Yayasan HAK
Jl. Gov. Serpa Rosa T-091, Farol Dili - Timor Lorosae Tel.: + 670 390 313323 Fax.: + 670 390 313324
e-mail:
[email protected]
Direito
E d i s i
Dwi 17
Mingguan
4
Juni
Hak
2001
K
Teruskan! Sekarang Saatnya Kalian Membalas Dendam! Pembantaian di Polres Maliana adalah salah satu kasus besar pelanggaran hak asasi manusia di Timor Lorosae. Foto: F.X. Sumaryono
Tengkorak korban milisi di Maliana
Daftar Isi Direito Utama Teruskan! Sekarang Saatnya Kalian Membalas Dendam! 1-3 ............. Dadurus Merah Putih: Angin Puyuh dari Maliana 4-5
Info Hukum ................... Kelemahan Rancangan Regulasi Pembentukan Badan Pelayanan Bantuan Hukum
6
Info Hak Asasi ........... Pengungsi Terancam Kehilangan Hak Ikut Pemilu
7
Wawancara .......................... Aniceto Guterres Lopes: Pendekatan Politik
Juga Harus Digunakan 8-9
Kesaksian ............................ Australia Tahu Rencana Pembantaian Maliana 10 ................................................... Sudah Berpolitik Malah Sembunyi 11
Opini ........ Impunitas dan Dampaknya Bagi Penegakan Hak Asasi
12-13
Serba Serbi ................................ UNTAET adalah Fotocopy Misi di Kosovo 14 Ami Lian ..................................................... Dan Fernandes Melarikan Diri 15 ................ Mereka cukupdatang dan mengakui perbuatannya
Azasi
16
Manusia
PP-HAM yang menyelidiki pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi antara Januari dan Oktober 1999 memasukkannya dalam daftar Kasus-Kasus Utama. James Dunn, yang ditunjuk oleh Jaksa Agung UNTAET Mohamed Othman untuk menyusun laporan tentang latar belakang kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Timor Lorosae, memasukannya sebagai kasus pembunuhan besar di antara banyak pembunuhan kecil. Ratusan orang yang berlindung di kantor Polres Maliana sejak tanggal 3 mengalami kekerasan yang luar biasa pada Rabu, 8 September 1999 malam. Berbagai kelompok milisi yang berpangkalan di Distrik Maliana sebelumnya membakari rumah-rumah pendukung kemerdekaan, bahkan membunuh orang-orang yang mereka curigai menjadi pengurus CNRT atau membantu Falintil. Pada hari terakhir kampanye, 27 Agustus 1999 milisi menyerang Desa Memo, membunuh tiga orang, dan merusak 20 rumah. Tanggal 30 Agustus kota Maliana karena dijaga ketat oleh milisi, unsurunsur TNI dan Polri. Menurut temuan KPP-HAM, beberapa orang aktivis prokemerdekaan dibunuh di tempat dan hilang diculik oleh milisi Dadurus Merah Putih (DMP) dan Halilintar dibantu aparat Kodim. Tanggal 2 September dua orang staf lokal UNAMET ditembak mati oleh seorang sersan TNI di Desa Raifun. Di Desa Lahomea, dua orang pemuda dibunuh. Dua hari kemudian ratusan rumah dibakar, penghuninya diserang dengan senjata tajam oleh personil milisi dan TNI. Sejak hari itu di wilayah Distrik Bobonaro, khususnya di Memo dan Batugade milisi mendirikan pos-pos untuk memeriksa mereka yang akan menuju wilayah NTT. Di
Editorial
D
iplomasi adalah lawan dari keadilan: ia menjadi comblang yang memungkinkan para penindas menghidar dari hukuman. Kata-kata ini ditulis oleh Geoffrey Robertson, seorang pengacara hak asasi terkemuka asal Inggris. Robertson tidak berlebihan. Selama lebih dari empat puluh tahun sejak dunia memiliki Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia banyak pemerintah negara besar yang hanya menjadikan hak asasi manusia sebagai alat diplomasinya. Sebagai sarana propaganda untuk mendapatkan dukungan di satu pihak dan alat untuk menghantam lawan di lain pihak. Perhatikan Amerika Serikat yang gembar-gembor menentang pelanggaran hak asasi manusia di negaranegara yang tidak mau tunduk pada kepentingan politik dan ekonominya, tetapi terus mendukung penguasa yang menindas rakyat yang mau menjadi penjaga kepentingan ekonomi dan politiknya. Pada 1975 AS mendukung (atau meminta) Indonesia menginvasi Timor Lorosae. Sepanjang masa pendudukan, AS terus memberikan bantuan ekonomi dan militer kepada rezim Orde Baru penindas rakyat. AS juga yang menentang Statuta Roma yang menetapkan pembentukan Mahkamah Kejahatan Internasional, suatu pengadilan tetap untuk mengadili siapa saja yang melakukan agresi, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Proses rekonsiliasi yang sekarang terjadi di Timor Lorosae terancam menjadi diplomasi untuk memenangkan kepentingan politik semata. Seperti diupayakan di Afrika Selatan, rekonsiliasi adalah sarana untuk mengatasi pelanggaran berat masa lalu. Dengan rekonsiliasi hendak dicapai pengungkapan kebenaran tentang yang terjadi masa lalu demi menghindarkan balas dendam karena korban dan keluarganya merasa diperlakukan tidak adil. Amnesti diberikan kepada para pelaku yang mau mengungkapkan kejahatan yang dilakukannya maupun yang dilakukan orang lain. Tetapi sampai sekarang pertemuan rekonsiliasi belum beranjak ke arah ini, masih menjadi sarana diplomasi untuk tawar-menawar kepentingan politik. Direito 17
pos-pos ini milisi mengambil pendukung kemerdekaan. Tanggal 3 September milisi menyebar ke seluruh kota. Mereka mengepung rumah orang-orang yang dicurigai, kemudian juga menjarah isinya. Mereka pun mengancam orang untuk segera mengungsi ke Polres kalau ingin selamat. Orang banyak yang mau mengungsi ke Polres juga karena saran petugas UNAMET. Wayne Sievers, seorang perwira intelijen polisi Australia yang saat itu bertugas sebagai CivPol di Maliana dalam wawancara yang disiarkan televisi SBS baru-baru ini mengatakan bahwa staf internasional UNAMET memberi saran maut tersebut. Mereka tidak punya informasi tentang hubungan milisi dan TNI sehingga percaya bahwa polisi akan memberikan perlindungan. (Dateline, 9 Mei 2001) Tetapi, hari itu juga penduduk menyaksikan staf internasional UNAMET dengan mobil meninggalkan Maliana. Padahal sebelum pemungutan suara 30 Agustus setiap hari petugas UNAMET mengatakan bahwa UNAMET akan tetap di Timor Lorosae apa pun yang terjadi. Di hadapan pengungsi di Polres, Kapolres Maliana mengatakan bahwa Komandan Distrik CivPol telah menyerahkan tanggungjawab keselamatan pengungsi kepada Polres. Memang setelah itu polisi dengan senjata lengkap melakukan penjagaan dan pemantauan di sekeliling kompleks Polres. Tetapi milisi tetap bebas keluar masuk Polres. Pagi 4 September. Wajah-wajah pengungsi jadi ceria. Mereka mendengar dari radio bahwa opsi kemerdekaan menang. Manuel Magelhaes (koordinator CNRT Sub-Região Bobonaro) yang kemudian mati dibunuh milisi, mengeraskan suara radio. Seorang perempuan memintanya mengecilkan kembali dan mengingatkan bahwa me-reka sedang di Polres. Kita tidak perlu takut, kata Manuel, satu atau dua hari lagi pasukan PBB akan datang. 4 Juni 2001
Seorang anggota polisi memerintahkan semua pengungsi untuk mencatatkan nama setiap anggota keluarga pada 6 September. Setelah pencatatan selesai, sekitar pukul 9 datang Panglima PPI João Tavares, Komandan Kodim Bobonaro Letnan Kolonel Burhanudin Siagian, pemimpin DMP Ir. Natalino Monteiro, Daniel Lopes (wakil ketua DPRD II), dan Jorge Tavares, ketua DPRD II, adik João Tavares. Mereka mengadakan pertemuan selama kurang-lebih tiga jam dengan Kapolres. Setelah itu, João Tavares bersama Siagian meninjau para pengungsi. Mereka terlihat tersenyum-senyum. Sejumlah pengungsi mengira senyuman mereka sebagai pertanda baik. Tetapi hari itu pengungsi yang berada di dalam asrama yang sebelumnya tidak digunakan, diharuskan keluar. Menurut Kapolres, asrama akan digunakan oleh polisi yang ditarik dari Cailaco dan Lolotoe. Para pengungsi pun ke luar. Mereka mendirikan tenda di halaman Polres. Sore hari 8 September situasi kota Maliana diliputi ketegangan. Asap membumbung dari beberapa bagian kota karena rumah-rumah dibakar. Suara senjata api terdengar di mana-mana. Anggota-anggota Brimob dari Kontingen Hanoin Lorosae mondarmandir berjaga-jaga di depan kantor Polres. Muka dan mata milisi-milisi yang sejak tanggal tiga keluar-masuk Polres tampak merah. Sekitar pukul empat sore banyak milisi berdatangan dan bergerombol di sekeliling kompleks Polres. Mereka adalah anggota Hametin Merah Putih, DMP, dan Halilintar yang berasal dari Cailaco, Lolotoe, Atabae, Balibo, Bobonaro, dan Maliana Kota. Mereka datang dengan sejumlah mobil antara lain Toyota Kijang milik Pemda Maliana, sebuah Toyota Kijang warna merah berplat nomor merah. Dua orang anggota DMP, Mateus Moniz dan Henrique menghampiri Lorenço, Manuel Magelhaes, dan Ma2
Direito Utama
Foto: F.X Sumaryono
nuel Barros yang ada di dalam kantor Brimob Kontingen Lorosae diam saPolres. Manuel Barros berkata, Or- ja. Bahkan ada yang berteriak-teriak, sida keta ami mate karik. (Jangan- Teruskan! Teruskan! Sekarang saatjangan nanti kami mati.). Mateus Mo- nya kalian membalas dendam! Banniz menyahut, Labele tauk, se la a- dit-bandit anti-kemerdekaan itu pun kontese buat ida. (Jangan takut, ti- leluasa membunuh orang-orang tak dak ada apa-apa). bersenjata. Seorang anggota milisi Sekitar pukul lima sore, Mateus bernama Ernesto Metan membentakMoniz bersama seorang temannya bentak pengungsi, Agora imi ba laberjalan ke arah pintu gerbang dan melambaikan tangan ke arah ratusan milisi dan TNI di luar kompleks. Para anggota milisi dan TNI itu pun menyerang pengungsi di kantor Polres. Orang-orang yang ada di Polres jangan bergerak! Semua laki-laki ke luar! teriak António Metan, seorang anggota milisi. Mateus Brewok, anggota militerisasi Kodim Maliana yang bekas katekis memaki, Kalian sudah makan dan minum dari uang Indonesia, sekarang mau merdeka dan menolak integrasi! Korban pertama adalah seorang anak laki-laki berusia Polres Maliana setelah pembantaian sekitar 12 tahun berasal dari Cailaco. Saat itu ia berada di halaman por imi nia Xanana! Ba bolu imi nia kantor Polres. Bagaikan kemasukan Belo! Lapor ba PBB! Agora imi nia setan para milisi mencincang tubuh Xanana mai ukun rai ho fatuk! Ohin anak ini. Sebelum mati, anak ini kalan nee ami sei oho hotu mane sempat mengerang, Nai Maromak, sira neebe iha nee. Halo ahi kose hau mate tebes ona. Hau sala la deit mos seidauk hatene hakarak iha. (Tuhan Allah, aku mati sudah. ukun aan! (Lapor pada Xanana! Aku tidak salah apa-apa.). Filomena Panggil Belo kalian! [maksudnya Usda Silva (50 tahun), seorang guru yang kup Dili Dom Carlos Belo, Red.]. Laberada dua meter dari tempat pembu- por pada PBB! Xanana akan datang nuhan mengenali Mateus Moniz, An- memerintah negara dengan batu! Matonio Metan (milisi DMP), Alfredo lam ini kami bunuh semua laki-laki Asumau (pegawai PU Maliana), Fre- yang ada di sini. Bikin korek api saja derico (anggota TNI, Kodim Maliana) belum bisa, mau merdeka!). Romeo (anggota TNI, Kodim MaliaIsabel de Araújo, seorang pengna), Domingos Metan (milisi DMP), ungsi asal Suco Lahomea, Maliana dan Assis Fontes (TNI, Kodim Mali- Kota, melihat beberapa milisi memana) sebagai pembunuh itu. bunuh seorang guru bernama MartinPolisi-polisi yang siap-siaga ber- ho Marces, penduduk Suco Raifun. jaga di pintu gerbang Polres awalnya Para milisi menghantamkan pedang membentak para penyerang. Tetapi ke tubuh korban. Martinho Marces japara penyerang tak menghiraukan. tuh dan sempat berteriak: Hau mate Mereka terus maju menyerang masuk. ona! (Aku mati sudah!) sebelum ma3
Direito 17
ti. Dua orang milisi segera menarik mayat korban dan membawanya ke bagian belakang Polres. Milisi yang membunuh Martinho tak bisa dikenali oleh Isabel karena mereka membungkus muka dengan bendera nasional Indonesia. Tidak lama kemudian Mateus Brewok dan seorang milisi bernama Frederico mengambil sepeda motor milik Martinho Marces yang diparkir di halaman. Ketika terjadi serangan, banyak pengungsi yang meminta polisi bertindak memberikan perlindungan. Tetapi sebagian polisi malah mengusir mereka. Kalau mau merdeka harus mau menerima konsekuensinya! kata seorang anggota polisi. Sekitar pukul delapan malam, Francisco Barreto seorang pegawai Dinas Pertanian Maliana, ditanyai oleh milisi, Kamu mahasiswa, ya?! Dia jawab, Bukan, saya pegawai negeri! Para milisi segera menusukkan pedang samurainya ke tubuhnya. Barreto berteriak, Jesus! Hau mate ona! Jesus! Hau mate ona! (Yesus! Aku mati sudah! Yesus! Aku mati sudah!). Seorang milisi malah berteriak, Sekarang juga kamu harus mati seperti Yesus. Frederico, anggota TNI, yang sebelumnya sudah membunuh Lorenço, menikamkan pisau di ujung senapannya ke perut Barreto. Menurut penyelidikan INTERFET, lebih dari 70 orang dibunuh dalam pembantaian ini. KPP-HAM yang ke Maliana pada Oktober 1999 menemukan sejumlah besar selongsong peluru di kompleks Polres. Kota Maliana 80 persen hancur. KPP-HAM merekomendasikan sejumlah orang untuk diadili, termasuk Dandim Siagian dan Panglima PPI João Tavares. Perlu dilakukan desakan kuat dari korban supaya rekomendasi itu jadi kenyataan.*** 4 Juni 2001
Direito Utama Dadurus Merah Putih:
Angin Puyuh dari Maliana Kota Maliana porak-poranda setelah 4 September 1999 diumumkan bahwa tawaran otonomi ditolak mayoritas rakyat. Delapan puluh persen kota hancur. Tidak lama setelah Presiden Indonesia B.J. Habibie mengumumkan dua opsi untuk Timor Lorosae, para pendukung kemerdekaan di wilayah Maliana menjadi cemas. Di wilayah ini berdiri satu organisasi bersenjata yang dibina oleh TNI. Nama yang digunakan cukup menggentarkan, Dadurus Merah Putih (DMP). Dadurus dalam bahasa setempat berarti angin puyuh. Kelompok milisi yang beroperasi di Maliana Kota dan sekitarnya ini dibentuk atas inisiatif Komandan Kodim 1636/Bobonaro Letnan Kolonel (Infantri) Burhanuddin Siagian dan pimpinan milisi Halilintar João Tavares. João Tavares ini sudah dikenal sepak-terjangnya dalam memimpin kelompok bersenjata. Ia sudah beroperasi bersaman pasukan Kopassus dalam penyerangan ke wilayah Timor Lorosae pada bulan Oktober 1975. Saat itu, bersama Tomás Gonçalves, ia sudah memimpin suatu pasukan yang kemudian diberi nama Halilintar. Pada masa pendudukan Indonesia, ia memasuki kehidupan sipil dengan menjadi Bupati Bobonaro selama tiga kali masa jabatan. Sedang Burhanuddin Siagian dikenal sangat giat membentuk dan mendukung kegiatan milisi. Pada bulan April, bersama João Tavares, ia memimpin eksekusi terhadap sejumlah orang pendukung kemerdekaan, dan mengancam bahwa siapa saja yang menentang pemerintah Indonesia akan dibunuh. Kendati didirikan oleh tentara Indonesia, di depan umum dikesankan bahwa kelompok milisi ini adalah kelompok masyarakat yang secara spontan terbentuk sebagai reaksi atas Direito 17
keputusan pemerintah Indonesia mengenai pemberian pilihan otonomi atau merdeka. Upacara pembentukan kelompok ini diselenggarakan di sebuah lapangan sepakbola dekat GOR (stadion) Maliana, dengan dihadiri oleh warga masyarakat dan sejumlah wartawan. Dalam upacara ini para anggota milisi menyatakan kebulatan tekadnya untuk tetap mempertahankan Timor Timur sebagai bagian dari negara kesatuan Indonesia. Awalnya yang menjadi pemimpin milisi DMP adalah Paulo Soares, seorang pegawai negeri sipil yang sehari-harinya bertugas di Rutan (Rumah Tahanan) Maliana. Paulo Soares adalah orang yang dekat dengan João Tavares dan Burhanuddin Siagian. Sebagian anggota milisi adalah orang Timor Lorosae anggota TNI dari Koramil dan Kodim Bobonaro, yang masih aktif maupun sudah pensiun, sebagian lagi pegawai negeri. Misalnya João Coli adalah pensiunan TNI, sedang João dos Santos adalah pegawai Dinas Penerangan. Paulo Soares tidak lama menjadi pemimpin tertinggi DMP. Ia digantikan oleh Natalino Monteiro, yang saat itu adalah pegawai negeri dengan jabatan Kepala Sub Bidang Tanaman Pangan Departemen Penerangan Maliana dan Pembantu Rektor III Universitas Timor Timur (UNTIM). Ia dikenal dekat dengan TNI, bahkan dianggap sebagai agen SGI. Selain memimpin DMP, ia juga menjadi ketua FPDK Maliana. Dalam struktur DMP, Natalino Monteiro yang sarjana pertanian lulusan Universitas Negeri Brawijaya (Malang) dan lulusan S-2 Universi4 Juni 2001
tas Gajah Mada (Yogyakarta) ini membawahi beberapa komandan yang memimpin milisi di tingkat desa. Komandan tingkat desa memimpin beberapa regu milisi. Orang-orang yang dikenal sebagai komandan DMP antara lain adalah Domingos Metan, Filipe, Batista, Jose Barreto, Acoli Forme, Antonio Metan, João Manu Moru, Miguel Goncalves, Ruben Goncalves, Ruben Tavares, Luis Metan, Martinho Mau Buti, dan Mateus Mau Leto. Masuknya Natalino Monteiro memimpin DMP membuat pemaksaan terhadap penduduk Maliana untuk memilih otonomi semakin meningkat. Juga banyak penduduk yang dipaksa untuk menjadi anggota milisi, dengan ancaman jika menolak akan dibunuh. Semua aksi kekerasan milisi ini ditujukan kepada orang sipil yang diketahui atau dianggap menjadi aktivis klandestin, membantu FALINTIL atau menjadi pengurus CNRT. Tidak satupun serangan ditujukan kepada gerilyawan FALINTIL. Dengan bersenjata tajam dan senjata api (rakitan maupun otomatis) anggota-anggota milisi melakukan pemerasan terhadap penduduk, perusakan rumah-rumah, penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan. Aksi-aksi ini mendapat dukungan penuh Kodim Bobonaro dan kelompok-kelompok milisi lain yang berpangkalan di wilayah kabupaten Bobonaro. Di kabupaten ini kelompok milisi ada banyak. Yang paling menonjol adalah Halilintar, kelompok bersenjata yang didirikan tahun 1975, kemudian dibubarkan ketika anggotaanggotanya digabungkan dalam ABRI sebagai inti dari Batalyon 744, dan 4
Direito Utama dihidupkan kembali tahun 1998. Pada 13 April 1999 di Kecamatan Akibat serangan yang dipimpin Kelompok lainnya adalah Hametin Maliana, 10 rumah milik orangoleh Amandio Soares, Humberto Merah Putih, Harimau Lapar, Kaer orang yang dianggap pro-kemerdos Santos dan kawan-kawan ini Metin Merah Putih, Firmi (Fiar Metin dekaan dibakar. tiga perempuan dan delapan lakiMerah Putih), Srigala Merah Putih, Di desa Saburai, desa Oeleu, dan laki mengalami luka-luka. Guntur, Armui, dan Dadurus Merah kampung Holsa Atas pada awal Ratusan rumah di desa Memo diPutih. Mei memaksa penduduk menerima bakar pada 27 Agustus 1999. Aksi Pembentukan semua kelompok otonomi luas dan memaksa mereka ini terjadi setelah mobil dinas Semilisi ini tidak terlepas dari Letkol untuk menjadi milisi. Di Hauba, kretaris Wilayah Daerah bidang Burhanuddin Siagian dan João TavaMarobo, milisi memaksa penduduk Pemerintahan Martino dos Santos res. Tetapi mereka tidak bertindak kamemberikan sumbangan satu ekor dibakar di desa ini. rena inisiatif pribadi. Mereka adalah sapi dan setiap KK diharuskan me- Dengan dukungan tentara dan polisi pelaksana dari kebijakan yang dibuat nyerahkan uang Rp 5000. anggota DMP menyerang gedung oleh perwira-perwira tinggi TNI. Di desa Lahomea, pada 29 Juni yang digunakan sebagai kantor Setelah Presiden H.M. Soeharto jaDMP menyerang kantor UNAMET, DSMPTT dan IMPETTU. Akibattuh pada Mei 1998, B.J. Habibie yang setelah di halaman kantor ini senya dua staf lokal UNAMET dan menggantikannya menyatakan gagasan kitar 20 orang pemuda meneriakdua pemuda meninggal. Keesokan untuk memberi pilihan status otonomi kan yel-yel, Viva Timor Leste! harinya seluruh perwira penghukhusus atau lepas dari Indonesia keSerangan menyebabkan satu orang bung militer dan Civpol dievakuasi pada rakyat Timor dari Maliana. Foto: Dokumentasi Yayasan HAK Lorosae. Saat itu di Setelah pengumuman Timor Lorosae telah hasil Kosultasi Rakyat, terjadi demonstrasiDMP dan kelompokdemonstrasi menunkelompok milisi laintut referendum. Kanya meningkatkan inrena khawatir Timor timidasi dan teror terLorosae lepas, pada hadap penduduk sipil Juli-September 1998 yang dianggap mendusejumlah perwira kung kemerdekaan. Ratinggi TNI merantusan orang mencari cang rencana pemperlindungan ke kantor bentukan milisi. RenPolres. Tetapi pada 8 cana ini mendapat September gabungan dukungan dari pejamilisi dan TNI melakubat sipil seperti Gukan penyerangan terhabernur Abilio Soa- Milisi merajalela di Maliana dap Polres. Lebih dari res, Francisco Lopes da Cruz (Duta staf internasional dan tujuh orang 70 orang mati. Besar Keliling khusus mengenai mastaf lokal luka-luka. Tanggal 9 Agustus, 13 orang yang salah Timor Timur), dan tokoh-tokoh Tanggal 17 Agustus, di desa Ritaberhasil melarikan diri dari Polres pendukung integrasi lainnya. bou milisi DMP memaksa penduMaliana, ditemukan tempat perDalam kesaksiannya, João Fernanduk ikut upacara kemerdekaan Insembunyiaannya. Natalino Monteides, anggota DMP yang diadili di Pedonesia. Mereka menyiksa tiga ro segera mengirimkan sepasukan ngadilan Distrik Dili, mengatakan orang di dusun Moleana dan 10 milisi untuk membantai mereka. bahwa pembentukan milisi dilakukan orang di desa Halecou, termasuk Korbannya 13 orang, termasuk Matanggal 10 atau 12 Agustus 1998 pada dua orang perempuan hamil. Di nuel Magelhaes. pertemuan yang dihadiri oleh Pangkampung Tagululi sembilan rumah Ketika pasukan INTERFET datang, dam Udayana Adam Damiri, Danrem dibakar. Operasi ini dipimpin oleh sebagian anggota milisi masih berKolonel Tono Suratman, João TavaJoão Gomblo dan Marcus. Akibat operasi di Maliana. Tetapi kemures, pimpinan Gada Paksi Eurico Gukekerasan ini sekitar 700 orang dian mereka melarikan diri ke terres, dan Cancio de Carvalho. penduduk mengungsi ke perbatasAtambua bersama TNI. Sampai seBerikut ini adalah sebagian dari akan. karang kebanyakan belum kembali. si kekerasan yang dilancarkan Da- 19 Agustus DMP menyerang desa Entah apa yang mereka lakukan di durus Merah Putih. Raifuik, Leolima, dan Diruana. sana.*** 5
Direito 17
4 Juni 2001
Info Hukum Yayasan HAK:
Kelemahan Rancangan Regulasi Pembentukan Badan Pelayanan Bantuan Hukum UNTAET mengeluarkan rancangan regulasi tentang pembentukan badan pelayanan bantuan hukum. Yayasan HAK mengajukan keberatan mengenai proses dan isinya.
Direito 17
keterangan tetap tidak diperoleh dan tiba-tiba Kabinet menyetujui Rancangan Regulasi itu. Rancangan Regulasi tersebut punya kelemahan mendasar karena rendahnya independensi kelembagaan Badan Pelayanan Bantuan Hukum terhadap pemerintah. Departemen Kehakiman justru telah membuat amandemen yang memperbesar kelemahan ini. Kontrol efektif pemerintah terhadap Badan Pelayanan Bantuan Hukum punya implikasi serius terhadap pem-
ma-sama dengan departemen-departemen lain UNTAET itu seharusnya dibahas dalam pertemuan yang telah dijanjikan. Tahap ada pembahasan Departeman Kehakiman secara sepihak memasukkan rekomendasirekomendasi mereka dengan cara yang justru berbeda dengan yang dimaksudkan. Kami merasa bahwa komentar-komentar kami digunakan dengan cara yang tidak seperti yang kami maksudkan. Menurut Yayasan HAK, proses pembuatan rancangan regulasi ini mencerminkan seluruh proses pembuatan rancangan regulasi pada umumnya. Antar departemen UNTAET sendiri tidak ada koordinasi. Akibatnya orangorang yang bekerja dalam struktur UNTAET sendiri sulit mengikuti perkembangan dan memberikan komentar. Sedang bagi yang di luar struktur UNTAET, tidak ada akses informasi tentang perkembangan suatu regulasi, apalagi untuk memberikan tanggapan. Yayasan HAK berkomitmen untuk memberikan sumbangan pada regulasi-regulasi yang mendasar bagi pembangunan kembali masyarakat Timor Lorosae dan telah terlibat dalam berbagai upaya untuk memberikan tanggapan pada regulasi-regulasi dan implikasi kebijakannya. Tetapi, kami yakin bahwa suatu tanggapan yang baik untuk mengatasi keprihatinan mengenai proses ini sekarang merupakan prasyarat yang mendasar bagi sumbagan kami untuk memberikan nilai dan makna yang berarti bagi pengembangan regulasi. *** Foto: Dokumentasi Yayasan HAK
D
epartemen Kehakiman (Jus tice Department) UNTAET telah menyelesaikan suatu rancangan mengenai pembentukan badan pelayanan bantuan hukum tanpa suatu proses konsultasi yang memadai. Oleh sebab itu pada 7 Mei 2001, Yayasan HAK mengirim surat kepada Administrator Transisi Sergio de Mello untuk menyatakan keprihatinan mengenai hal ini. Dalam surat yang ditandatangani oleh Joaquim Fonseca, dari Divisi Policy Advocacy itu, disebutkan Depar-temen Kehakiman telah mengadakan pertemuan mengundang berbagai pihak di dalam struktur UNTAET (seperti Unit Hak Asasi, Legal Affairs, dan Gender Affairs) dan di luar struktur UNTAET. Tetapi dalam pertemuan tersebut, pihak-pihak yang diundang itu tidak diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat. Mereka meminta agar para peserta mengajukan komentar tertulis. Tetapi komentar-komentar yang masuk tidak pernah dibahas secara bersama, karena Departemen Kehakiman tidak pernah menyelenggarakan pertemuan yang telah dijanjikannya dan tidak pernah memberi tahu kapan pertemuan akan diadakan. Seperti departemen-departemen UNTAET lainnya, Yayasan HAK telah memenuhi permintaan Departemen Kehakiman dengan menyampaikan komentar tertulis terhadap Rancangan Regulasi mengenai Pembentukan Badan Pelayanan Bantuan Hukum dan berusaha mencari keterangan kapan pertemuan diselenggarakan. Tetapi
bentukan sistem peradilan yang independen yang bisa melindungi hak-hak rakyat. Timor Lorosae keluar dari kolonialisme dimana sistem peradilan tidak memberi keadilan kepada rakyat, lanjut surat tersebut. Akibatnya, rakyat tidak mempercayai sistem peradilan sebagai alat yang melindungi hak-hak mereka. Suatu Badan Pelayanan Bantuan Hukum yang independen bisa memberikan sumbangan yang berarti bagi pengubahan budaya ketidakpercayaan tersebut. Sebagian rekomendasi yang disampaikan oleh Yayasan HAK memang dimasukkan. Tetapi rekomendasi yang diajukan oleh Yayasan HAK bersa4 Juni 2001
6
Info Hak Asasi
Pengungsi Terancam Kehilangan Hak Ikut Pemilu Pengungsi di Timor Barat terancam kehilangan hak asasinya untuk mengikuti pemilihan umum. Pendaftaran pemilih dan pemungutan suara yang akan datang hanya diadakan di dalam wilayah Timor Lorosae.
K
esempatan untuk mendaf- lakukan tidak manusiawi di Timor sae atau tinggal di Indonesia. Pendaftarkan diri untuk mengikuti Lorosae. Ketakutan ini muncul karena taran ini semacam penentuan akhir pemilihan umum tinggal informasi bohong yang beredar bah- nasib pengungsi. Yang memilih tingkurang dari satu bulan. Pendaftaran wa pengungsi yang pulang akan di- gal di Indonesia akan dipindahkan daini hanya dilakukan di wilayah Timor siksa atau bahkan dibunuh. Selain itu, ri tempat peng-ungsian sekarang untuk Lorosae. Artinya orang Timor Lo- seperti yang berkali-kali dikeluhkan ditempatkan di Timor Tengah Selatan, rosae yang berada di luar negeri jika oleh IOM (International Organisation Timor Tengah Utara, Belu, Kupang, ingin mengikuti pemilu harus pulang for Migration), sebuah organisasi in- dan Pulau Alor. Mereka tidak lagi ke Timor Lorosae untuk mendaftar. ternasional yang aktif di bidang trans- berstatus pengungsi tetapi menjadi Pemungutan suara nantinya juga portasi pengungsi, milisi melakukan warga negara Indonesia biasa. Sedilakukan di Timor Lorosae saja. Jadi intimidasi dan menghalangi pengungsi dang yang memilih pulang ke tanah berbeda dengan Konsultasi Rakyat 30 pulang. air akan dipulangkan. Agustus 1999, yang juga dilakukan di Karena itu mendorong pengungsi Diharapkan bahwa dengan proses beberapa kota di Indonesia, di Aus- pulang dengan cara itu tidak akan e- pendaftaran ini, pengungsi yang meFoto: Dokumentasi Yayasan HAK tralia dan Portugal. milih kembali ke Timor Karena itu para peTimur bisa berpartisingungsi di Timor Barat pasi dalam pemilihan yang jumlahnya hamumum yang direncanapir 100 ribu orang, kan pemerintah Timor terancam kehilangan Lorosae diselenggarahak pilihnya. Sebagai kan 30 Agustus, kata orang Timor Lorosae Amin Rianom, seorang mereka juga punya hak pejabat pada Kantor untuk memilih dan diMenteri Koordinator pilih. Menurut RegulaPolitik, Sosial dan Kesi UNTAET No.2/ amanan. 2001 mengenai PemiPemerintah Indonelihan Umum Anggota sia juga mengundang Majelis Konstituante, UNTAET dan organisyarat untuk mengikuti sasi PBB lainnya serta pemilihan umum adawakil negara-negara lah setiap orang yang Afrika, Eropa, dan fektif. Yang diperberusia 17 tahun (1) Para pengungsi di Mota Ain Amerika Latin untuk menjadi pe. lukan adalah sua- ngamat. Tetapi, seperti diberitakan yang lahir di Timor Lorosae, atau (2) salah satu dari or- sana yang aman dan bebas serta in- oleh kantor berita AP (Associated ang tuanya lahir di Timor Lorosae, formasi yang benar mengenai keadaan Press), UNTAET telah menyatakan atau (3) yang istri atau suaminya ter- di Timor Lorosae sehingga pengungsi tidak akan berpartisipasi karena golong dalam (1) dan (2) tersebut. bisa membuat pilihan sesuai keingin- alasan keamanan. Pendaftaran dan pemungutan suara annya. Sebagai pemegang mandat pemeSementara itu, pihak Indonesia pa- rintahan Timor Lorosae, PBB sehauntuk pemilu hanya diadakan di Timor Lorosae agar pengungsi di Timor Ba- da 6 Juni nanti akan mengadakan pen- rusnya mengambil langkah konkret rat segera pulang. Pemikiran ini perlu daftaran ulang pengungsi. Mereka a- agar para pengungsi segera bisa pudipertanyakan. Salah satu sebab ma- kan membuka 607 tempat pendaftaran lang. Hak politik puluhan ribu orang sih banyaknya orang Timor Lorosae di seluruh Timor Barat. Pengungsi di- Timor Lorosae tidak bisa dibiarkan di pengungsian, mereka takut diper- beri pilihan: pulang ke Timor Loro- berada di tangan milisi.***
7
Direito 17
4 Juni 2001
Wa w a n c a r a Aniceto Guterres Lopes:
Pendekatan Politik Juga Harus Digunakan Sekarang sedang berlangsung dua proses hukum kasus-kasus kejahatan 1999 di Timor Lorosae. Di Jakarta sedang dibuat persiapan pengadilan hak asasi manusia dan di Timor Lorosae sudah berjalan pengadilan serious crime. Berikut ini wawancara Redaksi Direito dengan Aniceto Guterres Lopes, Direktur Yayasan HAK yang juga anggota NC mewakili NGO mengenai proses ini.
Direito 17
cul pengadilan ad hoc (tidak tetap) di Indonesia. Di Timor Lorosae kemudian dibentuk bagian serius crime di Pengadilan Distrik Dili. Tetapi itu tidak berarti membatasi adanya sebuah pengadilan internasional karena ada satu rekomendasi lain, yakni perlunya sebuah pengadilan internasional. Bagaimana proses di Timor Lorosae? Pengadilan serious crime (kejahatan berat) di Dili ini masih banyak hambatan. Pertama, karakter dari kasus ini memang begitu kompleks. Kompleksitas ini tidak diimbangi dengan kesiapan dan kemampuan pengadilan serious crime untuk menangani semua kasus. Selain itu kompleksitas terjadi karena banyak kepentingan politik yang bermain. Untuk serious crime di Dili, kami mencatat ada usaha-usaha untuk menghilangkan barang bukti, dan juga kentara adanya usahausaha manipulasi dari segi teknis hukum dalam proses penuntutan. UNTAET sendiri tidak mampu menghadirkan barang-barang bukti dan mentransfer saksi, apalagi menghadapkan terdakwa [dari Indonesia ke Timor Lorosae]. Karena kelemahan-kelemahan itu kita bisa menduga, kalau pun proses ini berjalan pasti tidak akan mendengar aspirasi rakyat Timor Lorosae. Pengadilan ini justru akan menjadi alat untuk melegitimasi bahwa kita sedang memberikan keadilan. Kelemahan pengadilan di Jakarta juga banyak. Pertama, hukum acara yang akan digunakan dalam proses peradilan itu belum dibuat. Kasus yang akan diadili adalah kejahatan ter4 Juni 2001
hadap kemanusiaan bukan pidana biasa yang prosesnya menggunakan Kitab Undang-Undang Huku Acara Pidana (KUHAP). Karena hukum acaranya belum ada, pasti KU- Aniceto Guterres Lopes HAP yang digunakan. Saya kira KUHAP tidak akan efektif untuk itu. Selain itu, ada beberapa hal yang sangat mencurigakan. Misalnya, Tim Kejaksaan Agung sudah datang ke sini. Mereka kemudian menyiapkan dakwaan. Kalau suatu perkara sudah ditentukan berarti berkas perkara sudah siap dan sudah jelas tersangka atau terdakwanya. Tetapi tidak ada usaha untuk memberikan status kepada tersangka atau terdakwa, sebagai tahanan rumah atau tahanan kota. Bagaimana orang yang disangka melakukan kejahatan serius dibiarkan bebas. Orang mencuri ayam saja ditahan. Para terdakwa bisa kabur. Mereka bisa mempersulit proses dengan tidak menghadiri sidang, misalnya. Kepentingan politik di dalam proses ini terlalu kental. Para pemimpin militer adalah pelaku kejahatan di Timor Lorosae. Dalam konstelasi politik Indonesia, mereka masih di atas angin. Masa depan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia tidak bisa diprediksi. Lihat kejadian terakhir [vonis terhadap pelaku pembunuhan staf UNHCR di Atambua, Red.]. Jangankan korbannya orang Timor Lorosae, korbannya staf UNHCR saja hukumannya begitu ringan. Kalau seperti itu terus, tidak
Foto: Dokumentasi Yayasan HAK
Bagaiaman kemajuan proses hukum bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia tahun 1999? Secara umum proses yang sedang berlangsung di Timor Lorosae sudah tidak bisa diandalkan karena ada berbagai masalah. Jalan yang paling tepat sekarang adalah pengadilan internasional. Saya ingin mulai dari rasio perlunya pengadilan internasional. Pertama, apa yang terjadi di Timor Lorosae 1999 itu bukan perkara kriminal biasa tapi adalah sebuah pelanggaran serius hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional. Kedua, apa yang terjadi di Timor Lorosae adalah pelanggaran terhadap sebuah perjanjian (5 Mei 1999, Red.) yang disepakati di bawah pengawasan PBB. Kedua jenis pelanggaran ini masuk yurisdiksi internasional. Karena itu demi penegakan hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional masyarakat internasional sudah seharusnya meminta pertanggungjawaban melalui sebuah pengadilan internasional, bukan melalui pengadilan di Timor Lorosae atau pengadilan di Indonesia. Ketiga, alasan pengadilan internasional adalah kepentingan akan keadilan dari para korban. Semua hal ini mengarah pada perlunya pengadilan internasional. Komisi Penyelidik Internasional PBB merekomendasikan penyelidikan lebih lanjut dan pertanggungjawaban dari orang-orang yang diduga menjadi pelaku melalui pengadilan nasional. Ini yang menarik. Sejak saat itu, yang mengadili adalah pengadilan nasional. Boleh di Timor Lorosae dan boleh di Indonesia. Dari situlah mun-
8
Wa w a n c a r a akan efektif. Karena itu kita tidak bisa sional melalui pintu belakang. berharap pada pengadilan di Dili Tetapi bagi saya, pembentukan pemaupun Jakarta. ngadilan serious crime adalah upaya membarikade tuntutan pembentukan Tetapi masyarakat internasional pengadilan internasional. masih memberi kepercayaan kepada Kita punya dua pilihan, kalau kita Indonesia. mau pengadilan internasional maka Kepercayaan itu berlebihan, tidak pengadilan serious crime harus diderealistis karena tanpa melihat kondisi legitimasi. Atau pengadilan internahukum dan pengadilan Indonesia, sional kita lupakan dan kita dorong yang sangat disubordinasi penguasa yang di sini. Tapi transfer barang bukpolitik yang korup. Indonesia diberi ti, saksi dan lain sebagainya efektif kesempatan mengadili tanpa ada batas atau tidak? Untuk itu harus ada interwaktunya. Karena itu sulit menga- vensi internasional. Tidak hanya antakan bahwa pemerintah Indonesia tara UNTAET dan Indonesia mainsudah tidak mampu menjalankan main seperti ini. mandat mengadili para pelaku. Pengadilan seriuos crime punya keSekjen PBB yang dulu percaya janji lemahan teknis. Dalam kasus João Indonesia, menjadi gusar ketika Fernandes, Jaksa tidak menuntut depara pelaku pembunuhan staf ngan pasal kejahatan terhadap keUNHCR dihukum sangat ringan. manusiaan yang diadopsi dari StaSebagai usaha untuk memotivasi tuta Roma. pemerintah Indonesia saya kira sah Masalahnya ada pada Regulasi no. saja. Tapi apakah hukuman itu karena 15 itu sendiri. Statuta Roma diadopsi, pemerintah Indonesia sudah mencoba tetapi pasal pembunuhan biasa KUHP tapi tidak mampu atau memang juga diadopsi. Jadinya rancu.Dengan masalah seperti itu dianggap bukan mengenakan pasal pembunuhan biasa masalah yang penting, sehingga pada kasus João Fernandes, maka semaunya saja? banyak pelaku menjadi terlindungi. Kofi Annan mungkin sudah melihat Komandan yang memberi perintah habahwa tantangan Indonesia untuk nya bisa dikenai pasal tentang kemelaksanakan pengadilan itu lebih jahatan biasa, dan itu kompetensinya besar. Kedua, sebenarnya Kofi Annan ada pada pengadilan nasional bukan bersikap seimbang, dengan menye- pengadilan internasional. tujui pengadilan serious crime di Timor Lorosae. Selain jalur hukum, apa yang bisa Kita jangan sampai terjebak peng- dilakukan untuk mendapatkan keadilan serious crime di Dili. Pertama, adilan? Regulasi UNTAET No. 15 yang memKejadian 1999 itu sangat kombentuk pengadilan ini isinya meng- pleks. Karena itu pendekatan politik adopsi Statuta Roma. Jadi dari segi juga harus digunakan. Paling tidak ini hukum material, hukum yang menjadi akan mempercepat proses. Kenapa dasar itu sudah seperti pengadilan in- kita harus mempercepat proses? Seternasional. Kedua, komposisi ha- karang ini banyak korban yang sudah kimnya juga ada hakim internasional tidak tahan, karena sudah lama dan hakim Timor Lorosae, hakim In- keadilan belum juga datang. Mereka donesia saja yang belum masuk. sudah frustrasi dan hampir mengambil Ketika Regulasi No. 15 sedang di- cara sendiri. Seperti di Suai mereka rancang, Peter Galbraight [Anggota sudah memberikan ultimatum, kalau Kabinet Bidang Politik, Red.] datang tahun sekian tidak selesai kami akan ke sini (kantor Yayasan HAK). Dia babat saja milisi-milisi ini. bilang ini satu pengadilan internaProses pengadilan akan lama. Me9
Direito 17
ngumpulkan barang bukti juga butuh waktu. Kalau tidak ada pendekatan politis, yang akan mendukung semakin lengkapnya barang bukti, kita akan seperti ini terus. Pasti masih banyak bukti yang dipegang oleh orang-orang yang masih dalam pengungsian. Semua kasus ini hanya bisa mendapatkan bukti yang lengkap kalau semua pengungsi ini datang dalam keadaan bebas untuk memberikan kesaksian. Tanpa itu sulit. Banyak korban juga ada di sana. Jangan sampai kita menuntut pengadilan internasional hanya karena terjadinya pelanggaran hukum dan perjanjian internasional. Kepentingan keadilan orang Timor Lorosae harus diperhatikan. Karena itu kita harus melakukan terobosan-terobosan. Kejahatan 1999 itu terorganisir. Kita harus punya kiat-kiat tersendiri untuk mengatasinya. Apakah mau mulai dengan pelaku di tengah, baru kita ajak dia untuk membuka yang di atas, sekaligus memperjelas posisi yang kecil-kecil, apakah mereka diperintah atau melakukan atas inisiatif sendiri. Alternatif-alternatif ini harus kita pikirkan. Milisi yang kecil-kecil ini harus diadili dengan hukuman yang ringan sesuai perbuatannya. Yang di tengah seperti komandan-komandan milisi harus dimintai pertanggungjawabannya atas perbuatan anak buahnya dan perbuatan mereka sendiri. Kalau ada yang di atasnya ya harus dibongkar. Untuk itu tentu saja ada kompromi tertentu. Kalau sesudah itu hukumannya mau diperberat itu persoalan lain. Kalau tidak begitu paling kita hanya mengadili milisi kecil-kecil saja. Kita harus memberikan kompensasi kepada korban dan harus ada program pemulihan bagi mereka. Sebagian NGO sudah menjalankan program pemulihan. Tapi diperlukan program kompensasi dan pemulihan korban nasional. Proses pengadilan itu lama, korban dan keluarganya perlu dikuatkan.*** 4 Juni 2001
Kesaksian Pengakuan Perwira Intelijen:
Australia Tahu Rencana Pembantaian Maliana
S
ikap Australia terhadap petualangan Indonesia di Timor Lorosae ternyata tetap tak berubah dari tahun 1975. Hal yang sama terulang pada tahun 1999. Pemerintah Australia kembali tidak berbuat apa-apa setelah badan intelijennya yang dikenal sangat baik dalam pemantauan terhadap kawasan ini melaporkan bahwa Indonesia akan melakukan perusakan besar-besaran dan pembantaian terhadap tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan Timor Lorosae jika pilihan otonomi ditolak dalam Konsultasi Popular. Hal itu dikemukakan Kapten Andrew Plunkett, seorang perwira intelijen Australia yang bertugas memantau keadaan di Timor Lorosa sejak sebelum pelaksanaan Konsultasi Popular dan kemudian bertugas sebagai perwira INTERFET Australia di Maliana. Menurutnya, berdasar pemantauan intelijennya, Australia mengetahui rencana pembantaian tokohtokoh CNRT Maliana dan melaporkannya kepada pemerintah. Tetapi laporan ini didiamkan dan dipetieskan oleh Departemen Luar Negeri Australia. Pengakuan Kapten Plunkett ini diungkapkan kepada The Sydney Morning Herald dan kemudian wawancaranya juga disiarkan dalam acara Dateline televisi SBS, Australia (9 Mei pukul 20.30). Kapten Plunkett menghadapi risiko diadili karena pengakuannya kepada publik ini. Tetapi, ia telah bertekad akan mengungkapkan kebenaran yang diketahuinya ini. Perwira kesatuan siap tempur batalyon ke-3 Royal Australian Regiment ini ditugaskan ke Maliana bulan September, tidak lama setelah pembantaian di Polres. Sebagai perwira intelijen, ia bertugas melakukan investigasi mengenai pembantaian. Setelah melakukan investigasi, ia me-
Direito 17
ngalami gangguan mental yang berat dan harus menjalani perawatan. Pasalnya, pemerintah Australia memerintahkan kepada perwira-perwira tentara Australia agar memperkecil angka jumlah korban pembantaian. Dalam siaran Dateline, Plunkett mengatakan bahwa intelijen Australia punya informasi yang bisa mencegah pembantaian di Polres Maliana. Kalau staf PBB punya informasi yang akurat, mereka sama sekali tidak akan percaya pada TNI dan Polri. Apalagi merekomendasikan kepada para pendukung kemerdekaan untuk berlindung di Polres! Mereka memang berlindung di Polres atas rekomendasi staf UNAMET. Staf UNAMET bahkan mengantarkan sendiri orang-orang yang nyawanya terancam itu ke calon pembunuhnya. Kalau saja mereka tahu, tentu mereka akan merekomendasikan pendukung kemerdekaan itu untuk lari ke hutan. Menurutnya, sebelum Konsultasi Popular, intelijen Australia tahu betul bahwa TNI dan Polri sangat terlibat dalam aksi-aksi milisi. Lebih dari itu mereka tahu bahwa Indonesia berencana melakukan penghancuran besarbesaran dan eksekusi terhadap pendukung kemerdekaan. Yang mencegah memberikan informasi sangat penting kepada staf di lapangan, termasuk polisi dan pengamat militer Australia adalah pejabat-pejabat tingkat tinggi di Departemen Luar Negeri. Keputusan ini diambil di tingkat pemerintahan yang sangat tinggi. Pihak militer menyerahkan informasi yang berhasil dikumpulkan ke Departemen Luar Negeri, merekalah yang mengarahkan kebijakan tentang seberapa banyak informasi yang diberikan dan kepada siapa. Seperti untuk invasi tahun 1975, Departemen Luar Negeri sekarang menolak tuduhan Plunkett. Kami me4 Juni 2001
nolak tuduhan itu. Tuduhan itu sama sekali tidak ada dasarnya, kata juru bicara Menteri Luar Negeri Alexander Downer. Pengakuan Plunkett ini bukan isapan jempol. Prof. Desmond Ball dari Pusat Penelitian Pertahanan dan Strategis, Universitas Nasional Australia membenarkan tuduhan Plunkett. Australia punya perlengkapan intelijen yang canggih yang menyadap komunikasi militer Indonesia di Timor Lorosae dari Shoal Bay, bagian paling utara Australia. Menurut Ball yang disadap termasuk percakapan antara perwira-perwira intelijen Indonesia dan komandan milisi. Informasi ini nilainya tidak terkira, kata Prof. Ball. Misalnya salah satu pita merekam komandan-komandan Kopassus membahas dan memberi perintah kepada pemimpin-pemimpin milisi untuk membunuh orang-orang tertentu, tindakan untuk membakar rumah-rumah tertentu, dan memindahkan keluarga-keluarga. Buktinya sampai tingkat individual semua ada dalam pita rekaman, katanya. Salah seorang pakar intelijen terkemuka Australia ini sedang menulis buku berjudul Silent Witness (Saksi Yang Diam Saja) yang mengungkapkan seberapa banyak yang diketahui intelijen Australia mengenai keterlibatan Indonesia dalam banjir darah di Timor Lorosae 1999. Informasi-informasi intelijen yang terungkap tersebut semakin membuktikan bahwa Australia terlibat dalam persekongkolan internasional menentang perjuangan rakyat Timor Lorosae. Bahwa Australia adalah pendukung setia rezim maut yang mudah main bunuh, baik terhadap rakyat Timor Lorosae yang didudukinya selama hampir seperempat abad maupun rakyat Indonesia sendiri yang dikuasai lebih dari 30 tahun! *** 10
Isabel Pereira, Anak Domingos Gonçalves
Kesaksian
Sudah Berpolitik Malah Sembunyi ...
S
ejak dikeluarkannya dua opsi Manuel dan Julio adalah kakak beroleh Habibie, ayah saya, Do- adik yang juga tewas dibunuh bersamingos Gonçalves, Kepala maan dengan ayah saya. Polisi berDesa Ritabou, sering kedatangan in- senjata lengkap juga terlihat berada telijen Kodim Maliana. Kadang-ka- di antara pengungsi. dang secara resmi tetapi seringkali Pada 6 September situasi di kantor secara diam-diam. polisi itu masih tenang, belum terjadi Selama pendudukan Indonesia ayah tindak kekerasan apa-apa. Milisi tersaya bekerjasama dengan gerakan lihat berjalan kesana-kemari. Bebepro-kemerdekaan. Tetapi ia selalu rapa yang saya kenal adalah João Ferberusaha menyembunyikan informasi nandes, João Gombloh, Marito warFoto: F.X. Sumaryono ga Ritabou. setiap aktivitas gerakan klandestin itu. Barangkali Sekitar puaktivitasnya itu telah dikekul 10.00 Natahui pihak TNI sehingga talino, Mateus mereka sering memantau keMauleto (pegiatan ayah saya. gawai Pemda Pada 4 September, sekiMaliana asal tar pukul 16.00, Dandim Builalo NTT), Maliana bersama sejumlah Marcus Tato anggotanya yang bersera(tinggal di Rigam militer bersenjata lengtabou), Dankap keliling Desa Ritabou dim Maliana mengumumkan, agar masyaSiagian, João Lorong kekejaman milisi rakat mengungsi ke Polres Tavares, Jorge dan Kodim Maliana. Siapa yang ta- Tavares (ketua DPRD II Maliana), kut, datang saja ke Polres atau Kodim. Francisco Mau Laleok, dan Kapolres Di sana Anda akan aman! demikian Maliana mengadakan rapat di sebuah bunyi pengumuman itu. ruangan di Polres Maliana. Saya tidak Tanggal 5 September sekitar pukul tahu apa yang mereka bahas. Rapat 12.00, ayah kami memutuskan untuk baru berakhir sekitar pukul 12.00. membawa kami mengungsi ke Polres Pada 8 September 1999, antara puMaliana karena rumah kami sangat kul 10.00-11.00, seorang milisi berdekat dengan rumah Natalino Monte- nama Salvador (35 tahun), mengairo yang selalu penuh Milisi DMP. takan pada ibu saya bahwa rumah kaKami pergi secara diam-diam. Sebe- mi sebentar lagi akan dibakar. Ibu salumnya tiga anggota TNI, Francisco ya menjawab, Bakar saja sesuai keMaumeta, Miguel, dan Silverio, se- inginan kalian! muanya dari Kodim, mendatangi ruSekitar pukul 18.00, pengungsi di mah kami. Kamu ini TNI dan juga Polres Maliana diserang milisi. Pada kepala desa, tetapi masih melawan In- saat itu kami sedang memasak, sekedonesia dan memberi makan Falin- tika itu pula kami lari berhamburan til! dan mencoba ke asrama polisi yang Di Polres Maliana ternyata banyak terletak di dalam kompleks Polres orang yang mengungsi di sana. Kami Maliana. Ibu saya ada di barisan termemilih tinggal bersama di dalam sa- depan, sementara saya dan ayah metu tenda dengan maun Julio dan Ma- nyusul dari belakang. Kami berhasil nuel Barros bersama keluarganya. masuk dan bersembunyi di salah satu 11
Direito 17
ruangan asrama itu. Sementara ibu bersama keluarga lainnya masuk ke ruangan lain. Dalam ruangan itu saya dan ayah bersembunyi di bawah kolong meja. Karena khawatir ruangan itu akan didatangi milisi, ayah menyuruh saya keluar untuk memantau situasi. Di luar, saya melihat satu keluarga sedang duduk ketakutan di depan ruangan tempat kami bersembunyi. Untuk menghindari kecurigaan milisi, saya langsung bergabung dengan mereka. Ayah saya ternyata kemudian keluar ruangan sambil membawa pedang karena takut. Saya kemudian menyuruh ayah untuk masuk ke ruangan lain yang bersebelahan dengan ruangan tempat kami sembunyi sebelumnya. Di situ saya menyuruh ayah bersembunyi di balik lemari. Setelah ayah bersembunyi, saya kembali duduk di antara keluarga tadi. Sesaat kemudian beberapa milisi lewat di depan tempat persembunyian Ayah sambil berteriak-teriak, Di mana Manuel Magelhaes? Dimana Kepala Desa Ritabou (maksudnya ayah saya, Domingos Gonçalves)? Cari sampai dapat! Sudah berpolitik malah sembunyi lagi! Sekitar pukul 20.00, seorang milisi bernama João Koemeta memasuki ruang persembunyiaan Ayah dan berteriak dari ruangan, Ida mak nee! Koemeta kemudian memanggil João Fernandes. João segera masuk ruangan dan menyeret ayah. Sampai di luar saya melihat ayah saya ditikam dengan pedang beberapa kali tepat di bagian punggung yang tembus ke perut dan dada. Milisi lain, João Gombloh dan Koemeta ikut menikam ayah saya. Mereka terus memukul ayah dengan hingga tewas. Saya menyaksikan pembunuhan ayah dengan jelas dan mengenal dengan pasti pelakunya karena saat itu lampu menyala terang. *** 4 Juni 2001
O p i n i
Kejahatan terhadap Kemanusiaan oleh Redaksi Direito
M
asyarakat internasional telah mengetahui bahwa telah terjadi kekerasan yang luar biasa kejam di Timor Lorosae sepanjang Januari hingga September 1999. Setelah melakukan penyelidikan, Komisi Penyelidik Internasional yang dibentuk oleh PBB menyimpulkan telah terjadinya pelanggaran berat hukum hak asasi manusia yang mendasar dan pelanggaran hukum humaniter internasional. Komisi juga menemukan bukti-bukti bahwa tentara Indonesia (TNI) dan kelompok-kelompok milisi terlibat dalam pelanggaran tersebut. Sementara Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor Timur (KPP HAM) Indonesia salah satu kesimpulannya menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan secara terencana, sistematis serta dalam skala besar dan luas berupa pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan terhadap perempuan dan anak (termasuk di dalamnya perkosaan dan perbudakan seksual), pengungsian paksa, pembumihangusan dan perusakan harta benda yang kesemuanya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pada kedua hasil penyelidikan tersebut terdapat tiga istilah penting yang pengertiannya masih belum banyak dikenal. Tiga konsep itulah yang diuraikan dalam tulisan ini. Hukum Internasional Hak Asasi Manusia Hukum internasional hak asasi manusia adalah semua norma hukum internasional yang ditujukan untuk Direito 17
menjamin dan menjamin perlindungan pada pribadi (individu). Hukum ini memusatkan perhatian pada kepentingan individu dan kelompok individu, dan terutama hubungan individu dengan pemerintah (negara). Tujuannya adalah memberikan perlindungan internasional untuk hak-hak asasi manusia dan kebebasan individu dan kelompok individu dari pelanggaran oleh pemerintah (dan juga pelanggaran individu, kelompok individu, dan organisasi bukan pemerintah) dan menjamin adanya keadaan yang sesuai dengan martabat manusia. Karena tujuaannya itu, hukum ini berlaku di masa damai maupun dalam konflik bersenjata internasional maupun bukan internasional. Meskipun ide-ide tentang hak asasi itu sudah muncul pada abad ke-18, gagasan tentang hukum internasional untuk menjamin hak asasi baru muncul setelah Perang Dunia II. Pada masa perang, banyak sekali orang sipil yang tak terlindungi dari kekajaman perang. Selain itu, pemerintah Nazi Jerman yang mengawali perang, ketika berkuasa banyak melakukan kekejaman terhadap warganegaranya sendiri. Mereka menangkap, memenjarakan, bahkan mengeksekusi tanpa proses hukum yang adil orang-orang yang berpandangan politik lain. Mereka bahkan mengirim ke kamp-kamp kerja paksa dan kemudian bahkan melakukan pembunuhan massal terhadap orang Jerman yang berdarah Yahudi. Kekejaman-kekejaman tersebut menyadarkan perlunya hukum internasional untuk melindungdi individu. Salah satu langkahnya adalah pembentukan pengadilan internasional (di kota Nuremberg) untuk mengadili or4 Juni 2001
ang-orang Nazi. Langkah selanjutnya adalah diterimanya Pernyataan Semesta Hak Asasi Manusia oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1949. Dengan adanya hukum internasional hak asasi manusia, setiap individu punya hak untuk mendapat perlindungan minimum dari pemerintah negaranya, dan hak ini mengharuskan pemerintah negara lain melakukan tindakan penegakan jika pemerintah negara bersangkutan tidak menjalankan kewajibannya. Dengan kata lain, jika pemerintah suatu negara membiarkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia terhadap warganegaranya sendiri, atau malah pemerintah itu sendiri atau aparatnya melakukan pelanggaran, maka pemerintah negara-negara lain punya kewajiban menegakkan hak tersebut dengan menangkap dan membentuk pengadilan internasional untuk mengadili para pelaku pelanggaran tersebut. Hukum Humaniter Internasional Hukum humaniter internasional adalah semua norma hukum internasional yang bertujuan memberi perlindungan sewaktu timbul konflik bersenjata internasional dan juga konflik bersenjata bukan internasional, kepada anggota pasukan tempur yang tidak bisa menjalankan tugas tempurnya lagi (karena sakit, luka atau tertangkap pasukan lawan), dan orangorang yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran. Hukum ini juga mengatur hak dan kewajiban negara (dan organisasi bersenjata lainnya) yang berperang serta membatasi metode-metode peperangan yang boleh digunakan. Empat Konvensi Jenewa, yang dicapai pada tahun 1949, adalah 12
O p i n i bagian penting dari hukum humaniter internasional ini. Pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional disebut kejahatan perang. Kejahatan perang terhadap anggota pasukan tempur yang tidak lagi bisa bertempur antara lain meliputi pembunuhan; penyiksaan; menimbulkan penderitaan besar, atau luka yang serius terhadap badan atau kesehatan; penghancuran dan perampasan luas harta benda, yang tidak diperlukan oleh kebutuhan peperangan; deportasi atau pemindahan tahanan yang tidak sah; penyanderaan. Sedang kejahatan perang terhadap penduduk sipil antara lain adalah: menyerang penduduk sipil yang tidak terlibat dalam peperangan; serangan terhadap obyek-obyek sipil, serangan terhadap personil, instalasi, barang, satuan atau kendaraan yang terlibat misi bantuan kemanusiaan atau misi perdamaian; serangan yang diketahui akan menimbulkan kehilangan nyawa atau luka penduduk sipil, merusak obyek-obyek sipil atau lingkungan yang yang bukan tuntutan keharus-an militer; serangan atau pemboman kota, desa, tempat tinggal atau gedung yang bukan sasaran militer; pemindahan penduduk sipil negaranya ke wilayah negara yang diduduki atau pemindahan penduduk wilayah pendudukan di dalam maupun ke luar wilayah; serangan terhadap gedung peribadatan, pendidikan, kesenian, ilmu pengetahuan atau amal, monumen sejarah, rumahsakit dan tempat penampungan orang sakit atau luka; pemotongan anggota badan atau percobaan medis terhadap orang yang dikuasai, yang tidak diharuskan oleh perawatan medis; menghancurkan atau menyita harta milik musuh yang tidak diperlukan oleh kebutuhan perang; memaksa orang dari pihak lawan untuk menjalankan operasi perang terhadap nega13
ra mereka sendiri; menjarah kota atau tempat yang diserang; menggunakan senjata dan metode perang yang menyebabkan luka atau penderitaan yang tidak perlu; melakukan perbuatan biadab terhadap kehormatan pribadi; perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksa, penghamilan paksa, sterilisasi paksa dan kekerasan seksual lainnya; menggunakan kelaparan penduduk sipil sebagai metode perang, dengan menghalangi mereka memperoleh sarana yang diperlukan untuk mempertahankan hidup. Menurut hukum internasional, Timor Lorosae sejak 7 Desember 1975 adalah wilayah yang diinvasi dan kemudian dianeksasi Indonesia. FALINTIL berperang melawan Indone-
adalah pelanggaran berat terhadap (hukum) hak asasi manusia. Menurut Statuta Roma, yang digolongkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah tindakan-tindakan berikut ini yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang luas atau sistematis yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil yang merupakan kelanjutan kebijakan Negara: a) pembunuhan; b) pembasmian; c) perbudakan; d) deportasi atau pemindahan paksa penduduk; e) penahanan atau tindakan pencabutan kebebasan fisik lainnya; f) penyiksaan; g) perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksa, penghamilan paksa, sterilisasi paksa, atau bentuk-bentuk lain kekerasan seksual yang bobotnya sama; h) persekusi terhadap Foto: F.X. Sumaryono kelompok atau kolektivitas tertentu karena alasan politik, rasial, kebangsaan, etnis, budaya, agama, gender, atau alasan-alasan lain yang secara universal tidak diperbolehkan menurut hukum internasional; i) penghilangan orang secara paksa; j) kejahatan apartheid; k) tindakan-tindakan tidak berperikemanusiaan lainnya yang berkarakter serupa yang dimaksudkan untuk menimbulkan penderitaan besar, atau luka yang serius terhadap sia. Dalam konteks itu, kekerasan-ke- badan atau jiwa atau kesehatan fisik. kerasan yang dilakukan oleh kelomPemberian istilah ini mencerminpok-kelompok milisi (dengan keter- kan pengertian bahwa kejahatan itu libatan TNI/Polri) sepanjang 1999, demikian beratnya sehingga yang diseperti penyerangan terhadap orang anggap menjadi sasarannya bukan hasipil, pembakaran rumah, perkosaan nya orang per orang yang langsung seksual, merupakan kejahatan pe- menjadi korbannya, tetapi seluruh urang. mat manusialah yang sesungguhnya menjadi sasaran. Oleh karena itulah Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang punya wewenang mengadili peIstilah kejahatan terhadap kem- lakunya bukan hanya negara yang beranusiaan digunakan dalah peng- sangkutan, tetapi negara mana saja yaadilan Nuremberg untuk perbuatan ng bisa menangkap pelakunya, dengan kejam Nazi Jerman terhadap warga- suatu pengadilan berdasarkan hukum negara Jerman sendiri. Istilah ini sa- internasional. Dalam hal ini yang mengat erat dengan hukum hak asasi ma- mutuskan adalah Dewan Keamanan nusia, karena biasanya yang dimaksud PBB.*** Direito 17
4 Juni 2001
Serba Serbi Dari Diskusi Dua Mingguan Yayasan HAK:
UNTAET adalah Fotocopy Misi di Kosovo
Y
ang dilakukan PBB di Timor Lorosae di masa transisi sama persis dengan yang dilakukannya di Kosovo. Demikian dikemukakan oleh Wakil Ketua Asosiasaun Nasional Makaer Fukun Timor Lorosae (AMNEFTIL), Adérito de Jesus Soares dalam diskusi dua mingguan Yayasan HAK, 12 Mei lalu. Misi PBB di Kosovo dilakukan berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1244 yang memberi Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB di Kosovo wewenang eksekutif, legislatif, dan administrasi peradilan. Persis sama dengan Resolusi DK PBB1272 tentang pembentukan UNTAET. Yang dilakukan Sergio de Mello juga sama dengan yang dilakukan Wakil Khusus Sekjen PBB di Kosovo, Bernard Kouchner, dari Prancis. Di Kosovo, Kostner mendirikan Dewan Nasional yang beranggotakan 36 orang yang dianggap mewakili berbagai golongan penduduk Kosovo yang berjumlah tiga juta. Persis yang kemudian dilakukan di sini oleh Sergio de Mello dengan membentuk Dewan Nasional beranggotakan 33 orang. Yang terjadi dengan tentara juga sama. Tentara Kosovo, Kosovo Liberation Army (KLA) dibubarkan. Anggotanya menjalani program pemasyarakatan kembali yang dijalankan oleh IOM (International Organization of Migration). Di Timor Lorosae FALINTIL dibubarkan, para anggota yang tidak lulus seleksi FDTL, menjalani program yang mempersiapkan kembali ke kehidupan sipil, yang juga dijalankan oleh IOM. Di Kosovo dibentuk pemerintahan bersama, semacam ETTA. Jumlah kementeriannya ada 20, lebih banyak daripada di Timor Lorosae. Di semua Direito 17
kementerian ini ada orang PBB dan orang lokal pada semua tingkatan. Sumberdaya manusia mereka memang lebih siap. Sama dengan di Timor Lorosae, di sana polisi internasional sangat tidak efektif menangani kriminalitas. Petugas polisi yang berasal dari sangat banyak negara dengan hukum yang berbeda-beda, berkumpul untuk menangani masalah di negeri yang sebelumnya tidak mereka kenal. Militer multinasional yang beroperasi di sana juga tidak bebas dari masalah. Antara tentara negara-negara tertentu terjadi friksi. Di bidang humanitarian, setelah pemboman besar-besaran NATO, 500 NGO internasional datang. Di antara NGO internasional terjadi friksi. Sementara NGO nasional dalam bekerja sikapnya sangat reaktif, yaitu hanya bereaksi terhadap keinginan badanbadan pemberi dana dari luar negeri. Mereka tidak punya agenda yang menyeluruh. UNTAET adalah fotocopy UNMIK (United Nations Mission in Kosovo, Misi PBB di Kosovo), kata Adérito. Sama dengan di Kosovo, UNTAET melemahkan institusiinsitusi lokal, bukan mendukungnya supaya bisa bikin pemerintahan sendiri. CNRT diabaikan, jaringan klandestin disingkirkan, FALINTIL dibubarkan. Padahal dengan jaringan klandestinnya CNRT antara lain bisa difungsikan sebagai penyalur informasi yang pasti akan bisa menjangkau penduduk sampai pedalaman. Kelemahan internal perlawanan Timor justru ikut mendukung terjadinya pelemahan ini. Setelah kepergian tentara Indonesia, pihak perlawanan tidak berhasil melakukan konsolidasi kekuatan. CNRT terlalu 4 Juni 2001
memberi kepercayaan yang besar kepada komunitas internasional untuk mendirikan negara Timor Lorosae. Dalam hal penanganan pengungsi, kepercayaan terlalu besar diberikan kepada UNHCR. Akibatnya, Gereja Katolik yang berpotensi besar justru tidak berperan. Karena kepercayaan yang terlalu besar itu, pihak perlawanan juga tidak memiliki agenda transisi. Dalam Kongres Nasional CNRT Agustus tahun lalu, masalah-masalah setelah kemerdekaan dibicarakan panjang lebar, tetapi agenda transisi justru tidak disinggung sama sekali. NGO Timor Lorosae juga sangat lemah. NGO kita memang belum punya pengalaman melakukan advokasi bersama untuk satu masalah tertentu. Misalnya tidak ada koalisi bersama untuk menangani masalah tanah atau pengungsi. Kebanyakan hanya melayani keinginan lembaga-lembaga asing pemberi dana. Dialog antar NGO sendiri juga belum ada untuk membahas agenda perubahan ke depan. Kita harus kritis melihat kepentingan jangka pendek dan panjang misi PBB di sini, kata Direktur Yayasan HAK Aniceto Guterres Lopes, yang juga anggota Dewan Nasional. Dalam jangka pendek bermain kepentingan staf PBB yang dengan misi di sini ingin karirnya naik. Buat mereka, rakyat Timor Lorosae tidak menjadi pertimbangan penting. Bagi mereka, yang penting program berjalan lancar sesuai rencana mereka. Diskusi ini dihadiri oleh aktivisaktivis pemuda, NGO, dan jurnalis. Diskusi rutin semacam ini diselenggarakan untuk mengasah ketajaman analisis supaya mempermudah aktivitas pemberdayaan rakyat Timor Lorosae. *** 14
Ami Lian Kasus João Fernandes:
Dan, Fernandes Kemudian Melarikan Diri ...
M
ajelis hakim khusus, Maria Natercia Pereira, Sylver Ntukamazina, dan Luca L. Ferrero telah menjatuhkan hukuman 12 tahun bagi João Fernandes (23 tahun), anggota milisi Dadurus Merah Putih (DMP), pada 25 Januari lalu. Ia terbukti membunuh Domingos Gonçalves Pereira, pada 8 September dua tahun lalu. Ia ditangkap pada 18 Juli 2000 oleh CivPol Distrik Bobonaro berdasarkan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). João mengakui sebagai anggota DMP, pada 8 September dia diperintahkan untuk datang ke rumah Komandan DMP, Ir. Natalino Monteiro di Desa Ritabou. Dia mengakui bahwa dia dan anggota DMP lain diberi pedang samurai dan diperintahkan untuk ke Polres Maliana untuk membunuh mereka yang berlindung di kantor polisi itu. Sebelumnya, mereka dibawa ke Koramil (Komando Rayon Militer) untuk mencat muka dengan cat hitam. João juga mengaku, selama di Polres dia diperintah untuk membunuh semua laki-laki. Dia juga menyatakan, Kepala Polres membawa dia dan João Gombloh, anggota milisi yang lain, ke sebuah ruangan di mana Domingos Gonçalves Pereira, kepala Desa Ritabou bersembunyi. João mengaku bahwa dia menyeret Domingos dari tempat persembunyiannya dan menusuknya dengan pedangnya di punggung. Dia menambahkan bahwa setelah Domingos jatuh ke lantai, João Gombloh menusuk korban dua kali di bagian dada. Dia juga mengaku, karena korban masih hidup dan mencoba untuk bangun, maka dia menusuk kedua kali punggung Domingos sehingga meninggal. João mengaku bahwa dia
15
membunuh korban atas perintah TNI dan Natalino Monteiro karena dia adalah pendukung kemerdekaan. Fernandes menerima semua bukti dan pernyataan saksi-saksi. Di antaranya keterangan Augusta Godinho pada 14 Juli, pernyataan Jacinta Pereira tertanggal 15 Juli, dan saksi Isabel
Pereira pada 17 Juli tahun lalu. Semua saksi dalam pernyataannya mengidentifikasikan João Fernandes sebagai orang yang menusuk Domingos Gonçalves Pereira sampai meninggal. Menurut Isabel Pereira, anak korban, sekitar pukul 20.00, seorang milisi bernama João Koemeta memasuki ruang persembunyian ayahnya dan berteriak dari dalam ruangan, Ida mak nee! Koemeta kemudian memanggil João Fernandes. João segera masuk ruangan dan menyeret ayah Isabel. Sampai di luar saya melihat ayah saya ditikam dengan pedang beberapa kali tepat di bagian punggung yang tembus ke perut dan dada. Milisi lain, João Gombloh dan Koemeta ikut pula menikam ayahnya. Mereka terus memukul ayahnya hingga tewas. Isabel menyaksikan pembunuhan ayahnya dengan jelas dan meDireito 17
ngenal dengan pasti siapa pelakunya, karena pada malam itu lampu menyala terang (baca juga Kesaksian). Mengingat pengakuan bersalah dari João Fernandes pada 10 Januari, berdasarkan Bagian 8 Regulasi UNTAET No. 15/2000 dan Pasal 340 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), Panel Khusus untuk Kejahatan Berat di Pengadilan Distrik Dili menghukum João Fernandes dengan hukuman penjara selama 12 tahun atas kejahatan pembunuhan yang didakwakan kepadanya. Penjelasannya, menurut Jaksa Brenda Hollis dan Antonino, berdasarkan pasal 340 KUHP, hukuman yang dapat dijatuhkan oleh Panel Khusus kepada terpidana yang melakukan pembunuhan adalah hukuman mati, seumur hidup atau hukuman penjara selamalamanya 20 tahun. Regulasi No. 1/1999 mencabut hukuman mati (bagian 3.3) dan Regulasi No. 15/2000 bagian 10 mencabut hukuman penjara seumur hidup, dengan mengatur bahwa harus ditetapkan jumlah tahun, yang tidak boleh lebih dari 25 tahun. Adilkah hukuman yang dijatuhkan pada João Fernandes? Menurut KPPHAM penyerangan Polres Maliana merupakan bagian dari pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi secara sistematis dan meluas di Timor Lorosae 1999. Tetapi Jaksa hanya mendakwa Fernandes dengan pasal pembunuhan biasa. Kenapa? Karena tidak ada bukti telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan, kata Jaksa. Dan Jaksa berjanji, akan mencari keadilan secepatnya mengingat Fernandes masih berada di tahanan. Tetapi, Fernandes berhasil menggergaji jeruji penjara dan melarikan diri entah kemana.*** 4 Juni 2001
Mereka cukup datang dan mengakui perbuatannya ... (Regina Costa Leite, 42 tahun, koordinator Grupo 99, bekas pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, tinggal di Maliana) Orang-orang banyak bicara tentang rekonsiliasi. Mau rekonsiliasi dengan siapa? Kalau mau rekonsiliasi, orangorang yang melakukan kejahatan itu harus datang dulu ke sini, baru diadakan rekonsiliasi. Kalau mereka tetap di sana, mau rekonsiliasi dengan siapa? Kami ingin menghilangkan ingatan tentang perbuatan mereka. Tetapi sulit sekali. Perasaan kami sangat menderita, kami kehilangan semuanya. Tetapi, kami ingat kembali bahwa dulu kami selalu berpikir Mate ka moris ukun rasik an (Hidup atau mati, yang penting merdeka). Kalau kami ingat kata-kata itu perasaan kami tenang. Suami saya, yang menjadi koordinator CNRT Sub-Região Bobonaro [Manuel Magelhaes, yang dibunuh milisi bersama 12 orang lainnya setelah melarikan diri dari Polres Maliana, tetapi tempat persembunyiannya diketahui oleh Duarte Monteiro, kakak kandung pimpinan Dadurus Merah Putih Ir. Natalino Monteiro, Red.] selalu mengatakan bahwa kalau mau merdeka, kalau mau punya negara sendiri, harus berani berkorban, harus berani mati. Ini adalah sebuah konsekuensi. Kata-kata itu kadang membuat perasaan kami tenang, Tetapi untuk menghilangkan semua perasaan sedih hati kami betul-betul tenang itu sulit sekali. Kami sebagai keluarga korban tidak menuntut macam-macam. Asal orang-orang yang melakukan kejahatan itu mengakui perbuatannya dan mengakui mengapa mereka berbuat itu. Itu sudah cukup bagi kami. Kami tidak mau menuntut darah dibalas de-
ngan darah. Kami tidak ingin membalas dendam. Timor harus hidup ke masa depan dengan baik. Kita harus menghentikan kekerasan. Bagi saya, cukup orang-orang yang membunuh suami saya mengakui mengapa mereka membunuh, bagaimana mereka membunuh, dan di mana mayatnya dibuang. Itu cukup. Tetapi negara punya hukum dan hukum harus tetap ditegakkan. Orangorang yang melakukan kejahatan itu harus diadili sesuai hukum yang berlaku di Timor Lorosae. Kami yang kehilangan suami dalam pembantaian tahun lalu membentuk Grupo 99 untuk saling berbagi informasi dan berdiskui mengenai persoalan-persoalan kami. Untuk mengurangi penderitaan perasaan, seperti trauma, kami bekerjasama dengan FOKUPERS (Forum Komunikasi Perempuan Timor Lorosae, organisasi non-pemerintah untuk pemberdayaan perempuan, Red.). FOKUPERS
Foto: Nug Katjasungkana
Ami Lian
Regina Costa Leite
memberikan counseling [semacam bimbingan mental untuk mengatasi trauma, Red.]. Kami juga sering berbicara dengan suster-suster (madre sira). Ini bisa meringankan penderitaan kami. Ekonomi juga menjadi persoalan keluarga korban. Untuk mengatasinya kami mendirikan koperasi ekonomi. Tetapi kami masih harus banyak belajar. Karena kami baru memulai usaha ini. Kami juga kesulitan transportasi. Tapi kami harus terus berusaha.***
Harus diadili di Pengadilan Internasional (Jaime dos Santos, 32 tahun, petugas security, tinggal di Jl. Comoro Dili)
Para milisi yang melakukan kejahatan itu harus diadili di Pengadilan Internasional. Agar mereka bisa mengakui kesalahan mereka di mata dunia internasional. Orang-orang yang dipaksa milisi mengungsi harus cepat diurus oleh
pemerintah Indonesia dan PBB. Agar mereka bisa segera pulang ke Timor Lorosae. Kalau yang betul-betul milisi biarkan saja mereka di negaranya [Indonesia, Red.]. Mereka dulu mengatakan mati hidup demi merah putih.***
Setiap orang berhak atas pengadilan yang adil. Pasal 8 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Redaksi Direito
Neves, Julio, NK, Pinto, Caminha, TI, Moises, Oscar, Viana, Edio, Kopral, Martinho.
Diterbitkan atas dukungan: