Yayasan HAK Jl. Gov. Serpa Rosa T-091, Farol Dili - Timor Lorosae Tel.: + 670 390 313323 Fax.: + 670 390 313324
Direito
e-mail:
[email protected]
Dwi
E d i s i
Mingguan
15
Hak
Azasi
Manusia
7 Mei 2001
Bila Opsi Pertama Gagal ... Sebelum dan setelah pengumuman hasil Konsultasi Popular terjadi pemaksaan pengungsian besar-besaran. Pemerintah Indonesia telah merancangnya dengan baik.
Daftar Isi Direito Utama .................................... Bila Opsi Pertama Gagal .... 1-2 ............................. Upaya Melakukan Koordinasi ....... 3 ................................. Pengungsi dan Masalahnya ...... 4 Aktualita ..................................................... Keadilan Sehari-hari ....... 5 InfoHukum ........... Kapan Timor Lorosae MemperolehKeadilan? ...... 6-7 Wawancara ................................. José Luís de Oliveira: UNTAET Harus Kita Paksa ....................... 8-9 Kesaksian .................................. Dare Jadi Saksi, Dili Kota Mati ........ 10 ................................... “Tidak Senang di Atambua?” ........... 11 Opini ....................... Nasib Pengungsi Dalam Panel Khusus Dewan Keamanan PBB ... 12-13
Serba Serbi .......................................... Pelatihan di Tiga Wilayah ........ 14 ................................ Workshop Meliput dari Pengadilan ....... 14 Ami Lian ................................................. Sulitnya Membantu Pengungsi ....... 15 .. Indonesia Bisa Dinilai Tidak Serius Tangani Pengungsi ..... 16 ...................................... Mereka Mau Lari Ke Mana? ...... 16
R
encana cadangan bila Opsi I ditolak, pemerintah Indonesia akan mengevakuasi pegawai negeri sipil dan pendatang sebelum pengumuman hasil Konsultasi Popular ke wilayah NTT (Nusa Tenggara Timur). Mereka telah menyiapkan daerah NTT untuk menerima pengungsi secara besar-besaran berikut pengamanannya. Evakuasi paksa itu telah direncanakan dengan baik melalui dokumen dari Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Politik dan Keamanan: M.53/Tim P4-OKTT/7/1999 yang berasal dari Asisten Menko Polkam I Bidang Politik Dalam Negeri. Dokumen yang ditujukan kepada Menko Polkam itu ditulis pada 3 Juli 1999. Pemerintah Indonesia juga menyebarkan rencana pemetaan Provinsi NTT berikut lokasi untuk transmigrasi dan berapa kepala keluarga untuk setiap daerah yang disebut “Potensi Calon Lokasi Resettlement Propinsi NTT.” Pengungsi semakin meluap setelah pengumuman hasil Konsultasi Popular dengan 78.5% bagi kelompok prokemerdekaan. Kemarahan pendukung otonomi yang didukung oleh militer diujudkan dengan membakar rumah dan bangunan termasuk menjarah isinya. Pembunuhan juga terjadi di seluruh wilayah Timor Lorosae yang mengakibatkan begitu banyak orang menjadi korban (belum ada penghitungan resmi berapa jumlahnya). Pemaksaan itu dilakukan dalam sebuah operasi besar oleh TNI dan milisi. Rakyat diberi dua pilihan: meninggalkan Timor Lorosae atau dibunuh. Akibatnya, banyak di antara mereka yang hanya membawa baju yang melekat di badan. Menurut pemantauan Yayasan HAK pada November 1999, warga di Hatolia ditangkapi dan kemudian dipaksa meninggalkan wilayah di Distrik Ermera. “Tidak
Editorial
S
ekarang ini sebagian warga Timor Lorosae masih “tertinggal” di negeri tetangga, Timor Barat. Jumlah mereka sekitar 80.000-100.000. Mereka hidup dalam keadaan serba tidak pasti. Menurut pekerja kemanusiaan Indonesia yang memberi bantuan kepada mereka, banyak pengungsi yang ingin segera pulang. Tetapi, mereka ketakutan. Menurut “informasi” yang mereka peroleh, laki-laki yang pulang akan dibunuh atau disiksa oleh orangorang pro-kemerdekaan dan PKF. Sedang yang perempuan akan diperkosa. Cerita-cerita seram seperti ini sengaja dihembus-hembuskan oleh orang-orang yang berkepentingan menahan mereka di sana. Apa kepentingan mereka? Pertama, untuk “membuktikan” kepada dunia bahwa banyak orang Timor Lorosae yang tidak sudi merdeka. Kedua, agar bantuan kemanusiaan terus mengalir. Maklum, banyak pemimpin milisi yang hidupnya sekarang tergantung pada bantuan, karena mereka tak lagi mendapat “gaji” dari TNI. Apalagi mereka itu terbiasa hidup mewah dua puluh empat tahun dengan berbagai macam fasilitas dari TNI dan pemerintah Orde Baru. Mereka tentu tak akan mau bekerja keras mengolah tanah. Maka pengungsipun menjadi “tawanan” pro-integrasi.Nasib pengungsi ini semakin tidak menentu setelah terjadinya pembunuhan tiga orang staf UNHCR, September 1999. Sebelum pembunuhan saja, UNHCR sangat lambat dalam pemulangan pengungsi. Alasan mereka banyak: jalan ke desa asal rusak, rumah masih hancur, transportasi tidak ada, dan sebagainya. Apalagi sekarang. Badan PBB yang berkewajiban menangani pengungsi ini hingga hari ini masih belum kembali bertugas di Timor Barat. Mereka akan kembali jika pemerintah Indonesia memberikan jaminan keamanan. Jaminan tidak bisa ditunggu. Orang-orang harus diselamatkan. Pemerintah Indonesia dan Pemerintah UNTAET harus ditekan agar bersungguh-sungguh membantu pengungsi pulang dengan aman.***
Direito 15
ada pilihan bagi kami. Ketika itu mereka mengancam: jika tak mau pergi ke NTT rakyat akan dibantai dan TNI akan melakukan aksi dengan menggunakan pesawat tempur.” Seorang warga Gleno mengatakan, akibat paksaan dari milisi Darah Integrasi dan anggota TNI banyak penduduk yang pergi ke NTT, baik dengan truk atau berjalan kaki di bawah kawalan milisi dan TNI. Sementara itu 2.900 jiwa warga Quelicai juga mengungsi bersama-sama dengan keluarga TNI dan milisi. Sebelumnya mereka diancam anggota Koramil dan BTT yang diungkapkan oleh seorang pengungsi, “Jika kalian tidak pergi, kalian akan kita bunuh.” Bagaimana perlakuan terhadap pengungsi? Mereka diperlakukan sewenang-wenang di kamp pengungsian. “Pengungsi ternyata menimbulkan masalah bagi penduduk lokal. Masalah itu mulai dari tempat penampungan sampai ulah milisi yang menteror warga setempat,” kata salah seorang pekerja kemanusiaan. Ada yang membangun rumah dan ada yang tidur di pinggir jalan beratapkan terpal. Menurut pengamatan Yayasan HAK di beberapa kamp di Atambua pada Oktober 1999, berbagai kelompok milisi melakukan intimidasi terhadap pengungsi. Mereka tak lagi membawa parang tetapi membawa senjata M16, SKS atau G3 (Getmit). Mereka bahkan mencari pendukung kemerdekaan sampai ke Kompleks SVD di Nenuk. Sampai sekarang persoalan pengungsi itu tak juga selesai. Puluhan ribu pengungsi yang ingin kembali menunggu uluran tangan dari badan-badan internasional yang selama ini mengurusi pengungsi. Dari catatan UNHCR sekitar 180 ribu telah kembali, baik melalui laut atau udara. Jesuit Refugee Service (JRS) mencatat sekitar 65 sampai 120 ribu masih tinggal di NTT. “Sekitar tiga puluh ribu ingin kembali ke sini,” kata Susana Barnes, koordinator advokasi JRS Timor Lorosae. 7 Mei 2001
Sampai dengan akhir Februari lalu, beberapa kamp pengungsi seperti di Stadion Noelbaki dihuni sekitar 5.000 orang asal Lospalos, Viqueque, dan Suai. Di Tuapukan tercatat 10.000 pengungsi asal Lospalos, Baucau, dan Viqueque sementara Markas TNI Naibonat dihuni sekitar 3.000 orang sedang di Soe ada 7.000 orang bekas pegawai negeri. Di Betun, Atambua tercacat puluhan kamp pengungsi, dan setiap kamp dihuni ribuan orang. Menurut GIS (Global Imaging System/Sistem Pencitraan Global) dalam UNHCR Camp Codes for Atambua Area (Kode Kamp UNHCR untuk Wilayah Atambua) Maret 2000 di Atambua, Batugade bahkan di Haekesak tercatat 67 tempat penampungan baik besar maupun kecil. Sedangkan di Atambua Kota tercatat 15 kamp pengungsi, yang lima di antaranya dihuni oleh ribuan orang. Ke-5 kamp tersebut ada di Tutumalai, Fatubenao, Stadiun Haliwai, Karantina 2, dan kantor camat. Sementara menurut data UNHCR Jakarta, seperti dikatakan oleh Chamain Mohamed dari Pemantauan Pengungsi Unit HAM UNTAET, sekitar 2.700 pengungsi yang kembali pada Maret 2001. Sedangkan pada April 2001 tercatat 150 orang yang kembali. Menurut Chamain, ini karena terjadinya lima tembak-menembak antara PKF dengan milisi di perbatasan. “Kejadian itu mempengaruhi keputusan mereka,” katanya. Banyak pengungsi di Kupang, Betun, dan Atambua yang kini memilih pulang setelah pemilihan umum. Menurut salah seorang pekerja kemanusiaan di Indonesia, banyak pengungsi yang tidak percaya pada Tais Timor dan siaran Radio UNTAET yang kini bisa ditangkap di Atambua. “Mereka menganggap berita tersebut adalah propaganda UNTAET. Mereka lebih percaya kabar dari saudaranya yang ada di Timor Lorosae ketika mereka bertemu di perbatasan. Ya, karena mungkin lebih akurat.*** 2
Direito Utama
Upaya Melakukan Koordinasi Berbagai usaha telah dilakukan agar TNI dan milisi tidak mengintimidasi pengungsi untuk kembali ke Timor Lorosae. Salah satunya adalah melalui rekonsiliasi. Tetapi, kenapa justru dilakukan hanya di kalangan elit?
H
ampir bisa dipastikan bahwa memantau pengungsi yang masih berada di wilayah NTT bukan pekerjaan mudah. Untuk mencari informasi, Unit Hak Asasi UNTAET menghubungi UNHCR untuk mencari informasi tentang pemulangan pengungsi. “Kami melakukan koordinasi dengan JRS dan Yayasan HAK. Tujuannya untuk mengembangkan mekanisme koordinasi kerjasama tukar-menukar informasi dan melakukan pemantauan bersama proses pemulangan sampai menyatunya pengungsi ke masyarakat,” kata Charmain Mohamed, pemantau pengungsi, Unit Hak Asasi UNTAET. Menurut informasi, masih ada orang sipil bersenjata berkeliaran di kamp. Mereka mengintimidasi dan berkampanye memutarbalikan keadaan di Timor Lorosae. Tujuannya adalah untuk menghambat kembalinya pengungsi. Lalu, apa yang dilakukan UNTAET? Mohamed mengakui bahwa saat ini sulit untuk mendistribusikan informasi ke Timor Barat. Tetapi UNHCR dan JRS masih berusaha mendistribusikan informasi yang jelas ke sana. Pada 8-15 April lalu, Parameswaram Kepala Staf UNTAET berkunjung ke Timor Barat bersama IOM dan UNHCR, untuk menginformasikan keadaan di Timor Lorosae. Mereka juga berbicara tentang proses pemulangan berikutnya. Sebenarnya kasus penyerangan ter-
3
hadap pengungsi yang pulang seperti di Suai itu tidak banyak. Menurut Charmain, ini terjadi karena kurang kerjasama dan sosialisasi kepada masyarakat. “Padahal koordinasi antara pihak-pihak yang terkait telah lebih baik dibandingkan satu tahun lalu. Jika ada pengungsi yang akan
kembali, informasinya dikirim ke setiap distrik, supaya masyarakat punya waktu untuk melakukan persiapan.” Informasi itu dari mana? Informasi itu diberikan oleh UNHCR ke Unit HAM UNTAET, JRS, dan IOM. Tetapi sejumlah sumber mengatakan bahwa informasi itu hanya berupa pernyataan pers dari wakil UNHCR di Jakarta. Salah satu pendekatan yang dilakukan UNTAET untuk membuka jalan kembalinya pengungsi adalah melalui upaya rekonsiliasi. Para pemimpin pro-otonomi didekati agar mau Direito 15
melepaskan tekanannya terhadap pengungsi. Tepatkan cara ini? “Rekonsiliasi akan terjadi jika berlangsung pada dua aras, yaitu aras masyarakat dan elit. Jika rekonsiliasi hanya berlangsung pada aras elit maka hasilnya tidak akan banyak,” kata Jose Luis de Oliveira. Di kalangan masyarakat dan keluarga korban, rekonsiliasi dipahami tak terpisahkan dari keadilan. Jika mereka merasa keadilan telah ditegakkan, rekonsiliasi pada tingkat masyarakat akan lebih mudah dicapai. “Dan itu pada gilirannya akan memaksa para elit untuk juga melakukan rekonsiliasi,” tegas Jose Luis. Sekarang terjadi sebaliknya.Banyak sumberdaya dikuras untuk mengajak mereka yang dulu melakukan aksi kekerasan. Hingga sekarang belum ada hasil yang nyata. Seharusnya sumberdaya itu digunakan untuk membantu proses penegakan keadilan. Karena keadilan adalah inti rekonsiliasi.“Kita harus akui bahwa rekonsiliasi yang berjalan selama ini ku-rang jelas.” Suasana rekonsiliasi tidak juga terwujud. Sudah selayaknya perhatian besar diberikan pada upaya pemulangan pengungsi dan pemulihan para korban. Milisi dan TNI masih mengekang pengungsi di Timor Barat sementara di Timor Lorosae semangat korban kejahatan terhadap kemanusiaan 1999 yang mencari upaya keadilan telah merosot. Mungkin, menunggu Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi bekerja. *** 7 Mei 2001
Direito Utama
Pengungsi dan Masalahnya Mereka yang dulu dipaksa mengungsi tak otomatis pendukung otonomi. Pilihan ada di tangan mereka: mau tetap tinggal atau kembali. Tetapi, mereka tak pernah mendapatkan informasi tentang apa yang terjadi di tanah air mereka.
U
NHCR tak lagi beroperasi di Timor Barat pasca pembunuhan tiga staf mereka, September lalu. JRS saat ini merupakan satu-satunya lembaga yang membantu menangani pengungsi.“Kami berusaha semaksimal mungkin membantu pemulangan pengungsi ke Timor Lorosae, tanah air mereka,” kata Susana Barnes, koordinator advokasi. Sejak September lalu, JRS selalu menyesuaikan diri dengan situasi riil yang terjadi. Pada umumnya, banyak orang yang mau bekerja bagi pengungsi, tetapi situasi di kamp pengungsian kadang-kadang bisa mengancam kegiatan tim kemanusian. Kegiatan yang dilakukan JRS adalah, pertama, memberi informasi supaya bisa menentukan pilihan apakah ingin kembali ke Timor Lorosae atau tinggal di Timor Barat. Termasuk memberi informasi tentang situasi dan keadaan keluarga mereka di Timor Lorosae. Kedua, mendampingi mereka mendaftar ke tempat registrasi. Dalam proses ini, mereka mendapat ancaman dan intimidasi dari milisi, TNI, dan tokoh pro-otonomi; ketiga, bekerjasama dengan pengungsi di Timor Barat dan di Timor Lorosae. Tujuannya untuk mempersiapkan kondisi bagi setiap pengungsi agar bisa menjalankan kehidupannya di Timor Lorosae atau di Timor Barat. “Karena setiap orang berhak untuk menentukan hidup di mana pun,” kata Barnes. Setelah September lalu, registrasi dilakukan oleh TNI. Dalam registrasi tersebut mereka diintimidasi oleh milisi dan anggota TNI, termasuk perampasan sebagian barang-barang yang mereka miliki oleh TNI dan miDireito 15
lisi, baik di kamp pengungsian maupun di perbatasan. “Karena itu,” kata Barnes, “pekerja kemanusiaan kami selalu mendampingi mereka sampai di perbatasan.” Dalam program pendidikan, JRS bekerjasama dengan mahasiswa yang mengajar anak-anak di kamp pengungsian. Anak-anak membutuhkan pendidikan. Banyak di antara mereka yang ingin sekolah tetapi ditolak oleh guru, karena anak-anak dari Timor Lorosae dianggap selalu melakukan pelanggaran di sekolah. Siapa saja pengungsi yang masih di Timor Barat? Menurut Susana Barnes, ada tiga kelompok. Pertama, masyarakat biasa yang trauma dengan kejadian 1999 dan sampai sekarang belum tahu keadaan yang sebenarnya di Timor Lorosae, sehingga mereka belum ingin kembali. Kedua, anggota milisi dan TNI yang terlibat dalam kejahatan atau keluarga TNI dan milisi yang takut pulang karena merasa akan dibunuh oleh orang-orang prokemerdekaan. Ketiga, sebagian dari pengungsi adalah Pegawai Negeri Sipil, yang khawatir belum tentu dalam waktu singkat mendapat pekerjaan di Timor Lorosae. Mereka akan tinggal di mana jika rumahnya ternyata telah dihancurkan atau dibakar. Banyak informasi yang salah yang disebarkan di kamp pengungsian. Misalnya, mereka yang kembali dari Timor Barat akan dibunuh oleh pendukung kemerdekaan. Begitu juga setiap milisi atau TNI dan keluarganya telah dibunuh oleh masyarakat dan pemuda pro-kemerdekaan. Mereka tidak tahu keadaan yang sesungguhnya di Timor 7 Mei 2001
Lorosae. Ada di antara ke-3 kelompok yang masih ingin tinggal di Timor Barat dan ada pula yang ingin kembali, tetapi karena kurang informasi tentang keadaan yang sebenarnya di Timor Lorosae membuat mereka jadi ragu-ragu. Banyak di antara mereka yang sampai sekarang tinggal di bawah terpal karena memang mengalami kesulitan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan memperoleh kebutuhan hidup. Kecuali mereka yang mendapat tanah yang subur dan diberi izin untuk mengolahnya. “Kami menyebarkan informasi kepada pengungsi tentang keadaan di Timor Lorosae dan keadaan di Timor Barat, baik pekembangan politik maupun pandangan pemerintah Indonesia terhadap keberadaan pengungsi di Timor Barat,” kata Barnes. Tujuannya? Supaya pengungsi dapat menentukan pilihannya. Bagi mereka yang mau pulang, JRS akan mendampingi mereka ketika mendaftarkan diri supaya tidak ada intimidasi oleh milisi dan TNI. Selain itu, JRS menyiapkan kondisi yang kondusif di dalam masyarakat daerah asal pengungsi yang akan menerima kedatangan bekas TNI/milisi dan masyarakat setempat. “Pada awalnya milisi dan TNI selalu mengadakan latihan militer di kamp pengungsian, tetapi sekarang tidak ada lagi.” Kelihatannya antara milisi dan TNI masih ada kerjasama dan saling melakukan koordinasi. Di Betun, misalnya, milisi masih berusaha menghalangi pengungsi yang akan kembali. Begitu juga dengan milisi yang berada di sekitar kamp pengungsian. Mereka mengharuskan setiap orang yang masuk untuk melaporkan diri kepada koordinator pengungsi atau anggota TNI. Hal ini juga berlaku bagi pekerja kemanusiaan yang akan masuk lokasi pengungsian. *** 4
Aktualita
Keadilan Sehari-hari Keadilan tidak hanya bisa dicapai di pengadilan. Keadilan harus hadir dalam pergaulan sehari-hari antara golongan yang kuat dan yang lemah dalam masyarakat.
