commit to user
186 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berkaitan
dengan
uraian sebelumnya,
nilai pendidikan dalam novel
Kancing yang Terlepas karya Handry TM menurut Yant Mujiyanto, yaitu nilai budaya, nilai moral, dan nilai religius/agama. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut pendapat Yant Mujiyanto, novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dapat dijadikan pilihan bacaan bagi mahasiswa perguruan tinggi karena memuat
pengetahuan
dan
manfaat
bagi
mahasiswa
perguruan
tinggi.
Pengetahuan dan manfaat tersebut, yaitu memperoleh wawasan yang cukup luas dan mendalam tentang budaya penduduk etnis Tionghoa di wilayah Pecinan Semarang pada tahun 1960-an. Kemudian manfaat lainnya yaitu mahasiswa dapat menikmati karya sastra ini dari segi pendiksian dan aneka gaya bahasanya. Mereka dapat berimajinasi dengan penggambaran yang dilakukan oleh Handry TM dalam novel tersebut. Selanjutnya, mahasiswa mendapatkan gambaran mengenai sejarah yang pernah terjadi di Indonesia, yaitu kemelut sosial politik keruntuhan Orde Lama pada tahun 1960-an dan penumpasan orang orang yang dianggap berperan dalam tragedi G 30 S/PKI. Kemudian kritik dan saran Yant Mujiyanto terhadap novel ini adalah adanya sedikit kejanggalan tentang perusakan wajah Giok Hong yang kemudian menjelma Boenga Lily yang cantik jelita. Sedangkan sarannya, sebaiknya novel ini lebih ditingkatkan pemasarannya terutama untuk para pembaca etnis Cina karena rasanya novel ini sangat tepat untuk mereka. Berdasarkan tanggapan dari kelima informan di atas mengenai novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM, pendapat mereka mengenai tema novel ini tidak jauh berbeda. Tema novel ini secara umum adalah kehidupan sosial tokoh perempuan etnis Tionghoa di tengah gejolak politik tahun 1960-an. Salah satu informan lebih menyorot kehidupan tokoh utama, yaitu Giok Hong, dengan pasangannya, Tek Siang (Drs. Yant Mujiyanto, M.Pd.). Hal ini sedikit berbeda dengan pendapat Riana Wati, M.S. yang lebih menyorot masyarakat etnis Tionghoa secara umum pada masa itu. Kemudian,
tanggapan
kelima
informan
mengenai
hal
yang
ingin
diungkapkan pengarang hampir sama, yaitu ingin mengungkap sejarah yang commit to usertahun 1960-an, yaitu saat dimana pernah terjadi di Indonesia, khususnya pada
187 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terjadi ketidakstabilan politik. Ketidak stabilan politik diperkeruh dengan adanya peristiwa G 30 S/PKI. Informan Murtini dan Adurrakhman sependapat bahwa pengarang lebih menyorot pada perspektif etnis Tionghoa di era pergantian Orde Lama menjadi Orde Baru. Bahwa kelompok minoritas seperti etnis Tionghoa pun ikut berperan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agak berbeda dengan informan lainnya, Riana Wati berpendapat bahwa gambaran mengenai masyarakat etnis Tionghoa dalam novel ini kurang bagus karena penuh dengan sifat yang kurang baik dari tokoh-tokohnya. Riana Wati menilai novel ini kurang menggambarkan sosial budaya masyarakat Tionghoa di Indonesia yang baik. Selanjutnya,
kelima
informan
juga
mengungkapkan kehidupan sosial
budaya masyarakat dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM. Kelimanya
memiliki
keragaman
dalam
menilai
kehidupan
sosial budaya
masyarakat dalam novel karya Handry TM ini. Namun, apabila disimpulkan, secara umum adalah kehidupan sosial masyarakat dijelaskan dengan cukup baik, bagaimana antara masyarakat etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi berbaur. Begitu pula dengan tokoh yang memiliki kelas sosial tinggi dengan tokoh dengan kelas sosial rendah. Dari sisi budaya, novel Kancing yang Terlepas ini melukiskan budaya/adat istiadat masyarakat etnis Tionghoa di Gang Pinggir, Pecinan Semarang dengan sangat baik. novel ini memuat berbagai karakteristik masyarakat etnis Tionghoa seperti pada umumnya, yaitu hari-hari besar, agama/kepercayaan, ritual sembahyang, ritual pemakaman, tradisi saat perayaan hari besar, filosofi dewa/dewi dalam kepercayaan etnis Tionghoa, dan juga makanan khas masyarakat tersebut. Kelima informan tersebut memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai nilai pendidikan yang didapat dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM. Nilai-nilai pendidikan tersebut antara lain: nilai budaya, nilai moral, dan nilai religius/agama (Drs. Yant Mujiyanto, M.Pd.), seseorang ingin meraih sesuatu atau ingin berprofesi sesuatu itu harus diperoleh dengan cara yang benar (Dra. Murtini, M.S.), perlunya konsep diri dan prinsip hidup yang jelas (Riana Wati, S.S, M.A.), nilai-nilai moral (Yani Isnaniyah, S.Pd.), dan pekerja keras, to user Hadiyanto, S.Pd.). Kemudian, loyal dalam bekerja, dan religiuscommit (Abdurrakhman
188 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pendapat kelima informan menyatakan bahwa novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM dapat dijadikan pilihan bacaan/materi ajar bagi mahasiswa Perguruan Tinggi. Novel ini dinilai dapat menambah wawasan mahasiswa mengenai kehidupan sosial budaya etnis Tionghoa dalam sejarah Indonesia dan juga dapat dikaji dari berbagai sisi. Namun terdapat beberapa informan yang menyatakan bahwa mahasiswa perlu dibimbing untuk menyaring informasi mana yang dapat diteladani dan mana yang tidak. Berdasarkan uraian mengenai tanggapan-tanggapan informan di atas, dapat disintesiskan bahwa setiap informan memiliki tanggapan tersendiri terhadap novel
Kancing
yang
Terlepas
karya
Handry
TM.
Namun,
meskipun
tanggapannya beragam, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dari tanggapan
para
informan.
Secara
keseluruhan,
kelima
informan
memiliki
tanggapan yang positif terhadap novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM.
Hal tersebut seirama dengan penelitian Wijayanti (2013:135) yang
menyatakan bahwa tanggapan pembaca terhadap novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari mengandung nilai apresiasi terhadap
kehidupan,
juga nilai
pendidikan, dan nilai moral yang tinggi. Dengan demikian, penelitian ini dan penelitian Wijayanti di atas dapat disimpulkan memiliki persamaan dalam hasil tanggapan pembaca terhadap karya sastra.
commit to user