Yayasan HAK
Jl. Gov. Serpa Rosa T-091, Farol Dili - Timor Lorosae Tel.: + 670 390 313323 Fax.: + 670 390 313324 e-mail:
[email protected]
Direito Dwi
E d i s i
Editorial Partisipasi telah menjadi masalah sejak awal kehadiran UNTAET. LSM-LSM Timor Lorosae telah menuntut agar masyarakat Timor Lorosae dilibatkan secara maksimum dalam proses transisi. Namun, rupanya tuntutan-tuntutan yang kadang disertai protes terhadap sejumlah ketidakbecusan tersebut selalu membentur batu karang. UNTAET tetap bersikap,biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Bentuk ketidakpedulian ini muncul lagi melalui sebuah proyek berjudul Civic Education yang diluncurkan UNTAET. LSM-LSM dan kelompok mahasiswa Timor Lorosae tidak terima. Mereka protes keras, dan UNTAET terpaksa menghentikan proyek ini sementara, untuk menunggu pembicaraan lebih lanjut. Dengan menghentikan proyek Civic Education, UNTAET terkesan mau mendengarkan sedikit yang dikatakan oleh kelompok-kelompok Timor Lorosae. Di satu sisi, ini merupakan langkah yang positif, tetapi perlu diingat, ini merupakan sesuatu yang tidak sering dilakukan sesudah setahun UNTAET berada di Timor Lorosae. Pertanyaannya, mengapa kelompok-kelompok Timor Lorosae harus selalu ditempatkan pada posisi reaktif? Bukankan Transisi ini merupakan proses yang nantinya harus diambil alih oleh orang Timor Lorosae? Perlukah ada penyamaan persepsi terhadap istilah PARTISIPASI?
Mingguan
10
Hak
A za s i
Ma n u s i a
20 November 2 0 0 0
Proyek Civic Education: Dari Siapa, Untuk Siapa?
B
aru-baru ini kalangan LSM Nasional Timor Lorosae mengirimkan sebuah surat bernada keras kepada Departemen Urusan Politik UNTAET. Pasalnya, departemen itu mengeluarkan sebuah dokumen proyek menyangkut rencana pelaksanaan Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan) untuk rakyat Timor Lorosae, tetapi tidak melibatkan orang Timor Lorosae dalam perumusannya. Materi yang hendak diajarkan dalam proyek Civic Education (CE) itu pun dalam beberapa hal membingungkan. Sebagaimana program-program UNTAET lainnya, proyek CE ini juga asing bagi masyarakat umum. Banyak yang mengaku tidak tahu tentang rencana pelaksanaan proyek CE tersebut. Ada juga yang tergagap mengetahui bahwa UNTAET lebih antusias dengan proyek seperti CE dibandingkan program pertanian atau program-program lainnya yang langsung berhubungan dengan kepentingan rakyat saat ini.
Pendidikan demokrasi hanya berjalan efektif jika tidak ada lagi kelaparan yang melanda rakyat banyak. Kalau orang lapar, kan harus diberi makan. Bukan diberi kata-kata, begitu kata Domingos Sequera Gusmão, penjual kelapa muda keliling. Civic education itu penting, kata Jacinto dos Santos, Wakil Sekretaris I CNRT Nurep Maubara, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana rakyat tahu tentang perkembangan pemerintahan transisi. Sampai saat ini kami, rakyat di Maubara belum tahu apa yang dilakukan oleh pemerintah transisi. Sementara Etelvina da Costa, guru di Dili berpendapat, Boleh saja pendidikan kewarganegaraan dijadikan kurikulum di sekolah, tetapi kalau tidak ada buku, kursi, dan meja yang mendukung anak-anak belajar bagaimana mungkin semua itu bisa berjalan
Antusiasme rakyat dalam referendum. Kesadaran dan praktek demokrasi.
dengan baik? Saida mak educação civica? Pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan yang bertujuan mempersiapkan orang untuk menjadi warganegara yang baik. Isinya tentang hak dan kewajiban warganegara. Dalam kenyataan, aspek tertentu lebih menonjol daripada aspek yang lain. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, pendidikan kewarganegaraan menonjolkan peran AS sebagai negara demokratis. Mattew Jardine seorang pengajar pada University of California Los Angeles (Berkeley) yang juga aktivis gerakan solidaritas Timor di AS (ETAN), mengatakan aspek ini begitu menonjol sampai-sampai orang AS percaya bahwa AS benar-benar kampiun demokrasi yang hak untuk melakukan intervensi terhadap negara lain demi menegakkan demokrasi. Padahal kenyataannya AS selama Perang Dingin telah mendukung rezim otoriter anti-demokrasi di negara-negara Dunia Ketiga dan terlibat dalam penggulingan pemerintahan yang terpilih melalui pemilihan demokratik, seperti Presiden Salvador Allende di Chile (1973). Pemerintah AS juga yang mendukung invasi Indonesia atas Timor Lorosae pada 1975 dan pendudukan terhadapnya hingga 1999, kata Mathew, dalam diskusi tentang CE yang diselenggarakan Sahe Institute for Liberation, beberapa waktu lalu. Pendidikan kewarganegaraan di AS juga tidak membuat rakyat menyadari bahwa demokrasi di AS sangat tidak sempurna. Yang ditonjolkan adalah hak-hak sipil dan
Direito Utama politik, seperti kebebasan berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat. Kebebasan-kebebasan ini memang diperlukan untuk demokrasi, tetapi itu saja tidak cukup. Kemiskinan di AS termasuk yang parah di dunia. Banyak orang mati kekurangan gizi, pengangguran merajalela akibat penciutan lapangan kerja, puluhan juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Ini menyebabkan banyak sekali orang yang tidak bisa menikmati kebebasan. Contoh lain pendidikan kewarganegaraan adalah P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di Indonesia. Warganegara dicekoki dengan butir-butir tentang kewajiban berbuat baik, tetapi dalam kenyataan semua itu tidak bisa diterapkan karena bertolak belakang dengan kenyataan praktek otoriter penguasa dan perekonomian kapitalis yang didukungnya. Semua yang baik adalah yang harus dijalankan oleh rakyat biasa, bukan oleh penguasa. Misalnya berdasarkan nilai persatuan, buruh tidak boleh mogok karena mogok berarti bermusuhan dengan perusahaan. Bahwa mogok adalah akibat dari pihak majikan perusahaan yang membayar upah terlalu rendah tidak boleh dipersoalkan. Begitu pula di bidang politik, rakyat tidak boleh memprotes kebijakan pemerintah, karena protes itu adalah tindakan yang tidak sopan. Bahwa pemerintah berbuat lebih tidak sopan karena membuat program keluarga berencana yang mengharuskan perempuan memasang spiral pada kandungannya itu tidak boleh dipersoalkan. Akibatnya, pendidikan kewarganegaraan tak lebih dari manipulasi yang dilakukan penguasa terhadap rakyat, untuk menjaga keberlangsungan kapitalisme dan kekuasaan rezim Orde Baru. Setelah Presiden Soeharto dipaksa mundur dari jabatannya akibat tuntutan rakyat, di Indonesia digencarkan satu jenis pendidikan kewarganegaraan. Kali ini yang terlibat adalah sejumlah LSM tertentu dengan dukungan kuat dari USAID (suatu lembaga yang menjalankan politik luar negeri pemerintah AS) dan UNDP. Pendidikan yang disebut voters education (pendidikan bagi calon pemilih) ini bertujuan mempersiapkan orang untuk mengikuti pemilihan umum. Isi pendidikannya adalah tentang demokrasi, pemilihan umum, partai politik, dan apa yang harus dilakukan pemilih pada saat pemilihan umum (pemilu). Pendidikan ini sepertinya baik, yaitu mempersiapkan orang memasuki situasi baru: demokrasi. Tetapi punya akibat yang sebaliknya. Pada saat itu (hingga sekarang) masalah utama bagi demokratisasi di Indonesia adalah bagaimana menyingkirkan Bersambung ke hal. 6, kol. 3
Direito 10
Carsiliano Oliveira,
Koordinator Comissão Nacional de Educação Civica (CONSEC):
Rakyat sudah kenal demokrasi, tetapi...
C
ivic education (pendidikan kewarganegaraan) bukan hal baru bagi rakyat Maubere. Sejak 1975 FRETILIN pernah melakukan kegiatan pendidikan kewarganegaraan, yang waktu itu dikenal dengan Educacão Popular. Pendidikan kewarganegaraan itu penting, karena tujuannya untuk membangun pendidikan politik rakyat. Agar rakyat bisa mengerti tentang apa itu negara dan bagaimana rakyat bisa tahu cara-cara untuk membangun sebuah negara. Pendidikan kewarganegaraan juga penting, karena akan mendidik rakyat untuk mengerti politik, pembangunan nasional, mengembangkan toleransi, demokrasi, dan bagaimana rakyat bisa menjalankan hak politik mereka. Karena namanya pendidikan politik atau pendidikan kewarganegaraan yang ditujukan kepada rakyat, maka saya pikir yang seharusnya melakukannya adalah pihak-pihak yang independen. Jangan oleh partai politik atau kelompok yang memiliki kepentingan politik. Jika dilakukan oleh partai politik atau kelompok politik lainnya selalu terbuka peluang bahwa pendidikan politik itu dilakukan sepihak dan sering kali juga sifatnya indoktrinasi, untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan politik partai. Jadi saya tidak setuju rencana UNTAET yang memasukan partai politik dan organsisasi massa politik sebagai komponen pelaksana pendidikan kewarganegaraan. Seharusnya diserahkan kepada lembaga-lembaga independen yang bebas dari kepentingan politik. Tentang posisi UNTAET? Saya pikir, UNTAET boleh saja memprakarsai program ini, tetapi UNTAET jangan menjadikan dirinya sebagai pengambil dan penentu kebijakan utama dan sekaligus menjadi praktisi di lapangan. Tugas itu harus diberikan kepada NGO dan kelompok-kelompok independen lain di masyarakat. Praktek demokrasi sebenarnya telah dikenal rakyat, tetapi seringkali juga terjadi dalam masyarakat tindakan dan pikiran yang bertolak belakang dengan demokrasi. Contohnya, di banyak daerah, rakyat menganggap partai politik itu negatif dan mereka tidak memerlukan kehadiran partai politik. Partai politik seakan menjadi momok yang menakutan bagi rakyat. Padahal dalam negara yang ingin mengembangkan demokrasi, kehadiran dan peran partai 20 November2000
politik sangat penting sebagai salah satu komponen dari demokrasi itu sendiri. Ini adalah masalah serius. Karena itu program pendidikan kewarganegaraan itu penting. Program itu mengatakan kepada rakyat, bahwa partai politik penting bagi kehidupan demokrasi suatu negara. Kondisi ini harus diubah. Rakyat jangan alergi terhadap partai politik apalagi alergi terhadap politik. Saya mengerti bahwa sejarah partai politik di negeri ini memang sempat membuat trauma masyarakat, tetapi itu terjadi pada 1975. Sekarang situasinya berbeda. Semua itu akan dijelaskan kepada rakyat melalui program pendidikan kewarganegaraan. Bagaimana dengan metode pelaksanaan pendudukan kewarganegaraan? CONSEC memiliki rencana taktis tentang metode ini. Kami akan datang ke distrik-distrik, dan kami akan melibatkan masyarakat yang potensial untuk melakukan program ini. Jadi, metode yang baik menurut saya adalah jangan menempatkan diri kita sebagai guru dan masyarakat sebagai murid. Prosesnya harus bersifat dialogis yang partisipatif. Kita ke sana untuk melakukan diskusi bukan mengajari. Sasaran terakhir, setiap wakil masyarakat yang telah dilibatkan dalam proses itu akan menjadi agen selanjutnya dalam melakukan civic education terhadap masyarakat di tempat masing-masing. Di satu sisi UNTAET berusaha mempersiapkan rakyat untuk pemilihan umum lewat program civic education, tetapi di sisi lain peraturan yang mengatur partaipartai politik belum juga. Saya kira yang paling utama adalah kesadaran rakyat yang harus dilakukan dulu. Setelah kesadaran politik rakyat matang baru lah kita berbicara tentang regulamen yang mengatur partai politik. Memang penting adanya aturan kepartaian, tetapi saya pikir yang lebih penting adalah kesadaran rakyat. Jika rakyat sadar, apa pun yang dilakukan partai dengan licik atau manipulatif tidak akan mempan di masyarakat. Masyarakat dengan sendirinya akan membatasi tindakantindakan manipulatif partai politik. Jangan lupa bahwa partai politik itu hidup karena dukungan rakyat. Jadi sekali lagi rakyat lah yang akan menentukan sesuai dengan tingkat kesadaran mereka. *** 2
Wa w a n c a r a Maria Valeria V. Rezende
UNTAET Tak Punya Kapasitas Jalankan Civic Education Madre Maria Valeria Rezende adalah ahli pedagogi dan pengajar pada EQUIP (Escola de Formação Quilombo dos Palmares, Brazil). Ia bersama Carmelita da Conceição berada di Timor Lorosae selama satu bulan untuk menfasilitasi Educação Popular (Pendidikan Kerakyatan) bagi beberapa NGO Timor Lorosae yang bekerja di basis. Pada tanggal 6/ 10 lalu, di Sekretariat Lao Hamutuk - Becusse, jurnalis Direito, José Luis de Oliveira dan Nug Katjasungkana berbincangbincang dengan Valeria mengenai banyak hal. Berikut cuplikan perbincangan mereka tentang Civic Education. Akhir-akhir ini banyak pihak sibuk membicarakan program civic education atau pendidikan kewarganegaraan. Berbagai pertemuan baik yang dilakukan oleh NGO maupun UNTAET membicarakan program CE untuk mempersiapkan masyarakat menghadapi pemilihan umum (pemilu) yang akan diselenggarakan pada tahun depan. Apa pendapat Anda? Itu adalah sebuah program tentang teori politik demokrasi kepada rakyat. Mereka akan mengajarkan apa itu demokrasi. Itu bukan CE. Dalam kenyataannya adalah sebuah proses doktrin tentang konsep demokrasi. Konsep demokrasi minimun (semu, red.). Demokrasi minimun adalah demokrasi di mana ekspresi kehendak rakyat hanya terjadi sekali dalam empat atau lima tahun. Di mana orang memberikan suara untuk memilih siapa yang akan menjadi pengambil semua keputusan. Karena dalam banyak demokrasi, kebebasan berekspresi dari setiap orang untuk bisa mengatakan apa yang dia mau, disederhanakan menjadi pemilu. Ini bukan demokrasi yang sesuai dengan makna katanya. Bukan suatu pemerintahan rakyat. Pemilu berfungsi atas dasar legitimasi kekuasaan aristokrasi. Suatu aristokrasi yang akan mendefinisikan tidak dengan darah , tidak dengan hak lahir, tetapi dengan kekuasaan ekonomi, dan dengan kekuasaan aliansi politik dan ekonomi. Jadi bisa dilihat, pada kenyataan rakyat tidak berkuasa, walaupun bisa punya sistem formal yang dinamakan demokrasi liberal. Lalu seperti apakah CE itu? Saya kira sangat sulit bagi UNTAET yang punya kekuasaan artifisial (buatan, red.), heterogen, dan terdiri dari orang asing mau melaksanakan CE untuk rakyat. CE adalah kemampuan untuk menangani sendiri kondisi sosialnya. Dan hanya sebuah proses di mana rakyat yang bisa melaksanakannya. Rakyat Timor Lorosae sudah membuat itu dalam arti luas. Tetapi ada yang mengatakan bahwa rakyat belum tahu berdemokrasi.... 3
Siapa yang mengatakan rakyat Timor Lorosae tidak tahu berdemokrasi? Kenyataannya, rakyat Timor Lorosae sangat tahu kapan pengambilan keputusan akan diambil oleh semua rakyat atau sebagian besar rakyat. Kesadaran rakyat! Ini adalah konsep fundamental dari demokrasi. Jadi, apa yang saya dengar dari sebuah wawancara di radio UNTAET dengan seorang staf UNTAET terkesan apa yang akan dilakukan adalah petunjuk tentang proses pemilu. Dan ini bukan CE. Sekarang, seharusnya proses ini dilakukan oleh rakyat Timot Lorosae dikendalikan melalui organisasi rakyat yaitu CNRT. Walaupun saya sendiri belum tahu persis perkembangan CNRT. CE adalah sebuah istilah baru untuk rakyat Timor Lorosae. Kadang juga pimpinan CNRT tidak menjelaskan dengan baik apa itu CE. CE yang sebenarnya akan jalan melalui praktek pengambilan keputusan. Pertanyaannya adalah apa itu demokrasi? Demokrasi adalah sebuah bentuk di mana rakyat secara langsung menentukan nasib negara, karena dia memberikan suara. Pada waktu dia memberikan suara, dia mengalihkan kekuasaannya kepada orang lain. Dan orang lain yang mengambil keputusan. Ini adalah konsep demokrasi liberal. Saya membaca sebuah artikel di koran Tais Timor, yang ditulis seorang yang bernama Karol (Karol Soltan, Bagian Political Affairs UNTAET, red.). Di situ dia mengatakan demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Tetapi ini tidak berarti bahwa rakyat akan melakukan apa saja yang dikehendaki. Karena harus ada sebuah pemerintah yang akan memerintah rakyat mengenai apa yang harus dilakukan. Ini adalah demokrasi politik yang sekarang ini tidak ada ahli politik yang menganggap sebagai kenyataan demokrasi. Ini adalah sebuah simulasi demokrasi. Ini adalah tipe demokrasi Amerika Serikat. Bahwa walaupun hanya 30% rakyatnya yang ikut pemilu, pemerintah AS dan begitu pula yang lainnya selama 24 tahun mendukung pemerintahan diktaktor Republik Indonesia untuk melakukan pengrusakan di Timor Direito 10
Lorosae. Dan rakyat AS tidak pernah tahu apa yang dilakukan pemerintahnya. Apakah ini demokrasi, di mana rakyat yang berkuasa atau memerintah? Rakyat tidak memerintah dan tidak punya kuasa. Jadi dalam konsep demokrasi formal, pemilu hanya praktek kekuasaan rakyat, tetapi pada saat yang sama terjadi penyerahan kekuasaan. Tindakan yang sebenarnya bahwa praktek kekuasaan dan penghilangan kekuasaan. Lalu bagaimana idealnya? Sekarang bukan saja di Brazil dan bukan sesuatu yang kiri, tetapi seorang ahli politik dari Italia, Norberto Bobbio, mengemukakan teori politik yang cukup terkenal pada tahun-tahun terakhir. Dia mengatakan, yang ideal adalah demokrasi partisipatif. Di mana Anda memilih wakil rakyat, tetapi Anda tidak mengalihkan atau menyerahkan semua kekuasaan. Keputusan yang diambil harus tetap dikontrol oleh rakyat. Sebagai contoh, di Brazil, kita membuat sebuah perjuangan luas pada waktu ada kesempatan untuk membuat konstitusi baru pada 1988. Bergerak maju pada jalan demokrasi partisipatif, di mana sebagian hal berhasil mengatur sejak dari pemerintah lokal sampai pusat. Pemerintah harus tunduk pada proyek yang disahkan oleh Dewan Rakyat - yang mewakili organisasi rakyat dan civil society. Pemerintah tidak bisa menggunakan sumberdaya tanpa disetujui Dewan Rakyat. Dewan-dewan ini diperbaharui setiap dua tahun. Memang ada kemungkinan Dewan Rakyat dikooptasi oleh pemerintah. Supaya berfungsi dengan baik perlu pengawasan terus menerus dari basis. Tetapi ini berdasarkan prinsip bahwa rakyat tidak menyerahkan semua kekuasaannya kepada pemerintah. Rakyat hanya menyerahkan sebuah fungsi koordinasi eksekutif. Rakyat tidak hilang kontrol. Kekuasaan untuk mengontrol dan mengambil keputusan bagi tindakan pemerintah tetap di tangan rakyat. Pada setiap tingkatan pemerintahan ada Dewan Rakyat untuk urusan ekonomi, pendidikan, anak, orang lanjut usia dan lain sebagainya. 20 November2000
Wa w a n c a r a Apakah Dewan Rakyat ini seperti pemerintah paralel? Tidak! Karena Dewan Rakyat tidak melakukan fungsi eksekutif, hanya sebagai kekuatan moral dari rakyat. Kalau dewan menolak suatu proyek, maka eksekutif tidak bisa melaksanakan. Di sisi lain, bila dewan ini mengajukan sebuah proyek, maka eksekutif harus merealisir. Kalau begitu dewan ini sama dewan legislatif? Jelas bahwa ada legislatif yang membuat aturan atau hukum, tetapi sifatnya umum. Kalau aturan mengatakan, pemerintah harus bangun sekolah. Tetapi aturan tidak mengatur sekolah harus dibangun di sini atau di sana. Tidak mengatur bahwa sekolah harus dibangun dengan apa, tidak mengatur apakah pegawai pemerintah yang akan membangun atau mengontrak perusahaan yang akan membangun. Jadi Dewan Rakyat yang akan mengawasi, karena korupsi dan kolusi bisa timbul. Apakah mekanisme itu sudah sempurna? Jelas bukan mekanisme yang sempurna. Tetapi sudah lebih baik daripada ikut pemilu yang hanya menyerahkan begitu saja kekuasaan. Lalu, siapa yang menciptakan mekanisme itu? Rakyat Brazillah yang membuat, bukan ahli politik. Sebuah perjuangan keras dari rakyat Brazil untuk memasukkannya ke dalam konstitusi. Ada hal yang menarik bahwa bila gerakan rakyat diorganisir dengan baik maka dewan ini akan efektif. Kalau tidak ada gerakan rakyat, maka dewan ini hanya sebuah institusi formal. Ini bukti yang tidak bisa dibantah bahwa kita jangan hanya membuat mekanisme institusi. Yang penting adalah rakyat tumbuh kesadaran untuk meraih kekuasaan. Ini hanya tercapai kalau CE adalah belajar mewujudkan kekuasaan dan percaya bahwa dia punya kekuasaan. Bagaimana seharusnya proses CE di sini? Saya pikir, sejak keberadaan UNTAET di sini, seharusnya ada sebuah proses tetap konsultasi dengan rakyat untuk pelaksanaan program yang dilakukan dan di situlah terdapat CE. Tetapi selama ini UNTAET selalu mengatakan, sudah melakukan konsultasi terhadap CNRT dan NGO? Ini bukan dengan rakyat. Kalau konsultasi dengan rakyat, ya ... berbicara dengan rakyat di jalan. Datang ke kampung-kampung, duduk dengan rakyat di situ dan tanya apa Direito 10
Kalau konsultasi dengan rakyat, ya ... berbicara dengan rakyat di jalan. Datang ke kampungkampung, duduk dengan rakyat di situ dan tanya apa kebutuhan rakyat di kampung. kebutuhan rakyat di kampung. Mekanisme ini dikatakan tidak efektif dan efisien? Ah, ini hanya dikatakan oleh orang yang menganggap tahu semuanya. Pertama, yang dikatakan oleh Augusto Conte pada abad 18, bahwa hanya orang pintar yang bisa memerintah. Karena rakyat itu bodoh. Lenin juga pernah menulis bahwa kelas buruh adalah kelas utama dari sejarah. Dan hanya intelektual yang bisa mengarahkan. Partai Kolektif Intelektual yang tahu apa yang terbaik bagi kelas buruh. Ini dalam sejarah membuktikan tidak benar. Kenapa tidak mencoba bertanya pada rakyat. Masa pemerintahan UNTAET sangat pendek. Dan mereka harus memproses cepat agar pemerintahan orang Timor Lorosae terbentuk ... Saya setuju, bahwa apa yang dikerjakan bukan CE. Karena UNTAET tidak punya kapasitas untuk melakukan CE. Mereka tidak bisa melakukan CE. Karena UNTAET sebuah badan birokrasi administratif artifisial dan sementara, yang tidak mewakili kehendak rakyat mana pun. Dan program CE yang akan dilakukan bukan CE sesungguhnya. Ini adalah petunjuk tentang proses pemilu.
mengontrol eksekutif, siapa yang akan mengontrol eksekutif? Kekuasaan ekonomi! Bila rakyat percaya, bahwa mereka adalah pemilik dari kekuasaan, jangan menyerahkan semua kekuasaannya kepada sekelompok minoritas yang bisa memanipulasi dan membohongi kepentingan rakyat. Saya kira sangat penting rakyat Timor Lorosae tahu bahwa ini bukan CE. Lalu kalau UNTAET pergi, rakyat Timor Lorosae harus melakukan CE sendiri. Jangan pikir bahwa demokrasi sudah lengkap hanya dengan pemilu. Kalau begitu bisa dikatakan bahwa apa yang akan dilakukan adalah voters education? Ya! Betul pendidikan untuk pemilih, bukan CE. Karena CE adalah pendidikan supaya rakyat bisa menjadi pemilik kekuasaan negara ini melalui partisipasi penuh. Dan ini lebih luas dari pada hanya ikut pemilu. Tetapi hanya akan terjadi bila proses kekuasaan itu dijalankan sendiri oleh rakyat. Dan ini harus dilakukan oleh rakyat Timor Lorosae. UNTAET tidak pernah bisa melakukan. Rakyat Timor Lorosae telah berjuang untuk mendapatkan hak atas kebebasan. Dan sekarang akan membangun sebuah bentuk kebebasan. Karena kebebasan bukan ketiadaan penindasan, dan kebebasan bukan hanya ketiadaan hambatan, tetapi kebebasan adalah kemampuan untuk melakukan apa yang dikehendaki. Kemungkinan untuk melakukan pembebasan harus ada sebuah tahap positif. Bagaimana rakyat Timor Lorosae akan membangun mekanisme yang akan menjamin kehidupan negara sesuai kehendaknya. Bukan Bank Dunia atau perusahaan minyak. Yang penting rakyat. Bagaimana rakyat akan mempraktekkan kekuasaannya. Ini hanya rakyat Timor Lorosae yang bisa membangun. Dan itu harus dibangun.
Dari AS datang IRI (International Republican Institute) dan National Democratic Institut (Partai Demokrat) membawa program CE ... *** Jelas apa yang mereka namakan ... apa yang dikerjakan bukan CE. Karena CE. KepentingUNTAET tidak punya kapasitas untuk annya hanya memerlukan suara rakyat melakukan CE. Mereka tidak bisa melakukan dalam pemilu. RakCE. Karena UNTAET sebuah badan yat hanya diberi birokrasi administratif artifisial dan kuasa untuk memberi suara. Setelah sementara, yang tidak mewakili kehendak itu sudah tidak rakyat mana pun. Dan program CE yang diperlukan lagi. akan dilakukan bukan CE sesungguhnya. Ini Kalau rakyat tidak punya format untuk adalah petunjuk tentang proses pemilu. 20 November2000
4
O p i n i Proyek Civic Education UNTAET Oleh Redaksi Direito
Sebagai negara baru Timor Lorosae sering diibaratkan sebagai sehelai kertas putih tak bertulisan. Dengan asumsi demikian, banyak orang dengan sedikit pengalaman dari tempat lain berdasarkan kondisi yang berbeda, mencoba mentransfer pengalaman mereka ke Timor Lorosae. Salah satu contohnya adalah proyek Civic Education (CE) yang direncanakan oleh UNTAET. Secara kasat mata, proyek tersebut mencoba mentransfer pengalaman demokrasi negara lain tanpa penyesuaian apapun terhadap keadaan khas di Timor Lorosae, dan karenanya juga luput mempertimbangkan kemampuankemampuan dan pengalaman yang ada dalam masyarakat Timor Lorosae sendiri.
K
ehidupan demokrasi memang dapat tercermin dari adanya lembagalembaga sebagai sarana pelaksanaan demokrasi. Namun, kehidupan demokrasi sebetulnya lebih banyak ditentukan oleh berkembangnnya budaya demokrasi di dalam masyarakat. Budaya demokrasi, yang mengandaikan adanya pemahaman yang terbentuk secara baik tentang bagaimana orang-orang berhubungan satu dengan yang lain di dalam masyarakat dan bagaimana keputusan-keputusan seharusnya diambil oleh mereka dan atas nama mereka, merupakan syarat mutlak terbentuknya sebuah sistem pemerintahan yang demokratis. Dalam kaitan dengan hal itu, demokrasi tidak dapat diajarkan tanpa juga dipraktekkan. Melalui proses perumusannya yang eksklusif dan tidak demokratis, proyek CE, yang bermaksud mengajarkan demokrasi, telah kehilangan makna dan tujuan demokrasi itu sendiri, yakni legitimasi. Proyek ini dikembangkan tanpa usaha yang serius untuk mengidentifikasi apa yang telah dilakukan oleh rakyat Timor Lorosae dalam hal demokrasi. Dokumen proyek CE UNTAET tersebut dibuat berdasarkan asumsi yang salah bahwa karena masyarakat Timor Lorosae belum mempunyai pengalaman tentang pemerintahan yang demokratis, mereka juga hanya mempunyai sedikit pemahaman tentang apa itu demokrasi. Hal ini hanya benar jika demokrasi hanya dilihat sebagai serentetan lembaga-lembaga. Padahal demokrasi sebetulnya jauh lebih dari itu. Sesungguhnya kehausan orang Timor Lorosae akan keadilan dan asas keterwakilanlah yang membawa mereka mempertaruhkan jiwa mereka dalam referendum bulan Agustus tahun lalu. Mereka melaksanakan hak penentuan nasib sendiri sebagai bangsa, karena mereka mengerti hak mereka untuk menentukan nasib sendiri sebagai pribadi. Tanpa kesadaran akan penentuan nasib sendiri sebagai pribadi, akan sulit mencapai kesadaran akan penentuan nasib sendiri sebagai bangsa. 5
Demikian pula sebaliknya. Sehingga menihilkan pemngalaman demokrasi rakyat Timor Lorosae berarti menutup mata terhadap keterlibatan mereka dalam sebuah proses demokratis seperti referendum tahun lalu, yang sebetulnya hanya dapat terjadi karena kuatnya kesadaran rakyat akan hakhaknya dalam proses pengambilan keputusan politik. Kehidupan politik praktis memang belum pernah berjalan secara wajar di Timor Lorosae, tetapi harus diakui bahwa rakyat Timor Lorosae merupakan rakyat yang sadar secara politik. Kesadaran politik rakyat merupakan hasil dari pengalaman di bawah kekuasaan kolonial yang otoriter dan menindas, yang mengakar mulai dari sucos hingga ke districtos. Semua kenyataan ini seolah-olah diabaikan oleh para penyusun proyek CE, dengan mengambil suatu pendekatan yang sangat akademis dan mendikte, untuk mengajari rakyat Timor Lorosae. Motivasi di balik usulan proyek CE ini tentu merupakan pertanyaan. Yang pasti proyek ini dirancang dengan pikiran yang top-down (dari atas ke bawah). Ketika menguraikan training for trainers (pelatihan untuk pelatih) sebagai cara efektif untuk melaksanakan CE, proyek ini mengandaikan para staf internasionaldengan pengalaman dan tingkat pengetahuan yang berbedabedaakan dilatih, kemudian mereka ini akan melatih para konsultan nasional Timor Lorosae, yang pada gilirannya akan melatih konsultan-konsultan lokal. Seolah-olah bahwa struktur baku jenjang tangga di Timor Lorosae telah menempatkan orang Timor Lorosae di bawah para staf internasional UNTAET, dengan kemampuan apa pun yang dimiliki. Kalaupun demikian, seharusnya orang Timor Lorosae sendiri tidak dialienasikan dari haknya untuk memutuskan demokrasi seperti apa yang mereka kehendaki, bagaimana hubungan-hubungan antara mereka di dalam masyarakat dalam kaitannya dengan kepentingan bersama hendak diatur. Hal lain yang menarik dari proyek CE tersebut adalah rencana anggarannya, yang Direito 10
mengalokasikan 75% dari dana sebesar lebih dari 8 juta dollar AS untuk gaji para staf internasional, dan mengharapkan 25% lainnya untuk menutupi biaya-biaya lainnya, termasuk honor staf lokal. Lagi-lagi perbandingan biaya yang dikeluarkan untuk staf internasional dan staf lokal tersebut didasarkan pada asumsi bahwa staf internasional mempunyai kemampuan lebih dibandingkan dengan staff lokal. Persoalannya adalah bahwa mereka diharapkan untuk menjalankan proyek CE di Timor Lorosae, untuk orang Timor Lorosae. Karenanya orang-orang Timor Lorosae sendiri akan mempunyai banyak kelebihan dan kesesuaian dengan lingkungan sosial, yang akan mempermudah mereka melaksanakan CE, dibandingkan ahli yang didatangkan dari manapun. Dalam banyak hal, justru dengan pengetahuannya tentang masyarakat dan keadaan lokal, para staff lokal dapat bekerja secara lebih efektif dibandingkan staf internasional. Maka jelas argumentasi bahwa staff international selalu lebih baik dari orang Timor Lorosae jelas menjadi tidak valid. Ketimpangan dalam alokasi keuangan ini merupakan salah satu faktor yang mencerminkan keengganan UNTAET untuk bekerja secara efektif dan efisien. Dalam dokumen proyek jelas diakui bahwa belum ada penilaian terhadap kapasitas LSM dan organisasi-organisasi berbasis masyarakat serta belum ada upaya untuk mengidentifikasi program apa saja yang telah dijalankan oleh kelompok-kelompok Timor Lorosae, dan apa cara terbaik dalam menjalankan program-program tersebut. Jadi, kalaupun di antara organisasiprganisasi lokal yang mampu dan telah melaksanakan program CE, kemampuan mereka tetap tidak akan dimanfaatkan, karena arogansi UNTAET yang menganggap diri tahu segalanya. Proyek tersebut menganggap bahwa tidak ada inisiatif dan keahlian dari orang-orang Timor Lorosae, sementara kedua hal tersebut ada dalam masyarakat Timor Lorosae. Pengabaian terhadap kapasitas dan kemungkinan adanya program serupa yang telah dijalankan oleh 20 November2000
O p i n i organisasi-organisasi lebih jauh dapat berdampak pada adanya kakacauan koordinasi, sehingga dapat membingungkan masyarakat. Proyek tersebut didasarkan pada asumsi bahwa staf nasional dan internasional yang berkerja dalam proyek tersebut harus mempunyai latar belakang profesional yang sesuai, tanpa penjelasan tentang apa arti sesungguhnya. Tetapi berdasarkan materi yang telah disusun dan dokumen proyek, nampaknya keahlian hanya dipahami sebagai pengetahuan tentang berbagai sistem Eropa seperti Sistem Campuran Perancis sebagaimana dilustrasikan dalam Lembaran Informasi tentang Demokrasi Perwakilan. Keahlian dalam proses pelatihan dan pendidikan di Timor Lorosae sebagaimana pemahaman tentang konteks politik dan sosial adalah yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa proses demokrasi serta berbagai alternatif sistem dapat disebarkan dengan berhasil. Sebaliknya, terlepas dari masalah bahasa, proyek tersebut gagal memahami dan memperhatikan di mana sebenarnya terdapat keahlian-keahlian tersebut dalam masyarakat Timor Lorosae. Lembaran informasi yang disebarkan tidak dibuat dengan mempertimbangkan konteks Timor Lorosae, baik format yang digunakan maupun informasi yang diberikan. Informasi-informasi tersebut hanya diambil dari website UNDP (United Nations Development Program) tanpa upaya untuk membuatnya relevan dengan konteks Timor Lorosae. Pendekatannya sangat akademis dan teoritis dan karenanya materi-materi tersebut tidak akan bermanfaat dalam konteks ini. Materi-materi yang sangat mudah terjangkau dan relevan seharusnya sudah dapat dibuat dengan bantuan LSMLSM Timor Lorosae dan kelompok-kelompok yan g telah bekerja dalam bidang HAM dan pendidikan kewarganegaraan. Lembaran informasi itu juga melakukan beberapa asumsi yang membabi buta. Dalam hal sistem-sistem demokrasi, misalnya informasi yang disebarkan hanya menyangkut Demokrasi Perwakilan, seolaholah itulah satu-satunya sistem yang dapat diterapkan di Timor Lorosae, dibandingkan dengan sistem yang lebih partisipatoris. Asumsi itu dibuat tanpa melakukan analisis sedikit pun terhadap konteks Timor Lorosae dan tanpa konsultasi dengan orang Timor Lorosae. Dalam Lembaran Informasi nomor 2 tentang Pengertian Demokrasi, dikatakan bahwa Demokrasi Langsung itu memakan waktu dan mustahil bagi penduduk yang banyak untuk bertemu setiap kali akan membuat keputusan. Namun Swiss telah mempertahankan model Demokrasi Direito 10
Langsung dan Timor Lorosae sebagai negara kecil dapat juga memutuskan bahwa model itu merupakan cara terbaik untuk menjalankan pemerintahan. Dan pilihan itu bukan untuk dilakukan oleh UNTAET. Pemahaman proyek tersebut tentang HAM juga cacat. Secara salah mereka melakukan pembedaan antara yang disebut Hak-hak Dasar, Hak Asasi Manusia, Hak-hak Sipil dan Politik, Hak atas Persamaan dan Hak atas Informasi. Hukum (internasional) tentang hak asasi manusia menyatakan secara sangat jelas bahwa semua hak asasi manusia tak dapat dipisah-pisahkan, saling berhubungan dan saling bergantung. Tidak ada yang disebut Hak-hak Dasar. Proyek tersebut menyatakan bahwa penekanan akan diberikan pada diseminasi Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM), tetapi DUHAM sendiri merupakan pernyataan politik. Deklarasi itu sendiri diikuti dengan adopsi konvensikonvensi internasional yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban secara hukum. Seharusnya hak-hak dalam konvensikonvensi inilah yang didiseminasi dan dimengerti, terutama Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Anti Kekerasan, dan Konvensi tentang Hak-hak Anak. Konvensi-konvensi ini semuanya berlaku di Timor Lorosae sebagaimana dinyatakan dalam peraturan nomor 1 UNTAET/1999 dan seharusnya juga menjadi landasan bagi program untuk rakyat Timor Lorosae. Proses penyusunan program CE menunjukkan kerancuan mendasar dari pemahaman UNTAET akan mandatnya. Berdasarkan mandatnya, UNTAET seharusnya memperkuat orang Timor Lorosae untuk mengambil keputusankeputusan yang didasarkan pada informasi yang cukup, untuk mengembangkan kapasitas mereka dalam mengambil keputusan. UNTAET seharusnya memberi contoh tentang bagaimana proses demokratis yang transparan dan bagaimana bentuk konsultasi yang sesungguhnya. Sebaliknya, UNTAET memaksakan sebuah cetak-biru yang salah, yang tidak relevan dan tidak dibuat dalam kemitraan dengan orang Timor Lorosae. UNTAET seharusnya menangguhkan proses CE ini dan berdiskusi dengan semua pihak yang terkait, terutama NGO-NGO Timor Lorosae dan memulai lagi penyusunan sebuah program CE yang mencerminkan nilai-nilai yang ingin diajarkannya. *** 20
Proyek Civic Education.............dari hal.2 kol. 1.
militer dari politik. Kekuasaan tentara, militerisme harus dihapuskan jika demokrasi ingin ditegakkan. Pendidikan pemilih sama sekali tidak mempersoalkan hal ini. Tetapi hanya berbicara tentang apa itu demokrasi ini pun terbatas pada demokrasi liberal seperti di AS dan negara-negara kapitalis maju lainnya, perlunya menghargai pilihan orang lain, menyelesaikan konflik secara damai, perlunya mendukung pemilu yang fair dan bebas. Pendidikan pemilih adalah pendukung bagi pemilu, yang dianggap bisa mengantar Indonesia pada demokrasi. Padahal tidak mungkin kekuasaan militer bisa dihapuskan dengan pemilu. Sebuah pemilu tak akan bisa menghapuskan struktur komando teritorial sampai tingkat kecamatan dan kehadiran personil militer sampai tingkat desa yang menguasai seluruh segi kehidupan masyarakat. Hanya gerakan rakyat melalui aksi-aksi politik ekstra-parlementer militerisme ini bisa dijatuhkan, sama seperti ketika menjatuhkan Soeharto. Seluruh program pendidikan pemilu telah mengalihkan masalah menjadi bagaimana mensukseskan pemilu yang fair dan bebas, tanpa kekerasan. Pemilu yang fair dan bebas berhasil diselenggarakan, tetapi militer tetap kokoh pada kekuasaannya. Pendidikan kewarganegaraan yang sedang dipersiapkan UNTAET isinya tidak jauh berbeda dengan pendidikan pemilih di Indonesia. Isinya yang utama adalah mempersiapkan rakyat sebagai pemilih dalam pemilu. Yang diajarkan adalah bagaimana memilih politisi calon anggota lembaga perwakilan. Tidak ada pelajaran bagaimana agar rakyat berkuasa atas dirinya. Demokrasi yang diajarkan adalah demokrasi perwakilan liberal. Dalam demokrasi ini partisipasi rakyat hanya terbatas sebagai pemilih dalam pemilu. Jadi rakyat hanya berkuasa satu hari saja dalam periode waktu lima atau enam tahun, yaitu pada saat hari pemilihan umum. Selebihnya seluruh urusan politik menjadi urusan para politisi anggota parlemen. Kedudukan rakyat seperti konsumen yang bebas memilih barang mana yang akan dibeli, tetapi seluruh urusan ekonomi dikuasai oleh perusahaanperusahaan besar. Program pendidikan kewarganegaraan UNTAET adalah bentuk lain ketidakbecusan UNTAET. Mereka belum juga menjelaskan keseluruhan rencana kerja transisi politik mempersiapkan pemerintah sendiri bagi rakyat Timor Lorosae, yang menjadi tugas utamanya. Rakyat harus tahu rencana ini agar mereka tidak selalu menjadi pihak yang menanggung kerugian karena ketidakbecusan pihak lain. *** 6
Serba Serbi Dialog dengan Pengurus CNRT di Suai Para pengurus CNRT seluruh Distrik Suai, dari tingkat Sub-região sampai Aldeia mengadakan dialog tentang masa transisi yang diikuti sekitar 30 orang, bulan lalu. José Luis de Oliveira (Yayasan HAK) dan Adérito de Jesus Soares (Sahe Institute for Liberation) menjadi rekan dialog mereka. Pada bagian pertama dibahas tanggungjawab UNTAET di masa transisi. Berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1272/1999 dibentuk lah UNTAET yang memegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan administrasi keadilan. Berdasarkan kekuasaannya itu, UNTAET bertugas menjalankan pemerintahan, menciptakan kondisi bagi pembangunan berkelanjutan, mempersiapkan rakyat Timor Lorosae untuk menjalankan pemerintahan sendiri, dan menyelenggarakan bantuan kemanusiaan. Sebagian besar kerja UNTAET didanai oleh 16 negara donor yang mengadakan kesepakatan dalam pertemuan di Tokyo pada tahun lalu. Sementara itu, untuk pemeliharaan keamanan, didanai langsung dari PBB di New York. Para peserta dialog sangat senang menerima informasi seperti ini, karena ini adalah hal yang sangat penting tetapi belum pernah mereka ketahui. Seorang petugas Unit Hak Asasi UNTAET Distrik Suai juga mengatakan bahwa UNTAET memang punya dokumendokumen mengenai hal ini, tetapi ada di Dili bukan di Suai, sehingga ia sendiri juga tidak tahu. Bagian kedua dialog membahas masalah hukum dan keadilan. Hukum yang berlaku di masa transisi menurut Peraturan UNTAET No. 1/1999 adalah hukum Indonesia, sepanjang tidak bertentangan dengan standar hak asasi manusia. Pemerintah UNTAET sudah membentuk pengadilan, tetapi rakyat masih belum banyak mengetahui tentang hukum. Masalah yang sangat penting adalah keadilan bagi para korban dan pelaku kejahatan tahun lalu. Para pemimpin menyerukan rekonsiliasi. Rakyat akan menerima rekonsiliasi dengan syarat, sebelumnya diadakan pengadilan untuk menentukan siapa berbuat apa dan apa hukuman yang adil untuk perbuatan bersangkutan. Tanpa pengadilan para korban tetap belum mendapatkan keadilan, sehingga selalu ada kemungkinan balas dendam. Pengadilan tidak harus menunggu oleh pengadilan resmi, tetapi rakyat bisa memulainya sendiri asal dengan prosedur yang benar dalam pembuktian dan kesaksian, sehingga tidak menghukum orang yang tidak salah. Pengadilan semacam ini telah diterapkan di beberapa tempat seperti di Oecusse, Distrik Ambeno. Milisi yang melakukan pembakaran rumah atau fasilitas
7
umum, diharuskan membangun kembali yang dirusaknya sebelum diizinkan membangun rumahnya sendiri. Setelah itu masyarakat menerima kembali mereka dengan baik. Bagian ketiga dialog mengenai pembangunan masa depan Timor Lorosae. Para peserta menekankan untuk belajar dari pengalaman buruk Indonesia. Lebih baik kita belajar dari kesalahan orang lain, kata salah seorang peserta. Pengalaman Indonesia adalah membangun industri besar-besar dengan investasi dan pinjaman luar negeri. Akibatnya, sangat banyak rakyat tidak bisa ikut menikmati pembangunan, kecuali sebagai buruh dalam industri yang diberi upah rendah dan diperlakukan tidak manusiawi. Sementara itu tanah pertanian juga banyak yang diubah menjadi daerah industri maupun perumahan mewah. Hutanhutan dikapling untuk para investor asing. Perusahaan asing lah yang paling memperoleh keuntungan. Ketika terjadi krisis ekonomi, rakyat yang paling menderita. Untuk menghindari hal seperti ini, Timor Lorosae harus membangun berdasar kekuatan sendiri, dari yang kecil-kecil. Pertanian harus diutamakan. Uang yang didapat dari Celah Timor harus digunakan untuk mendukung pembangunan pertanian. Untuk keperluan energi bisa dikembangkan alternatif, berupa listrik tenaga surya dan biogas (dari kotoran ternak) untuk kompor rumahtangga. Untuk bidang kesehatan, digalakkan kembali pengobatan tradisional yang diolah dari tumbuhan seperti dulu pernah dikembangkan di hutan. Dengan pembangunan seperti itu bisa dicapai citacita ukun rasik an. Jika mengandalkan modal asing yang akan terjadi adalah neokolonialisme. *** Diskusi Rancangan Regulasi tentang Partai Politik Pada 14 Oktober lalu, Departemen Urusan Politik UNTAET menyelenggarakan diskusi untuk mengkaji rancangan peraturan tentang pendaftaran, organisasi dan proses internasl yang demokratik partai politik di Timor Lorosae. Sangat disayangkan, sejumlah NGO yang diundang tidak hadir, antara lain Fokupers, ET-Wave, Fordem, dan Amneftil. Sementara yang hadir adalah Sahe Institute for Liberibation yang diwakili oleh Mateus Goncalves dan Yayasan HAK diwakili oleh Aniceto Guterres Lopes. dan Silverio Pinto Baptista. Diskusi tersebut dipimpin oleh Diputi Direktur Political Affrairs, Mr. Karol Soltan yang didampingi oleh Ray Kennedy, Nguyun Dong dari Electoral Division dan Jonathan Morrow dari Constitutional Division. Diskusi tersebut bertujuan untuk mendengarkan masukan
Direito 10
dari, supaya Departemen Urusan Politik dapat segera memperbaiki rancangan tersebut sebelum dilakukan hearing dengan NC (National Council). Selain kajian lisan tersebut, Yayasan HAK akan melakukan kajian secara menyeluruh terhadap rancangan tersebut dan hasilnya akan segera dikirim ke UNTAET. *** Lokakarya Perencanaan Strategis Yayasan HAK di Dare Pada 23-31 Oktober lalu Yayasan HAK mengadakan lokakarya untuk membuat rencana kerja lima tahun mendatang. Sebenarnya pada awal 1998 rencana seperti ini pernah disusun, tetapi karena perubahan keadaan politik yang lebih cepat daripada yang diperkirakan, maka rencana tersebut menjadi tidak relevan lagi. Misalnya saja, untuk mengantisipasi referendum penentuan nasib sendiri, dalam rencana 1998 itu Yayasan HAK akan mengirim staf ke Sahara Barat untuk mempelajari persiapan referendum yang sedang dilaksanakan di sana. Tetapi jatuhnya Soeharto membuat rakyat Timor Lorosae memperoleh referendum lebih dulu daripada rakyat Sahara Barat. Untuk lokakarya ini, Yayasan HAK mengundang banyak pihak luar seperti organisasi lingkungan, organisasi perempuan, partai-partai politik, organisasi pemuda, dan kelompok-kelompok masyarakat basis. Berdasarkan analisis terhadap keadaan dan kebutuhan rakyat pada masa transisi dan perkiraan tentang keadaan sesudahnya, disimpulkan bahwa pemberdayaan (empowerment) masyarakat basis harus mendapat perhatian yang utama. Karena itu Yayasan HAK akan mendukung pemberdayaan itu dengan menjalankan program advokasi pada tingkat negara dengan tujuan utama lahirnya peraturan-peraturan hukum yang melindungi hak asasi manusia, tidak hanya hak sipil dan politik tetapi juga hak sosial, ekonomi dan budaya. Masyarakat basis akan didukung dengan program pengembangan kapasitas kelompok supaya bisa mandiri dan mampu merespons perubahan-perubahan dan mengarahkannya demi kepentingan mereka. Kemandirian yang dimaksud termasuk kemampuan untuk melindungi pengetahuan, kearifan, dan akses masyarakat lokal. Hal ini penting untuk menghindari adanya pencaplokan oleh pihak luar, yang kemudian mempatenkan pengetahuan-pengetahuan tersebut dan mengeksklusinya dari rakyat Timor Lorosae sendiri, sepertin yang terjadi terhadap tempa buatan mbok-mbok Jawa di Indonesia, yang sudah dipatenkan atas nama sebuah organisasi di Jepang. ***
20 November2000
Ami Lian Belum Pernah Ada Masalah Antar Partai Saya kira, perlu dilakukan pendidikan kewarganegaraan (educação civica), karena masyarakat perlu lebih mengerti mengenai demokrasi, partai politik, pemilihan umum, dan lain-lain. Selama ini CNRT belum pernah mengadakan. Kami sendiri kekurangan macam-macam, termasuk transportasi. UNTAET belum melibatkan CNRT dalam persiapan program pendidikan kewarganegaraan. Untuk pendidikan kewarganegaraan harus dibikin tim yang terdiri dari UNTAET dan CNRT tingkat distrik dan sub-distrik. Kita sama-sama ke lapangan, ke desa-desa supaya rakyat lebih mengerti isi demokrasi. Pendidikan kewarganegaraan adalah langkah yang positif supaya masyarakat lebih mengerti tentang kehadiran partaipartai. Kalau tidak ada pendidikan kewarganegaraan, mereka punya pemikiran bahwa partai-partai itu sama seperti dulu. Mereka anggap kalau ada partai-partai kita bisa perang lagi. Kita harus menjelaskan bahwa partai-partai yang akan masuk itu bukan yang mau membawa negara kita ke negara yang lain. Partai-partai itu untuk kemajuan Timor. Bukan partai-partai yang mau membawa negara ini masuk ke negara lain, bukan partai yang mau federasi atau integrasi. Semua partai itu berprinsip ingin memajukan negara ini dan unidade nacional. Di sini belum pernah ada masalah antar partai politik. Yang pernah adalah yang konflik antara kelompok yang bernama CPDRDTL (Comissão Popular de Defesa de Republica Democratica de Timor Leste). CPDRDTL mengibarkan bendera nasional, bendera Republica Democratica de Timor Leste. Penduduk kurang setuju dengan pengibaran ini. Kemudian terjadi baku hantam. CPD-RDTL mengalah dan lari ke hutan, kurang lebih satu bulan. CNRT bersama UNTAET, CivPol, dan PKF memberi pengarahan supaya tidak baku hantam. Kami memberi pengarahan, bahwa negara kita negara demokrasi, siapa saja boleh mengadakan kegiatan seperti itu selama tidak merugikan rakyat. [Francisco Mendonça da Costa, 42, Sekretaris Zona CNRT Suai] Hukum di Sini Seperti Apa? Saya bingung melihat situasi politik sekarang di Timor Lorosae. Ada banyak persoalan pelanggaran hukum yang terjadi di masyarakat. Dari pihak CNRT dan UNTAET, khususnya CivPol selalu mengatakan, semua masalah harus diselesaikan menurut
hukum yang berlaku. Kami yang tinggal di daerah percaya, masalah yang muncul di masyarakat dapat diselesaikan secara hukum. Sebagai negara yang masih dalam masa transisi pasti ada hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Tetapi, sampai sekarang ini hukum di Negara Timor Lorosae itu seperti apa? Seharusnya pihak UNTAET dan CNRT mensosialisasikan hukum yang sudah dihasilkan kepada rakyat. Katanya, hukum Indonesia masih diberlakukan di sini tetapi bagaimana kita tahu. Kadang-kadang masalah yang terjadi di masyarakat lalu disampaikan kepada responsavel CNRT di Zumalai agar diselesaikan. Tetapi mereka tidak menjelaskan semua proses itu. [José Maia Xavier, 32, pedagang di mercado Zumalai] Kenapa Kita Berjuang? Perdebatan mengenai program CE tak menarik perhatian seorang penjual kelapa muda. Katanya, program civic education tidak terlalu dibutuhkan rakyat Maubere. Rakyat Maubere sudah tahu demokrasi dan tidak KKN. Justru para pejabat lah yang harus dibekali civic education, karena mereka sering berkotbah tentang demokrasi, tetapi perilaku mereka sering jauh dari norma atau etika demokrasi, begitu pula halnya dengan KKN. Dalam kondisi krisis seperti saat ini, rakyat tidak butuh pendidikan demokrasi. Tetapi rakyat butuh makan-minum, rumah, dan pakaian. Jangan mengganggu rakyat dengan kotbah-kotbah kosong yang membuat rakyat semakin lapar. Sebab, rakyat Timor Leste tahu tentang demokrasi, keadilan dan haknya. Karena itu rakyat berjuang untuk merdeka. Kalau tidak, kenapa kita berjuang? Pendidikan demokrasi hanya berjalan efektif jika tidak ada lagi kelaparan yang melanda rakyat banyak. Kalau orang lapar, kan harus diberi makan, bukan diberi katakata. [Domingos Sequera Gusmão, ayah sembilan anak, penjual kelapa muda selama 11 tahun]
Rakyat yang Menderita Civic education itu penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana rakyat tahu tentang perkembangan pemerintahan transisi. Sampai saat ini kami di Maubara belum tahu hasil Kongres Nasional CNRT dan apa yang dilakukan oleh pemerintah transisi. Saya mendengar ada empat putra Timor yang menjadi menteri saat ini. Tetapi apa yang sudah mereka lakukan dan mereka membawahi bidang apa saja? Apakah Marie Alkatiri hanya mengurus Celah Timor? Selain itu, berbagai kebijakan UNTAET maupun CNRT kurang disosialisasikan kepada rakyat Rakyat telah mengangkat beberapa orang sebagai delegasi untuk Kongres Nasional CNRT, tetapi apa hasilnya? Dan apakah para delegasi juga membicarakan nasib rakyat sekarang dan di masa depan secara serius? Para pengurus CNRT di daerah tidak digaji. Padahal mereka hanya bekerja di kantor CNRT. Sementara istri dan anak duduk di rumah dengan perut kosong. Ini juga masalah. Kalau tidak ada gaji, ngomong supaya kita bisa mencari pekerjaan lain atau mengurangi jam kerja dengan mencari pekerjaan di luar untuk menghidupi keluarga. Jangan terus-terusan membodohi rakyat. Jangan meneruskan apa yang dilakukan pemerintah Indonesia, karena kita telah merdeka dan rakyat tahu itu. Rakyat Timor mempunyai demokrasinya sendiri. Untuk itu, saat ini civic education belum penting, karena persoalan mendasar adalah memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Rakyat itu tahu politik. Elite politik saja yang tidak tahu bagaimana berteman dalam politik, akibatnya rakyat lah yang menderita, katanya. [Jacinto dos Santos, Vice I Nurep CNRT Maubara]
Tio Domingos. Kalau bukan untuk merdeka, kenapa kita berjuang?
Redaksi Direito
Diterbitkan atas dukungan:
Pemimpin Redaksi: Rui Editor: TI Lay Out: Quim Staff & Reporter: Neves, Rodrigues, Exposto, Silva, Borges, Julio, Bangbo, Abel.