ISBN 978-979-18047-0-7
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PERAN BIOTEKNOLOGI BAGI KESEJAHTERAAN UMAT Diterbitkan Oleh: Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia (YMBI) Bekerjasama Dengan: Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Kosmetika (LPPOM MUI DIY)
Yogyakarta, 24 Mei 2008 I
Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia
LPPOM MUI DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PERAN BIOTEKNOLOGI BAGI KESEJAHTERAAN UMAT
Diterbitkan Oleh: Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia (YMBI) Bekerjasama dengan: Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Kosmetika (LPPOM MUI DIY)
Yogyakarta, 24 Mei 2008
ISBN 978-979-18047-0-7
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-NYA sehingga prosiding seminar nasional Peran Bioteknologi untuk Kesejahteraan Umat ini dapat tersusun sesuai dengan rencana. Seminar ini diselenggarakan untuk membuka wawasan sekaligus saling berbagi ilmu tentang bioteknologi perannya bagi kesejahteraan umat. Gelombang ilmu bioteknologi telah berkembang begitu pesat sehingga menjadi sebuah kewajiban bagi sebagian kaum muslimin untuk mampu menguasai dan mendalami ilmu ini. Pemahaman yang baik dan kerja keras diyakini menjadi salah satu kunci agar umat ini terus bergerak maju sehingga islamisasi dalam seluruh aspek kehidupan adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Seminar ini merupakan kerjasama antara Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia (YMBI) yang berkantor pusat di Jakarta dengan LPPOM MUI Yogyakarta dengan harapan kerjasama tersebut akan membawa kemanfaatan yang lebih luas atas peran ilmu bioteknologi bagi umat Islam. Prosiding terdiri dari berbagai judul dan tinjauan keilmuan yang terkait dengan bioteknologi. Pembaca dapat menemukan berbagai makalah yang bermanfaat untuk menemukan ide yang lebih cemerlang dan lebih baik. Prosiding ini tersusun atas dukungan berbagai pihak untuk itu ucapan terima kasih yang tidak terhingga disampaikan kepada : 1. Menteri Pertanian Republik Indonesia yang telah bersedia mendukung kegiatan ini sehingga dapat berjalan dengan baik. 2. Majelis Ulama Indonesia Yogyakarta khususnya LPPOM MUI Yogyakarta yang telah bersedia bekerjasama dalam penyelenggaraan seminar ini. 3. Pengurus YMBI pusat yang telah mendukung baik moril maupun materiil. 4. Seluruh panitia baik panitia pengarah maupun panitia pelaksana yang telah bekerja keras sehingga seminar ini dan penyusun prosiding dapat berjalan dengan baik. 5. Seluruh peserta yang telah berpartisipasi aktif sehingga prosiding dapat diselesaikan. Akhirnya panitia penyusun menyadari bahwa prosiding ini adalah sebagian kecil dari ilmu yang sedemikian luas bagai setetes air di lautan, namun harapannya semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca dan memacu pembaca untuk menghasilkan yang lebih baik. Yogyakarta, Mei 2008 Tim Editor ii
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i KATA PENGANTAR ................................................................................................
ii
DAFTAR ISI ..............................................................................................................
iii
SAMBUTAN KETUA YMBI:...................................................................................
v
SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN: Tanggungjawab Pemerintah untuk Menjamin Pangan Halal dan Baik, Anton Apriyantono .............................................
1
Islam, Sains dan Perguruan Tinggi, Chairil Anwar ...................................................
9
Motivasi Agama dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Achmad Mursyidi...................................................................................................................... 18 Dukungan Iptek Dalam Penentuan Halal Studi Kasus Produk Peternakan 24 ,Tridjoko Wisnu Murti……………………………………………………………. Aplikasi Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk Deteksi Kehalalan Pangan, Yuny Erwanto ............................................................................................... 35 Peran Bioteknologi pada Produksi Pangan yang Thoyib dari Bahan Lokal untuk ketahanan Pangan Nasional Yuli Witono ................................................................... 44 Penentuan Lethal Dose 50 (LD50) Asap Cair Grade 2 Pada Mencit Betina, Soesanto Mangkoewidjojo, Syarifuddin Tato, Hendry T. S. Saragih......................... 51 Distribusi Faktor Virulensi Staphylococcus aureus dari Berbagai Produk Pangan Asal Ternak, Siti Isrina Oktavia Salasia ..................................................................... 61 Kualitas Himpunan Basis STO-3G dan 3-21G Sebagai Metode Perhitungan AB Initio Senyawa Turunan Kalanon, Ponco Iswanto, Moch. Chasani dan Eva Vaulina 73 YD............................................................................................................................... Karakterisasi Enzim Kitinolitik Escherichia coli-inactive KPU 2.1.8 dari Limbah Pengolahan Udang, Miftahul Ilmi, Ekowati Chasanah, dan Wibowo Mangunwardoyo ......................................................................................................... 82 Quorum Sensing dan Pemanfaatannya dalam Pengendalian Vibriosis Pada Ikan, Murwantoko................................................................................................................ 95 Pengaruh Retardan dan Aspirin dalam Menginduksi Pembentukan Umbi Mikro Kentang (Solanum tuberosum) Secara In Vitro, Endah Wahyurini............................ 106 Reaksi Tanaman Kedelai Terhadap Pelukaan, Basuki ............................................... 115 iii
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Susu Kambing, Sunah Rasulullah Yang Telah Dilupakan, Indah Kristanti ............... 125 Pharmacokinetics Minocycline And Accumulation In Muscle Tissue After Per Oral Administrations Upon Cock Broiler (Strain Lohman), Tri Guntoro, Lukman Hakim, Irkham Widiyono......................................................................................... 131 Pengembangan Bioteknologi Untuk Pemuliaan Tananan, Endang Semiarti............ 145 Pengaruh Infeksi Cacing Ascaridia Galli Terhadap Elektrolit dan Gambaran Darah Ayam Buras (Gallus Domesticus), Bambang Ariyadi, Wihandoyo.............. 153 Pemanfaatan Kulit Trimming Untuk Produksi Gelatin Teknis Sebagai Pelapis Telur Ayam Ras, Novita Kurniawati dan Suharjono Triatmojo............................... 168 Pengaruh Penggunaan 2,4 Dichlorophenoxy Acetic Acid Dan Kinetin Untuk Proses Mikropropagasi Rumput Cenchrus Ciliaris, Nafiatul Umami……………
176
iv
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
SAMBUTAN KETUA YMBI
YMBI: Bioteknologi Dari Rakyat Untuk Rakyat Arief B. Witarto Pada tahun 1997, ketika Internet mulai dikenal masyarakat, penulis yang sedang menuntut ilmu bioteknologi di Tokyo, Jepang, merasakan pentingnya komunikasi dengan rekanrekan seprofesi di dalam dan luar negeri. Dengan bantuan seorang peneliti di Indonesia yang mengkontak peneliti di dalam negeri, terbentuklah mailing list biotek hanya dengan beberapa anggota. Waktu itu, yahoogroups dan sejenisnya belum tersedia, sehingga kami menggunakan salah satu server universitas di Tokyo dan jadilah mailing list beralamatkan di
[email protected]. Dalam perkembangannya, anggota mailing list menjadi semakin banyak, sehingga alamat berpindah ke
[email protected] dengan anggota saat ini 500-an orang, dari siswa SMA yang tertarik mencari tempat belajar biotek, pelaku bisnis biotek, peneliti biotek di perguruan tinggi dan lembaga penelitian, pejabat terkait kegiatan biotek, dsb. Mailing list ini telah berfungsi sebagai forum pertukaran informasi, dan wahana saling membantu seperti menyediakan paper PDF bagi anggota yang tidak punya akses ke versi on-line jurnal tertentu. Pada tahun 2002, setelah kembali ke Indonesia, penulis mencoba bertemu dengan rekanrekan yang selama ini berkenalan lewat dunia maya saja. Hal ini memotivasi untuk kemudian mengadakan pertemuan terbatas di antara rekan-rekan yang punya misi sama untuk mengembangkan bioteknologi Indonesia. Dari pertemuan yang sifatnya silaturahim, perkenalan di Depok oleh beberapa orang (18/12/2002), dilanjutkan pertemuan yang agak besar diselingi dengan presentasi kegiatan masing-masing peserta untuk lebih bisa saling mengenal di Bandung (10/5/2003), kemudian pertemuan serupa di Bogor (26/12/2003). Pertemuan berikutnya adalah “lompatan” penting berupa penyelenggaraan seminar nasional di Yogyakarta dengan membawa nama “Jaringan Peneliti Bioteknologi Indonesia/JPBI (Indonesian Biotechnology Researchers Network)” (30/1/2005). Seminar yang dihadiri oleh Menteri Pertanian, Anton Apriyantono sebagai salah satu anggota mailing list biotek ini, mengangkat topik bioteknologi pertanian. Sejak itu, pertemuanpertemuan berikutnya dikemas dalam bentuk seminar nasional agar lebih banyak peserta bisa hadir dan mengangkat satu topik khusus. Pada tanggal 17/9/2005, seminar berikutnya v
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
terlaksana di Purwokerto dengan topik bioteknologi kelautan. Setelah itu, seminar bioteknologi lingkungan oleh JPBI terselenggara di Solo (11/3/2006), yang disusul dengan seminar terakhir di Semarang dengan topik bioteknologi kedokteran (27/1/2007). Walaupun telah menyelenggarakan banyak seminar nasional dengan topik bioteknologi yang beragam, kami tidak merasa puas karena menjadi event organizer bukanlah tujuan kami untuk dapat “memajukan bioteknologi” secara sebenarnya. Maka dari itulah, tonggak berikutnya yang didirikan adalah pembentukan lembaga hukum agar kegiatan yang lebih penting seperti penelitian, dapat diwadahi. Dari itulah kemudian lahir Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia/YMBI (Foundation for the Advancement of Biotechnology in Indonesia) secara resmi pada tanggal 25/3/2006 dengan rencana kegiatan termasuk diseminasi informasi bioteknologi dengan seminar, penerbitan buku, dll, juga penelitian, pendidikan, dsb. Terkait dengan itu, kami pernah memberikan masukan kepada PANSUS RUU RPJPN DPR RI sebagai nara sumber untuk bidang IPTEK dengan makalah “Pembangunan Ekonomi Indonesia dengan Bioteknologi” (9/3/2006). Hari ini (24/5/2008), kota Yogyakarta kembali menjadi tonggak sejarah kami, dengan terselenggaranya kegiatan pertama YMBI berupa seminar bertopik “bioteknologi Islam”. Dari uraian di atas, mudah-mudahan dapat ditangkap bahwa YMBI sejak dari awalnya berupa JPBI adalah kegiatan “dari rakyat” yang berupa jejaring informal di dunia maya yang tidak birokratis dan dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan darat. Seperti maililing list biotek yang masih terus aktif sampai sekarang, JPBI adalah sebuah “gerakan akar rumput” yang didorong oleh kebutuhan penggiat bioteknologi sendiri, bukan titipan dan perintah dari “atas”/top down. Oleh karena itu, kami berupaya untuk menjaga independensi ini sampai kepada YMBI yang terbentuk. Pendirian YMBI sebagai sebuah organisasi berbadan hukum, tidak ingin merubah sifat JPBI yang tidak resmi tapi justru aktif itu, namun agar cita-cita memajukan bioteknologi Indonesia lebih dapat diwujudkan. Caranya yang kami siapkan adalah model pengembangan teknologi seperti di Jerman. Organisasi pengembangan IPTEK di Jerman berbasis “rakyat/masyarakat” seperti tercermin dari Max Planck Society/MPS untuk ilmu pengetahuan dan Fraunhofer Society/FS untuk teknologi. Keduanya bukanlah lembaga semacam LPND di Indonesia, tetapi adalah society yang didirikan oleh para dosen, sehingga boleh disebut semacam LSM di Indonesia. MPS dan FS sangat tangguh mengembangkan IPTEK karena terjadi sinergi – bukan persaingan tidak vi
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
sehat – antara komponen akademik-bisnis-government (ABG). Hampir semua staf dan pelaksana riset di MPS dan FS adalah sekaligus tenaga pengajar dan mahasiswa PT. Sementara seperti di FS, pelaku bisnis menjadi anggota Dewan Penyantun yang memberikan masukan pilihan teknologi yang diperlukan. Pemerintah/government terlibat dalam pendanaan kegiatan dan modal dasar seperti penyediaan lahan, untuk pendirian institut-institut MPS dan FS. Memang membandingkan YMBI dengan MPS dan FS, terasa seperti “pungguk merindukan bulan”. Tapi seperti kata Bapak Roket India yang juga mantan Presiden India pertama yang Muslim, APJ Abdul Kalam dalam bukunya Ignited Minds, “Dream, dream, dream. Dreams transform into thoughts. Thoughts result in action”. Itulah keyakinan kami untuk memberanikan diri bermimpi. Model pengembangan teknologi “dari rakyat” memang belumlah lazim di Indonesia. Umumnya lembaga pengembang adalah milik Pemerintah baik di Lembaga Penelitian maupun Perguruan Tinggi. Akhir-akhir ini saja, beberapa lembaga pengembang biotek lahir oleh perusahaan-perusahaan raksasa khususnya bidang kedokteran di Jakarta. YMBI berharap menjadi salah satu pengembang biotek Indonesia yang berasal “dari rakyat” dengan satu misi membawa manfaat bioteknologi untuk rakyat. Maka dari itu, topik seminar pertama YMBI di Yogya hari ini, yaitu bioteknologi Islam adalah salah satu upaya YMBI untuk mencari solusi permasalahan ummat Islam yang menjadi salah satu pemangku kepentingan utama di Indonesia dengan jumlah populasi 80% dari keseluruhan, melalui bioteknologi. Topik yang digelar seperti motivasi pengembangan IPTEK secara keagamaan berupaya memberikan informasi kepada ummat Islam agar tidak tertinggal dengan kaum lainnya dan diakhiri dengan upaya-upaya teknologi yang telah dilakukan oleh rekan-rekan YMBI di lembaganya masing-masing dalam pengembangan bioteknologi untuk penyediaan pangan halal dan thoyyib/baik. Menyusul kegiatan ini, YMBI bekerjasama dengan Universitas Paramadina, Jakarta, menggelar talkshow “Biotechnology, The Next Great Enterpreneurial Wave” di Jakarta dalam berbagai topik yang diawali dengan topik molecular genomics pada tanggal 16/6/2008 nanti. Pada akhirnya, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan ini. Semoga kebaikannya mendapatkan balasan yang lebih baik dari Sang Maha Pencipta. Kepada para peserta Seminar, semoga kegiatan ini vii
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
tidak berakhir setengah hari saja, tapi tetap berlanjut dengan komunikasi yang lebih intensif untuk pengembangan bioteknologi Indonesia, “dari rakyat untuk rakyat”. (aamiin). Depok, 23 Mei 2008 Dr. Arief B. Witarto, M.Eng. Ketua YMBI
viii
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Menteri Pertanian Republik Indonesia SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN PADA SEMINAR NASIONAL PERAN BIOTEKNOLOGI BAGI KESEJAHTERAAN UMAT: TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH UNTUK MENJAMIN PANGAN HALAL DAN BAIK
YOGYAKARTA, 24 MEI 2008
Assalaamu'alaikum Warrahmatullaahi Wabarrakaatuh, Yang Terhormat, Para Civitas Academika Universitas Gadjah Mada, Para Pejabat Pusat dan Daerah, Para undangan lainnya. Pertama-tama, saya ingin mengajak hadirin sekalian untuk memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya atas rahmat dan berkahnya kita dapat berkumpul bersama-sama untuk mengikuti "Seminar Nasional Peran Bioteknologi Bagi Kesejahteraan Umat". Seminar hari ini memiliki arti yang penting karena bertepatan dengan munculnya permasalahan ketahanan pangan yang secara global sangat mengkhawatirkan, terutama karena ketersediaan pangan secara global diperkirakan tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup umat manusia. Bagi umat Islam jumlah pangan bukan merupakan satu-satunya isu yang harus ditangani, namun isu pangan yang halal dan baik juga harus ditangani secara benar. Hal ini berkaitan dengan perintah Allah SWT yang harus kita laksanakan yang tertuang dalam Al Qur'an surat Al-Maaidah ayat 88 "Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya".
2
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Pada kesempatan yang baik ini, sesuai dengan permintaan panitia, saya akan menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan 'Tanggung Jawab Pemerintah Untuk Menjamin Pangan Halal dan Baik" dan kaitannya dengan tema seminar hari ini “Peran Bioteknologi Bagi Kesejahteraan Umat".
Saudara peserta seminar yang berbahagia, Saya sudah sejak lama menaruh perhatian terhadap pangan yang halal dan baik. Pemikiran, pendapat, dan saran saya terhadap isu pangan yang halal dan baik itu telah saya tuangkan dalam tiga judul buku, yaitu: 1). Potensi Ketidak-halalan Produk Pangan dan Masalah Pangan Hasil Rekayasa Genetika; 2). Kiat Memilih Pangan Halal dan Syubhat; 3). Pedoman Produksi Pangan Halal. Ada dua hal yang saya ingin sampaikan kembali di sini yaitu: syar'i dan teknologi dalam kaitannya dengan pangan halal dan baik. Surat AI-Maaidah ayat 88 yang saya sitir di atas jelas-jelas telah menyuruh kita hanya memakan makanan yang halal dan baik saja, dua kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang dapat diartikan halal dari segi syariah dan baik dari segi kesehatan, gizi, estetika dan lainnya. Untuk mengetahui makanan yang diharamkan kita dapat mengkaji ayat-ayat Al Qur'an dibawah ini. 'Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut nama selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Baqarah: 173). Dari ayat di atas jelaslah bahwa makanan yang diharamkan pada pokoknya ada empat: 1. Bangkai: yang termasuk ke dalam kategori bangkai ialah hewan yang mati dengan tidak disembelih, termasuk kedalamnya hewan yang matinya tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan diterkam oleh hewan buas, kecuali yang sempat kita menyembelihnya (QS. AI-Maaidah:3). 2.
Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir (QS. AI-An'aam:145).
3.
Daging babi. Kebanyakan ulama sepakat menyatakan bahwa semua bagian babi yang
dapat dimakan haram, sehingga baik dagingnya, lemaknya, tulangnya, termasuk produk-produk yang mengandung bahan tersebut, termasuk semua bahan yang dibuat dengan menggunakan bahan-bahan tersebut sebagai salah satu bahan bakunya. 3
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
4.
Binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah. Menurut HAMKA, ini
berarti juga binatang yang disembelih untuk yang selain Allah, yang dalam hal ini saya mengartikan di antaranya semua makanan dan minuman yang ditujukan untuk sesajian. Tentu saja semua bagian bahan yang dapat dimakan dan produk turunan dari bahan ini juga haram seperti berlaku pada babi. Di samping keempat kelompok makanan yang diharamkan tersebut, terdapat pula kelompok makanan yang diharamkan karena sifatnya yang buruk seperti dijelaskan dalam AI Qur'an Surat AI-A' raaf:157 ........dan menghalalkan bagi mereka segala hal yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk..... Apa-apa saja yang buruk tersebut dicontohkan oleh Rasulullah dalam beberapa Hadits, di antaranya Hadits Ibnu Abbas yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan Muslim dan Ash Habussunan: Telah melarang Rasulullah saw memakan tiap-tiap binatang buas yang bersaing (mungkin yang dimaksud ialah bertaring), dan tiap-tiap yang mempunyai kuku pencengkraman dan burung. Sebuah Hadits lagi sebagai contoh, dari Abu Tsa' labah: Tiap-tiap yang bersaing dan binatang buas, maka memakannya adalah haram (perawi Hadits sama dengan Hadits sebelumnya). Ada pula Imam yang tidak mengkategorikan makanan-makanan haram yang dijelaskan dalam Hadits sebagai makanan haram, tetapi hanya makruh saja. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Maliki. Akan tetapi, dengan menggunakan common sense saja agaknya sudah dapat dirasakan penolakan untuk memakan binatang-binatang seperti binatang buas: singa, anjing, ular, burung elang, dsb. Oleh karena itu, barangkali pendapat Mazhab Syafi' i lah yang lebih kuat yang mengharamkan makanan yang telah disebutkan di atas. Ada pula pendapat yang mengatakan hewan yang hidup di dua air haram, yang menurut mereka didasarkan pada Hadits. Sayangnya, sampai saat ini saya hanya dapat menemukan pernyataan keharaman makanan tersebut di buku-buku fiqih tanpa dapat berhasil menemukan sumber Haditsnya yang jelas selain dari satu Hadits yang terdapat dalam kitab Bulughul Maram: Dari Abdurrahman bin 'Utsman AI-Qurasyis-yi bahwasanya seorang tabib bertanya kepada Rasulullah saw tentang kodok yang ia campurkan di dalam satu obat, maka Rasulullah larang membunuhnya (Diriwayatkan oleh Ahmad dan disahkan oleh Hakim dan diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dan Nasa'i). Dari Hadits tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa 4
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
larangan membunuh kodok sama dengan larangan memakannya. Akan tetapi larangan terhadap binatang lainnya yang hidup di dua air seperti kodok tentulah tidak secara tegas dinyatakan dalam Hadits tersebut, mungkin itu hanya hasil qias saja. Dengan demikian, kebenaran pendapat tersebut sangat bergantung pada kebenaran sumber hukumnya. Jika Hadits yang menyatakan hal tersebut memang ada, jelas maksudnya dan sahih, maka kita hanya dapat mengatakan sami'na wa atho'na (kami dengar dan kami taati).
Saudara perserta seminar yang saya hormati, Dari uraian saya tadi jelas bahwa keharaman suatu bahan pangan dapat disebabkan oleh karena bahan asalnya (babi dan turunannya, binatang buas, bangkai), sifatnya (memabukkan), dan cara penyembelihan hewan halal (tidak mengikuti syariat Islam). Dari segi teknologi, titik kritis yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan makanan dan minuman halal ialah jenis dan asal bahan serta cara penyembelihan. Perkembangan teknologi pangan pada saat ini telah sampai pada kondisi dimana begitu banyak bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan untuk memproduksi suatu makanan olahan. Sebagai contoh, puluhan jenis ingredien yang diperlukan untuk membuat mie instan, dari mulai terigu, minyak goreng, rempah-rempah, perisa (flavourings), garam, ekstrak khamir(yeast extract), dll. Jika kita selidiki lebih lanjut lagi, salah satu ingredien yaitu perisa (kebanyakan sintetik) ternyata mengandung juga puluhan bahan penyusun, baik itu dalam bentuk bahan kimia murni atau hasil suatu reaksi. Oleh karena itu, untuk meneliti kehalalan mie instan saja bukanlah hal mudah karena harus memeriksa berbagai sumber bahan, di samping produsen mie yang bersangkutan. Seringkali diperlukan waktu dan tahapan yang cukup panjang untuk dapat mengetahui asal suatu bahan. Sebagai contoh, untuk memeriksa perisa ayam (bahan yang digunakan untuk menimbulkan rasa ayam) maka harus memeriksa industri flavor (flavour house) yang memproduksinya. Dari sekian banyak yang digunakan untuk menyusun perisa ayam, salah satunya yaitu lemak ayam. Untuk itu perlu memeriksa pula produsen lemak ayam yang bersangkutan. Dengan demikian, dapat dibayangkan bahwa pekerjaan seorang auditor makanan dan minuman halal bukanlah pekerjaan mudah karena disamping memerlukan ketelitian yang tinggi juga memerlukan pengetahuan yang mendalam tentang masalah yang dihadapi, dari mulai pengetahuan bahannya, cara memproduksinya sampai berbagai kemungkinan asal bahan dan cara-cara sintesisnya atau formulasinya. 5
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Mudah-mudahan saudara-saudara berkesempatan membaca tiga buku yang saya sebutkan di atas dan dapat memetik manfaatnya.
Saudara perserta seminar yang saya hormati, Dalam kaitannya dengan bioteknologi, tentunya saudara saudara ketahui bahwa bioteknologi adalah tool yang penting perannya di bidang pangan dan pertanian. Bioteknologi dapat berperan dalam menghasilkan varietas tanaman, ternak, dan mikroba unggul baru yang mempunyai produktivitas dan kualitas hasil tinggi. Dengan bioteknologi peneliti dapat mengintegrasikan gen-gen dari mikroba ke tanaman atau dari hewan ke tanaman atau dari hewan ke mikroba. Perakitan varietas dengan cara tersebut atau biasa dikenal dengan rekayasa genetik akan menghasilkan varietas unggul baru yang kita sebut dengan Produk Rekayasa Genetik. Sehubungan dengan produk rekayasa genetik ini ada yang khawatir karena mengkaitkan kemampuan bioteknologi modern untuk mengintroduksikan gen-gen dari binatang ke tanaman atau dari binatang ke mikroba, dari binatang yang hararn bagi umat Islam. Hal inilah yang dapat membuat khawatir, resah dan mengurangi ketenteraman batin umat Islam dalam menghadapi produk pangan hasil bioteknologi. Isu tersebut tentunya sudah menjadi perhatian dan tanggung jawab pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengawasi agar produk pangan hasil bioteknologi itu halal dan bak Apabila dasar-dasar syariah yang saya sampaikan tadi dipahami dan disepakati untuk digunakan sebagai landasan penentuan kehalalan suatu bahan pangan, maka sebetuinya pemerintah dan lembaga lain yang diberi wewenang dalarn menentukan kehalalan produk pangan hasil bioteknologi menjadi relatif lebih mudah. Secara umum hal-hal yang menjadi patokan dapat dirumuskan sbb: a.
Dalam suatu produksi bahan pangan tidak menggunakan dapat bahan~bahan yang diharamkan agar produknya dinyatakan halal. Ini misainya berlaku pada proses produksi secara fermentasi.
b.
Pemanfaatan babi dan unsur-unsurnya atau turunan-turunannya mutlak tidak boleh dilakukan. lika suatu proses produksi memanfaatkan babi dan unsur-unsurnya maka produknya menjadi haram dimakan. Sebagai contoh: pemanfaatan gen dari babi untuk rekayasa genetika, pemanfaatan porcine somatotropin untuk penggemukan sapi, dll. 6
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
c.
Pernanfaatan hewan ternak selain babi dan unsur atau turunannya dibolehkan sepanjang ternak tersebut disembelih secara Islami.
d.
Penggunaan etanol sebagai substrat, senyawa intermediet, solven dan pengendap dibolehkan, sepanjang konsentrasinya pada produk akhir (ingredien pangan) diupayakan minimal (minimal level technologically possible). Tentu masih ada beberapa hal lagi yang bisa dijadikan patokan, disamping masih ada beberapa masalah lagi yang belum dapat dipecahkan pada saat ini. Oleh karena itu, hal ini menjadi tantangan bagi kita sernua untuk merumuskan dan mencarikan jalan keluarnya. Pemerintah juga telah berupaya mengatur pemanfaatan produk bioteknologi tersebut.
Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik, pada pasal 3 menyebutkan bahwa Pengaturan yang diterapkan dalam Peraturan Pemerintah ini menggunakan pendekatan kehati-hatian dalam rangka mewujudkan keamanan lingkungan, keamanan pangan dan/atau pakan dengan didasarkan pada metode ilmiah yang sahih serta mempertimbangkan kaidah agama, etika, sosial, budaya dan estetika". Peraturan yang lain, yaitu pada pasal 30 ayat 1 UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia makanan yang clikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Pada ayat 2 mensyaratkan dalam label tersebut disebutkan tentang halal. Pernerintah tidak hanya memperkuat kelembagaan, tapi juga memperkuat kemampuan laboratorium dengan melengkapi peralatan yang canggih yang dapat memeriksa kualitas pangan secara lebih cermat dan akurat. Disamping itu, dalam rangka harmonisasi peraturan mengenai pangan di tingkat regional kita juga bergabung dengan ASEAN Working Group on Halal , ASEAN Food Safety Network, dan ASEAN Genetically Modified Food Network. Pada tingkat internasional, isu pangan halal juga menjadi agenda dalam forum Codex Alimentarius. Selain itu, kita juga telah mempunyai LPPOM MUI yang telah berperan dalam pengambilan keputusan dalam hal pangan yang halal dan baik. Kita harapkan bahwa LPPOM MUI bertambah kuat dan mampu mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat pesat. Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tinggi kepada Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia yang menyelenggarakan seminar 7
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
nasional ini. Harapan saya, seminar hari ini akan menambah pemahaman kita tentang pangan halal dan baik dalam kaitannya dengan bioteknologi dan tanggung jawab pemerintah. Marilah kita memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar sekembali dari perternuan hari ini, sesuai dengan keahlian dan tugas kita masing-masing, kita diberi kekuatan untuk selalu berikhtiyar untuk menyediakan pangan yang halal dan baik bagi masyarakat Indonesia khususnya, dan masyarakat dunia pada umumnya. Wassalaamu'alaikurn warrahmatulaahi wabarrakaatuh. Menteri Pertanian RI,
Dr. Ir. ANTON APRIYANTONO
8
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
ISLAM, SAINS DAN PERGURUAN TINGGI Chairil Anwar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Pendahuluan Isu sentral menyangkut hubungan sains dan agama sebenarnya sudah dimulai sejak kasus Galileo dengan Gereja pada pertengahan abad 17. Bahkan sejak itulah berawal proses sekularisasi yaitu pemisahan antara agama dengan ilmu. Agama adalah masalah pribadi dan bukan masalah publik. Ada proses spasialisasi (dari space = ruang) terhadap agama. Kalau sebelumnya agama menyentuh seluruh aspek kehidupan, maka sejak itu ia telah ditempatkan pada kawasan yang lebih sempit yaitu kawasan suci (masjid, gereja, kuil) yang terhormat. Sementara ilmu (sains) memasuki kawasan yang lebih luas dan menyentuh hampir seluruh aspek hidup manusia. Agar ilmu menjadi lincah bergerak ke manapun maka ia mendapat label netral artinya bebas dari nilai baik-buruk yang pernah dibawa agama. Ilmu hanya mengandung nilai benar-salah yang mungkin dianggap lebih universal. Ilmu seakan tampil untuk menggeser peran agama. Tak mengherankan kalau kemudian terjadi gesekan antara agama dengan ilmu. Apalagi kemudian ilmu dalam perkembangannya nampak lebih unggul daripada agama dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Ilmu mengusung prinsip materialisasi (ada wujud yang dapat diindera terutama indera penglihatan/ mata, pendengaran/telinga dan perasa/ kulit/ hati) terhadap kebutuhan hidup manusia. Ide ini ternyata kompatibel dengan ekonomi khususnya ekonomi kapitalis. Diskusi intensif yang kemudian diliput oleh media massa antara lain majalah mingguan Time edisi 5 November 2006. Debat antara dua ilmuwan dengan latar belakang berbeda. Richard Dawkin (Ahli Evolusi, seorang ateis) dan Francis Collins (Ahli Genetika, penganut Kristen yang soleh). Laporan Time menggunakan kalimat provokatif dalam debat tersebut. Can religion stand up to the progress of science? Apakah agama dapat bertahan dari derasnya kemajuan sains?. Kedua wakil dari masing-masing kubu (Dawkin dan Collins) tetap pada prinsipnya. Seperti halnya debat dengan dua aliran
9
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
yang berbeda pada umumnya, tidak dihasilkan kesepakatan bersama. Terserah pada pembaca akan memihak yang mana.
Sains dan Agama Terjadi perkembangan revolusioner dalam biologi setelah penemuan struktur DNA (deoxy ribonucleic acid) oleh Crick dan Watson pada tahun 1953. Kehidupan makhluk tidak hanya dilihat dari morfologi (tampakan mata dan mikroskop) melainkan pada ‘tampakan molekuler’. Ilmu biologi (dulu disebut ilmu hayat) terkait dengan pertanyaan tentang hidup (hayat, life). Dengan penemuan struktur DNA dan ilmu-ilmu turunan yang menyertainya kemudian, manusia seakan dapat bermain-main dengan kehidupan (tinkering of life) yang dulu dianggap wilayah Tuhan atau agama. Bahkan menurut pakar bioetika tujuan akhir dari ilmu kedokteran adalah menolak kematian. Isu lain dalam bidang sains yang bersentuhan dengan Tuhan/ agama adalah masalah penciptaan. Sebagian besar para ahli astronomi/ astrofisika/ kosmologi mengatakan bahwa alam terjadi dengan sendirinya (evolution process). Sementara agama mengatakan bahwa alam ada yang menciptakan (by design) yaitu Tuhan Sang Maha Pencipta. Hingga saat ini isu tersebut masih hangat diperdebatkan terutama di AS dan Inggris.
Ilmu-Ilmu Kealaman Seperti telah disinggung di depan bahwa iptek telah begitu mendalam mempengaruhi kehidupan manusia. Walaupun iptek mencakup hampir semua bidang ilmu, namun dalam uraian berikut disederhanakan menjadi ilmu-ilmu kealaman dan teknologi. Ilmu-ilmu kealaman atau natural sciences merupakan hasil upaya manusia untuk memahami hakekat alam berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan yaitu terukur (measurable), terulang (reproducible), teramalkan (predictable), dan berlaku umum (general). Peradaban manusia diawali dengan kontak antara kecerdasannya (intelligence) dengan alam sekitar. Karena itu perkembangan peradaban lazim dilacak melalui artefak (temuan arkeologis atau benda purbakala). Karena itu sejarah perkembangan kecerdasan manusia dapat dirunut melalui peralatan yang pernah digunakan manusia untuk mengolah alam. Perkembangan iptek berdasar kronologis singkat (timelines) dapat dilihat sebagai berikut. Dimulai dari peralatan 10
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
batu yang digunakan manusia pertama kali sebagai kepanjangan ototnya sekitar 1,9 juta tahun yang lalu. Kemudian coretan-coretan pada batu diketahui telah ada pada 35 ribu tahun SM, dan 9 ribu tahun SM adalah awal pertanian, 3500 tahun SM tulisan pada batu diketemukan. Mata uang dikenal pertama kali 700 SM. Cina mencatat sejarah penting peradaban dengan digunakannya kertas pertama kali tahun 100 AD (anno domini), astrolab atau alat penentu posisi benda langit tahun 500, mesin cetak Gutenberg tahun 1440, dan mikroskop Robert Hooke tahun 1590. Penemuan teleskop oleh Galileo tahun 1609, mesin uap James Watts tahun 1779, komputer pertama yang sepenuhnya mekanik oleh Charle Babbage tahun 1834, pesawat terbang tahun 1903. Kemudian teori relativitas Einstein diumumkan tahun 1905, transistor tahun 1948, struktur DNA oleh Watson dan Crick tahun 1953, dan satelit komunikasi tahun 1993. Pemaparan kaleidoskop perkembangan capaian manusia dalam iptek yang sangat pendek di depan sangat jelas menunjukkan hasil interaksinya dengan alam. Karenanya ada yang mengatakan bahwa tujuan ilmu adalah memuaskan rasa ingin tahu (curiousity) manusia terhadap fenomena alam (natural phenomena). Hasilnya adalah sebuah pengetahuan tentang alam yang sangat luas. Mulai dari gambaran alam mikro seperti DNA, mikrobia, hingga galaksi atau kosmos. Pengetahuan tentang DNA mempercepat popularitas ilmu bioteknologi dan kedokteran. Pengetahuan tentang ruang angkasa membantu pemanfaatan satelit komunikasi dan penjelajahan angkasa luar, ilmu kimia dan ilmu bahan menunjang ilmu farmasi, komputer ataupun tekstil. Tentunya masih banyak yang lain. Dikesankan seakan manusia sudah betul-betul dapat menguasai dan mempermainkan alam. Kita mengenal bayi tabung, klonasi (fotokopi) tumbuhan, hewan dan manusia. Juga upaya menghidupkan hewan atau manusia hanya dari sel. Kemampuan semacam itu seringkali disebutkan bahwa manusia telah meminjam tangan Tuhan. Laju kemajuan peradaban atau ilmu pada awal mulanya sangat lambat. Untuk sampai kepada penemuan tulisan sejak manusia awal diperlukan 3,9 juta tahun. Namun dalam dunia komputer, sejak komputer elektronik pertama IBM 701 tahun 1952 hingga diperkenalkannya Pentium oleh perusahaan Intel tahun 1995, hanya dibutuhkan 43 tahun. Suatu pemercepatan yang luar biasa. Kenapa? Karena rekaman ilmu pengetahuan sebelumnya cukup kuat memberikan fondasi untuk berkembang dan interaksi di kalangan ilmuwan berjalan sangat cepat. Inilah yang kita kenal dengan nama efek sinergis. Penggabungan dari dua kekuatan hasilnya tidak 11
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
hanya dua bahkan bisa 10 kali lipat. Begitulah yang terjadi dalam ilmu-ilmu kealaman. Misalnya dalam komputer, sumbangan ilmu lain seperti fisika, ilmu bahan, ahli matematika atau programmer dan ahli elektronika cukup besar. Penggabungannya menghasilkan kekuatan yang sangat menakjubkan seperti yang kita saksikan saat ini. Pemanfaatan komputer juga meluas ke berbagai bidang ilmu ataupun sektor kehidupan. Mulai dari ilmu eksakta hingga humaniora atau seni, mulai komunikasi satelit hingga pasar swalayan atau pemesanan tiket dan hotel. Harus diakui bahwa ilmu-ilmu kealaman dan produknya (teknologi) telah mempengaruhi cara manusia hidup ataupun upaya mengatasi persoalan-persoalan hidupnya. Bahkan pengelompokan negara saat ini berdasarkan kemampuan suatu negara dalam
mengembangkan
iptek.
Kebetulan
ada
kesejajaran
antara
kemampuan
pengembangan iptek suatu negara dengan kemajuan ekonomi yang biasa diukur dengan besarnya produk bruto nasional atau GNP. Maka dikenallah negara maju atau negara industri, negara berkembang, dan negara yang kurang berkembang. Dikenal pula pengelompokan yang disebut pemerintah 7 atau G 7, yaitu negara-negara maju yang sangat berpengaruh di dunia. Itu sebabnya seorang pemenang Nobel Kedokteran dari Inggris, Peter Medawar pernah mengatakan : Science to be a great and glorious enterprise- the most succesful that human beings have ever engage in. Ilmu-ilmu kealaman adalah suatu kegiatan yang besar dan megah- merupakan aktivitas manusia yang paling berhasil.
Islam dan Sains Islam lahir pada tahun 611 M yaitu ketika Muhammad dibaiat oleh malaikat Jibril menjadi nabi pada saat menyampaikan wahyu Allah yang pertama. Seperti telah ditegaskan dalam Al Qur’an maupun hadist, Islam adalah kelanjutan dari agama samawi sebelumnya yang berakar dari Nabi Ibrahim yang kemungkinan hidup sekitar 4000 tahun yang lalu. Manusia modern atau homo sapien mulai hidup di bumi sekitar 150 – 200 ribu tahun yang lalu. Bila kita melihat perbedaan tahun tersebut nampak bahwa ada kevakuman data (146 ribu tahun yang lalu) tentang kehidupan manusia. Menurut para ahli salah satu unsur peradaban penting manusia adalah diperkenalkannya bahasa tulis (writing atau tulisan). Tulisan tertua ditemukan sekitar 3500 SM. Bahasa adalah sarana berkomunikasi antar manusia. Sofistikasi suatu masyarakat dapat pula dilihat dari bahasa yang dikembangkan 12
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
yang dapat menunjukkan rekaman aktivitas masyarakat bersangkutan. Karena itulah Al Qur’an dan kitab suci pada umumnya berupa tulisan. Bahkan Al Qur’an awal yang diterima nabi adalah bacalah (iqro), membaca tulisan. Peradaban tertua yang berhasil dilacak manusia adalah masyarakat (bangsa) Sumeria dari Mesopotamia (3500 – 3000 SM). Mereka hidup di suatu kawasan di hulu sungai Eufrat dan Tigris (bagian dari Irak sekarang). Bandingkan misalnya dengan peradaban yang lebih muda dan dianggap menjadi dasar peradaban Barat modern yaitu Yunani Kuno (1400 SM) dengan para filsufnya yang terkenal seperti Socrates (lahir 470 SM). Uraian tersebut disampaikan untuk memberikan gambaran pada kita bahwa dibandingkan dengan peradaban yang mendahului serta umur manusia homo sapien, kehadiran Islam relatif baru bahkan juga agama Ibrahimiah lainnya. Dalam konteks inilah kita dapat memahami kenapa kehadiran Islam dimaksudkan untuk menyempurnakan ajaran sebelumnya. Dalam perjalanannya yang cukup panjang sebenarnya antara Islam dengan sains senantiasa berjalan seiring. Bahkan pengembang awal sains kebanyakan para sarjana Islam. Gesekan antara Islam dengan sains merupakan ikutan gesekan yang pernah dan sedang terjadi antara agama Nasrani dengan sains. Penyebabnya tiada lain karena intensitas riset sains di dunia Islam tidak setinggi yang terjadi di dunia Barat. Puncak gesekan terjadi pada pertengahan abad 20 ketika capaian sains sudah cukup tinggi. Hal-hal yang dulu seakan hanya angan-angan ternyata berhasil disingkap dengan jelas dan meyakinkan oleh sains. Mulai dari berbagai peristiwa alam seperti proses siang/ malam, gerhana (bulan dan matahari), hujan, bencana alam, kehidupan/ kematian, sehat/ sakit dan lain-lain yang ternyata berasal dari hukum fisika atau kimia biasa yang dapat dijelaskan dan dikuasai manusia. Timbullah kepercayaan pada diri manusia bahwa sebenarnya ia dapat menguasai alam. Sikap semacam inilah yang bergesekan dengan agama atau keyakinan. Maka timbullah istilah ateis (tidak percaya adanya tuhan). Jika dalam konsep agama pangkal segala sesuatu adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, maka dalam dunia ilmu adalah sikap kritis. Alam terjadi begitu saja dan tidak perlu dikaitkan dengan kekuatan di luar alam. Tugas manusia (saintist) adalah menyingkap fenomena alam. Dalam beberapa tahun terakhir sikap antagonis semacam itu sudah mulai dicari jembatannya. Buku klasik karangan Maurice Bucaille, Bibel, Al Qur’an dan Sins Modern (1976) merupakan salah satu contoh dalam hal ini. Bucaille seakan mengatakan bahwa antara keimanan dengan berilmu tidak perlu dipertentangkan. Apa yang dirasakan Bucaille sebenarnya merupakan kelanjutan dari sarjana Islam terdahulu. Tulisan atau buku sejenis 13
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
yang ditulis Bucaille pada saat ini cukup banyak. Ian Barbour membuat skema hubungan agama dengan ilmu dalam empat kategori yaitu konflik, dialog, independen, dan integrasi. Secara umum di dunia Islam apresiasi dan pengembangan sains belum sampai pada taraf yang pernah terjadi di Barat. Namun ada suatu wacana yang cukup ramai yaitu islamisasi ilmu. Dalam hal ini yang paling banyak disentuh sebenarnya ilmu sosial terutama ekonomi dan lebih khusus lagi adalah perbankan Islam.
Sains dan Pendidikan Tinggi Islam Sains berkembang terutama melalui perguruan tinggi. Menurut sejarah, pendidikan tinggi Islam sudah berumur ribuan tahun. Madrasah yang pertama kali didirikan adalah Madrasah al-Bayhaqiyyah pada 400 H/1009 M oleh Abu Hasan A’li al Bayhaqiyyah di kawasan Nishapur Iran. Tetapi Stanton menyebut Madrasah Nishamiyah yang didirikan oleh Wazir Nizhamiyah pada tahun 1064 M, dapat dianggap sebagai cikal bakal pendidikan tinggi dalam Islam atau the institution of higher learning. Universitas Al-Azhar yang disepakati sebagai perguruan tinggi tertua di dunia didirikan tahun 388 H/998 M. Namun Azyumardi Azra berpendapat Al-Azhar sebagai al-jami’ah maupun pendidikan tinggi Islam sejenis tidak pernah menjadi universitas yang difungsikan semata-mata untuk mengembangkan tradisi penyelidikan bebas berdasarkan nalar, sebagaimana terjadi di Eropa pada masa modern. Walaupun di Al-Azhar pernah terjadi pembaharuan dengan diajarkannya mata kuliah matematika, aljabar, ilmu ukur, dan ilmu bumi pada masa Muhammad Abduh terlibat sebagai anggota Majelis Tinggi Al-Azhar, namun oleh Rektor Al-Azhar ke-25, Salim al-Basyari, kemudian dibatalkan. Dan pada masa Gamal Abd al Nasser pada tahun 1960’an setelah menghapuskan otonomi Al-Azhar dimasukkanlah fakultas baru seperti kedokteran, teknik, pertanian, ekonomi dan sastra. Dibandingkan dengan usia studi keislaman yang sudah ribuan tahun, maka ilmu-ilmu eksakta tersebut belum berkembang dengan baik sebagaimana universitas di negara maju pada umumnya. Bahkan sebenarnya universitas di Eropa yang akar-akarnya dapat dilacak dari al-jami’ah menurut Stanton, sampai abad 18 juga tak bebas sepenuhnya karena masih berafiliasi dengan gereja. Seperti telah disinggung di depan, ketidakberdayaan umat terjadi terutama pada masa penjajahan (abad 17 – 20). Dikhotomi ilmu agama dan ilmu umum masih saja terus berlangsung, di mana oleh para ahli fiqih ilmu agama berhasil dipertahankan statusnya 14
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
sebagai ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim (wajib a’in) sementara ilmu umum disebut wajib kifayah. Di satu sisi hal itu merupakan prestasi besar dalam proses pengawetan nilai tradisional Islam yang diajarkan nabi dan para sahabat selama kurun 14 abad. Hanya saja dalam kenyataan ilmu agama berada dalam posisi yang tersudut bila dilihat dari sisi aplikasi ilmu untuk kehidupan. Ilmu agama dalam kerangka pengelompokan ilmu saat ini dilihat sebagai bagian dari ilmu humaniora, padahal dalam dienul Islam itu sendiri serba mencakup dan sentral. Bagaimana menempatkan hal itu supaya lebih sesuai?. Ada dua pendekatan yang saat ini berjalan. Pendekatan pertama menempatkan agama sebagai kumpulan nilai yang akan disampaikan pada anak didik agar diserap dan diamalkan. Ilmu umum adalah ilmu alat yang perlu dipelajari sebagai bekal untuk hidup. Pada kedua jenis ilmu tersebut masingmasing terdapat sisi terapannya. Misalnya untuk ilmu agama, sisi hukum atau syariah dapat digunakan sebagai ilmu alat, sedangkan teologi atau ushuluddin masuk dalam katagori ilmu murni. Bila pendekatan ini digunakan, yang paling penting adalah perencanaan tentang kebutuhan akan pakar dalam bidang masing-masing, sehingga tidak ada kesulitan atau komplain tentang banyaknya pengangguran sarjana agama. Pendekatan kedua adalah islamisasi ilmu yang pernah ramai dalam sepuluh tahun terakhir. Ide yang pertama kali disampaikan dalam seminar internasional di Karachi tersebut menampilkan salah satu pembicara Ismail al Faruqi. Dalam pendekatan ini, ilmu (khususnya ilmu sosial) harus diislamkan melalui suatu proses yaitu dengan cara diberikan akar Islam (tauhid). Dasar pendekatan ini adalah bahwa ilmu tidak netral dan sangat dipengaruhi oleh para pengembangnya. Betapapun ilmu dikehendaki tetap obyektif, namun sisi subyektif tidak akan pernah hilang. Untuk mengangkat harkat umat Islam tiada lain kecuali mengembangkan ilmu. Hanya saja ilmu yang mana?. Agar umat Islam tidak keluar dari akar sejarah panjangnya, ilmu islamilah yang harus digeluti dan dikembangkan. Bagaimana hasil islamisasi ilmu?. Nampaknya masih sangat terbatas. Karena mengembangkan ilmu saat ini tidak berada dalam suasana vakum, melainkan harus terus berinteraksi dengan dunia yang ada. Apalagi dalam arus informasi yang begitu kuat, menghasilkan pilihan-pilihan yang hampir tidak terbatas bagi umat Islam. Lembaga pendidikan khususnya pendidikan tinggi adalah institusi penghasil, pengawet dan penyebar ilmu yang saat ini berkembang sangat pesat. Kajian keislaman pun tidak hanya dilakukan di pusat-pusat Islam seperti di Timur Tengah melainkan juga di perguruan tinggi di negaranegara sekuler. Kedua sumber ikut serta mempengaruhi perkembangan Islam dunia. 15
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Penutup Pendidikan adalah kunci utama memadukan sains dan agama. Hingga saat ini sistem pendidikan umat masih terpola pada dua kecenderungan besar yaitu pendidikan umum dan pendidikan agama. Itulah yang kemudian dikenal dengan dikhotomi. Padahal dalam kenyataannya mereka yang belajar kimia butuh pedoman hidup yang dapat diperoleh dari agama. Sedangkan mereka yang belajar ilmu agama di pesantren atau sekolah agama butuh hidup layak di dunia. Mereka memerlukan keterampilan hidup. Yang terjadi kemudian adalah upaya sintesis. Di sekolah umum diberi pelajaran agama, dan di sekolah agama diberi pelajaran umum. Dari awal sudah disadari bahwa cara itu mengandung kelemahan. Namun, hingga kini belum ada cara yang ideal. Persoalan ini adalah persoalan besar yang menyangkut kebijakan nasional atau bahkan dunia Islam pada umumnya. Bagaimana negara-negara Islam atau negara dengan penduduk mayoritas Islam dapat sejajar dengan negara maju lainnya. Menjaga identitas diri dalam persaingan global yang keras memang bukanlah hal yang mudah. UIN Syarif Hidayatullah dan UIN Sunan Kalijaga membuat terobosan dengan memasukkan ilmu umum dalam suatu program studi baru. Ada enam IAIN saat ini yang telah bermetamorfosis menjadi UIN. Hanya saja di kalangan sebagian stafnya ada kekhawatiran jangan-jangan program studi baru tersebut suatu saat akan menelan program studi ilmu-ilmu agama yang sudah ada sebelumnya. Rasanya market oriented sebagaimana yang saat ini sedang berlangsung tidak dapat dihadapi hanya dengan cara tambal sulam. Diperlukan cara yang lebih strategis dengan melibatkan negara. Di Belanda misalnya karena pendidikan tinggi memerlukan biaya yang sangat mahal akhirnya hampir semua PT diambil alih oleh negara/pemerintah. Di Indonesia hal ini memang suatu hal yang sangat sulit di mana PTS jumlahnya sudah mencapai sekitar 2800 buah, sedangkan PTN jumlahnya ‘hanya’ 85. Peran pemerintah tetap diperlukan terutama untuk melindungi program studi yang dianggap kering namun strategis tapi kurang diminati melalui subsidi yang memadai. Ada harapan baru dari dunia Islam. Negara-negara Timur Tengah yang mendapat anugerah dana melimpah karena harga minyak yang melambung di atas $ 120 per barel menanamkan dana dalam bidang pendidikan yang sangat besar. Pemerintah Saudi Arabia misalnya dengan dana yang sangat besar (ratusan trilyun rupiah) melalui yayasan yang dibentuk Raja Abdullah mendirikan perguruan tinggi King Abdullah University of Science and Technology (KAUST) dengan ambisisi besar. Ingin menjadikan perguruan tinggi 16
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
tersebut setara dengan perguruan tinggi papan atas dunia melalui pendidikan pasca sarjana dan penelitian. Strategi besarnya hampir sama dengan perguruan tinggi lainnya. Ada empat Institut riset: Sumber Daya Alam, Energi dan lingkungan, Biosains dan Bioengineering, Sains dan Teknik Bahan, Matematika Terapan dan Sains Komputasi. Kita belum tahu persis bagaimana ruh Islam diintegrasikan dalam perguruan tinggi tersebut (lihat di situs web perguruan tinggi tersebut, http://www.kaust.edu.sa). KAUST akan dibuka pada bulan September 2009. Sebagai sebuah semangat dan upaya tentu merupakan suatu langkah besar yang sangat positip dan perlu didukung. Semoga semangat keilmuan umat Islam yang pernah mengispirasi dunia pada zamannya akan kembali lagi. Amin.
Daftar Pustaka Anonima. -. http://www.kaust.edu.sa. Anonimb. 2006. Majalah Time edisi 5 November 2006. Bakar, O. 1997. Hierargi Ilmu Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu. Edisi terjemahan. Mizan, Bandung. Lapidus, I. 1988. A History of Islamic Societies. Cambridge University Press, Cambridge. (buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) Sardar, Z. 1987. The Future of Muslim Civilization. Mansell Pub. Ltd., London. Scientific American. 1994. Special Issue Life in The Universe. October 1994. Stanton, C. M. 1994. Pendidikan Tinggi Islam sejarah dan peranannya dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Edisi terjemahan dengan kata pengantar Azyumardi Azra. Logos Pub. House.
17
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
MOTIVASI AGAMA DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI Achmad Mursyidi
Pengantar Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sungguh telah mendatangkan berbagai kemudahan
di
berbagai
bidang
kehidupan.
Kemajuan
teknologi
transportasi
memungkinkan kita melanglang buana, bahkan ke luar angkasa, dalam hitungan hari. Sementara kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan kita dapat mengetahui apa yang terjadi di belahan bumi lain pada saat yang sama dengan terjadinya peristiwa, bahkan dapat berkomunikasi langsung dengan pelaku peristiwanya. Di bidang pangan, kemajuan pengetahuan bioteknologi dengan biologi molekulernya yang memungkan dilakukannya rekaya genetik (DNA). dengan kemajuan itu memungkinkan kita
meningkatkan produktivitas bahan pangan, mendapatkan jenis ”tanaman baru”
(transgenik) yang tahan terhadap penyakit, kekeringan, dan mampu menghasilkan jenis senyawa kimia yang kita kehendaki. Bahkan, akhir-akhir ini manusia mulai merambah pada rekayasa genetik hewan dan manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat luar biasa itu, ternyata tidak luput dari dampak negatif yang cukup menggelisahkan. Kerusakan lingkungan di banyak negara sudah cukup parah, kemiskinan terjadi di mana-mana, ketegangan antara negara maju dan berkembang sangat mengkawairkan yang memerlukan jawaban untuk
mengatasinya.
Menghadapi kenyataan itu para ilmuwan kemudian banyak melirik ke agama. Bagaimana peran agama di masa lalu mendorong kemajuan ilmu dan tekonologi dan peran masa kini mengatasi dampak negatifnya?
Motivasi Agama Tulisan lebih difokuskan peran agama Islam karena agama ini yang saya pahami. Islam sangat mendorong pemeluknya untuk mencari, menguasai, mengembangkan, dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, sejalan dengan visi dan misi keberadaannya di dunia. hal ini dapat disimak lima ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang 18
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
merupakan kunci pembuka ilmu, yakni membaca (Al-’Alaq, 1 -5). Lebih lanjut, dalam konteks yang berbeda-beda, lebih 400 (empatratus) kali kata ”ilmu” disebutkan dalam Al-Quran. Secara umum, dinyatakan dalam al-Quran bahwa ”Allah akan mengangkat orang-orang beriman dan berilmu, beberapa dearajat”. Untuk
operasionalnya,
Nabi
mengilustrasikan
dalam
sabdanya:
”Barangsiapa
menginginkan dunia dia harus berilmu; barangsiapa menginginkan akhirat dia juga harus berilmu; dan barangsiapa menginginkan keduanya, dia harus berilmu”. Bahkan lebih tegas lagi, Nabi bersabda bahwa ”menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim (pria maupun wanita)”, dan ”mewajibkan menuntut ilmu sepanjang hayat (sejak lahir sampai mati)”, satu deklarasi yang baru diungkapkan oleh UNESCO tahun 70-an dengan semboyan ”life long education”. Seruan, dorongan, motivasi, bahkan kewajiban yang secara eksplisit difirmankan Allah dan disabdakan Nabi dari sumber paling autentik, yakni Qur-an dan Hadits untuk menuntut ilmu bagi ummat Islam telah direspon ummat terdahulu dengan penuh kesungguhan. Hal itu dapat disaksikan pada awal perkembangan agama Islam (650 – 1250 M) yang telah membuahkan kasanah ilmu pengetahuan yang mengagumkan di kalangan ummat Islam. Bukan saja ilmu-ilmu yang terkait langsung dengan kewajiban ibadah, tetapi meliputi berbagai macam ilmu yang menunjang kepentingan kehidupan manusia di dunia. Beberapa nama ilmuwan muslim populer yang hasil karyanya menjadi acuan ilmuwan Barat sampai abad pertengahan antara lain Al-Kindi (abad ke 9) fisikawan yang juga filosof dan menulis berbagai bidang ilmu obat-obatan dan geologi; Ibnu Sina yang dikenal di Barat dikenal nama Avicena (980 – 1037) di bidang filsafat dan kedokteran; AlKhawarizmi (wafat th 875 M) peletak dasar-dasar aljabar dan penyusun daftar logaritma; Omar Khayyam, yang sebagai penyair adalah orang pertama yang menulis tentang destilasi dan pengembang persamaan pangkat satu, dua, dan tiga dengan solusi geometrik; Jabir bin Hayyan, yang di Barat dikenal sebagai Geber (wafat abad ke 9) adalah ahli ilmu Kimia yang mumpuni di jamannya; Al-Biruni (973 – 1050) dipandang sebagai ilmuwan terbesar sampai abad pertengahan, menguasai berbagai bidang ilmu: matematika dan astronomi, geografi, sejarah, dan bahasa; Ibnu Al-Haythami (965 – 1039) dikenal sebagai Al-Hazen di bidang matematika, fisika, dan astronomi; Al-Zarkowi (963 – 1103) di 19
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
bidang astronomi; Al-Ghozali (1058 – 1111) di bidang filsafat; Ibn Rushd yang dikenal dengan nama Averos (1126 – 1198) di bidang filsafat; Al Rozi (Razes, 1149 – 1209) di bidang filsafat, teologi, kimia, dan dan kedokteran, dan masih banyak lagi.
Ilmu yang harus dipelajari Satu pertanyaan yang sering banyak diperdebatkan adalah: ”ilmu apa yang wajib/harus dipelajari? Ilmu Agama atau Ilmu Dunia/umum?” Jawabnya sepaham: yakni ”Ilmu Agama”! Orang masih bertanya pula: Ilmu apa yang termasuk ilmu agama?. Di sini ada dua kelompok ilmuwan/ulama Islam. Pertama, yang berpendapat ilmu yang terkait dengan ibadah (Tauhid, al-Quran dengan rangkaiannya, hadits, shalat, zakat, puasa, dan hajji), sementara kelompok kedua berpendapat bahwa ilmu agama adalah segala macam ilmu yang terkait dengan pelaksanaan misi kehambaan dan misi khalifahan. Seperti diketahui bahwa keberadaan manusia di dunia bukanlah tanpa tujuan tetapi oleh Allah dijelaskan bahwa manusia diciptakan untuk melaksanakan dua misi secara simultan, yakni (i) misi kehambaan: ”tidaklah diciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada Allah” (Al-Ma’arij, 56), dan (ii) misi kekhalifahan ”dengan kewajiban memakmurkan/mensejahterakan penghuni bumi” (Hud, 61). Kedua misi tersebut harus dilaksanakan secara simultan dan nanti akan diminta pertanggung-jawaban oleh Allah di hari qiyamat (Al-Mu’minun, ayat 115). Dengan memahami kedua misi tersebut serta tanggungjawab manusia kelak, jelas bahwa manusia memerluka ilmu yang komprehensif: ilmu penghambaan dan ilmu kekhalifahan. Dengan kata lain, Islam tidak mengenal dikotomi ilmu: Ilmu Dunia dan Ilmu Akhirat. Dalam konteks ini Imam Ghozali menjelaskan ilmu yang wajib dituntut umat Islam meliputi ilmu yang sifatnya (i) wajib ’ain yakni ilmu-ilmu yang terkait dengan ibadah mahdhoh, karena setiap orang wajib memahami tatacara melaksanakan ibadah mahdhoh (shalat, zakat, puasa, hajji), dan (ii) wajib kifayah, yakni ilmu-ilmu yang terkait dengan pelaksanaan misi kekhalifahan (memmakmurkan penghuni bumi); tidak semua orang berkewajiban menguasai ilmu itu, tetapi harus ada sekelompok orang yang mampu dan menguasainya sehingga misi kekhalifahan terlaksana dengan baik. Bentuk kewajiban mensejahterakan dunia itu adalah tersedianya kebutuhan manusia untuk merasa sejahtera, 20
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
misalnya pangan, papan, sarana transportasi, informasi, komunikasi, pendidikan, kesehatan, dan sarana pelaksanaan ibadah mahdhoh. Lebih dari itu kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus ditujukan untuk kemslahatan bagi siapa saja, segenap manusia apa pun agama dan rasnya, bahkan semua makhluq (rohmatan lil’alamin), dan tidak merusak lingkungan (Al-Qahsash, 77) serta harus dipertanggung-jawabkan kepada Allah SWT. Jadi muara dari semua kegiatan, termasuk
pengembangan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi,
memiliki
landasan
moral/keyakinan dalam rangka beribadah kepada Allah, dalam rangka mencari ridho Allah. Artinya, semua harus sesuai dengan kaidah dasar: keimanan, memberi manfaat, dan tidak mendatangkan kemudhorotan. Perlu dicatat bahwa berbagai sarana ibadah mahdhoh dan sarana-prasarana kesejahteraan manusia yang sekarang kita nikmati, masih banyak yang bukan buatan ummat Islam. Sudahkah kita terbebas dari kewajibah kifayah? Pertanyaan di atas perlu mendapat jawaban, apalagi di era global sekarang ini di mana ummat Islam telah tersebar di seluruh pelosok dunia. Coba kita bayangkan, bagaimana kita dapat melaksanakan ibadah hajji kalau tidak ada sarana transportasi pesawat udara atau kapal laut! Tidak mungkin rasanya kita berangkat ibadah hajji dengan berkendaraan onta atau kuda dari Indonesia. Untung sudah ada pesawat terbang, walaupun pembuatnya bukan orang islam! Demikian pula berbagai sarana-prasarana era modern sekarang ini. Oleh karena itu, walaupun terlambat, ummat Islam mesti mengejar ketertinggalan, untuk menguasai ilmu dan teknologi. ”Late is better than never”. Terkait dengan motivasi agama Yahudi dan Kristen, saya harus jujur bahwa kurang banyak mengetahui dari teks/manuskrip aslinya. Dari bacaan yang ada, dorongan ilmuwan Yahudi dan Kristiani ternyata banyak terinspirasi oleh karya terjemahan teks-teks Yunani oleh filosof muslim Ibnu Rushd (1128 – 1198) dan karya-karya ilmuwan muslim di awal peradaban Islam (tahun 1000 M) yang sampai ke tangan mereka. Para ilmuwan Yahudi ternyata lebih mengutamakan landasan moral yang didasarkan pada teks Taurat (Torah) dalam pegembangan ilmu dan di awalnya memilih bidang yang terkait dengan penciptaan. Tidak mengherankan kalau ilmuwan Yahudi memiliki ahli bidang astronomi dan kedokteran. Tidak mengherankan pula kalau ilmuwan yahudi menghadapi
21
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
perkembangan bioteknologi, utamanya terkait dengan kloning dan organisme transgenik (GMO) cenderung menolaknya. Ilmuwan Kristiani (Anglikan) memulai mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara lebih intens setelah kasus Galileo Galilei (1616 dan 1633). Pada tahun 1660 Church of England mengijinkan tulisan Thomas Spart (1635 – 1713) sebagai ”Mother of the short Knowledge”, diikuti John Ray (1627 – 1705) yang menulis karya ilmiahnya berjudul ”The wisdom of God manifested in the work of the Creation” (1691). Setelah itu muncul Charles E Raven (1885 – 1964) dengan 2 volume buku sejarah agama dan Sain (Natural Religion and Science) Seperti telah disebutkan di muka bahwa kajian-kajian perkembangan ilmu dan teknologi di kalangan ilmuwan kristiani berlangsung setelah abad ke 13. Banyak ilmuwan kristiani (Pantekosta, Katolik Roma, dsb) bermunculan dengan berbagai bidang ilmu yang terlibat dengan apa yang dikenal masa Renaisans.
Ilmu apa yang mendesak? Pertanyaan di atas ditujukan kepada semua agama. Untunglah akhir-akhir ini tumbuh kesadaran bersama di kalangan agamawan, apa peran agama menghadapi realitas kondisi dunia seperti sekarang ini? Bagi ummat Islam, kalau dikaitkan kewajiban dan misi ummat Islam seperti disebutkan di muka, jawabannya adalah semua ilmu dan teknologi sangat mendesak. Mengapa? Ummat Islam yang berada berada di titik rendah walaupun tidak di titik nadir, perlu menyadari bahwa sebagian besar saranna dan prasarana untuk melaksanakan
misi
kehambaan
dan
kekhalifahan
bukan
ummat
Islam
yang
menyediakannya. Akibatnya, kita sangat bergantung kepada pihak lain, sehingga mudah dipermainkan, kemudian kita protes. Coba kita renungkan kebutuhan keseharian kita: transportasi, komunikasi, informasi, papan, dan pangan. Mengapa kita baru berperan sebagai pengguna (users) bukan penyedian (providers)? Di antara yang mendesak itu, mungkin masalah pangan merupakan pilihan prioritas yang sangat mendesak. Mangapa? Ada beberapa alasan, antara lain (i) pangan merupakan kebutuhan pokok yang tidak dapat ditunda terlalu lama (1 bulan?), apalagi jumlah kita sangat besar, lebih 200 juta orang, (ii) efek ke generasi berikutnya sangat signifikan
22
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
(kemunduran intelektual), dan (iii) sebagai negara agraris dengan tanah yang subur rasanya sangat aneh kalau ada berita ada kelaparan (gizi buruk?) di negeri ini. Adanya kesenjangan yang cukup lebar antara ”pemilik” teknologi lanjut (advanced) dengan masyarakat negara berkembang, nampaknya disebabkan kurang atau tiadanya landasan moral pengembangan teknologi itu. Kebanyakan agamawan saat ini tidak terlalu mempermasalahkan teknologi itu sendiri selama kaidah moral diterapkan, yakni tidak menyalahi etika moral (bertanggungjawab kepada Allah), untuk kemaslahatan bersama (tidak semata-mata keuntungan materi sekelompok kecil orang), dan tidak mendatangkan kemudhorotan atau kerusakan lingkungan.
Penutup Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendatangkan banyak kemudahan tetapi disertai pula berbagai dampak negatif yang sulit dihindari. Agama, sebagai tata nilai dan tuntunan hidup, di satu sisi mendorong penguasaan ilmu di sisi lain juga mengendalikan agar pengembangannya menuju ke arah yang benar. Kuncinya, pelaku pengembang dan pengguna teknologi mesti berhati-hati dan menyadari bahwa hasil teknologi yang dicapainya sering tidak dapat diprediksi akan dampak negatifnya. Adalah tugas para agamawan untuk turut memantau pengembangan dan pemanfaatan produk teknologi agar manusia tidak terjerumus pada kebinasaan.
23
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
DUKUNGAN IPTEK DALAM PENENTUAN HALAL Studi Kasus Produk Peternakan Tridjoko Wisnu Murti* Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Bulaksumur –Yogyakarta 55281
Abstrak Di berbagai belahan dunia, banyak berkembang restoran, katering dan industri pangan berbasis etnis dan religi. Pada awalnya perkembangan itu dipengaruhi oleh kepercayaan pemiliknya, namun dengan berkembangnya sifat profesionalisme usaha, kebutuhan dan tuntutan pasar tidak boleh dikesampingkan. Artikel ini membahas landasan agama Islam tentang halal, asas manfaat pengharaman pangan dan pendekatan iptek untuk menguji keharaman suatu pangan. Terdapat hubungan yang lurus antara larangan agama, manfaat pengharaman dan perkembangan iptek dalam menguji pangan haram. Dalam pemikiran dasar manusia didalam memenuhi kebutuhan fisik tubuhnya terkait dengan kemurnian berpikir dan nilai kemanusiaan yang wajib dijaganya. Dalam hal tertentu Islam mengajarkan kehalalan dan keamanan pangan itu saling terkait erat, sehingga walau sekecil apapun zat yang tergolong merugikan manusia dan ternyata banyak dikandung pada bahan makanan yang diharamkan Islam itu tetap dilarang. Kaum muslimin diharapkan bisa mengambil hikmah larangan Allah tentang makanan itu dari sudut IPTEK pula. Kata Kunci: Pangan dan Minuman, Restoran dan Katering, Keamanan, Kehalalan
Pendahuluan Pangan etnis/religi adalah salah satu trend yang mengemuka pada era globalisasi ini. Di AS pangan bagi etnis Hispanik terlihat merupakan 15% dari pangan yang ada di restoran dan bersama variannya, makanan Meksiko dan Karibia mencapai 43%. Di Indonesia, restoran etnis Padang dapat ditemukan di berbagai daerah, dan di Yogyakarta sendiri ada sekitar 60 – 70% (Rossa, 2003; Gusnainti, 2003). Pangan etnis itu tidak saja membawa flavor tersendiri, namun juga berbeda dalam persiapan bahan dan cara proses pangan yang berlaku. Selain makanan etnis Padang yang mayoritas beragama Islam, ada juga restoran etnis Cina dan Eropa di berbagai kota di Indonesia. Selain pangan atas dasar etnis, maka di Negara muslim, maka muncul berbagai restoran yang mencantumkan label halal bagi restoran/kateringnya. Restoran berbasis etnis itu secara langsung berhubungan 24
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
dengan keberadaan dan kepercayaan religi pemilik atau etnis yang bersangkutan. Jika dilihat secara religi, maka rumah makan atau katering menyediakan menu sesuai dengan peraturan, kondisi lingkungan, dan harapan konsumennya. Peraturan Indonesia mengakomodasi kepentingan konsumen dalam UU No 7/1996 pasal 30 ayat 2 tentang label, yakni ”label” sebagaimana dimaksud pada pasal 30 ayat 1 memuat sekurangkurangnya keterangan mengenai: a. nama produk, b. daftar bahan yang digunakan, c. isi berat bersih, d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia, e. keterangan tentang halal, dan f. tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa. Mayoritas bangsa Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Tentu, hukum positif yang berkembang mengakomodasi kepentingan setidaknya mayoritas rakyatnya dan tidak merugikan yang minoritas. Bagaimana hal itu dapat dipastikan tidak merugikan, disinilah peranan ulama dan umara (termasuk para ahli) menjelaskan jika aturan Tuhan bisa didukung oleh penjelasan ilmiah yang diperlukan secara memadai. Islam adalah agama yang sangat komprehensif yang mengajarkan dan memberi petunjuk kepada pengikutnya melalui aturan yang dibangun terhadap individu, lingkungan sosial, dan aspek kemasyarakatannya. Dasar petunjuk terhadap pemakaian dan konsumsi pangan dimunculkan pada Kitab suci Al Qur’an dan diterangkan serta dijelaskan secara praktis melalui Sunnah Rasulullah Muhammad saw (kehidupan, aksi dan pengajaran nabi), yang ditujukan kepada semua umat manusia.. Hukum ini secara tegas diawasi oleh kaum Muslimin di seluruh dunia (1,5 milyar populasi dari Afrika Utara-Timur Tengah-Asia Selatan-Asia Tenggara dan Eropa/Amerika) pada semua etnik dan ragam geografis). Dengan perkembangan kemajuan jaman yang menglobal dalam pemasaran pangan, maka industri pengolahan pangan mengirim hasil olahannya jauh dari pabrik asalnya. Oleh karena itu, industri pangan (pabrik, restoran-katering), obat dan kosmetik harus memahami dasar hukum sesuai kebutuhan kaum Muslimin dan implikasinya dari hukum halal-haram yang ada. Pokok-pokok ajaran Islam tentang halal-haram itu secara mendasar mencakup 11 hal, yakni: a. Asal segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah Mubah (diijinkan) kecuali beberapa yang secara khusus diharamkan. b. Penentuan halal-haram adalah wewenang mutlak Allah sendiri. c. Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram adalah Musrik. 25
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
d. Mengharamkan yang halal akan berakibat timbulnya kejahatan dan bahaya (dasar alasan mengharamkan sesuatu karena ketidakmurnian/ketidaksucian dan kerusakan yang ditimbulkan). e. Setiap yang halal tidak memerlukan yang haram. f. Apa saja yang membawa pada yang haram adalah haram. g. Bersiasat terhadap hal yang haram, hukumnya adalah haram. h. Niat baik, tidak dapat melepaskan yang haram. i. Menjauhkan diri dari yang subhat (tidak jelas) karena takut terlibat yang haram. j. Sesuatu yang haram berlaku untuk semua orang. k. Keadaan yang terpaksa, membolehkan yang terlarang. Halal adalah kata-kata Al Qur’an yang artinya diijinkan. Dalam hubungannya dengan pangan, maka itu adalah standar makanan orang Islam. Petunjuk Al Qur’an secara umum mengatakan bahwa semua adalah halal, kecuali yang secara khusus dikatakan haram. Secara khusus larangan tentang makanan dalam Islam ada dalam Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 173 atau Al-Maidah ayat 3 ”Kalian diharamkan (makan) bangkai, darah mengalir, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah”. Sedang larangan minuman yang memabukkan ada dalam surat Al-Maidah ayat 90 ”Wahai orang beriman, minuman anggur, mainan undian, patung idola, dan permainan anak panah hanyalah sesuatu yang menyesatkan, perbuatan syetan. Tinggalkan itu, engkau mungkin akan sukses”. Atas dasar itu, maka semua makanan sehat, murni, dan bersih semua diijinkan untuk manusia, kecuali yang dilarang itu dan keturunannya (Bangkai atau binatang mati, darah mengalir/membeku, babi dan semua produk terkait, ternak disembelih tanpa menyebut nama Allah/menyebut nama selain Allah, ternak terbunuh dengan cara yang mencegah darah mengalir keluar tubuhnya, makanan (beracun) termasuk alkohol dan obat terlarang, binatang buas berkuku: singa, anjing, anjing hutan/srigala, macan, burung bercakar: elang, garuda, hantu,dll, binatang darat tanpa telinga: kodok, ular).
26
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Landasan Ilmiah Pelarangan Larangan itu tentu ada dasarnya, karena terkait dengan penerapan prakteknya. Ternak mati/bangkai tidak layak untuk manusia, karena akan memunculkan senyawa kimia yang akan merusak manusia, seperti protein (amina biogenik) bersifat pembusuk: cadaverin, putrefacin, tryptamin, tyramin, histamine. Darah adalah sarang bakteri, produk metabolik dan racun, sehingga layak diharamkan. Bahan beracun seperti alkohol dan obat terlarang diharamkan karena akan merusak sistem syaraf sehingga mempengaruhi kemampuan berpikir dan mengambil keputusan yang akan mengarah pada kerusakan di keluarga, sosial masyarakat dan alam serta dalam hal tertentu mematikan. Perbedaan dengan Kosher antara lain: dalam jumlah sedikit alkohol diijinkan, namun dalam islam tidak karena itu akan menjadikan bahan tersebut menjadi tidak murni. Ternak mati jelas akan terlarang untuk manusia, karena itu terkait dengan derajat manusia itu sendiri yang bukan pemakan bangkai. Namun dalam hal tertentu negara yang mengatakan dirinya sebagai modern menawarkan proses pemingsanan ternak sebelum disembelih justru seringkali menemui ternak mati sebelum disembelih sehingga darah tidak/sedikit keluar karena kerusakan sistem syarafnya yang justru akan berbahaya bagi kesehatan konsumennya. Babi diharamkan, karena secara ilmu pengetahuan menjadi perantara penyakit patogen karena cacing pita (Trichinella spiralis dan Taenia solium). Disamping itu lemak babi (shortening, gelatin, leavening, lard, dll) tidak cocok secara metabolik dengan lemak manusia, khususnya dalam hal pencernaannya yang sulit sehingga babi dilarang. (lihat Lampiran Gb 8.) Penggorengan daging babi/penggunaan lemak babi untuk menggoreng ternyata menghasilkan 2 atau lebih senyawa N-nitrosamine volatile (VNAs) yang sangat potensial menyebabkan kanker (Hotchkiss and Vecchio (1995), diantaranya N-nitrospyrrolidine (NPYR) dan N-nitrosodomethylamines (NDMA) dan N-nitrosothiazolidine (NTTZ). Penggorengan dengan minyak babi tidak saja akan memunculkan senyawa prokanker itu di daging atau bahan pangan yang digoreng (ikan, telur, ayam, bawang merah, dsb), bahkan pada uap yang ditimbulkan penuh dengan senyawa itu sendiri. Kalau daging babi digoreng dengan minyak sayur biasa, maka minyak sayur tadi menjadi mengandung senyawa prokanker itu. Pelarangan babi tidak saja mengkonsumsinya tetapi juga beternak, jual beli juga diharamkan (Al Bagdhadi, 2001), karena secara psikologi babi mempunyai sifat buruk (antara binatang buas dan jinak dan suka memakan bangkai). 27
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Tabel. 1. Pembentukan senyawa N-nitrosamin volatil yang karsinogenik pada makanan yang digoreng dengan lemak babi (ng/100 g bahan mentah) Bahan Pangan Ikan Salem Hati Telur Ayam
Bag. termakan non lapis NDMA NPYR 76 23 69 77 -
Bag. termakan terlapisi NDMA NPYR 305 115 574 148 39 47 176
Uap NDMA NPYR 2.728 430 3,780 610 3.800 3.820 1.980 470 660 590
Hotchkiss and Vecchio (1995) Peranan Iptek Mendeteksi Barang Haram Ada 2 macam pangan utama yang menjadi perhatian penuh kaum muslimin agar dapat dideteksi dengan baik oleh kemajuan iptek yang ada sekarang ini, yakni keberadaan babi dan alkohol. Pangan yang diragukan sebaiknya dihindari atau dianggap haram. Secara lengkap beberapa macam pangan haram dan meragukan dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Beberapa macam pangan haram dan meragukan Masbuk/Ragu-ragu Haram/Dihindarkan Bacon Beer Hydrolyzed animal protein Pork Gin Shortening Gammon Steaks Rum Fat Rashers Scotch Sausages Lard Vodka Margarine Animal Fat Whiskey Animal Shortening Wine Keberadaan babi Unsur non lemak. Keberadaan babi dapat dideteksi melalui cuplikan daging, tulang atau rambut. Cara iptek yang ada sejauh ini dengan bantuan metode Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphysms (PCR-RFLP). (Lampiran Gb1-7.) Unsur lemak. Keberadaan lemak babi dapat dideteksi dengan alat yang dikenal sebagai Fourier Transformer–Infra Red Sepctrophotometry (FTIR). Alat ini bekerja pada panjang gelombang 400 – 4000 nm, dan akan menampilkan ciri yang berbeda pada masing-masing lemak (Irudayaraj et al., 2001). (Lampiran Gb 8.)
Keberadaan alkohol Cara destilasi pada titik didih alkohol umumnya sudah cukup memadai untuk mendeteksi keberadaan alkohol yang diharamkan sebagai khamr. Namun demikian, pada 28 Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
kasus alkohol pendapat kaum muslimin terbagi dua, khususnya ada yang mengharamkan atas dasar memabukkan (% kadar alkohol) atau atas dasar proses alami/dibuat. Pada dasarnya ulama sepakat bahwa yang banyaknya memabukkan, maka sedikitpun haram. Nah andaikata pemasakan menggunakan ethanol (ethyl alcohol) dalam beer, wine, liquor yang dimasukkan ke dalam bahan pangan, maka itu menyebabkan pangan tersebut terkontaminasi menjadi haram. Manusia dengan kemajuan teknologi dan budayanya memaksakan bahwa hal itu halal, terutama jika ada proses pemanasan lanjut yang diduga menguapkan alkohol tadi. Hasil kajian IPTEK menunjukkan jika masakan ditambah alkohol kemudian diperlakukan lanjut ternyata masih menyisakan cukup banyak alkohol, dan ada sisa alkohol dalam pelarut pangan (tabel 3). Tabel 3. Metode masak dan sisa alkohol Metode masak Penambahan pada cairan mendidih dan kemudian disingkirkan Memasak di atas bara api (cooked over flame) Ditambahkan tanpa pemanasan kemudian disimpan semalam Ditambahkan dalam pembuatan roti 25 menit tanpa diaduk Dicampur-adukkan dan dibuat roti selama 30 menit Dicampur-adukkan dan dibuat roti selama 2 jam Audi S. (2007) in www.ifanca.org
Sisa alkohol % 85 75 70 45 35 5 – 10
Kesimpulan Terdapat hubungan yang lurus antara larangan agama, manfaat pengharaman dan perkembangan iptek dalam menguji pangan haram. Dalam pemikiran dasar manusia didalam memenuhi kebutuhan fisik tubuhnya terkait dengan kemurnian berpikir dan nilai kemanusiaan yang wajib dijaganya. Dalam hal tertentu Islam mengajarkan kehalalan dan keamanan pangan itu saling terkait erat, sehingga walau sekecil apapun zat yang tergolong merugikan manusia dan ternyata banyak dikandung pada bahan makanan yang diharamkan Islam itu tetap dilarang dan kemajuan ilmu pengetahuan dapat membuktikan cara menguji pangan haram dan mampu mendeteksi keberadaan barang haram dalam suatu makanan atau minuman. Kaum muslimin diharapkan dengan penjelasan ini bisa mengambil hikmah larangan Allah tentang makanan itu dari sudut IPTEK pula.
29
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Daftar Pustaka Ahmadi, T. W. Murti, dan Warsono. 2004. Motivasi Religius Konsumen Rumah Makan Terhadap Olahan Hasil Ternak di Yogyakarta. Seminar Nasional tentang Pangan Asal Hewani UNDIP, 23 September 2004. Al Bagdadi, A. 2001. Babi halal-babi haram, GIP Press. Al Qur’an Audi, S. 2007. Chocolate Liquor, Root Beer, Cooking Wine and Non-Alcoholic Beer, Are They Halal?. Features in www.ifanca.org. Gusnainti, 2003. Analisis Permintaan Daging dan Telur di Rumah Makan Padang, Rumah Makan Non Padang, dan Warung Lesehan di Wilayah Kabupaten Sleman. Skripsi Sarjana Peternakan UGM. Hottckiss, J. H., and A. J. Vecchio. 1995. Nitrosamines fried out bacon fat and its use as a cooking oils. Food Tech. 39(1): 67-73. Irudayaraj, J., S. Sivakesava, S. Kamath, and H. Yang. 2001. Monitoring chemical change in some foods using fourier transform photocoustic spectroscopy. J. Food Sci. 66: 1416-1421. Muladno dan H. Nuraini, 2005. Deteksi Babi dalam Pangan. Presentasi di depan LPPOM MUI-DIY. Qardhawy, Y. 2000. Halal dan Haram Dalam Islam. Alih Bahasa M. M. Hamidy. Bina Ilmu, Surabaya. Rosa, R. 2003. Analisis Permintaan Daging dan Telur Pada Rumah Makan Padang, Non Padang, dan Warung Lesehan di Kota Yogyakarta. Skripsi Sarjana Peternakan UGM. UU No 7/ 1996: Pangan. UU No 8/1999: Perlindungan Konsumen.
* Dr. Ir. H. Tridjoko Wisnu Murti , DEA adalah Direktur LPPOM MUI Daerah Istimewa Yogyakarta
30
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Lampiran
1. Deteksi Babi a. Deteksi cara SINE (Gb. 1) Karakteristik SINE
Tidak ditranskripsi
Gen
Non Gen Menurut pola runutan basa Sekuen berulang berjarak acak dan menyebar (interspersed)
Sekuen berulang berurutan (tandem): minisatelit mikrosatelit Short interspersed nucleotide element (SINE)
Tidak terdapat pada daerah yang memberi kode genetik pembuatan protein Susunan nukleotida berbeda/khas pada setiap spesies Panjang sekuen DNA kurang dari 500 pasang basa (pb) Runutan DNA pengapitnya spesifik, sehingga dapat digunakan sebagai primer pada proses PCR Porcine Repetitive Element-1 (PRE-1) Merupakan SINE yang terdapat pada babi dan kerabatnya Mempunyai panjang sekuen DNA sekitar 230 pb Mengandung poli (A) pada ujung 3’
Long interspersed nucleotide element (LINE)
Gb.2. Karakteristik SINE
Gb.1. Penggambaran deteksi babi
10
20
30
AACACCTGAA AGAGCCAACT CTACCCACCT
40 GCATTCAACC
CTTACGCCTT
AGGCCTCCTC AAGACTACAC TTGGCAGGAG
TTCCCGTTGT
AGCTTAGTGG TAAACGAATC CGACTAGGAA
CCATGAGGTT
GCGGGTTAAG GATCCAGTGC TGCCGTGAGC
TGTGGTGTAG
TTGCAAACGT GGCTCGGATC CTGCGTTGCT
GTGGCTCTGG
CGTAGCCGGT GAGTACGCGC GATTCGACCC
TAGCCTGGGA
ACCTCTATAT GCTGTAGGAG TGGCCCAAGA
AATGGCAAAA AGACAAAAAA AAAAAAAAAA AAGATAACAC CTGAAAGA Gb 3. Sekuen DNA genom babi (Sus scrofa) mengandung PRE-1 yang diapit oleh primer P131. Sekuen dengan tanda panah menunjukkan primer, sekuen dengan warna hijau menunjukkan PRE-1 dan tanda – menunjukkan basa yang hilang (Sulandari et al., 1997).
31
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Gb 4. Metode penelitian dengan PCR
Uji efektivitas flanking primer
1
2
3 4 5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17
Lajur (1) Marker 100 pb; (2) Daging babi segar; (3) Sosis babi fermentasi; (4) Sosis babi 1; (5) Sosis babi 2; (6) Kornet babi 1; (7) Kornet babi 2; (8) Kornet babi 3; (9) Dendeng babi mentah; (10) Dendeng babi panggang; (11) Abon babi; (12) Bakso babi; (13) Sosis sapi; (14) Kornet sapi; (15) Dendeng sapi goreng; (16) Abon sapi; (17) Bakso sapi. Gb.5. Hasil PCR primer P642 pada sampel penelitian (390 pb) (Muladno dan Nuraini, 2005)
32
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
b. Deteksi menurut sekuen berulang berurutan DNA Finger printing: 1. Setelah
mengisolasi
DNA
dan
memperbanyak melalui PCR. 2. Kemudian DNA dipotong dengan enzim pemotong (restriction enzyme) pada sekuen tertentu. Sehingga muncul berbagai fragmen DNA
berbeda
ukuran
yang
disebut
Restriction fragment length polymorphisms (RFLP). 3. Observasi melalui gel elektroforesis.
Gb.6. Penggambaran sekuen berulang berurutan
-Kemudian DNA finger printing ini dapat menentukan fragmen ini milik siapa/ternak apa?
Gb 7. Pencarian individu dengan metode DNA finger printing-Souhthern-Blot.
33
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
2. Deteksi lemak Menggunakan Fourier Transform-Infra Red Sepctroscopy-Photoacustic absorption (Gb 8.).
Gb 8. Pola lemak babi, mentega, mayonais dan pemoles permukaan roti pada alat FTIR.
34
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
APLIKASI TEKNIK POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) UNTUK DETEKSI KEHALALAN PANGAN Yuny Erwanto Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan UGM Jl Agro, Karangmalang, Yogyakarta 55281 Email;
[email protected],
[email protected]
Pendahuluan Identifikasi asal spesies daging menjadi masalah yang sangat penting pada produk pangan manusia khususnya yang berasal dari daging. Dalam konsep jaminan keamanan pangan maka data bahan baku yang digunakan sangat penting untuk dicantumkan. Indonesia dengan jumlah penduduk muslim sekitar 200 juta jiwa menjadikan sertifikasi tidak hanya menuju produk pangan yang sehat dan aman dikonsumi namun juga harus memperlihatkan aspek kehalalan dari produk pangan tersebut. Tercampurnya produk pangan baik produk daging atau non daging dengan bahan haram semacam daging babi dan tikus menjadi isu yang sering berkembang. Implikasi pemberitaan tentang status makanan tersebut akan berdampak sangat luas bila tanpa disertai dengan kemampuan teknologi untuk membuktikan atau menjustifikasi suatu isu atau berita yang berkembang. Teknologi tidak hanya diperlukan untuk sertifikasi status kehalalan produk namun juga menghindari pemalsuan dan sekaligus menjadi alat bukti yang kuat apabila terjadi suatu kasus yang memerlukan pembuktian ilmiah. Dalam kancah perdagangan international maka pembuktian ilmiah tersebut dapat digunakan sebagai justifikasi ditolak atau diterimanya suatu produk impor ke Indonesia. Protein daging dan molekul DNA telah dijadikan sebagai biological marker untuk menentukan jenis daging (Saez et al., 2004). Beberapa metode yang menggunakan protein sebagai dasar analisis telah digambarkan sebelumnya yaitu melalui elektrophoresis, immunological, kromatografi dan mass spectrometric (Liu et al., 2006).Teknik molekular telah berkembang pula pada dua dekade terakhir yang memungkinkan pengembangan metode yang memudahkan dalam autentifikasi dan reliable untuk identifikasi jenis daging (Girish et at., 2005).
Berbagai macam teknik DNA telah dikembangkan seperti
menggunakan metode multiplex PCR assay (Matsunaga et al., 1999), PCR-based finger 35
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
printing (Saez et al., 2004), sedangkan Colgan et al. (2001) meneliti tentang meat bone meal dengan teknik real time PCR untuk mendeteksi asal daging dan untuk mengetahui kuantitas dan spesies daging dalam campuran komplek DNA. Lopes-Andreo et al. (2005) juga menggunakan metode yang sama untuk mengidentifikasi jenis daging. Metode PCR menjadi metode yang paling mudah dilakukan dan memberikan hasil yang valid hanya saja untuk identifikasi jenis daging biasanya masih harus diikuti dengan digesti dengan ensim restriction (Partis et al., 2000; Aida et al., 2005, Girish et al., 2005). Metode PCR-RFLP biasanya menggunakan DNA atau RNA dari mitokondria dan inti sel karena mudahnya diisolasi dan jumlahnya yang cukup banyak. Diantara DNA mitokondria maka cytochrome b adalah DNA yang banyak digunakan dalam penelitian ini. Gen yang lain dan sering digunakan yang berasal dari gen mitokondria adalah 12sRNA dan 16sRNA. Dalam tulisan ini dilaporkan beberapa metode teknik PCR untuk identifikasi asal jenis daging dalam campurannya dengan daging sapi dengan metode PCR-RFLP dari gen cytochrome b maupun identifikasi dengan primer spesifik dari DNA nukleus. Level kemampuan metode ini dalam mendeteksi keberadaan daging babi dalam berbagai persentase juga dipaparkan sehingga diketahui kemampuan deteksi dengan metode ini. Tahapan Identifikasi dengan PCR Hal yang pertama dilakukan adalah isolasi DNA. Metode isolasi disesuiakan dengan kondisi sampel yang akan dianalisis namun untuk genomic DNA dari jaringan daging baik sudah merupakan campuran pada produk atau masih daging segar tidak mengalami kesulitan. Banyak kit tersedia pula namun mengakibatkan harganya lebih mahal. Misalkan Wizard genomic DNA purification Kit, DNAzole, TRIZOL, Tri Reagent dan produk komersial yang lain. Isolasi juga dapat dilakukan sendiri yang prinsipnya adalah melisiskan sel dan memurnikan DNA. Setelah didapatkan template DNA dilanjutkan dengan amplifikasi atau penggandaan DNA dengan primer spesifik atau universal primer sesuai dengan gen target. Visualisai dilakukan dengan elektrophoresis yang disesuaikan dengan berat molekul DNA targetnya. Metode deteksi spesies dengan menggunakan metode PCR ada beberapa cara dan yang paling mudah dilakukan ada dua metode yang akan dijelaskan yaitu metode PCR dengan ensim spesifik dan metode PCR yang dilanjutkan dengan restriction fragment length polymorphism (RFLP). Metode PCRRFLP membutuhkan ensim restriksi yang biasanya digunakan endonuklease restriction 36
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
yang mampu memotong DNA pada urutan basa tertentu sehingga variasi dari berbagai spesies dapat diketahui. PCR dengan Spesifik Primer Sequence DNA yang repetitive dalam genome dapat digunakan sebagai marker identifikasi spesies berdasarkan pada molekul DNA. Misalkan saja dalam genome manusia terdapat 120.000 copy atau sekitar 0,2 - 0,3% dari total DNA yang merupakan ulangan interspered repeat (MIR) yang mempunyai perbedaan dengan mamalia secara umum (Jurka et al., 1995 dalam Tajima et al., 2002). Peneliti yang lain menggunakan DNA satelite untuk mengidentifikasi daging baik segar maupun yang telah masak dan mampu mengidentifikasi asal spesies daging. Teknik PCR dengan menggunakan intra short interspered element (SINE) juga dilakukan oleh Walker et al. (2003) untuk mendeteksi daging dari spesies ayam, babi dan sapi dengan kemampuan sampai level 0,05% dalam campuran bahan. Kemampuan teknik ini juga diaplikasikan dalam design primer spesifik yang didasarkan dari sequence DNA pada SINE untuk babi dan ruminansia serta LINE untuk Ayam (Tajima et al., 2002). Beberapa keuntungan identifikasi spesies dengan spesifik primer ini dikemukan oleh Walker et al. (2003) sebagai berikut: 1. Merupakan metode yang simple yang tidak mensyaratkan perlakuan tambahan seperti pemotongan dengan ensim restriksi endonuclease seperti yang dilakukan dalam penelitian Bellagamba et al. (2001), Meyer et al. (1995), Aida et al. (2005) dan Erwanto et al. (2007). 2. Tidak membutuhkan ketrampilan dan alat tambahan seperti DNA sequencing. 3. Jumlah copy SINE yang banyak dalam genome yang bervariasi 4. Biaya yang lebih murah dalam skala analisis yang besar dan secara umum laboratorium mampu melakukan ini. Kelebihan yang lain metode ini menggunakan sequence dari inti sel dengan jumlah copy amplifikasi yang tinggi. Namun tentu ada kelemahan yang menjadi catatan yaitu seringnya band dalam electrophoresis mempunyai berat molekul yang dekat sehingga menyulitkan dalam pembacaan pada agarose gel dan dalam mendesign primer juga harus mempunyai kemampuan khususnya ilmu bioinformatic. Giese (2002) melaporkan bahwa metode ini telah diaplikasikan untuk Team biosecurity-nya Departemen Pertanian USA dan juga oleh FDA. 37
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Gambar berikut menunjukkan gambar hasil identifikasi dari berbagai jenis daging dan juga pakan ternak yang mengandung meat bone meal (MBM).
Gb. 1. Menunjukkan gambar hasil electrophoresis dari a) Bovine b) Ovine dan c) Caprine yang diamplifikasi dengan primer spesifik dari 12s rRNA mitokondria dimana lane M) marker NC) control tanpa template 1) daging segar dan lane 2 – 4) daging masak (Martin et al., 2007).
Gb. 2. Deteksi spesies dengan menggunakan DNA spesifik yang didasarkan pada SINE dengan 30 cyclus PCR dimana A) PCR dengan menggunakan primer Sapi 1.117 B repeat B) menggunakan primer intra-Pre-1 SINE C) menggunakan primer ayam intra-CR-1 Sine dan D dengan primer sapi intra-Bov-tA2 SINE. Urutan band adalah 1) Marker, 2) Sapi, 3) 38
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Babi, 4) Ayam, 5) Kuda 6) Domba, 7) Rusa, 8) Kijang, 9) Kelinci, 10) Itik 11) Anjing 12) Kucing, 13) Marmut, 14) tikus, 15) Manusia dan 16) Kontrol tanpa template (Walker 2002). Gambar 1 dan 2 menunjukkan kemampuan primer spesifik yang biasanya didasarkan pada DNA spesifik pada Intra SINE. Jenis hewan dapat dibedakan berdasarkan band hasil electrophoresis namun beberapa hewan masih memberikan band yang sama karena berat molekulnya yang mirip. Hal yang penting dari kedua gambar di atas babi dapat dibedakan dengan jelas dengan daging hewan lain khususnya daging komersial yang biasa dipasarkan yaitu sapi, kambing maupun ayam.
Metode Identifikasi Dengan PCR-RFLP Pendekatan dengan metode PCR menjadi pilihan yang tepat untuk mendeteksi sejumlah DNA yang jumlahnya kecil dengan target region template DNA secara cepat dan sensitif. Template DNA mitokondrial melalui cytochrome b region (Quinteiro et al 1998) atau melalui genomic DNA telah dilakukan analisis untuk membedakan dari banyak macam spesies. Mereka menggunakan baik spesifik maupun universal primer mendasarkan pada inter dan intra spesies phylogeny. Metode PCR-RFLP adalah metode yang mengkombinasikan antara amplifikasi DNA dengan teknik PCR dan digesti dengan ensim resktriksi. Beberapa keuntungan yang dicatat dengan metode ini adalah sebagai berikut: 1. Kombinasi antara universal PCR primer dengan ensim restriksi dapat memberikan kepuasan dalam identifikasi spesies. 2. Tidak membutuhkan reference letak pemotongan oleh ensim apabila spesies yang ingin diidentifikasi sudah jelas misal babi (Wolf et al., 1999). 3. Materi PCR-RFLP merupakan bahan alternatif yang simple untuk sequencing identifikasi variasi genetik anatar dan dalam spesies. 4. Dapat diaplikasikan baik untuk daging segar maupun masak serta daging proses seperti sosis dan bakso. Dalam metode PCR-RFLP dapat digunakan universal primer dari gen cytochrome b, 12S rRNA dan 16s rRNA yang ketiganya dari mitokondria. Kelebihan dari mitokondria adalah dalam sel jumlah mitokondria cukup banyak, mitokondrial DNA merupakan materal inheritance dan tidak ada rekombinan pada semua vertebrata sehingga bersifat 39
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
lebih konservatif, mitokondrial DNA juga mempunyai variasi yang besar sehingga dapat digunakan sebagai bukti untuk mengidentifikasi spesies (Che Man et al., 2006).
Gb. 3. Hasil analisis elektrophoresis setelah digesti produk PCR 12S rRNA yang didegsti dengan ensim restriksi Msel. Sampel M) Marker, 1) Undigest DNA, 2a) rusa merah jenis A, 2b) rusa merah B, 3) rusa fallow, 4a) Rusa Roe A 4b) Rusa Roe B, 5). Kambing, 6) Sapi, 7) Domba (Fajardo et al., 2006). Gambar 3 menunjukkan bahwa teknik PCR-RFLP dapat digunakan untuk membedakan antar jenis pada spesies yang sama, kecuali juga mampu membedakan dengan spesies yang lain. Terlihat band untuk rusa dari berbagai jenis yang berbeda menunjukkan band yang berbeda pula demikian juga dengan spesies lain yaitu kambing, domba dan sapi juga dapat dideteksi. Girish et al. (2005) melaporkan pula bahwa penggunaan universal primer 12S rRNA dapat mengamplifikasi empat jenis spesies yaitu sapi, kerbau, kambing dan domba dengan berat 456 bp. Digesti dengan ensim AluI dapat memotong fragment DNA sapi menjadi 359 dan 97 bp dan menjadi fragment 246 dan 210 bp untuk domba dan kambing. Penelitian Erwanto et al. (2007) menggunakan metode PCR-RFLP untuk mengetahui keberadaan daging babi metode yang sama sebelumnya pernah pula dilakukan oleh Meyer et al. (1995) dan oleh Aida et al. (2005) dengan beberapa modifikasi perbedaan. Gambar 4 memaparkan gambar hasil analisis visualisasi dengan elektrophoresis
40
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
baik setelah dilakukan amplifikasi dengan universal primer cytochrome b maupun setelah didegesti dengan ensim BsaJ I.
Gen cytochrome b dari spesies babi dan sapi mempunyai berat molekul yang sama sekitar 360 bp. Hasil diatas kemudian dilanjutkan dengan digesti ensim menggunakan ensim restriksi BsaJ I dengan lama inkubasi over night pada suhu 60 0C dan hasil terlihat sebagaimana gambar dibawah.
1
2
3
4
5
6
7
Gb. 5. Hasil Digesti dengan ensim BsaJI dimana 1) daging sapi, 2) sapi 90% : babi 10%, 3) sapi 92,5%:babi 7,5%, 4) sapi 95%:babi 5%, 5) sapi 97%:babi 3%, 6) sapi 99%:babi 1% dan 7) marker DNA. Gambar 5 menunjukkan bahwa cytochrome DNA babi akan terpotong menjadi 121 bp dan 239 bp sehingga terdapat 2 band DNA sementara untuk daging sapi tidak terpotong DNA sehingga tetap pada posisi 360 bp untuk itu bila terdapat campuran daging babi 41
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
sampai level 1% masih dapat dideteksi dengan teknik ini. Percobaan juga dikembangkan untuk campuran daging babi dengan ayam dan kambing dan menunjukkan bahwa DNA cytochrome dari daging ayam dan kambing juga tidak terdigesti oleh ensim ini sehingga mampu dibedakan dengan daging babi (Erwanto et al., 2007).
Kesimpulan Teknik PCR mempunyai kemampuan yang sensitif untuk mendeteksi keberadaan daging babi baik dalam daging segar maupun produk daging yang telah dicampur dengan bahan daging yang lain. Analisis ini dapat dapat digunakan secara rutin di laboratorium sebagai metode yang cepat dan praktis.
Daftar Pustaka Aida, A. A., Y. B. Che-Man, C. M. V. L. Wong, A. R. Raha and R. Son. 2005. Analysis of raw meats and fats of pig using polymerase chain reaction for halal authentication. Meat Science. 69 p. 47-52. Colgan S., L. O'Brien, M. Maher, N. Shilton, K. McDonnell, and S. Ward. 2001. Development of a DNA-based assay for spesies identification in meat and bone meal. Food Research International 34/5 p. 409-414. Erwanto, Y., Rusman dan A. B. Witarto. 2007. Identifikasi daging babi dengan PCR-RFLP sebagai acuan untuk menentukan status kehalalan. Prosiding seminar cluster agro LPPM-UGM. 30 November 2007. Fajardo, V., I. Gonzales, I. Lopez-Calleja, I. Martin, P.E. Hernández, T. Garcia and R. Martin. 2006. PCR-RFLP Authentication of Meats from Red Deer (Cervus elaphus), Fallow Deer (Dama dama), Roe Deer (Capreolus capreolus), Cattle (Bos taurus), Sheep (Ovis aries), and Goat (Capra hircus). Journal of Agricultural and Food Chemistry, 54: 1144-1150. Girish, P. S., A. S. R. Anjaneyuhu, K. N. Viswas, B. M. Shivakumar, M. Anand, M. Patel, and B. Sharma. 2005. Meat spesies identification by polymerase chain reaction-restriction fragment length polymorphism (PCR-RFLP) of mitochondrial 12S rRNA gene. Meat Science. 70. p. 107-112. Giese, J. 2002. Testing for crisis control. Food Tech. 56: 68-70. Liu, L., F. C. Chen, J. L. Dorsey, and Y. H. P. Hsieh. 2006. Sensitive monoclonal antibody-based sandwich ELISA for detection of porcine skelet al muscle in meat and feed products. Journal Food Science. 71 (1): M1-M6. 42
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Lopez-Andreo, I., L. Lugo, A. Garrido-Pertierra, M. I. Prieto, and A. Puyet. 2005. Identification and quantitation of spesies in complex DNA mixture by real-time polymerase chain reaction. Analytical Biochemistry. 339.p. 73-82. Matsunaga, T., K. Chikuni, K., R. Tanabe, S. Muroya, K. Shibata and J. Yamada. 1999. A quick and simple method for the identification of meat spesies and meat products by PCR assay. Meat Science. 51: 143-148. Martin, I, T. Garcia, V. Fajardo, I. Lopes-Calleja, P.E. Hernandes, I. Gonzales and R. Martin. 2007. Species-specific PCR for the identification of ruminant species in feedstuffs. Meat Science, 75, 120-127. Partis, L., Croan, D., Guo, Z., Clark, R., Coldham, T., & Murby, J. 2000. Evaluation of a DNA fingerprinting method for determining the species origin of meats. Meat Science, 54, 369–376. Quinteiro, J., C.G. Sotelo, H. Reihben, S.E. Pryde, I. Medina and R.I. Perez-Martin. 1998. Use of mtDNA direct polymerase chain reaction (PCR) sequencing and PCR restriction fragment length polymorphism methodologies in species identification on canned tuna. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 46, 1662-1669. Saez, R. Y. Sanz and F. Toldra. 2004. PCR-based fingerprintings techniques for rapid detection of animal spesies in meat products. Meat Science. p. 659-665. Walker, J.A., D. A. Hughes, B.A. Anders, J. Shewale, S.K. Sinha, and M.A. Batzer. 2003. Quantitave intra-short interspersed element PCR for Species-specific DNA identification. Analytical Biochemistry, 316, 259-269 Tajima, K., E. Osamu, A. Masahiro, M. Makoto, K. Hiroshi, K. Mitsunori, Y. Satoshi, M. Hiroki, Y. Hiroshi, M. Tadayoshi, K. Tomoyuki, and M. Mitsuto. 2002. PCR detection of DNAs of Animal Origin in Feed by Primers Based on Sequences of Short and Long Interspersed Repetitive Elements. Biosci. Biotechnol. Biochem., 66 (10): 2247-2250. Wolf, C., J. Rentsch and P. Hubner. 1999. PCR-RFLP analysis of mitochondrial DNA: a reliable method for species identification. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 47: 1350-1355.
43
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
PERAN BIOTEKNOLOGI PADA PRODUKSI PANGAN YANG THOYYIB DARI BAHAN LOKAL UNTUK KETAHANAN PANGAN NASIONAL Yuli Witono Lab. Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember Jl. Kalimantan I JEMBER 68121
[email protected] Pendahuluan Krisis energi berbahan fosil telah berimbas pada kenaikan sejumlah bahan pangan. Berbagai negara telah menkonversi hasil pertaniannya untuk bahan baku bioenergi, sehingga jumlah bahan pangan turun dengan tajam. Amerika telah mengalihkan lahanlahan kedelainya menjadi lahan-lahan jagung yang digunakan sebagai bahan baku bioethanol. Tentu saja, hal ini menyebabkan harga kedelai meroket, karena ketersediannya menjadi berkurang. Dan Indonesiapun merasakan akibatnya. Saat ini telah terjadi kenaikan harga kedelai hampir dua (2) kali lipat, dari Rp 3.750,00 menjadi Rp 6.800,00 selama 2 bulan terakhir di berbagai daerah di Indonesia. Sementara itu, penduduk Indonesia pada tahun 2035 diperkirakan akan bertambah menjadi dua kali lipat dari jumlah sekarang, menjadi kurang lebih 400 juta jiwa. Akibatnya dalam waktu 35 tahun mendatang Indonesia memerlukan tambahan persediaan pangan lebih dari dua kali persediaan saat ini (Husodo, 2001). Tambahan, krisis ekonomi yang berkepanjangan juga telah meningkatkan jumlah kelompok miskin di Indonesia yang mencapai 40 juta (BPS, 2006). Krisis telah menurunkan daya beli masyarakat terhadap bahan kebutuhan pangan. Hal tersebut jelas akan menyebabkan makin rapuhnya ketahanan pangan, karena aksestibilitas pangan yang semakin merosot (Pramodya dan Budijanto, 2001). Penurunan ketahanan pangan ini juga diakibatkan oleh menurunnya kemampuan pemenuhan kebutuhan beras dalam negeri karena berbagai alasan seperti masalah penciutan lahan, terjadi levelling off dari peningkatan produktivitas padi dan berbagai masalah lain. Apalagi tingkat konsumsi beras perkapita sebesar 130,1 kg/tahun merupakan tantangan yang berat. Terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga 44
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
merupakan komitmen nasional, dan harus tercermin dari tersedianya pangan yang cukup beragam dengan harga yang cukup terjangkau oleh daya beli masyarakat dan serta beranekaragam konsumsi pangan masyarakat pada tingkat wilayah yang berbasis agroekosistem, budaya dan kondisi sosial ekonomi. Untuk itu pemerintah bersama-sama masyarakat dan perguruan tinggi perlu merancang strategi untuk mencapai swasembada pangan sehingga mampu mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri. Mandiri dalam bidang pangan berarti kita mampu memproduksi sendiri produk-produk pertanian/pangan yang kita butuhkan. Pemenuhan pangan bagi setiap individu merupakan prioritas utama dalam rangka pembangunan ketahanan pangan yang merupakan komponen strategis pembangunan nasional. Arah pengembangan sistem ketahanan pangan antara lain berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan dan budaya lokal (diversifikasi). Sayang sekali banyak sumberdaya lokal yang belum termanfaatkan hingga saat ini, seperti singkong, ubi jalar, kelapa, sagu, koro-koroan dan sebagainya. Padahal banyak keunggulan dari sumberdaya tersebut, misalnya kemampuan koro-koroan dan ubikayu untuk tumbuh di lahan kering, dan potensi komposisinya sebagai penyedia protein dan karbohidrat merujuknya sebagai comparative dan competitive products. Di Indonesia, bahan pangan lokal itu oleh masyarakat dipandang sebelah mata, karena penyajiannya yang tidak menarik, sehingga menurunkan tingkat konsumsinya dan akhirnya demand yang kurang menyebabkan rendahnya produksi. Ketidakberdayaan dari sumberdaya lokal ini untuk diangkat sebagai bahan pangan yang lebih mapan utamanya disebabkan oleh faktor ketidakmampuan kita menguasai teknologi pengolahannya. Sebagai
contoh,
singkong yang di Indonesia selalu dianaktirikan ternyata di Thailand dan sekarang di Vietnam dapat menghasilkan devisa yang sangat besar, karena kemampuan negara tersebut mengolah menjadi puluhan produk turunannya. Sementara di Indonesia, singkong hanya diolah menjadi tapioka. Di lain pihak, agama kita telah mengatur dengan baik tentang pangan, yaitu halal dan baik (halal [an] thoyyib [an]), sebagaimana firman Allah yang berarti: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dan baik dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang nyata”. (QS. Al-Baqarah [2]: 168).
45
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Dalam ayat lain disebutkan: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”. (QS. Al-Maidah [5]: 88) Diartikan oleh para ulama bahwa halal dipandang dari segi syariah, sedangkan thoyyib (baik) dipandang dari segi kesehatan, gizi, estetika dan lainnya. Dengan demikian makanan yang thoyyib lebih dipandang dari segi bagaimana kemanfaatannya dari pangan tersebut terhadap individu, masyarakat, bangsa dan negara. Ini berarti sangat subyektif, artinya makanan yang thoyyib bagi suatu kelompok masyarakat tertentu belum tentu baik untuk kelompok yang lain. Misalnya adalah suatu kelompok masyarakat menginginkan beras yang berasa pulen, namun ternyata beras ini untuk kelompok masyarakat yang lain (baca: penderita diabetes) perlu dihindari karena indeks glisemik yang tinggi. Dalam konteks dua hal itulah bioteknologi dapat berperan, yaitu menyediakan cara untuk mengolah produk-produk lokal menjadi bahan pangan yang thoyyib dengan meningkatkan nilai tambahnya, sehingga dapat mendorong timbulnya demand atas produk itu. Ini berarti para petani akan memproduksi bahan baku, sehingga meningkatkan ketersediaannya dan ujung-ujungnya adalah dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional. Ada beberapa contoh produk pangan yang thoyyib dari bahan lokal tersebut yang diproses dengan teknologi pengolahan berbasis bioteknologi yang telah kami kembangkan, seperti (1) Modified Cassava Flour (MOCAL) dari singkong, (2) Madu Kelapa, Galaktomannan, dan dietary fiber dari ampas kelapa, (3) Protein Rich Flour (PRF), Legume Flour, dan interaksi protein-polisakarida dari koro-koroan.
MOCAL dari Singkong Penulis telah berkonsentrasi mengembangkan singkong menjadi produk yang thoyyib sehingga mempunyai added value tinggi dengan menggunakan prinsip-prinsip bioteknologi. Produk orisinal yang telah dihasilkan dari singkong adalah Modified Cassava
46
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Flour (MOCAL) yang menggunakan teknik fermentasi dengan mikrobia bakteri asam laktat (BAL). Teknologi ini terinspirasi oleh teknologi pada pembuatan gatot makanan Indonesia asli dari singkong dan cassava sour starch dari Brazil. Mikroba BAL yang digunakan sebagai inokulum akan menghasilkan enzim pektinolitik dan sellulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel singkong, sedemikian rupa sehingga terjadi liberasi granula pati. Proses liberalisasi ini akan menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut. Selanjutnya granula pati tersebut akan mengalami hidrolisis yang menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku untuk menghasilkan asam-asam organik. Senyawa asam ini akan terimbibisi dalam bahan, dan ketika bahan tersebut diolah akan dapat menghasilkan aroma dan citarasa khas yang dapat menutupi aroma dan citarasa singkong yang cenderung tidak menyenangkan konsumen. Selama proses fermentasi terjadi pula penghilangan komponen penimbul warna, seperti pigmen (khususnya pada ketela kuning), dan protein yang
dapat
menyebabkan warna coklat ketika pemanasan. Dampaknya adalah warna MOCAL yang dihasilkan lebih putih jika dibandingkan dengan warna tepung singkong biasa. MOCAL mempunyai karakteristik yang khas, sangat berbeda dengan tepung singkong biasa (baca: gaplek) dan pati tapioka. Hasil uji viskositas pasta panas dan dingin pada Brabender Amylograph terhadap MOCAL yang dihasilkan menunjukkan bahwa semakin lama fermentasi maka viskositas pasta panas dan dingin akan semakin meningkat. Hal ini mungkin disebabkan karena selama fermentasi mikrobia akan
mendegradasi
dinding sel yang menyebabkan pati dalam sel akan keluar, sehingga akan mengalami gelatinisasi dengan pemanasan, seperti ditunjukkan dari hasil Scanning Electron Microscope (SEM). Selanjutnya dibandingkan dengan pati tapioka, viskositas dari MOCAL lebih rendah. Hal ini karena pada tapioka komponen pati mencakup hampir seluruh bahan kering, sedangkan pada MOCAL komponen selain pati masih dalam jumlah yang signifikan. Namun demikian, dengan lama fermentasi 72 jam akan didapatkan produk MOCAL yang mempunyai viskositas mendekati tapioka. Hal ini dapat dipahami bahwa, dengan fermentasi yang lama maka akan semakin banyak sel singkong yang pecah, sehingga liberasi granula pati menjadi sangat ekstensif. Sifat-sifat ini jelas akan berpengaruh terhadap aplikasi dan masalah-masalah teknis selama pengolahan. Dengan liberasi pati menyebabkan MOCAL akan lebih mudah membentuk jaringan tiga dimensi antar komponen, sehingga mendorong timbulnya 47
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
konsistensi yang baik dari produk, jika dibandingkan dengan tepung singkong biasa. Selanjutnya liberasi pati ini juga menyebabkan kemampuan mengikat air meningkat, dan mendorong kemudahan terdispersinya butir-butir tepung pada sistem pangan. Di lain pihak, MOCAL bukanlah seperti tapioka yang granula patinya sempurna terliberasi. Dengan demikian, tidak terjadi peristiwa gelatinisasi sempurna yang menyebabkan peningkatan viskositas dan daya gelasi yang tinggi setelah kondisi dingin. Karakteristik ini membuat MOCAL sangat baik digunakan sebagai food ingredient dari produk-produk kering dan semi basah. MOCAL cocok sekali untuk biskuit, cake, campuran roti, campuran mie, empek-empek dan kue-kue basah dan sebagainya. Sehingga sangat berpotensi sebagai produk penyanding mulai tepung beras, dan tepung gandum. Saat ini sedang dibangun dua pabriknya di Trenggalek, Lampung, Pati, Grobogan dan akan menyusul 50 tempat lainnya.
Madu Kelapa, Galaktomannan dan Dietary Fiber dari Ampas Kelapa Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki kebun kelapa (Cocos nucifera) terluas di dunia, seluas 3.745.000 ha, yang hampir seluruhnya adalah perkebunan rakyat dan merupakan sumber penghasilan sekitar dua setengah juta keluarga petani. Salah satu industri yang menggunakan kelapa sebagai bahan baku adalah Virgin Coconut Oil (VCO) yang saat ini mengalami kemunduran karena product positioning yang tidak tepat, yaitu menjadikannya sebagai obat bukan pangan. Dalam proses pembuatan VCO metode cold pressing akan dihasilkan produk samping berupa ampas kelapa yang mengandung protein dan serat tinggi, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan berbagai ragam produk yang thoyyib. Dengan menggunakan enzim sellulase dan protease, dari ampas kelapa tersebut dapat dihasilkan Madu Kelapa, Galaktomannan dan Dietary Fiber. Madu Kelapa adalah produk kondensat dari hasil ekstraksi yang melibatkan tekanan tinggi dan enzim sellulase. Dengan proses ini, dinding sel yang berupa selulosa akan didegradasi dengan diubah menjadi gula sederhana. Degradasi dinding sel ini juga akan menyebabkan terbebasnya protein dan minyak yang tersisa setelah ektraksi VCO. Pada dinding sel daging kelapa terdapat jenis polisakarida galaktomannan yang tersusun dari rantai mannose dan galaktosa. Senyawa ini juga akan ter-release. Setelah proses
pemekatan, maka akan
terbentuk Madu Kelapa yang berasa sangat khas, yaitu manis gurih, dan berpentuk pasta. 48
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Hasil penelitian menunjukkan produk ini mempunyai kemampuan sebagai pengemulsi, pembentuk buih, dan mempunyai kelarutan yang tinggi. Ini berarti madu kelapa dapat berperan sebagai food additive untuk menghasilkan makanan yang lebih thoyyib, yaitu: mengembangkan roti, menghaluskan tekstur cake dan berbagai aplikasi pada industri pangan. Jika proses pembuatan Madu Kelapa ini diteruskan dengan menggunakan enzim protease, maka akan dihasilkan Galaktomanan murni. Di industri makanan, senyawa ini biasa dipakai sebagai penggumpal. Pada industri es krim, galaktomannan membuat es tidak cepat mencair. Selain itu, ia juga digunakan oleh industri pembuatan keju, buah kalengan, dan bumbu salad. Hasil penelitian Suryana (2003) menunjukkan isolat galaktomannan ampas kelapa dapat mencegah kenaikan kadar kolesterol serum kelinci sebesar 7,3% setelah 26 hari, dan 13,2% setelah 52 hari. Dibandingkan dengan ProLipid, yaitu salah satu obat penurun kolesterol yang diperoleh di pasar, yang dapat mencegah kenaikan kadar kolesterol serum kelinci sebesar 6,6% setelah 26 hari, dan 9,2% setelah 52 hari. Isolat galaktomannan ampas kelapa juga berpengaruh terhadap pencegahan kenaikan kadar LDL, HDL, trigliserida serum kelinci serta kenaikan berat kelinci. Hasil penelitian penulis juga menunjukkan bahwa senyawa ini dapat menghambat pertumbuhan mikrobia yang jahat, yaitu Escherichia coli dan Bacillus cereu, dan mendorong tumbuhnya BAL, sehingga sangat baik untuk menjadi probiotik. Sedangkan hasil akhir dari proses ini adalah Dietary Fiber yang berupa tepung halus. Sebagai fiber, produk ini sangat baik untuk memperbaiki pencernakan manusia bila dikonsumsi. Produk ini dapat digunakan dalam produk roti tawar, cake dan biskuit.
Protein Rich Flour (PRF), Legume Flour dan Interaksi Protein-Polisakarida dari Koro-Koroan Di lahan kering Indonesia juga banyak terdapat tanaman koro-koroan, seperti komak, kratok, koro wedus, koro benguk, buncis, kapri, dan koro pedang yang mudah dibudidayakan dan produktivitas biji keringnya cukup tinggi sekitar 800 – 900 kg/ha pada lahan kering. Ditinjau dari kandungan protein dan potensi pengembangannya, pemanfaatan protein dan karbohidrat koro-koroan mempunyai harapan. Biji koro mengandung protein cukup tinggi, yaitu sekitar 18 – 25%. Sedangkan kandungan lemaknya sangat rendah, yaitu 49
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
antara 0,2 – 3%, dan kandungan karbohidratnya relatif tinggi, yaitu 50 – 60%. Kandungan proteinnya yang tinggi, menjadikan protein koro-koroan mempunyai potensi sebagai alternatif pengganti protein hewani, sebab keseimbangan asam aminonya sangat baik, dan bio-availabilitas tinggi. Produk orisinal penulis dari koro-koroan adalah PRF yang berupa tepung dengan kandungan
protein
mencapai
50%,
menjadi
bukti
kemungkinan
koro-koroan
dikembangkan sebagai sumber protein. PRF dapat digunakan sebagai sumber protein pada makanan sosis, nugget, biskuit kaya protein, atau untuk campuran pembuatan bubur ayam. Lebih rendah dari itu, ada Legume Flour yaitu tepung koro dengan citarasa netral. Sedang yang
berteknologi
tinggi,
adalah
produk
reaksi
polisakarida-protein,
yaitu
menginteraksikan antara kedua bahan tersebut pada suasana tertentu. Produk interaksi ini bersifat sangat plastis, layaknya lemak, dan mempunyai daya emulsi yang sangat tinggi. Cocok untuk dijadikan lemak tiruan untuk penderita obesitas tapi ingin tetap makan ice cream, misalnya. Daftar Pustaka BPS. 2000. Statistik Indonesia Tahun 2000. Biro Statistik Indonesia, Jakarta. Husodo, S. Y. 2001. Kemandirian di Bidang Pangan Kebutuhan Negara Kita. Makalah Seminar PATPI, 9 – 10 Oktober 2001, Semarang. Pramudya, B. dan S. Budiyanto. 2001. Penggalian Potensi Pangan Lokal Untuk Penganekaragaman Pangan. Lokakarya Nasional Pengembangan Pangan Lokal. BKP JATIM, Surabaya. Suryana, P. 2001. Pengaruh Isolat Galaktomannan Kelapa Terhadap Penurunan Kadar Kolesterol Serum Kelinci. Warta Litbang Kesehatan, 5: 3 – 4.
50
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
PENENTUAN LETHAL DOSE 50 (LD50) ASAP CAIR GRADE 2 PADA MENCIT BETINA Hendry T. S. Saragih1 Soesanto Mangkoewidjojo2, Syarifuddin Tato3 1. Laboratorium Histologi&Embriologi, Fakultas Biologi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2. Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 3. Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lethal dose 50 (LD50) asap cair grade 2 pada mencit betina strain Swiss. Sebelum penentuan dosis LD50, terlebih dahulu dilakukan prapenelitian dengan berbagai tahapan dosis dengan menggunakan 2 ekor mencit pada tiap kelompok. Uji prapenelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan dosis dimana kedua mencit tidak mengalami kematian dan dosis yang mengakibatkan kedua mencit mengalami kematian. Sebelum dilakukan perlakuan, mencit dipuasakan makan namun tetap diberi minum selama 4 jam sebelum dan 2 jam sesudah perlakuan. Pada tahap prapenelitian 1, larutan asap cair grade 2 diberikan secara oral dengan dosis 10, 100, 1000 dan 10.000 mg/kg bb dengan menggunakan faktor (R) 10. Setelah diperoleh kisaran dosis yang berada diantara 1000 - 10.000 mg/kg bb, kemudian dilakukan tahapan prapenelitian ke-2 dengan menggunakan faktor (R) 2 yaitu pada dosis 2000, 4000 dan 8000 mg/kg bb. Berdasarkan hasil prapenelitian, dapat diketahui bahwa dosis bawah dan atas di tahapan penelitian dimulai pada dosis 6500 mg/kg bb - 9500 mg/kg bb. Pada tahap penelitian, mencit dibagi dalam 8 kelompok dan masing-masing kelompok terdiri dari 10 ekor. Kelompok 1 sebagai kontrol diberi makan dan minum standar. Kelompok 2 diberi larutan asap cair grade 2 dengan dosis 6500 mg/kg bb/oral dan kelompok 3 diberi larutan asap cair grade 2 dengan dosis 7000 mg/kg bb/oral. Kelompok 4 diberi larutan Asap cair grade 2 dosis 7500 mg/kg bb/oral dan kelompok 5 diberi larutan asap cair grade 2 dosis 8000 mg/kg bb/oral. Kelompok 6 diberi larutan asap cair grade 2 dosis 8500 mg/kg bb/oral dan kelompok 7 diberi larutan asap cair grade 2 dosis 9000 mg/kg bb/oral. Kelompok 8 diberi larutan asap cair grade 2 dosis 9500 mg/kg bb/oral/hari. Data kematian ditetapkan selama 48 jam setelah perlakuan. Penentuan LD50 dilakukan dengan melihat kematian mencit pada setiap kelompok perlakuan selama 48 jam. Gejala klinis setiap individu mencit diamati, data kematian dari setiap kelompok diolah menjadi data kumulatif yang kemudian dijadikan persentase kematian. Hasil persentase kematian kemudian dihitung dengan metode Reed-Muench menggunakan interpolasi linier untuk mendapat LD50 dan standard error (SE). Gejala klinis yang tampak pada mencit perlakuan diantaranya peningkatan aktifitas, peningkatan bernafas, mencit tampak meregangkan badan dan beristirahat di sudut kandang. Pada akhirnya mencit mulai menutup mata dan terlihat tenang. Kelompok perlakuan dengan dosis tinggi, mencit mengalami kematian setelah periode kritis (3 jam), sementara mencit pada kelompok lainnya mati pada periode antara 24 – 48 jam. Hasil LD50 ± SE asap cair grade 2 dengan metode Reed-Muench diperoleh dosis 7848 ± 191,069. 51
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Dosis LD50 ini menunjukkan bahwa bahan asap cair grade 2 dinyatakan relatif tidak toksik. Kata Kunci: Asap cair grade 2, LD50, Mencit strain Swiss
Pendahuluan Pengasapan merupakan proses pengolahan bahan makanan yang seringkali digunakan pada pengolahan daging, ikan, dan bahan makanan lainnya. Pengasapan ini berfungsi selain menurunkan kadar air juga mengembangkan warna, cita rasa yang spesifik dan menghambat mikrobia. Proses pengasapan secara tradisional dengan menggunakan asap pembakaran secara langsung mempunyai beberapa kelemahan seperti kualitas yang kurang konsisten, kesulitan pengendalian prosesnya, terdepositnya ter pada bahan makanan sehingga membahayakan kesehatan. Pengasapan juga menyebabkan pencemaran lingkungan serta memungkinkan bahaya kebakaran (Amriah, dkk., 2006). Kelemahan-kelemahan di atas dapat diatasi dengan mengembangkan proses pengasapan menggunakan asap cair, yaitu campuran larutan dari dispersi uap asap kayu dalam air (Amriah, dkk., 2006). Asap cair yang berasal dari tempurung kelapa dapat digunakan sebagai bahan dasar dengan cara pirolisis dalam reaktor pada suhu 400 – 500 oC diikuti dengan kondensasi menggunakan air sebagai medium pendingin. Kondensat yang dihasilkan didestilasi sebanyak dua kali dan disaring dengan zeolit diteruskan dengan penyaringan vakum (Asap Cair 1). Asap cair kedua berasal dari destilasi 2x dilanjutkan dengan destilasi fraksinasi 0 – 100 oC (Asap cair grade 2). Dari hasil penelitian asap cair yang jernih kekuningan atau asap cair grade 2 bagus digunakan untuk pengawetan makanan seperti bakso, tahu dan mie (Amriah, dkk., 2006). Penggunaan asap cair untuk memberikan citarasa serta pengawetan ada beberapa metode seperti penambahan asap cair langsung ke produk dalam bentuk saus, pencelupan langsung dalam asap cair, penyemprotan larutan asap ke produk, atomisasi asap cair dalam bentuk kabut, dan penguapan asap cair sehingga berubah bentuk manjadi asap sehingga kontak dengan produk (Amriah, dkk., 2006). Namun demikian, pengujian sifat toksik dari asap cair grade 2 belum dilakukan baik menggunakan hewan model ikan ataupun mamalia. Pengujian daya toksik suatu bahan kimia dapat dilakukan dengan penentuan lethal concentration 50 (LC50) pada ikan atau 52
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
pengujian lethal dose 50 (LD50) pada hewan mamalia seperti kelinci, tikus dan mencit. Penetapan LD50 adalah penetapan kemampuan toksik suatu bahan kimia secara akut yang menyebabkan kematian hewan coba hingga mencapai 50% melalui pemberian secara oral (Anonim, 1998). Uji toksisitas akut sangat penting untuk mengukur dan mengevaluasi karakteristik toksik dari suatu bahan kimia. Uji ini dapat menyediakan informasi tentang bahaya kesehatan manusia yang berasal dari bahan kimia yang terpapar dalam tubuh pada waktu pendek melalui jalur oral. Data uji akut juga dapat menjadi dasar klasifikasi dan pelabelan suatu bahan kimia (Anonim, 1998). Toksisitas akut didefinisikan sebagai kejadian keracunan akibat pamaparan bahan toksik dalam waktu singkat, yang biasanya dihitung menggunakan nilai LC50 atau LD50. Nilai ini didapatkan melalui proses statistik dan berfungsi mengukur angka relatif toksisitas akut bahan kimia (Anonim, 1998). Toksisitas akut dari bahan kimia lingkungan dapat ditetapkan secara eksperimen menggunakan spesies tertentu seperti mamalia, bangsa unggas, ikan, hewan invertebrata, tumbuhan vaskuler dan alga (Hodgson dan Levi, 1997). Uji toksisitas akut dapat menggunakan beberapa hewan mamalia, namun yang dianjurkan untuk uji LD50 diantaranya tikus, mencit dan kelinci (Anonim, 1998). Uji toksisitas akut dapat dipengaruhi oleh respon biologik hewan uji seperti jenis kelamin. Contoh respon tubuh akibat jenis kelamin yaitu nilai LD50 Digitoxin yang diuji pada tikus jantan diperoleh angka 56 mg/kg bb, sementara untuk tikus betina 94 mg/kg bb (Buck, dkk.,1976). Pada uji toksisitas, disyaratkan untuk setiap kelompok perlakuan menggunakan hewan coba dengan jenis kelamin sejenis dan umur yang direkomendasikan seperti untuk tikus dan mencit, umur yang direkomendasikan untuk uji adalah diantara 8 – 12 minggu, sementara untuk kelinci berumur 12 minggu (Anonim, 1998). Penelitian ini dilakukan untuk menguji LD50 bahan asap cair grade 2 menggunakan hewan model mencit betina galur Swiss.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lethal dose 50 (LD50) asap cair grade 2 pada mencit betina galur Swiss.
53
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Materi dan Metode
Asap cair grade 2 Larutan asap cair pekat digunakan sebagai bahan awal penelitian yang kemudian diencerkan menjadi konsentrasi 60% dan 6%. Perhitungan dosis LD50 yang menggunakan satuan mg/kg bb, pada larutan asap cair ini dihitung berdasar pengenceran konsentrasi 60% dan 6%. Perlakuan diberikan secara oral pada mencit dengan volume 0,5 ml/30 gr bb. Selama perlakuan, peneliti menggunakan hand spoon disposible dan masker.
Hewan coba Sembilan puluh empat ekor mencit galur Swiss, jenis kelamin betina, belum beranak dan tidak bunting, umur 2 bulan dengan berat rata-rata 30 gram digunakan untuk penelitian ini. Mencit diperoleh dari Unit Pelayanan Pra Klinik LPPT UGM. Mencit dikandangkan menggunakan fasilitas kandang Unit Pelayanan Pra Klinik LPPT Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan suhu 27±10C dan kelembaban 65±5%. Mencit sebelum diberi perlakuan, diadaptasikan dahulu terhadap kondisi penelitian selama 1 minggu (Anonim, 1998). Mencit diberi makanan standar berbentuk pelet jenis BR-1 (Comfeed Indonesia) serta air minum secara ad libitum.
Rancangan percobaan LD50 Berdasarkan metode Weil (1952), untuk menentukan dosis LD50, terlebih dahulu dilakukan prapenelitian dengan berbagai tahapan dosis menggunakan 2 ekor mencit pada tiap kelompok (Al-Sultan dan Hussein, 2006). Uji prapenelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan dosis dimana kedua mencit tidak mengalami kematian, dan dosis yang mengakibatkan kedua mencit mengalami kematian (Miya, dkk., 1976). Sebelum dilakukan perlakuan, mencit dipuasakan makan namun tetap diberi minum selama 4 jam sebelum dan 2 jam sesudah perlakuan (Anonim, 1998). Tahap prapenelitian pertama, larutan asap cair grade 2 diberikan secara oral dengan dosis 10, 100, 1000 dan 10.000 mg/kg bb dengan menggunakan faktor (R) 10. Setelah diperoleh kisaran dosis berada diantara 1000 - 10.000 mg/kg bb, kemudian dilakukan tahapan prapenelitian 2 dengan menggunakan faktor (R) 2 yaitu pada dosis 2000, 4000 dan 8000 mg/kg bb (Buck, dkk.,1976; Anonim, 1998). Berdasarkan hasil prapenelitian, dosis bawah dan atas ditemukan masing-masing 6500
54
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
mg/kg bb dan 9500 mg/kg bb, sehingga dosis tersebut digunakan sebagai pedoman pada tahap penelitian. Pada tahap penelitian, digunakan 80 ekor mencit. Mencit dibagi dalam 8 kelompok dan masing-masing kelompok terdiri dari 10 ekor. Mencit kelompok 1 sebagai kontrol diberi makan dan minum standar. Kelompok 2 diberi larutan asap cair dengan dosis 6500 mg/kg bb/oral dan kelompok 3 diberi larutan asap cair dengan dosis 7000 mg/kg bb/oral. Kelompok 4 diberi larutan asap cair dosis 7500 mg/kg bb/oral dan kelompok 5 diberi larutan asap cair dosis 8000 mg/kg bb/oral. Kelompok 6 diberi larutan asap cair dosis 8500 mg/kg bb/oral dan kelompok 7 diberi larutan asap cair dosis 9000 mg/kg bb/oral. Kelompok 8 diberi larutan asap cair dosis 9500 mg/kg bb/oral/hari. Data kematian ditetapkan selama 48 jam setelah perlakuan (Anonim, 1998).
Penentuan LD50 Penentuan LD50 dilakukan dengan melihat kematian mencit pada setiap kelompok perlakuan mulai dosis 6500-9500 mg/kg bb selama 48 jam. Data kematian dari setiap kelompok diolah menjadi data kumulatif yang kemudian dijadikan persentase kematian. Hasil persentase kematian kemudian diolah menurut metode Reed-Muench dengan interpolasi linier untuk mendapat LD50 dan standard error (SE) (Miya, dkk., 1976).
Hasil dan Pembahasan Gejala klinis Gejala klinis yang tampak pada mencit perlakuan dosis tinggi diantaranya peningkatan aktifitas, peningkatan bernafas, mencit tampak meregangkan badan dan beristirahat di sudut kandang. Pada akhirnya mencit mulai menutup mata dan terlihat tenang. Kelompok perlakuan dengan dosis tinggi, mencit mengalami kematian setelah periode kritis (3 jam), sementara mencit pada kelompok lainnya mati pada periode antara 24 – 48 jam.
Penetapan LD50 dan standard error (SE) Penetapan LD50 menurut metode Reed-Muench menggunakan interpolasi linier dapat dilihat pada tabel 1. Penelitian atau kajian literatur yang menjelaskan tentang toksisitas asap cair grade 2 yang berasal dari tempurung kelapa pada mencit belum pernah dilakukan. Penelitian ini 55
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
dimaksudkan untuk menentukan dosis LD50 asap cair grade 2 yang berasal dari tempurung kelapa. Gejala klinis yang umum pada kejadian hewan yang mengalami toksik yang berat diantaranya salifasi yang berlebih, diare, peradangan pada mulut, esofagus, dan lambung, reaksi pupil mata yang menurun, takikardia, hewan tidak mau bergerak atau bergerak tidak teratur (Al-Sultan dan Hussein, 2006). Gejala klinis mencit kelompok perlakuan dosis 9000-9500 mg/kg bb pada penelitian ini meliputi gejala peningkatan aktifitas, peningkatan bernafas, mencit tampak meregangkan badan dan beristirahat di sudut kandang. Pada akhirnya mencit mulai menutup mata dan terlihat tenang. Gejala klinis mencit kelompok dosis 6500 – 8000 mg/kg bb tidak menunjukkan gejala toksik yang berat. Waktu kematian pada perlakuan dosis 9000 – 9500 rata-rata 17 jam, waktu kematian pada dosis 8000 – 8500 rata-rata 24 jam, sementara waktu kematian pada dosis 7000 – 7500 rata-rata 36 jam. Data waktu kematian ini, menunjukkan bahwa pada dosis 9000 – 9500 merupakan dosis toksisitas tinggi. Hasil LD50 ± SE asap cair grade 2 yang telah di uji dengan metode Reed-Muench (Miya, dkk., 1976) yaitu 7848 ± 191,069 mg/kg bb. Menurut Hodgson dan Levi (1997), skema rangking nilai toksisitas akut (LD50) bahan kimia yang diuji pada hewan mamalia, untuk dosis LD50 dosis kurang dari 50 mg/kg bb dinyatakan bersifat toksik yang ekstrim, dosis 50 – 500 mg/kg bb dinyatakan sangat toksik, dosis 500 – 5000 mg/kg bb dinyatakan bersifat toksik moderat, sementara dosis diatas 5000 mg/kg bb dinyatakan relatif tidak toksik. Dari hasil penelitian LD50 yang telah dilakukan diperoleh nilai LD50 yaitu 7848 ± 191,069 mg/kg bb. Berdasarkan skema rangking nilai toksisitas akut (lihat tabel 2.), dinyatakan bahwa larutan asap cair grade 2 relatif tidak toksik.
Ucapan Terimakasih Ucapan terima kasih diucapkan kepada Direktur CV. Pusat Pengolahan Kelapa Terpadu, Yogyakarta yang telah membantu dalam pengadaan Asap Cair Grade 2.
56
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Daftar Pustaka Al-Sultan, S.I. and Y.A. Hussein. 2006. Acute toxicity of Euphorbia heliscopia in rats. Pakistan Journal of Nutrition 5(2):135 – 140. Amriah, Y. Sudarno, Lukito, Fitri, Mansyur, dan Dedy. 2006. Aplikasi Asap Cair Pada Berbagai Makanan, Survey Peralatan Nata. CV. Pusat Pengolahan Kelapa Terpadu, Yogyakarta. Anonim. 1998. Health Effects Test Guidelines OPPTS 870.1100 Acute Oral Toxicity. Enviromental Protection Agency, USA. Buck, W. B., G. D. Osweiler, and G. A. Van Gelder. 1976. Clinical and Diagnostic Veterinary Toxicology. 2nd ed. Kendall/Hunt Publishing Company, United States of America. pp 17 – 24. Hodgson, E. and P. E. Levi. 1997. A Textbook of Modern Toxicology. 2nd ed. Mc Graw Hill, Boston, USA. p. 397 – 398. Miya, T. S., H. G. O. Holck, G. K. W. Yim, J. H. Mennear and G. R. Spratto. 1976. Laboratory Guide in Pharmacology. 4th ed. Burgess Publishing Company, Minnesota, USA. p. 133 – 134.
57
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Lampiran Tabel 1. Hasil LD50 Asap Cair Grade 2 pada mencit betina Dosis Dosis Jumlah Mati Hidup Akumulasi (mg/ (Log mati/total Mati Hidup Total Kg BB) Dosis) populasi 6.500 7.000 7.500 8.000 8.500 9.000 9.500
3.813 3.845 3.875 3.903 3.929 3.954 3.978
0/10 4/10 2/10 6/10 6/10 10/10 10/10
0 4 2 6 6 10 10
10 6 8 4 4 0 0
0 4 6 12 18 28 38
32 22 16 8 4 0 0
Rasio Kematian
32 26 22 20 22 28 38
0/32 4/26 6/22 12/20 18/22 28/28 38/38
Persen Kematian (%) 0% 15% 27% 60% 82% 100% 100%
Perhitungan LD50 menggunakan linear interpolasi: LD50 terdapat diantara dosis 7500 – 8000 mg/kg BB dan persentase kematian 27 – 60%. Perhitungan LD50 sebagai berikut: Dosis
% kematian 27
7500 500
33
50
X 8000
10 60
500 : X = 33 : 10 33X = 5000 X = 151,51 LD50 = dosis 8000 mg/kg BB - X = 8000-151,51 = 7848,49 mg/kg BB
Perhitungan standard error LD50 (SE LD50 ) menggunakan rumus Reed-Muench: Perhitungan dimulai dengan menghitung LD25 dan LD75: Perhitungan LD25 sebagai berikut:
58
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Dosis
% kematian 15
7000 500
12
25
X
2
7500
27
500 : X = 12 : 2 12X = 1000 X = 83,33 LD25 = dosis 7500 mg/kg BB - X = 7500-83,33 = 7416,67 mg/kg BB
Perhitungan LD75 sebagai berikut: Dosis
% kematian 60
8000 500
22
75
X 8500
7 82
500 : X = 22 : 7 22X = 3500 X = 159,09
LD75 = dosis 8500 mg/kg BB - X = 8500-159,09 = 8340,91 mg/kg BB LD75 – LD25 = 8340,91 – 7416,67 = 924,24
Rumus SE LD50 SE LD50 = √ 0,79 x h x R n h = interval dosis = 500 R = interquartile range = (LD75 – LD25) n = jumlah hewan coba per dosis 59
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
= √0,79 x 500 x 924,24 10 = √36507,48 = 191,069 LD50 ± SE = 7848,49 ± 191,069 mg/kg BB Tabel 2. Skema rangking untuk mengukur toksisitas akut LC50 pada Ikan LD50 pada unggas/ Rangking toksisitas (mg/kg) mamalia (mg/kg) › 100 10-100 1-10 ‹1 (Hodgson, dkk., 1997)
› 5000 500-5000 50-500 ‹ 50
relatif non toksik toksik moderat sangat toksik toksik ekstrim
Contoh kontaminan Barium Cadmium 1,4 Dichlorobenzene Aldrin
60
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
DISTRIBUSI FAKTOR VIRULENSI Staphylococcus aureus DARI BERBAGAI PRODUK PANGAN ASAL TERNAK Siti Isrina Oktavia Salasia1, Namiroh Setyo Anggraeni1, Khusnan2, Sugiyono1, Dyah Ayu Widiasih3 1
Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Jl. Fauna 2, Karangmalang, Yogyakarta 55281, e-mail:
[email protected], 2Akademi Peternakan Brahmaputra, Yogyakarta, 3Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada
Abstrak Staphylococcus aureus mempunyai beberapa faktor virulensi yang potensial dalam menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan. Enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus apabila mencemari makanan dapat menyebabkan penyakit akibat keracunan makanan. Dalam penelitian ini dikaji berbagai faktor virulensi dan jenis toksin S. aureus yang berasal dari berbagai produk pangan asal ternak. Sampel yang digunakan adalah poduk pangan asal ternak (susu segar dan daging ayam) yang diambil dari peternak dan pasar tradisional di daerah Yogyakarta dan Solo, produk pangan olahan asal ternak (susu kemasan, roti, keju, rolade, bakso dan sosis) yang diambil dari super market dan warung tradisional di daerah Yogyakarta, Sidoarjo, Bandung dan Jakarta. Karakterisasi S. aureus dilakukan berdasar produksi hemolisin, pigmen dan uji hemaglutinasi. Identifikasi gen 23S rRNA dan gen enterotoksin dilakukan dengan polymerase chain reaction (PCR) menggunakan primer spesies spesifik dan primer spesifik dari berbagai jenis enterotoksin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 32 isolat S. aureus yang terdiri dari 13 isolat asal susu segar dan daging ayam, 14 isolat asal susu kemasan, roti, keju, rolade, bakso, sosis, dan 5 isolat asal manusia, bersifat menfermentasi manitol, Gram positif, menghasilkan katalase dan koagulase positif. Hasil karakterisasi secara fenotipik diketahui bahwa S. aureus mampu memproduksi berbagai tipe hemolisin, yaitu tipe alfa (18,75%), beta (12,5%), gamma (62,5%) dan delta (6,2%). Staphylococcus aureus mampu memproduksi pigmen oranye (62,5%), kuning (21,87%) dan putih (15,62%), dan sebagian besar S. aureus mampu mengaglutinasi darah kelinci (96,87%). Berdasarkan identifikasi molekuler, semua isolat S. aureus mengandung gen 23S rRNA. Hasil evaluasi enterotoksin S. aureus terdapat lima isolat mengandung gen seb, lima isolat seh dan satu isolat mengandung kombinasi gen seb dan seh. Kata kunci: Staphylococcus aureus, faktor virulensi, enterotoksin, produk pangan asal ternak
61
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Pendahuluan Staphylococcus aureus mempunyai beberapa faktor virulensi yang potensial terhadap hospes, antara lain yaitu adanya protein permukaan yang mendukung kolonisasi dalam jaringan hospes, invasin yang mendukung penyebaran bakteri dalam jaringan (leukosidin, kinase, hyaluronidase), faktor permukaan yang menghambat fagositosis (kapsul, protein A), komponen biokimia yang meningkatkan daya tahan bakteri terhadap fagositosis (karotenoid, produksi katalase), gangguan imunologi (protein A, koagulase, clotting factor), toksin yang melisiskan membran sel eukariotik (hemolisin, leukotoksin, leukosidin), eksotoksin yang merusak jaringan hospes dan menimbulkan gejala keracunan (staphylococcal enterotoxin A-G, TSST, exfoliatve toxin), dan resistensi terhadap agen antimikrobial (Todar, 2005). Enterotoksin merupakan suatu protein yang dihasilkan oleh beberapa galur
S.
aureus, dapat tahan terhadap pemanasan dan enzim-enzim dalam pencernaan. Enterotoksin menyebabkan toxic shock like syndrome, keracunan pangan, beberapa penyakit alergi dan autoimun (Marrack and Kappler, 1990). Salasia et al. (2004) melaporkan bahwa beberapa sampel susu segar di Jawa Tengah terisolasi S. aureus yang mengandung gen yang menyandi seb, seg, seh dan sei. S. aureus dengan enterotoksin yang lebih bervariasi, yaitu sea, seb, see, seg, seh dan sei dapat dideteksi pada pasien-pasien di rumah sakit Sardjito Yogyakarta (Salasia et al., 2003). Melihat data keberadaan enterotoksin di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah, mengindikasikan adanya potensi penyebaran enterotoksin yang membahayakan kesehatan masyarakat di Indonesia. Stafilokokal enterotoksin B telah dikaji mempunyai potensi peningkatan aktifitas superantigen, dan potensi sebagai senjata mikrobiologi dan teroris (Greenfield et al., 2002). Tujuan penelitian untuk melakukan karakterisasi faktor virulensi S. aureus yang diisolasi dari berbagai bahan pangan asal ternak dan pangan olahan asal ternak. Keberadaan gen yang bertanggung jawab terhadap enterotoksin dideteksi dengan menggunakan primer spesifik dengan teknik polymerase chain reaction. Manfaat yang diharapkan dari penelitian yaitu diketahuinya berbagai faktor virulensi dan jenis enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus dari berbagai bahan pangan asal ternak dan produk pangan asal ternak, diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan strategi kontrol stafilokokosis dan enterotoksikosis. 62
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Materi dan Metode Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 32 isolat S. aureus. Sampel yang berasal dari produk pangan asal ternak sebanyak 13 sampel terdiri atas: 5 sampel susu segar dari peternak Yogyakarta, 3 sampel susu segar dari peternak Solo dan 5 sampel daging ayam dari pasar tradisional Yogyakarta. Sampel dari produk pangan olahan asal ternak diambil dari super market dan warung tradisional sejumlah 14 sampel terdiri atas: 4 sampel susu kemasan (Yogyakarta), 6 sampel roti (Yogyakarta, Bandung dan Jakarta), 1 sampel keju (Sidoarjo), 1 sampel rolade (Yogyakarta), 1 sampel bakso dan 1 sampel sosis (Yogyakarta). Sampel pendukung digunakan 5 isolat asal kulit manusia yang diperoleh dari laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. Identifikasi secara fenotipik ditentukan berdasarkan kemampuan S. aureus menfermentasi mannitol pada media mannitol salt agar (MSA), pewarnaan Gram, uji katalase dan koagulase (Brückler et al., 1994). Identifikasi S. aureus secara genotipik menggunakan primer spesies spesifik untuk mendeteksi gen 23S rRNA (Salasia et al., 2004). Karakterisasi secara fenotipik ditentukan berdasar terbentuknya zona hemolitik pada media plat agar darah (PAD), setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 ºC. Produksi pigmen S. aureus dapat dilihat dengan cara mengulaskan bakteri diatas membrane membrane nitoselulose yang diletakkan di atas media plat agar darah, pembentukan pigmen akan terlihat setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 ºC. Uji hemaglutinasi dilakukan dengan menggunakan eritrosit kelinci. Deteksi gen enterotoksin dilakukan dengan cara isolasi dan purifikasi DNA S. aureus dengan menggunakan Qiamp tissue kit (Qiagen, Jerman). Selanjutnya keberadaan gen yang bertanggung jawab terhadap enterotoksin dideteksi dengan menggunakan primer spesifik dengan teknik polymerase chain reaction (Salasia et al., 2004).
Hasil dan Pembahasan Dari hasil penelitian sebanyak 32 isolat telah diidentifikasi sebagai Staphylococcus aureus. Berdasarkan hasil identifikasi diketahui bahwa semua isolat bersifat Gram positif, mampu menfermentasi manitol pada media MSA, menunjukkan reaksi positif pada uji katalase dan positif pada uji koagulase. Carter dan Wise (2004) menjelaskan bahwa S. aureus mampu menfermentasi manitol pada media MSA, positif pada uji katalase dan 63
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
koagulase. Reaksi positif pada uji katalase sangat penting untuk membedakan S. aureus dengan spesies Streptococcus. Reaksi positif pada uji koagulase digunakan sebagai indikator untuk membedakan S. aureus dengan spesies Staphylococcus yang lain (Brückler et al., 1994). Koagulase merupakan enzim yang mampu menggumpalkan plasma oksalat atau sitrat dengan bantuan suatu faktor yang terdapat dalam serum yang disebut dengan faktor koagulase (coagulase reacting factor, CRF). Faktor koagulase dalam serum ini bereaksi dengan koagulase untuk menghasilkan esterase dan meningkatkan aktivitas pembekuan mempunyai mekanisme yang sama seperti pengaktifan protrombin menjadi trombin (Jawetz et al., 1982; Jawetz et al., 2001). Enzim koagulase berperan dalam mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Permukaan Staphylococcus sp. diketahui mempunyai fibrin yang mampu melindungi bakteri dari kerusakan sel akibat aksi fagositosis (Prescott and Langsing, 1999). Koagulase juga berperan terhadap infeksi melalui penggumpalan permukaan S. aureus dengan cara pembentukan fibrin untuk melindungi bakteri dari proses fagosit (Prescott and Langsing, 1999; Carter and Wise, 2004). Karakterisasi S. aureus ditentukan berdasarkan produksi hemolisin pada media PAD, produksi pigmen dan kemampuan dalam mengaglutinasi darah. Distribusi faktor virulensi S. aureus dari berbagai sumber isolat dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasar pembentukan hemolisin, diketahui bahwa S. aureus yang digunakan dalam penelitian ini mampu memproduksi berbagai jenis hemolisin, yaitu hemolisin tipe alfa (18,75%), beta (12,5%), gamma (62,5%) dan delta
.Hemolisin tipe alfa dan beta dilaporkan lebih
patogen, dibanding tipe gamma yang tidak membentuk zona hemolisis pada media PAD (Blobel and Schließer, 1994). Dalam penelitian ini dapat dideteksi adanya beberapa S. aureus yang diisolasi dari berbagai pangan asal ternak dan produk pangan asal ternak membentuk jenis hemolisin tipe alfa dan beta yang kemungkinan bersifat patogen. Hemolisin merupakan salah satu toksin yang diproduksi oleh S. aureus. Menurut Jawetz et al. (1982) dan Joklik et al. (1992), alfa hemolisin mempunyai aktivitas biologik yang luas, yaitu hemolitik dan dermonekrotik. Alfa hemolisin dapat melarutkan eritosit kelinci dan merusak trombosit, toksin ini juga merusak sistem sirkulasi, jaringan otot, jaringan korteks ginjal dan dapat menimbulkan berbagai kerusakan jaringan. Menurut Todar (2005), beta hemolisin merupakan sphingomielinase, yang dapat menyebabkan kerusakan pada membran yang mempunyai kandungan banyak lipid, hal ini dapat terjadi karena beta toksin mempunyai enzim dengan substrat spesifik, yaitu sfingomielin dan 64
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
lisofosfolipida. Degradasi sfingomielin akan menyebabkan lesi membran dan memacu hemolisis, terutama jika sel dalam kondisi dingin (Joklik et al., 1992). Brückler et al. (1994) juga melaporkan bahwa beta toksin dapat menyebabkan hot-cold, reaksi beta toksin akan meningkat pada suhu 4 ºC. Dalam penelitian ini, sebagian besar S. aureus memproduksi pigmen oranye sebesar 62,5% dan pigmen kuning sebesar 21,87%, sedangkan isolat yang memproduksi pigmen putih hanya sebesar 15,62%. Berdasarkan karakterisasi tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar S. aureus bersifat patogen. Staphylococcus aureus menunjukkan karakter yang bervariasi dalam memproduksi hemolisin dan pigmen. Kebanyakan S. aureus yang bersifat menghemolisis darah, juga memproduksi pigmen kuning maupun oranye. Pigmen menentukan sifat patogenisitas dari S. aureus. Staphylococcus aureus yang memproduksi pigmen kuning atau oranye biasanya bersifat lebih patogen dibanding dengan S. aureus yang memproduksi pigmen putih (Blobel and Schließer, 1994). Berdasarkan hasil uji hemaglutinasi, menunjukkan hasil bahwa S. aureus mampu mengaglutinasi eritrosit kelinci sebesar 96,87% dan 3,12% isolat tidak bereaksi dengan eritrosit. Hal ini mengindikasikan bahwa S. aureus mempunyai hemaglutinin, yang merupakan salah satu determinan virulen (Blobel and Schließer, 1994). Reaksi hemaglutinasi dalam tubuh hospes dapat menyebabkan gangguan aliran darah yang membahayakan bagi hospes. Hemaglutinin merupakan faktor yang berperan dalam proses adesi, sebagai langkah awal kolonisasi bakteri pada permukaan epitel ambing. Tabel 1. Distribusi faktor virulensi Staphylococcus aureus dari berbagai sumber Faktor virulensi S. aureus Hemolisis : Alfa Beta Alfa dan beta Gamma Delta Jumlah total Pigmen: Oranye Kuning Putih Jumlah total Hemaglutinasi: Positif Negatif Jumlah total
Asal isolat/Jumlah isolat (n) Produk pangan Pangan olahan Kulit manusia asal ternak asal ternak
Jumlah (n)
Persentase (%)
1 1 11 13
2 3 9 14
3 2 5
6 4 20 2 32
18,75 12,5 0 62,5 6,25 100
9 2 2 13
7 4 3 14
4 1 5
20 7 5 32
62,5 21,87 15,62 100
13 13
13 1 14
5 5
31 1 32
96,87 3,12 100
65
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Meskipun secara fenotipik S. aureus dapat diidentifikasi dan dikarakterisasi, akan tetapi secara genotipik, S. aureus perlu diidentifikasi menggunakan primer spesies spesifik untuk mendeteksi gen 23S rRNA. Keberadaan gen ini dapat digunakan sebagai penanda spesies S. aureus secara spesifik (Straub et al., 1999; Salasia et al., 2004). Identifikasi S. aureus dari berbagai sumber dengan menggunakan PCR, telah digunakan beberapa peneliti terdahulu (Annemüller et al., 1999; Akineden et al., 2001; Salasia et al., 2004). Identifikasi molekuler S. aureus dengan menggunakan target gen 23S rRNA dapat digunakan untuk identifikasi bakteri secara sensitif dan spesifik. Amplikon gen yang penyandi 23S rRNA S. aureus pada penelitian ini memperlihatkan amplikon dengan ukuran sekitar 1250 bp (Gambar 1). Staphylococcus aureus yang diisolasi dari spesimen bahan pangan asal ternak terdapat dua isolat yang positif mengandung gen seb dari isolat susu segar asal Yogya (SY12), susu segar asal Solo (SS9) dan satu isolat positif mengandung gen seh dari isolat susu segar asal Yogya (SY1). Staphylococcus aureus yang diisolasi dari sampel produk pangan asal ternak terdapat tiga isolat yang positif mengandung gen seb dari produk susu kemasan asal Yogya (SK1), susu kemasan asal Yogya (Y) dan keju asal Sidoarjo (KJ). Staphylococcus aureus asal manusia terdapat satu isolat yang mengandung gen seb, lima isolat mengandung gen seh dan satu isolat mengandung kombinasi gen seb dan seh. Ukuran amplifikasi produk seb sekitar 478 bp dan seh sekitar 375 bp (Gambar 2).
1.636 bp 1.250 bp
M
K+ SY1 SK1 KM9 K-
Gambar 1. Amplifikasi gen 23S rRNA Staphylococcus aureus sekitar 1250 bp. Kontrol positif (K+), SY1 (susu segar), SK1 (susu kemasan), KM9 (kulit manusia) dan K- (kontrol negatif), M (Marker DNA, Invitrogen).
66
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
K+SEB M
1,636 bp 1,018 bp 506 bp 478 bp 396 bp
375 bp K+SEB M
M K+SEH KM9 K- SY12 SK1 K+SEB M Gambar 2. Analisis gen seh pada 375 bp dan seb pada 478 bp. K+SEH (kontrol positif seh), KM9 (kulit manusia), K- (kontrol negatif), SY12 (susu segar), SK1 (susu kemasan), K+SEB (kontrol positif seb), M (Marker DNA, Invitrogen) Keberadaan S. aureus dalam bahan pangan asal ternak dan produk pangan asal ternak membahayakan bagi manusia, karena diketahui bahwa S. aureus memproduksi beberapa macam enterotoksin yang menyebabkan toxic shock syndrome (Marrack and Kappler, 1990; Dinges et al., 2000; Omoe et al., 2002). Penyebab penting pada kasus keracunan makanan yaitu enterotoksin yang dihasilkan ketika S. aureus tumbuh pada makanan yang mengandung karbohidrat dan protein (Jawetz et al., 2001). Staphylococcus aureus bersifat patogen karena adanya kombinasi toksin mediasi virulensi, invasif dan resistensi terhadap antibotik (Le Loir et al., 2003). Enterotoksin tipe B telah dilaporkan mempunyai potensi dalam meningkatkan aktifitas superantigen (Greenfield et al., 2002). Staphylococcus aureus yang mengandung gen seh telah dilaporkan dapat terjadi kombinasi dengan gen seb dari isolat asal sapi perah (Khusnan, 2003). Kombinasi gen enterotoksin S. aureus pernah dilaporkan oleh Zhang et al. (1998), Jarraud et al. (1999), Stephen et al. (2000), Akineden et al. (2001) dan Salasia et al. (2004), yaitu terdapat kombinasi gen seg dan seh, sed dan sej, sec dan tst. Dalam penelitian ini berhasil diisolasi S. aureus yang mengandung kombinasi gen seb dan seh, yang ditemukan pada satu isolat asal manusia. Sifat penting stafilokokal yang bersifat superantigenik, yaitu dengan memperlihatkan aktivitasnya melalui interaksi antara antigen 67
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
dan limfosit T, tanpa adanya spesifitas antigen pada sel. Kondisi ini merangsang terjadinya proliferasi sel dan peningkatan sitokin dengan konsentrasi yang tinggi (Ferrens et al., 1998). Sitokin yang diproduksi dalam jumlah banyak mengakibatkan gejala-gejala toxic shock syndrome (Todar, 2005). Keracunan makanan akibat stafilokokal enterotoksin B pernah dilaporkan di Oman, akibat mengkonsumsi yoghurt yang dibuat oleh seorang wanita yang menderita infeksi kronis pada kuku jari tangan sebelah kanan, kemungkinan secara tidak langsung kondisi tersebut menyebabkan kontaminasi pada yoghurt. Berdasar pemeriksaan lebih lanjut diketahui adanya stafilokokal enterotoksin B dari sampel makanan, vomitus dan kuku yang terinfeksi (Suleiman et al., 1996). Berdasarkan distribusi faktor virulensi dan karakterisasi S. aureus yang diisolasi dari berbagai sumber (Tabel 2), terlihat bahwa stafilokokal enterotoksin tipe B (seb) lebih sering ditemukan pada S. aureus dari sampel pangan asal ternak dan produk pangan asal ternak, sedangkan seh lebih sering ditemukan pada S. aureus asal manusia. Berdasarkan pola distribusi faktor virulensi dan enterotoksin, S. aureus yang diisolasi dari berbagai sumber yang digunakan dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi tujuh klaster. Penentuan klaster berdasarkan sifat virulensi yang digambarkan dari karakter fenotipik, meliputi kemampuan menghemaglutinasi darah, produksi pigmen dan hemolisin, dan genotipik dengan adanya gen penyandi stafilokokal enterotoksin. Distribusi faktor-faktor virulensi pada S. aureus ini dapat digunakan untuk mempertimbangkan dalam kontrol stafilokokosis dengan menjaga keamanan pangan, melalui penyebaran informasi kepada peternak tentang cara pemerahan susu dan kepada masyarakat, tentang cara penanganan, persiapan dan penyimpanan makanan terutama dari bahan pangan asal ternak dan produk pangan asal ternak.
68
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Tabel 2. Klaster Staphylococcus aureus berdasar distribusi faktor virulensi dan enterotoksin Spesimen Susu sapi (Yogya) Susu kemasan Susu kemasan Susu sapi (Solo) Susu sapi (Yogya) Keju, (Sidoarjo) Kulit manusia Kulit manusia Kulit manusia Kulit manusia Kulit manusia
Kode Pigmen Hemolisin Hemaglutinasi SEB SEH Klaster Isolat SY 1 Putih Gamma + + I Y
Kuning
Beta
+
+
-
II
SK1
Oranye
Gamma
+
+
-
III
SS9
Oranye
Gamma
+
+
-
III
SY12
Oranye
Alfa
+
+
-
IV
KJ
Kuning
Alfa
+
+
-
IV
KM 10 KM9
Oranye
Alfa
+
-
+
V
Oranye
Alfa
+
-
+
V
KM8
Oranye
Alfa
+
+
+
VI
KM1
Oranye
Delta
+
-
+
VII
KM3
Kuning
Delta
+
-
+
VII
Evaluasi stafilokokal enterotoksin dalam penelitian ini digunakan tehnik PCR dengan mengamplifikasi masing-masing gen dengan menggunakan oligonukleotida primer spesifik. Menurut Sharma et al. (2000), deteksi enterotoksin dengan teknik PCR memberikan hasil yang sangat akurat. Enterotoksin dapat dideteksi dengan menggunakan latex agglutination test, cara ini lebih sering digunakan karena mempunyai nilai ekonomis, namun dengan uji tersebut sering terjadi reaksi silang antara gen seb dan sec, dan antara gen sea dan see. Uji enterotoksin dengan menggunakan latex membutuhkan sejumlah toksin yang cukup untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, padahal produksi toksin diperlukan pertumbuhan kultur bakteri dengan kondisi tertentu seperti masa inkubasi yang tepat, pH, maupun penggunaan substrat. Produksi toksin yang tidak cukup dapat menyebabkan hasil negatif palsu (Su dan Wong, 1996). Teknik polymerase chain reaction (PCR) lebih sensitif dan akurat digunakan, prinsip kerjanya dengan mendeteksi sekuen gen
69
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
spesifik dengan mengamplifikasi DNA sehingga tidak membutuhkan media khusus untuk pertumbuhan bakteri (Monday dan Bohach, 1999).
Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dari berbagai produk pangan asal ternak dapat diisolasi sebanyak 32 isolat S. aureus yang terdiri dari 13 isolat asal susu segar dan daging ayam, 14 isolat asal susu kemasan, roti, keju, rolade, bakso, sosis, dan 5 isolat asal manusia. Staphylococcus aureus mampu memproduksi berbagai tipe hemolisin, yaitu tipe alfa (18,75%), beta (12,5%), gamma (62,5%) dan delta (6,2%). Staphylococcus aureus mampu memproduksi pigmen oranye (62,5%), kuning (21,87%) dan putih (15,62%), dan sebagian besar S. aureus mampu mengaglutinasi darah kelinci (96,87%). Berdasarkan identifikasi molekuler, semua isolat S. aureus dapat diamplifikasi terhadap gen 23S rRNA. Hasil evaluasi enterotoksin S. aureus terdapat lima isolat mengandung gen seb, lima isolat seh dan satu isolat mengandung kombinasi gen seb dan seh.
Daftar Pustaka Akineden, ö., Annemüller, C., Hassan, A., Lämmler, C., Wolter, W. and Zscöck, M., 2001. Toxin genes and other characteristics of Staphylococcus aureus isolates from milk of cows with mastitis. Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology. American Society for Microbiology. Vol. 8. No. 5. p. 959-964. Annemüller, C., Lämmler, C. and Zscöck, M., 1999. Genotyping of Staphylococcus aureus isolated from bovine mastitis. Vet. Microbiol. 69: 217-224. Blobel, H. and Scließer, T. 1994. Handbuch der bakteriellen Infektionen bei Tieren. Band II. Teil I. Infektionen und Enterotoxine. Staphylokokken- 2 Auflage. Gustav Fischer Verlag Jena, Stuttgart. Brückler, J., Schwarz, S. and Untermann, F., 1994. Staphylokokken-Infektionen und Enterotoxine, Band. II/1, In Blobel, H. und Schließer (Herausber), Handbuch der bakteriellen Infektionen bei Tieren, 2 Auflage. Gustav Fischer Verlag Jena, Stuttgart. Carter, G. R. and Wise, D. J. 2004. Essentials of veterinary bacteriology and mycology. 6th ed. Iowa State Press. A Blackwell Publishing Company. 193-197. Dinges, M. M., Orwin, P. M. and Schlievert, P. M., 2000, Enterotoxin Staphylococcus aureus. Clin. Microbiol. Rev. 13, 16-34. 70
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Ferrens, W. A., Davis, W. C., Hamilton M. J., Park Y. H., Deobald, C. F., Fox., L. and Bohach G., 1998. Activation of bovine lymphocyte subpopulations by staphylococcal enterotoxin C. Infect. Immun. 66, 573-580. Greenfield, R. A., Brown, B. R., Hutchins, J. B. Iandolo, J. J., Jackson, R., Slater, L. N. and Bronze, M. S., 2002. Microbiological, biological, and chemical weapons of warfare and terrorism. Am. J. Med. Sci. 323, 326-340. Jarraud, S., Cozon, G., Vandenesch, F., Bes, M., Etienne, J. and Lina, G. 1999. Involvement of enterotoxins G and I in staphylococcal toxic shock syndrome and staphylococcal scarlet fever. J Clin Microbiol 37, 2446-2449. Jawetz, E., Melnick, J. L. and Adelberg, E. A. 1982. Microbiology for Medicine. 14th ed. Lange Medical Publications. Los Altos. California. 258. Jawetz, E., Melnick, J. L. and Adelberg, E. A, 2001. Microbiologi Kedokteran. Edisi Pertama. Penerbit Salemba Medika. 317-326. Joklik, W. K., Willett, H. P., Amos, D., B and Wilfert, C. M., 1992. Zinsser microbiology. 20th. Appleton and Lange. California. 401-413. Khusnan, 2003. Deteksi enterotoksin dan karakterisasi Staphylococcus aureus dari sampel susu sapi perah di daerah Kaliurang, Yogyakarta. Tesis Program Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada. Le Loir, Y., Baron, F. and Gautier, M. 2003. Staphylococcus aureus and food poisoning. Genet. Mol. Res. 2 (1): 63-76 (2003). Rennes cedex. Marrack, P. and Kappler, J., 1990. The staphylococcal enterotoxin and their relatives. Science, 248, 705-711. Monday, S. R. and Bohach, G. A. 1999. Use of multiplex PCR to detect classical and newly described toxin genes in staphylococcal isolates. J. Clin. Microbiol. 37: 3411-3414. Omoe, K., Ishikawa, M., Shimoda., Y., Hu, D.-L. Ueda and Shinagawa, K. 2002. Detection of seg, seh and sei genes in isolates and determination of the enterotoxin productivities of S. aureus isolates harbouring seg, seh and sei genes. J. Clin. Microbiol. 40, 857-862. Prescott, H. K. and Langsing, M. P., 1999. Microbiology. 4th ed. WBC, MC The Graw – Hill Companies, Inc. 771. Salasia, S. I. O, 1994. Untersuchungen ze mutmaßlichen Pathogenitätsfaktoren von Streptcoccus suis. Vet. Med. Diss. Justus-Liebig-Universität Giessen. Germany. Salasia, S. I. O., Khusnan, C. Lämmler and Nirwati, H, 2003. Pheno-and genotyping of Staphylococcus aureus, isolated from human skin infections in Yogyakarta. I. J. Biotech. June, 612-620. 71
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Salasia, S. I. O., Z. Khusnan, C. Lammler, and M. Zshock, 2004. Comparative studies on Pheno- and genotypic properties of Staphylococcus aureus isolated from bovine subclinical mastitis in Central Java, Indonesia and Hesse, Germany. J. Vet. Res. Sci. 5(2). 103-109. Sharma, N. K., Catherine, E. D. R. and Dodd, C. E. R. 2000. Development of singlereaction multiplex PCR toxin typing assay for Staphylococcus aureus strains. Appl. Environ. Microbiol. 66, 1347-1353. Stephan, R., Annemüller, C., Hassan, A. A. and Lämmler, C. 2000. Characterization of enterotoxigenic Staphylococcus aureus strains isolated from bovine mastitis in north-east Switzerland. Vet. Microbiol. 2051. 1-10. Straub, J. A., Hertel, C. and Hammes, W. P. 1999. A 23S r RNA-targeted polymerase chain reaction-based system for detection of Staphylococcus aureus in meat starter cultures and diary products. J. Food. Prot. 62: 1150-1156. Su, Y. C. and Wong, A. C. L., 1996. Production of staphylococcal enterotoxin under control pH and aeration. Int. J. Food. Microbiol. 39: 87-91. Suleiman, A. J. M., Elbually, M. S., Jaffer, Y., Mehta., F. R. and Al Awaidy., S., 1996. Food borne outbreaks. Community Health and Disease Surveillance. Sultanate of Oman Ministry of Health. Vol. V-No. 3. Juli-September 1996: 5-6. Todar, K. 2005. Todar’s online textbook of bacteriology. Staphylococcus. University of Wisconsin-Madison Department of Bacteriology. www.textbookofbacteriology.net/staph.html. Tanggal download: 1 November 2007. Zhang, S., Landolo, J. J. and Stewart, G. C., 1998. The enterotoxin D plasmid of Staphylococcus aureus encodes a second enterotoxin determinant (sej). FEMS Microbiol. Lett. 168, 227-223.
72
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
KUALITAS HIMPUNAN BASIS STO-3G DAN 3-21G SEBAGAI METODE PERHITUNGAN AB INITIO SENYAWA TURUNAN KALANON
Ponco Iswanto, Moch. Chasani dan Eva Vaulina YD Jurusan Kimia, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Indonesia
Intisari Penelitian dan pengembangan senyawa Kalanon, hingga saat ini masih dilakukan. Kalanon adalah senyawa bahan alam yang memiliki aktivitas antileukemia. Hingga saat ini, modifikasi struktur senyawa Kalanon dilakukan melalui sentuhan teknologi komputer. Teknik tersebut dikenal dengan analisis QSAR (Quantitative Structure Activity Relationship), yang merupakan kombinasi antara metode perhitungan kimia komputasi dan statistik. Metode perhitungan kimia komputasi terdiri dari metode mekanika molekular dan struktur elektronik (semiempiris, DFT dan ab initio). Metode perhitungan kimia komputasi yang telah dilakukan untuk analisis QSAR senyawa Kalanon, adalah metode semiempiris AM1 dan PM3. Aplikasi metode perhitungan kimia komputasi semiempiris AM1 menunjukkan bahwa nilai aktivitas antileukemia turunan Kalanon baru, lebih baik daripada Kalanon. Metode ab initio, dalam banyak hal, terbukti lebih baik daripada semiempiris. Hal ini dibuktikan melalui hasil perhitungan ab initio yang lebih akurat dari hasil semiempiris dan mekanika molekular. Penelitian ini melakukan aplikasi dan seleksi terhadap himpunan basis STO-3G dan 3-21G, yang diharapkan dapat digunakan untuk perhitungan ab initio turunan Kalanon pada analisis QSAR-Ab initio. Cara yang dipakai adalah dengan mencocokkan hasil perhitungan spektra NMR dari kedua himpunan basis tersebut dengan data spektra NMR percobaan senyawa Kalanon induk. Hasil yang didapat adalah himpunan basis STO-3G dapat digunakan untuk perhitungan senyawa Kalanon dan turunannya. Kata kunci: Kalanon, Kimia komputasi, QSAR, Ab initio
73
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Pendahuluan Kemajuan teknologi komputer yang pesat, banyak memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk Ilmu Kimia. Peran teknologi komputer di dalam Ilmu Kimia sangat besar, hingga memunculkan cabang ilmu baru yang dikenal dengan Kimia Komputasi. Sejak awal perkembangannya hingga hari ini, Kimia Komputasi banyak memberikan kontribusi dalam hal pengembangan teori kimia hingga aspek penerapannya. Salah satu penerapan Kimia Komputasi adalah perancangan struktur senyawa obat baru. Teknik ini dikenal dengan analisis QSAR (Quantitative Structure Activity Relationship), yang merupakan kombinasi antara metode perhitungan kimia komputasi dan analisis statistik. Jadi, metode perhitungan kimia komputasi dan analisis statistik adalah dua faktor yang mempengaruhi kerja analisis QSAR. Metode perhitungan kimia komputasi yang tersedia adalah metode mekanika molekular (MM) dan struktur elektronik (semiempiris, DFT dan ab initio), sedangkan untuk analisis statistik, telah banyak yang menggunakan MLR (multiple linear regression) dan PCR (principle component regression). Penelitian tentang analisis QSAR telah banyak dilakukan untuk mendapatkan senyawa baru (turunan) yang memiliki aktivitas lebih baik daripada senyawa induk, seperti analisis QSAR: senyawa antiradikal (Tahir dkk, 2003), turunan Fluorokuinolon sebagai zat antibakteri (Iswanto dkk, 2005), dan turunan Kalanon sebagai zat antileukemia (Iswanto dkk, 2007). Di lain pihak, pengembangan senyawa aktif bahan alam yang berpotensi sebagai obat, terus dilakukan. Modifikasi struktur senyawa induk guna mendapatkan senyawa baru dengan aktivitas lebih baik, merupakan kerja lanjutan dari penemuan senyawa aktif bahan alam. Namun, sebelum dikenalnya teknik QSAR, modifikasi struktur tersebut dilakukan berdasarkan intuisi dan pengalaman perancang, bahkan ada yang bersifat coba-coba dan tidak terarah. Hasil modifikasi dengan cara tersebut tidak selalu menghasilkan senyawa baru yang diharapkan, dan tidak ekonomis. Munculnya teknik QSAR dapat mengarahkan kerja modifikasi struktur, karena teknik ini disertai dengan alasan statistik (kebolehjadian) yang terkuantisasi (Harjono, 2006). Senyawa Kalanon, salah satu senyawa bahan alam yang terdapat di Indonesia, pengembangannya masih dilakukan hingga saat ini. Kalanon memiliki bobot molekul 424,1283 g/mol dan titik leleh 172 0C, serta mempunyai aktivitas antileukemia terhadap sel L1210 (Chasani, 2002). Modifikasi struktur senyawa Kalanon telah dilakukan baik melalui 74
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
cara konvensional (intuisi dan pengalaman) maupun melalui sentuhan teknologi komputer (teknik QSAR). Hasil dari teknik QSAR dengan metode perhitungan semiempiris AM1, menunjukkan bahwa nilai aktivitas senyawa turunan lebih baik dari Kalanon induk (Iswanto dkk, 2007). Informasi ini mendorong kegiatan penelitian ke arah penggunaan metode perhitungan kimia komputasi yang lebih akurat, tetapi tetap tidak berbiaya mahal. Metode ab initio, dalam banyak hal, terbukti lebih baik daripada semiempiris. Hal ini dibuktikan melalui hasil perhitungan ab initio yang sangat dekat dengan nilai percobaan (lebih akurat) (Foresman, 1996). Berdasarkan informasi hasil metode semiempiris tersebut dan keunggulan ab initio, maka perlu dilakukan penelitian analisis QSAR turunan Kalanon dengan metode perhitungan ab initio. Langkah pertama untuk melakukan penelitian ini adalah pemilihan himpunan basis yang sesuai untuk perhitungan turunan Kalanon secara ab initio. Kata “sesuai” mengandung arti bahwa himpunan basis yang dipilih harus dapat menghasilkan data hasil yang mendekati data percobaan, dan tidak mahal secara komputasi (durasi proses perhitungan yang cepat). Penelitian ini melakukan kajian dan seleksi terhadap himpunan basis STO-3G dan 3-21G sebagai metode perhitungan kimia komputasi untuk senyawa Kalanon dan turunannya.
Metode Penelitian Bahan Penelitian ini merupakan penelitian teoretik yang menggunakan data spektra NMR 1
H dan
13
C milik senyawa Kalanon sebagai senyawa induk dari turunan Kalanon yang
sudah ada. Data lain yang digunakan adalah rekaman hasil perhitungan kimia komputasi semiempiris yang telah dilakukan terhadap senyawa Kalanon (Iswanto, 2007).
Peralatan Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah: 1. Satu unit komputer dengan spesifikasi: Prosesor Pentium IV 1,6 GHz, RAM 256 MB. 2. Operating System: Windows XP. 3. Perangkat lunak Gaussian98W, MS notepad dan MS Excel
75
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Cara kerja Model senyawa Kalanon induk dihitung geometri (struktur) optimumnya dengan menggunakan himpunan basis STO-3G. Setelah diperoleh struktur optimum, dengan himpunan basis yang sama, koordinat atom-atomnya digunakan untuk menghitung spektra NMR teoretik. Langkah optimasi geometri dan perhitungan spektra NMR teoretik juga dilakukan untuk tetrametilsilan (TMS). Kemudian, untuk mendapatkan nilai pergeseran kimia senyawa Kalanon, nilai perhitungan spektra NMR atom C Kalanon dikurangi nilai atom C TMS. Demikian pula dengan nilai perhitungan atom H, yaitu nilai atom H Kalanon dikurangi nilai atom H TMS. Hasil koreksi dengan TMS tersebut merupakan nilai pergeseran kimia Kalanon. Setelah penerapan himpunan basis STO-3G selesai, maka perhitungan optimasi struktur dan spektra NMR kembali dilakukan untuk himpunan basis 3-21G. Kemudian, hasil perhitungan kedua himpunan basis dibandingkan dan dipilih himpunan basis yang paling mendekati data percobaan. Himpunan basis yang terpilih dapat digunakan untuk perhitungan kimia komputasi senyawa Kalanon secara ab initio.
Hasil dan Pembahasan Kalanon adalah senyawa bahan alam yang memiliki massa molekul relatif (Mr) dan bentuk struktur yang besar. Struktur molekul Kalanon dapat dilihat pada Gambar 1.
O
O
HO
O
O
Gambar 1. Struktur molekul Kalanon
76
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Berdasarkan jumlah atom pada Kalanon, metode perhitungan kimia komputasi yang dapat menghitung dengan cepat adalah metode MM. Tetapi, metode MM ini tidak dapat menghasilkan data yang terkait dengan sifat elektronik senyawa seperti muatan atom dan momen dwi kutub. Karena reaksi-reaksi kimia yang terjadi di alam ini umumnya berkaitan erat sifat elektron yang ada di dalam struktur molekul, maka metode perhitungan struktur elektronik harus digunakan untuk menghasilkan data tersebut. Kualitas perhitungan kimia komputasi yang dibutuhkan dalam aplikasi QSAR, adalah metode yang terdapat parameterisasi data percobaan sehingga data hasil perhitungan kimia komputasi diharapkan tidak jauh berbeda dengan percobaan. Metode perhitungan struktur elektronik yang terdapat parameterisasi data percobaan adalah metode semiempiris, sehingga metode ini banyak digunakan untuk mendukung teknik QSAR. Namun, banyak pula hasil penelitian yang membuktikan bahwa metode ab initio lebih akurat atau tidak jauh berbeda dengan data percobaan. Karena metode ab initio membutuhkan penerapan salah satu himpunan basis yang ada di dalamnya, maka perlu dilakukan seleksi guna memilih himpunan basis yang sesuai untuk senyawa Kalanon. Proses seleksi ini dilakukan dengan menggunakan data percobaan yang mampu menggambarkan senyawa Kalanon dengan spesifik dan akurat. Proses ini dikenal dengan parameterisasi metode perhitungan dengan data percobaan. Salah satu data percobaan yang dapat digunakan adalah spektra NMR. Faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam seleksi himpunan basis adalah waktu yang dibutuhkan dalam proses perhitungan. Lebih singkat proses perhitungan, lebih baik. Oleh sebab itu, penelitian ini hanya mengambil dua himpunan basis yang akan diseleksi, yaitu STO-3G dan 3-21G. Himpunan basis STO-3G adalah singkatan dari SlaterType-Orbitals yang disimulasi oleh 3 fungsi Gaussian. Himpunan basis 3-21G adalah nama lain dari himpunan basis split valence, yang terdiri dari 3 fungsi Gaussian inti dan 2 bagian basis split (2 Gaussian pada orbital dalam dan 1 Gaussian untuk orbital luar). Kedua himpunan basis ini merupakan himpunan basis yang sederhana, sehingga tidak memerlukan waktu lama dalam proses perhitungannya (Pranowo, 2001). Proses seleksi himpunan basis dilakukan dengan membandingkan hasil perhitungan NMR Kalanon dari kedua himpunan basis, kemudian memilih himpunan basis yang paling dengan dengan data NMR Kalanon percobaan. Berikut adalah data perhitungan dan seleksi himpunan basis.
77
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
C6 C28 C19
C29 C18
C5
C1
C4
C2
O
C3
C13 C7
C20 C14 C15
HO
C8
C12
C9
C11
O
C16
O
C21
O
C22 C23 C27
C24
C26 C25
Gambar 2. Penomoran atom pada Kalanon Data hasil perhitungan spektra NMR dengan menggunakan perangkat lunak Gaussian98W dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel-tabel ini terdiri dari delapan kolom. Kolom ke-3 menggambarkan data hasil perhitungan pergeseran kimia (δ) teoretik senyawa Kalanon, sedangkan kolom ke-4 merupakan nilai pergeseran kimia atom-atom yang ada di dalam senyawa tetrametilsilan (TMS). Nilai akhir pergeseran kimia Kalanon dapat diperoleh dengan cara mengurangi nilai δ TMS dengan nilai δ Kalanon (lihat kolom ke-5). Kemudian seleksi terhadap dua himpunan basis dilakukan dengan menghitung nilai PRESS (Prediction Sum of Square), yaitu jumlah nilai kuadrat dari selisih antara nilai perhitungan/prediksi dan nilai percobaan (kolom ke-6). Himpunan basis terpilih adalah himpunan basis yang memiliki nilai PRESS terendah (lihat kolom ke-8).
78
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Tabel 1. Kualitas perhitungan 13C dan 1H NMR dengan himpunan basis STO-3G NO URUT 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
ATOM 2 C1 C2 C3 C6 C7 C8 C9 C11 C12 C13 C14 C15 C16 C18 C19 C20 C21 C22 C25 C26 C27 C28 C29
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
H pd C12 H pd C19 H pd C20 H pd C28 H pd C28 H pd C28 H pd C29 H pd C29 H pd C29 OH pd C9
δ KALANON 3 124,5487 125,9865 118,0423 125,1546 114,0017 143,4254 99,1213 110,1842 139,8716 100,3548 140,5373 93,6893 138,6974 181,6059 137,3569 132,2364 72,4167 118,749 122,7035 125,1302 125,5119 222,0507 221,5333
δ TMS 4 249,4347 249,4347 249,4347 249,4347 249,4347 249,4347 249,4347 249,4347 249,4347 249,4347 249,4347 249,4347 249,4347 249,4347 249,4347 249,4347 249,4347 249,4347 249,4347 249,4347 249,4347 249,4347 249,4347
δ RELATIF 5 124,886 123,4482 131,3924 124,2801 135,433 106,0093 150,3134 139,2505 109,5631 149,0799 108,8974 155,7454 110,7373 67,8288 112,0778 117,1983 177,018 130,6857 126,7312 124,3045 123,9228 27,384 27,9014
EKSP. 6 127,5 127,2 139,7 127,8 15,3 102,4 155,9 158 112,6 156,4 105,7 161,5 103,8 79,1 127 115,2 198,8 140,3 132,3 128,2 128,2 27,4 27,4
27,1064 28,1495 25,9714 33,0169 32,8756 32,8561 33,2414 32,7476 32,657 22,1839
33,7527 33,7527 33,7527 33,7527 33,7527 33,7527 33,7527 33,7527 33,7527 33,7527
6,6463 5,6032 7,7813 0,7358 0,8771 0,8966 0,5113 1,0051 1,0957 11,5688
5,88 5,42 6,64 0,98 0,98 0,98 0,98 0,98 0,98 12,46
SELISIH 7 2,614 3,7518 8,3076 3,5199 -120,133 -3,6093 5,5866 18,7495 3,0369 7,3201 -3,1974 5,7546 -6,9373 11,2712 14,9222 -1,9983 21,782 9,6143 5,5688 3,8955 4,2772 0,016 -0,5014 TOTAL -0,7663 -0,1832 -1,1413 0,2442 0,1029 0,0834 0,4687 -0,0251 -0,1157 0,8912 TOTAL
(SELISIH)2 8 6,832996 14,076003 69,016218 12,389696 14431,938 13,027046 31,2101 351,54375 9,2227616 53,583864 10,223367 33,115421 48,126131 127,03995 222,67205 3,9932029 474,45552 92,434764 31,011533 15,17492 18,29444 0,000256 0,251402 16069,633 0,5872157 0,0335622 1,3025657 0,0596336 0,0105884 0,0069556 0,2196797 0,00063 0,0133865 0,7942374 3,0284549
Keterangan: δ = pergeseran kimia (ppm) EKSP. = data percobaan pergeseran kimia kalanon Berdasarkan data pada Tabel 1 dan Tabel 2, himpunan basis STO-3G memiliki nilai PRESS yang paling rendah. Nilai PRESS himpunan basis STO-3G untuk spektra 1H NMR sebesar 16069,633 dan untuk
13
C NMR sebesar 3,0284549, sehingga himpunan
basis ini dapat dipilih untuk digunakan pada perhitungan senyawa Kalanon dan turunannya. 79
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Tabel 2. Kualitas perhitungan 13C dan 1H NMR dengan himpunan basis 3-21G NO URUT 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
ATOM 2 C1 C2 C3 C6 C7 C8 C9 C11 C12 C13 C14 C15 C16 C18 C19 C20 C21 C22 C25 C26 C27 C28 C29
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
H pd C12 H pd C19 H pd C20 H pd C28 H pd C28 H pd C28 H pd C29 H pd C29 H pd C29 OH pd C9
δ KALANON 3 94,6179 94,646 80,764 94,7762 66,1712 122,1381 63,3883 66,1791 111,6847 63,2404 120,3758 58,2279 117,8628 144,8531 102,8686 102,5408 18,3116 86,1239 87,9058 97,1102 89,6153 186,7513 187,1862
δ TMS 4 214,6395 214,6395 214,6395 214,6395 214,6395 214,6395 214,6395 214,6395 214,6395 214,6395 214,6395 214,6395 214,6395 214,6395 214,6395 214,6395 214,6395 214,6395 214,6395 214,6395 214,6395 214,6395 214,6395
δ RELATIF 5 120,0216 119,9935 133,8755 119,8633 148,4683 92,5014 151,2512 148,4604 102,9548 151,3991 94,2637 156,4116 96,7767 69,7864 111,7709 112,0987 196,3279 128,5156 126,7337 117,5293 125,0242 27,8882 27,4533
EKSP. 6 127,5 127,2 139,7 127,8 15,3 102,4 155,9 158 112,6 156,4 105,7 161,5 103,8 79,1 127 115,2 198,8 140,3 132,3 128,2 128,2 27,4 27,4
28,0713 28,4167 26,4624 32,2199 32,9461 32,5424 32,739 32,9651 32,3167 22,9247
33,8329 33,8329 33,8329 33,8329 33,8329 33,8329 33,8329 33,8329 33,8329 33,8329
5,7616 5,4162 7,3705 1,613 0,8868 1,2905 1,0939 0,8678 1,5162 10,9082
5,88 5,42 6,64 0,98 0,98 0,98 0,98 0,98 0,98 12,46
SELISIH 7 7,4784 7,2065 5,8245 7,9367 -133,1683 9,8986 4,6488 9,5396 9,6452 5,0009 11,4363 5,0884 7,0233 9,3136 15,2291 3,1013 2,4721 11,7844 5,5663 10,6707 3,1758 -0,4882 -0,0533 TOTAL 0,1184 0,0038 -0,7305 -0,633 0,0932 -0,3105 -0,1139 0,1122 -0,5362 1,5518 TOTAL
(SELISIH)2 8 55,92646656 51,93364225 33,92480025 62,99120689 17733,79612 97,98228196 21,61134144 91,00396816 93,02988304 25,00900081 130,7889577 25,89181456 49,32674289 86,74314496 231,9254868 9,61806169 6,11127841 138,8720834 30,98369569 113,8638385 10,08570564 0,23833924 0,00284089 19101,66071 0,01401856 1,444E-05 0,53363025 0,400689 0,00868624 0,09641025 0,01297321 0,01258884 0,28751044 2,40808324 3,77460447
Keterangan: δ = pergeseran kimia (ppm) EKSP. = data percobaan pergeseran kimia kalanon
80
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Kesimpulan Himpunan basis yang dapat digunakan untuk menghitung senyawa Kalanon dan turunannya adalah himpunan basis STO-3G.
Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih ditujukan kepada Kementerian Negara Riset dan Teknologi melalui Program Insentif Riset Dasar, dan Austria – Indonesia Center for Computational Chemistry (AIC), Jurusan Kimia FMIPA Universitas Gadjah Mada.
Daftar Pustaka Chasani, M. 2002. Sintesis senyawa turunan Kalanon dan uji aktivitas biologinya. Tesis Magister. Universitas Indonesia. Jakarta. Foresman, J. B. and Ællen Frisch. 1996. Exploring chemistry with electronic structure methods. 2nd ed. Gaussian, Inc., Pittsburgh. Harjono. 2006. Kajian hubungan kuantitatif struktur-aktivitas (HKSA/QSAR) senyawa kalanon dan turunannya sebagai antileukemia dengan pendekatan PCR (Principal Component Regression). Skripsi. Universitas Jenderal Soedirman. Iswanto, P. dan Heny Ekowati. 2005. Pemodelan senyawa fluorokuinolon baru sebagai zat antibakteri E. Coli. Mandala of Health: Scientific Journal. Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman. Iswanto, P., Moch. Chasani, dan Eva Vaulina. 2007. Sintesis senyawa turunan Kalanon sebagai zat antileukemia dengan pendekatan QSAR (Quantitative StructureActivity Relationship). Laporan Penelitian. MENRISTEK RI. Jakarta. Pranowo, H. D. 2001. Kimia komputasi. Austria-Indonesia Center for Computational Chemistry. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tahir, I., K. Wijaya, B. Purwono, dan D. Widianingsih. 2003. Analisis QSAR Turunan Flavon/Flavonol sebagai Senyawa Antiradikal Berdasarkan Analisis Hansch. Indo.J.Chem. 3(1). 48-54.
81
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
KARAKTERISASI ENZIM KITINOLITIK Escherichia coli-inactive KPU 2.1.8 DARI LIMBAH PENGOLAHAN UDANG Miftahul Ilmi1*, Ekowati Chasanah2, Wibowo Mangunwardoyo3 1
2
Fakultas Biologi UGM Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi, DKP RI 3 Departemen Biologi, FMIPA UI * Korespondensi ke email
[email protected]
Abstract Applications of chitinolytic enzyme have been carried out in recent years. Information of the enzyme is important for industrial applications. The purpose of this study was to investigate the effect of pH, temperature, and metal ions to the activity of chitinolytic enzyme from E. coli-inactive KPU 2.1.8. Thermostability of the enzyme was also determined by incubating the enzyme at various temperature and the residual activity was assayed. The optimal pH of the chitinolytic enzyme from strain KPU 2.1.8 ranged from 4 – 8, and the optimal temperature ranged from 40 – 55 oC. The enzyme was able to maintain its residual activity above 50% for six hours at 40 oC, for four hours at 45 oC, and for one hour at 50 oC. The enzyme lost its activity after one hour incubation at 55 oC. Fe2+ increased the enzyme activity by 12.1% and 17% at 1 mM and 5 mM concentration, while Zn2+, Ca2+, and Mn2+ increased enzyme activity by 17.8, 11, and 14.7% at 5 mM concentration. Cu2+ decreased enzyme activity by 25.3% and 43.6% at 1 mM and 5 mM concentration, while EDTA decreased enzyme activity by 59.1% at 5 mM concentration. Further study to purify and determine further characteristics of chitinolytic enzymes from strain KPU 2.1.8 was suggested. Keywords: Chitinolytic Enzyme, Colloidal Chitin, Escherichia Coli-Inactive, Metal Ions, Ph, Stability, Temperature
Pendahuluan Enzim kitinolitik adalah enzim yang mampu menghidrolisis ikatan β-1,4-glikosida pada rantai polimer kitin menjadi oligomer atau monomer (Fukamizo, 2000). Enzim kitinolitik dihasilkan oleh berbagai organisme, antara lain bakteri, fungi, protozoa, invertebrata, serta beberapa tumbuhan dan vertebrata (Patil et al., 2000). Menurut Bade and Hickey (1989) Gooday (1990), dan Gohel et al. (2006), Nomenclature Commitee of International Union of Biochemistry and Molecular Biology (IUBMB) membagi kelompok 82
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
enzim kitinolitik menjadi dua, yaitu enzim 1,4-β-poli-N-asetilglukosaminidase (EC 3.2.1.14) yang juga disebut endokitinase; dan enzim β-N-asetilheksosaminidase (EC 3.2.1.52) yang juga disebut enzim eksokitinase. Enzim endokitinase menghidrolisis secara acak ikatan β-1,4-glikosida pada rantai kitin dan menghasilkan diasetilkitobiosa, sedangkan enzim eksokitinase menghidrolisis ikatan β-1,4-glikosida gula non-pereduksi pada diasetilkitobiosa dan menghasilkan N-asetilglukosamin. Henrisatt dan Bairoch membagi enzim kitinolitik menjadi dua berdasarkan struktur proteinnya, yaitu enzim kitinolitik Famili 18 yang umumnya dihasilkan oleh bakteri, dan enzim kitinolitik Famili 19 yang umumnya dihasilkan oleh tumbuhan (Fukamizo, 2000; Patil et al., 2000). Enzim kitinolitik dari bakteri telah banyak diaplikasikan, antara lain sebagai agen biokontrol terhadap fungi dan serangga (Chernin et al., 1995; Patil et al., 2000; Chien-Jui Huang et. al., 2005), serta pembuatan oligomer kitin dari polimer kitin dan pembuatan protein sel tunggal dari khamir (Patil et al., 2000; Sørbotten et al., 2005). Informasi karakteristik enzim, antara lain pengaruh suhu, pH, dan ion logam, diperlukan dalam aplikasi enzim tersebut (Reed, 1975). Penelitian sebelumnya telah berhasil mengisolasi strain Escherichia coli-inactive KPU 2.1.8 dari limbah pengolahan udang, namun karakteristik enzim kitinolitik yang dihasilkan strain tersebut belum diketahui. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh suhu, pH, dan ion logam terhadap aktivitas enzim kitinolitik dari strain E. coli-inactive KPU 2.1.8 asal limbah pengolahan udang.
Bahan dan Cara Kerja Mikroorganisme Isolat Escherichia coli-inactive KPU 2.1.8 merupakan hasil isolasi dan skrining bakteri kitinolitik dari limbah pengolahan udang yang telah dioptimasi produksi enzim kitinolitiknya.
Medium kitin Medium kitin cair dibuat berdasarkan Nasran et al. (2003). Komposisi medium kitin cair adalah sebagai berikut: K2HPO4 0,1% (b/v), MgSO4.7H2O 0,01% (b/v), NaCl 0,1% (b/v), (NH4)2SO4 0,7% (b/v), Yeast Extract 0,05% (b/v), koloidal kitin 1% (b/v).
83
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Produksi dan preparasi enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 218 Starter produksi dibuat dengan menginkubasi 50 ml medium kitin cair yang telah diinokulasikan dengan 5 ml suspensi sel bakteri E. coli-inactive KPU 218 berumur 24 jam (A600 = 1,138 ± 0,245) dalam Erlenmeyer 125 ml selama 16 jam pada suhu 25 oC dan pH 5 dengan agitasi 100 rpm. Sebanyak 30 ml starter dimasukkan ke dalam 300 ml medium kitin cair dalam Erlenmeyer 500 ml pada suhu 25 oC dan pH 5 dengan agitasi 100 rpm diinkubasi selama 30 jam. Sel dan supernatan dipisahkan dengan cara sentrifugasi pada kecepatan 6.000x g selama 10 menit. Supernatan dipekatkan hingga tiga kali lipat konsentrasi awal menggunakan ultrafiltrasi UFP-10-C-3MA (10 kDa).
Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 ditentukan dengan menguji aktivitas enzim menggunakan bufer fosfat-sitrat 0,2 M (pH 4, 5, 6), bufer fosfat 0,1 M (pH 6, 7, 8), dan bufer borat 0,2 M (pH 8, 9, 10) pada suhu 30 oC. Aktivitas enzim diuji menggunakan reagen Schales menurut Nasran et al. (2003), sedangkan konsentrasi protein diuji menggunakan metode Lowry (Bollag and Edelstein, 1991).
Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 ditentukan dengan menguji aktivitas enzim pada suhu inkubasi 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 50, 55, 60, 65, dan 70 oC pada pH aktivitas optimal. Ketahanan enzim terhadap suhu diuji dengan memaparkan enzim pada suhu 40, 45, 50, dan 55 oC selama tujuh jam. Setiap jam enzim tersebut diuji aktivitasnya pada kondisi optimum. Aktivitas enzim diuji menggunakan reagen Schales menurut Nasran et al. (2003), sedangkan konsentrasi protein diuji menggunakan metode Lowry (Bollag and Edelstein, 1991).
Pengaruh ion logam terhadap aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 218 Ion logam yang digunakan dalam pengujian adalah Mg2+, Ca2+, Cu2+, Zn2+, Fe2+, Ba2+, Mn2+, dan EDTA. Pengaruh ion logam diuji dengan menguji aktivitas enzim pada suhu dan pH aktivitas optimum menggunakan substrat yang telah ditambahi ion-ion logam tersebut dalam bentuk garam klorida dengan konsentrasi akhir 1 mM dan 5 mM. Aktivitas enzim diuji menggunakan reagen Schales menurut Nasran et al. (2003) 84
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Hasil dan Pembahasan
Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 Hasil karakteristik pH menunjukkan aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 memiliki rentang pH optimum yang luas, yaitu antara 5 hingga 8 (Gambar 1.). Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan enzim kitinolitik dari bakteri memiliki rentang pH optimum yang sempit, antara lain enzim kitinase yang dihasilkan Vibrio sp. 98J11027 (pH optimum 6) (Shin Hye Park et al., 2000), Enterobacter sp. NRG4 (pH optimum 5,5) (Dahiya et al., 2005), Enterobacter aglomerans (pH optimum 6,5) (Chernin et al., 1995), Stentrophomonas maltophila C3 (pH optimum 6) (Zhang et al., 2001), dan Pseudomonas aeruginosa (pH optimum 4,5 – 5) (Folders et al., 2001). Luasnya rentang pH optimum enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 diduga disebabkan adanya perlindungan dari substrat saat reaksi katalitik terjadi. Menurut Fukamizo (2000) dan van Aalten et al. (2001), pengikatan kitin dengan enzim kitinolitik dapat menyebabkan perubahan konformasi enzim. Perubahan tersebut dapat meningkatkan ketahanan enzim terhadap denaturasi oleh pH (Segel, 1975). Aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 menurun pada pH 4 dan 10 diduga karena struktur enzim mengalami denaturasi. Creighton (1993) menyatakan bahwa denaturasi enzim umumnya terjadi pada pH di bawah 5 dan di atas 10. Denaturasi tersebut disebabkan dua hal, yaitu: (i) terionisasinya asam-asam amino penyusun struktur enzim yang awalnya berada dalam kondisi tidak terionisasi, sehingga terjadi ketidakstabilan elektrostatik pada struktur enzim; (ii) rusaknya ikatan ionik penghubung dua asam amino yang terionisasi karena salah satu asam amino tidak lagi terionisasi.
85
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Aktivitas Spesifik (U/m g)
1,50 1,04 ± 0,07
1,09 ± 0,04
1,05 ± 0,02
1,00 1,03 ± 0,001
1,03 ± 0,01
1,01 ± 0,004
0,91 ± 0,004 0,73 ± 0,004
0,50
0,10 ± 0,04
0,00 4
5
6
Bufer Phosphat sitrat Bufer Phosphat Bufer Borat
7
8
9
10
pH
Gambar 1. Aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 pada berbagai pH. Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 Hasil karakteristik suhu aktivitas menunjukkan enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 memiliki suhu optimum 40 hingga 55 oC (Gambar 2.). Hasil pengujian ketahanan terhadap suhu menunjukkan enzim tersebut mampu mempertahankan aktivitas residu di atas 50% saat terpapar suhu 40 oC selama enam jam, suhu 45 oC selama empat jam, dan suhu 50 oC selama satu jam. Enzim kehilangan aktivitas setelah pemaparan pada suhu 55 oC selama satu jam (Gambar 3.). Suhu optimum enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 berada pada rentang 40 – 55 oC. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian lain yang menunjukkan bahwa enzim kitinolitik umumnya memiliki suhu optimum di atas 40 oC, antara lain enzim kitinase Vibrio sp. 98CJ11027 (45 oC) (Shin Hye Park et al., 2000), Enterobacter sp. NRG4 (45 oC) (Dahiya et al., 2005), Enterobacter aglomerans (40 oC) (Chernin et al., 1995), Stentrophomonas maltophila C3 (50 oC) (Zhang et al., 2001), dan Pseudomonas aeruginosa (50 oC) (Folders et al., 2001).
86
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
1,25
Aktivitas spesifik (U/m g)
1,07 ± 0,04 1,04 ± 0,06
1,00
1,05 ± 0,01
1,08 ± 0,08
0,96 ± 0,04
0,75
0,81 ± 0,01 0,68 ± 0,00 0,6 ± 0,02
0,50
0,54 ± 0,02 0,42 ± 0,07
0,38 ± 0,01
0,25 0,3 ± 0,05 0,14 ± 0,01
0,00 10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
0
Suhu ( C)
Gambar 2. Aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 pada berbagai suhu. Pengujian pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 memperlihatkan aktivitas enzim meningkat sejalan dengan peningkatan suhu dari 10 – 40 oC. Energi aktivasi pada suhu 10 oC diperkirakan telah tercapai karena aktivitas enzim dapat diukur pada suhu tersebut. Apabila energi aktivasi belum tercapai, maka tidak akan ada aktivitas karena komplek enzim-substrat tidak terbentuk (Segel, 1975; Perez and Tutor, 1998). Aktivitas yang rendah pada suhu 10 oC disebabkan belum tercapainya energi kinetik yang memungkinkan frekuensi tumbukan optimum antara enzim dengan substrat (Segel, 1975).
87
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
100 90
Aktivitas residu (%)
80 70 60
40 oC
50
45 oC
40
50 oC
30
55 oC
20 10 0 0
1
2
3
4
5
6
7
Waktu (jam)
Gambar 3. Aktivitas residu enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 setelah pemaparan dengan berbagai suhu selama tujuh jam. Aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 mencapai optimum pada suhu 40 oC dan bertahan hingga suhu 55 oC. Pada rentang suhu tersebut diperkirakan terjadi frekuensi tumbukan optimum, namun karena konsentrasi substrat dan enzim tetap maka frekuensi tersebut tidak meningkat sehingga aktivitas enzim juga tidak meningkat. Menurut Segel (1975), selain dipengaruhi oleh energi kinetik, frekuensi tumbukan antara substrat dengan enzim juga dipengaruhi oleh konsentrasi reaktan. Aktivitas stabil enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 pada suhu 40 – 55 oC disebabkan enzim tersebut mampu menjaga keseimbangan antara rigiditas dengan fleksibilitas konformasi sehingga sisi aktif dapat merubah bentuk untuk berlekatan dengan substrat dan melakukan aktivitas katalitiknya (D’Amico et al., 2003; Zoldak et al., 2003). Keseimbangan antara rigiditas dan fleksibilitas konformasi tersebut dapat diganggu oleh kenaikan suhu lingkungan (Fields et al., 2001). Substrat koloidal kitin diperkirakan memegang peranan penting dalam menjaga kestabilan enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8. Ikatan antara substrat dan enzim akan memperkuat struktur enzim, selain itu substrat juga menyerap energi dari lingkungan sehingga melindungi enzim dari kelebihan energi yang dapat merusak strukturnya (Segel, 1975). Enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 dapat bertahan terhadap kenaikan suhu, terutama pada suhu 50 dan 55 oC, ketika substrat ada dalam reaksi tersebut. Ketika substrat ditiadakan dalam reaksi, seperti terjadi pada uji ketahanan terhadap suhu, hasil uji menunjukkan enzim kitinolitik hanya 88
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
mampu mempertahankan aktivitas residunya di atas 50% selama satu jam pada suhu 50 oC, sedangkan aktivitas enzim hilang setelah inkubasi selama satu jam pada suhu 55 oC. Aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 mengalami penurunan drastis saat dipaparkan pada suhu di atas 55 oC. Hal tersebut terjadi karena struktur enzim tersebut menyerap terlalu banyak energi sehingga ikatan-ikatan yang mempertahankan konformasi, seperti ikatan hidrogen dan ikatan non kovalen terputus dan enzim mengalami denaturasi (Segel, 1975; Vijayakumar et al., 1993). Hasil pengujian ketahanan enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 terhadap suhu menunjukkan enzim tersebut mampu mempertahankan aktivitas residu di atas 50% selama enam jam pada suhu 40 oC, empat jam pada suhu 45 oC, dan satu jam pada suhu 50 o
C. Inkubasi pada suhu 55 oC selama satu jam akan menghilangkan aktivitas enzim
tersebut. Ketahanan enzim pada suhu 40 oC dan 45 oC diduga disebabkan karena enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 berada pada kondisi tidak murni, sehingga enzim tersebut masih tercampur dengan protein lain yang ikut menyerap energi saat suhu dinaikkan (Segel, 1975). Hal tersebut menyebabkan enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 tidak terpapar energi berlebihan yang dapat merusak konformasinya.
Pengaruh ion logam terhadap aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 Aktivitas residu enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 218 setelah aktivasi dengan penambahan berbagai ion logam dapat dilihat pada Gambar 4. Ion Fe2+ meningkatkan aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 sebesar 12,1% pada konsentrasi 1 mM dan 17% pada konsentrasi 5 mM, sedangkan ion-ion Zn2+, Ca2+, dan Mn2+ meningkatkan aktivitas enzim tersebut sebesar 17,8, 11, dan 14,7% secara berurutan pada konsentrasi 5 mM. Ion Cu2+ menghambat aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 sebesar 25,3 dan 43,6% pada konsentrasi 1 dan 5 mM secara berurutan, sedangkan EDTA menghambat aktivitas enzim tersebut sebesar 59,1% pada konsentrasi 5 mM. Ion logam dapat berperan sebagai aktivator bagi enzim dengan melekat pada enzim dan meningkatkan aktivitas enzim tersebut (Segel, 1975). Ion Ca2+ telah dilaporkan mampu meningkatkan aktivitas enzim kitinolitik, antara lain pada enzim kitinase Bacillus sp. NCTU2 (Chih-Min Wen et al., 2002) dan Enterobacter sp. NRG4 (Dahiya et al., 2005). Ion Fe2+, Zn2+, dan Mn2+ tidak pernah dilaporkan mampu meningkatkan aktivitas enzim kitinase, bahkan ion Fe2+ merupakan inhibitor enzim kitinase Vibrio sp. 98CJ11027 (Shin Hye Park et al., 2000) dan enzim kitinase Stentrophomonas maltophila C3 (Zhang et al., 89
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
2001), sedangkan ion Mn2+ merupakan inhibitor enzim kitinase Bacillus sp. 13.26 (Purwani et al., 2004).
140,0 117,0 112,1
Aktivitas residu (%)
120,0
100,0
117,8 102,9
100,0
111,0 106,2
107,5
114,7
108,9
105,6 103,5 98,6 94,9
74,7
80,0
1 mM 5 mM
56,4
60,0
40,9 40,0
20,0
0,0 Kontrol
Fe
Zn
Ca
Cu
Mg
Ba
Mn
EDTA
Ion Logam
Gambar 4. Aktivitas residu enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 218 pada aktivasi dengan penambahan berbagai ion logam. Ion-ion Fe2+, Zn2+, Ca2+, dan Mn2+ meningkatkan aktivitas enzim kitinolitik E. coliinactive KPU 2.1.8 sebesar 17, 17,8, 11, dan 14,7% secara berurutan pada konsentrasi 5 mM. Hal tersebut, menurut Smith et al. (1991), disebabkan karena ion-ion logam divalen mempengaruhi konformasi pada situs aktif enzim. Ion-ion logam divalen berperan sebagai ligan yang melekat pada protein, pelekatan tersebut dapat menyebabkan perubahan struktur pada protein (Creighton, 1993). Perubahan tersebut dapat meningkatkan aktivitas katalitik enzim tersebut. Ion Cu2+ dilaporkan merupakan inhibitor enzim kitinolitik, antara lain enzim kitinolitik Vibrio sp. 98CJ11027 (Shin Hye Park et al., 2000), Bacillus sp. NCTU2 (ChihMin Wen et al., 2002), Enterobacter sp. NRG4 (Dahiya et al., 2005), Microbulbifer degradans 2-40 (Howard et al., 2004), dan Streptomyces thermoviolaceus OPC-520 (Tsujibo et al., 1993), sedangkan pengaruh EDTA yang menghambat aktivitas enzim kitinolitik dilaporkan oleh Dahiya et al. (2005) pada enzim kitinolitik Enterobacter sp. NRG4. Ion Cu2+ menghambat aktivitas enzim kitinolitik sebesar 25,3% (1 mM) dan 43,6% (5 mM). Hal tersebut diduga karena ion Cu2+ berlekatan dengan asam aspartat dan asam 90
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
glutamat yang terdapat di situs aktif. Kedua asam amino tersebut dilaporkan mampu berikatan dengan beberapa ion logam divalen, salah satunya Cu2+, sehingga mengubah konformasi situs aktif dan menghambat aktivitas enzim kitinolitik (Shin Hye Park et al., 2000). Ethylene diamine tetra acetate (EDTA) merupakan senyawa kimia yang berperan sebagai chelator agent. Senyawa tersebut akan mengadsorpsi ion-ion logam yang ada di dalam larutan (Erdem et al., 2001). Hasil pengujian menunjukkan EDTA tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 saat diberikan dengan konsentrasi 1 mM, sedangkan pada pemberian EDTA dengan konsentrasi 5 mM aktivitas enzim menurun hingga 59,1%. Hal tersebut diduga terjadi karena EDTA mengikat ion K+, Na+, dan Mg2+ di dalam larutan enzim. Ketiga ion tersebut merupakan komponen penyusun medium produksi enzim kitinolitik, sehingga terdapat di dalam larutan enzim saat uji aktivitas dilakukan. Menurut Smith et al. (1991), ion-ion K+ dan Na+ berperan memperkuat ikatan antara substrat dan enzim. Ion Mg2+ bertindak sebagai kofaktor dalam reaksi metabolisme berbagai polimer, salah satunya karbohidrat (Smith et al., 1991; Faixova and Faix, 2002). Konsentrasi EDTA yang dibutuhkan untuk menghambat aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 mencapai 5 mM. Hal tersebut menunjukkan ion K+, Na+, dan Mg2+ hadir dalam jumlah besar di dalam larutan, sehingga dibutuhkan EDTA dengan konsentrasi tinggi untuk mengikat ion-ion logam tersebut hingga dapat menghambat aktivitas enzim (Erdem et al., 2001).
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 memiliki aktivitas optimum pada rentang pH 5 – 8. 2. Aktivitas optimum enzim kitinolitik ditunjukkan pada rentang suhu 40 – 55 oC. Enzim tersebut mampu mempertahankan aktivitas residunya di atas 50% apabila terpapar selama enam jam pada suhu 40 oC, empat jam pada suhu 45 oC, dan satu jam pada suhu 50 oC. Aktivitas residu enzim hilang setelah inkubasi selama satu jam pada suhu 55 oC. 3. Ion Fe2+ meningkatkan aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 sebesar 12,1% pada konsentrasi 1 mM dan 17% pada konsentrasi 5 mM. Ion-ion Zn2+, Ca2+,
91
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
dan Mn2+ meningkatkan aktivitas enzim sebesar 17,8, 11, dan 14,7% pada konsentrasi 5 mM. 4. Ion Cu2+ mampu menghambat aktivitas enzim kitinolitik E. coli-inactive KPU 2.1.8 sebesar 25,3% pada konsentrasi 1 mM dan 43,6% pada konsentrasi 5 mM. Sedangkan EDTA menghambat aktivitas enzim tersebut sebesar 59,1% pada konsentrasi 5 mM.
Saran Perlu dilakukan purifikasi serta penentuan karakteristik enzim kitinolitik E. coliinactive KPU 2.1.8, seperti berat molekul, struktur protein, urutan asam amino, nilai Km, nilai Vmax, dan substrat spesifik enzim tersebut.
Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih disampaikan pada Yusro Nuri Fawzya, M.Si., Sugiyono, M.Si., serta para peneliti dan teknisi Laboratorium Bioteknologi, Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi, Departemen Kelautan dan Perikanan RI, atas segala bantuan yang diberikan. Penelitian ini didanai dari Anggaran Penelitian Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi, Departemen Kelautan dan Perikanan RI tahun 2007.
Daftar Pustaka van Aalten, D. M. F., D. Komander, B. Synstad, S. Gåseidnes, M. G. Peter and V. G. H. Eijsink. 2001. Structural insights into the catalytic mechanism of a family 18 exochitinase. Proceeding of the National Academy of Science 98(16): 8979–8984. Bade, M. L. and K. Hickey. 1989. Classification of enzymes hydrolizing chitin. Dalam. Skjak-Brǽk, G., T. Anthonsen and P. Sandford (eds). 1989. Chitin and chitosan. Elsevier Science Pub. Ltd., London: xxii + 835 hlm. Bollag, D. M. and S. J. Edelstein. 1991. Protein methods. John Wiley and Sons Inc., New York: xii + 230 hlm. Chernin, L. S., Z. Ismailov, S. Haran and I. Chet. 1995. Chitinolytic Enterobacter agglomerans antagonistic to fungal plant pathogens. Applied and Environmental Microbiology 61(5): 1720 –1726. Chien-Jui Huang, Tang-Kai Wang, Shu-Chun Chung and Chao-Ying Chen. 2005. Identification of an antifungal chitinase from a potential biocontrol agent, Bacillus cereus 28-9. Journal of Biochemistry and Molecular Biology 38(1): 82 – 88. 92
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Chih-Min Wen, Chien-Sheng Tseng, Chih-Yu Cheng and Yaw-Kuen Li. 2002. Purification, characterization and cloning of a chitinase from Bacillus sp. NCTU2. Biotechnology and Applied Biochemistry 35: 213 – 219. Creighton, T.E. 1993. Proteins: Structures and molecular properties. 2nd ed. W.H. Freeman and Company, New York: xiii + 507 hlm. Dahiya, N., R. Tewari, R.P. Tiwari and G.S. Hoondal. 2005. Chitinase from Enterobacter sp. NRG4: Its purification, characterization and reaction pattern. Electronic Journal of Biotechnology 8(2): 134 – 145. D’Amico, S., J-C. Marx, C. Gerday, and G. Feller. 2003. Activity-Stability Relationships in Extremophilic Enzymes. The Journal of Biological Chemistry 278(10): 7891 – 7896. Erdem, A., D. Özkan, B. Meriç, K. Kerman and M. Özsöz. 2001. Incorporation of EDTA for the Elimination of Metal Inhibitory Effects in an Amperometric Biosensor Based on Mushroom Tissue Polyphenol Oxidase. Turkish Journal of Chemistry 25: 231 – 239. Faixová, Z., and S. Faix. 2002. Influence of Metal Ions on Ruminal Enzyme Activities. Acta Vet. Brno. 71: 451 – 455. Fields, P. A., B. D. Wahlstrand and G. N. Somero. 2001. Intrinsic versus extrinsic stabilization of enzymes: The interaction of solutes and temperature on A4-lactate dehydrogenase orthologs from warm-adapted and cold-adapted marine fishes. European Journal of Biochemistry 268: 4497 – 4505. Folders, J., J. Algra, M.S. Roelofs, L.C. van Loon, J. Tommassen and W. Bitter. 2001. Characterization of Pseudomonas aeruginosa chitinase, A gradually secreted protein. Journal of Bacteriology 183(24): 7044 – 7052. Fukamizo, T. 2000. Chitinolytic enzymes: Catalysis, substrate binding, and their application. Current Protein and Peptide Science 1(1): 105 – 124. Gohel, V., A. Singh, M. Vimal, P. Ashwini and H.S. Chhatpar. 2006. Bioprospecting and antifungal potential of chitinolytic microorganisms. African Journal of Biotechnology 5(2): 54 – 72. Howard, M.B., N.A. Ekborg, L.E. Taylor, R.M. Weiner and S.W. Hutcheson. 2004. Chitinase B of Microbulbifer degradans 2-40 contains two catalytic domains with different chitinolytic activities. Journal of Bacteriology 186(5): 1297 – 1303. Nasran, S., F. Ariyani and N. Indriati. 2003. Produksi kitinase dan kitin deasetilase dari Vibrio harveti. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 9(5): 33 – 38. Patil, R.S., V. Ghormade and M.V. Deshpande. 2000. Citinolytic enzimes: An exploration. Enzyme and Microbial Technology 26: 473 – 483. 93
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Pérez, L.F. and J.C. Tutor. 1998. Assay of β-N-acetylhexosaminidase isoenzymes in different biological specimens by means of determination of their activation energies. Clinical Chemistry 44(2): 226 – 231. Purwani, E.Y., M.T. Suhartono, Y. Rukayadi, J.K. Hwang and Y.R. Pyun. 2004. Characteristics of thermostable chitinase enzymes from the Indonesian Bacillus sp. 13.26. Enzyme and Microbial Technology 35: 147 – 153. Reed, G. 1975. Effect of temperature and pH. Dalam. Reed, G. (ed). 1975. Enzyme in food processing. 2nd ed. Academic Press, New York: xvi + 573 hlm. Segel, I.H. 1975. Enzyme kinetics: Behavior and analysis of rapid equilibrium and steady state enzyme system. John Wiley and Sons, Inc., New York: xxii + 957 hlm. Shin Hye Park, Jung-Hyun Lee and Hong Kum Lee. 2000. Purification and characterization of chitinase from a marine bacterium, Vibrio sp. 98CJ11027. The Journal of Microbiology 38(4): 224 – 229. Smith, D., A.B. Burgin, E.S. Haas and N.R. Pace. 1992. Influence of metal ions on the ribonuclease P reaction: Distinguishing substrate binding from catalysis. The Journal of Biological Chemistry 267(4): 2429 – 2436. Sørbotten, A., S.J. Horn, V.G.H. Eijsink and K.M. Vårum. 2005. Degradation of chitosans with chitinase B from Serratia marcescens: Production of chito-oligosaccharides and insight into enzyme processivity. FEBS Journal 272: 538 – 549. Thamthiankul, S., S. Suan-Ngay, S. Tantimavanich and W. Panbangred. 2001. Chitinase from Bacillus thuringiensis subsp. pakistani. Applied Microbiology and Biotechnology 56: 395 – 401. Tsujibo, H., K. Minoura, K. Miyamoto, H. Endo, M. Moriwaki and Y. Inamori. 1993. Purification and properties of a thermostable chitinase from Streptomyces thermoviolaceus OPC-520. Applied and Environmental Microbiology 59(2): 620 – 622. Vijayakumar, S., S. Vishveshwara, G. Ravishanker, and D. L. Beveridge. 1993. Differential stability of β-sheets and α-helices in β-lactamase: A high temperature molecular dynamics study of unfolding intermediates. Biophysical Journal 65: 2304 – 2312. Zhang, Z., G.Y. Yuen, G. Sarath and A.R. Penheiter. 2001. Chitinases from the plant disease biocontrol agent, Stenotrophomonas maltophilia C3. Phytopathology 91(2): 204 – 211. Zoldak, G., R. Sutak, M. Antalik, M. Sprinzl and E. Sedlak. 2003. Role of conformational flexibility for enzymatic activity in NADH oxidase from Thermus thermophilus. European Journal of Biochemistry 270: 4887 – 4897. 94
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
QUORUM SENSING DAN PEMANFAATANNYA DALAM PENGENDALIAN VIBRIOSIS PADA IKAN Murwantoko Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Jl. Flora Bulaksumur Yogyakarta 55281 Email :
[email protected];
[email protected]
Abstrak Penyakit bakterial, terutama dari gram negatif, merupakan penyakit penting dalam akuakultur yang telah menyebabkan kerugian yang tinggi. Pengendalian penyakit bakterial ini merupakan kunci penting dalam keberhasilan akuakultur. Pada beberapa bakteri patogen gram negatif telah diketahui pengontrolan ekspresi gen virulensinya melalui quorum sensing yang berupa komunikasi antar sel dengan molekul autoinducer. Mekanisme quorum sensing ini juga ditemukan pada bakteri Vibrio patogen pada ikan. Jenis, mekanisme dan peranan inhibitor quorum sensing Vibrio pada ikan telah banyak dikaji, dan sebagian sudah diterapkan secara in vivo pada ikan. Berbagai pendekatan hidrolisis autoinducer telah dibuktikan mampu menghambat quorum sensing Vibrio patogen. Pendekatan quorum sensing merupakan salah satu alternatif untuk pengendalian penyakit pada ikan. Pengantar Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor pembatas utama dalam akuakultur, sehingga pengendalian penyakit merupakan kunci penting dalam manajemen untuk keberhasilan akuakultur. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri merupakan penyakit penting baik pada budidaya di air laut maupun air tawar, baik pada komoditas ikan bersisik maupun spesies yang lain seperti udang. Di antara kelompok bakteri, bakteri gram negatif merupakan kelompok bakteri yang banyak menyerang ikan (Austin dan Austin, 1987). Di antara bakteri gram negatif yang bersifat patogen tersebut antara lain Aeromonas
hydrophila,
A.
salmonicida,
Yersinia
ruckeri,
Vibrio
harveyi,
V.
parahaemolyticus, V. vulnificus, V. alginolyticus, V. anguillarum. V. harveyi merupakan bakteri air laut, menghasilkan luminescence yang dapat ditemukan dalam keadaan hidup bebas di perairan maupun berada sebagai simbion pada hewan laut. Bakteri ini dikenal sebagai bakteri patogen terpenting pada budidaya berbagai spesies avertebrata seperti udang windu (Penaeus monodon) dan dapat menyebabkan 95
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
kematian 100% di hatchery. Di antara faktor virulensi pada V. harveyi adalah produksi ekstra seluler protein (ECP) yang dikenal sebagai toksin T1 dengan berat molekul 1000 kDa. Protein ini diproduksi oleh bakteri pada waktu pertengahan dari fase pertumbuhan eksponensial (Manefield et al., 2000). V. harveyi juga menyerang ikan diantaranya pada ikan summer flounder (Paralichthys dentatus) yang dikenal dengan nama flounder infectious necrotizing enteritis (Gauger et al., 2006). V. anguillarum merupakan bakteri halotoleran yang terdistribusi luas di perairan laut. Bakteri ini menyebabkan penyakit yang ditandai dengan terbentuknya ulcer di kulit dan septicemia pada lebih dari 80 spesies ikan di perairan laut maupun payau. Berdasarkan tipe antigen O-nya, bakteri ini dikelompokkan menjadi 28 kelompok serotipe. Perbedaan serotipe menunjukkan perbedaan patogenisitas dan inangnya. Serotipe O-1 merupakan strain patogen yang mempunyai inang lebar dan banyak ditemukan menginfeksi ikan-ikan salmon, turbot, seabass dan belanak. Serotipe O-2 bersifat patogen dan ditemukan pada ikan-ikan salmon, turbot, cod dan sidat. Strain serotipe O-3
lebih spesifik hanya
menginfeksi pada sidat (Buch et al., 2003). Quorum sensing merupakan bentuk komunikasi antar sel untuk mengatur berbagai macam target gen yang tergantung pada kepadatan sel.
Quorum sensing ini banyak
ditemukan pada bakteri-bakteri Gram negatif, dan di antara gen yang diatur dengan quorum sensing adalah virulensi (Miller and Bassler, 2001). Dalam tulisan ini akan dibahas pengertian dan mekanisme quorum sensing, quorum sensing pada Vibrio patogen ikan dan pemanfaatan quorum sensing untuk pengendalian penyakit.
Quorum Sensing Cumi-cumi Euprymna scolopes mempunyai light organ yang mampu menghasilkan cahaya untuk menghindari predator. Cahaya ini ditimbulkan dari bahan luciferase yang dihasilkan oleh bakteri Vibrio fischeri yang berada dalam kondisi murni dan kepadatan tinggi yang dapat mencapai 1011 sel/ml dalam light organ. Tetapi ketika bakteri ini berada dalam konsentrasi yang rendah, bakteri ini tidak mampu menghasilkan luciferase dan tidak menghasilkan cahaya (Miller and Bassler, 2001; March and Bentley, 2004). Dengan demikian luciferase ini hanya diekspresikan ketika kepadatan tinggi, atau dengan kata lain ada sejumlah konsentrasi tertentu dari bakteri yang mulai dapat menyebabkan terekspresinya luciferase. Mekanisme ini dikenal dengan nama quorum sensing.
96
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Gen-gen yang bertanggung jawab terhadap ekspresi luciferase berada dalam operon lux. Mekanisme ekspresi operon dan quorum sensing dijelaskan dalam gambar 1. LuxI mengkode sebuah auto inducer synthase yang akan mensintesis auto inducer N-(3oxohexanoyl)-homoserine lactone (HSL). Gen LuxR menyandi sebuah faktor transkripsi luxR yang selalu diekspresikan dalam jumlah yang rendah. LuxR ini mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan autoinducer HSL dan mengubah kemampuan transkripsinya (Miller and Bassler, 2001; March and Bentley, 2004).
Gambar 1. Mekanisme Quorum Sensing pada Vibrio fischeri (March and Bentley,2004) Pada keadaan konsentrasi bakteri rendah maka konsentrasi HSL juga rendah. Dalam kondisi semacam ini LuxR tidak berikatan dengan HSL dan LuxR tidak dapat berikatan dengan operator operon LuxI CDABE, sehingga tidak terjadi peningkatan ekspresi luciferase. Pada waktu konsentrasi bakteri tinggi akan menyebabkan konsentrasi HSL juga tinggi. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya ikatan antara LuxR dan HSL. Kompleks LuxR-HSL ini akan berikatan dengan bagian upstream operon LuxI CDABE. Penempelan pada bagian operator operon ini akan mengaktifkan transkripsi semua komponen yang diperlukan untuk menghasilkan luciferase. Kompleks LuxR-HSL juga mampu berikatan dengan promoter luxR dan berperan dalam mekanisme feed back inhibition (Miller and Bassler, 2001; March and Bentley, 2004). Quorum sensing tidak hanya terjadi pada V. fischeri, tetapi juga banyak pada bakteri yang lain, termasuk juga pada bakteri Gram positif, seperti pada Streptococcus. Quorum sensing telah diyakini berperan dalam berbagai mekanisme kehidupan bakteri seperti perkembangan, sporulasi, produksi antibiotik, induksi faktor virulensi, diferensiasi, 97
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
infeksi bakteri (Marc and Bentley, 2004). Faktor virulensi elastase dan exotoxin A dari bakteri patogen pada manusia Pseudomonas aerugenosa (Pearson, 1994), carbopenem dan aktivitas pectinolytic bakteri patogen pada tumbuhan Erwivina carotovora hanya diproduksi ketika kepadatan bakteri tinggi dan diatur dengan mekanisme quorum sensing (Jones et al., 1993).
Quorum Sensing pada Vibrio Patogen pada Ikan Vibrio
harveyi
menjalankan
beberapa
proses
metabolisme
menggunakan
mekanisme quorum sensing, antara lain bioluminescence, sekresi tipe III (type III secretion/TTS), siderophore, polisakarida dan metalloprotease (Henke and Bassler, 2004). Paling tidak diketahui ada 3 sistem quorum sensing pada V. harveyi (Gambar 2).
Gambar 2. Mekanisme Quorum Sensing pada Vibrio harveyi (Henke and Bassler, 2004). Autoinducer pada sistem1 berupa N-(3-hydroxybutanoyl)-homoserine lactone (HSL) disingkat HAI-1 (harveyi autoinducer 1) diproduksi oleh LuxM dan dideteksi oleh LuxN. Autoinducer pada sistem 2 disebut AI-2 berupa 3A-methyl-5,6-dihydro-furo(2,3D)(1,3,2) dixaborole-2,2,6,6A-tetraol dan precursornya diproduksi oleh LuxS. Dua protein LuxP dan LuxQ berfungsi bersama-sama sebagai sensor AI-2. LuxP mempunyai kemiripan dengan periplasmic ribose binding protein. Sistem ketiga ditemukan setelah penelitian quorum sensing pada Vibrio cholerae. Auto inducer pada sistem Cqs berupa CAI-1 (dari cholerae autoinducer 1) diproduksi oleh CqsA (dari cholerae quorum sensing autoinducer)
98
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
dan dideteksi oleh sensor yang dinamakan CqsS (dari cholerae quorum sensing sensor) (Henke and Bassler, 2004). LuxN, LuxQ dan CsqS merupakan protein hibrid dari dua komponen yang mengandung domain sensor kinase dan respon regulator. Pada konsentrasi V. harveyi yang rendah (tidak ada autoinducer), LuxN, LuxQ dan CsqS mengalami autofosforilasi dan mentransfer fosfat pada protein fosfotranferase LuxU, yang selanjutnya akan sampai pada respon regulator LuxO. LuxO yang terfosforilasi menjadi aktif dan bersama-sama dengan σ54 mengaktifkan ekspresi gen yang menyandi small regulatory RNAs (sRNAs). sRNAs bersama-sama dengan chaperone RNA yang disebut Hfq merusak mRNA yang menyandi protein aktivator LuxR. Karena Lux R diperlukan dalam regulasi ekspresi gen-gen target pada quorum sensing, maka dengan rusaknya mRNA LuxR tersebut menyebabkan tidak terekspresi LuxCDABE (penyandi luciferase) dan cahaya maupun gen-gen lain di bawah quorum sensing tidak dihasilkan (Henke and Bassler, 2004). . Pada waktu konsentrasi bakteri tinggi, maka autoinducer-autoinducer juga banyak di sekitar sel. Dengan adanya autoinducer tersebut LuxN dan LuxQ berubah sifatnya dari kinase menjadi fosfatase. Aliran fosfat yang terjadi kebalikan dari arah pada waktu konsentrasi bakteri sedikit, dan akibatnya LuxO tidak terfosforilasi. LuxO yang demikian menjadi tidak aktif dan tidak dapat memacu ekspresi sRNAs dan mengaktifkan translasi mRNA LuxR. LuxR berikatan pada promoter operon LuxCDABE dan gen lain sehingga mengaktifkan ekspresi dan menghasilkan cahaya (Henke and Bassler, 2004). . Sistem dengan jalur LuxS-AI-2 merupakan jalur umum yang ditemukan pada rentang inang yang lebar dari golongan bakteri, dan AI-2 ini diperkirakan digunakan menjadi alat komunikasi antar spesies (Bassler et al., 1997), autoinducer yang diproduksi bakteri Bacteriode fragilis, B. vukgatus dan B. distasonis mampu dideteksi oleh quorum sensing pada V. harveyi (Antunes et al., 2005). Jalur LuxM dan HAI-1 lebih bersifat spesifik dan terbatas pada V. harveyi dan kerabat dekatnya V. parahaemolyticus, mengindikasikan bahwa HAI-1 digunakan sebagai molekul komunikasi yang spesifik pada spesies. Sistem CqsA-CAI masih terbatas ditemukan pada V. cholerae dan V. harveyi. Dari ketiga sistem quorum sensing pada V. harveyi tersebut, jalur CqsA-CAI mampu menginduksi quorum sensing dalam jumlah bakteri yang lebih rendah dari dua sistem lainnya (Henke and Bassler, 2004). . Milton et al. (1997) ketika melakukan skrining terhadap autoinducer pada Vibrio anguillarum mendapatkan autoinducer berupa N-(3-oxodecanoyl)-L-homeserine lactone 99
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
(ODHL) yang disintesis oleh gen VanI. Sementara Buch et al. (2003) melakukan skreening terhadap 150 isolat V. anguillarum dan mendapatkan 148 isolat menghasilkan homoserine lactone untuk komunikasi antar sel. Paling tidak ditemukan 4 macam homoserine lactone, dan ODHL ditemukan pada semua isolat. Selama infeksi rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) dengan V. anguillarum, homoserine lactone berhasil diekstraksi dari ginjal, hati dan otot. Homoserine lactone bisa dideteksi baik in vitro dan in vivo ketika jumlah bakteri mencapai 107 sel/ml atau sel/gram.
Aplikasi Quorum Sensing Quroum sensing berhubungan secara langsung ataupun tidak langsung dengan terjadinya penyakit. Oleh karena itu perlu dikaji unuk aplikasi dalam manajemen kesehatan. March and Bentley (2004) membuat daftar pemanfaatan signaling qourum sensing untuk pengendalian penyakit pada berbagai spesies bakteri, inang dan pendekatannya baik yang sudah diaplikasikan maupun yang diusulkan. Penghambatan signaling pada quorum sensing merupakan hal yang paling banyak dilakukan. Sintesis dan pengujian bahan-bahan sintetik terhadap sifat agonis ataupun antagonis terhadap quorum sensing pada Vibrio fischeri telah banyak dikaji. Reverchon et al. (2002) menemukan modifikasi N-acyl-homoserine lactone dengan substitusi pada posisi C-4 dengan alkyl menunjukkan kemampuan induksi. Sedangkan substitusi dengan phenyl menunjukkan aktivitas antagonis yang nyata. Castang et al. (2004) mensintesis AHL analog dengan mengganti ikatan carboxamide dengan sulfonamide dan menguji kemampuan inbitornya dengan 2-oxohexanoyl-L-homoserine-lactone. Beberapa senyawa yang disintesis menunjukkan aktivitas antagonis. Frezza et al. (2006) juga mendapatkan beberapa modifikasi substitusi urea pada homoserine lactone menunjukan kemampuan antagonis yang nyata. Hasil analisis memperkirakan aktivitas antagonis ini disebabkan AHL analog tersebut mencegah dimerisasi reseptor LuxR (Reverchon et.al., 2002; Castang et.al., 2004, Frezza et.al., 2006). Sintesis dan pengujian bahan bahan antagonis terhadap quorum sensing pada Vibrio harveyi juga dilakukan. Beberapa bahan sintesis dari kelompok asam-asam boronic (boronic acids) dan pyrogallol berhasil ditemukan dalam konsentrasi beberapa mikromolar mampu bersifat inhibitor pada quorum sensing V. harveyi (Ni et.al., 2008a,b). Pencarian bahan inhibitor juga dilakukan dari bahan alami.
Vattem et al. (2007)
menskrining bahan kimia tumbuhan dengan menguji penghambatan ekstrak buah, tanaman 100
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
dan rempah-rempah pada mekanisme quorum sensing. Beberapa jenis ekstrak dapat menghambat quorum sensing dan menghambat penyebaran bakteri patogen Escherichia coli O157 dan Pseudomonas aeruginosa. Tanaman teratai juga mempunyai kemampuan untuk menginaktifkan N-hexanoyl-L-homoserine lactone, bahkan mampu mendegradasi AHL golongan N-acyl-homoserine lactone (Delalande et al., 2005). Delisea pulchra merupakan makroalga berwarna merah di dasar perairan laut yang banyak ditemukan di Australia Tenggara diketahui menghasilkan halogenated enone dan furanone yang mempunyai kemampuan menghambat penempelan hewan dan tumbuhan. Metabolit dari alga ini secara aktif dapat menghambat mekanisme luminescence pada V. fischeri. Halogenated furanone diperkirakan berfungsi memindahkan AHL dari receptor LuxR
sehingga menghambat aktivasi transkripsi gen-gen yang disandi di bawah
mekanisme quorum sensing (Manefield et.al, 1999). Manifield et.al. (2004) mengkaji penggunaan halogenated furanone (Gambar 3) untuk pengendalian penyakit oleh Vibrio harveyi pada udang windu. Halogenated furanon dari D. pulchra ini mampu menghambat produksi bioluminescence dan tidak berpengaruh pada pertumbuhan V. harveyi. Faktor virulensi toxin T1 yang diproduksi oleh V. harveyi juga dihambat dengan halogenated furanon. Uji invivo toksisitas ekstrak supernatan yang diperlakukan furnanon terhadap udang windu juga menunjukkan mortalitas yang lebih rendah dibandingkan ekstrak supernatan tanpa furnanon. Penggunaan furanone sintetik, furanone C-30 (Gambar 3) dalam pengendalian penyakit dilakukan terhadap infeksi V. anguillarum pada ikan rainbow trout. Pada penelitan kohabitasi, ikan rainbow trout diinfeksi dengan V. anguillarum serotie O-1, kemudian dipelihara dengan ikan sehat di dalam medium yang diberi furanone C-30 pada konsentrasi
0,01 dan 0,1 μM. Pengamatan terhadap mortalitas ikan mendapatkan
mortalitas 96% pada perlakuan kontrol, sedangkan pada perlakuan furanone 0,01 μM menghasilkan mortalitas 46%, dan pada konsentrasi 0,1 μM mortalitasnya hanya 14%. (Rasch et.al, 2004). Dengan demikian penggunaan quorum sensing inhibitor dapat digunakan untuk pengendalian penyakit pada ikan.
101
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
C
D
Gambar 3. Struktur AHL yang diproduksi oleh V. harveyi (A), V. anguillarum (C), halogenated furnaone dari D. pulchra (B) dan sintetik furanone C-30. (Manifield et. Al. 2004; Rasch et.al., 2004) Beberapa spesies Bacillus mampu menghasilkan enzim AiiA lactonase yang mampu menghidrolisis ikatan cincin lactone pada AHL, sehingga mengubah konformasi dari AHL. Perubahan struktur ini mencegah AHL untuk berikatan dengan regulator transkripsi LuxR. Bai et.al. (2008) mengklon gen aiiA dari Bacillus thuringiensis BF1 pada vektor pET-24d(+) dan memproduksi protein rekombinannya pada Escherichia coli BL21 (DE3). V. harveyi dikultur tanpa penambahan lysat bakteri, dengan penambahan lysat bakteri dengan vektor kosong atau dengan penambahan lysat bakteri yang mengandung protein rekombinan aiiA, kemudian diukur luminescencenya. Tanpa pemberian lysat atau dengan pemberian lysat kosong tetap menghasilkan lumiescence yang tinggi. Pemberian lysat yang mengandung protein rekombinan bisa menurunkan luminescence 85%. Strategi menghidrolisis homoserin lactone juga dilakukan dengan pendekatan lain. Marin et.al. (2007) memproduksi antibodi yang mampu menghidrolisis N-(3-oxo-acyl) homoserine lactone (AHL) dengan pendekatan strategi imunisasi reaktif mengunakan hapten squeric monoester monoamide. Hasil penelitian bisa mendapatkan antibodi yang mampu menghidrolisis AHL. Dengan demikian antibodi katalis ini dapat digunakan sebagai cara bau dalam menghambat mekanisme qourum sensing.
Penutup Mekanisme quorum sensing yang telah banyak dikaji ternyata juga ditemukan pada bakteri Vibrio patogen pada ikan. Pengunaan inhibitor quorum sensing dalam mengendalikan penyakit ikan sudah dilakukan dan terbukti bahwa pada perlakuan pemberian inhibitor mendapatkan sintasan yang lebih baik dari kontrol. Sintesis dan 102
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
skrining inhibitor quorum sensing telah banyak dilakukan terhadap Vibrio fischeri. Meskipun demikian, mengingat autoinducer yang dihambat adalah AI-2 yang merupakan bahan komunikasi umum, maka kemungkinan besar inhibitor-inhibitor yang sudah dihasilkan pada system V. fischeri dapat diaplikasikan pada Vibrio pathogen pada ikan. Protein enzim seperti AiiA yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis maupun antibodi katalisis telah terbukti mampu menghidrolisis autoinducer dengan baik secara in vitro. Untuk itu perlu dikaji lebih banyak terhadap sumber-sumber bahan yang dapat menghidrolisis autoinducer. Kajian lain yang perlu dilakukan adalah bagaimana aplikasi bahan-bahan tersebut secara in vivo. Dari hasil-hasil di atas pedekatan quorum sensing untuk pengendalian penyakit bakterial pada ikan terutama dari golongan Vibrio dapat dijadikan alternatif yang baik untuk dikembangkan di masa mendatang. Meskipun demikian perlu kajian yang lebih banyak baik dalam konteks ilmu murni maupun aplikasinya dalam pemanfaatan langsung dalam sistem akuakultur.
Daftar Pustaka Antunes, L.C.M., L. Q. Ferreira, E. O. Ferreira, K. R. Miranda, K. E. S. Avelar, R. M. C. P. Domingues, M. C. S. Ferreira. 2005. Bacteroides species produce Vibrio harveyi autoinducer 2-related molecules, Anaerobe 11 : 295-301. Austin, B. and D. A. Austin. 1987. Bacterial Fish Pathogens: Disease in Farmed and Wild Fish. Ellis Horwood Limited, West Sussex, England. Bai,F., Y. Han, J. Chen and X. Zhang.2008. Disruption of quorum sensing in Vibrio harveyi by the AiiA protein of Bacillus thuringiensis, Aquaculture 274 : 36-40 Bassler, B. L., E. P. Greenberg, and A. M. Stevens. 1997. Cross-species induction of luminescence in the quorum-sensing bacterium Vibrio harveyi. J. Bacteriol. 179:4043–4045. Buch,C., J. Sigh, J. Nielsen, J.L. Larsen and L. Gram. 2003. Production of Acylated Homoserine Lactones by Different Serotypes of Vibrio anguillarum Both in Culture and During Infection of Rainbow Trout, Systematic and Applied Microbiology 26 : 338-349. Castang, S., B. Chantegrel, C. Deshayes, R. Dolmazon, P. Gouet, R. Haser, S. Reverchon, W. Nasser, N. Hugouvieux-Cotte-Pattat and Doutheau. 2004 . N-Sulfonyl homoserine lactones as antagonists of bacterial quorum sensing, Bioorganic & Medicinal Chemistry Letters 14 : 5145-5149. 103
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Delalande,L., D. Faure, A. Raffoux, S. Uroz, C. D'Angelo-Picard, M. Elasri, A. Carlier, R. Berruyer, A. Petit, P. Williams, Y. Dessaux. 2005. N-hexanoyl-l-homoserine lactone, a mediator of bacterial quorum-sensing regulation, exhibits plant-dependent stability and may be inactivated by germinating Lotus corniculatus seedlings, FEMS Microbiology Ecology 52: 13-20. Frezza, M., S.Castang, J. Estephane, L. Soulere, C. Deshayes, B. Chantegrel, W. Nasser, Y. Queneau, S. Reverchon and A. Doutheau. 2006. Synthesis and biological evaluation of homoserine lactone derived ureas as antagonists of bacterial quorum sensing, Bioorganic & Medicinal Chemistry 14 : 4781-4791 Frezza, M., L.Soulere, S. Reverchon, N. Guiliani, C. Jerez, Y. Queneau and A. Doutheau. 2008. Synthetic homoserine lactone-derived sulfonylureas as inhibitors of Vibrio fischeri quorum sensing regulator, Bioorganic & Medicinal Chemistry 16 :35503556. Gauger, E., R. Smolowitz, K. Uhlinger, J. Casey and M. Gomez-Chiarri. 2006. Vibrio harveyi and other bacterial pathogens in cultured summer flounder, Paralichthys dentatus. Aquaculture 260:10-20. Henke, J.M. and B.L. Bassler. 2004. Three parallel quorum sensing system regulate gne expression in Vibrio harveyi. J. Bacteriol. 186:6902-6914. Jones, S., YU, B., Bainton, N. J., Birdsall, M., Bycroft, B.W., Chhabra, S. R., Cox, A. J. R., Golby, P., Reeves, P. J., Stephens, S., Winson, M. K., Salmond, G. P. C., Stewart, G. S. A. B., Williams, P. 1993. The lux autoinducer regulates the production of exoenzyme virulence determinants in Erwinia carotovora and Pseudomonas aeruginosa. EMBO J. 12:2477–2482 Manefield, M., L. Harris, S.A. Rice, R. de Nys and S. Kjelleberg. 2000. Inhibition of luminescence an dvirulence in black tiger prawn (Penaeus monodon) pathogen Vibrio harveyi by intercellular signal antagonist. Appl. Environ. Microbiol. 66:20792084 March, J.C. and W.E. Bentley. 2004. Quorum sensing and bacterial cross-talk in biotechnology. Currnt Opinion in Biotechnology 15:495-502 Marin, S.L., Y. Xu, M. M. Meijler, K. D. Janda. 2007. Antibody catalyzed hydrolysis of a quorum sensing signal found in Gram-negative bacteria, Bioorganic & Medicinal Chemistry Letters.17: 1549-1552. Miller, M.B. and B.L. Bassler. 2001. Quorum sensing in bacteria. Annu. Rev. Microbiol. 55:165-199 Milton, D.L., A. Hardman, M. Camara, S.R. Chhabra, B.W. Bycroft, G.S.A.B. Stewart and P. Williams. 1997. Quorum sensing in Vibrio anguillarum: Characterization of the vanI/vanR locus and identification of the autoinducer N-(3-oxodecanoyl)-Lhomoserine lactone. J. Bateriol. 179:3004-3012. 104
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Ni,N., H. Chou, J. Wang, M.Li, C. Lu, P C. Tai and B. Wang. 2008a. Identification of boronic acids as antagonists of bacterial quorum sensing in Vibrio harveyi. Biochemical and Biophysical Research Communications 369:590-594 Ni, N., G. Choudhary, M. Li and B. Wang. 2008b. Pyrogallol and its analogs can antagonize bacterial quorum sensing in Vibrio harveyi, Bioorganic & Medicinal Chemistry Letters 18:1567-1572. Pearson, J. P., Gray, K. M., Passador, L., Tucker, K. D., Eberhard, A., Iglewski, B. H., Greenberg, E. P.1994. Structure of the autoinducer required for expression of Pseudomonas aeruginosa virulence genes. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 91: 197–201. Rasch, M., C. Buch, B. Austin, W.J. Slierendrecht, K.S. Ekmann, J.L. Larsen, C. Johansen, K. Riedel, L. Eberl, M. Givskov and L. Gram. 2004. An Inhibitor of Bacterial Quorum Sensing Reduces Mortalities Caused by Vibriosis in Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss, Walbaum), Systematic and Applied Microbiology 27 : 350359. Reverchon, S., B. Chantegrel, C. Deshayes, A. Doutheau and N. Cotte-Pattat. 2002. New synthetic analogues of N-acyl homoserine lactones as agonists or antagonists of transcriptional regulators involved in bacterial quorum sensing, Bioorganic & Medicinal Chemistry Letters 12 :1153-1157. Vattem,D.A., K. Mihalik, S.H. Crixell, R.J.C. McLean, 2007. Dietary phytochemicals as quorum sensing inhibitors, Fitoterapia 78:302-310.
105
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
PENGARUH RETARDAN DAN ASPIRIN DALAM MENGINDUKSI PEMBENTUKAN UMBI MIKRO KENTANG (Solanum tuberosum) SECARA IN VITRO Endah Wahyurini Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta Abstrak Krisis ketahanan pangan yang melanda di Indonesia saat ini memperlihatkan wajah yang sesungguhnya dari ketergantungan yang besar pada padi untuk memenuhi kebutuhan pangan, sebagai sumber karbohidrat. Selain itu mulai terjadi pergeseran tanaman pangan sebagai bahan bakar /biofuel. Sumber karbohidrat lain, seperti umbi umbian kentang merupakan alternatif sumber bahan pangan selain sebagai tanaman sayuran. Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan tanaman kentang dalam jumlah yang besar, waktu yang singkat dan memiliki genotip yang sama dengan induknya adalah perbanyakan tanaman secara in vitro. Keberhasilan menumbuhkan umbi mikro kentang dengan penambahan zat pengatur tumbuh dan vitamin secara in vitro mempunyai nilai yang berarti dalam mendukung perkembangan pertanian melalui perbaikan tanaman untuk menghasilkan varietas unggul baru. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh penggunaan retardan (CCC) dan aspirin dalam menginduksi umbi mikro kentang. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Sel dan Molekuler Tumbuhan, PAU Bioteknologi, IPB Bogor pada bulan Maret sampai Juni 2000. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial, terdiri dari l2 perlakuan dan l0 ulangan, dilanjutkan analisis regresinya. Bahan untuk pengumbian mikro berasal dari tunas satu buku, ditanam pada media MS cair, 30 g/l sukrosa dan air kelapa l5%. Media untuk induksi umbi mikro berupa media MS cair yang mengandung : air kelapa l5%, gula 90 g/l, CCC 2 aras yaitu 0 dan 600 mg/l, dan ditambahkan aspirin terdiri 6 aras yaitu 0, 5, l0, l5, 20 dan 25 mg/l. Peubah yang diamati adalah waktu pembentukan umbi, keserempakan pembentukan umbi, jumlah umbi, bobot segar umbi dan persentase bobot kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (l) penggunaan retardan (CCC) dan Aspirin dapat mempengaruhi pembentukan umbi mikro kentang secara in vitro, (2) kombinasi antara CCC 600 mg/l dan Aspirin 5 mg/l memberi hasil terbaik dalam menginduksi pembentukan umbi mikro kentang secara in vitro, (3) kombinasi antara perlakuan CCC 600 mg/l dan Aspirin 5, 20 dan 25 mg/l dapat meningkatkan hasil bobot segar umbi yang terbentuk Kata kunci : retardan, aspirin, kentang, in vitro.
106
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Pendahuluan Di Indonesia kentang (Solanum tuberosum L) merupakan salah satu kelompok sepuluh komoditas bahan pangan unggulan di Indonesia yang
penuh kalori, protein,
vitamin dan mineral. Berbagai komoditas pangan seperti jagung, ubi kayu telah dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif (biofuel). Di berbagai negara dunia telah terjadi krisis ketahanan pangan, dengan harga yang melonjak di pasaran, sementara di daerah terjadi kekurangan gizi pada balita di masyarakat. Di Indonesia kebutuhan komoditas ini cenderung terus meningkat, sejalan dengan pertambahan penduduk, ketersediaan lahan yang terbatas, dan tuntutan perbaikan gizi. Kebutuhan kentang yang semakin meningkat tersebut sampai saat ini belum dapat diimbangi dengan peningkatan produksi karena masih terbatasnya penyediaan bibit berkualitas tinggi, sebagian besar masih didatangkan dari luar negri. Salah satu upaya untuk mengatasi kekurangan bibit kentang yang berkualitas yaitu dengan sistem kultur jaringan (in vitro) . Kemajuan yang dicapai dalam meregenerasikan tanaman secara in vitro dari sel atau bagian tanaman berdampak luas bagi bidang pertanian. Teknologi in vitro pada umbi mikro kentang merupakan perbanyakan tanaman yang mampu menyediakan bibit yang seragam, bebas patogen, true to type dalam jumlah banyak (Yusnita, 2003). Masalah yang dihadapi dalam perbanyakan tanaman umbi mikro kentang secara in vitro adalah lamanya membentuk akar dan terbentuknya planlet yang kuat dan sehat. Gejala yang sering dijumpai jika tidak terbentuk planlet adalah kontaminasi atau browning akibat tidak sterilnya eksplan maupun komposisi media tanam yang tidak sesuai. Media tanam yang umum digunakan untuk perbanyakan umbi mikro kentang adalah media MS. Salah satu komponen media yang menentukan keberhasilan in vitro adalah jenis dan konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) yang digunakan (Yusnita, 2003). Jenis dan konsentrasi ZPT yang digunakan tergantung pada tujuan dan tahap pengulturan. Untuk menumbuhkan dan mempertinggi perakaran stek umbi mikro, membantu terbentuknya tunas, ZPT yang digunakan adalah kelompok Retardan, dalam penelitian ini jenis retardan yang digunakan adalah CCC (Chlormequat cycocel). Selain itu penggunaan air kelapa yang mengandung ZPT sitokinin mampu menumbuhkan dan menggandakan tunas aksilar atau merangsang tumbuhnya tunas adventif. Penggunaan Aspirin yang mengandung asam amino sebagai kofaktor dalam pembentukan protein.
107
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (l) melihat pengaruh penggunaan retardan (CCC) dan aspirin dalam menginduksi umbi mikro kentang, (2) Mengetahui perbandingan CCC dan Aspirin yang baik dalam mempengaruhi pembentukan umbi mikro kentang. Bahan dan Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Sel dan Molekuler Tumbuhan, PAU Bioteknologi, IPB Bogor pada bulan Maret sampai Juni 2000. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial, terdiri dari l2 perlakuan dan l0 ulangan, dilanjutkan analisis regresinya. Data kuantitatif dianalisis keragaman 5%, bila ada pengaruh diuji lanjut dengan Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Bahan untuk pengumbian mikro berasal dari tunas satu buku kentang varietas Granola, ditanam pada media MS cair, 30 g/l sukrosa dan air kelapa l5%. Media untuk induksi umbi mikro berupa media MS cair yang mengandung : air kelapa l5%, gula 90 g/l, CCC 2 aras yaitu 0 dan 600 mg/l, dan ditambahkan aspirin terdiri 6 aras yaitu 0, 5, l0, l5, 20 dan 25 mg/l. Adapun kombinasi perlakuan zat pengatur tumbuh seperti dicantumkan pada Tabel l. Peralatan yang digunakan adalah Laminair Air Flow (LAF), autoklaf, botol kultur, disecting set, timbangan analitik, lampu bunsen, dan oven. Tabel l. Komposisi media perlakuan dengan Retardan (CCC) dan Aspirin untuk induksi umbi mikro kentang. ZPT Perlakuan Mg/l l 2 3 4 5 6 7 8 9 l0 ll l2 CCC 0 √ √ √ √ √ √ CCC 600 √ √ √ √ √ √ Aspirin 0 √ √ Aspirin 5 √ √ Aspirin l0 √ √ Aspirin l5 √ √ Aspirin 20 √ √ Aspirin 25 √ √ Pelaksanaan penelitian sebagai berikut : Mensterilisasi botol kultur dalam autoklaf, dan membuat media untuk pertumbuhan tunas berupa media MS dan sukrosa 30 g/l, sedangkan media pengumbian terdiri dari media MS ditambahkan sukrosa 90 g/l dan kombinasi zat pengatur tumbuh sesuai perlakuan. Eksplan 1 buku dikulturkan pada media dasar MS dan sesudah berumur 4 mst disubkultur pada media pengumbian. Botol kultur 108
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
untuk pengumbian diinkubasikan pada lingkungan tanpa cahaya, pada suhu l5-20 ºC. Setiap perlakuan diulang l0 kali (l0 botol), tiap botol berisi 7 eksplan. Peubah
yang
diamati
adalah
waktu
pembentukan
umbi,
keserempakan
pembentukan umbi pada 2, 4, 6 dan 8 mst, jumlah umbi pada 2, 4, 6 dan 8 mst, bobot segar umbi dan persentase bobot kering pada 8 mst.
Hasil dan Pembahasan Persentase keserempakan terbentuknya umbi diamati dengan menghitung jumlah umbi yang tumbuh pada 2,4,6 dan 8 mst Berdasarkan data persentase terbentuknya umbi (Tabel 2). maka diperoleh bahwa l mst umbi sudah mulai terbentuk, pada 2 mst perlakuan CCC 600 + Asp 5, dan CCC 600 + Asp 25 menunjukkan kecepatan dan keserempakan umbi yang terbentuk dibandingkan perlakuan lain. Perlakuan CCC 600 + Asp l5 pada 4, 6 dan 8 mst menunjukkan keserempakan umbi l00%. Pada akhir pengamatan yaitu 8 mst semua perlakuan menunjukkan keserempakan terbentuknya umbi l00%. Penggunaan CCC bersama Aspirin memberikan pengaruh interaksi terhadap diferensiasi jaringan membentuk umbi mikro kentang. Selain itu penggunaan air kelapa yang mengandung sitokinin berperan dalam pengaturan pembelahan sel, poliferasi tunas ketiak, penghambatan pertumbuhan akar dan induksi umbi mikro pada kentang. (Wattimena, l986). Hal ini juga didukung pendapat Sumiati (l989) menyatakan bahwa dalam air kelapa terkandung auksin dan sitokinin, bila dalam jumlah yang cukup akan merespon pertumbuhan dan perkembangan sel membentuk tunas dan mempercepat pembentukan umbi mikro kentang. Pada Tabel 2 menunjukkan ada beberapa perlakuan yang justru mengalami sedikit penurunan persentase terbentuknyya umbi. Hal ini merupakan fenomena alami yang sering juga terjadi di alam, yaitu persaingan atau perebutan hasil asimilat diantara umbi, sehingga umbi yang baru terinisiasi dapat kembali menjadi tunas, karena asimilat terserap umbi lain.
109
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Tabel 2. Persentase keserempakan terbentuknya umbi pada 2, 4, 6 dan 8 mst. Perlakuan (mg/l)
2 mst
Persentase terbentuknya umbi 4 mst 6 mst
8 mst
CCC 0 + Asp 0 CCC 0 + Asp 5 CCC 0 + Asp l0 CCC 0 + Asp l5 CCC 0 + Asp 20 CCC 0 + Asp 25
52,87 25,00 29,26 36,21 44,00 8,09
75,93 80,77 70,18 55,87 77,80 37,13
74,07 73,08 76,97 74,50 82,20 59,43
100 100 100 100 100 100
CCC 600 + Asp 0 CCC 600 + Asp 5 CCC 600 + Asp l0 CCC 600 + Asp l5 CCC 600 + Asp 20 CCC 600 + Asp 25
51,43 79,44 54,70 60,00 51,85 79.07
57, 14 85,35 78,80 100 61,11 95,35
57, 14 70, 16 89,00 100 85,19 95,35
100 100 100 100 100 100
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan retardan dan CCC berbeda nyata terhadap jumlah umbi pada 2, 4, 6 dan 8 mst. Perlakuan tanpa CCC dan Aspirin dengan konsentrasi 5, l0, l5, 20 dan 25 mg/l pada 8 mst berbeda nyata dengan kontrol. Sedangkan perlakuan CCC 600 mg/l dengan Aspirin 0, 5, 20 dan 25 mg/l nyata lebih banyak jumlah umbinya dibandingkan perlakuan lain. Hal ini karena CCC mengandung asam amino yang dapat merombak Acetyl Co A yang berperan dalam proses respirasi sel menghasilkan energi (ATP), mengalami metabolisme sel untuk membentuk protein (Schneider, l996). Protein ini diperlukan dalam pertumbuhan dan perkembangan umbi kentang. Penambahan asam amino dapat memperbaiki pertumbuhan dan morfogenesis (Gunawan, l988). Tabel 3. Rerata jumlah umbi pada 2, 4, 6 dan 8 mst. Perlakuan (mg/l) CCC 0 + Asp 0 CCC 0 + Asp 5 CCC 0 + Asp l0 CCC 0 + Asp l5 CCC 0 + Asp 20 CCC 0 + Asp 25
2 5,71 3,25 5,17 7,00 6,60 l,27
4 ab ab ab a a b
8,20 10,50 12,40 10,80 11,67 5,83
Minggu ke (mst) 6 ab ab a ab a a
8,00 9,50 13,60 14,40 12,33 9,33
8 b ab ab a ab ab
10,80 13,00 17,67 19,33 15,00 l5,70
b ab ab a ab ab
CCC 600 + Asp 0 7,20 ab 8,00 a 8,00 a l4,00 a CCC 600 + Asp 5 9,00 a 9,67 a 8,00 a 11,33 ab CCC 600 + Asp l0 3,00 b 5,00 a 3,00 b 3,00 c CCC 600 + Asp l5 3,00 b 5,20 a 5,67 ab 5,00 bc CCC 600 + Asp 20 7,00 ab 8,25 a 11,5 a 13,50 ab CCC 600 + Asp 25 8,50 a 10,25 a 10,25 a 10,75 ab Keterangan : Rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%.
110
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Gambar l. Umbi mikro kentang dengan perlakuan CCC 0 + Asp l5, CCC 0 + Asp 20, CCC 0 + Asp 25 mg/l (4, 5, 6)
Gambar 2. perlakuan CCC 600 + Asp l5, CCC 600 + Asp 20 dan CCC 600 + Asp 25 mg/l (l0, 11dan l2) pada umur 8 mst.
Ditinjau dari grafik regresi pada gambar 3-6 maka dapat diketahui adanya interaksi antara perlakuan CCC dan aspirin. Pada perlakuan tanpa CCC menunjukkan jumlah umbi maksimum terletak pada taraf aspirin antara 10,28 dan 12,73 mg/l. Pada perlakuan CCC 600 mg/l diperoleh jumlah umbi minimum terletak pada taraf aspirin antara 10,76 mg/l dan 16,63 mg/l
Grafik regresi jumlah umbi 4 MST
Grafik regresi jumlah umbi 2 MST
14
10 9
12 CCC 0 mg/l
8
Ju m lah u m b i
J u m la h u m b i
8 10
CCC 600 mg/l
6 4
7
CCC 0 mg/l
6
CCC 600 mg/l
5 4 3 2
2
1
0
0 0
5
10
15
20
25
0
5
10
Taraf aspirin (mg/l)
15
20
25
Taraf aspirin (mg/l)
Gambar 3. Grafik regresi jumlah umbi dengan perlakuan CCC + Asp pada 2 MST
Gambar 4. Grafik regresi jumlah umbi dengan perlakuan CCC + Aspirin pada 4 MST Grafik regresi jumlah umbi 8 MST
Grafik regresi jumlah umbi 6 MST 25
16 14
20
CCC 0 mg/l
10
CCC 600 mg/l 8 6 4
Jum lah um bi
Ju m lah u m b i
12 CCC 0 mg/l
15
CCC 600 mg/l
10 5
2 0
0 0
5
10
15
Taraf aspirin (mg/l)
20
25
0
5
10
15
20
25
Taraf aspirin (mg/l)
Gambar 5. Grafik regresi jumlah umbi dengan Gambar 6. Grafik regresi jumlah umbi dengan 111 Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi bagi Kesejahteraan perlakuan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. perlakuan CCC ”Peran + Aspirin pada 6 MST CCC + Aspirin pada Diselenggarakan 8 MST oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat beda nyata perlakuan CCC dan Aspirin terhadap parameter bobot segar. tetapi tidak berbeda nyata terhadap bobot kering. Pada parameter bobot segar tanaman perlakuan CCC 600 mg/l dan Aspirin 5, l5, 20 dan 25 mg/l dapat meningkatkan hasil bobot segar umbi yang terbentuk. Hal ini karena retardan (CCC) sebagai senyawa organik sintetik yang bila diberikan ke tanaman yang responsif menghambat perpanjangan sel pada meristem sub apical, mengurangi laju perpanjangan batang tanpa mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan daun, memperbesar umbi dan meningkatkan pembuahan (Dicks, l979). Jika CCC dikombinasikan dengan Aspirin pada konsentrasi yang seimbang, akan merespon pembesaran umbi. Aspirin mengandung asam amino merupakan sumber N organik yang menurut Thom et al (1981 dalam George dan Sherington, 1984) lebih cepat diambil daripada N anorganik dalam media yang sama. Beberapa asam amino memang dibuktikan mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan in vitro tanaman (Gunawan, l988). Penambahan Asparagin dan Alanin, Aspirin merangsang pembentukan pucuk dalam kultur kentang (Wattimena, l99l). Pada parameter bobot kering tanaman menunjukkan bahwa tidak beda nyata, artinya kandungan asimilat pada umbi antar perlakuan hampir sama sehingga respon dalam pertumbuhan umbi sama. Pemberian CCC maupun Aspirin dalam media MS belum merespon kandungan asimilat dalam umbi, diduga konsentrasi CCC dan Aspirin belum seimbang. Menurut Santosa dan Fatimah (2004) menyatakan bahwa terdapat 3 syarat dalam sistem respon tanaman terhadap pemberian ZPT yaitu : (1) ZPT harus ada dalam jumlah yang cukup dalam sel yang tepat, (2) ZPT harus dikenali dan diikat erat oleh setiap kelompok sel yang tanggap terhadap ZPT, (3) Protein penerima tersebut harus menyebabkan perubahan metabolik lain yang mengarah pada penguatan isyarat.
112
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Tabel 4. Rerata bobot segar dan bobot kering umbi mikro kentang pada 8 mst. Perlakuan (mg/l) CCC 0 + Asp 0 CCC 0 + Asp 5 CCC 0 + Asp l0 CCC 0 + Asp l5 CCC 0 + Asp 20 CCC 0 + Asp 25 CCC 600 + Asp 0 CCC 600 + Asp 5 CCC 600 + Asp l0 CCC 600 + Asp l5 CCC 600 + Asp 20 CCC 600 + Asp 25
Bobot segar (g) Umbi Brangkas
Bobot kering (g) Umbi Brangkas
0,83 a 0,91 a 0,80 a 0,56 b 0,89 a 0,55 b
0,13 0,28 0,25 0,10 0, 18 0,21
a a a a a a
0, 15 0, 11 0, 12 0,23 0,09 0, 17
a a a a a a
0,24 0,24 0,03 0,18 0,33 0,22
a a a a a a
0,14 0,15 0,07 0,13 0,14 0,15
a a a a a a
0,73 1,15 0,26 0,67 1,32 1,08
bc ab d cd a abc
2,57 a 1,49 b 2,45 a 1,89 a 1,30 b 2,32 a 1,77 2,40 1,06 1,58 2,60 2,77
bc ab c c a a
Keterangan : Rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%. Kesimpulan (l) penggunaan retardan (CCC) dan Aspirin dapat mempengaruhi pembentukan umbi mikro kentang secara in vitro, (2) kombinasi antara CCC 600 mg/l dan Aspirin 5 mg/l memberi hasil terbaik dalam menginduksi pembentukan umbi mikro kentang secara in vitro, (3) kombinasi antara perlakuan CCC 600 mg/l dan Aspirin 5, 20 dan 25 mg/l dapat meningkatkan hasil bobot segar umbi yang terbentuk
Daftar Pustaka George , E.F., and P.D. Sherrington. 1984. Plant propagation by tissue culture. Exegetics Ltd. England. Gunawan, L.V. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan, PAU-Bioteknologi IPB. Bogor. 303 hal. Santosa, U dan Fatimah, N. 2004. Kultur Jaringan Tanaman. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang 191 hal. Sumiati, E. l989. Teknik Kultur Jaringan untuk Perbanyakan Cepat Tanaman Kentang. Balai Penelitian Hortikultura Lembang. Hal l95-209.
113
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Schneider, N. l996. The Botanical World. Times Mirror Higher Education Group, Inc. All Righ Reserved. London. Hal 23l-235. Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman secara Efisien. Agromedia Pustaka. Jakarta. 105 hal. Wattimena, G.A. l988. Zat Pengatur Tumbuh. PAU IPB. Bogor l45 hal. Wattimena, G.A. l99l. Kultur Jaringan Tanaman Kentang. Makalah pada Training Course on Potato Seed Technology. Dir Bina Prod. FAO.
114
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
REAKSI TANAMAN KEDELAI TERHADAP PELUKAAN Basuki Fakultas Pertanian UPN Veteran Yogyakarta ABSTRAK Penanaman kedelai dilapang sering mendapat gangguan hama, terutama dari jenis serangga, salah satunya adalah Ophiomyia phaseoli (Tryon). Serangan hama tersebut dapat menurunkan hasil sampai 59%. Serangan hama Ophiomyia phaseoli (Tryon) diawali dengan penusukan daun kotiledon menggunakan ovipositor serangga betina, yang menyebabkan terjadi pelukaan pada jaringan tanaman. Pada daerah disekitar jaringan yang luka, memperlihatkan aktifitas pembentukan asam-asam fenolat, Perbedaan genotipe kedelai rentan dan genotipe kedelai tahan memberi respon berbeda terhadap pelukaan jaringan. Penelitian bertujuan untuk: 1. Mengetahui respon tanaman kedelai terhadap pelukaan. 2. Menentukan kriteria seleksi tanaman kedelai tahan terhaap Ophiomyia phaseoli (Tryon) berdasar reaksi tanaman terhadap pelukaan jaringan. Percobaan dilaksanakan di Arjasari Bandung, pada bulan April 2005 sampai juni 2005. Sebagai perlakuan adalah Genotipe tanaman kedelai tahan dan genotipe tanaman peka terhadap Ophiomyia phaseoli (Tryon), menggunakan Rancangan Acak Kelompok, diulang tiga Blok. Tanaman kedelai umur 12 hst dibuat luka, ditusuk jarum steril pada permukaan daun kotiledon sebanyak 10 tusukan/kotiledon. Pada 0 jam, 12 jam, 24 jam dan 36 jam setelah pelukaan jaringan tanaman dianalisa kandungan polifenol menggunakan metode High Performance Liquidified Chromatography (HPLC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1. Pelukaan mekanis pada jaringan tanaman kedelai menyebabkan terjadi aktifitas peningkatan pembentukan polifenol. 2. Peningkatan kandungan polifenol berbanding lurus dengan lama waktu setelah pelukaan jaringan (sampai 36 jam setelah pelukaan). 3. genotipe tanaman kedelai peka terjadap Ophiomyia phaseoli (Tryon) memperlihatkan kandungan polifenol lebih banyak dari pada genotipe kedelai tahan. Kata Kunci: Respon; Kedelai; Pelukaan
115
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Pendahuluan Kedelai Glycine max (L.) Merr. telah menjadi makanan sehari-hari sebagai sumber protein nabati dan rendah kolesterol semakin diminati oleh sejumlah besar masarakat Indonesia (Marwoto, et al., 1999). Konsumsi kedelai oleh masyarakat umumnya dalam bentuk olahan, baik melalui proses fermentasi atau tidak melalui proses fermentasi (Kasryno, et al., 1993) Industri tahu dan industri tempe, pertumbuhan industri kecap serta tumbuhnya industri peternakan unggas mendorong permintaan kedelai terus meningkat (Sumarno, 1999). Sejalan dengan peningkatan permintaan kedelai tersebut di atas pemerintah berupaya untuk meningkatkan produksi kedelai baik melalui intensifikasi maupun penambahan luas areal panen (Sumarno, 1999). Indonesia tahun 2006 secara riel luas panen kedelai 580.534 ha, dengan produksi 747611 ton dan produktivitas 1.29 ton ha-1
(BPS, 2006) .Apabila dibanding dengan
produktivitas potensial kultivar kedelai unggul saat ini seperti ‘Manglayang’ dengan produktivitas potensial 2.45 ton ha-1 dan kultivar ‘Baluran’ dengan produktivitas 2.5 3.5ton ha-1 (Suhartina, 2003), tampak kesenjangan antara produktivitas potensial dengan produktivitas riel. Rendahnya produktivitas riel tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya disebabkan oleh serangan hama (Marwoto, et al., 1999). Penanaman kedelai di lapang tidak lepas dari gangguan hama, terutama dari jenis serangga, salah satu di antaranya adalah Ophiomyia phaseoli (Tengkano dan Iman 1985). Serangan hama tersebut dapat menyebabkan kematian, menurunkan hasil
kedelai per hektar (
Sumarno et al., 1989; Spencer, 1973).
Penyebaran O. phaseoli mencakup wilayah sangat luas meliputi daerah Australia, Afrika, Belgia, Filipina, Malaysia, Srilangka, India, Kenya, Kongo, Cina Selatan, Thailan, Vietnam dan Indonesia (van der Goot, 1984 Tengkano dan Soehardjan, 1993; Kalshoven 1981, Talekar dan Chen, 1983). Penyebaran O. phaseoli di Indonesia meliputi daerah pusat produksi kedelai yaitu: Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Bali dan Lampung. (Adie, 1992; Nurdin dan Dahono, 1992) Arsad (1983) menginformasikan bahwa kerugian berupa penurunan hasil karena serangan O. phaseolisamaai 59% 116
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Proses kematian tanaman kedelai diawali oleh serangga O. phaseoli betina meletakkan telur pada jaringan kotiledon yang mulai membuka di atas permukaan tanah. Setelah telur menetas menjadi larva, larva tersebut langsung menggerek jaringan kotiledon yang berlanjut sampai pada kulit batang. Bekas gerekan membentuk alur berkelok-kelok pada kotiledon serta melingkar pada kulit batang. Yang menyebabkan terputusnya aliran air dan unsur hara dari akar menuju daun. yang menyebabkan tanaman mati. Pengendalian O. phaseoli dengan melibatkan kultivar tahan merupakan langkah tepat dan mempunyai beberapa keuntungan, antara lain: praktis dalam pelaksanaanya, ekonomis, spesifik terhadap hama sasaran, efek pengendalian bersifat kumulatif dan dapat digabung dengan cara pengendalian lainnya, serta dampak terhadap lingkungan sangat terbatas (Oka dan Soehardjan, 1997; Untung, 2001; Panda dan Khush, 1995). Upaya untuk mendapatkan kultivar tahan telah dirintis yang diawali pencarian sumber genetik ketahanan (Tengkano, 1977). Ruswandi et al (1993) melaporkan bahwa galur berkode genotip 13x30D (4) (9)(5) BP diketahui sebagai galur tahan terhadap O. phaseoli. Baihaki (2003) dalam uji lapangan untuk penyaringan 104 galur kedelai koleksi Achmad Baihaki di Arjasari, menemukan galur nomor 24 berkode genotip 13x30B (5)(11)(1)(3) B (A) (14)D menempati peringkat satu tingkat ketahanan terhadap O. phaseoli. Penemuan tersebut dapat dipertimbangkan untuk menjadi sumber gen ketahanan dan
studi genetik berkaitan dengan karakter ketahanan tanaman kedelai terhadap O.
phaseoli. Serangan Ophiomyia phaseoli pada tanaman kedelai dapat menyebabkan pelukaan jaringan, pada daerah disekitar jaringan yang luka, sel-sel yang pada awalnya stabil, kemudin memperlihatkan aktifitas pembentukan mRNA, sehinggaterjadi peningkatan polisom serta penggabungan asam-asam amino menjadi protein
yang dipergunakan
pembelahan sel untuk menutup luka. Disekitar jaringa yang luka terdapat asam-asam fenolat dalam jumlah yang banyak, asam fenolat tersebut
tidak ada sebelum terjadi
pelukaan. Peningkatan fenol terkadi 12 setelah pelukaan Galston and Davies, 1970). Suparta (1998) melaporkan
bahwa tanaman kentang yang tahan terhadap Lirioyza
huidobrensis memperlihatkan kandungan fenol lebih tinggi dibanding dengan tanaman rentan. Adanya fenomena perbedaan kandungan fenol pada genotipe tanaman tahan dan tanaman rentan, mungjin dapat dipergunakan sebagai kriteria seleksi tanaman kedelai tahan terhadap O. phaseoli.
117
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Ketahanan
antibiosis
tanaman
mengandung
senyawa
kimia
yang
dapat
menyebabkan serangga tidak mampu berkembang secara normal. Menurut Noris dan Kogan (1980) pertahanan diri tanaman terhadap serangga
dikelompokkan ke dalam
pertahanan berdasar morfologi dan biokimia. Ketahanan biokimia merupakan pengaruh fisiologis yang merugikan pada kehidupan serangga hama sebagai akibat memakan atau mencerna bagian tanaman tertentu. Noris dan Kogan (1980) mengemukakan faktor biokimia yang mendasari ketahanan tanaman terhadap serangga umumnya berupa senyawa sekunder. Salah satu senyawa sekunder adalah fenol. (Panda dan Khush, 1995; Heldt, 1997).
Adanya perbedaan kandungan polifenol antar kultivar/galur tanaman kedelai
dilaporkan sebagai variabilitas yang luas (Gatut, 2002). program pemuliaan terhadap cekaman hama, sering menghadapi dua kendala yang sangat berat, pertama kendala melakukan seleksi sejumlah genotip yang sangat besar, sehingga pekerjaan seleksi sangat melelahkan, kedua
dalam melakukan penyaringan
ketahanan, terkendala adanya faktor lingkungan yang berubah, sehingga sangat mempengaruhi hasil pekeruaan penyaringan. Fenomena adanya korelasi antara karakter tanaman satu dengan karakter lain yang dituju sering dimanfaatkan oleh pemulia tanaman, adanya korelasi kandungan fenol dalam jaringan tanaman kedelai dengan karakter ketahanan terhadap O. phaseoli dapat dipakai sebagai alternatif untuk seleksi tidak langsung. Seleksi secara tidak langsung tersebut akan meningkatkan akurasi data, memperlancar dan memudahkan pekerjaan pemulia dalam proses seleksi karakter yang dituju. Noris dan Kogan (1980) mengungkapkan bahwa kandungan senyawa gossypol pada tanaman kapas berkorelasi positip dengan karakter ketahanan terhadap serangga Heliothis sp.. Informasi adanya korelasi antara kandungan fenol dengan karakter ketahanan tanaman kedelai terhadap O. phaseoli sangat penting untuk dikaji. Analisis untuk menentukan kandungan senyawa toksik dalam kadar relatif sangat rendah yang terdapat dalam jaringan tanaman memerlukan peralatan berteknologi tinggi, karena dengan peralatan teknologi konvensional selain memerlukan waktu lama, hasil yang diperoleh tidak akurat, bahkan tidak mampu mendeteksinya. Salah satu alat yang mampu mendeteksi adanya senyawa racun (fenol) yang terkandung dalam jaringan tanaman dalam kadar yang sangat rendah adalah High Performance Lquidified Chromatography (HPLC). Analisis senyawa organik dengan menggunaan metode HPLC memiliki beberapa keunggulan antara lain: merupakan teknik analisis yang sangat peka, 118
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
tingkat presisinya tinggi, mampu memisahkan senyawa yang sangat serupa, dan memerlukan waktu relatif singkat (Adnan, 1997). Penelitian bertujuan untuk: 1. Mengetahui respon tanaman kedelai terhadap pekukaan 2. Mengetahui adanya korelasi antara kandungan polifenol pada tanaman kedelai yang mendapat pelukaan dengan ketahanan tanaman kedelai terhadap O. phaseoli, sehingga dapat digunakan sebagai kriteia seleksi tanaman kedelai tahan terhadap O. phaseoli.
Metode Penelitian Penelitian merupakan percobaan lapangan, dilaksanakan di Sanggar Penelitian Latihan dan Pengembangan Pertanian (SPLPP) unit kebun percobaan Fakultas pertanian UNPAD, terletak di desa Lebakwangi Kecamatan Arjasari Kabupaten Bandung. Ketinggian tempat lebih kurang 900 m dari permukaan air laut, jenis tanah Ultisol, kisaran pH 6.2 – 6.6. Type curah hujan menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk type B atau basah (Baihaki, 2000). Analisis kandungan polifenol dilaksanakan di laboratorium BALITBIO Tanaman Pangan Departemen Pertanian Bogor. Percobaan penanaman untuk pengujian reaksi tanaman kedelai karena pengaruh pelukaan btatan dimulai bulan April 2005, sampai bulan Juni 2005. Bahan tanaman kedelai yang dipakai sebagai genotipe kedelai tahan diperoleh melalui proses seleksi untuk penyaringan ketahanan terhadap O. phaseoli pada 104 galur/kultivar kedelai koleksi Achmad Baihaki. Penyaringan ketahanan telah dilaksanakan di kebun percobaan SPLPP Arjasari pada bulan April 2003 sampai Juni 2003. Dari hasil penyaringan ketahanan tersebut terpilih sebagai genotipe tahan adalakah kultivar Lokon, sedangkan genotipe rentan kultivar Orba menempati peringkat ketahanan 103 dari 104 galur yang diuji. Penelitian merupakan percobaan lapangan, sebagai perlakuan adalah genotipe yang terdiri dari genotipe kedelai tahan dan genotipe kedelai rentan terhadap O. Phaseoli, dirancang menggunakan Rancangan Acak Kelompok diulang dalam 3 Blok sebagai ulangan. Pelaksanaan percobaan untuk mengetahui reaksi tanaman kedelai terhadap pelukaan kekanis, dilakukan prosedur percobaan sebagai berikut: 119
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
1. Ditanam berturut-turut genotipe kedelai tahan (Lokon) dan genotipe rentan (Orba) pada petak percobaan ukuran 1x2m jarak tanam 10x20cm masing-masing entri ditanam sebanyak 50 benih. diulang tiga blik sebagai ulangan. 2. Untuk menghindari terserang hama yang dapat menimbulkan pelukaan mekanis sebelum waktunya perlakuan, maka tanaman ditutup dengan menggunakan kerudung kain kasa halus berwrna putih berkerangka besibaja. 3.
Setelah tanaman umur 12 hst dilakukan pelukaan (mekanis) secara buatan, yaitu dilakukan tusukan menggunakan jarum steril. pada setiap permukaan kotiledon ditusuk sebanyak 10 tusukan, pada helai daun unifoliat ditusuk sebanyak 12 tusukan, dan pada batang ditusuk sebanyak 8 tusukan, tusukan diusahakan menyebar merata pada permukaan tanaman. Pelukaan buatan dimaksudkan meniru cara serangga O. phaseoli melukai jaringan tanaman kedelai pada awal melakukan serangan, menggumakan onipositor serangga betina untuk meletakkan telur pada jaringan tanaman kedelai.
4. Pada 0 jam, 12 jam, 24 jam dan 36 jam setelah dilakukan penusukan, untuk setiap genotipe tanaman diambil 10 tanaman sampel untuk dianalisa kandungan polypenol, Analisa kandungan polifenol menggunakan Metode High Perpormance Liquified Chromatography (HPLC).
Hasil dan Pembahasan Hasil analisa pengukuran banyaknya kandungan polypenol pada jaringan tanaman kedelai yang mendapat pelukaan disajikan pada tabel berikut. Tabel. Kandungan polypenol tanaman kedelai setelah pelukaan mekanik Entri
Kandungan Polypenol (ppm) Setelah Pelukaan mekanik 0 jam
12 jam
24 jam
36 jam
P –2
11.247
13.732
21.206
27.581
P –6
36.604
53.722
65.239
90.504
Dari Tabel tersebut di atas terlihat bahwa pelukaan (mekanis) pada jaringan tanaman
kedelai
menyebabkan
terjadinya
peningkatan
pembentukan
polypenol,
peningkatan kandungan polypenol berbanding lurus dengan lama waktu setelah terjadi 120
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
pelukaan. Hasil pengamatan pada interval waktu pengamata 12 jam setelah terjadi pelukaan mekanik, terlihat bahwa pada tanaman kedelai peka terhadap O. phaseoli menunjukan kandungan polypenol lebih tinggi bila dibanding dengan tanaman kedelai lebih tahan terhadap O. phaseoli. Hasil percobaan ini sesuai dengan Galston dan Davies (1970) yang menyatakan pada jaringan tanaman mendapat pelukaan mekanis, maka setelah rentang waktu 12 jam akan terjadi peningkatan kandungan polypenol. Pernyataan tersebut nampaknya berlaku bagi setiap tanaman yang mendapat pelukaan secara mekanis maupun karena serangan patogen. Dari hasil percobaan ini mengisaratkan bahwa peningkatan kandungan polypenol setelah serjadi pelukaan tidak dapat dipergunakan sebagai kriteria seleksi secara tidak langsung dengan karakter ketahanan tanaman kedelai terhadap O. phaseoli. Herawati dan Setiamihardja (2000) menyatakan bahwa akibat pelukaan (baik pelukaan mekanik maupun patogenik) menyebabkan berbagai proses dan perubahan kimiawi. Pada daerah sekitar luka terjadi aktivitas pembentukan mRNA pada polisom, Disekitar luka terbentuk asam-asam fenolat, terbentuknya asam-asam
fenolat diawali
terbentuknya enzim phenylalanine ammoniase lyase (PAL) dan tyrosine ammonia lyase (TAL). Enzim peroksidase terdapat meningkat setelah terjadi
infeksi patogen,
pembentukan enzim peroksidase merupakan faktor utama pada ketahanan terhadap patogen. Hasil percobaan ini berlawanan dengan Supartha (1998) yang melaporkan bahwa tanaman kentang tahan terhadap Liriomyza huidobrensis memperlihatkan kandungan polifenol lebih tinggi dibanding dengan tanaman rentan. Gatut (2002) melaporkan bahwa tidak ada korelasi nyata antara kandungan tanin dengan ketahanan kedelai terhadap O. pkaseoli. Basuki (2006) melaporkan bahwa Lokon merupakan genotipe tahan terhadap O. phaseoli berbunga putih, mengandung tanin (merupakan senyawa fenol) lebih rendah dibanding dengan genotip rentan. Kondisi ini mengisaratkan bahwa polifenol tidak dapat dapat dipakai sebagai kriteria seleksi kedelai tahan terhadap O. phaseoli.
121
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Kesimpulan Hasil percobaan dan pembahasan dapat disimpulkan: 1. Pelukaan mekanis pada jaringan tanaman kedelai menyebabkan terjadi aktifitas peningkatan pembentukan polifenol. 2. Peningkatan kandungan polifenol berbanding lurus dengan lama waktu setelah pelukaan jaringan (sampai 36 jam setelah pelukaan). 3. Genotipe tanaman kedelai peka terjadap Ophiomyia phaseoli (Tryon) memperlihatkan kandungan polifenol lebih banyak dari pada genotipe kedelai tahan.
Daftar Pustaka
Adie, M.M. 1992. Penyaringan Genotip Kedelai Untuk Ketenggangan Terhadap Lalat Kacang. Laporan Penelitian. Kerja Sama Aplaied Agriculture Research Project Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Dep Tan dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi Untuk Analisis Bahan Makanan. Andi Offset. Yogyakarta. Arsad, D.M. 1983. Pengaruh Diversivikasi Genetik Terhadap Penampilan dan Kompetisi Antara genotip Kedelai serta serangan Ophyomyia phaseoli. Tesis. Tidak dipublikasikan. Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. BPS, 2006. Statistik Indonesia 2006. Jakarta- Indonesia. Baihaki, A. 2000. Penemuan Varietas Unggul Kedelai ‘MANGLAYANG’ Wacana Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni. Tahun Akademik 1999-2000. Guru Besar Universitas Padjadjaran. Bandung. 30-43. Basuki, 2006. Ketahanan Kedelai terhadap Ophiomyia phaseoli (Tryon): Pewarisan dan Korelasi Genetik Karakter Morfologi dan Biokimia Penting. Disertasi. Tidak dipublikasi. Program Pascasarjana UNPAD. Bandung. Chiang, H. S., and D. M. Norris. 1984. “Purple Stem “ a new indicator of soybean stem resistance to bean flies. Jour. of Econ. Entomol.. 77: (1). Published By The Entomological Society of America. Dandi, S., dan Harnoto. 1985. Pengendalian Hama Kedelai. Dalam Sadikin, S. Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. 319-330.
122
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Djuwarso, T. 1991. Bioekologi Serangan dan Pengendalian Lalat Kacang. dalam Pengendalian Terpadu. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. 66-78. Galston, A. W., and P. J. Davies. 1970. Control Mechanisms in Plant Development. Prentice-Hall, inc. Englewood Cliffs. New jersaey. Gatut, W. A. S., 2002. Variabilitas Genetik, Heritabilitas Beberapa Karakter Morfologi dan Kandungan Tanin Serta Korelasinya dengan Ketahanan beberapa genotipe Kedelai Terhadap lalat kacang (Ophiomyia sp.). Tesis. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Bandung. Tidak dipublikasikan. Herawati, T., dan R. Setiamihardja. 2000. Pemuliaan Tanaman Lanjutan. Program studi Pemuliaan Tanaman Jurusan Budidaya Pertanian. UNPAD. Bandung. Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crops In Indonesia. Revised and Translated By van der Laan, P.A.. P.T. Ichtiar Baru-Van Hoeve Jakarta. Kasryno, K., H. Delima, I.W. Rusastra, Erwidodo, dan C.A. Rasahan. 1993. “Pemasaran Kedelai di Indonesia”, dalam Sadikin S. (editor) Kedelai. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian . PusLitBang Tananaman Pangan. Bogor. Marwoto., Suharsono., dan Supriyatin. 1999. Hama Kedelai dan Komponen Pengendalian Hama Terpadu. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. Norris, D. M., dan M. Kogan. 1980. Biochemical And Morfological Bases Of resistance. Dalam Breeding Plants Resistant To Insects. Wiley Interscience publicatian. Maxwell, F.G. dan P.R. Jennings. 1980. New York. 23-61. Nurdin, F dan Dahono. 1992. Uji Ketahanan Galur/Varietas Kedelai Terhadap Hama Utama. Balit Bang Tan Departemen Pertanian dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Oka, I. N., dan M. Soemardjan. 1997. Tantangan Entomologi Pada Abad XXI. Prosiding Seminar Nasional PIE. Tantangan Entomologi Pada Abad XXI. Bogor. 8 Januari 1997. 1- 17. Panda, N., dan Khush, G. 1995. Host Plant Resistance to Insects. Published International Rice Reserarch Institute. Philipines. 353p.
in
Ruswandi, D., A. Baihaki., A. Kurniawan., Basuki., dan Anas. 1993. “Evaluasi Sumber dan Tingkat Ketahanan Populasi Galur Harapan Kedelai terhadap Ophyomyia phaseoli”, Seminar Forum Komunikasi Pemuliaan Tanaman. Kerjasama Dikti dengan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.. Malang. Tanggal 17 – 20 Oktober 1993. Spencer, K.A. 1973. Agromyzidae (Diptera) of Economic Importance. Publishers. The hague. 123
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Suhartina. 2003. Perkembangan dan Deskripsi Varietas Unggul Kedelai 1918-2002. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. Sumarno., D. M. Arsyad., dan I. Manwan. 1989. Analisis Kesenjangan Hasil Kedelai di Jawa. Laporan Proyek Analisis Kesenjangan Hasil Kedelai. Pusat Koordinasi Regional Untuk Penelitian dan Pengembangan Palawija di Daerah Tropik Basah. Asia dan Pasifik. Bogor. Supartha, I. W. 1998. Biomi Liriomyza huidobrensis (Blanchard) (Diptera: Agromyzidae) pada Tanaman Kentang. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan. Talekar, N. S., dan B.S. Chen. 1983. ”The Beanfly Pest Complex of Tropical Soybean”. Proceedings of A Traning Course. Chiang Mai, Thailand. 18-24 Februari 1991. Tengkano, W. 1977. “Pengujian varietas kedelai terhadap serangan Ophiomyia phaseoli”. Laporan Kemajuan Penelitian. Seri Hama dan Penyakit. Nomor 10. Lembaga Pusat Penelitian Pertanian. Bogor. Tengkano, W., dan Iman. 1985. “Strategi Pengendalian Ophiomyia phaseoli Tryon pada Tanaman Kedelai”, Seminar Balai Penelitian Pertanian. Bogor. Vol. 2. Tengkano, W., dan M. Suhardjan. 1993. Jenis Hama Utama Pada Berbagai Fase Pertumbuhan Tanaman Kedelai. dalam Sadikin. Kedelai. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. 295-323. Untung, K. 2001. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. GajahMada Universty Press. Yogyakrta. van der Goot, V. D. 1984. Agromyzid Flies Of Same Native Legume Crops In Java. Translation. Published By Asian Vegetable Research and Development Center. Sanhua. Tainan. Taiwan R.O.C
124
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
SUSU KAMBING, SUNAH RASULULLAH YANG TELAH DILUPAKAN Indah Kristanti Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). Email korespondensi:
[email protected].
Susu kambing adalah minuman yang tidak kalah bergizinya dibandingkan dengan susu sapi. Bahkan keluhan-keluhan kesehatan yang sering dijumpai akibat minum susu sapi tidak pernah ditemui beritanya pada orang-orang yang mengkonsumsi susu kambing. Susu kambing dapat menjadi alternatif bagi konsumen yang mempunyai alergi terhadap susu sapi. Boleh jadi itulah hikmahnya mengapa dalam riwayat-riwayat shahih tentang kehidupan Nabi Muhammad saw. dan sahabat-sahabatnya kita temui kisah mereka minum susu kambing, dan bukan susu sapi! Namun, manfaat susu kambing sayangnya masih belum disadari oleh kebanyakan kaum muslimin termasuk bangsa Indonesia yang merupakan penduduk muslim terbanyak di dunia. Sebagaimana di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat, di Indonesia pun susu sapi dan berbagai produk olahannya lebih memasyarakat dan lebih mudah dijumpai di pasaran dibandingkan dengan susu kambing.
Sunah Rasulullah Yang Telah Terlupakan Rasulullah saw. pernah bersabda sebagaimana yang diriwayatkan dalam HR. Muslim bahwa Islam datang dalam keadaan asing dan pada akhirnya akan datang suatu masa di mana Islam akan menjadi asing kembali. Karena dalam memahami dan mempraktekkan ajaran-ajaran Islam seorang muslim diperintahkan Allah SWT. untuk meneladani Rasulullah saw. (QS. 33: 21) (Al Qur’an dan terjemahannya, 1971), maka dalam sejarahnya terdapat pula masa di mana praktek meneladani semaksimal mungkin seluruh sikap dan perilaku sehari-hari Rasulullah -termasuk kebiasaan makan dan minumnya- mengalami masa awal yang asing dan masa kemudian yang asing pula. Di antara jenis minuman yang biasa diminum oleh Rasulullah saw. adalah susu kambing segar, yakni langsung diminum sesudah diperah dari ambing kambing (kisah Abdullah bin 125
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Mas’ud pada masa remaja saat dia menggembalakan kambing milik Uqbah bin Mu’aith) (Khalid, 1987). Namun, berapa persen dari penduduk muslim di seluruh dunia ini -terlepas dari kemampuan ekonominya- yang punya kebiasaan minum susu kambing? Atau lebih spesifik lagi: berapa persen dari seluruh kaum muslimin di dunia ini yang tahu akan manfaat susu kambing? Sulit untuk menemukan adanya data statistik aktual tentang jumlah konsumsi susu kambing di seluruh dunia, apalagi di negara-negara yang penduduknya sebagian besar muslim karena pada umumnya data internasional tentang produksi, konsumsi dan kebutuhan susu ternak yang didokumentasikan dengan baik adalah untuk susu sapi (Haenlein, 2001). Bahkan tidak ada data dunia untuk jumlah populasi ternak ruminan kecil (kambing dan domba) yang dibedakan tujuan produknya (sebagai pemasok daging, serat wol, kulit atau susu). Namun, dari data yang tersedia (Haenlein, 2001) nampak bahwa produsen susu kambing yang paling produktif (dalam kg susu/ekor/tahun) di dunia adalah negara Eropa Barat dan Timur yang sebagian besar penduduknya non-muslim seperti misalnya Perancis (400), Rusia (125), Spanyol (121), Italia (115), dan Yunani (78). Sedangkan di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim seperti Aljazair (47), Irak (35), Sudan (31), Turki (30), Pakistan (17) dan Indonesia (15) produktifitas susu kambingnya sangat rendah. Juga dari muamalah penulis dengan sesama muslim, baik bangsa sendiri maupun bangsa asing yang tinggal di Jerman, dan dari pengamatan terhadap ketersediaan susu sapi dan susu kambing di pasar, toko maupun pusat-pusat perbelanjaan diduga kuat bahwa jawaban atas kedua pertanyaan di atas adalah: tidak banyak. Sebagaimana di berbagai aspek kehidupan lainnya (politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan/keamanan) rupanya dalam hal kebiasaan makan dan minum pun kaum muslimin masih dikuasai oleh arus pemikiran dan politik negara-negara barat. Padahal Allah SWT. telah berfirman dalam Al Qur’anul Karim: “Maka makanlah yang halal lagi baik (thoyyib) dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah“. (QS. 16 :114). Kebanyakan kaum muslimin baru tiba pada tahap halal, belum sampai tahapan thoyyib. Padahal kalau kita menganalogikan dengan kedudukan sholat wajib dan membayar zakat yang selalu diperintahkan Allah secara bersama-sama dalam sebuah ayat (contohnya di dalam QS. 2: 83, 5: 12, 19: 55 dan 21: 73) untuk menunjukkan pentingnya hal yang kedua yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari hal yang pertama (riwayat Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. memerangi kaum muslimin yang enggan membayar zakat meskipun mereka tidak 126
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
meninggalkan sholat) (Khalid, 1992), maka semestinya pengetahuan mengkonsumsi makanan dan minuman yang thoyyib pun tidak boleh dipisahkan dari yang halal. Maka hendaknya kita tidak berpuas diri dengan mengetahui makanan dan minuman yang halal saja, melainkan hendaknya kita juga menambah pengetahuan kita akan ke-thoyyib-an makanan dan minuman halal, termasuk susu.
Kontroversi Susu Kambing dan Susu Sapi Pada umumnya konsumsi susu ternak dianjurkan karena potensinya sebagai sumber protein dan kalsium yang sangat penting bagi kesehatan manusia. Bahkan sebagai sumber kalsium -dengan pola makan masyarakat yang umumnya sangat kurang konsumsi sayur segarnya- nyaris susu tak bisa digantikan dengan bahan makanan lainnya (Kristanti, 1998). Oleh karena itu, pada umumnya ahli pangan dan gizi sangat menganjurkan untuk minum susu setiap hari. Namun, seorang ahli pangan yang sangat memperhatikan pengaruh pola makan terhadap kesehatan dan proses timbul dan sembuhnya berbagai macam penyakit, Norman W. Walker telah membuktikan bahwa susu -kecuali susu kambing segar- adalah bahan makanan yang paling banyak menimbulkan lendir di dalam tubuh manusia (Walker, 2002). Beliau juga mengamati bahwa susu yang paling cocok untuk dikonsumsi manusia (selain bayi yang belum lepas dari air susu ibu) adalah susu kambing segar. Dinyatakannya pula bahwa pemanasan di atas suhu 48 °C justru merusak nilai fisiologis susu kambing dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan karena merangsang timbulnya lendir yang berlebihan -suatu hal yang sangat kontroversial bagi ahli gizi dan teknologi pengolahan pangan pada umumnya. Di antara gangguan kesehatan yang ditimbulkan dari mengkonsumsi susu sapi adalah kegemukan, asma, infeksi paru-paru, pilek alergi (misal alergi serbuk sari) dan tuberkulosis (Walker, 2002), meskipun pada umumnya ahli gizi dan dokter berpendapat bahwa susu sapi dapat menjadi bahan makanan sumber berbagai macam antibodi untuk melawan penyakit (Carper, 2001). Allah SWT. telah berfirman bahwa susu adalah minuman yang disediakan-Nya bagi manusia (QS. 16: 66, 23: 21). Allah juga menyebutkan bahwa minuman susu itu mudah ditelan oleh manusia. Dalam istilah ilmu gizi tentunya mudah ditelan ini maksudnya adalah mempunyai arti fisiologis yang baik. Tidak mungkin Allah menjerumuskan hamba-hamba-Nya dengan menunjukkan sumber minuman yang justru menimbulkan berbagai macam penyakit. Maka dalam kontroversi 127
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
manfaat ataukah kerugian yang akan kita rasakan sesudah mengkonsumsi susu sapi perlu dikaji secara menyeluruh, bukan hanya untuk satu jenis gangguan kesehatan semata. Kalau dikatakan susu sapi bisa menjadi sumber antibodi untuk melawan penyakit tertentu, sedangkan di sisi lain status kesehatan orang yang bersangkutan tidak dimonitor secara menyeluruh (misal alergi tetap ada dan berat badan semakin bertambah tanpa bisa dikontrol), maka boleh jadi memang ada manfaat dari susu sapi bagi kesehatan manusia di samping banyak mudhorot yang ditimbulkannya. Ini mirip dengan yang telah berlaku bagi minuman keras (khamr), tapi dalam khamr ini Allah jelas-jelas telah membongkar rahasianya dengan berfirman bahwa di dalam khamr memang bisa ditemui ada manfaatnya (paradoks Perancis dengan khamr anggur merahnya), namun kemudhorotannya jauh lebih besar. Dengan demikian maka besarnya konsumsi susu sapi oleh kaum muslimin selama ini bisa jadi hanya disebabkan oleh keterbatasan ilmu manusia yang keliru dalam menafsirkan ayat tentang susu dalam Al Qur’an sebagai susu ternak apa saja termasuk sapi, sedangkan seharusnya adalah susu kambing. Bukti-bukti ilmiah tentang manfaat susu kambing terhadap kesehatan sebetulnya telah diperoleh manusia (Haenlein, 2001; Walker, 2002; Walker, 1995; Rachman, 2002) hanya saja secara umum publikasinya masih kalah dibandingkan dengan susu sapi (Haenlein, 2001).
Kesiapan Teknologi Pendukung Produksi Susu Kambing Sesudah mengetahui sangat banyaknya manfaat susu kambing dibandingkan dengan susu sapi, maka tentu timbul pertanyaan: Mengapa di Indonesia sulit dijumpai produk susu kambing di toko-toko atau di supermarket-supermarket? Bukankah kambing bisa hidup di iklim negara kita? Apakah memang budidaya kambing itu sulit alias tidak prospektif dari sudut pandang ekonomi? Telah diteliti bahwa budidaya kambing sangat potensial dan realistis untuk dikembangkan di negara-negara yang sedang berkembang dengan iklim tropis (Haenlein, 2001). Dari Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Ternak di Bogor dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan di Indonesia sangat cocok bagi budidaya kambing dari jenis yang sekaligus bisa dijadikan pemasok susu dan daging, yakni peranakan antara kambing kacang dan kambing Etawah yang berasal dari India dan dikenal dengan kambing PE (Anonim, 2001). Dalam laporan penelitian itu disarankan agar ternak kambing yang jantan dibesarkan untuk dimanfaatkan dagingnya, sedangkan ternak yang betina dibesarkan untuk diambil susunya. 128
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Diperhitungkan bahwa satu ekor kambing PE dapat mencukupi kebutuhan protein hewani asal susu untuk sebuah keluarga dengan 5 orang anggota keluarga. Budidaya kambing PE ini sudah menunjukkan keberhasilan di beberapa daerah sehingga sangat potensial untuk dijadikan proyek nasional bagi negara kita yang mayoritas penduduknya masih sangat rendah status gizi dan kemampuan ekonominya. Jadi, apa lagi yang perlu kita tunggu? Di satu sisi kita dapat menaikkan taraf kesehatan masyarakat dengan menyediakan sumber protein hewani yang halal dan thoyyib, dan menaikkan taraf ekonomi rakyat di pedesaan-pedesaan melalui usaha budidaya kambing ini. Di sisi lain kita dapat melestarikan salah satu sunah Rasulullah yang telah banyak dilupakan orang di negara yang mayoritas penduduknya muslim. Kita bisa mengambil pelajaran dari negara tetangga kita Malaysia yang telah sukses lebih dahulu dalam mempromosikan pentingnya peran susu kambing ini secara profesional (Anonim, -). Oleh karena itu sudah saatnya para ahli teknologi pengolahan pangan, ahli gizi, ekonom, ahli budidaya ternak dan jajaran pimpinan di pemerintahan memikirkan lebih serius lagi dan saling bekerja sama dalam memasyarakatkan peran penting susu kambing ini dan meningkatkan produksinya. Dalam hal ini ada dua hal penting yang perlu mendapatkan prioritas: peningkatan produksi susu dengan tetap memperhatikan kesehatan ternak dan lingkungan, dan peningkatan keamanan/higiene susu, terutama karena manfaat kesehatan susu kambing sangat berkurang akibat pemanasan, sedangkan pada umumnya untuk keamanan dan pengawetan produk susu perlu dipanaskan. *Staf pengajar pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). Email korespondensi:
[email protected]
Daftar Pustaka Al Qur’an dan Terjemahannya. Yayasan Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an Departemen Agama. (1971) Anonim. - . http://www.m-sia.com/npdairies Anonim. Kambing PE Penghasil Daging Sekaligus Susu. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. 23 (4), 2001. http://pustaka.bogor.net/publ/warta/w2345.htm Carper, J.: Nahrung ist die beste Medizin. Judul asli: The Food Pharmacy. Muenchen: Econ Ullstein List Verlag, p. 179-194 (2001) 129
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Haenlein, G.F.W.: Past, Present, and Future Perspectives of Small Ruminant Dairy Research. Journal of Dairy Science, 84(9): 2097-2115 (2001) Khalid, M. Kh.: Karakteristik Perihidup 60 Shahabat Rasulullah. Penerjemah: Mahyuddin Syaf dkk. Bandung: CV Diponegoro, p. 215-216 (1987) Khalid, M. Kh.: Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah. Penerjemah: Mahyuddin Syaf dkk. Bandung: CV Diponegoro, p. 7882 (1992) Kristanti, I.: Bila tidak tahan minum susu. http://pagihp.tripod.com/minmsusu.htm (1998) Rachman, R.: Khasiat Susu dan Daging Kambing. Harian Kompas, 2 September 2002. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/02/iptek/khas35.htm Walker, N.W.: Auch Sie können wieder juenger werden. Judul asli: Become younger. Muenchen: Wilhelm Goldmann Verlag, p. 58-64 (2002) Walker, N.W.: Frische Frucht- und Gemuesesaefte. Judul asli: Fresh Vegetable and Fruit Juices. Muenchen: Wilhelm Goldmann Verlag, p. 120-122 (1995)
130
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
PHARMACOKINETICS MINOCYCLINE AND ACCUMULATION IN MUSCLE TISSUE AFTER PER ORAL ADMINISTRATIONS UPON COCK BROILER (strain Lohman)
Tri Guntoro,Lukman Hakim,Irkham Widiyono Fakultas Kedokteran Hewan, UGM, Yogyakarta
Abstract This research is aimed at determining minocycline pharmacokinetic within plasma with per oral administrations and determining minocycline content within muscle tissues. In this research, employed animals included cock broiler (strain Lohman) divided into 2 groups. The first group comprises of 6 animals and administered per orally at dose 100 mg/kg bw. At the 2nd minute (t2), 5th minute (t5), 10th minute (t10), 30th minute (t30), and 1st hour (h1), 2nd hour (h2), 4th hour (h4), 6th hour (h6) and 8th hour (h8), blood samplings were conducted. Whereas the second group was administered with minocycline 0.32 mg/animal/day mixed with drinking water for 4 weeks, then after the animal’s euthanasia chest muscle tissues were taken. Minocycline pharmacokinetic within the plasma and minocycline content in the tissues was analyzed using high performance liquid chromatography (HPLC).
Based on results of this research, it is concluded that minocycline pharmacokinetic within plasma after per oral administration at dose 100 mg/kg bw (Vd, t½ elim, AUC and Cl). Minocycline accumulation within breast muscle is 4.6 ± 0.7 µg/g after administration 0.32 mg/animal/day for 4 weeks. Key words: pharmacokinetics, cock broiler (strain Lohman), minocycline Pendahuluan Latar belakang Di negara-negara besar, seperti Amerika Serikat dan Australia, pemakaian golongan tetrasiklin di bidang peternakan dan kesehatan hewan cenderung meningkat (Chopra and Roberts, 2001). Penelitian terbaru berdasarkan analisis mikrobia menunjukkan bahwa kandungan tetrasiklin, oksitetrasiklin dan klortetrasiklin dalam daging ayam cukup tinggi, hingga 100 ng/g (Schneider and Chen, 2004). Residu oksitetrasiklin pada produk daging konsumsi telah diteliti pula oleh Senyuva et al., (2000) dengan menggunakan analisis HPLC, dan menunjukkan bahwa 50 % sampel mengandung residu obat dalam jumlah yang melebihi batas ambang residu minimum. 131
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Minosiklin hampir sama dengan doksisiklin dan merupakan produk dari turunan golongan tetrasiklin. Kazim et al, (1979) melakukan studi tentang efektifitas antibiotik pada ayam yang terinfeksi Plasmodium gallicepticum dan melaporkan bahwa minosiklin terbukti lebih efektif daripada demeklosiklin, tetrasiklin, dan klortetrasiklin. Menurut Debernat et al. (1983) minosiklin lebih efektif dibandingkan doksisiklin untuk pengobatan terhadap infeksi Haemophilus. Pada tahun 1989 telah dilakukan penelitian oleh Pijpers et al dan menunjukkan bahwa minosiklin efektif untuk pengobatan penyakit yang menyerang pada saluran pernafasan pada hewan babi. Selain itu, Cauwerts et al, (2006) melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa minosiklin lebih efektif dibandingkan dengan tetrasiklin terhadap hewan yang telah terinfeksi Lactobacillus gallinarum. Sedangkan, Lin et al., (1994), membuktikan minosiklin (32 mg/ml) dapat digunakan untuk pengobatan avian micoplasma. Di Indonesia belum banyak yang menggunakan minosiklin dalam dunia perunggasan baik untuk pengobatan infeksi maupun sebagai pemacu pertumbuhan. Suatu senyawa baru yang akan digunakan sebagai obat terlebih dahulu harus melalui serangkaian uji praklinik dan uji klinik agar senyawa tersebut dapat digunakan secara aman dan optimal. Uji farmakokinetik merupakan salah satu dari serangkaian uji praklinik minosiklin yang belum dilakukan pada ayam broiler jantan. Uji farmakokinetik dilakukan untuk mengetahui kinetika absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat di dalam tubuh. Farmakokinetik lebih jauh mendasari pengobatan yang rasional dan optimal, menghindari kemungkinan bahaya keracunan obat tanpa mengabaikan dosis yang optimum dalam tubuh. Di samping itu, peranan farmakokinetik penting dalam perancangan obat serta evaluasi ketersediaan hayatinya. Profil kadar obat dalam darah dapat menggambarkan nasib obat dalam tubuh. Kecepatan perubahan kadar obat dalam darah dapat menggambarkan nasib obat dalam tubuh. Kecepatan perubahan kadar obat dalam darah tergantung pada kecepatan absorpsi, distribusi dan eliminasi obat. Kadar obat dalam darah memiliki arti penting dalam analisis farmakokinetik untuk memperoleh parameter farmakokinetik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil farmakokinetik antibiotik minosiklin di dalam plasma setelah pemberian melalui oral dan untuk mengetahui keberadaan minosiklin dalam jaringan otot dada pada ayam broiler jantan. Adapun penelitian dengan tujuan tersebut sejauh pengetahuan peneliti belum pernah dilakukan.
132
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Materi dan Metode
Bahan penelitian Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah ayam broiler jantan (galur Lohman) yang dipelihara selama 5 minggu dengan berat badan 0,8
hingga 2 kilogram. Bahan-bahan yang digunakan adalah
Minocycline hidrochloride (Pharos, Indonesia), acetonitril (HPLC grade, Merck, Jerman), Metanol (HPLC grade, Merck, Jerman), aquabides (Ikhapharmindo P.Pharm., Lab Jakarta), Asam oxalat p.a (Merck, Darmstradt Germany), dibasik anhidrous sodium phospat (Na2HPO4) p.a (Merck, Darmstradt Germany), asam sitrat monohidrat p.a (Merck, Darmstradt Germany), disodium EDTA monohidrat p.a (Merck, Darmstradt Germany), dan heparin. Alat penelitian Alat-alat yang digunakan adalah seperangkat HPLC Shimadzu versi 6,1 dengan LC-10 Advp, Detector UV SPD-10A, Controller system SCL-10 Avp, oven CTO-10Avp dan degasser DGU-14, spet injeksi 1 ml, ultrasonic bath, injector, pompa penyaring, glass bekker, sentrifus, homogenizer, filter, mikro pipet, parafilm, gelas ukur, labu takar, pH meter, seperangkat alat handling, stop watch dan freezer. Metode penelitian Pembuatan larutan pereaksi dan perlakuan hewan Pembuatan larutan pereaksi Pembuatan fase gerak Menyiapkan 1,26 g oxalic acid dehidrate (reagent grade) dicampur dengan aquabidest sampai 1 liter dengan menggunakan volumetri flask. Setelah itu 600 ml larutan oxlalic acid ditambahkan dengan acetonitril 300 ml
133
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
dan methanol 100 ml kemudian dicampur. Dan solven ini hanya dapat digunakan dalam hari itu (AOAC, 1996) Pembuatan buffer Pembuatan buffer Mcllvin Menyiapkan 28,4 anhidrous sodium phospat (reagent grade) dicampur dengan aquabidest sampai 1 liter dengan menggunakan volumetri flask. Kemudian dibuat larutan ke dua dengan melarutkan asam sitrat monohidrat kedalam labu takar 1 liter dengan aquabides. Kedua larutan kemudian dicampur dengan komposisi: 1 liter larutan asam sitrat ditambahakan dengan 625 ml larutan sodium anhidrous phospat ke dalam labu takar 2 liter, selanjutnya tentukan PH dengan meneteskan HCl 0,1 M dan NaOH 0,1 M untuk mendapatkan PH 4 ± 0,05. (AOAC, 1996). Pembuatan buffer mcllvin edta Dengan menambahakan 60,5 gram disodium edta dihidrat ke dalam larutan buffer mcllvin (campur hingga larut) (AOAC, 1996) Perlakuan hewan percobaan Perlakuan hewan percobaan Kelompok I .Enam ekor ayam broiler dipelihara di dalam kandang litter dengan pakan bebas antibiotik dan koksidiostat (jagung kuning, dedak halus, tepung ikan, bungkil kedele, tepung tulang dan minyak goreng). Air minum disediakan ad libitum. Darah hewan diambil dari vena brachialis pada waktu sebelum penyuntikan (to), dan selanjutnya setelah penyuntikan pada menit ke-2 (t2), 5 (t5), 10 (t10), 30 (t30), dan jam ke-1 (1h), 2 (h2), 4 (h4) dan 8 (h8) setelah pemberian obat. Darah dikoleksi ditampung di dalam tabung yang berisi antikoagulan heparin dan disentrifus pada kecepatan 2500 G selama 20 menit. Plasma dipisahkan dan disimpan dalam pendingin (suhu -20 derajat C) untuk selanjutnya secara HPLC untuk dianalisis.
134
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Perlakuan hewan percobaan Kelompok II.Ayam dipelihara di dalam kandang litter dengan makanan yang bebas antibiotik dan koksidiostat (jagung kuning, dedak halus, tepung ikan, bungkil kedele, tepung tulang dan minyak goreng) dengan air minum ad libitum. Hewan yang memiliki berat badan berkisar 0,5 – 0,7 kg diambil secara acak sebanyak 7 ekor diberikan obat minosiklin 0,32 mg/ekor/hari dengan dicampur ke dalam air minum yang diberikan selama 4 minggu. Uji pendahuluan Orientasi tr (waktu retensi) minosiklin. Larutan yang digunakan terdiri dari larutan minosiklin dalam acetonitril, darah tanpa perlakuan (blanko), minosiklin dalam darah pada penambahan minosiklin secara spiking dan minosiklin dalam darah setelah pemberian per oral. Preparasi darah dengan penambahan minosiklin secara spiking dilakukan dengan cara 10 µl larutan minosiklin dimasukkan ke dalam microtube yang berisi 100 µl plasma (darah yang disentrifugasi 2500 G selama 20 menit, ditambahkan dengan asetonitril 200 µl kemudian disetrifugasi 2500 G selama 20 menit. Kemudian 20 µl aliquoat
diinjeksikan ke HPLC selama 5 menit.. Preparasi darah blanko dan sampel
setelah diberikan minosiklin dosis 100 mg/kg bb per oral dilakukan dengan mengambil 100 µl plasma ke dalam microtube yang telah diisi heparin, kemudian ditambahkan dengan 200 µl asetonitril dan disentrifugasi 2500 G selama 20 menit. Aliquoat sebanyak 20 µl diinjeksikan ke HPLC selama 5 menit. Pembuatan kurva baku minosiklin dalam asetonitril. Larutan standar (stock solution) dibuat untuk obat dengan melarutkan 108 mg obat minosiklin (MNC) ke dalam 100 ml aquabides (konsentrasi 1 mg/ml). Kurva standar dibuat larutan standar minosiklin MNC dengan cara pengenceran untuk memperoleh konsentrasi 1 µg/ml, 0,25 µg/ml, dan 0,05 µg/ml. Setiap konsentrasi disuntikkan sebanyak 20 µl dengan perulangan 3 kali ke HPLC untuk mendapatkan persamaan garis regresi linier. Pembuatan kurva baku minosiklin dalam plasma.Kurva standar plasma dibuat dengan cara spiking blank plasma. Plasma 100 µl ditambahkan 200 µl acetonitril. Larutan disentrifus 2500 rpm selama 20 menit, dan kemudian ditambahkan dengan larutan MNC sehingga terbentuk larutan plasma yang masing-masing mengandung minosiklin dengan konsentrasi 5, 10, 20 µg/ml. Masing-masing larutan disuntikkan sebanyak 20 µl dengan perulangan 3 kali ke HPLC untuk mendapatkan persamaan garis regresi linier.
135
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Penetapan perolehan kembali (recovery) dan kesalahan acak. Kurva standar plasma juga dibuat dengan cara spiking blank plasma. Plasma 100 µl ditambahkan 200 µl acetonitril. Larutan disentrifus 2500 G selama 20 menit, dan kemudian ditambahkan dengan larutan MNC sehingga terbentuk larutan plasma yang masing-masing mengandung minosiklin dengan konsentrasi 5, 10, 20 µg/ml. Masing-masing larutan disuntikkan sebanyak 20 µl dengan perulangan 3 kali untuk mendapatkan persamaan garis regresi linier. Perolehan kembali (recovery) dihitung dengan membagi kadar yang terukur dengan kadar yang sebenarnya dikalikan 100 %. Perolehan kembali =
kadar terukur X 100 % kadar sesungguhnya
Kesalahan acak atau CV (coefficient of variation) dihitung sebagai perbandingan simpangan baku terhadap rata-rata kadar terukur dikalikan 100 %. Kesalahan acak =
simpangan baku X 100 % rata-rata kadar terukur
Penetapan jadual sampling.
Dilakukan uji coba dengan menggunakan
minosiklin dengan cara pemberian per oral dengan dosis 100 mg/kg BB pada ayam broiler jantan. Darah di sampling lewat vena brachialis pada menit ke- 0, 2, 5, 10, 30 dan pada jam ke- 1, 2, 4, 6, 8. Darah sampel di preparasi seperti pada poin 2.1 aliquot yang diperoleh diinjeksikan pada sistem HPLC, kemudian dibuat kurva kadar minosiklin dalam plasma versus waktu untuk melihat fase absorpsi, distribusi, dan eliminasinya. Analisis plasma .
Kedalam 100 µl plasma sampel ditambahakan 200 µl
acetonitril, dicampur dan selanjutnya disentrifus 2500 G selama 20 menit. Aliquot sebanyak 20 µl disuntikkan ke HPLC dengan flow rate : 1 ml/menit pada suhu 30 derajat C; dan menggunakan detektor : UV 346 (Alsara, 2005). Analisis jaringan . Untuk mendapatkan area standar di dapat jaringan otot dada seberat (5 ± 0,05 g jaringan) dari ayam yang telah dibunuh (disembelih) pada umur 4 minggu yang kemudian ditambahkan larutan obat sebanyak 2,5 mg dalam 100 ml aquabidest. Kemudian ditambahkan larutan buffer 20 ml dan selanjutnya dihomogenisasi selama 30 detik. Bahan yang telah dihomogenisasi dipindahkan kedalam tabung sentrifus. Prob dibilas dengan buffer Mcllvin EDTA 2 ml sebanyak 2 kali yang kemudian dikumpulkan ke dalam tabung sentrifus tersebut. Kemudian dikocok dengan kecepatan tinggi selama 10 menit dan dilanjutkan dengan sentrifugasi 2500 G selama 10 menit. 136
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Supernatan dituang ke dalam tabung sentrifus yang kedua. Pada tabung sentrifus yang pertama ditambahkan 20 ml buffer Mcllvin EDTA kemudian dikocok dan disentrifugasi dengan 2500 G selama 10 menit kembali. Supernatan diambil dan dipindahkan ke dalam tabung ke dua (dilakukan sebanyak 3 kali). Supernatan yang terkumpul kemudian di sentrifus selama 20 menit (2500 G) yang dilanjutkan dengan 4500 G. Tuang hasil akhir supernatan ke dalam tabung sentrifus ke tiga dan kemudian disuntikkan ke dalam HPLC sebanyak 20 µl. Sedangkan untuk mendapatkan area sampel dengan cara jaringan otot dada seberat (5 ± 0,05 g jaringan) yang telah dipotong kecil kemudian dicampur atau ditambahkan larutan buffer 20 ml dan selanjutnya dilakukan seperti yang dilakukan untuk mendapatkan area standar (AOAC, 1996). Kadar minosiklin dalam jaringan dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut : Kadar sampel (µg/g sampel) = Area sampel X 0,5 µg minosiklin/g Area standar
Hasil dan Pembahasan Uji pendahuluan Hasil penetapan waktu retensi (tr) minosiklin Digunakan larutan blanko dan darah sampel setelah pemberian 100 mg/kg BB. Hasil kromatogram untuk kedua larutan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4. Kromatogram yang dihasilkan memberikan puncak minosiklin pada waktu retensi 1,908 dan pada darah blanko menunjukkan puncak pada 1,475 menit yang merupakan puncak dari matriks darah. Adanya matriks darah ini tidak mengganggu penetapan minosiklin dengan HPLC karena waktu retensinya berbeda dengan minosiklin. Hasil penetapan nilai perolehan kembali (recovery) dan kesalahan acak penetapan kadar minosiklin dalam plasma Menurut Lindholm (2004), suatu metode analisis untuk penelitian dengan sampel biologis dikatakan memenuhi syarat ketepatan apabila nilai rata-rata perolehan kembali berkisar 15 % (85 – 115%) dari nilai sebenarnya, sedangkan syarat ketelitian dipenuhi jika nilai koefisien variasi (CV) kurang dari 15 %. Nilai perolehan kembali yang diperoleh dari ketiga seri kadar berkisar 102 – 110 %. Nilai koefisien variasinya berkisar antara 6 – 8 % yang memenuhi syarat presisi yaitu kurang dari 15 %. Berdasarkan pernyataan Lindholm (2004) tersebut, nilai recovery dan CV yang diperoleh menunjukkan bahwa metode 137
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
penetapan kadar minosiklin utuh yang digunakan dalam penelitian ini memenuhi persyaratan ketepatan dan ketelitian yang baik. Uji utama Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui farmakokinetik minosiklin dalam darah setalah pemberian peroral pada ayam broiler jantan melalui nilai parameter farmakokinetik yang dihitung berdasarkan data kadar minosiklin dalam darah dengan menggunakan model satu kompartemen. Selain itu juga untuk mengetahui kadar minosiklin setelah hewan uji diberikan minosiklin selama 4 minggu. Pola absorpsi, distribusi dan eliminasi minosiklin dapat dikaji dari nilai parameter farmakokinetik. Parameter Cmaks (kadar puncak), AUC (luas area di bawah kurva kadar obat dalam darah terhadap waktu t menit, dan tmaks (waktu untuk mencapai kadar puncak) dapat digunakan untuk mengkaji pola absorpsinya (kecepatan jumlah obat yang diabsorpsi). Parameter Vd (volume distribusi) dapat digunakan untuk mengkaji pola distribusinya, sedangkan pola eliminasinya dikaji dari parameter K, t½ (waktu paruh eliminasi) dan klirens total (Cl). Data nilai parameter farmakokinetik yang diperoleh setelah pemberian per oral dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel.1.Nilai parameter farmakokinetik minosiklin setelah pemberian intravena, intramuskuler dan per oral dengan dosis 100 mg/kg BB (n = 6) Parameter Per oral (Mean ± SEM) Ka (/jam) 2,05 ± 1,18 Tmaks (jam) 3,14 ± 0,66 Cmaks (µg/ml) 10,38 ± 2,49 Vd (liter/kg bb) 26,74 ± 2,18 AUC (µg.jam/ml) 48,21 ± 9,51 t½ abs (jam) 1,05 ± 0,87 t½ elim (jam) 7,01 ± 3,02 Cl (liter/jam/kg bb) 2,64 ± 0,50 Absorpsi minosiklin Pola absorpsi minosiklin dapat diperkirakan berdasarkan nilai parameter Ka, Cmaks, AUC, tmaks dan t½ absorpsi yang diperoleh. Parameter Cmaks merupakan kadar maksimum (puncak) obat dalam darah yang dicapai pada waktu tertentu setelah pemberian obat. Saat kadar obat dalam plasma mencapai Cmaks, kecepatan absorpsi obat sama dengan kecepatan eliminsinya. Adapun kecepatan absorpsi (Ka) pada pemberian per oral (2,05 ± 1,18 /jam). Kecepatan absorpsi (Ka) dimungkinkan karena semakin cepat obat mencapai tempat 138
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
absorpsi maka semakin cepat mengalami absorpsi obat. Selain itu sifat fisika kimia obat juga menentukan cara transpor ialah bentuk dan ukuran molekul, kelarutan dalam air, derajat ionisasi dan kelarutan dalam lemak. Menurut Mutscner (1991), penyerapan atau absorpsi minosiklin sampai 90% bahkan Kelli dan Kanegis mengatakan hampir sempurna absorpsinya (95 – 100%). Parameter Cmaks merupakan kadar tertinggi minosiklin yang dicapai dalam plasma dan Tmaks adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai Cmaks. Konsentrasi plasma puncak menunjukkan konsentrasi obat maksimum dalam plasma setelah pemberian obat. Cp maks memberi suatu petunjuk bahwa obat cukup diabsorpsi secara sistemik untuk memberi respon terapeutik. Waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi maksimum tidak tergantung pada dosis tetapi bergantung pada tetapan laju absorpsi (Ka) dan eliminasi (K). Pemberian melalui rute per oral sebesar (10,38 ± 2,5 µg/ml). Sifat minosiklin yang lipofilik akan membuatnya mudah melewati membran menuju sirkulasi sistemik, namun akan dengan cepat didistribusikan hampir ke seluruh jaringan sehingga jumlah di dalam plasma menjadi kecil. Area di bawah kurva kadar obat (AUC) dalam plasma – waktu adalah suatu ukuran dari jumlah bioavailabilitas suatu obat. AUC adalah parameter yang mnggambarkan jumlah obat yang berhasil diabsorpsi di dalam tubuh. AUC mencerminkan jumlah total obat aktif yang mencapai sirkulasi. Pada pemberian per oral didapatkan (48,21 ± 9,51 µg jam/ml). Dengan diketahuinya nilai AUC maka kita dapat menentukan ukuran dari jumlah bioavailabilitas obat yang mencerminkan jumlah total obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dan berdasarkan hasil yang dicapai maka pemberian minosiklin. Menurut Shargel and Yu, (1988) obat-obat yang diberikan secara vaskuler seperti injeksi intravena bolus F = 1, oleh karenanya seluruh obat secara sempurna tersedia dalam sistemik. Sedangkan untuk semua rute pemberian ekstravaskuler memiliki nilai F ≤ 1. Pada penelitian ini didapatkan nilai bioavailabilitas setelah dilakukan pemberian minosiklin secara oral (0,10). Parameter tmaks merupakan waktu saat obat mencapai kadar maksimum (kadar puncak), tmaks tidak bergantung pada dosis melainkan bergantung pada tetapan laju absorpsi (Ka) dan tetapan eliminasi (K). Pemberian minosiklin dengan dosis 100 mg/kg BB memberikan nilai Tmaks secara per oral (3,14 ± 0,66 jam). Pemberian per oral, obat masih harus melewati saluran gastrointestinal untuk kemudian diabsorpsi menuju sirkulasi sistemik. Pada pemberian per oral pada antibiotik lainnya memiliki nilai Tmaks 0,62 jam (tetrasiklin) dan 0,35 jam (doksisiklin) lebih cepat dibandingkan dengan pemberian minosiklin. 139
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Minosiklin yang diberikan per oral terabsorpsi 97 % (1,05 jam). Hal ini disebabkan oleh banyak faktor terhadap absorpsi dari suatu obat diantaranya vili usus, keasaman lambung dan tebal dinding usus sehingga terlihat minosiklin yang diberikan secara oral terabsorpsi lama.
Distribusi minosiklin Pola distribusi minosiklin dapat digambarkan oleh parameter volume distribusi (Vd). Parameter volume distribusi (Vd) adalah parameter primer yang merupakan volume obat terlarut, menyatakan suatu faktor yang harus diperhitungkan dalam memperkirakan jumlah obat dalam tubuh dari konsentrasi obat yang ditemukan dalam kompartemen cuplikan. Obat dengan Vd yang besar lebih terpusat dalam jaringan ekstravaskuler dan sedikit dalam jaringan intravaskuler. Vd dipengaruhi oleh perubahan fraksi obat tak terikat dengan protein plasma. Kenaikan fraksi obat bebas akan menaikkan Vd. Oleh karena itu, ikatan obat dengan protein plasma atau jaringan perifer secara bermakna akan mempengaruhi Vd (Shargel and Yu, 1988). Volume distribusi (Vd) merupakan suatu parameter yang berguna untuk menilai jumlah relatif obat diluar kompartemen sentral atau dalam jaringan. Jumlah total obat dalam tubuh pada berbagai waktu pemberian dapat ditentukan dengan mengukur konsentrasi obat dalam darah dengan diketahuinnya Vd suatu obat. Nilai Vd minosiklin pada dosis per oral (26,74 ± 2,18 L/kg). Bila dibandingkan dengan yang dilakukan penelitian pada sapi 2,3 L/kg (Ziv dan Sulman, 1974), domba 1,32 L/kg (Wilson dan Green, 1986) dan anjing 1,95 L/kg (Wilson et al, 1985). Hal ini menunjukkan bahwa volume distribusi pada ayam broiler jantan lebih luas dari beberapa hewan lainnya. Cepatnya minosiklin terdistribusi ke jaringan memungkinkan lebih banyak obat yang tersedia untuk berinteraksi dengan reseptor untuk menghasilkan efek farmakologis yang lebih kuat, tetapi juga lebih banyak pula obat yang dapat berada pada jaringan yang terlibat dalam eliminasi seperti ginjal dan hati. Besarnya nilai Vd menunjukkan bahwa minosiklin banyak terdeposit dalam jaringan lemak serta jaringan ekstravaskuler lainnya tetapi jumlahnya dalam sirkulasi sistemik (intravaskuler) sedikit. Nilai Vd minosiklin yang cukup besar menandakan bahwa minosiklin sedikit terikat oleh protein plasma sehingga banyak berada dalam bentuk bebasnya (tidak terikat) sehingga cepat terdistribusi menuju ke hampir semua jaringan dikarenakan oleh sifatnya yang lipofilik.
140
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Eliminasi minosiklin Eliminasi obat meliputi fase metabolisme dan ekskresi yang dapat digambarkan oleh parameter klirens (Cl), tetapan kecepatan eliminasi (K) dan t½. Parameter klirens (Cl) adalah parameter farmakokinetik primer untuk fase eliminasi dan bermanfaat untuk menilai keefektifitasan pengurangan hayati obat, merupakan volume cairan (yang mengandung obat) yang dibersihkan dari obat per satuan waktu. Perubahan yang terjadi pada nilai Cl akan mempengaruhi nilai parameter sekunder, misalnya fe (fraksi obat yang terekskresikan dalam bentuk utuhnya), K dan t½. Klirens tubuh total merupakan suatu indeks pengukuran yang berguna pada pembersihan obat dan dapat digunakan dalam menghitung perubahan Vd dan t½. Nilai Cl melalui jalur pemberian pada per oral (2,64 ± 0,502 liter/jam/kg). sedangkan pada pemberian melalui intravena sapi 0,19 liter/jam/kg (Ziv dan Sulman, 1974), domba 0,20 liter/jam/kg (Wilson dan Green, 1986) dan anjing 0,35 liter/jam/kg (Wilson et al, 1985). Dengan demikian dapat diinformasikan bahwa nilai klirens pada ayam broiler jantan jauh lebih besar hal ini dimungkinkan fisiologis yang berbeda. Nilai klirens berbanding lurus dengan tetapan kecepatan eliminasi obat, sehingga bila obat memiliki tetapan kecepatan eliminasi yang tinggi, maka klirensnya juga besar. Parameter K (tetapan kecepatan eliminasi) yang termsuk parameter farmakokinetik sekunder merupakan tetapan kecepatan yang menggambarkan hilangnya obat dari sirkulasi sistemik. Nilai K minosiklin pada pemberian per oral (0,22 ± 0,024 /jam) dengan dosis 100 mg/kg BB. Nilai K dipengaruhi oleh parameter klirens (Cl), dan Vd. Parameter sekunder lainnya yang digunakan untuk telaah pola eliminasi adalah t½ yang menunjukkan waktu saat konsentrasi obat telah separuhnya dieliminasi dari sirkulasi sistemik. Waktu paruh (t½) berkaitan dengan respon farmakologis, semakin panjang t½nya maka kerja obat akan semakin lama, tetapi juga memungkinkan terjadinya konsentrasi toksik. Pemberian minosiklin dengan per oral (7,01 ± 3,02 jam). Pada penelitian ini, 97 % obat minosiklin teriliminasi dari tubuh ayam broiler jantan selama 35 jam (per oral).
Akumulasi minosiklin di beberapa jaringan Pada penelitian yang salah satu tujuan untuk mengetahui seberapa banyak akumulasi obat didalam jaringan dengan memberikan minosiklin sebanyak
0,32
mg/ekor/hari yang diberikan melalui air minum selama 4 minggu. Adapun data jumlah minosiklin yang berada dalam jaringan dapat dilihat pada Tabel 3. 141
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Tabel 3. Data jumlah minosiklin yang berada dalam jaringan (otot dada) setelah diberi minosiklin 0,32 mg/ekor/hari dalam air minum Jaringan Ayam Broiler Jantan Mean SEM 1 2 3 4 5 6 Otot 0,48 4,25 5,38 6,25 5,45 5,76 4,6 0.7 (µg/g) Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwasanya ayam broiler jantan yang diberi minosiklin 0,32/ekor/hari yang diberikan setiap hari melalui air minum selam 4 minggu dan dengan mengkonsumsi tiap 5 g jaringan akan mengandung obat (23 µg/g otot dada). Dan jika dibandingkan dengan pemberian antibiotik yang sudah diteliti oleh Anadon et al., 1993; 1994. Minosiklin lebih besar keberadaan di dalam jaringan (otot dada) dibandingkan dengan tetrasiklin dan doksisiklin, hal ini disebabkan karena minosiklin lebih terikat dalam jaringan dibandingkan dengan tetrasiklin dan doksisiklin.
Kesimpulan Dari hasil penelitian tentang profil farmakokinetik minosiklin pada ayam broiler jantan dapat ditarik kesimpulan bahwa farmakokinetik minosiklin dalam plasma setelah pemberian per oral dosis 100 mg/kg bb (Vd, AUC, t½ eliminasi dan Cl) dan akumulasi minosiklin di dalam jaringan selama 4 minggu dengan pemberian obat minosiklin 0,32/ekor/hari melalui air minum menunjukkan adanya akumulasi obat dalam jaringan otot dada 4,6 ± 0,7 µg/g. Daftar Pustaka Anadon, A; Martinez-Larranaga, M.R. Diaz, M.J., Martinez, M.A., 1993, Bioavailability and residues of tetracycline and doxycycline in broiler chicken. In: EURORESIDUES II. Confrence on Residues of Veterinary drugs in food, Veldhoven (The Nrtherlands), 3 – 5 May, Proceedings, Vol.I, PP. 138 – 142 Anadon, A., Martinez – Laranaga, M.R., Diaz, M.J., Bringas, P., Martinez, M.A., Fernandez – Cruz, M.L., Iturbe, J., Martinez. M.A. Pharmacokinetics of doxycycline in broiler chickens. Avian Pathol. 23, 79 – 90. Anonim. 1996. Official Methods of Analysis of AOAC International, 16th ed. Food composition, Additives, Natural contaminants. Vol 1 & II. Pub. By AOAC International. Maryland. USA. Alsarra, I.A., Niazy, E.M., Al-Sayed, Y.M., Al-Khamnis & Ibrahim, M.E. 2005. High Performance Liquid Chromatographic for determination of doxyxicline in huaman plasma and its application in pharmacokinetics studies. Saudi Pharm. J., Vol 13, No.1 Jan 2005. 142
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Cauwerts K, Pasmans F, Devriese LA, Haesebrouch F, Decosteme A (2006). Cloacal lactobacillus isolates from broiler often display resistance toward tetracycline antibiotics. Faculty of veterinary, Belgium: 284-3. Chopra, I and Robert, M. 2001. Tetracycline antibiotics: Mode of action, application, moleculer biology, and epidemiology of bacterial resistances. Microbiol. Mol. Biol. Rev, June,. Vol. 65. No. 62.232-260. Debernet H, Delmas C, Bourtland R and Larang; 1983. Comparative activity of tetracycline against Haemophillus Pathol Diol. Paris; 413-8. Kazim M. Puri SK and Dutta GP (1979). Schicontozidal activity of antobiotics against blood induced Plasmodium gallinaceum infection. J. Chemotherapy; 25 (4): 2226. Kelly, R.G., and Kenegis, L.A. 1967. Metabolism and Tissue Distribution of Radioisotopically Labeled Minocycline. Toxical Appl Pharmacol 11: 171 - 83 Lindholm, J.grug, Development and Validation of HPLC mthods for analytical and preparative purposes, Disertation, ACTA Universitas Upsaliensis, Uppsala, Swedia Lin MY, Chiang YC, Lin KY and Sung HT, 1994. Susceptibility of Avian mycoplasma isolates from broilers often display resistance toward tetracycline antibiotics. Department of veterinary medicine. National Pingkang Polytechnic institute, Taiwan, Republic of China. Mutschler, E. 1991. Arzneimittervirkungen, Rvolling neubearbeitete und erweiterte Auflage, diterjemahkan oleh Dr. Mathilda B Widianto dan Dr. Anna Setiadi Ranti, dengan judul Dinamika Obat, Edisi kelima, 5 – 51 Penerbit ITB. Bandung. Pijpers, A; Schoevers, EJ; Van Gogh, H; Van Leengoed, LAMG; Visser, IJR; Van Miert, ASJPAM and Verheijden, JHM (1990). The Pharmacokinetics of oxytetracycline following intravenous administration in healthy and diseased pigs. J. Vet. Pharmacol. Ther., 13: 320-326. Schneider, M. and Chen, G. 2004. Time-resolved luminescence screening assa for tetracyclines in chicken muscles. Analitica Chemica Acta : Aug. 2004. Senyuva, H., Ozden, T., and Sarica, D.Y. 2000. High Liquid Chromatographic Determination of Oxytetracycline residue in cured meat products. Turk. J. Chem. 24 (2000). 395 – 400. Shargel, L. and Yu, A.B.C. 1988. Biofarmasetika dan Farmakokinetik Terapan. Cetakan ke-2. Airlangga University Press.
143
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Wilson, R.C., Kitzman, J.V., Kemp, D. T, Goetsch, D. D. 1985. Compartmental and Noncompartmental Pharmacokinetic Analisis of Minocycline Hydrochloride in The Dog. AJVR 46 (6) : 1316 – 18. Ziv, G., and Sulman, F.G. 1974 . Analysis of Pharmacokinetic Properties of Nine Tetracycline Analysis in Dairy Cows and Ewes. AJVR 35: 1197 - 1201
144
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
PENGEMBANGAN BIOTEKNOLOGI UNTUK PEMULIAAN TANAMAN
Endang Semiarti Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281, Indonesia, e-mail:
[email protected] Abstrak Abad 21 disebut sebagai era bioteknologi moderen dengan telah ditemukan dan diaplikasikannya teknik biologi molekular/rekayasa genetika. Bioteknologi tanaman dibedakan menjadi 2 macam: bioteknologi konvensional (tradisional) dan bioteknologi moderen (nonkonvensional). Untuk pemuliaan tanaman (plant breeding) bioteknologi konvensional diterapkan untuk mendapatkan sifat unggul yang diharapkan dari tanaman dengan persilangan secara tradisional antar tanaman (selective breeding), sedangkan bioteknologi moderen diterapkan untuk mendapatkan kultivar tanaman dengan sifat unggul dengan teknik moderen: kultur jaringan, biologi molekular/rekayasa genetika atau kombinasi dari kedua teknik tersebut. Pemuliaan telah dilakukan pada bebagai tanaman hortikultura (tanaman penghasil bahan pangan pokok, buah, sayuran, tanaman hias dan tanaman obat), tanaman pakan ternak dan tanaman kehutanan, dengan tujuan untuk 1) memperbaiki reproduksi (kultur jaringan, kloning), 2) mendapatkan kultivar tanaman tahan terhadap hama dan penyakit, 3) tanaman toleran terhadap kondisi lingkungan yang tidak baik (cekaman panas, kadar garam, kandungan logam berat), 4) meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil panen. Dalam makalah ini akan dibahas proses pengembangan bioteknologi tanaman, aplikasi dan perspektifnya. Kata kunci: Bioteknologi konvensional, bioteknologi moderen, tanaman hortikultura, pakan ternak, tanaman hutan, pemuliaan tanaman.
Pendahuluan Populasi penduduk dunia sekarang ini telah mencapai lebih dari 6 milyar jiwa (Shelton, 2003). Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dunia yang semakin pesat maka kebutuhan akan pangan, sandang dan papan juga semakin meningkat. Oleh karena itu diperlukan usaha meningkatkan hasil panen dan kualitas tanaman untuk memenuhi ketiga kebutuhan pokok tersebut. Apakah bioteknologi itu? Bioteknologi ialah suatu teknologi yang memanfaatkan sistem hayati (agen biologi) untuk menghasilkan barang dan jasa bagi peningkatan kesejahteraan manusia.
Bioteknologi ini sebenarnya merupakan pengembangan dari
berbagai ilmu dasar biologi, antara lain: biologi molekuler, mikrobiologi, genetika, biokimia dan kultur jaringan. Ilmu-ilmu inipun berkaitan erat dengan ilmu-ilmu yang lain seperti anatomi, embriologi, taksonomi dan fisiologi (Schmid, 2003).
145
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Pemanfaatan bioteknologi bagi kehidupan manusia sesungguhnya telah dimulai sejak 10.000 tahun yang lalu, walaupun caranya masih sangat sederhana (Shelton, 2003). Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama perkembangan beberapa ilmu dasar serta teknik-teknik biologi molekuler, maka bioteknologi berkembang pesat, sehingga sekarang dapat dibedakan adanya bioteknologi tradisional/klasik/konvensional dan bioteknologi moderen (non- konvensional). Penerapan bioteknologi klasik biasanya melalui pemanfaatan mikroorganisme secara langsung dan melibatkan proses yang sederhana. Dalam kehidupan sehari-hari, bioteknologi konvensional seringkali diterapkan pada proses pembuatan makanan dan minuman, seperti tempe, tape, nata de coco, dan bir. Selain itu, bioteknologi konvensional juga diterapkan pada pembuatan produk obat, seperti vaksin dan antibiotika. Penerapan bioteknologi moderen telah dilakukan pula di berbagai bidang: pertanian, kehutanan, peternakan, perikanan, dan kesehatan (Schmid, 2003). Pada prinsipnya bioteknologi dilakukan untuk tujuan kebaikan. Bioteknologi tanaman, umumnya dilakukan di bidang pertanian dan kehutanan untuk meningkatkan hasil panen dan kualitas tanaman hortikultura yang meliputi tanaman pangan penghasil bahan makanan pokok, buah dan sayuran, serta tanaman hias dan tanaman obat, serta usaha perbaikan sifat tanaman hutan. Usaha ini disebut pemuliaan tanaman (plant breeding) (Schmid, 2003). Mengingat pada aras molekular semua organisme memiliki kesamaan pada penyusun materi genetiknya yaitu berupa asam deoksiribonukleat (AND=DNA) berupa gen-gen penyandi sifat keturunan, maka menyebabkan gen-gen tersebut dapat dipertukarkan antar organisme (Shelton, 2003). Ini mendasari teknologi transfer gen dan rekayasa genetika yang merupakan metode yang sangat menjanjikan untuk mendapatkan kultivar tanaman dengan sifat tertentu, tidak seperti pada persilangan tradisional kita akan mendapatkan tanaman hibrida yang membawa gabungan sifat dari kedua tetuanya. Bioteknologi moderen juga dapat diterapkan pada tanaman untuk mengatasi masalah reproduksi, misalnya tanaman yang bersifat tidak kompatibel antara pollen dan sel telur pada ovariumnya maka perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan aplikasi teknik kultur jaringan untuk memperbanyak tanaman secara massal dan seragam. Perbaikan kualitas bahan pangan dapat dilakukan dengan cara antara lain pengawetan bahan pangan dengan iradiasi sinar gamma, pembuatan tanaman pangan tahan hama dan penyakit dengan system induksi infeksi non-patogen bacteria atau virus, atau pembuatan kultivar baru tanaman unggul dengan rekayasa genetika (penyisipan gen dengan teknologi tanaman transgenik). 146
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Perkembangan Bioteknologi Tanaman Bioteknologi tanaman secara konvensional telah dilakukan pertama kali di Mexico pada tanaman jagung yang berasal dari jagung liar yang disebut teosinte yang memiliki struktur reproduksi kecil. Dengan seleksi hibrida dari beberapa kali perkawinan silangnya akhirnya diperoleh jagung seperti yang sekarang ini (Shelton, 2003). Tomat dan kentang di Amerika selatan, tomat yang berukuran kecil seperti anggur dan kentang dengan kandungan glikoalkaloid tinggi yang menjadikan berasa pahit dapat diperbaiki dengan seleksi hasil persilangan konvensionalnya sehingga didapatkan tomat yang besar dan manis serta kentang yang tidak pahit seperti sekarang.
Secara sederhana sebenarnya nenek
moyang kita telah melakukan usaha pemuliaan tanaman dengan bioteknologi konvensional dengan melakukan persilangan-persilangan sederhana sehingga dihasilkan kultivar unggul. Hal ini mulai didokumentasikan pada tahun 1800an oleh Gregor Mendel seorang rahib dari Austria yang mengadakan persilangan –persilangan kacang kapri yang akhirnya menjadi dasar penurunan sifat genetika yang dikenal dengan Hukum Mendel. Pada tahun 1900an para peneliti mulai membuat persilangan buatan dengan metode yang sama seperti Mendel dengan mengawinkan tanaman yang satu dengan tanaman lain yang kompatibel untuk mendapatkan sifat-sifat baru. Di awal tahun 1930an para pemulia tanaman mengembangkan metode “embryo rescue” yaitu menyelamatkan embryo hasil persilangan tanaman yang secara normal tidak berhasil tumbuh menjadi individu baru, yaitu dengan pertolongan pemeliharaan di laboratorium Pada tahun 1950-an para pemulia tanaman melakukan metode radiasi untuk membuat pool mutant dalam rangka meningkatkan variasi genetic tanaman. Seleksi dan karakterisasi mutan-mutan pada tanaman herba Arabidopsis thaliana oleh Prof. Redei membuka pintu bagi penelitian biologi molecular. Pada tahun 2000 seluruh sekuen genom dari tanaman Arabidopsis tersebut telah selesai disekuen dan dipublikasikan di majalah Nature. Tanaman Arabidopsis dinobatkan sebagai tanaman model untuk penelitian biologi molecular dan sekuen lengkap dari gen-gennya dengan mudah dapat diakses di GenBank sehingga menjadi referensi untuk para peneliti biologi molecular dan rekayasa genetika. Dengan asumsi bahwa semua gen yang ada pada tanaman Arabidopsis pasti ada gen pasangan (heterolog)nya pada tanaman lain.
147
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Penelitian bioteknologi tanaman untuk pemuliaan tanaman telah banyak dilaporkan antara lain pembuatan padi BT Vietnam oleh Ho et al. (2006) yang menemukan bahwa fusi translasional gen Bt hibrida menyebabkan resistensi melawan hama pengebor batang kuning dalam kultur elit padi transgenic Vietnam, ternyata tanaman transgenic sangat aktif melawan hama pengebor batang kuning dan belang. Nel et al. (2006) berhasil mengisolasi non-patogenik Fusarium oxysporum dan bakteri pengontrol lainnya untuk melawan penyakit layu fusarium pada pisang. Untuk menciptakan kultivar baru tanaman florikultur, Narumi et al. (2008) menggunakan teknik baru untuk menginaktifkan gen (gene silencing) dengan metode/sistem CRES-T (Chimeric Repressor Silencing Technology) yaitu dengan memfusikan bagian represor spesifik suatu transcription faktor yang terdiri dari 12 asam amino ke ujung C dari faktor transkripsi untuk pembentukan serasi pada perhiasan bunga. Hasilnya menunjukkan fenotip defektif (loss of function). Mitsuda et al. (2008) telah mempublikasi database FioreDB untuk peneliti yang ingin mendapatkan detil informasi tentang system CRES-T tersebut bagi tanaman hias.
Rekayasa Genetika Tanaman Rekayasa genetika adalah salah satu bentuk dari bioteknologi yang umumnya mengisolasi dan membuat copu dari suatu gen pada suatu organisme (tanaman, hewan, mikrobia), kemudian mentransfer gen tersebut ke organisme lainnya. Pada rekayasa genetika tanaman, umumnya pertama dibuat konstruksi fragmen/potongan DNA yang kecil kemudian disisipkan ke suatu tanaman tertentu untuk mendapatkan tanaman dengan sifat baru seperti yang diinginkan yaitu sifat yang disandi oleh gen yang telah disisipkan tadi. Hal ini sangat kontras dengan pemuliaan tanaman secara tradisional yang menggabungkan semua gen dari kedua tetuanya, hasilnya selain sifat yang diinginkan juga sifat-sifat lain yang tidak diinginkan ikut muncul. Keunggulan dari teknik rekayasa genetika, kita dapat memindahkan satu gen saja yang menyandi sifat penting yang kita inginkan untuk diekspresikan pada kultivar barunya. Selain itu keuntungan yang lain adalah gen ini dapat ditransfer ke spesies tanaman yang hubungan kerabatnya jauh, bahka ke organisme non tanaman. Hal ini karena semua organisme memilkik kesamaan kode untuk DNA dan sintesis protein sebagai dasar dari fungsi kehidupan. Pada tahun 1972, Hubert Boyer dan Stanley Cohen berhasil mentransfer gen dari organisme tertentu ke bakteri dan menghasilkan bakteri yang dapat mengekspresikan gen 148
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
asing tersebut dan menghasilkan protein. Penemuan ini mendasari penggunaan bioteknologi untuk menghasilkan insulin sintetis yang sangat berguna menyembuhkan penderita diabetes mellitus, dan dijadikan sebagai starting pont bagi bioteknologi moderen (Shelton, 2003). Rekayasa genetika tanaman dimulai pada akhir tahun 1970-an oleh Mary-Dell Chilton dan koleganya menggunakan bakteri tanah Agrobacterium tumefaciens sebagai vector. Agrobacterium memiliki Tumor inducing (Ti) plasmid dengan suatu segmen DNA yang dapat ditransfer ke sel tanaman disebut T-DNA (DNA Transfer). Gen asing dapat disisipkan pada T-DNA dan oleh T-DNA tersbut akan ditransfer dan berintegrasi ke kromosom tanaman untuk kemudian diekspresikan seperti gen lainnya pada tanaman tersebut. Teknik ini disebut sebagai transfer gen secara biologis (dengan agen biologi). Selain dengan Agrobacterium, gen asing dapat ditransfer secara langsung dengan 2 cara: 1) menggunakan agen kimia Polyethylene glycol (PEG) atau CaCl2 DNA ke protoplas (sel yang telah dihilangkan dindingnya, 2) secara fisik, yaitu fragmen DNA ditembakkan menggunakan particle bombardment atau elektroforasi (membuat lubang pada membran plasma sel menggunakan arus listrik bervoltase tinggi 1,8 kV-2,5 kV). Tetapi sampai sekarang transformasi gen ke tanaman menggunakan A. tumefaciens masih tetap popular digunakan, karena tekniknya mudah dan murah dibandingkan teknik lainnya (Reece, 2004). Aplikasi teknik rekayasa genetika untuk pemuliaan tanaman bisa juga dikombinasi dengan teknik persilangan konvensional, yaitu setelah didapatkan hibrida unggul hasil persilangan konvensional kemudian dilakukan penyisipan gen tertentu dengan rekayasa genetika untuk mengekspresikan gen penyandi sifat unggul untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen tanaman tersebut (Collins and Petolino, 1984; Schmid, 2003). Sampai saat ini kualitas tanaman yang telah berhasil ditingkatkan antara lain kandungan nutrisi, rasa (taste), aroma buah, resistensi terhadap hama-penyakit dan toleransi terhadap kondisi lingkungan (kadar garam, logam berat, suhu, kekeringan). Semiarti et al. (2007) menggunakan mediator Agrobacterium tumefaciens telah berhasil menyisipkan gen Arabidopsis KNAT1 homeobox gen ke embrio anggrek dan menyebabkan pertumbuhan multitunas pada tanaman anggrek transgenik. Tanaman yang telah disisipi gen asing dan dapat mengekspresikannya disebut tanaman transgenik. Langkah-langkah pembuatan tanaman transgenik adalah sebagai berikut (Reece, 2004): 1) Isolasi DNA dan/RNA, 2) Pemotongan DNA dengan ensim 149
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
restriksi, 3) Isolasi gen dari genom tanaman/Isolasi cDNA(complementary DNA) dari mRNA, 5) Kloning genom DNA/ cDNA ke dalam bakteri E.coli, 6) Amplifikasi cDNA, gen/fragmen DNA dengan metode polymerase chain reaction (PCR), 7) Pembuatan konstruksi plasmid untuk pembuatan tanaman transgenic, 8) Transformasi plasmid yang berisi gen asing ke vektor (Agrobacterium tumefaciens), 9) Transformasi Ti plasmid yang berisi cDNA/ gen asing ke tanaman target (T0), 10) Seleksi tanaman transgenic, 11) Isolasi tanaman transgenik (T1) dan karakterisasinya, 12) pemeliharaan tanaman secara in vitro dengan teknik kultur jaringan dan ex vitro di rumah kaca.
Teknik Kultur Jaringan Tanaman Kultur jaringan adalah suatu teknik perbanyakan tanaman dengan cara menumbuhkan jaringan atau sel secara aseptis pada medium buatan di dalam botol untuk menghasilkan tanaman baru dengan jumlah yang besar dan memiliki sifat yang sama dengan induknya (klon) (George and Sherrington, 1984). Selain untuk perbanyakan tanaman secara massal, teknik kultur jaringan ini juga sangat diperlukan untuk meregenerasikan sel-sel tanaman yang telah disisipi dengan gen asing menjadi tanaman utuh yang disebut tanaman transgenic (Schmid, 2003). Tergantung dari bahan tanaman (eksplan) yang digunakan, terdapat beberapa teknik kultur jaringan tanaman, yaitu: 1) Kultur ujung batang (shoot-tip culture): apabila eksplan yang digunakan adalah potongan ujung batang, 2) Kultur ujung akar (root-tip culture): eksplan adalah ujung akar, 3) Kultur daun (leaf culture): eksplan yang digunakan adalah potongan daun (leaf disc), 4) Kultur kuncup bunga dan segmen tangkai bunga (Flower bud and segment culture, 5) Kultur batang (Stem culture), 6) Kultur inflorescences: eksplan adalah tangkai bunga aadan bunga yang masih muda, 7) Kultur sel: dari suspensi sel, 8)Kultur protoplas: protoplas diambil dari daun atau akar, 9) Fusi sel/protoplas: yaitu menggabungkan protoplas dari 2 tanaman yang berbeda. Plantlet hasil fusi protoplas telah berhasil diperoleh dari hasil fusi protoplas antara tanaman Nicotiana glauca dan N. langsdorffii, juga antara tanaman Arabidopsis dan Brassica menjadi Arabidobrassica (George and Sherrington, 1984). Dengan teknik kultur jaringan ini keuntungan yang didapatkan ialah antara lain dapat dihasilkan bibit tanaman dengan waktu relatif cepat, jumlah besar dan sifat yang seragam, identik secara genetik tanpa memerlukan lahan yang terlalu luas (cukup di dalam skala 150
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
laboratorium). Teknik terbaru di dalam kultur jaringan tanaman ini ialah usaha untuk mendapatkan galur murni tanaman dengan sifat unggul melalui kultur serbuk sari (microspore culture).
Keuntungan dan Resiko Keuntungan penggunaan bioteknologi moderen tidak dipungkiri akan sangat besar manfaatnya bagi kita para pemulia tanaman yaitu didapatkan kultivar-kultivar unggul seperti yang diharapkan. Untuk resiko, setiap teknologi pasti beresiko. Untuk bioteknologi moderen dengan rekayasa genetika, resiko yang kemungkinan terjadi adalah tanaman menjadi resisten terhadap pestisida, terjadi gene flow, dan hak kekayaan intelektual (HAKI).
Perspektif Di waktu yang akan datang pengembangan bioteknologi tanaman moderen akan diarahkan ke: 1) pemanfaatan tanaman sebagai pabrik penghasil bahan obat-obatan untuk kesehatan; 2) pemanfaatan tanaman sebagai sumber energi alternatif; 3) pemanfaatan tanaman untuk fitoremediasi; 4) tanaman sebagai biomaterial (pewarna, tinta, bioplastik, dll). Diharapkan rekayasa genetika dapat digunakan sebagai suatu terobosan baru untuk menciptakan kultivar tanaman unggul dengan berbagai manfaat seperti yang telah disebutkan di atas.
Daftar Pustaka Collins, G.B. and Petolino, J.G. (1984). Application of Genetic Engineering to crop improvement. Martinus Nyhoff/DR. W. Junk Publishers. Boston. George, E.F. and Sherrington, P.D. (1984). Plant propagation by tissue culture. Handbook and directory of commercial laboratories. Exegetics Ltd. England. Ho, N.H. ; Baisakh, N. ; Oliva, N. ; Datta, K. ; Frutos, R. ; Datta, S.K. (2006). Translational fusion hybrid Bt genes confer resistance against yellow stem borer in transgenic elite Vietnamese rice (Oryza sativa L.) cultivars. Crop Science, online, 01 Mar 2006. Mitsuda, N., Umemura, Y., Ikeda, M., Shikata, M., Koyama, T., Matsui, K., Narumi, T., Aida, R., Sasaki, K., Hiyama, T., Higuchi, Y., Ono, M., Isuzugawa, K., Saitoh, K., Endo, R., Ikeda, K., Nakatsuka, T., Nishihara, M., Yamamura, S., Yamamura, T., Terakaw, T., Ohtsubo, N., Ohme-Takagi, M. (2008). FioreDB: a database of 151 Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
phenotypic information induced by the chimeric repressor silencing technology (CRES-T) in Arabidopsis and floricultural plants. Plant Biotechnology 25: 37-43. Narumi, T., Aida, R., Niki, T., Nishijima, T., Mitsuda, N.,Hiratsu, K., Ohme-Takagi, M., Ohtsubo, N. (2008). Chimeric AGAMOUS repressor induces serrated petal phenotype in Torenia fournieri similar to that indiced by cytokinin application. Plant Biotechnology 25: 45-53. Nel, B., Steinberg, C., Labuschagne, N., and Viljoen, A. 2006. The potential of nonpathogenic Fusarium oxysporum and other biological control organisms for suppressing fusarium wilt banana, Plant Pathology 55(2) 217-223. Reece, R. J. (2004). Analysis of Genes and Genomes. John Wiley & Sons, Ltd. England. 469 p. Schmid, R. D.. (2003). Pocket Guideto Biotechnology and Genetic Engineering. WILEYVCH Verlag GmbH &Co., Weinheim. 350 p. Semiarti, E., Indrianto, A., Purwantoro, A., Isminingsih, S., Suseno, N., Ishikawa, T., Yoshioka, Y., Machida, Y. and Machida. C. (2007). Agrobacterium-mediated transformation of the wild orchid species Phalaenopsis amabilis. Plant Biotechnology, 24(3): 265-272. Shelton, A.M. (2003). The role of plant biotechnology in the world’s food systems. New York State Agricultural Experiment Station.
152
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
PENGARUH INFEKSI CACING Ascaridia galli TERHADAP ELEKTROLIT DAN GAMBARAN DARAH AYAM BURAS (Gallus domesticus) Bambang Ariyadi, Wihandoyo Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Intisari Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh infeksi telur cacing Ascaridia galli terhadap elektrolit dan gambaran darah ayam buras (Gallus domesticus). Penelitian ini menggunakan 20 ekor ayam yang berumur 1 hari sebagai hewan percobaan. Ayam dikelompokkan dalam dua kelompok (kontrol dan perlakuan) yang masing-masing berjumlah 10 ekor. Telur berembrio cacing Ascaridia galli diperoleh dengan cara melakukan embrionisasi telur cacing Ascaridia galli dengan menggunakan metode Fairbrain yang dimodifikasi. Kelompok perlakuan dilakukan infeksi telur berembrio cacing Ascaridia galli sebanyak 500 telur cacing/ekor ayam, sedangkan kelompok kontrol tidak diinfeksi. Semua ayam diadaptasikan dalam kandang baterai selama 2 minggu, diberi pakan campuran antara jagung, dedak dan konsentrat untuk ayam. Sebelum dilakukan infeksi, semua ayam kelompok kontrol dan kelompok perlakuan diberi obat cacing untuk menghindari kemungkinan infeksi cacing dari lingkungan. Satu hari sebelum dilakukan infeksi, dilakukan pengambilan sampel pertama. Sampel ini berupa feses ayam untuk pemeriksaan parasitologi dan pengambilan darah untuk pemeriksaan elektrolit dan pemeriksaan darah rutin. Pemeriksan feses dilakukan dengan metode natif, sentrifus dan McMaster. Pemeriksaan elektrolit meliputi pemeriksaan konsentrasi sodium, potasium dan potasium. Pemeriksaan darah rutin meliputi penghitungan jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, nilai packed cell volume (PCV), total protein plasma ,total leukosit dan diferensial leukosit yang meliputi sel heterofil, sel eosinofil, sel basofil, monosit dan limfosit. Pada hari ke 7, 14, 21 dan 28 setelah infeksi, dilakukan pengambilan sampel berikutnya. Pada penelitian ini, infeksi 500 telur cacing berembrio Ascaridia galli menyebabkan penurunan kadar potasium (K) serum pada hari ke 21 dan 28 setelah infeksi (P<0,05), kenaikan kadar Magnesium (Mg) serum pada hari ke 21 setelah infeksi (P<0,05) dan tidak memberikan pengaruh terhadap kadar sodium (Na) serum setelah infeksi. Hasil penelitian ini menyebabkan penurunan terhadap jumlah eritrosit pada hari ke 7 dan 14 setelah infeksi (P<0,05), penurunan terhadap nilai packed cell volume pada hari ke 14 setelah infeksi (P<0,05), kenaikan nilai total protein plasma pada hari ke 7 setelah infeksi (P<0,05), kenaikan nilai absolut sel eosinofil pada hari ke 14 setelah infeksi (P<0,05), tidak memberikan pengaruh terhadap kadar hemoglobin, jumlah leukosit, nilai absolut sel heterofil, nilai absolut limfosit dan nilai absolut monosit. Pada penelitian ini, dari infeksi 500 telur cacing berembrio Ascaridia galli pada hari ke28 setelah infeksi, rerata cacing yang hidup yaitu 13 ekor cacing. Kata-kata kunci : Telur Cacing A. galli, Elektrolit, Darah, Ayam buras. . 153
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Pendahuluan Infeksi cacing Nematoda Ascaridia galli (A. galli) (Schrank 1788) pada unggas tersebar luas di seluruh dunia pada unggas domestikasi maupun unggas liar (Soulsby, 1982). Infeksi dari cacing Ascaridia galli seringkali menyebabkan penurunan tingkat pertumbuhan dan penurunan berat badan (He et al., 1990). Hal ini kemungkinan dihubungkan dengan kerusakan mukosa intestinum yang menyebabkan kehilangan darah dan menyebabkan infeksi sekunder (Ackert dan Herrick, 1928). Berat ringannya kerusakan mukosa intestinum tergantung pada jumlah cacing di dalam intestinum (Ikeme, 1971a). Infeksi cacing menyebabkan terjadinya perdarahan kronis, karena larva yang bermigrasi menimbulkan kerusakan gastrointestinal diantaranya gastritis, enteritis, dan ulcerasi tracktus digestivus yang akhirnya menyebabkan suatu keadaan yang disebut kehilangan darah kronis (Coles, 1986). Infeksi cacing juga menyebabkan terjadinya pengurasan cairan makanan dan penyumbatan usus oleh cacing gelang dan cacing pita serta adanya bungkul-bungkul pada usus (Tabbu, 2002). Anwar dan Rahman (2002), telah melakukan penelitian terhadap 100 ekor ayam White Leghorn yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berisi 50 ekor ayam sebagai kelompok kontrol dan kelompok kedua berisi 50 ekor ayam sebagai kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan diinfeksi dengan 350 telur A. galli yang berembrio, sedangkan kelompok kontrol tidak diinfeksi. Penelitian tersebut menyatakan bahwa terjadi penurunan yang signifikan (P<0.05) terhadap kadar elektrolit sodium, potasium dan kalsium dalam serum pada hari ke-21 dan ke-40 setelah infeksi, sedangkan kadar elektrolit magnesium dan fosfor dalam serum tidak mengalami perubahan yang signifikan. Infeksi cacing A. galli biasanya menimbulkan kerusakan yang parah pada intestinum selama bermigrasi pada fase jaringan. Migrasi ini terjadi di lapisan mukosa intestinum dan menyebabkan terjadinya enteritis hemoragika, gangguan proses digesti dan penyerapan nutrien, sehingga akan berpengaruh terhadap elektrolit dan gambaran darah ayam (Tabbu, 2002). Oleh karena itu perlu diadakan penelitian untuk mengevaluasi pengaruh infeksi cacing A. galli terhadap kadar elektrolit (sodium, potasium dan magnesium) dan gambaran darah rutin pada ayam yang meliputi jumlah eritrosit, kadar
154
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
hemoglobin, packed cell volume, total protein plasma, jumlah total leukosit, dan diferensial leukosit (sel heterofil, sel eosinofil, sel basofil, monosit dan limfosit). Tujuan pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh infeksi telur cacing A. galli terhadap kadar elektrolit (sodium, potasium dan magnesium) dan gambaran darah rutin yang meliputi jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, packed cell volume, total protein plasma, jumlah total leukosit, dan diferensial leukosit (sel heterofil, sel eosinofil, sel basofil, monosit dan limfosit) pada ayam buras (Gallus domesticus).
Cara Penelitian Hewan Percobaan. Pada penelitian ini digunakan ayam buras berumur 1 hari yang berjumlah 25 ekor. Cacing A. galli yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari Rumah Makan Ayam Goreng Mbok Sabar Yogayakarta. Obat cacing yang digunakan pada penelitian ini adalah Levamid® yang diberikan dengan dosis 0,2 g/kg berat badan. Metode Ayam diadaptasikan pada kandang penelitian selama 2 minggu, sebelum dilakukan infeksi telur cacing A. galli, semua ayam diobati menggunakan Levamid® yang mengandung Levamisol dan Niclosamid sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk menghilangkan kemungkinan cacing yang ada dalam tubuh ayam. Cacing A. galli yang di peroleh dari Rumah Makan Ayam Goreng Mbok Sabar di masukkan ke dalam gelas beker yang berisi NaCl fisiologis 0,85%. Semua cacing dicuci beberapa kali dengan larutan tadi sampai bersih dari kotoran. Kemudian dipilih cacing betina yang ditandai dengan ukuran tubuhnya yang besar dan bagian posteriornya lurus. Cacing-cacing betina yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam gelas beker yang berisi NaCl fisiologis. Semua cacing betina yang telah dikumpulkan dipotong di posterior porus genitalis yaitu batas antara gelap dan terang, kemudian dikeluarkan telur bersama uterusnya dengan cara mengurut tubuh cacing sampai diperoleh telur cacing sebanyak 2 gram, kemudian bekas tubuh cacing dibuang.Telur-telur cacing dimasukkan ke dalam gelas beker yang berisi 50 ml 0,5 N NaOH. Telur dalam larutan tadi diaduk menggunakan magnetik stirer selama 30 menit. Kemudian didiamkan selama 10 menit sehingga telur cacing mengendap, 155
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
supernatannya dibuang. Proses tadi diulang sampai 3 kali sehingga telur cacing bersih dari uterus. Larutan yang mengandung telur cacing disentrifus sebanyak 3 kali dan telur cacing siap dieramkan (embrionisasi). Embrionisasi telur cacing dilakukan dengan menggunakan metode Fairbain yang dimodifikasi (Macinnis and Voge, 1970). Telur cacing yang sudah disentrifus dimasukkan ke tabung erlenmeyer yang berisi 150 ml aquades. Pipa oksigenator dimasukkan ke dalam tabung, kemudian mulut tabung ditutup dengan kapas dan oksigenator dihidupkan. Telur cacing dieramkan pada suhu kamar selama 2 minggu. Setelah 2 minggu telur cacing mengandung larva stadium II atau belum. Bila sudah berlarva stadium II berarti telur cacing sudah infektif dan siap untuk diinfeksikan ke ayam. Pada penelitian ini digunakan ayam buras berumur 1 hari yang berjumlah 20 ekor dan dibagi ke dalam dua kelompok. Perlakuan pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perlakuan Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan Kelompok
Perlakuan
Jumlah ayam
A (perlakuan)
Diinfeksi telur cacing A. galli 500 telur/ekor ayam
10 ekor ayam
B (kontrol)
Tidak diinfeksi
10 ekor ayam
Data yang diambil yaitu berat badan ayam selama pemeliharaan, jumlah cacing A. galli yang ditemukan di lumen dan mukosa usus, jumlah telur A. galli per gram feses, kadar elektrolit (sodium, potasium dan magnesium) pada serum darah dan gambaran darah rutin yang meliputi jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, packed cell volume, total protein plasma, jumlah total leukosit, dan diferensial leukosit (sel heterofil, sel eosinofil, sel basofil, monosit dan limfosit). Darah diambil dari semua ayam kelompok perlakuan yang dilakukan selama 5 periode yaitu.sebelum ayam diinfeksi telur A. galli dan minggu ke1, 2, 3, 4 setelah infeksi telur Ascaridia galli. Semua ayam dilakukan penimbangan tiap minggu yang dimulai dari pelaksanaan infeksi sampai tiga minggu setelah infeksi telur telur berembrio Ascaridia galli. Pemeriksaan elektrolit menggunakan alat Atomic Absorbtion Spectrophotometer (AAS) yaitu suatu alat untuk menganalisis keberadaan unsur-unsur logam dalam suatu sampel dengan cara mengatomkan unsur-unsur logam tersebut kemudian menyinarinya 156
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
dengan pancaran gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang yang sesuai. Cara pengatoman yang digunakan adalah dengan menggunakan cara flame atomization. Sebagai bahan bakar digunakan gas asetilen dan udara sebagai oksidannya. Pada hari ke 28 (minggu ke 4) setelah infeksi, semua ayam dilakukan nekropsi kemudian saluran pencernakan diambil dan di taruh pada baki. Usus ayam dilakukan pembedahan secara longitudinal, kemudian usus dicuci dengan air. Seluruh isi usus ditaruh pada gelas beker dan dibiarkan mengendap, supernatan dibuang. Endapan kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk memeriksa cacing dan larva cacing. Data yang diperoleh dari pemeriksaan elektrolit (sodium, potasium dan magnesium), pemeriksaan darah rutin (eritrosit, hemoglobin, packed cell volume, total protein plasma, total leukosit, dan pemeriksaan diferensial leukosit), berat badan ayam selama pemeliharaan, jumlah cacing A. galli yang ditemukan di lumen dan mukosa usus, jumlah telur cacing A. galli per gram feses dianalisa dengan student t-test.
Hasil dan Pembahasan
Elektrolit Serum Darah Rerata dan standar deviasi konsentrasi elektrolit potasium (K), sodium (Na) dan magnesium (Mg) disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rerata dan Standar Deviasi Konsentrasi Elektrolit potasium (K), sodium (Na) dan magnesium (Mg) Ayam Sebelum Infeksi Dan Sesudah Infeksi (ppm). Parameter Periode Sebelum Infeksi Minggu ke 3 Minggu ke 4 Setelah Infeksi Setelah Infeksi Potasium (K) 423,22 ± 48,5 202,19 ± 6,1* 225,15 ± 13,4* Sodium (Na) 3656,7 ± 581,8 3419,5 ± 447,5 3137,4 ± 487,7 Magnesium (Mg) 31,577 ± 1,534 33,38 ± 1,182* 32,975 ± 2,077 * Mengalami perbedaan yang signifikan (P<0,05)
Dari Tabel 2 dapat dilihat dengan uji T bahwa kadar potasium (K) ayam pada minggu ke 3 dan ke 4 setelah infeksi mengalami penurunan yang signifikan (P<0,05) dari kadar sebelum infeksi. Menurut Anwar dan Rahman (2002), yang telah melakukan infeksi 350 telur berembrio Ascaridia galli terhadap 50 ekor ayam White Leghorn umur 28 hari, menyatakan bahwa terjadi penurunan yang signifikan (P<0,05) terhadap kadar potasium (K) pada hari ke-21 dan 40 setelah infeksi. Kaneko (1989), menyatakan bahwa potasium 157
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
berfungsi menjaga keseimbangan asam basa cairan tubuh, pengiriman impuls syaraf, menjaga detak jantung, mengaktifkan beberapa enzim, berperan dalam metabolisme karbohidrat dan protein serta pemasukan asam amino tertentu ke dalam sel. Dalam pertumbuhan, konsentrasi potasium dalam sel meningkat dan sodium menurun, keseimbangan keduanya sangat penting dan bila tidak seimbang maka terjadi penghambatan terhadap pertumbuhan bahkan dapat menjadi racun. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa kadar sodium (Na) ayam pada minggu ke 3 dan ke 4 setelah infeksi mengalami penurunan dari kadar sebelum infeksi, tetapi dengan analisis statistik dengan uji T penurunan ini tidak memberikan perbedaan yang signifikan (P>0,05). Menurut Anwar dan Rahman (2002), yang telah melakukan infeksi 350 telur berembrio Ascaridia galli terhadap 50 ekor ayam White leghorn umur 28 hari, menyatakan bahwa terjadi penurunan yang signifikan (P<0,05) terhadap kadar sodium (Na) pada hari ke-21 dan 40 setelah infeksi. Ritchie et al., (1994) berpendapat bahwa sodium terdapat dalam jumlah yang besar di dalam cairan extraseluler dan bertanggungjawab dalam menentukan volume cairan extraseluler dan tekanan osmois. Kadar sodium intraseluler dijaga tetap rendah melalui membran sel yang impermeabel dan melalui pompa natrium yang mengeluarkan sodium dari sel. Kadar sodium di plasma tetap terjaga dalam batasan yang kecil, walaupun terjadi fluktuasi yang besar pada pengaturan asupan makanan. Menurut Allen (1977), natrium ditransportasikan secara aktif ke lumen usus sehingga akan mempermudah penyerapan air dan substansi lain seperti glukosa dan protein. Transpor aktif ion natrium tergantung pada konsentrasi ion kalium di dalam sel, ada keseimbangan antara ion natrium untuk transport aktif luar dan ion kalium untuk transport aktif dalam. Dari Tabel 2 dapat dilihat dengan uji T bahwa kadar magnesium (Mg) ayam pada minggu ke 3 setelah infeksi mengalami peningkatan yang signifikan (P<0,05) dari kadar sebelum infeksi. Menurut Anwar dan Rahman (2002), yang telah melakukan infeksi 350 telur berembrio Ascaridia galli terhadap 50 ekor ayam White leghorn umur 28 hari, menyatakan bahwa kadar magnesium (Mg) dan fosfor (P) tidak mengalami perubahan yang signifikan. Magnesium berhubungan erat dengan kalsium dan fosfor dalam lokasi dan fungsinya dalam tubuh. Magnesium 70% terdapat dalam tulang dan selebihnya terdapat pada cairan dan jaringan lunak lainnya. Magnesium banyak didapatkan di dalam ruang intraseluler jaringan lunak termasuk hati. Magnesium di dalam serum darah terdapat sebanyak 1-3 mg/100cc serum dan hal ini tergantung jenis hewan (Mitruka, 1981). Ion Mg 158
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
adalah enzim aktivator yang penting dalam mengaktivasi DNA. Ion tersebut meregulasi sekresi PTH baik pada manusia maupun hewan sebagaimana kerja Ca tetapi aktifitas ion Mg sekitar setengah sampai sepertiga potensi Ca. Sebagaimana Ca dan P, Mg berperan dalam jaringan tulang, mobilisasi sel dan bentukan dalam plasma. Sekitar 70% Mg dalam plasma adalah tidak berdifusi, sedangkan yang lain terikat dalam plasma protein Perkiraan jumlah Mg terionosasi di dalam plasma bukan indikator yang baik untuk menghitung konsentrasi Mg dalam sel (Riley dan Cornelius, 1989).
Gambaran Darah Rerata dan standar deviasi jumlah eritrosit, kadar haemoglobin, nilai packed cell volume (PCV), total protein plasma (TPP) jumlah leukosit, nilai absolut sel heterofil, nilai absolut sel eosinofil, nilai absolut limfosit, dan nilai absolut monosit dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rerata dan Standar Deviasi Gambaran Darah Ayam Sebelum Infeksi Dan Sesudah Infeksi Parameter 3556,7 ± 489,9 7,933 ± 0,54
Periode Minggu ke 1 Setelah Infeksi 2593,3 ± 582,4* 8,355 ± 1,07
Minggu ke 2 Setelah Infeksi 2952,6 ± 677,7* 8,822 ± 1,36
30,667 ± 1,41
31,556 ± 3,32
28,667 ± 2,12*
4,677 ± 0,63
5,677 ± 0,83*
5,277 ± 0,88
Sebelum Infeksi Eritrosit (ribu/µL) Hemoglobin (Hb) (g/dL) packed cell volume (PCV) (%) total protein plasma (TPP) (g/dL) Leukosit (sel/µL) Heterofil (sel/ µL) Eosinofil (sel/ µL) Limfosit (sel/ µL) Monosit (sel/ µL)
8461,1 ± 1370,9 8405,6 ± 5200,5 9561,1 ± 4792,5 3044,6 ± 1020,8 3362,8 ± 2439 3787,3 ± 2558,3 86,111 ± 101,5 42,0 ± 109,1 263,22 ± 194,4* 3422,8 ± 636,7 4149,9 ± 2538,7 4443,0 ± 1761,6 851,78 ± 177,7 850,33 ± 722,9 1067,2 ± 943,7 * Mengalami perbedaan yang signifikan (P<0,05)
Dari Tabel 3 dapat dilihat dengan uji T bahwa jumlah eritrosit ayam pada minggu ke 1 dan ke 2 setelah infeksi mengalami penurunan yang signifikan (P<0,05) dari jumlah sebelum infeksi. Infeksi cacing menyebabkan terjadinya perdarahan kronis, karena larva yang bermigrasi menimbulkan kerusakan gastrointestinal diantaranya gastritis, enteritis, dan ulcerasi tracktus digestivus yang akhirnya menyebabkan suatu keadaan yang disebut 159
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
kehilangan darah kronis (Coles, 1986). Menurut Urquhart et al. (1987), ayam yang terinfeksi cacing dalam jumlah yang sangat banyak dapat menyebabkan kehilangan darah, penurunan kadar gula darah, atrofi timus, obstruksi usus, gangguan pertumbuhan dan peningkatan mortalitas. Dari Tabel 3 dapat dilihat dengan uji T bahwa nilai absolut sel eosinofil ayam pada minggu ke 2 setelah infeksi mengalami peningkatan yang signifikan (P<0,05) dari jumlah sebelum infeksi. Eosinofilia merupakan peningkatan jumlah sel eosinofil di dalam sirkulasi darah. Eosinofilia terjadi karena adanya faktor-faktor di dalam reaksi antigen-antibodi dan dalam kondisi alergi karena parasit, selain itu dapat pula terjadi karena adanya mositis eosinofilik dan dermatitis kronis (Jain, 1986). Eosinofilia merupakan fenomena karakteristik lain pada kebanyakan infestasi parasit, tetapi tidak semuanya. Biasanya eosinofilia tidak bersangkutan dengan stadium-stadium peradangan akut permulaan infestasi, melainkan stadium peradangan yang lanjut. Penyebab terjadinya eosinofilia masih belum jelas, kebanyakan teori melibatkan histamin, tetapi antigen-antibodi kompleks barangkali ikut terlibat (Noble dan Noble, 1989). Eosinofil mungkin terlibat dalam peristiwa hipersensitivitas, tetapi kepentingannya dalam kekebalan terhadap parasit adalah sesuatu yang belum terbukti (Feldman et al., 2000). Dari Tabel 3 dapat dilihat dengan uji T bahwa nilai packed cell volume (PCV) ayam pada minggu ke 2 setelah infeksi mengalami penurunan yang signifikan (P<0,05) dari jumlah sebelum infeksi. Dari Tabel 3 dapat dilihat dengan uji T bahwa total protein plasma (TPP) ayam pada minggu ke 1 setelah infeksi mengalami peningkatan yang signifikan (P<0,05) dari jumlah sebelum infeksi. Dari Tabel 3 dapat dilihat dengan analisis uji T, kadar haemoglobin, jumlah leukosit, nilai absolut sel heterofil, nilai absolut limfosit, dan nilai absolut monosit tidak memberikan perbedaan yang signifikan. Urquhart et al. (1987), juga menyatakan bahwa tidak ada pengaruh infeksi cacing A. galli terhadap protein darah, packed cell volume, dan kadar hemoglobin. Dari Tabel 3 dapat dilihat dengan uji T bahwa sel heterofil ayam pada minggu ke 1dan 2 setelah infeksi mengalami peningkatan. Hasil tidak jauh berbeda dengan penelitian Permin et al. (2002b) bahwa ayam yang diinfeksi telur cacing berembrio A. galli dengan dengan dosis 1.000 telur/ayam, nilai total sel heterofil mengalami kenaikan secara signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa infeksi cacing A. galli akan mempertinggi respon sel heterofil. 160
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Pada penelitian ini nilai total leukosit, monosi dan limfosit ayam setelah infeksi mengalami sedikit peningkatan dari nilai sebelum infeksi, hasil ini mirip dengan penelitian Permin et al. (2002b) bahwa ayam yang diinfeksi cacing A. galli juga mengalami kenaikan, tetapi secara statistik kenaikan tersebut tidak signifikan (P>0,05). Hal ini menunjukkan sistem imun tidak tertekan, sehingga faktor penghambat (inhibiting effect) pada sistem imun tidak terjadi.
Cacing A. galli Rerata dan standar deviasi telur cacing yang dieliminasi pada ayam kelompok perlakuan (EPG) disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rerata dan Standar Deviasi Eliminasi Telur Cacing Kelompok Perlakuan (egg per gram/EPG) Hari Setelah Jumlah Telur Ccing Infeksi (EPG)
Hari Setelah Jumlah Telur Cacing Infeksi (EPG)
1
0,0 ± 0,00
15
5,0 ± 15,81
2
0,0 ± 0,00
16
5,0 ± 15,81
3
0,0 ± 0,00
17
5,0 ± 15,81
4
5,0 ± 15,81
18
5,0 ± 15,81
5
10,0 ± 18,32
19
5,0 ± 15,81
6
10,0 ± 18,32
20
5,0 ± 15,81
7
50,0 ± 40,82
21
5,0 ± 15,81
8
10,0 ± 18,32
22
0,0 ± 0,00
9
10,0 ± 18,32
23
0,0 ± 0,00
10
10,0 ± 18,32
24
0,0 ± 0,00
11
10,0 ± 18,32
25
0,0 ± 0,00
12
5,0 ± 15,81
26
0,0 ± 0,00
13
5,0 ± 15,81
27
0,0 ± 0,00
14
5,0 ± 15,81
28
0,0 ± 0,00
161
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Rerata dan standar deviasi cacing pada ayam kelompok kontrol dan kelompok perlakuan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Penghitungan Jumlah Cacing Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan Hari ke 28 Setelah Infeksi. No. Ayam
Jumlah Cacing A. galli (ekor) Kontrol (n=10)
Perlakuan (n=10)
1
0
15
2
0
15
3
0
12
4
0
10
5
0
16
6
0
17
7
0
10
8
0
12
9
0
13
10
0
11
Rerata dan SD
0±0
13,1 ± 2,5
Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa setelah ayam dilakukan infeksi, dilakukan monitor terhadap eliminasi telur cacing dengan interval pemeriksaan yaitu satu hari. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa puncak eliminasi telur cacing terjadi pada hari ke7 setelah infeksi dengan rerata dan standar deviasi yaitu 50 ± 40,82 EPG. Permin et al. (2003) telah melakukan infeksi telur cacing berembrio A. galli dengan dosis 500 telur cacing/ayam, pada minggu ke5 setelah infeksi diperoleh hasil rerata telur cacing A. galli yaitu 62,5 EPG. Permin et al. (1997) telah melakukan infeksi dengan dosis masing-masing 100, 500 dan 2.500 telur cacing berembrio A. galli, pada hari ke52 setelah infeksi diperoleh hasil rerata telur cacing A. galli (EPG) masing-masing yaitu 997,6 ± 908,4; 558,6 ± 501,5 dan 299,4 ± 263,8. Permin et al. (2002b) telah melakukan infeksi telur cacing berembrio A. galli dengan dosis 1.000 telur cacing/ayam, pada minggu ke11 setelah infeksi diperoleh hasil rerata telur cacing A. galli (EPG) yaitu 652,6 ± 802,0. Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa pada minggu ke 4 setelah infeksi diperoleh hasil rerata dan standar deviasi cacing yang hidup yaitu 13,1,0 ± 2,5 ekor (2,62%). Permin et al. (1997) telah melakukan infeksi dengan dosis masing-masing 100, 500 dan 2.500 telur 162
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
cacing berembrio A. galli, pada hari ke52 setelah infeksi diperoleh hasil rerata cacing yang hidup masing-masing yaitu 14 ekor (14,0%), 15 ekor (2,9%) dan 11ekor (0,5%). Permin et al. (2002b) telah melakukan infeksi telur cacing berembrio A. galli dengan dosis 1.000 telur cacing/ayam, pada minggu ke11 setelah infeksi diperoleh hasil rerata cacing yang hidup yaitu 6 ekor (0,66%). Menurut Ikeme (1971a, yang disitasi Permin et al. 1997) menyatakan bahwa mekanisme pengaturan populasi parasit pada ayam tidak diketahui, sedangkan akibat yang diamati
yaitu
terhambatnya
pertumbuhan
ayam
yang
diinfeksi.
Terhambatnya
pertumbuhan ayam ini dapat diakibatkan oleh fenomena density-dependent dalam bentuk interaksi antar cacing di dalam intestinum dan kemungkinan imunitas dari hospes. Herd dan McNaught (1975) menyatakan bahwa peningkatan stimulasi antigenik dan reaksi imunitas sebanding dengan peningkatan jumlah cacing pada ayam.
Berat Badan Ayam Rerata dan standar deviasi berat badan ayam kelompok kontrol dan kelompok perlakuan disajikan pada Tabel 6, sedangakan grafik pertambahan berat badan ayam kelompok kontrol dan kelompok perlakuan disajikan pada Gambar 1. Tabel 6. Rerata dan Standar Deviasi Pertambahan Berat Badan Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan Setelah Infeksi
Pertambahan Berat Badan (gram) Kelompok Kontrol
Kelompok Perlakuan
Minggu ke 1
200
210
Minggu ke 2
290
375
Minggu ke 3
299
320
Minggu ke 4
476
35
163
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Berat Badan (Gram)
Grafik Pertambahan Berat Badan
500 400
kontrol
300
perlakuan
200 100 0 1
2
3
4
Waktu (Minggu)
Gambar 1. Pertambahan Berat Badan Ayam Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa rata-rata pertambahan berat badan ayam kelompok kontrol dan kelompok perlakuan sampai minggu ke 3 setelah infeksi rata-rata pertambahan berat badan hampir sama. Pada minggu ke 4 ada perbedaan rata-rata pertambahan berat badan ayam, pada kelompok kontrol sebesar 476 gram/minggu, sedangkan pada kelompok infeksi 35 gram/minggu. Menurut Urquhart et al. (1987), ayam yang terinfeksi cacing dalam jumlah yang sangat banyak dapat menyebabkan kehilangan darah, penurunan kadar gula darah, atrofi timus, obstruksi usus, gangguan pertumbuhan dan peningkatan mortalitas.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Pada penelitian ini, infeksi 500 telur cacing berembrio Ascaridia galli menyebabkan penurunan kadar potasium (K) serum pada hari ke 21 dan 28 setelah infeksi, kenaikan kadar Magnesium (Mg) serum pada hari ke 21 setelah infeksi dan tidak memberikan pengaruh terhadap kadar sodium (Na) serum setelah infeksi. Pada penelitian ini, infeksi 500 telur cacing berembrio Ascaridia galli menyebabkan penurunan terhadap jumlah eritrosit pada hari ke 7 dan 14 setelah infeksi, penurunan terhadap nilai packed cell volume pada hari ke 14 setelah infeksi, kenaikan nilai total protein plasma pada hari ke 7 setelah infeksi, kenaikan nilai absolut sel eosinofil pada hari ke 14 setelah infeksi. 164
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Pada penelitian ini, infeksi 500 telur cacing berembrio Ascaridia galli tidak memberikan pengaruh terhadap kadar hemoglobin, jumlah leukosit, nilai absolut sel heterofil, nilai absolut limfosit dan nilai absolut monosit. Pada penelitian ini, dari infeksi 500 telur cacing berembrio Ascaridia galli pada hari ke28 setelah infeksi, rerata cacing yang hidup yaitu 13 ekor cacing.
Saran Bila dilakukan penelitian selanjutnya, pengukuran kadar elektrolit dilakukan tiap minggu setelah infeksi, parameter elektrolitnya diperbanyak misalnya magnesium, klorida, kalsium, fosfor dan sebaiknya jumlah sampel harus banyak.
Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada : 1. Prof. Ir. Wihandoyo, MS., Ph.D selaku pembimbing yang dengan kesabarannya dan penuh pengertian telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran, pengarahan dalam penelitian dan penulisan ini. 2. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Gadjah Mada melalui anggaran dipa Universitas Gadjah Mada sesuai surat perjanjian pelaksanaan penelitian nomor: 2516/P III/SET.R/2006 tanggal 1 Juni 2006.
Daftar Pustaka Ackert, J.E. and Herrick, C.A. 1928. Effects of the Nematode Ascaridia lineata (Scheider) on Growing Chickens. J Parasitol 15: 1-15. Allen, S. 1977. Absorbtion In Dukes Physiology of Domestic Animal. Editor oleh Swenson M.J. Comstock Publishing Associates. Cornell University Press. London. Pp 321326. Anwar, H. and Rahman, Z. 2002. Effect of Ascaridia galli Infestation on Electrolytes and Vitamins in Chickens. On Line Journal of Biological Sciences2. 10: 650-651. Coles, E.H., 1986. Veterinary Clinical Pathology. 4th edition. W.B., Saunders Company. Philadelphia. Pp. 279-285. 165
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Feldman, B.F., Joseph, G.Z. and Jain, N.C. 2000. Schalm’s Veterinary Hematology. 5th edition. Lippincott William & Wilkins. USA. He, S., Susilowati, V.E.H.S., Purwati, E., and Tiuria, R. 1990. An Estimate of Meat Production Loss in Native Chickens in Bogor and its Surounding Districts due to Gastrointestinal Helminthiasis. Proceedings, 5th National Congress of Parasitology. Pandaan. Pasurua. East Java. June 23-25, p 57. Herd, R.P. and McNaught, D.J. 1975. Arrested Development and the Histotropic Phase of Ascaridia galli in the Chickens. Int. J. Parasitol 5: 401-406. Ikeme, M.M. 1971a. Effects of Different Levels of Nutrition and Continuing Dosing of Poultry with Ascaridia galli Eggs on the Subsequent Development of Parasite Populations. J Parasitol. 63:233-250. Ikeme, M.M. 1971b. Weight Canges in Chicken Placed on Different Levels of Nutrition and Varying Degrees of Repeated Dosage with Ascaridia galli Eggs. J Parasitol. 63: 251-260. Jain, N.C., 1986. Schalm’s Veterinary Hematology. 4th edition. Lea and Febiger. Philadelphia. Pp. 256. Kaneko, J.J., 1989. Clinical Biochemistry of Domestic Animal. Fourth Edition. Academic Press Ink. California. USA. Mitruka, B.M. 1981. Clinical Biochemical and Hematological References Values in Normal Experimental Animal and Normal Humans. Year Book Medical Publishers. INC. Chicago. P.81. Noble, E.R., and Noble, G.A. 1989. Parasitology, Biologi, Parasit Hewan. Edisi V. Diterjemahkan oleh Wardiarto. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Permin, A., Dahl, C., Christensen, J.P., Bisgaard, M., Muhairwa, A.P., Petersen, K.M.D., Poulsen, J.S.D., and Jensen, A.L. 2002b. The Effect of Concurent Infections with Pasteurella multocida and Ascaridia galli on Free Range Chickens. J Veterinary Microbiology 86: 313-324. Permin, A., Bojesen, M., Nansen, P., Bisgaard, M., Frandsen, F., and Pearman, M. 1997. Ascaridia galli Populations in Chickens Following Single Infections with Different Dose Levels. J Parasitol 83:614-617.
166
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Riley, Jula H. Larry M. Cornelius, 1989. Electrolites, Blood Gases, and Acid Base Balance in Walter F. Loeb and Fred W. Quimby (ed). The Clinical Chemistry of Laboratory Animals, Pergamon Press, New York. Ritchie, B.W., Harrison, J.G., and Harrison, R.L., 1994. Avian Medicine. Winger’s Publishing Inc. Florida. Soulsby, E.J.L., 1982. Helmints, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7th edition. Bailliere Tindall. Oval Road. London. Pp. 145-148, 163-165. Tabbu, C.R., 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Urquhart, G.M., Armour, J., Duncan, J.L., Dunn, A.M and Jennings., F.W. 1987. Veterinary Parasitology. 1st edition. Faculty of Veterinary Medicine. University of Glasgow. English Language Book Society. The Bath Press. London. Pp. 73.
167
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
PEMANFAATAN KULIT TRIMMING UNTUK PRODUKSI GELATIN TEKNIS SEBAGAI PELAPIS TELUR AYAM RAS Novita Kurniawati ,Suharjono Triatmojo Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
Intisari Penelitian ini dilakukan untuk memanfaatkan kulit trimming garam pengawetan kulit untuk produksi gelatin teknis untuk pelapis telur ayam ras. Larutan gelatin yang dipergunakan sebagai pelapis memiliki karakteristik warna kuning keruh, kadar gelatin 28,41% dan nilai uji kekentalan 727mPas. Proses pelapisan dilakukan dengan pencelupan dalam larutan gelatin bersuhu 650C selama 1 menit. Telur yang dilapisi dikeringkan pada suhu ruang dan ditimbang. Berat telur yang dilapisi turun rata-rata 0,04 gram akibat proses pelapisan yang panas. Telur yang dilapisi disimpan selama 30 hari pada suhu ruang (280C sampai 300C). Telur tanpa pelapisan disimpan pada suhu ruang dan suhu refrigerator (70C sampai 80C). Pengamatan data telur dilakukan setiap hari berupa indeks albumen, indeks yolk dan HU (Haugh Unit). Data tersebut dianalisis dengan variansi pola faktorial 2 x 30. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mutu telur yang dilapisi gelatin lebih tinggi selama penyimpanan 30 hari dibanding telur tanpa pelapisan pada penyimpanan suhu ruang, sebaliknya hasil mutu telur yang dilapisi gelatin lebih rendah dibanding telur tanpa pelapisan yang disimpan pada suhu refrigerator. Kata kunci: kulit trimming, gelatin teknis, pelapisan.
Pendahuluan Kulit trimming merupakan kulit yang perlu dibuang karena terdapat cacat atau kerusakan baik setelah proses pengulitan atau selama proses penyimpanan kulit awetan. Kulit trimming dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan gelatin dengan cara metode pembuatan gelatin sederhana. Gelatin yang dihasilkan dapat dipergunakan sebagai gelatin teknis untuk bahan pelapis (coating agent) telur ayam ras. Gelatin yang terbuat dari kulit dapat dihasilkan dari sisa-sisa pemotongan (trimming) dan pembelahan kulit tebal (splitting) industri penyamakan kulit (Rose, 1992). Gelatin adalah protein larut dalam air yang dihasilkan dari hidrolisis protein kolagen (Ockerman dan Hansen, 2000). Kulit trimming tersebut diperoleh dari proses perapian kulit ketika kulit segar datang atau sebelum kulit diangkut ke pabrik penyamakan kulit. 168
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Proses produksi gelatin meliputi (1) preparasi bahan baku, (2) pretreatment bahan baku dan (3) proses ekstraksi (Rose, 1992). Penilaian mutu gelatin adalah kuat tarik gel (gel strength/nilai Bloom) dan kekentalan (viscosity). Kekentalan larutan gelatin komersial memiliki kisaran antara 2 mPas sampai dengan 8 mPas yang diukur pada suhu 600C (1400F) dalam larutan 6,67% (b/v) (GMIA, 1986). Kekentalan ditentukan oleh pH larutan gelatin. Pada proses hidrolisis asam, gelatin yang dihasilkan menunujukan kekuatan tarik yang konstan sedangkan kekentalannya menurun. Sedangkan pada proses hidrolisis basa kekuatan tarik dan kekentalan gelatin menurunan (Rose, 1992, Saunders dan Ward, 1955). Pemanfaatan gelatin untuk pelapisan telur bertujuan menjaga mutu atau kualitas telur selama masa simpan. Soeparno et al., (2001) kualitas isi telur meliputi kualitas interior (dalam) dengan kriteria penilainnya berupa nilai haugh unit (HU), indeks albumen (putih telur) dan indeks yolk (kuning telur). Nilai HU akan tinggi jika ketinggian albumen kental tinggi, tinggi rendahnya albumen kental tergantung suhu dan tempat penyimpanan (Mellor dan Gardner, 1975). Suhu tinggi dan terbukanya tempat penyimpanan mempercepat pertukaran gas CO2 melalui pori-pori telur sehingga kekental albumen berkurang (Charley dan Weaver, 1998). Oleh karena penguapan tersebut kualitas albumen kental menurun dan berat telur pun menurun. Indeks albumen adalah perbandingan antara tinggi albumen kental dengan diameter rata-rata terpanjang dan terpendek albumen kental (Buckle et al., 1987). Nilai indeks albumen yang baru ditelurkan berkisar antara 0,050 sampai 0,174. Penurunan nilai indeks albumen dapat terjadi karena penguapan CO2 yang menyebabkan kesimbangan pH albumen terganggu dan menyebabkan kerusakan serabut protein ovomucin (glikoprotein) (Mountney dan Parkhurst, 1995). Indeks yolk telur segar berkisar antara 0,33 sampai 0,50 dengan niali rata-rata 0,42. Tinggi yolk dipengaruhi oleh kondisi albumen, albumen yang cair dan lembek tinggi kandungan airnya akibat penguapan gas CO2 sehingga menyebabkan keseimbangan konsentrasi antara yolk dengan albumen berubah. Perubahan tersebut membuat kandungan air dalam albumen yang tinggi beralih melewati membran yolk (membrane vitellina) sehingga yolk akan melebar yang semula berbentuk seperti bola menjadi datar dan lembek (Mountney dan Parkhurst, 1995). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan memanfaatkan kulit trimming sebagai bahan produksi gelatin teknis guna dimanfaatkan sebagai pelapis telur ayam ras sehingga dapat melindungi mutu telur konsumsi selama penyimpanan.
169
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Materi dan Metode Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kulit trimming dari pabrik pengawetan kulit dengan garam, telur ayam ras segar berwarna coklat, kapur atau gamping, Na2S, teepol, sodum hidroksida, garam dan asam asetat. Alat yang dipergunakan yaitu pisau stainlessteal, landasan, pisau pencukur, ember, loyang, panci, eggtray, waterbath, penyaring vakum, alat pengukur kelembaban, pengaduk kaca, beker glass 1000ml, jangka sorong, depth micrometer, gelas sampel, kertas label, kertas indikator pH, kertas saring dan timbangan digital.
Pembutan gelatin teknis 1. Preparasi kulit Kulit trimming awetan garam (Gamabar 1) seberat 790 gram direndam dalam larutan kapur 5%, air 75%, degreasing agent 1% dan Na2S 3%. Kulit dibuang rambut dan dicuci dengan larutan asam asetat atau asam cuka hingga kulit pH 5 lalu dipotong-potong kecil dan direndam selama 6 jam pada larutan kapur 10% dengan ketentuan 1 Kg kulit membutuhkan 1 liter larutan kapur 10% dengan pH 12,5 sampai 13 dilanjutkan pencucian dengan air mengalir hingga pH larutan pencuci netral.
Gambar 1. Kulit trimming awetan garam 1. Ekstrakasi gelatin Proses ekstraksi dilakukan dengan menghidrolisis kolagen kulit dalam medium aquades panas. Suhu hidrolisis pertama 650C selama 5 jam dan suhu kedua 800C selama 5 jam. Pada masing-masing suhu pemanasan dilakukan 2 kali perebusan kemudian larutan disaringan untuk memeisahkan partikel-partikel pengkotor dan menghitung perolehan larutan gelatin.
170
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Bagan 1. Proses pembuatan gelatin teknis sederhana Timbang Kulit Trimming Garam Lakukan Perendaman Kulit Trimmimg Hingga Lemas Atuskan dan Timbang Rendam kulit dalam larutan : kapur 5%, air 75%, degreasing agent1% dan Na2S 3% Remas-remas kulit hingga bulu rontok Cuci dengan air mengalir sampai bersih Kemudian cuci kulit dengan larutan asam cuka 5% samapi pH kulit 5 Lakukan pembilasan sebentar dengan air untuk mencuci larutan asam cuka yang menempel Potong-potong kulit dengan ukuran kecil Rendam potongan-potongan kecil kulit pada larutan kapur 10% selama 6 jam. Larutan kapur yang dibutuhkan 1 liter untuk 1 kg kulit Lakukan pengaturan pH pada kisaran 12,5-13 dengan larutan perendaman dengan larutan NaOH 40% Cuci kulit dengan air mengalir sampai pH larutan pencucian netral Atuskan dan timbang
Ekstrak kulit dengan aquades sebanyak 2 kali berat kulit. Ekstraksi bertingkat kulit dilakukan pada suhu 650C dan 800C selama 5 jam
171
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Pengujian gelatin teknis Gelatin untuk coating agent telur ayam konsumsi dilakukan uji kualitas fisik berupa warna larutan dan kekentalannya (viskositas). Uji kekentalan dilakukan dengan melarutkan gelatin bubuk 6,67% (w/v). Pelarutan dilakukan pada aquades yang dipanaskan pada suhu 600C. Alat yang dipergunakan untuk uji kekentalan adalah rheometer yang berupa silinder geometry konsentrasi (Cho, et al., 2005). Satuan kekentalan gelatin adalah mPas (miliPascalsecond) Proses coating telur ayam Proses coating dilakukan dengan pencelupan selama 1 menit pada larutan gelatin teknis bersuhu 650C. Larutan gelatin teknis yang dipergunakan yaitu larutan gelatin yang dihasilkan pada ekstraksi bertingkat suhu 650C dan 800C dengan perbandingan 1,5 : 1 dalam voleme 1000 ml. Pengujian kualitas telurdilakukan selam penyimpanan 30 hari pada suhu ruang dengan kontro telur yang disimpan pada suhu ruang dan suhu refrigerator ratarata. Kualitas telur yang diujikan berupa uji intrinsik yaitu nilai Haugh Unit, indek albumen dan indek yolk. Analisis Statistik Penelitian ini menggunakan analisis statistik variansi pola faktorial 2x30 (2 perlakuan dan 30 hari pengamatan) untuk pengamatan telur dan data uji gelatin teknis berupa jumlah volume larutan gelatin, kadar gelatin dalam larutan yang dipergunakan untuk coating telur dan kualitas fisik larutan gelatin untuk coating telur disajikan dalam bentuk tabel. Hasil dan Pembahasan Larutan gelatin teknis Volume larutan gelatin teknis yang dihasilkan dari berat kulit trimming kering 790 gram tertera pada Tabel 1 serta memiliki warna kuning keruh.
Table 1. Perolehan rerata volume keseluruhan larutan gelatin Pengektraksian Batch I Batch II Total
Volume Ekstraksi (ml) 650C 800C 2.765 1.612 1.892 1.398 4.657 3.010 172
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Gelatin teknis untuk pelapis telur Uji kadar gelatin teknis dan uji kekentalan gelatin teknis yang dipergunakan untuk pelapisan telur ayam ras tertera pada tabel 2 dan 3. Table 2. Kadar gelatin teknis pelapis telur ras Ulangan Kadar Gelatin (%) 1 28,67 2 28,23 3 28,32 Rerata 28,41 Table 3. Rerata hasil uji kekentalan larutan gelatin teknis pelapis ayam ras Ulangan Uji Kekentalan Uji Kekentalan (poise) (mPas) 1 7,603 760,3 2 7,727 772.7 3 6,481 648,1 Rerata 7,270 727 Kualitas telur ayam ras yang dilapisi gelatin teknis Telur yang dilapisi gelatin teknis mengalami penurunan berat rata-rata 0,04 gram disebabkan suhu bahan pelapis yang cukup panas dan lama proses pencelupan. Suhu dan kelembaban selama pengamatan penyimpanan telur diukur dengan termometer dan higrometer dengan rata-rata suhu ruang 28oC sampai 30oC dan rata-rata kelembaban 70% sampai 80% serta suhu refrigerator selama pengamatan rata-rata 7oC sampai 8oC. Data rerata indeks albumen, indeks yolk dan HU selama 30 hari tertera pada Tabel 4. Hari ke0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tabel 4. Rerata indeks albumen, indeks yolk dan HU selama 30 hari Telur dilapisi Telur tanpa dilapisi Telur tanpa dilapisi suhu suhu ruang refrigerator Indeks Indeks HU Indeks Indeks HU Indeks Indeks HU albumen yolk albumen yolk albumen yolk 0.1365 0.4186 96.6596 0.1365 0.4186 96.6596 0.1365 0.4186 96.6596 0.0958 0.4220 86.2057 0.0754 0.4356 89.9186 0.0986 0.4459 86.2778 0.0789 0.3895 79.7990 0.0958 0.4214 81.9058 0.0664 0.4086 75.4580 0.0610 0.4327 68.9251 0.0678 0.3925 75.1337 0.0824 0.4300 75.6460 0.0796 0.3801 76.3038 0.0386 0.3173 56.7911 0.0748 0.4129 76.3727 0.0387 0.3412 49.6812 0.0746 0.3756 75.4281 0.0620 0.4099 68.7822 0.0575 0.3558 69.5275 0.0697 0.3461 76.8179 0.0593 0.4242 65.7356 0.0361 0.3143 48.8153 0.0457 0.3273 67.8512 0.0455 0.3823 57.5829 0.0276 0.3169 43.8642 0.0730 0.2970 76.2975 0.0750 0.3932 75.8322 0.0431 0.3149 51.3845 0.0585 0.3006 74.3685 0.0584 0.4005 65.2800 0.0414 0.3370 55.9128 0.0431 0.2606 61.5144 0.0953 0.4115 83.4401 173
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rerata
0.0527 0.0351 0.0300 0.0328 0.0291 0.0241 0.0233 0.0367 0.0405 0.0282 0.0208 0.0310 0.0212 0.0355 0.0164 0.0117 0.0234 0.0185 0.0254 0.0288 0.0407a
ab, cd
0.3303 61.2085 0.2970 50.2802 0.2835 48.8647 0.2663 51.2431 0.2397 45.5290 0.2555 48.9412 0.2665 41.4159 0.2729 37.8840 0.2472 54.5718 0.2554 41.3684 0.2104 36.2081 0.2361 44.4528 0.1844 28.5342 0.2351 53.0480 0.1687 41.7816 0.1755 19.1331 0.1950 29.8355 0.1823 30.2170 0.1959 22.6760 0.2050 41.3753 0.2815c 51.8549e
0.0438 0.0313 0.0347 0.0194 0.0270 0.0182 0.0208 0.0220 0.0253 0.0131 0.0309 0.0262 0.0342 0.0144 0.0174 0.0151 0.0199 0.0217 0.0190 0.0118 0.0402b
0.2546 60.5642 0.0603 0.4103 68.4733 0.2162 54.2307 0.0482 0.4108 64.7064 0.2069 51.9430 0.0633 0.4057 71.0653 0.1842 35.4155 0.0690 0.4289 74.1814 0.1746 46.7945 0.0566 0.4086 65.8213 0.1700 32.6569 0.0724 0.3875 75.4339 0.1783 40.4235 0.0769 0.4031 77.0955 0.1670 40.6443 0.0532 0.3652 60.8235 0.1596 46.8135 0.0564 0.4128 67.4247 0.1543 31.8486 0.0540 0.4220 68.0080 0.1681 49.5814 0.0590 0.4212 70.1639 0.1648 42.0386 0.0451 0.3745 58.8199 0.1850 58.0611 0.0594 0.3880 66.8698 0.1377 31.4940 0.0708 0.3929 74.0947 0.0981 35.3641 0.0483 0.4070 63.5285 0.1305 34.2104 0.0719 0.3995 74.5024 0.1286 43.1708 0.0602 0.3833 67.8649 0.1245 39.4909 0.0662 0.3796 71.2412 0.1430 38.4323 0.0566 0.3933 63.7613 0.1275 32.0392 0.0558 0.3869 62.8694 d f a.1 b.1 0.2312 55.9301 0.0686 0.4038 70.7683e.2
superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (P<0,01) tidak berbeda nyata
a/a.1, c/b.1, ef, dan e/e.2
Kualitas telur yang dilapisi gelatin teknis dapat mempertahankan nilai indek albumen dan indek yolk dibanding telur tanpa pelapisan setelah 30 hari masa penyimpanan. Ini menenunjukan bahwa gelatin teknis efektif menutupi pori-pori di kerabang telur sehingga kandungan kimia albumen dan yolk telur terhambat terurai seperti terlepasnya gas CO2 yang menimbulkan albumen kekurangan ion karbonat yang berakibat pH albumen meninggi dan albumen menjdi cair. Kondisi albuemn yang baik mamapu melindungi yolk sehingga mutunya juga masih baik. Namun karena proses pelapisan pada suhu 650C menyebabkan berat telur berkurangya rata-rata 0,04 gram mempengaruhi nilai HU yang besarnya nilai sangat tergantung dengan berat telurnya. Hal ini mencolok terlihat pada semua telur kontrol yaitu telur tanpa pelapisan yang disimpan di suhu ruang dan suhu refrigerator nilai HU nya tidak menunujukan bedanya terhadap telur yang dilapisi disimpan pada suhu ruang. Tidak beda nyata juga terlihat pada nilai indek albumen dan indek yolk yang mana suhu refrigerator mampu mempertahankan kondisi albumen dan yolk lebih baik dibanding telur yang dilapisi gelatin teknis. Penyebabnya karena suhu dingin dari refrigerator lebih efektif menghambat penguapan gas CO2 dari dalam telur karena kerapatan udara dingin lebih tinggi sehingga gas tidak dapat keluar dari dalam telur.
174
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Kesimpulan Kulit trimming garam dapat dimanfaatkan untuk pembuatan gelatin teknis yang salah satunya untuk pelapis telur yang bermanfaat untuk menghambat penurunan kualitas telur. Gelatin teknis yang dihasilkan menggunakn metode sederhana dan memiliki nilai kekentalan 727 mPas dan berwarna kuning keruh. Telur ayam ras yang dilapisi gelatin teknis pada suhu 650C mengalami penurunan berat karena panas rat-rata 0,04 gram. Telur ayam ras yang dilapisi gelatin teknis nilai indek albumen dan indek yolk lebih tinggi dibanding telur ayam ras tanpa pelapisan. Namun karena terjadi penurunan berat telur setelah pelapisan nilai HU telur ayam ras tanpa pelapisan lebih baik dari pada telur yang dilapisi. Daftar Pustaka Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet and M. Wotton. 1987. Food Science. Australian Vice-Chancellors Committee. Briesbane, Australia. Charley, H and C. Weaver. 1998. Food A Scientific Approach. 3rd Ed. Prentice Hall, Inc. Simon and Schuster/Aviacom Company, Upper Saddle River, New Jersey. Cho, S.M,. Kwak,K.S., Park, D., Gu, Y.S., Ji, C.I., Jang, D.H., Lee, Y.B., AND Kim, S.B. 2004. Processing optimazation and functional properties of gelatin from shark (Isarus oxyrinchus) catilage. Food Hydrocolloids, 18 (4), 573-579. GMIA. 1986. Standard Methods for Sampling And Testing Of Gelatins. Gelatin Manufacturers Institute of America, Inc., New York. Mellor, D.B. and F. A. Gardner. 1975. An Evolution of Interior Quality of Shell Eggs Packed In The Carton While Still Warm. Poultry Sci.54: 461-465 Mountney, G.J And C.R . Parkhurst, 1995. Poultry Product Technology 3rd Ed. The Avi. Publishing., Co., Inc., Westport, Connecticut. Ockerman, H.W.and C.L.Hansen. 2000. Animal By–Product Processing and Utilization. CRC Press. Washington. Rose, P.I. 1992. Inedible Glue and Gelatine.In Inedible Meat By–Products. Perason, A.M. and T.R. Dutson.Edts. Elsavier App. Sci. New York. pp 217-238 Soeparno, Indratiningsih., S. Triatmojo dan R.A. Rihastuti. 2001. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan, Unversitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
175
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
PENGARUH PENGGUNAAN 2,4 DICHLOROPHENOXY ACETIC ACID DAN KINETIN UNTUK PROSES MIKROPROPAGASI RUMPUT Cenchrus ciliaris Nafiatul Umami Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta Abstrak Hijauan pakan yang tahan kekeringan dan bisa tumbuh sepanjang tahun sangat terbatas jenisnya. Kendala lingkungan cuaca yang panas dan kekurangan air menyebabkan tanaman tidak mampu tumbuh dan berproduksi. Perbaikan genetik yang mungkin dilakukan pada tanaman rumput pakan adalah dengan introduksi, seleksi dan manipulasi genetik tanaman atau gabungan ketiganya. Rumput Cenchrus ciliaris adalah rumput yang tahan kondisi kering. Perlu dikaji potensinya untuk dikembangkan secara in vitro. Salah satu teknik yang akan dilakukan adalah dengan mikropropagasi, untuk mengetahui potensi rumput Cenchrus ciliaris di lahan kering. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat sebagai informasi awal usaha pengembangan hijauan khususnya di daerah kering serta memberikan informasi mendasar tentang toleransi campuran kimiawi media kultur jaringan yang dapat menghasilkan planlet tahan kering. Dalam penelitian digunakan beberapa level 2,4,dichlorophenoxy acetic acid (2,4 D) untuk organogesis akar yaitu 3 mg/l, 5 mg/l, 8 mg/l dan beberapa level kinetin untuk organogenesis tunas yaitu 2 mg/l, 4 mg/l dan 8mg/l, parameter yang diamati meliputi, jumlah biomassa (berat kalus), kecepatan tumbuh , panjang dan jumlah akar dan tunas hasil mikropropagasi yang dilakukan dengan penggojogan dengan Shaking machine dengan kecepatan putaran 50 rpm dan tanpa penggojogan untuk mengetahui pertumbuhan yang optimal. Data yang diperoleh dianalisis variansi dengan rancangan polafaktorial dan uji dilanjutkan dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT). Dalam penelitian ini baru dilakukan organogenesis akar dan akan segera dilanjutkan organogenesis tunas. Dari penelitian didapatkan bahwa level auksin 5mg/l dan kinetin 8mg/l memberikan hasil waktu inisiasi kalus dengan 2,4 D pada 8 hari dengan rerata berat kalus 54,38 gram. Organogenesis akar menunjukkan metode tanpa penggojokan lebih baik untuk pertumbuhan akar dengan jumlah akar rerata 1,9. Kata kunci: 2,4 dichlorophenoxyacetic acid, kinetin, kalus Cenchrus ciliaris
176
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Pendahuluan Permasalahan pakan untuk daerah kering khususnya di Indonesia belum terselesaikan dengan tuntas. Keadaan lingkungan yang kering menyebabkan tidak semua tanaman pakan dapat dengan mudah dikembangbiakkan di wilayah-wilayah yang kering karena adanya kendala ketersediaan air. Selama ini penyelesaian permasalahan pakan dilakukan dengan mendatangkan pakan dari daerah yang tercukupi pakan atau memberi ternak dengan pakan seadanya. Pakan lokal Indonesia yang tahan kondisi kering dengan produktivitas yang baik perlu dikembangkan. Cenchrus ciliaris adalah salah satu rumput yang tahan cekaman kekeringan dan kondisi berpasir, biasanya dikembangkan dengan biji. Peternak mengalami kesulitan dalam pengembangbiakan rumput dengan biji, karena kurang tersedianya biji rumput yang baik dan mempunyai fertilitas tinggi, selain itu penanganan usaha pembibitannya juga relatif sulit. Cenchrus ciliaris adalah tanaman rumput pakan ternak yang mempunyai nama lain rumput Buffel, African Foxtail, Rhodesian Foxtail, Pennisetum ciliare ( Boghdan, 1977 ; Gohl, 1981; Duke, 1983; Reksohadiprodjo, 1994). Rumput ini merupakan salah satu rumput asli dari daerah Afrika, Indonesia, dan India (Reksohadiprdjo, 1994). Tanaman ini telah menyebar pada daerah Mediterania tropik dan Afrika Selatan (Duke, 1983). Rumput ini merupakan tanaman berumur panjang membentuk hamparan dengan rhizoma, tinggi dapat mencapai 140 cm serta batang halus, tegak sampai horizontal, tidak berbulu dan bercabang dan jaringan perakarannya kuat, luas dan dalam sekali(Reksohadiprodjo, 1994 dan Duke, 1983).
Penggunaan teknologi dalam pengembangbiakan rumput Cenchrus
ciliaris dapat dilakukan dengan cara mikropropagasi. Teknik kultur jaringan dimulai dengan pengambilan eksplan, yaitu bagian kecil jaringan atau organ yang dipisahkan dari tanaman induk kemudian dikulturkan (Indrianto, 2002). Eksplan biasanya diambil dari jaringan yang masih muda, diperkirakan masih dapat menghasilkan zat tumbuh sendiri dan sel-selnya masih aktif membelah, sehingga proses kultur jaringan dapat diharapkan berhasil sampai menjadi tanaman atau plantlet (Thomas dan Davey, 1975; Bottino,1981; Dodds dan Roberts,1983; Pierik,1987 disitasi Semiarti 1989). Jaringan yang masih muda serta belum banyak terdeferensiasi terdapat pada jaringan meristematik dan dari semua jenis tanaman bagian inilah yang paling banyak berhasil (Indrianto, 2002). Sel atau jaringan yang masih muda atau yang dinamakan juvenile akan tetap muda dalam pengkulturan sehingga daya untuk beregenerasi tetap ada, sedangkan sel-sel yang sudah tua kesanggupan untuk beregenerasi sudah berkurang (Katuuk,1989). 177
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Metode mikropropagasi memerlukan komposisi medium yang tepat sehingga eksplan dapat berkembang secara sempurna. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang pembuatan medium yang tepat untuk pertumbuhan kalus Cenchrus ciliaris. Medium ini meliputi imbangan hormon pengatur pertumbuhan baik untuk organogenesis akar maupun untuk tunas. Selain itu teknik inkubasi kalus dengan cara digojok atau tanpa digojok juga akan mempengaruhi hasil, sehingga teknik inkubasi juga perlu untuk diteliti. Dengan hasil yang didapat diharapkan dapat sebagai informasi usaha pengembangan tanaman pada daerah kering khususnya pengembangan Cenchrus ciliaris. Penelitian ini untuk mengetahui kemampuan rumput Cenchrus ciliaris, dikembang biakkan dengan cara mikropropagasi secara in vitro. Berbagai medium akan digunakan untuk media pertumbuhan, Widyaninggar (2005) melakukan penelitian dengan menginduksikan kalus rumput benggala dengan pemberian 2,4 D 8 mg/l yang mencapai 15,61 hari setelah sub kultur, sedangkan organogenesis dengan perlakuan kinetin 0,2 mg/l dan NAA (Naphtaleine acetic acid) mampu menghasilkan akar tanpa tunas. Penelitian tentang mikropropagasi pada Cenchrus ciliaris diharapkan mampu memberikan informasi untuk pengembangan rumput khususnya pada daerah kering, karena Cenchrus ciliaris adalah rumput yang tahan kekeringan.
Materi dan Metode Penelitian ini menggunakan rumput Cenchrus ciliaris sebagai sumber eksplan, medium Murashige Skoog (MS), hormon auksin 2,4 D dan sitokinin. Untuk sterilisasi menggunakan alkohol, spirtus, dan sublimat. Eksplan yang digunakan adalah eksplan yang berasal dari rumput Cenchrus ciliaris, rumput sebagai sumber eksplan diambil dari rumput umur 1,5 bulan, diambil bagian primordia daun kemudian disterilkan dan digunakan sebagai sumber eksplan. Sterilisasi
dimulai
dengan
pengambilan
eksplan
primordia
daun
yang
masih
muda.kemudian dicuci dengan dettol cair, dan dibilas sampai bersih. Eksplan direndam dalam larutan Sublimat 40 mg/100cc selama 10 menit di dalam erlenmeyer, sesekali digoyang-goyang. Kemudian dengan menggunakan pinset steril dipindahkan potongan eksplan tersebut ke dalam beker glass yang berisi aquades, sesekali digoyang-goyang. Eksplan dipindahkan kedalam petridish steril dengan menggunakan pinset steril, kemudian dipotong dengan ukuran kira-kira 0,5 cm dengan menggunakan skapel tajam yang sudah disterilisasi. 178
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Media tumbuh untuk induksi kalus digunakan media MS ditambah dengan zat pengatur tumbuh 2,4 D dengan konsentrasi 8 mg/l (Widyaninggar, 2005). Pembuatan medium dilakukan dengan cara medium ditimbang dan dilarutkan dalam aquades sampai 1000cc. Kemudian pH dibuat menjadi 5-6. penetapan pH menggunakan KOH 0,1 M dan HCl 0,1 M. Kemudian dibagi-bagi ke dalam botol yang telah steril. Mulut botol selanjutnya ditutup dengan aluminium foil, kemudian disterilkan pada tekanan 15 lbs, temperatur 121ºC selama 15 menit dengan menggunakan autoclave. Pengamatan dilakukan pada lama munculnya kalus (hari) dan dipilih kalus yang friable dengan warna kekuningan. Dilakukan perhitungan jumlah biomassa dengan cara menimbang kalus. Kalus yang didapat dibuat kultur sel yang dilanjutkan pada media dying colonies dengan perlakuan induksi kering dengan PEG 10 mg/l. koloni yang tahan kemudian di sub kultur pada media organogenesis. Perlakuan yang akan dilakukan adalah konsentrasi auksin dan sitokinin pada saat organogenesis. Imbangan media yang digunakan adalah sebagai berikut: -
Media MS + 3 mg/l 2,4 D + 0,2 mg/l kinetin
-
Media MS + 5 mg/l 2,4 D + 0,2 mg/l kinetin Media MS + 8 mg/l 2,4 D + 0,2 mg/l kinetin Masing-masing perlakuan dibuat ulangan 10 kali. Dan dibuat perlakuan dengan di
gojok dengan putaran 50 rpm dan tanpa penggojokan selama inkubasi. Parameter yang diamati adalah kecepatan pembentukan akar, jumlah akar, panjang akar. Pada tahap ini dilakukan kultur sehingga semua terbentuk akar, kemudian dipindahkan ke media induksi tunas. Medium yang akan digunakan adalah sebagai berikut: -
Media MS + 0,03 mg/l 2,4 D + 2 mg/l kinetin
-
Media MS + 0,03 mg/l 2,4 D + 4 mg/l kinetin
-
Media MS + 0,03 mg/l 2,4 D + 8 mg/l kinetin
Masing-masing perlakuan dibuat ulangan 10 kali dan diperlakukan dengan penggojokan dengan putaran 50 rpm dan tanpa penggojokan selama inkubasi. Parameter yang diamati meliputi kecepatan pembentukan tunas, jumlah tunas dan panjang tunas.
179
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Analisis hasil Data yang diperoleh akan dianalisis variansi dengan rancangan pola faktorial dan pengujian dilanjutkan dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT), sesuai dengan Steel dan Torrie (1990).
Hasil Dan Pembahasan Induksi Kalus Pada proses induksi kalus dilakukan penumbuhan pada media MS dengan zat pengatur tumbuh 2,4 D 8mg/l. Pengamatan dilakukan pada lama munculnya kalus (hari) dan dipilih kalus yang friable dengan warna kekuningan. Dilakukan perhitungan jumlah biomassa dengan cara menimbang kalus. Data yang diperoleh disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Berat kalus dan waktu inisiasi kalus Cenchrus ciliaris Replikasi
Waktu Inisiasi (hari)
Berat kalus (mg)
1
7
56,5
2
8
62
3
9
54
4
7
54,1
5
9
45,3
Rata-rata
8
54,38
Data diatas terlihat dengan penggunaan 2,4 D 8 mg/l dapat memacu inisiasi kalus tumbuh pada hari ke-8 dengan berat 54,38 gram. Kalus yang terbentuk berwarna putih kehijauan dan kompak. Dengan menggunakan 2,4 D 8 mg/l, kalus Cenchrus ciliaris dapat terbentuk. Widyaninggar (2005) melakukan penelitian dengan menginduksikan kalus eksplan batang rumput benggala dengan pemberian 2,4 D 8 mg/l yang mencapai 15,61 hari. Eoh (2006) meneliti tentang penggunaan 2,4 D berbagai level untuk pertumbuhan kultur daun rumput benggala. Hasil yang didapatkan adalah pada minggu 1 kalus sudah mulai tumbuh dan persentase terbesar tumbuh pada level 8mg/l. Kriokorion et al., (1990) mengemukakan bahwa pemberian 2,4 D pada konsentrasi rendah sangat efektif untuk induksi dan pertumbuhan kalus, sedangkan dalam konsentrasi tinggi cenderung bersifat herbisida atau menghambat pertumbuhan kalus. 180
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Pengamatan pada minggu kedua terlihat kalus lebih kompak dengan warna putih kehijauan. Narayanaswasny (1989) yang disitasi Eoh (2006) menyatakan bahwa warna kalus bervariasi dan biasanya berkaitan dengan jaringan tanaman yang digunakan sebagai eksplan juga faktor nutrisi dan lingkungan. Ukuran kalus pada minggu ke-2 lebih besar dan digunakan untuk tahap organogenesis akar. Pada saat ini tidak dilakukan penimbangan kalus karena untuk perlakuan organogenesis dan menjaga kalus dari kontaminasi.
Organogenesis Akar Perlakuan yang dilakukan adalah konsentrasi auksin dan sitokinin pada saat organogenesis. Imbangan media yang digunakan adalah sebagai berikut: -
Media MS + 3 mg/l 2,4 D + 0,2 mg/l kinetin (M1)
-
Media MS + 5 mg/l 2,4 D + 0,2 mg/l kinetin (M2)
-
Media MS + 8 mg/l 2,4 D + 0,2 mg/l kinetin (M3) Masing-masing perlakuan dibuat ulangan 10 kali. Dan dibuat perlakuan tanpa
penggojokan (T1) dan dengan di gojok dengan putaran 50 rpm (T2) selama inkubasi. Pada penelitian ini baru dapat diamati kecepatan pembentukan akar, jumlah akar dan belum dilakukan pengukuran panjang akar, dikarenakan seringnya terjadi kontaminasi. Hasil analisis statistika dari 6 ulangan yang dilakukan terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kecepatan pembentukan akar (hari) kalus Cenchrus ciliaris yang ditanam pada media dan cara inkubasi yang berbeda
Replikasi
M1
M2
M3
T1
T2
T1
T2
T1
T2
1
25,00
32,00
13,00
23,00
14,00
21,00
2
24,00
25,00
17,00
31,00
20,00
26,00
3
22,00
26,00
18,00
22,00
16,00
25,00
4
25,00
31,00
21,00
25,00
17,00
26,00
5
26,00
26,00
14,00
22,00
12,00
24,00
6
22,00
30,00
20,00
25,00
15,00
29,00
Rerata
24,00b
28,33c
17,16a
24,66b
15,66a
25,16bc
abc
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata (P<0,05) 181
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Pengamatan terhadap perkembangan kalus selama kurang lebih 4 minggu yang disubkultur ke medium baru yang mengandung 2,4 D dan kinetin menunjukkan bahwa kalus pada hampir semua perlakuan berdiferensiasi membentuk akar, hal ini sesuai dengan pendapat George dan Sherrington (1984) yang mengemukakan bahwa organogenesis pada kalus akan terjadi apabila kalus yang tumbuh pada medium induksi disubkultur ke medium diferensiasi. Kecepatan pembentukan akar dengan level 2,4 D yang berbeda menunjukkan waktu tumbuh yang berbeda-beda. Data memperlihatkan adanya perbedaan (P<0,05) dari perlakuan inkubasi tidak digojok dan digojok pada media yang berbeda. Tabel 3. Jumlah akar kalus Cencrhrus ciliaris yang ditanam pada media inkubasi dan cara inkubasi yang berbeda pada hari ke-28 Replikasi
M1
M2
M3
T1
T2
T1
T2
T1
T2
1
1
-
2
1
2
1
2
1
-
2
-
1
-
3
1
-
2
1
2
1
4
1
-
1
1
1
-
5
1
1
3
2
3
1
6
1
1
1
-
2
1
7
1
-
1
-
1
-
8
1
1
2
-
3
1
9
1
-
1
1
2
-
10
-
-
3
1
2
1
Rerata
1
1
1,8
1,1
1,9
1
Kesimpulan Pada penelitian ini didapatkan data penggunaan 5mg/l 2,4 Dichlorophenoxyacetic acid dan 8mg/l kinetin untuk organogenesis Cenchrus ciliaris. Cara inkubasi yang paling baik untuk pertumbuhan kalus rumput ini adalah tanpa penggojokan.
182
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Daftar Pustaka Bogdan, A. V. 1977. Tropical Pasture and Fodder Plants. Longman. London. Duke, James, A. 1983. Handbook of Energy Crops. Edu/newcrop/duke-energy/cenchrus ciliaris.htm#user.
http://www.hort.purdue.
Fitter, A. H. and R. K. M .Hay. 1994. Environtmental Physiology of Plant. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Gohl. B. , 1981. Tropical Feeds. Feed information summaries and nutritive value. FAO. Animal Production and Health Series 12.FAO. Rome. Indrianto, A. 2002. Kultur Jaringan Tumbuhan. Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Islami, T. dan W. H. Utomo. 1995. Hubungan Air, Tanah dan Tanaman. IKIP Semarang Press, Semarang. Katuuk, R. P. J. 1989, Teknik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi Tanaman. Dep. Dik. Bud, Jakarta. Pp: 4-7, 90-100. Morgan, J. M. 1984. Osmoregulation and water stress in higher plants. Annual Review. Plant Physiology. 1984: 35: 299-319. Munns, R. 1988. Why measure osmotic adjustment. Aust. J. Plant Physiology. 15:717-726 Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. Penerbit BPFE, Yogyakarta. Riadi, Muh.2005. Seleksi Toleransi Genotip Kacang Tanah Terhadap Cekaman Kekeringan Pada Fase Perkecambahan. Disertasi. Universitas Brawijaya. Malang. Schmidt, R. D. 2003. Pocket Guide to Biotechnology and Genetic Engineering. WileyVCH Verlag Gmbh & Co KgaA, Weinheim. Semiarti, E. 1989. Kemungkinan Penggunaan Fusi Protoplas untuk Pemuliaan Tanaman Anggrek. Laporan Penelitian Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Steel, R. G. D. dan J. H.Torrie. 1990. Principles and Procedures of Statistic. Edisi Bahasa Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Watter, L. R dan Constabel, F. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman. Edisi kedua. Penerbit ITB, Bandung.
183
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY
ISBN 978-979-18047-0-7
Widoretno, W. 1987. Psidium Guajava L. dengan Pemakaian Beberapa Macam Eksplan Induksi Kalus pada Kultur Jaringan. Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Widyaninggar, S. 2005. Kultur Rumput Benggala ( Panicum maximum) dengan Zat Pengatur Tumbuh 2,4 D (2,4 dichlorophenoxyacetic acid), NAA (1naphthaleneacetic acid) dan Kinetin. Thesis Sekolah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
184
Prosiding Seminar Nasional ”Peran Bioteknologi bagi Kesejahteraan Umat”, Yogyakarta, 24 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Yayasan Memajukan Bioteknologi Indonesia bekerjasama dengan LPPOM MUI-DIY