Yayasan HAK
Jl. Gov. Serpa Rosa T-091, Farol Dili - Timor Lorosae Tel.: + 670 390 313323 Fax.: + 670 390 313324
Direito
e-mail:
[email protected]
Dwi
E d i s i
Mingguan
11
Hak
Ma n u s i a
5 Februari 2001
Rekonsiliasi Ala Timor Lorosae Di Timor Lorosae telah dibentuk komisi sementara, adhoc, dan independen berdasarkan peraturan UNTAET. Mampukah komisi yang akan bekerja selama dua tahun ini menjawab tuntutan dari para korban? Rakyat Timor Lorosae memandang rekonsiliasi dalam dua aspek. Pertama, rekonsiliasi itu berarti mengharuskan setiap orang untuk saling menerima satu sama lain, dan yang kedua adalah rekonsiliasi dengan tetap menekankan bahwa hukum harus ditegakkan dan dihormati. Tetapi,
A za s i
kedua aspek itu tak bisa dipisahkan Contohnya, masyarakat di beberapa distrik. Mereka yang melakukan tindak kekerasan sebelum dan pasca jajak pendapat dan kembali dari Nusa Tenggara Timur harus diterima oleh lingkungannya. Begitu ajakan dari pihak CNRT dan
Rekonsiliasi bukan hanya peluk-pelukan di hotel berbintang. Dalam berbagai macam pertemua apakah ada hasilnya?
Daftar Isi Direito Utama........................................Rekonsiliasi Ala Timor Lorosae (1)
.........................Rekonsiliasi Dalam Praktek: Refleksi Keluarga Korban .......................................................Rekonsiliasi: Demi Kepentingan Siapa? Info Hukum.......Peradilan Yang Independen di Timor Lorosae. Mungkinkah? ....................Instrumen Hak Asasi Manusia Sebagai Norma Hukum
Wawancara....................Pe. Juvito do Rego de Jesus Araujo:
.......Rekonsilasi dan Proses Keadilan Tidak Boleh Berdiri Sendiri
(2) (3) (4) (5)
(6) (8) Serba Serbi.........................................Kegiatan Rumah Rakyat Maubisse (10) ..........................Pelatihan Hak Asasi Manusia Bagi Pelatih .................NGO Forum Merancang Materi Civic Education Ami Lian...................................................Rekonsiliasi Jangan Hanya di Mulut Saja (11) .......................................................Orang Yang Membunuh Harus Dihukum ..................Rekonsiliasi Harus Melihat Akar Masalah Yang Sebenarnya .................................Rekonsiliasi Harus Berjalan di Bawah Hukum ...............................................................Upaya Untuk Mencapai Rekonsiliasi (12) .........................................................Agenda Rekonsiliasi Harus Transparan
Opini.......................................................Rekonsiliasi Berbasis Keadilan
diosis. Ternyata rakyat kecewa karena orang-orang itu begitu bebas, tanpa diproses melalui jalur hukum. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mengobati luka masyarakat korban? kata Jacinto Alves, saat tampil sebagai narasumber di Radio Timor Kmanek bersama Yayasan HAK, beberapa waktu lalu. Itu ternyata tidak mudah. Untuk mengatasi kekecewaan masyarakat korban, beberapa pihak kemudian melakukan studi pengkajian dan investigasi bagaimana mengupayakan rekonsiliasi di Timor Lorosae. Pemikiran yang paling mendasar adalah mengupayakan membangun rekonsiliasi yang sehat tanpa harus mengesampingkan tuntutan terhadap aspek hukum. Namun, perangkat hukum saat ini masih banyak kekurangannya. Dalam hal ini, menurut Alves, pengadilan yang akan diberlakukan menjangkau dua kategori. Apa saja? Pertama, bagi mereka yang telah melakukan tindak kekerasan yang berakibat pada kematian harus diproses melalui hukum yang berlaku. Kedua, bagi mereka yang telah melakukan tindak kekerasan seperti pembakaran dan penjarahan harus menjalani pengadilan yang ditentukan oleh masyarakat berdasarkan syarat dan kondisi yang telah disepakati. (Baca: Rekonsiliasi dalam Praktek). Para pelaku kejahatan harus mengakui apa yang telah ia lakukan itu adalah kesalahan. Ia harus menerima segala tuntutan masyarakat dengan siap mengabdikan diri bekerja untuk kepentingan umum. Antara lain, membangun sekolah, ruang pertemuan, rumah tinggal yang hancur. Itu syarat yang harus dipenuhi. Kesepakatan itu akan dibawa ke pengadilan untuk disahkan sebagai putusan pengadilan, kata Jacinto Alves, Koordinator Asosiasi Eks Tapol dan Napol (ASSEPOL). Sebab, peranan pengadilan tetap diperlukan karena komisi rekonsiliasi tidak boleh mengabaikan fungsi pengadilan. Komisi rekonsiliasi hanya sebatas membantu proses di pengadilan.**
Editorial Penantian yang cukup panjang. Demi sebuah rekonsiliasi yang tak bisa diramalkan apa hasilnya.Sejarah mencatat bahwa, sepanjang negeri ini dirundung konflik selama pendudukan Portugal, Indonesia, dan pasca jajak pendapat tak pernah ada satu pun kata sepakat melalui jalur rekonsliasi. Diharapkan rekonsiliasi dapat memberi angin segar bagi rakyat di negeri ini. Justru sebaliknya. Pelaku kejahatan bebas berkeliaran tanpa diproses melalui jalur hukum. Malah, ada pula tawaran, bagi pelaku kejahatan itu cukup diberi denda dengan memperbaiki gedung-gedung yang hangus dibakar. Lalu, bagaimana dengan penderitaan lahir dan batin yang dialami para korban? Rekonsiliasi menjadi bias bila kepentingan korban ini diabaikan dan dianggap tidak penting, dan lebih mengutamakan kepentingan politik. Ada kesan bahwa rekonsiliasi dijadikan sebagai ajang kumpul-kumpul para elit poltik. Seolaholah tak ada kesalahan yang telah terjadi, tak ada pembunuhan, dan ada pembumihangusan di masa lalu. Rekonsiliasi jadi semakin rumit. Apalagi ada permintaan perlu adanya rekonsiliasi pada tataran partai, antar kelompok dalam masyarakat di tingkat basis. Begitu pula kelompok UNTAS (Unidade Timor Asswain) dan milisi masingmasing meminta rekonsiliasi. Apakah bermula dari kerumitan itu kemudian lahir ide untuk sebuah rekonsiliasi? Kini, telah ada komisi kebenaran, penerimaan dan rekonsiliasi. Ada pula gagasan dari gereja untuk melakukan rekonsiliasi yang disepakati dalam komunike bersama di Dare oleh para uskup. Namun, semua itu tetap saja mengundang pertanyaan: apakah rekonsiliasi akan berhasil? Dan sampai kapan rekonsiliasi akan terus digelar? *** Direito 11
Rekonsiliasi Dalam Praktek: Refleksi Keluarga Korban
K
etika saya kembali dari pengungsian pada Oktober 1999, seluruh bangunan di setiap kampung di desa saya terbakar habis. Pada saat saya mendekati puing-puing tempat tinggal kami, salah seorang saudara saya mendekat dan memeluk saya sambil menangis. Dia mengatakan, seluruh keluarga saya masih bersembunyi di hutan, di kaki Gunung Kablaki. Dari dia saya baru tahu kalau kakak saya tewas sementara ayah saya selamat meskipun telah ditembaki dengan senjata otomatis. Penduduk sipil yang lain pun tak sedikit yang dipaksa mengungsi ke Timor Barat. Malam itu, saya mengajak saudara saya untuk mencari keluarga yang masih di hutan. Kami hanya bisa bertangisan ketika bertemu kembali. Saya juga bertemu dengan sejumlah keluarga yang sembunyi di dekat desa. Dan, kami harus kembali ke desa untuk memulai hidup baru. Dengan bekerja sama dengan para pemuda, tokoh masyarakat, penanggungjawab CNRT di tingkat suco dan aldeia kami bertukar-pikiran untuk merencanakan pembangunan kembali rumah penduduk. Saya menceritakan aksi milisi bersama TNI yang dilakukan di Kota Dili. Mereka pun menceritakan aksi para milisi MAHIDI (Mati Hidup Demi Integrasi) dan ABLAI (Aku Berjuang Lestarikan Amanat Integrasi) di Hato-Udo. Saat itu saya hanya berpikir bagaimana mereka yang tinggal dapat bertahan hidup dan membangun kembali rumah. Waktu terus berjalan sampai sejumlah pengungsi kembali dari tempat pengungsian di Timor Barat, pada bulan Desember 1999. Sebagai salah seorang anggota keluarga korban, saya dihadapkan dengan banyak pilihan ketika bertemu dengan keluarga pembunuh kakak saya pasca referendum. Saya mengalami kesulitan untuk menentukan pilihan. Saya marah kepada mereka dan sejumlah anggota milisi yang mulai kembali ke Distrik Ainaro, tutur salah seorang keluarga korban di Ainaro. Setiap kali ada pengungsi yang datang, saya menyaksikan mereka dicaci-maki, dilempari dengan batu, bahkan ada yang dipukul oleh masyarakat. Tindakan main 5 Februari 2001
hakim sendiri itu tak bisa dibiarkan. Para pengungsi yang kembali ke tempat asalnya itu harus dilindungi. Kepada para pengungsi saya menjelaskan mekanisme yang telah dibangun bersama di daerah ini. Pada tanggal 2 Januari 2000 bersama mahasiswa , masyarakat, dan CNRT kami menyelenggarakan acara Natal bersama agar tercipta pembauran dan kembali membangun hubungan kekerabatan di antara warga masyarakat. Saya berusaha menjelaskan semua persoalan politik yang terjadi pasca referendum. Membangun kesadaran kepada semua pihak terutama mereka yang tinggal dan mengungsi ke hutan untuk menghindari balas dendam dan pengadilan jalanan. Setiap kali ada pengungsi datang pasti ikut dalam rombongan itu ada dua atau tiga orang milisi, bahkan ada yang menjadi saksi dan terlibat langsung pembunuhan saudara saya dan penembakan ayah saya. Saya tetap berusaha menanamkan pentingnya menghormati hukum dan hak asasi orang lain. Kami pun mulai mendata keluarga milisi dan anggota milisi yang terlibat aktif dalam tindak kekerasan. Dan merencanakan pembangunan kembali tempattempat ibadah dan sekolah. Langkah ini sebagai penghukuman di dalam masyarakat berdasarkan keputusan masyarakat adat untuk menghindari pengadilan jalanan. Kesepakatan bersama ini didukung oleh beberapa lembaga yang memberikan fasilitas transportasi dan beras. Tetapi bagi mereka yang terlibat pidana berat meskipun mendapat hukuman dari masyarakat harus tetap diproses secara hukum yang berlaku di negara ini. Demi sebuah rekonsiliasi saya bertemu dengan sejumlah milisi MAHIDI yang pernah menyusup ke wilayah Suai, Ainaro, dan Same pada bulan September 2000 lalu di hutan. Tiga di antaranya adalah pelaku pembunuhan kakak saya. Saya berdialog dan meyakinkan mereka agar mereka tidak bersembunyi. Saya percaya dan menunggu sampai pemerintah akan mengadili mereka di pengadilan. Karena masyarakat merindukan sebuah keadilan. n 2
Rekonsiliasi: Demi Kepentingan Siapa?
