No. 21, Tahun II, Tgl. 15 Juli - 14 Agustus 2009
Diplomasi TABLOID
Tidak Untuk Diperjualbelikan
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia
Media Komunikasi dan Interaksi
No. 61
Tahun VI
Tgl. 15 PEBRUARI - 14 MARET 2013
www.tabloiddiplomasi.org Email:
[email protected]
Menlu RI : peran diaspora bagi kemajuan negara Mengenang Seratus Tahun Mohammad Roem
Kontribusi Islam Dan Demokrasi Dalam Membangun Indonesia Da’i Bachtiar :
Menyelesaikan Persoalan TKI di Malaysia Dengan Kepala Dingin Kebudayaan, Fondasi Untuk Memperkuat Hubungan RI - Suriname
Nia Zulkarnaen :
“KING” Pengelolaan Perbatasan Film Bertema Bulutangkis Pertama di Dunia
Mensinergikan Keamanan dan Kesejahteraan Email:
[email protected]
ISSN 1978-9173
Email:
[email protected]
9
771978 917386
Wujudkan Kawasan Bebas Nuklir
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia
Perlu Tindakan Nyata ISSN 1978-9173 www.tabloiddiplomasi.org
APEC INDONESIA 2013
9
771978 917386
Diplomasi TABLOID
Media Komunikasi dan Interaksi
Daftar Isi >4
Fokus utama
>6
Fokus UTAMA
>7 >9 > 10 > 11 > 12
Menlu RI: Wujudkan Kawasan Bebas Nuklir Perlu Tindakan Nyata
Wilayah Laut Indonesia 60 Kali Lebih Luas Fokus utama
Pengelolaan Perbatasan Mesinergikan Keamanan dan Kesejahteraan Fokus utama
Sebagian Segmen Garis Batas Belum Disepakati Fokus
Industrialisasi Maritim Berbasis Blue Economy Fokus
Mempercepat Pembangunan Di Pulau-Pulau Kecil sorot
Pembangunan Kawasan Perbatasan Perlu Kemauan Politik Yang Kuat
16
L E N S A
sotot
Dua Negara Bertetangga Jangan Saling Melecehkan
sorot
Permasalahan di Perbatasan RI
sorot
Kerjasama Keamanan Di Kawasan Perbatasan
LENSA
Menjual Soft Power Melalui International Diplomatic Training
sosok
Duta Besar Hazairin Pohan, SH, MA. PERNAH BERCITA-CITA JADI LAWYER
BINGKAI
Kerjasama Teknis Meningkatkan Kemitraan Antar Negara
13 14 15 17 20
Potensi Ekonomi Kawasan Pulau-Pulau Kecil Sebesar Rp 22,5 TRILIUN PERTAHUN
21
PELINDUNG Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik PENANGGUNG JAWAB/PEMIMPIN REDAKSI Direktur Diplomasi Publik Direktur Informasi dan Media Sekretaris Direktorat Jenderal IDP
catatan redaksi Pada edisi ke 61 ini Tabloid Diplomasi mengupas persoalan-persoalan seputar perbatasan laut, kerjasama keamanan laut dengan negara tetangga serta strategi pemerintah dalam mengembangkan ekonomi masyarakat di pulau kecil yang berada digaris perbatasan dengan negara tetangga. Tema yang kini sedang kita kupas mengacu pada 9 pokok perhatian diplomasi 2013 sebagaimana yang telah disampaikan Menlu pada Pernyataan Pers Tahunan Menlu (PPTM) awal tahun, dimana salah satu diantaranya adalah mengintensifkan perundingan perbatasan dengan negara tetangga sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia dan ketentuan dan norma hukum internasional. Pengelolaan wilayah perbatasan, khususnya di perbatasan maritim, akhir-akhir ini semakin menjadi perhatian dan pembicaraan berbagai kalangan, baik pemerintahan, elit politik, media massa, masyarakat maupun dunia usaha. Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, telah menerapkan berbagai kebijakan dan peraturan terkait pengelolaan perbatasan, baik prasarana maupun kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan. Berbagai kalangan, seperti media cetak maupun elektronik, belakangan ini juga semakin intens mengulas berbagai potensi maupun permasalahan di wilayah perbatasan. Kalangan swasta juga telah mulai mengembangkan investasinya ke wilayah perbatasan, termasuk juga ke pulau-pulau kecil terluar. Demikian pula berbagai perguruan tinggi telah juga melaksanakan inisiatif-inisiatif positif di wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar. Dengan demikian, perhatian dari berbagai kalangan tersebut tentunya perlu disambut untuk mensinergikan isu pengelolaan perbatasan dengan melibatkan berbagai stakeholder terkait dan
tidak lagi hanya sekedar wacana umum. Indonesia diakui oleh dunia sebagai negara kepulauan dengan potensi kekayaan alam yang sangat besar, karena itu banyak pihak yang mengatakan bahwa Indonesia adalah sleeping giant yang sewaktu-waktu bisa bangkit jika perekonomian maritimnya maju. Income Indonesia diperkirakan mencapai USD 1,2 triliun atau sepuluh kali lipat dari APBN sekarang ini jika sektor maritim bisa dikembangkan sebagai tumpuan ekonomi Indonesia ke depan. Pembangunan sektor maritim dan kelautan di Indonesia tentunya harus diselaraskan dengan pendekatan Blue Economy, yaitu pembangunan industrialisasi maritim secara berkelanjutan dengan meminimalkan buangan limbah yang merusak lingkungan. Terkait dengan hal ini, pulau-pulau kecil terluar memiliki fungsi yang vital, baik secara ekologis, sosial-ekonomi, serta pertahanan dan keamanan. Karena itulah maka perhatian terhadap pulau-pulau kecil terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga harus semakin ditingkatkan melalui berbagai program pemberdayaan masyarakat, pembangunan infrastruktur dasar, dan pengelolaan ekosistem agar taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat pesisir, khususnya di pulau-pulau kecil terluar dapat semakin ditingkatkan. Konfigurasi geografi Indonesia tentunya juga akan membawa suatu d a m p a k konsekuensi. Sebagaimana diketahui, bahwanyasa ada empat arti penting laut bagi Indonesia, yaitu sebagai media perhubungan, penggalian sumber daya alam,
pertahanan dan transportasi yang tentunya mengacu kepada adanya suatu konsekuensi perbatasan darat dan perbatasan laut. Permasalahan yang terkait dengan aspek keamanan di kawasan perbatasan, secara umum merupakan implikasi belum tuntasnya masalah penegasan garis batas dengan negara tetangga serta adanya kesenjangan kondisi masyarakat di wilayah perbatasan. Oleh karena itu masalah garis batas dengan negara tetangga ini harus segera diselesaikan agar dapat menghindari kerawanan yang timbul akibat permasalahan konflik yang ada. Untuk mendukung pelaksanaan tugas pertahanan dan keamanan di kawasan perbatasan, Indonesia memiliki Strategy Partnership dengan negara-negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia, termasuk juga dengan negara-negara anggota ARF (ASEAN Regional Forum). Disamping itu, arah kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan, khususnya di perbatasan maritim, juga telah berubah dari arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi inward looking menjadi outward looking. Paradigma outward looking tersebut diarahkan pada pengembangan wilayah perbatasan sebagai beranda depan negara yang berfungsi sebagai pintu gerbang s e m u a aktivitas, khususnya ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga.
REDAKTUR PELAKSANA Firdaus DEWAN REDAKSI Siuaji Raja Eni Hartati S. Ari Wardhana Azis Nurwahyudi Hartyo Harkomoyo Triyogo Jatmiko STAF REDAKSI Ainan Nuran Shirley Marlington Evan Pujonggo A.R. Aji Nasution Staf BAM Khariri Cahyono PENANGGUNG JAWAB DISTRIBUSI Tubagus Riefhan IqbaI Muji Lastari TATA LETAK DAN ARTISTIK Tsabit Latief Anggita Gumilar PENANGGUNG JAWAB WEBSITE Kistono Wahono Yulianto Alamat Redaksi Direktorat Diplomasi Publik, Lt. 12 Kementerian Luar Negeri RI Jl. Taman Pejambon No.6 Jakarta Pusat Telp. 021- 68663162, 3863708, Fax : 021- 29095331, 385 8035 Tabloid Diplomasi dapat didownload di http://www.tabloiddiplomasi.org Email :
[email protected] Diterbitkan oleh Direktorat Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri R.I. Gambar Cover strategi-militer.blogspot.com
Wartawan Tabloid Diplomasi tidak diperkenankan menerima dana atau meminta imbalan dalam bentuk apapun dari narasumber, wartawan Tabloid Diplomasi dilengkapi kartu pengenal atau surat keterangan tugas. Apabila ada pihak mencurigakan sehubungan dengan aktivitas kewartawanan Tabloid Diplomasi, segera hubungi redaksi.
Bagi anda yang ingin mengirim tulisan atau menyampaikan tanggapan, informasi, kritik dan saran, silahkan kirim email:
[email protected]
Diplomasi TABLOID
FOKUS utama
Media Komunikasi dan Interaksi
Menlu RI:
Wujudkan Kawasan Bebas Nuklir
Perlu Tindakan Nyata Komitmen negara-negara ASEAN terhadap pemusnahan senjata nuklir harus ditunjukkan melalui tindakan-tindakan yang lebih nyata agar kawasan bebas senjata nuklir tidak hanya terwujud di Asia Tenggara tetapi juga di seluruh dunia. Hal ini disampaikan Menlu Marty M. Natalegawa dalam pembukaan Regional Seminar on Maintaining a Southeast Asia Region Free of Nuclear Weapons di Gedung Pancasila, Kemlu (12/02). Menlu menekankan bahwa untuk menjadikan kawasan Asia Tenggara tanpa senjata nuklir sebagai dasar dari dunia yang bebas senjata nuklir, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. “Hal ini antara lain, implemen-
tasi nasional terkait ketentuan hukum internasional, meningkatkan upaya-upaya untuk mendorong aksesi negara-negara pemilik senjata nuklir kepada Protokol SEANWFZ, sinergi antara organisasi di bidang keamanan nuklir baik di tingkat regional maupun global seperti International Atomic Energy Agency (IAEA) dan Comprehensive Nuclear Test-Ban Treaty Organization (CTBTO), dan kerjasama yang lebih konkret di bidang nuclear safeguards dan nuclear security”. Menlu Marty mengharapkan, melalui seminar yang dihadiri oleh pakar keamanan internasional dan perlucutan senjata dari 27 negara ini, dapat diperoleh kerja sama yang
lebih nyata antara ASEAN dengan IAEA dan CTBTO. Sesi seminar yang dilaksanakan di Hotel Borobudur membahas secara lebih dalam korelasi antara Piagam ASEAN dan Traktat Kawasan Bebas Senjata Nuklir di Asia Tenggara (Southeast Asia Nuclear-Weapon-Free Zone – SEANWFZ) dengan CTBT dan instrumen-instrumen hukum terkait dalam IAEA. Seminar tersebut menjadi forum tukar pikiran mengenai signifikansi politis universalisasi CTBT dan pentingnya memperkuat IAEA Safeguards and Additional Protocol demi tercapainya tujuan di dalam ASEAN Charter dan SEANWFZ Treaty.
Hadir sebagai narasumber dalam pembahasan ini adalah H.E. Le Luong Minh (Sekretaris Jenderal ASEAN), Muhammad Nadjib (Anggota Komisi I DPR RI), Jose Tavares (Direktur Polkam ASEAN, Kemlu), Hasan Kleib (Dirjen Multilateral, Kemlu), Ms. Maria de Lourdes Vez Carmona (Senior Planning Officer, IAEA), dan Ms. Nalinie Sewpersadsingh (External Relations Officer, CTBTO). Sebagai moderator adalah A. Lin Neumann (Strategic Journal Review), I Gusti Agung Wesaka Puja (Dirjen Kerja Sama ASEAN), Kusnanto Anggoro (Universitas Pertahanan). (Sumber: Dit. KIPS/Dit. Infomed)
Dok. Infomed
Menlu RI memberikan sambutan sekaligus sekaligus membuka acara “Regional Seminar on Maintaining a Southeast Asia Region Free of Nuclear Weapon” di gedung pancasila, kemlu ri
04
No. 61 Tahun VI
15 pebruari - 14 MARET 2013
Diplomasi TABLOID
FOKUS utama
Media Komunikasi dan Interaksi
Wilayah Laut Indonesia
60 Kali Lebih Luas
httpcil.nus.edu.sg
Prof. Hasyim Djalal
Indonesia percaya pada pepatah lama hubungan internasional yang menyatakan bahwa “pagar yang baik akan membuat tetangga yang baik dan pagar buruk akan membuat tetangga yang buruk”.
Pakar Hukum Laut
Untuk alasan ini, dalam mempromosikan hubungan tetangga yang baik, untuk setidaknya 40 tahun terakhir, Indonesia telah bekerja keras untuk memperjelas dan menentukan batas-batasnya dalam berbagai kategori dengan negara tetangga melalui perjanjian. Sejauh ini Indonesia telah me-nyimpulkan sekitar 17 perjanjian batas maritim dengan negara tetangga, termasuk Perjanjian dengan Malaysia pada hak-hak dan kepentingan tertentu Malaysia di Laut Natuna (Perjanjian 25 Februari 1982, diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No 7/1983, tertanggal 25 Februari 1983.) Indonesia akan terus bekerja untuk menyelesaikan batas-batas yang tersisa dengan berbagai tetangganya dengan kesepakatan untuk menyelesaikan “pagarnya”. Hal ini juga harus ditekankan bahwa kerjasama dan koordinasi
15 pebruari - 14 MARET 2013
antara Indonesia dan negara-negara tetangganya juga diperlukan untuk menjaga perdamaian, stabilitas, pembangunan ekonomi dan sosial di daerah perbatasan, baik di darat, laut dan udara yang Indonesia juga berkomitmen. Dalam konteks ini, saya akan menyarankan bahwa Indonesia dan negara-negara tetangganya mengintensifkan upaya mereka untuk menyimpulkan batas maritim batas serta pengaturan perbatasan dan manajemen, baik di laut teritorial, zona tambahan, ZEE, landas kontinen atau, untuk menghindari potensi konflik yang akan merugikan kepada semua pihak. 50 tahun terakhir, sejak 1957, Indonesia telah memperluas dan mengalikan wilayah lautnya, dasar yurisdiksi dan sumber daya untuk stabilitas, persatuan nasional, dan pembangunan ekonomi, ke laut dan lautan dan wilayah udara mere-
No. 61 Tahun VI
ka antara dan di sekitar nya ribuan pulau tanpa menggunakan kekerasan tetapi terutama melalui diplomasi yang pada akhirnya mendapat pengakuan dari masyarakat dunia melalui UNCLOS 1982. Ketika Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, wilayah daratan Indonesia mencakup semua bekas wilayah Hindia Belanda, sedangkan laut teritorialnya hanya 3 mil dari garis pantai masing-masing pulau, sehingga luasnya kurang dari 100.000 km2 secara total. Wilayah udara Indonesia luasnya sekitar 2 juta km persegi, yaitu wilayah yang berada di atas tanah dan di atas laut teritorial. Ketika Wawasan Nusantara (prinsip negara kepulauan) dideklarasikan pada 13 Des 1957 (juga dikenal sebagai Deklarasi Juanda), batas laut teritorial RI menjadi 12 mil diukur dari garis pangkal lurus
yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar dari kepulauan Indonesia. Deklarasi Juanda telah memperbesar wilayah laut Indonesia menjadi sekitar 3.000.000 km2. Oleh karena itu, selain pengakuan Wawasan Nusantara dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1982 (UNCLOS 1982), Indonesia juga berhak atas 12 mil laut teritorial dari garis pangkal lurus kepulauan, lainnya adalah zona 12 mil di luar wilayah laut yang berdekatan, hak-hak berdaulat atas sumber daya alam dan yurisdiksi lainnya di ZEE (200 mil dari garis lurus Nusantara), dan Landas Kontinen (wilayah dasar laut) dengan batas terluar ZEE, atau batas “benua margin“, masih harus ada perpanjangan alami dari wilayah daratan Indonesia ke dasar laut dari lautan di luar ZEE. Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17/1985 dan UNCLOS 1982 itu sendiri telah diberlakukan sejak 16 November 1994, dan disahkan oleh Majelis Umum PBB, sehingga diterima oleh masyarakat internasional secara keseluruhan. Hal ini untuk mengatakan bahwa Indonesia sekarang ini perlu untuk menegakkan hukum dan mempertahankan kedaulatan dan hak soverign atas sekitar 6.000.000 km2 laut, atau sekitar 60 kali dari wilayah laut pada saat proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945. Karena itu Indonesia perlu meningkatkan kemampuan pertahanan dan kemampuan penegak hukum untuk membela dan melindungi masyarakat perbatasan, berbagai ruang maritim yang luas, udara yang besar dan semua sumber daya yang ada. Dalam membela perbatasan negara, Indonesia harus memperhatikan 3 pilar utama eksistensi Indonesia: yaitu prinsip One Nation, sebagaimana diatur dalam Deklarasi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, salah satu prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan prinsip satu
05
Diplomasi TABLOID
FOKUS UTAMA
Media Komunikasi dan Interaksi
kesatuan wilayah darat, laut, udara, laut, dan semua sumber daya yang terkandung di dalamnya seperti yang dinyatakan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957 sebagaimana diakui dalam Art 49 (2) dari UNCLOS 1982. Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri didasarkan pada 4 pilar, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara (tidak federal) Kesatuan, dan Bhineka Tunggal Ika (Persatuan dalam Keanekaragaman). Pancasila terdiri dari 5 Prinsip negara, yaitu: Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Demokrasi Melalui Musyawarah / Perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perbatasan maritim meliputi beberapa zona maritim: 1. Internal perairan UNCLOS 1982 memungkinkan Indonesia untuk menentukan perairan internal (Art 50), yang memiliki status hukum yang relatif sama sebagai wilayah tanah negara. Secara umum, tidak ada kapal asing memiliki hak “lintas damai” di atasnya. Namun, sejauh ini, Indonesia belum dibahas, atau disahkan perairan internal. 2. Kepulauan perairan Perairan kepulauan yang dikelilingi oleh baseline lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar Indonesia, sebagaimana tercantum dalam UNCLOS 1982 (Pasal 47 (1)). Dengan penerimaan Wawasan Nusantara (Deklarasi Juanda) pada 13 Des 1957, kemudian ditetapkan menjadi UU No 4/Prp/1960, baselines kepulauan Indonesia itu diumumkan dan disimpan di PBB. Namun, seperti UNCLOS 1982 mulai berlaku pada 16 Nop 1994 (diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No 17/1985), UU No 4/Prp/1960 digantikan oleh Undang-undang Nomor 6,/1996 yang lebih sesuai dengan UNCLOS 1982. Kemudian, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38/2002, koordinat dari titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar yang direvisi dan versi terakhir dari garis pangkal kepulauan telah didaftarkan di Sekretariat PBB pada tahun 2007 dan telah diedarkan ke seluruh dunia oleh Sekretariat PBB. Dalam perairan kepulauan, kapal asing memiliki hak untuk lulus: (a) berdasarkan prinsip “lintas damai” (Peraturan
06
’’
Dalam membela perbatasan negara, Indonesia harus memperhatikan 3 pilar utama eksistensi Indonesia: yaitu prinsip One Nation, sebagaimana diatur dalam Deklarasi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, salah satu prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan prinsip satu kesatuan wilayah darat, laut, udara, laut, dan semua sumber daya yang terkandung di dalamnya seperti yang dinyatakan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957 sebagaimana diakui dalam Art 49 (2) dari UNCLOS 1982.
Peme-rintah Nomor 36/2002), atau (b) dalam bagian-bagian tertentu berdasarkan “lintas alur laut kepulauan” (ASLP ) prinsip (Peraturan Pemerintah Nomor 37/2002). Di beberapa bagian lain dari perairan kepulauan, negara-negara lain juga memiliki hak untuk meletakkan dan memperbaiki kabel bawah laut dan hak dari nelayan tradisional berdasarkan perjanjian dengan Indonesia. 3. Indonesia alur laut kepulauan Indonesia telah melunasi tiga utara-selatan alur laut kepulauan: (i) dari Laut Cina Selatan melalui Karimata Laut, Laut Jawa dan Selat Sunda, (ii) dari Laut Sulawesi melalui Selat Makassar, Laut Flores, dan Selat Lombok, dan (iii) dari Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik melalui Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Laut Sawu kemudian, Laut Timor dan Laut Arafura. Ketiga alur laut kepulauan telah diterima secara global. Namun, Indonesia belum mendirikan timur-barat alur laut kepulauan melalui Laut Jawa, dan ini bisa memicu potensi konflik di masa depan di Laut Jawa antara kapal yang lewat terutama kapal militer dan pesawat terbang, dan Indonesia. 4. Teritorial Laut Indonesia memiliki kedaulatan teritorial atas Laut Teritorial hingga 12 mil di luar perairan kepulauannya. Jika laut antara negara-negara tetangga kurang dari 24 mil lebar, batas laut teritorial diselesaikan dengan perjanjian. Sejauh ini, ada Perjanjian Batas Teritorial Laut antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka dan antara Indonesia dan Singapura di Selat Singapura.
’’
Namun, ini perbatasan belum terhubung di sebelah barat dan timur Singapura. Indonesia telah berusaha untuk menyelesaikan dan menyelesaikan perjanjian batas, tapi sejauh ini belum berhasil, terutama karena tidak ada perjanjian laut teritorial antara Malaysia dan Singapura di daerah tersebut. Menjelang timur Singapura, kekhawatiran adalah tentang Lighthouse Horsburgh / Pedra Branca dan batuan lainnya antara Malaysia dan Singapura di pintu masuk ke Laut Cina Selatan. Perlu dicatat bahwa perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial, termasuk alur laut kepulauan, merupakan wilayah nasional di mana Indonesia memiliki kedaulatan teritorial.
5. Bersebelahan Zona Menurut UNCLOS 1982 (Art 48) Indonesia juga memiliki yurisdiksi tertentu hingga 12 mil di luar laut teritorial (dalam “zona tambahan”) untuk mengendalikan dan mencegah pelanggaran adat istiadat, fiskal, imigrasi, atau hukum dan peraturan sanitasi (Art 33 ) dan untuk mengontrol benda-benda bersejarah dan arkeologi (Seni 303 (2)). Indonesia perlu melakukan perjanjian bilateral dengan Malaysia mengenai zona bersebelahan di Selat Malaka, dan dengan Filipina antara Mindanao dan Sulawesi Utara. Hukum Indonesia dan ketentuan mengenai masalah zona tambahan masih sedang dipersiapkan. 6. Eksklusif Zona Ekonomi (ZEE) Di luar laut teritorial, Indonesia memiliki hak berdaulat atas sumber daya alam (perikanan) di ZEE, hingga 200 mil dari garis pantai
kepulauan. Indonesia juga memiliki yurisdiksi di ZEE berkaitan dengan penelitian kelautan ilmiah, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, dan pembangunan pulaupulau buatan, instalasi dan bangunan lainnya. Indonesia telah menyimpulkan perjanjian sehubungan dengan delimitasi batas-batas ZEE dengan Australia di Laut Arafura, Laut Timor, Selatan Sumbawa, dan antara Jawa dan Pulau Natal tapi kesepakatan belum diratifikasi oleh masing-masing negara. Indonesia belum mampu untuk menyelesaikan batas ZEE dengan Thailand dan Malaysia di utara dan tengah Selat Malaka, dengan Malaysia dan Vietnam di Laut China Selatan, atau dengan Malaysia dan Filipina di Laut Sulawesi, dan dengan Filipina dan Palau di Samudra Pasifik. Tidak adanya perjanjian batas ZEE ini memiliki potensi untuk menciptakan konflik di Asia Tenggara yang dapat membahayakan perdamaian, stabilitas, dan pembangunan di daerah. 7. Benua Landas Di wilayah laut di luar laut teritorial, Indonesia juga memiliki hak berdaulat atas sumber daya alam dan spesies menetap berbagai. Sejalan dengan UNCLOS 1982, hak-hak berdaulat yang diakui di seluruh perpanjangan alami dari wilayah daratan ke tepi luar dari margin benua itu bisa sampai 100 mil di luar isobath meteran 2.500 atau sampai dengan 60 mil dari (Art 76.) kaki lereng benua. Indonesia telah mengajukan “parsial” penunjukan marjin kontinennya di luar 200 mil ke arah Samudera Hindia barat Aceh, dan melakukan studi untuk menentukan berbagai hal tepian benua di luar 200 mil dari garis pangkal kepulauan di bagian lain di seluruh Indonesia, khususnya di Samudera Pasifik, Utara Papua. Sejauh ini Indonesia telah menyimpulkan perjanjian batas landas kontinen dengan India (antara Andaman dan Aceh), dengan Thailand dan Malaysia di bagian utara Selat Malaka, dengan Malaysia dan Vietnam di Laut China Selatan, dengan PNG di utara Papua, dengan PNG dan Australia di Laut Arafura dan beberapa bagian dari Laut Timor. Namun, masih belum ada kesepakatan mengenai batas dasar laut antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan Timur, dan antara Indonesia dan Filipina di Samudra Pasifik dan di Laut Sulawesi.[]
No. 61 Tahun VI
15 pebruari - 14 MARET 2013
Diplomasi TABLOID
FOKUS UTAMA
Media Komunikasi dan Interaksi
Pengelolaan Perbatasan
Purnomo Yusgiantoro Menteri Pertahanan
pesatnews.com
Mesinergikan Keamanan dan Kesejahteraan
Indonesia memiliki perbatasan dengan 7 negara, yaitu dengan Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua New Guinea, Australia dan Timor Leste. Sebagai bangsa yang hidup di negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah yang sebagian besar terdiri dari lautan, bagi bangsa Indonesia, laut memiliki fungsi yang sangat strategis guna menopang kelangsungan hidup dan masa depan bangsa, yaitu sebagai media pemersatu bangsa, media sumber daya, media perhubungan, media pengembangan pengetahuan dan teknologi, media pembangun pengaruh dan sebagai media pertahanan negara. Perairan nasional dengan sumber daya yang sangat besar merupakan peluang dan sekaligus harapan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia di masa mendatang bila kita dapat mengelolanya dengan baik. Sebaliknya peluang dan harapan tersebut akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain apabila bangsa Indonesia tidak mampu mengelola dan memanfaatkan hasil buminya. Sumber kekayaan alam yang ada menuntut pemerintah dan bangsa Indonesia untuk memiliki kebijakan pengelolaan dalam pembangunan secara tetap, sehingga dapat membangun negara dan bangsa dengan baik dan benar serta mampu menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pengelolaan wilayah perba-tasan maritim beserta perairan dan sumber daya alam yang ada di sekitarnya, selama ini belum berjalan dengan baik dan terpadu, serta belum dilakukan secara keseluruhan berdasarkan prinsip pengelolaan yang terpadu, sinergis dan berke-lanjutan. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan wilayah perbatasan, kurang lebih adalah bahwa kebijakan wilayah perbatasan beserta sumber daya 15 pebruari - 14 MARET 2013
No. 61 Tahun VI
yang ada masih berjalan secara sektoral dengan kecenderungan meningkatnya konflik pengelolaan hasil laut sebagai akibat dari adanya dominasi kepentingan sektoral. Apabila hal tersebut tidak ditangani secara terintegrasi, dikhawatirkan pada waktu mendatang mengakibatkan terjadinya konflik horizontal, penurunan kualitas lingkungan dan nilai ekonomi. Kondisi ini bertentangan dengan konsep dasar Wawasan Nusantara yang telah di deklarasikan oleh Perdana Menteri Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957, sehingga saat ini menjadi wahana perjuangan dan cita-cita bangsa Indonesia. Pengelolaan wilayah perbatasan, khususnya di perbatasan maritim, pada akhir-akhir ini semakin menjadi perhatian dan pembicaraan berbagai kalangan, baik pemerintahan, elit politik, media massa, masyarakat maupun dunia usaha. Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, telah menerapkan berbagai kebijakan dan peraturan terkait pengelolaan perbatasan, baik prasarana maupun kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan. Berbagai kalangan, seperti media cetak maupun elektronik, belakangan ini juga semakin intens mengulas berbagai potensi maupun permasalahan di wilayah perbatasan. Kalangan swasta juga telah mulai mengembangkan investasinya ke wilayah perbatasan, termasuk juga ke pulau-pulau kecil terluar. Demikian pula berbagai perguruan tinggi telah juga melaksanakan inisiatif-inisiatif positif di wilayah perbatasan dan pulaupulau kecil terluar. Dengan demikian, perhatian dari berbagai kalangan tersebut tentunya perlu disambut untuk mensinergikan isu pengelolaan perbatasan dan bukan lagi hanya sekedar wacana umum. Namun tentu saja dengan melibatkan berbagai stakeholder terkait. Menyadari bahwa wilayah perbatasan merupakan wilayah rawan konflik antar negara maupun dunia internasional, maka kebijakan
07
Diplomasi TABLOID
FOKUS
Media Komunikasi dan Interaksi
pembangunan wilayah perbatasan harus direncanakan dan dilaksanakan secara terpadu dan komprehensif, terkait kepentingan kesejahteraan dan kepentingan pertahanan keamanan dengan tidak meninggalkan kepentingan kelestarian lingkungan hidup. Wilayah perbatasan maritim adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari wilayah NKRI, meskipun sebagian wilayahnya masih terisolir dan sulit dijangkau, dimana kesejahteraan masyarakat yang mendiami pulau-pulau di wilayah perbatasan juga masih rendah. Hal ini dikarenakan implementasi pembangunan yang dilaksanakan sampai dengan saat ini, belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Akibatnya berbagai bentuk dan jenis ancaman, baik militer maupun nil-militer, pelanggaran wilayah oleh kapal-kapal militer ataupun sipil dan berbagai bentuk kegiatan illegal yang terjadi, begitu mudah dilakukan dengan menggunakan wilayah perbatasan sebagai pintu ke luar negeri. Dengan kata lain, wilayah di halaman depan kita dengan mudah dapat dimasuki oleh berbagai bentuk dan jenis ancaman, baik yang terkait dengan aspek geografi, demografi, sumber kekayaan alam, geologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya serta pertahanan dan keamanan. Arah kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan, khususnya di perbatasan maritim, telah berubah dari arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi inward looking menjadi outward looking. Paradigma outward looking tersebut diarahkan pada pengembangan wilayah perbatasan sebagai beranda depan negara yang berfungsi sebagai pintu gerbang semua aktivitas, khususnya ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Dengan demikian, selain dengan menggunakan pendekatan keamanan, sekarang ini juga dilengkapi dengan pendekatan kesejahteraan, dan tentunya dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Implementasinya, tentunya juga harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing wilayah perbatasan, sehingga apakah itu security, prosperity, atau kelestarian lingkungan yang harus dikedepankan. Dilihat dari ancaman yang dihadapi, ancaman dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu ancaman
08
militer dan ancaman nil-militer, dimana kedua ancaman tersebut sulit di prediksi. Ancaman militer masih tetap tinggi, meskipun siapa yang menghadapi dengan cara apa dan bagaimana cara mengatasinya sudah jelas, yaitu TNI yang bertugas sebagai penjaga kedaulatan negara. Di sisi lain ancaman nil-militer lebih berbahaya dari pada ancaman militer, dikarenakan siapa yang akan menghadapi, dengan apa dan bagaimana cara mengatasinya, masih belum jelas. Pada akhir-akhir ini, sangat sulit untuk mengidentifikasikan bentuk maupun jenis suatu ancaman, baik itu ancaman militer maupun nilmiliter. Pertahanan negara sebagai upaya untuk menjaga kedaulatan negara dan keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan bangsa dari segala bentuk dan jenis ancaman, belum mendapat porsi dan dukungan yang semestinya. Dengan demikian, mengabaikan masalah pertahanan dan keamanan untuk wilayah perbatasan maritim yang merupakan bagian integral serta tidak dapat dipisahkan dari wilayah NKRI, berarti mengabaikan eksistensi dan kelangsungan hidup negara dan keselamatan bangsa dan negara. Karakteristik geografi Indonesia sebagai negara kepulauan yang bercirikan Nusantara, dengan segala keunggulan dan kelemahan yang ada, harus tetap diperhatikan. Sehingga dengan demikian seluruh komponen bangsa mampu menjaga keutuhan serta mampu mengelola wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar, dengan cara menetapkan kebijakan dan strategi pertahanan dan keamanan yang tepat di masingmasing wilayah perbatasan. Hal ini mengingat bahwa seharusnya pertahanan itu bukan hanya menjadi milik TNI saja, tetapi juga menjadi milik dan tanggung jawab semua komponen bangsa. Sampai dengan saat ini, pembangunan wilayah perbatasan masih berjalan secara sektoral, sehingga hasilnya belum dapat dilihat, dinikmati dan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya yang tinggal di wilayah perbatasan. Oleh karena itu perlu adanya simpul yang mampu secara efektif mengintegrasikan kebijakan dan implementasi di lapangan agar pengelolaan wilayah perbatasan maritim dapat dilaksanakan secara sinergis, fokus dan sistematis.
Ancaman militer masih tetap tinggi, meskipun siapa yang menghadapi dengan cara apa dan bagaimana cara mengatasinya sudah jelas, yaitu TNI yang bertugas sebagai penjaga kedaulatan negara. Di sisi lain ancaman nil-militer lebih berbahaya dari pada ancaman militer, dikarenakan siapa yang akan menghadapi, dengan apa dan bagaimana cara mengatasinya, masih belum jelas.
Dengan demikian tidak beralasan bagi NKRI yang mempunyai karakteristik geografi sebagai negara kepulauan yang berciri Nusantara, dalam menjaga keutuhan NKRI, membangun serta mengelola wilayah perbatasan antar negara, untuk menetapkan strategi pertahanan negara yang tepat, yaitu dengan memadukan kekuatan militer dengan nil-militer. Dalam rangka menegakkan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah NKRI dari berbagai ancaman, diperlukan pertahanan negara yang berdasarkan pada visi terwujudnya ketahanan negara yang tangguh dengan misi pertahanan negara untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI serta keselamatan bangsa. Mengacu pada visi dan misi tersebut, maka kebijakan Kementerian Pertahanan di wilayah perbatasan adalah sebagai berikut: Pertama, meningkatkan kerjasama penanganan penyelesaian perbatasan RI dengan negara-negara tetangga dengan memprioritaskan wilayah yang memiliki kerawanan cukup tinggi, seperti wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia, IndonesiaSingapura dan Indonesia-Vietnam. Kedua, mendorong peningka-
tan kondisi sosial-ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan maritim dan pulau-pulau kecil terluar melalui pembangunan sarana dan prasarana dasar, peningkatan kapasitas SDM, serta pemberdayaan aparatur pemerintah dan kelembagaan. Ketiga, mendukung pengembangan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar sebagai pusat pertumbuhan berbagai sumber daya alam lokal melalui pengembangan berbagai sektor serta kerjasama ekonomi antar negara. Keempat, mendorong peningkatan pengawasan dan pengamanan di wilayah perbatasan maritim melalui pendekatan hukum dan pendekatan wilayah perairan perbatasan dengan cara melaksanakan patroli rutin. Disamping kebijakan tersebut, kesejahteraan personel pengamanan perbatasan maritim juga perlu ditingkatkan. Untuk itu Kementerian Pertahanan telah mengeluarkan tunjangan pengamanan khusus untuk satuan tugas yang menjaga pulau-pulau kecil terluar di wilayah perbatasan.
No. 61 Tahun VI
15 pebruari - 14 MARET 2013
Diplomasi TABLOID
FOKUS
Media Komunikasi dan Interaksi
Sebagian Segmen Garis Batas Belum Disepakati Hingga saat ini RI belum memiliki perjanjian batas ZEE dengan Malaysia, Filipina, Palau, Timor Leste, India, Singapura, dan Thailand. RI-Vietnam sudah memiliki perjanjian batas ZEE, namun belum ada kesepakatan di tingkat teknis karena masih menunggu proses ratifikasi oleh kedua negara. Sementara garis batas ZEE antara RI-Australia sudah disepakati, yaitu meliputi samudera Hindia, laut Arafura dan laut Timor. Beberapa segmen garis batas, baik di darat maupun di laut, hingga saat ini belum disepakati secara menyeluruh oleh negara-negara yang berbatasan dengan wilayah NKRI, sehingga berpotensi memunculkan berbagai persoalan. Permasalahan yang sering muncul di perbatasan darat adalah berupa pemindahan patok-patok batas yang berimplikasi pada timbulnya kerugian negara secara ekonomi dan lingkungan. Namun secara umum, titik koordinat batas negara di darat pada umumnya sudah disepakati. Permasalahan batas yang perlu diprioritaskan penangananya saat ini adalah perbatasan laut, dimana garis batas laut, terutama Batas Landas Kontinen (BLK) dan batas Zona Ekonomi Ekskluisf (ZEE), sebagian besar masih belum disepakati dengan negara-negara tetangga. Hal ini menimbulkan ketidak-jelasan batas laut antara Indonesia dan beberapa negara tetangga sehingga menye-babkan terjadinya pelanggaran batas oleh para nelayan, baik nelayan Indonesia maupun nelayan negara tetangga. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Undang-Undang no.17 tahun 1985 tentang pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) menyatakan bahwa batas ZEE Indonesia di segmen-segmen perairan yang berhadapan dengan negara lain dan lebarnya kurang dari 400 mil laut, maka yang menjadi batas ZEE adalah garis median. Mengacu pada konvensi tersebut, maka batas ZEE antara RI dengan negara tetangga yang berupa garis median adalah antara RIMalaysia-Singapura di Selat Malaka; RI-Malaysia di Laut Natuna sebelah barat dan timur; RI-Vietnam di Laut China Selatan sebelah utara; RI-Filiipina di Laut Sulawesi hingga Laut Filipina; RI-Palau di Samudera Pasifik; RI-Australia di Laut Arafura hingga Laut Timor; RI-Pulau Christmas (Australia) di Samudera Hindia; RI-Timor
15 pebruari - 14 MARET 2013
Leste di Selat Wetar; dan RI-India di Laut Andaman. Wilayah laut RI yang tidak memiliki batas ZEE adalah di Selat Singapura, yaitu wilayah yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura, karena lebarnya hanya sekitar 15 mil laut. Penentuan garis batas ZEE RI, terutama pada wilayah laut yang berhadapan dengan laut lepas, adalah sepanjang 200 mil dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Garis batas ZEE antara RI dengan negara-negara tetangga, sebagian besar belum ditetapkan, terutama dengan negara-negara yang berbatasan langsung. Hal ini disebabkan karena belum adanya kesepakatan, atau belum dilakukannya ratifikasi. Ketidakjelasan batas ZEE ini menyebabkan sulitnya melakukan penegakan hukum dan berpotensi sebagai sumber pertentangan antara RI dengan negara tetangga. Hingga saat ini RI belum memiliki perjanjian batas ZEE dengan Malaysia, Filipina, Palau, Timor Leste, India, Singapura, dan Thailand. RIVietnam sudah memiliki perjanjian batas ZEE, namun belum ada kesepakatan di tingkat teknis karena masih menunggu proses ratifikasi oleh kedua negara. Sementara garis batas ZEE antara RI-Australia sudah disepakati, yaitu meliputi samudera Hindia, laut Arafura dan laut Timor. Batas Laut Teritorial (BLT) Dalam hal garis Batas Laut Teritorial (BLT), Indonesia memiliki BLT selebar 12 mil laut yang di ukur dari garis pangkal yang merupakan batas kedaulatan suatu negara baik di darat, laut, maupun udara. Sebagian besar BLT RI sudah disepakati oleh negara-negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia, kecuali dengan Timor Leste sebagai sebuah negara yang baru merdeka. Selain itu diperlukan pula perundingan tripartit antara Indonesia-MalaysiaSingapura untuk menyepakati BLT di Selat Singapura bagian Barat dan Ti-
No. 61 Tahun VI
mur yang lebarnya kurang dari 24 mil dan bersinggungan langsung dengan perbatasan di ketiga negara. Mengingat pentingnya pengakuan terhadap batas kedaulatan suatu negara, maka batas laut teritorial antara pemerintah RI dan Timor Leste maupun three junctional point di Selat Malaka perlu segera disepakati untuk menghindari kekhawatiran timbulnya konflik akibat pelanggaran kedaulatan wilayah negara. BLT yang telah disepakati adalah: BLT RI-Malaysia, dalam perjanjian Indonesia-Malaysia tahun 1970; BLT RI-Singapura (di sebagian Selat Singapura) dalam perjanjian IndonesiaSingapura tahun 1973; BLT RI-PNG dalam perjanjian Indonesia-PNG tahun 1980. BLT yang belum disepakati adalah: BLT RI-Timor Leste, karena masih diperlukan penentuan garisgaris pangkal kepulauan di pulau Leti, Kisar, Wetar, Liran, Alor, Pantar, hingga Vatek, dan titik dasar sekutu di Pulau Timor. BLT RI-MalaysiaSingapura juga belum disepakati karena masih mem������������������ erlukan perundingan bersama (tri-partid). Batas Landas Kontinen (BLK) Mengacu pada Undang Undang No. 1 /1973 tentang Batas Landas Kontinen Indonesia (BLKI) serta UU no. 17/1985 tentang pengesahan UNCLOS, BLKI ditarik sama lebar dengan batas ZEE (200 mil laut) atau sampai dengan maksimum 350 mil laut dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Hal ini berlaku di seluruh wilayah perairan Indonesia, kecuali pada segmen-segmen wilayah tertentu dimana BLK dapat ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan negara-negara yang berhadapan langsung dengan Indonesia, antara lain: Perbatasan dengan India dan Thailand di Laut Andaman; Perbatasan dengan Thailand di Selat Malaka bagian Utara; Perbatasan dengan Malaysia di Selat Malaka bagian Selatan serta di Laut
Natuna bagian Timur dan Barat; Perbatasan dengan Vietnam di Laut China Selatan; Perbatasan dengan Filipina di Laut Sulawesi; Perbatasan dengan Palau di Samudera Pasifik; Perbatasan dengan Australia di Laut Arafura, Laut Timor, Samudera Hindia, dan di wilayah perairan di sekitar Pulau Christmas; Perbatasan dengan Timor Leste di laut Timor. Selain BLK diatas, terdapat titiktitik yang bersinggungan dengan tiga negara (three junction point) secara langsung, kesepakatan terhadap titik-titik ini dilakukan melalui pertemuan trilateral. Titik-titik tersebut antara lain Three Junction Point antara Indonesia, India, dan Thailand di Laut Andaman, dan Three Junction Point antara Indonesia, Thailand, dan Malaysia di Selat Malaka Bagian Utara. Sebagian BLK antara Indonesia dengan negara tetangga telah disepakati dan telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres). Namun demikian masih terdapat beberapa segmen wilayah laut yang belum ditetapkan BLK-nya, karena masih dalam proses negosiasi atau bahkan belum dilakukan perundingan dengan negara tetangga bersangkutan, diantaranya adalah BLK dengan Vietnam, Filipina, Palau, dan Timor Leste. BLK yang telah disepakati adalah: RI-India, yaitu 10 titik BLK di Laut Andaman berikut koordinatnya dan disepakati berdasarkan perjanjian pada tahun 1974 dan 1977. RI – Thailand, Titik-titik BLK di selat Malaka maupun Laut Andaman disepakati berdasarkan perjanjian pada tahun 1977. RI – Malaysia, 10 titik BLK di Selat Malaka dan 15 titik di Laut Natuna disepakati berdasarkan perjanjian pada tahun 1969. RI – Australia, Titik-titik BLK di Laut Arafura dan laut Timor ditetapkan melalui Keppres pada Tahun 1971 dan 1972 Titik-titik BLK di Samudera Hindia dan di sekitar Pulau Christmas telah disepakati berdasarkan perjanjian pada tahun 1997. Sedangkan BLT dengan vietnam dan filipina belum disepakati tapi sudah dalam proses negosiasi. Dengan Palau dan timor leste belum disepakati dan belum ada proses perundingan. Komite-komite kerjasama penanganan masalah perbatasan yang ada saat ini antara lain General Border Comitee (GBC) RI – Malaysia, Joint Border Committee (JBC) RI – Papua New Guinea; dan Joint Border Committee RI-UNMISET (Timor Leste).
09
Diplomasi TABLOID
FOKUS
Media Komunikasi dan Interaksi
dok. kkp.go.id
Industrialisasi Maritim Berbasis Blue Economy Data UNEP (United Nations Environmental Programme) tahun 2009 menunjukkan bahwa terdapat 64 wilayah perairan di dunia yang merupakan Large Marine Ecosystem (LME). Data ini disusun berdasarkan tingkat kesuburan, produktivitas dan pengaruh perubahan iklim. Cicip J. Sutardjo Menteri Kelautan dan Perikanan RI
Perairan Indonesia sendiri memiliki akses strategis dalam ekosistem laut dunia, karena dari 64 LME tersebut, Indonesia sedikitnya memiliki akses langsung terhadap 6 (enam) LME dengan potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar, yaitu Teluk Bengala (LME 34), Laut China Selatan (LME 36), Sulu Celebes (LME 37), perairan Indonesia (LME 38), Arafura-Gulf Carpentaria (LME 39), dan Laut Australia Utara (LME 45). Jika potensi tersebut dapat kita manfaatkan secara optimal, maka sektor kelautan dan perikanan akan menjadi penggerak pembangunan ekonomi nasional. Dalam pelaksanaaan pembangunan tersebut dibutuhkan Blue Economy, yaitu sebuah paradigma yang bertujuan menghasilkan pertumbuhan ekonomi dari sektor kelautan dan perikanan, sekaligus menjamin kelestarian sumber daya alam, ekosistem pesisir dan laut. Kita selalu menyebut Indonesia sebagai Negara Maritim. Kita
10
juga diakui dunia sebagai Negara Kepulauan. Terkait dengan hal ini, tantangan kita sekarang adalah mempertahankan apa yang kita miliki, yaitu potensi kekayaan alam yang sangat besar, dimana banyak pihak asing yang ingin menguasai, apalagi potensi kekayaan laut kita. Dalam hal ini banyak juga yang menyebut Indonesia sebagai sleeping giant yang sewaktu-waktu bisa bangkit jika perekonomian maritim kita maju. Blue Economy adalah paradigma baru yang ditawarkan oleh Presiden SBY kepada dunia, khususnya negara-negara kepulauan, pada saat penyelenggaraan KTT di Brasil. Melalui langkah tersebut, kita kemudian dituntut untuk melakukan action plan, yaitu bagaimana mengembangkan ekonomi Indonesia melalui penggalian berbagai potensi kelautan, coastal dan pesisir yang kita miliki. Income negara kita bisa mencapai USD 1,2 triliun atau sepuluh kali lipat dari APBN
sekarang. Jika hal ini bisa dilakukan, maka sektor kelautan bisa menjadi tumpuan ekonomi bangsa ini ke depan. Jika pembangunan sektor kelautan dan perikanan diselaraskan dengan pendekatan Blue Economy, maka pembangunan industrialisasi maritim akan berlangsung secara berkelanjutan. Pendekatan pembangunan melalui Blue Economy merupakan model pembangunan ekonomi yang tidak lagi mengandalkan pembangunan berbasis eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan secara berlebihan. Lompatan besar dalam pembangunan tersebut meninggalkan praktek ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek dengan menggerakkan low carbon economy. Model pembangunan Blue Economy diharapkan mampu menjawab ketergantungan antara ekonomi dengan ekosistem, dan dampak negatif akibat aktivitas ekonomi,
termasuk perubahan iklim. Salah satu kelebihan Blue Economy adalah zero waste, industrialisasi perikanan dan pemanfaatan sumber daya laut dengan meminimalkan buangan limbah yang merusak lingkungan sehingga kelestarian sumber daya alam dapat berkembang secara berkelanjutan. Terkait dengan hal ini, pulaupulau kecil terluar memiliki fungsi yang vital, baik secara ekologis, sosial-ekonomi, serta pertahanan dan keamanan. Karena itulah maka Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki perhatian yang besar terhadap pulau-pulau kecil terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga dan akan terus melanjutkan program-program pemberdayaan masyarakat, pembangunan infrastruktur dasar, dan pengelolaan ekosistem guna meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat pesisir, khususnya di pulau-pulau kecil terluar. (sumber: Maritime Indonesia)
No. 61 Tahun VI
15 pebruari - 14 MARET 2013
Diplomasi TABLOID
FOKUS
Media Komunikasi dan Interaksi
Direktur Pendayaagunaan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Potret yang sehari-hari kita lihat pada masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil terluar adalah berupa kemiskinan, terutama di pulaupulau kecil yang jauh dari sentuhan kemajuan teknologi dan pendidikan. Kita juga melihat adanya ketergantungan ekonomi yang tinggi terhadap sumber daya alam dengan pola pemanfaatan yang cenderung merusak. Selanjutnya adalah permasalahan yang terkait dengan perubahan iklim, dimana ancaman terbesar adalah berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil kita. Kalau kita lihat misalnya Negara Maladewa, mereka mencoba mencari investasi tidak saja untuk pariwisata disana tetapi juga investasi untuk mencari tempat lain, karena ancaman perubahan iklim akan menenggelamkan negara tersebut. Kita beruntung bahwa Indonesia memiliki pulaupulau kecil dengan daratan yang flat dan berbukit, sehingga resiko tenggelammnya seluruh pulaupulau kecil kita juga menjadi lebih kecil. Ada tiga fungsi utama kenapa kita harus memperhatikan pulau-pulau kecil terluar. Pertama; kondisi ekologi, dimana ancaman perubahan iklim akan mengakibatkan tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut. Kedua, terkait dengan pertahanan dan keamanan, dimana dari ribuan pulau yang kita miliki terdapat 92 pulau kecil terluar yang berbatasan dengan negara tetangga, dimana disitulah terdapat titik dasar sebagai ujung pangkal untuk mengukur batas wilayah kita. Kalau pulaupulau ini tenggelam maka akan berpengaruh terhadap pengukuran batas wilayah kita. Jadi peran dari pulau-pulau kecil terluar ini sangat penting di dalam menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan RI. Kedua, terkait dengan isu kemiskinan. Masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil ini hidup dengan segala keterbatasan, diantaranya tidak ada pasokan listrik dan fasilitas kesehatan yang kurang memadai. Tantangan kita adalah bagaimana menjadikan pulau-pulau kecil ini agar memiliki nilai ekonomi yang tinggi, bagaimana kita mengangkat kesejahteraan ekonomi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil ini agar relatif setara dengan masyarakat yang tinggal di pulaupulau yang besar. Pada periode 1993-1994 kami mencatat ada 17.508 pulau, tetapi dalam perkembangannya ada empat pulau yang kemudian berpindah ke negaranegara tetangga. Sementara dari penelitian yang dilakukan, ada sekitar 24 pulau kecil yang hilang akibat tsunami dan aberasi, namun sekarang ini kami mencatat jumlahnya ada 17.504 pulau. Kita juga memiliki sebuah Tim Nasional yang bertugas untuk memberikan nama terhadap pulau-pulau yang kita miliki. Tim ini bertugas melakukan identifikasi dan verifikasi apakah sebuah tempat yang dinyatakan sebagai pulau memang benar memenuhi definisi pulau sebagaimana yang disepakati oleh dunia internasional. Definisi pulau adalah daratan yang terbentuk secara alami dan dikelilingi oleh air pada semua sisi15 pebruari - 14 MARET 2013
No. 61 Tahun VI
Mempercepat Pembangunan Di Pulau-Pulau Kecil dok. kkp.go.id
Agus Himawan MSi
nya serta tetap berada di permukaan air pada saat air pasang tertinggi. Sementara definisi pulau kecil adalah sebuah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2000 Km2. Sampai dengan saat ini kita telah berhasil memberikan nama 13.466 pulau-pulau kecil kita dan kemudian melaporkannya ke PBB. Sebagai negara kepulauan, Indonesia dijuluki pula sebagai biodiversity country, yaitu sebuah negara yang memiliki kekayaan keaneka-ragaman sumber daya alam yang tinggi. Indonesia juga dikenal sebagai pusat keaneka-ragaman ikan laut, karena hampir 75% jenis ikan yang ada di dunia dapat ditemukan di perairan laut Indonesia. Sementara itu pada 2006, Presiden RI berinisiatif membentuk Coral Triangle Inisiatives yang terdiri dari enam negara yang memiliki keaneka-ragaman paling signifikan di dunia. Kita memiliki 10.639 desa pesisir yang kondisinya berbeda dengan desa-desa lainnya. Potret kehidupan di desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil adalah banyaknya persoalan terkait terumbu karang yang mereka gunakan untuk pondasi rumah, jembatan dan sebagainya. Banyaknya hutan mangrove yang ditebang, terjadinya aberasi dan pencemaran pantai oleh sampah menjadi pemandangan sehari-hari, sehingga menjadi tantangan bagi kita untuk mengatasi persoalan tersebut. Dari 92 pulau kecil terluar yang kita miliki, 31 diantaranya adalah pulau yang berpenduduk, dan letaknya menyebar mulai dari Sumatera hingga Papua. 31 pulau inilah yang menjadi target kami dalam program ‘Adopsi Pulau’, dimana dalam kebijakan pemerintah kita mengenal 4 pilar penting,
yaitu pro-poor, pro-job, pro-growth dan prosperity. Jadi selain mengangkat ekonomi masyarakat yang hidup di pulau-pulau kecil, kita juga menjaga kelestarian lingkungan pulau-pulau kecil tersebut. Adopsi Pulau merupakan terobosan kebijakan dalam pembangunan pulau-pulau kecil dengan mengajak perguruan tinggi, dunia usaha dan masyarakat. Program ini merupakan wujud dari tanggungjawab sosial dan lingkungan terhadap masyarakat yang hidup di pulau-pulau kecil terluar. Jadi melalui program ini kami ingin bersamasama dengan masyarakat bersatu-padu untuk mempercepat pembangunan di pulau-pulau kecil tersebut. Kami mengundang perguruan tinggi untuk melakukan KKN di pulau-pulau kecil terluar dan mengundang dunia usaha untuk melakukan investasi dan pembiayaan. Berbagai kegiatan yang dilakukan dalam program Adopsi Pulau diantaranya berupa pengelolaan sumber daya, penyadaran masyarakat, peningkatan kapasitas dan sebagainya. Beberapa kerja sama yang telah kami lakukan adalah dengan IPB dan Universitas Hasanudin, dimana selama tahun 2012 sudah cukup banyak mahasiswa yang kami kirim ke pulau-pulau kecil terluar, diantaranya guna melakukan rehabilitasi terumbu karang, penanaman mangrove, pemanfaatan sampah, membangun pembangkit listrik tenaga surya, destilasi air laut menjadi air minum, berbagai produksi dengan memanfaatkan sumber daya lokal dan bantuan berupa mesin untuk kapal nelayan dengan menggunakan tenaga baterai.[]
11
Diplomasi TABLOID
SOROT
Media Komunikasi dan Interaksi
Pembangunan Kawasan Perbatasan
Jaleswari Pramodhawardani Peneliti Bidang Pertahanan, LIPI Pada beberapa waktu yang lalu saya di undang untuk berbicara tentang bela negara masyarakat perbatasan, dimana dalam hal ini ada dua hal yang perlu dipertanyakan. Pertama soal bela negara itu sendiri, dan kedua adalah kawasan perbatasan, dimana dua hal ini sesungguhnya agak paradoks. Karena bagaimana mungkin kita meminta masyarakat perbatasan untuk membela negara, padahal faktanya, sebagaimana selama ini kita ketahui bersama, justru masyarakat perbatasan itu adalah kelompok yang paling rentan. Bagaimana mereka bisa melakukan bela negara sedangkan untuk membela dirinya sendiri saja sudah problematik. Persoalan perbatasan terdiri dari tiga hal, yaitu mengenai garis batas, keamanan dan manajemen pengelolaan perbatasan. Kalau melihat dari pengalaman yang ada, misalnya tentang kebijakan pembangunan perbatasan, kita mengetahui bahwa keputusan untuk membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan ternyata baru ditetapkan pada 2011. Kita mengetahui bahwa persoalan urusan perbatasan ini sebelumnya di bicarakan di 26 Kementerian dengan 72 program. Kita bisa membayangkan betapa persoalan koordinasi itu bisa menjadi urusan yang sangat luas. Selain BNPP kita juga memiliki Badan Nasional Pemberantasan Terorisme, Badan Koordinasi Keamanan Laut dan badan-badan lainnya yang pada intinya memerlukan pendekatan koordinasi, dimana selama ini masalah koordinasi ini justru menjadi problematik kita. Hal ini terbukti dari misalnya ketika polisi Malaysia menangkap petugas KKP, dimana kita bisa melihat dengan jelas bahwa terdapat problematik didalam hal koordinasi ini. Kemudian kalau kita bicara tentang sosial ekonomi dan sosial budaya, sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa perekonomian di kawasan perbatasan justru sering dikatakan sebagai daerah
12
marjinal. Ekonominya lemah, infrastrukturnya kurang dan masih minimnya pengelolaan sumber daya alam. Dalam persoalan pertahanan dan keamanan, kita masih ingat bahwa persoalan yang baru saja mencuat adalah mengenai Damar Wulan dan Tanjung Datu. Kita tahu bahwa ada yang perlu diluruskan disini, dimana sebetulnya di Kalimantan kita mempunyai 10 titik problem perbatasan, salah satunya adalah Tanjung Datu yang didalamnya ada sebuah dusun yang bernama Damar Wulan. Ini adalah salah satu wilayah yang masih diperkarakan hingga saat ini, belum lagi kita bicara wilayah-wilayah perbatasan lainnya. Menurut Hikmahanto Juwono, salah seorang pakar di bidang Hubungan Internasional, kita memang memiliki kelemahan di bidang ini. Artinya bahwa persoalan-persoalan yang berkaitan dengan perbatasan ini janganlah disikapi dengan membawanya ke ranah internasional secara tergesa-gesa, karena kita memang lemah dalam hal kearsipan nasional, dalam hal dokumen-dokumen yang dapat memberikan keyakinan kepada dunia internasional bahwa kita memang memiliki hak penuh terhadap suatu wilayah yang disengketakan. Disamping itu untuk dapat menyewa pengacara yang handal dalam lingkup internasional juga bukan perkara yang mudah, sangat berliku dan membutuhkan biaya yang mahal. Kemudian kelemahan kita dalam koordinasi antar instansi juga memperlemah kita untuk dapat memperkuat bukti-bukti yang dapat diperjuangkan. Ini adalah sebagian kecil dari persoalan-persoalan yang kita hadapi terkait dengan perbatasan, dimana sebetulnya Pemerintah juga sudah memiliki beberapa perjanjian dengan negara-negara tetangga, misalnya seperti Joint Border Commision. Mulai dari Aceh hingga Papua, kita memiliki 92 pulau terdepan, dan 12 pulau diantaranya dianggap sebagai prioritas. Salah satunya yang sudah kami kunjungi adalah pulau Marore yang terletak di perbatasan Sulawesi Utara. Kedepan, Institut Maritim Indonesia (IMI) juga memiliki program untuk mengunjungi 10 pulau terdepan lainnya dan akan membuat potret kehidupan dan juga berbagai persoalan yang dihadapi oleh masingmasing pulau terdepan tersebut. Ada keinginan dari Kementerian Pertahanan dimana sumber daya manusia di perbatasan perlu digerakkan untuk bela negara, tetapi persoalannya adalah bahwa ketika kita masuk ke pulau-pulau terdepan tersebut, kita melihat bahwa sumber daya manusia yang ada disana memang tidak memadai sebagaimana
yang dibayangkan kalau kita memperjuangkan garis batas wilayah kita. Artinya bahwa pertahanan yang dicanangkan dalam konteks pulau-pulau terdepan tersebut pada akhirnya juga akan problematik karena jumlah penduduk di pulau-pulau terdepan tersebut relatif sedikit sekali jumlahnya. Kawasan perbatasan ini sebetulnya justru memerlukan postur pertahanan yang lebih merespon kebutuhan kita sebagai sebuah negara kepulauan. Kita mengetahui bahwa sejak Orde Baru kita memiliki mindset pertahanan yang berorientasi ke daratan, sehingga laut dan udara yang sebetulnya lebih strategis dan cocok untuk pertahanan negara kepulauan, justru terabaikan pembangunannya. Pemerintah baru melakukan perubahan-perubahan setelah di adopsinya minimum essential force yang diperkenalkan oleh Juwono Sudarsono ketika menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Sebagaimana kita ketahui bahwa anggaran pertahanan kita belum pernah mencapai 2% dari GDP melainkan di bawah 1%. Anggaran tersebutpun sebagian besar (70%) digunakan untuk biaya rutin, sedangkan anggaran untuk alutsista hanya 20% saja, dan untuk penelitian bahkan kurang dari 1%. Indonesia telah berupaya untuk merevitalisasi industri pertahanan yang seharusnya juga mengedepankan badanbadan penelitian yang cukup baik. Dan untuk mencapai minimum essential force tersebut kemudian dirancang sebuah renstra, baik jangka pendek, menengah maupun panjang hingga 2024, dimana Pemerintah kemudian mengalokasikan anggaran sekitar Rp 320 trilyun yang dibagi dalam tiga tahap. Pada tahap pertama (2010-2014), anggaran yang dialokasikan untuk alutsista adalah sekitar Rp 150 triliun. Kalau kita lihat urusan pertahanan keamanan yang berkaitan dengan garis batas, ternyata membuat kita miris, karena kapal-kapal laut yang dimiliki oleh TNI AL sangat minim jumlahnya. Karena
itu maka UU Industri Pertahanan patut direspon dengan gembira, karena salah satu klausulnya menyatakan bahwa TNI tidak boleh membeli produk pertahanan ke luar negeri sepanjang produk tersebut bisa di produksi di dalam negeri. Dalam hal ini PT PAL telah mampu memproduksi kapal-kapal patrol kita. Hal ini berkaitan juga dengan Bakorkamla yang berkeinginan tidak saja sebagai badan koordinasi melainkan sebagai sebuah sistem keamanan laut, yang tentunya akan meningkatkan efisiensi dari anggaran pertahanan itu sendiri. Kalau kita melihat alokasi anggaran seluruh kementerian pada 2012, ada 14 kementerian terkait yang mengalokasikan anggaran untuk pembangunan kawasan perbatasan. Sementara sebelumnya kita melihat bahwa anggaran untuk pembangunan kawasan perbatasan sangat minim sekali. Yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah apakah hal ini berkorelasi positif dengan semakin membaiknya kawasan perbatasan kita. Sebagaimana kita ketahui, masalah koordinasi masih menjadi problem kita. Dengan masing-masing kementerian memiliki alokasi anggaran untuk pembangunan kawasan perbatasan, maka diperlukan sebuah grouping yang jelas, sebuah grand design pembangunan kawasan perbatasan yang dengan jelas menetapkan siapa melakukan apa, dimana, kapan dan bagaimana itu dilaksanakan. Hal inilah yang perlu dilakukan kedepan. Untuk dapat membangun kawasan perbatasan, tidak cukup hanya dengan memaparkan tentang berbagai persoalan yang ada, melainkan diperlukan sebuah kemauan politik yang kuat, baik dari kepemimpinan nasional maupun daerah. Semuanya harus mampu bersinergi untuk menempatkan pembangunan kawasan perbatasan sebagai suatu hal yang penting. Salah satunya adalah terkait dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang tidak hanya diperlukan pada tingkat lokal, melainkan juga di tingkat nasional dan regional.[]
dok. kkp.go.id
dok. lipi
Perlu Kemauan Politik Yang Kuat
pulau kecil terluar berperan penting sebagai titik dasar penetapan garis batas wilayah RI
No. 61 Tahun VI
15 pebruari - 14 MARET 2013
Diplomasi TABLOID
SOROT
Media Komunikasi dan Interaksi
Dua Negara Bertetangga Jangan Saling Melecehkan Dalam hubungan internasional, ada tiga dalil yang selalu saya amati dan saya pegang. Yaitu, pertama, bahwa dua tetangga yang baik itu adalah ibarat dua ekor landak di malam yang dingin. Terlalau jauh mereka kedinginan, tetapi kalau terlalu dekat maka duri-duri di tubuh mereka akan saling menusuk. Karena itulah maka kita harus pandai-pandai dalam menjaga jarak dengan negara tetangga agar tidak kedinginan atau saling menusuk. Setelah itu barulah berlaku dalil yang kedua, yaitu bahwa tetangga
Hasyim Djalal Pakar Hukum Laut
yang baik harus dilindungi dengan garis batas yang jelas. Sedangkan dalil yang ketiga adalah bahwa kalau ingin bertetangga dengan baik, maka kita harus menghindarkan diri dari tindakan pelecehan dengan cara meningkatkan kewibawaan dan kemampuan militer. Pemerintah RI telah melakukan upaya peningkatan militer dengan dengan sekuat tenaga, namun masalahnya adalah bahwa peningkatan kemampuan ini memerlukan anggaran belanja. Sementara anggaran belanja Indonesia untuk pem-
dok. jakartagreater.com
Pulau-Pulau Terluar Rawan Konflik
patroli laut dan udara rutin dilakukan untuk menjaga wilayah kedaulatan RI
Hasil kajian sementara TNI AL mendapatkan adanya 92 pulaupulau kecil yang sekaligus menjadi titik terluar batas wilayah NKRI. 12 pulau diantaranya memiliki kerawanan atau dianggap memungkinkan untuk menjadi sumber konflik perbatasan dengan negara
15 pebruari - 14 MARET 2013
tetangga. Ini perlu diantisipasi sejak dini dengan memberikan perhatian secara khusus. Ke-12 pulau tersebut adalah: Pulau Rondo berada di Provinsi NAD, berbatasan dengan India, tidak ada penduduk, sudah ada suar yang dibangun Pemerintah RI;
No. 61 Tahun VI
Pulau Berhala berada di Provinsi Sumatera Utara, berbatasan dengan Malaysia, tidak ada penduduk, sudah ada suar yang dibangun Pemerintah RI; Pulau Nipa di Provinsi Riau, berbatasan dengan Singapura, tidak ada penduduk, sudah ada suar yang dibangun Pemerintah RI.
binaan kemampuan/militer adalah yang terkecil dibandingkan dengan negara-negara tetangganya, sedangkan luas wilayahnya adalah yang terluas. Luas wilayah perairan Indonesia sekarang ini adalah 60 kali lebih luas dari wilayah perairan yang kita peroleh dari Hindia Belanda, yang tentunya memerlukan pertahanan dan keamanan serta penegakan hukum yang lebih besar lagi, belum lagi untuk wilayah darat dan udara.[]
Pulau Nipa perlu segera ditangani secara serius, karena adanya aktifitas penambangan pasir yang berlebihan, sehingga pulau ini hampir tenggelam. Apabila pulau ini tenggelam, maka batas antara Indonesia dengan Singapura akan berubah dan lebih menguntungkan Singapura; Pulau Sekatung berada di Provinsi Riau, berbatasan dengan Vietnam, tidak ada penduduk, sudah ada suar yang dibangun Pemerintah RI; Pulau Marore, Pulau Miangas dan Pulau Marampit berada di Provinsi Sulawesi Utara, berbatasan dengan Philipina, ada penduduk, sudah ada suar yang dibangun Pemerintah RI; Pulau Fanildo, Pulau Bras (Pulau-pulau Mapia) dan Pulau Fani berada di Provinsi Papua, berbatasan dengan Palau. Pulau Fani dan Pulau Fanildo tidak ada penduduk dan belum ada suar, sedangkan Pulau Bras berpenduduk dan sudah ada suar yang dibangun Pemerintah RI; Pulau Batek berada di Provinsi NTT, berbatasan dengan Timor Leste, tidak ada penduduk, dan saat ini sedang dibangun suar oleh Pemerintah RI; Pulau Dana berada di Provinsi NTT, berbatasan dengan Australia, tidak ada penduduk, sudah ada menara suar yang dibangun oleh pemerintah RI. (Sumber: Mabes TNI AL)
13
Diplomasi TABLOID
sorot
Media Komunikasi dan Interaksi
Permasalahan di Perbatasan RI Survei mengenai penetapan Titik Dasar atau Base Point telah dilaksanakan oleh Dishidros TNI AL pada tahun 1989 hingga 1995 dengan melakukan Survei Base Point sebanyak 20 kali dalam bentuk survei hidro-oseanografi. Titik-titik Dasar tersebut kemudian diverifikasi oleh Bakosurtanal pada tahun 1995-1997.
Pada tahun 2002, Pemerintah RI menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002, tentang “Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia”, di mana di dalamnya tercantum 183 Titik Dasar perbatasan wilayah RI. Namun demikian, terlepas dari telah diterbitkannya PP 38 Tahun 2002, telah terjadi perubahan-perubahan yang tentunya mempengaruhi konstelasi perbatasan RI dengan negara tetangga seperti
RI – Malaysia Kesepakatan yang sudah ada antara Indonesia dengan Malaysia di wilayah perbatasan adalah garis batas Landas Kontinen di Selat Malaka dan Laut Natuna berdasarkan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Malaysia tentang penetapan garis batas landas kontinen antara kedua negara (Agreement Between Government of the Republic Indonesia and Government Malaysia relating to the delimitation of the continental shelves between the two countries), tanggal 27 Oktober 1969 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 89 Tahun 1969. Berikutnya adalah Penetapan Garis Batas Laut Wilayah RI – Malaysia di Selat Malaka pada tanggal 17 Maret 1970 di Jakarta dan diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1971 tanggal 10 Maret 1971. Namun untuk garis batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) di Selat Malaka dan Laut China Selatan antara kedua negara belum ada kesepakatan. Batas laut teritorial Malaysia di Selat Singapura terdapat masalah,
yaitu di sebelah Timur Selat Singapura, hal ini mengenai kepemilikan Karang Horsburgh (Batu Puteh) antara Malaysia dan Singapura. Karang ini terletak di tengah antara Pulau Bintan dengan Johor Timur, dengan jarak kurang lebih 11 mil. Jika Karang Horsburg ini menjadi milik Malaysia maka jarak antara karang tersebut dengan Pulau Bintan kurang lebih 3,3 mil dari Pulau Bintan. Perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Kalimatan Timur (perairan Pulau Sebatik dan sekitarnya) dan Perairan Selat Malaka bagian Selatan, hingga saat ini masih dalam proses perundingan. Pada segmen di Laut Sulawesi, Indonesia menghendaki perundingan batas laut teritorial terlebih dulu baru kemudian merundingkan ZEE dan Landas Kontinen. Pihak Malaysia berpendapat perundingan batas maritim harus dilakukan dalam satu paket, yaitu menentukan batas laut teritorial, Zona Tambahan, ZEE dan Landas Kontinen. Sementara pada segmen Selat Malaka bagian Selatan, Indonesia dan Malaysia masih sebatas tukar-menukar peta illustrasi batas laut teritorial kedua negara.
RI – Singapura Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia dengan Singapura telah dilaksanakan mulai tahun 1973 yang menetapkan 6 titik koordinat sebagai batas kedua negara. Perjanjian tersebut kemudian diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1973. Permasalahan yang muncul adalah belum adanya perjanjian batas laut teritorial bagian timur dan barat di Selat Singapura. Hal ini akan menimbulkan kerawanan, karena Singa-
14
pura melakukan kegiatan reklamasi wilayah daratannya. Reklamasi tersebut mengakibatkan wilayah Singapura bertambah ke selatan atau ke Wilayah Indonesia. Penentuan batas maritim di sebelah Barat dan Timur Selat Singapura memerlukan perjanjian tiga negara antara Indonesia, Singapura dan Malaysia. Perundingan perbatasan kedua negara pada Segmen Timur, terakhir dilaksanakan pada 8-9 Februari 2012 di Bali (perundingan ke-2).
Timor Leste pasca referendum dan status Pulau Sipadan-Ligitan pasca keputusan Mahkamah Internasional. Di samping itu, patut pula dipertimbangkan untuk melakukan pengecekan ulang terhadap pilar-pilar yang dibuat pada saat Survei Base Point yang dilakukan pada sekitar 10 tahun lalu. Monumentasi ini perlu dilakukan sebagai bukti fisik kegiatan penetapan yang telah dilakukan serta menjadi referensi bila perlu dilakukan survei kembali di masa mendatang.
Hingga saat ini terdapat beberapa permasalahan perbatasan antara Indonesia dengan negara tetangga yang masih belum diselesaikan secara tuntas. Permasalahan perbatasan tersebut tidak hanya menyangkut batas fisik yang telah disepakati namun juga menyangkut cara hidup masyarakat di daerah tersebut, misalnya para nelayan tradisional atau kegiatan lain di sekitar wilayah perbatasan.
RI – Thailand Indonesia dan Thailand telah mengadakan perjanjian landas kontinen di Bangkok pada tanggal 17 Desember 1971, perjanjian tersebut telah diratifikasi dengan Keppres Nomor 21 Tahun 1972. Perjanjian perbatasan tersebut merupakan batas landas kontinen di Utara Selat Malaka dan Laut Andaman. Selain itu juga telah dilaksanakan
perjanjian batas landas kontinen antara tiga negara yaitu Indonesia, Thailand dan Malaysia yang diadakan di Kuala Lumpur pada tanggal 21 Desember 1971. Perjanjian ini telah diratifikasi dengan Keppres Nomor 20 Tahun 1972. Perbatasan antara Indonesia dengan Thailand yang belum diselesaikan khususnya adalah perjanjian ZEE.
RI – India Indonesia dan India telah mengadakan perjanjian batas landas kontinen di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1974 dan telah diratifikasi dengan Keppres Nomor 51 Tahun 1974 yang meliputi perbatasan antara Pulau Sumatera dengan Nicobar. Selanjutnya dilakukan perjanjian perpanjangan batas landas kontinen di New Dehli pada tanggal 14 Januari 1977 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 26 Tahun 1977 yang meliputi
Laut Andaman dan Samudera Hindia. Perbatasan tiga negara, Indonesia-India- Thailand juga telah diselesaikan, terutama batas landas kontinen di daerah barat laut sekitar Pulau Nicobar dan Andaman. Perjanjian dilaksankaan di New Delhi pada tanggal 22 Juni 1978 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 25 Tahun 1978. Namun demikian kedua negara belum membuat perjanjian perbatasan ZEE.
RI – Vietnam Perbatasan Indonesia – Vietnam di Laut China Selatan telah dicapai kesepakatan, terutama batas landas kontinen pada tanggal 26 Juni 2002. Akan tetapi perjanjian perbatasan tersebut belum dirati-
fikasi oleh Indonesia. Selanjutnya Indonesia dan Vietnam perlu membuat perjanjian perbatasan ZEE di Laut China Selatan. Perundingan perbatasan kedua negara terakhir dilaksanakan pada 25-28 Juli 2011 di Hanoi (perundingan ke-3).
RI – Philipina Perundingan RI – Philipina sudah berlangsung 6 kali yang dilaksanakan secara bergantian setiap 3 – 4 bulan sekali. Dalam perundingan di Manado tahun 2004, Philipina sudah tidak mempermasalahkan lagi status Pulau Miangas, dan sepenuhnya mengakui sebagai milik Indonesia. Hasil perundingan terakhir penentuan garis batas maritim In-
donesia-Philipina dilakukan pada bulan Desember 2005 di Batam. Indonesia menggunakan metode proportionality dengan memperhitungkan lenght of coastline/ baseline kedua negara, sedangkan Philipina memakai metode median line. Untuk itu dalam perundingan yang akan datang kedua negara sepakat membentuk Technical Sub-Working Group untuk membicarakan secara Dok.opsi-opsi reality.com yang akan diambil. teknis
No. 61 Tahun VI
15 pebruari - 14 MARET 2013
Diplomasi TABLOID
sorot
Media Komunikasi dan Interaksi
RI – Palau Perbatasan Indonesia dengan Palau terletak di sebelah utara Papua. Palau telah menerbitkan peta yang menggambarkan rencana batas “Zona Perikanan/ZEE” yang diduga melampaui batas yurisdiksi wilayah Indonesia. Hal ini terbukti dengan banyaknya nelayan Indonesia yang melanggar wilayah perikanan Palau. Permasalahan ini timbul karena jarak antara Palau dengan Wilayah Indonesia kurang dari 400 mil sehingga ada daerah yang overlapping untuk ZEE dan Landas Kontinen. Perundingan perbatasan kedua negara terakhir dilaksanakan pada 29 Februari - 1 Maret 2012 di Manila (perundingan ke-3).
RI – Papua New Guinea Perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea telah ditetapkan sejak 22 Mei 1885, yaitu pada meridian 141 bujur timur, dari pantai utara sampai selatan Papua. Perjanjian itu dilanjutkan antara Belanda-Inggris pada tahun 1895 dan antara Indonesia-Papua New Guinea pada tahun 1973, ditetapkan bahwa perbatasan dimulai dari pantai utara sampai dengan Sungai Fly pada meridian 141° 00’ 00” bujur timur, mengikuti Sungai Fly dan batas tersebut berlanjut pada meridian 141° 01’ 10” bujur timur sampai pantai selatan Papua. Permasalahan yang timbul telah dapat diatasi yaitu pelintas batas, penegasan garis batas dan lainnya, melalui pertemuan rutin antara delegasi kedua negara. Masalah yang perlu diselesaikan adalah batas ZEE sebagai kelanjutan dari batas darat.
RI – Australia Perjanjian Batas Landas Kontinen antara Indonesia-Australia yang dibuat pada 9 Oktober 1972 tidak mencakup gap sepanjang 130 mil di selatan Timor Leste. Perbatasan Landas Kontinen dan ZEE yang lain, yaitu menyangkut Pulau Ashmore dan Cartier serta Pulau Christmas telah disepakati dan telah ditandatangani oleh kedua negara pada tanggal 14 Maret 1997, sehingga praktis tidak ada masalah lagi. Mengenai batas maritim antara Indonesia – Australia telah dicapai kesepakatan yang ditandatangani pada 1969, 1972 dan terakhir 1997.
RI – Timor Leste Perundingan batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste belum pernah dilakukan, karena Indonesia menghendaki penyelesaian batas darat terlebih dahulu baru dilakukan perundingan batas maritim. Dengan belum selesainya batas maritim kedua negara maka diperlukan langkah-langkah terpadu untuk segera mengadakan pertemuan guna membahas masalah perbatasan maritim kedua negara. Permasalahan yang akan sulit disepakati adalah adanya kantong (enclave) Oekusi di Timor Barat. Selain itu juga adanya entry/exit point Alur Laut Kepulauan Indonesia III A dan III B tepat di utara wilayah Timor Leste. (Sumber: Mabes TNI AL).
15 pebruari - 14 MARET 2013
No. 61 Tahun VI
Kerjasama Keamanan
Di Kawasan Perbatasan
Untuk mendukung pelaksanaan tugas pertahanan dan keamanan di kawasan perbatasan, TNI AL memiliki Strategy Partnership dengan negara-negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia, termasuk juga dengan negaranegara anggota ARF (ASEAN Regional Forum), antara lain:
RI – Singapura Kerjasama pertahanan Indonesia - Singapura telah berlangsung cukup lama melalui pembentukan komite kerjasama kedua negara. Kerjasama ini semakin berkembang dengan dilakukannya latihan bersama secara rutin, seperti Sea Eagle, dan Patkor Indosin. Dalam menghadapi isu-isu kejahatan lintas negara seperti terorisme, perompakan dan pembajakan, kerjasama Indonesia-Singapura menjadi penting dan perlu ditingkatkan kedepannya. RI – Malaysia Kerjasama di bidang Pertahanan antara Indonesia dan Malaysia diawali melalui Security Arrangement pada tahun 1972, yang kemudian dilanjutkan dengan membentuk Komite Perbatasan guna melakukan penanganan isu-isu keamanan di wilayah perbatasan. Isu-isu tersebut antara lain berupa perompakan, pembajakan dan penyelundupan, perambahan hutan ilegal, penggeseran patok-patok perbatasan, dan masalah pelintas batas. Kerjasama pertahanan dalam bentuk latihan militer seperti Kekar Malindo, Malindo Jaya, Darsasa, sangat bermanfaat dalam rangka meningkatkan hubungan pertahanan ke dua negara. RI – Philipina Hubungan Indonesia dengan Philipina telah berlangsung cukup lama dan terjalin cukup baik serta makin erat dengan keterlibatan Indonesia dalam pengiriman personel militer yang bertugas sebagai pengawas internasional dalam masalah Moro. Hingga saat ini belum ada kesepakatan tentang batas maritim ke dua negara. Kerjasama RI - Philipina
dalam isu perbatasan telah terjalin melalui forum JBC (Joint Border Committee), dengan agenda yang dilaksanakan secara rutin. Disamping itu juga ada forum JCBC (Joint Commision for Bilateral Cooperation) guna membahas masalahmasalah yang berhubungan dengan isu-isu keamanan bersama. Antara lain, pelintas batas tradisional, penyelundupan, perompakan dan pembajakan di perbatasan maritim dan kejahatan lintas negara lainnya. Menghadapi isu terorisme dan kejahatan lintas negara lainnya, kerjasama pertahanan dengan Philipina penting untuk dikembangkan dan diwujudkan dalam bentuk yang lebih konkrit. RI – Thailand Hubungan dan kerjasama pertahanan antara Indonesia dan Thailand berlangsung sejak lama dan berjalan cukup baik. Indonesia dan Thailand memiliki kesamaan pandangan, terutama dalam menyikapi isu-isu keamanan non tradisional di kawasan Asia Tenggara. Sejauh ini Thailand banyak membantu Indonesia untuk mengatasi pelaku tindak kejahatan lintas negara yang berusaha menyelundupkan senjata untuk membantu GAM. Khusus dalam menangani isu terorisme internasional dan kejahatan lintas negara lainnya, kerjasama pertahanan dengan Thailand di masa-masa mendatang penting untuk dikembangkan dan diwujudkan dalam bentuk yang lebih operasional.
RI – Papua New Guinea Papua New Guinea merupakan negara tetangga di sebelah Timur dengan perbatasan darat yang cukup panjang dengan Indonesia. Hubungan bilateral dengan Papua New Guinea telah berlangsung cukup baik. Sejak awal kedua negara telah menyepakati batas-batas wilayah darat dan perairan. Isu keamanan yang dihadapi banyak bersumber dari gangguan keamanan yang dilakukan kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang memanfaatkan wilayah Papua New Guinea. Seringkali anggota OPM masuk ke wilayah PNG untuk menghindari pengejaran yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia. Selain itu, kegiatan pelintas batas secara tradisional juga sering dilakukan
oleh penduduk yang bermukim di sekitar garis perbatasan. Isuisu keamanan tersebut memerlukan kerjasama kedua negara yang diwujudkan dalam bentuk Joint Border Committee (JBC) yang dinilai cukup efektif. RI – Timor Leste Perbatasan maritim antara Indonesia dan Timor Leste belum pernah diadakan, karena Indonesia menghendaki penyelesaian batas di darat terlebih dahulu baru dilakukan perundingan batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste. Dengan belum selesainya batas maritim kedua negara maka diperlukan langkah-langkah yang terpadu untuk segera mengadakan pertemuan guna membahas perbatasa maritim antara kedua negara. Permasalahan yang muncul dalam penyelesaian batas maritim kedua negara adalah berupa Kantong (enclave) Oekusi di Timur Barat. Adanya enclave Oekusi di tengah wilayah Indonesia merupakan kenyataan yang cukup spesifik dalam menangani masalah perbatasan dengan Timor Leste. Lalu lintas manusia dan barang dari Oekusi melalui wilayah Indonesia perlu diatur sedemikian rupa sehingga dapat memperkecil potensi gangguan keamanan, terlebih karena masih adanya sentimensentimen masa lalu terutama oleh penduduk ex Timor-Timur. Permasalahan lainnya adalah adanya entry/exit point ALKI III A dan III B di utara wilayah Timor Leste. Ini perlu ditinjau kembali, karena ALKI tersebut berada di wilayah perbatasan kedua negara yang belum ditetapkan batasnya. RI - Anggota ASEAN Lainnya Tidak kalah pentingnya adalah kerjasama internasional di bidang pertahanan dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya. Kerjasama yang ditempuh selama ini berada dalam mekanisme bilateral dan multilateral, dan ke depan penting untuk terus dilanjutkan dalam rangka mewujudkan stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara. (Sumber: Mabes TNI AL).
15
Diplomasi TABLOID
lensa
Media Komunikasi dan Interaksi
Potensi Ekonomi
Kawasan Pulau-Pulau Kecil Sebesar Rp 22,5 TRILIUN PERTAHUN Banyak potensi dan permasalahan di pulau-pulau kecil kita, tetapi dalam perkembangannya kami melihat bahwa ada potensi yang demikian besar yang belum kita gali lebih jauh. Berdasar dari pengalaman, pada 1985 saya mempelajari bagaimana mengangkat potensi pulau-pulau kecil, mulai dari Hawaii, Kanada hingga Filipina. Dari sinilah muncul suatu ide bahwa kalau kita bicara mengenai pulau-pulau kecil yang luasnya paling besar mencapai 2000 Km2, namun tentunya dalam konstelasi Indonesia sebagai negara kepulauan, tidak semua pulau-pulau kecil yang kita miliki itu mempunyai luas 2000 Km2. Cukup banyak pulau kecil yang luasnya bahkan lebih kecil dari 100 Km2. Pulau kecil dibagi dalam dua kategori, yaitu berdasarkan ukurannya dan potensi pengembangannya. Kalau pulau-pulau kecil itu berukuran di atas 100 hingga 2000 Km2, maka itu dapat dikatakan sebagai suatu ‘entitas’. Tapi kalau pulau-pulau itu ukurannya lebih kecil dari 100 Km2, maka itu dilihat sebagai suatu ’gugus’. Didalam pembentukannya suatu gugus pulau mempunyai tipologi pembentukan pulau yang berbeda dengan pulau-pulau yang berukuran lebih dari 100 Km2. Kalau kita perhatikan, Indonesia banyak sekali memiliki pulau-pulau yang sangat kecil, misalnya Pulau Seribu. Kalau kita lihat dalam skala ekonomi, pulau-pulau kecil itu hanya memiliki dua aktivitas yang memungkinkan untuk dikembangkan, yaitu perikanan dan pariwisata. Tidak ada sebuah negara di dunia ini yang terdiri dari pulaupulau kecil, yang dapat berkembang dan maju, selain dari sumber daya laut dan pariwisata yang mereka miliki. Contohnya adalah Maldives dan Hawaii. Indonesia memiliki banyak sekali pulau-pulau kecil dengan potensi yang luar biasa dan sangat penting untuk mengangkat perekonomian bangsa ini dengan berbasis pada sumber daya kelautan. Tidak ada satupun negara maritim di dunia yang berhasil maju tanpa menggali potensi maritimnya, yang utamanya berbasis pada potensi sumber daya kelautan. Bangsa-bangsa yang bukan negara kepulauan seperti Afrika dan Eropa, mereka melanglang buana ke berbagai negara yang
16
memiliki potensi maritim yang besar untuk dapat memanfaatkan potensi tersebut. Kita sebagai negara kepulauan dengan potensi yang sedemikian besar justru belum memanfaatkan potensi itu, terutama untuk mengangkat pulau-pulau kecil di perbatasan. Potensi perikanan dan pariwisata di pulau-pulau kecil ini harus kita angkat sebagai salah satu strategi untuk membangun pulau-pulau kecil tersebut dengan apa yang kita sebut sebagai ‘mina wisata’. Di sisi lain pulaupulau kecil terluar memiliki posisi yang strategis sebagai garda terdepan dan pintu gerbang dari NKRI. Potensi pulau-pulau kecil terluar ini harus kita bangun, karena kalau pintu gerbangnya maju maka di dalamnya juga akan maju. Indonesia memiliki luas lautan sebesar 5,8 juta Km2. Luas laut territorial Indonesia yang 3,1 juta Km2 saja belum kita manfaatkan secara optimal, apalagi jika ditambah dengan 2,7 juta Km2 ZEE. Indonesia juga memiliki garis pantai yang cukup panjang dengan posisi yang sangat strategis, yaitu diapit oleh samudera Hindia dan Pasifik. Tidak ada suatu negara di dunia ini yang begitu strategis seperti Indonesia. Kita juga melihat bahwa penyebaran pulau-pulau kecil yang kita miliki ternyata hampir seluruhnya menjadi sabuk bagi wilayah-wilayah yang memiliki posisi strategis. Ini sangat luar biasa dan merupakan potensi masa depan. Di sisi lain kita juga memiliki tiga ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) dimana kapal-kapal asing boleh lewat disitu melalui pintu gerbang kita. Nilai tambah dari ALKI adalah bahwa sebanyak 45% barang yang diperdagangkan di dunia di distribusikan melalui laut Indonesia. Kita bisa mengambil manfaat dari kapal-kapal yang akan lewat di perairan kita. Indonesia memiliki posisi strategis dimana pulau-pulaunya dilalui oleh arus lintas Indonesia, dimana sebagian besar kapal-kapal yang melalui arus lintas Indonesia ini membawa sejumlah nutrien, sedangkan kita memiliki kekayaan sumber daya ikan yang sangat besar. Indonesia juga berada di jantung coral triangle dunia yang meliputi kawasan pulau-pulau kecil, karena tidak ada karang yang bagus yang berada di kawasan pulau-pulau besar. Sumber daya yang sedemikian besar tidak mungkin tidak bisa mengangkat ekonomi kita, kecuali jika kita tidak mengelolanya dengan baik. Kita keta-
dok. kkp.go.id
Prof. Dr. Dietriech G. Bengen, DEA.
Nelayan tradisional menangkap ikan dengan peralatan yang sangat sederhana
hui bahwa 85% produksi mina Indonesia berasal dari perariran pesisir di sekitar pulau-pulau kecil yang membentuk ekosistem terumbu karang. Ikan-ikan bernilai ekonomi tinggi seperti ikan Kerapu dan Napoleon, semuanya berasal dari ekosistem terumbu karang tersebut. Kalau dihitung secara ekonomi, potensi kawasan pulau-pulau kecil di bidang perikanan jika dikelola dengan baik berbasis konservasi, akan menghasilkan pendapatan sebesar Rp 22,5 trilyun per tahun. Tingkat produksi yang paling bagus adalah di sekitar terumbu karang, yaitu bisa mencapai Rp 180 trilyun per tahun. Kalau kita kembangkan kawasan terumbu karang untuk menghasilkan bahan baku obat-obatan dan kosmetika, kita dapat menghasilkan Rp 450 trilyun per tahun. Dari ini saja, jika kita bisa mengembangkannya dengan baik, sebetulnya hasilnya sudah luar biasa. Kita dapat mengangkat ekonomi nasional, dan khususnya pulau-pulau kecil di perbatasan. Belum lagi kalau kita kembangkan untuk kepentingan wisata, karena pulau-pulau kecil kita memiliki panorama alam yang sangat indah. Katakanlah kalau kita mengelompokkan pulau-pulau kecil kita berdasarkan kategori para ahli dunia, pulau-pulau kecil kita termasuk kelompok yang memiliki nilai keaneka-ragaman yang tinggi, dan itu merupakan potensi yang dapat kita kembangkan disana. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan pulau-pulau kecil terluar adalah berupa over eksploitasi, konflik pemanfaatan dan masih adanya
praktek-praktek illegal, terutama illegal fishing. Kemudian suka atau tidak, bahwa pasar dalam negeri untuk produk-produk yang dihasilkan oleh pulau-pulau kecil terluar ini berada sangat jauh, sehingga secara ekonomis kemudian dipasarkan ke negara tetangga. Untuk mengatasi hal ini kita harus berupaya untuk mendekatkan pasar itu, yang tentunya memerlukan sejumlah persyaratan, diantaranya adalah kapasitas sumber daya manusia. Selain itu kita juga harus menciptakan suatu daya tarik, karena umumnya penduduk yang telah keluar dari pulau-pulau kecil tersebut, enggan untuk kembali. Dalam mengembangkan wisata, kita bisa mencontoh Sicilia, sebuah pulau yang sangat kecil, dimana resortnya berharga 1200 Euro untuk satu malam. Hampir seluruh karyawan yang bekerja disana berasal dari Indonesia, hal ini dikarenakan kebijakan kita belum kondusif untuk mengarah kepada pulau-pulau kecil terluar, sehingga mereka memilih bekerja mengembangkan pulau-pulau kecil di luar negeri. Jadi kita mengatasi permasalahan ini dengan mendekatkan pasar, yaitu melalui pengembangan potensi wisata dan perikanan. Strategi yang digunakan adalah pemanfaatan sumber daya alam dan pemeliharaan lingkungan bagi pengembangan wisata dan perikanan terpadu dan berkelanjutan dengan tujuan meningkatkan nilai-nilai ekonomi dari sumber daya yang tersedia.
No. 61 Tahun VI
15 pebruari - 14 MARET 2013
Diplomasi TABLOID
Lensa
Media Komunikasi dan Interaksi
Keamanan Wilayah Laut Dody Usodo Hargo S., S.IP, MM dok. jberitahankam.blogspot.com
Brigadir Jenderal TNI
Belum Optimal
Kapal TNI AL melakukan patroli laut untuk mengamankan wilayah laut RI
Pengamanan wilayah laut Indonesia sangat berpengaruh terhadap pengamanan wilayah darat, jika di laut sudah di filter dengan pengamanan yang kuat maka segala kegiatan ilegal akan bisa dijaga di laut sehingga tidak masuk ke wilayah daratan. Saat ini kita masih memiliki 105 KRI untuk menjaga 5,8 juta km2 luas wilayah laut Indonesia, sementara menurut batas minimumnya, seharusnya dibutuhkan sekitar 500 KRI untuk bisa menjaga wilayah laut secara minimum. Disamping itu, karena kita sudah meratifikasi Hukum Laut Internasional atau UNCLOS 1982, maka resikonya kita harus menyiapkan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), dimana ada 3 ALKI yang bisa dimanfaatkan oleh negara-negara yang memiliki keunggulan angkatan lautnya untuk kepentingan kekuatan militer. Seperti yang pernah terjadi pada 3 Juli 2003, terjadi insiden duel udara antara pesawat tempur F-16 TNI AU dengan pesawat tempur F-18 Hornet milik Angkatan Laut AS yang menggunakan pangkalan kapal induk US Carltington, 2 fregat dan 1 destroyer yang berlayar diantara pulau Madura dan pulau Kangean menuju selat Lombok atau ALKI 2. Insiden ini terjadi akibat dari kurangnya jumlah kapal yang kita miliki, dan juga belum maksimalnya Alut Sista. Padahal ALKI itu tidak boleh digunakan untuk kepentingan manuver militer melainkan hanya untuk lintas perdagangan. Kalaupun yang melintas di ALKI itu adalah kapal militer, maka mereka
15 pebruari - 14 MARET 2013
hanya boleh melakukan lintas laut dan mereka juga harus mengkoordinasikan hal itu kepada Kemhan dan Mabes TNI. Sebagaimana diketahui, bahwa masuknya senjata-senjata ilegal yang kemudian beredar di Poso dan Ambon pada saat terjadinya kerusuhan disana, semuanya dilakukan melalui laut dan kemudian di kirim ke darat. Senjata-senjata illegal ini diangkut melalui sejumlah jalur laut dan juga darat. Jalur pertama misalnya, dimulai dari Sabah kemudian masuk ke Tarakan dan Nunukan kemudian melakukan lintas laut untuk masuk ke Palu. Selanjutnya melalui jalur darat dari Palu masuk ke Poso. UUD 1945 mengamanatkan bahwa cita-cita nasional adalah terciptanya masyarakat yang adil dan makmur, namun demikian selama 67 tahun kemerdekaan RI, proses pembangunan yang dilaksanakan kurang mengoptimalkan potensi sumber daya laut dan pesisir, walaupun kawasan pesisir sangat potensial. Pemerintah lebih memprioritaskan pembangunan dan pemanfaatan potensi sumber daya yang ada di wilayah darat. Tentunya menjadi sebuah pertanyaan mengapa Indonesia disebut sebagai negara agraris, padahal 2/3 wilayahnya adalah berupa lautan. Sebetulnya Indonesia adalah negara maritim jika dilihat pada orientasi aspek geografi, sedangkan sebagai negara agraris orientasinya adalah aspek iklim, dimana pada saat musim kemarau kita paceklik dan pada musim hujan kita menanam. Ilustrasi tersebut dapat juga
No. 61 Tahun VI
Belum optimalnya pelaksanaan tugas pertahanan dan keamanan di wilayah laut diantaranya dikarenakan keterbatasan fasilitas serta sarana dan prasarana pengamanan laut. Namun demikian, kedepan kita berharap Indonesia bisa menjadi sebuah negara maritim yang tangguh dengan postur pertahanan negara yang ideal sesuai dengan Renstra Pertahanan Negara Tahap III yang akan selesai pada 2020-2024, yaitu tercapainya kebutuhan pokok minimal.
menjadi argumen kurang optimalnya dukungan untuk pengamanan wilayah yurisdiksi laut Indonesia sehingga sumber daya laut yang melimpah hanya menjadi lumbung bagi nelayan asing. Apabila pengamanan wilayah laut Indonesia terjamin atau pengamanan wilayah laut yurisdiksi Indonesia kuat, maka kondisi tersebut tentunya dapat menekan tindak kegiatan illegal di lautan Indonesia dan akan berdampak positif pada keamanan wilayah darat. Selain itu UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya pasal 8, yaitu mengenai tugas-tugas TNI AD, TNI AL dan TNI AU, menyebutkan bahwa TNI AD diantaranya hanya bertugas menjaga keamanan wilayah perbatasan darat dengan negara lain dan melaksanakan pemberdayaan wilayah perbatasan darat. TNI AL diantaranya bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan hukum nasional dan internasional yang telah diratifikasi. TNI AL juga memiliki spesifikasi tugas, yaitu melaksanakan tugas diplomasi Angkatan Laut dalam rangka mendukung kebijakan luar negeri Pemerintah. Jadi ketika kapal TNI AL berlayar di perairan internasional, maka dia sudah menjadi wakil Indonesia di perairan internasional. Sementara itu kalau ada nelayan-nelayan Indonesia
yang keluar dari wilayah Indonesia dan akan ditangkap oleh keamanan laut negara lain mereka bisa lari ke kapal TNI AL untuk mendapatkan perlindungan. Karena ketika mereka naik ke kapal TNI AL, itu berarti bahwa mereka sudah masuh ke wilayah RI. Dalam hal ini, kapal TNI AL yang berada di laut internasional sama halnya dengan kantor Kedubes RI di darat. Sedangkan TNI AU diantaranya bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan udara di wilayah yurisdiksi nasional sesuai dengan hukum nasional dan internasional yang telah diratifikasi. TNI AU hanya bisa menjaga keamanan wilayah udara tanpa bisa memeriksa pelanggaran yang terjadi di udara, sementara TNI AL selain menjaga keamanan wilayah laut juga bisa langsung melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran yang terjadi di laut. Tugas-tugas yang dilakukan oleh TNI AD, TNI AL dan TNI AU tersebut dilaksanakan secara terpadu. Dimana dalam melaksanakan tugasnya, TNI tidak hanya melakukan tugas dalam aspek fisik melainkan juga aspek non-fisik yang berpengaruh terhadap gelar kekuatan fisik. Belum optimalnya pelaksanaan tugas pertahanan dan keamanan di wilayah laut diantaranya dikarenakan keterbatasan fasilitas serta sarana dan prasarana pengamanan laut. Namun demikian, kedepan kita berharap Indonesia bisa menjadi sebuah negara maritim yang tangguh dengan postur pertahanan negara yang ideal sesuai dengan Renstra Pertahanan Negara Tahap III yang akan selesai pada 20202024, yaitu tercapainya kebutuhan pokok minimal. Sedangkan aksi nyata yang perlu dilakukan, diantaranya adalah penyelesaian sengketa batas melalui upaya diplomasi oleh Kementerian Luar Negeri. Optimalisasi pemberdayaan masyarakat pesisir oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selain itu Kemenko Polhukam juga diharapkan agar lebih mengefektifkan koordinasi dengan Bakorkamla, dan pelaksanaan patroli terpadu antara TNI AL dan TNI AU.[]
17
Diplomasi TABLOID
lensa
Media Komunikasi dan Interaksi
Menjual Soft Power Melalui International Diplomatic Training Dr. Pribadi Setiono
dok. Diplomasi
Direktur Sesparlu
Sesparlu merupakan jenjang pendidikan diplomat tertinggi di Kementerian, dan oleh karena itu yang kita lakukan sekarang ini, intinya adalah bagaimana kita dapat mengasah potensi masingmasing, khususnya para pejabat senior, untuk menjadi seorang diplomat yang mumpuni. Artinya, bahwa kita sudah tidak mungkin lagi untuk merubah karakter seseorang, melainkan hanya mempersiapkan seseorang untuk menjadi manajer yang kuat di level menengah.
18
Metode yang digunakan di Sesparlu, diantaranya adalah bagaimana mereka bisa memperluas jaringan dan wawasan. Memperluas jaringan ini sangat penting bagi mereka yang berada di posisi middle management, dimana pada intinya kita ingin menciptakan seorang pejabat yang bukan hanya seorang birokrat, melainkan pejabat yang bisa menjadi birokrat dan juga orang swasta. Kita ingin agar mereka memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai birokrasi dan juga memiliki kemampuan sebagai seorang pejabat negara di level middle management yang bisa merambah kemana-mana. Kemampuan ini penting karena sangat membantu mereka untuk menjadi seorang diplomat yang unggul. Saat ini Pusdiklat Kemlu RI telah dijadikan model atau contoh oleh beberapa negara, baik di Asia, Eropa Timur maupun Timur Tengah. Salah satu program yang kita miliki adalah International Diplomatic Training, dimana selain bertujuan untuk menjual mengenai Indonesia, kita juga bisa menjual soft power Indonesia ke luar negeri dalam bentuk pendidikan diplomatik. Sebagaimana diketahui, tidak banyak negara yang memiliki program pendidikan diplomatik, dan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki program pendidikan diplomatik secara lengkap, khususnya di tingkat senior. Selanjutnya kita juga mempersiapkan para diplomat agar memiliki kemampuan untuk menjalin networking, karena sebagai pejabat di instansi mereka harus menguasai wawasan dan memiliki banyak teman untuk mempermudah pekerjaan mereka. Selama ini kita juga mengundang peserta training dari ASEAN, ASEAN plus Three dan Mitra Dialog ASEAN, seperti misalnya diplomat dari China, Jepang, India, Inggris, AS dan Australia. Mereka mengikuti pendidikan selama sekitar dua minggu dan belajar mengenai
Indonesia, baik mengenai politik luar negeri maupun budaya Indonesia, dan juga bertukar pengalaman mengenai kediplomatan. Melalui training ini kita dapat menjual keberhasilan-keberhasilan Indonesia, seperti misalnya penyelenggaraan Interfaith Dialogue, Bali Democracy Forum dan sebagainya. Semuanya itu kita perkenalkan kepada mereka, kita sampaikan bagaimana Indonesia bisa seperti itu, kenapa para diplomat Indonesia bisa dan memiliki kemauan untuk menjadi bridge builder. Semua itu hanya bisa diketahui apabila mereka mengetahui Indonesia secara mendalam. Terkadang memang dari publik kita sendirilah yang suka mempertanyakan kenapa Indonesia membuat program-program semacam itu yang seolah-olah hanya buangbuang uang saja. Padahal melalui program-program tersebut seseorang bisa memberikan wawasannya yang lebih luas kepada orangorang lainnya tentang Indonesia melalui ke-diplomasi-an. Kalau ada yang mengatakan bahwa baru sekarang ini Indonesia memiliki peran di dunia internasional, itu adalah pandangan yang keliru. Sejak dari jaman kemerdekaan Indonesia sudah memiliki peran di dunia internasional. Kita bisa melihat, negara mana yang bisa memaksa negara besar seperti AS untuk mau berunding, misalnya mengenai masalah Irian Barat. Negara mana yang bisa mengkonfrontir antara Uni Soviet dan AS ketika itu, sehingga permasalahan perundingan Irian Barat menjadi isu internasional. Indonesia bahkan bisa membuat PBB mengeluarkan mandat kepada Indonesia untuk melakukan jajak pendapat di Irian Barat. Itu tidak lain karena kepiawaian Indonesia, dan sejarah telah menunjukkan bahwa diplomasi Indonesia memang cukup canggih. Itu semua harus kita ketahui, dan karena itu pulalah maka membangun jaringan menjadi hal yang penting
di Sesparlu. Sekarang ini, diplomasi itu bukan hanya apa yang dilakukan oleh para diplomat dan birokrat. Karena itulah maka kita yang secara profesi di didik menjadi seorang diplomat harus bisa memasarkan temanteman kita yang bukan diplomat untuk menjadi diplomat karena mereka bisa membantu kita. Sesparlu tidak ingin menciptakan, apa yang saya istilahkan dengan ‘diplomat kebatinan’, yaitu diplomat yang hanya bisa membatin saja, melainkan seorang diplomat yang aktif keluar serta memiliki perencanaan dan visi yang jauh kedepan. Saat ini sudah bukan jamannya lagi seorang diplomat hanya melaksanakan pekerjaan di belakang meja. Kita harus menghapus mentalitas amtenir, menciptakan pola berfikir dan bertindak sebagai seorang diplomat dan juga meningkatkan kemampuan bahasa. Oleh karena itulah maka materi pelajaran yang diberikan di Sesparlu lebih banyak berupa praktek, seperti praktek bernegosiasi, bagaimana menghadapi media, menghadapi pihak non-pemerintah atau swasta, dan sebagainya. Sesparlu bahkan memiliki program intensif di perusahaan-perusahaan swasta untuk mengetahui dan belajar tentang bagaimana cara orang swasta mengambil suatu keputusan dan menerapkan strategi. Angkatan terakhir peserta International Diplomatic Training berasal dari 15 negara (ASEAN dan Mitra Dialog ASEAN), diantaranya dari China, Jepang, Korea, Kanada, Australia, AS dan Rusia. Pada umumnya para peserta training sangat senang karena mereka bisa mendapatkan ilmu dari Indonesia, sebuah negara yang memiliki peran cukup banyak di dunia internasional, apakah itu dalam kapasitas sebagai anggota G-20, penggagas BDF dan sebagainya. Mereka pada umumnya ingin mengetahui Indonesia lebih jauh dan bahkan merasa takjub dengan berbagai inisiatif yang dilakukan oleh Indonesia.
No. 61 Tahun VI
15 pebruari - 14 MARET 2013
Diplomasi TABLOID
kawasan
Media Komunikasi dan Interaksi
15 pebruari - 14 MARET 2013
Kerjasama Teknis
Siti Nugraha Mauludiah Direktur Kerjasama Teknis
berbagai program peningkatan kapasitas negara-negara berkembang di Asia-Pasifik dan Afrika. Diantaranya di : Afghanistan, Aljazair, Bangladesh, Brunei Darussalam, Kamboja, China, Ethiopia, Fiji, India, Iran, Jepang, Kenya, Kiribati, Laos, Madagaskar, Malaysia, Myanmar, Mozambik, Namibia, Nepal, Nigeria, Palau, Pakistan, Papua Nugini, Samoa, Kepulauan Solomon, Afrika Selatan, Korea Selatan, Sri Lanka, Sudan, Tanzania, Thailand, Filipina, Timor Leste, Tuvalu, Uganda, Vanuatu, Vietnam, Zimbabwe dan Zambia. Pada tahun 2012 lalu, berbagai program yang dilakukan melalui Forum Kerjasama Selatan-Selatan di Indonesia, diantaranya adalah; Mempromosikan best practices dari Indonesia, dilaksanakan di Jakarta, April 2012; Program Pelatihan tentang Pengelolaan Air, di Jakarta
dan Jawa Barat, pada bulan April 2012; Workshop Penguatan Kerjasama Teknis melalui Mekanisme Kerjasama Pemerintah-Swasta, di Jakarta, April 2012; Pelatihan Internasional tentang Teknologi Pasca Panen pada Buah dan Sayuran, di Lembang, Jawa Barat, April 2012; Diseminasi Pelaksana Fasilitas Agen untuk Mitra Pembangunan, di Yogyakarta, April 2012; Program Pelatihan Internasional tentang Perikanan untuk Negara MSG, di Sidoarjo, Jawa Timur, Mei 2012. Program Pelatihan Internasional Perikanan Budidaya Air Tawar untuk negara-negara Asia, Pasifik dan Afrika, di Jakarta dan Jawa Barat, Mei 2012; Program Pelatihan Internasional mengenai Infrastruktur untuk Afghanistan, Mei 2012; Lokakarya Perlatihan Internasional tentang Sektor UKM pada Produksi Rumput Laut untuk Fiji di Suva, Fiji,
program kerjasama teknis yang dijalankan oleh Kemlu menekankan pada program pembangunan propelling yang ber-orientasi pada tindakan, pragmatisme, dan realitas. Dari sejak awal berdirinya, Direktorat Kerjasama Teknis telah bekerjasama dengan kementerian, organisasi internasional, LSM, dan lembaga-lembaga lainnya serta telah melaksanakan berbagai program peningkatan kapasitas negara-negara berkembang di Asia-Pasifik dan Afrika.
No. 61 Tahun VI
September 2012; Program Pelatihan Internasional mengenai dukungan TIK untuk Pembangunan UKM Palestina, di Bandung, Jawa Barat, September 2012; Program Pelatihan Internasional mengenai Perikanan untuk Sudan, di Tegal, Jawa Tengah, Oktober 2012; Lokakarya Internasional tentang Manajemen Sumber Daya Energi dan Mineral untuk Myanmar, di Jakarta, November 2012. Sedangkan untuk memperkuat kerjasama antar negara dan meningkatkan pembinaan persahabatan antar masyarakat, berbagai program yang akan dilakukan sepanjang tahun 2013 diantaranya adalah : Seminar Nasional tentang Penguatan Kerjasama SelatanSelatan melalui Program Kerjasama Teknis Terpadu; Kerjasama SelatanSelatan di Forum Indonesia; Workshop Penguatan Kerjasama Teknis Melalui Mekanisme Kerjasama Pemerintah-Swasta; Pelatihan untuk Trainer, yaitu berupa pelatihan Bahasa Inggris bagi Lembaga-Lembaga Pelaksana guna mendukung kapasitas kerjasama Selatan-Selatan; Program Pelatihan Internasional tentang Keuangan Mikro untuk Palestina; Workshop Internasional tentang Demokratisasi dan Transisi Demokrasi di negara-negara Timur Tengah; Program Pelatihan Internasional mengenai mekanisasi dan pengelolaan air untuk pertanian lahan kering di negara-negara Afrika; Lokakarya Pelatihan Internasional tentang Manajemen Risiko Bencana; Program Pelatihan Internasional tentang Perikanan untuk negara-negara anggota APEC; Program Pelatihan Internasional tentang Perikanan untuk negara-negara Pasifik; Dispatch Expert untuk negaranegara Asia, Dispatch Expert untuk pengembangan kapasitas negaranegara Pasifik, Program Pelatihan Internasional tentang Infrastruktur untuk Afghanistan; dan Workshop Internasional tentang Demokratisasi Myanmar.
19
Dok. Diplomasi
Meningkatkan Kemitraan Antar Negara dok. Diplomasi
Indonesia memutuskan untuk mempromosikan kerjasama teknis sebagai salah satu cara dan sarana untuk meningkatkan kemitraan antar negara. Melalui berbagai usaha dalam rangka kerjasama teknis, diharapkan peserta akan memiliki kesempatan untuk melakukan pertukaran informasi, pengalaman, serta praktek-praktek terbaik dalam pengolahan lahan pertanian untuk budidaya tanaman, serta membangun jaringan yang solid antara Indonesia dan negara-negara peserta. Untuk tujuan ini, sejak awal tahun 2006 Kementerian Luar Negeri RI mendirikan Direktorat Kerjasama Teknis untuk melaksanakan berbagai program dimana negara-negara berkembang lainnya dapat meningkatkan kapasitas mereka, menghargai pentingnya persahabatan antar negara, dan memungkinkan masyarakat di seluruh kawasan untuk lebih memahami budaya dan tradisi Indonesia. Direktorat Kerjasama Teknik didirikan dengan tujuan untuk memperkuat dan memperluas kerjasama teknis Indonesia dalam konteks pembangunan dan kerja sama internasional. Dalam hal ini Direktorat Kerjasama Teknik bertanggung jawab untuk mempromosikan kerjasama teknis di berbagai bidang, termasuk politik, keamanan, ekonomi, keuangan, lingkungan, pembangunan, sosial-budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Visi Kementerian Luar Negeri terkait kerjasama teknis ini adalah; menjadikan kerjasama teknik Indonesia sebagai instrumen penting untuk mendorong kemitraan dan mempercepat pembangunan di negara-negara berkembang. Sedangkan misi di dalam kerjasama teknis ini adalah bekerjasama dan membantu negara-negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas mereka melalui kerjasama teknis guna mempercepat pembangunan. Dalam hal ini, program kerjasama teknis yang dijalankan oleh Kemlu menekankan pada program pembangunan propelling yang berorientasi pada tindakan, pragmatisme, dan realitas. Dari sejak awal berdirinya, Direktorat Kerjasama Teknis telah bekerjasama dengan kementerian, organisasi internasional, LSM, dan lembaga-lembaga lainnya serta telah melaksanakan
Diplomasi TABLOID
sosok
Media Komunikasi dan Interaksi
Duta Besar Hazairin Pohan, SH, MA.
PERNAH BERCITA-CITA
JADI LAWYER
dok. Diplomasi
Duta Besar kelahiran Pematang Siantar ini mendapatkan kepercayaan untuk menjabat sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kemlu RI pada 2012 lalu. Kepiawaiannya dalam berdiplomasi, memang tidak perlu diragukan, ini dibuktikan dengan pengalamannya sebagai Ketua Delegasi RI di lebih dari 200 perundingan bilateral dan multilateral. Sebelum menjabat sebagai Kepala Pusdiklat Kemlu, diplomat yang tengah menyusun tiga buah buku mengenai diplomasi ini sempat menjabat sebagai Direktur Eropa Tengah dan Timur pada 2002-2006. Selanjutnya pada periode 2006-2010, beliau dipercaya mengemban tugas sebagai Duta Besar RI untuk Polandia, dimana
20
atas prestasi kerjanya, diplomat penggemar olah raga renang dan golf ini dianugerahi Tanda Kehormatan “Krzyz Komandorski Orderu Zaslugi Rzeczypospolitej” atau “Commander’s Cross of the Order of Merit of the Polish Republic”. Pengalaman kerja di perwakilan yang pernah dijalani oleh alumnus Sekdilu Angkatan VII ini adalah Staf Bidang Politik di KBRI Moskow, Kabid Politik di KBRI Sofia dan Kepala Bidang Politik I di PTRI New York. Duta Besar yang hobby mengajar ini sebetulnya bercita-cita ingin menjadi lawyer, tapi perjalanan hidupnya berkata lain, dan malah membawanya menjadi seorang diplomat. Dalam hal pekerjaan, ayah dari empat anak ini tampaknya memang mengikuti jejak
”... cukup banyak yang harus dibenahi dalam diplomasi Indonesia, dan pembenahan itu harus diawali dari Pusdiklat sebagai institusi pendidikan dan pelatihan bagi para diplomat.”
orang tuanya. Ayahnya adalah seorang wartawan dan juga guru yang kemudian mendirikan sekolah sendiri. Duta Besar Hazairin Pohan juga sempat menjadi wartawan muda yang menonjol pada era tahun 75-76, namun karena dunia media saat itu belum berkembang seperti sekarang ini, maka ia lebih memilih profesi sebagai diplomat. Namun demikian kegiatan menulis tetap dilakukan sampai sekarang melalui blog pribadinya, disamping juga aktif di media sosial twitter dengan hampir 2000 follower. Kegiatan mengajar sudah dilakukan oleh diplomat yang suka nge-band ini sejak tahun 1990, diantaranya di Lemhanas dan berbagai perguruan tinggi, baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam aktivitas mengajarnya, ada sekitar 15-17 mata kuliah yang ia berikan di berbagai perguruan tinggi. “Selain memang hobby bagi saya juga ada semacam passion dalam mengajar, saya memang memiliki perhatian dan concern terhadap dunia pendidikan dan pengembangan SDM” kata Duta Besar Hazairin Pohan. Lebih lanjut Duta Besar Hazairin Pohan mengungkapkan bahwa dirinya menjadi diplomat karena terlanjur kecemplung, dan sebetulnya ia lebih menikmati pekerjaan se-
bagai wartawan. “Memilih menjadi diplomat karena saya pikir merupakan suatu profesi yang sangat menantang dan memberikan tempat untuk suatu opportunity” ungkap jebolan Fakultas Hukum Universitas Sumatera ini. Menurut Duta Besar yang meraih gelar masternya di University of Washington, Seattle, AS ini cukup banyak yang harus dibenahi dalam diplomasi Indonesia, dan pembenahan itu harus diawali dari Pusdiklat sebagai institusi pendidikan dan pelatihan bagi para diplomat. Kerena itu Duta Besar Hazairin Pohan tengah mengupayakan agar Pusdiklat memperoleh akreditasi secara nasional, sehingga dengan demikian Pusdiklat tidak lagi hanya untuk kepentingan Kemlu RI melainkan sebagai Pusdiklat tingkat nasional yang berada di Kemlu. “Saya akan menjadikan Pusdiklat Kemlu menjadi Pusdiklat Nasional di bidang kebijakan dan hubungan luar negeri. Oleh karena itu, paling tidak saya harus menyelesaikan grand design Pusdiklat sebagai salah satu institusi kebanggaan nasional yang berfungsi memberikan suatu empowerment, tidak saja kepada para diplomat tetapi juga seluruh stakeholder.” Jelas Duta Besar Hazairin Pohan. Saat ini, Kepala Pusdiklat yang gemar minum kopi ini sedang menyusun suatu sistem yang kedepannya akan menjadikan Pusdiklat tidak lagi terlalu bergantung pada siapa Kapusdiklatnya. Disamping juga mengembangkan dua fungsi pokok Kemlu, yaitu sebagai koordinator dan pelaksana politik luar negeri. Kepada para diplomat muda, Duta Besar Hazairin Pohan mengingatkan bahwa nantinya mereka akan menjadi leader dimana perjuangan diplomasi Indonesia masih belum selesai, perjuangan diplomasi Indonesia masih panjang dan para diplomat harus mampu memberikan suatu kontribusi nyata bagi pembangunan nasional. Oleh karena itulah maka para diplomat, khususnya diplomat muda Indonesia, masing-masing harus meningkatkan kapasitas dirinya sendiri. []
No. 61 Tahun VI
15 pebruari - 14 MARET 2013
Diplomasi TABLOID
diaspora
Media Komunikasi dan Interaksi
peran diaspora bagi kemajuan negara Duta Besar M. Wahid Supriyadi Staf Ahli Menlu Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya dok. Diplomasi
”.... Indonesia bisa lebih mengembangkan pembangunan jika kita mampu mengoptimalkan kontribusi diaspora Indonesia.“
Pengalaman China dan India itu bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia bila ingin menarik kaum diaspora untuk berperan dalam membangun Tanah Air. Dalam hal ini, perlu perubahan pola pikir dan cara pandang terhadap kaum diaspora Indonesia. Mereka yang tinggal dan berkarya di negeri orang adalah aset yang dapat memberi manfaat besar bagi Tanah Air. Mereka tetap nasionalis jika tetap menjalin silaturahim, kerja sama, dan sinergi untuk membangun negeri. Pada era globalisasi dan informasi sekarang, migrasi kalangan terdidik dari negara berkembang ke berbagai negara maju (brain drain) sudah menjadi tren. Laporan Pembangunan Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pun menyebutkan bahwa pola migrasi manusia sudah menjadi tren demografi global abad 21. Kita tidak perlu menghambat migrasi warga Indonesia ke berbagai belahan dunia. Yang penting bagaimana mengelola kaum diaspora Indonesia yang memiliki potensi besar itu agar memberi manfaat optimal bagi pembangunan bangsa dan negara. Kita sebenarnya agak terlambat dalam melakukan pengembangan diaspora Indonesia, karena cukup banyak negara yang sudah lama memanfaatkan diaspora mereka untuk mengembangkan pembangunan di negara mereka masing-
15 pebruari - 14 MARET 2013
masing. Contoh kontribusi dan peran diaspora yang paling kentara adalah diaspora Israel, dimana mereka mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi parlemen AS. Diaspora negara-negara lain yang cukup berhasil diantaranya adalah diaspora China, India dan Meksiko. Negaranegara tersebut memiliki semacam lembaga setingkat kementerian yang khusus menangani masalah diaspora. Sedangkan di Indonesia, pengembangan diaspora ini baru pada tahap pembentukan Desk Diaspora. Tetapi sebagai embrio, Desk Diaspora sudah cukup memadai, dimana Desk Diaspora ini akan bertugas memfasilitasi teman-teman yang berada di luar negeri, dimana saat ini mereka telah membentuk Indonesia Diaspora Network (IDN), yaitu sebuah asosiasi komunikasi melalui jaringan internet. Saat ini sudah ada beberapa IDN yang terbentuk, khususnya di AS, dimana strukturnya adalah yang paling lengkap. IDN juga sudah mulai aktif di Belanda, dimana mereka bahkan memiliki tim khusus yang secara teknis membantu didalam penataan tata kota dan penanggulangan banjir. Kebetulan bahwa ada warga negara kita disana yang memang ahli di bidang tersebut dan mempunyai semacam proposal mengenai bagaimana mengatasi banjir. Penanganan tata kota dan
No. 61 Tahun VI
permasalahan banjir ini memang menjadi salah satu fokus kita. IDN juga sudah berdiri di Thailand, Qatar dan beberapa negara di Afrika, dan kita harapkan nantinya akan berkembang menjadi sebuah jaringan global diaspora Indonesia. Dalam waktu dekat, yang akan kita lakukan adalah menyelenggarakan Kongres Diaspora II, yaitu pada tanggal 18-19 Agustus 2013 di Jakarta. Sekarang ini kita tengah mencari topik-topik yang akan dibicarakan pada Kongres Diaspora II tersebut, dimana kita juga telah sepakat bahwa diaspora Indonesia bukan lagi hanya menjadi semacam paguyuban, yang paling tinggi hanya sampai kepada kegiatan festival dan sudah selesai. Kita sepakat bahwa diaspora Indonesia akan memberikan kontribusi secara nyata pada pembangunan Indonesia. Dalam hal ini sebenarnya diaspora memiliki dua sisi. Satu sisi adalah diaspora sebagai beneficiary dan sisi lainnya adalah apa yang kita tawarkan kepada mereka. Jadi ini bersifat dua arah, dimana kita mengharapkan suatu kontribusi dari mereka dan apa yang kita tawarkan kepada mereka. Jadi sama halnya dengan yang dilakukan oleh negara-negara lain, dimana yang paling banyak mengemuka di media adalah mengenai kewarganegaraan dan pemilihan di luar negeri. Banyak sektor yang tentunya dapat dikontribusikan oleh diaspora Indonesia ini, misalnya dalam perekrutan dan pengembangan kapasitas tenaga kerja Indonesia di luar negeri, karena banyak dari mereka yang berprofesi sebagai dosen dan pakar di universitas ternama, dan lain sebagainya. Sekarang ini juga sudah ada organisasi yang mengatasnamakan diaspora Indonesia, misalnya Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia, dan Indonesia Central Brain Network. Para anggota dari organisasi-organisasi semacam ini adalah orang-orang yang memiliki kualifikasi keahlian yang luar biasa yang selama ini belum diakomodir oleh kita. Jadi memang banyak sekali
kegiatan positif dan juga manfaat yang bisa kita ambil dari diaspora Indonesia ini, dimana pada pelaksanaan kongres kedua nanti diharapkan sudah ada aksi positif dan juga investasi, karena sudah cukup banyak keinginan diaspora Indonesia untuk melakukan kegiatan bisnis dan investasi. Untuk itu kita harus membuat treatment khusus untuk bisa me ngadopsi potensi yang ada tersebut. Dalam hal ini kita sudah meminta seluruh perwakilan untuk melakukan mapping database diaspora Indonesia secara lebih rinci terkait dengan keahlian dan potensi yang mereka miliki. Dalam hal ini ada berbagai cara yang dilakukan, karena perwakilan tentu akan menemui kesulitan dalam hal mendata orang Indonesia yang sudah menjadi WNA, namun dengan perkembangan internet sekarang ini, mereka sudah bisa saling mengetahui. Pemetaan potensi ini nantinya akan mengarah kepada berbagai sektor yang akan kita garap, namun kita tidak ingin hal ini terkesan sebagai top down. Kita juga sudah memiliki matriks yang mengerucut kepada topik-topik yang akan kita bahas bersama mereka, karena bagaimanapun yang lebih mengetahui dilapangan dan bagaimana tingkat kemampuan dan keahlian yang dimiliki, tentunya adalah mereka sendiri. Kita bisa melihat bahwa keberhasilan Vietnam dalam pembangunan adalah berkat diaspora mereka, yang dalam beberapa hal bahkan sudah mulai menyalib Indonesia. Kita juga bisa melihat bagaimana peran dispora China, India dan Meksiko dalam mengembangkan negara mereka. Indonesia bisa lebih mengembangkan pembangunan jika kita mampu mengoptimalkan kontribusi diaspora Indonesia, apalagi diaspora Indonesia dikenal memiliki nasionalisme yang tinggi, karena kita sudah menggemakan Sumpah Pemuda untuk berbangsa, bertanah air dan berbahasa Indonesia pada 1928 atau 17 tahun sebelum negara ini merdeka. []
21
Diplomasi TABLOID
kawasan
Media Komunikasi dan Interaksi
Majukan Kepentingan Nasional
Melalui Keketuaan APEC 2013 Indonesia telah memajukan kepentingan nasional dalam forum APEC pada rangkaian pertemuan SOM 1 APEC 2013 yang diselenggarakan pada tanggal 25 Januari sampai dengan 7 Februari 2013 di Jakarta. Sebagai Ketua APEC 2013, Indonesia memiliki tujuan untuk memajukan investasi infrastruktur, memberdayakan kelompok penting yang memiliki potensi bagi pertumbuhan pembangunan ekonomi nasional seperti UKM, wanita dan petani, serta memastikan agar pasar kawasan Asia Pasifik tetap terbuka bagi ekspor produk Indonesia. Dalam rangkaian pertemuan tersebut, sembilan proposal Indonesia memperoleh dukungan yang positif. Pertama, mensinergikan proses kerja sama terkait perdagangan dan investasi di APEC 2013 dengan proses penyiapan Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization (WTO) ke-9 di Bali, Desember 2013. Kedua, membangun kerangka konektivitas melalui konektivitas fisik, konektivitas institusi, dan people-to-people connectivity di Asia Pasifik. Ketiga, Mengembangkan kerja sama pembangunan dan investasi infrastruktur melalui kemitraan pemerintah dan dan swasta (publicprivate partnership). Keempat, pengarusutamaan isu-isu kelautan di APEC di berbagai lingkup kerja sama, yaitu ketahanan pangan, konektivitas, perdagangan hasil-hasil laut yang berkelanjutan, transportasi yang ramah lingkungan dan pariwisata bahari. “Kerja sama ini ditujukan untuk mendukung pencapaian pertumbuhan yang inklusif, peningkatan pendapatan dan lapangan pekerjaan, utamanya bagi kelompok rentan, termasuk para nelayan, yang seimbang dengan upaya menjaga kelestarian laut”, jelas Dirjen Yuri O Thamrin dalam press conference kepada wartawan. Kelima, kesiapsiagaan bencana melalui pelaksanaan studi/kajian dalam upaya memfasilitasi perjalan-an dan barang disaster respon-
22
dok. infomed
Para Pejabat Senior APEC dalam pelaksanaan SOM I APEC 2013 di Jakarta
der pada saat terjadinya bencana, dari perspektif imigrasi dan kepabeanan. Keenam, peningkatan kerja sama pendidikan antar ekonomi APEC untuk meningkatkan mobilitas para pelajar, akademisi, dan peneliti di kawasan Asia Pasifik. Ketujuh, peningkatan peran dan kapasitas petani dalam ketahanan pangan global melalui kemitraan pemerintah, pihak swasta dan petani. Kedelapan, kerja sama di bidang kesehatan yang mencakup pengembangan sistem kesehatan yang berkelanjutan, mendorong penggunaan obat-obatan tradisional dan pendanaan kesehatan. Kesembilan, kerja sama di bidang sains, teknologi dan inovasi melalui penyelenggaraan pertemuan Chief Science Advisor di bulan Juni/Juli 2013 di Medan. Pertemuan tersebut diketuai bersama oleh Indonesia dan Selandia Baru, dan melibatkan pemerintah, pelaku bisnis dan akademisi. Pada rangkaian pertemuan SOM 1 APEC 2013 ini pula telah terlaksana 31 pertemuan dari 26 subfora dan komite APEC, 4 workshops, 3 Policy Dialogue, 13 pertemuan bilateral, trilateral, dan quadrilateral yang diikuti oleh Indonesia serta
60 pertemuan antara para Ekonomi APEC. SOM 1 APEC 2013 dihadiri lebih dari 1300 delegasi dari 21 Ekonomi APEC. Diantara pertemuan tersebut, Indonesia menjadi Ketua untuk pertemuan-pertemuan Policy Partnership on Food Security (PPFS), Group on Services (GOS), Anti-Corruption and Transparency Working Group (ACTWG), Sub-Committee on Customs Procedures (SCCP), dan Counter-Terrorism Task Force (CTTF). Rangkaian Pertemuan APEC 2013 Pada Keketuaan Indonesia Rangkaian pertemuan lanjutan APEC masih akan berlangsung hingga Oktober 2013 nanti. Beberapa kota besar di Indonesia akan menjadi tuan rumah Pertemuan APEC di berbagai level. Beberapa pertemuan lanjutan APEC yang akan dilangsungkan di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. SOM 2 di Surabaya, 6-19 April 2013 2. SOM 3 di Medan, 22 Juni – 6 Juli 2013 3. Ministers Responsible for Trade (MRT) di Surabaya, 20-21 April 2013 4. Small and Medium Enterprises Ministerial Meeting (SMEMM) di Bali, 7 September 2013
5. High Level Policy Dialogue on Women and the Economy di Bali, 7 September 2013 6. Joint Ministerial Level Meeting on Women and SME di Bali, 7 September 2013 7. Finance Ministers’ Meeting (FMM) di Bali, 20 September 2013 8. APEC Economic Leaders’ Week di Bali, 1-8 Oktober 2013, terdiri dari: a. Concluding SOM (CSOM), 1-2 Oktober 2013 b. APEC Ministerial Meeting (AMM), 4-5 Oktober 2013 c. APEC CEO Summit, 5-7 Oktober 2013 d. ABAC Dialogue with Leaders, 7 Oktober 2013 e. APEC Economic Leaders’ Meeting (AELM)/KTT APEC 2013, 7-8 Oktober 2013 APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) yang didirikan pada tahun 1989 adalah forum kerja sama ekonomi kawasan Pacific-Rim dengan 21 anggota ekonomi. Anggota ekonomi APEC adalah Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Chile, China, Indonesia, Jepang, Republik Korea, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Papua Nugini, Peru, Filipina, Rusia, Singapura, Thailand, Amerika Serikat, Viet Nam, Chinese Taipei, dan Hong Kong, China. Pada tahun 2010 total perdagangan Indonesia ke seluruh Ekonomi APEC adalah sebesar USD 224,3 milyar. Pada tahun 2011 total perdagangan meningkat menjadi USD 289,3 milyar, yang mencakup 75% dari total perdagangan Indonesia ke seluruh dunia pada tahun tersebut. Nilai investasi dari ekonomi APEC ke Indonesia pada tahun 2010 berjumlah 9,26 milyar dolar dan meningkat pada tahun 2011 menjadi 10,7 milyar dolar. Selain itu, pada tahun 2011, 10 dari 20 anggota ekonomi APEC terdaftar sebagai 20 investor terbesar Indonesia. (Sumber: Ditjen Aspasaf)
No. 60 Tahun VI
15 januari - 14 pebruari 2013
Diplomasi TABLOID
bingkai
Media Komunikasi dan Interaksi
Satgas Yonmek XXIII-G/UNIFIL
Pamerkan Produksi PT. Pindad (Lebanon, 8/2). Hadirnya beberapa Pejabat Tinggi dari UNIFIL (United Nations Interims In Lebanon) yang sempat mengunjungi Markas Indobatt (Indonesia Battalion) memberikan kesempatan bagi Komandan Satgas Yonmek XXIII-G/UNIFIL, Mayor Inf Lucky Avianto untuk memamerkan produk dalam negeri Indonesia. Setelah mempromosikan Seni Budaya Indonesia beberapa waktu lalu Dansatgas kini juga mempromosikan Alutsista yang digunakan oleh Indobatt dalam Misi Perdamaian di Lebanon. Beberapa diantaranya yang sempat dipamerkan yakni Kendaraan Tempur (Ranpur) jenis Anoa dan Pistol G2 yang berhasil memenangkan kejuaraan menembak kelas dunia yang kesemuanya merupakan hasil Produksi dalam negeri Indonesia melalui PT. Pindad. Bertempat di Lapangan Sukarno Markas Indobatt, Kamis (7/2)
Alutsista yang di produksi oleh PT. Pindad ini sengaja digelar dan dipamerkan kepada Kepala Staf dari Sektor Timur yakni Kolonel Bernal. Pada kesempatan tersebut Kolonel Bernal yang sempat menerima penjelasan tentang Kendaraan Tempur jenis Anoa ini juga berkesempatan untuk mengendarai dan berkeliling Markas Indobatt bersama Dansatgas. Bernal menilai Indonesia melalui Indobatt memang sudah dikenal oleh Kontingen lain tentang kesiapannya dan Alutsista yang digunakannya seperti Anoa dan Senjata yang diproduksinya sendiri dari Indonesia. Sementara menurut Dansatgas Indobatt keunggulan dari Anoa ini sudah banyak dirasakan dan diakui oleh dunia yang juga sudah banyak yang memesan Anoa tersebut, untuk itu Indonesia selain mengirim Pasukannya
Pejabat Tinggi UNIFIL mendapatkan penjelasan dari Dansatgas Yonmek XXIII Garuda mengenai senapan serbu buatan PT PINDAD
dok. Penerangan Satgas Konga XXIII-G/UNIFIL
dalam Misi Perdamaian juga dimanfaatkan oleh Dansatgas untuk mempromosikan Produk Dalam Negeri Indonesia. Sementara ditempat yang sama untuk jenis Senjata, Dansatgas memperkenalkan jenis Pistol G2. Pistol ini menurut catatan sudah berprestasi hingga tingkat dunia. Menurut Dansatgas di tahun 2012 jenis Pistol G2 ini berhasil meraih emas pada kejuaraan menembak AASAM 2012 (Australian Army Skillat Arms Meeting) yang digelar oleh Australia di setiap tahunnya dan diikuti oleh banyak Negara. Pistol yang memiliki kaliber 9x19 mm memiliki 2 tipe, yakni: Tipe Elite dan Tipe Combat yang sejak 2011 tercatat sudah 5000 unit terpesan.
Dansatgas Yonmek XXIII-G/UNIFIL mendampingi Pejabat Tinggi UNIfil melakukan peninjauan ranpur buatan pt pindad
(Sumber : Penerangan Satgas Konga XXIII-G/UNIFIL)
dok. Penerangan Satgas Konga XXIII-G/UNIFIL
15 januari - 14 pebruari 2013
No. 60 Tahun VI
23
No. 21, Tahun
Diplomasi No. 61 Tahun VI, Tgl. 15 Pebruari - 14 Maret 2013
http://www.tabloiddiplomasi.org
TABLOID
Media Komunikasi danInteraksi Interaksi Media Komunikasi dan www.tabloiddiplomasi.com
Wamenlu Terima Sertifikat UNESCO
Menlu RI : untuk Kerajinan Noken Papua Mengenang Seratus Tahun Moham terakhir, rendahnya kesadaran akan pentingnya pelestarian warisan nilai budaya yang terkandung di dalam Noken. Noken sendiri merupakan tas multifungsi yang dipergunakan oleh masyarakat Papua untuk berbagai keperluan, dari mengangkut hasil kebun hingga menggendong bayi/ anak. Di samping itu, Noken juga berfungsi sebagai aksesori pakaian tradisional Papua dan dipergunakan dalam berbagai acara/upacara seperti perkawinan, pemilihan kepala suku, menyambut tamu. Pembuatan kerajinan Noken juga memerlukan kecermatan dan cita rasa yang tinggi. Oleh karena itu, perajin Noken memiliki tempat yang istimewa di dalam masyarakat Papua. Selain Noken, masih banyak kesenian Indonesia yang saat ini sedang dibahas di UNESCO sebagai warisan budaya. Sebelumnya, Tari Saman dari Aceh juga telah masuk ke dalam daftar yang sama pada tahun 2011. Sementara itu budaya tak-benda Indonesia yang terdaftar dalam Representative List of The Intangible Cultural Heritage of Humanity adalah Angklung (2010), Batik (2009), serta Keris dan Wayang (2008). Dalam perbincangan tersebut, Wamenlu dan Dewatapri sempat membahas penyelenggaraan World Cultural in Development Forum (WCF) pertama yang rencananya akan diselenggarakan di Bali November 2013 ini. (Sumber: Dit. Sosbud OINB/Dit. Infomed/HEN/PY)
dok. infomed
Kontribusi Isla Dan Demokras Dalam Memban Indonesia Da’i Bachtiar :
Wamenlu menerima sertifikat UNESCO untuk kerajinan Noken Papua di Gedung Garuda, Kemlu RI
Wamenlu Wardana menerima sertifikat UNESCO untuk kerajinan Noken Papua dari Deputi Wakil Tetap RI (Dewatapri) untuk UNESCO Carmadi Machbub. Penyerahan sertifikat UNESCO ini dilakukan di Ruang Kerja Wamenlu di Gedung Garuda, Pejambon, (08/02). Kerajinan Noken telah disahkan masuk ke dalam List of Intangible Cultural Heritage in Need of Urgent Safeguarding UNESCO pada sidang di Paris 4 Desember 2012 lalu. “Pihak Kemlu sangat berterimakasih atas sikap pro aktif untuk mengenalkan budaya Indonesia ke dunia luar,” ujar Wamenlu kepada Dewatapri UNESCO. Wamenlu berharap, dengan semakin banyaknya
budaya Indonesia yang diakui UNESCO, citra Indonesia di mata dunia juga akan semakin meningkat. “Hal ini akan berdampak pada besarnya perhatian dunia luar kepada Indonesia”, ungkap Wamenlu Wardana. Menurut Dewatapri Carmadi Machbub, urgensi masuknya Noken ke dalam daftar warisan budaya takbenda yang patut dilestarikan antara lain disebabkan oleh, pertama, semakin sedikitnya orang, khususnya generasi muda, yang mempergunakan Noken. Masyarakat Papua, khususnya yang tinggal di wilayah perkotaan sudah semakin jarang menggunakan Noken dan lebih memilih tas
Menyelesaikan Pers TKI di Malaysia Den Kepala Dingin
modern. “Pengrajin dan pedagang hasil kerajinan Noken semakin sulit menjual produk mereka”. Kedua, semakin sulitnya mendapatkan bahan baku (serat kayu atau daun), sehingga beberapa pengrajin menggunakan benang plastik atau nilon. Hal ini dapat menghilangkan nilai budaya asli Noken itu sendiri. Ketiga, kurangnya regenerasi pengrajin Noken karena rendahnya minat generasi muda untuk mempelajari kerajinan Noken dan tidak masuknya Noken ke dalam kurikulum sekolah. Keempat, bergesernya nilai dan fungsi Noken, dari sebelumnya sebagai bagian adat dan tradisi, menjadi komoditas untuk dijual. Dan
Kebudayaan, Fondasi Memperkuat Hubunga RI - Suriname
Nia Zulkarna
“KIN
Tabloid Diplomasi dapat diakses melalui:
Direktorat Diplomasi Publik
Bagi Anda yang berminat menyampaikan tulisan, opini, saran dan kritik silahkan kirim ke:
Jalan Taman Pejambon No. 6 Jakarta 10110 Telepon : 021-3813480 Faksimili : 021-3858035
http://www.tabloiddiplomasi.org
[email protected]
Film Bertema Bulutang Pertama di Du