Yayasan HAK Jl. Gov. Serpa Rosa T-091, Farol Dili - Timor Lorosae Tel.: + 670 390 313323 Fax.: + 670 390 313324 e-mail:
[email protected]
Direito Dwi
E d i s i
Editorial Kejaksaan Agung RI mengumumkan daftar nama tersangka pelaku beberapa kasus pembunuhan di TL tahun lalu. Ironisnya, para pejabat militer Indonesia yang sebetulnya lebih bertanggungjawab, malah tidak disebut-sebut sama sekali. Bahkan seorang pimpinan milisi yang nama beberapa anak buahnya tercantum dalam daftar, ditemukan tewas beberapa hari sesudah pengumuman tersebut. Timbul berbagai spekulasi tentang udang di balik batu. Reaksi terhadap rentetan kejadian itu juga bermacammacam. Ada yang menyebut milisi sebagai kelompok bandit. Ketika mereka mengamuk di Atambua, mereka dijuluki perusuh. Benarkah mereka hanya bandit dan perusuh? Dari aksi-aksinya milisi lebih menyerupai bandit. Tetapi sebetulnya mereka adalah bagian dari sebuah aksi penghancuran yang sangat sistematis. Menyebut mereka bandit hanyalah menyederhanakan masalah, dengan membayangkan suatu penyelesaian yang sederhana pula. Ada pihak-pihak yang hanya melihat kejadian-kejadian lalu dari keterlibatan milisi dan menekankan hanya pada proses rekonsiliasi maaf-maafan. Sementara keterlibatan TNI dan POLRI diabaikan. Lebih-lebih sesudah mereka dengan sukses memainkan drama pelucutan senjata milisi, yang sebetulnya hanya memainkan adegan lama di layar baru dan di hadapan penonton baru yang masih lugu-lugu.
Mingguan
0 9
•
Hak
09 Oktober
A za s i
Ma n u s i a
2 0 0 0
Pembunuhan Atambua: Menabur Kekebalan, Menuai Petaka Sejak awal organisasi-organisasi HAM sudah mendesakkan adanya suatu Pengadilan Internasional untuk mengadili milisi dan TNI serta para dedengkot pro-otonomi yang terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Lorosae (TL) tahun 1999. Membiarkan milisi dan TNI berkeliaran sesudah semua kejahatan yang mereka lakukan di TL, sama saja dengan memberi mereka kekuatan untuk terus melakukan aksi-aksinya. Rakyat TL pasti akan terganggu dengan aksi-aksi semacam itu, tetapi pada saat yang sama rakyat Indonesia dan masyarakat internasional juga akan menanggung konsekuensi-konsekuensi yang berat. Pembunuhan staf UNHCR di Atambua adalah contoh.
K
ebrutalan di Atambua berawal dari ditemukannya mayat Olivio Mendonça Moruk di Desa Wanibesak, pada 5 September lalu. Akibatnya, para milisi mengamuk. Ada banyak versi yang berkembang tentang penyebab kematian Olivio. Sebagai protes atas terbunuhnya Olivio, keesokan harinya para milisi Laksaur dari Betun melakukan aksi demo ke kantor DPRD II Belu. Aksi tersebut diawali dengan iring-iringan milisi yang menggotong jenasah Olivio. Ketika rombongan memasuki persimpangan Gedung DPRD II Belu terdengar suara tembakan salvo. Dalam pertemuan dengan anggota Muspida tampak hadir pimpinan Pasukan Pejuang Integrasi, João Tavares.
Olivio Mendonça Moruk, komandan Milisi Laksaur. Salah satu pelaku dan saksi kunci berbagai kasus-kasus pembunuhan di Suai tahun 1999. Kematiannya memicu kerusuhan Atambua.
Sementara berlangsung dialog antara utusan milisi dengan Muspida, sebagian milisi melakukan penyerangan terhadap kantor UNHCR, yang hanya 100 m dari gedung DPRD II Belu. Mereka mengeluarkan dan membakar sebuah mobih Land Cruiser milik UNHCR, sebagian yang lain membunuh tiga orang staf UNHCR, kemudian membakar ketiga mayat tersebut bersama barangbarang peralatan kantor. Setelah membunuh dan membakar tiga orang staf UNHCR tersebut, rombongan pengunjuk rasa kembali ke Betun. Mayat ketiga petugas kemanusiaan itu kemudian menjadi tontonan masyarakat kota Atambua. Dalam siaran pers yang dikeluarkan beberapa hari sesudah insiden itu, Yayasan HAK mengatakan bahwa kematian Olivio Moruk secara misterius itu jelas merupakan langkah untuk menghalangi proses peradilan bagi para pelanggar hak asasi di Timor Lorosae yang sedang berlangsung di Indonesia. Pembunuhan ini akan menjadi penghambat bagi terungkapnya penanggungjawab struktural dalam kasus pembantaian massal di Gereja Suai. Olivio, komandan Milisi Laksaur Merah Putih merupakan salah satu saksi kunci dan akan menjadi ancaman bagi proses pengadilan sejumlah pimpinan militer yang menjadi tersangka dalam kasus Timor Lorosae. “Dalam suasana kacau seperti di Indonesia, khususnya di Timor Barat sangat mudah bagi militer Indonesia untuk menculik atau membunuh para saksi dan tersangka dari golongan milisi yang merupakan pelaku di
Direito Utama lapangan,” kata Joaquim Fonseca, juru bicara Yayasan HAK. “Perlindungan saksi merupakan masalah yang belum diatur secara baik dalam hukum Indonesia,” lanjutnya. Olivio Moruk, menurut Munir dari Kontras Indonesia, cukup keras dan terbuka ketika memberikan kesaksiannya pada anggota KPP-HAM Indonesia. Ia mengakui keterlibatan para pemimpin militer dalam penyerangan di Gereja Suai pada 6 September tahun lalu, seperti Herman, bekas bupati Covalima dan bekas Koramil Suai Kota, Sugito.” *** “Insiden Atambua itu kemungkinan ada hubungannya dengan pengumuman 19 nama tersangka kasus pelanggaran hak asasi berat di sini,” kata Patrick Borgess, pada Direito. Kepala Unit HAM-UNTAET itu mengatakan, ada dua motif dari insiden Atambua. Pertama, insiden itu terjadi satu minggu setelah pengumuman nama-nama para tersangka, dan kedua insiden tersebut ada hubungannya dengan peringatan satu tahun penyerangan Gereja Suai, yang menampilkan nama para korban dan para saksi dari peristiwa itu. Pihak UNTAET masih menunggu reaksi dari pemerintah Indonesia dalam memproses para pelaku penyerangan itu di pengadilan. “Sejauh mana Indonesia akan melakukannya,” kata Patrick. Meskipun demikian, UNTAET akan tetap bekerja sama dengan pemerintah Indonesia, terutama untuk memulangkan pengungsi yang masih berada di Timor Barat. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Galuh Wandita, penasehat Fokupers [Forum Komunikasi Perempuan Timor Lorosae]. Insiden pembunuhan Olivio dapat menjadi ancaman bagi para saksi kunci kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Timor Lorosae. Terutama berpengaruh terhadap Memorandum of Understanding [MOU] yang ditanda-tangani UNTAET dan Pemerintah Indonesia. Menurut MOU, pemerintah Indonesia dapat mendatangkan saksi kunci dalam kasus kejahatan di Timor Lorosae. Begitu pula sebaliknya. Insiden tersebut tentu akan menjadi ancaman bagi Indonesia. “Para saksi dari Timor Lorosae tak akan berani ke Indonesia, karena Indonesia tidak memiliki mekanisme perlindungan yang jelas bagi saksi,” kata Galuh. Kredibilitas Kejaksaan Agung pun akan dipertaruhkan. Khusus insiden itu sendiri telah menjadi ancaman bagi Jaksa Agung RI dalam mengusut tuntas pelaku pelanggar HAM menuju penegakkan hukum yang adil bagi rakyat Timor Lorosae dan penciptaan Direito 09
Milisi pro-Indonesia dalam sebuah aksinya di Dili. Minta maaf saja tidak cukup. demokratisasi di Indonesia. Pemerintah Indonesia semestinya memprioritaskan kasuskasus pelanggaran hak asasi yang terjadi di Timor Lorosae. Karena akan menjadi strategi bagi penegakkan hukum, hak asasi manusia dan demokratisasi di Indonesia. *** Menurut Sekretaris Jenderal Dewan Solidaritas Mahasiswa, Joao da Silva Sarmento, pembunuhan terhadap Olivio dan penyerangan kantor UNHCR merupakan konspirasi politik pemerintah Indonesia, terutama antara militer Indonesia dengan milisi. Keduanya tidak dapat dilihat secara terpisah. “Milisi ada karena ada TNI, yang menjadi sumber penghidupan milisi. Jadi, insiden itu bukan masalah milisi tapi menjadi masalah TNI. Mereka membentuk milisi, mendukung dan memberi senjata.” Ada dua hal yang harus dilihat secara terpisah. Pertama, insiden itu merupakan masalah di atas masalah. Bahwa proses pengadilan bagi pelaku kejahatan di Timor Lorosae masih berlangsung dan Olivo Moruk merupakan salah satu saksi yang terlibat dalam kekerasan itu. Ini merupakan rencana militer untuk menghilangkan saksi kunci. Kedua, ketidak-mampuan pimpinan TNI untuk melucuti senjata para milisi. Konsekuensinya, aktivitas milisi semakin brutal. Insiden itu telah membuka mata dunia internasional, bahwa pemerintah Indonesia tidak dapat dipercaya dalam penegakan hak asasi dan demokrasi. “Sudah saatnya bagi dunia internasional untuk membentuk pengadilan internasional, untuk mengadili pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Lorosae tanpa pandang bulu.” *** Selama 24 tahun Indonesia menjajah wilayah Timor Lorosae pihak luar begitu percaya pada 09 Oktober 2000
pemerintah Indonesia. “Setelah insiden Atambua, PBB harus mengambil posisi untuk tidak lagi mempercayai pemerintah Indonesia,” kata Juvencio, dari Juventude Lourico As’wain Timor Lorosae. Jalan keluar terbaik adalah segera digelar pengadilan internasional untuk mengadili petinggi militer Indonesia yang terlibat, termasuk milisi yang aktif dalam teror dan intimidasi. Dengan begitu, tentara Indonesia tidak akan berani lagi mengganggu wilayah perbatasan. Selama ini PBB percaya dengan janjijanji Indonesia. Usaha teror dan intimidasi terhadap pengungsi tidak pernah dianggap serius. Setelah kantor UNHCR tidak lagi dibuka di Atambua, praktis urusan pemulangan pengungsi menjadi terhambat. “Jika situasi seperti ini tetap dipelihara, maka usaha rekonsiliasi nasional yang sedang diperjuangkan akan terhambat.” Untuk mempermudah pemulangan pengungsi, maka pihak militer Indonesia harus ditekan. Menurut Juvencio, untuk memulangkan pengungsi perlu ada mekanisme koordinasi, yang berbentuk komisi. Misalnya, Komisi Repatriasi dan Rekonsiliasi. Komisi ini yang akan bertugas untuk meyakinkan, menyebarkan informasi, dan menyadarkan para pengungsi dan anggota milisi untuk secara sukarela pulang ke daerah asalnya di Timor Lorosae. Kelompok pemuda merupakan salah satu kekuatan untuk melakukan gagasan ini. “CNRT telah memiliki Komisi Rekonsiliasi, tapi mereka hanya bekerja di Timor Lorosae. Sebenarnya komisi tersebut dapat difungsikan juga di Timor Barat,” saran Juvencio. Mungkin, masalahnya terletak pada kordinasi. Ada banyak elemen kekuatan yang potensial untuk melakukan usahausaha repatriasi dan rekonsiliasi. Badan internasional seperti UNHCR dan IOM dapat bekerja sama dengan organisasi lokal di Timor Lorosae. *** 2
Wa w a n c a r a Amandio Benevides
Jaksa Tidak Bekerja Maksimal Berkaitan dengan pengumuman 19 tersangka kasus kejahatan terhadap kemanusiaan, pada awal September lalu, Direito bermaksud mewawancarai Kepala Kejaksaan Dili, Longinus Monteiro. Namun, Longinus menunjuk Jaksa Armandio Benevides. Tidak lama setelah pengumuman 19 tersangka pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan Timor Lorosae, ternyata terjadi pembunuhan Olivio Mendoça Moruk, yang dikabarkan merupakan salah seorang saksi kunci dibunuh di Atambua. Menurut Anda, apakah ini menunjukkan adanya usaha untuk menghilangkan saksi? Olivio Moruk adalah salah seorang komandan Milisi Laksaur. Ia juga termasuk salah seorang saksi kunci dalam kasus pembantaian di Gereja Suai. Pemerintah Indonesia sejak awal mengatakan, kejadian itu (pembunuhan Olivio, red.) murni kriminal. Jadi, kasus itu disebutkan tidak ada kaitan dengan politik. Tapi sejumlah aktivis Hak Asasi Manusia di PBB dan juga di Indonesia menuduh pihak TNI lah yang bertanggung jawab atas kasus itu. Kalau demikian tujuannya tentu untuk menhilangkan saksi. Kita yakin saja bahwa Olivio dibunuh karena berkaitan dengan kesaksiannya, tapi itu saja tidak cukup. Yang penting sekarang adalah harus ada satu penyelidikan atau investigasi oleh sebuah komisi investigasi yang independen dan untuk bisa independen harus melibatkan komunitas internasional. Tim inilah yang harus memutuskan, apakah kasus itu kriminal atau karena berkaitan dengan persoalan politik. Tim seperti itu harus dibentuk karena untuk mengklarifikasikan apa latar belakang pembunuhan atas diri Olivio Moruk itu. Apakah Anda menyangsikan penyelidikan yang dilakukan oleh Polisi Indonesia? Saya tidak bisa menuduh, tapi pengalaman selama ini menunjukkan bahwa polisi Indonesia atau pemerintah Indonesia sering merekayasa dan memanipulasi hasil penyelidikan atas sejumlah kasus kekerasan sebelumnya. Itu bukan saja di Timor Lorosae yang selama 24 tahun hidup “serumah” dengan Indonesia, tapi juga di wilayah Indonesia lainnya. Dengan kata lain, Indonesia memang sulit dipercaya. Karena itu dibentuknya komisi di atas adalah sangat penting. Hasil penyelidikan Indonesia sudah mengindikasikan keterlibatan TNI dalam kasus pembunuhan Olivio dan juga kasus 3
pembunuhan atas tiga staf UNHCR di Atambua. Bukankah ini menunjukkan satu bukti kesungguhan Indonesia? Tentang keterlibatan TNI saya kira itu sudah pasti, tapi apa yang dilakukan Indonesia yang dengan berani menyebutkan keterlibatan TNI dimaksud harus kita lihat dari aspek lain juga. Kita tidak bisa mengabaikan faktor tekanan internasional pada Indonesia. Prediksi saya, walaupun hasil penyelidikan dimaksud sudah menunjukan kemajuan, tapi jika tekanan internasional berkurang, maka posisi Indonesia akan kembali seperti semula. Kejaksaan Agung Indonesia tidak menyebut nama para pelaku utama kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Lorosae, kemudian terjadi pembunuhan terhadap Olivio Moruk dan tiga staf UNHCR itu oleh banyak kalangan dilihat sebagai satu momentum yang bagus untuk terus menekan PBB agar menggelar tribunal internasional. Karena Indonesia dituduh tidak menunjukkan niat baik untuk menanganinya secara serius. Apa komentar Anda? Hasil investigasi Kejaksaan Agung Indonesia jauh dari harapan rakyat Timor Lorosae. Orang-orang yang seharusnya dikategorikan sebagai tersangka utama, tidak tercantum namanya. Dunia internasional sudah diingatkan sejak dahulu bahwa Indonesia tidak pernah dapat dipercaya. Tapi mereka tetap saja memberikan kepercayaan pada Indonesia. Setelah insiden pembunuhan tiga staf UNHCR di Atambua, PBB seharusnya mulai mengambil langkah tegas untuk menggelar tribunal internasional. Jadi peluang itu besar dan itu harus dimanfaatkan betul. Anda mengatakan, sudah saatnya PBB menggelar tribunal internasional. Tapi bagaimana dengan Memorandum of Understanding yang telah disepakati antara pihak UNTAET dengan pemerintah Indonesia? Dalam Memorandum of Understanding [MOU] antara UNTAET dengan Indonesia, pada intinya mengatakan, jika proses Direito 09
pengadilan di Indonesia berlangsung dan jika dianggap perlu mendatangkan saksi, korban atau pelaku yang berada di Timor Lorosae, maka hal itu menjadi tanggungjawab UNTAET. UNTAET akan mengirimkan orang-orang tersebut ke Indonesia. Begitu sebaliknya. Tapi seandainya situasi tidak memungkinkan pengadilan Indonesia berjalan dengan fair dan mencakup para pelaku utamanya, maka saya pikir MOU itu tidak relevan lagi.
Pengalaman selama ini menunjukkan, bahwa polisi Indonesia atau pemerintah Indonesia sering merekayasa dan memanipulasi hasil penyelidikan atas sejumlah kasus kekerasan....
Di Timor Lorosae persoalan keadilan belum bisa dipastikan. Di satu sisi para leader politik lebih sering berbicara keadilan versi rekonsiliasi politik. Dalam konteks keadilan seperti itu, konsesikonsesi politik bisa mengalahkan keadilan. Bagaimana Anda melihat hal ini? Kita semua menginginkan Unidade, tapi Unidade tidak berarti mereka yang terbukti melakukan tindak kriminal atau kejahatan kemanusian harus kita abaikan. Mereka yang melakukan kejahatan harus tetap diproses secara hukum lewat pengadilan untuk meminta pertanggungjawabannya. Kita boleh saja melakukan rekonsiliasi, tapi tindak kejahatan harus tetap dilihat sebagai kejahatan. Jadi, keadilan akan ada jika para penjahat kemanusiaan itu diadili secara hukum. Jika tidak maka tidak akan ada keadilan. Secara politik kita bisa saja melakukan rekonsiliasi, tapi secara hukum keadilan itu harus jalan. Bagaimana dengan proses peradilan bagi para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan pada September tahun lalu yang saat ini ditahan di penjara Becora? 09 Oktober 2000
Wa w a n c a r a Di pengadilan saat ini ada satu panel khusus yang bertugas memproses kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan, yang disebut sebagai kriminal seirus di Timor Lorosae. Para jaksa dalam panel kusus itu yang akan menanganinya. Sementara ini dua orang yang dituduh sebagai pelaku tersebut sedang dalam proses untuk diadili di Pengadilan Distrik Dili. Saya kira itu akan berlangsung dalam waktu dekat. Bagi masyarakat awam, kasus-kasus yang akan ditangani oleh panel khusus atau oleh siapa pun di pengadilan ini tidak penting. Masyarakat hanya melihat, bahwa keadilan belum berjalan sementara UNTAET telah berada di sini hampir satu tahun. Apa kira-kira penyebabnya? Menyangkut masalah hukum, saya kira yang terjadi adalah sosialisasi hukum itu tidak jalan. Sesuai dengan Peraturan No. 1/1999 UNTAET memutuskan untuk tetap menggunakan hukum Indonesia di sini. Tapi sebagian besar masyarakat tidak mengetahuinya, karena sosialisasi dan diseminasi informasi tentang masalah ini tidak dilakukan secara efektif oleh UNTAET. Sosialisasi yang tidak berjalan itu menyebabkan rakyat berpikir, bahwa hukum belum ada di sini. Bisa saja rakyat akan main hakim sendiri. Sementara yang terkait dengan kinerja dan perkembangan lembaga peradilan,
khususnya yang menyangkut proses peradilan sering terhambat oleh kinerja dan sistem kerja CivPol yang seringkali tidak tentu arahnya. Jadi, persoalannya terletak pada tingkat penyelidikan atau investigasi. CivPol sering membawa orang-orang yang dituduh sebagai pelaku, tapi datanya sangat kurang. Misalnya, seseorang dituduh terlibat dalam satu kasus, tapi CivPol meneliti bagaimana kejadiannya, siapa yang menjadi korban, siapa yang bisa menjadi saksi dan sebagainya. Karena itu, kita sebagai jaksa yang meng- alami kesulitan sementara masyarakat menuntut agar kasus-kasus itu secepatnya diproses. Masalah lain, sumber daya yang kita miliki juga sangat minimal padahal kita Wiranto. Seharusnya masuk daftar tersangka. harus menangani delapan distrik. Satu kasus masuk, kita terpaksa harus melakukan investigasi ulang, UNTAET harus merekrut lagi jaksa dan staf mengkonsep materi perkara dan pada saat administrasi yang akan bekerja untuk yang sama juga menerima pengaduan membantu memperlancar tugas adiministrasi. masyarakat. Padahal pengaduan kasus Selama ini jaksa di Distrik Dili hanya lima orang. Lima orang jaksa tidak akan maksimal seharusnya ditangani CivPol. menangani berbagai kasus di delapan distrik Melihat persoalan yang dihadapi begitu yang berada di bawah kewenangan rumit menurut Anda apa langkah-langkah Pengadilan Distrik Dili. *** untuk me-mecahkannya?
Banyak Versi Tentang Kematian Olivio Moruk Penyelesaian insiden Atambua belum tuntas sampai kini. Ada banyak cerita dibalik peristiwa itu. Berikut kesaksian seorang pekerja kemanusiaan, yang selama ini mendistribusikan bantuan untuk pengungsi di sana. Selasa, 5 September 2000 Berawal dari ditemukannya mayat Olivio Mendonça Moruk, komandan Milisi Laksaur di Desa Wanibesak. Peristiwa tersebut menyebabkan para milisi mengamuk dan melakukan pengrusakan. Rabu, 6 September 2000 Sebagai protes atas terbunuhnya Olivio, para milisi Laksaur dari Betun melakukan aksi demo ke Kantor DPRD II Belu. Aksi demo tersebut diawali dengan iringiringan milisi dari Betun dengan menggotong jenasah Olivio, yang dikawal oleh polisi. Ketika memasuki persimpangan Gedung DPRD II Belu terdengar suara tembakan salvo. Kemudian rombangan memasuki Gedung DPRD dan diterima oleh anggota Direito 09
Muspida [Musyawarah Pimpinan Daerah] Kabupaten Belu. Tampak hadir pimpinan Pasukan Pejuang Integrasi, João Tavares. Sementara berlangsung dialog antara utusan milisi dengan Muspida, sebagian milisi melakukan penyerangan terhadap kantor UNHCR yang letaknya kira-kira 100 m dari Gedung DPRD II Belu. Mereka mengeluarkan dan membakar sebuah mobil Land Cruiser, sebagian yang lain membunuh tiga pekerja kemanusiaan UNHCR, kemudian membakar ketiga mayat tersebut bersama peralatan kantor. Setelah itu, para pengunjuk rasa kembali ke Betun. Mayat ketiga staf UNHCR itu kemudian menjadi tontonan masyarakat. Hingga malam harinya suasana kota Atambua seperti kota mati. Masyarakat 09 Oktober 2000
lokal tidak ada yang berani keluar rumah. Kamis, 7 September 2000 Sejak pagi hari terlihat aktivitas mobilisasi milisi di kota Atambua. Ternyata mereka menuju ke Betun untuk menyaksikan jenasah Olivio. Di Atambua mulai beredar kabar akan terjadi penyerangan terhadap lembaga-lembaga internasional yang membantu pengungsi. Pada hari itu juga mulai terjadi evakuasi staf lembaga internasional ke luar Kabupaten Belu. Pada malam harinya, kabar penyerangan terhadap staf lembaga internasional maupun lokal semakin santer. Sebagian besar pekerja kemanusiaan yang selama ini bekerja untuk membantu pengungsi kemudian memilih untuk bermalam di Pos Kostrad, sebelum dievakuasi ke Dili, Timor Lorosae. 4
O p i n i Indonesia dan Keadilan bagi Timor Lorosae oleh Joaquim Fonseca “Kami akan membunuh sebanyak yang kami bisa,” demikian kata Basilio de Araujo kepada wartawan di Camberra, Australia, ketika menghadiri sebuah konferensi tentang Timor Lorosae (TL) di kota itu. Pernyataan seperti ini memang bukan gertak sambal. Setidaktidaknya memang diniati untuk dilaksanakan. Pernyatan-pernyataan serupa lainnya juga dikeluarkan baik oleh pejabat militer Indonesia maupun petinggi-petinggi pro otonomi lainnya. Keterlibatan para pejabat militer dan pejabat sipil dalam struktur pemerintahan Indonesia jelas terlihat dalam seluruh operasi kampanye kekerasan untuk memaksakan otonomi kepada rakyat TL. Sejak awal, ketika orang mulai berbicara tentang pengadilan terhadap para penjahat itu, sudah tergambar betapa sulitnya jika proses itu dilakukan di Indonesia. Ada sejumlah alasan yang menguatkan kekhawatiran ini. Pertama, kejahatan yang disangkakan kepada para pelaku itu, yakni kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak dikenal dalam hukum materiil Indonesia. Kedua, karenanya, secara formil, Indonesia tidak mempunyai instrumen hukum untuk mengadili kejahatan tersebut. Ketiga, kejahatan yang dilakukan di TL merupakan kejahatan yang melibatkan adanya rantai komando, baik dalam struktur sipil maupun militer Indonesia. Artinya, pejabat Indonesia, terutama militer, pada tingkat paling tinggi pun harus bertanggungjawab. Dalam kultur politik Indonesia, memintai pertanggungjawaban pejabat merupakan sesuatu yang sulit. Apalagi jika yang bersangkutan masih mempunyai kekuasaan. Dari sejumlah kasus yang pernah terjadi di Indonesia, tuntutan keras dari masyarakat akan pertanggungjawaban pejabat hanya berakhir pada dikorbankannya pejabat-pajabat rendahan. Kasus pembunuhan wartawan Udin dan Marsinah adalah contohnya. Seluruh proses peradilan direkayasa sedemikian rupa untuk mengamankan pejabat yang lebih tinggi. Menyerahkan proses pengadilan atas penjahat terhadap kemanusiaan kepada Indonesia memang mempunyai beberapa kelebihan. Jika proses itu dapat berjalan dengan baik di Indonesia, tidak akan ada ketegangan antarnegara untuk menangani pejabat-pejabat tinggi militer Indonesia. Selama ini Indonesia selalu menolak proses apapun yang terkesan sebagai intervensi asing. Dan miiliter Indonesia sangat lihai menggunakan issue seperti ini untuk menggalang dukungan dari kalangan nasionalis Indonesia yang berpikiran sempit. Keuntungan lainnya jika proses itu dilaksanakan di Indonesia adalah adanya
5
perubahan-perubahan pada sistem hukum Indonesia yang mengarah pada pemberian jaminan yang lebih besar bagi hak-hak dan kebebasan-kebebasan sipil di Indonesia. Perubahan pada sistem hukum di Indonesia akan membantu negeri ini menyelesaikan persoalan-persoalan HAM yang terjadi selama ini, termasuk di TL selama 25 tahun. Hal ini juga tentunya menjadi preseden yang positif bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Betapapun baik dan bermanfaat, pelaksanaan proses pengadilan di Indonesia sebetulnya merupakan pergeseran tuntutan dan pilihan dari masyarakat internasional dan masyarakat TL. Ketika pembumihangusan sedang berlangsung di TL, masyarakat internasional dan para pemimpin politik TL menuntut pembentukan sebuah pengadilan internasional untuk mengadili mereka yang bertanggungjawab. Namun ternyata tuntutan ini tidak bertahan lama. Hanya dalam waktu singkat semua pihak menemukan alasan untuk percaya bahwa Indonesia mempunyai kompetensi yang cukup untuk mengadili para penjahat itu. Kepercayaan ini sebetulnya merupakan perjudian dengan kartu mati. Jika ditelusuri, sebetulnya semua pembunuhan selama proses jajak pendapat tahun lalu, dan pembumihangusan sesudah pengumuman hasilnya merupakan akibat dari kegagalan Indonesia mengemban tugas yang dipercayakan padanya untuk mengamankan peroses dan hasil jajak pendapat. Dari kegagalannya ini, Indonesia sebetulnya tidak patut untuk dibebani pekerjaan seperti mengadili penjahat terhadap kemanusiaan. Skeptisme terhadap kompetensi Indonesia mengadili para penjahat terhadap kemanusiaan semakin terbukti dalam beberapa minggu terakhir. Di awal bulan September, Kejaksaan Agung RI mengeluarkan sebuah daftar tersangka pelaku beberapa kejadian pembunuhan di TL. Suatu hal yang aneh adalah bahwa Kejaksaan Agung RI tidak menyebutkan secara jelas kejahatan apa yang dituduhkan kepada orang-orang tersebut. Yang pasti, hingga daftar itu dikeluarkan, Undangundang yang mengatur tentang kejahatan terhadap kemanusiaan belum lolos dari perdebatan di DPR. demikian pula, prosedur tentang perlindungan saksi dan pengamanan barang bukti masih tetap seperti sebelumnya. Jika Kejaksaan Agung RI menyadari bahwa kejahatan yang dilakukan di TL merupakan kejahatan yang terencana secara sistematis, tentu harus disadari bahwa selalu ada kemungkinan usaha pihak-pihak tertentu untuk menghilangkan jejak, agar pengusutan
Direito 09
tidak menjangkau mereka. Dan karenanya, instrumen-instrumen hukum yang memungkinkan adanya perlindungan saksi yang memadai dan pengamanan barang bukti harus disiapkan terlebih dahulu. Akibat dari kecerobohan ini dapat dilihat dari kematian Olivio Mendonça Moruk yang meskipun namanya tidak ada dalam daftar tersangka, merupakan komandan salah satu kelompok milisi, dan terlibat dalam berbagai tindak kejahatan di wilayah Suai. Kematian Olivio Moruk sendiri mempunyai beberapa makna. Pertama, jelas merupakan upaya penghilangan saksi. Dengan pengetahuannya tentang berbagai tindak kejahatan di TL, Olivio merupakan ancaman yang serius bagi para petinggi TNI. Apalagi kasus pembunuhan di Gereja Suai merupakan salah satu kasus yang paling menarik perhatian dunia. Orang-orang yang terlibat di dalamnya pasti semakin gugup mengetahui bahwa ketika diwawancarai oleh KPP-HAM Olivio sangat terbuka dan menyampaikan banyak informasi tentang keterlibatan TNI. Kedua, dengan terbunuhnya Olivio, saksi-saksi lain yang bermaksud memberi kesaksian di pengadilan dapat berubah pikiran. Akibatnya sebagian fakta tidak akan terungkap, dan akan sulit untuk meneruskan proses pengadilan. Ketiga, kematian Olivio dimanipulasi sedemikian rupa untuk membangkitkan kemarahan para pengikutnya. Teori “intervensi asing” dijadikan bahan propaganda dan mengagitasi para pengikut Olivio untuk membunuh ketiga pekerja kemanusiaan itu. Lebih lanjut, dengan memporak-porandakan beberapa rumah di Atambua, para milisi itu akan dituduh sebagai perusuh. Tuduhan perusuh inilah yang akan digunakan untuk mengambil tindakan terhadap para milisi, termasuk dengan melucuti senjata mereka. Semua perhatian akan tercurah pada tindak kerusuhan, dan kejahatan serius yang mereka lakukan di TL sebelumnya akan diabaikan. Buktinya, ketika Eurico Guterres ditangkap baru-baru ini di Jakarta, ia hanya dikenai tuduhan kepemilikan senjata secara ilegal, menghasut orang untuk melakukan tindakan melawan hukum. Sedangkan kejahatannya di TL tidak diperhatikan sama sekali. Akibat lain dari seluruh rangkaian kejadian itu adalah terhambatnya pemulangan para pengungsi TL yang ingin kembali ke tanah airnya. Dan dengan terbunuhnya ketiga petugas kemanusiaan itu, milisi-milisi dan bekas anggotan TNI yang ingin kembali ke TL akan mrngurungkan niatnya, karena berpikir bahwa seluruh masyarakat internasional sedang memusuhi mereka.***
09 Oktober 2000
Serba Serbi Peace Boat Jepang di Timor Lorosae Kapal perdamaian dari Jepang mendarat di pelabuhan Dili, pada 9 September lalu. Masyarakat Jepang yang tergabung dengan peace boat itu membawa bantuan kemanusiaan dan program homestay. Setiba mereka di Dili mereka langsung mengadakan kunjungan ke Maubara, Liquica. Selain mengadakan acara budaya bersama masyarakat setempat, mereka juga menyerahkan 20 sepeda dayung. Bantuan kemanusiaan itu sebagian langsung diserahkan pada masyarakat, tapi sebagian yang lain diserahkan melalui sejumlah NGO, antara lain Timor Aid, Biahula, Fokupers, Yayasan HAK, dan Dewan Solidaritas Mahasiswa. Keesokan harinya, tim sepak bola Jepang mengadakan pertandingan sepakbola persahabatan dengan pemuda Timor. Setelah selesai bertanding sepakbola di Lapangan Pramuka acara dilanjutkan dengan acara festival budaya di Gedung Matahari Terbit, Dili. *** Lokakarya Educacao Popular La’o Hamutuk bersama Grassroots Internasional menyelenggarakan lokakarya Educacao Popular. Dua perempuan dari Brasil, Valeria Rezende dan Carmelita membagikan pengalamannya selama mereka bekerja bersama-sama rakyat. Pada 15-19 September lokakarya diselenggarakan bersama peserta dari Yayasan HAK, Fokupers, Sahe Institute for Liberation [SIL], ET-Wave, Comissao dos Direitos Humanos de Timor Lorosae [CDHTL], dan Instituto Sekular Maun Alin iha Kristo [ISMAIK], di Dare. Setelah itu mereka melanjutkan diskusi bersama dengan setiap NGO di Dili, untuk membantu mengidentifikasikan kebutuhan yang spesifik dan membuat rencana yang nyata. Acara yang diselenggarakan bersama Yayasan HAK dan SIL membahas masalah alfabetisasi, pengorganisasian rakyat, kesehatan popular, pada 20-22 September lalu. Keesokan harinya, Yayasan HAK, SIL, dan La’o Hamutuk menyelenggarakan diskusi masalah ekonomi rakyat di tempat yang sama, di SD 2 Farol dengan mengundang sejumlah NGO nasional. “Rakyat Timor Lorosae membutuhkan bentuk pendidikan Direito 09
alternatif,” kata Valeria. Valeria yang telah berpengalaman selama 30 tahun sebagai pendidik rakyat itu lebih lanjut mengatakan, jika tidak ada pendidikan rakyat maka rakyat Timor tidak akan pernah berpartisipasi dalam menentukan masa depannya. “Masa depan Timor Lorosae hanya akan ditentukan oleh sekelompok orang yang merasa dirinya tahu segalanya, padahal biasanya mereka tidak tahu apaapa.” *** Lokakarya Hak Asasi Manusia di Baucau Bekerjasama dengan Comissão de Justiça e Paz Diocese Baucau, Yayasan HAK menyelenggarakan lokakarya pemantauan dan advokasi HAM, pada 25-28 September yang diikuti 16 peserta dari Baucau, Manatuto, Lospalos, dan Viqueque. Mereka adalah guru sekolah dasar dan menengah, katekis, aktivis Foinsae Katolika (Pemuda-pemudi Katolik), aktivis pemuda OJETIL, dan pengurus RDTL. Dalam lokakarya ini dibahas instrumen internasional hak asasi manusia, khususnya yang berkaitan dengan hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya; hak perempuan, dan hak anak. Para peserta menyimpulkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang paling menonjol di masa pendudukan Indonesia adalah hak sipil dan politik, seperti hak atas kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul dan berorganisasi, hak bebas bergerak ke mana saja, hak bebas dari penyiksaan, dan hak hidup. Sementara di masa transisi ini yang menonjol adalah pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya, seperti hak bekerja dengan upah yang layak, hak atas pendidikan, dan hak atas bantuan sosial dan pelayanan medis. Para peserta juga menyaksikan dua video, yang pertama berjudul Viva Timor Lorosae: The Untold Story of East Timor Struggle for Independence karya Lyndall Bary dan Sophie Barry yang menggambarkan perjuangan rakyat Timor menjelang Jajak Pendapat 30 Agustus 1999 sampai kembalinya Presiden CNRT Xanana Gusmão ke Timor Lorosae. Video kedua berjudul Burning Season, yang mengisahkan perjuangan seorang tokoh serikat buruh dari Brasil bernama Chico Mendes, yang berjuang membela hak-hak 09 Oktober 2000
penyadap karet di suatu desa terhadap para kapitalis besar yang mau menjadikan daerah tersebut sebagai peternakan dan lahan penebangan kayu. Video ini digunakan untuk memberikan gambaran kepada peserta tentang kerja advokasi hak asasi manusia. Para peserta umumnya mengatakan bahwa kegiatan ini sangat berguna bagi mereka karena Timor Lorosae telah begitu lama mengalami pelanggaran hak asasi manusia, sehingga orang cenderung menganggapnya hal yang biasa. Para peserta menyatakan keinginannya untuk segera menyebarkan pemahaman tentang hak asasi manusia kepada masyarakat sekitar tempat tinggal mereka. “Ada gejala bahwa para pemimpin politik kita mengarahkan negeri ini ke arah otoriterisme, seperti Indonesia pada zaman Soeharto. Untuk menghadapinya kita memperkuat hak asasi manusia.” *** Tanggapan Atas Rancangan Peraturan Acara Pidana Transisi Sejak 25 Oktober 1999 menjalankan misinya di Timor Lorosae, UNTAET telah mengeluarkan banyak peraturan di berbagai bidang. Rancangan terbaru untuk bidang peradilan adalah Rancangan Peraturan Acara Pidana Transisi. Pada kesempatan tersebut, Aniceto Guterres Lopes dari Yayasan HAK memberikan komentarnya saat pembahasan di NCC pada 22 September lalu. Maksud utama penyiapan rancangan Peraturan Rancangan Pidana Transisi adalah untuk membuat hukum acara pidana baru, sesuai dengan tuntutan situasi saat ini, sekaligus mengganti hukum acara pidana warisan Indonesia. “Kenyataan menunjukkan, KUHAP atau hukum acara pidana Indonesia yang diberlakukan di Timor berdasarkan Peraturan UNTAET No. 1/1999,” kata Aniceto. KUHAP tersebut masih relatif baik dan masih tetap dipakai oleh hakim dan jaksa di pengadilan dengan beberapa penyesuaian pada sistem baru yang telah dibentuk oleh UNTAET. Tercakupnya masalah pengaturan hak-hak korban, hak tersangka untuk diam, peradilan anak menjadikan rancangan ini berbeda dengan KUHAP yang lebih rinci, sistematis dan relatif lengkap. Ternyata, rancangan ini masih mengandung banyak kelemahan baik dari 6
Serba Serbi sisi substansi, kelengkapan maupun bentuk formalnya. Apa saja? Pertama, tidak ada pengaturan mengenai hal yang esensial, seperti prosedur dan tanggungjawab atas penahanan, prosedur penyitaan barang, tata-cara penyimpanan barang bukti, cara penilaian kekuatan alat bukti, pemeriksaan terdakwa; kedua, kandungan hak asasi masih lemah. Misalnya, hak-hak tersangka tidak diatur sesuai standar internasional maupun konteks Timor Lorosae. Masa penahanan tersangka/terdakwa terlalu lama, bahkan pengadilan bisa memperpanjangnya tanpa batas. Ketiga, tidak adanya bagian khusus untuk penjelasan yang seharusnya ada pada setiap peraturan, baik penjelasan umum maupun pasal demi pasal. Hal ini penting untuk memahami isi maupun semangat dari peraturan, sekaligus memberikan batasan-batasan sebuah interpretasi; keempat, secara khusus tidak mengatur prosedur atau acara peradilan tentang serious crime sebagaimana diatur dalam Peraturan UNTAET No. 15/2000. Kelima, pengaturan dan rumusannya masih sangat umum dan tidak lengkap, sehingga terjadi tumpang tindih dan terjadi pertentangan antar pasal yang satu dengan pasal yang lain; keenam, masalah pembuktian atas kejahatan seksual untuk melindungi perempuan korban kekerasan seksual tidak dipertimbangkan. Ketujuh, tidak adanya pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran sesuai dengan hukum pidana materil, susuai KUHAP, sehingga dalam rancangan ini tidak ada pengaturan khusus mengenai prosedur bagi tindak pidana pelanggaran seperti pelanggaran lalu lintas; kedelapan, secara keseluruhan rancangan ini kurang sesuai dengan konteks Timor Lorosae. “Peraturan ini belum layak untuk disyahkan,” kata Aniceto. Karena itu Yayasan HAK merekomendasikan sebagai berikut, pertama, membentuk tim khusus yang terdiri atas pakar dan profesional hukum, baik dari UNTAET maupun orang Timor Lorosae di bawah Legal Affairs UNTAET. Kedua, mengesahkan rancangan ini tanpa mencabut atau dengan tetap dilengkapi oleh KUHAP. Ketiga, menunda pengesahan rancangan ini dan membuat studi khusus terhadap KUHAP untuk membuat peraturan baru yang bersifat amandemen terhadap KUHAP sembil menunggu berakhirnya masa transisi, yang praktis tinggal satu tahun lagi. *** 7
Komite Senat AS Melarang Hubungan Militer dengan Indonesia WASHINGTON - Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS mengeluarkan legislasi yang melarang semua bantuan militer AS kepada Indonesia. Komite ini mengeluarkan legislasi ini dengan pemungutan suara aklamasi. Peraturan ini sekarang diajukan ke sidang Senat. Peraturan yang disebut The East Timor Repatriation and Security Act of 2000 (S. 2621) melarang kerjasama militer dengan dan bantuan untuk angkatan bersenjata Indonesia sampai Presiden AS menetapkan syarat-syarat tertentu untuk dipenuhi oleh pemerintah dan militer Indonesia, termasuk kembalinya pengungsi ke Timor Lorosae dengan aman dan pertanggungjawaban hukum anggota-anggota militer dan milisi yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Timor Lorosae dan Indonesia. Undang-undang ini juga mengharuskan Indonesia membuktikan janjinya untuk mencegah milisi menyusup masuk Timor Lorosae dan mengganggu administrasi PBB di Timor Lorosae. “Undang-undang ini mencegah AS secara prematur memulihkan kembali hubungan militernya dengan Indonesia. Ini menambah tekanan internasional yang luas terhadap Indonesia untuk mengendalikan milisi dan mengakhiri kolusi antara militer dan milisi yang diciptakannya,” kata Karen Orenstein dari organisasi solidaritas East Timor Action Network (ETAN). “Kami bergabung dengan Kongres AS mendesak pemerintah Indonesia untuk melaksanakan janji-janjinya sendiri melakukan tindakan untuk menciptakan kedamaian, stabilitas, dan keadilan bagi Timor Lorosae.” Undang-undang ini mengutip pembunuhan tanggal 6 September terhadap para pekerja kemanusiaan PBB (termasuk seorang warganegara AS) di Timor Barat oleh milisi, latihan dan dukungan angkatan bersenjata Indonesia kepada milisi, kematian dua anggota pasukan penjaga perdamaian PBB di Timor Lorosae dalam serangan milisi, dan pembunuhan penduduk AS dan pejuang hak asasi manusia Jafar Siddiq Hamzah di Medan, Indonesia, sebagai alasan penyebab langkah ini. Direito 09
S.2621 memperpanjang dan memperluas pembatasan Kongres yang berlaku sekarang yang dikeluarkan bulan November 1999 sebagai bagian dari FY 2000 Foreign Operations Appropriations Act. Undang-undang ini hanya meliputi hal-hal seperti International Military Education and Training (IMET, program Pendidikan dan Latihan Militer Internasional) dan Foreign Military Financing (FMF, program Pembiayaan Militer Asing) yang harus diperbaharui setiap tahun. S. 2621 diajukan oleh Senator Russel Feingold (Demokrat, WI) dan disponsori oleh sembilan anggota lain termasuk Patrick Leahy (Demokrat, VT), Tom hakin (Demokrat, IA), dan Lincoln Chavee (Republik, RI). Bulan September 1999, AS membatalkan hubungan militer dan bantuan ekonomi kepada Indonesia ketika militer Indonesia dan milisi bentukannya menghancurkan Timor Lorosae setelah referendum 30 Agustus. Tidak lama kemudian, militer Indonesia mulai menarik diri dari Timor Lorosae dan pasukan pemelihara perdamaian internasional masuk. Musim semi lalu, militer AS mulai merencanakan tahap keterlibatan kembali dengan militer Indonesia. Perwira-perwira Indonesia ambil bagian sebagai pengamat dalam latihan militer Cobra Gold yang disponsori AS di Thailand bulan Mei. Bulan Juli, di Jawa Timur diselenggarakan latihan gabungan AS-Indonesia disebut CARAT/2000, dalam mana angkatan laut dan marinir Indonesia berlatih bersama rekan-rekan mereka dari militer AS. Sebelum kunjungan Menteri Pertahanan AS William Cohen ke Indonesia tanggal 17 dan 18 September, baru Pentagon mengatakan bahwa mereka telah kembali memberlakukan pemutusan bantuan milier AS kepada Indonesia. Undang-undang yang menyertai, The Repatriation and Security Act of 2000 (HR 4357) diajukan awal tahun ini di Dewan Perwakilan Rakyat oleh Jim McGovern (Demokrat, MA), Chris Smith (Republik, New Jersey), Patrick Kennedy (Demokrat, Rhode Island), dan lain-lain. HR 4357 sekarang mendapat 55 sponsor. [Sumber: ETAN, 29/09/2000] 09 Oktober 2000
Ami Lian Semua Pelaku Harus Diadili Ayah kami dibunuh milisi pro-Indonesia pada 6 September 1999. Kami sangat kehilangan ayah yang menjadi tumpuan keluarga. Kini, ibu menjadi janda dan kami berenam, anaknya menjadi yatim. Kami berharap para pelaku diadili karena perbuatan mereka telah menelan korban yang tak terhitung lagi jumlahnya. Keadilan tidak datang begitu saja seperti firman Tuhan atau belas kasih dari para pembesar, tapi keadilan datang melalui sebuah perjuangan yang sangat panjang. Kesembilan belas tersangka telah diumumkan itu tidak mengakumulasi semua tersangka yang terlibat dalam aksi pembumihangusan Timor Lorosae. Karena banyak pihak hanya melihat pada kasus-kasus besar, sementara kasus pembunuhan terhadap seorang petani tidak diperhatikan. Itu sangat diskriminatif dalam proses peradilan, penegakan keadilan, dan hukum di mata masyarakat. Bagi kami, semua yang terlibat harus diadili agar kita tahu kesalahan mereka. Pengadilan lah yang akan membuktikannya. Kita jangan bicara masalah rekonsiliasi yang tak jelas arahnya. Jangan bicara rekonsiliasi tanpa membicarakan keadilan. Itu hanya membuat keluarga korban semakin merasa tak berdaya. [Mario] *** Kami Hanya Bisa Menangis Sebagai penjaga kantor, saya tetap datang ke kantor meskipun milisi dan TNI semakin brutal. Saya seperti punya firasat akan terjadi sesuatu, begitu pula kawan-kawan yang lain. Akhirnya, saya memutuskan untuk tetap di kantor bersama sekitar 38 staf yang bekerja di gedung tempat saya bekerja. Saya pun tak memberitahu istri dan anak saya bahwa pada hari itu, 5 September saya tidak pulang seperti kebiasaan saya. Sepanjang hari Minggu itu kami mempersiapkan diri seandainya kantor diserang. Ternyata, dugaan kami benar. Milisi dan TNI menyerang kantor kami dari berbagai arah. Ketika Brimob
kemudian memaksa kami untuk dibawa ke Polda, saya memutuskan untuk tetap tinggal di kantor. Saya harus bertanggungjawab atas seluruh barang dan gedung itu. Ketika saya tidak beranjak, saya dibentak oleh seseorang, entah siapa, “Apa lagi yang harus dijaga kalau kantor sudah dihancurkan seperti ini.” Saya seperti robot dan kemudian ikut mengungsi ke Jakarta. Sehari setelah penyerangan itu, istri dan anak saya mendapat kabar bahwa saya telah tewas sementara teman-teman lainnya menyelamatkan diri. Karena tak mendapat kabar apa pun tentang saya, istri saya pernah sakit selama beberapa hari. Anak saya pun hanya bisa menangis. Selama satu bulan delapan hari di Jakarta saya pun tidak tahu di mana mereka berada. Ketika saya kembali ke Dili pada 15 Oktober 1999, keluarga saya baru percaya bahwa saya masih hidup. Saat bertemu kembali, kami hanya bisa menangis. Saya merasa bersyukur karena bertemu dengan anak dan istri saya. [Antoninho] *** Kami Dibentak Dua Tentara Dua hari sebelum pengumuman referendum, suami saya sudah tidak berada di rumah. Tetangga mulai mengemasi barang-barangnya. Katanya, akan mengungsi ke Kupang. Kenapa harus mengungsi? “Kita pasti akan dibunuh Milisi Aitarak,” bisik mereka. Saya mencoba tenang karena suami saya pernah mengatakan situasi akan aman. Sehari sebelum pengumuman saya mulai khawatir ketika dua orang milisi berdiri di halaman rumah. Saya mencoba menghubungi suami saya di kantor, tapi dia tak di tempat. Tanpa berpikir panjang saya segera menuju rumah kakak saya di Bairo Pite. Sore harinya saya menjemput mertua dan anak sulung saya. Suara tembakan mulai terdengar di mana-mana. Ketika kami tengah bergembira setelah menyaksikan pengumuman hasil referendum, datanglah dua polisi berseragam lengkap. Mereka
menanyakan, “Siapa yang menang?” Spontan kami menjawab: kelompok prokemerdekaan. Tak lama setelah polisi itu pergi, datang dua orang tentara bersenjata. Mereka langsung masuk ke dalam rumah sambil mengatakan, “Kalau menang jangan berteriak-teriak. Nanti kami tembak,” bentak mereka. Tentu saja kami ketakutan. Setelah mereka pergi, kami memutuskan segera pergi. Situasi ternyata semakin tidak aman. Kami pindah dari satu tempat ke tempat lain. Pada 5 September siang suara tembakan terdengar dari berbagai arah. Sekitar pukul 16.00, kakak ipar saya mengajak kami mengungsi ke pegunungan Dare, karena situasi semakin kacau. Mendekati bukit hari semakin malam. Kami memutuskan untuk beristirahat di rumah seorang keluarga di tepian bukit. Dua atau tiga jam kemudian perlahan-lahan kami menaiki bukit. Suasana begitu gelap dan dari arah kota terus terdengar bunyi letusan senjata. Lelahnya luar biasa. Setiap berjalan lima atau tujuh meter saya beristirahat. Untung anak kedua saya Valdinho, entah karena apa, senang berjalan kaki sambil membawa tongkat. Anak berusia tiga tahun itu tampak lebih kuat dari pada saya. Di tengah perjalanan, saya mendengar obrolan para pengungsi, bahwa kantor suami saya dibakar dan seluruh stafnya tewas. Seketika itu saya lemas. Mertua saya menangis. Tapi saya yakin, bahwa dia berhasil lolos. Valdinho tiba-tiba menangis sambil berteriak, “Papa la mate ida, los ka lae mama? Papa haksoit sai janela, papa la mate ida.” (Papa tidak mati. Papa loncat lewat jendela, ya ‘kan Ma? Papa tidak mati). Seorang teman menghampiri dan membesarkan hati saya, “Informasi itu belum tentu benar. Sebaiknya segera mencari tempat untuk berteduh agar anak-anak bisa tenang.” Kami pun terus mendaki dan menemukan tempat yang aman. Saya terus berdoa sambil mencari informasi tentang suami saya. Puji Tuhan, pada hari ketiga suami saya datang. [Christina] ***
Redaksi Direito
Diterbitkan atas dukungan:
Pemimpin Redaksi: Rui Editor: TI Lay Out: Quim Staff & Reporter: Neves, Rodrigues, Exposto, Silva, Borges, Julio, Bangbo, Abel. 8 Direito 09
09 Oktober 2000