Yayasan HAK Jl. Gov Serpa Rosa no. T-095 Farol - Dili Timur Timor Timur Tel (0390) 313323 Fax (0390) 313324
E ditorial Menghitung korban kekerasan bersenjata, tentu berlebihan jika mengatakan dalam 5 bulan terakhir melebihi rekor sebelumnya. Yang menjadikan kejadian-kejadian terakhir istimewa adalah karena terjadi ketika proses penyelesaian damai masalah Timor Timur, secara praktis telah melibatkan masyarakat internasional. Hal lain adalah bahwa dalam periode terakhir ini terjadi ‘pengakuan’ terhadap kompetensi hukum Indonesia untuk diberlakukan di Timor Timur, melalui kesepakatan 5 Mei di New York. Hukum seolah tak bergigi. Kekerasan mudah saja dipakai untuk memperjuangkan tujuan politik. Rakyat, termasuk perempuan dan anak-anak, dipaksa merangkak di hadapan ambisi politik penguasa. Demi sebuah Otonomi?
TERKOYAK. Demi Prinsip?
Direito Dwi
Mingguan
Hak
Asasi
Manusia
Perempuan Disekap Jadi Pelayan Milisi
M
ilisi punya cara sendiri untuk memelihara pasukannya, yaitu dengan cara memperbudak orang lain. Sekurangnya 31 perempuan tak berdosa di Bazartete disekap oleh milisi Besi Merah Putih (BMP) di bawah pimpinan Jacinto Gonçalves. Kepada Direito beberapa korban mengaku menjadi tawanan. Katanya, sebagai ‘jaminan’ bagi pejuang otonomi di daerah itu untuk memenangkan otonomi luas. Pada 27 April lalu mereka ditangkap saat ada perintah dari pimpinan BMP Manuel de Sousa untuk merekrut anggota milisi di wilayahnya. Semua penduduk, terutama kaum muda, diperintahkan untuk mendaftar menjadi anggota. “Ikut BMP atau mati,” begitulah bunyi slogan BMP saat itu. Dengan berat hati warga yang ketakutan berbondongbondong ke pos milisi di sebuah rumah
milik Abilio dos Santos de Fatima, yang juga menjabat sebagai Kepala Desa Fahilebo, Bazartete. Mereka yang tidak mau ikut - termasuk 31 perempuan itu ditangkap, disiksa lalu ditahan sampai sekarang. Mereka dipukul dengan popor senjata, ditampar, ditendang karena tetap menolak jadi anggota milisi. Pakaian mereka pun dilucuti. Mereka mengalami tindak kekerasan setiap saat. Penganiayaan tidak berhenti di situ, mereka juga dijadikan pelayan bagi milisi itu. Setiap hari, siang dan malam, mereka disuruh memasak, mencuci pakaian, mengangkut kayu di hutan. Tidak jarang mereka juga diganggu oleh para milisi, dan dipaksa menuruti segala kehendaknya. Salah seorang diancam akan dibunuh kalau menolak, lalu masih dipaksa membayar uang sebesar Rp 100.000 kepada pimpinan milisi di daerah itu. Akhirnya, pada 8 Juni 1999, lima orang berhasil melarikan diri, melintasi rerumputan dan kebun kopi, lari ke kota Dili. Tujuannya hanya satu, mengadukan perlakuan tak bermoral itu. Rekan mereka sebanyak 26 orang sampai sekarang masih dalam sekapan milisi. Hidup mereka seperti dipenjara dengan hukuman menerima otonomi luas yang sedang dipaksakan kepada rakyat Timor Timur. Milisi pro-otonomi nampaknya sedang menemui jalan buntu. Gagal di arena diplomatik, mereka mulai beraksi dengan kekerasan. Tapi bukan Falintil yang jadi sasaran, melainkan rakyat kecil di pedalaman. Sekarang perjuangan mereka dibayar dengan uang palsu. Dana JPS yang ditunggu-tunggu sebagai ‘suntikan’ pun tidak datang-datang. mungkin ‘mampir’ ke kantong para pejabat. o
Direito Utama
Kalau Pro-Integrasi Kampanye Genderang ‘merdeka’ bagi Timor Timur sudah ditabuh sejak 27 Januari 1999. Tapi kali ini penabuhnya adalah pejabat pemerintah Indonesia sendiri, yakni Menlu Ali Alatas. Tanggal itu ia menyatakan bahwa kalau rakyat menolak status khusus dengan otonomi luas, maka Timor Timur akan ‘dilepaskan’ (dibiarkan merdeka). Tawaran ini sepertinya langkah terakhir dari pemerintah Indonesia yang sudah lebih dari 23 tahun menghadapi masalah Timor Timur. Rupanya reaksi para pendukung integrasi juga keras. Pada 29 Januari lalu, Forum Persatuan Demokrasi dan Keadilam (FPDK) mengadakan seminar di Hotel Mahkota. Hadir dalam kesempatan itu antara lain Danrem 164/WD Kol Tono Suratman, Kapolda Timtim Kol Pol Timbul Silaen, komandan pasukan milisi Aitarak Eurico Guterres dan komandan pasukan Mahidi, Cancio Lopes de Carvalho.
T
iba-tiba, pukul 11.15 WTT sekelompok pemuda datang dan berteriak-teriak mencaci mereka yang berseminar di Hotel Mahkota. Mereka menuntut agar Eurico dan Cancio segera keluar menemui mereka. Tantangan itu mereka sambut dengan tembakan senjata api. Seorang pemuda yang sehari-hari bekerja sebagai buruh di pelabuhan ditangkap oleh pasukan milisi, tapi kemudian dilepas karena dianggap tidak tahu apa yang dilakukannya. Insiden ini kemudian dianggap sebagai tanda berlanjutnya konflik yang berkepanjangan. Pemerintah Indonesia sepertinya sengaja menyodorkan ‘dua opsi’ sehingga suasana menjadi panik, dan masing-masing pihak berjuang keras untuk memenangkan posisinya. Para pejabatnya selalu mengatakan bahwa Timor Timur tidak mungkin berdiri sendiri atau merdeka. Dan sekarang tibatiba mengharuskan Timor Timur lepas dari Indonesia jika menolak otonomi. Pilihan pun terasa sebagai paksaan. Apalagi di banyak daerah orang dipaksa untuk mendukung otonomi, dan jika tidak, nyawa mereka jadi taruhannya. Walau belum waktunya, kampanye mendukung otonomi sudah dimulai oleh milisi dan para pejabat, sipil maupun militer. Spanduk otonomi dibentangkan di mana-mana, disebutsebut dalam acara resmi sampai upacara adat. Tidak ada dialog, diskusi atau konvoi. Terima dulu, soal isi urusan belakang. FPDK pimpinan Domingos MP Soares malah membentuk Tim Sukses Otonomi (TSO). Cabang organisasinya sudah dibentuk di daerah-daerah, walau 2
KAMPANYE PRO OTONOMI.
sempat menimbulkan pertanyaan warga. “Kenapa pembentukan FPDK selalu bersamaan dengan pembubaran CNRT? Itu menunjukkan bahwa pembubaran CNRT direkayasa oleh FPDK. Tapi harus dicatat bahwa CNRT tidak dan tidak akan pernah bubar. Itu sudah terbukti selama 23 tahun,” ujar koordinator CNRT David Dias Ximenes. Pembubaran itu, menurut David, dilakukan untuk memberikan image sekaligus bahan kampanye kepada dunia dan Indonesia bahwa pihak prokemerdekaan sudah tidak ada di Timor Timur. “Ingat, kelompok prokemerdekaan adalah rakyat Timor Timur juga. Jangan sekali-sekali diabaikan. Sebab, mengabaikan rakyat Timor Timur dalam menyelesaikan masalah status politik, sama dengan menusuk duri di
hidung rakyat. Artinya, masalah Timor Timur tidak akan selesai kalau rakyat tidak dilibatkan secara penuh,” kata David dalam wawancara melalui telepon. Kampanye lainnya adalah dilakukannya pertemuan-pertemuan umum secara paksa di desa-desa. Pegawai negeri dan anak pegawai negeri diharuskan memilih dan mendukung otonomi. Sebab, mereka dinilai telah “dibesarkan” oleh Indonesia. Di antaranya digaji secara memadai dan mendapat jabatan empuk. Gaji yang memadai dapat digunakan untuk membeli rumah mewah. Anak-anak pun diberi beasiswa. Mulai dari tingkat SD sampai perguruan tinggi. Pembaca tentu maklum bahwa yang penting bukan pendidikan tinggi, rumah mewah atau gaji besar. Yang Direito 02 - 27 Juni 1999
Direito Utama penting adalah memberikan rasa aman dan damai di hati rakyat Timtim. Kampanye politik yang selalu menyengsarakan rakyatTimtim selama ini, sekiranya segera dihentikan. Apabila bangsa Indonesia sadar dan tahu bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, maka sudah sepatutnya tidak memanfaatkan milisi yang juga rakyat Timtim untuk membunuh saudaranya. Kampanye pembunuhan rakyat sudah semestinya dihentikan. Sebaliknya, tentu semua seia sekata untuk berkampanye tentang perdamaian, persatuan dan cinta kasih. Sosialisasi otonomi yang dilakukan di daerah-daerah sebelum penandatanganan kesepakatan tripartit pada 5 Mei lalu tidak lebih dari tindakantindakan intimidasi, teror dan pemaksaan kehendak politik kelompok pro-integrasi kepada rakyat Timtim. Sosialisasi otonomi seperti itu merupakan kampanye tindak kekerasan dan upaya pembodohan rakyat. Sebab, rakyat tidak diberi kebebasan bermoral untuk menentukan pilihan politiknya. Dengan demikian, rakyat hanya menjadi alat untuk “membesarkan” para elit politik prointegrasi. Januario Pereira, salah satu korban pembantaian di rumah Manuel Carrascalao pada 17 April lalu, pada awal pengungsiannya dari Maubara ke Dili, mengatakan, “Kami dipaksa untuk masuk Besi Merah Putih. Kalau tidak masuk, kami diancam untuk dibunuh”, katanya. Januario memang telah pergi untuk selama-lamanya. Rintihan hatinya dirasakan juga oleh Januario-Januario yang lain. Menurut dia, selama ini anggota Besi Merah Putih melengkapi diri dengan senjata api (pistol dan M-16) dan tradisional (misalnya pedang, parang dan panah) dalam melakukan aksiaksinya. Setiap ujung senjata dibalut atau diikatkan bendera Merah Putih, bendera nasional Indonesia. Pertanda apa? Komandan Mahidi (Mati atau Hidup Untuk Integrasi dengan Indonesia), Cancio Lopes de Carvalho dalam sebuah wawancara dengan Direito mengatakan, “Kami mati atau hidup tetap integrasi dengan Indonesia, sekali Merah Putih Direito 02 - 27 Juni 1999
tetap Merah Putih”. Di sini, Merah Putih dijadikan alat kampanye kelompok prointegrasi. Bahwa TNI boleh pergi tapi Merah Putih harus tetap berkibar di Timtim. Karena itu, jiwa dan raga menjadi taruhannya. Siapa menolak Merah Putih sama artinya dengan menggorok leher sendiri. Artinya, kalau menolak Merah Putih dan dibunuh karena sikapnya adalah wajar. Itu hukum yang berlaku bagi kelompok pro-integrasi. Tidak ada kompromi bagi yang menolak integrasi atau otonomi. Karena itu, boleh dibilang bahwa kampanye otonomi pun dilakukan melalui pembunuhan. Apa alasannya? Tindakan pembunuhan itu sendiri merupakan Pengukuhan Milisi. Ajang Sosialisasi Otonomi. salah satu cara menakutnakuti rakyat. Sehingga rakyat tidak mempunyai pilihan lain dibantah oleh Kadispen Polda Timtim kecuali otonomi. Tindakan menakut- Kapten Pol Widodo DS. “Sampai saat ini nakuti dan membunuh rakyat seperti itu kami belum mendapat laporan kasus yang malahan diklaim sebagai upaya sosialisasi anda tanyakan itu. Dari mana Anda otonomi. Sosialisasi otonomi tidak hanya mendapat informasi itu”, kata Widodo dilakukan melalui tindakan pembunuhan setengah bertanya kepada salah seorang tapi dipaksakan pula melalui perusakan wartawan. dan pembakaran rumah-rumah rakyat. Cara-cara kampanye dan sosialisasi Binatang piaraan ditangkap kemudian otonomi seperti itu adalah cara-cara ilegal dibunuh untuk pesta-pora. Tanaman dan melawan hukum. Kesepakatan penduduk dibabat. Tripartit 5 Mei 1999 yang ditandatangani Sosialisasi otonomi juga dilakukan Pemerintah Indonesia dan Portugal yang melalui “penyanderaan” gadis-gadis desa. disaksikan Sekjen PBB di New York, Caranya, gadis-gadis itu dipaksa untuk dianggap tidak pernah ada. Dan, bekerja, misalnya memasak bagi para meskipun kampanye baru akan dilakukan milisi. Mereka yang menolak keinginan menjelang Jajak Pendapat mendatang, milisi akan diberi “upah” yang setimpal: tapi kelompok pro-integrasi malahan diperkosa atau dibunuh. Beberapa waktu sudah mencuri start. Sedangkan lalu tersiar kabar bahwa sebanyak 30 kelompok pro-kemerdekaan hanya diam perempuan ditahan di salah satu markas saja. Kenapa diam, menurut Leandro milisi di Liquica. Beberapa perempuan Isaac, persiapan untuk merdeka sudah di antaranya diperkosa. Tapi hal itu dilakukan selama 23 tahun lebih**** 3
Direito Utama
Beratnya Tugas Mengungkap Fakta Semenjak kedatangan UNAMET di Timor Timur, mereka telah melakukan berbagai upaya dan pendekatan untuk mempersiapkan jajak pendapat. Menurut mereka, situasi keamanan merupakan persoalan utama yang harus dihadapi. Kerap kali, para anggota polisi UNAMET terjun langsung bersama Polisi Indonesia untuk menangani masalah-masalah keamanan di lapangan.
K
eaktifan UNANET ikut mengurusi masalah keamanan ternyata membuat pihak pro integrasi tidak puas. Kenetralan mereka mulai dipermasalahkan. Protes-protes keras pun dialamatkan ke UNAMET. Dalam pernyataan persnya tanggal 20 Juni 1999, FPDK menuduh para petugas UNAMET telah melakukan penggeledahan terhadap rumah Lolomeli (54) di Kampung Vila, Desa Vaviquina, Kecamatan Maubara, Liquiça. Dalam pernyataan pers tersebut, FPDK mengatakan bahwa tim UNAMET telah menggeledah rumah Nyonya Lolomei secara tidak beradab, memporakporandakan seisi rumah dan membuang bahan makanan ke lantai. FPDK juga mengatakan bahwa semenjak kehadiran UNAMET di Timor Timur, tindak kekerasan terhadap kelompok pro Integrasi meningkat. Pernyataan ini merujuk pada penghancuran kaca mobil dua pemimpin pro-Integrasi, Chico Lopes dan Abilio Soares seusai upacara pengibaran Bendera UNAMET di Gedung BPG, Dili. UNAMET juga telah dituduh memihak pro kemerdekaan karena tindakannya memprotes tindak kekerasan yang dilakukan oleh ABRI dan milisi pro integrasi. Namun penyataan tersebut dibantah keras oleh UNAMET, dengan mengatakan bahwa tuduhan-tuduhan itu tidak benar. Dalam pernyataaqn pers yang dikeluarkan tanggal 22 Juni, UNAMET menyatakan FPDK dan KPS telah menyebarkan informasi yang palsu tentang kejadian penggeledahan di rumah nyonya Lolomei di Vaviquina, Liqui 19 Juni 1999. Menurut penjelasan UNAMET, operasi penggeledahan tersebut telah dilakukan bersama oleh polisi Indonesia dan Polisi UNAMET. UNAMET juga membantah pernyataan FPDK bahwa penggeledahan 4
itu dilakukan oleh 5 orang polisi UNAMET yang terdiri dari 3 perempuan dan 2 laki-laki. Dalam pernyataan persnya UNAMET menjelaskan bahwa penggeledahan itu dilakukan oleh seorang polisi UNAMET bersama lebih dari 6 anggota polisi Indonesia. Penggeledahan itu juga dilakukan sesudah mendapatkan izin dari pemilik rumah. Bukan tanpa ijin sebagaimana dituduhkan oleh FPDK. UNAMET di Atabae. Koordinasi dengan Gereja setempat DRT Menyusul aksi tuduh-menuduh dengan UNAMET, tanggal 22 Juni FPDK laporan Yayasan HAK, silakan saja melakukan teror terhadap Aniceto dipersoalkan. Tetapi harus lewat cara-cara Guterres, direktur Yayasan HAK. Dalam yang legal. Silakan ajukan Yayasan HAK pembicaraan telepon dengan Aniceto, salah ke Pengadilan. Yayasan HAK siap seorang anggota FPDK yang juga PR II mempertanggungjawabkan validitas dataUNTIM, Natalino Monteiro menuduh data yang dimuat dalam laporannya. Yayasan HAK telah memfitnahnya. Masyarakat akan bersaksi terhadap Menurut Natalino, berita Kompas kebenaran data-data itu”. Yayasan HAK menyangkut dirinya yang dikutip dari dapat mengajukan saksi-saksi untuk Yayasan HAK adalah tidak benar, dan membuktikan kebenaran data-data tersebut. “Asalkan saksi-saksi tersebut dijamin hanya merupakan fitnah belaka. Setelah dikonfirmasi, ternyata keamanannya, bukan malah dihabisi”, berita Kompas (22/6) hanya memuat lanjut Aniceto. Teror dan intimidasi memang bukan pernyataan pers Yayasan HAK sehari sebelumnya menyangkut situasi HAM merupakan hal baru bagi Yayasan HAK dan terakhir di Timor Timur. Sedangkan nama Aniceto Guterres. Sejak mulai dibentuk Natalino sama sekali tidak disebutkan. milisi di Timor Timur, rumah Aniceto telah Menyusul pembicaraan telepon tersebut, beberapa kali ditangi oleh orang-orang seorang staf Yayasan HAK juga menerima bersenjata tak dikenal pada malam hari. telepon dari FPDK yang meminta Aniceto Yayasan HAK juga beberapa kali melapor ke FPDK. “Suruh bapak Aniceto menerima telepon dari orang tak dikenal, melapor ke FPDK. Kalau tidak dia akan yang mengancam akan menyerang. “Kami siap menyerahkan kepala kami untuk dijemput”, gertak si penelepon itu. Menanggapi tuduhan dan teror dipenggal demi membela hak-hak azasi tersebut, Aniceto mengatakan ,”Jika ada manusia, tanpa diskriminasi”, kata salah yang merasa dirugikan dengan laporan- seorang staf Yayasan HAK. *** Direito 02 - 27 Juni 1999
Direito Utama
Dana JPS Nyasar di Timtim Dana bantuan bank dunia dalam jumlah milyaran dolar yang dipinjamkan kepada Pemerintah Indonesia kesasar ke kantong orang-orang berdasi. Pasalnya, dana tersebut tidak diberikan kepada rakyat yang betul-betul membutuhkannya.
D
i daratan Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi rakyat memprotes keras karena dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) dijadikan sebagai proyek untuk memperkaya para pejabat pemerintah. Bahkan masyarakat miskin di Jakarta yang tergabung dalam Konsorsium Masyarakat Miskin Kota (KMMK) pada awal Mei lalu protes ke Bappenas, karena dana yang diperuntukkan masyarakat miskin itu tidak juga kunjung cair. Lain lagi ceritanya yang terjadi di Timor Timur. Berkaitan dengan akan diadakannya jajak pendapat Agustus mendatang, dana JPS untuk masyarakat miskin di daerah ini bak tengelam di laut. Bantuan Dana JPS untuk wilayah Timor Timur sebesar Rp 21 milyar yang dapat menghidupi masyarakat miskin dalam jangka waktu 5-10 tahun itu dilalap oleh segilintir orang dalam waktu tiga bulan. Pasalnya, dana sebanyak itu dialokasikan pemerintah untuk program kampanye dan sosialisasi otonomi luas. Dana yang diperuntukan bagi masyarakat miskin di tiap-tiap kabupaten dan daerah di Timor Timur itu kian hari kian habis dibagibagikan oleh pemimpin kelompok prointegrasi. Lebih tragis lagi, dana jutaan rupiah juga diterima oleh masing-masing pimpinan kelompok milisi. Hal ini terungkap dari proposal pengajuan dana program kampanye politik dan sosialisasi otonomi. Dan surat persetujuan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Timor Timur, Abilio Jose Osario Soares yang diterima oleh tiap Bupati beserta pemimpin kelompok minoritas prointegrasi di 13 kabupaten, seperti Mahidi, BMP, Ablai, Halilintar dan lain-lain, termasuk kelompok politik FPDK dan Barisan Rakyat Timor Timur (BRRT). Berdasarkan proposal para Bupati dan disposisi gubernur besarnya uang yang digunakan untuk tiap-tiap wilayah, masingmasing Rp 3 milyar. Ditambah dengan potongan anggaran untuk proyek tahun Direito 02 - 27 Juni 1999
anggaran 1999/2000 sebesar 10-20 %. Jumlah dana sebesar itu diprogramkan “demi sebuah otonomi”, yang nyata-nyata kurang mendapat respon dari masyarakat luas. Rincian dan alokasi anggaran dari Dana JPS yang hanya diperuntukkan bagi kepentingan pendidikan, kesejahteraan rakyat dan kesehatan di Timor Timur dialokasikan untuk kegiatan sosialisasi otonomi luas dan kampanye. Dana itu masih saja dipakai untuk membeli sebuah draf otonomi luas yang bakal ditolak oleh rakyat. Karena memang tak ada bedanya dengan draf integrasi itu sendiri. Sesuai dengan rincian permintaan para bupati kepada gubernur telah disetujui alokasinya untuk pembentukan infra-struktur sebesar 5%, Komando Pengendali bak disambar petir. Dana sebanyak itu dialokasikan antara lain untuk Tripida dan Tripides sebesar 20 %, sosialisasi otonomi luas bagi rakyat 20 %, Pamswakarsa yang dibentuk untuk menakuti, meneror dan mengintimidasi rakyat diberi jatah sebesar 5 %, panggalangan massa secara paksa sebanyak 15 %, bantuan untuk mengambil hati rakyat agar mendukung otonomi sebanyak 30 %, operasional milisi-milisi untuk melakukan tindak kekerasan dan pelanggaran HAM 2 %, konsultasi milisi dengan kelompok politik minoritas 1 % dan terakhir untuk bantuan organisasi sebesar 2 %. Ini berarti dana JPS sebesar Rp 21 milyar rupiah itu tidak digunakan untuk kepentingan rakyat miskin, tapi untuk kepentingan kelompok tertentu yang memperjuangkan otonomi bagi rakyat Timor Timur. Pencairannya melalui surat persetujuan yang ditandatangani oleh gubernur sendiri yang ditujukan kepada Bank Pembangunan Daerah (BPD) Timor Timur. Lebih parah lagi, menurut seorang pejabat setempat pengambilan uang di bank itu dilakukan secara paksa. Pasalnya, petugas bank mencairkannya berdasarkan prosedur yang birokratif. Petugas kasir
diancam dengan senjata dan kantor BPD Timor Timur pun akan dibakar. Dugaan ini menjadi benar ketika dana program kampanye politik dan sosialisasi otonomi itu tidak mencukupi. Penyisihan sekitar 10-20% dari dana proyek pembangunan Timor Timur itu praktis tidak mencapai Rp 39 milyar rupiah, sebagaimana yang diusulkan oleh bupati. Maka, akan ditambah dengan anggaran untuk tunjangan jabatan bagi pejabat di daerah yang memimpin milisi dan kelompok pro-otonomi. Hal ini diakui oleh Sekwilda Timor Timur Drs. Radja Karina. “Dana bagi kampanye politik dan sosialisasi sudah diambil dari anggaran proyek pembangunan.” Dana JPS, lanjut Karina, belum di utak-atik. Itu berarti dana yang ada akan diutak-utik jika dana kampanye dan sosiaisasi otonomi tidak mencukupi. Pejabat yang memperjuangkan otonomi luas akan berpikir, bahwa pembangunan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan rakyat dapat diundur tahun depan, sehingga dana JPS boleh diambil untuk kampanye dan sosiaisasi otonomi luas. Karena mereka harus membeli suara hati rakyat untuk memilih otonomi luas demi uang dan jabatan. Di samping alokasi dana untuk program kampanye dan sosialisasi otonomi, ada juga anggaran bagi pejabat-pejabat di daerah dengan jatah masing-masing: untuk bupati Rp 100 juta, Ketua DPRD TK II Rp 50 juta, Komandan Sektor masingmasing Rp. 30 juta, Dandim di 13 kabupaten mendapat jatah masing-masing Rp 50 juta. Sedangkan Kapolres di 13 kabupaten masing-masing mendapat Rp 50 juta, BTT yang bertugas di Timor Timur pun tak ketinggalan. Mereka mendapat bagian Rp.25 juta, Komandan Satgas Tribuana Rp 25 juta, Camat Rp 80 juta dan untuk kepala desa masaing-masing Rp. 290 juta. Saat ini penyelewengan dana JPS itu tengah diributkan secara nasional.*** 5
Direito Utama
Petisi dari Rakyat untuk Rakyat Perhatian masyarakat Indonesia terhadap masalah Timor Timur semakin besar menjelang jajak pendapat bulan Agustus mendatang. Beberapa organisasi akan mengirimkan tenaga pemantauan untuk ditempatkan di berbagai daerah di Timor Timur. Di samping itu ada misi kemanusiaan yang akan membantu para pengungsi dan masyarakat yang tengah ditimpa kemalangan.
Mahasiswa Pro-Kemerdekaan Digebuk. Ditentang Rakyat Indonesia
T
anggal 24 Juni 1999, sejumlah lembaga dan individu mengambil inisiatif menyampaikan sebuah petisi kepada perwakilan PBB di Jakarta. Tercantum sebagai pengambil inisiatif antara lain Karlina Leksono-Supelli yang berkunjung ke Timor Timur beberapa waktu lalu, pengacara Abdul Hakim Garuda Nusantara dan Luhut M Pangaribuan, Munir dari Kontras, dan organisasi Komunitas Muslin Indonesia untuk Timor Lorosae. Dalam surat pengantar petisi disebutkan inisiatif itu diambil karena “proses penyelesaian yang tersendat-sendat akibat terus terjadinya tindak kekerasan di wilayah Timor Timur.” Dan petisi itu disebut sebagai “upaya kongkret untuk mendorong pemerintah Indonesia dan PBB untuk mengambil langkah-langkah tegas untuk mengakhiri kekerasan.” Memang kekerasan nampaknya menjadi keprihatinan utama. Ini dapat dilihat dari butir-butir tuntutan yang antara lain 6
AP
menyatakan agar TNI ditarik dari Timor Timur, dan milisi secepatnya dilucuti. Hal ini disimpulkan setelah melihat berbagai kejadian tindak kekerasan yang melibatkan milisi dan TNI. Petisi itu juga menuntut agar para pelaku pelanggaran hak asasi manusia secepatnya ditangkap dan dibawa ke pengadilan. Para penandatangan petisi berasal dari berbagai latar belakang dan daerah. Terlihat misalnya tanda tangan dari sejumlah nelayan di Biak, mahasiswa berbagai kota dan propinsi, dosen di Aceh, kaum santri dari perguruan Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kaum profesional di Jakarta. Petisi itu memang oleh para pengambil inisiatif diedarkan ke berbagai lapisan, kecuali orang Timor Timur sendiri. Menurut mereka, petisi ini adalah sebuah tindakan ‘dari rakyat untuk rakyat’, maksudnya dari rakyat Indonesia bagi rakyat Timor Timur yang sedang memperjuangkan haknya untuk menentukan nasib sendiri.
Ketika diedarkan di sekolah-sekolah menengah, petisi itu mendapat sambutan yang baik. Para pelajar tercengang ketika mendengar apa saja yang dilakukan oleh milisi pro-otonomi dengan dukungan TNI. “Masa, sih?” ujar seorang pelajar SMU di Bandung. “Kok enak saja mereka membunuh orang atas nama Indonesia. Saya ini orang Indonesia, dan tidak setuju dengan tindakan mereka. Mereka sebenarnya bertindak atas nama siapa? Dan kenapa pemerintah kita kok diam saja?” Memang tidak banyak orang Indonesia yang tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Timor Timur. “Karena itu pula tanda tangan petisi ini baru sekitar 2.000,” ujar Lefidus Malau. “Kami masih menunggu teman-teman dari Sumatera, yang menyebar di 150 tempat. Mudah-mudahan sebelum bulan Agustus sudah dapat kami terima.” Menurutnya, cukup banyak daerah yang belum bisa mengirimkan karena petisinya diedarkan sampai ke pelosok-pelosok. Ada yang mengirimnya kembali melalui pos, ada yang dengan fax, atau membawanya sendiri ke sekretariat FORTILOS (Forum Solidaritas untuk Rakyat Timor Lorosae). “Maklum saja, namanya juga usaha dari rakyat untuk rakyat,” ujar Lefidus. “Jadi perlu waktu juga untuk menggalangnya. Rakyat Indonesia itu sama saja seperti rakyat Timor Lorosae. Mereka hidup dalam penderitaan dan serba terbatas. Tapi justru karena itulah petisi ini menjadi penting. Petisi ini adalah dukungan langsung dari rakyat tanpa perantaraan partai atau elit politik tertentu. Inilah sikap sesungguhnya dari rakyat Indonesia.” o
... butir-butir tuntutan yang antara lain menyatakan agar TNI ditarik dari Timor Timur, dan milisi secepatnya dilucuti. Hal ini disimpulkan setelah melihat berbagai kejadian tindak kekerasan yang melibatkan milisi dan TNI. Direito 02 - 27 Juni 1999
Wawancara
Sah, Hak Penentuan Nasib Sendiri Rakyat Timor Lorosae Tidak banyak yang kita ketahui tentang sikap orang Indonesia terhadap masalah Timor Lorosae. Pemerintah Indonesia membuat kebijakan dan mengambil tindakan selalu dengan asumsi bahwa ‘Rakyat Indonesia ada di belakang mereka’. Benarkah demikian? Untuk menjawabnya, wartawan Direito mewawancarai Fay, anggota FORTILOS (Forum Solidaritas untuk Rakyat Timor Lorosae). Direito (D): Apa tanggapan anda sebagai rakyat Indonesia terhadap persoalan politik di Timor Lorosae? Fay (F): Secara umum, masalah Timor Lorosae adalah bukti bahwa pemerintah Orde Baru berkuasa dengan cara yang tidak benar. Invasi yang dilakukan pada tahun 1975 dan pendudukan selama 23 tahun lebih - yang disebut ‘integrasi’ - adalah tindakan ilegal. Kami, Rakyat Indonesia, tidak pernah diberitahu apa yang sesungguhnya terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, hanya segelintir orang yang tahu bahwa kehadiran Indonesia di Timor Lorosae sampai saat ini tidak diakui oleh PBB, dan kebanyakan negara di dunia. Karena blokade informasi yang hebat, orang Indonesia pada umumnya hanya tahu bahwa Timor Lorosae adalah propinsi ke27, yang berintegrasi dengan Republik Indonesia pada tahun 1975-76. Itu saja. Nah, di sini perlu kita bedakan antara pemerintah dan rakyat Indonesia. Bagi saya, apa yang terjadi di Indonesia adalah kesalahan dan kegagalan dari pemerintah Orde Baru, khususnya rezim Soeharto, yang mengambil inisiatif untuk mencaplok wilayah ini pada tahun 1975. D: Bagaimana tentang tuntutan rakyat Timor Lorosae untuk menentukan nasib sendiri sebagai negara merdeka? F: Itu adalah tuntutan yang sah. Dalam UUD 1945 pun dikatakan bahwa penjajahan harus dihapuskan di muka bumi. Implikasinya, setiap bangsa memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri, tidak terkecuali Timor Lorosae. Karena itu Rakyat Indonesia yang taat pada semangat UUD 1945, tentunya akan mengakui hak Direito 02 - 27 Juni 1999
itu. Tapi kita tahu bahwa selama ini berlangsung manipulasi besar-besaran, sehingga orang tidak melihat perjuangan Rakyat Timor Lorosae sebagai usaha menegakkan hak menentukan nasib sendiri. Tapi sebagai ancaman terhadap negara kesatuan, pemberontakan, dan seterusnya. Hak itu lebih jauh diatur di dalam berbagai resolusi PBB, di mana Indonesia juga menjadi anggotanya. Jadi, bagi saya, hak menentukan nasib sendiri itu tidak terbantahkan. D: Menyusul penawaran ‘dua opsi’, pemerintah Indonesia dan Portugal sepakat melaksanakan jajak pendapat bulan Agustus mendatang, untuk menentukan kehendak rakyat antara memilih atau menolak otonomi. Apa pendapat Anda? F: Jajak pendapat itu boleh dibilang pencapaian tertinggi dari usaha PBB selama ini. Saya sendiri belum melihat alternatif lebih baik untuk mewujudkan hak penentuan nasib sendiri. Jajak pendapat ini sebenarnya hanya kata lain dari referendum yang selama bertahun-tahun dituntut oleh gerakan perlawanan. Pemerintah Orde Baru ini memang wataknya keras kepala dan tidak mau kalah. Jadi mereka paksakan istilah ‘jajak pendapat’ (popular consultation), padahal intinya sama saja. Nah, sekarang masalahnya apakah referendum ini bisa berlangsung dengan jujur dan bebas? D: Bagaimana kalau saat pelaksanaan jajak pendapat terjadi kecurangan. Maksudnya ada intervensi militer Indonesia dengan melakukan teror dan intimidasi yang membuat rakyat tidak bebas untuk
memilih sesuai dengan keyakinannya? F: Inilah kelemahan mendasar dari kesepakatan 5 Mei di New York. Aturan main yang ditentukan di situ sudah cukup baik, tapi tidak ada sanksi apa pun bagi pihak yang melakukan pelanggaran. Kita lihat sendiri bahwa kecurangan sudah mulai terjadi hanya beberapa hari setelah kesepakatan ditandatangani, mulai dari intimidasi dan teror terhadap rakyat sampai pada penggunaan fasilitas pemerintah yang jelas dinyatakan terlarang. Tindakan ini tentu sangat berpengaruh terhadap jalannya jajak pendapat nanti. Orang mungkin akan memilih lain dari hati nuraninya karena tindakan semacam itu. Nah, persoalannya sekarang apa sanksi bagi mereka yang melakukan pelanggaran. Dalam proses politik yang penting seperti ini kita tidak mungkin mengandalkan janji atau niat baik. Harus ada hukum yang mengikat. Kalau tidak ada tindakan tegas, jajak pendapat ini bisa terus-menerus ditunda, dan rakyat akan terus menderita. Kecurangan akan berlangsung terus jika tidak ada sanksi. D: Jadi, salah satu unsur penting adalah perdamaian agar orang bisa bebas memilih. Apa pendapat Anda tentang kesepakatan damai di antara CNRT dan kelompok pro-otonomi? F: Kesepakatan damai itu bagus-bagus saja. Masalahnya, kenapa aktor utama yang jelas terlibat di dalam konflik ini, yaitu TNI dan pemerintah Indonesia, tidak ikut di dalamnya. Padahal kita tahu selama 24 tahun konflik itu berlangsung antara rakyat Timor Lorosae dengan pemerintah Indonesia, bukan antara yang pro-otonomi atau pro-integrasi dengan yang pro7
Wawancara kemerdekaan. Jadi, seharusnya yang sepakat untuk meletakkan senjata seharusnya TNI dan Falintil. Kesepakatan damai di antara pro-otonomi dan prokemerdekaan hanya di permukaan saja, dan tidak menyentuh akar persoalan. Kita lihat sendiri, pada tanggal 21 April sudah ada kesepakatan damai, tapi nyatanya di lapangan masih terus terjadi teror dan intimidasi. Mereka yang mengklaim diri sebagai pemimpin milisi bisa menandatangani seribu kesepakatan damai, tapi pertanyaannya apakah mereka memang dapat menciptakan perdamaian? Teror dan intimidasi yang terus berlangsung sekarang ini sebenarnya memperlihatkan bahwa kontrol terhadap milisi di berbagai daerah belum tentu ada di tangan mereka yang mengklaim diri sebagai panglima atau pemimpin. Jadi, buat apa bikin kesepakatan damai dengan mereka? Bukan tidak boleh, tapi gunanya apa? Panglimanya bilang A, tapi di lapangan yang terjadi lain lagi. Karena itu saya bilang, kesepakatan damai hanya akan efektif jika memang terjadi di antara mereka yang sungguh-sungguh bertikai, yaitu TNI dan Falintil.
pernah menyatakan perang terhadap kelompok pro-otonomi. Begitupun kelompok pro-otonomi selama 23 tahun tidak pernah muncul sebagai kelompok independen. Mereka adalah pegawai pemerintah Indonesia. Ada yang menjadi anggota Golkar, dan seterusnya. Pokoknya seperti pegawai pemerintah pada umumnya. Nah, kenapa tiba-tiba mereka mengklaim diri sebagai kekuatan yang independen, dan melancarkan ‘perang saudara’? Lebih penting lagi, ‘perang saudara’ itu berarti memang ada dua kekuatan di dalam satu negeri yang bertarung satu sama lain. Tapi yang terjadi kan perang antara TNI dan Falintil, bukan antara pro-otonomi dan pro-kemerdekaan. Falintil atau CNRT, tidak pernah mengumumkan perang terhadap FPDK atau BRTT misalnya. Sejak tahun 1975 mereka mengumumkan perang terhadap pemerintah Indonesia, khususnya TNI.
D: Berarti yang terjadi di Timor Lorosae bukan perang saudara?
F: Ada dua komentar. Pertama, terlalu banyak bukti bahwa Polri terlibat dalam teror dan intimidasi terhadap rakyat, sehingga sulit mengharapkan mereka akan berlaku netral. Ini memang ujian bagi
F: Itu sudah jelas. Sepanjang pengetahuan saya, baik CNRT maupun Falintil tidak
Tuntutan Mereka Sah!
8
D: Komentar Anda tentang netralitas Polri yang dipercayakan untuk mengamankan pelaksanaan jajak pendapat bulan Agustus?
BM
kesungguhan Polri. Tapi seperti saya katakan tadi, dalam peristiwa penting seperti jajak pendapat ini, kita tidak bisa mengandalkan kesungguhan orang lain. Kedua, bagaimana mungkin Polri netral, sementara ada anggotanya yang juga akan ikut memilih bulan Agustus nanti. Artinya mereka ini akan masuk ke dalam salah satu pihak, entah pro-otonomi atau prokemerdekaan. Sudah tentu dia akan kesulitan menjaga sikap netral dalam situasi seperti itu. Ibarat orang main bola, bagaimana mungkin wasit dan hakim garis itu netral, kalau dia sekaligus jadi pemain? Kalau memang mau, maka semua anggota polisi yang punya hak pilih itu harus dibebas-tugaskan, dan polisi itu dikirim seluruhnya dari luar. Tapi itu pun tidak menjamin bahwa mereka akan berlaku netral, karena bagaimana cara mengontrolnya? Artinya secara prinsip maupun dalam kenyataan, sangat sulit mengharapkan Polri berlaku netral. Idealnya memang, kalau ada pemerintah dan penjaga keamanan yang benar-benar netral, tidak berasal dari Portugal, Timor Timur maupun Indonesia. Tapi itu kan yang selalu ditolak pemerintah Indonesia. D: Berarti sebelum pelaksanaan jajak pendapat orang Timtim yang anggota Polisi, TNI maupun PNS dan jabatanjabatan politis lainnya harus demisioner? F: Kalau memang mengklaim diri sebagai pihak yang benar-benar netral, maka seharusnya begitu. Kalau tidak, tetap akan ada conflict of interest. Kita ambil contoh saja. Misalnya ada dua orang bertikai. Yang satu pro-kemerdekaan dan satunya prootonomi. Lalu datang seorang polisi asal Timor Timur yang katakanlah prokemerdekaan. Apakah dia akan berlaku adil? Tentu saja tidak. Pasti dia akan membela orang yang berada di pihaknya, karena dia ingin pilihannya yang menang. Hal yang sama berlaku bagi setiap orang yang ada di dalam jajaran pemerintah Indonesia (Pemda Timtim) dan TNI. Itu dari segi prinsip. Dan kita lihat sendiri dalam kenyataan bahwa Polri sekarang pun tidak bisa berlaku netral. Berulangkali terjadi pelanggaran, tapi mereka diam saja. Orang mati di mana-mana, tapi tidak ada tindakan tegas yang diambil.*** Direito 02 - 27 Juni 1999
Opini
Politik dan Penegakan Hukum di Wilayah Sengketa “Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat tercapainya kebahagiaan hidup bagi warga negara dan sebagai dasar daripada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia, agar ia menjadi warga negara yang baik.” (Aristoteles) Pengantar Sebagaimana kita ketahui, bahwa pengiintegrasian Timor Timur ke dalam negara kesatuan RI melalui deklarasi Balibo pada 1975 dan telah diundangkan UU No 7/1976 itu tidak diakui oleh masyarakat internasional dan PBB. PBB menganggap bahwa pengintegrasian Timor Timur ke dalam negara kesatuan RI tidak dilakukan menurut norma-norma hukum internasional. Dan masuknya Indonesia ke daerah koloni Portugis tersebut merupakan tindakan ilegal dan merupakan tindakan aneksasi yang secara nyata telah melanggar hukum internasional. Karena itu, sejak tahun 1975-1982 PBB telah menjatuhkan delapan resolusi yang intinya menyerukan, agar pemerintah Indonesia dan angkatan bersenjatanya segera menarik diri dari Timor Timur . Namun, tak satu pun dari resolusi tersebut yang diindahkan oleh Indonesia. PBB menganggap Portugal sebagai penguasa administratif (administering power) dan merupakan daerah yang belum memiliki pemerintahan sendiri (non selff governing territory), yang harus diberi hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self determination). Namun, pemerintah RI beranggapan bahwa bergabungnya Timor Timur ke dalam negara kesatuan RI bukan dipaksa tapi atas kehendak mayoritas rakyat Timor Timur dan telah mendapat legitimasi berdasarkan deklarasi Balibo dan UU No 7/1976. Atas dasar UU No 7/ 1976 tersebut, segala peraturan yang berlaku di Indonesia diberlakukan pula di Timor Timur. Dalam konteks konflik diplomatk antara Portugal dan Indonesia dalam masalah Timor Timur, tentunya akan mempengaruhi penerapan hukum di Timor Timur. Serta sejauh mana hukum efektif mengendalikan dan mengatur ketertiban dalam kehidupan masyarakat dalam Direito 02 - 27 Juni 1999
konteks Indonesia sebagai suatu negara hukum (recth staat). Ataukah, pelaksanaan hukum di daerah ini hanyalah sebagai sebuah retorika politik dari sebuah bangsa penjajah dan penindas? Untuk melihat lebih jauh melihat persoalan ini penulis akan menyajikan kecenderungan aparat penegakan hukum di dalam menegakkan hukum dan keadilan di daerah ini dan pengaruh kekuatan ekternal yang mempengaruhinya. Tidak Mandirinya Aparat Penegak Hukum Bahwa semenjak berdirinya Kantor Pelayanan Hukum dan Masyarakat pada Agustus 1996, yang merupakan cikal bakal berdirinya Yayasan HAK (Hukum, hak Asasi, dan Keadilan), dan sejak saat itu pula lembaga ini mulai menaruh perhatian serius di dalam kegiatan advokasi dan pelayanan hukum kepada masyarakat, terutama warga masyarakat yang menjadi korban kekerasan negara dan juga permasalahan hukum yang bersifat konflik pribadi di antara warga masyarakat. Dalam tulisan ini penulis hanya mengkaji adanya pelanggaran terhadap hak-hak sosial politik dalam keterkaitannya dengan penegakan hukum dan hak azasi manusia bangsa Timor Leste. Bahwa sejauh pengamatan dan keterlibatan Yayasan HAK dalam upaya penegakan hukum dan hak azasi manusia dalam tiga tahun terakhir, orang-orang Timor Leste tidak bebas untuk berkumpul, tidak bebas untuk mengeluarkan pendapat, khusunya kebebasan untuk menyatakan sikap politik yang berkaitan dengan persoalan Timor Timur. Membicarakan persoalan politik Timor Timur dianggap tabu dan dan harus diwaspadai, sebab jika diketahui warga yang terlibat dalam kegiatan politik praktis yang berseberangan dengan pemerintah, maka pemerintah melalui agen-agennya
(SGI-Satuan Gabungan Intelijen, Kopassus-Komando Pasukan Khusus) tidak segan-segan, menangkap, menyekap, menyiksa dan membunuh warga yang melakukan kegiatan politik. Adapun pasalpasal yang dituduhkan kepada para aktivis politik Timor Leste tersebut adalah pasalpasal makar: 106, 107, 108, 110, 55, 56, KUHP, yang mengatur tentang kejahatan terhadap keamanan negara, dan UU No 11/ 1951 tentang larangan memiliki senjata serta UU tentang Subversi. Dalam tiga tahun terkhir, masalah penegakan hukum dan hak azasi manusia di bumi Lorosae sangat jauh dari apa yang diharapkan oleh warga dan mereka yang telah menjadi korban kekerasan negara. Penyimpangan hukum oleh aparat penegak hukum hampir terjadi di mana-mana terutama, menyangkut kasus-kasus peradilan politik — di mana polisi, jaksa dan hakim yang terlibat langsung dalam proses peradilan sangat terpaku pada pandangan/konsep yuridis formal. Mereka tidak peduli dan tidak melihat konteks sosial politik yang dihadapi oleh masyarakat Timor Timur. Karena acuan para penegak hukum di daerah ini adalah UU No 7/1976, yang mengatur tentang penyatuan wilayah Timor Portugis ke dalam wilayah negara kesatuan RI dan menjadikannya sebagai propinsi yang ke27. Para penegak hukum tidak peduli terhadap argumentasi dari pihak korban bahwa apa yang dilakukan tersebut adalah merupakan upaya memperjuangkan hakhak politiknya sebagaimana dijamin oleh konstitusi RI, yakni Pemukaan UUD 1945 yang menyatakan: “...sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan”. Dan tindakan tersebut diakui 9
Opini oleh hukum internasional, yang mengakui bahwa “bangsa Timor Leste mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri sebagaimana dicantumkan dalam Piagam PBB, serta konvensi internsional tentang hak-hak sipil dan politik”. Lebih tragis lagi, aparat ekstra yudicial pun terlibat dalam proses peradilan. Tentara dapat menangkap dan menahan seseorang, dan melakukan interogasi. Setelah itu, hasil interogasi yang dituangkan dalam BAP dan si tersangka diserahkan kepada pihak kepolisian untuk diproses. Pihak polisi selaku penyidik selalu mengikuti apa yang dikehendaki oleh militer, padahal penyidik sendiri itu tahu bahwa tindakan itu melanggar KUHAP. Pasal 18 jo. pasal 20 KUHAP secara tegas menyatakan,” yang berwenang melakukan penangkapan dan penahanan terhadap seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana adalah aparat Kepolisian Negera RI”. Oleh karena itu, tersangka yang ditahan oleh aparat militer merupakan tindakan yang melanggar hukum dan hak asasi manusia. Dengan demikian polisi selaku penyidik harus segera membebaskan yang bersangkutan demi hukum. Sebagai contoh adalah kasus penangkapan dan penahanan terhadap Joaquim de Carvalho. Ia ditangkap di rumahnya, di Kecamatan Remixeu, Kabupaten Aileu oleh Kasdim Aileu bersama anggotanya. Alasannya, ada dugaan bahwa korban selalu berhubungan dengan Falentil dan selalu memberikan bantuan bahan makanan, pakaian dan obatobatan. Saat ditangkap korban langsung dianiaya dengan dengan popor senjata, kayu balok, dan ditendang dengan sepatu tentara, selanjutnya korban dibawa ke Kantor Kodim Aileu. Di sana ia diinterogasi dan ditahan sekitar tiga minggu. Kemudian korban diserahkan ke Polda Timor Timur. Setelah menerima BAP dan korban dari militer, penyidik segera memproses tanpa memperhatikan bukti permulaan adanya tindak pidana yang cacat hukum dalam kasus tersebut. Jaksa dan hakim pun melegitimasi, berdasarkan informasi sepihak dari militer tentang aktivias tersangka/terdakwa. Bahkan selama perkara tersebut masih dalam proses pemeriksaan jaksa dan hakim menunjukkan 10
sikap yang tidak bersahabat dan memvonis terdakwa sebagai seorang penjahat besar sebelum proses pemeriksaan perkara tersebut berakhir dengan putusan hakim. Tindakan itu jelas melanggar “asas praduga tak bersalah” dan melanggar hak azasi manusia. Proses Peradilan Berjalan Tidak Fair dan Adil Bahwa proses penegakan hukum dan keadilan di Timor Timur sangat jauh dari apa yang diharapkan oleh masyarakat pencari keadilan itu terjadi, karena ketidakmandirian aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsinya sebagai seorang abdi hukum dan abdi masyarakat. Hal ini terjadi karena mereka hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan status quo. Semua kasus peradilan politik di Timor Timur — mulai saat proses pemeriksaan pendahuluan hingga terdakwa diputus oleh pengadilan berjalan proses itu tidak fair dan tidak menghormati hak azasi manusia. Proses peradilan yang berjalan termasuk putusan yang dijatuhkan oleh hakim tidak memberikan rasa keadilan kepada korban. Para tersangka sejak ditangkap dan dimintai keterangan diperlakukan secara tidak manusiawi. Hakhak mereka sebagai tersangka yang diatur dalam KUHAP (hak untuk memberikan keterangan dalam keadaan yang bebas, hak untuk mendapatkan bantuan hukum, hak untuk mendapatkan perawatan, hak untuk dikunjungi keluarga tidak dihormati oleh penyidik). Proses rekayasa terjadi pada semua tingkatan proses peradilan, yakni sejak proses pemeriksaan pendahuluan, pra-penuntutan sampai pemeriksaan di sidang pengadilan. Kondisi ini diakui oleh salah seorang mantan ketua PN Dili (ALR), di daerah ini mereka harus menghukum para terdakwa meski tidak cukup bukti. Hal ini dilakukan karena adanya tekanan dari militer. Pengakuan seperti ini juga diungkapkan oleh sejumlah anggota polisi yang bertindak sebagai penyidik. Mereka harus melakukan hal itu karena ada perintah dari pimpinan, walau sejauh pengamatan mereka orang-orang itu tidak cukup bukti untuk disidik. Selain itu polisi selaku penyidik juga berpandangan bahwa tersangka itu bersalah.
Telah Terjadi Kevakuman Hukum Perkembangan lima bulan terakhir seiring dengan munculnya dua opsi politik tentang penyelesaian masalah Timor Timur pada 27 Januari 1999, proses penegakan hukum dan keadilan di Timor Timur mengalami kevakuman. Karena aparat penegak hukum tidak berdaya menangani masalah kekerasan politik di mana para pelaku tindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang secara nyata dilakukan oleh kelompok pro- integrasi. Tak satu pun pelaku yang diproses untuk dimintai pertanggungjawabannya secara hukum. Hal tersebut terbukti dari berbagai laporan dan pengaduan dari masyarakat korban atau Yayasan HAK, terutama kasus pembantaian tanggal 5 dan 6 April di Liquica, kasus pembantaian tanggal 17 April di Dili serta kasus-kasus kekerasan politik lainnya, tidak mendapat perhatian yang serius dari aparat penegak hukum. Dalam pengamatan Yayasan HAK, aparat penyidik telah terkooptasi dengan para politisi pro-integrasi, militer, milisi dan secara sengaja membiarkan kejahatan kemanusiaan tersebut berlanjut. Tujuannya agar masyarakat takut dan mau menerima otonomi luas yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia. Dalam berbagai kasus, aparat penegak hukum secara langsung terlibat di dalamnya. Mereka ikut membantu para milisi untuk melakukan kejahatan, seperti kasus penyerangan milisi terhadap warga sipil pada tanggal 9 dan 10 Mei 1999 di Desa Santa Cruz, Bemori, Quintal Kiik dan Audian. Karena adanya keterlibatan aparat penegak hukum dalam berbagai kasus kejahatan kemanusiaan dalam beberapa bulan terakhir, secara langsung mempengaruhi fungsi aparat kepolisian sebagai aparat penyidik yang akan mengungkapkan kasus-kasus kejahatan kemanusian termasuk upaya menangkap dan menahan para pelaku kriminal. Konsekuensi dari keterlibatan aparat kepolisian terebut mempengaruhi tidak berjalannya proses hukum di mana polisi sebagai pihak yang pertama dalam mengungkapkan kasus-kasus pidana tidak lagi menjalankan fungsinya. Dan karena tidak bekerjanya polisi, maka para pelaku kejahatan kemanusian tidak dapat diproses ke meja hijau dan di sinilah perangkat Direito 02 - 27 Juni 1999
Opini hukum tidak dapat bekerja atau disebut sebagai kevakuman hukum dan selanjutnya mempengaruhi semua proses peradilan pidana yang ada. Dalam sistem hukum pidana jika ada tindak pidana maka untuk memprosesnya harus melalui tahapan sebagai berikut: Tindak Pidana ——>Polisi Melakukan Penyidikan ——> Jaksa ———> Pengadilan. Melihat pada sistem penerapan KUHP sebagaimana tersebut di atas, maka jika prosesnya berhenti pada tingkat penyidikan otomatis kasus itu tidak dapat diungkapkan. Dengan demikian proses hukumnya tidak akan berjalan. Dalam konteks hukum, tindakan aparat kepolisian yang sengaja membiarkan kejahatan itu berlangsung, maka aparat kepolisian dapat dikategorikan sebagai pembantu kejahatan, yakni sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan (pasal 56 KUHP). Penutup Berangkat dari uraian di atas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, bahwa terjadinya ketidakjujuran dalam proses peradilan di Timor Timur, khususnya proses peradilan terhadap kasus-kasus kekerasan negara yang disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, tidak adanya kemandirian aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsinya sebagai abdi hukum, sehingga law enforcement tidak dapat diterapkan. Kedua, kuatnya pengaruh politik dalam kaitannya dengan permasalahan Timor Timur telah menyebabkan aparat penegak hukum di daerah ini semata-mata bertugas untuk mengamankan jalannya roda pemerintahan dan mempertahankan status quo, demi tegaknya integrasi. Kedua hal tersebut dalam lima bulan terakhir telah mengakibatkan terjadinya kevakuman hukum sebagai konsekuensi dari percaturan politik pada elit politik baik di pusat maupun di daerah turut mempengaruhi semua kebijakan aparat penegak hukum untuk bertindak sesuai dengan fungsi yang sebenarnya.***
Direito 02 - 27 Juni 1999
Kasus-kasus yang Terbengkalai Dalam kesepakatan 5 Mei di New York, Polisi Indonesia dipercaya untuk mengurus masalah keamanan untuk pelaksanaan Jajak Pendapat. Tugas ini juga termasuk menciptakan suasana seaman mungkin menjelang Jajak Pendapat. Meski masih ragu, masyarakat berharap Polisi Indonesia dapat menangani beberapa masalah yang selama ini menjadi penyebab ketidakamanan. Dalam kenyataannya, masih terdapat kasus-kasus yang seharusnya sudah dapat diselesaikan, namun tidak ada upaya ke arah itu. Berikut beberapa kasus yang dapat mencerminkan keseluruhan keadaan keamanan di Timor Timur belakangan ini. 6-7 April 1999: Lingkungan Gereja Liquica diserbu dan sekurang-kurangnya 50 orang penghuninya tewas. Pelakunya jelas diketahui, Milisi Besi Merah Putih dan ABRI. Polisi mengaku telah menangkap sejumlah pelakunya. Tapi sebagian besar anggota milisi BMP masih berkeliaran dengan senjata dan menakut-nakuti rakyat. 13 April 1999: Dandim Maliana, Letkol Burhanudin Siagian memerintahkan eksekusi 6 warga sipil di depan umum menyusul kematian Manuel Soares Gama. Tidak ada proses hukum untuk perintah eksekusi tersebut hingga saat ini. 17 April 1999: Rumah Manuel Carrascalao dan beberapa tempat di Dili diserbu Milisi. Jumlah korban masih kontroversial. Polisi melaporkan 13 orang tewas, dan mengaku telah menangkap sejumlah orang yang dituduh sebagai pelakunya. Tapi hingga saat ini belum ada kejelasan tentang proses hukum yang dilakukan. 20 April 1999: Dua orang guru dibunuh oleh milisi Halilintar di desa Purgoa dan desa Atudara, Kabupaten Bobonaro. Hingga sekarang kasus itu seperti di”peti-es”kan. 21 April 1999: Sesudah penandatanganan Kesepakatan Damai antara kelompok Pro Integrasi dan Pro Kemerdekaan, semua senjata yang dipegang oleh pihak-pihak yang tidak berhak, termasuk milisi, akan disita oleh polisi. Namun hingga saat ini senjata-senjata itu masih tetap dipergunakan untuk membunuh dan menteror masyarakat. 9-10 Mei 1999: Di hadapan polisi milisi Aitarak menyerbu sejumlah kampung di Kota Dili dan menewaskan sekurang-kurangnya 5 orang warga sipil. Peristiwa-peristiwa penyerangan tersebut juga disaksikan juga oleh Tim Pendahulu UNAMET, yang selanjutnya mengajukan protes keras. Tapi hingga sekarang belum ada proses hukum. 21 Mei 1999: Dalam kerumunan massa yang usai menyaksikan pengibaran bendera UNAMET di Gedung BPG, kaca mobil beberapa pejabat pemerintah Indonesia yang sekaligus tokoh pro Integrasi dipecah. Sejumlah orang yang dituduh aktivis pro kemerdekaan ditangkap, namun hingga kini tidak ada proses hukum.
