FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENGEMBALIAN PEMBIAYAAN SYARIAH UNTUK UMKM AGRIBISNIS PADA KBMT WIHDATUL UMMAH KOTA BOGOR
SKRIPSI
MASTUTY HANDOYO H 34066079
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
1
RINGKASAN MASTUTY HANDOYO. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengembalian Pembiayaan Syariah untuk UMKM Agribisnis pada KBMT Wihdatul Ummah Kota Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan HARMINI) Usaha Mikro Kecil dan Mengengah (UMKM) khususnya yang bergerak di sektor agribisnis berperan dalam menyokong perokonian negara, hal ini dilihat dari kontribusinya terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja. UMKM pada kenyataannya masih memiliki keterbatasan modal, hal ini dapat dipecahkan dengan bantuan pembiayaan dari lembaga keuangan. Baitul Maal wat Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah dalam bentuk non bank merupakan alternatif solusinya. Permasalahan yang sering muncul dari penyaluran pembiayaan adalah adanya kasus penunggakan pengembalian pembiayaan yang dapat mengganggu likuiditas dan profitabilitas lembaga keuangan. Salah satu BMT yang berprestasi di kota Bogor adalah Koperasi BMT Wihdatul Ummah (KBMT WU) dengan persentase nilai tunggakan beberapa tahun terakhir mengalami penurunan. Prestasi ini tentu harus dipertahankan dan ditingkatkan hingga masalah tersebut bisa dihilangkan. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penyaluran pembiayaan dan perbandingan karakteristik debitur berdasarkan tingkat pengembalian pembiayaan serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian pembiayaan oleh UMKM agribisnis pada KBMT WU. Penelitian ini dilakukan pada debitur UMKM agribisnis pada KBMT Wihdatul Ummah, Bogor. Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari – April 2009 dengan menggunakan sampel purposive sebanyak 30 debitur. Semua faktor yang diduga berpengaruh dengan tingkat pengembalian pembiayaan dianalisis dengan menggunakan analisis Deskriptif dan Regresi Logistik. Sebagai variabel respon dalam analisis tersebut yaitu tingkat pengembalian pembiayaan (Y) dimana Y=1 jika lancar dan Y=0 jika tidak lancar. Variabel-variabel prediktornya yaitu karakteristik personal terdiri atas tingkat pendidikan, karakteristik usaha terdiri atas omzet usaha dan pengalaman usaha, karakteristik pembiayaan terdiri atas jumlah pembiayaan, jangka waktu pembiayaan, frekuensi pembiayaan, pola penagihan dan penggunaan pembiayaan. Penyaluran pembiayaan pada KBMT WU jumlahnya terus mengalami peningkatan yang diiringi dengan tingkat kesehatan lembaga yang semakin baik. Keberhasilan tersebut didukung oleh pengelolaaan penyaluran pembiayaan yang dilakukan oleh KBMT WU. Tindakan dalam pengelolaan tersebut diantaranya dengan menetapkan kebijakan penyaluran pembiayaan dan pengelolaan pembiayaan bermasalah. Berdasarkan hasil analisis deskriptif, karakteristik debitur UMKM agribisnis yaitu (1) Sebagian besar debitur yang lancar dalam pengembalian pembiayaan memiliki tingkat pendidikan SD hingga SMP, omzet usaha > 8,3 juta hingga 83,3 juta, lama usaha 11 hingga 20 tahun, jumlah pembiayaan yang diperoleh antara 1 juta hingga 5 juta, jangka waktu pembiayaan 150 hingga 300
2
hari. Sebagian besar frekuensi pembiayaan lebih dari lima kali, pola penagihannya langsung, dan pembiayaan digunakan untuk kegiatan produktif. (2) Debitur yang tidak lancar dalam mengembalikan pembiayaan tingkat pendidikannya hampir merata pada semua tingkat pendidikan kecuali Perguruan Tinggi, sebagian besar memiliki omzet usaha ≤ 8,3 juta dan lama usaha satu hingga 10 tahun. Jumlah pembiayaan yang diperoleh antara 1 juta hingga 5 juta, jangka waktu pembiayaan < 150 hari. Sebagian besar frekuensi pembiayaan lebih dari lima kali, pola penagihannya langsung, dan pembiayaan digunakan untuk kegiatan produktif. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian pembiayaan adalah tingkat pendidikan dan pengalaman usaha. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan dan pengalaman usaha debitur maka semakin besar pula peluang pengembalian pembiayaan secara lancar. Pihak KBMT WU diharapkan lebih berhati-hati dalam memberikan pembiayaan kepada UMKM agribisnis khususnnya terkait dengan tingkat pendidikan dan pengalaman usaha calon debitur. Tindakan ini memberikan pengertian bukan berarti menolak pembiayaan pada nasabah dengan tingkat pendidikan dan pengalaman usaha yang rendah, namun dengan melakukan beberapa langkah positif diantaranya dengan meningkatkan pembinaan usaha dan monitoring prestasi pembiayaan kepada nasabah tersebut.
3
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENGEMBALIAN PEMBIAYAAN SYARIAH UNTUK UMKM AGRIBISNIS PADA KBMT WIHDATUL UMMAH KOTA BOGOR
MASTUTY HANDOYO H 34066079
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
4
Judul Skripsi
: Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengembalian Pembiyaaan Syariah untuk UMKM Agribisnis pada KBMT Wihdatul Ummah Kota Bogor
Nama
: Mastuty Handoyo
NIM
: H 34066079
Disetujui, Pembimbing
Ir. Harmini, MSi NIP. 131 688 732
Diketahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 131 415 082
Tanggal Lulus:
5
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul ”Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengembalian Pembiayaan Syariah untuk UMKM Agribisnis pada KBMT Wihdatul Ummah Kota Bogor” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
3
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak Nur Handoyo dan Ibu Maryati yang dilahirkan di Pacitan pada tanggal 10 Maret 1984. Penulis lulus dari SD Negeri Klegen 6 Madiun pada tahun 1997, setelah itu melanjutkan ke SMP Negeri 1 Madiun dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Madiun kemudian melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor, Program Studi Diploma Manajemen Bisnis dan Koperasi, Fakultas Pertanian. Setelah itu pada tahun 2006 penulis melanjutkan kembali pendidikannya ke Program Sarjana Penyelenggaraan Manajemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani studi pada program sarjana, penulis aktif pada kegiatan di dalam maupun di luar kampus. Penulis pernah menjadi pengurus Keluarga Muslim Ekstensi (KAMUS) periode 2007-2008 dan pada kegiatan di luar kampus penulis aktif mengajar pada lembaga yang bersifat sosial maupun komersial.
4
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah sholallohu alaihi wassalam sebagai panutan terbaik dalam hidup. Skripsi ini mengambil topik mengenai ”Faktor-faktor yamg Mempengaruhi Tingkat Pengembalian Pembiayaan Syariah untuk UMKM Agribisnis pada KBMT Wihdatul Ummah Kota Bogor”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengelolaan penyaluran pembiayaan dan karakteristik debitur berdasarkan tingkat pengembalian pembiayaan. Selain itu juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian pembiayaan oleh UMKM agribisnis pada KBMT WU . Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Semoga apa yang penulis sampaikan pada skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan KBMT Wihdatul Ummah khususnya agar dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan jangka pendek maupun jangka panjang.
5
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Ir. Harmini, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingannya. 2. Bpk Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS atas masukan sebagai dosen penguji pada waktu sidang. 3. Ibu Tintin Sarianti, SP, MM selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas masukan serta perbaikan pada waktu sidang. 4. Ibu Ir. Dwi Rachmina, MSi yang telah menjadi dosen evaluator dan memberikan masukan pada penelitian penulis. 5. KBMT Wihdatul Ummah: Ibu Juhariah, Bapak Puji, Mbak Lia, Mas Hendri, Mas Eko serta semua yang tidak dapat disebutkan, terimakasih atas kesempatan dan bantuan yang telah diberikan. 6. Bapak Nur Handoyo dan Ibu Maryati atas doa dan kasih sayangnya semoga kelak dipertemukan kembali di surgaNya. 7. My inspirations Asmarawati Handoyo yang telah berbagi hikmah, nasihat dan motivasi. 8. Kisah klasik untuk masa depan: teman dan rekan di Sunda Karya, KAMUS, Primagama Yasmin, Biruny, ‘my Lintangs’ and family yang memberi banyak pelajaran dan mewarnai hidup penulis saat proses skripsi. 9. Megawati atas bantuannya dalam pengolahan data, Age, Ike, Uni dan Mbak Noqi atas fasilitas internet dan bantuannya dalam seminar, Ela dan Irma yang telah menemani penulis dalam sidang, teman-teman ’40 yang telah memacu semangat penulis. 10. Para responden atas informasinya dan teman-teman yang telah memberikan apresiasi dalam kolokium dan seminar penulis.
Bogor, Mei 2008 Penulis
6
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
vi
I
PENDAHULUAN ............................................................................ 1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1.2 Perumusan Masalah .................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................... 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ..........................................................
1 1 4 6 6 7
II
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2.1 Definisi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) .............. 2.2 Definisi Agribisnis ...................................................................... 2.3 Definisi Koperasi Baitul Maal wat Tamwil (KBMT) ................. 2.3.1 Definisi Koperasi ............................................................ 2.3.2 Definisi Baitul Maal wat Tamwil (BMT) ....................... 2.4 Produk-Produk Pembiayaan KBMT .......................................... 2.4.1 Pembiayaan Berprinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing, Revenue Sharing) ............................................. 2.4.2 Pembiayaan Berprinsip Jual Beli (Bai’)............................ 2.4.3 Pembiayaan Berprinsip Sewa (Ijaroh) .............................. 2.4.4 Pembiayaan Berprinsip Jasa ............................................. 2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembalian Kredit ..........
8 8 9 10 10 10 12
III KERANGKA PEMIKIRAN............................................................... 3.1 Kerangka Teoritis ....................................................................... 3.1.1 Pengertian Pembiayaan .................................................... 3.1.2 Prinsip Penilaian Pembiayaan .......................................... 3.1.3 Penggolongan Pembiayaan .............................................. 3.1.4 Strategi Penghindaran dan Penanganan Pembiayaan Bermasalah ....................................................................... 3.2 Kerangka Operasional ................................................................ 3.3 Hipotesis Penelitian ....................................................................
20 20 20 22 22 23 25 29
IV METODE PENELITIAN .................................................................. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 4.2 Jenis dan Sumber Data ................................................................ 4.3 Populasi dan Sampel.................................................................... 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ....................................... 4.5 Definisi Operasional ...................................................................
30 30 30 30 31 34
V
35 35 35 36 43
GAMBARAN UMUM KBMT WIHDATUL UMMAH .................. 5.1 Sejarah Pendirian dan Wilayah Kerja KBMT Wihdatul Ummah 5.2 Visi dan Misi KBMT Wihdatul Ummah .................................... 5.3 Struktur Organisasi KBMT Wihdatul Ummah ........................... 5.4 Produk-produk Pembiayaan KBMT Wihdatul Ummah .............
12 15 15 16 18
7
5.5 Tingkat Kesehatan KBMT Wihdatul Ummah ............................ 5.6 Kualitas Aktiva Produktif KBMT Wihdatul Ummah ................. 5.7 Pengelolaan KBMT Wihdatul Ummahdalam Mendukung Keberhasilan Penyaluran Pembiayaan ........................................ 2.4.1 Prosedur Penyaluran Pembiayaan ..................................... 2.4.1 Pengelolaan Pembiayaan Bermasalah pada KBMT Wihdatul Ummah ............................................................
46 47 49 49 53
VI KARAKTERISTIK RESPONDEN BERDASARKAN TINGKAT PENGEMBALIAN PEMBIAYAAN ............................................... 6.1 Perbandingan Karakteristik Personal Responden ........................ 6.2 Perbandingan Karakteristik Usaha Responden .......................... 6.3 Perbandingan Karakteristik Pembiayaan Responden .................
57 57 58 60
VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPERNGARUHI TINGKAT PENGEMBALIAN PEMBIAYAAN ...............................................
65
VIII KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 7.1 Kesimpulan ................................................................................. 7.2 Saran ............................................................................................
71 71 72
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
73
LAMPIRAN ..............................................................................................
76
8
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja dan Nilai PDB Usaha Kecil, Menengah dan Besar Per Sektor Ekonomi Tahun 2007 ..........
1
Jumlah Penyaluran Kredit oleh Perbankan untuk UMKM Per Sektor Ekonomi Tahun 2006 - 2008 ..................................
3
Perbedaan Operasional BMT, KBMT dan Koperasi Konvensional ..........................................................................
11
4.
Perbedaan Bagi Hasil dengan Bunga........................................
14
5.
Tingkat Kesehatan KBMT Wihdatul Ummah Tahun 2007 dan 2008....................................................................................
46
6.
Kualitas Aktiva Produktif KBMT WU Tahun 2007 - 2008 .....
48
7.
Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Pendidikan untuk setiap Tingkat Pengembalian ......................
58
Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Menurut Omzet Usaha setiap Tingkat Pengembalian .............................
59
2. 3.
8. 9.
Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Menurut Pengalaman Usaha setiap Tingkat Pengembalian ........................................ 60
10. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Menurut Jumlah Pembiayaan setiap Tingkat Pengembalian ..............................
60
11. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Menurut Jangka Waktu Pembiayaan setiap Tingkat Pengembalian ..................
61
12. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Menurut Frekuensi Pembiayaan setiap Tingkat Pengembalian ...............................
62
13. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Menurut Pola Penagihan setiap Tingkat Pengembalian ................................
63
14. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Menurut Penggunaan Pembiayaan setiap Tingkat Pengembalian ..........
64
15.
Hasil Pengolahan Regresi Logistik Mengenai Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengembalian Pembiayaan pada KBMT WU ............................................................................
66
9
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1.
Jumlah Penyaluran Pembiayaan (Dropping) pada KBMT WU Tahun 2004-2008 .....................................................................
5
Keragaan Tingkat Pengembalian Pembiayaan pada KBMT WU Tahun 2004-2008 .............................................................
5
3.
Sistem Agribisnis dan Lembaga Penunjangnya .......................
9
4.
Kerangka Pemikiran Operasional ............................................
28
5.
Struktur Organisasi KBMT Wihdatul Ummah .........................
37
6.
Tahap Pembiayaan pada KBMT Wihdatul Ummah ................
53
2.
10
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Data Karakteristik Responden .................................................
77
2.
Output Analisis Regresi Logistik ............................................
78
11
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan skala perekonomian
yang
terbukti
mampu
bertahan
dalam
berbagai
gejolak
perekonomian. Saat terjadi krisis ekonomi pada kurun waktu 1997-2000 tercatat bahwa penyerapan tenaga kerja oleh UMKM meningkat rata-rata 2,99 persen per tahun, di sisi lain usaha skala besar harus mengurangi pekerjanya. Pada saat yang sama, Indonesia mengalami depresiasi rupiah namun nilai ekspor UMKM untuk produk pertanian dan produk industri pengolahan justru meningkat rata-rata 96,78 persen dan 68,51 persen per tahun (Widyastuti, 2002). Tabel 1. Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja dan Nilai PDB Usaha Menengah dan Besar Per Sektor Ekonomi Tahun 2007
Kecil,
Skala Usaha No
Sektor Ekonomi
1
Pertanian, Peternakan, Kehutanan &Perikanan
2
Pertambangan dan Penggalian
3
Industri Pengolahan
4
Listrik, Gas dan Air
5
Bangunan
6
Kecil Tenaga PDB Kerja (%) (orang)
Menengah Tenaga PDB Kerja (%) (orang)
Besar Tenaga PDB Kerja (%) (orang)
37.965.878
87,25
805.531
8,64
43.126
4,11
559.811
8,20
29.972
3,25
71.443
88,55
7.517.088
13,07
1.827.073
11,90
2.636.841
75,03
78.205
0,54
38.970
7,74
53.202
91,72
627.595
44,28
89.897
21,77
24.882
33,95
Perdagangan, Hotel dan Restoran
21.401.446
75,47
784.589
20,79
166.749
3,75
7
Pengangkutan dan Komunikasi
3.355.709
29,92
150.065
24,21
79.097
45,88
8
Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan
531.427
17,03
246.978
46,89
171.532
36,09
9
Jasa-jasa
8.896.225
39,70
510.034
7,93
141.590
52,38
80.933.384
35,05
4.483.109
17,01
3.388.462
47,94
Total
Sumber: Kementrian Negara Koperasi dan UMKM, 2008
UMKM saat ini pun masih patut diperhitungkan, berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa pada tahun 2007 sektor ini berkontribusi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar 52 persen dari total PDB Indonesia, dan berhasil menyerap 85,4 juta tenaga kerja atau 96,18 persen dari jumlah tenaga kerja di
12
Indonesia. Sementara itu skala usaha besar hanya mampu menyerap 3,3 juta tenaga kerja atau hanya 3,82 persen. Hal ini berarti UMKM berperan besar dalam penyediaan lapangan kerja sehingga berpeluang menekan tingkat kemiskinan di Indonesia. Selain itu juga diketahui bahwa antara skala usaha kecil maupun skala usaha menengah memiliki tiga sektor yang sama dalam mendominasi penyerapan tenaga kerja. Pertama yaitu sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan kemudian sektor kedua yaitu industri pengolahan dan yang ketiga yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran. Menurut Gumbira (2004), sektor agribisnis terdiri atas subsektor pangan, hortikultura, kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Sistem agribisnis merupakan rangkaian dari subsistem hulu meliputi kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana poduksi, subsistem usahatani (on farm) meliputi kegiatan produksi, dan subsistem hilir (off farm) meliputi pengolahan (agroindustri) dan pemasaran (perdagangan). Jika melihat pada definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ketiga sektor yang mendominasi UMKM merupakan bagian dari sistem agribisnis. Eksistensi UMKM yang telah teruji oleh gejolak ekonomi yang pernah melanda negara ini membuat pihak perbankan berlomba-lomba melakukan ekspansi pembiayaan pada UMKM. Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa pada tahun 2008 jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, total kredit yang telah disalurkan oleh perbankan meningkat 28 persen menjadi Rp 122.872,1 miliar. Kelompok sektor pertanian dan sektor industri pengolahan mengalami peningkatan dimana masing-masing meningkat sebesar Rp 1.197,4 miliar dan Rp 6.796,9 miliar sedangkan kelompok sektor perdagangan menurun sebesar Rp 9.588,3 miliar. Meskipun total penyaluran pembiayaan bagi UMKM terus mengalami peningkatan namun kondisi ini kenyataannya belum dirasakan secara merata oleh UMKM di Indonesia. Hal ini karena tidak didukung oleh adanya perbaikan kinerja penyaluran kredit, akibatnya UMKM masih menghadapai masalah keterbatasan modal. UMKM masih kesulitan dalam mengakses sumber permodalan usaha pada lembaga perbankan (unbankable), umumnya terkait dengan rendahnya kemampuan mengembalikan pinjaman sehingga perbankan harus berhati-hati dalam menyalurkan kredit atau pembiayaan.
13
Tabel 2. Jumlah Penyaluran Kredit oleh Perbankan untuk UMKM Per Sektor Ekonomi Tahun 2006 - 2008 Sektor Perekonomian Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Konstruksi Perdagangan, restoran dan hotel Pengangkutan dan komunikasi Jasa Dunia Usaha Jasa Sosial Lain-lain Toatal Kredit
Jumlah Kredit (Miliar Rp) 2006 2007 2008 1.453,2
2.478,5
3.675,9
340,2 4.205,2 1.238,2 2.416,7 20.467,1 124,9 3.143,9 728,9 23.899,4 58.017,6
216,9 1.221,6 -1.196,71 3.127,9 28.320,2 595,2 7.345,3 649,9 53.419,4 96.178,2
283,8 8.018,5 483,4 5.462,4 18.731,9 1.431,4 10.579,6 1.013,5 73.191,8 122.872,1
Sumber: Bank Indonesia, 2009
Kota Bogor jika dilihat dari aspek pasarnya berada pada lokasi yang strategis, yaitu selain berdekatan dengan Ibukota Jakarta juga berdekatan dengan Kawan Bodetabek (Kawasan Andalan Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) yang merupakan kawasan unggulan sektor industri dan manufaktur berorientasi ekspor dan ramah lingkungan, Kawan Bopuncur (Kawasan Andalan Bogor, Puncak dan Cianjur) yang merupakan kawasan unggulan sektor agribisnis dan agrowisata, serta Kawan Sukabumi dan sekitarnya yang merupakan kawasan unggulan sektor wisata, agbibisnis dan kelautan. Melihat potensi agribisnis Kota Bogor maka keterbatasan modal yang menjadi permasalahan umum pada UMKM harus segera dihindari. UMKM agribisnis mulai dari hulu hingga hilir harus didukung oleh lembaga keuangan dengan prosedur pembiayaan yang tidak sulit. Salah satu lembaga keuangan yang dapat dijadikan alternatif adalah Baitul Maal wat Tamwil (BMT) karena segmen pembiayaannya hanya difokuskan untuk UMKM. Menurut kategori Bank Indonesia, BMT termasuk dalam Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) yang berwujud non bank. LKMS yang berwujud bank diantaranya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), sedangkan yang berwujud non bank diantaranya Koperasi Pondok Pesantren (Koppontren), 1
Tanda negatif berarti jumlah akumulasi angsuran kredit pada periode tersebut lebih besar daripada akumulasi pelimpahan kredit.