D
alam hal ini, Pemerintah Transisi gagal. Setelah lebih dari satu tahun berdaulat atas Timor Lorosae, UNTAET belajar sangat sedikit. Banyak staf internasional PBB dan lembaga-lembaga besar dan badan-badan lainnya di Timor Lorosae yang rasis, seksis, dan angkuh. Mereka tidak merasa perlu belajar bahasa, sejarah, kebudayaan, dan kebutuhan atau keinginan rakyat yang mereka kuasai, dan tidak mau berusaha menanyai penduduk arah atau pemikiran mereka. Meskipun ada perkecualian, di mana-mana sangat banyak orang yang bersikap begitu di setiap misi PBB yang besar. Persoalan ini penyebabnya bersifat sistematis. Pekerja PBB berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, memberikan kesetiaan pada misi PBB. Prioritas mereka adalah karir. Banyak yang dikontrak selama enam bulan, dan hampir semuanya akan pergi setelah kemerdekaan dicapai tahun 2002. Mereka terburu-buru menyelesaikan tugasnya sebelum pergi dan tidak memikirkan siapa yang akan mengerjakan pekerjaan setelah mereka pergi. PBB mendatangkan 180 pekerja internasional ke Timor Lorosae untuk melakukan pendaftaran rumahtangga yang akan dibuat menjadi database “pendaftaran sipil”. Meskipun disebut “tenaga sukarela”, orang-orang asing ini dibayar berkali-kali lebih besar daripada jika mempekerjakan orang Timor Lorosae yang akan bisa mengerjakan pekerjaan ini dengan lebih baik dan akan tetap tinggal di Timor Lorosae. Pekerja asing tidak tahu bahasa, geografi, penduduk, dan tidak akan tinggal di Timor Lorosae. Karena pengangguran di Timor Lorosae a5
dalah 80% dari seluruh angkatan kerja, ini sangat tidak bisa diterima. Staf internasional UNTAET 50 kali lebih banyak dibandingkan orang Timor yang bekerja untuk UNTAET. PBB mengatakan bahwa rendahnya gaji untuk orang Timor Lorosae — rata-rata tidak lebih dari $ 10 sehari — diperlukan agar pekerja Timor Lorosae tidak menjadi terbiasa dengan cara hidup yang tidak bisa dite-
Foto: FX Sumaryono Milisi Viqueque di Pelabuhan Dili.
ruskan setelah PBB pergi. Tetapi harga-harga tiga kali lipat karena para pekerja internasional gajinya $ 300 atau lebih per harinya. Perekonomian baru berkembang untuk mengeruk keuntungan dari uang tunai yang berlebihan ini — hotel kapal dan peti kemas, penyewaan mobil, telepon genggam, tv satelit, rumah makan, berlibur akhir pekan di Bali — yang didominasi oleh orang asing Australia yang akan membawa keuntungan ke negerinya jika PBB pergi. Hanya sedikit uang yang akan tinggal di Timor Lorosae, dan tidak akan menghasilkan pembangunan permanen dan berkelanjutan. Misalnya, PBB mengimpor jutaan botol plastik air minum dari Indonesia — mengisi jalan-jalan dengan sampahnya — teDireito 15
tapi sistem air minum tidak dibangun kembali. Hampir semua infrastruktur (jalan, listrik, telepon, rumah, gedung-gedung perdagangan yang tidak digunakan oleh PBB) tetap hancur seperti pada bulan September 1999, akibat TNI dan milisi membakar 75% wilayah negeri. UNTAET baru-baru ini menyarankan kepada staf lokal dan internasional untuk tidak berbicara dengan siapa pun di luar misi mengenai apa pun yang ada hubungannya dengan Timor Lorosae. Ini bukanlah contoh pertama budaya rahasia dalam pemerintahan transisi: staf PBB diancam dipecat kalau mendiskusikan sebab listrik Dili lebih sering mati daripada nyala (PBB tidak menyediakan dana yang cukup untuk bahan bakar diesel). UNTAET punya mandat untuk mempersiapkan kemerdekaan Timor Lorosae dan harus “membantu, bukan mengerjakan” saat mereka melatih orang Timor Lorosae untuk mengambil alih pekerjaan mereka. Tetapi staf PBB biasa bekerja di wilayah bencana, dengan korbankorban perang dan bencana alam yang tidak berdaya. Mereka tidak melihat orang Timor Lorosae sebagai pemenang dalam perjuangan yang panjang dan heroik melawan tetangga yang ukurannya 202 kali lebih besar. La’o Hamutuk, ETAN, dan organisasi lain mendesak UNTAET untuk mengerti dan menghindari efek buruk perilaku internasional, dan bisa mengetahui bagaimana mereka bisa menjadi bagian dari solusi. Bukan bagian dari persoalan. Akhirnya, Timor Lorosae akan menang atas kerusakan yang disebabkan oleh UNTAET, penguasa pendudukan asing keempat dalam waktu 60 tahun. Tetapi apakah ini warisan yang tepat dari masyarakat internasional untuk anggotanya yang paling baru? *** (Charles Scheiner, New York, AS) 7 Mei 2001
Info Hukum
Kapan Timor Lorosae Memperoleh Keadilan? Oleh Charles Scheiner*
D
elapanbelas bulan telah berlalu sejak tentara Indo nesia dan milisi bentukannya menghancurkan Timor Lorosae. Seperempat abad lalu sejak invasi Indonesia dukungan AS terhadap Timor Lorosae, yang merupakan awal dari pendudukan yang membunuh seperempat dari seluruh penduduk, menculik, memperkosa, menyiksa, dan menteror ratusan ribu lainnya. Kejahatan terhadap kemanusiaan yang jumlahnya tak terhitung telah dilakukan di Timor Lorosae sejak 1975 oleh tentara Indonesia, dengan keterlibatan “negara-negara besar”.Inilah catatan yang meneriakkan keadilan. Ketidakmampuan Indonesia, Keengganan Internasional Pemerintah Indonesia diserang dari segala penjuru. Orang Aceh dan Papua Barat memenuntut penentuan nasib sendiri, konflik internal berkobar di Kalimantan dan Maluku, kekejaman merajalela di mana-mana di seluruh negeri. Militer berjuang mati-matian untuk mempertahankan kekuasaannya dari zaman Soeharto. Tidak mengherankan bahwa Presiden Wahid dan Jaksa Agung Marzuki Darusman tidak menghasilkan banyak dalam menyeret ke pengadilan para arsitek invasi, pendudukan, dan penghancuran Timor Lorosae. Januari 2000, sebuah komisi penyelidik yang dibentuk pemerintah Indonesia menyebutkan nama-nama tersangka, yang mencapai komando tertinggi tentara, pelaku kekerasan tahun 1999. Empat bulan kemudian, Indonesia menandatangani kesepakatan dengan UNTAET untuk bekerjasama memberikan saksi-saksi dan mengirimkan tersangka. Tanggal 25 April 2000 ketua Komisi HAM PBB memuji janji Indonesia untuk mengadili Direito 15
pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan di Timor Lorosae dan bekerjasama dengan UNTAET. Banyak yang berharap bahwa kekuasaan hukum akan tegak di Indonesia, dan bahwa para penjahat terhadap kemanusiaan akan diadili. Aktivis prodemokrasi Indonesia mendesak masyarakat internasional untuk mendukung proses peradilan di negeri ini. Tetapi bulan-bulan selanjutnya tahun 2000 menyaksikan memerosotan terus-menerus keinginan dan/atau kemampuan Indonesia untuk menghasilkan keadilan. Belum ada yang diadili, belum ada dakwaan yang dikeluarkan. Indonesia mengamandemen UUD yang memustahilkan mengadili anggota-anggota tentara atas pertanggungjawaban komando pada masa lalu. Indonesia menolak bekerjasama dengan UNTAET, yang penyidiknya beberapa kali ke Jakarta untuk meminta keterangan para pelaku. Saksisaksi, termasuk para perwira militer dan pemimpin milisi yang terkenal Eurico Guterres, menolak memberikan keterangan. Meskipun UNTAET memberikan informasi dengan jaksa Indonesia, suatu perbuatan yang membahayakan orang Timor Lorosae yang memberikan kesaksian secara rahasia, Jakarta tidak mau membalas dengan memberikan informasi yang dimilikinya. Menurut Laporan Hak Asasi Manusia tentang Indonesia Departemen Luar Negeri AS untuk tahun 2000, “Pemerintah belum mengadili seorang pun yang berkaitan dengan kejahatan milisi di Timor Lorosae maupun Barat tahun 1999, meskipun Jaksa Agung pada September dan Oktober menyebutkan nama 23 orang sebagai tersangka dalam kasus-kasus hak asasi Timor Lorosae.” Lima bulan kemudian, tetap belum ada kemajuan. 7 Mei 2001
Karena sistem Indonesia melestarikan impunity (kekebalan hukum bagi aparat negara pelaku kejahatan hak asasi, Red.), ETAN menyerukan kepada AS dan bangsa-bangsa lainnya untuk membentuk pengadilan internasional untuk mengadili orang-orang yang melakukan pelanggaran berat hak asasi dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Lorosae sejak 1975. Ini adalah prioritas nomor satu NGO Timor Lorosae yang saya temui bulan Desember dan Januari lalu dan menjadi tujuan tertinggi ETAN. Senator Tom Harkin (Demokrat, negara bagian Indiana), Anggota Kongres Lane Evans (Demokrat, Ohio) mengajukan resolusi (S. Con. Res./ H. Con. Res. 60) menyerukan pemerintah AS untuk “mengesahkan dan mendukung pembentukan pengadilan kejahatan internasional untuk mengadili perwira-perwira militer dan polisi, pemimpin organisasi milisi dan paramiliter lokal, dan orang-orang lain yang bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Lorosae. Kejahatan yang meliputi pembunuhan sistematis, perkosaan dan terorisme, penggunaan senjata secara melawan hukum, dan kejahatan terhadap personil PBB yang bertugas di Timor Lorosae dan di kamp-kamp pengungsi Timor Barat.” Resolusi ini bersifat tidak mengikat, tetapi merupakan sarana yang penting untuk menyegarkan kembali desakan untuk pengadilan. Apakah Unit Kejahatan Serius itu Serius? UNTAET telah membentuk “Unit Kejahatan Serius” untuk menyelidiki dan mengadili pelaku-pelaku pembunuhan, pemerkosaan, dan kejahatan berat lainnya di Timor Lorosae. Fokusnya adalah beberapa kasus kejahatan yang 6