11
Daerah
Dituduh CNRT, Rakyat Diperas DI ERMERA, rakyat jadi korban pemerasan. Mereka dituduh terlibat CNRT dan Falintil, lalu dipaksa membayar uang, menyerahkan hasil bumi dan ternaknya.
S
udah jatuh, tertimpa tangga pula. Ungkapan itu cocok untuk menggambarkan penderitaan penduduk kecamatan Hatolia dan Railaco, Kabupaten Ermera. Ketika aksi kekerasan merebak di dua kecamatan penghasil kopi ini, prajurit TNI dan anggota milisi memanfaatkan kesempatan memeras warga. Beberapa warga yang berhasil lari ke Dili menuturkan bahwa sejak April 1999, sejumlah prajurit BTT 143 dan Koramil setempat, bersama anggota milisi prointegrasi melakukan tindak kekerasan dan pemerasan. “Setiap hari kami wajib menyediakan satu sampai lima kilogram kopi, baik bubuk maupun yang baru dipetik, untuk diserahkan ke pos tentara dan milisi. Setiap saat milisi yang dikawal tentara datang mengecek apakah kami sudah menyerahkan kopi atau belum,” ungkap salah seorang korban dari Railaco kepada Direito. Warga tidak punya pilihan. “Kalau menolak, kami ditangkap lalu disiksa dan dituduh mendukung Falintil,” ujarnya. Salah seorang temannya diculik dan sampai sekarang belum kembali. Menurut anggota BTT kopi itu harus diserahkan sebagai ganti atas kegiatan mendukung Falintil atau gerakan prokemerdekaan. Tapi nyatanya setelah menyerahkan kopi pun mereka tetap menjadi sasaran teror dan intimidasi. Berulangkali mereka diingatkan agar memilih otonomi, dan jika tidak maka akan dibunuh. “PBB tidak tahu karena setelah jajak pendapat nanti PBB sudah tidak ada lagi di Timor Timur,” katanya menirukan ucapan anggota TNI. Dapat dibayangkan betapa menderitanya penduduk sipil di wilayah itu. Kopi sebagai satu-satunya komoditi dan sumber penghidupan rakyat kecil
malah dijarah dan diperas habis. Rasanya belum cukup dengan tunjangan-tunjangan untuk Timor Timur. Diduga kopi hasil rampasan dari penduduk kecil itulah telah dijual. Sebagian hasilnya dipakai untuk beli rokok. Selain pemerasan kopi hasil usaha rakyat, penjarahan juga terjadi dalam bentuk-bentuk lain. Tapi yang jelas dan benar terjadi adalah tentara dan milisi setiap hari jika tidak mengintimidasi rakyat ya merampas kekayaan milik penduduk kecil yang tidak berdaya. Itu belum terhitung dengan misalnya saat dilakukan operasi. Biasanya tentara mengatakan operasi untuk mencari Falintil yang disembunyikan warga. Setiap rumah penduduk digeledah dan diperiksa. Ada saja barang milik warga yang dibawa pergi, seperti televisi, radio, tape atau apa saja yang dapat dijual. Oleh karena itu, saat ini kami yang memiliki barang-barang seperti itu mencoba memindahkannya ke tempat aman di keluarga yang lain. Dari pada diambil orang lebih baik diamankan dulu. Salah satu pengurus CNRT Cabang Ermera yang mendatangi dapur redaksi Direito menuturkan bahwa mereka yang diketahui menjadi anggota CNRT diwajibkan untuk menebusnya dengan menyediakan uang minimal setiap orang sebesar Rp 750.000. Paling berat adalah para pengurusnya, selain itu mereka juga harus menyediakan satu ekor kerbau dan kambing untuk diserahkan kepada Pos BTT. Kerbau dan kambing itu kemudian dipotong oleh milis-milisi untuk berpesta ria bersama-sama di pos BTT dan dianggap sebagai pesta kemenangan. Dalam acara makan itu anak gadis desa secara paksa diangkut untuk berdansa sekaligus menjadi pacar para tentara dan milisi, dan sesekali digauli
jika menolak akan ditebus dengan nyawa. Di Desa Samalete, Kecamatan Railaco seorang anak gadis diperkosa secara paksa oleh Bimpolda Desa Samalete. Perisatiwa biadab itu menyimpa korban saat tentara dan milisi mengadakan pesta sehabis kampanye Golkar di Desa Railaco Leten. Sebagian warga yang tak tahan dengan semua peritiwa itu hanya diam seribu basa. Dan sebagai usaha penyelematan dirinya, mereka melarikan diri ke Dili melalui hutan belantara. Membawa serta keluarga dan ada yang terpaksa meninggalkan keluarga mereka di sana. Yang tidak ke Dili dengan terpaksa harus merelakan diri untuk bergabung dengan milisi pro Integrasi. Tentu saja ada yang terpaksa bergabung dengan milisi karena tidak ada pilihan lain kecuali harus melakukan semua perintah anggoa BTT dan milisimilisi. Disuruh bunuh orang, harus bunuh, karena tidak mau dibunuh. Suatu pilihan yang sangat sulit untuk memecahkan persoalan pemerasan kopi dan uang sebagai tebusan dosa-dosa rakyat karena dituduh berhubungan dengan Falintil. Dan segala bentuk kekerasan kriminal dari anggota BTT dan milisi pro Integrasi di Ermera, khususnya di kecamatan Hatulia dan Railaco, saksisaksi itu mengharapkan agar PBB atau pihak mana saja harus segera menekan para pelaku untuk segera menhentikan aksi mereka. Jika tidak dilakukan maka tak lama lagi warga dua kecamatan itu akan mengalami bencana kemanusiaan yang tragis. “Tentara dan milisi di sana sama sekali tak berperikemanusiaan. Mereka itu akan berbuat apa saja sesuai keinginan mereka”. Karena itu adalah pilihan terakhir. Otonomi luas mentahmentah ditolak oleh rakyat secara militan.
*** 12
Direito 02 - 27 Juni 1999