FERTILITAS KAMBING PERANAKAN ETAWAH PADA PERKAWINAN ALAMI DAN INSEMINASI BUATAN (Fertility of Peranakan Etawah Goat on Natural Mating and Artificial Insemination) IGM.BUDIARSANA dan I-KETUT SUTAMA Balai Penelitian Ternak, PO Box 221 Bogor ABSTRACT Improving management including mating and feeding system is an alternative in increasing productivity. Natural mating is inefficient in the utilization of the male for mating and this can be overcome by the artificial insemination (AI). Fifty seven mature PE does were divided into three groups for the allocation of mating system. All of with synchronized with progesterone (40-mg medroxy progesterone acetate). The first and the second groups inseminated at about 25 hours (IB-25) and 35 hours (IB-35) after the onset of estrous. While the third group were naturally mated using PE buck (KA). About 8 ml blood sample was taken every week for progesterone analysis. All animals given similar management practices. They were offer 4-5 kg fresh chopped King grass about 1.5 % bodyweight for concentrate feed. Research result show that average onset of estrous occurred at 69,7 hours ( range 35 –100 hours) following spons withdrawal. Following AI, the number of does became pregnant was relatively low ie. 37.5% for IB-25 group, and 40.9% for IB-35 group, and both of them were lower than that of KA (82,4%). Average litter size for IB-25, IB-35 and KA groups were 1.33, 1.44 and 1.63, respectively. With average birth weight of 3.65kg, 3.60 kg and 3.63 kg respectively. There was no clear difference on progesterone levels of does with single fetus and with twins fetus. During pregnancy period, all does showed an increase in bodyweight of about 12,67kg for group IB-25, 14,14 kg for group IB-35, and 15.70 kg (P<0.05) for group KA. Differences in bodyweight among the three groups related to litter size which was 1.33, 1.44 and 1.63 for groups IB-25, IB-35 and KA, respectively. A high pre-weaning kids mortality (35-46% was the main problem in goat industry. From data available, it could be concluded that success rate for AI on goat was low (30-40%) compared than those of KA (82.4%). Delayed IB to 35 hours after the onset of estrous could increase pregnancy rate. Progesterone profiles during pregnancy were relatively high and fluctuated. Does with twins fetuses had higher progesterone levels than does with single fetus. Litter size on those of natural mating was higher than those of groups, but it had a higher pre-weaning kids mortality (46%) as well. Key words: Peranakan Etawah goat, fertility, natural mating, Artificial Insemination ABSTRAK Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produktivitas ternak kambing adalah dengan perbaikan manjemen pemeliharaan, termasuk pemberian pakan dan sistem perkawinan. Perkawinan secara alami adalah kurang efisien dilihat dari pemanfaatan pejantan, sehingga teknOlogi inseminasi buatan (IB) merupakan alternatif pilihan. Pada penelitian ini, 57 ekor kambing PE induk dibagi secara acak atas tiga kelompok, dan disinkronissai birahi dengan progestagen. Ternak yang birahi di kawinkan secara IB dengan semen beku sekitar 20-25 jam setelah birahi (Kelompok IB-25), 35-40 jam setelah onset birahi (Kelompok IB-35) dan secara alami (Kelompok KA). Sampel darah (8 ml) diambil setiap minggu dari 5 ekor ternak dari setiap kelompok untuk penentuan kadar hormon progesteron. Hasil penelitian menunjukkan bahwa onset birahi terjadi 69,7 jam (kisaran 35-100 jam) setelah perlakuan progestagen. Tingkat kebuntingan setelah IB adalah 37,5% pada Kelompok IB-25 dan 40,9% pada Kelompok IB-35, lebih rendah dari Kelompok KA (84,2%). Jumlah anak lahir per induk (litter size) pada Kelompok IB-25, IB-35 dan KA adalah 1,3; 1,4; dan 1,6 ekor, dengan rataan berat lahir anak masing-masing 3,6 kg, 3,4 kg dan 3,6 kg. Kadar hormon progesteron pada ketiga kelompok perlakuan tidak menunjukkan perbedaan, namun jika dipilah berdasarkan jumlah fetus yang dikandungnya, terlihat bahwa ternak dengan fetus tunggal mempunyai kadar hormon progesteron yang lebih rendah dari pada induk dengan fetus kembar. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penundaan waktu IB dari 2025 jam menjadi 35-40 jam setelah onset birahi dapat meningkatkan tingkat kebuntingan yang diperoleh dari 37% menjadi 41%, namun masih lebih rendah dibandingkan dengan hasil perkawinan secara alami (82,4 %). Kata kunci: Kambing PE, fertilitas, kawin alam, inseminasi buatan
PENDAHULUAN Di Indonesia, kambing Peranakan Etawah merupakan kambing lokal tipe dwiguna (penghasil daging dan susu), dengan produksi susu bervariasi 1,5-3,5 liter/hari (Sutama, 1998). Peningkatan produktivitas ternak ini melalui seleksi memerlukan waktu panjang dan biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu salah
satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan perbaikan manjemen pemeliharaan, termasuk pemberian pakan dan sistem perkawinan. Perkawinan secara alami kurang efisien dilihat dari pemanfaatan pejantan, sehingga pemanfaatan teknologi inseminasi buatan (IB) merupakan alternatif pilihan. Penerapan teknologi IB pada kambing di Indonesia masih sangat langka, karena berbagai faktor yang salah satunya adalah karena sistem peternakan kambing di Indonesia masih merupakan peternakan rakyat dengan pola pemeliharaan yang sangat sederhana. Usaha peternakan kambing belum merupakan usaha pokok petani, sehingga pengelolaan peternakan kambing tersebut masih terkesan seadanya. Pada ternak sapi perah, teknologi IB telah secara luas dilaksanakan dan secara nyata dapat meningkatkan produktivitas usaha, namun tidak demikian halnya pada kambing. IB dapat mempercepat program peningkatan kualitas bibit ternak, mempermudah dan mempercepat penyebaran bibit ternak. Akan tetapi tingkat keberhasilan IB pada ternak kecil, khususnya kambing, masih sangat rendah yaitu berkisar 30-60% (MEMON dan OTT, 1981; FERADIS, 1999). Hal yang paling krusial dalam IB pada domba dan mungkin juga pada kambing adalah penentuan waktu yang tepat untuk melakukan IB (FERADIS, 1999), mengingat tanda-tanda birahi pada kambing tidak sejelas ternak lain, waktu ovulasi sebarannya sangat panjang, sedangkan waktu kapasitasi spermatozoa kambing relatif cepat. Walaupun demikian melalui teknologi sikronisasi birahi akan dapat mengatasi beberapa masalah tersebut, sehingga diharapkan keberhasilan IB pada ternak kambing menjadi lebih tinggi. Pada penelitian ini diamati fertilitas kambing PE pada perkawinan secara IB dan kawin alam pada kondisi stasion percobaan di Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor. MATERI DAN METODE Sebanyak 57 kambing PE induk (umur 4-4.5 tahun) dibagi secara acak atas tiga kelompok, yang disinkronissai birahi dengan progestagen (40 mg medroxy progesterone acetate) yang dikemas dalam spons, dan ditempatkan dalam vagina selama 14 hari. Pada birahi yang disinkronisasi ternak dikawinkan secara IB sekitar 20-25 jam setelah birahi (Kelompok IB-25), 35-40 jam setelah onset birahi (Kelompok IB-35) atau dikawinkan secara alam (Kelompok KA). Semen yang dipergunakan untuk IB adalah semen beku produksi Balitnak yang telah dipersiapan sebelum penelitian dimulai, dengan jumlah spermatozoa motil per dosis (0,25 ml) adalah 150 juta. Semua ternak mendapat pakan