Info Hukum menonjol pada 1999, tetapi banyak keraguan bahwa Unit Kejahatan Serius akan berhasil mencapai tujuannya. Unit ini dana dan stafnya sangat kurang, dan dililit oleh pengelolaan yang salah dan ketidakmampuan yang membuat banyak pihak meragukan keseriusannya. Gambaran yang salah akibat dari pandangan yang keliru mengenai sejarah Timor Lorosae menyelimuti UNTAET, banyak pemerintah, dan jurnalis asing. Unsur pokoknya ada tiga: (1) melupakan semua yang terjadi sebelum Januari 1999, (2) memberikan pengampunan de facto (karena amnesia, kehendak politik yang tidak memadai, atau ketidakmampuan) kepada Indonesia dan pemerintah lain yang melakukan, mengarahkan, atau mendukung kejahatan terhadap Timor Lorosae, dan (3) menyalahkan “budaya kekerasan” yang dianggap ada di kalangan rakyat Timor Lorosae sebagai penyebab pelanggaran hak asasi dan kekejaman-kekejaman. Unit Kejahatan Serius UNTAET merupakan contoh dari perspektif ini. Saya menghadiri sidang pertama pengadilan Kejahatan Serius, 10 Januari lalu di Pengadilan Distrik Dili. Terdakwanya, João Fernandes (22) seorang anggota milisi DMP, terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap kepala desa Domingos Gonçalves Pereira di Maliana, 8 September 1999. Pembunuhan ini adalah bagian dari serangan terorganisir oleh milisi DMP yang memakan korban nyawa puluhan orang. Pengadilan ini menampilkan tidak memadainya terjemahan, pembela hukum yang tidak berpengalaman, jaksa penuntut umum asing yang angkuh, dan proses yang sangat jelek. Hakim yang memimpin sidang, asal Italia, kelihatan tidak begitu memperhatikan sifat terorganisasi dari kejahatan yang dituduhkan; hakim dari Burundi sama sekali tidak menyinggung hal ini. Hakim Timor Lorosae, Natercia Gusmão, mendesak agar tersangka didakwa dengan kejahatan terhadap kemanu7
siaan, tetapi kalah suara oleh kedua rekannya sesama hakim, sehingga dakwaan yang diberikan hanyalah pembunuhan biasa. Pada sidang ketiga (sidang kedua ditunda karena tidak ada penerjemah), jaksa menuntut hukuman 10 tahun karena terdakwa bersikap bekerjasama. Pada 25 Januari, hakim menjatuhkan hukuman 12 tahun. Satu Maret, João Fernandes menggergaji atap selnya dan melarikan diri. Kemungkinan sekarang ia berada di Indonesia, dan para jaksa takut ia akan menyampaikan informasi yang berbahaya kepada rekan-rekannya sesama anggota milisi. Sistem pengadilan yang sangat kekurangan sumberdaya itu mengalami banyak masalah. Unit Kejahatan Serius tidak memperhatikan eksekusi militer yang sistematis pada penghancuran 1999, tidak mampu mengembangkan kasus atau memperoleh kerjasama dari Indonesia terhadap perwiraperwira tentara Indonesia. Ketika Timor Lorosae bergerak mendirikan negara sendiri, ia harus memandang lebih jauh dari Dili atau Jakarta untuk mencari contoh-contoh tentang suatu sistem yang berdasarkan pada kekuasaan hukum. Rekonsiliasi Tanpa Keadilan UNTAET bergerak cepat menjalankan Komisi Kebenaran, Rekonsiliasi, dan Penerimaan (KKRP) sehingga kegunaannya sangat sedikit. Meskipun salah seorang konsultan untuk proyek ini adalah bekas pengurus Komisi Kebenaran dan Rekonsilitasi Afrika Selatan, ada perbedaan besar antara kedua komisi tersebut. Satu kesamaan adalah skalanya: keduanya diproyeksikan mempekerjakan 300 orang, suatu proyek raksasa bagi negeri sekecil Timor Lorosae. KKRP punya dua tugas utama, yakni mengumpulkan kesaksian dari para korban kejahatan yang dilakukan 1974-1999, dan mempersiapkan laporan mengenai kejahatan ini. Meskipun laporan ini kemungkinan tidak akan menyoroti mata rantai komando (Komisi Direito 15
mustahil bisa memperoleh dokumen militer atau kesaksian dari sumber Indonesia), tetapi akan mendokumentasikan skala dan kekejaman pendudukan Indonesia, tetapi tidak terbatas pada penghancuran setelah pemungutan suara konsultasi rakyat 1999. Unsur Rekonsiliasi yang lebih kontroversial terbatas pada orang-orang yang tidak didakwa melakukan kejahatan serius yang memilih tinggal di Timor Lorosae. Kalau kantor kejaksaan memutuskan mereka bisa mengikuti proses KKRP, mereka bisa mengakui kejahatan mereka dan dijatuhi hukuman restoratif (seperti membangun kembali rumah yang telah mereka rusak), setelah itu diharapkan bahwa masyarakat akan memaafkan . Keadilan restoratif ini dibuat meniru kebiasaan adat Timor Lorosae, dan merupakan upaya untuk mengatasi ketidakmungkinan menangani puluhan ribu kasus melalui sistem pengadilan. Proses ini, yang dengan terburu-buru dibuat oleh UNTAET pada masa transisi dan tidak diserahkan saja pada Timor Lorosae merdeka untuk merancang prosesnya sendiri, bertujuan mendorong milisi dan orang pro-integrasi tingkat rendahan untuk kembali pulang dari Timor Barat, dengan asumsi bahwa proses Rekonsiliasi akan membuat penduduk desa tidak melakukan keadilan balas dendam. Tetapi sebagian terbesar rakyat ingin menyambut kedatangan mereka yang melakukan kekacauan di dalam negeri. Pemimpin milisi pun akan diterima asal mereka mengakui hasil referendum. . Ketakutan dari 100.000 pengungsi yang masih di Timor Barat akibat ancaman milisi bersenjata telah membuat pengungsi salah mengerti tentang apa yang akan mereka hadapi di Timor Lorosae. ***
* Charles Scheiner adalah Koordinator Nasional ETAN/US (East Timor Action Network/United States, Jaringan Aksi Timor Lorosae/Amerika Serikat). 7 Mei 2001
Wa w a n c a r a José Luís de Oliveira:
UNTAET Harus Kita Paksa … Sampai sekarang persoalan pengungsi di Nusa Tenggara Timur tak juga kunjung selesai. UNTAET dan pemimpin di sini harus dipaksa melakukan tekanan diplomatik kepada pemerintah Indonesia agar menciptakan kondisi yang memungkinkan pengungsi bebas memilih pulang atau tidak.Berikut adalah wawancara dengan José Luís de Oliveira, Wakil Direktur Yayasan HAK.
U
NTAET telah berada di sini lebih dari satu tahun, tetapi persoalan pengungsi di Timor Barat belum juga terselesaikan. Apa penyebabnya? Saya melihatnya dari dua aspek. Pertama, sampai sekarang pemimpin kelompok pro-otonomi dan milisi-milisinya terus menteror dan mengintimidasi para pengungsi agar tidak kembali ke sini. Mereka bertahan pada sikap tidak mau menerima kenyataan bahwa mayoritas rakyat negeri ini telah memutuskan untuk merdeka, lepas dari Indonesia. Sejak awal mereka selalu mau menang sendiri dan untuk itu mereka sering menggunakan kekerasan. Sampai saat ini pun berbagai pelanggaran hak asasi seperti itu terus terjadi. Pengungsi diperlakukan sebagai tameng bagi kepentingan politik. Di antaranya bertujuan untuk meningkatkan posisi tawar politik mereka. Mereka tidak pernah menghormati demokrasi di mana suara mayoritas harus dihargai sebagai sebuah kenyataan. Kedua, pihak UNTAET dan para pemimpin kita kurang intensif mendorong terciptanya kondisi yang memungkinkan pengungsi kembali ke sini. Mereka terlalu kompromis, banyak memberikan konsesi dan kompensasi kepada pemerintah Indonesia, termasuk kepada para pemimpin pro-otonomi. Padahal jelas-jelas pemerintah Indonesia dan kelompok pro-otonomi bertanggungjawab penuh atas berbagai aksi kekerasan terhadap para pengungsi. Sedikit banyak saya bisa merasakan apa yang dirasakan pengungsi di Timor Barat. Pada masa sebelum re-
Direito 15
ferendum saya sering membantu mereka yang terpaksa meninggalkan kampung halamannya akibat aksi milisi dan TNI. Atas pengalaman itu, sekali lagi, saya bisa merasakan bagaimana sulit dan menderitanya hidup mereka. Barangkali karena situasi sekarang di sini relatif aman dan bebas sehingga kita lupa bahwa masih ada saudarasaudara kita yang masih sengsara di Timor Barat. Sebagian dari kita tak pernah merasakan betapa sulitnya
donesia menciptakan suasana yang bebas dan aman bagi mereka untuk menentukan pilihan. Memilih tinggal di Timor Barat atau kembali ke sini. Tekanan diplomatik seperti ini sangat kurang. Padahal peluang untuk itu sangat terbuka, tetapi UNTAET tidak memanfaatkannya secara maksimal. Pada akhir 1999 tekanan seperti itu sangat kuat dari masyarakat internasional, tetapi kenapa setelah itu semuanya menjadi kendor? Bersamaan deFoto: F.X. Sumaryono ngan melemahnya tekanan itu pada saat yang sama pihak pro-otonomi, milisi, dan TNI merasa mendapat angin untuk kembali melakukan teror secara sistematis terhadap para pengungsi. Tekanan diplomatik sempat menguat lagi ketika terjadi pembunuhan terhadap tiga staf UNHCR di Atambua pada bulan hidup sebagai pengungsi. Itu membuat September tahun lalu. Tetapi hanya kita, terutama para pemimpin kita ku- sebentar. rang antusias dalam menanggulangi persoalan pengungsi. Apakah tekanan diplomatik itu harus menunggu terjadinya insiden Jadi, UNTAET dan pemimpin kita seperti itu? kurang bersungguh-sungguh ... Persoalan evakuasi paksa dan keKesulitan memang banyak. Seha- kerasan atas mereka oleh pihak rusnya UNTAET dan pemimpin kita keamanan adalah kekerasan terhadap terus melakukan tekanan diplomatik kemanusiaan yang bertentangan dekepada pemerintah Indonesia, agar In- ngan prinsip hak asasi, dan mutlak di7 Mei 2001
8
Wa w a n c a r a tentang oleh masyarakat internasional. Pemerintah Indonesia sudah jelas mengakui hasil referendum. Artinya, Indonesia seharusnya mencegah terjadinya aksi kekerasan terhadap pengungsi di Timor Barat. Tetapi Pemerintah Indonesia malah membiarkan terjadinya kekerasan. Jangan sampai ketika UNTAET pergi persoalan pengungsi menjadi beban kita.
seperti ini, jelas kita harus memanfaatkan semaksimal mungkin keberadaan UNTAET. Kita harus memaksa mereka untuk melakukan berbagai cara untuk mengembalikan pengungsi ke sini.
Lalu apa yang harus kita lakukan dan siapa yang bertanggungjawab? Itu menjadi tanggung jawab semua pihak yang berhubungan dengan persoalan pengungsi, termasuk orang Timor Lorosae. Antara lain karena persoalan pengungsi inilah yang telah memolibisasi banyak sekali sumberdaya dan uang untuk membiayai berbagai kegiatan UNTAET. Jika tidak kita manfaatkan secara maksimal, kita yang bakal menanggung akibatnya. Nanti akan muncul persoalan di perbatasan, gangguan keamanan dan politik, infiltrasi, dan lain sebagainya. Semua itu akan menjadi persolan besar bagi perjalanan negara kita di kemudian hari. Mulai sekarang kita harus mendorong agar proses itu berjalan maksimal. UNTAET harus kita paksa untuk lebih maksimal lagi dalam menyelesaikan persoalan pengungsi.
Apakah pendaftaran sipil yang hanya dilakukan di sini akan berpengaruh terhadap proses menuju kemerdekaan? Selalu ada pengaruhnya. Pendaftaran sipil yang tidak menjangkau pengungsi di Timor Barat adalah sebuah pelanggaran hak asasi. Artinya, kita telah membatasi hak seseorang untuk memilih kewarganegaraan. Kita tahu ada kesulitan untuk melakukan pendaftaran di sana. Karena itu menjadi tugas UNTAET untuk mencari alternatif untuk menjangkau mereka. Tetapi UNTAET malah semakin menjauhkan diri dari mereka. Pengungsi yang belum mau kembali ke sini akibat ancaman, apakah bisa dijadikan alasan untuk tidak melibatkan mereka dalam pendaftaran sipil? Persoalan ini memang sensitif dan sudah sering diperdebatkan oleh para pemimpin kita, terutama bagi pengungsi yang tinggal di Timor Barat di mana situasi kemanan menjadi kendala. Karena alasan keamanan itu pula yang menyebabkan diputuskannya pendaftaran sipil hanya di sini.
Ada informasi lain dari Timor Barat? Saya mendapat informasi dari teman-teman di Timor Barat bahwa belakangan TNI melakukan manuver politik di sekitar perbatasan dengan menyebarkan isu bahwa Timor Lorosae yang akan segera merdeka akan menjadi negara komunis. Kampanye seperti itu dilakukan di sekitar perbatasan, baik terhadap warga Timor Barat maupun pengungsi sendiri. Ini akan menambah persoalan. Nah, jika kampanye itu berhasil, kekhawatiran akan ada persoalan di perbatasan tidak akan terhindarkan. Gambarannya persis situasi tahun 1975. Dalam situasi
Yayasan HAK masih menangani pengungsi seperti pada masa sebelum Konsultasi Popular ... Kita harus membedakan dua pengertian tentang terminologi “pengungsi”. Mereka yang dipaksa meninggalkan wilayah Timor Lorosae itu disebut pengungsi. Artinya melintasi batas negara ke negara lain. Sementara mereka yang karena alasan keamanan terpaksa meninggalkan rumahnya menuju wilayah lain di negara yang sama disebut internal displaced person atau pengungsi internal. Dari Januari sampai Agustus 1999 banyak sekali penduduk yang me-
9
Direito 15
larikan diri ke Dili karena menghindari aksi kekerasan oleh TNI dan milisi. Rakyat di Alas, Suai, Liquica, Maliana, dan wilayah lain memilih melarikan diri ke Dili karena diancam agar memilih otonomi. Saat itu bisa dikatakan sedikit sekali organisasi internasional yang mau membantu mereka. Kalau pun ada mereka bekerja tidak maksimal. Palang Merah Internasional misalnya, cenderung bekerjasama dengan TNI. Karena itu bantuan makanan ICRC sering diambil TNI. Melihat kenyataan ini Yayasan HAK bekerjasama dengan sejumlah pekerja kemanusiaan berusaha memfasilitasi pembentukan kelompok kerja bantuan bagi pengungsi internal itu. Bantuan kemudian datang dari beberapa organisasi solidaritas Jepang, Australia, dan Indonesia. Jadi itu dilakukan semata karena saat itu lembaga seperti UNHCR belum beroperasi di sini. Sekarang UNHCR dan IOM sudah ada di sini dan kita tidak perlu melakukan hal seperti dua tahun lalu itu. Masyarakat sering menafsirkan pengungsi sebagai pro-otonomi. Apakah masyarakat salah ... Jangan begitu saja menyalahkan masyarakat. Pemimpin CNRT seharusnya digugat. Kenapa Magna Carta yang diputuskan di Portugal pada 1998 tidak disosialisasikan? Magna Carta mengadopsi hampir seluruh norma hak asasi dan memuat dengan begitu sempurna prinsip demokrasi. Tetapi itu hanya indah di atas kertas. Orang bisa menggugat karena kita telah melakukan pelangaran hak asasi terhadap kelompok minoritas. Menyalahkan rakyat sendiri adalah adalah tidak adil. Jarang sekali ada pemimpin kita mau bersusah payah menyadarkan masyarakat bahwa pengungsi bukan pihak yang kalah perang sehingga hakhak mereka harus ditanggalkan. Mereka yang mengungsi itu karena dipaksa oleh keadaan. Mana ada orang yang mau bersusah payah mengungsi?! *** 7 Mei 2001
Kesaksian
Dare Jadi Saksi, Dili Kota Mati Semua orang yang tinggal di Dare, saya lihat tidak ada yang wajahnya cerah. Ada yang murung, menangis, ada pula yang hanya terlentang sambil menarik napasnya dalam-dalam. Berikut kesaksian Julito da Assunção.
K
ita telah memenangkan referendum, tetapi kenapa kita yang harus mengungsi? Pengalaman itu bukan mimpi tetapi kenyataan. Begitu selesai memilih, pada 30 Agustus 1999, sebagian di antara rakyat Timor Lorosae memilih tinggal di hutan. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh TNI dan milisi bentukannya memang luar biasa. Adalah mengerikan bila saya mengenang kembali insiden dua tahun lalu itu. Rakyat yang tinggal di Timor Lorosae memang tak sempat merayakan kemenangan Konsultasi Popular yang diumumkan pada 4 September itu. Kita hanya bisa menangis, padahal kita telah lama menantikan kemerdekaan itu. Menantikan militar Indonesia meninggalkan Timor Lorosae. Menjelang satu menit, setelah pengumuman, saya mendengar lima tembakan dari arah Hotel Mahkota, satu kilometer dari Vila Verde, tempat saya tinggal. Saya juga mendengar teriakan, “Kita harus amankan Kota Dili. Siapa yang tidak menurut harus dihabisi”. Setelah itu Kota Dili menjadi sepi dan seperti tak berpenghuni. Yang terdengar adalah suara tembakan, yang seringkali seperti bunyi seseorang menggoreng jagung. Jika malam mulai larut yang terdengar hanya bunyi tembakan dan anjing menggonggong seperti menangis. Saya juga melihat beberapa mobil berwarna biru yang ditumpangi banyak orang yang berpakaian hitam, berikat kepala kain merah putih. Mereka membawa senjata api. Banyak pula yang berjalan dengan pakaian serupa. Dengan rokok di tangan kiri dan senjata di tangan kanan. Sesekali mereka berhenti sambil menunggu instruksi Direito 15
Orang semakin ketakutan. Teman saya, João, mengatakan, “Situasi semakin panas dan kita harus ke Palang Merah Internasional atau ke Rumah Uskup.” Saya menolak karena saya merasakan, saat itu, situasi sangat berbahaya. Enam September sekitar pukul 4 pagi, saya katakan kepada Joao, kita harus lari ke gunung. Tetapi dia tidak mau karena orangtuanya tidak mau. “Besok saya harus ke Dare.” Sejak hari itu kami mencari jalan masingmasing. Dan sampai sekarang kami tak pernah bertemu. Menurut keluarganya, João dibunuh di Pelabuhan Dili. Diam-diam saya meninggalkan tempat persembunyian saya. Saya melewati depan Gereja Kadedral. Di depan saya, tepat di samping Gereja, ada orang dengan senjata lengkap berjalan berirama di dekat pos Aitarak, di Vila Verde. Tetapi tidak ada yang memanggil saya. Dengan santai saya terus berjalan.Saya merasa lega ketika, kira-kira 100 meter di depan saya, ada orang yang membawa tas. Bahkan tampak orang beramai-ramai membawa barang-barangnya. Setibanya di Sungai Maloa, saya melihat banyak orang yang masih beristirahat. Begitu lelah. Betapa panjang perjalanan menuju Dare. Saya juga berhenti. Saya merasa haus dan lapar. Saya kemudian bermalam di tepi Sungai Maloa. Selama sehari saya hanya makan ubi kayu dan minum air mentah seperti mereka yang tinggal dekat saya. Malam itu saya melihat rumah yang paling ujung di Ailok Laran mulai dibakar. Melihat itu semua, saya memutuskan untuk pindah dan mencari famili saya.Rupa-rupanya semua orang 7 Mei 2001
telah meninggalkan rumahnya. Saya kemudian memutuskan untuk segera menuju Dare. Dari Dare saya melihat Dili telah menjadi lautan api. Kami hanya melihat kobaran api dan asap di manamana. Bunyi tembakan semakin menjadi-jadi. Semua orang yang tinggal di Dare tidak ada satu pun yang wajahnya cerah. Semua murung. Ada yang menangis, ada yang tidur telentang sambil menarik nafas dalam-dalam. Anak-anak dan orangtua banyak yang sakit. Saya melihat ada sebuah cabang sungai kecil. Ternyata banyak orang yang tinggal di sana. Di sana banyak orang yang tinggal. Seperti kita menghitung anak tangga ada yang yang tinggal di bawah dan ada pula yang di atas. Bahkan air sungai yang mengalir itu juga harus di pisahkan untuk memasak dan mandi. Banyak pula yang menggali tempat untuk menampung air. Itulah cara mengumpulkan air untuk minum. Hanya satu-dua orang yang sempat membawa beras dari rumah tetapi itu pun bukan untuk orang dewasa. Hanya anak-anak yang makan nasi. Orang dewasa hanya mengeringkan ubi kayu yang telah dikupas kulitnya. Saya juga melihat sejumlah orang mengelilingi satu panci besar yang isinya rebusan singkong. Terasa begitu sulit ketika itu. Banyak orang mengeluh kapan bisa kembali ke rumah. “Mungkin akan terjadi perang seperti tahun 1975,” kata yang lain. Saya juga merasakannya karena kita tak bisa mengharapkan bantuan dari siapa pun. Setiap hari banyak orang menunggu kabar. Baru pada 19 September ada berita pasukan pertama akan segera mendarat di Dili. Ah, semua orang bersukaria dan menari tebe-tebe. Satu yang masih saya ingat. Dili menjadi kota yang asing bagi saya. Dari Becora sampai Comoro seperti kebun yang dibakar untuk ditanami. Bau asap dan bau mayat tercium di mana-mana. *** 10
Kesaksian di Kupang. Kata dia, mereka yang ingin kembali bisa mendaftar di GOR Noelbaki. Melihat Eurico Guterres Tia Carmen bersama keluarganya dipaksa milisi pergi dari ada di sana saya segera memutuskan untuk kembali ke Fatubenau A. rumahnya. Pengalamannya selama dua bulan di Timor Dua puluh tujuh Oktober. Saya Barat dituturkan kepada Direito. mendapat informasi bahwa UNHCR nam September dua tahun pura menaikan bendera di depan ru- menangani mereka yang akan kembalalu. Kawasan di Kampung mah?” Merasa tidak kami tanggapi. li ke Dili. Hari berikutnya saya menAlor mulai memanas. Milisi Mereka berteriak, “Sekarang kamu daftarkan diri. Saya kemudian diwaAitarak memaksa semua orang untuk pergi dan jangan kembali. Jika kalian wancarai oleh seorang staf intermenuju Timor Barat. Kami sekeluarga datang lagi kami akan bunuh!” Tanpa nasional UNHCR, mengapa kami segera ke Polda di Comoro. Kami ha- kami sadari milisi semakin banyak. akan kembali. Apakah ada yang menya membawa pakaian yang melekat Jarak rumah kami dengan pos mereka maksa? Bagaimana jika kehidupan di di badan. hanya berjarak 50 meter. Dili ternyata tidak baik dan rumah suTujuh September. Saya dah dibakar? Apakah tidak senang ke rumah untuk mengambil tinggal di Atambua? pakaian. Seorang milisi yang Tiga puluh Oktober. Saya kemmengenakan kaos hitam berbali lagi ke Kantor UNHCR. Saya tuliskan “Aitarak”, bercelamendapat penjelasan, rencana kana loreng mendekati saya. mi pasti telah diketahui milisi. “Untuk apa datang lagi?” Ia Satu November sekitar pukul limengancam akan menemma pagi. Pihak UNHCR datang dan bakkan senjatanya sampai memanggil kami, “Go, go!’’. Di pelurunya habis. Saya menPelabuhan Atapupu seorang milisi Eurico jawab, “Saya akan mengGeterres berteriak, “Hei itu perempuan yang komandan mau ke Timor Lorosae. Anak peambil pakaian dan makanan Aitarak saat karena kami tidak membawa rempuanya akan diberikan pada pembumi apa-apa.” hangusan malae. Dia juga begitu!”. Sambil tetap menodongAda pula kawan sesama guru kan senjatanya, “Untuk apa mengDua belas September. Hari itu ka- yang datang dan langsung menendang ambil barang. Kapan kalian akan ke mi menuju Timor Barat bersama be- beras yang akan kami bawa. Saya berluar dari sini?”Saya bilang, “Kami berapa anggota Brimob. Kami melihat teriak, “Jangan tendang beras itu!”. ingin ke luar, tetapi tidak ada begitu banyak milisi yang berikat ke- Dia menjawab enteng, “Itu milik Inkendaraan.” “Ah, mobil ‘kan banyak. pala Merah Putih dan membawa sen- donesia!” Siapa bilang tidak ada. Kenapa tidak jata di sepanjang jalan. Di wilayah Kapal kemudian berlayar ke Dili. membayar kendaraan orang lain?” Batugade, kendaraan yang kami tumDi Pelabuhan Dili, kami diterima “Tetapi harus bayar Rp 2 juta. Untuk pangi dihentikan oleh sejumlah milisi dengan baik tidak seperti yang berita itu saya harus mengambil uang,” kata Aitarak, BMP, dan DMP. Mereka me- di Atambua. Jika kembali ke Timor saya sambil tetap membereskan ba- meriksa setiap mobil yang lewat. Se- Lorosae, perempuan akan tinggal berrang yang kami butuhkan. Melihat sa- kitar pukul 18.00 kami sampai di Fa- sama malae. Ternyata itu hanya berita ya belum juga pergi, anggota Aitarak tubenau A. Dengan beralaskan terpal bohong. itu menyuruh kami supaya tidak kami tidur di sana. Setelah melaporkan diri kami medatang lagi. Sekitar dua malam kami Tiga belas September. Salah seo- nerima ember, terpal, dan 1 karung tidur di Polda kemudian pindah ke rang pengurus RT di wilayah itu me- beras. Tidak lama setelah itu, kami Gedung Museum, sebelah barat Polda. minta salah seorang pemilik toko agar diperbolehkan kembali ke rumah. HaSepuluh September. Saya dan ke- menyediakan tempat bagi pengungsi. ri itu juga kami kembali ke rumah. Kaponakan kembali lagi ke rumah de- Tempat adalah bekas peternakan a- mi hanya bisa memandangi rumah kangan kendaraan milik Palang Merah yam. Pagi hari itu juga kami member- mi di Kampung Alor yang telah menguntuk mengambil periuk nasi, minyak sihkannya supaya kami dapat tidur. hitam seperti arang. Dengan berataptanah, dan beras. Begitu tiba di depan Dua puluh satu Oktober. Setelah kan terpal akhirnya dapat tidur di rurumah seorang milisi meneriaki kami, melihat televisi saya segera menemui mah kami sendiri.Dan itu terasa lebih “Kenapa datang lagi? Untuk apa pura- anak angkat saya, anggota TNI-AL damai. ***
“Tidak Senang di Atambua?”
E
11
Direito 15
7 Mei 2001
O p i n i
Nasib Pengungsi Dalam Panel Khusus Dewan Keamanan PBB Oleh Aniceto Neves *
S
aya diizinkan mengikuti sidang Dewan Keamanan (DK) PBB dalam special panel tentang Timor Lorosae pada 4 April 2001 lalu di markas besar PBB di New York, Amerika Serikat. Sebagai pengamat, kesempatan ini saya manfaatkan untuk melihat secara langsung bagaimana badan internasional itu mengurusi nasib anak bangsa Timor Lorosae. Berbagai masalah dibicarakan dalam panel khusus ini oleh negara-negara anggota DK-PBB. Di antaranya mengenai masalah keamanan di perbatasan, konflik di antara rakyat sipil dan partai politik, pengunduran diri Xanana dari Dewan Nasional, rekonsiliasi dan keberadaan pengungsi di Timor Barat, Indonesia. Dan tidak jarang banyak dari negara anggota yang menyampaikan rasa keprihatinan atas perkembangan politik di sini. Ada harapan dan ada pula kekawatiran atas nasib rakyat dan bangsa Timor Lorosae. Masalah keberadaan para pengungsi di Timor Barat merupakan masalah yang lebih banyak dibicarakan dalam panel khusus itu. Berbagai kritikan disampaikan kepada UNTAET dan IOM dan UNHCR. Bahwa ada kondisi di mana terlihat ketidakseriusan Pemerintah Transisi dan Indonesia dalam menyelesaian masalah pengungsi di Timor Barat. Prancis mendesak Indonesia dan UNTAET untuk membuat suatu perencanaan yang matang dengan melibatkan komunitas internasional dalam memulangkan pengungsi. Karena tidak benar informasi bahwa ada kecenderungan untuk balas-dendam di antara rakyat sipil. Pejabat militer InDireito 15
donesia diminta untuk menghargai usaha-usaha pemulangan pengungsi. Informasi-informasi penting mengenai keadaan yang sesungguhnya harus disampaikan kepada masyarakat di kamp-kamp pengungsian. Perlunya dibangun hubungan komunikasi dan saluran informasi yang efektif bagi masyarakat secara seimbang. Kebijakan UNTAET, lalu memberi kesempatan kepada masyarakat dan pemimpin milisi untuk mengunjungi Timor Lorosae. Ini merupakan langkah untuk membangun hubungan baik dan memperlihatkan bahwa adanya kehidupan masyarakat yang baik dan aman. Ada kesan bahwa “reuni keluarga”, kunjungan dari keluarga para milisi dan pemimpin UNTAS di Timor Lorosae beberapa waktu lalu tidak membantu pengungsi pulang ke Timor Lorosae. Karena di antara keluarga mereka, yang setelah kembali justru berkampanye tentang keadaan yang terbalik. Mereka berkampanye tentang sulitnya mencari makan, perumahan, kesehatan dan lainnya. Anggapan bahwa pengungsi yang kembali akan dibunuh, perempuan akan diperkosa tetap menjadi bahan kampanye mereka. Kesempatan ini kemudian dianggap sebagai langkah maju dari rekonsiliasi. UNTAS telah memanfaatkan kesempatan ini untuk berkampanye tentang rekonsiliasi dan amnesti umum. Sebagaimana dikatakan oleh Filomeno Hornai, Sekjen UNTAS dalam laporan LAPTIMORIS III bahwa kelompoknya mengutamakan rekonsiliasi daripada pemulangan pengungsi. Desakan juga datang dari wakil pemerintah Amerika Serikat di DK7 Mei 2001
PBB bahwa belum selesainya proses pelaku pembunuhan tiga staf UNHCR di Atambua, Indonesia ikut mempengaruhi terhadap penanganan pengungsi. Pemerintah Indonesia harus meyakinkan bahwa organisasi international dapat dengan bebas leluasa menjalankan tugasnya secara baik. Begitu juga pandangan-pandangan dari negaranegara anggota lainnya. Bahwa nasib ribuan manusia yang masih berada di kamp-kamp pengungsian di Timor Barat harus mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak termasuk komunitas international. Bahwa kurangnya bantuan bagi pengungsi seperti sandang, pangan, dan pelayanan kesehatan menyebabkan pengungsi hidup semakin sengsara. Tindakan teror, intimidasi, dan ancaman adalah pelangaran hak asasi. Kritikan-kritikan tersebut disampaikan oleh negara-negara anggota DKPBB kepada Administrator Pemerintah Transisi, Sergio de Mello. UNTAET dan pemerintah Indonesia dinilai tidak tegas dan kritis dalam menangani para pengungsi di Timor Barat. Tidak dapat ditolerir bila para pengungsi dijadikan sandera untuk tawar-menawar dengan UNTAET dan rakyat Timor Lorosae. Klaim kelompok UNTAS sebagai organisasi payung pengungsi merupakan keputusan yang bertujuan untuk mencari simpati dan dukungan dari para pengungsi dan komunitas internasional. Informasi miring sebagimana yang ditawarkan di kamp pengungsi oleh para militer dan milisi pro-Indonesia pada waktu lalu telah hilang dari ingatan para pengungsi. UNTAET dan pemerintah In12
O p i n i donesia bertanggungjawab untuk memberi informasi yang benar tentang keadaan yang sesungguhnya. Kampanye UNTAS dan para milisi bahwa Indonesia berniat untuk menguasai kembali wilayah Timor Timur sebagai usaha dan propaganda yang bertujuan untuk menghasut dan menakuti-nakuti rakyat. Berbagai ajakan dan himbauan dari para pemimpin Timor Lorosae kepada para pengungsi agar kembali banyak memberi inspirasi baru kepada rakyat di kamp pengungsian. Tidak terkecuali keluarga anggota milisi yang merasa tidak diuntungkan dari politik UNTAS. Pihak pimpinan TNI dan Polri di Timor Barat mengatakan mereka menginginkan seluruh rakyat Timor Lorosae di pengungsian kembali untuk bersama saudara-saudara lainnya membangun Timor Lorosae
amankan kelompok sipil bersenjata. Artinya, bahwa tidak ada kebijakan yang jelas mengenai keberadaan kelompok sipil bersenjata. Masalah yang cukup menonjol dalam kehidupan pengungsi adalah jaminan keamanan dan kebebasan untuk kembali ke tanah airnya atau menjadi warga negara Indonesia. Ini adalah dua hal yang sangat penting bagi pilihan para pengungsi untuk kembali. Pimpinan militer bertanggungjawab untuk memberi rasa aman kepada para pengungsi di kamp-kamp pengungsian. Yakni, menjamin bahwa mereka dapat kembali secara bebas dan aman tanpa ada tekanan, intimidasi dan teror. Untuk sampai pada tujuan ini TNI harus menyelesaikannya dengan pimpinan milisi dan UNTAS. Masalah lain yang dibicarakan adalah kontroversi tentang jumlah pengungsi. Secara khusus diminta kepada UNTAET dan UNHCR Foto: FX Sumaryono untuk memberikan kepastian berapa jumlah mereka yang masih di Timor Barat. Langkah ini dianggap penting karena untuk memastikan jumlah warga Timor Lorosae yang mempunyai hak politik untuk ikut dalam pemilu kali ini. Lagi-lagi Indonesia diminta untuk bekerjasama. Sudah ada langkah-langkah maju dari UNTAET dalam mempersebagai negara yang merdeka. siapkan segala sesuatunya menuju Indonesia tidak bisa lepas tangan kemerdekaan penuh rakyat Timor Lobegitu saja. Secara politik pemerintah rosae. Indonesia bisa mengatakan bahwa Secara khusus dalam panel ini mereka mendukung pemulangan pe- mendesak Indonesia, IOM, dan UNngungsi ke sini. Tetapi saya mau HCR agar melakukan kerjasama mengatakan bahwa dalam konteks ini, dengan berbagai pihak. Pemerintah Inada dua hal yang perlu diperhatikan donesia harus memperlihatkan kedari sikap pimpinan militer Indone- bijakan yang jelas tentang keberadaan sia, sebagaimana yang ditulis LAP- kelompok-kelompok sipil bersenjata. TIMORIS III. Tindakan milisi mengontrol pengungsi Pertama, sikap pimpinan militer merupakan suatu kejahatan menurut mendukung pemulangan pengungsi se- ketentuan internasional. Karena itu bagai langkah maju di mana ada ke- pemerintah Indonesia mempunyai putusan yang mengakui hak penentuan tanggungjawab untuk menanganinya. nasib sendiri pada bulan Agustus dua Perlunya diperhatikan desakan bertahun lalu. Kedua, kebijakan tersebut bagai pihak mengenai pelucutan sentidak diikuti dengan usaha meng- jata milisi dan membubarkannya. 13
Direito 15
Perlunya berpartisipasi dalam proses penegakan hak asasi dan demokratisasi. Wakil pemerintah Amerika Serikat mengatakan bahwa langkah-langkah ke arah kemerdekaan penuh rakyat Timor Lorosae harus didukung. Seluruh rakyat harus merasakan pentingnya kemerdekaan Timor Lorosae. Untuk itu sebagian penduduk yang masih berada di kamp-kamp pengungsian harus kembali dan bersama saudarasaudara lainnya. Warga Timor Lorosae yang masih berada di Timor Barat harus kembali untuk partisipasi dalam proses registrasi sipil yang sedang dilakukan oleh UNTAET. Langkah-langkah ke arah itu harus dibangun dengan tetap memperhatikan usaha rekonsiliasi yang sedang dilakukan di antara orang Timor Lorosae. Perhatian yang besar terhadap nasib para pengungsi dan dukungan proses ke arah rekonsiliasi di antara orang Timor Lorosae merupakan langkah terpenting dalam proses membangun masyarakat dan bangsa. Bahwa usaha untuk menjamin semua warga Timor Lorosae yang memenuhi syarat untuk menggunakan hak politiknya dalam Pemilu pertama itu harus diberikan. Dalam proses ke sana dipandang penting untuk partisipasi aktif semua pihak, terutama pemerintah UNTAET, pemerintah Indonesia, IOM dan UNHCR. Pemerintah Indonesia harus menjamin rasa aman bagi para pengungsi yang ingin kembali ke tanah air. Harus ada kepastian hukum bagi para pelaku tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi, teror, intimidasi, dan ancaman pembunuhan. Dan membebaskan penduduk sipil dari kontrol kelompok milisi di kamp pengungsi. Timor Lorosae yang merdeka harus menjadi negara baru yang menjadi pioner dalam penegakan hukum, hak asasi dan demokratis. *** * Aniceto Neves adalah Kepala Divisi Advokasi Hak Asasi, Yayasan HAK. 7 Mei 2001
Serba Serbi
Pelatihan di Tiga Wilayah
K
ekerasan yang terjadi tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan pula. Demi keberhasilan transisi menuju kemerdekaan, konflik yang terjadi harus dicarikan jalan penyelesaiannya. Karena rakyat telah terlalu lama hidup dalam kekerasan, sejak kedatangan penguasa kolonial sampai sekarang. Kekerasan harus diakhiri demi masa depan Timor Lorosae yang aman sejahtera. Sebagai sebuah proses agar Timor Lorosae menuju kemerdekaan dan kebebasan yang berperspektif hak asasi, Yayasan HAK bekerjasama dengan USC Dili dan USC-Satunama Yogyakarta menyelenggarakan pelatihan
“penyelesaian sengketa secara alternatif”. Pelatihan dilakukan di tiga distrik: Maliana (25-27 Maret); Maubisse (29-31 Maret), dan Suai (2-4 April 2001). Masalah yang diungkapkan dalam ketiga pelatihan tersebut adalah konflik di masa lalu, perkelahian antar kelompok, kurangnya informasi tentang perkembangan proses transisi, pengadilan terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan, dan perkembangan peradilan di Timor Lorosae. Untuk membantu menyelesaikan sengketa tersebut, menurut F.X Purwaharsanta, dari USC-Satunama, ada dua cara, yaitu litigasi dan non-li-
tigasi (disebut juga penyelesaian sengketa secara alternatif). Agar rakyat di tingkat basis mengambil peran aktif dalam penyelesaian sengketa, mereka diperkenalkan cara penyelesaian non-litigasi, yaitu mediasi, arbitrasi, dan negosiasi. Sementara Nugroho Katjasungkana, relawan Fortilos yang bekerja untuk Yayasan HAK mengatakan, “Untuk mencegah agar tidak terjadi kekerasan di kemudian hari masyarakat harus memberdayakan diri dengan mengorganisir diri.” Ia mendiskusikan pembentukan organisasi komunitas untuk pemberdayaan dan peningkatan kualitas hidup rakyat. ***
Timor K’manek, dan buletin Direito. Sementara jurnalis dari luar Kota Dili adalah jurnalis Radio Komunidade Lospalos, Radio Komunidade Maliana, majalah Tolas (Toba In Lasi, Suara Rakyat), majalah Kuda Ulun Lian. idang atas kasus-kasus penting nalis dari Radio UNTAET, RaAgar mampu meliput secara akurat telah disidangkan di Pengadil- dio Rankabian, proses persidangan sebuah kasus dean Distrik Dili sejak awal ta- Radio ngan akurat dan seimbang, jurnalis hun ini. “Mengingat pentingnya dituntut untuk memahami hukum persidangan atas seyang berlaku di Timor Lorosae. jumlah ka“Hukum produk Indonesia masih sus, maka diberlakukan diTimor Lorosae Internews sejauh tidak bertentangan deTimor Lorongan hak asasi,” kata Aniceto sae bekerjaGuterres Lopes. sama dengan Narasumber lain yang haYayasan HAK dir adalah Caitlin Reiger menyelenggara(monitor pengadilan indekan workshop penden), Marco Kalbusch tentang Meliput (Unit Investigasi Kejahatdari Ruang Pengan Serius UNTAET), Haadilan, ”kata Lynnnah McCaughey (ahli dal Barry, country hukum asal Australia), director Internews Rui Pereira dos Santos Timor Lorosae. (Hakim),Joaquim Workshop diseFonseca (Yayasan lenggarakan di Kantor HAK), Titi Irawati Internews di Jalan Fatu(jurnalis, anggota hada, Dili pada 24-26 Aliansi Jurnalis InApril lalu. Sekitar 20 pedependen, Indoneserta dari berbagai media sia), dan David Wood, Resident cetak maupun elektronik. Di antara mereka adalah jurT i m o r Journalism Advisor Internews. ***
Workshop Meliput Dari Pengadilan
S
Direito 15
7 Mei 2001
14
Ami Lian
Sulitnya Membantu Pengungsi Memberi bantuan kemanusiaan kepada pengungsi bukanlah kegiatan tanpa risiko. Pekerja kemanusiaan -yang menurut ketentuan internasional harus dilindungi ini - justru sering diserang oleh pihak-pihak yang merasa terganggu oleh kegiatan mereka.
T
Foto: F.X. Sumaryono imor Lorosae mengalami krisis kemanusiaan setelah di wilayah yang saat itu menjadi diduduki Indonesia itu merajalela kelompok-kelompok bandit bersenjata yang dikenal sebagai “milisi.” Kelompok bentukan TNI ini melakukan pembakaran rumah, perampokan, perkosaan, dan pembunuhan terhadap penduduk sipil yang mereka anggap mendukung ke-merdekaan. Gelombang kekerasan baru ini menyebabkan terjadinya pengungsian dalam negeri. Banyak orang terpaksa lari menyelamatkan diri ke gunung dan hutan atau ke tempat yang aman di kota seperti gereja dan rumah tokoh- Patrick Burgess (mantan bagian kemanusiaan UNAMET) tokoh masyarakat. Seba- bertemu kembali mantan pengungsi. gian dari mereka lari karena desanya Kemanusiaan (TRuK Jakarta), UNdibakar akibat mereka menolak dija- HCR, dan UNAMET bagian kemanudikan anggota milisi. siaan itu diserang oleh kelompok miPada awalnya terjadi pengungsian lisi Besi Merah Putih di kota Liquiça, terjadi di Ermera (wilayah operasi 4 Juli 1999. Mereka dalam perjalanDarah Integrasi), Liquiça (wilayah an kembali dari memberikan bantuan operasi Besi Merah Putih), Atabae kemanusiaan kepada para pengungsi (wilayah operasi Halilintar), dan di Sare. Sebelumnya, UNAMET baSuai (wilayah operasi Laksaur). gian kemanusiaan dan UNHCR telah Anggota-anggota milisi tidak ha- melakukan koordinasi dengan Polda nya mengarahkan serangannya pada dan Gubernur Timor Timur Abilio penduduk. Mereka juga menyerang Soares. Anggota-anggota milisi menempekerja bantuan kemanusiaan. Tim gabungan pekerja kemanusiaan yang bakkan senapan, melempari mobil, terdiri dari Posko Bantuan Darurat dan memecahkan kaca-kacanya. PeBagi Pengungsi Internal, Yayasan tugas polisi yang berada di Polsek LiHAK, ETADep, Caritas, Timor Aid, quiça, yang tidak jauh dari tempat peYayasan Kasimo, Tim Relawan untuk nyerangan, hanya berdiam melihat
15
Direito 15
kejadian penyerangan tersebut. Selanjutnya mereka malah membawa anggota rombongan kemanusiaan ke Polsek dan menuduh bahwa rombongan ini membawa senjata, membawa “orang hutan” (gerilyawan Falintil), dan menuduh anggota rombongan dari TRuK Jakarta “mempolitisir rakyat.” Bukannya menangkap milisi yang melakukan penyerangan, mereka malah memaksa menginterogasi anggota rombongan kemanusiaan tersebut. Nasib yang lebih buruk dialami oleh pekerja kemanusiaan yang memberi bantuan kepada pengungsi Timor Lorosae di Atambua. Pada bulan September 1999, anggota-anggota milisi anti-kemerdekaan membunuh tiga orang pekerja UNHCR, dengan dalih bahwa UNHCR terlibat pembunuhan Olivio Moruk, komandan milisi Laksaur. Setelah membunuh pekerja UNHCR, mereka mengarahkan sasaran pada semua organisasi kemanusiaan yang memberi bantuan kepada pengungsi, baik yang dari luar negeri maupun Indonesia. Posko Kemanusiaan Atambua adalah salah satu organisasi lokal yang dicari-cari oleh anggota-anggota milisi. Agaknya, para anggota milisi ingin menjadikan wilayah pengungsian sebagai daerah kekuasaan yang bersih dari pihak independen. Polisi dan Kostrad yang dimintai perlindungan mengatakan tidak bisa menjamin keamanan mereka. Akhirnya mereka melintasi perbatasan Timor Lorosae meminta pertolongan PKF untuk dibawa ke tempat yang aman. Selanjutnya mereka ditampung beberapa organisasi non-pemerintah di Dili, yang sebelumnya bekerjasama dengan mereka membantu pengungsi Timor Lorosae. Setelah hampir seminggu di Dili, UNHCR mengirim mereka ke Denpasar. Sekarang mereka telah meneruskan kegiatan membantu para pengungsi. Memang, pekerja kemanusiaan sejati tak akan gentar karena intimidasi dan teror dari mana pun!*** 7 Mei 2001
Ami Lian
Indonesia Bisa Dinilai Tidak Serius Tangani Pengungsi
P
emerintah Indonesia dapat saja mendapat sorotan dunia internasional, karena dinilai tidak serius menangani masalah pengungsi Timor Lorosae di Timor Barat. “Saya melihat, agenda pelaksanaan registrasi pengungsi yang tidak menentu ini dapat memberikan dampak negatif terhadap pemerintah Indonesia di dunia internasional. Karena itu pemerintah Indonesia tidak serius menangani masalah pengungsi,” kata Yoseph Dasi Djawa. Pandangan direktur Lembaga Advokasi dan Penelitian Timoris (Laptimoris) itu berkaitan dengan masih tertundanya pelaksanaan registrasi sampai dengan pertengahan Maret 2001. Keterlambatan registrasi
pengungsi dapat berakibat pada hilangnya hak politik pengungsi Timor Lorosae di Timor Barat, pada pemilihan umum pertama Timor Lorosae. Pihak-pihak yang dilibatkan adalah
UNTAET dan Uni Timor Aswain (UNTAS) sebagai organisasi yang memayungi warga Timor Lorosae di pengungsian di Timor Barat, untuk membicarakan hambatan-hambatan.dalam pelaksanaan registrasi. “Kalaupun UNTAET tidak memberikan dukungan dana, maka UNTAET dapat mendorong lembaga-lembaga internasional lainnya untuk memberikan dukungan dana. Tetapi, ini harus dibicarakan bersama,” lanjut Yoseph. Upaya mendorong percepatan pemulangan pengungsi memang penting dilakukan. Tetapi yang lebih penting dari pemulangan adalah registrasi, karena tidak semua pengungsi otomatis menjadi warga negara Timor Lorosae atau Indonesia. Artinya, mereka yang ingin kembali statusnya telah jelas. (Gebyarnet, 16 April 2001)
Mereka Mau Lari Ke Mana?
S
eandainya pemilu di Timor Lorosae gagal, mereka mau lari ke mana. Tentunya yang lebih dekat dan yang paling gampang secara budaya, ya di sini, di NTT. Eksodus ‘kan dibenarkan oleh hak asasi dan kita tidak boleh menghalangi. PKF PBB tidak bisa menghalangi, memblokade boleh. Tetapi tidak boleh menembak, begitu pula dengan TNI. Karena itu kita antisipasi dengan mempersiapkan kantong-kantong eksodus. Sebab, sesuai dengan hukum hak asasi kita harus menerima dan mengurus mereka semampu kita,
kemudian melaporkannya kepada PBB. Seperti kita ketahui, pemilu itu ada yang gagal dan ada yang berhasil. Ingat, dalam pemilu kalau sekian persen penduduk tidak ikut memilih maka pemilu itu gagal ‘kan? Maka usaha untuk melengkapi persyaratan pemilu, pihak UNTAET atau PBB membantu memberikan sosialisasi supaya memilih alternatif itu. Siapa lagi yang menentukan Timor Lorosae kalau bukan warganya sendiri. Kita sepakat dengan komentar Ana Gomes yang datang ke sini ber-
sama delegasi Portugal, bahwa yang bisa menentukan Timor Lorosae berdiri ya warganya. Kita -- Indonesia, Portugal, maupun PBB hanya sebagai fasilitator. *** (Wawancara dengan Kasi Intel Korem 161 WS, IGK Rai Gunawan, dikutip dari Laptimoris)
PKF tidak boleh menembak, begitu juga TNI.
Redaksi Direito Neves, Julio, NK, Lito, Pinto, Julito, Avan, Hanjam, Caminha, TI, Moises, Oscar, Viana, Edio, Kopral.
Diterbitkan atas dukungan: