“HUBUNGAN ANTARA PERBEDAAN LATAR BELAKANG BUDAYA DENGAN KEEFEKTIFAN KOMUNIKASI DI PT. MITSUI INDONESIA
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Strata Satu (S-1) Ilmu Komunikasi Program Studi Public Relations
DISUSUN OLEH : NANCY MUSTIKASARI 44205110084 PUBLIC RELATIONS
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCUBUANA JAKARTA 2008
UNIVERSITAS MERCUBUANA FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI JURUSAN PUBLIC RELATIONS
LEMBAR PERSETUJUAN SIDANG SKRIPSI
Nama
: Nancy Mustikasari
NIM
: 44205110084
Fakultas
: Ilmu Komunikasi
Bidang Studi
: Public Relations
Judul Skripsi
: Hubungan antara Perbedaan Latar Belakang Budaya dengan Keefektifan Komunikasi Di PT. Mitsui Indonesia
Mengetahui,
Pembimbing 1
Ketua Bidang Studi
Nanang Arif Mahmudi SP, MM.
Marhaeni F.Kurniawati, S.Sos, M.Si
i
UNIVERSITAS MERCUBUANA FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI JURUSAN PUBLIC RELATIONS
LEMBAR LULUS SIDANG SKRIPSI
Nama
: Nancy Mustikasari
NIM
: 44205110084
Fakultas
: Ilmu Komunikasi
Bidang Studi
: Public Relations
Judul Skripsi
: Hubungan antara Perbedaan Latar Belakang Budaya dengan Keefektifan Komunikasi Di PT. Mitsui Indonesia
Jakarta, Agustus 2008 Mengetahui,
1.
Ketua Sidang Nama
2.
(Farid Hamid Umarella S.Sos.,MSi)
Penguji Ahli Nama
3.
(Santa Margaretha Niken S.Sos.,M.Si)
Pembimbing Nama
(Nanang Arif Mahmudi, SP, MM.)
ii
UNIVERSITAS MERCUBUANA FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI JURUSAN PUBLIC RELATIONS
LEMBAR PENGESAHAN PERBAIKAN SKRIPSI
Nama
: Nancy Mustikasari
NIM
: 44205110084
Fakultas
: Ilmu Komunikasi
Bidang Studi
: Public Relations
Judul Skripsi
: Hubungan antara Perbedaan Latar Belakang Budaya dengan Keefektifan Komunikasi Di PT. Mitsui Indonesia
Jakarta, Agustus 2008 Disetujui dan diterima oleh: Dosen Pembimbing Skripsi I
(Nanang Arief Mahmudi, SP, MM.)
Mengetahui, Dekan Fikom UMB
Kabid Humas
(Dra. Diah Wardhani, M.Si)
(Marhaeni F.Kurniawati, S.Sos,M.Si)
iii
UNIVERSITAS MERCUBUANA FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI JURUSAN PUBLIC RELATIONS Nancy Mustikasari (44205110084) Hubungan Antara Perbedaan Latar Belakang Budaya dengan Keefektifan Komunikasi Di PT. Mitsui Indonesia x + 127 Halaman + 26 Lampiran Bibilografi : Buku (Th 1963 – Th 2006) ABSTRAKSI Aliran informasi dalam suatu organisasi pada hakikatnya merupakan suatu proses dinamis. Dalam proses inilah pesan-pesan secara tetap dan berkesinambungan diciptakan, ditampilkan, dan diinterprestasikan. Aliran pesan dalam organisasi sebagaimana yang diungkapkan oleh Redding merupakan tugas individu. Di dalam proses komunikasi ini latar belakang budaya individu sangat mempengaruhi proses berkomunikasi. Di dalam suatu organisasi yang para anggotanya berasal dari latar belakang kebudayaan yang berbeda, tak pelak lagi akan memunculkan persoalanpersoalan dalam berkomunikasi, hal ini disebabkan karena latar belakang budaya (pengalaman budaya) individu-individu yang terlibat di dalam proses komunikasi tersebut sangat mempengaruhi atensi, persepsi dan interpretasi individu terhadap pesan-pesan yang disampaikan, pada akhirnya hal ini mempengaruhi aliran informasi di dalam suatu organisasi. Untuk mengetahui hubungan antara perbedaan latar belakang budaya dengan komunikasi efektif, peneliti mengadakan penelitian di PT Mitsui Indonesia yang para stafnya berasal dari dua latar belakang budaya yang berbeda. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan apakah terdapat hubungan antara perbedaan latar belakang budaya dengan keefektifan komunikasi di PT Mitsui Indonesia. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan konsep-konsep komunikasi, komunikasi organisasi, komunikasi antar budaya, human relations dan komunikasi efektif. Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe kuantitatif eksplanatif dengan menggunakan metode survey untuk mendapatkan data, sedangkan pemilihan sampel menggunakan metode sampling purposif, dimana sampel yang diambil dianggap sebagai representasi dari keseluruhan populasi pada setiap level organisasi. Untuk menganalisa data digunakan tabel silang dan untuk menguji hipotesis dan signifikasi hipotesis digunakan perhitungan chi quadrat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki perbedaan latar belakang budaya sedang dan memiliki tingkat efektifitas komunikasi yang juga sedang. Temuan lain adalah, para responden yang memiliki perbedaan latar belakang budaya yang tinggi, cenderung juga memiliki tingkat efektifitas komunikasi yang tinggi. Dari data-data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara latar belakang budaya dengan keefektifan komunikasi.
iv
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbilalamin, terima kasih ya Allah, puji dan syukur peneliti panjatkan ke-hadirat ALLAH SWT, Sang Pencipta, berkat rahmat dan karunia-Nya serta kekuatan yang diberikan-Nya sehingga skripsi tentang “Hubungan antara Perbedaan Latar Belakang Budaya dengan Keefektifan Komunikasi di PT Mitsui Indonesia” dapat diselesaikan dengan baik yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT , Sang Penguasa. Selain untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai jenjang pendidikan sarjana di Program Kuliah Sabtu Minggu (PKSM) Fakultas Ilmu Komunikasi bidang studi Public Relations, Universitas Mercubuana, skripsi ini dilatar belakangi oleh pengalaman pribadi peneliti dalam dunia kerja maupun kehidupan pribadi yang ketika itu adalah masa-masa sulit untuk menjalin hubungan dengan orang-orang yang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda. Keinginan untuk mengetahui apa penyebab gagalnya sebuah hubungan, pada awalnya sangat memotivasi peneliti dalam menyelesaikan skripsi. Tapi, hambatan dan rintangan, problema hidup yang peneliti hadapi serta keterbatasan waktu karena kesibukan dalam pekerjaan mengakibatkan skripsi ini tertunda cukup lama sehingga kekurangan-kekurangan tentu banyak ditemui dalam skripsi ini. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak Eka “the Great and Unbelievable Lecturer” yang amat peneliti kagumi dan hormati yang telah sangat membantu membimbing pembuatan skripsi ini dan kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam bentuk moril dan material berupa
v
informasi, data-data, pendapat, bimbingan serta saran-saran yang peneliti butuhkan demi selesainya pembuatan skripsi ini kepada Yth.: 1. Bapak Nanang Arif Mahmudi, SP, MM. selaku dosen pembimbing di Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Public Relations di Universitas Mercu Buana, Kampus Menteng, Jakarta. 2. Ibu Irmulan Sati T., SH, M.Si. selaku dosen Riset PR di Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Public Relations di Universitas Mercu Buana, Kampus Menteng, Jakarta. 3. Bapak Heri Budianto S.Sos, M.Si selaku Ketua Sidang Outline dan dosen Sosiologi Komunikasi di Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Public Relations di Universitas Mercu Buana, Kampus Menteng, Jakarta. 4. Ibu Marhaeni F.Kurniawati, S.sos, M.Si selaku Ketua Bidang Studi Hubungan Masyarakat di Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Public Relations di Universitas Mercu Buana, Jakarta. 5. Ibu Rita Satria, General Affairs & para karyawan PT Mitsui Indonesia. 6. Rekan-rekan angkatan VII Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Public Relations di Universitas Mercu Buana, Kampus Menteng, Jakarta., serta pihak-pihak lain yang turut membantu. Akhirnya, From the bottom of My Heart, dengan tulus serta penuh cinta kasih peneliti mengucapkan terima kasih thank you so much, arigatougozaimasu, yang sedalam-dalamnya kepada orang-orang yang amat peneliti hormati dan cintai yang telah bersedia membiarkan dirinya menderita atas ungkapan-ungkapan peneliti yang menjemukan mengenai keinginan menyelesaikan skripsi tapi tak juga kunjung selesai, yang menjadi jalan atas kehendakNya bagi peneliti untuk
vi
melihat cermin diri untuk lebih mengenal dan memperbaiki diri, untuk menjadi pribadi yang awesome, wanita yang hebat sekalipun harus dengan kata yang menyakitkan hati, menuntun peneliti dalam membentuk fondasi yang benar untuk berjalan mengabdi padaNya, serta menjadi pelangi yang memperkaya diri ini untuk mewarnai hidup orang-orang yang dicintai: Abang Hendra Prasetyo My Soulmate, Mam & Pap My Idols, semua berkat doa dan restumu, My Beloved Brother Aa Budi di alam baka sana, Adi My Brother & his wife, Para Sahabatku; Eda Selvi, teman setia sampai pagi mengerjakan skripsi sama-sama di Starbucks Thamrin yang tak pernah bosan memotivasi untuk segera menyelesaikan skripsi ini tanpa lelah kadang marah,
Jay Tantyawati, roomate setia teman diskusi
sampai pagi, thanks for helping me with all those problems yang menjadi faktor utama penghambat selesainya skripsi ini, Mossi Enie roomate yang super malas and “GJ” yang tetap tidak termotivasi untuk kerjakan skripsi sama-sama tapi tetap memberikan dukungan, Unyil Tari yang juga menemani di Starbucks, Ronny yang bersedia datang ke Apart membantu sampai pagi, Brondy Eri yang selalu setia menemani mencari hiburan ke “RS” setelah berjam-jam penat dan buntu tidak bisa berpikir lagi, Aris yang juga mengajari metode kuantitatif memberikan motivasi sampai akhirnya hilang begitu saja, Icha my very best friend yang jika bukan karenanya mungkin skripsi ini tidak akan pernah ada, dan tak lupa kepada Ibu Dosen “the Fun Fearless Female” Mbak Astri yang hanya dalam kesempatan diskusi yang cukup singkat tapi padat telah membuka mata peneliti dan telah membangkitkan motivasi peneliti untuk melanjutkan skripsi ini. Seberapa besarpun rasa terima kasih yang peneliti ungkapkan rasanya tak akan pernah cukup buat anda semua. Semoga Dia, Sang Maha Pengasih, yang
vii
selama ini memenuhi harapan dan keinginan peneliti dengan kebijaksanaan-Nya, ke-Pemurahan-Nya, ke-Maha Kayaan-Nya, dan kasih sayang-Nya berkenan menggantinya. Di penghujung kata, dengan kerendahan hati, semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua yang membacanya untuk dijadikan acuan penelitian yang lebih mendalam ataupun hanya
sekedar
tambahan pengetahuan dalam
berkomunikasi sehari-hari. Semoga kita semua senantiasa dipelihara dalam jalan lurus keridhaan-Nya dan dengan segala perbedaan yang ada dapat dipersatukan dalam jalinan mahluk ciptaan-Nya yang paling sempurna. Amin Jakarta, Juni 2008 Peneliti
viii
DAFTAR ISI ABSTRAKSI ..................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ........................................................................................ v DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix BAB I .................................................................................................................. 1 PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 12 1.3. Tujuan Penelitian.............................................................................. 12 1.4. Signifikansi Penelitian ...................................................................... 12 1.4.1. Signifikansi Akademis ................................................................ 12 1.4.2. Signifikansi Praktis ..................................................................... 13 BAB II .............................................................................................................. 14 KERANGKA TEORI ...................................................................................... 14 2.1. Komunikasi ....................................................................................... 14 2.2. Komunikasi Organisasi .................................................................... 15 2.3. Human Relations .............................................................................. 21 2.4. Komunikasi Antar Budaya ............................................................... 23 2.5. Latar Belakang Budaya .................................................................... 26 2.5.1. Pengertian Persepsi ..................................................................... 29 2.5.2. Proses-proses verbal ................................................................... 40 2.5.3. Proses-proses Nonverbal ............................................................. 42 2.6. Komunikasi Efektif ........................................................................... 45 2.7. Hipotesis Teoritis .............................................................................. 49 BAB III ............................................................................................................. 51 METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................... 51 3.1. Tipe/Sifat Penelitian.......................................................................... 51 3.2. Metode Penelitian ............................................................................. 52 3.3. Populasi Dan Sampel ........................................................................ 52 3.3.1. Populasi ...................................................................................... 52 3.3.2. Sampel........................................................................................ 53 3.3.3. Teknik Sampling......................................................................... 53 3.4. Definisi Konsep ................................................................................. 54 3.5. Operasionalisasi Konsep ................................................................... 55 3.5.1. Perbedaan latar belakang budaya ................................................ 55 3.5.2. Keefektifan Komunikasi ............................................................. 56
ix
3.5.3. Tabel Operasionalisasi Konsep ................................................... 58 3.6. Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 62 3.7. Metode Analisa Data......................................................................... 62 3.7.1. Uji Instrumen .............................................................................. 62 3.7.2. Proses Editing ............................................................................. 65 3.7.3. Pengkodean Data (Coding) ......................................................... 66 3.7.4. Uji Hipotesis ............................................................................... 67 BAB IV ............................................................................................................. 70 HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA .............................................. 70 4.1. Gambaran Umum Perusahaan......................................................... 70 4.1.1. Sejarah Berdirinya PT. Mitsui Indonesia ..................................... 70 4.1.2. Visi, Misi & Nilai Perusahaan ..................................................... 71 4.1.3. Bidang Usaha Perusahaan ........................................................... 73 4.2. Hasil Penelitian ................................................................................. 75 4.2.1. Identitas Karyawan ..................................................................... 75 4.2.2 Persepsi ...................................................................................... 79 4.2.3 Proses Verbal .............................................................................. 87 4.2.4 Proses Nonverbal ........................................................................ 92 4.2.5 Komunikasi Efektif ..................................................................... 96 4.3. Hasil Analisis Variabel Perbedaan Latar Belakang Budaya dengan Keefektifan Komunikasi ................................................................. 105 4.3.1. Variabel Perbedaan Latar Belakang Budaya .............................. 105 4.3.2. Variabel Keefektifan Komunikasi ............................................. 105 4.3.3. Tabel Silang Variabel Perbedaan Budaya dan Keefektifan Komunikasi ............................................................................. 106 4.4. Uji Korelasi ..................................................................................... 108 4.5. Pembahasan Penelitian ................................................................... 109 BAB V............................................................................................................. 120 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 120 5.1. 5.2.
Kesimpulan ..................................................................................... 120 Saran ............................................................................................... 121
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 123 DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. 125
x
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial, disamping sandang, pangan, dan papan sebagai kebutuhan utamanya, maka sebagai mahluk sosial manusia membutuhkan untuk berkomunikasi diantara sesamanya sebagai kebutuhannya untuk dapat saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Manusia membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain, dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa komunikasi tentu saja akan terisolasi. Seperti yang dikemukakan oleh Deddy
Mulyana
dan
Jalaluddin
Rakhmat
bahwa
komunikasi
didefinisikan sebagai apa yang terjadi bila makna diberikan kepada suatu perilaku. Bila seseorang memperhatikan perilaku kita dan memberinya makna, maka komunikasi telah terjadi, terlepas dari apakah kita menyadari perilaku kita atau tidak, disengaja atau tidak. Bila kita memikirkan hal ini, kita harus menyadari bahwa tidak mungkin bagi kita untuk tidak berperilaku. Setiap perilaku mempunyai potensi komunikasi. Maka tidaklah mungkin bagi kita untuk tidak berkomunikasi. Dengan kata lain, kita tidak dapat tidak berkomunikasi.1 Komunikasi adalah sebuah proses interaksi untuk berhubungan dari satu pihak ke pihak lainnya, yang pada awalnya berlangsung sangat 1
Deddy Mulyana, Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya:Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-orang berbeda Budaya, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung ,2005, hal. 13.
1
2
sederhana dimulai dengan sejumlah ide-ide yang abstrak atau pikiran dalam otak seseorang untuk mencari data atau menyampaikan informasi yang kemudian dikemas menjadi sebentuk pesan untuk kemudian disampaikan secara langsung maupun tidak langsung menggunakan bahasa berbentuk kode visual, kode suara, atau kode tulisan. Begitu kompleksnya hal dan permasalahan yang lalu-lalang dalam lalulintas informasi yang ada sekarang ini, akhirnya menuntut adanya suatu caracara atau sistem berkomunikasi yang efektif dan efisien. Komunikasi menjadi penting untuk pertumbuhan pribadi selama kepribadian terbentuk sepanjang hidup kita. Melalui komunikasi kita menemukan diri kita, mengembangkan konsep diri, dan menetapkan hubungan kita dengan dunia di sekitar kita. Hubungan kita dengan orang lain akan menentukan kualitas hidup kita. Bila orang lain tidak memahami gagasan kita, bila pesan kita menjengkelkan mereka, bila kita tidak berhasil mengatasi masalah pelik karena orang lain menentang pendapat kita dan tidak mau membantu kita, bila semakin sering kita berkomunikasi justru semakin jauh jarak kita dengan mereka. Bila kita selalu gagal untuk mendorong orang lain bertindak, maka kita telah gagal dalam berkomunikasi. Komunikasi kita tidak efektif. Menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, komunikasi yang efektif
menimbulkan
5
hal,
yaitu:
pengertian,
kesenangan,
mempengaruhi sikap, hubungan sosial yang baik, dan tindakan.
2
Sedangkan Deddy Mulyana dalam buku Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar mengungkapkan bahwa “komunikasi yang efektif adalah 2
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung ,2004, 13
3
komunikasi yang hasilnya sesuai dengan harapan para pesertanya (orang-orang yang sedang berkomunikasi)”.3 Dalam kenyataannya, tidak pernah ada dua manusia yang persis sama, meskipun mereka kembar yang dilahirkan dan diasuh dalam keluarga yang sama. Namun kesamaan dalam hal-hal tertentu, misalnya agama, ras (suku), bahasa, tingkat pendidikan, atau tingkat ekonomi akan mendorong orang-orang untuk saling tertarik dan pada gilirannya karena kesamaan tersebut komunikasi mereka menjadi lebih efektif. Kesamaan bahasa khususnya akan membuat orang-orang yang berkomunikasi lebih mudah mencapai pengertian bersama dibandingkan dengan orang-orang yang tidak berbicara atau memahami bahasa yang sama. Pesatnya kemajuan di bidang teknologi komunikasi (internet, satelit, komputer, dan TV kabel), transportasi dan pola-pola baru dalam keimigrasian memudahkan seseorang untuk keluar masuk dari, dan ke suatu negara sehingga secara langsung meningkatkan kebutuhan akan kemampuan berkomunikasi dengan individu dari budaya lain dalam upayanya untuk membaur di negara tujuan. Teknologi informasi dan komunikasi dalam era globalisasi ini merupakan pendukung utama bagi terselenggaranya pertemuan antarbudaya. Kemajuan teknologi khususnya di bidang komunikasi dan transportasi tersebut jelas membawa pengaruh positif maupun negatif terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat. Teknologi komunikasi
3 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung ,2002, 107
4
memberikan kemudahan bagi timbulnya pertentangan sosial dan perubahan sistem nilai karena adanya perbenturan sistem nilai dalam masyarakat penerima teknologi yang mempunyai latar belakang kebudayaan yang berbeda. Budaya menurut Porter dan Samovar adalah suatu pola hidup menyeluruh dan merupakan cara manusia hidup, karena budaya berkenaan dengan pengetahuan, kepercayaan, nilai, sikap, makna, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objekobjek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi sehingga membentuk suatu pola atau pandangan hidup. Oleh karena itu, budaya turut mempengaruhi perilaku komunikatif. 4 Definisi berikut menerangkan bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya
proses
komunikasi
antarbudaya.
Komunikasi
antarbudaya memang mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar pelakupelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap proses komunikasi individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi. Menurut Samovar dan Porter : Komunikasi antarbudaya terjadi manakala bagian yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa serta latar belakang budaya pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai yang dianut oleh kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan, dan nilai. 4
Ibid., 124-125
5
(intercultural communication obtains whenever the parties to a communications act to bring with them different experiential backgrounds that reflect a long-standing deposit of group experience, knowledge, and values).5 Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasipun turut menentukan memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa Komunikasi adalah Budaya dan Budaya adalah Komunikasi. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara “horizontal” dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya merupakan norma-norma atau nilai-nilai yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.6 Komunikasi antarbudaya, menurut Samovar dan Porter, terjadi bila produsen pesan merupakan anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Ini artinya bahwa masing-masing pihak memiliki unsur-unsur sosio-budaya yang berbeda, yaitu: sistem-sistem kepercayaan (belief), nilai (value), sikap (attitude), pandangan dunia
(world
view),
dan organisasi
sosial (social
organization) yang berlainan. Latar belakang budaya, persepsi, dan
5
Samovar, Larry A & Porter, Richard E. & Jain, Nemi C., Understanding Intercultural Communication, Belmont: Wadsworth Publishing Company, 1981 6
Mulyana,& Jalaludin. Op. Cit., 6.
6
pengalaman yang berbeda mempengaruhi suatu perilaku komunikasi yang berbeda pula.7 Dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Padahal syarat untuk terjalinnya hubungan itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan kebudayaan dan gaya-gaya komunikasi berpotensi untuk menimbulkan masalah-masalah dalam komunikasi antarbudaya. Masalah utama dalam komunikasi antarbudaya adalah kesalahan dalam persepsi sosial yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan budaya yang mempengaruhi proses persepsi. Tetapi tidak saja perbedaan, melainkan juga lebih penting lagi, kesulitan untuk mengakui perbedaan yang menyebabkan masalah serius dan mengancam kelancaran komunikasi antarbudaya. Maka kesadaran akan variasi kebudayaan, ditambah dengan kemauan untuk menghargai variasi tersebut akan sangat mendorong hubungan antar kebudayaan sehingga tercipta komunikasi yang efektif dan efisien. Kecenderungan yang ada dalam komunikasi antarbudaya dan mewarnai sikap orang-orang berlatar belakang budaya berbeda saat melakukan komunikasi, antara lain: stereotip dan prasangka. Stereotip dan prasangka merupakan konsep yang saling terkait dan lazimnya 7
S. Djuarsa Sendjaja, Teori Komunikasi, Universitas Terbuka , Jakarata, 2005, 7.18
7
terjadi bersama-sama. Seorang yang mempunyai stereotip terhadap suatu kelompok juga cenderung mempunyai prasangka mengenai kelompok tersebut. Baik stereotip maupun prasangka, keduanya merupakan sesuatu yang dipelajari. Kedua hal tersebut juga mempunyai hubungan
erat
dan
saling
mempengaruhi
dengan
komunikasi
antarbudaya. Contoh nyata yang mungkin dapat ditemui adalah proses komunikasi antarbudaya di sebuah perusahan multinasional yang diobservasi oleh peneliti. Hal yang mungkin terjadi di PT. Mitsui Indonesia bahwa komunikasi seringkali didasarkan atas stereotip dimana unsur-unsur yang banyak dan beraneka ragam digolongkan kedalam suatu gambaran tertentu. Gambaran demikian itulah, yaitu stereotip, yang dijadikan pegangan dalam menanggapi komunikasi. Dengan memakai stereotip yang demikian itu, maka dalam berkomunikasi, seringkali tidak lagi memusatkan perhatian pada pihak yang dihadapi sebagai perorangan yang mempunyai sifat-sifat tersendiri. Kesalahan dalam mempersepsi yang menimbulkan kegagalan dalam berkomunikasi cenderung terjadi. Komunikasi menjadi tidak efektif. PT. Mitsui Indonesia merupakan perusahaan perwakilan suatu perusahaan perdagangan Jepang, Mitsui & Co., Ltd. yang bergerak dibidang produk dan jasa yang kantornya berpusat di Tokyo, Jepang. Seperti perusahan asing (Jepang) pada umumnya, PT. Mitsui Indonesia terdiri dari kumpulan orang-orang yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, yaitu tenaga kerja nasional (Indonesia) dan tenaga kerja asing (Jepang).
8
Tenaga kerja Jepang yang memiliki budaya kerja tertentu memiliki pandangan atau persepsi tertentu mengenai karakter dan budaya Indonesia. Persepsi ini berujung pada terbentuknya suatu konsep stereotip yang pada akhirnya dapat mempengaruhi pola komunikasi yang berlangsung antara karyawan asing (Jepang) dan karyawan lokal (Indonesia). Seperti yang diungkapkan oleh seorang karyawan Jepang di perusahaan ini bahwa banyak karyawan Indonesia yang kerjanya hanya jalan-jalan, lalu lalang di sekitar kantor pada saat jam kerja. Dengan melihat hal ini karyawan Jepang berprasangka bahwa karyawan Indonesia adalah pekerja yang malas-malas, tidak bekerja dengan serius dan sungguh-sungguh. Karyawan Indonesia tidak menganggap tempat kerja adalah tempat yang suci. 8 Tidak bisa dipungkiri bahwa merupakan sikap yang umum, bila seseorang, banyak sedikitnya menilai kebudayaan asing berdasarkan kebudayaannya sendiri dan diakui bahwa sikap demikian itu juga merupakan penghalang bagi komunikasi yang lancar maupun saling pengertian untuk mencapai komunikasi yang efektif dan efisien. Suatu persepsi negative, ketidakpercayaan terhadap lawan yang dianggap lebih rendah ataupun tidak capable juga berfungsi sebagai faktor dalam komunikasi antarbudaya. Seperti dalam observasi awal yang peneliti amati di PT Mitsui Indonesia, atasan orang Jepang menunjukkan sikap tidak percaya sepenuhnya terhadap karyawan Indonesia yang menjadi bawahannya karena mereka merasa berasal dari negara maju dan mempunyai kebudayaan yang lebih tinggi. Paham yang 8
Wawancara dengan Mr. Matsuo, General Manager of Machinery Division, PT. Mitsui Indonesia
9
demikian mungkin menimbulkan suatu perasaaan permusuhan, enggan untuk bertatap muka dan pihak yang direndahkan lebih memilih berkomunikasi melalui e-mail sebanyak mungkin. Sehingga faktor kesenangan dan hubungan sosial yang baik terlihat tidak tercapai karena budaya orang Jepang yang kaku terutama ketika jam kerja. Prasangka negatif terhadap karyawan nasional (Indonesia) dapat mengakibatkan komunikasi tidak efektif sehingga tidak tercipta hubungan yang baik antara karyawan Jepang sebagai atasan dengan karyawan Indonesia yang umumnya menjadi bawahannya. Hubungan karyawan merupakan suatu kekuatan yang hidup dan dinamis, yang dibangun dan diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan formal maupun informal. Karyawan merupakan aset perusahaan yang sangat vital, sehingga pemahaman terhadap karyawan merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh pihak manajemen. Kesalahpahaman dalam komunikasi antar dua bangsa atau lebih dapat saja terjadi dalam berbagai konteks, karena komunikasi antarbudaya dapat terjadi dalam berbagai level situasi dan didalam situasi yang berbagai orang mempunyai hubungan yang berubah-ubah. Makna yang diberikan oleh seseorang terikat pada hubungan yang sedang berlangsung, sehingga suatu pesan akan berbeda maknanya jika situasi dan tempatnya berubah. Adapun sebagaimana dikatakan Samovar, Porter, dan Jain, bahwa kesalahpahaman antarbudaya dapat terjadi karena : (1) adanya perbedaan dalam tujuan komunikasi, (2) etnosentrisme, (3) kurangnya kepercayaan pada pihak lain, (4) penarikan diri secara psikologis dari
10
upaya berkomunikasi, (5) kurangnya empati atau kemampuan untuk menempatkan diri pada diri orang lain, (6) kecenderungan untuk membuat
kesimpulan
berdasarkan
stereotip-stereotip,
(7)
penyalahgunaan kekuasaan suatu kebudayaan terhadap kebudayaan lain.9 Efektifitas atau hambatan komunikasi khususnya dalam konteks interaksi antara karyawan Jepang dengan karyawan Indonesia pada suatu perusahaan yang sama mungkin saja terjadi. Beberapa faktor penghambat dalam interkasi antar kedua bangsa tersebut diperkirakan oleh adanya perbedaan persepsi dalam bentuk stereotip dan prasangka serta munculnya kesenjangan dalam informasi dikarenakan perbedaan nilai-nilai serta bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi antar karyawan yang berbeda kebangsaan menjadi faktor utama yang menentukan keberhasilan suatu proses komunikasi. Seperti pada observasi awal yag dilakukan oleh peneliti saat mengikuti seminar ang diadakan di kantor pusat di Jepang, dimana peneliti berteu dengan para staff lain yang berasal dari berbagai negara. Perbedaan bahasa menjadi faktor utama penghalang komunikasi efektif.10 Kemungkinan lain barangkali justru terjadi komunikasi yang lancar karena adanya kermampuan untuk mengakomodasi dan adanya proses komunikasi untuk saling pertukaran (exchange) dan pembagian bersama (sharing of) informasi selama waktu tertentu. Disamping itu, adanya pola-pola komunikasi tertentu yang dipilih/berlangsung dalam rangka berinteraksi dari kedua bangsa (Jepang dan Indonesia). 9
Samovar, Larry A & Porter, Richard E. & Jain, Nemi C. Op. Cit., Pertemuan staff representative office se-Asia
10
11
Pada periode tahun 2005-2006 PT. Mitsui Indonesia mengalami penurunan karyawan dikarenakan sekitar 30 orang karyawan lokalnya memutuskan untuk hengkang dari Mitsui. Menurut Ibu Rita Satria, General Affairs PT. Mitsui Indonesia, alasan keluarnya karyawan lokal beraneka ragam. Ada yang merasa tidak cocok dengan atasan orang Jepang, ada yang mendapatkan penawaran gaji yang lebih besar, dan ada yang beralasan karena menikah dan ikut suami. 11 Seorang ex-karyawan mengatakan karena mendapatkan penawaran gaji yang lebih besar di perusahaan lain12 dan ada juga yang mengatakan karena merasa tidak cocok dengan atasannya (orang Jepang).13 Mengingat bahwa di PT. Mitsui Indonesia terdapat cukup banyak orang Jepang yang merupakan atasan dari karyawan-karyawan lokal (Indonesia), peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap keefektifan komunikasi dalam perusahaan asing yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Berdasarkan
observasi
awal,
peneliti
berasumsi
bahwa
kemungkinan penyebab dari keluarnya karyawan-karyawan lokal adalah karena hubungan antara atasan dengan bawahan tidak terjalin dengan baik yang disebabkan oleh adanya perbedaan budaya. Kenyataan bahwa orang Jepang kurang bisa mengerti dan menerima budaya kerja karyawan lokal yang memakai waktu kerja untuk melakukan ritual keagamaan seperti melaksanakan kewajiban sholat bagi yang beragama
11
Hasil wawancara dengan ibu Rita Satria, General Affair PT. Mitsui Indonesia, Departemen yang membawahi divisi HRD 12 Gumira, ex-sales & marketing of PT. Mitsui Indonesia 13 R. Milani, ex-secretary of PT. Mitsui Indonesia
12 islam misalnya. 14 Komunikasi yang kaku akibat kurangnya komunikasi tatap muka karena keengganan yang timbul dari karyawan-karyawan lokal menyebabkan kurangnya human relations. Hubungan tidak terjalin dengan baik karena tidak ada pengertian antar karyawan ini dapat menimbulkan konflik yang tajam yang mungkin dapat merugikan performa perusahaan secara keseluruhan.
1.2.
Rumusan Masalah Berkenaan dengan uraian pada latar belakang di atas, peneliti mengidentifikasikan masalah yang akan diteliti sebagai berikut : Adakah Hubungan antara Latar Belakang Budaya dengan Keefektifan Komunikasi Di PT. Mitsui Indonesia?
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : Mengetahui apakah ada Hubungan antara Latar Belakang Budaya dengan Keefektifan Komunikasi Di PT. Mitsui Indonesia.
1.4.
Signifikansi Penelitian Signifikansi dari penelitian ini adalah :
1.4.1.
Signifikansi Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan teori-teori komunikasi antar budaya, khususnya dalam kaitannya dengan dimensi-dimensi teori yang mengkaji masalah
14
Mrs. Diani, Sekretaris Direktur PT. Mitsui Indonesia
13
interaksi antar bangsa dengan latar belakang budaya yang berbeda, terutama
dalam
penerapannya
terhadap
perusahan-perusahan
multinasional. Selain itu juga dapat memberikan gambaran yang berbeda berkenaan dengan penerapan terhadap teori dan konsep komunikasi antar budaya yang banyak dikembangkan di berbagai negara.
1.4.2.
Signifikansi Praktis Selain memberikan manfaat akademis, penelitian ini diharapkan juga memiliki sumbangan praktis terutama memperkaya hasil-hasil penelitian dalam rangka mengidentifikasi hambatan-hambatan bagi berlangsungnya
proses
pembauran
dan
menghindari
terjadinya
kesalahpahaman antar karyawan yang berbeda latar belakang budaya pada suatu perusahaan multinasional seperti PT. Mitsui Indonesia.
BAB II KERANGKA TEORI
2.1.
Komunikasi Komunikasi dapat dipandang sebagai suatu proses pribadi yang meliputi pengalihan informasi dan input perilaku. Komunikasi adalah sesuatu yang
orang kerjakan; tanpa adanya tindakan tak akan ada
komunikasi. Komunikasi sangat erat kaitannya dengan hubungan antar pribadi. Ia dapat menjadi sangat rumit atau sangat sederhana; sangat formal atau sangat informal. Tergantung pada sifat pesan yang disampaikan, dan pada hubungan antara pengirim dan penerima. Sebuah definisi yang dibuat oleh kelompok sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi antar manusia (human communication) bahwa: Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan (1) membangun hubungan antar manusia (2) melalui pertukaran informasi (3) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain (4) serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu. 15
Everett M. Rogers seorang pakar sosiologi pedesaan Amerika yang telah banyak memberi perhatian pada studi riset komunikasi, khususnya dalam hal penyebaran inovasi membuat definisi bahwa : Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.16
15
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, PT Raja Grafindo Persada , Jakarta, 2000, 18-19 Ibid
16
14
15
Definisi ini kemudian dikembangkan oleh Rogers bersama D. Lawrence Kincaid sehingga melahirkan suatu definisi baru yang menyatakan bahwa : Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.17
Rogers mencoba mengspesifikasi hakikat suatu hubungan dengan adanya suatu pertukaran informasi (pesan), dimana ia menginginkan adanya perubahan sikap dan tingkah laku serta kebersamaan dalam menciptakan saling pengertian dari orang-orang yang ikut serta dalam suatu proses komunikasi. Definisi-definisi yang dikemukakan di atas tentunya belum mewakili semua definisi komunikasi yang telah dibuat oleh banyak pakar, namun sedikit banyaknya kita telah dapat memperoleh gambaran seperti apa yang diungkapkan oleh Shannon dan Weaver bahwa komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak disengaja. Tidak terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni dan teknologi.18
2.2.
Komunikasi Organisasi Komunikasi organisasi merupakan bagian yang penting dalam proses organisasi yang selalu berkaitan dengan jaringan sebagai cara mengorganisir. Jaringan merupakan struktur sosial yang diciptakan oleh
17 18
Ibid, 20 Ibid, 20
16
komunikasi antar pribadi dan kelompok. Jaringan komunikasi juga merupakan budaya, dan saluran dimana pengaruh dan kekuasaan disalurkan melalui manajemen baik dengan cara yang formal maupun informal diantara anggota organisasi. 19 Pandangan ini menyatakan bahwa komunikasi organisasi adalah menerima dan menginterpretasikan pesan antara anggota organisasi sebagai unit komunikasi yang merupakan bagian dari organisasi. Organisasi terdiri dari unit komunikasi yang berhubungan satu sama lain secara hierarkis & berfungsi dalam lingkungannya. Disini komunikasi organisasi mencakup informasi yang disalurkan secara formal dari atasan kepada bawahan (Downward Communication), dari bawahan kepada atasan (Upward Communication). 20 Ditambah pula oleh G. Goldhaber bahwa komunikasi organisasi adalah suatu proses penciptaan dan pertukaran pesan dalam suatu jaringan hubungan-hubungan yang saling tergantung (terkait) untuk mengatasi lingkungan yang tidak menentu, seperti yang dikemukakan oleh G. Goldhaber dalam bukunya “Organizational Communication “. “Organizational Communication is the process of Creating and Exchanging messages within a network of Interdependent relationship to cope with environmental Uncertainly”21
Organisasi
sebagai
wadah
interaksi
yang
mensyaratkan
komunikasi dapat diartikan sebagai suatu bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih dalam mencapai satu tujuan yang ingin dicapai bersama.
19
Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2005, Hal. 71 R. Wayne. Pace & Don F. Faules, Komunikasi Organisasi,PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001, 183-184 21 Ibid, 67 20
17
Peranan komunikasi didalam suatu organisasi sangat mutlak. Goldhaber mengumpamakan komunikasi merupakan darah yang menghidupkan organisasi, perekat yang menyatukan anggota organisasi dan anyaman penghubung semua sistem dalam organisasi.22 Dalam komunikasi organisasi, Goldhaber, mengatakan ada 7 (tujuh) komponen dasar,
yaitu; proses, pesan, jaringan kerja,
ketergantungan, hubungan, lingkungan dan ketidakpastian.23
Proses (Process) Organisasi merupakan sistem yang terbuka, yang dinamis, yang menciptakan dan mempertemukan pesan-pesan diantara anggota dan lingkungan. Dikatakan suatu proses sebab mulai dari penciptaan dan pertukaran pesan-pesan terus berkembang,
selalu berubah dan
berlangsung terus menerus. Proses
komunikasi
mencakup
komunikasi
formal
dan
komunikasi informal. Komunikasi formal adalah komunikasi yang terjadi dalam saluran – saluran komunikasi yang sudah ditentukan. Saluran – saluran komunikasi yang sudah ditentukan (resmi) ini dapat merupakan jaringan komunikasi ke bawah keatas dan lateral. Sebaiknya komunikasi informal terjadi di luar saluran informasi resmi. Komunikasi informal ini menggunakan media interaksi tatap muka dan kadangkadang melalui telepon. Komunikasi informal kadang-kadang disebut sebagai “Grapevine”.
22 23
Goldhaber, Gerald M., Organizational Communication. 6th Edition. MC. Graw Hill, USA, 1993. Muhammad, Op. Cit., 68-74
18
Pesan (message) Pesan terdiri dari satu atau lebih simbol yang kita terima dan simbol tadi kita beri makna. Penciptaan makna adalah merubah simbol menjadi pesan, seperti manusia, objek & peristiwa yang sebelumnya digeneralisirkan lewat interaksi individu-individu. Aliran informasi dalam suatu organisasi sebenarnya adalah suatu proses dinamis. Dalam proses inilah pesan-pesan secara tetap dan berkesinambungan diciptakan, ditampilkan, dan diinterprestasikan. Aliran pesan dalam organisasi menurut Redding merupakan tugas individu, sebagai pemelihara komunikasi dan hubungan antar manusia.
Jaringan Kerja (Network) Dalam organisasi terdapat jaringan komunikasi (communication network) yang merupakan sistem pemrosesan informasi yang meliputi pusat-pusat pembuatan keputusan yang saling terkait melalui saluran – saluran komunikasi. Jaringan komunikasi dalam organisasi pada dasarnya merupakan jaringan yang menggambarkan siapa yang diperbolehkan berbicara dengan siapa, sangat tergantung pada struktur organisasi yang bersangkutan. Banyak faktor yang mempengaruhi sifat dan ruang lingkup jaringan seperti, aliran pesan, sifat dan isi pesan serta peranan hubungan. Goldhaber membagi jaringan kerja menjadi 3 (tiga) yaitu: komunikasi kebawah; komunikasi keatas; komunikasi horizontal.
19
a. Komunikasi Ke Bawah Komunikasi kebawah (downward communication), menunjuk pada pesan yang mengalir dari atasan ke bawahan. Komunikasi ini biasanya bertujuan atas pemeliharaan pesan yang berhubungan dengan perintah, disiplin, pertanyaan dan penjelasan tujuan organisasi, b. Komunikasi Ke Atas Komunikasi keatas (Upward communication), komunikasi ke atas menunjuk pada pesan yang mengalir dari bawahan ke atasan, berupa mengajukan pertanyaan, umpan balik dan memberikan saran. c. Komunikasi Horizontal Komunikasi
horizontal
(horizontal
communication),
komunikasi horizontal menunjuk pada pertukaran pesan diantara orang-orang yang mempunyai kedudukan sama. Biasanya pesan ini berhubungan dengan pemecahan masalah, desas desus (rumor).
Ketergantungan (Interdependence) Sifat dari suatu hubungan adalah adanya saling ketergantungan satu dengan yang lainnya (interdependence) atau saling mengunci (interlocking). Hal ini disebabkan adanya sub sistem dalam suatu sistem yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh yang lainnya. Ini berarti bahwa suatu perubahan di dalam satu bagian dari sistem akan mempengaruhi seluruh bagian dari sistem tersebut.
20
Hubungan (Relationship) Golhaber mengatakan bahwa salah satu cara untuk melihat berbagai hubungan di dalam organisasi adalah dengan menguji tingkat kesatuan individu dan sistem yang sederhana seperti dyad sampai pada sistem yang kompleks yaitu organisasi secara keseluruhan. Ada 4 (empat) hubungan tatap muka sesuai dengan jumlah orang yang
terlibat yaitu : dyadic communication, serial communication,
small group communication, audience communication.
Lingkungan (environmental) Organisasi
diidefinisikan
sebagai
sistem
terbuka
karena
organisasi berinteraksi dengan lingkungan luar seperti teknologi, ekonomi, & faktor-faktor sosial. Karena lingkungan selalu berubah maka informasi selalu dibutuhkan. Organisasi harus menanggulangi perubahan lingkungan dengan penciptaan & pertukaran pesan-pesan baik di dalam maupun di luar organisasi. Lingkungan dapat dibedakan kedalam komponen- komponen internal dan eksternal. Komponen internal terdiri dari personil, fungsi dan staf, tujuan organisasi, produk atau jasa dan integrasi. Komponen eksternal menunjuk pada pelanggan supplier, teknologi dan sebagainya.
Ketidakpastian (uncertainly) Ketidakpastian perbedaan antara ketersediaan informasi dan kebutuhan informasi. Contoh tentang Peraturan Pemerintah yang baru
21
akan mempengaruhi tingkat produksi. Jika anggota organisasi tidak mempunyai informasi yang mereka butuhkan, mereka menjadi tidak pasti
dan
mungkin
hasil
produknya
tidak
memenuhi
syarat.
Ketidakpastian dapat juga terjadi bila anggota suatu organisasi menerima terlalu banyak informasi. Dengan perkataan lain komunikasi organisasi mampu menentukan secara tepat seberapa banyak informasi yang dibutuhkn untuk mengurangi ketidakpastian mereka tanpa terjadi overload. Jadi setiap aktivitas yang terjadi dalam organisasi merupakan interaksi antar anggota organisasi yang tidak terlepas dari kegiatan komunikasi. Komunikasi membuat organisasi menjadi hidup dan berkembang secara dinamis. Tanpa adanya komunikasi, kehidupan organisasi akan terhenti.
2.3.
Human Relations Di negara-negara yang sudah maju human relations semakin mendapat perhatian para manajer dalam oraganisasi manapun, karena semakin dirasakan pentingnya dalam rangka memecahkan berbagai masalah yang menyangkut faktor manusia dalam manajemen. Benturan-benturan
psikologis
dan
konflik-konflik
antara
kepentingan pribadi dengan kepentingan organisasi sering terjadi, bukan saja antara manajer dengan karyawan, tetapi juga antara karyawan dengan karyawan, yang benar-benar mengganggu jalannya roda organisasi dalam mencapai tujuannya.
22
Human relations juga dirasakan pentingnya oleh para manajer untuk menghilangkan “luka-luka” akibat salah komunikasi (miscommunication) dan salah interpretasi (mis-interpretation). Menurut Onong Uchjana Effendy, human relations dalam arti luas adalah : “komunikasi persuasif yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain secara tatap muka dalam segala situasi dan dalam semua bidang kehidupan, sehingga menimbulkan kebahagiaan dan kepuasan hati pada kedua belah pihak”.24
Sedangkan human relation dalam arti sempit adalah : “komunikasi persuasif yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain secara tatap muka dalam situasi kerja (work situation) dan dalam organisasi kekaryaan (work organization) dengan tujuan untuk menggugah kegairahan dan kegiatan bekerja dengan semangat kerjasama yang produktif dengan perasaan bahagia dan puas hati”.25
Human relations dapat menghilangkan rintangan-rintangan komunikasi, mencegah salah pengertian dan mengembangkan segi konstruktif sifat tabiat manusia. Demikian yang diungkapkan oleh Norman R.F. Maier. 26 Jadi human relations dalam organisasi kekaryaan adalah komunikasi persuasif antara orang-orang yang berada dalam struktur formal untuk mencapai suatu tujuan. Kunci aktivitas human relations adalah motivasi (motivation)
Faktor manusia dalam human relations Titik sentral human relations adalah manusia. Dan titik sentral human relations dalam organisasi kekaryaan adalah karyawan. Manusia 24
Onong Uchjana Effendy, Human Relations, CV. Mandar Maju,1993, 48-49 Ibid., 50 26 Norman R.F. Maier, Principles of Human Relations, John Wiley & Sons, Inc., New York, 1963
25
23
karyawan
ini
harus
ditinjau
dari
segi
manusiawinya.
Untuk
mempraktekkan human relations, seorang pemimpin perlu sedikit banyak mempelajari sifat tabeat manusia karyawannya. Ada dua faktor yang menentukan sifat tabeat manusia yakni pembawaan sejak ia dilahirkan (heredity) dan lingkungan hidupnya (environment). Yang menjadi dasar dari watak sifat tabeat seseorang ialah sifatsifat yang dimilikinya sejak ia dilahirkan yang merupakan warisan dari orang tua dan nenek moyangnya. Sifat-sifat tersebut kemudian dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia hidup. Lingkungannya akan menentukan apakah sifat-sifat yang dibawa sejak lahir tersebut akan berkembang
atau
bertahan.
Interaksi
dengan
orang-orang
di
lingkungannya akan berpengaruh terhadap sifat-sifat yang sudah ada. Hubungan antara bahasan human relations dengan penelitian ini adalah dalam gejala organisasi di dalamnya terdapat proses hubungan manusiawi dalam hal ini hubungan perbedaan latar belakang budaya dengan tingkat efektivitas berkomunikasi orang-orang tersebut di kantor.
2.4.
Komunikasi Antar Budaya Komunikasi antarbudaya pada dasarnya merupakan komunikasi yang terjadi di antara orang-orang atau kelompok-kelompok orang yang berbeda latar belakang kebudayaannya. Sebagai asumsi dasar adalah bahwa diantara individu-individu dengan kebudayaan yang sama umumnya terdapat kesamaan (homogenitas) yang lebih besar dalam hal latar belakang pengalaman secara keseluruhan dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kebudayaan yang berlainan. Perbedaan-
24
perbedaan kebudayaan antara para pelaku komunikasi serta perbedaanperbedaan lainnya, seperti kepribadian individu, umur, penampilan fisik, menjadi permasalahan yang inheren dalam proses komunikasi manusia. Ada tiga faktor yang mendorong perkembangan studi komunikasi antarbudaya. Ketiga faktor tersebut adalah kesadaran internasional, kesadaran domestik, dan kesadaran pribadi. Untuk mendapatkan kejelasan tentang berbagai konseptualisasi tentang kebudayaan dalam konteks komunikasi antarbudaya, terdapat 3 (tiga) dimensi yang perlu diperhatikan. Ketiga dimensi tersebut adalah:27 (1) tingkat masyarakat kelompok budaya dari para pelaku komunikasi, (2) konteks sosial tempat terjadinya komunikasi antar budaya, dan (3) saluran komunikasi yang dipergunakan. Berbicara mengenai komunikasi antarbudaya, berikut adalah beberapa defenisi yang dikutip oleh Ilya Sunarwinadi berdasarkan pendapat para ahli antara lain:28 a. Sitaram (1970) : Seni untuk memahami dan saling pengertian antara khalayak yang berbeda kebudayaan (intercultural communication… the art of understanding and being understood by the audience of mother culture). b. Samovar dan Porter (1972) : Komunikasi antarbudaya terjadi manakala bagian yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa serta latar belakang budaya pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai yang dianut oleh kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan, dan nilai. (Intercultural communication obtains whenever the parties to a communications act to bring with them different experiential backgrounds that reflect a long-standing deposit of group experience, knowledge, and values).
27
Dra. Lusiana Andriani Lubis, MA., Komunikasi Antar Budaya, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi, USU, 2002, 3 28 Ilya Sunarwinadi., Komunikasi Antar Budaya, Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial. Universitas Indonesia. Jakarta.
25
c. Rich (1974) : Komunikasi antarbudaya terjadi ketika orang-orang yang berbeda kebudayaan. (communication is intercultural when accuring between peoples of different cultures). d. Stewart (1974) : Komunikasi antarabudaya yang mana terjadi dibawah suatu kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa, normanorma, adat istiadat dan kebiasaan (interculture communications which accurs under conditions of cultural difference-language, cunstoms, and habits). e. Sitaram dan Cogdell (1976) : Komunikasi antar budaya …interaksi antara para anggota kebudayaan yang berbeda (intercultural communications …….interaction between members of differing cultures). f. Carley H.Dood (1982) : Komunikasi antarbudaya adalah pengiriman dan penerimaan pesan-pesan dalam konteks perbedaan kebudayaan yang menghasilkan efek-efek yang berbeda. (intercultural communication is the sending and receiving of message within a context of cultural differences producing differential effects) . g. Young Yun Kim (1984) : Komunikasi antarbudaya adalah suatu peristiwa yang merujuk dimana orang – orang yang terlibat di dalamnya baik secara langsung maupun tak tidak langsung memiliki latar belakang budaya yang berbeda. (Intercultural communication…refers ti the communications phenomenon in which participant, different in cultural background, come into direct or indirect contact which ane another). Sedangkan menurut Gudykunst, komunikasi antar budaya adalah pertukaran, proses simbolik yang melibatkan atribut makna antara organisasi yang berbeda budaya. 29 Komunikasi antarbudaya menunjuk pada suatu fenomena komunikasi dimana para pesertanya masing-masing memiliki latar belakang budaya yang berbeda terlibat dalam suatu kontak antar satu dengan yang lainnya, baik secara langsung atau tidak langsung.
29
Gudykunst, William B & Kim, Young Yun.Communicating with Strangers: An approach to an Intercultural Communiaction, McGraw Ill, New York, 1997,19
26
Menurut Gerald Maletszke, komunikasi antarbudaya adalah proses pertukaran pikiran dan makna diantara orang-orang yang berbeda kebudayaannya.30 Dari semua definisi tersebut di atas, nampak jelas penekanannya pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi. Tampaknya para ahli tersebut selalu mengaitkan antara konsep komunikasi dan kebudayaan sebagai dua konsep yang dibutuhkan dalam mengkaji komunikasi antarbudaya. Seperti
dikemukakan
oleh
Samovar
bahwa
kebudayaan
lebih
menentukan terhadap komunikasi karena selain menentukan siapa berbicara dengan siapa, tentang apa dalam keadaan apa, dan bagaimana komunikasi
berlangsung,
pemahaman
orang
juga
tentang
turut
informasi.
menentukan Singkatnya,
pemahamankebudayaan
merupakan dasar dari komunikasi. Sehingga dapat dilihat bahwa ada hubungan yang timbal balik antara kebudayaan dan komunikasi.
2.5.
Latar Belakang Budaya Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh yang berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hierarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, obyek-obyek materi
30
S. Djuarsa Sendjaja, Teori Komunikasi, Universitas Terbuka , Jakarta, 2005, 277
27
dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.31 Menurut Porter dan Samovar (1993), “budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh dan merupakan cara manusia hidup, karena budaya berkenaan dengan pengetahuan, kepercayaan, nilai, sikap, makna, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objekobjek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi sehingga membentuk suatu pola atau pandangan hidup. Oleh karena itu, budaya turut mempengaruhi perilaku komunikatif”.32 Artinya, perbedaan budaya antara satu individu dengan individu lainnya atau antara kelompok dengan kelompok lainnya akan menghasilkan tingkah laku komunikasi yang berbeda pula, sesuai dengan lingkungan budaya yang mengasuhnya. Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor, memberikan definisi mengenai kebudayaan yaitu “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, lain kemampuan-kkemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Antropolog ini menyatakan bahwa kebudayaan mencakup semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak (Soekanto, 1996:189)33
31
Sendjaja, op. cit., 18 Alex H. Rumondor, dkk., Komunikasi Antar-Budaya, Universitas Terbuka, Depdikbud, Jakarta1995, 124-125 33 Lubis, op. cit., 2
32
28
Dalam perbedaan latar belakang budaya ada beberapa hal yang terjadi, yaitu terjadi hubungan-hubungan komunikasi dan kebudayaan yang
bersifat
penyesuaian (reciprocal).
ketergantungan
(adaptation) 34
dan
(interdependency),
keterkaitan,
hubungan-hubungan
timbal-balik
Hubungan timbal balik antara komunikasi dan
kebudayaan dalam kehidupan interaksi dan sosialisasi masyarakat, budaya dan perilakunya hanya dapat dipahami dengan memahami benar konsep-konsep komunikasi dan konsep-konsep kebudayaan. Keduanya saling tidak terpisahkan, saling mempengaruhi, saling ketergantungan dan saling melengkapi, serta dalam hubungan timbal balik, termasuk perilaku komunikasinya. Budaya mempengaruhi proses persepsi sedemikian rupa sehingga kita memiliki tatanan-tatanan perseptual yang bergantung pada budaya. Tatanan perseptual ini tidak saja mempengaruhi stimuli mana yang mencapai kesadaran kita, tetapi lebih penting lagi mempengaruhi penilaian kita terhadap stimuli – pemberian makna kepada stimuli. Perbedaan latar belakang budaya merupakan perbedaan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur sosio-budaya yang sangat mempengaruhi penciptaan makna
yang selanjutnya
menentukan
tingkah
laku
komunikasi. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Untuk menyederhanakan dan membatasinya seperti yang dikemukakan oleh Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat maka diambil beberapa unsur yang berhubungan dengan persepsi, proses verbal, dan proses nonverbal. 34
Rumondor, op.cit., 35.
29
2.5.1.
Pengertian Persepsi Persepsi adalah hal yang ada dalam benak seseorang akan sesuatu. Persepsi secara sederhana merupakan hasil atau proses berpikir seorang atas sesuatu. Seperti yang diungkapkan oleh Djuarsa persepsi merupakan proses internal yang dilalui individu dalam menyeleksi, mengevaluasi, dan mengatur stimuli yang datang dari luar.35 Samovar dan Porter mendefinisikan persepsi sebagai proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi, dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Dengan kata lain, persepsi adalah cara kita merubah energi-energi fisik lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna. 36 Secara
umum
dipercaya
bahwa
orang-orang
berperilaku
sedemikian rupa sebagai hasil dari cara mereka mempersepsi dunia yang sedemikian rupa pula. Peilaku-perilaku ini dipelajari sebagai bagian dari pengalaman budaya mereka. Seseorang yang melakukan komunikasi atau seorang komunikator melakukan persepsi berdasarkan latar belakang
pengalaman
pribadi
maupun
kebudayaannya.
Furuta
mengungkapkan bahwa diantara bermacam stimuli atau informasi, tidak semuanya tertangkap kemudian diolah menjadi bahan informasi. Disini kelihatan terjadi suatu persepsi yang selektif. Tetapi, rangsangan atau informasi mana yang ditampung dan mana yang luput dari perhatian ditentukan oleh suatu ukuran seleksi yang dipengaruhi oleh tatanan
35
Sendjaja, op. cit., 7.39 Samovar, Larry A & Porter, Richard E. & Jain, Nemi C., Understanding Intercultural Communication, Belmont: Wadsworth Publishing Company, 1981. 37 36
30
nilai-nilai, keyakinan maupun kesukaan perorangan yang bersangkutan. 37
Selanjutnya, Furuta menambahkan, sasaran pesepsi dapat dibagibagi ke dalam dua golongan, yaitu figure atau wajah dan ground atau latar belakang. Dalam melakukan persepsi yang menjadi sasaran perhatian adalah figure, sedangkan ground untuk sementara luput dari perhatian. Manusia tidak bisa menangkap persepsi dalam waktu yang bersamaan. Tetapi ground biasanya muncul lebih belakang. Persepsi disini menjadi sangat penting, karena merupakan kesan dari seseorang untuk menangkap proses komunikasi. Artinya seorang komunikator juga harus mempertimbangkan komunikan, apakah komunikasi yang dilakukan dapat ditangkap atau dipersepsikan dengan baik oleh komunikan, sesuai dengan harapan komunikator. Karena kebudayaan memberikan identitas pada sekelompok manusia, maka muncul satu persoalan yakni, bagaimana cara kita mengidentifikasikan aspek-aspek atau unsur-unsur kebudayaan yang membedakan satu kelompok masyarakat budaya dari kelompok masyarakat budaya lainnya. Selama bertahun-tahun, para ahli masalah kebudayaan telah mencoba untuk mengindentifikasi dan membuat kategori-kategori atas aspek-aspek budaya yang berlaku universal pada semua kebudayaan. Samovar (1981: 38 – 46) membagi berbagai aspek kebudayaan kedalam tiga pembagian besar unsur-unsur sosial budaya yang secara langsung sangat mempengaruhi penciptaan makna untuk persepsi, yang 37
Furuta, Gyo (terj H. Soeparno) Komunikasi AntarBudaya: Sebuah Perbandingan: Sebuah Perbandingan antara Jepang-Amerika, Jakarta: CV Antakarya 1994. 101
31 selanjutnya menentukan tingkah laku komunikasi.38 Pengaruh-pengaruh terhadap komunikasi ini sangat beragam dan mencakup semua segi kegiatan sosial manusia. Dalam proses komunikasi antarbudaya unsurunsur yang sangat menentukan ini bekerja dan berfungsi secara terpadu bersama-sama seperti komponen dari suatu system stereo, karena masing-masing saling berkaitan dan membutuhkan. penelaahan,
unsur-unsur
tersebut
dipisah-pisahkan
Tetapi dalam agar
dapat
diidentifikasi dan ditinjau secara satu persatu. Unsur-unsur budaya tersebut adalah:39 1) Sistem kepercayaan, nilai dan sikap 2) Pandangan hidup tentang dunia 3) Organisasi sosial Pengaruh ketiga unsur kebudayaan tersebut pada makna untuk persepsi terutama pada aspek individual dan subjektifnya.40 Kita semua mungkin akan melihat suatu objek atau peristiwa sosial yang sama dan memberikan makna objektif yang sama, tetapi makna individualnya tidak mustahil akan sangat berbeda. Misalnya seorang Amerika dan seorang Arab akan sepakat menyatakan sesorang adalah wanita berdasarkan wujud fisiknya. Artinya makna objektifnya tidak berbeda. Tetapi kemungkinan besar keduanya akan berbeda pendapat tentang bagaimana wanita itu dalam makna sosialnya. Misalnya, orang Amerika memandang wanita sama seperti pria, dalam arti punya kesempatan dan derajat yang sama dalam pekerjaan, dalam rumah tangga. Sementara
38
Samovar, op. cit., 38 Sendjaja, op. cit.,7.26 40 Deddy Mulyana & Jalaluddin Rakhmat, op.cit. 26 39
32
orang Arab, mungkin cenderung menekankan pada peranan wanita sebagai ibu rumah tangga. Uraian yang lebih rinci mengenai pengaruh dari masing-masing unsur budaya terhadap persepsi adalah sebagai berikut. 1) Sistem Kepercayaan, Nilai dan Sikap Sistem Kepercayaan (belief) Kepercayaan dapat bersifat sentral-Tuhan itu ada, agama itu perlu. Salah satu unsur kepercayaan yang sangat penting dalam komunikasi
antarbudaya
adalah
citra
(image)
kita
dengan
komunikasi dari budaya yang lain. Prasangka dan stereotip adalah contoh-contohnya. Seperti halnya keyakinan yang dimiliki oleh orang Jepang bahwa, “doojoo wa shinseina basho da” (道場は神聖 な場所だ), yang artinya bahwa kantor merupakan tempat yang suci, sebagaimana candi, kuil, ataupun tempat berlatih olahraga Kendo. Sehingga sebagaimana layaknya berada di tempat suci, maka tidak seharusnya kita bergurau dengan rekan lain, menyentuh lawan jenisnya, atau melakukan perbuatan lainnya yang tidak seharusnya dilakukan di tempat suci.41 Sistem keyakinan secara umum diartikan sebagai perkiraan secara
subjektif
bahwa
sesuatu
objek
atau
peristiwa
ada
hubungannya dengan objek atau peristiwa lain, atau dengan nilai, konsep, atribut tertentu. Singkatnya, suatu objek atau peristiwa
41
Saronto, Budi. Gaya Manajemen Jepang. Jakarta: PT. Hecca Mitra Utama, 2005.
33
diyakini memiliki karakteristik-karakteristik tertentu. Keyakinan ini mempunyai derajat kedalaman atau intensitas tertentu. Ada tiga macam keyakinan, yaitu: (1) keyakinan berdasarkan pengalaman (experiential), (2) keyakinan berdasarkan informasi (informational), (3) keyakinan berdasarkan penarikan kesimpulan (inferential). 42 Keyakinan berdasarkan pengalaman (experential), adalah
keyakinan
yang terbentuk
secara
langsung melalui
pancaindera. Kita belajar untuk mengetahui dan kemudian meyakini bahwa objek atau peristiwa tertentu mempunyai karakteristik tertentu. Di luar batas lingkungan yang telah ditentukan oleh kebudayaan,
keyakinan
itu
sedikit
sekali
kemungkinannya
dipengaruhi oleh faktor kebudayaan. Misalnya orang Eskimo pada umumnya tidak dapat diharapkan akan
membentuk keyakinan
berdasarkan pengalamannya dengan onta, karena binatang ini tidak ada
di
lingkungannya.
Kebudayaan
sebaliknya
sangat
mempengaruhi pembentukan keyakinan berdasarkan informasi dan pengambilan keputusan. Keyakinan berdasarkan informasi (informational) adalah keyakinan yang dibentuk melalui sumber-sumber informasi dari luar (external) seperti orang-orang lain, buku, majalah, televisi, film. Sumber-sumber inipun biasanya kita pilih karena keyakinan kita akan kebenarannya. Keyakinan seperti ini sangat dipengaruhi oleh berbagai ragam faktor kebudayaan. Seringkali pembentukannya tergantung pada tingkat keyakinan yang lebih tinggi, yaitu 42
Sendjaja, op. cit., 7.29
34
keyakinan akan otoritas (kewenangan) seseorang atau lembaga atas topik-topik atau masalah-masalah tertentu. Misalnya jika kita percaya bahwa surat kabar Kompas merupakan sumber pemberitaan yang bersifat netral, maka kita yakin dan percaya akan kebenaran isi beritanya. Latar belakang dan pengalaman kebudayaan berperan penting dalam pembentukan berdasarkan informasi ini. Dalam Komunikasi Antar Budaya, tidak dapat dikatakan keyakinan mana yang salah dan keyakinan mana yang benar. Sistem kepercayaan agama seseorang agak bergantung pada tingkat perkembangan kemanusiaan mereka. Banyak orang yang sudah mengenal teknologi maju tampaknya semakin menjauhi agama, mengganti kepercayaan pada agama-agama tradisional dengan kepercayaan pada ilmu pengetahuan. Keyakinan berdasarkan penarikan kesimpulan (inferential) melibatkan penggunaan sistem logika intern. Pembentukan dimulai dengan pengamatan terhadap suatu tingkah laku atau peristiwa, kemudian perkiraan bahwa tingkah laku tersebut digerakkan atau disebabkan oleh suatu perasaan atau emosi tertentu. Misalnya kalau kita melihat orang berteriak-teriak mengeluarkan kata-kata tidak sopan, maka kita tidak dapat mengasumsikan atau meyakini bahwa dia sedang marah. Sistem logika intern berbeda antara satu individu dengan individu lain, tetapi perbedaan biasanya lebih besar antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain. Perbedaan antara system logika ini pada pokoknya disebabkan oleh penekanan-penekanan
35
yang berlainan dalam hal intuisi rasionalisme, dan metode empiriknya. Nilai (Value) Nilai atau nilai-nilai merupakan aspek evaluatif dari sistem keyakinan, nilai, dan sikap. Dimensi-dimensi evaluatif mencakup kualitas-kualitas seperti kegunaan, kebaikan, estetika, kemampuan memuaskan kebutuhan dan pemberian kepuasan. Walaupun nilainilai bisa bersifat unik dan individual, tetapi ada pula yang sudah cenderung merasuk dalam suatu kebudayaan, yakni yang disebut nilai-nilai kebudayaan. Nilai-nilai kebudayaan biasanya berasal dari falsafah dasar secara keseluruhan dari suatu kebudayaan. Nilai-nilai ini umumnya bersifat normative, karena memberikan informasi kepada anggota kebudayaan tentang apa yang baik dan buruk, yang benar dan salah, yang positif dan negatif, apa yang perlu diperjuangkan dan dilindungi, apa yang perlu ditekuni dan lain-lain. Nilai-nilai ini dipelajari dan tidak universal, dalam arti berbeda antara kebudayaan yang satu dengan yang lain. Contohnya nilai terhadap keleluasan pribadi. Di negara-negara Asia seperti Jepang dan Cina, nilai terhadap privacy (hal yang bersifat pribadi) tinggi, sementara keterbukaan tidak dianjurkan bahkan dianggap sebagai tanda
kelemahan.
Sebaliknya
di Israel atau
Itali,
ketertutupan diri dipandang perlu dihindari atau dijauhkan. Berdasarkan sistem nilainya itu, suatu budaya menetapkan norma-norma perilaku bagi masyarakat yang bersangkutan. Aturan-
36
aturan keanggotaan ini bisa berkenaan dengan berbagai hal, mulai dari etika kerja atau kesenangan hingga kepatuhan mutlak. Beberapa dimensi nilai yang sering diperhatikan dalam Komunikasi Antar Budaya ialah: orientasi individu-kelompok, umur, persamaan hak laki perempuan, formalitas, rendah tinggi hati dan lain-lain. Sistem Sikap (Attitude) Kepercayaan atau keyakinan serta nilai-nilai melandasi perkembangan dan isi dari sistem sikap. Secara formal, sikap dirumuskan
sebagai
kecenderungan
yang
dipelajari
untuk
memberikan respons (tanggapan) secara konsisten terhadap objek orientasi tertentu. Menurut Sendjaja sikap terdiri dari tiga komponen, yaitu: (1) komponen kognisi atau keyakinan, (2) komponen evaluasi, dan (3) komponen intensitas atau harapan. 43 Intesitas dari sikap berlandaskan pada derajat penyaluran akan kebenaran dari sikap keyakinan dan evaluasi. Ketiga
komponen sikap
tersebut berinteraksi untuk
menciptakan keadaan siap secara psikologis dalam bereaksi terhadap objek-objek dan peristiwa-peristiwa tertentu dalam lingkungan. Jadi misalnya, apabila kita percaya bahwa menyiksa orang lain secara fisik adalah salah, kemudian kita yakin bahwa bertinju merupakan bentuk penyiksaan fisik, maka kita cenderung akan mempunyai sikap negatif terhadap olahraga tinju. Sikap ini terwujud dalam
43
Sedjaja, op.cit., 7.28
37
perilaku-perilaku seperti tidak mau menonton pertandingan tinju, menentang olahraga tinju dan lain-lain. Sikap dipelajari atau dibentuk dalam konteks budaya. Sikap ini kemudian mempengaruhi kesiapan untuk memberi respons dan tingkah laku.
2) Pandangan hidup tentang dunia (World View) Unsur kebudayaan mengenai pandangan hidup tentang dunia ini, walaupun sebagai konsep dan deskripsi bersifat abstrak, merupakan salah satu yang terpenting dari aspek-aspek perseptual komunikasi antarbudaya karena sifatnya yang kompleks, kadangkadang sulit untuk memisahkan dan mengidentifikasikannya dalam suatu peristiwa antarbudaya. Pandangan hidup merupakan orientasi suatu kebudayaan terhadap hal-hal seperti manusia, alam semesta dan filsafat-filsafat
lainnya
yang berkaitan
dengan
konsep
keberadaan (being). Singkatnya, pandangan hidup membantu kita untuk menentukan tempat dan tingkat kita sendiri dalam alam semesta ini. Pandangan hidup merupakan landasan pokok yang paling mendalam dari suatu kebudayaan. Efeknya seringkali sangat tersamar sehingga tidak dapat terlihat secara nyata misalnya cara berpakaian, gerak, isyarat dan perbendaharaan kata. Perbedaan mengenai cara pandang serta pengalaman individu masing-masing bangsa terhadap beberapa hal, antara lain: orientasi kerja dan kegiatan, konsep waktu, kompleksitas bahasa dan sebagainya dapat
38
menumbuhkan adanya penilaian yang berbeda terhadap budaya yang lain. Muncul stereotip dan prasangka yang mewarnai suatu komunikasi antarbudaya. Pandangan hidup dapat dianalogikan sebagai kerikil yang dilemparkan ke kolam. Lemparan kerikil ini kemudian akan menimbulkan gelombang-gelombang kecil yang menyebar dan beriak ke seluruh permukaan air. Dengan analogi ini, dapat dikatakan bahwa pandangan hidup juga menyebar dan beriak keseluruh permukaan air. Dengan analogi ini, dapat dikatakan bahwa pandangan hidup juga menyebar dan merasuk ke dalam keseluruhan segi atau aspek kebudayaan. Pandangan hidup mempunyai keyakinan, nilai-nilai, sikap, penggunaan waktu serta aspek-aspek lainnya dari kebudayaan. Dengan cara yang halus, samar-samar dan tidak nyata, pandangan hidup mempunyai pengaruh yang kuat terhadap komunikasi antarbudaya. Sebagai anggota dari suatu kebudayaan, pandangan hidup kita sedemikian mendalamnya merasuk ke dalam jiwa, sehingga kita tidak menyadarinya dan mengasumsikan demikian saja bahwa orang lain memandang hidup secara sama pula. Padahal setiap kebudayaan akan mempunyai pandangan hidup sendiri. Ada pandangan hidup yang melihat hubungan seimbang antara manusia dan lingkungannya. Ada pula yang menenempatkan manusia sebagai pusat dari segalanya dan terpisah dari alam, sehingga alam semesta dengan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi dipandang harus dimiliki dan dikuasai oleh manusia.
39
3) Organisasi Sosial (social organization) Cara bagaimana suatu budaya mengorganisasikan dirinya dan lembaga-lembaganya juga mempengaruhi bagaimana anggotaanggota budaya mempersepsi dunia dan bagaimana mereka berkomunikasi. Unit sosial yang dominan dalam suatu budaya menurut Deddy Mulyana & Jalaludin Rakhmat adalah keluarga dan sekolah.44 Keluarga, meskipun merupakan organisasi sosial terkecil dalam suatu budaya, mempunyai pengaruh terpenting. Keluarga memberikan banyak pengaruh budaya sejak pembentukan sikap seorang anak. Keluarga juga memberikan persetujuan, dukungan, ganjaran, dan hukuman yang mempengaruhi nilai-nilai yang anak kembangkan dan tujuan-tujuan yang
ingin dicapainya. Bila,
misalnya, anak-anak belajar observasi dan komunikasi bahwa diam itu penting atau dihargai dalam budaya mereka, seperti di Jepang, mereka akan merefleksikan aspek budaya tersebut dalam perilaku mereka dan membawanya ke dalam situasi-situasi komunikasi antarbudaya. Sekolah, dilihat dari sudut definisi dan sejarahnya, sekolah diberi tanggung jawab besar untuk mewariskan dan memelihara suatu budaya. Sekolah merupakan penyambung penting yang menghubungkan masa lalu dan juga masa depan. Sekolah memelihara budaya dengan memberi tahu anggota-anggota barunya
44
Mulyana & Rakhmat, op.cit., 29
40
apa yang telah terjadi, apa yang penting, dan apa yang harus diketahui seseorang sebagai anggota budaya. a. Organisasi sosial merupakan cara suatu kebudayaan mengatur diri dan pranata-pranatanya. Harris dan Morran mengajukan sepuluh klasifikasi umum sebagai model sedehana untuk menilai dan menganalisis suatu kebudayaan secara sistematik.
45
Kesepuluh klasifikasi tersebut adalah: (1)
Komunikasi dan bahasa
(2)
Pakaian dan penampilan
(3)
Makanan dan cara makan
(4)
Konsep dan kesadaran tentang waktu
(5)
Pemberian imbalan dan pengakuan
(6)
Hubungan-hubungan
(7)
Nilai-nilai dan norma-norma
(8)
Konsep kesadaran diri dan jarak ruang
(9)
Proses mental dan belajar
(10) Keyakinan (kepercayaan) dan sikap
2.5.2.
Proses-proses verbal Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana kita berbicara dengan orang lain namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan pengembangan makna bagi kata-kata yang kita gunakan.
45
Sendjaja, op.cit., 7.31
41
Proses-proses ini (bahasa verbal dan pola-pola berpikir) secara vital berhubungan dengan persepsi dan pemberian serta pernyataan makna. 46 Bahasa Verbal Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar, yang merupakan hasil belajar, yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu komunitas geografis atau budaya. Objek-objek, kejadian-kejadian, pengalaman-pengalaman, dan perasaan-perasaan mempunyai label atau nama tertentu semata-mata karena suatu komunitas orang, atas kehendak mereka, memutuskan untuk menamakan hal-hal tersebut demikian. Karena bahasa merupakan suatu sistem tak pasti untuk menyajikan realitas secara simbolik, maka makna kata yang digunakan tergantung pada berbagai penafsiran. Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai, dan norma. Bahasa merupakan alat bagi orang-orang untuk berinteraksi dengan orang-orang lain dan juga sebagai alat untuk berpikir. Maka, bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi dan sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan, dan turut membentuk pikiran. Pola-pola Berpikir Proses-proses mental, bentuk-bentuk penalaran, dan pendekatanpendektatan terhadap pemecahan masalah yang terdapat dalam suatu komunitas, merupakan suatu komponen penting budaya. Kita harus 46
Mulyana, Jalaluddin, op.cit., 30
42
sadar bahwa tedapat perbedaan-perbedaan budaya dalam aspek-aspek budaya.
Perbedaan-perbedaan
ini
dapat
dijelaskan
dengan
membandingkan pola-pola berpikir Barat dan pola-pola berpikir Timur. Pola-pola berpikir suatu budaya mempengaruhi bagaimana individu-individu dalam budaya itu berkomunikasi,
yang pada
gillirannya akan mempengaruhi bagaimana setiap orang merespons individu-individu dari suatu budaya lain. Kita tidak bisa mengharapkan setiap orang untuk menggunakan pola-pola berpikir yang sama, namun memahami bahwa terdapat banyak pola berpikir dan belajar menerima pola-pola tersebut akan memudahkan komunikasi antar budaya.
2.5.3.
Proses-proses Nonverbal Proses-proses verbal merupakan alat utama untuk pertukaran pikiran dan gagasan, namun proses-proses ini sering dapat diganti oleh proses-prses nonverbal. Walaupun tidak terdapat kesepakatan tentang bidang proses nonverbal ini, kebanyakan ahli setuju bahwa hal-hal berikut harus dimasukkan: isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, postur dan gerakan tubuh, sentuhan, pakaian, artefak, diam, ruang, waktu, dan suara. Dalam proses-proses nonverbal yang relevan dengan komunikasi antarbudaya, terdapat tiga aspek yang dibahas: perilaku nonverbal yang berfungsi sebagai bentuk bahasa diam, konsep waktu, dan penggunaan dan pengaturan ruang.47
47
Mulyana, Jalaluddin, op.cit., 31
43
Perilaku Nonverbal Sebagai suatu komponen budaya, ekspresi nonverbal mempunyai banyak persamaan dengan bahasa. Keduanya merupakan system penyandian yang dipelajari dan diwariskan sebagai bagian pengalaman budaya. Karena kebanyakan komunikasi nonverbal berlandaskan budaya, apa yang dilambangkannya seringkali merupakan hal yang telah budaya sebarkan kepada anggota-anggotanya. Lambang-lambang
nonverbal
ditimbulkan lambang-lambang
dan
tersebut,
respons-respons
yang
merupakan bagian dari
pengalaman budaya-apa yang diwariskan dari suatu generasi ke gernerasi lainnya. Setiap lambang memiliki makna karena orang mempunyai pengalaman lalu tentang lambang tersebut. Budaya mempengaruhi dan mengarahkan pengalaman-pengalaman itu, dan oleh karenanya budaya juga mempengaruhi dan mengarahkan kita: bagaimana kita mengirim, menerima, dan merespons lambang-lambang nonverbal tersebut. Konsep Waktu Konsep waktu suatu budaya merupakan filsafatnya tentang masa lalu, masa sekarang, masa depan, dan pentingnya atau kurang pentingnya waktu. Kebanyakan budaya Barat memandang waktu sebagai langsung dan berhubungan dengan ruang dan tempat. Kita terikat oleh waktu dan sadar akan adanya masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Sebaliknya suku Indian Hopi tidak begitu memperhatikan waktu. Mereka percaya bahwa setiap hal-apakah itu
44
manusia, tumbuhan, atau binatang-memiliki system waktunya sendirisendiri. Waktu merupakan komponen budaya yang penting. Terdapat banyak perbedaan mengenai konsep ini antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya dan perbedaan-perbedaan tersebut mempengaruhi komunikasi. Penggunaan Ruang Cara
orang
menggunakan
ruang
sebagai
bagian
dalam
komunikasi antarpersona disebut proksemika (proxemics). Proksemika tidak hanya meliputi jarak antara orang-orang yang terlibat dalam percakapan, tetapi juga orientasi fisik mereka. 48 Kita mungkin tahu bahwa orang-orang Arab dan orang-orang Amerika Latin cenderung berinteraksi lebih dekat kepada sesamanya daripada orang-orang Amerika Utara. Penting disadari bahwa orang-orang dari dari budaya yang berbeda mempunyai cara-cara yang berbeda pula dalam menjaga jarak ketika bergaul dengan sesamanya. Bila kita berbicara dengan orang yang berbeda budaya, kita harus dapat
memperkirakan
pelanggaran-pelanggaran
tersebut,
dan
meneruskan interaksi tanpa memperlihatkan permusuhaan. Mengalami perasaan-perasaan yang sulit dikontrol, menyangka bahwa orang lain tak tahu adat, agresif atau menunjukkan nafsu seks ketika berada pada jarak dengan kita, sebenarnya merupakan tindakan perwujudan hasil belajarnya tentang bagaimana menggunakan ruang, yang tentu saja dipengaruhi oleh budayanya. 48
Mulyana, Jalaluddin, op.cit., 33
45
Orientasi fisik juga dipengaruhi oleh budaya dan kita cenderung menentukan hierarki sosial dengan mengatur ruang. Cara kita mengatur ruang merupakan suatu fungsi budaya. Rumah misalnya, secara nonverbal menunjukkan kepercayaan dan nilai yang kita anut.
2.6.
Komunikasi Efektif Setiap
individu
membutuhkan
komunikasi
yang
efektif.
Komunikasi yang berhasil mendorong kita kearah kesuksesan dan kesenangan, mendorong kita untuk merubah perilaku dan sikap individu lain, dan membantu kita menjaga dan meningkatkan hubungan. Semua komunikasi adalah suatu transaksi. Melihat komunikasi sebagai transaksi terfokus pada orang-orang yang berkomunikasi dan perubahan yang menempatkan mereka sebagai orang-orang yang sedang berkomunikasi. Komunikasi menunjukkan bahwa semua partisipan terlibat secara terus-menerus dan simultan; bahwa kejadian komunikasi memiliki tahapan lampau, saat ini, dan mendatang; dan bahwa peranan yang dimainkan partisipan akan mempengaruhi komunikasi. Menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, komunikasi yang efektif
menimbulkan
5
hal,
yaitu:
pengertian,
kesenangan,
mempengaruhi sikap, hubungan social yang baik, dan tindakan.49 1) Pengertian Menurut Jalaludin Rakhmat “pengertian artinya penerimaan yang cermat dari isi stimuli seperti yang dimaksud oleh
49
Jalaluddin Rakhmat, op.cit., hal.13
46 komunikator”.50 Seringkali pertengkaran atau konflik terjadi karena pesan kita diartikan lain oleh orang yang kita ajak bicara. Kegagalan menerima isi pesan secara cermat disebut kegagalan komunikasi primer (primary breakdown in communication). Dalam praktek berkomunikasi biasanya seseorang akan menemui berbagai macam hambatan yang jika tidak dapat ditanggapi dan disikapi secara tepat akan membuat proses komunikasi yang terjadi menjadi sia-sia karena pesan tidak tersampaikan
atau
yang
sering
terjadi
adalah
terjadinya
penyimpangan. Bagaimana dan seperti apa sudut maupun cara pandang seseorang terhadap apa yang didengar, dilihat atau dimengerti sangatlah di bentuk oleh latar belakang dan pengalaman pribadi perorangan.
2) Kesenangan Tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan informasi dan membentuk pengertian. Misalnya ketika kita mengucapkan “Selamat pagi, apa kabar?” kita tidak bermaksud mencari keterangan. Komunikasi seperti ini dimaksudkan untuk menimbulkan kesenangan, yang lazim disebut komunikasi fatis (phatic communication). Komunikasi seperti ini menjadikan hubungan kita hangat, akrab, dan menyenangkan. Dalam analisis
50
Ibid., hal 14
47
transaksional, ini disebut “Saya Oke – Kamu Oke”. Ini memerlukan psikologi tentang system komunikasi interpersonal. Dimana disini kita melihat pengaruh konsep diri pada perilaku manusia; bagaimana anda memandang diri anda dan bagaimana orang lain memandang anda, akan mempengaruhi pola interaksi anda dengan orang lain. Lebih dari itu, konsep diri erat kaitannya
dengan
hubungan
interpersonal
yang
vital
bagi
perkembangan kepribadian. Konsep diri mewarnai komunikasi kita dengan orang lain.
3) Mempengaruhi sikap Kita
paling
sering
melakukan
komunikasi
untuk
mempengaruhi orang lain. Komunikasi yang disebut dengan komunikasi
persuasif.
Komunikasi
persuasif
memerlukan
pemahaman tentang faktor-faktor pada diri komunikator, dan pesan yang menimbulkan efek pada komunikate. Persuasive didefinisikan sebagai proses mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan orang dengan menggunakan manipulasi psikologis sehingga orang tersebut bertindak seperti atas kehendaknya sendiri. Seperti juga yang dikatakan Aristoteles dalam hukum retorikanya bahwa ada tiga cara untuk mempengaruhi manusia: a.
Anda tunjukkan kepada khalayak bahwa anda mempunyai pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya dan status yang terhormat (ethos). Hal ini berkaitan dengan kesan pertama
48
yang memang seharusnya meyakinkan. b. Anda harus menyentuh hati khalayak, perasaan, emosi, harapan, kebencian, dan kasih sayang (pathos). c.
Anda meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau kelihatan sebagai bukti melalui pemikirannya mendekati khalayak melalui pemikirannya (logos).
4) Hubungan sosial yang baik Komunikasi juga ditujukan untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Kebutuhan sosial adalah kebutuhan untuk menumbuhkan dan mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan orang lain dalam hal interaksi dan asosiasi, pengendalian, dan kekuasaan, serta cinta kasih. Menurut
penelitian,
bila
orang
gagal
menumbuhkan
hubungan interpersonal, maka ia akan menjadi agresif, senang berkhayal, dingin, sakit fisik dan mental, dan menderita “flight syndrome” (ingin melarikan diri dari lingkungannya).
5) Tindakan Persuasi juga ditujukan untuk melahirkan tindakan yang dikehendaki. Komunikasi untuk menimbulkan pengertian memang sulit, tetapi lebih sulit lagi mempengaruhi sikap, dan jauh lebih sulit lagi mendorong orang untuk bertindak. Efektifitas komunikasi biasanya diukur dari tindakan nyata yang dilakukan komunikate. Misalnya: Propaganda suatu parpol efektif bila sekian juta
49
mencoblos lambang parpol tersebut; pemasang iklan sukses bila orang membeli barang yang ditawarkan. Menimbulkan tindakan nyata memang indikator efektifitas yang paling penting. Karena untuk menimbulkan tindakan, kita harus berhasil lebih dahulu menanamkan pengertian, membentuk dan mengubah sikap. Tindakan adalah hasil kumulatif seluruh proses komunikasi.
2.7.
Hipotesis Teoritis Dalam penelitian ini perbedaan latar belakang budaya sebagai variabel independen (variabel bebas) dan keefektifan komunikasi sebagai variabel dependen (variabel terikat). Model kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 1: Konsep Analisis Variabel Independen
Perbedaan Latar Belakang Budaya
Variabel Dependen
Keefektifan Komunikasi
Dari konsep analisis tersebut, menghasilkan hipotesa teoritis sebagai berikut: ”Ada hubungan antara perbedaan latar belakang budaya dengan keefektifan komunikasi antara karyawan Jepang dengan karyawan Indonesia di PT. Mitsui Indonesia”
50
2.8
Kerangka Pemikiran Ilmu Komunikasi
Komunikasi Organisasi
Komunikasi Antar Budaya
Latar Belakang Budaya Deddy Mulyana & Jalalludin Rakhmat
Human Relations
Komunikasi Efektif Stewart L. Tubbs & Sylvia Moss - Pengertian - Kesenangan - Mempengaruhi sikap - Hubungan social yang baik - Tindakan Y
- tingkat masyarakat kelompok budaya dari para pelaku komunikasi - konteks social tempat terjadinya komunikasi anatar-budaya - saluran komunikasi yang dipergunakan
-
Persepsi
- Sistem kepercayaan, nilai & sikap - Pandangan dunia - Organisasi sosial
-
Proses Verbal
- bahasa verbal - pola-pola berpikir
-
Proses Non-verbal
- perilaku nonverbal - konsep waktu - penggunaan dan pengaturan ruang. X
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1.
Tipe/Sifat Penelitian Tipe penelitian dalam penelitian ini adalah kuantitatif eksplanatif. Seperti yang dikemukakan oleh Kriyantono: Penelitian Kuantitatif adalah riset yang menggambarkan atau menjelaskan suatu masalah yang dihasilkan dapat digeneralisasikan. Dengan demikian tidak terlalu mementingkan kedalaman data atau analisis. Peneliti lebih mementingkan aspek keluasan data sehingga data atau hasil riset dianggap merupakan representasi dari seluruh populasi.51
Sedangkan
menurut
Singarimbun
mengenai
penelitian
eksplanatif: Penelitian Eksplanatif adalah penelitian yang melakukan pengujian hipotesis dan menganalitis hubungan di antara variabel-variabel.52
Tujuan dari penelitian eksplanatif adalah “untuk memahami mengapa suatu variabel dapat mengakibatkan timbulnya akibat tertentu sebagaimana yang diperkirakan, disamping itu juga untuk memahami bagaimana hubungan fungsional yang sebenarnya terdapat di antara faktor-faktor yg dianggap sebagai penyebab dari efek yang diperkirakan terjadi. 53 Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui korelasi antara perbedaan latar belakang budaya dengan keefektifan komunikasi.
51
Rachmat Kriyantono, (2006), Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 57. 52 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, PT. Pustaka LP3ES, Indonesia, anngota IKAPI, 1989,5. 53 C. Thomas Kinnear & James R. Taylor, Marketing Research; An Applied Approach, Fourth Edition; USA: McGraw-Hill Inc., 1991, 14
51
52
3.2.
Metode Penelitian Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel X dan Y adalah metode survey. Penelitian survai adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok.54 Menurut Singarimbun dan Effendi, penelitian survai dapat digunakan untuk maksud: 1. Penjajagan (eksploratif), 2. Deskriptif, 3. Penjelasan (eksplanatory atau confirmatory, yakni untuk menjelaskan hubungan kausal dan pengujian hipotesa, 4. Evaluasi, 5. Prediksi atau meramalkan kejadian tertentu dimasa yang akan datang, 6. Penelitian operasional, 7. Pengembangan indikator-indikator sosial, dan 8. Penelitian penjajagan atau exploratif bersifat terbuka. 55
Dalam penelitian survai data dikumpulkan dari sampel yang dianggap dapat mewakili seluruh populasi.
3.3.
Populasi Dan Sampel
3.3.1.
Populasi Menurut Singarimbun (1989) populasi atau universe adalah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan diduga.56 Dalam suatu penelitian populasi dapat berfungsi sebagai subjek sekaligus objek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah
54
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, op. cit., 3. Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian, loc. cit., hal. 4 56 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, op. cit., 152
55
53
karyawan di PT. Mitsui Indonesia Jakarta yang berjumlah 152 orang karyawan yang terdiri dari 37 orang karyawan Jepang dan 115 orang karyawan Indonesia. 57
3.3.2.
Sampel Dalam buku Metode dan Teknik Menyusun Tesis, menurut Arikunto sampel adalah sebagian dari populasi yang diambil sebagai data dan dapat mewakili seluruh populasi. 58
3.3.3.
Teknik Sampling Peneliti menggunakan metode sampling non probabilitas yaitu sampling purposif. Sampling purposif menurut Kriyantono adalah: Teknik ini mencakup orang-orang yang diseleksi atas dasar kriteriakriteria tertentu yang dibuat peneliti berdasarkan tujuan penelitian. Sedangkan orang-orang yang dalam populasi yang tidak sesuai dengan kriteria tersebut tidak dijadikan sampel.59
Pemilihan metode sampling purposif tentunya mempunyai alasan. Alasan utamanya adalah alasan berdasarkan tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini akan menghasilkan beberapa kriteria yang akan menentukan responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Karyawan Jepang dan karyawan Indonesia yang telah memiliki masa kerja 2 tahun. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa karyawan yang telah bekerja ≥ 2 tahun dianggap telah mengenal dan mengetahui karakteristik karyawan yang berkebangsaan lain
57
Wawancara dengan Ibu Rita Satria, General Affairs PT. Mitsui Indoesia Ridwan, Metode dan Teknik Menyusun Tesis, Penerbit Alfabeta, Jakarta 2005,55 59 Kriyantono, op. cit. , hal. 150.
58
54
karena kuantitas komunikasi antar karyawan dianggap sudah cukup lama. 2.
Karyawan yang memiliki pendidikan terakhir Sarjana Satu (S1), dengan dasar pemikiran bahwa karyawan yang berpendidikan S1 lebih mengerti pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam kuesioner sehingga hasil isian kuesioner dapat lebih terpercaya.
3.
Karyawan yang bekerja di level manajemen dan bagian operasional yang job description-nya memerlukan hubungan langsung dengan karyawan yang berkebangsaan lain dan ditempatkan di kantor Jakarta. Dari kriteria tersebut di atas, maka didapatkan jumlah sampel
sebanyak 79 orang yang terdiri dari 20 karyawan Jepang dan 59 karyawan Indonesia.
3.4.
Definisi Konsep Penelitian ini menyangkut hubungan antara dua variabel utama yaitu perbedaan latar belakang budaya dan keefektifan komunikasi. Perbedaan latar belakang budaya diperlakukan sebagai variabel independen atau variabel bebas, sedangkan keefektifan komunikasi diperlakukan sebagai variabel dependen atau variabel terikat.
3.4.1.
Perbedaan Latar Belakang Budaya Perbedaan latar belakang budaya adalah perbedaan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur sosio-budaya yang sangat mempengaruhi penciptaan makna
yang
selanjutnya menentukan tingkah
laku
komunikasi. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak
55
kegiatan sosial manusia. Untuk menyederhanakan dan membatasinya maka diambil beberapa unsur yang berhubungan dengan persepsi, proses verbal, dan proses nonverbal.
3.4.2.
Keefektifan Komunikasi Suatu tindakan dari seorang karyawan sebagai komunikan telah sesuai atau tidak dengan tujuan karyawan lainnya sebagai komunikator. Komunikasi yang efektif menimbulkan 5 hal, yaitu: 1)
Pengertian
2)
Kesenangan
3)
Mempengaruhi Sikap
4)
Hubungan sosial yang baik
5)
Tindakan
3.5.
Operasionalisasi Konsep
3.5.1.
Perbedaan latar belakang budaya 1. Persepsi Konsep sistem kepercayaan, nilai dan sikap, pandangan hidup tentang dunia, serta organisasi sosial yang dimiliki oleh para karyawan dapat mempunyai pengaruh yang besar dan langsung atas makna-makna yang dibangun di dalam benaknya (persepsi terhadap karyawan lain) khususnya yang berkenaan dengan etika/orientasi kerja dan kegiatan.
56
2. Proses Verbal Bagaimana karyawan menggunakan bahasa dan pola pikirnya untuk mengembangkan makna bagi kata-kata yang digunakan sebagai alat komunikasinya sehingga dapat saling mengerti antar karyawan.
3. Proses Nonverbal Bagaimana karyawan mamahami alat nonverbal yang berupa perilaku nonverbal, konsep waktu, penggunaan dan pengaturan ruang yang dimiliki oleh masing-masing karyawan.
3.5.2.
Keefektifan Komunikasi 1) Pengertian Taraf sejauh mana karyawan dapat menerima isi pesan secara cermat . 2) Kesenangan Taraf sejauh mana karyawan dapat berkomunikasi yang dapat menimbulkan kesenangan (komunikasi fatis). Komunikasi yang menjadikan hubungan antar karyawan hangat, akrab, dan menyenangkan. 3) Mempengaruhi Sikap Taraf sejauh mana karyawan sebagai komunikator dapat menciptakan komunikasi persuasive sehingga dapat mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan karyawan lain sebagai komunikan
57
dengan menggunakan manipulasi psikologis sehingga orang tersebut bertindak seperti atas kehendaknya sendiri. 4) Hubungan sosial yang baik Taraf sejauh mana karyawan dapat saling berinteraksi untuk menumbuhkan hubungan interpersonal yang baik agar terhindar dari “flight syndrome” (ingin melarikan diri dari lingkungannya). 5) Tindakan Taraf
sejauh
mana
komunikator
dapat
mendorong
komunikan untuk bertindak sesuai dengan yang diinginkannya.
58
3.5.3.
Tabel Operasionalisasi Konsep Operasionalisasi konsep dapat dilihat lebih jelas pada tabel 3.4.3. sebagai berikut: Tabel 3.5.2 Operasionalisasi Konsep Variabel Latar Belakang Budaya (X)
Dimensi Hubungan antara perbedaan latar belakang budaya dengan kegiatan komunikasi antar karyawan - Persepsi Apa yang ada dalam benak karyawan
Sub Dimensi
a.Sistem Kepercayaan, Nilai, dan Sikap: - Keyakinan akan etika kerja - Norma-norma perilaku - Sikap dalam lingkungan pekerjaan - Stereotip & Prasangka - Etnosentrisme b. Pandangan Dunia : - Pandangan hidup tentang dunia c. Organisasi Sosial : - Beradaptasi dengan lingkungan pekerjaan
Ukuran
-Sangat Setuju = 4 - Setuju = 3 -Tidak Setuju = 2 -Sangat Tidak Setuju =1
59
- Proses Verbal Penggunaan kata-kata sebagai alat komunikasi antar karyawan
a. Bahasa Verbal: - bahasa Asing - Ambiguitas
-Sangat Setuju - Setuju -Tidak Setuju -Sangat Tidak Setuju
b. Pola Berfikir : - cara berpikir & bentuk-bentuk penalaran
- Proses Non-Verbal Penggunaan kode & lambang sebagai alat komunikasi antar karyawan
a. Perilaku Non-verbal : - bahasa tubuh - kode–kode yang digunakan saat komunikasi dalam lingkungan kerja b. Konsep Waktu : - Cara memandang waktu c. Penggunaan Ruang : - Jarak antara orang-orang yang terlibat percakapan - Orientasi fisik
-Sangat Setuju - Setuju -Tidak Setuju - Sangat Tidak Setuju Tingkat Perbedaan Budaya Tinggi = 57 - 76 Sedang = 37 - 56 Rendah = 17 - 36
60
Keefektifan Komunikasi (Y)
Suatu tindakan dari seorang karyawan sebagai komunikan telah sesuai atau tidak dengan tujuan karyawan lainnya sebagai komunikator
Penilaian thd pelaksanaan komunikasi
- Pengertian Kecermatan penerimaan pesan yang dimaksud oleh komunikator
a. Mengerti pesan dengan baik
- Kesenangan Pelaku komunikasi dpt dipuaskan dgn aktivitas komunikasi yg dilakukannya
a. Memberi salam
- Mempengaruhi Sikap Pengaruh dari komunikator untuk merubah sikap komunikan
a. Komunikasi persuasif
Penilaian thd tingkat kecermatan -Sangat Setuju - Setuju -Tidak Setuju -Sangat Tidak Setuju Penilaian thd tingkat kepuasan -Sangat Setuju - Setuju -Tidak Setuju -Sangat Tidak Setuju Penilaian thd tingkat pengaruh -Sangat Setuju - Setuju -Tidak Setuju -Sangat Tidak Setuju Penilaian thd tingkat interaksi -Sangat Setuju
61
- Hubungan sosial Interaksi antara komunikator dengan komunikan
- Tindakan Perilaku yg dikehendaki oleh komunikator dari komunikan
a. Hubungan antara karyawan Jepang - Setuju & Indonesia di luar pekerjaan -Tidak Setuju -Sangat Tidak Setuju
b. Promosi Jabatan /Kenaikan Gaji
Penilaian thd perilaku yg dikehendaki -Sangat Setuju - Setuju -Tidak Setuju -Sangat Tidak Setuju Tingkat Efektivitas Komunikasi Tinggi = 33 - 44 Sedang = 21 - 32 Rendah = 9 - 20
62
3.6.
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data 60 . Data yang dibutuhkan ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu : 1. Data Primer, yaitu data utama yang diperoleh secara langsung dari hasil pengisian kuesioner. Kuesioner digunakan untuk memperloleh informasi yang relevan dengan tujuan survei dan memperoleh informasi dengan reliabilitas dan validitas setinggi mungkin. 61 Kuesioner ini menggunakan skala Likert dan disebarkan kepada responden yang dianggap mewakili seluruh populasi. 2. Data Sekunder, yaitu data pendukung yang diperoleh dari hasil wawancara dengan salah satu karyawan Jepang dan Indonesia serta sumber tertulis seperti literatur, artikel dan tulisan-tulisan ilmiah yang relevan dengan topik permasalahan yang dibahas.
3.7.
Metode Analisa Data
3.7.1.
Uji Instrumen Dalam penelitian yang menggunakan metode kuantitatif, kualitas pengumpulan data sangat ditentukan oleh kualitas instrumen atau alat pengumpul data yang digunakan. Instrumen itu disebut berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan pemakaiannya apabila sudah terbukti validitas dan reliabilitasnya. Oleh karena itu, uji validitas dan uji reliabilitas perlu dilakukan oleh peneliti.
60 61
Ridwan, op.cit.,97. Singarimbun op.cit., 175
63
3.7.1.1. Reliabilitas Ketepatan pengujian suatu hipotesa tentang hubungan variable penelitian sangat tergantung pada kualitas data yang dipakai dalam pengujian tersebut. Data penelitian tidak akan berguna bilamana alat pengukur yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian tersebut tidak memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi. Pengujian hipotesa penelitian tidak akan mengenai sasarannya, bilamana data yang dipakai untuk menguji hipotesa adalah data yang tidak reliable dan tidak menggambarkan secara tepat konsep yang diukur. Menurut Singarimbun dan Effendi, “realibilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan.”62 . Reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama. Adapun menurut Usman & Akbar, “reliabilitas adalah mengukur instrument terhadap ketepatan (konsisten). Reliabilitas disebut juga keterandalan, keajegan, consistency, stability atau dependability”63. Dalam penelitian ini, uji instrumen internal menggunakan Tes Konsistensi Internal, yaitu suatu instrumen diujicobakan kepada kelompok tertentu, kemudian dihitung skor-skornya dan akhirnya diuji konsistsi inter item-itemnya.. Untuk menguji reliabilitas instrumen skala Likert (1 sampai 4) dapat digunakan Cronbach’s Alpha. Menurut Yarnest, Pada dasarnya koefisien Cronbach’s Alpha merupakan rata-rata dari semua koefisien belah dua (split-half) yang memungkinkan dibuat dari 62 63
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, op. cit., hal. 140 Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Pengantar Statistika, Jakarta, 2006, hal. 287.
64
suatu alat ukur. Dengan melihat nilai α (alpha) dapat diketahui reliabilitas dari alat ukur yang digunakan. Suatu instrument dapat dikatakan andal (Reliable) bila memiliki koefisien keandalan reliabilitas sebesar 0.6 atau lebih. Jika nilai yang diperoleh dibawah 0.6 maka alat ukur yang dibuat tidak reliabel. Kriteria indeks reliabilitas adalah sebagai berikut64:
Tabel 1 Indeks Reliabilitas
No. 1 2 3 4 5
Interval < 0.200 0.200-0.399 0.400-0.599 0.600-0.799 0.800-1.00
Kriteria Sangat Rendah Rendah Cukup Tinggi Sangat Tinggi
Rumus Cronbach’s Alpha adalah sebagai berikut:
rtt
M Vx 1 M 1 Vt
dimana: rtt
: Koefisien Alpha
Vx : Variansi Butir
64
Vt
: Variansi Total (Faktor)
M
: Jumlah Butir
Yarnest.(2004). Panduan Aplikasi Statistik. Seri Panduan Statistik Buku 1. Malang: Penerbit Dioma, hal. 16
65
3.7.1.2. Validitas Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Uji Validitas dilakukan dengan metode Pearson Product Moment, yaitu dengan mengkorelasikan skor butir pada kuesioner dengan skor totalnya. Uji validitas ini menggunakan bantuan program SPSS 13.0 for windows. Adapun rumus Pearson product moment yaitu: rxy
n( ) ()
n
2
() 2 n 2 ( ) 2
Dimana: rxy : korelasi product moment
3.7.2.
n
: jumlah individu dalam sample
X
: Angka mentah untuk pengukuran variable x
Y
: Angka mentah untuk pengukuran variable y
Proses Editing Editing data mengacu pada kegiatan persiapan data sebelum dianalisis. Dalam proses editing data ini, peneliti melakukan penelitian awal terhadap data, untuk menyakinkan agar data tersebut tidak mengandung kesalahan atau cacat. Peneliti melihat dengan cermat apakah ada koesioner yang secara salah diisi oleh responden, ada halaman yang hilang, poin-poin penting terlewatkan.
66
3.7.3.
Pengkodean Data (Coding) Coding data adalah kegiatan pembuatan kode-kode (dalam bentuk angka) yang mewakili (merepresentasikan ) data-data tertentu.65 Kode data dibuat karena jumlah variasi data banyak sehingga menyulitkan peneliti untuk mengingat-ingat datanya sendiri. Kode data mutlak diperlukan bila kita menggunakan program komputer untuk menganalisis data kita. Mengkode jawaban adalah menaruh angka pada tiap jawaban. Jawaban pertanyaan/pernyataan akan dibuat menjadi skala. Pengukuran skala yang digunakan adalah skala likert. Sugiyono dalam bukunya Metode Penelitian Administratif mengungkapkan bahwa: Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tertentu dan fenomena social. Dengan skala likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi sub variabel. Kemudian sub variabel dijabarkan menjadi komponen-komponen yang dapat terukur. Komponen-komponen yang terukur ini kemudian dijadan sebagai titik tolak untuk menyusun item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan yang kemudian dijawab oleh responden.66
Untuk keperluan analisis secara kuantitatif, maka jawaban itu dapat diberi skor, misalnya :
65
a. Sangat Setuju
=4
b. Setuju
=3
c. Tidak setuju
=2
d. Sangat tidak setuju
=1
Prasetya Irawan, Penelitian Kualitatif & Kuantitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial, DIA FISIP UI, Depok, 2006, hal. 180. 66 Sugiyono, Metode Penelitian Administrtif, hal. 73
67
Dengan nilai skor tersebut, maka hasil dari pengumpulan data dapat kita lihat bahwa nilai 4 adalah skor tertinggi sedangkan skor 1 adalah nilai terendah.
3.7.4.
Uji Hipotesis Hipotesis adalah suatu perumusan sementara mengenai suatu hal yang
dibuat
untuk
menjelaskan
hal
itu
dan
juga
dapat
menuntun/mengarahkan penyelidikan selanjutnya.67 Data yang diperoleh melalui pengumpulan data yang telah dijelaskan
diatas, kemudian diolah secara sederhana dan disajikan
dalam bentuk tabel, lalu dianalisa secara kualitatif dan kuantitatif. Untuk menganalisa dan menginterpretasikan data secara kuantitatif, digunakan alat bantu statistik, sehingga mempermudah penafsiran data mentah yang diperoleh. Alat ukur utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Masing-masing jawaban dalam kuesioner tersebut kemudian diberi bobot nilai dan dianalisis secara statistik. Adapun metode statistik yang digunakan untuk menganalisa data adalah dengan uji
korelasi Chi-Square (X²) dengan menggunakan
program statistik (SPSS 13.0). Pemilihan uji Chi-Square karena tujuan penelitian hanya ingin mengetahui hubungan antara tingkat perbedaan latar belakang budaya dengan keefektifan komunikasi. Uji korelasi Chi-
67
Husein Umar, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hal. 112
68
Square yang peneliti gunakan adalah untuk menguji hipotesis deskriptif satu sampel.68 Menurut Malhotra, Hall, Shaw, dan Crisp chi-square test (X²) digunakan untuk menguji signifikansi kecocokan statisik dari asosiasi yang telah diamati atau diobservasi dalam cross tabulasi. Cross tabulasi ini membantu kita dalam menentukan apakah ada hubungan yang terjadi antara dua variabel.69 Penelitian
ini menggunakan uji kuadrat Chi untuk mencari
adakah hubungan antara variabel X (perbedaan latar belakang budaya) dengan variabel Y (keefektifan komunikasi). Menurut Sugiyono rumus perhitungan dari Chi-Square adalah :
k X² = 1=1
(fo – fh) ² fn
Keterangan : X² = Chi Kuadrat fo = Frekuensi yang diobservasi fh = Frekuensi yang diharapkan
68
Sugiyono, Statistik Untuk Penelitian, CV. Alfabeta, Bandung, 2005, 105. Malhotra, Naresh K., Marketing Research An Applied Orentation, Prentice Hall, Inc., New Jersey, 1993, 415.
69
69
Penelitian ini menggunakan hipotesis tanpa arah, yaitu : Ho
Tidak ada hubungan antara perbedaan latar belakang budaya dengan keefeektifan komunikasi antara karyawan Jepang dengan karyawan Indonesia di PT. Mitsui Indonesia
Ha
Ada hubungan antara perbedaan latar belakang budaya dengan keefektifan komunikasi antara karyawan Jepang dengan karyawan Indonesia di PT. Mitsui Indonesia Pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan Chi-Square
uji dan tabel, maka :
Jika Chi-Square hitung < Chi-Square tabel, maka Ho diterima
Jika Chi-Square hitung > Chi-Square tabel, maka Ho ditolak Pengujian hipotesis dilakukan dengan asumsi : tingkat
keyakinan sebesar 95% dan tingkat kesalahan 5% karena semakin besar tingkat kepercayaan maka akan semakin akurat hasil yang diperoleh. Nilai chi-square tabel menurut nilai-nilai tabel chi kuadrat.70
70
Sugiyono, op.cit., 291
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA
4.1.
Gambaran Umum Perusahaan
4.1.1.
Sejarah Berdirinya PT. Mitsui Indonesia Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Rita Satria, General Affairs, PT. Mitsui Indonesia merupakan suatu perusahaan yang bergerak dibidang produk dan jasa. Perusahaan ini merupakan anak perusahaan dari Mitsui & Co., Ltd. yang berpusat di Jepang dan dikenal sebagai salah satu perusahaan perdagangan terbesar di Jepang. Mitsui & Co., Ltd. memiliki kantor perwakilan di Indonesia. Namun untuk dapat menjalankan kegiatan usahanya, peraturan pemerintah Indonesia mewajibkan sebuah perusahaan untuk mendirikan perusahaan terbatas (PT). Dalam memenuhi persyaratan tersebut, pada tanggal 21 Maret 1990 Mitsui & Co., Ltd. mendirikan PT. Mitsui Export Indonesia dengan jenis usaha jasa perdagangan ekspor hasil produksi pengolahan dan
jasa
konsultasi.
Sejalan
dengan
perkembangan
usahanya,
perusahaan ini meluaskan bidang usaha dan menciptakan perusahaan yang tidak hanya bergerak di bidang ekspor melainkan perusahaan yang bergerak di bidang ekspor dan impor. Oleh karenanya, nama perusahaan berubah menjadi PT. Mitsui Indonesia dengan surat persetujuan dari BKPM yang tertanggal 3 Oktober 2000.
70
71
Menurut Company Profile Mitsui & Co tahun 2005 – 2006, Mitsui & Co berdiri pada tanggal 1 July 1876. Dimulai dengan 16 karyawan, setelah beberapa bulan karyawan Mitsui berkembang menjadi 67 orang. Sebagai latar belakang kredibilitas dan ekonomi Mitsui adalah ketika kapten Takashi Masuda diikutsertakan, dia membuat pernyataan untuk artikel perusahaan: “Kami menginginkan jalur transportasi ke semua negara di dunia untuk mendukung ekspor produk Jepang dan impor barang guna memenuhi kebutuhan domestik”. Hal penting tentang promosi perusahaan telah diperkenalkan ke dunia, tetapi tidak seorangpun pada saat itu yang memprediksikan bahwa perusahaan ini akan menjadi perusahaan internasional yang mewakili Jepang. Pada saat itu umur Masuda baru 29 tahun.71
4.1.2.
Visi, Misi & Nilai Perusahaan Melalui tradisi dan sejarah panjang kami, Mitsui & Co sudah membiasakan sejumlah nilai perusahaan dan ide yang di dalamnya mengikutsertakan konsep “tantangan dan kesempatan” serta “kebebasan dan kemurahan hati”. Telah terjadi penyebarluasan secara diam-diam dari “DNA perusahaan” ini ke seluruh organisasi kami. Seiring dengan berkembangnya
aktivitas
global
dan
pencarian
terhadap
cara
memobilisasi kekuatan kolektif dari karyawan kami seraya kami berusaha untuk menciptakan nilai-nilai baru, maka di masa mendatang membagi nilai-nilai dan ide-ide ini menjadi lebih penting dari masa-
71
Annual Report Mitsui & Co., 2005.
72
masa sebelumnya. Pada saat yang sama, dalam rangka memenuhi persaingan permintaan global terhadap perusahaan dan transparansi manajemen serta tanggung-jawab sosial, sudah menjadi suatu keharusan bagi kami untuk secara jelas memaparkan nilai-nilai dan ide-ide ini ke dunia luar. Atas dasar pemikiran inilah kami memaparkan Pernyataan Misi, Visi & Nilai, yang mana hal tersebut menyuarakan filosofi perusahaan yang telah merambah ke seluruh organisasi kami. Hal itu mencerminkan Misi Mitsui & Co. (apa yang harus kami lakukan untuk layak sebagai perusahaan), Visi kami (apa yang kami lihat dari masa depan kami), dan Nilai kami (prinsip-prinsip panduan kami). Selanjutnya, Mitsui & Co. akan membuat Pernyataan Misi, Visi dan Nilai ini menjadi nyata baik di dalam maupun di luar organisasi dalam berbagai bentuk. Kami berharap bahwa Anda, karyawan kami, akan menggunakan pesan ini sebagai petunjuk dalam melaksanakan tugas keseharian Anda sambil Anda memenuhi tantangan untuk membangun nilai-nilai baru ber-perusahaan.
Misi Perusahaan Kami akan terus memberikan karya terdepan supaya impian dari penghuni Bumi yang tidak bisa tergantikan ini dapat tercapai.
73
Visi Perusahaan Kami akan terus memberikan karya terdepan supaya impian dari penghuni Bumi yang tidak bisa tergantikan ini dapat tercapai.
Nilai Perusahaan Adil dan rendah diri kami jadikan prinsip, dengan keyakinan dan
kejujuran,
kami menghargai
kepercayaan
yang
diberikan
masyarakat kepada kami. Dengan keinginan yang tinggi dari perspektif yang jujur, kami akan melakukan pekerjaan yang menguntungkan masyarakat. Selalu berani mengambil tantangan dari sesuatu yang baru, kami secara dinamis akan berusaha menciptakan bisnis yang dapat memimpin waktu. Membangun budaya perusahaan yang menonjolkan “Kebebasan dan
Pikiran
Terbuka”,
kami
akan
sungguh
berusaha
untuk
mempraktekkan kemampuan secara organisasi dan individual. Dalam rangka memelihara sumber daya manusia yang penuh dengan kreativitas dan peka akan keseimbangan, kami akan membekali orang kami dengan lingkungan kerja yang pro pengembangan diri dan pro kesadaran diri.
4.1.3.
Bidang Usaha Perusahaan Mitsui & Co., Ltd. bersama dengan kantor-kantor cabang dan perusahaan asosiasinya merupakan salah satu perusahaan perdagangan
74
umum yang terbesar di Jepang. Perusahaan ini berdagang berbagai macam jenis barang dengan partner-partner bisnis di seluruh dunia, dan juga ikut serta dalam pembangunan utama infrastruktur internasional dan proyek-proyek lain. Mitsui & Co., Ltd. melakukan penjualan dan pemasaran, ekspor dan impor, dan perdagangan dan manufaktur internasional dalam segmen-segmen bisnis berikut ini : 1.
Metal Products & Minerals, yang meliputi : a.
Iron & Steel Products Business Unit
b.
Iron & Steel Raw Materials and Non-Ferrous Metals Business Unit
2.
3.
4.
Machinery, Electronics & Information a.
Power, Transportation & Plant Projects Business Unit
b.
Machinery Business Unit
c.
Information, Electronics and Telecommunicaion Business Unit
Chemical a.
Organic Chemicals Business Unit
b.
Plastics & Inorganic Chemicals Business Unit
Energy a.
5.
Energy Business Unit
Consumer Products & Services a.
Foods & Retail Business Unit
b.
Lifstyle Business Unit
c.
Consumer Service Business Unit
75
6. Logistics & Financial Markets
4.2.
a.
Financial Markets Business Unit
b.
Transportation Logistics Business Unit
Hasil Penelitian Setelah menyebarkan kuesioner di PT Mitsui Indonesia yang merupakan tempat populasi yang diambil, selanjutnya dilakukan analisa terhadap hasil kuesioner yang dikumpulkan dari para responden yang berjumlah 79 orang, para responden ini telah diminta untuk mengisi daftar pertanyaan/pernyataan. Adapun penelitian ini mengenai perbedaan latar belakang budaya yang diukur dengan dimensi persepsi, proses verbal dan nonverbal dan keefektifan komunikasi antar karyawan Jepang dan karyawan Indonesia di PT Mitsui Indonesia.
4.2.1.
Identitas Karyawan
4.2.1.1
Jenis Kelamin Tabel 4.2.1.1 Jenis Kelamin Responden No
Indikator
Frequency
Percent
1
Pria
30
38.0
2
Wanita 49 62.0 Total 79 100.0 Sumber pertanyaan: Data Responden No.1
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas reponden (62.2%) adalah responden wanita, sedangkan persentase responden pria adalah
76
38.0%. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas karyawan di PT Mitsui Indonesia adalah wanita.
4.2.1.2
Kebangsaan Tabel 4.2.1.2 Kebangsaan Responden No
Indikator
Frequency
Percent
1 2
Jepang Indonesia
20 59
25.3 74.7
Total 79 100.0 Sumber pertanyaan: Data Responden No.2
Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden (74.7%) berkebangsaan Indonesia, sedangkan sisanya (25.3%) berkebangsaan Jepang. Responden berkebangsaan Jepang jauh lebih sedikit daripada responden yang berkebangsaan Indonesia. Hal ini dikarenakan seluruh karyawan Jepang adalah karyawan pada level manajemen dan advisor yang merupakan atasan-atasan dari karyawan Indonesia umumnya.
4.2.1.3
Usia Responden Tabel 4.2.1.3 Usia No
Indikator
1
Kurang dari 25 tahun 26 - 40 tahun
2 3 4
41 - 50 tahun Lebih dari 50 tahun
Frequency
Percent
6
7.6
46 26
58.2 32.9
1
1.3
Total 79 100,0 Sumber pertanyaan: Data Responden No.3
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden (46 orang atau 58.2% dari jumlah responden secara keseluruhan) merupakan
77
para responden yang berada di rentang usia 26 – 40 tahun. Disamping itu terdapat 26 orang responden (32.9%) yang berusia antara 41 – 50 tahun, 6 orang responden (7.6%) berusia di bawah 25 tahun, dan 1 orang responden berusia di atas 50 tahun (1.3%). Jadi mayoritas responden berada pada rentang usia 26 – 40 tahun
4.2.1.4
Tingkat Pendidikan Tabel 4.2.1.4 Tingkat Pendidikan Responden
No
Indikator
Frequency
Percent
1
2
2.53
2
Strata 3 Strata 2
5
6.33
3
Strata 1
72 79
91.14 100.0
Total
Sumber pertanyaan: Data Responden No.4
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden (72 orang atau 91.14% dari keseluruhan responden) memiliki latar belakang pendidikan strata 1 (S1). Disamping itu terdapat 5 orang responden (6.33%) dengan latar belakang pendidikan strata 2 (S2), serta 2 orang (2.53%) responden memiliki latar pendidikan strata 3 (S3). Menurut pihak Manjemen, hal ini dikarenakan perusahaan ingin memaksimalkan kualitas
karyawan
yang
berpendidikan
menghasilkan produktivitas kerja yang tinggi.
sarjana
sehingga
akan
78
4.2.1.5
Lama Responden Bekerja Tabel 4.2.1.5 Lama Responden Bekerja
No 1 2 3
Indikator Kurang dari 2 tahun 3 - 5 tahun lebih dari 5 tahun
Frequency
Percent
6 25
7.6 31.6
48 60.8 79 100.0 Sumber pertanyaan: Data Responden No.5
Total
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden (48 orang atau 60.8% dari keseluruhan responden) telah bekerja lebih dari 5 tahun. Karyawan-karyawan ini merupakan karyawan yang sudah diangkat menjadi karyawan tetap. Hal ini menunjukkan bahwa PT. Mitsui Indonesia menjalankan sistem kerja “lifetime employment” yang sangat terkenal dalam budaya kerja Jepang.
4.2.1.6
Jabatan Responden Tabel 4.2.1.6 Jabatan Responden
No 1 2 3 4 5
Indikator General Manager Advisor Manager Assistant Manager Staff Total
Frequency
Percent
5
6.3
9 6
11.4 7.6
2 57
2.5 72.2
79 100.0 Sumber pertanyaan: Data Responden No.6
Tabel di atas menunjukkan bahwa 5 orang (6.3%) responden yang seluruhnya berkebangsaan Jepang menjabat sebagai General Manager, 9 orang Jepang (11.4%) menjabat sebagai Advisor dan 6
79
orang Jepang (7.4%) menjabat sebagai Manager. Sedangkan 2 orang Indonesia (2.5%) menjabat sebagai Assistant Manager dan sisanya adalah 57 orang Indonesia (72.2%) yang bekerja sebagai Staff. Dari tabel ini dapat diketahui bahwa seluruh karyawan Jepang menjabat posisi top management, sementara karyawan Indonesia menjadi bawahannya.
4.2.2
Persepsi
4.2.2.1
Keyakinan saya mempengaruhi cara pandang terhadap karyawan berkebangsaan lain. Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah keyakinan karyawan di PT Mitsui Indonesia mempengaruhi cara pandangnya terhadap karyawan yang berkebangsaan lain. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut: Tabel 4.2.2.1 Keyakinan mempengaruhi cara pandang
No
Indikator
1
Sangat Tidak Setuju
2 3
Tidak Setuju Setuju
4
Sangat Setuju Total
Frequency
Percent
3
3.8
25 46
31.6 58.2
5
6.3
79 100.0 Sumber: pertanyaan Persepsi No. 1
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak mayoritas responden (46 orang atau 58.2% dari jumlah responden keseluruhan) menyetujui pernyataan diatas. Disamping itu terdapat 5 orang (6.3%) responden yang menjawab sangat setuju, 25 orang (31.6) responden menjawab tidak setuju dan 3 orang (3.8%) reponden yang menjawab
80
sangat tidak setuju dengan pernyataan bahwa keyakinan responden mempengaruhi cara pandang responden terhadap responden yang memiliki kebangsaan yang berbeda. Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden menyetujui bahwa keyakinan mempengaruhi cara pandang seseorang..
4.2.2.2
Menganggap tempat kerja adalah tempat yang suci Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan PT Mitsui Indonesia menganggap tempat kerja adalah tempat yang suci sehingga kegiatan yang tercakup di dalamnya merupakan hal yang serius dilakukan oleh para anggotanya. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut: Tabel 4.2.2.2 Menganggap tempat kerja adalah tempat yang suci
No
Indikator
Frequency
1
Sangat Tidak Setuju
26
32.9
2 3
Tidak Setuju Setuju
12 41
15.2 51.9
Total 79 Sumber: pertanyaan Persepsi No. 2
Percent
100.0
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak 41 orang (51.9%) responden menjawab setuju, sementara 12 orang (15.2%) responden menjawab tidak setuju dan 26 orang (32.9%) responden menjawab sangat tidak setuju dengan pernyataan bahwa tempat kerja merupakan tempat yang suci. Data yang ditunjukkan oleh tabel di atas menunjukkan mayoritas responden responden (51,9%) memiliki persepsi bahwa tempat kerja merupakan tempat yang suci, meskipun demikian jumlah
81
responden yang memiliki persepsi bahwa tempat kerja bukan merupakan tempat yang suci juga cukup signifikan, yaitu mencapai 38 orang responden (48.1%). Hal ini menunjukkan bahwa perbandingan antara jumlah responden yang menyetujui dan jumlah responden yang tidak menyetujui pernyataan di atas cukup berimbang.
4.2.2.3
Perilaku di tempat kerja dilandasi oleh nilai yang diyakini Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah perilaku karyawan PT Mitsui Indonesia di kantor dilandasi oleh nilai yang diyakini. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut: Tabel 4.2.2.3 Perilaku di tempat kerja dilandasi oleh nilai yang diyakini
No
Indikator
Frequency
1 2
Tidak Setuju Setuju
21 8
3
Sangat Setuju 50 Total 79 Sumber: pertanyaan Persepsi No.3
Percent 26.6 10.1 63.3 100.0
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak mayoritas responden (50 orang
atau 63.3% dari jumlah responden secara keseluruhan)
sangat menyetujui pernyataan di atas. Disamping itu terdapat 8 orang responden (10.1%) yang menjawab setuju dan 21 orang responden (26.6%) menjawab tidak setuju atas pernyataan di atas. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan PT Mitsui Indonesia menyetujui bahwa perilaku mereka di tempat kerja dilandasi oleh nilainilai yang diyakininya.
82
4.2.2.4
Sangat menghargai privasi Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan PT Mitsui Indonesia sangat menghargai privasi. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut: Tabel 4.2.2.4 Sangat menghargai privasi
No
Indikator
Frequency
Percent
1
Setuju
7
2
Sangat Setuju 72 Total 79 Sumber: pertanyaan Persepsi No.4
8.9 91.1 100.0
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden (72 orang atau 91.1% dari jumlah responden secara keseluruhan) menyetujui pernyataan di atas. Di samping itu terdapat 7 orang responden (8.9%) yang menjawab setuju dan tidak terdapat responden yang menjawab tidak setuju maupun sangat tidak setuju. Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa mayoritas karyawan PT Mitsui Indonesia sangat menghargai privasi masing-masing karyawan, baik karyawan lokal maupun karyawan asing.
4.2.2.5
Cenderung memandang rendah karyawan berkebangsaan lain Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan PT
Mitsui Indonesia cenderung memandang rendah karyawan
berkebangsaan lain. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut:
83
Tabel 4.2.2.5 Cenderung memandang rendah karyawan berkebangsaan lain
No
Indikator
Frequency
1 2
Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju
3
Setuju 19 24.1 Total 79 100.0 Sumber: pertanyaan Persepsi No. 5
16 44
Percent 20.3 55.7
Tabel di atas menunjukkan bahwa, sebanyak mayoritas responden (44 orang atau 55.7% dari jumlah responden secara keseluruhan) tidak meyetujui pernyataan di atas. Disamping itu terdapat 16 orang responden (20.3%) menjawab sangat tidak setuju dan 19 orang responden menjawab setuju. Tabel tersebut menunjukkan bahwa mayoritas karyawan PT Mitsui Indonesia tidak memandang rendah karyawan berkebangsaan lain.
4.2.2.6
Karyawaan Jepang menggambarkan karyawan Indonesia sebagai orang yang suka bicara dan ribut Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah benar karyawan Jepang PT Mitsui Indonesia menggambarkan karyawan Indonesia sebagai orang yang suka bicara dan ribut. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut:
84
Tabel 4.2.2.6 Karyawan Indonesia digambarkan sebagai orang yang suka bicara dan ribut
No
Indikator
Frequency
Percent
1 2
Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju
6 25
7.6 31.6
3 4
Setuju Sangat Setuju Total
47 1 79
59.5 1.3 100.0
Sumber: pertanyaan Persepsi No. 6
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden (47 orang atau 59.5% dari jumlah responden secara keseluruhan) menyetujui pernyataan di atas, bahkan terdapat 1 orang (1.3%) responden yang menjawab sangat setuju. Disamping itu terdapat 25 orang responden (31.6%) menjawab tidak setuju dan 6 orang responden (7.6%) menjawab sangat tidak setuju. Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden menyetujui stereotip yang dibentuk oleh karyawan Jepang bahwa mereka adalah orang yang suka berbicara dan ribut di tempat kerja.
4.2.2.7
Hanya melihat kelompok yang memiliki budaya yang sama Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan PT Mitsui Indonesia cenderung hanya melihat kelompok yang mempunyai budaya yang sama. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut:
85
Tabel 4.2.2.7 Hanya melihat kelompok yang memiliki budaya yang sama
No
Indikator
Frequency
Percent
1 2
Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju
21 50
26.6 63.3
3 4
Setuju Sangat Setuju Total
7 1 79
8.9 1.3 100.0
Sumber: pertanyaan Persepsi No. 7
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden (50 orang atau 63.3% dari jumlah responden secara keseluruhan) tidak menyetujui pernyataan di atas. Disamping itu terdapat 21 orang responden (26.6%) menjawab sangat tidak setuju, 7 orang responden (8.9%) menjawab setuju dan 1 orang (1.3%) reponden menjawab sangat setuju. Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden beranggapan bahwa adalah tidak benar bila dikatakan bahwa karyawan PT. Mitsui Indonesia hanya melihat kelompok yang berbudaya sama dengan mereka.
4.2.2.8
Menganggap kerja adalah hidup, hidup adalah kerja Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan PT Mitsui Indonesia menganggap kerja adalah hidup, hidup adalah kerja. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut:
86
Tabel 4.2.2.8 Menganggap kerja adalah hidup, hidup adalah kerja
No
Indikator
Frequency
Percent
1 2
Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju
24 13
30.4 16.5
3 4
Setuju Sangat Setuju Total
27 15 79
34.2 19.0 100.0
Sumber: pertanyaan Persepsi No. 8
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas reponden (27 orang atau 34.2% dari jumlah responden secara keseluruhan) menyetujui pernyataan di atas dan 15 orang responden (19.0%) bahkan menjawab sangat setuju. Disamping itu terdapat 13 orang responden (16.5%) yang tidak menyetujui pernyataan di atas, bahkan 24 orang responden (30.4%) menjawab sangat tidak setuju akan pernyataan di atas. Tabel di atas memperlihatkan bahwa perbandingan antara jumlah responden yang menyetujui (53.16%) dengan jumlah responden yang tidak menyetujui (46.84%) tidak signifikan. Hal ini memperlihatkan bahwa para karyawan PT Mitsui Indonesia terbagi ke dalam dua kelompok besar, baik yang setuju, maupun yang tidak setuju.
4.2.2.9
Mempelajari perilaku dan beradaptasi dengan budaya lain Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan PT Mitsui Indonesia mempelajari perilaku dan beradaptasi dengan budaya lain. Data yang deroleh melalui quesioner adalah sebagai berikut:
87
Tabel 4.2.2.9 Mempelajari perilaku dan beradaptasi dengan budaya lain
No
Indikator
1 2
Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju
3 4
Setuju Sangat Setuju Total
Frequency
Percent
2 2
2.5 2.5
21 54 79
26.6 68.4 100.0
Sumber: pertanyaan Persepsi No. 9
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden (54 orang atau 68.4% dari jumlah responden secara keseluruhan) sangat menyetujui pernyataan di atas. Disamping itu terdapat 21 orang responden (26.6%) menjawab setuju, 2 orang responden (2.5%) menjawab tidak setuju dan 2 orang responden (2.5%) menyatakan sangat tidak setuju akan pernyataan di atas. Berdasarkan distribusi jawaban para responden terhadap pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa mayoritas karyawan PT Mitsui Indonesia mempelajari perilaku budaya lain dan beradaptasi dengan budaya tersebut.
4.2.3
Proses Verbal
4.2.3.1
Pesan yang disampaikan oleh karyawan berbeda kebangsaan tidak jelas. Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah pesan yang disampaikan oleh karyawan PT Mitsui Indonesia jelas. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut:
88
Tabel 4.2.3.1 Pesan yang disampaikan oleh karyawan berbeda kebangsaan tidak jelas. No
Indikator
1
Sangat Tidak Setuju
2 3 4
Tidak Setuju Setuju Sangat Setuju
Frequency
Percent
1
1.3
11 44 23
13.9 55.7 29.1
Total 79 100.0 Sumber: pertanyaan Proses Verbal No. 1
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden (44 orang atau 55.7% dari jumlah responden secara keseluruhan) menyetujui pernyataan di atas. Disamping itu terdapat 23 orang responden (29.1%) yang menjawab sangat setuju, 11 orang responden (13.9%) menjawab tidak setuju dan hanya 1 orang (1.3%) responden yang menjawab sangat tidak setuju. Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas reponden menganggap bahwa pesan yang disampaikan oleh karyawan Jepang kepada
karyawan
Indonesia atau
sebaliknya
dinyatakan tidak jelas.
4.2.3.2
Memahami dengan baik bahasa Inggris yang digunakan oleh karyawan berkebangsaan lain Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan PT Mitsui Indonesia memahami dengan baik bahasa Inggris yang digunakan oleh karyawan berkebangsaan lain. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut:
89
Tabel 4.2.3.2 Memahami dengan baik bahasa Inggris yang digunakan oleh karyawan berkebangsaan lain
No
Tidak Setuju
1 2 3
Indikator
Setuju Sangat Setuju
Frequency 28 50
1 Total 79 Sumber: pertanyaan Proses Verbal No. 2
Percent 35.4 63.3 1.3 100.0
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden (50 orang
atau 63.3% dari jumlah responden secara keseluruhan)
menyetujui pernyataan di atas. Disamping itu terdapat 1 orang responden (1.3%) yang menjawab sangat setuju dan 28 orang responden (35.4%) menjawab tidak setuju. Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden dapat saling memahami dengan baik bahasa Inggris yang digunakan.
4.2.3.3
Menurut anda bahasa Indonesia bermakna mendua/ganda Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan PT Mitsui Indonesia beranggapan bahwa bahasa Indonesia bermakna mendua/ganda. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut: Tabel 4.2.3.3 Bahasa Indonesia bermakna mendua/ganda
No
Indikator
1
Sangat Tidak Setuju
2 3
Tidak Setuju Setuju
Frequency
Percent
2
2.5
26 51
32.9 64.6
Total 79 100.0 Sumber: pertanyaan Proses Verbal No. 3
90
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden (51 orang
atau 64.6% dari jumlah responden secara keseluruhan)
menyetujui pernyataan di atas. Disamping itu terdapat 26 orang responden (32.9%) menjawab tidak setuju dan 2 orang responden (2.5%) menjawab sangat tidak setuju. Berdasarkan tabel tersebut sebagian besar karyawan menyetujui bahwa bahasa Indonesia bermakna mendua/ganda.
4.2.3.4
Bahasa yang digunakan sulit diterjemahkan Melaui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan PT Mitsui Indonesia beranggapan bahwa bahasa yang digunakan oleh karyawan berkebangsaan lain sulit diterjemahkan. Data yang diperoleh melalui questioner adalah sebagai berikut: Tabel 4.2.3.4 Bahasa yang digunakan sulit diterjemahkan
No 1 2
Indikator Tidak Setuju Setuju
Frequency
Percent
29
36.7
50
63.3
Total 79 100.0 Sumber: pertanyaan Proses Verbal No. 4
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak mayoritas responden (50 orang atau 63.3% dari jumlah responden secara keseluruhan) tidak menyetujui pernyataan di atas. Disamping itu terdapat 29 orang responden (36.7%) menjawab tidak setuju. Hal tersebut menunjukkan bahwa mayoritas karyawan merasa kesulitan menerjemahkan bahasa berbeda yang digunakan oleh karyawan lain.
91
4.2.3.5
Belajar memahami dan menerima cara berpikir karyawan yang berbeda kebangsaan. Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan PT Mitsui Indonesia belajar memahami dan menerima cara berpikir karyawan yang berbeda kebangsaan. Data yang diperoleh melalui questioner adalah sebagai berikut: Tabel 4.2.3.5 Belajar memahami dan menerima cara berpikir karyawan lain
No 1 2 3
Indikator Tidak Setuju Setuju Sangat Setuju Total
Frequency
Percent
3 73
3.8 92.4
3 79
3.8 100.0
Sumber: pertanyaan Proses Verbal No. 5
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak mayoritas reponden (73 orang atau 92.4% dari jumlah responden secara keseluruhan) menyetujui pernyataan di atas. Disamping itu terdapat 3 orang responden (3.8%) menjawab sangat setuju dan 3 orang responden (3.8%) menjawab tidak setuju. Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa mayoritas karyawan belajar memahami dan menerima cara berpikir karyawan yang berbeda kebangsaan.
92
4.2.4
Proses Nonverbal
4.2.4.1
Karyawan di PT Mitsui Indonesia sering memakai bahasa nonverbal/bahasa tubuh Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan PT Mitsui Indonesia sering memakai bahasa non verbal/bahasa tubuh saat berkomunikasi dengan karyawan berkebangsaan lain. Data yang diperoleh melalui questioner adalah sebagai berikut: Tabel 4.2.4.1 Sering memakai bahasa nonverbal/bahasa tubuh
No
Indikator
1 2
Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju
3
Setuju Total
Frequency
Percent
1
1.3
68
86.1
10 79
12.7 100.0
Sumber: pertanyaan Proses NonVerbal No. 1
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden (68 orang atau 86.1% dari jumlah responden secara keseluruhan) tidak menyetujui pernyataan di atas. Disamping itu terdapat 10 orang responden (12.7%) menjawab setuju dan 1 orang responden (1.3%) menjawab sangat tidak setuju. Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa mayoritas karyawan di PT Mitsui Indonesia jarang menggunakan bahasa nonverbal (bahasa tubuh) saat bekerja.
4.2.4.2
Bahasa tubuh/kode-kode yang digunakan saat berkomunikasi sulit dimengerti oleh karyawan berkebangsaan lain Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah saat berkomunikasi karyawan PT Mitsui Indonesia menggunakan bahasa
93
tubuh/kode-kode yang sulit dimengerti oleh karyawan yang berbeda kebangsaan. Data yang diperoleh melalui questioner adalah sebagai berikut: Tabel 4.2.4.2 Bahasa tubuh/kode-kode yang digunakan saat berkomunikasi sulit dimengerti
No
Indikator
1
Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju
2 3
Setuju Total
Frequency
Percent
42
53.2
36 1 79
45.6 1.3 100.0
Sumber: pertanyaan Proses NonVerbal No. 2
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak 42 orang (53.2%) responden menjawab tidak setuju, sedangkan 36 orang responden (45.6%) menjawab setuju dan 1 orang responden lainnya (1.3%) menjawab sangat setuju. Tabel di atas memperlihatkan bahwa perbandingan antara jumlah responden yang menyetujui (46,84%) dengan jumlah responden yang tidak menyetujui (53.16%) tidak signifikan.
4.2.4.3
Ketepatan waktu dalam berbagai hal adalah hal yang sangat penting Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan PT Mitsui Indonesia menganggap ketepatan waktu dalam berbagai hal adalah hal yang sangat penting. Data yang diperoleh melalui questioner adalah sebagai berikut:
94
Tabel 4.2.4.3 Ketepatan waktu adalah hal yang sangat penting
No 1 2
Indikator
Frequency
Setuju
46 33
Sangat Setuju
Percent 58.2 41.8
Total 79 100.0 Sumber: pertanyaan Proses NonVerbal No. 3
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden (46 orang atau 58.2% dari jumlah responden secara keseluruhan) menyetujui pernyataan di atas dan 33 orang responden lainnya (41.8%) menjawab sangat setuju. Tabel tersebut menunjukkan bahwa seluruh karyawan PT Mitsui Indonesia menganggap ketepatan waktu dalam berbagai hal adalah hal yang sangat penting.
4.2.4.4
Pemborosan waktu atau keterlambatan merupakan hal yang memalukan Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan PT
Mitsui
Indonesia
menganggap
pemborosan
waktu
atau
keterlambatan merupakan hal yang memalukan. Data yang diperoleh melalui questioner adalah sebagai berikut: Tabel 4.2.4.4 Pemborosan waktu atau keterlambatan merupakan hal yang memalukan
No 1 2 3
Indikator Tidak Setuju Setuju Sangat Setuju
Frequency 3 29 47
Percent 3.8 36.7 59.5
Total 79 100.0 Sumber: pertanyaan Proses NonVerbal No. 4
95
Tabel di atas menunjukkan bahwa 47 orang atau 59.5% dari jumlah responden sangat setuju. Disamping itu terdapat 29 orang responden (36.7%) menjawab setuju dan hanya 3 orang (3.8%) tidak setuju. Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa mayoritas karyawan PT Mitsui Indonesia menganggap bahwa pemborosan waktu atau keterlambatan merupakan hal yang memalukan.
4.2.4.5
Ketika berkomunikasi cenderung berdekatan dengan lawan bicara Pada pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan PT Mitsui Indonesia saat berkomunikasi berdekatan dengan lawan bicara yang berkebangsaan lain. Data yang diperoleh melalui questioner adalah sebagai berikut: Tabel 4.2.4.5 Ketika berkomunikasi cenderung berdekatan dengan lawan bicara
No
Indikator
2
Tidak Setuju Setuju
3
Sangat Setuju
1
Total
Frequency
Percent
3
3.8
50
63.3
26 79
32.9 100.0
Sumber: pertanyaan Proses NonVerbal No. 5
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebanyak 50 orang (63.3%) responden menjawab setuju, dan 26 orang (32.9%) menjawab sangat setuju dan 3 orang responden (3.8%) menjawab tidak setuju. Tabel tersebut menunjukkan hampir semua karyawan PT Mitsui Indonesia cenderung berdekatan dengan lawan bicaranya ketika berkomunikasi.
96
4.2.5
Komunikasi Efektif
4.2.5.1
Dapat menerima pesan yang dikomunikasikan oleh si pembicara yang berbeda kebangsaan dengan baik. Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan PT Mitsui Indonesia dapat menerima pesan yang dikomunikasikan oleh pembicara yang berkebangsaan lain. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut: Tabel 4.2.5.1 Dapat menerima pesan yang dikomunikasikan dengan baik No 1 2 3
Indikator
Frequency
Tidak Setuju Setuju Sangat Setuju Total
Percent
5 71
6.3 89.9
3 79
3.8 100.0
Sumber: pertanyaan Komunikasi Efektif No. 1
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak 71 orang (89.9%) responden menjawab setuju, dan 3 orang responden (3.8%) menjawab sangat setuju. Sedangkan 5 orang responden (6.3%) menjawab tidak setuju. Berdasarkan tabel tersebut hampir semua karyawan PT Mitsui Indonesia tidak kesulitan menerima pesan yang dikomunikasikan oleh karyawan yang berbeda kebangsaan.
4.2.5.2
Mengerti gaya komunikasi karyawan yang berbeda kebangsaan dengan mudah. Pada pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan PT Mitsui Indonesia dengan mudah dapat mengerti gaya komunikasi
97
karyawan yang berkebangsaan lain. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut: Tabel 4.2.5.2 Dapat mengerti gaya komunikasi karyawan yang berbeda kebangsaan
No
Indikator
1
Tidak Setuju
2 3
Setuju
Frequency 5
Percent 6.3
71 89.9 Sangat Setuju 3 3.8 Total 79 100.0 Sumber: pertanyaan Komunikasi Efektif No. 2
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak 71 orang (89.9%) responden menjawab setuju, dan 3 orang responden (3.8%) menjawab sangat setuju. Sedangkan 5 orang responden (6.3%) menjawab tidak setuju. Dari tabel tersebut hampir semua karyawan PT Mitsui Indonesia dapat mengerti gaya komunikasi karyawan yang berbeda kebangsaan.
4.2.5.3
Menyapa karyawan yang berkebangsaan lain tanpa merasa canggung. Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan PT Mitsui Indonesia menyapa karyawan yang berkebangsaan lain tanpa merasa canggung. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut:
98
Tabel 4.2.5.3 Menyapa karyawan lain tanpa merasa canggung No 1 2 3
Indikator
Frequency
Tidak Setuju Setuju Sangat Setuju Total
Percent
2
2.5
69 8 79
87.3 10.1 100.0
Sumber: pertanyaan Komunikasi Efektif No. 3
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak 69 orang (87.3%) responden menjawab setuju, dan 8 orang responden (10.1%) menjawab sangat setuju. Sedangkan 2 orang responden (2.5%) menjawab tidak setuju. Berdasarkan tabel tersebut hampir 90% karyawan PT Mitsui Indonesia
tidak
merasa
canggung
menyapa
karyawan
yang
berkebangsaan lain.
4.2.5.4
Dengan senang hati selalu memberi salam kepada karyawan berkebangsaan lain. Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan PT Mitsui Indonesia selalu memberi salam kepada karyawaan berkebangsaan lain dengan senang hati. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut: Tabel 4.2.5.4 Selalu memberikan salam kepada karyawan lain dengan senang hati No 1 2 3
Indikator Tidak Setuju Setuju Sangat Setuju
Frequency 2 70
Percent 2.5 88.6
7 8.9 Total 79 100.0 Sumber: pertanyaan Komunikasi Efektif No. 4
99
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak 70 orang (88.6%) responden menjawab setuju, dan 7 orang responden (8.9%) menjawab sangat setuju. Sedangkan 2 orang responden (2.5%) menjawab tidak setuju. Tabel tersebut menunjukkan hampir 90% karyawan PT Mitsui Indonesia dengan senang hati memberikan salam kepada karyawan berkebangsaan lain.
4.2.5.5
Bisa berkomunikasi secara persuasif. Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan PT Mitsui Indonesia bisa berkomunikasi secara persuasif. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut: Tabel 4.2.5.5 Bisa berkomunikasi secara persuasif No 1 2 3
Indikator Tidak Setuju Setuju Sangat Setuju
Frequency 2 73
Percent 2.5 92.4
4 5.1 Total 79 100.0 Sumber: pertanyaan Komunikasi Efektif No. 5
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak 73 orang (92.4%) responden menjawab setuju, 4 orang responden (5.1%) menjawab sangat setuju. Sementara itu 2 orang responden (2.5%) menjawab tidak setuju. Berdasarkan tabel tersebut lebih dari 90% karyawan PT Mitsui Indonesia menjawab bisa berkomunikasi secara persuasif.
4.2.5.6
Dapat mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan karyawan berkebangsaan lain.
100
Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan PT Mitsui dapat mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan karyawan berkebangsaan lain. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut: Tabel 4.2.5.6 Dapat mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan karyawan lain No
Indikator
1
Sangat Tidak Setuju
2 3 4
Tidak Setuju Setuju Sangat Setuju
Frequency
Percent
1
1.3
21 56 1
26.6 70.9 1.3
Total 79 100.0 Sumber: pertanyaan Komunikasi Efektif No. 6
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak 56 orang (70.9%) responden menjawab setuju, dan 1 orang responden (1.3%) menjawab sangat setuju. Sedangkan 21 orang responden (26.6%) menjawab tidak setuju. Pada tabel tersebut 70% karyawan PT Mitsui Indonesia menjawab dapat mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan karyawan berkebangsaan lain.
4.2.5.7
Atasan (orang Jepang) meningkatkan semangat kerja staffnya. Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah orang Jepang sebagai atasan di PT Mitsui dapat meningkatkan motivasi kerja staffnya. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut: Tabel 4.2.5.7 Atasan (orang Jepang) mampu meningkatkan semangat kerja staffnya
101
No 1 2 3
Indikator
Frequency
Tidak Setuju Setuju Sangat Setuju Total
Percent
28
35.4
12 39 79
15.2 49.4 100.0
Sumber: pertanyaan Komunikasi Efektif No. 7
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak 39 orang (49.4%) responden menjawab sangat setuju, dan 12 orang responden (15.2%) menjawab sangat setuju. Sedangkan 28 orang responden (26.6%) menjawab tidak setuju. Berdasarkan tabel tersebut sekitar 60% karyawan PT Mitsui Indonesia menganggap bahwa atasan Orang Jepang dapat meningkatkan semangat kerja staffnya.
4.2.5.8
Atasan (orang Jepang) senantiasa menunjukkan rasa bersahabat dengan stafnya (orang Indonesia). Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah orang Jepang sebagai atasan di PT Mitsui menunjukkan rasa bersahabat dengan staffnya. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut: Tabel 4.2.5.8 Atasan (orang Jepang) menunjukkan rasa bersahabat dengan stafnya No
Indikator
1
Sangat Tidak Setuju
2 3
Tidak Setuju Setuju
4
Frequency
Percent
3
3.8
51 24
64.6 30.4
Sangat Setuju 1 1.3 Total 79 100.0 Sumber: pertanyaan Komunikasi Efektif No. 8
102
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak 51 orang (64.6%) responden menjawab tidak setuju, dan 3 orang responden (3.8%) menjawab sangat tidak setuju. Sedangkan 24 orang responden (30.4%) menjawab setuju dan 1 orangnya (1.4%) menjawab sangat setuju. Berdasarkan tabel tersebut hampir 70% karyawan PT Mitsui Indonesia menganggap bahwa atasan Orang Jepang tidak dapat menunjukkan rasa bersahabat dengan stafnya yang orang Indonesia.
4.2.5.9
Atasan
(orang
Jepang)
menunjukkan
minatnya
terhadap
kehidupan pribadi stafnya (orang Indonesia). Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah orang Jepang sebagai atasan di PT Mitsui menunjukkan minat untuk mengetahui kehidupan pribadi stafnya. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut:
Tabel 4.2.5.9 Atasan (orang Jepang) menunjukkan minatnya terhadap kehidupan pribadi stafnya No
Indikator
2
Tidak Setuju Setuju
3
Sangat Setuju
1
Frequency
Percent
40
50.6
35
44.3
4 5.1 Total 79 100.0 Sumber: pertanyaan Komunikasi Efektif No. 9
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak 40 orang (50.6%) responden menjawab tidak setuju, sementara 35 orang responden (44.3%) menjawab setuju. 4 orang responden lainnya (5.1%) menjawab sangat setuju. Tabel tersebut menunjukkan bahwa karyawan PT Mitsui
103
Indonesia masing-masing menganggap bahwa sebagian atasan Orang Jepang menunjukkan minatnya terhadap kehidupan pribadi stafnya dan sebagian lagi tidak menganggap seperti itu.
4.2.5.10 Karyawan Indonesia bertindak sesuai dengan yang diinginkan oleh atasan (orang Jepang) tanpa merasa tertekan. Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan Indonesia PT Mitsui menunjukkan bertindak sesuai yang diinginkan oleh atasan (orang Jepang) tanpa merasa tertekan. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut: Tabel 4.2.5.10
Karyawan Indonesia
bertindak sesuai
yang
diinginkan oleh atasan Orang Jepang tanpa merasa tertekan No
Indikator
1
Sangat Tidak Setuju
2 3 4
Tidak Setuju Setuju Sangat Setuju
Frequency
Percent
5
6.3
48 24 2
60.8 30.4 2.5
Total 79 100.0 Sumber: pertanyaan Komunikasi Efektif No. 10
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak 48 orang (60.8%) responden menjawab tidak setuju dan 5 orang responden (6.3%) menjawab sangat tidak setuju. Sedangkan 24 orang responden (30.4%) menjawab setuju dan 2 orang responden (2.5%) lainnya menyatakan sangat setuju. Tabel tersebut menunjukkan bahwa 60% karyawan PT Mitsui Indonesia tidak merasa bertindak sesuai yang diinginkan oleh atasan Orang Jepang tanpa merasa tertekan
104
4.2.5.11 Karyawan Indonesia berhasil meyakinkan karyawan Jepang untuk melakukan tindakan seperti yang diinginkan (misal: memberikan promosi jabatan yang lebih bagus/kenaikan gaji. Melalui pernyataan ini, peneliti ingin melihat apakah karyawan Indonesia PT Mitsui Indonesia menunjukkan berhasil meyakinkan karyawan Jepang untuk melakukan tindakan seperti yang diinginkan. Data yang diperoleh melalui quesioner adalah sebagai berikut: Tabel 4.2.5.11 Karyawan Indonesia berhasil meyakinkan karyawan Jepang untuk melakukan tindakan seperti yang diinginkan No
Indikator
1
Sangat Tidak Setuju
2 3
Tidak Setuju Setuju
4
Sangat Setuju
Frequency
Percent
3
3.8
50 24
63.3 30.4
2
2.5
Total 79 100.0 Sumber: pertanyaan Komunikasi Efektif No. 11
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak 50 orang (60.8%) responden menjawab tidak setuju dan 3 orang responden (6.3%) menjawab sangat tidak setuju. Sedangkan 24 orang responden (30.4%) menjawab setuju dan 2 orang responden (2.5%) lainnya menyatakan sangat setuju. Tabel tersebut menunjukkan bahwa 60% lebih karyawan PT Mitsui Indonesia menyatakan tidak merasa berhasil meyakinkan karyawan Jepang untuk melakukan tindakan seperti yang diinginkan seperti memberikan promosi jabatan yang lebih bagus atau kenaikan gaji.
105
4.3.
Hasil Analisis Variabel Perbedaan Latar Belakang Budaya dengan Keefektifan Komunikasi
4.3.1.
Variabel Perbedaan Latar Belakang Budaya Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap perbedaan latar belakang budaya di PT Mitsui Indonesia, didapat data sebagai berikut: Tabel 4.3.1 Perbedaan Latar Belakang Budaya No
Indikator
Frequency
Percent
1
Sedang
55
69.6
2
Tinggi Total
24 79
30.4 100.0
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden (55 orang atau 69.6% dari jumlah responden secara keseluruhan) memiliki perbedaan latar belakang budaya yang tidak mencolok (sedang), sedangkan jumlah responden yang memilki perbedaan latar belakang budaya karyawan tinggi adalah 24 orang (30.4%). Peneliti menyimpulkan bahwa secara umum, perbedaan latar belakang budaya karyawan PT Mitsui Indonesia berada pada level sedang.
4.3.2.
Variabel Keefektifan Komunikasi Penelitian yang dilakukan terhadap keefektifan komunikasi karyawan di lingkungan kerja PT Mitsui Indonesia menghasilkan data sebagai berikut:
106
Tabel 4.3.2 Keefektifan Komunikasi No
Indikator
Frequency
Percent
1
Sedang
58
73.4
2
Tinggi Total
21 79
26.6 100.0
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden (58 orang atau 73.4% dari jumlah responden secara keseluruhan) memiliki tingkat efektifitas komunikasi sedang, sedangkan jumlah responden yang memiliki tingkat efektifitas komunikasi karyawan yang tinggi adalah 21 orang (26.6%). Dari data di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum efektifitas komunikasi karyawan di PT Mitsui Indonesia berada pada level sedang.
4.3.3.
Tabel Silang Variabel Perbedaan Budaya dan Keefektifan Komunikasi Chi-square test (X²) digunakan untuk menguji signifikansi kecocokan statistik dari asosiasi yang telah diamati atau diobservasi dalam cross tabulation (tabulasi silang). Cross tabulation ini membantu peneliti dalam menentukan apakah ada hubungan yang terjadi antara dua variabel. Dikatakan signifikan apabila nilai uji dalam penelitian ini menunjukkan bahwa nilai dari chi square hitung lebih kecil (<) dari chi square tabel. Tabulasi silang berguna untuk mendapatkan adanya hubungan dan membuktikan hipotesis dari variabel perbedaan budaya dengan variabel keefektifan komunikasi. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui hubungan antara variabel perbedaan budaya dengan
107
keefektifan komunikasi. Hasil penelitian dapat dilihat dari tabel tabulasi silang antara variabel X dan variabel Y sebagai berikut: Tingkat Beda Budaya * Efektivitas Komunikasi Crosstabulation Efektivitas Komunikasi Sedang Tingkat Beda Budaya
Sedang
Count
48
7
55
% within Tingkat Beda Budaya
87.3%
12.7%
100.0%
% within Efektivitas Komunikasi
82.8%
33.3%
69.6%
% of Total
60.8%
8.9%
69.6%
Count % within Tingkat Beda Budaya
1.2 10
-2.0 14
24
41.7%
58.3%
100.0%
% within Efektivitas Komunikasi
17.2%
66.7%
30.4%
% of Total
12.7%
17.7%
30.4%
-1.8 58
3.0 21
79
73.4%
26.6%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
73.4%
26.6%
100.0%
Std. Residual Tinggi
Std. Residual Total
Total
Tinggi
Count % within Tingkat Beda Budaya % within Efektivitas Komunikasi % of Total
Tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat perbedaan budaya dan tingkat efektifitas komunikasi responden, berada pada level (tingkatan) sedang dan tinggi. Tidak terdapat satu orang responden pun yang memiliki tingkat perbedaan latar belakang budaya dan tingkat efektifitas komunikasi yang rendah, sangat rendah, maupun sangat tinggi. Jumlah responden yang memiliki tingkat perbedaan budaya sedang dan efektivitas komunikasi yang juga sedang adalah sebanyak 48 orang atau 60.8% dari total responden. Sedangkan jumlah responden yang memiliki perbedaan budaya sedang namun memiliki efektivitas
108
komunikasi tinggi adalah sebanyak 7 orang atau 8.9% dari total responden. Jumlah responden yang memiliki tingkat perbedaan latar budaya tinggi dan memiliki efektifitas komunikasi sedang adalah sebanyak 10 orang atau 12.7% dari total responden. Sedangkan jumlah responden yang memiliki tingkat perbedaan latar budaya tinggi dan memiliki efektifitas komunikasi yang juga tinggi adalah sebanyak 14 orang atau 17.7% dari total responden.
4.4.
Uji Korelasi Chi-Square Tests
Value Pearson ChiSquare Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
Asymp. Sig. (2-sided)
df
17.807(b)
1
.000
15.547
1
.000
16.962
1
.000
Exact Sig. (2-sided)
.000 17.582
1
Exact Sig. (1-sided)
.000
.000
N of Valid Cases 79 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.38.
Tabel di atas merupakan hasil perhitungan chi square dengan taraf signifikasi (tingkat kesalahan) sebesar 5% dan derajat kebebasan 1. Untuk itu nilai chi square tabel yang digunakan adalah nilai chi square tabel dengan derajat kebebasan 1 dan taraf signifikasi 5% yaitu sebesar 3.481
109
Seperti yang telah dikemukakan, hipotesis nol (Ho) diterima dan hipotesis kerja (Ha) ditolak hanya jika nilai chi square hitung lebih kecil (<) daripada chi square tabel, namun jika nilai chi square hitung lebih besar (<) dari chi square tabel maka hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis kerja (Ha). Pada kolom Value Pearson dari tabel di atas terlihat bahwa nilai chi square hitung sebesar 17.807 lebih besar bila dibandingkan dengan nilai chi square tabel (3.841). Berdasarkan hasil ini, maka hipotesis nol (Ho) ditolak dan Hipotesis kerja (Ha) dari penelitian ini diterima. Untuk menguji signifikasi hubungan antara perbedaan latar belakang budaya dengan tingkat keefektifan komunikasi karyawan (hipotesis), dilakukan dengan cara membandingkan antara nilai chi quadrat (2) tabel dengan nilai chi quadrat hasil perhitungan (2). Nilai 2 table untuk derajat kebebasan 1 dan tingkat kesalahan 5% adalah 3.841, sedangkan nilai hasil perhitungan adalah 17.807 terdapat perbedaan sebesar 13.966. Karena nilai 2 hasil perhitungan lebih besar daripada 2 tabel, maka hipotesis kerja (Ha) diterima. Uji signifikasi ini membuktikan bahwa variabel X (perbedaan latar belakang budaya) mempunyai hubungan yang signifikan dengan variabel Y (keefektifan komunikasi). 4.5.
Pembahasan Penelitian Perbedaan latar belakang budaya – yang ditimbulkan oleh unsurunsur sosio-budaya – para responden merupakan faktor yang mempengaruhi penciptaan makna – yang selanjutnya menentukan
110
tingkah laku komunikasi. Tingkah laku komunikasi ini merupakan salah satu faktor yang menentukan komunikasi menjadi efektif atau tidak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara perbedaan latar belakang budaya dengan keefektifan komunikasi Hasil perhitungan kuesioner menunjukkan bahwa responden yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda juga dapat berkomunikasi secara efektif. Hal ini terlihat dari jawaban responden yang
sebagian
besar
menyetujui
pertanyaan-pertanyaan
yang
berhubungan dengan perbedaan persepsi, proses verbal dan non-verbal serta proses komunikasi yang berlangsung di PT. Mitsui Indonesia. Hasil perhitungan akumulasi untuk kedua variabel – perbedaan latar belakang budaya (X) dan efektifitas komunikasi (Y) – menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara latar belakang budaya dengan efektifitas komunikasi. Hal ini ditunjukkan oleh perhitungan hasil kuesioner dengan menggunakan metode chi square yang menunjukkan bahwa hipotesis kerja (Ha). Hal tersebut menunjukkan bahwa chi square hitung lebih besar dibandingkan dengan nilai pada chi square tabel yang berakibat ditolaknya hipotesis nol (Ho). Pengujian signifikansi hipotesis menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan antara tingkat perbedaan latar belakang budaya dengan tingkat efektifitas komunikasi dimana chi square hasil perhitungan jauh lebih besar bila dibandingkan dengan chi square tabel. Hasil dari chi quadrat perhitungan mencapai angka 17.807, jauh melebihi nilai chi quadrat tabel sebesar 3.841, selisih antara keduanya
111
mencapai angka 13.966 jauh melebihi angka minimal yang dibutuhkan untuk menerima hipotesis kerja (Ha) yaitu nilai hasil perhitungan chi square haruslah sama atau lebih besar dari nilai chi quadrat tabel. Tabulasi silang menunjukkan adanya hubungan antara perbedaan latar belakang budaya dengan tingkat efektifitas komunikasi. Dari hasil tabulasi silang, dapat ditarik beberapa kesimpulan: a.
Mayoritas responden memiliki tingkat perbedaan latar belakang budaya sedang (69.6%).
b.
Mayoritas responden memiliki tingkat efektifitas komunikasi sedang (73.4%).
c.
Mayoritas responden dengan tingkat perbedaan latar belakang budaya yang sedang, memiliki tingkat efektifitas komunikasi yang sedang (87.3% dari jumlah responden dengan perbedaan latar belakang budaya yang sedang atau 60.8% dari jumlah responden secara keseluruhan).
d.
Mayoritas responden dengan tingkat perbedaan latar belakang budaya yang tinggi, memiliki tingkat efektifitas komunikasi yang tinggi (58.3% dari jumlah responden dengan perbedaan latar belakang budaya yang tinggi atau 17.7% dari jumlah responden secara keseluruhan). Yang perlu dicatat dari hasil tabulasi silang adalah meskipun
mayoritas responden dengan perbedaan latar belakang budaya yang tinggi juga memiliki tingkat efektifitas komunikasi yang juga tinggi (58.3% dari jumlah responden dengan perbedaan latar belakang budaya
112
yang tinggi atau 17.7% dari jumlah responden secara keseluruhan), namun jumlah responden dengan tingkat efektifitas komunikasi yang sedang juga signifikan yaitu 41.7 persen dari jumlah responden dengan latar budaya yang tinggi atau 12.7% dari jumlah responden secara keseluruhan. Hasil jawaban dari para responden untuk variabel efektifitas komunikasi (variabel Y) memperlihatkan bahwa mayoritas responden menyetujui hampir semua pernyataan yang diajukan, dari 11 pernyataan hanya terdapat 4 (36.7%) pernyataan yang tidak disetujui atau ditolak oleh mayoritas responden (tidak setuju dan sangat tidak setuju), yaitu: 1.
Pernyataan nomor 8, “Atasan (orang Jepang) menunjukkan rasa bersahabat dengan stafnya”. Dari 79 orang responden terdapat 54 orang responden (68,3%) yang tidak menyetujui pernyataan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden menganggap bahwa atasan (orang Jepang – yang memiliki latar belakang budaya
yang berbeda) tidak menunjukkan rasa
bersahabat. Meskipun hal ini didasari oleh persepsi dari para responden yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, hal ini menunjukkan bahwa budaya sangat berpengaruh terhadap penafsiran responden terhadap perilaku responden lain yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. 2.
Pernyataan nomor 9, “Atasan (orang Jepang) menunjukkan minatnya terhadap kehidupan pribadi stafnya”. Dari 79 orang responden terdapat 75 orang responden (94.9%) yang tidak
113
menyetujui pernyataan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden menyatakan bahwa atasan mereka yang berkebangsaan Jepang dan berasal dari latar belakang budaya beda tidak menunjukkan minat/ketertarikan terhadap kehidupan pribadi para staf/bawahannya, namun perlu dicatat bahwa subyektifitas dari masing-masing respondenlah yang menentukan apakah hal ini mempengaruhi
proses
komunikasi
dan
tingkat
efektifitas
komunikasi mereka atau tidak. Pola, persepsi dan interpretasi seorang individu (responden) sangat menentukan asumsi dan tindakan yang akan dilakukannya terutama terkait dengan suatu proses atau kegiatan komunikasi. 3.
Pernyataan nomor 10, “Karyawan Indonesia bertindak sesuai yang diinginkan oleh atasan (orang Jepang) tanpa merasa tertekan”. Dari 79 orang responden terdapat 53 orang responden (67%) yang menyatakan tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden merasa tertekan untuk bertindak sesuai dengan yang diinginkan oleh atasan mereka (orang Jepang – yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda). Menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, komunikasi efektif menimbulkan beberapa hal yaitu pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan sosial yang baik dan tindakan. Hasil kuesioner untuk pernyataan di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden merasa bahwa faktor kesenangan tidak berhasil dicapai melalui proses atau kegiatan komunikasi di tempat
114
mereka bekerja – dalam hal ini downward communication, sehingga berpengaruh kepada sikap mereka, yaitu merasa tertekan untuk bertindak seperti yang diinginkan oleh atasan, bisa dikatakan komunikasi yang terjadi tidak berjalan dengan efektif karena ada beberapa indikator komunikasi efektif yang tidak terpenuhi.
Diperlukan
pemahaman
yang
tinggi
untuk
mengkategorikan keefektifan komunikasi menurut teori Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss bila diaplikasikan dalam sebuah perusahaan. 4.
Pernyataan nomor 11, “Karyawan Indonesia berhasil meyakinkan karyawan Jepang untuk melakukan tindakan seperti yang diinginkan”. Dari 79 orang responden terdapat 53 orang responden (67% dari jumlah responden keseluruhan atau 89.8% dari jumlah responden berkebangsaan Indonesia) yang menyatakan tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden menganggap bahwa mereka tidak berhasil meyakinkan
karyawan
yang
berkebangsaan
Jepang
untuk
melakukan tindakan sesuai dengan yang diinginkan. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini, diantaranya: perbedaan budaya dan proses komunikasi dan di dalam suatu organisasi, namun kembali hal ini menunjukkan bahwa efek dari komunikasi efektif seperti yang dikemukakan oleh Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss belum terpenuhi.
115
Tidak dipenuhinya seluruh indikator komunikasi efektif bukan berarti bahwa dalam proses komunikasi yang berlangsung pesan yang disampaikan tidak bisa ditafsirkan oleh komunikan sebagaimana yang dimaksud oleh komunikator, indikator yang disebutkan oleh Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss lebih mengarah pada efek yang timbul dari suatu komunikasi yang efektif, dimana latar belakang dan pengalaman pribadi seseorang sangat menentukan reaksi atas suatu pesan yang diterimanya. Jawaban-jawaban
para
responden
yang
menyatakan
ketidaksetujuan atas beberapa pernyataan di atas sedikit banyak memberikan jawaban mengapa jumlah responden dengan tingkat efektifitas komunikasi sedang juga signifikan. Goldhaber membagi jaringan kerja komunikasi di dalam suatu organisasi menjadi 3 (tiga) yaitu: komunikasi kebawah; komunikasi keatas; komunikasi horizontal, sedangkan aliran informasi dalam suatu organisasi pada hakikatnya merupakan suatu proses dinamis. Dalam proses inilah pesan-pesan secara tetap dan berkesinambungan diciptakan, ditampilkan, dan diinterprestasikan. Aliran pesan dalam organisasi sebagaimana yang diungkapkan oleh Redding merupakan tugas individu, sebagai pemelihara komunikasi dan hubungan antar manusia. Dalam hal inilah latar belakang budaya para pelaku (dalam hal ini responden) menjadi faktor yang mempengaruhi persepsi dan penafsiran seseorang terhadap suatu pesan di dalam suatu proses komunikasi serta feedback yang akan diberikan oleh komunikan baik berupa pesan verbal maupun
116
non verbal yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat efektifitas komunikasi baik dalam komunikasi antar pribadi maupun dalam konteks jaringan komunikasi pada suatu organisasi. Hasil penelitian ini mendukung teori yang dikemukakan oleh para ahli yang menekankan bahwa perbedaan budaya sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi. Lebih lanjut di dalam hubungan antar manusia (human relations) di dalam suatu organisasi, perbedaan latar belakang budaya turut menentukan tingkat keefektifan suatu komunikasi, hal ini karena yang menjadi titik sentral di dalam human relations adalah manusia dan latar belakang budaya merupakan pengalaman budaya seseorang yang mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku seseorang terutama dalam menafsirkan pesan baik itu pesan verbal maupun non verbal. Salah satu fakta yang muncul di pada hasil penelitian bahwa mayoritas responden yang berkebangsaan Indonesia menganggap bahwa para atasan mereka yang berkebangsaan Jepang tidak menunjukkan sikap yang bersahabat (lihat tabel 4.2.5.8). anggapan ini tentu saja muncul sebagai hasil dari persepsi yang didasari oleh latar belakang pengalaman budaya para responden yang berkebangsaan Indonesia, lebih lanjut mayoritas responden yang berkebangsaan Indonesia merasa tertekan untuk bertindak sesuai dengan yang diinginkan oleh para atasan mereka yang berkebangsaan Jepang (lihat tabel 4.2.5.10). Hal ini menunjukkan bahwa cara bertindak dan cara menafsirkan pesan sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya masing-masing individu yang
117
terlibat di dalam suatu kegiatan atau proses komunikasi. Seperti yang telah disebutkan di dalam kerangka teori, nilai-nilai budaya sangat mempengaruhi pola pikir dan persepsi dari seorang individu, dan perbedaan budaya merupakan faktor yang menentukan di dalam berlangsungnya proses komunikasi. Perlu dicatat bahwa di dalam budaya Jepang sikap kekakuan bukan berarti menunjukkan sikap tidak bersahabat karena bangsa Jepang merupakan bangsa dengan latar budaya militer yang kaku, sejarah menunjukkan bahwa bangsa Jepang selalu dalam situasi perang dari zaman Tenno (abad pertengahan) sampai pada awal restorasi Meiji, bahkan sampai dengan akhir perang dunia ke dua. Struktur bahasa Jepang (bahasa merupakan produk budaya) yang berbeda dengan struktur bahasa Indonesia (misalnya di dalam bahasa Indonesia: “saya Nancy”, namun dalam bahasa Jepang menjadi “Nancy (itu adalah) saya” (Nancy de gozaru) juga mempengaruhi cara berperilaku orang Jepang, dimana di dalam suatu proses komunikasi orang-orang Jepang cenderung bersikap agak kaku karena harus fokus kepada seluruh kalimat sebelum bisa memaknai arti sebuah kalimat (pesan). Hal inilah yang membentuk bangsa Jepang menjadi bangsa yang disiplin dan kelihatan agak kaku. Hal ini kembali menunjukkan bahwa perbedaan latar belakang budaya merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat efektifitas komunikasi antar budaya. Selanjutnya bila dicermati hasil penelitian (angka-angka yang muncul) terutama pada hasil tabulasi silang, muncul beberapa fakta yang
118
menarik yaitu bahwa para responden yang memiliki tingkat perbedaan latar belakang budaya yang sedang juga memiliki tingkat efektifitas yang sedang dan para responden yang memiliki tingkat perbedaan latar belakang budaya yang tinggi dengan berbagai alasan juga cenderung memiliki tingkat efektifitas komunikasi yang tinggi. Seperti yang telah diketahui, para responden berasal dari dua latar belakang budaya yang berbeda, yaitu dari Jepang dan dari Indonesia. Secara umum perbedaan budaya antara para responden yang berkebangsaan yang sama adalah sedang, dan perbedaan budaya antara para responden dengan kebangsaan yang berbeda adalah tinggi. Fakta-fakta di atas memunculkan beberapa asumsi (harus diuji melalui penelitian lebih lanjut yang terpisah dari penelitian ini). Asumsiasumsi yang muncul adalah: 1.
Para responden dengan latar belakang budaya yang sama, cenderung memiliki tingkat efektifitas komunikasi sedang atau biasa-biasa saja.
2.
Para responden dengan latar belakang budaya yang berbeda (komunikasi
antar
budaya),
memiliki
tingkat
efektifitas
komunikasi yang cenderung tinggi. 3.
Persepsi kemungkinan besar merupakan faktor yang menjadi penyebab kecenderungan pada poin “1” dan “2” di atas, dimana para responden dengan latar belakang budaya yang sama atau hampir sama beranggapan bisa menafsirkan pesan (baik verbal maupun non verbal) dengan cepat dan akurat dan perlu
119
menyampaikan atau menafsirkan pesan dengan lebih cermat. Hal yang berbeda terjadi pada komunikasi antar budaya dimana para pelaku komunikasi berusaha dengan sebaik-baiknya untuk “menangkap” dan menafsirkan pesan yang diterima dengan baik dan benar. 4.
Faktor toleransi, dorongan untuk berusaha memahami informasi yang disampaikan oleh lawan bicara (komunikator) atau berusaha agar lawan bicara (komunikan) bisa memahami isi pesan yang disampaikan dengan baik– dalam hal ini lawan bicara yang berasal dari latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda – merupakan faktor yang mendorong kecenderungan tingginya efektifitas komunikasi antar budaya.
5.
Bila poin “4” di atas benar, maka salah satu faktor yang sangat menentukan tingkat efektifitas komunikasi adalah faktor perhatian (attention) terhadap bisa atau tidak nya suatu pesan disampaikan, diterima dan ditafsirkan dengan benar. Untuk menelaah dan menguji asumsi-asumi di atas diperlukan
suatu penelitian terpisah yang diharapkan bisa menjawab pertanyaan kenapa pada perbedaan latar belakang budaya yang sedang, efektifitas komunikasi justru juga sedang, padahal menurut teori para responden dengan perbedaan latar belakang budaya yang tidak jauh berbeda, seharusnya juga memiliki kecenderungan persepsi yang tidak jauh berbeda.
120
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.
Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara perbedaan latar belakang budaya dengan efektifitas komunikasi. Hasil penelitian memperlihatkan: 1.
Latar belakang budaya merupakan faktor yang mempengaruhi atensi, persepsi, dan interprestasi seseorang di dalam proses komunikasi.
2.
Penelitian ini juga membuktikan bahwa memang terbukti bahwa teori-teori komunikasi antar budaya yang menekankan bahwa perbedaan kebudayaan merupakan faktor yang menentukan di dalam proses komunikasi
3.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa di dalam hubungan antar manusia (human relations), yang titik sentralnya adalah manusia, latar belakang budaya yang mempengaruhi perilaku dan cara berfikir seorang individu di dalam melakukan hubungan manusiawi (human relations) sangat mempengaruhi proses komunikasi yang berlangsung.
4.
Hasil penelitian memunculkan pertanyaan “Mengapa mayoritas responden yang memiliki perbedaan latar belakang budaya yang sedang, memiliki tingkat efektifitas komunikasi yang juga sedang?, padahal tingkat perbedaan pengalaman budaya yang mempengaruhi pola pikir dan cara bertindak seseorang tidak
121
terlalu jauh berbeda (cenderung homogen)”. Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan penelitian lain yang terpisah mengenai komunikasi antarbudaya.
5.2.
Saran
5.2.1
Saran Akademis Penulis berharap agar dalam penelitian selanjutnya dapat dilaksanakan dengan lebih detail dan sempurna menggunakan pendekatan secara kualitatif untuk mendapatkan opini yang variatif dan lengkap hingga hasilnya dapat melengkapi penelitian ini dan dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai pengaruh perbedaan latar belakang budaya terhadap keefektifan komunikasi di sebuah organisasi ataupun masyarakat umum.
5.2.2
Saran Praktis
Salah satu aset terbesar sebuah perusahaan adalah sumber daya manusia yang di dalamnya meliputi orang-orang atau karyawan yang berkarya untuk kemajuan perusahaan. Keberhasilan sebuah perusahaan sangat bergantung pada kinerja karyawan-karyawannya. Hubungan yang terjalin dengan baik antar karyawan serta manajemen akibat hasil komunikasi yang efektif merupakan faktor terpenting bagi perusahaan
122
dalam mencapai tujuan organisasi. Adapun berdasarkan penelitian ini, peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut : 1.
Perusahaan harus memiliki praktisi humas sebagai “jembatan” antara perusahaan dengan stakeholder yang dalam penelitian ini lebih mengkhususkan kepada karyawan.
2.
Dengan adanya praktisi humas perusahaan dapat memaksimalkan kegiatan-kegiatan komunikasi internal antar karyawan khususnya antar karyawan yang berbeda latar belakang budaya.
3.
Kegiatan tahunan seperti “outing” sebaiknya tidak hanya melibatkan karyawan lokal saja melainkan juga mengikutsertakan karyawan-karyawan Jepang yang merupakan atasan, sehingga hubungan antara atasan orang Jepang dengan bawahan orang Indonesia dapat terjalin dengan baik, tidak kaku.
4.
Praktisi humas harus bisa memberikan pengetahuan tentang budaya orang Jepang dan budaya orang Indonesia kepada khalayak sehingga komunikasi antar budaya dapat dikuasai dengan baik oleh karyawan. Hal ini bisa terwujud melalui media internal atau suatu kegiatan budaya.
DAFTAR PUSTAKA BUKU: Effendy, dan Uchjana, Onong. (1993). Human Relations. CV. Mandar Maju. Furuta, Gyo (terj H. Soeparno). (1994). Komunikasi Anatar Budaya: Sebuah Perbandingan: Sebuah Perbandingan antara Jepang-Amerika. Jakarta: CV Antakarya. Goldhaber, Gerald M. (1993). Organizational Communication. 6th Edition. USA: MC. Graw Hill. Gudykunst, William B & Kim, Young Yun. (1997). Communicating with Strangers: An approach to an Intercultural Communiaction. New York: McGraw-Hill, Inc. Hybels, Saundra., and Weaver, Richard L. (1992). Communicating Effectively. USA: MacGraw-Hill Publishing Comp. Jandt, Fred E. (1998). Intercultural Communications: An Introduction. 2nd Edition. California: Sage Publications. Ludlow, Ron., and Panton, Ferguson. (terj. Deddy Jacobus). (2000). Komunikasi Efektif. Judul Asli. The Essence of Effective Communication. Jakarta: Penerbit ANDI. Maier, Norman R.F. (1963). Principles of Human Relations. New York: John Wiley & Sons, Inc. Muhammad, Arni. (2005). Komunikasi Organisasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Mulyana, Deddy., dan Rakhmat, Jalaluddin B. (2005). Komunikasi Antar Budaya: Panduan Komunikasi Dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Prasetya, Irawan. (2006). Penelitian Kualitatif & Kuantitatif Untuk Ilmu-ilmu Sosial. Depok: DIA FISIP UI. Rakhmat, Jalaluddin. (2004). Psikologi Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Ridwan. (2005). Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Jakarta: Penerbit Alfabeta. Rogers, Everett. M. (1976). Communication in Organizations. New York: The Free Press. Adivision of MacMillan, Co.
Samovar, Larry A & Porter, Richard E. & Jain, Nemi C. (1981). Understanding Intercultural Communication. Belmont: Wadsworth Publishing Company. Saronto, Budi. (2005). Gaya Manajemen Jepang. Jakarta: PT. Hecca Mitra Utama. Sasaki, Naoto. (1985). Manajemen dan Struktur Industri Jepang (terj. Ny. Mulyana) Jakarta: PT. Midas Surya Granindo. Singarimbun, Masri., dan Effendi, Sofian. (1989). Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Soewadji, Joesuf. (2003). Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Nasional. Umar, Husein. (2004). Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, Jakarta: Rajawali Pers. Usman, Husaini. Dan Akbar, Purnomo Setiady. (2006). Pengantar Statistika, Jakarta: PT. Bumi Aksara. Yarnest. (2004). Panduan Aplikasi Statistik. Seri Panduan Statistik Buku 1. Malang: Penerbit Dioma.
SUMBER LAIN : Annual Report Mitsui & Co., Ltd., 2005. USU digital library tanggal akses 15 Oktober 2006 pukul 12.27 WIB: Dra. Lusiana Andriani Lubis, MA. (2002). Komunikasi Antar Budaya. Sumatera: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi.
DAFTAR LAMPIRAN
1. Kuesioner 2. Hasil SPSS 3. Hasil Survey
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A.
KETERANGAN PERORANGAN
1.
Nama
: NANCY MUSTIKASARI
2.
Tempat tanggal lahir
: Bogor, 09 Maret 1978
3.
Alamat
: JL. BBM No. 18/19 RT.02/06, Sukamaju – Sukmajaya, Depok 16415
4.
No. Kontak
: R. (021) 7717048, HP. 0817 994 3132
5.
Agama
: Islam
B.
PENDIDIKAN UMUM
NO.
SEKOLAH
TAHUN LULUS
KETERANGAN
1.
SDN SUKAMAJU 3 DEPOK
1989
LULUS
2.
SMPN 3 DEPOK
1992
LULUS
3.
SMAN 3 DEPOK
1995
LULUS
4.
D III FSUI 1998
LULUS
SASTRA JEPANG
Halaman 1
C.
SEMINAR / LATIHAN
NO.
D.
SEMINAR/KURSUS/ LATIHAN
TAHUN LULUS
KETERANGAN
1.
Fakultas Sastra – Universitas Indonesia
Januari 1996
Latihan Manajemen (LKMM)
2.
Asosiasi Studi Jepang di Indonesia (ASJI).
Jul – Sep 1998 Kursus Bahasa Jepang
3.
English First Jakarta
1998 - 1999
Kursus Bahasa Jepang
4.
PT. TOMIDAPAJOW KONSULTAMA
Maret 2000
5.
Japan Foundation
2001 - 2004
Workshop: “How to Prepare 1999 Annual Tax Returns (SPT PPh Tahun 1999)” Kursus Bahasa Jepang
6.
Profile Management
Jul–Sep 2004
Short Class for Public Speaking
RIWAYAT PEKERJAAN
NO.
JABATAN
PERIODE
KETERANGAN
1.
Guru Private
April 1999 sekarang
Mengajar B. Indonesia untuk Orang Jepang
2.
Secretary & Accounting
April 1999 seakrang
MITSUI ENGINEERING & SHIPBUILDING CO., LTD.
Halaman 2