HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Viabilitas yang tinggi ditunjukkan dengan tolok ukur persentase daya berkecambah yang tinggi mengindikasikan bahwa benih yang digunakan masih berkualitas baik. Benih kedelai yang digunakan dalam penelitian ini memiliki rata-rata daya berkecambah awal sebesar 80-88%. Kadar air awal benih sebelum mendapat perlakuan adalah 8.5-12.5%. Keterangan lebih lengkap mengenai viabilitas awal benih dapat dilihat pada Lampiran 8. Pengamatan pada proses CDT menunjukkan kadar air yang dicapai pada peningkatan kadar air sebelum dilakukan penderaan pada suhu 45oC secara umum sesuai dengan yang telah ditentukan. Kadar air yang dicapai berada pada kisaran 15±2%, 20±2%, dan 25±2%. Data kadar air benih setelah perlakuan kondisi CDT dapat dilihat pada Lampiran 9. Suhu water bath pada percobaan ini cukup stabil, yaitu 45±1oC. Pertumbuhan cendawan pada media perkecambahan masih sering ditemukan pada percobaan CDT. Kodisi ini terjadi akibat pertumbuhan cendawan pada benih-benih yang digunakan pada penelitian ini. Pertumbuhan cendawan tersebut mempengaruhi hasil yang didapat dengan mengurangi kemungkinan benih yang dapat berkecambah normal. Cendawan paling banyak tumbuh pada percobaan CDT, pada perlakuan kadar air 25% dan lama penderaan 48 jam. Semua varietas menunjukkan respon yang sama pada perlakuan ini, yaitu benih yang ditanam tidak dapat tumbuh karena terinfeksi cendawan. Cendawan yang tumbuh pada perlakuan ini menginfeksi benih dan tumbuh menyebar ke media kertas merang yang digunakan untuk pengujian benih. Benih yang terinfeksi cendawan menjadi lunak dan berbau. Cendawan yang tumbuh pada benih dan media perkecambahan benih dapat menghambat pertumbuhan benih dan menghambat pertumbuhan kecambah sehingga kecambah menjadi abnormal.
17 Penentuan Konsentrasi NaCl untuk Simulasi Cekaman Salinitas Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh varietas dan tingkat salinitas terhadap tolok ukur persentase kecambah normal (KN), kecepatan tumbuh (KCT), bobot kering kecambah normal (BKKN), panjang akar (PA), dan panjang hipokotil (PH) ditunjukkan pada Tabel 1. Pengaruh lot benih (varietas) dan tingkat salinitas
menunjukkan interaksi yang nyata pada tolok ukur KN, KCT, dan
BKKN; dan sangat nyata pada tolok ukur PA dan PH. Faktor varietas dan perlakuan salinitas masing-masing memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap semua tolok ukur percobaan. Hasil analisis ragam pengaruh varietas dan kondisi salinitas terhadap kelima tolok ukur yang diamati dapat dilihat pada Lampiran 10-14. Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam Pengaruh Lot Benih dan Tingkat Salinitas terhadap Beberapa Tolok Ukur yang Diamati. Tolok Ukur VSalinitas KN (%) KCT (%/etmal) PA (cm) PH (cm) BKKN (gram)
Varietas (V)
Perlakuan Salinitas (S)
Interaksi (VxS)
KK (%)
** ** ** ** **
** ** ** ** **
* * ** ** *
4.742 1.994 11.716 11.041 5.593
Keterangan: **)=berpengaruh sangat nyata p ≤ 0.01; *)=berpengaruh nyata p ≤ 0.05; tn=tidak nyata; seluruh data sebelum diolah dengan uji F ditransformasi (x+0.5)1/2
Nilai tengah pengaruh interaksi antara lot benih (varietas) dengan berbagai tolok ukur perlakuan salinitas dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan masing-masing varietas memiliki respon yang berbeda terhadap konsentrasi NaCl yang diberikan. Pada kondisi optimum (0 g NaCl/l), nilai KN, KCT, PA, PH, dan BKKN antara varietas Rajabasa, Wilis, dan Tanggamus tidak berbeda nyata. Varietas Sindoro dan Gepak Kuning memiliki nilai KN, KCT, PA, PH, dan BKKN yang lebih rendah bila dibandingkan dengan ketiga varietas yang lain, tetapi tidak berbeda nyata satu sama lain.
18 Tabel 2. Pengaruh Interaksi Lot Benih dan Tingkat Salinitas terhadap Beberapa Tolok Ukur yang Diamati Varietas
Tingkat salinitas (g/l) 2.56 5.12
0
7.68
Kecambah Normal (%) 83 ab
47 f
7 ij
89 ab
77 a-d
62 de
7 ij
74 bcd 75 bcd 94 a
79 abc 58 ef 88 ab
65 cde 31 g 80 abc
16 hi 4j 25 hi
Rajabasa
88
Wilis Sindoro Gepak Kuning Tanggamus
ab
Rajabasa Wilis
Kecepatan Tumbuh (%/etmal) 27.03 a 22.03 bc 10.80 e 28.43 a 22.30 bc 15.87 d
Sindoro
22.07 bc
Gepak Kuning Tanggamus
22.22 bc 30.53 a a
33.03 bc 14.62 d 26.48 ab Panjang Akar (cm) 13.07 ab 10.84 abc
1.55 h 1.45 h
16.20 d 6.90 f 21.23 c
3.20 gh 0.80 h 5.45 fg
10.88 abc 9.44 bc
0.00 h 5.64 d
11.10 abc 8.40 c 11.07 abc
4.15 d 0.00 h 0.19 bc
Rajabasa Wilis
14.65 12.52 ab
Sindoro Gepak Kuning Tanggamus
12.84 ab 12.06 abc 13.00 ab
Rajabasa Wilis
Panjang Hipokotil (cm) 10.78 7.96 b-e 10.50 abc 7.77 cde
5.57 ef 5.72 def
0.00 h 4.61 f
Sindoro Gepak Kuning Tanggamus
11.46 a 10.42 abc 10.48 abc
8.13 bcd 7.57 de 8.01 b-e
5.76 def 5.11 f 5.86 def
2.40 g 0.00 h 3.94 f
BKKN (gram) 0.71 bcd
0.41 gh
0.00 i
11.59 abc 11.85 abc 12.34 ab
ab
a
Rajabasa
0.95
Wilis
0.76 bc
0.61 c-f
0.37 h
0.09 i
Sindoro Gepak Kuning Tanggamus
0.68 cde 0.52 e-h 0.88 ab
0.50 fgh 0.43 gh 0.79 abc
0.36 h 0.12 i 0.57 d-g
0.02 i 0.00 i 0.07 i
Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; data sebelum diolah dengan uji F ditransformasi (x+0.5)1/2
Peningkatan konsentrasi menjadi 2.56 g NaCl/l yang digunakan pada percobaan ini menurunkan secara nyata kecambah normal (KN) dan kecepatan tumbuh (KCT) benih varietas Gepak Kuning tetapi tidak nyata pada keempat
19 varietas lainnya. Varietas Tanggamus masih memiliki KN yang paling tinggi dibandingkan dengan keempat varietas lain yaitu 88%, dan KN terendah dimiliki oleh varietas Gepak Kuning, yaitu 58%. Pada tolok ukur KCT, varietas Sindoro memiliki nilai KCT yang tinggi yaitu 33.03%/etmal, dan KCT terendah dimiliki oleh varietas Gepak Kuning, yaitu 14.62%/etmal. Kondisi ini menunjukkan pada perlakuan konsentrasi 2.56 g NaCl/l, belum membuat benih tercekam. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Farid (2006), yaitu varietas kedelai yang tahan terhadap cekaman NaCl menunjukkan nilai indeks dari tolok ukur yang diamati tetap tinggi dibanding varietas dengan ketahanan sedang dan rentan pada konsentrasi yang memperlihatkan keragaman terbesar untuk masing-masing tolok ukur. Performa perkecambahan benih pada konsentrasi 2.56 g NaCl/l dapat dilihat pada Gambar 1. a b
c
d
e
Keterangan: a) Rajabasa, b) Wilis, c) Sindoro d) Gepak Kuning, e)Tanggamus
Gambar 1. Performa Perkecambahan pada Kondisi Salinitas 2.56 g NaCl/l. Pada kondisi lingkungan tumbuh yang salin, adaptasi tanaman pada saat tahap perkecambahan sangat penting bagi pertumbuhan tanaman (Kaymakanova, 2009). Cekaman salinitas dapat menghambat pertumbuhan tanaman melalui dua mekanisme karena efek osmotik atau defisit air karena salinitas; dan efek garam-
20 garam spesifik atau kelebihan ion NaCl (Sobhanian, 2010). Peningkatan konsentrasi NaCl yang diberikan menyebabkan penurunan persentase kecambah normal dan KCT yang berbeda pada masing-masing varietas. Bila konsentrasi NaCl ditingkatkan menjadi 5.12 g NaCl/l, dua varietas yaitu Rajabasa dan Gepak Kuning menurun secara nyata KN, KCT, dan PH nya. Hal ini menunjukkan bahwa kedua varietas tersebut kurang toleran dibandingkan ketiga varietas yang lain, yaitu Wilis, Sindoro, dan Tanggamus. Pada larutan NaCl konsentrasi 5.12 g NaCl/l setara dengan 4mmhos/cm menurut Kim (1998), sudah mencerminkan kondisi tanah salin. Perbedaan ketahanan terhadap salinitas antar varietas terlihat sangat nyata pada tingkat salinitas ini. Varietas Tanggamus memiliki KN yang paling tinggi yaitu 80%, sedangkan varietas Gepak Kuning memiliki KN terendah yaitu 31%. Selain tolok ukur KN, pada konsentrasi 5.12 g NaCl/l juga telah terjadi penurunan KCT secara nyata. Menurut Sadjad (1993), tolok ukur KCT mengindikasikan VKT karena benih yang cepat tumbuh lebih mampu menghadapi kondisi lapangan yang suboptimum. Semakin tinggi nilai KCT semakin tinggi pula vigor benih tersebut. Varietas Tanggamus menunjukkan nilai KCT tertinggi yaitu 21.23%/etmal, sedangkan KCT terendah dimiliki oleh varietas Gepak Kuning, yaitu 6.90%/etmal. Kondisi salinitas konsentrasi 7.68 g NaCl/l menunjukkan bahwa tidak ada satu pun varietas yang toleran terhadap cekaman ini. Kondisi ini terlihat dari kisaran KN yang sangat rendah, yaitu 4-25%. Varietas Tanggamus memiliki KN yang paling besar pada tingkat salinitas ini, yaitu 25%, dan varietas Gepak Kuning memiliki KN terendah yaitu 4%. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Khan et al. (2009), yaitu salinitas dapat menurunkan akhir persentase perkecambahan pada benih cabai (Capsicum annuum L.). Cekaman salinitas menjadi salah satu masalah lingkungan tertua di dunia (Downton, 1985). Kondisi ini disebabkan adanya kandungan garam yang terlarut pada media tanam. Mekanisme pengaruh salinitas terhadap penghambatan pertumbuhan tanaman disebabkan oleh tekanan osmotik, pelepasan natrium dari daun dan tingkat toleransi tanaman tersebut (Munns dan Tester, 2008). Hal ini sering disebut sebagai kekeringan fisiologis, dan kemungkinan pengaruh cekaman
21 salinitas dapat mengganggu keseimbangan air pada tanaman (Sastry dan Gupta, 2009). Salinitas dapat mempengaruhi perkecambahan benih dengan menciptakan potensial osmotik sehingga mencegah penyerapan air, atau menyebabkan efek racun dari ion terhadap viabilitas embrio (Lianes et al. dalam Kaymakanova 2009). Hal ini dapat menyebabkan proses perkecambahan benih terganggu, bahkan dapat menyebabkan benih tidak dapat berkecambah. Selain tolok ukur viabilitas seperti KN dan KCT, cekaman salinitas juga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kecambah. Interaksi antara varietas dan perlakuan salinitas berpengaruh sangat nyata terhadap PA dan PH, serta berpengaruh nyata terhadap BKKN. Kondisi ini terlihat dari semakin tinggi konsentrasi NaCl yang diberikan, akar dan hipokotil semakin memendek. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Afzal et al. (2005),
yaitu
salinitas
berpengaruh
terhadap
penurunan
persentase
perkecambahan, berat segar dan kering tunas dan akar, serta menghambat penyerapan berbagai nutrisi pada benih gandum (Triticum aestivum). Tabel 2 menunjukkan bahwa konsentrasi 5.12 g NaCl/l belum mempengaruhi penurunan PA secara nyata. Kondisi ini terlihat dari nilai PA pada perlakuan tersebut tidak berbeda nyata dengan nilai PA pada kontrol (konsentrasi 0 g NaCl/l). Penurunan panjang akar baru terlihat pada perlakuan konsentrasi 7.68 g NaCl/l, dimana panjang akar telah menurun secara tajam pada semua varietas. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Bernstein dan Kafkafi (2002), bahwa akumulasi garam dalam tanah dapat menyebabkan kerusakan pada pertumbuhan akar akibat efek osmotik yang menyebabkan efek defisit air atau kelebihan ion-ion akibat salinitas. Menurut Wang dan Yamauchi (2006), kelebihan garam dapat mempengaruhi orientasi pertumbuhan sel akar (anisotropi pertumbuhan). Perubahan anisotropi pertumbuhan sel menyiratkan bahwa NaCl dapat mempengaruhi pertumbuhan akar. Penurunan rata-rata PH dan BKKN pada semua varietas sudah mulai terlihat pada konsentrasi 2.56 g NaCl/l meskipun penurunannya belum terlihat nyata terhadap kontrol (konsentrasi 0 g NaCl/l). Penurunan rata-rata PH, dan BKKN pada semua varietas baru terlihat sangat nyata terhadap kontrol (konsentrasi 0 g NaCl/l) pada konsentrasi 5.12 g NaCl/l. Perbedaan varietas yang
22 toleran dan yang peka terhadap kondisi salinitas terlihat jelas pada perlakuan tingkat salinitas ini. Pengamatan terhadap PH menunjukkan bahwa konsentrasi salinitas 5.12 g NaCl/l mampu menurunkan panjang rata-rata hipokotil secara nyata. Semua varietas menunjukkan, PH pada konsentrasi salinitas ini panjangnya hanya setengah dari PH perlakuan kontrol. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sobhanian (2010), bahwa cekaman salinitas dapat memperpendek hipokotil kedelai. Tidak terdapat perbedaan yang mencolok pada hipokotil antara varietas satu dengan yang lain, yaitu panjang hipokotil rata-rata semua varietas berada pada kisaran 5 cm. Sehingga disimpulkan, bahwa PH kurang relevan jika dijadikan sebagai tolok ukur untuk menentukan varietas yang peka dan toleran terhadap salinitas. Kondisi yang sama juga terjadi pada bobot kering kecambah normal (BKKN). Semua varietas menunjukkan penurunan BKKN yang nyata pada konsentrasi 5.12 g NaCl/l terhadap kontrol (konsentrasi 0 g NaCl/l). Penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Nevez et al., (2005) terhadap kedelai (Glycine max (L.) Merr.) dimana cekaman salinitas dapat mengurangi perkecambahan, pertumbuhan akar, dan bobot biomasa secara nyata sebagai respon terhadap konsentrasi NaCl yang diberikan. Performa perkecambahan pada konsentrasi 5.12 g NaCl/l dapat dilihat pada Gambar 2. b
a
d
c
e
Keterangan: a) Rajabasa, b) Wilis, c) Sindoro. d) Gepak Kuning, e)Tanggamus
Gambar 2. Performa Perkecambahan pada Kondisi Salinitas 5.12 g NaCl/l.
23 Peningkatan konsentrasi NaCl sebanyak 7.68 g NaCl/l telah memberikan kondisi cekaman yang berat terhadap semua varietas. Hasil terlihat dari rendahnya rata-rata PA, PH, dan BKKN. Varietas yang paling tahan pada konsentrasi NaCl ini adalah varietas Tanggamus dengan nilai rata-rata PA 9.19 cm dan nilai ratarata PH 3.94 cm. Sementara untuk tolok ukur BKKN, nilai rata-rata tertinggi dimiliki oleh varietas Wilis, yaitu sebesar 0.09 gram. Perbedaan performa benih masing-masing varietas terhadap berbagai perlakuan konsentrasi NaCl menunjukkan adanya pengaruh genetik yang mempengaruhi performa benih tersebut. Suatu genotipe akan memberikan tanggapan yang berbeda pada lingkungan yang berbeda, demikian pula genotipe yang berbeda akan memberikan tanggapan yang berbeda bila ditanam pada lingkungan yang sama (Nakamura et al., 2004). Menurut Farid (2006), gen yang mengatur karakter tersebut pada dasarnya berbeda sehingga pada lingkungan yang sama fenotipe tanaman yang diekspresikan juga berbeda. Jika terdapat perbedaan antara dua individu yang mempunyai faktor lingkungan yang sama dan dapat diukur maka perbedaan itu berasal dari variasi genotipe kedua tanaman tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan terhadap tolok ukur KN, KCT, PA, PH dan BKKN karena pengaruh lot benih (varietas) dan tingkat salinitas yang diberikan, diperoleh hasil bahwa konsentrasi 5.12 g NaCl/l merupakan tingkat salinitas yang tepat untuk mengidentifikasi toleransi benih kedelai terhadap cekaman salinitas. Kondisi ini terlihat pada varietas yang peka, dimana penurunan nilai berbagai tolok ukur telah mencapai lebih dari 50% bila dibandingkan dengan kontrol. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Amirjani (2010), yang melakukan penelitian tentang efek cekaman salinitas terhadap pertumbuhan, komposisi mineral, kandungan prolin, dan enzim antioksidan pada benih kedelai (Glycine max L. Merr). Menurut Amirjani, konsentrasi 5.85 g NaCl/l dapat menurunkan pertumbuhan tanaman kedelai yang peka terhadap kondisi salin sampai 47% dan biomasa tanaman sampai 54% bila dibandingkan dengan kontrol. Pada penelitian ini, berdasarkan hasil percobaan I dengan melihat penurunan nilai-nilai semua tolok ukur yang diamati, diperoleh pengelompokkan varietas yang toleran terhadap salinitas dari kelima varietas yang digunakan.
24 Varietas yang paling toleran yaitu varietas Tanggamus, kemudian diikuti dengan varietas Sindoro, Wilis, Rajabasa, dan Gepak Kuning. Pengaruh Lot Benih dan Kondisi CDT (Tingkat Kadar Air Benih serta Lama Penderaan) terhadap Viabilitas Benih Hasil rekapitulasi analisis ragam pada Tabel 3 menunjukkan bahwa interaksi antara lot benih (varietas) dan faktor kondisi CDT (kadar air dan lama penderaan) berpengaruh sangat nyata terhadap tolok ukur KN, KCT, dan BKKN. Interaksi antara varietas dan faktor kondisi CDT tidak berpengaruh terhadap PA dan PH. Faktor tunggal varietas dan perlakuan CDT masing-masing memberikan pengaruh sangat nyata terhadap semua tolok ukur yang diamati, kecuali pada PA dan BKKN varietas berpengaruh nyata. Hasil analisis ragam pengaruh varietas dan kondisi CDT terhadap kelima tolok ukur yang diamati dapat dilihat pada Lampiran 15-19. Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam Pengaruh Lot Benih dan Kondisi CDT (Kadar Air dan Lama Penderaan) terhadap Beberapa Tolok Ukur yang Diamati. Tolok ukur VCDT KN (%)1) KCT (%/etmal)1) PA (cm)2) PH (cm)2) BKKN (gram)1)
Varietas
Kondisi CDT
Interaksi
KK (%)
** ** * ** *
** ** ** ** **
** ** tn tn **
6.95 2.67 12.68 11.31 6.17
Keterangan: **)=berpengaruh sangat nyata p ≤ 0.01; *)=berpengaruh nyata p ≤ 0.05; tn=tidak nyata; 1)data sebelum diolah dengan uji F ditransformasi (x+0.5)1/2; 2)data sebelum diolah dengan uji F ditransformasi (x+6)1/2
Percobaan yang dilakukan dengan metode CDT dengan kondisi kadar air benih dan lama penderaan benih yang berbeda memberikan respon yang beragam pada tolok ukur yang diamati. Lot benih yang berbeda akan memberikan reaksi yang berbeda juga terhadap perlakuan yang diberikan. Interaksi lot benih dengan perlakuan CDT terhadap tolok ukur KN dapat dilihat pada Tabel 4.
25 Tabel 4. Pengaruh Interaksi Lot Benih dan Kondisi CDT (Kadar Air Benih dan Lama Penderaan) terhadap Persentase Kecambah Normal (%) Kondisi CDT (KA/Lama Penderaan) 15%/0 jam 15%/24 jam
Varietas Rajabasa 92 a 20 de
Wilis 83 abc 6g
Sindoro 85 abc 71 abc
Gepak Kuning Tanggamus 84 abc 85 abc 63 c 25 def
15%/48 jam
7g
0g
38 d
29 def
1g
20%/0 jam
80 abc
74 abc
87 ab
77 abc
76 abc
20%/24 jam
13 fg
5g
29 def
9g
16 efg
20%/48 jam
1g
0g
1g
0g
0g
25%/0 jam
76 abc
75 abc
74 abc
66 bc
73 abc
25%/24 jam 25%/48 jam
2g 0g
1g 0g
15 efg 0g
5g 0g
0g 0g
Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; data sebelum diolah dengan uji F ditransformasi (x+0.5)1/2
Secara umum pada percobaan CDT ini, seluruh tolok ukur yang diamati menunjukkan respon yang beragam terhadap variasi perlakuan peningkatan kadar air dan lama waktu penderaan, tetapi dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa semakin tinggi kadar air yang diberikan, semakin rendah persentase kecambah normal (KN) yang dihasilkan. Peningkatan kadar air dan lama penderaan yang semakin lama akan semakin menurunkan viabilitas dan vigor benih. Menurut Powell dan Matthews (2005) dalam metode CDT, ketelitian dalam mencapai kadar air yang sama pada lot benih sangat dibutuhkan, sebelum benih tersebut mengalami deteriorasi secara cepat pada suhu tinggi (45oC). Laju peningkatan kelembaban benih juga berbeda antar lot, sehingga menyebabkan perbedaan tingkat kerusakan pada setiap lot benih (Ariyanti, 2011). Tabel 4 menunjukkan kombinasi perlakuan kadar air serta lama penderaan 15%/0 jam, 20%/0 jam, dan 25%/0 jam mempunyai persentase KN yang masih tinggi dan sebagian besar tidak berbeda nyata antar varietas yang satu dengan varietas yang lain. Hasil ini menunjukkan bahwa perlakuan peningkatan kadar air tanpa disertai dengan penderaan (penderaan 0 jam) tidak menurunkan viabilitas benih. Kondisi ini menunjukkan bahwa kadar air tidak terlalu berkontribusi dalam proses penurunan viabilitas benih bila tidak diikuti dengan penderaan suhu tinggi.
26 Berdasarkan data pada Tabel 4, kondisi CDT pada kondisi kadar air dan lama penderaan 15%/24 jam telah terjadi penurunan KN yang nyata pada tiga varietas yaitu Rajabasa, Wilis, dan Tanggamus. Masing-masing varietas menunjukkan respon yang berbeda terhadap perlakuan CDT yang diberikan. Pada perlakuan CDT tersebut, varietas Sindoro menunjukkan KN yang paling tinggi diantara kelima varietas yaitu 71%. Varietas yang menunjukkan DB yang paling rendah adalah Wilis yaitu 6%. Persentase kecambah normal (KN) untuk semua tingkat kadar air 15%, 20% dan 25% dengan lama penderaan 48 jam menunjukkan benih untuk semua varietas sangat tercekam dengan kondisi CDT tersebut. Hasil ini ditunjukkan oleh kelima, yaitu Rajabasa, Wilis, Gepak Kuning, Sindoro, dan Tanggamus, tidak ada yang berkecambah normal (KN 0%). Kondisi CDT kadar air dan lama penderaan 25%/48 jam menunjukkan, tidak ada satupun varietas benih yang dapat berkecambah. Kondisi ini terjadi karena semakin lama benih dicekam dan semakin tinggi kadar air yang diaplikasikan pada benih, maka benih tersebut akan semakin cepat kehilangan vigornya. Hasil penelitian ini didukung oleh analisis yang dilakukan oleh Kruse (1999), yang menyatakan bahwa perbedaan vigor antar lot benih terlihat semakin jelas dengan semakin lamanya penderaan benih berdasarkan asumsi penyebaran normal. Penelitian CDT dengan berbagai tingkat lama penderaan dengan suhu tinggi telah banyak dilakukan. Penelitian Ali et al. (2003) menunjukkan penderaan selama 48 jam telah menghambat daya berkecambah benih padi dan menurunkan vigornya. Penelitian yang dilakukan Modarresi dan Van Damme (2003) pada benih gandum juga menunjukkan penderaan benih pada suhu 45oC selama 72 jam dengan kadar air 20% dan 22% telah mematikan semua benih. Suhu tinggi menyebabkan perubahan biokimia dan fisiologis pada tanaman. Lama waktu penderaan pada suhu tinggi juga sangat penting dalam pertumbuhan bagi kelangsungan hidup tanaman. Semakin lama waktu penderaan suhu tinggi yang diberikan pada benih, semakin cepat pula benih` tersebut mati (Sastry dan Gupta, 2009). Pengaruh interaksi faktor varietas dan kondisi CDT terhadap tolok ukur kecepatan tumbuh (KCT) dapat dilihat pada Tabel 5. KCT merupakan salah satu
27 dari tiga tolok ukur indikator kekuatan tumbuh (VKT). Menurut Sadjad et al. (1999), VKT adalah kemampuan benih tumbuh normal pada kondisi sub-optimum dan optimum. VKT memiliki tiga tolok ukur, yaitu vigor spesifik, kecepatan tumbuh, dan keserempakan tumbuh . Tabel 5. Pengaruh Interaksi Lot Benih dan Kondisi CDT (Kadar Air Benih dan Lama Penderaan) terhadap Kecepatan Tumbuh (%/etmal) Kondisi CDT (KA/Lama Penderaan)
Varietas Rajabasa
Wilis
15%/24 jam
7.5
15%/48 jam
1.6 j
0.0 j
9.8 f
6.8 fgh
0.2 j
20%/0 jam
22.1 a-d
21.7 a-d
26.0 abc
20.2 cde
23.5 a-d
20%/24 jam
2.9 g-j
1.2 j
7.2 fg
2.0 hij
3.7 g-j
20%/48 jam
0.3 j
0.0 j
0.3 j
0.0 j
0.0 j
25%/0 jam
22.8 a-d
20.7 b-e
22.0 a-d
17.8 de
22.1 a-d
25%/24 jam
0.5 j
0.2 j
4.3 g-j
1.1 j
0.0 j
1.8
ij
26.3 20.4
cde
23.4
a-d
15.9
e
Tanggamus
fg
24.5
abc
Gepak Kuning
26.4
15%/0 jam
abc
Sindoro
ab
26.7 a 6.5 f-i
25%/48 jam 0.0 j 0.0 j 0.0 j 0.0 j 0.0 j Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; data sebelum diolah dengan uji F ditransformasi (x+0.5)1/2
Kecepatan tumbuh (KCT) benih pada semua kondisi kadar air yaitu 15%, 20%, dan 25% tanpa penderaan (0 jam) menunjukkan hasil yang cenderung seragam pada semua varietas, yaitu pada kisaran 17.8-26.7%/etmal. Nilai-nilai tersebut menunjukkan kondisi benih awal semua varietas yang masih cukup baik. Berdasarkan data pada Tabel 5, kondisi CDT kadar air dan lama penderaan 15%/24 jam telah terjadi penurunan kecepatan tumbuh (KCT) yang nyata. Kondisi ini terlihat dari rata-rata nilai KCT benih yang rendah. Hasil ini juga menunjukkan, kondisi CDT tersebut dapat digunakan untuk membedakan antar varietas yang toleran dengan yang peka terhadap kondisi CDT dengan tolok ukur KCT. Pada kondisi CDT tersebut, varietas Sindoro menunjukkan nilai KCT yang paling tinggi diantara kelima varietas yaitu 20.4%/etmal. Varietas yang menunjukkan KCT yang paling rendah adalah Wilis yaitu 1.8%/etmal. Kecepatan tumbuh (KCT) pada tingkat kadar air yaitu 15%, 20%, dan 25% dengan lama penderaan 48 jam menunjukkan benih untuk semua varietas sangat tercekam. Kondisi ini ditunjukkan oleh tiga dari lima varietas benih tersebut, yaitu Wilis, Gepak Kuning, dan Tanggamus, nilai KCT 0%/etmal sama sekali tidak ada
28 yang tumbuh pada kondisi kadar air dan lama penderaan 20%/48 jam. Kondisi kadar air dan lama penderaan 25%/48 jam, semua varietas menunjukkan nilai KCT 0%/etmal. Selain pada KN dan KCT, interaksi antara varietas dengan kondisi CDT (kadar air dan lama penderaan) juga berpengaruh nyata terhadap berat kering kecambah normal (BKKN). Tabel 6 menunjukkan penurunan BKKN sudah terlihat nyata pada perlakuan kadar air dan lama penderaan 15%/24 jam pada semua varietas kecuali varietas Sindoro. Varietas Sindoro memiliki nilai BKKN paling tinggi yaitu 0.46 g, sementara varietas Wilis memiliki nilai BKKN yang paling rendah yaitu 0.03 g. Tabel 6. Pengaruh Interaksi Lot Benih dan Kondisi CDT (Kadar Air Benih dan Lama Penderaan) terhadap Berat Kering Kecambah Normal
Varietas
Kondisi CDT (KA/Lama Penderaan) Rajabasa
Wilis 0.71 0.03
jk
0.55
bcd
0.46
de
Gepak Kuning
Tanggamus
0.85
15%/24 jam
0.28
fgh
15%/48 jam
0.04 jk
0.03 jk
0.18 ghi
0.16 hij
0.04 jk
20%/0 jam
0.65 bc
0.57 bcd
0.49 cde
0.42 def
0.64 bc
20%/24 jam
0.04 jk
0.03 jk
0.12 ijk
0.07 ijk
0.05 jk
20%/48 jam
0.00 k
0.00 k
0.02 k
0.02 k
0.01 k
25%/0 jam
0.46 de
0.52 bcd
0.48 cde
0.36 ef
0.55 bcd
25%/24 jam
0.00 k
0.00 k
0.11 ijk
0.01 k
0.00 k
15%/0 jam
ab
Sindoro
a
0.56
bcd
0.68 ab
0.30
fg
0.19 ghi
25%/48 jam 0.00 k 0.00 k 0.00 k 0.00 k 0.00 k Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; data sebelum diolah dengan uji F ditransformasi (x+0.5)1/2
Bobot kering kecambah normal (BKKN) untuk tingkat kadar air 20% dan 25% dengan lama penderaan 48 jam menunjukkan benih untuk semua varietas sangat tercekam dengan kondisi CDT tersebut. Tingkat KA 20% dengan lama penderaan 48 jam menunjukkan, dua dari lima varietas yaitu Rajabasa dan Wilis tidak memiliki BKKN (BKKN 0 gram). Tingkat KA 25 % dengan lama penderaan 48 jam membuat semua varietas tidak memiliki BKKN. Hasil ini disebabkan benih tidak ada yang berkecambah atau berkecambah tetapi pertumbuhannya abnormal.
29 Tabel 7 menunjukkan, varietas yang memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap penderaan CDT memiliki rata-rata PA dan PH yang lebih tinggi dibanding dengan varietas lain. Varietas yang paling toleran terhadap penderaan CDT adalah varietas Sindoro, dengan rata-rata PA 7.78 cm dan rata-rata PH 7.43 cm. Penurunan PA dan PH paling nyata terjadi pada varietas Wilis. Tabel 7. Pengaruh Faktor Tunggal Lot Benih dan Kondisi CDT (Kadar Air dan Lama Penderaan) terhadap Panjang Akar dan Panjang Hipokotil Kondisi CDT (KA/Lama Penderaan)
Varietas Rajabasa
15%/0 jam 15%/24 jam 15%/48 jam 20%/0 jam 20%/24 jam 20%/48 jam 25%/0 jam 25%/24 jam 25%/48 jam Rata-rata
13.89 11.13 5.29 12.49 6.28 0.00 11.85 0.00 0.00 6.77 ab
15%/0 jam 15%/24 jam 15%/48 jam 20%/0 jam 20%/24 jam 20%/48 jam 25%/0 jam 25%/24 jam 25%/48 jam Rata-rata
9.25 8.21 2.96 9.48 4.83 0.00 9.90 0.00 0.00 4.96 bc
Wilis
Sindoro Gepak Kuning Tanggamus
Panjang Akar (cm) 12.49 11.71 12.19 7.29 11.52 9.34 2.05 7.81 6.68 12.29 12.03 11.53 4.02 6.31 4.27 0.00 2.23 2.24 10.76 12.03 10.94 0.00 6.34 4.12 0.00 0.00 0.00 b a 5.43 7.78 6.81 a Panjang Hipokotil (cm) 10.85 11.33 9.57 5.01 9.92 7.86 1.13 7.02 5.57 9.61 10.82 9.21 3.50 6.01 3.75 0.00 3.73 1.73 8.88 12.33 9.67 0.00 5.74 3.59 0.00 0.00 0.00 c a 4.33 7.43 5.65 b
Rata-rata
12.80 7.77 4.95 12.67 6.55 0.95 11.33 1.00 0.00 6.45 ab
12.62 a 9.41 b 5.36 c 12.20 a 5.49 c 1.08 de 11.38 ab 2.29 d 0.00 e
10.48 7.70 3.93 10.24 5.50 0.98 9.75 1.40 0.00 5.55 b
10.30 a 7.74 b 4.12 c 9.87 a 4.72 c 1.29 de 10.10 a 2.13 d 0.00 e
Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; data sebelum diolah dengan uji F ditransformasi (x+6)1/2
Kondisi CDT yang digunakan pada penelitian ini dapat menggambarkan potensi vigor dari kelima varietas kedelai yang digunakan. Penurunan vigor benih terjadi seiring dengan meningkatnya kadar air dan semakin lamanya waktu penderaan yang diberikan. Benih semakin kehilangan vigornya ketika benih
30 didera pada kadar air yang semakin tinggi dan periode penderaan yang semakin lama (Ariyanti, 2011). Berdasarkan hasil pengamatan pada semua tolok ukur, baik yang memiliki interaksi nyata antara kondisi CDT dan varietas (KN, KCT, BKKN), maupun faktor tunggal kondisi CDT dan varietas terhadap tolok ukur (PA, PH), dapat dikelompokkan varietas yang memiliki VCDT tinggi dan VCDT rendah. Varietas yang memiliki VCDT tinggi adalah varietas Sindoro dan Gepak Kuning, sementara varietas yang memiliki VCDT yang lebih rendah adalah Rajabasa, Tanggamus, dan Wilis. Kecenderungan penurunan nilai masing-masing tolok ukur akibat pengaruh interaksi varietas dan kondisi CDT, menjadi dasar untuk menentukan perlakuan yang akan diuji korelasinya dengan berbagai tolok ukur pada konsentrasi salinitas 5.12 g NaCl/l. Penurunan nilai-nilai tolok ukur VCDT pada kadar air 15%, 20%, dan 25% dengan lama penderaan 0 jam tidak menunjukkan penurunan yang nyata karena belum dilakukan penderaan. Perlakuan 20%, dan 25% dengan lama penderaan 48 jam juga menunjukkan semua nilai-nilai tolok ukur VCDT sudah sangat rendah. Kondisi CDT pada penelitian ini yang dianggap paling tepat untuk diuji korelasinya dengan berbagai tolok ukur pada percobaan salinitas adalah kadar air 15% dengan lama penderaan 24 jam. Dasar pemilihan kondisi yang tepat untuk CDT adalah kondisi CDT yang tolok ukur pembedanya paling banyak dapat membedakan vigor antar varietas. Selain itu juga, disesuaikan berdasarkan pada efektifitas dan efisiensi waktu dalam pelaksanaan. Umumnya, lama penderaan 24 jam lebih banyak dipilih dibandingkan dengan 48 jam dan 72 jam. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada benih bawang (Rodo dan Filho, 2003) dan bit (Silva dan Vieira, 2010) yang menyatakan bahwa lama penderaan 24 jam merupakan waktu penderaan yang paling tepat untuk percobaan CDT. Korelasi antara Berbagai Tolok Ukur Percobaan I pada Konsentrasi 5.12 g NaCl/l dengan VCDT (15%/24 jam) Analisis korelasi bertujuan untuk menunjukkan keeratan hubungan antar tolok ukur (Gomez dan Gomez, 2007). Penelitian ini menggunakan berbagai tolok
31 ukur pada perlakuan simulasi cekaman salinitas pada konsentrasi NaCl terpilih, yaitu 5.12 g/l yang dikorelasikan dengan tolok ukur viabilitas pada percobaan kondisi CDT. Berdasarkan percobaan II, kombinasi CDT yang mampu membedakan vigor benih antar varietas adalah perlakuan kadar air dan lama penderaan 15%/24 jam. Korelasi antara Vsalinitas pada konsentrasi NaCl 5.12 g/l dengan VCDT pada kombinasi perlakuan tersebut ditampilkan pada Lampiran 2024. Hasil analisis korelasi antara Vsalinitas pada konsentrasi NaCl 5.12 g/l dengan VCDT pada kombinasi perlakuan 15%/24 jam menunjukkan seluruh uji korelasi menunjukkan tidak ada hubungan erat antara Vsalinitas dengan VCDT pada seluruh tolok ukur. Menurut Sarwono (2006), koefisien korelasi menunjukkan kekuatan hubungan dan arah hubungan dua variabel acak. Hasil ini menunjukkan tidak adanya keeratan hubungan tolok ukur KN, KCT, PH, dan BKKN pada kondisi salinitas 5.12 g NaCl/l dengan VCDT (15%/24 jam) tersebut. Kondisi ini mengindikasikan bahwa percobaan CDT yang dilakukan pada penelitian ini tidak dapat menduga vigor ketahanan benih terhadap salinitas. Metode CDT selama ini dikembangkan untuk menguji vigor berbagai jenis benih untuk dikorelasikan dengan berbagai aspek. Penelitian yang dilakukan oleh Rodo dan Filho (2003), yaitu menggunakan metode CDT untuk mengevaluasi potensi fisiologis pada bawang (Allium cepa). Penelitian Mavi dan Demir (2005) menunjukkan metode CDT dapat digunakan untuk menguji vigor dan toleransi benih terhadap cekaman salinitas pada benih winter squash (Cucurbita maxima). Hasil penelitian Changrong et al. (2007), juga menunjukkan metode CDT sangat bermanfaat bagi evaluasi ketahanan benih kedelai (Glycine max (L.) Merr.) terhadap pelapukan di lapang. Penentuan perlakuan kadar air dan lama penderaan pada CDT sangat tergantung dari jenis benih, sehingga benih yang berbeda akan menunjukkan hasil yang berbeda meskipun diberikan kondisi CDT yang sama. Selain CDT, penentuan penderaan salinitas terhadap benih juga harus diperhatikan, karena ketahanan benih terhadap kondisi salin berbeda pada setiap komoditas.