14
Koperasi Syariah (Kopsyah), Baitul Maal Wat Tamwil (BMT), dan Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM)2. Sebagai lembaga intermediasi keuangan, BMT seperti halnya lembaga perbankan yang lain dalam menyalurkan dananya akan menghadapi resiko pembiayaan. Berdasarkan penelitan, 80 persen resiko pembiayaan yang terkait aset portofolio bank-bank Islam dunia disebabkan oleh kegagalan debitur membayar pembiayaan (Khan dalam Iqbal, 2006). Untuk itulah BMT dituntut memiliki kinerja memadai khususnya dalam menangani resiko pembiayaan. 1.2. Perumusan Masalah BMT sebagai salah satu LKMS di tingkat mikro masih memiliki keterbatasan modal dan keahlian operasional khususnya dalam menyalurkan pembiayaan pada nasabah. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor (2008) menyatakan pada tahun 2004 terdapat sekitar 18 BMT di kota Bogor dimana 13 diantaranya telah berbadan hukum koperasi, namun pada tahun 2007 hanya sekitar delapan KBMT (Koperasi Baitul Maal Wat Tamwil) yang masih berjalan sedangkan yang lainnya mengalami kebangkrutan dan akhirnya ditutup. Penutupan sejumlah KBMT tersebut umumnya disebabkan oleh banyaknya kemacetan atas pembiayaan yang telah disalurkan sehingga mengganggu profitabilitas dan liquiditas lembaga keuangan tersebut. Salah satu LKMS di kota Bogor yang masih berjalan dengan baik adalah Koperasi Baitul Maal Wat Tamwil Wihdatul Ummah (KBMT WU). KBMT WU dalam kegiatan penyaluran pembiayaan (dropping) pada beberapa tahun terakhir telah mampu menyalurkan dana kepada para nasabah dengan besaran di atas tiga miliar hingga tujuh miliar. Sebagai lembaga keuangan yang berada di wilayah perkotaan, sektor agribisnis yang turut dibiayai oleh KBMT WU adalah agribisnis off farm atau agribisnis di luar sistem budidaya (on farm). Penyaluran pembiayaan KBMT WU pada tahun 2007 sebesar Rp 6.051.380.000,00 dengan persentase pembiayaan untuk perdagangan sebesar 18 persen, jasa 74 persen, produksi atau pengolahan empat persen dan sisanya di luar sektor-sektor tersebut sebesar empat persen (Gambar 1). 2
Drs. Bambang Ismawan, MS (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_7.htm), tanggal 10 Oktober 2008
15
10.000.000
Nilai Kredit
(ribu rupiah)
8.000.000
7.921.707
6.000.000
6.051.380
5.769.080
4.000.000
3.422.312
3.364.888
2.000.000 0 2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Dropping
Gambar 1. Jumlah Penyaluran Pembiayaan (Dropping) pada KBMT WU Tahun 2004-2008 Sumber: KBMT WU, 2009
Dalam menilai keberhasilan sebuah lembaga keuangan, salah satu aspek yang harus dilihat adalah kemampuan dalam mengatasi resiko pembiayaan, oleh karena itu nilai pembiayaan yang cukup besar pada KBMT WU tersebut harus diikuti oleh nilai NPF (Non Performing Financing) yang kecil. NPF merupakan nilai pembiayaan yang tidak tertagih (tidak lancar), semakin baik tingkat pengembalian pembiayaan maka semakin kecil nilai NPF. Pada akhir tahun 2007 KBMT WU mendapat predikat sebagai koperasi cukup sehat dari Disperindagkop Kota Bogor dengan persentase NPF sebesar tujuh persen dimana lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 12 persen, bahkan pada tahun 2008 nilai NPF mencapai nilai terbaik dalam lima tahun terakhir yaitu sebesar tiga persen (Gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa KBMT WU semakin berhasil dalam
Tingkat Pengembalian
mengatasi resiko pengembalian pembiayaan yang tidak lancar (tunggakan). 120% 100%
96%
90%
88%
93%
4%
10%
12%
7%
80%
97%
60% 40% 20% 0%
2004
2005 Lancar
2006
2007
3% 2008 Tahun
Tidak lancar
Gambar 2. Keragaan Tingkat Pengembalian Pembiayaan pada KBMT WU Tahun 2004-2008 Sumber: KBMT WU, 2009
16
Pada umumnya penyaluran pembiayaan yang semakin tinggi akan memberikan peluang resiko pembiayaan yang semakin tinggi pula, namun jika membandingkan antara Gambar 1 dengan Gambar 2 terlihat bahwa tidak selamanya hal tersebut terjadi. Dropping (penyaluran pembiayaan) KBMT WU pada tahun 2007 hingga 2008 yang terus mengalami peningkatan dari tahun sebelumnnya justru menunjukkan tingkat penunggakan yang semakin menurun. Hal ini menarik untuk diteliti mengingat fenomena tersebut berbeda pada kondisi umumnya. KBMT WU tentunya perlu mempertahankan kondisi ini dan meningkatkan prestasinya untuk terus menekan tingkat tunggakan hingga pada nilai terendah. Oleh karena itu untuk mendukung hal tersebut diperlukan kebijakan yang memperhatikan kebutuhan dengan metode yang sesuai. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu: 1) Bagaimana pengelolaan KBMT WU dalam mendukung keberhasilan penyaluran pembiayaan? 2) Bagaimana perbandingan karakteristik debitur UMKM agribisnis berdasarkan tingkat pengembalian pembiayaan pada KBMT WU? 3) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat pengembalian pembiayaan bagi UMKM agribisnis pada KBMT WU? 1.3 Tujuan Penelitian Berkaitan dengan latar belakang dan perumusan masalah tersebut, tujuan dari penelitian ini yaitu: 1) Mendeskripsikan pengelolaan KBMT WU dalam mendukung keberhasilan penyaluran pembiayaan. 2) Mendeskripsikan perbandingan karakteristik debitur UMKM agribisnis berdasarkan tingkat pengembalian pembiayaan pada KBMT WU. 3) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian pembiayaan bagi UMKM agribisnis pada KBMT WU. 1.4. Manfaat Penelitian 1) Hasil penelitian ini akan memberikan informasi yang berguna bagi KBMT WU dan KBMT yang lain serta bagi instansi terkait sebagai bahan evaluasi
17
dan pertimbangan dalam strategi dan kebijakan penyaluran pembiayaan untuk meningkatkan keberhasilan pembiayaan pada sektor UMKM agribisnis. 2) Bagi dunia pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan terkait dengan lembaga keuangan mikro syariah dalam menyalurkan pembiayaan. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada data debitur UMKM agribisnis yang masa angsurannya selesai pada tahun 2008 dengan pertimbangan karena KBMT WU pada tahun tersebut memiliki nilai tunggakan terendah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Adapun sektor agribisnis yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi sektor agribisnis off farm.
18
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Untuk mengatasi permasalahan kemiskinan di Indonesia, pemerintah memiliki sebuah komite penaggulangan kemiskinan yang diketuai oleh Menko Kesra. Komite ini telah melakukan kesepakatan bersama dengan Gubernur Bank Indonesia selaku pemegang kebijakan moneter. Upaya ini ditempuh melalui pemberdayaan dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Kesepakatan
yang
terbentuk
tertuang
dalam
keputusan
Menko
Kesra
No.11/KEP/MENKO/KESRA/IV/2002 dan keputusan Gubernur Bank Indonesia No.4/2/KEP/GBI/2002 tanggal 22 April 2002 tentang definisi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai berikut (Rudjito, 2003): a) Usaha Mikro adalah usaha yang dimiliki dan dijalankan oleh penduduk miskin atau mendekati miskin. Pada kurun waktu sebelumnya usaha ini sering disebut dengan usaha rumah tangga. Besarnya plafond (batas maksimal) kredit yang dapat diterima oleh usaha ini ditetapkan sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Sedangkan dalam peraturan Bank Indonesia No.7/39/PBI/2005 disebutkan bahwa usaha mikro adalah kegiatan ekonomi rakyat berkala kecil dan bersifat tradisional dan informal dalam arti belum terdaftar, belum tercatat, belum berbadan hukum, dengan hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). b) Usaha Kecil adalah usaha yang memiliki nilai kekayaan bersih maksimal 200 juta di luar tanah dan bangunan tempat usaha, atau yang memiliki hasil penjualan maksimal Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per tahun. Usaha ini dapat mengajukan pinjaman dengan plafond maksimal Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). c) Usaha Menengah merupakan usaha yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Berdasarkan UU No. 9 Tahun 1995 dan Intruksi Presiden No. 10 Tahun 1999 bahwa usaha menengah harus merupakan milik
19
warga negara Indonesia, berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha besar. Usaha menengah dapat berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, dan atau badan usaha yang berbadan hukum. 2.2. Agribisnis Agribisnis merupakan kegiatan yang menyangkut manufaktur dan distribusi dari sarana produksi pertanian. Kegiatan yang dilakukan adalah usahatani, serta penyimpanan, pengolahan, dan distribusi dari produk pertanian dan produk-produk lain yang dihasilkan dari produk pertanian (Drillon, 1974). Definisi tersebut memberikan suatu konsep kegiatan pertanian yang utuh dan komprehensif untuk dapat menelaah dan menjawab berbagai masalah, tantangan, dan kendala yang dihadapi pembangunan pertanian. Konsep tersebut sekaligus dapat menilai keberhasilan pembangunan pertanian serta pengaruhnya terhadap pembangunan nasional secara lebih tepat.
Masukan
Produksi
Pengolahan
Pemasaran
Lembaga Penunjang Agribisnis (Pertanian, Keuangan, Penelitian, dll)
Gambar 3. Sistem Agribisnis dan Lembaga Penunjangnya Sumber: Soehardjo dalam Gumbira, 1997
Fungsi agribisnis terdiri dari kegiatan-kegiatan yang saling berkaitan secara ekonomi, yaitu sektor pengadaan dan penyaluran sarana produksi (input), produksi primer (on farm), pengolahan (agroindustri), dan pengemasan. Fungsifungsi tersebut kemudian disusun menjadi suatu sistem, dimana masing-masing sektor di atas menjadi subsistem dari sistem agribisnis dengan dukungan dari lembaga penunjang salah satunya adalah lembaga keuangan.
20
2.3. Koperasi Baitul Maal wat Tamwil (KBMT) KBMT yang merupakan gabungan dari istilah Koperasi dan istilah Baitul Maal wat Tamwil dapat diuraikan menurut istilahnya masing-masing yang selanjutnya akan diketahui alasan munculnya istilah KBMT. 2.3.1. Koperasi Koperasi Indonesia menurut Undang-undang Republik Indonesia No 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian dalam Sitio dan Tamba (2001) adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi, dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Koperasi berdasarkan jenis kegiatannya terdiri atas (Raharjo, 1999): a) Koperasi Konsumsi, yaitu koperasi yang menyediakan kebutuhan sehari-hari bagi para anggotanya. b) Koperasi Produksi, yaitu koperasi yang anggotanya mampu menghasilkan barang dengan tujuan melancarkan dan meningkatkan hasil produksi anggota. c) Koperasi Kredit atau Simpan Pinjam (KSP), yaitu koperasi yang kegiatannya meminjamkan uang atau kredit dengan bunga ringan. Dana yang dipinjamkan berasal dari simpanan para anggotanya. d) Koperasi Jasa, yaitu koperasi yang kegiatannya berupa pelayanan jasa bagi anggota dan masyarakat seperti koperasi angkutan, dan koperasi asuransi. e) Koperasi Serba Usaha (KSU), yaitu koperasi yang mempunyai berbagai fungsi dimana kegiatannya meliputi beberapa jenis koperasi. Koperasi Unit Desa (KUD) merupakan salah satu contoh koperasi serba usaha dimana kegiatannya meliputi pelayanan kredit, penyediaan dan penyaluran sarana pertanian serta kebutuhan sehari-hari, mengolah dan memasarkan hasil panen serta melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya. 2.3.2. Baitul Maal wat Tamwil (BMT) Istilah BMT sendiri merupakan penggabungan dari Baitul Maal dan Baitul Tamwil. Baitul Maal berarti rumah dana dan Baitul Tamwil berarti rumah usaha. Berdasarkan esensinya, BMT dapat dikatakan sebagai organisasi bisnis yang juga berperan sosial. Baitul Maal sebagai lembaga sosial berdampak pada tidak adanya keuntungan duniawi atau materi di dalamnya. Peran dan fungsi yang dijalankan
21
sama seperti yang dilakukan pada Lembaga Amil Zakat (LAZ) atau Badan Amil Zakat (BAZ) milik pemerintah. Fungsi tersebut meliputi upaya pengumpulan dana zakat, infaq, sodhaqoh (ZIS), wakaf dan sumber dana-dana sosial yang lain. Baitul Tamwil sebagai lembaga bisnis harus dapat berjalan sesuai prinsip bisnis yang efektif dan efisien dimana terbatas pada bisnis yang dihalalkan (Ridwan, 2006). BMT awalnya berkembang sebagai Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan tidak memiliki badan hukum resmi, oleh karenanya diperlukan sebuah legalitas. Mengingat ruang lingkup usaha BMT yang dapat berkembang ke sektor keuangan maupun sektor riil, maka badan hukum yang paling mungkin untuk BMT adalah koperasi, dimana ruang lingkup usahanya bisa seperti Koperasi Serba Usaha (KSU) atau Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Oleh karenanya mulailah dikenal istilah Koperasi Baitul Maal wat Tamwil (KBMT). Pemilihan badan hukum koperasi ini diperkuat dengan PP No. 9 Tahun 1995 pasal 2 ayat 1 yang membolehkan penerapan sistem bagi hasil pada koperasi. Adanya legalitas tersebut diharapkan dapat melindungi kepentingan masyarakat dan menjamin keamanan pengelola BMT dalam menjalankan kegiatannya serta dapat memenuhi tujuan memberdayakan masyarakat luas, sehingga kepemilikan kolektif BMT sebagaimana konsep koperasi akan mengenai sasaran (Widodo et al. (1999)). Tabel 3. Perbedaan Operasional BMT, KBMT dan Koperasi Konvensional
Orientasi
Laba dan sosial
Laba dan sosial
Koperasi Konvensional Laba
Bentuk Usaha
KSM
Koperasi
Koperasi
Landasan Operasional
Syariah Islam
Syariah Islam dan peraturan perundangan
Peraturan perundangan
Kepemilikan
Perorangan
Kolektif
Kolektif
Operasional Pembiayaan
Bagi Hasil
Bagi Hasil
Sisa Hasil Usaha (SHU)
Sumber dan Laba
Sistem bagi hasil/ mark up
Sistem bagi hasil/ mark up dalam bentuk SHU
Sistem bunga
Pelayanan
Proaktif ke lapang/ sistem‘jemput bola’
Proaktif ke lapang/ sistem ‘jemput bola’
Pasif, sebatas di kantor
Permodalan
Tabungan dan dana ZIS
Simpanan Pokok, Simpanan Wajib, Simpanan Sukarela & ZIS
Simpanan Pokok, Simpanan Wajib, Simpanan Sukarela
Keterangan
BMT
KBMT
Sumber: Widodo (1996) dalam Ekowati (2001)
22
BMT sebagai KSM dan sebagai koperasi (KBMT) dalam landasan operasional yang berlandaskan syariah Islam tentu memiliki perbedaan dengan koperasi konvensional (Tabel 3). Begitu pula jika KBMT dibandingkan dengan bank, maka perbedaannya adalah KBMT selain berciri khas prinsip koperasi juga hanya diperbolehkan menarik dan menyalurkan dana dari dan ke masyarakat dengan syarat menjadi anggota atau calon anggota terlebih dahulu, sedangkan bank tidak mensyaratkan hal tersebut. 2.4. Produk-produk Pembiayaan KBMT KBMT dalam melaksanakan operasional pembiayaannya menerapkan pendekatan yang dikenal dengan Management by Culture, dimana norma dan kultur Islam dijadikan sebagai acuan. KBMT menjalin hubungan harmonis dengan para anggota pembiayaannya, tidak hanya sekedar hubungan komersial tetapi KBMT juga membina dan menyelesaikan masalah yang dihadapi anggota dengan pendekatan kekeluargaan disertai dengan usaha mensosialisasikan nilainilai keIslaman. Prinsip operasional pembiayaan pada KBMT tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip yang digunakan oleh bank-bank Islam. Terdapat empat prinsip yang dilaksanakan oleh KBMT yaitu prinsip bagi hasil, prinsip jual beli, prinsip sewa dan prinsip jasa (Ridwan, 2006 dan Zulkifli, 2007). 2.4.1. Pembiayaan Berprinsip Bagi Hasil Revenue Sharing)
(Profit
and
Loss
Sharing,
Sistem ini meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara pemodal (penyedia dana) dengan pengelola dana. Pembagian hasil ini dilakukan antara KBMT dengan penyedia dana (penabung) dan antara KBMT dengan pengelola dana. Bentuk produk berdasarkan prinsip bagi hasil yaitu mudharabah dan musyarakah. Kedua produk tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Musyarakah (Partnership, Project Financing Partisipation) Musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi) dalam transaksinya dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan asset yang mereka miliki secara bersama-sama. Termasuk dalam golongan musyarakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber
23
daya baik yang berwujud maupun yang tak berwujud. Semua modal usaha yang ada disatukan untuk proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal atau dana baik dari pihak nasabah maupun bank berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Model musyarakah yang sering dilaksanakan pada KBMT dalam bentuk: a) Pembiayaan Proyek Musyarakah biasanya digunakan untuk membiayai proyek-proyek dimana KBMT dan anggota bersama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek. Setelah proyek selesai, anggota mengembalikan dana sebesar pokok investasi KBMT ditambah dengan bagi hasil sesuai dengan nisbah dan pendapatan atau keuntungan proyek. b) Modal Ventura Pada lembaga khusus yang diizinkan melakukan kegiatan usaha investasi pada perusahaan atau proyek khusus, musyarakah sering diterapkan sebagai model modal ventura. Penanaman modal dilakukan dalam jangka waktu tertentu dan setelah selesai jangka waktunya, KBMT dapat menarik investasinya secara sekaligus atau bertahap sesuai dengan tahapan hasil usaha. 2) Mudharabah (Trust Financing, Trust Investment) Secara spesifik terdapat skim bagi hasil yang populer dalam produk perbankan syariah yaitu mudharabah. Mudharabah adalah bentuk kerjasama usaha dimana pihak pertama sebagai shahibul maal menyediakan seluruh modal sedangkan pihak yang lain sebagai pengelola atau mudharib 3 menyediakan seluruh ketrampilan, tenaga dan waktu. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi seratus persen modal dari shahibul maal dan keahlian dari mudharib, sehingga dalam manajemen proyek tidak mensyaratkan wakil dari shahibul maal atau bank, dengan kata lain tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan atau usaha nasabah, kecuali melakukan pengawasan atas usaha tersebut. Perjanjian dalam menentukan nisbah keuntungan skim musyarakah dan mudharabah harus sesuai dengan kesepakatan bersama. Nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk persentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal rupiah tertentu dan bukan berdasarkan porsi setoran modal. 3
Al Qur’an Surat Al Muzammil, ayat 20 dan Surat Al Jum’ah ayat 10
24
Jadi, nisbah keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan, misalnya 50 : 50, 70 : 30, 60 : 40, atau bahkan 99 : 1. Tetapi nisbah tidak boleh 100 : 0, karena para ahli fiqih sepakat berpendapat bahwa mudharabah dan musyarakah tidak sah apabila menguntungkan salah satu pihak saja. Selanjutnya penetapan nisbah yang telah disepakati tersebut memiliki ketentuan, apabila bisnis yang dijalankan mendapat keuntungan maka kedua belah pihak mendapat bagian berdasarkan nisbah yang disepakati. Akan tetapi berbeda halnya apabila terjadi kerugian, selama kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kelalaian pihak mudharib maka nisbah yang disepakati tidak berlaku karena kerugian tersebut harus dibagi berdasarkan porsi modal masing-masing dan bukan berdasarkan nisbah. Hal ini dikarenakan kedua belah pihak memiliki kemampuan yang berbeda dalam menanggung kerugian financial tersebut dan disinilah letak keadilan prinsip bagi hasil. Namun jika kerugian disebabkan oleh kelalaian atau kecurangan mudharib maka mudharib yang berkewajiban menanggung kerugian tersebut dan wajib mengembalikan dana modal kepada KBMT sebesar 100 persen (Ridwan, 2006). Seperti yang telah diuraikan maka secara garis besar perbedaan sistem bagi hasil dibandingkan pada sistem bunga pada bank atau koperasi konvensional dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perbedaan Bagi Hasil dengan Bunga Bunga Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
Bagi Hasil Penentuan besarnya rasio/ nisbah dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi
Besarnya prosentase berdasarkan jumlah uang atau modal yang dipinjamkan
Besarnya jumlah bagi hasil berdasarkan nisbah dan keuntungan yang diperoleh
Pembayaran bunga selalu tetap sesuai dengan perjanjian tanpa mempertimbangkan apakah proyek yang dibiayai untung/ rugi
Bagi hasil sangat tergantung pada proyek yang dibiayai. Bila proyek merugi, kerugian akan ditanggung bersama
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat meskipun jumlah keuntungan berlipat-lipat/ keadaan ekonomi booming
Jumlah pembagian hasil meningkat sesuai dengan peningkatan pendapatan
Eksistensi bunga diragukan agama termasuk agama Islam
Tidak ada satupun agama yang meragukan eksistensi bagi hasil
oleh semua
Sumber: M. Syafii Antonio dalam Ridwan (2006)
25
24.2. Pembiayaan Berprinsip Jual Beli (Bai’) Produk ini dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar yang tidak dapat dimasukkan ke dalam akad bagi hasil. Misalnya untuk pemenuhan kebutuhan barang-barang konsumtif. Akad jual beli yang biasa digunakan adalah: a) Bai’ Al Murabahah Skim ini untuk membantu pembeli dalam pengadaan objek tertentu dimana pembeli tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk melakukan pembayaran secara tunai. Dalam prakteknya bank akan melakukan transaksi pembelian atas barang yang diinginkan kepada suplier, kemudian bank akan menjualnya kembali kepada pembeli dengan harga yang disesuaikan yakni harga beli ditambah margin (ribh) yang disepakati. b) Bai’ As Salam Akad
pembelian
dimana
barang
diserahkan
kemudian
hari
tetapi
pembayarannya dilakukan di muka. Kebanyakan ulama Islam mengharuskan pembayaran Salam dilakukan di tempat kontrak. Hal ini dimaksudkan agar pembayaran yang dilakukan oleh pembeli tidak dijadikan sebagai hutang penjual. c) Bai’ Al Istishna’ Akad penjualan antara pembeli dengan pembuat barang dimana pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Produsen kemudian memproduksi barang melalui orang lain (men-subkontrakkan) sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan oleh pemesan. Setelah barang jadi, barang dijual kepada pembeli akhir dengan harga dan cara pembayaran yang telah disepakati.
2.4.3. Pembiayaan Berprinsip Sewa (Ijarah) Yang dimaksud dengan sewa dalam KBMT adalah pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran sewa (ujrah) baik secara tunai, cicil atau tangguh, tanpa dilakukan pemindahan kepemilikan barangnya. KBMT tidak berkepentingan bisnis akan barang yang disewakan, tetapi lebih pada perputaran dananya. Namun demikian, terdapat akad ijarah yang dikembangkan ke dalam bentuk akad ijarah muntahia bit tamlik, yaitu akad perpaduan antara ijarah dengan al ba’i yakni akad sewa yang pada akhir masa angsuran menjadi jual beli
26
karena terjadi perpindahan kepemilikan barang yang disewakan, transaksi ini sering disebut sewa beli. 2.4.4. Pembiayaan Berprinsip Jasa Sebagaimana bank konvensional, produk jasa bagi KBMT juga bersifat pelengkap terhadap beberapa layanan yang ada. Produk jasa pada KBMT meliputi: a) Al Wakalah (Deputyship) Produk ini berupa perjanjian antara KBMT dengan anggota dimana anggota memberikan pelimpahan kepercayaan kepada KBMT untuk mewakilinya guna menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu. Akad al wakalah biasanya dilakukan untuk transaksi penagihan (collection). Anggota memiliki sejumlah tagihan yang bermasalah, maka KBMT diserahi mandat untuk menagih piutang tersebut. Sebab jika KBMT yang menagih peluang untuk kembali semakin besar. Dari transaksi ini, KBMT akan mendapat sejumlah imbalan jasa atau fee yang besarnya didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak. b) Al Kafalah (KBMT Guaranty) Produk ini berupa penjaminan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain dalam rangka memperkuat posisi orang yang dijamin. Pengertian kafalah dapat berarti juga pengalihan tanggung jawab dari satu orang kepada orang lain. Aplikasinya yaitu penjaminan atau garansi KBMT kepada anggota yang memerlukan adanya jaminan untuk kepentingan usahanya. Atas penjaminan ini KBMT berhak atas fee atau jasa penjaminan yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. c) Al Hawalah (Transfer Services) Produk ini berupa pengalihan piutang dari seseorang kepada orang lain yang sanggup menanggungnya. Aplikasinya yaitu pengalihan piutang dari anggota kepada KBMT, dimana anggota memiliki piutang dan memerlukan dana cepat. KBMT akan memenuhi kebutuhan kas anggota dan KBMT akan menagihnya dari pihak yang berhutang kepada anggota, model seperti ini disebut anjak piutang (factoring). Meodel lain yaitu disebut Post Date Check dimana KBMT menjadi juru tagih namun KBMT tidak harus memenuhi dahulu kebutuhan kas anggota.
27
d) Ar Rahn (Mortgage) Produk ini berupa akad untuk menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang dijaminkan harus bernilai ekonomis sehingga KBMT memiliki kepastian pembayaran. Dalam terminologi ekonomi modern, ar rahn dikenal dengan sebutan gadai. e) Al qard Produk untuk tolong menolong bukan untuk kepentingan komersial, sumber dananya berasal dari penyisihan modal KBMT dan dari zakat, infaq, sedekah. 2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembalian Kredit Banyak
penelitian
yang
telah
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi tingkat pengembalian kredit atau pembiayaan, diantaranya diuraikan sebagai berikut: Kurnia (2007) melakukan penelitian di KBMT Wihdatul Ummah dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh sosial capital terhadap repayment rate kredit kelompok dan kredit perorangan pada lembaga keuangan tersebut. Indikator sosial capital yang digunakan dalam penelitian ini adalah hubungan dengan anggota, jarak antar rumah anggota kelompok, pengajuan kredit, status keangotaan, jumlah pertemuan, jarak antar rumah nasabah dan hubungan kedekatan dengan pengurus. Selain itu juga menyertakan indikator diluar sosial capital yaitu caracter, capital dan collateral. Dengan menggunakan analisis crosstabs disebutkan bahwa repayment rate lancar pada kredit kelompok lebih besar dibanding pada kredit perorangan. Kemudian dengan menggunakan analisis probit diketahui bahwa hanya indikator hubungan kedekatan dengan pengurus dan collateral yang tidak berpengaruh nyata pada repayment rate atau tingkat pengembalian kredit. Hidayati (2003) melakukan penelitian mengenai Kredit Umum Pedesaan di BRI Unit Pasar Blok A Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Penelitian ini menggunakan uji Rank Spearman untuk melihat hubungan antar variabel-variabel yang diamati dan untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap pola penggunaan dan pengembalian kredit digunakan analisis regresi logistik. Berdasarkan hasil penelitiannya tentang pola pengembalian kredit disebutkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata terhadap pola pengembalian kredit adalah umur dan pengalaman mengambil kredit. Semakin tua umur pengusaha maka akan
28
semakin lancar pengembalian kreditnya. Kemudian semakin sering pengusaha mengambil kredit maka akan semakin tidak lancar pengembalian kreditnya. Hal ini karena semakin sering mengambil kredit akan meningkatkan pengalaman dalam peminjaman dan lebih berani mengambil resiko menunggak. Robert H. Behrens dalam Dewi (2001) menyebutkan faktor-faktor penyebab pembiayaan bermasalah pada UMKM diantaranya: a) Adversity. Perubahan pada siklus usaha (business cycle) di luar kontrol bank dan nasabah seperti bencana alam, sakit dan kematian. b) Missmanagement. Ketidakmampuan nasabah dalam mengelola kegiatan usahanya dan menjaga kondisi keuangan dengan cara-cara kegiatan usaha yang sehat dari hari ke hari. c) Frand atau tidak jujur. Ketidakjujuran debitur dalam memberikan informasi dan laporan-laporan tentang kegiatan usahanya, posisi keuangan, hutangpiutang, persediaan dan lain-lain. Tim Universitas Brawijaya (Unibraw) dalam Prasetyo (1996) melakukan penelitian dan menunjukkan bahwa penyebab lemahnya pengembalian kredit oleh petani dikarenakan oleh beberapa hal, yaitu: a) Prosedur yang berbelit; b) Penyimpangan penggunaan kredit; c) Tidak adanya hukuman atas keterlambatan pengembalian kredit; d) Kurangnya perangsang pengembalian; e) Adanya permintaan kredit fiktif; f) Rendahnya efektivitas penagihan oleh petugas kredit. Renggani (1998) melakukan penelitian berjudul analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian kredit studi kasus pada BMT Ulil Albab, Kabupaten Bogor. Dalam penelitiannya yang menggunakan analisis Regresi Linier Berganda menunjukkan bahwa jumlah pinjaman, biaya transportasi, borrowing cost, jangka waktu realisasi pembiayaan dan intensitas hubungan dengan pengurus berpengaruh negatif terhadap tingkat pengembalian kredit. Semakin besar jumlah pinjaman, biaya transportasi, dan borrowing cost menyebabkan tingkat pengembalian kredit akan semakin rendah. Jangka waktu realisasi pembiayaan yang semakin lama juga menyebabkan pengembalian kredit semakin lambat karena nasabah menjadi enggan untuk mengembalikannya, sedangkan faktor intensitas hubungan dengan pengurus yang diukur dengan banyaknya pengurus BMT yang dikenal ternyata menunjukkan bahwa semakin
29
banyak pengurus yang dikenal justru membuat tingkat pengembalian kredit semakin rendah. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap tingkat pengembalian kredit yaitu jumlah selisih pendapatan dan pengeluaran keluarga, tingkat pendidikan nasabah dan jenis penggunaan pembiayaan. Semakin besar pendapatan bersih keluarga dan semakin tinggi tingkat pendidikan nasabah maka tingkat pengembalian kredit akan semakin tinggi. Penggunaan kredit berpengaruh positif untuk penggunaan kegiatan produktif, bukan konsumtif. Kuntjoro (1983) dalam penelitiannya berjudul identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembayaran kembali kredit Bimas padi studi kasus di Kabupaten Subang, Jawa Barat menggunakan analisis diskriminan dan regresi untuk menyimpulkan besarnya peranan dan pengaruh dari masing-masing faktor. Hasil analisa regresi menunjukkan bahwa faktor yang berperan positif terhadap pembayaran kembali kredit Bimas padi adalah lama petani mengikuti program Bimas padi, nisbah penerimaan total produksi padi dengan jumlah pinjaman kredit yang diterima, tagihan langsung kepada petani dan tambahan penerimaan padi dengan status bagi hasil. Sedangkan faktor yang berperan negatif adalah pengeluaran konsumsi keluarga dan nisbah jumlah kredit dengan penerimaan tunai keluarga. Hasil analisa diskriminan menunjukkan bahwa selain ke enam faktor kriteria di atas tidak mencirikan tanggung jawab petani dalam pembayaran kembali kredit Bimas padi. Penelitian ini dilakukan di KBMT Wihdatul Ummah yang sebelumnya telah diteliti oleh Kurnia (2007) untuk mengetahui indikator apa saja yang mempengaruhi tingkat pengembalian kredit antara kredit kelompok dan kredit perorangan pada nasabah secara umum. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, beberapa indikator yang digunakan oleh Kurnia yaitu sosial capital (hubungan antar anggota, jarak antar rumah anggota, kepercayaan, status keanggotaan, jumlah pertemuan, jarak antara rumah dengan KBMT WU), caracter, capital dan collateral. Maka pada penelitian ini mencoba menganalisis faktor-faktor lain yang belum dianalisis oleh Kurnia dan diduga mempengaruhi tingkat pengembalian kredit/ pembiayaan pada lembaga keuangan tersebut. Selain itu penulis khusus meneliti debitur perorangan pada UMKM agribisnis yang masa angsurannya selesai pada tahun 2008.
30
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Pengertian Pembiayaan Pembiayaan
adalah
penyediaan
uang
atau
tagihan
yang
dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil (UU Perbankan No. 10 Tahun 1998). Menurut Tangkilisan (2003) ada dua istilah yang berbeda tapi mengandung prinsip yang sama yaitu kredit dan pembiayaan. Perbedaan antara kredit dan pembiayaan terletak pada bentuk kontraprestasinya yang akan diberikan nasabah peminjam dana (debitur) pada bank atas pemberian kredit atau pembiayaannya. Pada bank konvensional kontraprestasinya berupa bunga, sedangkan pada bank syariah kontraprestasinya dapat berupa imbalan atau bagi hasil sesuai dengan persetujuan atau kesepakatan bersama. Seiring dengan definisi-definisi tersebut, Ridwan (2006) menyatakan bahwa KBMT dan lembaga keuangan lainnya yang menggunakan prinsip syariah tidak mengenal istilah pinjaman atau kredit melainkan pembiayaan. 3.1.2. Prinsip Penilaian Pembiayaan Prinsip-prinsip penilaian yang digunakan dalam pembiayaan syariah tidak jauh berbeda dengan prinsip penilaian yang diterapkan pada bank konvensional. Hal ini karena dalam pemberian kredit setiap lembaga keuangan mempunyai resiko yang kemudian berkorelasi dengan kepercayaan dari masyarakat khususnya nasabah. Bank mendapatkan dana sebagai sumber pembiayaan dari para nasabah (kreditur) yang mempercayakan sejumlah uangnya pada lembaga tersebut. Kemudian bank menggunakan dana tersebut untuk membiayai kredit atau pinjaman kepada nasabah (debitur) yang membutuhkan. Jika aktifitas pembiayaan ini kemudian mengalami masalah yaitu terjadinya default to clearing (gagal bayar atas kewajiban lancar/ hutang lancar/ simpanan sukarela/ tabungan), maka bank akan mengalami kerugian dan kesulitan mengembalikan sejumlah dana milik nasabah (kreditur). Apabila ini terjadi maka hilanglah kepercayaan nasabah atau
31
masyarakat (default trust) kepada bank tersebut, akibat selanjutnya adalah terjadinya rush (penarikan besar-besaran secara serempak) atas semua hutang/ kewajiban lancar oleh nasabah/ anggota. Prinsip penilaian kredit menurut Dendawijaya (2003) yang dikenal dengan 5 C yaitu sebagai berikut: 1) Character, yaitu keadaan watak dan sifat dasar dari calon nasabah, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam lingkungan usahanya. Hal ini dapat dilihat dari kejujuran, ketulusan, kepatuhan akan janji, kecakapan dalam mengelola usahanya dan yang terpenting adalah willingness to pay atau kemampuan untuk membayar kembali kredit yang didapatkan. Adapun beberapa petunjuk bagi bank untuk mengetahui karakter nasabah adalah: a) Mengenal dari dekat; b) Mengumpulkan keterangan mengenai aktivitas calon debitur dalam perbankan; c) Mengumpulkan keterangan dan minta pendapat dari rekanrekannya, pegawai dan saingannya mengenai reputasi, kebiasaan pribadi, pergaulan sosial dan lain-lain. 2) Capacity, penilaian terhadap calon nasabah dalam hal kemampuan memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian pinjaman atau aqad pembiayaan. Hal ini didasarkan pada kemampuan nasabah dalam manajemen maupun keahlian dalam bidang usahanya. Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh bank adalah: a) Angka-angka hasil produksi; b) Angkaangka penjualan dan pembelian; c) Perhitungan rugi laba perusahaan saat ini dan proyeksinya; d) Data-data finansial di waktu-waktu yang lalu, yang tercermin dalam laporan keuangan perusahaan, sehingga akan dapat diukur kemampuan perusahaan calon penerima kredit untuk melaksanakan rencana kerjanya di waktu yang akan datang dalam hubungannya dengan penggunaan kredit tersebut. 3) Capital, yaitu dana yang dimiliki oleh calon nasabah dalam menjalankan usahanya
untuk
mengetahui
permodalan,
sumber-sumber
dana
dan
penggunaannya. 4) Condition of economy, hal ini berkaitan dengan keadaan sosial ekonomi yang dapat mempengaruhi maju mundurnya usaha calon nasabah. 5) Colleteral, berarti jaminan. Ini menunjukkan besarnya aktiva yang akan diikatkan sebagai jaminan atas kredit yang diberikan oleh bank. Untuk itu
32
bank harus: a) Meneliti mengenai pemilikan jaminan tersebut; b) Mengukur stabilitas daripada nilainya; c) Memperhatikan kemampuan untuk dijadikan uang dalam waktu relatif singkat tanpa terlalu mengurangi nilainya; d) Memperhatikan pengikatan barang yang benar-benar menjamin kepentingan bank, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. 3.1.3. Penggolongan Pembiayaan Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia (1999) penggolongan pembiayaan dibagi menjadi empat kategori yakni lancar, kurang lancar, diragukan, dan macet. Penggolongan ini secara umum digunakan oleh lembaga keuangan baik yang berbentuk bank maupun non bank, meskipun pada beberapa lembaga keuangan terdapat perbedaan yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing lembaga tersebut. Keempat kategori yang umum digunakan tersebut adalah: 1) Pembiayaan Lancar (collectibilitas I) Pembiayaan yang tidak ada tunggakan angsuran pokok maupun bagi hasil. 2) Pembiayaan Kurang Lancar (collectibilitas II) Pembiayaan digolongkan kurang lancar jika memenuhi kriteria: Jika pengembalian pembiayaan dilakukan dengan angsuran a) Terdapat tunggakan angsuran pokok sebagai berikut: (a) Tunggakan melampaui satu bulan dan belum melampaui dua bulan bagi pembiayaan dengan masa angsuran kurang dari satu bulan, atau (b) Tunggakan melampaui tiga bulan dan belum melampaui enam bulan, bagi pembiayaan yang sama angsurannya ditetapkan bulanan, dua bulanan atau tiga bulanan, atau (c) Tunggakan melampaui enam bulan dan belum melampaui 12 bulan, bagi pembiayaan yang masa angsurannya ditetapkan enam bulanan atau lebih. b) Terdapat tunggakan bagi hasil atau margin sebagai berikut: (a) Tunggakan melampaui satu bulan dan belum melampaui tiga bulan bagi pembiayaan dengan masa angsuran kurang dari satu bulan, atau (b) Tunggakan melampaui tiga bulan dan belum melampaui enam bulan, bagi pembiayaan yang masa angsurannya lebih dari satu bulan. Jika pengembalian pinjaman dilakukan dengan tidak mengangsur
33
a) Pinjaman belum jatuh tempo Terdapat tunggakan bagi hasil atau margin yang telah melampaui tiga bulan tetapi belum melampaui enam bulan. b) Pembiayaan telah jatuh tempo dan belum dibayar, tetapi belum melampaui tiga bulan. 3) Pembiayaan Diragukan (collectibilitas III) Pembiayaan digolongkan kedalam pembiayaan diragukan jika pembiayaan tersebut tidak memenuhi kriteria kurang lancar, tetapi berdasarkan penilaian dapat disimpulkan bahwa: a) Pembiayaan masih dapat diselamatkan dan agunannya bernilai sekurangkurangnya 75 persen dari total hutangnya termasuk bagi hasil dan margin. b) Pembiayaan tidak dapat diselamatkan, tetapi jaminannya sekurangkurangnya bernilai 100 persen dari total hutangnya termasuk bagi hasil atau margin. 4) Pembiayaan Macet (collectibilitas IV) Pembiayaan digolongkan macet, jika: a) Tidak memenuhi kriteria kurang lancar dan diragukan. b) Memenuhi kriteria diragukan tetapi dalam jangka waktu 21 bulan sejak digolongkan diragukan belum ada pelunasan atau usaha penyelamatan pembiayaan. c) Pembiayaan tersebut penyelesaiannya telah diserahkan kepada Pengadilan Negeri atau telah diajukan penggantian ganti rugi kepada perusahaan asuransi kredit bagi pembiayaan yang diasuransikan jaminannya). 3.1.4. Strategi Penghindaran dan Penanganan Pembiayaan Bermasalah Strategi penghindaran pembiayaan bermasalah dilakukan pada proses pembentukan dan persetujuan akad antara KBMT dengan calon debitur sampai seluruh kewajiban debitur kepada KBMT dapat diselesaikan. Tindakan terpenting dari strategi penghindaran pembiayaan bermasalah adalah analisa pembiayaan. Analisa pembiayaan dapat mengacu pada prinsip-prinsip pembiayaan yang telah disebutkan pada sub bab sebelumnya. Langkah-langkah dan strategi yang dilakukan adalah (Iqbal, 2006):
34
1) Penetapan Kriteria Portofolio Kolektibilitas Para Nasabah, untuk dapat menentukan daftar kelompok nasabah yang masuk dalam kelompok pembiayaan bermasalah. Pembiayaan bermasalah terdiri dari pembiayaan kurang lancar, pembiayaan diragukan dan pembiayaan macet. 2) Pembinaan dan Penagihan Intensif, berdasarkan daftar kelompok pembiayaan bermasalah, dilakukan pembinaan dan penagihan yang intensif terhadap masing-masing nasabah tersebut. Berupa kunjungan langsung ke lokasi usaha nasabah atau ke rumahnya. Pembinaan ini dimaksudkan agar nasabah dapat memenuhi kewajibannya kepada KBMT dengan lancar dan baik. Apabila terdapat masalah yang mengganggu kewajibannya maka pembinaan diarahkan kepada perbaikan dan solusi yang dianggap dapat mengatasi nasabah memenuhi kewajibannya. Selama dilakukan pembinaan intensif oleh seorang konsultan, maka harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a) kemungkinan kemampuan untuk mengembalikan pinjaman sebagaimana kesepakatan di dalam akad b) Kemungkinan pengembalian dengan penjadwalan ulang pembiayaan c) Kemungkinan pengembalian dengan cara restrukturisasi d) Kemungkinan pengalihan kewajiban kepada pihak keluarga yang lain atau distatuskan gharim, kemudian kewajiban ditanggungkan oleh amil zakat e) Kemungkinan penyitaan agunan f) Kemungkinan meminta jaminan tambahan baik berupa agunan maupun kafalah bin nafs (jaminan personal) g) Kemungkinan mengambil langkah atau tindakan hukum 3) Penjadwalan ulang, merupakan metode penyelesaian antara atau jalan sementara penyelesaian pembiayaan bermasalah dengan cara melakukan penjadwalan ulang angsuran atau memberi perpanjangan waktu angsuran dan jatuh tempo. Ini dapat dilakukan dengan cara melakukan evaluasi usaha dan analisa ulang sehingga dapat diketahui seberapa besar kemampuan riil dari nasabah dalam pola pengembalian pembiayaan. Langkah ini dilakukan kepada nasabah yang operasi usahanya kurang menguntungkan disebabkan oleh faktor di luar nasabah dan usaha tersebut masih berpeluang menguntungkan di masa mendatang.
35
4) Restrukturisasi, merupakan metode penyelesaian antara atau jalan keluar sementara penyelesaian pembiayaan bermasalah dengan cara melakukan evaluasi dan pengubahan akad pembiayaan, jangka waktu, sistem anggsuran, besarnya agunan, besarnya nisbah bagi hasil, besarnya marjin, bahkan bila perlu ada penambahan plafond melalui pembaharuan akad. Langkah ini dilakukan kepada nasabah yang sulit mengembalikan pembiayaan dan berdasarkan hasil evaluasi usaha dan kondisi nasabah tidak mampu memenuhi kewajiban seseuai dengan akad yang telah disepakati di awal. 5) Penyitaan agunan, merupakan metode penyelesain pembiayaan bermasalah dengan cara barang atau harta yang dijadikan jaminan disita oleh KBMT yang kemudian dilelang atau dijual untuk dapat dijadikan aset lancar. Proses penyitaan harus memperhatikan aspek hukum yang berlaku. Langkah ini akan 3.2. Kerangka Operasional Penyaluran pembiayaan oleh KBMT kepada UMKM agribisnis dalam rangka memberikan kemudahan akses permodalan terdapat beberapa hambatan. Adanya keterbatasan pada UMKM agribisnis baik itu yang bersifat personal maupun manajemen usaha, memberikan resiko dalam kegiatan penyaluran pembiayaan yaitu berupa pengembalian debitur yang tidak lancar dan mengakibatkan tidak stabilnya posisi keuangan KBMT. Perputaran modal yang lambat akibat banyaknya tunggakan dari pengembalian yang bermasalah akan menyebabkan KBMT mengalami kerugian. Selain itu adanya keterbatasan KBMT baik berupa permodalan maupun prosedur penyaluran pembiayaan juga menjadi penentu tingkat keberhasilan pengembalian pembiayaan oleh nasabah. Oleh karenanya penelitian ini akan mendeskripsikan prosedur penyaluran pembiayaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengembalian pembiayaan. Hal ini penting untuk diketahui bagi pengambil keputusan untuk mencegah terjadinya
pembiayaan
yang
bermasalah.
Faktor-faktor
yang
diduga
mempengaruhi tingkat pengembalian pembiayaan terdiri dari karakteristik personal meliputi tingkat pendidikan, karakteristik usaha meliputi omzet usaha, dan pengalaman usaha, kemudian karakteristik pembiayaan meliputi jumlah pembiayaan, jangka waktu pembiayaan, frekuensi pembiayaan, pola tagihan, dan penggunaan pembiayaan.
36
Secara terinci mengenai pengaruh yang diduga berasal dari ketiga karakteristik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Karakteristik Personal Tingkat pendidikan diduga berpengaruh positif dalam kelancaran pengembalian pembiayaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan nasabah maka diperkirakan akan lebih baik pengetahuannya akan pentingnya pengembalian pembiayaan secara lancar. 2) Karakteristik Usaha Pengalaman usaha diduga berpengaruh positif terhadap keberhasilan pengembalian pembiayaan karena pengalaman usaha yang semakin lama dapat meningkatkan pemahaman dan kemampuan dalam mengelola usaha sehingga mendukung keberhasilan usaha yang digeluti. Keberhasilan usaha tersebut dapat menjamin perolehan pendapatan atau keuntungan sebagai sumber biaya hidup dan memberikan peluang kemampuan pengembalian pembiayaan secara lancar. Omzet akan berbanding lurus dengan tingkat keberhasilan pengembalian pembiayaan. Faktor ini menggambarkan kemampuan pengembalian pembiayaan, dimana pengusaha yang memiliki omzet tinggi akan berpeluang lebih besar untuk mengembalikan pembiayaan sesuai jadwal yang ditetapkan lembaga keuangan. 3) Karakteristik Pembiayaan Jumlah pembiayaan yang diterima debitur diduga berpengaruh negatif dengan
keberhasilan
pengembalian
pembiayaan.
Semakin
besar
jumlah
pembiayaan yang diterima, mengharuskan debitur mengangsur setiap bulannya dengan jumlah yang besar, sehingga memungkinkan nasabah sulit untuk memenuhi kewajibannya secara lancar. Jangka waktu pembiayaan diduga berbanding lurus dengan tingkat pengembalian pembiayaan. Semakin lama jangka waktu pembiayaan maka akan memperkecil angsuran yang harus ditanggung nasabah. Frekuensi pembiayaan mengindikasikan bahwa, semakin sering menjadi debitur pembiayaan pada KBMT, maka nasabah akan lebih memahami bagaimana pola pembiayaan yang diambil dan bagaimana menggunakannya. Selain itu, seringnya menjadi debitur menunjukkan kredibilitas nasabah tersebut tidak diragukan lagi dalam memenuhi angsuran pembiayaan sehingga pihak KBMT
37
juga tidak ragu dalam memberikan pembiayaan kembali. Frekuensi pembiayaan akan berbanding lurus dengan keberhasilan pengembalian pembiayaan. Pola tagihan pembiayaan diduga menentukan keberhasilan pengembalian pembiayaan. Jika tagihan dilakukan secara langsung oleh pengurus KBMT diduga memiliki peluang pengembalian pembiayaan dengan lancar dibanding dengan tagihan secara tidak langsung. Hal ini karena tagihan langsung lebih memudahkan dan meringankan nasabah adalah hal waktu dan biaya. Penggunaan pembiayaan diduga menentukan keberhasilan pengembalian pembiayaan. Jika pembiayaan digunakan untuk kegiatan produktif maka diduga memiliki peluang pengembalian pembiayaan dengan lancar dibanding dengan penggunaan pembiayaan untuk kegiatan konsumtif. Hal ini karena kegiatan produktif memungkinkan memberikan laba sedangkan kegiatan konsumtif akan menghabiskan biaya tanpa memberikan laba. Demikian pula jika pembiayaan yang diterima nasabah digunakan untuk kegiatan produktif sekaligus konsumtif maka diduga memiliki peluang pengembalian lancar karena memungkinkan kegiatan konsumtifnya dapat dibayar dari laba kegiatan produktifnya. Kerangka pemikiran operasional yang telah diuraikan di atas dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:
38
Penyaluran pembiayaan bagi UMKM agribisnis mempunyai resiko pengembalian pembiayaan tidak lancar
Pengelolaan penyaluran pembiayaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian pembiayaan
Umpan balik
Tingkat pendidikan Omzet usaha Pengalaman usaha Jumlah pembiayaan Jangka waktu pembiayaan Frekuensi pembiayaan Pola tagihan Jenis penggunaan pembiayaan Analisis Kuantitatif (Regresi Logistik)
Analisis Deskriptif
• • •
Pengelolaan penyaluran pembiayaan (Deskriptif) Karakteristik pengembalian pembiayaan: lancar dan tidak lancar (Deskriptif) Faktor yang secara nyata berpengaruh terhadap tingkat pengembalian pembiayaan (Regresi Logistik)
Bahan evaluasi & pertimbangan untuk penyusunan strategi dan kebijakan
Gambar 8. Kerangka Pemikiran Operasional
39
3.3. Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, maka hipotesis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: 1.
Variabel tingkat pendidikan nasabah, omzet usaha debitur, pengalaman usaha debitur, jangka waktu pembiayaan, frekuensi pembiayaan, pola tagihan langsung, penggunaan pembiayaan untuk kegiatan produktif serta penggunaan pembiayaan untuk kegiatan produktif sekaligus konsumtif berpengaruh positif terhadap tingkat pengembalian pembiayaan.
2.
Variabel jumlah pembiayaan yang diperoleh debitur, pola tagihan tidak langsung,
jenis
penggunaan
pembiayaan
untuk
kegiatan
konsumtif
berpengaruh negatif terhadap tingkat pengembalian pembiayaan.
40
IV METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di KBMT Wihdhatul Ummah (KBMT WU), Desa Gunung Batu, Kecamatan Bogor Barat, Kotamadya Bogor dan tempat tinggal nasabah (debitur) yang menjadi responden. Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) karena KBMT WU merupakan koperasi sekaligus lembaga keuangan mikro syariah yang berprestasi untuk wilayah Kotamadya Bogor. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan April 2009. 4.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari dua sumber, pertama dari hasil wawancara dengan nasabah (debitur) KBMT WU dengan bantuan kuesioner agar pertanyaan dalam wawancara lebih sistematis, kedua berasal dari diskusi dengan pihak manajemen KBMT WU. Sedangkan data sekunder bersumber dari data terkait debitur UMKM agribisnis, data dan laporan tahunan KBMT WU menyangkut pembiayaan, data dari lembaga terkait seperti Diperindagkop Kota Bogor, Kementrian Negara Koperasi dan UMKM, Bank Indonesia dan sebagainya serta studi pustaka dari literatur-literatur yang bersangkutan. 4.3. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua debitur KBMT WU khusus UMKM yang masa angsurannya selesai pada tahun 2008. Jumlah populasi tersebut sebesar 84 orang yang kemudian diambil sebanyak 30 nasabah sebagai responden yang dianggap dapat mewakili nasabah KBMT WU dan memenuhi syarat distribusi normal. Dalam penelitian ini tingkat pengembalian pembiayaan dibedakan menjadi dua kategori atau strata yaitu pengembalian lancar dan tidak lancar. Kedua ketegori tersebut menjadi dasar penentuan contoh. Penentuan contoh digunakan teknik Stratified Sampling dengan metode berimbang untuk menstratifikasi populasi dengan ketentuan: a) Strata I adalah nasabah dengan pembiayaan lancar (kolektibilitas I); b) Strata II adalah nasabah dengan pembiayaan tidak lancar
41
terdiri atas nasabah dengan pembiayaan kurang lancar (kolektibilitas II), pembiayaan diragukan (kolektibilitas III), dan pembiayaan macet (kolektibilitas IV). Dari 84 debitur UMKM agribisnis diperoleh data 57 orang masuk dalam Strata I, dan 27 orang masuk dalam Strata II. Tahap selanjutnya, menentukan jumlah subsampel tiap strata dengan perhitungan sebagai berikut (Nazir, 1988): ni =
Ni x n N
Keterangan: N = Jumlah satuan elementer dalam populasi Ni = Jumlah satuan elementer dalam stata ke-i n
= Jumlah sampel keseluruhan
ni = Jumlah subsampel pada strata ke-i Berdasarkan perhitungan di atas, dari 30 sampel yang digunakan maka terdapat 20 responden untuk Strata I dan terdapat 10 responden untuk Strata II. 4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan perangkat komputer dengan program software Microsoft Excel 2003 dan Minitab 14. Analisis data yang akan dilakukan adalah analisis deskriptif dan kuantitatif. Analisis deskriptif berguna untuk membuat gambaran sistematis, faktual dan akurat mengenai faktafakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 1988). Analisis deskripsi dalam penelitian ini akan menggambarkan prosedur penyaluran pembiayaan serta karakteristik pengusaha, usaha dan pembiayaan pada debitur UMKM agribisnis pada KBMT WU didukung penyajian data dalam bentuk tabulasi. Analisis terhadap faktor-faktor yang berpengaruh pada keberhasilan pengembalian pembiayaan menggunakan model analisis Regresi Logistik (LOGIT) sehingga dapat diketahui variabel-variabel prediktor (tingkat pendidikan, omzet usaha, pengalaman usaha, jumlah pembiayaan, jangka waktu pembiayaan, frekuensi pembiayaan, pola tagihan dan jenis penggunaan pembiayaan) yang secara nyata berpengaruh atau tidak terhadap keberhasilan pengembalian pembiayaan syariah sebagai variabel respon. Sharma et al. (1996) menyatakan bahwa regresi logistik (LOGIT) merupakan suatu model analisis untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel
42
prediktor berskala metrik (kontinyu) atau kategorik terhadap variabel respon yang berskala kategorik. Begitu pula menurut Hosmer dan Lemeshow (1989) metode regresi logistik adalah metode analisis statistika yang menggambarkan hubungan antara peubah respon yang bersifat kategori dengan satu atau lebih peubah bebas. 1)
Estimasi Model Regresi Logistik Pada model logit yang digunakan dalam penelitian ini, mengambil nilai 1
dan 0 untuk nilai variabel dependen/ respon (Y), yaitu sebagai berikut: Y = 1 ; untuk pembiayaan lancar Y = 0 ; untuk pembiayaan tidak lancar Estimasi model regresi logistik menurut Sharma (1996): p Li = ln = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7Dp + β8 X8 p −1
Keterangan: Li = Variabel respon, dimana: p
: peluang terjadinya Y = 1
p-1 : peluang terjadinya Y = 0 β0 = Konstanta atau intersep model garis regresi βi = Koefisien variabel prediktor ke i (i = 1...8) X1 = Tingkat pendidikan nasabah (tahun) X2 = Omzet usaha (rupiah/bulan) X3 = Pengalaman usaha (tahun) X4 = Jumlah pembiayaan (rupiah) X5 = Jangka waktu pembiayaan (hari) X6 = Frekuensi pembiayaan (kali); 0 = nasabah telah meminjam lebih dari 1 kali dan 1 = nasabah baru pertama kali meminjam X7 = Pola penagihan; 0 = penagihan secara langsung dan 1 = penagihan secara tidak langsung X8 = Penggunaan pembiayaan; terdiri atas kegiatan produktif, kegiatan konsumtif, serta kegiatan produktif dan konsumtif 2) Uji Kelayakan Model Pengujian terhadap kelayakan model menggunakan statistik G yang merupakan nisbah kemungkinan maksimum untuk mengetahui peran variabel-
43
variabel prediktor dalam model secara simultan/ bersama-sama. Rumus uji G:
L G = −2 ln 0 Lk Keterangan:
L0 = fungsi kemungkinan maksimum tanpa peubah penjelas Lk = fungsi kemungkinan maksimum dengan peubah penjelas
Hipotesis:
H0 : β1 = β2 = ... = βk = 0 H1 : paling sedikit ada satu nilai βi ≠ 0, i = 1,2,....,n
Kriteria uji yang digunakan adalah: ≤ x 2 p.a , Terima H0 G= > x 2 p.a , Tolak H0 Jika nilai G > X2p(α) atau p-value dari statistik G lebih kecil dari taraf nyata (α = 0,05) maka keputusannya adalah menolak H0, artinya setidak-tidaknya ada satu variabel prediktor yang berpengaruh nyata terhadap variabel respon. 3) Uji Signifikansi Variabel Prediktor Pengujian
terhadap
signifikansi
masing-masing variabel
prediktor
dilakukan dengan uji Wald (W), dengan statistik uji sebagai berikut: ) β ) W= SE(βk ) ) dimana: β = penduga β ) ) SE (β) = penduga galat baku (standard error) dari β βk = Koefisien variabel prediktor ke-k Hipotesis: H0 : βk = 0 H1 : βk ≠ 0 dengan k = 1,2,....,n Statistik uji-Wald mengikuti sebaran normal (Z), dengan kriteria uji: ≤ Z a / 2 , Terima H0 W= > Z a / 2 , Tolak H0 Jika nilai W > Z a / 2 atau two tailed p-value dari statistik W lebih kecil dari taraf nyata (α = 0,05) maka keputusannya adalah menolak H0, artinya variabel prediktor ke-k tersebut berpengaruh secara nyata terhadap variabel respon.
44
4.6. Definisi Operasional 1) Pembiayaan lancar yaitu apabila pelunasan pembiayaan tidak mengalami penunggakan dari waktu yang disepakati antara KBMT WU dengan debitur. 2) Pembiayaan tidak lancar yaitu apabila pelunasan pembiayaan telah mengalami penunggakan melampaui batas waktu yang disepakati antara KBMT dengan debitur. 3) Tingkat pendidikan nasabah yaitu tingkat pendidikan formal yang pernah dijalani oleh debitur, diukur dalam satuan tahun (tidak sekolah = 0, kelas 1 SD = 1, kelas 2 SD = 2 dan seterusnya hingga tamat S1 = 16) 4) Omzet usaha yaitu jumlah penerimaan kotor rata-rata perbulan dari hasil usaha debitur pada periode Januari – Desember 2008. Diukur dalam satuan ribu rupiah. 5) Pengalaman usaha yaitu lama usaha yang digeluti debitur, diukur dalam satuan tahun. 6) Jumlah pembiayaan adalah besarnya realisasi pembiayaan yang diterima nasabah dalam satu kali transaksi dimana masa angsurannya selesai pada tahun 2008. Diukur dalam satuan ribu rupiah. 7) Jangka waktu pembiayaan yaitu lama pengembalian atau pelunasan pembiayaan yang telah disepakati dalam perjanjian, diukur dalam satuan hari. 8) Frekuensi pembiayaan yaitu berapa kali debitur telah memperoleh pembiayaan di KBMT WU. 9) Pola tagihan menerangkan apakah pengurus KBMT WU melakukan penagihan pembiayaan secara langsung dengan mendatangi tempat debitur responden atau dilakukan secara tidak langsung dimana debitur responden mendatangi KBMT WU. 10) Penggunaan pembiayaan menerangkan apakah pembiayaan digunakan untuk kegiatan produktif, kegiatan konsumtif atau kedua kegiatan tersebut sekaligus. Kegiatan produktif adalah kegiatan usaha yang dapat menghasilkan laba. Apabila pembiayaan digunakan untuk membiayai suatu kegiatan dan habis begitu saja misalnya untuk biaya pengobatan, biaya pendidikan, dan lain-lain, dikatakan bahwa pembiayaan digunakan untuk kegiatan konsumtif.
45
V GAMBARAN UMUM KBMT WIHDATUL UMMAH
5.1. Sejarah Pendirian dan Wilayah Kerja KBMT Wihdatul Ummah Baitul Maal wat Tamwil Wihdatul Ummah (BMT WU) didirikan oleh yayasan PERAMU (Pemberdayaan Masyarakat Mustadha’afiin) pada tanggal 1 November 1994. Pada awal pembentukkannya BMT WU belum memiliki badan hukum, baru pada tanggal 28 Juli 1998 BMT WU mendapat legalitas sebagai koperasi yang terdaftar pada Kantor Wilayah Departemen Koperasi dan PPK Proponsi Jawa Barat dengan No. 822/BH/KWK 10/VII.1998. Pendirian KBMT WU dilatarbelakangi harapan untuk memberikan pembiayaan kepada masyarakat yang membutuhkan dana sehingga dapat meningkatkan kualitas, kuantitas dan produktivitas usaha. Secara sinergis juga diharapkan dapat membebaskan umat, pedagang atau pengusaha kecil dari cengkraman rentenir, kesempatan kerja meningkat dan menuju perbaikan ekonomi umat sesuai dengan prinsip Islam. KBMT WU berkantor di Jalan Raya Gunung Batu No. 1 A Kotamadya Bogor. Wilayah kerjanya dikelompokan dalam wilayah inti dan wilayah sekitar inti. Wilayah inti yaitu wilayah dengan radius 2 km dari lokasi kantor dengan batas wilayah meliputi Pasar Merdeka, Jl. Merdeka, Jl. Mayor Oking, Paledang, Jl. Nyi Raja Permas, Jl. Dewi Sartika, Ps. Anyar, Panaragan, Kebon Kalapa, Pasar Gunung Batu, Ciomas, Pagelaran, Sindang Barang sedangkan wilayah sekitar inti yaitu wilayah dengan radius 2 km dari batas luar wilayah inti atau maksimal 4 km dari lokasi kantor KBMT WU meliputi Kecamatan Tanah Sareal, Kecamatan Bogor Utara, Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Bogor Selatan, Kecamatan Ciomas, Kecamatan Ciampea, Kecamatan Darmaga, dan Taman Sari. 5.2. Visi dan Misi KBMT Wihdatul Ummah Visi dari KBMT WU adalah “Menjadi Koperasi Syariah Terbaik, Memberdayakan dan Dimiliki oleh Uhrami (Usaha Rakyat Mikro)”. Terbaik berarti mampu menjaga keberlangsungan hidup lembaga secara mandiri sehingga pelayanan akses permodalan kepada para pengusaha akan tetap bisa dilaksanakan. Memberdayakan berarti mempertahankan skala usaha mitra dan mengembangkan usaha mitra. Sedangkan misi dari KBMT WU diantaranya:
46
1) Menjadi koperasi yang sehat dan mandiri 2) Menjadi mitra terpercaya dan pilihan utama dalam bermuamalah 3) Memberikan kontribusi nyata untuk terciptanya ekonomi Islam 4) Memiliki sistem dan tata kerja yang unggul dengan sumber daya insani yang profesional serta menjunjung tinggi ukhuwah Islamiyah. 5) Membangun kesadaran dan posisi tawar urami, khususnya anggota 6) Memberikan manfaat yang optimal bagi para stakeholder 7) Mengembangkan dan meningkatkan skala urami, khususnya anggota KBMT WU selain mengemban misi di atas, juga memiliki tujuan usaha yang ingin dicapai dalam jangka panjang. Tujuan-tujuan tersebut adalah: 1) Meningkatkan dan mengembangkan ekonomi umat, khususnya pengusaha kecil informal. 2) Meningkatkan produktivitas usaha dengan memberikan pembiayaan bagi pengusaha kecil yang membutuhkan dana. 3) Membebaskan umat atau pelaku usaha dari cengkraman bunga atau rente. 4) Meningkatkan kuantitas dan kualitas usaha, sehingga dapat menambah kesempatan kerja dan pendapatan. 5) Menghimpun dana umat yang selama ini tidak mau menyimpan uangnya di bank-bank atau lembaga keuangan yang masih menggunakan sistem bunga. 5.3 Struktur Organisasi KBMT Wihdatul Ummah Status KBMT WU sebagai lembaga keuangan sekaligus sebagai koperasi menyebabkan struktur organisasinya mencakup kedua lembaga tersebut yang dituntut untuk bekerja secara sinergis. Sebagai lembaga yang berbentuk koperasi maka struktur organisasinya terdiri atas pengurus dan badan pengawas dimana kekuasaan tertinggi berada ditangan MAT (Musyawarah Anggota Tahunan), sedangkan sebagai lembaga keuangan maka organisasinya terdiri atas para karyawan yang dipimpin oleh manajer (Gambar 9).
47
Musyawarah Rapat Anggota
Pengurus
Dewan Pengawas Syariah
Badan Pengawas Manajemen
Manajer
Kabag. Marketing
Kabag. Operasional
Teller
Pembukuan
ADMP
Jasa Nasabah
AO
Collector
Unit Usaha Simpan Pinjam dan Pendidikan Anggota
Mitra Anggota, Mitra Biasa
Gambar 9. Struktur Organisasi KBMT Wihdatul Ummah Sumber: KBMT Wihdatul Ummah (2008)
Fungsi utama dan tanggung jawab masing-masing jabatan sebagai berikut: a) Dewan Pengawas Syariah (DPS) Fungsi utama: Mengawasi jalannya operasional BMT sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan syariah. Tanggung Jawab: 1) Membuat pernyataan berkala bahwa lembaga keuangan berjalan sesuai syariah 2) Meneliti dan merekomendasikan produk baru dari lembaga keuangan yang diawasi. 3) Memberi teguran apabila lembaga keuangan syariah menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan. b) Dewan Pengawas Manajemen Fungsi utama: Mengawasi proses manajemen. Pada dasarnya fungsi dewan ini sama seperti DPS, perbedaannya terletak pada substansinya yaitu DPS mengawasi sampai pada hal
48
akad apakah melanggar koridor atau tidak, sedangkan dewan pengawas manajemen hanya sebatas menajemennya saja. c) Ketua Fungsi utama: Melakukan kontrol atau pengawasan secara keseluruhan atas aktivitas lembaga dalam rangka menjaga kekayaan BMT dan memberikan arahan dalam upaya meningkatkan dan mengembangkan kualitas BMT. Tanggung Jawab: 1) Bertanggungjawab atas aktivitas BMT dan melaporkan perkembangan unit BMT kepada seluruh anggota melalui mekanisme rapat yang disepakati. 2) Terseleksinya calon karyawan sesuai dengan formasi yang dibutuhkan dan mengeluarkan surat keputusan pengangkatan atau pemberhentian karyawan. 3) Terkendalinya aktivitas simpan pinjam di BMT. 4) Terjaganya kondisi kerja yang aman dan nyaman di BMT. 5) Terbukanya kerjasama dengan pihak luar untuk mengembangkan usaha BMT. 6) Menjaga BMT agar aktivitasnya senantiasa sesuai dengan visi dan misi. 7) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia BMT. d) Sekretaris Fungsi Utama: Melakukan pengelolaan administrasi yang berkaitan dengan badan pengurus. Tanggung jawab: 1) Mengadministrasikan seluruh berkas yang menyangkut keanggotaan BMT. 2) Mengadministrasikan semua surat-surat masuk dan keluar, khususnya yang berkaitan dengan badan pengurus. 3) Merencanakan rapat rutin koordinasi dan evaluasi kegiatan pengurus. 4) Mendistribusikan setiap hasil rapat pengurus atau anggota kepada pihak-pihak yang berkepentingan. e) Bendahara Fungsi Utama: Melakukan pengelolaan keuangan BMT secara keseluruhan. Ketua, sekretaris dan bendahara berdasarkan Gambar 9 dalam struktur organisasi berperan sebagai pengurus koperasi.
49
Tanggung Jawab: 1) Mengeluarkan laporan keuangan BMT kepada pihak yang berkepentingan. 2) Memberikan laporan perkembangan simpanan pokok dan wajib anggota. f) Manajer Fungsi Utama: Merencanakan, mengkoordinasi, dan mengendalikan seluruh aktivitas lembaga yang meliputi penghimpunan dana dari pihak ketiga dan penyaluran dana yang merupakan kegiatan utama lembaga serta kegiatan yang secara langsung berhubungan dengan aktivitas utama tersebut dalam upaya mencari target. Tanggung Jawab: 1) Tersusunnya sasaran, rencana jangka pendek, jangka panjang, serta proyeksi (finansial dan non finansial) tahunan. 2) Tercapainya target yang telah ditetapkan secara keseluruhan. 3) Terselenggaranya penilaian prestasi kerja karyawan. 4) Tercapainya lingkup kerja yang nyaman untuk semua pekerja yang berorientasi pada pencapaian target. 5) Terjalinnya kerjasama dengan pihak lain dalam rangka memenuhi kebutuhan lembaga. 6) Terjaganya keamanan dana-dana masyarakat yang dihimpun dan pembiayaan yang diberikan serta seluruh aktiva BMT. 7) Menjaga BMT agar aktivitasnya senantiasa sesuai dengan visi dan misinya. g) Kepala Bagian Operasional Fungsi Utama: Merencanakan, mengarahkan, mengontrol serta mengevaluasi seluruh rangkaian aktivitas di bidang operasional baik yang berhubungan dengan pihak internal maupun eksternal yang dapat meningkatkan profesionalisme BMT khususnya dalam pelayanan terhadap mitra maupun anggota BMT. Tanggung Jawab: 1) Terselenggaranya pelayanan yang memuaskan (service excellent) kepada mitra atau anggota BMT. 2) Terevaluasi dan terseleksinya seluruh permasalahan yang ada dalam operasional BMT.
50
3) Terbitnya laporan keuangan, laporan perkembangan pembiayaan dan laporan penghimpunan dana masyarakat secara lengkap, akurat dan sah baik harian, bulanan atau periode yang ditentukan. 4) Terarsipkannya surat masuk dan surat keluar serta hasil rapat manajemen dan rapat operasional. 5) Terselenggaranya seluruh aktivitas rumah tangga BMT yang mendukung aktivitas BMT. 6) Terselenggaranya absensi kehadiran karyawan dan dokumentasi hasil penilaian seluruh karyawan. h) Teller Fungsi Utama: Merencanakan dan melaksanakan segala sesuatu transaksi yang sifatnya tunai. Tanggung Jawab: 1) Terseleksinya laporan kas harian. 2) Terjaganya keamanan kas. 3) Tersedianya laporan cash flow pada akhir bulan untuk keperluan evaluasi. i) Jasa Nasabah Fungsi Utama: Memberikan pelayanan prima kepada mitra berhubungan dengan produk funding yang dimiliki oleh BMT dalam hal ini tabungan, deposito serta produk pembiayaan. Tangung Jawab: 1) Pelayanan terhadap pembukaan dan penutupan rekening tabungan dan deposito serta mutasinya. 2) Pengarsipan tabungan dan deposito. 3) Pelayanan informasi pembiayaan. 4) Pelayanan terhadap pengajuan pembiayaan. 5) Pelaporan tentang perkembangan dana masyarakat dan pembiayaan. j) ADMP (Administrasi Pembiayaan) Fungsi Utama: Mengelola administrasi pembiayaan mulai dari pencairan hingga pelunasan.
51
Tanggung Jawab: 1) Penyiapan administrasi pencairan pembiayaan (dropping). 2) Pengarsipan seluruh berkas pembiayaan. 3) Pengarsipan jaminan pembiayaan. 4) Penerimaan angsuran dan pelunasan pembiayaan. 5) Penyiapan kupon dan kontrol terhadap kupon. 6) Pembuatan laporan pembiayaan sesuai dengan periode laporan. 7) Membuat surat teguran dan peringatan mitra yang akan dan telah jatuh tempo. k) Pembukuan Fungsi Utama: Mengelola administrasi keuangan hingga pelaporan keuangan. Tanggung Jawab: 1) Pembuatan laporan keuangan. 2) Pengarsipan laporan keuangan dan berkas-berkas yang berkaitan secara langsung dengan keuangan. 3) Menyiapkan laporan-laporan untuk keperluan analisis keuangan lembaga. l) Kepala Bagian Marketing Fungsi Utama: Merencanakan, mengarahkan serta mengevaluasi target financing dan funding serta memastikan strategi yang digunakan sudah tepat dalam upaya pencapaian sasaran, termasuk dalam penyelesaian pembiayaan bermasalah. Tanggung Jawab: 1) Tercapainya target marketing baik funding maupun financing. 2) Terselenggaranya rapat marketing dan terselesaikannya permasalahan di tingkat marketing. 3) Menilai dan mengevaluasi kinerja bagian marketing. 4) Melakukan penilaian terhadap potensi pasar dan pengembangan pasar. m) Account Officer (AO) Fungsi Utama: Melayani pengajuan pembiayaan, melalui analisis kelayakan serta memberikan rekomendasi atas pengajuan pembiayaan sesuai atas pengajuan pembiayaan sesuai dengan hasil analisis yang telah dilakukan.
52
Tanggung Jawab: 1) Memastikan seluruh pengajuan pembiayaan telah diproses sesuai dengan proses yang sebenarnya. 2) Memastikan analisis pembiayaan telah dilakukan dengan tepat dan lengkap sesuai dengan kebutuhan dan mempresentasikan dalam rapat komite. 3) Terselesaikannya pembiayaan bermasalah. 4) Melihat peluang dan potensi yang ada dalam upaya pengembangan pasar. 5) Melakukan penanganan angsuran pembiayaan yang dijemput ke lokasi pasar. n) Collector Fungsi Utama: Menjemput setoran baik angsuran pembiayaan maupun setoran tabungan mitra. Tanggung Jawab: 1) Memastikan angsuran yang harus dijemput ditagih sesuai dengan waktunya. 2) Memastikan tidak ada selisih dana antara yang dijemput dengan dana yang disetor ke BMT. o) Mitra Mitra pada KBMT WU terdiri atas dua jenis yaitu mitra anggota dan mitra biasa. (a) Mitra Biasa Merupakan mitra yang statusnya bukan anggota koperasi, namun hanya sebagai nasabah pada KBMT WU. (b) Mitra Anggota Merupakan mitra KBMT yang berasal dari mitra biasa yang telah mendapatkan pelatihan dari KBMT WU dan bersedia menjadi anggota KBMT WU. Proses yang harus dilewati oleh mitra ini adalah PCAG (Pelatihan Calon Anggota) dan PAG (Pelatihan Anggota). KBMT WU memberikan tawaran kepada mitra biasa yang dipandang berprestasi untuk mengikuti pelatihan dalam rangka seleksi untuk menjadi anggota. Proses yang harus ditempuh adalah sebagai berikut: 1) Pelatihan Tahap 1 (bulan Januari) Pada pelatihan ini mitra diberikan materi mengenai koperasi dan KBMT baik yang menyangkut anggaran dasar koperasi, hak dan kewajiban anggota serta mengenai SHU (Sisa Hasil Usaha).
53
2) Pendalaman Materi 1 Pelatihan ini dilakukan pada bulan Februari, Maret, April dan Mei setiap 1 bulan sekali di KBMT WU selama 2 jam. 3) Pelatihan Tahap 2 Tujuan penelitian ini agar mitra dapat menghitung beban pokok penjualan, pengaturan ekonomi rumah tangga, pembukuan sederhana, dan analisis kebutuhan modal. Pelatihan ini dilakukan pada bulan Juni/ Juli. 4) Pendalaman Materi 2 Pendalaman materi dalam pelatihan 2 yang dilakukan pada bulan Juli, Agustus, September, Oktober dan November setiap 1 bulan sekali di KBMT WU selama 2 jam. 5) Penerimaan Anggota Pelatihan yang diselenggarakan pada bulan Desember untuk menentukan penerimaan anggota. Perbedaan status mitra pada KBMT WU ini memberikan pertimbangan yang berbeda terkait dengan pemberian pembiayaan. Pada kedua jenis mitra tersebut KBMT WU memberlakukan prosedur yang sama sebelum realisasi pembiayaan. Namun demikian KBMT WU lebih memprioritaskan mitra anggota, selain karena prestasinya hingga dipercaya sebagai anggota juga karena mitra ini telah mendapatkan pelatihan terkait dengan ilmu koperasi dan usaha sehingga diharapkan berbanding lurus dengan prestasi pembiayaannya. 5.4. Produk-produk Pembiayaan KBMT Wihdatul Ummah Sebagai lembaga pelayanan jasa keuangan KBMT WU mempunyai produk utama yaitu: A. Produk Penghimpunan Dana (Funding) 1) Tabungan a) Tamam (Tabungan Mitra Muamalah) Tamam adalah produk tabungan KBMT WU yang bertujuan menghimpun dana dari mitra (anggota dan calon anggota) dengan akad penitipan (wadi’ah yad adh-dhamanah). Dengan akad ini berarti KBMT WU sebagai pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik (mitra) dapat memanfaatkannya dan harus bertanggung jawab jika terjadi
54
kehilangan atau kerusakan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan tersebut menjadi hak KBMT WU artinya tidak ada sistem bagi hasil dari lembaga keuangan untuk nasabah. Balas jasa yang diberikan oleh KBMT WU kepada mitra berupa bonus (bukan bunga) dimana nilai bonus tergantung dari pendapatan KBMT WU. Pada tahun 2008 dana Tamam yang berhasil dihimpun oleh KBMT WU sebesar Rp 2.452.503.916,00. b) Ta’awun (Tabungan untuk Tolong-Menolong) Jenis tabungan ini hanya ditujukan untuk anggota. Penghimpunan dananya bersumber dari modal yang dialokasikan secara khusus serta dari dana zakat, infaq dan shadaqah. 2) Deposito Merupakan produk funding dengan setoran minimal Rp 100.000,00 dan kelipatannya. Produk ini mengunakan prinsip bagi hasil dengan akad mudharabah. Pada tahun 2008 dana deposito yang berhasil dihimpun oleh KBMT WU sebesar Rp 1.365.800.000,00. B. Produk Penyaluran Dana (Landing) Secara garis besar bentuk penyaluran dana di KBMT WU terbagi dalam tiga kategori yaitu sebagai berikut: 1) Pinjaman Produk landing dalam bentuk pinjaman yaitu penyaluran dana kepada masyarakat yang bersifat non bisnis. Produk tersebut berupa pinjaman kebajikan yang terdiri atas: a) Al qardh Produk ini berupa pinjaman yang diberikan kepada mitra KBMT dengan tujuan untuk kebajikan (tolong-menolong) seperti untuk membayar uang sekolah, biaya berobat, dll. Dana untuk pinjaman ini diambil dari penyisihan modal KBMT yang telah dihimpun dalam Ta’awun. Pada produk ini KBMT tidak mengambil jasa atas dana yang dipinjamkan. Besarnya pengembalian pinjaman oleh nasabah sama dengan besarnya pokok pinjaman dan hanya membayar sejumlah uang administrasi.
55
b) Al Qardhul Hasan Sasaran produk ini sama dengan al qardh, namun sumber pinjaman ini berasal dari zakat, infaq dan sadhaqah yang dihimpun dalam Ta’awun, oleh karenanya peminjam tidak diwajibkan mengembalikan pinjaman. 2) Pembiayaan (Financing) Produk pembiayaan yaitu penyaluran dana kepada masyarakat untuk kegiatan yang besifat bisnis. Jenis pembiayaan ini diantaranya: a) Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Jual Beli (Murabahah) Produk pembiayaan jual beli di KBMT WU baru menerapkan satu akad yaitu akad murabahah. Pembiayaan murabahah yaitu suatu perjanjian bisnis jual beli antara KBMT dengan mitranya dimana dalam melakukan akad kedua belah pihak mengetahui jenis barang, harga pokok dan nilai keuntungan untuk KBMT. b) Produk Bagi Hasil (a) Pembiayaan Mudharabah Pembiayaan ini berupa perjanjian kerjasama bisnis antara KBMT WU sebagai pemodal dengan mitra (pelaksana usaha produktif) untuk menjalankan suatu usaha dengan bagi hasil keuntungan. Dalam akad ini KBMT WU tidak melibatkan wakilnya dalam pengelolaan usaha kerjasama tersebut. Jika terjadi kerugian usaha yang bukan dikarenakan
kesalahan
pengelolaan,
maka
KBMT
WU
akan
menanggung resiko atas modal dan pengelola menanggung kerugian atas tenaga dan skill yang dicurahkan untuk usaha tersebut. (b) Pembiayaan Musyarakah Pembiayaan ini tidak jauh berbeda dengan mudharabah, bedanya KBMT WU menempatkan wakilnya dalam pengelolaan usaha dan pengelola usaha juga ikut menempatkan sejumlah uang dalam usaha tersebut. Resiko kerugian usaha ditanggung bersama sesuai porsi modal. 3) Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Jasa a) Al Ijarah Produk ini berupa perjanjian pembiayaan sewa-menyewa antara KBMT WU dengan mitra/ nasabah contohnya sewa menyewa ruko atau
56
kios. Praktek dari produk ini adalah KBMT WU membayar sewa secara tunai dari produk yang akan disewakan oleh pemiliknya. KBMT WU kemudian menyewakan kembali kepada mitranya dengan sistem pembayaran secara angsuran dimana periode dan nilai angsurannya telah disepakati oleh kedua belah pihak. Nilai yang dibayarkan mitra kepada KBMT WU terdiri dari harga pokok sewa KBMT WU pada pemilik produk ditambah sejumlah jasa KBMT WU (Fee). b) Al Hiwalah Produk ini berupa penalangan hutang bisnis oleh KBMT WU kepada mitra yang memiliki piutang terhadap orang lain. Produk pembiayaan ini bertujuan membantu mitra yang memerlukan dana cepat sedangkan orang yang berhutang kepadanya belum mampu membayarnya dalam waktu dekat. Dalam produk ini KBMT WU mengambil jasa atas dana yang digunakan untuk penalangan hutang bisnis. 5.5. Tingkat Kesehatan KBMT Wihdatul Ummah Tingkat kesehatan suatu lembaga keuangan dapat diukur dengan menghitung nilai komponen CAMEL meliputi capital, asset, management, earning, dan liquidity. Tabel 5. Tingkat Kesehatan KBMT Wihdatul Ummah Tahun 2007 dan 2008 Faktor Penilaian
2007
2008
Rasio (%) 8,3
Skor 5,7
Rasio (%) 7,5
Skor 3,8
4
25,0
2
25,0
91
4,6
93
4,7
ROA
1
4,8
2
5,0
BOPO
93
4,5
90
5,0
Manajemen
58
24,2
58
24,2
1. Alat likuid
39
5,0
36
5,0
2. LDR
59
5,0
62
5,0
Modal (CAR) Kualitas aktiva produktif Rasio aktiva yang diklasifikasikan Rasio cadangan penghapusan piutang Rasio rentabilitas
Likuiditas
Total
78,8
77,6
Sumber: KBMT Wihdatul Ummah (2008)
57
Berdasarkan Tabel 5, tingkat kesehatan pada KBMT WU dikategorikan cukup sehat dengan skor 77,6 pada tahun 2008 sedikit menurun dari tahun 2007 sebesar 78,8. Rasio CAR (Capital Adequacy Ratio) KBMT WU pada tahun 2008 sebesar 7,5 persen, artinya rasio modal bank dibanding aktiva tertimbang menurut resiko sebesar 7,5 persen. Menurut kategori perbankan CAR di atas empat persen termasuk dalam kategori A. Tetapi penghimpunan dana pada tahun 2008 belum tercapai CAR yang ideal karena untuk mencapai tingkat CAR yang ideal sebesar 12, 5 persen diperlukan tambahan modal Rp 179 juta. Tingkat profit salah satunya dapat dilihat dari ROA (Return On Asset). Pada tahun 2008 ROA KBMT WU sebesar dua persen. ROA tersebut membandingkan laba yang didapatkan dengan seluruh sumber daya input atau total aset yang dimiliki oleh KBMT WU. Jika semakin sedikit nilai ROA, maka mencerminkan total aset yang dimiliki KBMT WU semakin besar. LDR (Loan to Deposit Ratio) KBMT WU sebesar 62 persen. LDR ini merupakan rasio total kredit yang diberikan oleh KBMT WU dibandingkan total dana pihak ketiga yang dihimpun. Rasio ini menggambarkan kemampuan KBMT WU membayar kembali kewajiban kepada para nasabah yang telah menanamkan dananya dengan menarik kembali kredit-kredit yang diberikan kepada para debiturnya. Semakin tinggi rasio ini maka semakin rendah kemampuan likuiditasnya. Pada tahun 2008 rasio LDR sebesar 62 persen termasuk dalam kategori likuid dan baik karena LDR dikatakan tidak baik jika rasionya melebihi 110 persen. Nilai BOPO KBMT WU pada tahun 2008 sebesar 90 persen. Biaya Operasional (BOPO) merupakan besarnya pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasionalnya. Nilai 90 persen menunjukkan biaya operasional di KBMT WU sangat tinggi. Hal ini dapat mengurangi keuntungan yang dimiliki. Oleh karena itu sebaiknya dikurangi dengan penerapan prinsip-prinsip manajemen yang efektif. 5.6. Kualitas Aktiva Produktif KBMT Wihdatul Ummah Kategori tingkat pengembalian pembiayaan pada KBMT WU mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang terdiri atas pembiayaan lancar, pembiayaan kurang lancar, kategori diragukan dan kategori pembiayaan macet. Kategori tersebut adalah sebagai berikut:
58
1) Terlambat dalam pembayaran pinjaman dengan jangka waktu angsuran perhari/ minggu a) 30 hari
: lancar/ kolektibilitas I
b) 31-90 hari
: kurang lancar/ kolektibilitas II
c) 90-120 hari
: diragukan/kolektibilitas III
d) > 120 hari
: macet/kolektibilitas IV
2) Terlambat dalam pembayaran pinjaman dengan jangka waktu angsuran perbulan a) < 3 bulan
: lancar/ kolektibilitas I
b) 3-6 bulan
: kurang lancar/ kolektibilitas II
c) 6-9 bulan
: diragukan/kolektibilitas III
d) > 9 bulan
: macet/kolektibilitas IV
3) Terlambat dalam pembayaran pinjaman dengan angsuran berdasarkan jatuh tempo a) belum jatuh tempo
: lancar/ kolektibilitas I
b) sudah jatuh tempo (> 3 bulan)
: kurang lancar/ kolektibilitas II
c) sudah jatuh tempo (6 bulan)
: diragukan/kolektibilitas III
d) sudah jatuh tempo (> 6 bulan)
: macet/kolektibilitas IV
Klasifikasi tingkat pengembalian pembiayaan pada KBMT WU berdasarkan kategori di atas dapat diketahui bahwa tingkat pengembalian pembiayaan lancar pada tahun 2008 mencapai 97 persen meningkat dari tahun 2007 yang telah mencapai 93 persen (Tabel 6). Hal ini berarti bahwa manajemen KBMT WU telah berhasil mengurangi nilai tunggakan dari para debiturnya. Tabel 6. Kualitas Aktiva Produktif KBMT WU Tahun 2007 - 2008 Klasifikasi Penempatan pada bank
2007
2008
968.874.751
1.498.470.693
1.995.616.942
2.929.567.968
Kurang Lancar
39.871.154
23.074.199
Diragukan
44.869.596
4.608.831
Macet
61.432.541
59.474.980
2.141.790.233
3.016.725.978
Lancar
Jumlah Sumber: KBMT Wihdatul Ummah (2008)
59
5.7. Pengelolaan KBMT Wihdatul Ummah dalam Mendukung Keberhasilan Penyaluran Pembiayaan Pengelolaan KBMT WU dalam mendukung keberhasilan penyaluran pembiayaan dilakukan dengan beberapa tindakan yaitu menetapkan prosedur penyaluran pembiayaan dan pengelolaan pembiayaan bermasalah. 5.7.1. Prosedur Penyaluran Pembiayaan Prosedur ini bertujuan untuk mengantisipasi adanya resiko tunggakan pada pembiayaan yang akan disalurkan kepada calon debitur, prosedur tersebut sebagai berikut: 1) Pengajuan Pembiayaan Untuk memperoleh fasilitas pembiayaan maka tahap pertama mitra mengajukan permohonan pembiayaan kepada KBMT WU. Mitra dapat melakukan pengajuan pembiayaan dengan langsung datang ke KBMT, bagi mitra lama atau yang sebelumnya pernah mengajukan pembiayaan bisa melakukan pengajuan secara tidak langsung misalnya melalui telepon. Pengajuan pembiayaan ditangani bagian Janas (Jasa Nasabah) dimana mitra pengaju diwawancara untuk pengisian APP (Aplikasi Permohonan Pembiayaan). Informasi-informasi yang terdapat pada APP menyangkut: a) Identitas diri mitra pengaju b) Tujuan penggunaan dana, jumlah yang diajukan, aqad pembiayaan, rencana pembayaran, jaminan. c) Pendekatan syarat BMT meliputi: lama usaha minimal satu tahun, plafond di bawah BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), persetujuan istri/ suami, angsuran dibayar dari modal kerja dan wilayah usaha berada pada wilayah usaha BMT. d) Gambaran aktiva keluarga e) Profil keuangan rumah tangga f) Profil usaha g) Denah lokasi rumah dan lokasi usaha Apabila pendekatan syarat BMT seperti di atas tidak terpenuhi maka Janas dapat menyampaikan langsung penolakan pembiayaan kepada mitra pengaju. Namun apabila ketentuan terpenuhi dan semua data telah lengkap dengan melampirkan salinan identitas diri beserta kartu keluarga, maka Janas
60
mendistribusikan APP kepada Kepala Bagian Marketing dan untuk selanjutnya kepala bagian marketing akan menunjuk AO (Account Officer) untuk memproses pembiayaan yang diajukan tersebut. 2) Analisis Pengajuan Pembiayaan Usulan pembiayaan kemudian diproses oleh AO dengan melakukan investigasi. Langkah awal yang dilakukan adalah analisis data pada APP sebagai bahan dalam melakukan survei usaha dan rumah yang biasa disebut dengan On The Spot (OTS). Hal ini dilakukan untuk penyelidikan data yang ada pada APP apakah sesuai dengan kondisi di lapangan. Kegiatan investigasi meliputi prinsip penilaian 5 C (Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition) yaitu: (1) Character, penilaian ini meliputi analisis yuridis ke bagian administrasi pembiayaan, selain itu AO dapat melakukan wawancara informal dengan pihak-pihak yang berkaitan dengan calon peminjam seperti tetangga, rekan usaha, supplier bahan baku, karyawan dan sebagainya untuk memperoleh informasi tentang calon peminjam. (2) Capacity, penilaian ini untuk menngetahui apakah usaha dari mitra layak/ tidak untuk mendapatkan pembiayaan. Informasi yang dibutuhkan untuk penilaian
kelayakan
usaha
adalah
tahun
pendirian
usaha,
cara
mempertahankan karyawan, lokasi usaha (bila tidak strategis bagaimana cara mengatasinya), sumber dan cara memperoleh barang, jenis dan cara mendapatkan konsumen, cara penjualan, faktor yang mempengaruhi harga, sarana penunjang usaha, kemampuan mitra dalam melakukan usaha, serta tingkat perputaran persediaan barang. (3) Capital, kemampuan modal dinilai dengan pendekatan saving power yaitu kemampuan mitra melakukan angsuran dengan plafond yang sesuai. Hal ini dinilai dari laba bersih usaha setelah dikurangi dengan kebutuhan rumah tangga sehingga akan diperoleh saving power. Rasio angsuran besarnya maksimal 75 persen dari saving power (4) Collateral, jaminan digunakan sebagai penguat apabila kepribadian mitra yang bersangkutan meragukan. Penilaian terhadap jaminan meliputi jenis jaminan, nama pemilik, persetujuan pemilik, tahun pembuatan, kondisi jaminan, nilai taksasi sekarang dan saat jatuh tempo, dan proyeksi plafond maksimal adalah
61
80 persen dari nilai taksasi saat jatuh tempo, sehingga diperoleh kesimpulan apakah jaminan memadai atau tidak. Batasan jaminan disesuaikan dengan besarnya plafond, yaitu: < 5 juta
: jaminan dapat berupa harta lancar
5 – 10 juta : jaminan berupa BPKB > 10 juta : jaminan berupa surat tanah, AJBT (akta jual beli tanah) (5) Condition, penilaian condition didasarkan pada titik kritis yang dihadapi oleh mitra baik dari sisi usaha, keluarga, maupun BMT. (a) Usaha. Pendekatan tentang faktor yan berpengaruh terhadap kinerja mitra dari segi konsumen, supplier, karyawan, pesaing, kemampuan mitra dalam mengelola usaha, serta situasi eksternal yang dapat memperburuk kondisi usahanya. Apabila ada faktor-faktor tersebut maka harus diketahui bagamana cara mengatasinya. (b) Keluarga Kesehatan, keharmonisan, pendidikan merupakan faktor
yang dapat
berpengaruh bagi usaha mitra dari segi keluarga untuk itu harus diketahui cara mengatasinya. (c) BMT Menyangkut faktor internal yang digunakan oleh BMT tentang penilaian terhadap mitra dan bagaimana cara mengatasinya. Hasil investigasi di atas selanjutnya diproses untuk menyusun MAP (Memorandum Analisa Pembiayaan) yang di dalamnya terdapat informasiinformasi berupa: a) Profil keluarga dan profil usaha b) Pengajuan c) Analisis dan rekomendasi Dalam bagian ini terdapat pendekatan syarat BMT, pendekatan karakter, pendekatan kelayakan usaha, pendekatan jaminan, pendekatan saving power, pendekatan titik-titik kritis, rekomendasi dari AO proses untuk menentukan plafond dan jumlah angsuran.
62
d) Keputusan akhir rapat komite Apabila terdapat kondisi yang tidak sesuai antara data pada APP dengan hasil survei maka pembiayaan yang diajukan akan ditolak, namun jika sesuai akan diproses lebih lanjut. 3) Persetujuan Komite Sirkuler BMT Berkas MAP yang telah diproses oleh AO selanjutnya diajukan ke komite sirkuler. Komite sirkuler terdiri dari pejabat 1 yaitu kepala bagian marketing dan pejabat 2 yaitu manajer. Berkas MAP didistribusikan kepada komite 1 dan 2 untuk dilakukan proses RTL (Rencana Tindak Lanjut), jika ada pertanyaan dari komite 1 atau 2 tentang hasil MAP maka akan dikembalikan kepada AO untuk dijawab. Jika pembiayaan telah mendapat persetujuan dari komite maka AO melakukan negosiasi dengan mitra mengenai besarnya plafond, jumlah angsuran dan cara pembayaran. Apabila mitra menyetujui maka mitra menandatangani lembar persetujuan negosiasi untuk selanjutnya dibuat Surat Persetujuan Pembiayaan (SPP) dan semua berkas pembiayaan diserahkan ke bagian administrasi pembiayaan untuk dimintakan tanda tangan komite pembiayaan. 4) Pengikatan Pembiayaan dan Dropping Dana Setelah mendapat persetujuan dari komite pembiayaan, tahap selanjutnya bagian administrasi
pembiayaan
mempersiapkan
pengikatan
pembiayaan
(akad
pembiayaan). Sebelum dilakukan pengikatan, semua dokumen asli dan dokumen jaminan harus telah diterima. Setelah dilakukan pengikatan pembiayaan, proses dropping (pencairan) dana dapat dilakukan. Dropping dana dilakukan oleh Kepala Bagian Operasional, apabila yang bersangkutan tidak ada maka diganti oleh Kepala Bagian Marketing, apabila juga tidak ada maka dilakukan oleh (administrasi pembiayaan) dan apabila tidak ada juga maka diganti oleh AO tetapi bukan AO yang memproses pembiayaannya. Pada waktu dropping dibacakan akad dan dilakukan verivikasi tanda tangan calon peminjam. Secara ringkas tahap pembiayaan pada KBMT WU menurut bagian-bagian yang menangani dapat dilihat pada gambar berikut:
63
Jasa Nasabah
Kabag Marketing
Pengajuan pembiayaan dengan mengisi APP
Menunjuk AO
Account Officer Analisis Pengajuan Pembiayaan berdasarkan 5 C dan pemrosesan MAP
Komite Sirkuler Rencana Tindak Lanjut (setuju/tidak) Kabag. Operasional Realisasi dropping
Administrasi Pembiayaan Proses persetujuan Komite Pembiayaan dan Proses Pengikatan Pembiayaan
Account Officer Negosiasi dan pemrosesan SPP
Gambar 10. Tahap Pembiayaan pada KBMT Wihdatul Ummah Sumber: KBMT Wihdatul Ummah (2008)
5.7.2. Pengelolaan Pembiayaan Bermasalah pada KBMT Wihdatul Ummah Pembiayaan bermasalah (tunggakan) pada KBMT WU dikelola dengan beberapa tindakan. Pertama, tindakan pencegahan pembiayaan bermasalah. Kedua, tindakan penyelesaian pembiayaan bermasalah. 1) Tindakan pencegahan pembiayaan bermasalah Sebelum permohonan disetujui dilakukan pencegahan kerugian dengan cara merancang prosedur dengan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi serta melakukan analisis pembiayaan dengan berpandangan pada 5C, seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Setelah pembiayaan disetujui atau selama masa pembayaran dilakukan beberapa tindakan sebagai berikut: a) Monitoring Kegiatan ini dilakukan setiap hari Selasa dengan tujuan untuk melihat prestasi anggaran dari mitra dalam satu minggunya khususnya untuk mitra dengan sistem anngsuran harian. Selain itu tujuan legiatan ini adalah menentukan tindakan yang seharusnya dilakukan untuk menangani pembiayaan yang bermasalah dari mitra yang angsuran prestasinya kurang bagus. b) Evaluasi Bulanan Kegiatan evaluasi bulanan ditujukan untuk mengevaluasi aktivitas pembiayaan yang dilakukan bulan tersebut serta untuk menentukan rencana perbaikan bagi
64
bulan selanjutnya. Dalam kegiatan ini dievaluasi masalah-masalah yang timbul dalam aktivitas pembiayaan yang bermasalah serta penentuan tindakan penanganan yang tepat. c) Evaluasi Semesteran Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengevaluasi kegiatan yang telah dilakukan selama enam bulan sebelumnya dan membuat perbaikan perencanaan dalam enam bulam berikutnya dengan disesuaikan dengan hasil evaluasi yang telah dilakukan untuk enam bulan sebelumnya. Selain melakukan hal di atas, tindakan pencegahan pembiayaan bermasalah yang juga dilakukan KBMT WU diantaranya: a) Penyaringan mitra sesuai dengan tingkat kolektibilitas pembiayaan KBMT WU dengan tujuan untuk mengetahui prestasi angsuran mitra. b) Diversifikasi Pembiayaan. Diversifikasi pembiayaan pada KBMT WU didasarkan atas jenis usaha, wilayah geografis, besarnya tingkat plafond yang diajukan, pola pembayaran dan penagihan serta berdasarkan lama usaha mitra. Berdasarkan jenis usaha terbagi atas sektor perdagangan, jasa, industri dan lain-lain sedangkan berdasarkan wilayahnya KBMT WU mendiversifikasikan wilayah yang terdiri atas wilayah inti dan sekitar inti. Hal ini dilakukan untuk memudahkan teknis penagihan dan evaluasi pembiayaan. c) Memenuhi BMPK. Pembiayaan yang diberikan harus memenuhi plafond atau persyaratan BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kedit), untuk KBMT WU BMPK sebesar 50 juta. Kebijakan ini berlaku sejak tahun 2003. 2) Tindakan penyelesaian pembiayaan bermasalah Penyebab pembiayaan bermasalah pada KBMT WU diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu: a) Kondisi ekonomi, sosial dan politik global Penyebab pembiayaan bermasalah pada kelompok ini adalah adanya perubahan dalam kondisi ekonomi, politik, kebijakan pemerintah daerah, dan sebagainya yang berpengaruh pada kelangsungan usaha nasabah. b) BMT (internal) Pembiayaan yang bermasalah kadang disebabkan oleh internal BMT yaitu pada proses investigasi pengajuan, misalnya:
65
(a) Kesalahan dalam analisis nilai taksasi jaminan (b) Terlalu mempercayai mitra PAG atau PCAG (c) Analisis usaha yang tidak detail (d) Penegasan barang jaminan yang kurang jelas (e) Kesalahan penilaian atas rekomendasi orang yang bisa dipercaya sebagai jaminan yang akan menanggung apabila pembiayaan macet. c) Mitra Penyebab pembiayaan bermasalah dari kelompok ketiga disebabkan oleh mitra itu sendiri. Hal ini biasanya disebabkan oleh: (a) Mitra kemalingan (b) Mitra yang pindah tempat tinggal (c) Kondisi keluarga mitra seperti konflik keluarga atau terdapat keluarga yang sakit sehingga membutuhkan biaya pengobatan yang pada akhirnya menghambat pembayaran angsuran. (d) Mitra kesulitan untuk memperoleh barang dagangan karena kelangkaan barang atau karena kondisi ekonomi negara yang tidak mendukung. Tindakan penyelesaian pembiayaan bermasalah terbagi atas dua bagian yang didasarkan pada tingkat kolektibilitas debitur, yaitu dalam perhatian umum dan dalam perhatian khusus. a) Dalam perhatian umum Debitur dengan kolektibilitas 2 (kurang lancar) mendapatkan penanganan dalam perhatian umum. Pada kasus ini biasanya penanganannya dilakukan oleh AO yang memproses pembiayaan dari yang bersangkutan. Tindakan yang dilakukan adalah memonitoring usaha dari mitra dan adanya teguran dari pihak BMT melalui AO yang memprosesnya. b) Dalam perhatian khusus Kolektibilitas 2 yang sudah membahayakan, kolektibilitas 3 dan kolektibilitas 4 masuk ke dalam penanganan khusus. Penanganannya dilakukan oleh AO yang memproses pembiayaan dengan dibantu oleh bagian KAP, tetapi pada akhirnya yang akan menangani adalah bagian KAP. KBMT WU dituntut untuk dapat mempertanggungjawabkan aktivitas penyaluran dananya terhadap publik penyimpan dana. Untuk itu kualitas
66
pembiayaan haruslah diperhatikan, karena hal ini berkaitan dengan pembentukan kualitas aktiva produktif bagi KBMT WU. Peningkatan pembiayaan bermasalah mewajibkan KBMT WU membentuk cadangan penghapusan piutang yang diambil dari pendapatan atau laba yang diperoleh. Peningkatan
pembiayaan
Financing)menyembabkan
bermasalah peningkatan
NPF
jumlah
(Non
Performing
cadangan
penghapusan
piutang sehingga mengurangi modal KBMT. Sadar akan pentingnya hal tersebut maka KBMT WU berupaya untuk dapat mengurangi jumlah pembiayaan bermasalah melalui berbagai cara penyelamatan pembiayaan bermasalah. Teknik penyelesaian pembiayaan bermasalah pada KBMT WU dilakukan dengan beberapa metode yaitu: a) Resceduling Pada penelitian ini KBMT WU memberikan kelonggaran kepada mitranya untuk membayar hutang yang telah jatuh tempo dengan jalan menunda tanggal jatuh tempo tersebut. Dalam hal ini KBMT WU menggunakan istilah pembaharuan yaitu menyusun jadwal baru untuk angsuran setelah dilakukan analisis kelayakan usaha mitra. Besar dan lama angsuran dipengaruhi oleh kondisi keuangan mitra. b) Restructuring KBMT WU melakukan langkah ini dengan memberikan tamabahan jumlah pembiayaan kepada mitra apabila dirasa dengan penambahan jumlah pembiayaan tersebut dapat memperbaiki usaha sehingga meningkatkan prestasi angsuran. c) Penyitaan jaminan Penyitaan jaminan dilakukan apabila pembaharuan sudah tidak mungkin lagi dilakukan. Jaminan yang disita adalah jaminan yang tercatat dalam MAP (Memorandum Analisa Pembiayaan).
67
VI KARAKTERISTIK RESPONDEN BERDASARKAN TINGKAT PENGEMBALIAN PEMBIAYAAN
Karakteristik debitur responden baik yang lancar maupun yang tidak lancar dalam pengembalian pembiayaan diidentifikasi berdasarkan variabelvariabel yang diduga berpengaruh terhadap tingkat pengembalian pembiayaan meliputi karakteristik personal, karakteristik usaha dan karakteristik pembiayaan. Karakteristik personal terdiri atas tingkat pendidikan. Karakteristik usaha mencakup omzet usaha, dan pengalaman usaha. Karakteristik pembiayaan meliputi jumlah pembiayaan, jangka waktu pembiayaan, frekuensi pembiayaan, pola penagihan dan jenis penggunaan pembiayaan. Debitur yang menjadi responden dalam penelitian ini merupakan nasabah KBMT WU yang bergerak pada UMKM agribisnis diantaranya adalah pedagang sayur, buah, ikan dan ayam baik dalam bentuk mentah maupun olahan. Berdasarkan karakteristik personal, tingkat pendidikan responden mulai dari tidak tamat SD hingga Perguruan Tinggi. Berdasarkan karakteristik usaha, kisaran omzet usaha responden antara Rp 1,5 juta hingga Rp 90 juta per bulan dengan lama usaha antara 2 tahun hingga 36 tahun. Berdasarkan karakteristik pembiayaan, jumlah pembiayaan berkisar antara 0,5 juta hingga 50 juta, jangka waktu pembiayaan antara 100 hari hingga 720 hari, sedangkan frekuensi pembiayaan antara 1 kali hingga lebih dari 5 kali. Pola penagihan terhadap debitur terdiri atas penagihan secara langsung dan tidak langsung dan untuk jenis penggunaan pembiayaan terdiri atas kegiatan produktif, konsumtif, dan keduanya sekaligus. 6.1. Perbandingan Karakteristik Personal Responden a) Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan pada umumnya tercermin dalam tindakan dan perilaku sehari-hari. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang biasanya lebih berdisiplin dan bertanggung jawab dalam menjalankan kewajibannya. Kaitannya dengan pengembalian pembiayaan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang diharapkan semakin berdisiplin dan bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban membayar angsuran pembiayaan. Selain itu, semakin tinggi tingkat
68
pendidikan seseorang maka pengetahuan dan wawasannya semakin bertambah sehingga akan mendukung kemampuan mengelola usaha dengan baik. Tabel 7. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Pendidikan untuk Setiap Tingkat Pengembalian Tingkat Pendidikan Tidak tamat SD SD SMP SMA PT Total
Lancar Jumlah % 6 7 4 3
0 30 35 20 15
20
100
Pengembalian Tidak Lancar Jumlah % 2 20 2 20 3 30 3 30 0 0 10
100
Total Jumlah
%
2 8 10 7 3
7 27 33 23 10
30
100
Sumber: Data Primer, diolah (2009)
Berdasarkan Tabel 7, sebagian besar responden menyebar pada tingkat pendidikan SD hingga SMA yaitu sebanyak 83 persen (27%+33%+23%). Tingkat pendidikan untuk responden yang tergolong lancar yaitu SD hingga SMP sebanyak 65 persen (30%+35%). Sedangkan tingkat pendidikan pada responden yang tergolong tidak lancar menyebar hampir merata pada semua tingkat pendidikan kecuali tingkat Perguruan Tinggi. 6.2. Perbandingan Karakteristik Usaha Responden a) Omzet Usaha Besarnya omzet usaha akan menentukan besar repayment capacity yang dimiliki nasabah. Faktor ini dijadikan pertimbangan apakah seorang nasabah dapat diberikan pembiayaan atau tidak, dan berapa besar pembiayaan yang dapat diperoleh nasabah agar nasabah dapat meningkatkan usaha dan mengembalikan pembiayaan dengan lancar. Kesalahan dalam perhitungan omzet usaha beresiko menimbulkan tunggakan pembiayaan. Karakteristik pengembalian pembiayaan berdasarkan omzet usaha dapat dilihat pada Tabel 8. Pada penelitian ini nasabah dibagi dalam tiga kelompok yang didasarkan pada batasan dan definisi UMKM. Kelompok pertama adalah nasabah dengan usaha skala mikro yaitu dengan omzet tidak lebih dari Rp 8,3 juta per bulan,
69
kelompok ini memiliki proporsi tingkat pengembalian tidak lancar yang paling besar (70%). Kelompok nasabah yang kedua adalah nasabah yang memiliki omzet lebih dari Rp 8,3 hingga Rp 83,3 juta per bulan yang merupakan nasabah skala usaha kecil. Kelompok ini merupakan kelompok yang memiliki proporsi tingkat pengembalian pembiayaan yang paling baik dibanding kelompok lainnya yaitu sebesar 60%. Kelompok yang ketiga adalah nasabah dengan skala usaha menengah dengan omzet usaha lebih dari Rp 83,3 juta per bulan. Pada kelompok ini hanya terdapat satu nasabah dan mampu mengembalikan pembiayaan dengan lancar. Tabel 8. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Menurut Omzet Usaha untuk Setiap Tingkat Pengembalian Pengembalian Omzet Usaha ≤ 8,3 juta > 8,3 juta – 83,3 juta > 83,3 juta Total
Lancar Jumlah % 7 35 12 60 1 5 20 100
Tidak Lancar Jumlah % 7 70 3 30 0 0 10 100
Total Jumlah % 14 47 15 50 1 3 30 100
Sumber: Data Primer, diolah (2009)
Semakin rendah omzet usaha debitur maka kemampuannya dalam melunasi pembiayaan semakin kecil. Berdasarkan data tersebut telah diketahui bahwa sebagian besar pembiayaan bermasalah terdapat pada nasabah skala usaha mikro (70%) maka seharusnya sektor ini mendapat perhatian khusus dari KBMT WU. Skala usaha mikro yang merupakan usaha rumah tangga masih sangat rentan terhadap ketatnya persaingan usaha dan masih kurang baik dalam pengaturan arus keuangan usaha. b) Pengalaman Usaha Penyaluran pembiayaan bertujuan untuk membantu perkembangan usaha nasabah, untuk itu pada KBMT WU diberlakukan syarat kepada calon nasabah pembiayaan yaitu telah menjalankan usaha minimal selama 1 tahun. Ketentuan ini bertujuan untuk melihat daya tahan usaha dan peluang perkembangan usaha nasabah. Pada Tabel 9 terlihat bahwa kelompok nasabah yang memiliki tingkat
70
pengembalian pembiayaan paling baik adalah nasabah dengan pengalaman usaha antara 11 tahun hingga 20 tahun dengan proporsi 40 persen. Kemudian dapat dilihat bahwa kelompok nasabah dengan pengalaman usaha 1 tahun hingga 10 tahun memiliki proporsi pengembalian tidak lancar paling besar (70%) dibandingkan kelompok nasabah lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman usaha yang belum matang memberikan peluang lebih besar untuk pengembalian tidak lancar karena masih kurang baik dalam mengatur keuangan usaha. Tabel 9. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Menurut Pengalaman Usaha untuk Setiap Tingkat Pengembalian Pengembalian Pengalaman Usaha 1 – 10 tahun 11 – 20 tahun > 20 tahun
Lancar Jumlah % 7 35 8 40 5 25
Total
20
100
Tidak Lancar Jumlah % 7 70 1 10 2 20 10
100
Total Jumlah 10 13 7
% 33 43 23
30
100
Sumber: Data Primer, diolah (2009)
6.3. Perbandingan Karakteristik Pembiayaan Responden a) Jumlah Pembiayaan Pada Tabel 10, jumlah pembiayaan yang banyak diberikan oleh KBMT WU besarnya berkisar pada satu juta hingga lima juta (67%), dari data juga diketahui bahwa pada kisaran jumlah pembiayaan tersebut merupakan proporsi terbesar untuk pengembalian lancar (60%) dan pengembalian tidak lancar (80%). Tabel 10. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Menurut Jumlah Pembiayaan untuk Setiap Tingkat Pengembalian Pengembalian Jumlah Pembiayaan < 1 juta 1 juta - 5 juta 6 juta - 10 juta > 10 juta Total
Lancar Jumlah % 2 10 12 60 3 15 3 15 20 100
Tidak Lancar Jumlah % 2 20 8 80 0 0 10 100
Total Jumlah 4 20 3 3 30
% 13 67 10 10 100
Sumber: Data Primer, diolah (2009)
71
b) Jangka Waktu Pembiayaan Jangka waktu pembiayaan merupakan waktu jatuh tempo seorang debitur dalam membayar seluruh pembiayaan/ pinjaman yang diberikan termasuk pembayaran balas jasanya (fee). Semakin panjang jangka waktu tersebut maka beban debitur dalam membayar angsuran semakin longgar/ ringan. Umumnya KBMT WU memberikan jangka waktu jatuh tempo pelunasan pembiayaan dalam 100 hari, 125 hari, 150 hari untuk pola angsuran harian dan 1 tahun; 1,5 tahun dan 2 tahun untuk pola angsuran pekanan atau bulanan. Pola angusuran pada nasabah yang menjadi responden penelitian ini sebagian besar mempunyai pola angsuran harian. Jangka waktu pembiayaan ditentukan berdasarkan kemampuan nasabah dalam membayar besarnya angsuran setiap kali mengangsur. Tabel 11. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Menurut Jangka Waktu Pembiayaan untuk Setiap Tingkat Pengembalian Pengembalian Jangka Waktu Pembiayaan < 150 hari 150 - 300 hari > 300 hari Total
Lancar Jumlah % 7 35 7 35 6 30 20 100
Tidak Lancar Jumlah % 6 60 3 30 1 10 10 100
Total Jumlah 13 10 7 30
% 43 33 23 100
Sumber: Data Primer, diolah (2009)
Berdasarkan tabel di atas, sebagian besar responden mengakses pembiayaan dengan jangka waktu kurang dari 150 hari yaitu sebanyak 43 persen. Nasabah dengan pengembalian lancar menyebar hampir merata pada setiap jangka waktu pembiayaan. Berbeda dengan kelompok pembiayaan tidak lancar, kelompok ini banyak terdapat pada jangka waktu pembiayaan kurang dari 150 hari dengan proporsi sebesar 60 persen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin pendek jangka waktu pinjaman menyebabkan pengembalian pembiayaa semakin tidak lancar. b) Frekuensi Pembiayaan
72
Pengalaman
dalam
mengambil
pembiayaan
akan
memberikan
pengetahuan tambahan bagi seorang pengusaha karena semakin besar frekuensi pembiayaan akan memberikan kemampuan yang lebih terarah dalam mengatur arus kas perusahaan. Bagi pihak KBMT pengalaman pengambilan pembiayaan akan menjadi informasi penting dalam melihat karakter seorang nasabah. Frekuensi pembiayaan merupakan salah satu pertimbangan untuk menentukan besarnya dropping pembiayaan yang akan diberikan kepada calon nasabah. KBMT akan sangat mempertimbangkan pemberian pembiayaan kepada nasabah yang pengalaman pembiayaan sebelumnya tidak baik. Hal ini berlaku pada lembaga keuangan di seluruh Indonesia. Tingkat pengembalian pembiayaan berdasarkan frekuensi pembiayaan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Menurut Frekuensi Pembiayaan untuk Setiap Tingkat Pengembalian Pengembalian Frekuensi Pembiayaan 1 kali 2 - 5 kali > 5 kali Total
Lancar Jumlah % 3 15 5 25 12 60 20 100
Tidak Lancar Jumlah % 1 10 3 30 6 60 10 100
Total Jumlah 4 8 18 30
% 13 27 60 100
Sumber: Data Primer, diolah (2009)
Frekuensi pembiayaan nasabah yang semakin besar mencerminkan bahwa kepercayaan lembaga terhadap nasabah tersebut semakin meningkat sehingga besarnya pembiayaan yang direalisasi kemungkinan juga semakin besar. Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden merupakan nasabah lama (pembiayaan lebih dari satu kali). Frekuensi pembiayaan yang paling sering berada pada frekuensi lebih dari lima kali pembiayaan. Kelompok nasabah pengembalian lancar terdapat pada frekuensi pembiayaan lebih dari 5 kali sebanyak 12 debitur (60%) sedangkan pembiayaan bermasalah paling besar juga terdapat pada frekuensi pembiayaan yang sama yaitu sebanyak 6 debitur (60%). Kenyataan ini tidak mendukung pada kondisi umumnya, dimana seharusnya semakin sering meminjam berarti semakin baik pengelolaan keuangan untuk mengangsur pembiayaan.
73
Kenyataan bahwa debitur dengan pembiayaan lebih dari lima kali justru paling banyak melakukan penunggakan perlu dicari penyebabnya. Berdasarkan wawancara dengan responden, informasi yang didapatkan bahwa rentannya stabilitas usaha yang dipengaruhi oleh tingkat persaingan dan kondisi perekonomian nasional (fluktuasi biaya produksi) merupakan salah satu penyebabnya. Pada awalnya para debitur tersebut stabil dalam usaha dan lancar dalam memenuhi kewajiban pembiayaannya, namun karena ketidaksiapan dan tidak adanya antisipasi terhadap permasalahan tersebut menyebabkan semakin rendah pendapatan para debitur dan kesulitan membayar angsuran. d) Pola Penagihan Pola penagihan dalam penelitian ini dibedakan atas penagihan secara langsung dan tidak langsung. Penagihan secara langsung artinya pihak collector KBMT yang mendatangi ke tempat debitur, pola ini banyak dipilih oleh debitur dengan persentase sebesar 87 persen. Hal ini karena debitur tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi, selain itu debitur yang sebagian besar merupakan pedagang dan mempunyai pola tagihan harian tidak memungkinkan untuk meninggalkan usahanya. Sedangkan pola tagihan tidak langsung dimana debitur yang mendatangi KBMT memiliki persentase sebesar 13 persen. Mereka yang memilih pola ini karena pertimbangan lokasi rumah yang dekat KBMT dan memiliki pola pembayaran pekanan/ bulanan. Tabel 13. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Menurut Pola Penagihan untuk Setiap Tingkat Pengembalian Pengembalian Pola Penagihan Langsung Tidak Langsung Total
Lancar Jumlah % 16 80 4 20 20 100
Tidak Lancar Jumlah % 10 100 0 10 100
Total Jumlah 26 4 30
% 87 13 100
Sumber: Data Primer, diolah (2009)
Berdasarkan
tabel
di
atas,
sebagian
besar
responden
yang
pengembaliannya lancar terdapat pada pola penagihan langsung (80%). Namun demikian kelompok pengembalian tidak lancar semua respondennya (100%) juga
74
menggunakan pola penagihan secara langsung, hal ini karena keinginan untuk mendapatkan kemudahan tidak diiringi dengan tanggung jawab terhadap ketertiban dalam megembalikan pembiayaan. e) Penggunaan Pembiayaan Pembiayaan yang diterima oleh responden penelitian ini digunakan untuk kegiatan produktif, konsumtif atau kedua kegiatan itu sekaligus (sebagian untuk kegiatan produktif dan sebagian lagi untuk kegiatan konsumtif). Dari Tabel 14 terlihat bahwa pemberian pembiayaan untuk kegiatan produktif lebih banyak dibanding untuk kegiatan lainnya yaitu sebesar 63 persen. Pada kelompok debitur pengembalian lancar maupun tidak lancar, persentase terbesar terdapat pada penggunaan kegiatan produktif, dengan nilai masing-masing 70 persen dan 50 persen. Penggunaan untuk kegiatan konsumtif yang dilakukan oleh responden diantaranya untuk biaya pendidikan anak, renovasi rumah, dan berobat, sedangkan kegiatan produktif yang dilakukan responden diantaranya untuk peningkatan volume usaha. Tabel 14. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kegiatan Pembiayaan untuk Setiap Tingkat Pengembalian Pengembalian Jenis Kegiatan Produktif Konsumtif Produktif dan konsumtif Total
Lancar Jumlah % 14 70 4 20
Tidak Lancar Jumlah % 5 50 3 30
Total Jumlah % 19 63 7 23
2
10
2
20
4
13
20
100
10
100
30
100
Sumber: Data Primer, diolah (2009)
75
VII FAKOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENGEMBALIAN PEMBIAYAAN
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi debitur untuk mengembalikan pembiayaan adalah tingkat pendidikan, omzet usaha, pengalaman usaha, jumlah pembiayaan, jangka waktu pembiayaan, frekuensi pembiayaan, pola tagihan, dan penggunaan pembiayaan. Variabel respon dalam hal ini terdiri dari dua alternatif yaitu debitur yang pembiayaannya lancar (0) dan tidak lancar (1). Berdasarkan output hasil olahan Minitab dengan selang kepercayaan 95 persen (taraf nyata (α) = 0,05) nilai uji G regresi logistik ini adalah 23,556 dengan nilai p-value = 0,005. P-value yang nilainya lebih kecil dari α (0,05) menunjukkan bahwa cukup bukti untuk menolak H0 dimana minimal ada satu variabel prediktor yang nilainya tidak sama dengan nol (βi ≠ 0). Hal ini berarti bahwa satu diantara variabel yang digunakan pada penelitian ini berpengaruh nyata terhadap pengembalian pembiayaan pada KBMT WU. Selanjutnya untuk kebaiksuaian model (Goodness of Fit) dapat dilihat dari uji chi-square metode Pearson, Devience, dan Hosmer-Lemeshow. Nilai uji chi-square dari ketiga metode tersebut masing-masing 15,5950; 14,6351 dan 3,8591 dengan p-value masing-masing sebesar 0,741; 0,797; 0,870. Nilai p-value dari ketiga metode tersebut bernilai lebih besar dari 5 persen (α = 0,05), artinya bahwa model yang diperoleh dari analisis regresi logistik sudah fit (Lampiran 2). Pengujian untuk melihat signifikansi masing-masing variabel prediktor dalam mempengaruhi variabel respon digunakan nilai uji statistik Z. Nilai statistik Z dari masing-masing variabel prediktor dengan p-value lebih kecil dari taraf nyata (α = 0,05) menunjukkan cukup bukti untuk menolak H0 bahwa variabel tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap variabel respon, dengan kata lain akan menerima H1 bahwa variabel tersebut signifikan dalam mempengaruhi variabel respon. Hasil pengolahan regresi logistik mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian pembiayaan pada KBMT WU lebih jelasnya terdapat pada Tabel 15.
76
Tabel 15. Hasil Pengolahan Regresi Logistik Mengenai Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengembalian Pembiayaan pada KBMT WU Variabel Independen Konstanta Tingkat Pendidikan Omzet Usaha Pengalaman Usaha Jumlah Pembiayaan Jangka Waktu Pembiayaan Frekuensi Pembiayaan Pola Penagihan Kegiatan Pembiayaan Konsumtif Produktif dan konsumtif
Koefisien -16,6461 0,663807 0,0002080 0,420853 -0,0004948 0,0399534 -4,83944 0,394811
Nilai Z -1,88 1,97 1,24 1,97 -0,97 1,60 -1,36 0,08
Nilai P 0,060 0,049 0,214 0,049 0,334 0,109 0,173 0,936
Odds Ratio
-0,722283 2,95312
-0,39 0,94
0,694 0,346
0,49 19,17
1,94 1,00 1,52 1,00 1,04 0,01 1,48
Sumber: Data Primer, diolah (2009)
Dari hasil pengolahan dengan menggunakan regresi logistik dapat diketahui bahwa variabel-variabel yang berpengaruh nyata (signifikan) dan tidak nyata (tidak signifikan) terhadap pengembalian pembiayaan. Identifikasi variabel yang siginifikan dapat dilihat dari P-value variabel yang bersangkutan. Jika nilai P suatu variabel lebih kecil dari 5 persen (P < 0,05) maka variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap pengembalian pembiayaan. Adapun variabel yang signifikan dari hasil analisis regresi logistik pada penelitian ini adalah variabel tingkat pendidikan dan variabel pengalaman usaha. Hal ini dapat dilihat dari P-value variabel tingkat pendidikan dan pengalaman usaha yang masing-masing memiliki nilai sebesar 0,049 (P < 0,05). Sedangkan variabel independen yang tidak signifikan pengaruhnya bagi pengembalian pembiayaan adalah omzet usaha, jumlah pembiayaan, jangka waktu pembiayaan, frekuensi pembiayaan, pola penagihan dan kegiatan pembiayaan. Variabelvariabel tersebut tidak signifikan pengaruhnya karena nilai P dari masing-masing variabel lebih besar dari 5 persen (P > 0,05). a) Tingkat Pendidikan Koefisien variabel tingkat pendidikan dari hasil regresi logistik adalah positif (0,663807), menunjukkan hubungan positif antara variabel tingkat pendidikan dengan tingkat pengembalian pembiayaan pada KBMT WU.
77
Berdasarkan hasil wawancara, debitur dengan tingkat pendidikan rendah didominasi oleh debitur skala usaha mikro. Sistem pengelolaan usahanya masih sederhana dan memiliki omzet usaha yang relatif rendah sehingga berkorelasi dengan kemampuan dalam penyediaan anggaran untuk angsuran pembiayaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan memberikan peluang pengelolaan dan omzet usaha semakin baik maka akan semakin mendukung kelancaran pengembalian pembiayaan. Hal ini berarti KBMT WU perlu memberikan bimbingan usaha kepada debitur dengan tingkat pendidikan yang masih rendah agar lebih baik dalam mengelola usahanya. P-value statistik Z pada variabel ini sebesar 0,049 (P < 0,05) sehingga cukup bukti untuk mengatakan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh nyata terhadap pengembalian pembiayaan pada KBMT WU. b) Omzet Usaha Koefisien variabel omzet usaha bernilai positif (0,000208) artinya terdapat hubungan searah antara variabel omzet usaha dengan variabel respon tingkat pengembalian pembiayaan. Semakin besar omzet usaha per bulan seorang nasabah maka nasabah tersebut semakin lancar dalam pengembalian pembiayaan, hal ini karena tersedianya anggaran untuk membayar angsuran. Berbeda dengan responden beromzet rendah, tingkat pengembalian pembiayaan akan semakin tidak lancar karena omzet usahanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga tidak tersedia anggaran untuk mengangsur pembiayaan. Nilai statistik Z variabel ini sebesar 1,24 dengan p-value sebesar 0,214 (P > 0,05) menyimpulkan bahwa variabel omzet usaha tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat pengembalian pembiayaan. Hasil analisis regresi ini jika dikaitkan dengan hasil analisis deskriptif sebelumnya, meskipun terdapat perbedaan sebaran omzet usaha responden dimana responden yang tidak lancar memiliki omzet usaha ≤ 8,3 juta (70%) dan pengembalian lancar memiliki omzet > 8,3 juta – 83,3 juta (60%) namun demikian diantara keduanya memiliki perbedaan persentase yang tidak jauh atau tidak berbeda nyata. c) Pengalaman Usaha Koefisien variabel ini bernilai positif (0,420853), menunjukkan semakin lama pengalaman usaha maka semakin lancar dalam mengembalikan pembiayaan.
78
Pengalaman usaha debitur mempengaruhi terhadap pengelolaan usaha. Semakin lama pengalaman usaha maka semakin baik dalam mengelola usaha dan omzet usaha yang dihasilkan relatif semakin besar sehingga debitur cenderung lebih lancar mengembalikan pembiayaan. P-value yang lebih kecil dari 5 persen (P < 0,05) yaitu sebesar 0,049 menyimpulkan bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap tingkat pengembalian pembiayaan pada KBMT WU. d) Jumlah Pembiayaan Variabel jumlah pembiayaan memiliki koefisien negatif (-0,0004948) yang berarti bahwa jumlah pembiayaan berpengaruh negatif terhadap kelancaran pengembalian pembiayaan. Semakin besar jumlah pembiayaan/ pinjaman nasabah maka akan semakin kecil peluang nasabah dalam mengembalikan pembiayaan secara lancar. Variabel jumlah pembiayaan diketahui tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat pengembalian pembiayaan karena P-value statistik Z dari variabel ini lebih besar dari 5 persen (0,334). e) Jangka Waktu Pembiayaan Jangka waktu pembiayaan disepakati berdasarkan kemampuan nasabah terkait dengan beban angsuran setiap kali harus mengangsur pembiayaan/ pinjamannya. Jangka waktu pembiayaan berpengaruh positif terhadap terjadinya pembiayaan lancar di KBMT WU. Hal ini terlihat dari koefisiennya yang benilai positif (0,0399534), artinya semakin lama jangka waktu pembiayaan maka tingkat pengembalian pembiayaan akan semakin lancar. Semakin lama jangka waktu pembiayaan akan meringankan beban angsuran yang harus dibayarkan debitur sehingga memperkecil resiko penunggakan. P-value statistik Z pada variabel ini lebih besar dari 5 persen (0,109) maka dikatakan bahwa variabel jangka waktu pembiayaan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat pegembalian pembiayaan pada KBMT WU. f) Frekuensi Pembiayaan Variabel frekuensi pembiayaan merupakan variabel kategorik, dimana bernilai 0 jika sudah lebih dari satu kali melakukan pembiayaan dan bernilai 1 jika baru pertama kali melakukan pembiayaan. Hasil regresi logistik menunjukkan
79
bahwa nasabah yang baru pertama kali meminjam (bernilai 1) memiliki koefisien negatif (-4,83944). Hal ini berarti bahwa nasabah yang baru melakukan pembiayaan berbanding negatif dalam mendukung kelancaran pengembalian pembiayaan, dengan kata lain nasabah yang semakin sering meminjam mempunyai peluang lancar lebih besar. Nasabah yang sering melakukan pembiayaan lebih berpengalaman dalam mengelola keuangan untuk mengangsur pembiayaannya. Selain itu frekuensi pembiayaan dapat menunjukkan tingkat kepercayaan KBMT WU dalam memberikan pembiayaan kepada debitur. Semakin sering debitur mendapatkan pembiayaan berarti makin tinggi tingkat kepercayaan KBMT WU terhadap debitur tersebut. Oleh karenanya debitur akan semakin berusaha menjaga kepercayaan tersebut dengan mengembalikan pembiayaan secara lancar. Variabel ini juga tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat pengembalian pembiayaan pada KBMT WU karena P-value statistik Z pada variabel ini lebih besar dari 5 persen (0,173). Odds rasio senilai 0,01 menunjukkan bahwa debitur yang baru sekali melakukan pembiayaan mempunyai peluang pengembalian pembiayaan 0,01 kali dibanding debitur yang sering melakukan pembiayaan. g) Pola Penagihan Variabel pola penagihan merupakan variabel kategori, dimana bernilai 0 jika pola penagihannya secara langsung dan bernilai 1 jika pola penagihannya secara tidak langsung. Hasil regresi logistik menunjukkan pola penagihan tidak langsung (bernilai 1) memiliki koefisien positif (0,394811) yang berarti bahwa pola penagihan tidak langsung berbanding positif dalam mendukung kelancaran pengembalian pembiayaan. Hasil analisis ini menunjukkan hal demikian karena dalam penelitian ini semua responden yang pengembaliannya tidak lancar merupakan debitur dengan pola tagihan secara langsung, sehingga analisis ini menyatakan bahwa pola penagihan tidak langsung memberikan peluang besar dalam pengembalian pembiayaan secara lancar. Selain itu dari hasil wawancara juga diketahui bahwa debitur yang memilih pola angsurannya secara tidak langsung (debitur datang ke KBMT WU) merupakan keinginan dari pihak debitur sendiri. Hal ini berarti kesediaan debitur untuk membayar sendiri ke KBMT WU juga menunjukkan keseriusannya dalam membayar angsuran pembiayaan.
80
Namun
variabel
ini
tidak
berpengaruh
nyata
terhadap
tingkat
pengembalian pembiayaan pada KBMT WU dengan P-value statistik Z pada variabel ini lebih besar dari 5 persen (0,936). Hal ini sesuai dengan hasil analisis deskriptif sebelumnya bahwa baik yang pengembaliannya lancar maupun yang tidak lancar merupakan debitur dengan pola tagihan secara langsung. Odds rasio senilai 1,48 menunjukkan bahwa pola penagihan secara tidak langsung mempunyai peluang pengembalian pembiayaan 1,48 kali dibanding debitur dengan pola penagihan langsung. h) Penggunaan Pembiayaan Variabel penggunaan pembiayaan merupakan variabel kategori yang terdiri atas kegiatan produktif, kegiatan konsumtif, serta kegiatan produktif dan konsumtif (penggunaan pada dua kegiatan sekaligus). Hasil regresi logistik menunjukkan kegiatan konsumtif memiliki koefisien negatif (-0,722283) artinya bahwa penggunaan pembiyaan untuk konsumtif berbanding negatif dalam mendukung kelancaran pengembalian pembiayaan. Variabel ini tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat pengembalian pembiayaan karena P-value statistik Z nilainya lebih besar dari 5 persen (0,694). Odds rasio sebesar 0,49 menunjukkan pembiayaan untuk kegiatan konsumtif mempunyai peluang 0,49 kali dalam mengembalikan pembiayaan secara lancar dibandingkan penggunaan kegiatan produktif. Kemudian dilihat dari koefisien kegiatan produktif dan konsumtif bertanda positif (2,95312), artinya pembiayaan yang sekaligus digunakan untuk kedua kegiatan tersebut berbanding positif dalam mendukung kelancaran pengembalian pembiayaan. Menurut wawancara dengan responden dikatakan bahwa mereka masih dapat menutupi angsuran pembiayaan untuk konsumtif dari laba yang dihasilkan pada kegiatan produktifnya. Variabel ini juga tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat pengembalian pembiayaan karena P-value statistik Z nilainya lebih besar dari 5 persen (0,346). Odds rasio senilai 19,17 menunjukkan pembiayaan digunakan untuk kegiatan produktif dan konsumtif mempunyai peluang 19,17 kali dalam mengembalikan pembiayaan secara lancar dibandingkan penggunaan kegiatan produktif saja.
81
VIII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan yaitu: 1. Pengelolaan KBMT WU dalam mendukung keberhasilan penyaluran pembiayaan dilakukan dengan beberapa tindakan yaitu dengan menetapkan kebijakan penyaluran pembiayaan dan pengelolaan pembiayaan bermasalah. 2. Karakteristik debitur yang menjadi responden dengan kategori pengembalian lancar dan menunggak yaitu: a) Debitur Responden dengan Tingkat Pengembalian Lancar. (a) Karakteristik Personal: Sebagian besar tingkat pendidikannya SD sampai SMP. (b) Karakteristik Usaha: Sebagian besar memiliki omzet usaha > 8,3 juta hingga 83,3 juta dan lama usaha 11 hingga 20 tahun. (c) Karakteristik Pembiayaan: Sebagian besar jumlah pembiayaan yang diperoleh antara 1 juta hingga 5 juta, jangka waktu pembiayaan > 150 hingga 300 hari (sebaran jangka waktu pembiayaan relatif berimbang pada semua jangka waktu pembiayaan. Sebagian besar frekuensi pembiayaan lebih dari lima kali, pola penagihannya langsung, dan pembiayaan digunakan untuk kegiatan produktif. b) Debitur responden dengan Tingkat Pengembalian Tidak Lancar (a) Karakteristik Personal: Tingkat pendidikannya menyebar hampir merata pada semua tingkat pendidikan kecuali Perguruan Tinggi. (b) Karakteristik Usaha: Sebagian besar memiliki omzet usaha ≤ 8,3 juta dan lama usaha satu hingga 10 tahun. (c) Karakteristik Pembiayaan: Sebagian besar jumlah pembiayaan yang diperoleh antara 1 juta hingga 5 juta, jangka waktu pembiayaan ≥ 150 Sebagian besar frekuensi pembiayaan lebih dari lima kali, pola penagihannya langsung, dan pembiayaan digunakan untuk kegiatan produktif.
82
3. Faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap tingkat pengembalian pembiayaan adalah tingkat pendidikan dan pengalaman usaha. Tingkat pendidikan dan pengalaman usaha memiliki pengaruh positif dengan tingkat pengembalian pembiayaan. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan dan pengalaman usaha debitur maka peluang untuk mengembalikan pembiayaan secara lancar semakin tinggi dan sebaliknya. 7.2. Saran Pihak KBMT WU diharapkan lebih berhati-hati dalam memberikan pembiayaan kepada UMKM agribisnis khususnnya terkait dengan tingkat pendidikan dan pengalaman usaha calon debitur. Tindakan ini memberikan pengertian bukan berarti menolak pembiayaan pada nasabah dengan tingkat pendidikan dan pengalaman usaha yang rendah, namun dengan melakukan beberapa langkah positif diantaranya dengan meningkatkan pembinaan usaha dan monitoring prestasi pembiayaan kepada nasabah tersebut. Dengan
langkah
tersebut
diharapkan
dapat
menekan
bahkan
menghilangkan kasus penunggakan (pengembalian tidak lancar) agar kinerja, likuiditas dan profitabilitas KBMT menjadi lebih baik. Selain itu diharapkan bagi penelitian selanjutnya untuk dapat menemukan solusi agar UMKM agribisnis penerima pembiayaan dapat mengembalikan pembiayaannya dengan baik sehingga terjadi simbiosis mutualisme antara UMKM dengan KBMT.
83
DAFTAR PUSTAKA [BI] Bank Indonesia Kantor Pusat. 1999. Buku Pedoman Operasional. Jakarta: BI Kantor Pusat. Bank Indonesia. 2009. http://www.bi.go.id/sipuk/intro.htm. [1 Mei 2009] [BPS-BI] Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia. 2001. Perbankan Syariah Nasional. Kebijakan Pengembangan dan Informasi Terkini. Jakarta: BPSBI. Dendawijaya, 2003. Manajemen Perbankan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Dewi, A.W.S. 2001. Efektivitas Pembiayaan Usaha Kecil pada Baitul Maal Wat Tamwil (Studi Kasus: KBMT Wahana Isan Mu’amalah, Kotamadya Bogor, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Drillon. 1974. Pertanian sebagai Tolak Ukur Pembangunan Bangsa. Jakarta: Ghalia Indonesia. Ekowati, T. 2001. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Debitur dalam Pengambilan Kredit dan Penilaian Atribut Lembaga Keuangan yang Ideal [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Bogor: IPB Press. Firdaus, M dan Farid, M.A. 2008. Aplikasi Metode Kuantitatif Terpilih untuk Manajemen dan Bisnis. IPB Press. Bogor. Gumbira, S. 1997. Peran Agribisnis pada Pembangunan Indonesia. Jakarta: Tiga Serangkai. Gunawan, 1992. Permodalan dalam UMKM. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Hidayati, E.N. 2003. Perilaku Pengusaha Kecil dan Menengah dalam Menggunakan dan Mengembalikan Kredit (Kasus: Pegusaha Kecil dan Menengah Pengambil Kredit Umum Pedesaan di BRI Unit Pasar Blok A Kebayoran Baru, Jakarta Selatan) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hosmer, D.W. dan Lemeshow, S. 1989. Applied Logistic Regression. New York: John Wiley and Sons. Iqbal, Ahmad. 2006. Analisis Risiko Pembiayaan Syariah, Pendekatan Metode Creditrisk + Portofolio, kasus BMT Prima Dinar Cabang Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah [skripsi]. Bogor Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
84
Kementrian Negara Koperasi dan UMKM Republik Indonesia. 2008. Indikator Makro Usaha Kecil dan Menengah. Jakarta. Kunjtoro. 1983. Identifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembayaran Kembali Kredit Bimas Padi (Studi Kasus di Kabupaten Subang, Jawa Barat) [disertasi]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Kurnia, W. 2007. Analisis Pengaruh Social Capital terhadap Repayment Rate pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah (Studi Kasus KBMT Wihdatul Ummah, Bogor) [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Muhammamah, E. N. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengembalian Kredit oleh UMKM, Kasus pada Nasabah Kupedes PT. BRI, TBK (Persero) Unit Cigudeg Cabang Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Mulyono, Sri. 1992. Statistika untuk Ekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Prasetyo, A.B. 1996. Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembalian Kredit pada Usaha Kecil [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Raharjo. 1999. Koperasi dan Karakteristiknya. Jakarta: Rajawali Pers. Renggani. 1998. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengembalian Kredit Studi Kasus BMT Ulil Albab, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ridwan, M. 2006. Sistem dan Prosedur Pendirian Baitul Mal wat-Tamwil (BMT). Yogyakarta: Citra Media. Rudjito. 2003. Sinergi Kebijakan dalam Mendorong Pertumbuhan UMKM. http//www.apindo.or.id. [15 Februari 2009]. Simorangkir, O.P. 2004. Bank dan Non Bank di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Sitio. Arifin, Tamba. Halomoan. 2001. Koperasi Teori dan Praktik. Jakarta: Ghalia Indonesia. Srivastava. U.K, Shenoy. G.V, Sharma S.C. 1995. Teknik Kuantitatif untuk Keputusan Manajemen. Jakarta: UI Press.
85
Supranto, J. 2004. Ekonometri. Jakarta: Ghalia Indonesia. Umar, Husein. 1998. Metode Penelitian untuk Bisnis. Jakarta: Rajawali Pers. Utami, I. W. 2008. Strategi Pengembangan Agribisnis Anggrek di Bogor. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Widodo H, Asmeldi M, dan Rimon. 1999. Bandung: Panduan Praktis Operasional Baitul Maal wat Tamwil. Mizan. Widyastuti, R. S. dkk. 2002. Indonesia dalam Krisis 1997-2002. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Zulkifli, Sunarto. 2007. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Jakarta: Zikrul Hakim.
86
LAMPIRAN
87
Lampiran 1. Data Karakteristik Responden
Tingkat Pengembalian
Tingkat Pendidikan
Omzet Usaha
Pengalaman Usaha
Jumlah Pembiayaan
Jangka Waktu Pembiayaan
Frekuensi Pembiayaan
Pola Penagihan
1
6
15000
4
2000
100
0
0
prod&kons
1
15
18000
18
8000
300
0
1
prod
1
6
21000
17
8000
210
0
1
prod
1
9
9000
7
3000
360
1
0
prod
1
9
8000
14
2000
300
0
1
prod
1
9
6000
13
500
125
0
0
kons
1
6
90000
14
30000
360
0
0
prod
1
9
15000
36
500
125
0
0
prod
1
12
9000
8
2000
130
0
0
prod
1
12
40000
7
50000
720
0
1
kons
1
12
15000
15
6000
540
0
0
prod
1
6
3000
21
400
125
0
0
prod
1
9
15000
8
1000
210
0
0
prod&kons
1
9
23000
12
2000
100
0
0
prod
1
15
4500
4
2500
300
0
0
prod
1
6
27000
24
4000
100
0
0
kons
1
9
2000
32
1000
100
1
0
kons
1
12
24000
17
5000
180
0
0
prod
1
6
8000
22
1000
360
1
0
prod
1
16
38000
6
50000
720
0
0
prod
0
6
7500
11
1000
150
0
0
kons
0
0
30000
21
500
150
1
0
prod
0
0
15000
21
4000
150
0
0
prod
0
9
1500
2
3000
130
0
0
prod&kons
0
12
9000
7
3000
100
0
0
kons
0
12
8000
8
500
110
0
0
kons
0
12
3000
7
1500
110
0
0
prod&kons
0
6
7500
3
2000
100
0
0
prod
0
12
8000
2
3000
110
0
0
prod
0
12
7500
2
3000
100
0
0
kons
Kegiatan Pembiayaan
Keterangan: a) Frekuensi Pembiayaan: 0 = nasabah telah meminjam lebih dari satu kali 1 = nasabah baru pertama kali meminjam b) Pola Penagihan: 0 = penagihan secara langsung 1 = penagihan secara tidak langsung
88
Lampiran 2. Output Analisis Regresi Logistik Binary Logistic Regression: Tingkat Peng versus Tingkat Pend; Omzet Usaha; ... Link Function: Logit Response Information Variable Tingkat Pengembalian
Value 1 0 Total
Count 20 10 30
(Event)
Logistic Regression Table
Predictor Constant Tingkat Pendidikan Omzet Usaha Pengalaman Usaha Jumlah Pembiayaan Jangka Waktu Pembiayaan Frekuensi Pembiayaan 1 Pola Penagihan 1
Odds Ratio
95% CI Lower
Upper
1,94 1,00 1,52 1,00 1,04
1,00 1,00 1,00 1,00 0,99
3,76 1,00 2,32 1,00 1,09 8,38
Coef -16,6461 0,663807 0,0002080 0,420853 -0,0004948 0,0399534
SE Coef 8,84049 0,337580 0,0001672 0,213664 0,0005121 0,0249498
Z -1,88 1,97 1,24 1,97 -0,97 1,60
P 0,060 0,049 0,214 0,049 0,334 0,109
-4,83944
3,55364
-1,36
0,173
0,01
0,00
0,394811
4,87952
0,08
0,936
1,48
0,00 21134
,6 Kegiatan Pembiayaan1 kons prod&kons
-0,722283 2,95312
1,83553 3,13660
-0,39 0,94
0,694 0,346
0,49 19,17
0,01 0,04
17,73 8962,
91
Log-Likelihood = -7,318 Test that all slopes are zero: G = 23,556, DF = 9, P-Value = 0,005 Goodness-of-Fit Tests Method Chi-Square Pearson 15,5950 Deviance 14,6351 Hosmer-Lemeshow 3,8591
DF 20 20 8
P 0,741 0,797 0,870
Table of Observed and Expected Frequencies: (See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic)
Value 1 Obs Exp 0 Obs Exp Total
Group 5 6
1
2
3
4
0 0,1
1 0,3
0 0,8
2 1,6
2 2,4
3 2,9 3
2 2,7 3
3 2,2 3
1 1,4 3
1 0,6 3
7
8
9
10
Total
3 2,8
3 3,0
3 3,0
3 3,0
3 3,0
20
0 0,2 3
0 0,0 3
0 0,0 3
0 0,0 3
0 0,0 3
10 30
Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Concordant Discordant Ties Total
Number 192 8 0 200
Percent 96,0 4,0 0,0 100,0
Summary Measures Somers' D Goodman-Kruskal Gamma Kendall's Tau-a
0,92 0,92 0,42
89