dan cara pemeliharaan yang sama, dan ditimbang setiap 2 minggu. Pakan yang diberikan berupa rumput Raja sekitar 4 kg/ekor dan konsentrat (PK 15%) sebanyak 1,5% dari berat badan. Sampel darah (8 ml) diambil setiap minggu dari 5 ekor ternak dari setiap kelompok untuk penentuan kadar hormon progesteron. Parameter yang diukur adalah berat badan, onset birahi, lama birahi, kadar hormon progesteron, tingkat kebuntingan dan jumlah anak sekelahiran (litter size). Untuk melihat perbedaan antar perlakuan, pada data yang diperoleh dilakukan analisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji jarak (STEEL dan TORRIE, 1991). HASIL DAN PEMBAHASAN Dari 57 ekor induk yang diberi perlakuan progestagen, 39 ekor (68,42%) diantaranya menunjukkan tanda-tanda birahi. Umumnya birahi setelah perlakuan progestagen dapat mencapai 90-100% (ARTININGSIH et al., 1996; SIANTURI et al., 1997). Rendahnya respon birahi pada penelitian ini mungkin terkait dengan umur ternak yang relatif cukup tua (umur 4-4,5 tahun) sehingga aktivitas seksual ternak tersebut sudah mulai menurun. Waktu munculnya birahi pada penelitian ini juga sangat bervariasi 35-100 jam (rataan 69,7 jam) setelah spon dicabut (Gambar 1), lebih lama dibandingkan dengan rataan hasil (41,4 jam) yang dilaporkan ARTININGSIH et al. (1996) untuk kambing PE dara. Disamping karena faktor umur, absennya penyuntikan PMSG sekitar waktu pencabutan spon juga mempengaruhi hasil yang diperoleh. ARTININGSIH et al. (1996) melaporkan bahwa pemberian perlakuan PMSG 10-20 iu/kg berat badan mempercepat terjadinya birahi hingga sekitar 20 jam. Hal ini dapat dimengerti mengingat adanya kandungan FSH dan LH dalam PMSG akan merangsang perkembangan folikel hingga terjadi ovulasi. Dalam pertumbuhan folikel ini akan dihasilkan cukup banya estrogen yang menyebabkan ternak menunjukkan tanda-tanda birahi (WODZICKA-TOMASZWESKA et al., 1991). Dilihat dari data persentase motilitas (40,36%) dan spermatozoa hidup (55,86%) setelah pencairan kembali (thawing), maka kualitas semen beku yang dipergunakan pada penelitian ini termasuk cukup baik, sebanding dengan hasil penelitian sebelumnya (WERDHANY, 1999; TAMBING, 1999). Namun tingkat kebuntingan yang diperoleh pada penelitian ini masih rendah yaitu 37,5% pada Kelompok IB-25 dan 40,9% pada Kelompok IB-35, lebih rendah dari yang dikawinkan secara alami (Kelompok KA) yaitu
84,2% (Tabel 1). Rendahnya tingkat kebuntingan pada perkawin IB mungkin sebagian disebabkan karena kegagalan tercapainya jumlah spermatozoa yang cukup yang dapat sampai ke tempat pembuahan (tuba fallopii). Salamon (1962) menemukan hubungan yang linier antara jumlah spermatozoa dan tingkat kebuntingan dengan rentang 28 juta-128 juta spermatozoa. Setiap peningkatan 25 juta spermatozoa akan meningkatkan tingkat kebuntingan sekitar 13%. Dari hasil perhitungan, jumlah spermatozoa yang diinseminasikan pada penelitian ini adalah sekitar 150 juta, suatu jumlah yang umum dipakai dalam program inseminasi buatan pada ternak kecil (VISSER dan SALAMON, 1974; TUMEN dan OZKOCA, 1994). Tabel 1. Kinerja reproduksi kambing Peranakan Etawah pada sistem perkawinan yang berbeda Parameter Jumlah induk kawin Jumlah induk beranak Berat waktu kawin (kg) Persentase kebuntingan (%) Masa bunting (hari) Jumlah anak sekelahiran Rasio kelahiran tunggal : kembar (%) Berat lahir anak (kg) Total berat lahir (kg/induk)
IB-25 16 6 36,7±7,8 37,5 149,5±1,0 1,3 66,7:33,3 3,6±0,7 4,9±0,8 a
Sistem Perkawinan IB-35 22 9 36,2±7,0 40,9 147,9±1,3 1,4 55,6:44,4 3,4±0,5 4,4±1,5 a
KA 19 16 37,7±5,0 84,2 149,0±1,1 1,6 50:50 3,6±0,6 5,8±2,1 b
Jumlah ternak birahi (ekor) 15
10
5
0 35
.
48 61 74 87 Waktu setelah pencabutan spon (jam)
100
Gambar 1. Distribusi onset birahi setelah perlakuan progestagen pada kambing PE Estimasi jumlah spermatozoa yang diperlukan untuk mencapai fertilitas yang maksimum bervariasi dalam berbagai penelitian. ENTWISTLE dan MARTIN (1972) menyatakan tidak ada perbedaan fertilitas antara menggunakan spermatozoa 50 juta atau 100 juta. Sedangkan Salamon (1962) menyatakan jumlah 25 juta spermatozoa tidak cukup untuk mendapatkan kebuntingan. Penelitian lain, TUMEN dan OZKOCA (1994) menyatakan bahwa angka konsepsi yang lebih tinggi diperoleh dengan menggunakan 150 juta spermatozoa dibandingkan dengan 50 juta dan 100 juta spermatozoa. VISSER dan SALAMON (1974) mendapatkan bahwa fertilitas meningkat dengan meningkatnya jumlah spermatozoa motil yang dideposisikan baik dengan inseminasi tunggal maupun ganda 12-15 jam setelah estrus. Pada inseminasi tunggal dengan 90 juta dan 180 juta spermatozoa motil diperoleh angka kebuntingan masing-masing 36,2% dan 56,1%. HAFEZ (1993) menyatakan jumlah spermatozoa motil per dosis IB dengan semen beku jauh lebih tinggi lagi yaitu 200 juta, sedangkan dengan semen cair cukup 50 juta spermatozoa motil. Inseminasi ganda umumnya dapat memberikan hasil yang lebih baik. SALAMON (1971) mendapatkan angka konsepsi 39% pada insemnasi tunggal dan 50,5% pada inseminasi ganda. Sedangkan Visser dan Salamon (1974) melaporkan angka
konsepsi 36,2% dan 56,1% masing-masing pada IB tunggal dan ganda. Berdasarkan data penelitian tersebut diatas, maka tingkat kebuntingan hasil IB penelitian ini (37,5-40.0%) masih dalam kisaran hasil IB yang diperoleh selama ini. Alasan terjadinya perbedaan hasil yang diperoleh dari kegiatan penelitian diatas sangatlah banyak. Secara umum faktor kualitas semen yang digunakan, faktor induk, waktu IB dan pelaksana (inseminator) sendiri ikut berperan dalam keberhasilan IB pada ternak. Pada penelitian kambing PE ini, IB yang dilakukan 35-40 jam setelah onset birahi memberikan tingkat kebuntingan yang lebih tinggi dari IB yang dilakukan 20-25 jam setelah onset birahi, walaupun peningkatannya tidak begitu besar. Hal ini mungkin berhubungan dengan waktu ovulasi, yang umumnya terjadi pada akhir masa birahi. Masa birahi pada kambing adalah sekitar 38-43 jam pada kambing PE muda (ARTININGSIH et al., 1996), atau sekitar 30-52 jam pada kambing PE dewasa (MARIZAL, 1998). Penelitian lebih lanjut terutama untuk menentukan waktu inseminasi yang paling tepat sangat diperlukan. Jumlah anak lahir per induk (litter size) pada Kelompok IB-25, IB-35 dan KA adalah 1,3; 1,4; dan 1,6 ekor, dengan rataan berat lahir anak masing-masing 3,6 kg; 3,4 kg dan 3,6 kg (Tabel 1). Hal ini menunjukkan adanya kemampuan dari kambing PE ini untuk beranak lebih dari satu. Subandriyo et al. (1986) melaporkan jumlah anak sekelahiran pada kambing PE adalah 1,5 lebih rendah dari pada kambing Kacang (1,68). Lebih tingginya litter size pada Kelompok KA mengakibatkan total bobot lahir anak per induk pada kelompok KA ini lebih tinggi dari kelompok K-25 dan K-35 (5,8 vs 4,9 vs 4,4 kg; P<0,05). Secara umum dari Tabel 1 terlihat bahwa sekitar 43% anak yang lahir adalah kembar. Perbandingan jumlah anak jantan dan betina yang lahir secara keseluruhan adalah 26:21 ekor atau 54,17%:43,75%. Konsentrasi hormon progesteron selama kebuntingan pada ketiga kelompok sistem perkawinan pada penelitian ini tidak berbeda nyata. Hal ini telah diduga sebelumnya, mengingat kadar hormon ini merupakan hasil sekresi dari corpus lutheum (CL), dan ini terlihat pada Gambar 2 bahwa pada ternak dengan jumlah fetus tunggal selalu menunjukkan kadar hormon progesteron yang lebih rendah dari yang mempunyai fetus kembar. Dalam hal ini diasumsikan bahwa ternak dengan fetus tunggal juga mempunyai CL tunggal, walaupun kematian embrional mungkin juga terjadi sehingga mengurangi jumlah fetus yang dikandungnya. CL merupakan sumber utama progesteron pada ternak kambing (NALBANDOV, 1976; HAFEZ, 1980 dan REEVES, 1987) dan lebih banyaknya CL pada ternak yang mempunyai fetus dua/kembar akan menghasilkan progesteron yang lebih banyak (IRVING et al., 1972; REIMERS et al., 1982). CL pada kambing sangat esensial dalam menghasilkan progesteron yang berfungsi merangsang uterus mempersiapkan implantasi zygot dan untuk memelihara fetus selama kebuntingan (SHELDRICH et al., 1980; STABENDFELT dan EDQVIST, 1993). Rataan kadar hormon progesteron kambing PE selama 21 mingu kebuntingan pada penelitian ini masing-masing 6.75 ng/ml dan 8.69 ng/ml pada kambing beranak satu dan beranak dua/kembar. Hasil yang hampir sama juga dilaporkan oleh MANALU et al. (1996) bahwa kadar hormon progesteron selama 2 bulan terakhir masa kebuntingan pada kambing dengan anak dua lebih tinggi dari yang beranak satu (11.11 vs 5.79 ng/ml). Dari Gambar 2 terlihat bahwa terjadi peningkatan kadar hormon progesteron 2-3 minggu pertama setelah kawin. Kenaikan kadar hormon progestron ini disebabkan karena pada awal kebuntingan CL aktif menhasilkan progesteron dan terus meningkat selama fase lutheal (LLEWELYN et al., 1997), sedangkan penurunan yang terjadi setelah fase tersebut disebabkan oleh mulai menyusutnya fungsi CL pada hari ke 12-14, sehingga bila ovum tidak dibuahi (tidak bunting) produksi progesteron akhirnya menurun (HAFEZ et al., 1987). Hal yang sama juga dikemukakan oleh JARREL dan DZIUK (1991) bahwa kenaikan kadar hormon progesteron terjadi sejak awal kebuntingan sampai pada hari ke-13 kebuntingan, tetapi sesudah itu terjadi penurunan. Dalam keadaan bunting, setelah mengalami penurunan sampai minggu ke-6 terjadi peningkatan kadar hormon progesteron lagi (Gambar 2). Kejadian ini berkaitan dengan perkembangan plasenta yang sudah sempurna, sehingga kenaikan progesteron tersebut diduga akibat terbentuknya laktogen plasenta (HYDEN et al., 1980) yang bersifat luteotropik dan mampu merangsang CL untuk aktif kembali menghasilkan progesteron (BUTTLE, 1980) dengan tujuan untuk mempersiapkan uterus dalam memelihara kebuntingan. Pendapat lain menyatakan bahwa kenaikan kadar hormon progesteron tersebut diduga karena adanya progesteron yang dihasilkan oleh plasenta, walaupun pda kambing jumlahnya sangat kecil (THORNBURN dan SCHNEIDER, 1972; EDEY, 1983).
Progesteron (ng/ml) 14
12
10
8
6 LS-1
4
LS-2
2 1
3
5
7 9 11 13 15 Umur kebuntingan (minggu)
17
19
21
Gambar 2 Kadar hormon progesteron selama kebuntingan pada kambing PE dengan fetus tunggal dan kembar Dari hasil penelitian ini juga dapat dilihat bahwa setelah kadar hormon progesteron relatif cukup tinggi, pada minggu ke-18-20 masa kebuntingan sudah mulai terjadi penurunan kadar progesteron hingga menjelang kelahiran. Menurut UMO et al. (1976) hal itu disebabkan karena sebelum kelahiran terjadi, CL akan mengalami luteolisis akibat meningkatnya konsentrasi prostaglandin (PGF2α). Disamping hiphotalamus fetus menghasilkan ACTH-RH yang menyebabkan terjadinya lonjakan kadar ACTH fetus untuk meningkatkan sekresi kortisol melewati plasenta yang mengakibatkan peningkatan PGF2α (WODZICKA-TOMASZEWSKA et al., 1991). PGF2α diduga menyebabkan kontriksi pembuluh darah uteroovarica sehingga terjadi hipoksia (pengecilan) sel luteum dan menyebabkan luteolisis (KALTENBECH dan DUNN, 1980). KESIMPULAN Dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa keberhasilan IB pada kambing PE masih relatif rendah (37-41%) jauh lebih rendah dari tingkat kebuntingan hasil kawin alam (82.4%). Penundaan IB hingga 35 jam setelah onset birahi dapat meningkatkan kebuntingan yang diperoleh. Jenis perkawinan tidak mempengaruhi kadar hormon progesteron, namun dipengaruhi oleh jumlah CL atau fetus. Ternak dengan fetus kembar mempunyai kadar progesteron yang lebih tinggi dari ternak dengan fetus tunggal. SARAN Disamping pemantapan teknik prosesing semen hingga diperoleh semen beku dengan kualitas tinggi, perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam terutama mengenai waktu IB yang tepat untuk memperoleh tingkat kebuntingan yang maksimum. Upaya untuk menekan tingkat kematian anak pra-sapih perlu mendapat prioritas penelitian dimasa mendatang, termasuk didalamya produksi susu dan kualitasnya, terutama kandungan antibodi dalam kolostrum serta mekanisme transfernya dari induk ke anak. Pemberian
feed suplemen sebelum sapih mungkin salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menekan kematian anak, disamping untuk meningkatkan pertumbuhan dan berat sapih anak. DAFTAR PUSTAKA ARTININGSIH, N.M., B. PURWANTARA, R.K. ACHYADI and I-K.SUTAMA. 1996. Pengaruh Penyuntikan Pregnant mare Serum Gonadotrophin terhadap Kelahiran Kembar pada Kambing Peranakan Etawah. J. Ilmu Ternak Vet. 2: 1116 BUTTLE, L.H. 1978. The Maintenance of Pregnancy in Hypophysectomized Goat. J. Reprod. Fert. 52: 255-260. EDEY, T.N. 1983. Tropical Sheep and Goat Production. Australian Universities Interbnational Development Program (AUIDP), Canberra. ENTWISTEL, K.W. and I.C.A. MARTIN. 1972. Effects of Composition of Diluent, Method of Addition of Glycerol, Freezing Rate, and Storage Temperature on The Revival of Ram Spermatozoa After Deep-Freezing. Aust. J. Biol. Sci. 25: 379-386. FERADIS. 1999. Penggunaan antioksidan dalam pengencer semen beku dan metode sinkronisasi estrus dengan progesteron pada program inseminasi buatan domba St. Croix. Thesis Pascasarjana, IPB-Bogor. HAFES, E.S.E. 1980. Reproduction in Farm Animals. 4th Ed. Lea and Febiger Philadelphia. HAFES, E.S.E., M.C. Levasseur and C. Thibault. 1987. Foliculogenesis, egg maturation and ovulation, pp: 150-160. In. E.S.E. Hafez (Ed.) Reproduction in Farm Animals. 5th Edition, Lea and Febiger, Philadelphia. HAFES, E.S.E. 1993. Semen evaluation. In. E.S.E. Hafez (ed) Reproduction in farm Animals. 6th Edition, Lea and Febiger, Philadelphia. HAYDEN, T.J., C.R. THOMAS, V.S. SMITH and A.I. FORSYTH. 1980. Placental lactogen in he goat in relation to stage of gestation, number of fetuses, metabolites, progesterone and time of day. J. Endocrinol. Vet. 86: 279-290. IRVING, G., D.E. JONES and A. KNIFTON. 1972. Progesterone concentration in the periperal plasma of prenant goats. J. Endocrinology 53: 447-452. JARRELL, V.L. and P.J. DZIUK. 1991. Effect of number of corpora lutea and foetuses on concentrations of progesterone in blood of goats. J. Anim. Sci. 69: 770-773. KALTENBECH, C.C. and T.G. DUNN. 1980. Endicronology of Reproduction. In: E.S.E Hafes. Reproduction in Farm Animals. 5th ed. Lea and Febiger, Philadelphia. LLEWELYN, C.A., J.S. OGAA and M.J. OBWOLO. 1997. Influence of season and housing on ovarian activity of indigenous goats in Zimbabwe. Trop. Anim. Health and Prod. 27: 3. MANALU, W., M.Y. SUMARYADI and KUSUMORINI. 1996. Effect of fetal number on the concentrations of circulating maternal serum progsterone and estradiol of does during pregnancy. J. Small Ruminant Res. 23: 117-124. MARIZAL. 1998. Siklus birahi dan profil hormon progesteron serta estradiol kambing Peranakan Etawah yang diberi pakan mengandung bungkil biji kapuk. Thesis Pascasarjana, IPB-Bogor. MEMON, M.A. aand R.S. OTT. 1981. Methods of semen preservation and artificial insemination in sheep and goats. World Rev. Anim. Prod. 11: 19-25. NALBANDOV, A.V. 1976. Reproductive Physiology of Mammals and Birds. W.H. Freeman and Company. San Francisco. REEVES, J.J. 1987. Endocrinology of Reproduction. In: E.S.E Hafes. Reproduction in Farm Animals. 5th ed. Lea and Febiger, Philadelphia REIMERS, T.J. 1982. Milk progesterone for evaluating reproductive status. NYS Cllege of Vet. Med, Cornell Univ. Ittaca, New York. SALAMON, S. 1962. Studies on the artificial insemination of Merino sheep. III. The effect of frequent ejaculation on semen characteristics and fertilizing capacity. Aust. J. Agric. Res. 13: 1137-1150. SALAMON, S. 1971. Fertility of ram spermatozoa following pellet freezing on dry ice at -79°C and -140°C. Aust. J. Biol. Sci. 24: 183-185. SHELDRICH, E.L., A.P. RICKETTS and A.P.F. FLINT. 1980. Placental production of progesterone ovariectomized goat treated with synthesis progestagen to maintaine pregnancy. J. Reprod. Fert. 60: 339-348.
SIANTURI, R.S.G., U. ADIATI, HASTONO, IGM. BUDIARSANA dan I-K. SUTAMA. 1997. Sinkronisasi birahi secara hormonal pada kambing Peranakan Etawah. Sem. Nasional Peternakan dan Veteriner, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor, 2: 379-384. STABENFELDT, G.H. and L. EDQVIST. 1993. Female reproductive. In Dukes, Physiology of Domestic Animals. 11th Ed. Eds. M.J. Swenson and W.O. Reece. Comstock Pub. Ass. Cornell Univ. Press. London. STEEL, R.G.D. and J.H. TORRIE. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia Utama, Jakarta. SUBANDRIYO, B. SETIADI and P. SITORUS. 1986. Ovulation rate and litter size of Indonesian goats. Proc. 5th Int. Conf. Livestock Production and Deseases in The Tropic. Kuala Lumpur, Malaysia pp.: 53-54 SUTAMA, I-K. 1998. Kambing Peranakan Etawah, kambing perah Indonesia. Brosur Balai Ciawi-Bogor.
Penelitian Ternak,
THORNBURN, G.D. and W. SCHNEIDER. 1972. The progesterone concentration in the plasma of the goat during the oestrous cycle and pregnancy. J. Endocrinology 52: 23-36. TUMEN, H. and A. AZKOCA. 1994. Studies on the fertility and characters of ram semen diluted by various techniques. Turk Veterinerlik ve Hayvancilik Dergisi. 18: 287-291 (Abstract). UMO, I.M., R.J. FITZPATRICK and W.R. WARD. 1976. Parturition in thegoat: Plasma concentrations of prostaglandin F2α and steroid hormones and uterine activity during late pregnancy and parturition. J. Endocrinology 68: 383389. VISSER, D. and S. SALAMON. 1974. Fertility following inseminations with fozen-thawed concentrated and unconcentrated ram semen. Aust. J. Biol. Sci. 27: 423-425. WERDHANY, W.I. 1999. Efektivitas penambahan α-tokofrol di dalam pengencer tris dan susu skim terhadap kualitas semen kambing peranakan Etawah. Thesis Pascasarjana IPB-Bogor. WODZICKA-TOMASZEWSKA, M., I.K. SUTAMA, I.G. PUTU dan T.D. CHANIAGO. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.