Direito Utama
Kata rekonsiliasi dipahami dengan penuh warna oleh banyak pihak. Masyarakat awam hanya melihat ada pertemuan di hotel berbintang. Di sana selalu ada adegan peluk dan cium, ada pula yang menangis seperti dalam adegan opera sabun. Mungkin, dia menyesal atas perbuatannya di masa lalu, mungkin pula demi kepentingan kelompoknya tetap tereksploitasi melalui rekonsiliasi.
K
ita tahu persis ada ribuan korban. Mereka menjadi korban atas segala tindak kekerasan selama Negeri Timor Lorosae menjadi arena konflik. Mereka seperti akan terus menjadi korban. Mereka telah lelah menyuarakan dan berbicara tentang apa yang telah dialami. Rakyat terus menanti apa sesungguhnya yang dicari dalam pertemuan yang dibungkus dalam tema rekonsiliasi oleh para elit negeri ini. Sampai kapan rekonsiliasi tidak lagi sekadar menjadi bahan obrolan? Mungkinkah dua kubu yang bertikai itu dengan tulus bersedia membuktikan niat baik dengan meninggalkan semua kepentingannya, termasuk kepentingan politik. Sesungguhnya, kepentingan seperti apa yang seharusnya dibangun dalam sebuah rekonsiliasi? Apa pula prinsip dan pentingnya sebuah rekonsiliasi? Padre Juvito do Rego de Jesus Araujo mengatakan bahwa akan tetap menjadi masalah apabila dalam rekonsiliasi orang hanya mempunyai kemauan yang baik, tetapi tidak mempunyai niat baik. Rekonsiliasi baru berhasil apabila semua orang mau meninggalkan kepentingan kelompoknya dan mengetahui apa hakekat dari rekonsiliasi, kata Padre Juvito, kepada Direito. Rekonsiliasi dalam versi Aniceto Guterres Lopes, harus mengedepankan kepentingan para korban dan harus berbasis pada keadilan. Rekonsiliasi sesungguhnya tidak semata-mata beraspek politik, tetapi juga terkait dengan aspek sosial, budaya, ekonomi, hukum dan moral. Hal itu sebagai upaya untuk memberikan keadilan bagi masyarakat Timor Lorosae, terlebih para korban kekerasan. Keadilan saja tidak cukup kalau tanpa mengungkap kebenaran sebuah fakta. Hal senada juga diungkapkan oleh Jacinto Alves, ketua Asosiasi Ex Tapol/ Napol (ASSEPOL) itu mengatakan, rekonsiliasi harus berjalan tetapi harus disertai keadilan. Luka batin dan fisik
3
yang diderita korban tak mungkin bisa disembuhkan hanya dengan memaafkan sebuah kejahatan yang dilakukan. ** Kebanyakan orang berasumsi bahwa keadilan merupakan suatu cara untuk mengadili seseorang lalu yang bersangkutan dibawa ke penjara. Lalu, bagaimana dengan orang yang menjadi korban dari ketidak-adilan? Orang yang Untuk mengatasi kekecewaan masyarakat korban, menjadi korban, keluarganya perlukah ada rekonsiliasi di Timor Leste? harus diberi kompensasi dan pada pelaku harus setimpal dengan perrehabilitasi, karena itu merupakan konsep buatannya, dan itu tak bisa diperhitungkeadilan yang utuh menurut hukum, ung- kan dengan akibat yang ditimbulkan pada kap Aniceto (Baca: Opini Rekonsi- si korban, lanjut Aniceto Guterres Loliasi Berbasis Keadilan). pes, ketua dewan pengurus Yayasan Selain kompensasi dan rehabilitasi, HAK. menurut Priscilla Hanyer dan Paul van Padre Juvito sependapat dengan AniZyl dari Amerika Serikat mengatakan, ceto. Perlu adanya sebuah pengakuan rekonsiliasi semestinya juga mengakui yang mendasar dengan tidak melupakan kebutuhan bagi korban kekerasan melalui korban tindakan kejahatan yang dipengakuan dan permintaan maaf, agar lakukan tahun lalu. Untuk itu, lanjut Pasetidaknya dapat membantu memper- dre Juvito, rekonsiliasi jangan dijadikan baikinya. Dengan demikian masyarakat proyek dan menjadikan korban sebagai Timor Lorosae merasa adanya keadilan, objek yang dilupakan. Direktur Radio Titulis mereka dalam laporan tentang Tan- mor Kmanek itu mengandaikan, Dulu tangan Bagi Rekonsiliasi di Timor Lo- rekonsiliasi sebagai upaya untuk menrosae. Kebutuhan atas pemulihan kem- damaikan orang yang berkelahi, tetapi bali dan restitusi para korban setidaknya kini orang menjual perkelahian. Padahal, dapat membantu mengurangi rasa ter- kompensasi dan ganti rugi terhadap kortekan, frustrasi, terhadap tuntutan pidana ban dan keluarga korban harus berjalan yang berjalan sangat lambat, khususnya seiring dengan proses rekonsiliasi itu pada kejahatan yang lebih berat. sendiri. Sementara Jacinto Alves meMembiarkan pelaku kejahatan dan nambahkan, sanksi yang dicari melalui memberikan keringanan hukuman bagi keadilan harus seimbang dengan kepelaku dapat mengundang tindakan pem- jahatan yang telah dilakukan para pelaku balasan baik perorangan maupun ke- kejahatan. lompok dalam masyarakat. Maka, untuk Ya, kita tahu jalan menuju keadilan mamengurangi dampak negatif yang di- sih panjang dan berliku. Tetapi, itu yang timbulkan, baik oleh pelaku kejahatan ditunggu oleh para korban. Dan, kemaupun korban dan keluarga korban pentingan korban itu yang seharusnya pada masa mendatang perlu adanya ke- paling diutamakan dalam sebuah retegasan hukum dan penegakan keadilan. konsiliasi. n Karena itu, hukuman yang diberikan keDireito 11
5 Februari 2001
Info Hukum Peradilan Yang Independen di Timor Lorosae. Mungkinkah? Oleh Rui Pereira dos Santos
B
erdasarkan mandat Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1272/1999 dan Regulasi UNTAET No. 1/1999, jo.Regulasi No.3/1999 telah mengangkat sejumlah hakim, jaksa, dan pengacara. Namun, hingga kini banyak hambatan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum. Dalam pengamatan kami, hanya dijadikan sebagai bahan kampanye kepada dunia internasional bahwa di Timor Lorosae telah ada pemerintahan dan sistem judiciary telah berjalan. Padahal realitasnya semua itu dilakukan tanpa adanya suatu perencanaan dan persiapan yang matang dari UNTAET. Untuk itu, perlu juga dilihat sejauh mana aparat penegak hukum, institusi hukum, dan hukum yang dibuat tersebut dapat bekerja dengan baik. Masalah Infrastruktur dan Fasilitas Pendukung Satu institusi hukum yang diciptakan oleh Pemerintah UNTAET berjalan secara tersendat-sendat. Tidak ada suatu perencanaan yang mantap dari pemerintah. Hal ini dapat dilihat bahwa aparat penegak hukum yang dilantik untuk menjalankan kargo sebagai hakim, jaksa, dan pengacara berdasarkan yurisdiksinya masing-masing, semuanya bertumpuk pada Kantor Pengadilan Distrik Dili. Secara fisik itu akan mempengaruhi pandangan masyarakat bahwa satu kantor yang bersama-sama dihuni oleh hakim, jaksa dan pengacara kemungkinan besar terjadi unsur kolusi dan nepotisme dalam proses penanganan satu perkara. Tetapi hal itu tak pernah terjadi, aparat penegak hukum yang kini bekerja pada UNTAET semuanya telah diambil sumpahnya. Permasalahannya, UNTAET tidak mempersiapkan kantor beserta isinya. Sebagai contoh, lebih dari satu tahun Pengadilan Distrik Dili telah beberapa kali mengusulkan kepada UNTAET untuk menyiapkan buku register perkara, tetapi sampai saat ini tidak dipenuhi. Karena itu Pengadilan Distrik Dili memperbarui buku-buku register pada masa pendudukan Indonesia untuk kembali digunakan. Hal tersebut, membuat proses hukum berjalan lambat. Hambatan terDireito 11
sebut dapat diatasi karena lobby dari hakim dengan partner nya di luar negeri, terutama dari Australia, Portugal, dan Macao. Hingga kini sarana dan prasarana untuk melengkapi kantor Pengadilan Distrik Suai dan Ambeno serta kantor kejaksaan belum juga disiapkan oleh UNTAET. Hal lain yang boleh dikatakan sangat buruk adalah suatu kantor pemerintah hanya namanya saja, tidak ada biaya operasional sehingga membuat rutinitas dari kantor terhambat. Hal ini tentunya harus diperhatikan oleh para leader politik Timor Lorosae, agar pada saat kita memproklamirkan kemerdekaan sebagai negara baru kelak, Timor Lorosae tidak harus memulainya dari nol. Produk Hukum UNTAET Masalah lain yang dihadapi oleh aparat penegak hukum adalah produk hukum yang dikeluarkan oleh UNTAET lebih banyak terkesan asal-asalan.Dalam membuat produk hukum terkesan tanpa memperhatikan aspek-aspek lain yang tidak sesuai dengan situasi dan kultur dari masyarakat Timor Lorosae. Selain itu, apa sasarannya tidak jelas. Hal yang dapat dijadikan contoh adalah pencabutan pasal-pasal penghinaan yang diatur dalam Pasal 310-321 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) oleh UNTAET, kemudian diimplementasikan oleh aparat pelaksana di lapangan hanya dengan Executive Order No. 2/2000. Executive Order tersebut dikeluarkan karena kasus Kay Rala Xanana Gusmao yang dihina oleh Takesi Kashiwagi beberapa waktu lalu. Warga negara Jepang tersebut kemudian ditahan polisi. Tetapi karena desakan dari Pemerintah Jepang kemudian UNTAET mencabutnya dan mengatakan bahwa penghinaan bukan merupakan tindak pidana. Executive Order No. 2/2000 tertanggal 7 September itu telah bertentangan dengan asas hukum yang berlaku universal bahwa aturan hukum yang kedudukannya lebih rendah tidak boleh bertentangan atau mengesampingkan aturan hukum yang lebih tinggi kedudukannya. Dalam putusan hakim Pengadilan Dis5 Februari 2001
trik Dili, gugatan tersebut dimenangkan oleh tersangka, Takesi Kashiwagi. Kini para tergugat tengah melakukan upaya hukum banding. Intervensi Eksekutif Bahwa aparat penegak hukum yang kini mengabdi pada Pemerintahan UNTAET telah mendapat banyak tekanan dan intervensi dari Pimpinan UNTAET, termasuk intervensi dalam proses penyidikan perkara sampai pada tahap yang akan mempengaruhi putusan hakim. Namun, sebagai aparat penegak hukum yang telah diambil sumpahnya tentunya lebih mengutamakan kepentingan masyarakat pencari keadilan di atas kepentingan pribadi. Maksudnya, bagi aparat penegak hukum berlaku: siapa saja yang terlibat dalam tindak pidana, tanpa memandang bulu akan diproses sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Namun, dalam perjalanan semuanya tidak berjalan mulus. Sebagai contoh, kasus seorang berkewarganegaraan Finlandia yang berinisial M menabrak seorang perempuan tua di Bairopite, Dili. Setelah peristiwa itu, M tidak ditahan hanya karena yang bersangkutan secara sukarela menyerahkan paspornya kepada Jaksa Distrik Dili cq. Bagian Legal Adviser CivPol Dili. Tetapi apa yang terjadi kemudian? Ketika sidang perdana atas kasus tersebut, warganegara Finlandia itu tidak hadir. Setelah dicari tahu penyebabnya, yang bersangkutan telah melarikan diri ke negaranya. Ternyata, ada selembar surat sakti dari seorang menteri pada Kabinet UNTAET yang isinya mengatakan bahwa M dapat diadili secara inabsencia. Atas dasar surat sakti itulah kemudian pihak CivPol menyerahkan paspor terdakwa ke Pengadilan Distrik Dili. Kasus tersebut kini masih diproses di Pengadilan Distrik Dili. Melihat permasalahan di atas mungkinkah peradilan yang independen, transparan, tidak memihak dan adil ada di Tin mor Lorosae? Rui Pereira dos Santos adalah hakim pada Pengadilan Distrik Dili 4
Info HAM Instrumen Hak Asasi Manusia Sebagai Norma Hukum Setiap orang punya kewajiban untuk menghargai dan melindungi hak orang lain. Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki setiap manusia, untuk bisa mengembangkan kehidupannya. Sebagai hak dasar yang ada pada makhluk ciptaan Tuhan yang namanya manusia, maka setiap manusia harus memiliki hak itu dan tidak bisa dibatasi, didiskriminasi, dirampas atas dasar jenis kelamin, suku bangsa atau ras, status sosial (kaya-miskin, pendidikan-non pendidikan, buruh-majikan, anak-orang tua, rakyat biasa dan pejabat). HAM terbagi dalam dua kelompok. Pertama, hak sipil dan politik. Hak sipil contohnya adalah hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk bebas bergerak. Sedangkan contoh hak politik adalah hak untuk mengemukakan pendapat atau ide, hak untuk berorganisasi; kedua, hak ekonomi, sosial dan budaya.Contoh hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan upah yang layak, hak sosial contohnya adalah hak atas pelayanan sosial, hak atas bantuan kemanusiaan bagi orang yang mengalami musibah; sedangkan conyoh hak budaya adalah hak untuk menikmati hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, hak untuk mengembangkan kebudayaan.Bila seseorang dengan kekuasaan merampas atau membatasi hak orang lain, maka terjadilah apa yang dinamakan pelanggaran hak asasi manusia. Negara mempunyai tanggungjawab utama dan berkewajiban untuk melindungi hak sipil dan politik, dan mengembangkan hak ekonomi, sosial, dan budaya dari warga negaranya. Bila negara tidak bisa memenuhi tanggungjawab ini, maka dapat dikatakan negara melakukan pelanggaran HAM. Misalnya, apabila terdapat tindakan kriminal merajalela terhadap warganya, maka dikatakan negara melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Begitu pula bila negara tidak menyediakan saranan pelayanan sosial, seperti pusat pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan sekolah, maka negara sedang melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Idiologi HAM muncul karena persoalan kemanusiaan yang terjadi pada saat perang dunia dan pada masa se5
belumnya. Untuk pertama kalinya dideklarasikan oleh Persatuan Bangsa Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, sehingga setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia Sebagai Norma Hukum Tujuan hukum internasional HAM adalah memberikan perlindungan internasional pada hak-hak asasi pribadi dari pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah dan dalam hal tertentu juga pribadi, kelompok, dan organisasi lain dan mengusahakan serta menjamin keadaan kehidupan yang sesuai dengan martabat manusia. Instrumen HAM adalah norma hukum internasional. Setiap negara anggota PBB terikat secara moral dan material terhadap norma tersebut. Instrumen hak asasi manusia terdiri dari deklarasi, kovenan, dan konvensi. Instrumen pokok hak asasi manusia adalah Deklarasi Hak Asasi Manusia, Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan Kovenan tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang dikenal dengan DUHAM sebagai hukum kebiasaan bagi anggota PBB. Sebagai hukum kebiasaan, maka anggota PBB tidak terikat pada isi deklarasi tersebut. Kovenan dan konvensi yang kadang-kadang disebut sebagai perjanjian internasional mempunyai kekuatan mengikat secara hukum (legally-binding). Tetapi ikatan ini terjadi setelah negara bersangkutan ikut dalam perjanjian internasional (kovenan atau konvensi) bersangkutan, yaitu dengan menandatangani dan meratifikasinya (menjadikannya sebagai undang-undang nasional). Misalnya, suatu negera terikat untuk mematuhi isi Konvensi Hak Anak setelah negara bersangkutan menandatangani konvensi ini dan kemudian menjadikannya sebagai undang-undang nasionalnya. Meskipun sebagian intrumen HAM punya kekuatan hukum mengikat, kekuatannya yang sebenarnya tidak di Direito 11
bidang hukum, tetapi di bidang politik. Jika terjadi suatu pelanggaran, penyelesaian di pengadilan bukanlah yang utama. Penyelesaian lebih banyak mengandalkan tekanan politik dalam forum-forum yang sifatnya politis. Misalnya, pelanggaran Indonesia terhadap hak menentukan nasib sendiri rakyat Timor Lorosae, penyelesaiannya bukan di Mahkamah Internasional, Den Haag, tetapi melalui perjuangan frente diplomatica di berbagai forum internasional, dengan peran utama frente clandestina melalui demonstrasidemonstrasi di dalam negeri dan di Indonesia serta negara-negara lain, dan perjuangan bersenjata di dalam negeri. Instrumen Hak Asasi Manusia di Timor Lorosae Masa Transisi Dalam masa transisi, instrumen HAM mendapat kedudukan penting dalam hukum di Timor Lorosae. Peraturan UNTAET No.1/1999 menyebutkan bahwa standar internasional hak asasi manusia berlaku di Timor Lorosae. Standar yang dimaksud khususnya adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948); Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966); Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966); Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1965); Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979); Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan (1984); Konvensi Internasional tentang Hak Anak (1989) Hukum Indonesia diberlakukan sejauh belum dibuat peraturan penggantinya dan tidak bertentangan dengan HAM. Dengan Peraturan UNTAET No. 1/ 1979 praktis berarti bahwa Pemerintah Transisi Timor Lorosae mengikatkan diri dengan instrumen-instrumen HAM. Berarti bahwa instrumen-instrumen HAM telah menjadi hukum yang berlaku (hukum positif) di Timor Lorosae. Masalah ke depan adalah bagaimana membuat instrumen-instrumen HAM ini tetap menjadi hukum positif di Timor Lorosae. n 5 Februari 2001
Wa w a n c a r a Pe. Juvito do Rego de Jesus Araujo:
Rekonsilasi dan Proses Keadilan Tidak Boleh Berdiri Sendiri Anak kelima dari Francisco da Silva Araujo dengan Terezinha de Jesus Araujo ini, lahir pada 23 Mei 1963 di Hato-Lia. Tamat dari Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat dan Teologi Universitas Widya Sasana Malang, Indonesia. Menerima Sakramento Amu Lulik pada 12 Oktober 1996. Jurnalis Direito menemui Amu Juvito, pada pertengahan Januari lalu untuk mewawancarai tentang rekonsiliasi yang sedang ramai dibicarakan oleh elit politik Timor Lorosae. Berikut ini kutipan wawancaranya. Berbagai upaya untuk melakukan rekonsiliasi telah dilakukan. Dan sekarang pihak gereja berinisiatif untuk melakukan hal yang serupa. Bagaimana pendapat Anda? Semua orang punya inisiatif baik dan mempunyai kemauan, tetapi niat baik tidak ada. Ini yang menjadi masalah. Rekonsiliasi yang dulu itu karena perkelahian dan dipanggil untuk saling berdamai. Sekarang ini lain lagi. Orang menjual perkelahian untuk mendapatkan uang, sehingga rekonsiliasi itu dijadikan proyek. Itu yang membuat rekonsiliasi tidak jadi. Kalau melakukan rekonsiliasi, pertemuan antara orang dengan orang lain dan harus menanggalkan semua kepentingan kelompok. Misalnya, masalah yang ada pada saya dan Anda, maka kita harus menanggalkan masalah yang ada. Gereja sekarang ini memprakarsai upaya rekonsiliasi, saya pikir kedua uskup
di Timor Barat sangat kelabakan karena banyak pengungsi yang ada di NTT. Kedua uskup tersebut melihat semua itu menjadi persoalan besar dan orang lain pun juga bisa mendesak mereka, seperti KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia). Gereja adalah universal dan di tempat lain juga mendesak mereka untuk melakukan kegiatan seperti itu. Rekonsiliasi adalah masalah orang Timor Lorosae, pihak yang lain tidak usah mencampuri urusan itu lagi. Ini yang menjadi masalah. Kalau mereka melakukan intervensi, maka rekonsiliasi itu menjadi rumit. Bukan rekonsilasinya tetapi saling berperang lagi. Sebagaimana rekonsiliasi sebelumnya, pro-otonomi selalu mengedepankan kepentingan politiknya sementara pro-kemerdekaan lebih interes pada kepentingan para korban kekerasan. Ini menjadi dualisme pe-
foto,Atoy
Berbicara rekonsiliasi seperti mau menjadi anak. Ribuan anak Timor Lorosae telah menjadi korban. Direito 11
5 Februari 2001
mikiran yang sulit dipertemukan. Menurut Anda apa yang paling penting dari rekonsiliasi itu? Semua orang harus mengerti apa itu rekonsiliasi dan kata rekosiliasi itu dari mana. Kata rekonsiliasi itu bermakna religius. Seperti dalam ajaran agama bahwa orang itu harus bertobat supaya bisa diterima masyarakat, karena dia bersalah melawan komunitas dan bersalah terhadap dirinya serta bersalah terhadap Tuhan. Karena itu harus saling berdamai dan memaafkan. Sekarang kita berbicara rekonsiliasi seperti mau menjadi anak. Dengan merusak segala-galanya dan kembali kepada seorang ayah menerima dengan kedua tangan terbuka lalu bikin pesta. Masuk dengan cincin di tanganya serta memakai sepatu pada kakinya, lalu disembelih kerbau dan bikin pesta. Kalau ini yang dilakukan sama dengan kita menyepelekan orang-orang yang meninggal dan menderita. Sekarang adalah kesadaran setiap orang yang merasa bersalah harus ada dan harus menerima konsekuensinya dong. Maka harus obyektif salah itu dari mana dan kata rekonsiliasi itu harus dilihat dari mana. Dan kalau kata itu datang dari dosa maka semua orang memikirkan kesalahan untuk melakukan pertobatan. Dalam pertobatan yang baik diperlukan lima hal. Pertama, memikirkan kesalahan dengan penyesalan; kedua, orang yang melakukan kesalahan harus pergi bertobat; ketiga, setelah bertobat maka orang itu menerima penetensi; keempat, setelah penentensi itu dipenuhi baru menerima, dan yang kelima adalah absolucao. Penitensi itu harus dipenuhi. Kalau tidak memenuhi penitensia itu tidak bisa karena proses keadilan harus berjalan. Rekonsilasi dan proses keadilan tidak boleh berdiri sendiri. 6
Wa w a n c a r a
Rekonsiliasi jangan di atas puing-puing kehancuran. Tapi siapa yang peduli!
foto,Atoy
Apakah bisa diklasifikasikan proses keadilan itu, seperti kasus tahun 1975 di satu sisi dan tahun 1999 di sisi lain agar rekonsiliasi bisa lebih dibedakan?
nya. Yang masih lemah saat ini adalah tidak saling menerima, bahwa proses kehancuran itu adalah proses menuju kebebasan, derita, dan pada akhirnya cinta.
soalan kedua kubu itu? Ini adalah niat baik mereka untuk mengungkapkan sesuatu. Kontribusi mereka, karena melihat bahwa di dalam pemerintahan transisi ini tidak memungkinkan Persoalannya jarang ada penjahat menghargai usulan orang Timor. Mereka Karena kita terlalu mencampur-adukkan yang mau mengakui ... menganggap orang Timor tak bernilai, tirekonsiliasi, maka kita harus melihat ke dak ada ide, dan orang Timor itu bodoh. depan pada milenium ini. Kita berjalan Ya penjahat sulit mengaku maka kita ti- Karena semua itu maka muncul komite ke depan tetapi mata melihat ke itu. belakang. Bagaimana kita bisa maKomite itu dibentuk untuk meKarena kita terlalu mencampurju ke depan kalau mata kita selalu nunjukkan, bahwa kita, orang Tiadukkan rekonsiliasi, maka kita melihat ke belakang? Dan itu bumor punya indentitas dan orang aharus melihat ke depan. Kita kan kemajuan. Mata itu ada di desing datang harus menghargai itu. berjalan ke depan tetapi mata pan, untuk memandang kedepan. Komite itu bagus dan bukan untuk melihat ke belakang. Bagaimana Bila itu disalahgunakan maka yang menyaingi orang lain, tetapi ini mekita bisa maju ke depan kalau mata nunjukkan bahwa kita mampu. terjadi adalah masuk jurang. Sudah kita selalu melihat ke belakang? masuk jurang pun masih jalan teMalae (orang asing) tidak usah Dan itu bukan kemajuan. Mata itu rus. Nah, rekonsiliasi selama ini terlalu mengajari orang Timor. Maada di depan, untuk memandang membuat kita sering masuk jurang, lae ingin membuat mental kita seke depan. karena mata kita selalu melihat paperti mereka. da masa lalu. Mereka datang di sini bekerja. Semua bersalah pada masa lalu karena dak terlalu pusing. Siapa yang ingin ti- Coba Anda lihat apakah mereka ke peitu sekarang tinggal kita mengakui. Te- nggal di Indonesia silakan saja, tidak usah dalaman atau ke distrik-distrik mereka tapi, tidak boleh menggunakan dalil untuk dipanggil lagi untuk datang. Rakyat kecil berbicara dengan orang Timor yang bomembenarkan tindakan yang dilakukan yang perlu diselamatkan kalau mereka doh? Tidak! Mereka ke sana menemui pada tahun 1999, karena mata kita masih ingin kembali. Namun kebebasan tetap dan mencari teman mereka yang ada di terbuka sampai sekarang. diberikan pada mereka untuk memilih. UN dan mereka tidak tahu apa yang terTidak perlu memikirkan, kalau mereka jadi di sana. Setelah itu mereka inforFaktor lain apakah gereja sebagai tidak kembali akan terjadi begini atau be- masikan bahwa di sana orang tidak memmediator atau turut memberikan so- gitu.Terlalu banyak pertimbangan begini permasalahkan UN. lusi dalam rekonsiliasi? atau begitu. Kita juga harus memperPemandangan lain, mereka datang di hitungkan bahwa Indonesia juga semakin sini ada yang mandi dengan air mineral. Dari surat uskup menganjurkan bagai- berubah. Kita mendukung proses de- Itu benar karena mereka jijik (hakribi) mana menunjukan jalan agar bagaimana mokratisasi di Indonesia menjadi negara air dan makanan orang Timor dan yang orang-orang bisa menjalankan rekon- yang baik dan tetangga yang baik. lain lagi. Maka malae harus keluar dari siliasi itu. Kalau ingin sungguh-sungguh sini. Rekonsiliasi akan berjalan dengan menyelesaikan, harus dengan keren- Apakah dengan dibentuknya Komisi cepat kalau malae keluar. Akan lebih baik dahan hati dan pergorbanan serta meng- Kebenaran, Penerimaan dan Re- lagi kalau mereka keluar tahun ini juga.n akui kelemahan satu dengan yang lain- konsiliasi dapat menyelesaikan per7
Direito 11
5 Februari 2001
O p i n i
Rekonsiliasi Berbasis Keadilan Oleh Aniceto Guterres Lopes
Berbicara mengenai rekonsiliasi, pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dijawab adalah mengapa rekonsiliasi menjadi penting? Untuk apa kita melakukan rekonsiliasi? Rekonsiliasi antara siapa dengan siapa? Dan bagaimana rekonsiliasi dilaksanakan?
Ide mengenai pentingnya rekonsiliasi telah santer dikampanyekan kepada masyarakat luas sejak sebelum referendum, 30 Agustus 1999. Di satu sisi rekonsiliasi dipahami sebagai upaya jabat tangan dan saling maaf-memaafkan antara dua pihak yang bermasalah. Pada sisi lain muncul suara kritis dari masyarakat yang menghendaki rekonsiliasi harus berbasis pada keadilan. Terlepas dari apa arti kata rekonsiliasi, sangat penting untuk melihat usaha rekonsiliasi dari berbagai sudut pandang dan meletakkannya dalam konteks di mana rekonsiliasi akan berproses. Rekonsiliasi dalam konteks Timor Lorosae tidak semata-mata beraspek politik. Tetapi terkait erat dengan persoalanpersoalan sosial, budaya, ekonomi, hukum, bahkan moral. Rekonsiliasi dan Keadilan Pendudukan Portugal dan Indonesia telah membuat rakyat Timor Lorosae tercabik-cabik dalam kelompokkelompok yang saling bertikai.Yang paling akhir adalah terbaginya rakyat dalam kelompok pro-integrasi dan prokemerdekaan. Berbagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia dan ketidakadilan telah terjadi selama masa pendudukan, baik yang dilakukan langsung oleh penguasa kolonial pendudukan maupun melalui perantaraan kelompok masyarakat yang dipecahnya. Di antara sesama ada yang saling membunuh, saling menindas, saling merampas atau saling menjarah. Sementara tidak ada perlindungan hukum yang efektif untuk mendapatkan keadilan yang merupakan hak fundamental bagi setiap orang. Puncak dari pengkotakan dan penindasan terjadi pasca referendum, ketika mayoritas mutlak Timor Lorosae menyatakan tekadnya untuk bebas dari penjajahan dan pendudukan Indonesia
Direito 11
untuk menjadi rakyat yang merdeka. Milisi pro-integrasi beraksi dengan dukungan dan perintah TNI telah melakukan operasi pembumihangusan dan rakyat sipil yang dianggap pro-kemerdekaan menjadi target mereka. Dalam operasi tersebut, banyak penduduk sipil telah menjadi korban dari berbagai kejahatan yang terjadi yakni pembunuhan, pemerkosaan terhadap kaum perempuan, penyiksaan dan pemaksaan untuk mengungsi, pembakaran dan penjarahan terhadap semua milik rakyat sipil. Harus diakui bahwa berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan telah mengakibatkan penderitaan fisik dan batin yang luar biasa. Lebih dari itu harkat dan martabat kemanusiaan rakyat Timor Lorosae terinjak-injak. Rakyat Timor Lorosae telah mengalami tahap sejarah yang sungguh gelap dan pahit dalam kehidupannya sebagai manusia dan bangsa. Dalam konteks ini kita dapat bertanya kapan dan bagaimana menghapus masa lalu yang gelap itu sekaligus memulai babak sejarah yang baru? Setelah menghirup udara kebebasan dari pendudukan Indoenesia, kini Timor Lorosae memasuki masa persiapan untuk mendirikan negara bangsa yang baru. Negara bangsa yang baru harus dimaknai dengan membangun kembali suatu masyarakat baru yang bebas dari masa lalu yang penuh dengan penindasan, pelanggaran hak-hak asasi manusia dan ketidakadilan. Suatu masyarakat Timor Lorosae yang menjadi idaman seluruh rakyat, yakni masyarakat yang menjunjung tinggi hukum, hak asasi manusia, demokrasi dan keadilan. Oleh karena itu, sesungguhnya usaha rekonsiliasi yang marak saat ini perlu diletakan juga dalam konteks persoalan masa lalu yang harus diselesaikan sekaligus meletakan dasar untuk membangun masyarakat baru yang diharapkan. Dalam hal ini, jelas bahwa rekonsiliasi lebih dari sekadar usaha politis semata, berupa maaf-memaafkan, jabat tangan, peluk-pelukan dan membentuk pemerintahan bersama, yang pada akhirnya hanya melanggengkan impu5 Februari 2001
nity (pembiaran pelaku/orang-orang yang harus bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukannya). Rekonsiliasi yang demikian malah mengingkari nilai-nilai hak asasi manusia dan keadilan yang justru harus menjadi unsur utama dalam membangun masyarakat baru di masa depan. Perasaan keadilan pihak yang menjadi korban akan berbicara yang kemudian dapat berwujud dalam bentuk ketidakadilan yang baru, dan demikian seterusnya bagaikan sebuah lingkaran setan, apabila lingkaran impunitas tersebut tetap dibiarkan tidak tersentuh. Pendekatan Hukum Menjadi prinsip bahwa rekonsiliasi harus berbasis pada usaha untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, terutama para korban. Tetapi keadilan tidak bisa ditegakkan tanpa kebenaran. Karena itu adalah penting untuk mengungkap faktafakta pelanggaran dan ketidakadilan sebelum diusahakan penyelesaian melalui mekanisme penegakkan hukum ataupun mekanisme lainnya. Artinya, keadilan harus berbasis pada kebenaran. Sebab kalau tidak keadilan yang diperoleh adalah keadilan semu dan tidak pasti. Upaya memperoleh keadilan dapat dicapai melalui suatu proses penegakan hukum yang adil bagi korban, masyarakat maupun pelaku kejahatan itu sendiri. Proses ini tidak hanya penting untuk menjamin keadilan bagi para pihak yang berkepentingan, tetapi juga demi kepentingan kewibawaan hukum itu sendiri yang terus-menerus akan berfungsi memberikan perlindungan secara efektif kepada semua orang. Proses hukum bekerja melalui institusi pengadilan internasional, nasional dan mekanisme penyelesaian adat tergantung pada bobot maupun luasnya dampak dari suatu kejahatan yang merupakan wadah untuk meminta pertanggungjawaban terhadap seseorang yang telah melakukan kejahatan secara resmi dan transparan tanpa melanggar nilai-nilai hak asasi manusia yang harus dijunjung. Selain memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku yang 8
O p i n i bertanggungjawab, pengadilan mempunyai peran untuk menggali kebenaran karena tanpa kebenaran meski kasuistis pengadilan tidak dapat memberikan putusan yang adil. Dalam hal ini Pengadilan juga menjadi wadah untuk membuka pintu mengenai kebenaran dari suatu kejadian dan memastikan kepada masyarakat, agar masyarakat tahu bahwa kasus tersebut telah diselesaikan melalui proses hukum yang berlaku. Pengungkapan kebenaran tidak hanya penting untuk sebuah proses hukum bagi suatu keadilan formal melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Pengungkapan kebenaran juga demi kepentingan untuk meluruskan dan menulis sejarah masa lalu rakyat Timor Lorosae sebagai satu bangsa, menjamin hak masyarakat terutama para korban maupun keluarganya untuk memastikan tentang apa yang sesungguhnya terjadi, dan memberikan kesempatan kepada masyarakat korban melaksanakan tradisi sesuai adat kebiasaannya yang masih dianut. Dari proses yang demikian, luka batin yang dialami korban atau keluarganya dan masyarakat diharapkan sedikit demi sedikit dapat terobati, baik sebelum maupun setelah proses hukum, yang pada gilirannya dapat mendorong masyarakat untuk saling memaafkan atau melupakan masa lalu. Keadilan melalui proses hukum adalah relatif dan biasanya butuh proses yang panjang dan mahal. Karena itu dalam konteks rekonsiliasi, penegakan hukum tidak boleh dilihat sebagai satu-satunya sarana untuk menyelesaikan persoalanpersoalan masa lalu dan menjamin keadilan kepada para korban. Meskipun demikian usaha atau proses penegakan hukum sangatlah penting untuk menciptakan preseden atau meletakan landasan bagi kehidupan negara Timor Lorosae ke depan, sehingga hukum itu dapat menjadi instrumen utama yang berwibawa guna melindungi hak-hak asasi manusia dan menjamin keadilan. Hasil dari proses hukum tersebut bisa menyebabkan seseorang bebas tidak terbukti bersalah dan ada juga yang bersalah namun diampuni (amnesty) karena perbuatannya mungkin termasuk pada kategori tertentu untuk diampuni berdasarkan suatu konsesus. Namun ada juga yang pasti dihukum masuk penjara, dan di sana sesuai konsep penjara mo9
dern disebut lembaga pemasyarakatan, di mana penjara tidak lagi dilihat sebagai tempat yang menghinakan atau tempat melampiaskan balas dendam para terhukum akan dapat menjalani proses rehabilitasi dengan tujuan, agar orang tersebut minimal sadar akan perbuatannya dan tidak mengulanginya lagi ketika dikembalikan kepada masyarakat. Proses seperti jelas akan membawa dampak positif dalam usaha membangun masyarakat Timor Lorosae yang baru dalam negara baru. Keadilan yang Utuh Selama ini orang hanya berbicara mengenai keadilan dalam pergertian, bahwa orang yang bersalah diadili kemudian di bawa ke penjara. Namun bagaimana dengan nasib orang yang menjadi korban? Orang tidak memikirkan dampak yang bakal atau telah ditimbulkan bagi korban, di mana nasib korban bukan hanya diabaikan oleh pelakunya namun juga pemerintah. Orang yang menjadi korban keluarganya harus juga diberi ganti rugi atau kompensasi dan rehabilitasi. Itulah
Rekonsiliasi dalam konteks Timor Lorosae tidak sematamata beraspek politik. Tetapi terkait erat dengan persoalan-persoalan sosial, budaya, ekonomi, hukum, bahkan moral. pengertian dari konsep keadilan yang utuh menurut hukum. Sebab seseorang dihukum bukan hanya karena melanggar suatu aturan hukum pidana Nasional maupun Internasional (misalnya kejahatan perang, genocide dan sebagainya), tetapi juga karena perbuatannya menimbulkan akibat tertentu. Kalau pelakunya dinyatakan bersalah kemudian dihukum, maka harus ada juga pertanggungjawaban atas akibat dari perbuatannya. Hukuman yang diberikan kepada seorang pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya tidak bisa diperhitungkan dengan akibat yang ditimbulkan pada sang korban. Jika tidak ada usaha memberikan kompensasi dan rehabilitasi terhadap korban, maka keadilan tidak atau belum Direito 11
berjalan. Misalnya saja seorang istri yang suaminya dibunuh, mengalami tekanan batin. Atau, seorang perempuan yang suaminya dibunuh oleh seorang pejabat dan melalui proses hukum pejabat tersebut dinyatakan bersalah dan dikenakan hukuman penjara selama 10 tahun, sementara perempuan yang kehilangan suaminya harus menjalani dua peran. Ia menjadi tulang punggung keluarga sekaligus menghidupi anak-anaknya dalam keadaan ekonomi yang serba kekurangan. Sementara isteri dan anak pejabat tersebut masih dapat hidup dari kekayaan hasil korupsi atau pemberian TNI karena jasa-jasanya membela otonomi. Sebaliknya, isteri dan anak sang korban hidupnya akan semakin melarat. Di sini perasaan orang normal yang awam sekalipun akan mengatakan bahwa itu tidak adil. Dalam proses hukum dikenal adanya pidana denda, namun selama ini denda yang dimaksud adalah denda yang diberikan kepada negara, tidak pada korban yang secara langsung mengalami penderitaan fisik dan mental atau keluarga yang telah kehilangan anggota keluarganya akibat perbuatan seseorang atau sekelompok orang. Persoalannya siapa yang bertanggungjawab atas ganti rugi atau kom-
pensasi maupun rehabilitasi kepada para korban? Apakah pelaku yang telah dihukum itu? Pemerintah apakah Pemerintah Timor Lorosae, UNTAET, atau pemerintah Indonesia? Atau badan-badan sosial? Jawaban atas pertanyaan itu menjadi penting, tidak semata-mata karena soal pertanggungjawaban akan nasib seorang korban. Tetapi lebih dari itu, agar seorang korban dan keluarganya dapat dipulihkan keadaannya dan memulai hidup baru, yang pada akhirnya dapat membantu menciptakan keseimbangan sosial-ekonomi atau keadilan dalam masyarakat baru dalam Timor Lorosae yang baru. Dengan demikian, rekonsiliasi tidak hanya dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri apalagi dipandang sebagai sebuah event, tetapi rekonsiliasi adalah sebuah proses dalam konteks rekonstruksi nasional untuk menciptakan masyarakat idaman. n 5 Februari 2001
Serba Serbi Kegiatan Rumah Rakyat Maubisse
P
ada 13 Januari lalu Yayasan HAK melalui Rumah Rakyat di Maubisse mengadakan pertemuan dengan kelompok tani di Colokao, Sub-distrik Alas, di Distrik Same. Fernando da Costa memfasilitasi pertemuan yang membahas tentang panen yang telah dihasilkan. Hasil panen berupa jagung dan padi di sana cukup memuaskan, tetapi petani kesulitan untuk memasarkan hasilnya, tutur Fernando. Hambatan itu dikarenakan lokasi Colokao yang belum terjangkau oleh sarana transportasi, apalagi pusat pasar terletak di Same Kota. Meskipun demikian, kelompok tani dampingan Yayasan HAK yang berjumlah 25 orang itu dalam waktu dekat akan membuka lahan baru seluas dua hektar. Upaya yang mereka lakukan saat ini adalah memperbaiki selokan irigasi dari Sungai Laklo sepanjang tiga kilometer. Persoalan transportasi juga dialami oleh kelompok tani di Nabularan padahal pada musim panen kali ini mereka telah menghasilkan jagung dan padi sekitar 80 ton. Mengatasi hambatan transportasi? Seperti juga dengan kelompok tani dampingan Yayasan HAK di wilayah lain, kata Fernando da Costa, untuk sementara kami akan membantu kendaraan untuk memasarkan hasil pertanian mereka. Kegiatan lain adalah mengikuti pertemuan untuk menyelesaikan kasus tanah yang terjadi di Suco Umarberloik, di Alas. Perselisihan itu terjadi antara Suco Umabereloik dan Suco Mahaquidan. Mereka mempersoalkan penguasaan
D
alam menyikapi proyek yang ditawarkan UNTAET tentang civic education, NGO forum telah menyikapi program tersebut dengan menyelenggarakan diskusi rutin setiap hari Rabu dan Jumat. Diskusi yang telah berlangsung selama tiga bulan itu, menurut rencana akan berkahir sebelum pemilihan umum perdana Timor Lorosae. Berbagai persoalan diangkat dengan menghadirkan seluruh anggota NGO Forum yang berjumlah 12 organisasi. Inti dari materi yang dibahas adalah proses penyelenggaraan negara, di antaranya mengenai proses pemilihan umum, sistem ekonomi Direito 11
Pelatihan Hak Asasi Manusia Bagi Pelatih
batas wilayah antara Aldeia Umaferik yang merupakan batas wilayah Suco Umabereloik dan Aldeia Beremanek yang merupakan batas wilayah Mahaquidan. Pertemuan yang melibatkan Sekretaris Zona Alas, Agusto Fernandes itu akhirnya berhasil menyelesaikan perselisihan tersebut secara adat. Kedua kelompok kemudian membuat kesepakatan secara tertulis dengan membagi dua batas wilayah tersebut, yakni tiga perempat luas tanah ditempati oleh Aldeia Beremanek dan sisanya ditempati oleh Aldeia Umaferik. Kesepakatan itu juga disebarluaskan secara lisan kepada masyarakat, tutur Fernando da Costa. Sementara itu, Manuel Monteiro pada 22 Januari mengkonfirmasi tuntutan para petani kopi terhadap NCBA di NunoMoque, Mulo di Dare, Mauchiga, Tatiri dan Aituto Rina, di Distrik Ainaro. Menurut informasi yang diperoleh, pihak NCBA memang belum melunasi hasil pembelian kopi dari para petani di wilayah tersebut pada saat sebelum referendum, dua tahun lalu. Pihak NCBA pasti akan melunasinya asalkan petani menunjukkan bukti jual beli yang pernah dilakukan, begitu penjelasan Alberto dan Januario, pengurus NCBA. Para petani di wilayah itu, menurut Monteiro, sulit memenuhi permintaan pihak NCBA. Bukti jual-beli kopi tersebut tentu saja telah menjadi abu karena rumah mereka telah dibakar ketika pembumihangusan yang terjadi pada September 1999 lalu. n
NGO Forum Merancang Materi Civic Education kerakyatan, hak asasi manusia, sistem demokrasi, partai politik, bentuk negara, organisasi masyarakat, ideologi dan institusi negara Timor Lorosae. Diskusi rutin ini, dimaksudkan untuk pendidikan politik rakyat menjelang pemilihan umum mendatang. Dengan demikian rakyat Timor Lorosae dapat mengetahui, mengenal, mengikuti proses penyelenggaraan pesta demokrasi dan semua sistem penyelenggaraan negara Timor Lorosae ke depan. Tak sebatas hanya itu. Dengan program civic educa5 Februari 2001
S
elama empat hari, dari 17-20 Januari 2001 lalu, diselenggarakan pelatihan hak asasi manusia bagi pelatih. Acara yang diselenggarakan di bekas Gedung SPGK (Sekolah Pendidikan Guru Katholik) di Baucau itu atas kerjasama Komisi Keadilan dan Perdamaian Diosis Baucau dan CRS (Catholic Relief Service). Pelatihan itu difasilitasi oleh Aniceto Nevez dari Yayasan HAK, Mena dari Fokupers, Galuh dan Lia dari Seksi HAM UNTAET. Peserta yang berjumlah 58 orang merupakan utusan gereja Diosis Baucau, OMT, para guru-guru sekolah, responsable CNRT distrik, dan wakil juventude di wilayah Diosis Baucau, yang meliputi Distrik Manatuto, Baucau, Viqueque dan Lospalos. Fokus materi pelatihan itu dibagi atas dua. Pertama, pengenalan HAM dan pelanggarannya, hukum dan keadilan, rekonsiliasi dan sistem peradilan selama masa transisi. Kedua, memperkenalkan sistem pendidikan partisipatoris yang dilanjutkan dengan praktek. Dalam praktek para peserta diperkenalkan bagaimana seorang pelatih merencanakan sebuah pelatihan di tingkat basis dengan metode pendidikan partisipatoris. Selain itu, dihadirkan pula dua narasumber, masing-masing Edite, hakim dari Pengadilan Distrik Baucau dan Marito Reis, kordinator UNTAET Distrik Baucau. Edite membahas materi tentang sistem peradilan selama masa transisi sedangkan Marito Reis membahas tentang apa yang dilakukan UNTAET. n
tion ini dapat membantu memberikan informasi yang tepat bagi rakyat, agar mereka turut memiliki dan bertanggung jawab atas nasib bangsa ini. Dua topik materi yang masih disisahkan antaranya masalah ideologi dan institusi. Sesuai rencana semua materi akan berakhir dalam bulan Januari 2001. Semua hasil diskusi tersebut dikompilasi untuk kemudian dibukukan sebagai bahan civic education dan akan disosialisasikan kepada masyarakat oleh semua anggota NGO Forum sebelum pemilihan umum mendatang n 10
Ami Lian Rekonsiliasi Jangan Hanya di Mulut Saja
Orang Yang Membunuh Harus Dihukum
Rekonsiliasi Harus Melihat Akar Masalah Yang Sebenarnya
Kalau kita mau melakukan rekonsisliasi maka kita harus jujur. Jangan dalam hati atau pikiran lain dan dari mulut yang keluar lain lagi. Itu bukan rekonsisliasi, tetapi saling membohongi. Kita harus jujur. Kalau tidak, sampai kapan dan di mana pun rekonsisliasi tidak akan berhasil. Rekonsiliasi bukan hanya dilakukan secara ekstern tetapi juga intern. Antar partai tidak boleh saling bertengkar dan saling berkelahi lagi, seperti Fretilin dengan CPD-RDTL. Mereka pun perlu rekonsiliasi. Rekonsiliasi itu bukan hanya dengan orang-orang yang ada di Nusa Tenggara Timur tetapi perlu juga dengan partai yang bertikai pada zaman dulu. Yang melakukan pelanggaran HAM harus dibawa ke pengadilan. Bukan dengan rekonsiliasi orang yang terlibat dalam tindak kriminal dibiarkan. Kecuali, kalau ada konsensus yang sangat luar biasa. Kita tidak boleh berbicara atas nama orang lain yang perasaannya lain. Menurut saya, ini bukan rekonsiliasi. n
Rekonsiliasi itu benar untuk orang yang keluargannya tidak menjadi korban. Karena bagi mereka, itu agak ringan dan tidak menjadi masalah. Bagaimana dengan kami yang keluarganya menjadi korban pembunuhan milisi dihadapan kita? Apakah kita terima saja rekonsisliasi tanpa proses keadilan? Kami merasa iri dengan milisi yang datang tetapi tidak ditangkap atau dihukum. Apakah kita akan berrekonsisliasi dengan orang yang membunuh dihadapan kita? Itu tidak mungkin. Para milisi kalau datang harus ditampung di suatu tempat untuk diproses secara hukum.Pada bulan September 1999, para milisi itu yang menghancurkan semuanya di kota Dili sampai ke setiap kabupaten. Kalau mereka datang kita menerimanya begitu saja, itu tidak adil dan tidak wajar. Bahkan, saya sebagai keluarga korban belum pernah ditanya masalah rekonsiliasi oleh para pembesar di sini. n
Dalam Kadalak Sulimutu Institut (KSI), sudah ada program rekonsisliasi dan reintegrasi. Pekerjaannya terfokus pada masyarakat yang ada di kota kecil atau suco di pedalaman. Saya belum sampai ke tingkat yang lebih tinggi, tetapi apa yang dapat saya sampaikan lebih pada apa yang dilakukan oleh UNTAET dan CNRT untuk menyukseskan proses rekonsiliasi. Di sini dapat dikatakan bahwa rekonsiliasi itu bukan hanya rekonsiliasi damai dengan orang pro-integrasi, tetapi terlebih dahulu kita harus memperbaiki dari dalam negeri. Sekarang banyak terjadi konflik di Timor Lorosae, terutama di Dili. Saya pikir itu bukan bagian dari tindakan kita, tetapi adanya penyusupan dari luar yang ingin memperkeruh suasana. Rekonsiliasi yang kini sedang digalakkan oleh UNTAET dan CNRT merupakan jalan keluar yang bagus. Namun, perlu investigasi lebih lanjut mengenai konflik internal yang terjadi sebelumnya antara elit politik dan partai-partai politik yang ada. Kalau rekonsiliasi hanya dilakukan dengan orang-orang yang ada di Nusa Tenggara Timur (Indonesia), itu namaya kita memberi perhatian pada masalah yang ada di luar. Sedangkan masalah yang terjadi di dalam negeri tidak ada perhatian yang serius. Saya harus mengakui, bahwa saya termasuk orang belum berpengalaman dalam membicarakan masalah rekonsiliasi, tetapi berdasarkan apa yang saya lihat di basis, bahwa masyarakat telah siap untuk menerima mereka yang ingin kembali ke Timor Lorosae. Termasuk mereka yang melakukan tindak kriminal pada September 1999. Tetapi yang lebih penting menurut saya adalah kita menyelesaikan masalah rumah tangga kita. Karena mereka yang melakukan tindak kriminal itu bukan sesuatu yang baru, tetapi telah muncul sejak 1975 dan puncaknya pada September 1999. Jadi, semua orang bersalah dalam konflik yang telah terjadi. Karena itu, rekonsisliasi tidak boleh hanya dilihat pada orang yang melakukan kriminal, tetapi harus melihat akar permasalahan yang sebenarnya. n
(Clementino dos Reis Amaral, Anggota NC) ***
(Joana Fatima Almeida, keluarga korban Penyerangan Diosis Dili) ***
Rekonsiliasi Harus Berjalan di Bawah Hukum Zaman ini telah ditandai dengan kekerasan. Tetapi, masih ada orang yang berbicara mengenai kebenaran dan antikekerasan. Orang Timor Lorosae dengan latar belakang politik yang berbeda dari dua kelompok, yakni: kelompok pro-kemerdekaan dan kelompok prootonomi. Kelompok pro-otonomi, pada akhirnya mengambil jalannya sendiri dengan melakukan tindakan kekejaman yang didukung oleh militer Indonesia untuk membumihanguskan Timor Lorosae dan membunuh sesama orang Timor. Kini, jalan penyelesaiannya melalui kompromi politik dengan topeng rekonsiliasi. Saya adalah salah satu korban. Ayah saya dibunuh oleh milisi dengan senjata pemberian TNI. Jalan rekonsiliasi, menurut saya, itu sah-sah saja; karena cara penyelesaiannya bersifat reuniratif. Masalahnya, apakah sudah mempertimbangkan akibat buruk dari penyelesaian melalui kompromi politik? 11
Ataukah justru akan menimbulkan tindakan yang anarkis. Menurut hemat saya, cara penyelesaian konflik dengan pendekatan rekonsiliasi hanya akan merugikan golongan bawah, sebaliknya menguntungkan golongan atas. Dan mungkin saja, para leader menganggap mereka sebagai aktor pembuka dan sekaligus sebagai aktor penutup dari seluruh kejahatan dan masalah pelanggaran hak asasi manusia pada 1999. Sebagai orang yang buta politik, hemat saya adalah bahwa proses hukum harus berjalan bersamaan dengan rekonsiliasi. Sehingga apa yang diharapkan oleh semua orang akan terwujud dalam praktek. Kita tidak dapat mengandalkan kompromi untuk menyelesaikan masalah hak asasi manusia. Timor Lorosae sebagai negara yang baru harus dibangun di atas dasar hukum dan menghargai martabat umat manusia. n (Norberto Gomes, Cassa-Ainaro). ***
Direito 11
(Maria Angelina, Kadalak Sulimutu Institut/ KSI).
5 Februari 2001
P
Ami Lian
ada awalnya rekonsiliasi merupakan aspirasi dari masyarakat dan itu terbukti pada saat Kongres CNRT. Utusan atau delegasi dari setiap distrik mengizinkan sebuah proses rekonsiliasi yang berbasis pada keadilan. Sebelum dibentuk komisi rekonsiliasi pada Juni lalu, inisiatif itu datang dari CNRT melalui workshop. Fokupers (Forum Komunikasi untuk Perempuan Timor Lorosae) turut diundang untuk membentuk satu kelompok atau komisi rekonsiliasi. Namun dengan adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, UNTAET kemudian membentuk steering committee yang melibatkan antara lain Fokupers, ETWave dan CNRT yang dulu telah membentuk satu komisi. Selain itu, terlibat pula pihak gereja, Komisi Keadilan dan Perdamaian, Yayasan HAK, dan presidium pemuda. Tujuan komisi tersebut adalah untuk membagi satu era di mana telah terjadi banyak pelanggaran hak asasi manusia. Dan proses penyelesaian satu konflik itu melalui satu rekonsiliasi yang berbasis pada keadilan. Dengan mengingat kembali bahwa telah ada regulasi UNTAET No.15/2000, bahwa tiap kasus yang terjadi telah dikategorikan sebagai serious crime. Pengadilan yang mempunyai wewenang untuk mengadili kasus kasus tersebut harus berfokus pada kegiatan pokok, antara lain bagaimana bisa menerima kembali mereka yang masih di pengungsian dan ada mekanisme untuk mengembalikan me-
S
ebagai putra Timor Lorosae, saya pun berhak untuk melihat berbagai persoalan termasuk proses rekonsiliasi yang sedang diupayakan. Ada dua aspek yang perlu diperhatikan jika berbicara masalah rekonsiliasi. Apakah secara politk atau secara hukum. Jika bersifat politik maka konsekuensi logisnya adalah pengampunan, sebaliknya jika secara hukum berarti setiap pelaku tindak kejahatan berat akan diproses secara hukum. Setelah itu, baru menuju tahap pengampunan. Untuk itu, menjadi tanggungjawab berat bagi rakyat Timor Lorosae terutama para elit politik untuk memutuskan agar rakyat dapat memahami kondisi riil dan
Upaya Untuk Mencapai Rekonsiliasi reka dalam komunitas sosial, dan bagaimana melakukan negosiasi dengan komunitas. Selain kasus-kasus tersebut, ada pula kasus-kasus yang dikategorikan sebagai kasus ringan. Dan ini bukan wewenang komisi untuk menyelesaikan selain dengan kesepakatan atau persetujuan dari pihak pengadilan. Mandat yang dipegang oleh komisi dengan masa jabatan dua tahun dan jika masih diperlukan bisa diperpanjang enam lagi. Selain itu, akan ada komisaris yang bertaraf nasional yang terdiri tujuh orang dengan kandidat masing-masing dua orang dari komunitas internasional dan lima putra Timor Lorosae. Sebagai sarana pendukung akan dibangun lima kantor regional dan satu kantor satelit. Semua rancangan telah ada di tangan kabinet dengan persetujuan NC yang kemudian disahkan oleh Sergio de Mello. Kita telah mengadakan satu investigasi maupun konsultasi ke semua distrik dan partai politik. Begitu pula bagi kaum perempuan. Akan ada konsultasi mengenai proses rekonsiliasi yang sedang berjalan dan untuk selanjutnya panel yang akan menyeleksi, karena komisaris itu dibentuk dengan satu panel yang melibatkan banyak pihak. Selain itu, ada juga partai politik yang
terlibat didalam komisi tersebut, antara lain Fretilin dan UDT. Mengapa kedua partai politik tersebut ikut dalam panel tersebut? Selain tujuan komisi pada rekonsiliasi, salah satunya adalah untuk mencari kebenaran. Karena kebenaran itu sendiri akan mempermudah investigasi tentang fakta-fakta sejarah yang terjadi sejak tahun 1974 hingga kini.Tujuan utama adalah membangun jembatan rekonsiliasi, tetapi dengan prinsip tetap menghormati dan menghargai hak asasi manusia. Namun, saat ini kami dari Fokupers terlebih dahulu ingin mencari kebenaran. Sampai sekarang proses yang terjadi ada yang mau dan sebagian lagi termasuk elit politik mencoba menghambat program tentang kampanye politik. Katanya, masyarakat masih trauma dengan perang saudara. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, lebih baik kita mencari sebuah fakta atau kebenaran. Dengan demikian kita tidak perlu saling menuduh satu sama lain di antara partai politik, baik itu Fretilin maupun UDT. Tetapi menganalisi tentang siapa sebenarnya yang berada di balik itu semua, karena banyak di antara kita yang tidak tahu tentang Operasi KOMODO, terutama generasi muda. Jadi, sebelum masuk pada tahap rekonsiliasi terlebih dahulu kita mencoba untuk mencari dan menemukan berbagai kebenaran dari segala peristiwa yang terjadi di Timor Lorosae. n
(Domingas Alves, Ketua Dewan Anggota Fokupers) ***
dikibarkannya kembali bendera Merah Putih di Timor Lorosae oleh pihak prootonomi, itu bukan rekonsiliasi. Sebab kita memiliki niat yang tulus untuk melakukan permasalahan dari proses rekonsiliasi itu. rekonsiliasi dengan pihak pro-otonomi. JiJika kita menyinggung masalah hukum, ka mereka menolak tawaran itu -- denkita perlu melihat bahwa prosesnya tidak gan catatan atau alasan politik -- untuk hanya sebatas pada peraturan yang ber- apa rekonsiliasi harus kita lanjutkan? laku, atau pengampunan yang terjadi diSaya ingin menyampaikan pada tingkat elit politik. Tetapi perlu dilihat juga leader politik, bahwa rakyat perlu merasa keadilan yang muncul dari rakyat ngetahui apa agenda yang akan dibicakecil. rakan. Para elite politik tidak perlu memSebagai generasi muda, rekonsiliasi bawa agenda politik yang tidak diketahui merupakan jalan yang terbaik jika kita rakyat. Itu tidak sehat. Sebab, rekonsiingin berpikir tentang masa depan Timor liasi harus merupakan aspirasi dan keLorosae. Tetapi jika tawaran rekonsiliasi inginan dari rakyat. n masih dalam kerangka menghendaki (Ajelito dari LAIFET)
Agenda Rekonsiliasi Harus Transparan
Redaksi Direito
Neves, Julio, Nk, Lito, Ti, Oscar, Julito, Avan, Viana, Edio
*** Diterbitkan atas dukungan: