5 Sains di Dunia Islam: Fakta Historis-Sosiologis Syamsuddin Arif “No science has ever been integrated into any civilization without some of it also being rejected. It’s like the body. If we only ate and the body did not reject anything we would die in a few days. Some of the food has to be absorbed, some of the food has to be rejected.” –S.H. Nasr1
Terdapat anggapan umum bahwa kemajuan sains dan teknologi di dunia Barat (Eropa dan Amerika) sejak beberapa abad terakhir ini di sebabkan antara lain dan terutama oleh paham sekularisme dan gerakan sekularisasi yang mengakhiri apa yang kemudian disebut sebagai Zaman Kegelapan. Asumsi ini memang ada benarnya, mengingat hubungan yang tidak harmonis selama berabad-abad antara dogmatisme Gereja dan rasionalisme para saintis di Eropa. Ketegangan dan konflik antara keduanya begitu sengit, sehingga seringkali satu pihak berusaha men jatuhkan dan bahkan menindas yang lain.2 Terjadilah praktek-praktek
1
Seyyed Hossein Nasr dalam ceramah umumnya tentang “Islam and Modern Science” untuk the Pakistan Study Group dan the MIT Muslim Students Association, Cambridge, Massachusetts, USA. 2 Literatur seputar perseteruan ini terlalu banyak untuk disebutkan. Lihat, misalnya: John William Draper, History of the Conflict between Religion and Science (New York: Appleton, 1874; cetak ulang Farnborough, Hampshire: Gregg International, 1970; diringkas dan diedit ulang oleh Charles T. Sprading, New York: Vanguard Press, 1926); Andrew Dickson White, A History of the Warfare of Science with Theology in Christendom, 2 jilid (New York: Appleton, dan London: Macmillan, 1896); Paul F. Grindler, “Venice, Science, and the Index of Prohibited Books,” dalam The Nature of Scientific Discovery, ed. Owen Gingerich (Washington, D.C.: The Smithsonian Institution Press, 1975), 33547; John F. Wippel, “The Condemnation of 1270 and 1277 at Paris,” dalam Journal of Medieval and Renaissance Studies 7 (1977): 169-201; David C. Lindberg dan Ronald L.
83
SYAMSUDDIN ARIF
seperti ex-komunikasi, kondemnasi, persekusi, immurasi, inkuisisi, dan eksekusi. Tidak sedikit saintis yang dikucilkan, dikutuk, diburu, dikurung, diinterogasi, dan dijatuhi hukuman mati. Perlakuan buruk yang dialami Giordano Bruno, Galileo Galilei, dan Baruch Spinoza –untuk menyebut beberapa contoh saja– merupakan ‘lembaran hitam’ dalam sejarah sains di Barat.3 Yang keliru dalam hal ini adalah ketika asumsi tersebut di atas diterima for granted dan digeneralisir, dijadikan cermin dan dipakai untuk membaca sejarah perkembangan, kemajuan dan kemunduran peradaban Islam; seolah-olah kasus yang sama juga terjadi di dunia Islam, seolah-olah sains juga mengalami nasib yang sama malangnya dalam sejarah keilmuan Islam. Lebih keliru lagi ketika asumsi tersebut dikonversi menjadi tesis, lalu digunakan sebagai landasan prediksi dan strategi membangun kembali pemikiran dan peradaban Islam kini; bahwa kemunduran sains di dunia Islam disebabkan oleh orthodoksi, bahwa kebangkitan dan kemajuan sains di dunia Islam hanya dapat terwujud jika kaum Muslim mau mengikuti dan meniru bangsa-bangsa Barat, yakni dengan menganut sekularisme dan mempraktekkan sekularisasi. Artikel ini akan membahas masalah ini dari perspektif historis maupun sosiologis, demi memisahkan antara mitos dan realitas seputar jatuh bangunnya sains dalam sejarah peradaban Islam. Kemajuan Sains di Dunia Islam Awal kemunculan dan perkembangan sains di dunia Islam ti dak dapat dipisahkan dari sejarah ekspansi Islam itu sendiri. Dalam tempo lebih kurang 25 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad saw
3
Numbers, God and Nature: Historical Essays on the Encounter Between Christianity and Science (Berkeley: University of California Press, 1986). Lihat Josef Dirnbeck, Die Inquisition. Eine Chronik des Schreckens (Augsburg: Pattloch, 2001); Adriono Prosperi, “L’Inquisizione fiorentina al tempo di Galilei,” dalam Novità celesti e crisi del sapere, atti del convegno internazionale di studi galileiani, Supplemento agli Annali dell’Istituto e Museo di Storia della Scienza, ed. Paolo Galluzzi, Fasc. 2, Monografia 7 (1983): 316-25; Frances Yates, Giordano Bruno and the Hermetic Tradition (London: Routledge and Kegan Paul, 1964); Olaf Pedersen, “Galileo and the Council of Trent: The Galileo Affair Revisited,” dalam Journal for the History of Astronomy 14 (1984): 1-29; Maurice Finocchiaro, The Galileo Affair: A Documentary History (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1989); Steven Nadler, Spinoza’s Heresy: Immortality and the Jewish Mind (Oxford: Oxford University Press, 2002).
SAINS di DUNIA ISLAM
84
(632 Masehi), umat Islam telah berhasil menaklukkan seluruh jazirah Arabia dari selatan hingga utara. Ekspansi dakwah yang dalam sejarah Islam disebut sebagai ‘pembukaan negeri-negeri’ (futūḥ al-buldān) ini berlangsung pesat dan tak terbendung. Bagai diterpa gelombang tsunami, satu per satu, kerajaan demi kerajaan dan kota demi kota berhasil di taklukkan dan dianneksasi. Sehingga tidak sampai satu abad, pada 750 Masehi, wilayah Islam telah meliputi hampir seluruh luas jajahan Alexander dari Macedonia yang menguasai Asia (Kaukasus) dan Afrika Utara (Libya, Tunisia, Aljazair, dan Marokko), termasuk Mesopotamia (Iraq), Syria, Palestina, Persia (Iran), Mesir, serta semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugis) dan India.4 Pelebaran sayap dakwah Islam ini tentu bukan tanpa konsekuen si. Seiring dengan terjadinya konversi massal dari agama asal atau keper cayaan lokal ke dalam Islam, terjadi pula penyerapan terhadap tradisi budaya dan peradaban setempat. Proses interaksi yang berlangsung alami namun pesat ini tidak lain dan tidak bukan adalah cikal bakal “islamisasi” (atau apapun namanya –seperti “naturalisasi”, “integralisasi”, atau “assimilasi”), dimana unsur-unsur dan nilai-nilai masyarakat lokal ditampung, ditampih dan disaring dulu sebelum kemudian diserap. Halhal yang positif dan sejalan dengan Islam dipertahankan, dilestarikan dan dikembangkan, sementara elemen-elemen yang tidak sesuai dengan kerangka dasar ajaran Islam ditolak dan dibuang. Proses ini digambarkan dengan sangat baik oleh sejarawan sains Muslim terkemuka, Seyyed Hossein Nasr, sebagai berikut: “Dalam kedua kasus tersebut [yakni ke munculan sains di dunia Islam dan Eropa Barat] memang ada masa pemindahan, namun ada juga masa pengunyahan, pencernaan, dan penyerapan, yang juga berarti penolakan. Tidak pernah ada sains yang diserap ke dalam sebuah peradaban tanpa penolakan sedikit pun. Mirip dengan badan kita. Kalau kita cuma makan saja, tetapi tubuh kita tidak mengeluarkan sesuatu, maka dalam beberapa hari saja, kita akan mati. Sebagian makanan perlu diserap, sebagian lagi harus dibuang.”5 4
Untuk uraian lanjut, lihat Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid (Chicago: University of Chicago Press, 1974). 5 Aslinya berbunyi: “In both cases there was a period of transmission but there was also a period of digestion, ingestion, and integration, which always means also rejection. No science has ever been integrated into any civilization without some of it also being rejected. It’s like the body. If we only ate and the body did not reject anything we would die in a few
85
SYAMSUDDIN ARIF
Dalam proses interaksi tersebut, kaum Muslim pun terdorong untuk mempelajari dan memahami tradisi intelektual negeri-negeri yang ditaklukkannya. Ini dimulai dengan penerjemahan karya-karya ilmiah dari bahasa Yunani (Greek) dan Suryani (Syriac) ke dalam bahasa Arab pada zaman pemerintahan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, Syria. Pelaksananya adalah para cendekiawan dan paderi yang juga dipercaya sebagai pegawai pemerintahan. Akselerasi terjadi setelah tahun 750 Masehi, menyusul berdirinya Daulat ʿAbbāsiyyah yang berpusat di Baghdad. Seperti dinasti sebelumnya, mereka pun banyak merekrut kaum terpelajar lokal sebagai staf di pemerintahan. Mereka inilah yang kemudian banyak mewarnai perkembangan pemikiran selanjutnya. Sebut saja, misalnya, Ibn al-Muqaffaʿ (w. sekitar 759 Masehi) dan Yaḥyā ibn Khālid ibn Barmak (sekitar 803 Masehi), cendekiawan dan politisi berdarah Persia yang diangkat menjadi menteri pada masa itu. Lalu pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mūn (w. 833 Masehi) mulailah dilaksanakan proyek penerjemahan secara intensif dan besar-besaran. Ia mendirikan sebuah pusat kajian dan perpustakaan yang dinamakan Bayt al-Ḥikmah. Di antara mereka yang aktif sebagai penerjemah dan peneliti tersebutlah nama-nama semisal Ḥunayn ibn Isḥāq dan anaknya Isḥāq ibn Ḥunayn, Abū Bisyr Mattā ibn Yūnus, Yaḥyā ibn ʿAdī, dan lainlain. Menjelang akhir abad ke-9 Masehi, hampir seluruh korpus saintifik Yunani telah berhasil diterjemahkan, meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan, dari kedokteran, matematika, astronomi, fisika, hingga filsafat, astrologi dan alchemy.6 Menurut pakar sejarah sains dari universitas Harvard, Profesor Abdel Hamid Sabra, gerakan penerjemahan tersebut di atas mewakili fase pertama dari tiga tahap Islamisasi sains.7 Ia menyebutnya sebagai
6
7
days. Some of the food has to be absorbed, some of the food has to be rejected,” demikian Seyyed Hossein Nasr dalam ceramah umumnya tentang “Islam and Modern Science” untuk the Pakistan Study Group dan Muslim Students Association Massachusetts Institute of Technology (MIT), Cambridge, Massachusetts, USA. Lebih detailnya lihat Ibn an-Nadīm, Kitāb al-Fihrist, ed. G. Flügel, 2 jilid (Leipzig: F.C.W. Vogel, 1871), 1: 248-51; F.E. Peters, Aristoteles Arabus (Leiden: E.J. Brill, 1968), dan Dimitri Gutas, Greek Thought in Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (2nd-4th / 8th-10th Centuries) (London: Routledge, 1998). A.E. Sabra, “The Appropriation and Subsequent Naturalization of Greek Science in Me dieval Islam: A Preliminary Statement,” dalam jurnal History of Science (1987): 223-43.
SAINS di DUNIA ISLAM
86
fase peraihan atau akuisisi, dimana sains Yunani memasuki wilayah peradaban Islam bukan sebagai penjajah (an invading force), melainkan sebagai ‘tamu’ yang diundang (an invited guest). Namun pada tahap ini, ‘tuan rumah’ yang mengundangnya masih menjaga jarak dan berhatihati. Selanjutnya adalah fase penerimaan atau adopsi, dimana sang tuan rumah mulai mengambil dan menikmati oleh-oleh yang dibawa sang tamu. Lahirlah orang-orang seperti Jābir ibn Ḥayyān (w. ca. 815 Masehi), al-Kindī (w. 873) dan Abū Maʿsyar (w. 886 Masehi). Proses ini terus ber lanjut ke tahap berikutnya yang disebut dengan fase assimilasi dan naturalisasi. Pada tahap ini sang tuan rumah bukan sekedar menerima dan menikmati, tetapi juga mulai mampu meramu dan memasak hi dangan sendiri, mencipta menu baru, membuat dan memasarkannya ke masyarakat luas. Inilah yang ditunjukkan oleh al-Khawārizmī (w. sekitar 863 Masehi) dan ʿUmar al-Khayyām (w. 1132 Masehi) dalam matema tika, Ibn Sīnā (w. 1037 Masehi) dan Ibn an-Nafīs (w. 1288 Masehi) dalam kedokteran, dan, Ibn al-Haytsam (w. 1040 Masehi) dan Ibn as-Syāṭir (w. 1375 Masehi) dalam astronomi, al-Bīrūnī (w. 1048 Masehi) dan al-Idrīsī (sekitar 1150 Masehi) dalam geografi, dan masih banyak sederetan nama besar lainnya.8 Fase kematangan ini berlangsung kurang lebih 500 tahun la manya, ditandai dengan produktifitas yang tinggi dan orisinalitas yang luar biasa. Sebagai ilustrasi, al-Battānī (w. 929 Masehi) mengoreksi dan memperbaiki sistem astronomi Ptolemeus (w. 170 Masehi), mengamati mengkaji pergerakan matahari dan bulan, membuat kalkulasi baru, 8 Uraian mengenai pencapaian dan sumbangsih mereka secara spesifik dapat dilihat dalam The Encyclopedy of the History of Arabic Science, ed. Roshdi Rashed, 3 jilid (London: Routledge, 1996); The Legacy of Islam, ed. T. Arnold dan A. Guillaume (London: Oxford University Press, 1931) serta edisi keduanya yang disunting oleh J. Schacht dan C.E. Bosworth (Oxford: The Clarendon Press, 1974); S.H. Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: The Islamic Text Society, 1987; cet. pertama Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968); Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam, trans. E. and J. Marmorstein (London: Routledge, 1965); Eilhard Wiedemann, Aufsätze zur arabischen Wissenschaftgeschichte, ed. W. Fischer, 2 jilid (New York: George Olm Verlag, 1970); Edward S. Kennedy, Studies in the Islamic Exact Sciences (Beirut: American University of Beirut, 1983); J.L. Berggren, Episodes in the Mathematics of Medieval Islam (New York: Springer, 1986); David King, Islamic Mathematical Astronomy (London: Variorum, 1986); A.I. Sabra, The Optics of Ibn al-Haytham: Books I-III on Direct Vision, 2 jilid (London: The Warburg Institute, 1989); Manfred Ullmann, Islamic Medicine (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1978); Aydin Sayili, The Observatory in Islam (Ankara: Turkish Historical Society Series 7/38: 1960 ).
87
SYAMSUDDIN ARIF
mendesain katalog bintang, merancang pembuatan pelbagai instrumen observasi, termasuk desain jam matahari (sundial) dan perangkat ukur yang dipasang di dinding (mural quadrant). Seperti buku-buku lainnya, karya al-Battānī pun diterjemahkan ke bahasa Latin, yaitu De scientia stellarum, yang dipakai sebagai salah satu bahan rujukan oleh Kepler dan Copernicus.9 Kritik terhadap teori-teori Ptolemeus juga telah dilontarkan oleh Ibn Rusyd (w. 1198 Masehi) dan al-Bitrūjī (ca. 1190).10 Dalam bidang fisika, Ibn Bājjah (w. 1138) telah mengantisipasi Galileo dengan kritik nya terhadap teori Aristoteles tentang gerak benda dan kecepatan.11 De mikian pula dalam bidang-bidang sains lainnya. Bahkan dalam hal tek nologi, pada sekitar tahun 800-an Masehi di Andalusia, Ibn Firnās telah merancang pembuatan alat untuk terbang mirip dengan rekayasa yang dibuat oleh Roger Bacon (w. sekitar 1292 Masehi) dan belakangan diper kenalkan oleh Leonardo da Vinci (w. 1519 Masehi). Melihat prestasi yang cukup gemilang itu, wajarlah jika kemudian muncul pertanyaan bagai mana semua itu dapat terjadi? Jika dikaji dan ditelusuri dengan teliti, faktor-faktor yang telah memungkinkan dan mendorong kemajuan sains di dunia Islam pada saat itu antara lain sebagai berikut. Pertama, kemurnian dan keteguhan da lam mengimani, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam (firm adhe rence to, understanding and practicing of, true Islamic faith and teachings). Keimanan yang teguh, pemahaman yang memadai, dan kesungguhan dalam mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam alQur’an dan Sunnah itu telah berhasil melahirkan individu-individu ‘si ap tempur’ yang unggul secara mental maupun moralnya, dan pada gi lirannya membentuk masyarakat madani yang Islami. Terbukti dalam rentang waktu yang cukup singkat, mereka berjaya membangun sebuah peradaban yang gemilang. Kedua, adanya motivasi agama. Sebagaimana kita ketahui, kitab suci al-Qur’an banyak berisi anjuran untuk menuntut ilmu, perintah agar 9
Willy Hartner, “al-Battānī,” artikel dalam Dictionary of Scientific Biography (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970-1980), jilid 1, hlm. 507-16. 10 Lihat A.I. Sabra, “The Andalusian Revolt against Ptolemaic Astronomy: Averroes and al-Bitrūjī,” dalam Transformation and Tradition in Sciences: Essays in Honor of I. Bernard Cohen, ed. Everett Mendelsohn (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 133-53. 11 Lihat Ernest A. Moody, “Galileo and Avempace: The Dynamics of the Leaning Tower Experiment,” dalam Journal of the History of Ideas 12 (1951): 163-93 dan 375-422.
SAINS di DUNIA ISLAM
88
kita membaca (iqra’), melakukan observasi (a-falā yarawna), eksplorasi (a-falā yanẓurūna) dan ekspedisi (sīrū fī l-arḍi), melakukan ‘inference to the best explanation’ ―dalam istilah filsafat sains kontemporer― serta berfikir ilmiah rasional (li-qawmin yaʿqilūn, yatafakkarūn). Pendek kata, pesan-pesan senada yang intinya mengecam sikap dogmatis atau ‘asal terima’. Begitu gencarnya ayat-ayat ini didengungkan, sehingga belajar atau mencari ilmu pengetahuan diyakini sebagai kewajiban (farīḍah) atas setiap individu Muslim, dengan implikasi berdosalah mereka yang tidak melakukannya. Pada dataran praktis, doktrin ini membawa dampak yang sangat positif. Ia mendorong dan mempercepat terciptanya masyarakat ilmu (knowledge society) dan budaya ilmu (knowledge culture)―dua per kara penting yang bertanggung-jawab melahirkan peradaban Islam.12 Penting diingat, bahwa penekanan yang diberikan Islam terhadap pen tingnya ilmu dan perhatian yang serius terhadap pencarian berbagai ca bang ilmu adalah dalam rangka usaha meraih kebahagiaan sejati (‘disini dan disana’), dan bukan sekedar memenuhi kebutuhan sosial ekonomi (self-aggrandizement atau personal gain). Yang ketiga adalah faktor sosial politik. Tumbuh dan berkem bangnya budaya ilmu dan tradisi ilmiah pada masa itu dimungkinkan antara lain ―jika bukan terutama― oleh kondisi masyarakat Islam yang, meskipun terdiri dari bermacam-macam etnis (Arab, Parsi, Koptik, Berber, Turki, dan lain lain), dengan latarbelakang bahasa dan budaya masing-masing, namun berhasil diikat oleh tali akidah Islam. Dengan de mikian terwujudlah stabilitas, keamanan dan persatuan (political unity, stability, peace and order, because of faith and in spite of ethnic as well as cultural diversity). Para pencari ilmu maupun cendekiawan dengan leluasa dan aman bepergian dan merantau ke pusat-pusat pendidikan dan keilmuan, dari Seville ke Baghdad, dari Samarkand ke Madinah, dari Isfahan ke Kairo, atau dari Yaman ke Damaskus.13 Ini belum termasuk 12 Betapa sentralnya posisi dan pengaruh tradisi ilmu dalam Islam telah dikupas oleh Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: E.J. Brill, 1970); cf. Wan Mohd Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam and Its Implications for Education in A Developing Country (London and New York: Mansell, 1989). 13 Pengembaraan untuk mencari ilmu dibahas oleh al-Khatīb al-Baghdādī dalam alRiḥlah fī Ṭalab al-Ḥadīts; lihat juga Ian R. Netton, Seek Knowledge: Thought and Travel in the House of Islam (Richmond: Curzon Press, 1996) dan idem, Golden Roads: Migration, Pilgrimage and Travel in Medieval and Modern Islam (Richmond: Curzon Press, 1993).
89
SYAMSUDDIN ARIF
mereka yang menjelajahi seluruh pelosok dunia Islam semisal Ibn Jubayr (w. 1217 Masehi) dan Ibn Baṭūṭah (w. 1377 Masehi). Turut berperan menciptakan lingkungan yang kondusif adalah faktor ekonomi. Kesejahteraan masyarakat pada masa itu membuka peluang bagi setiap individu untuk mengembangkan diri dan mencapai apa yang diinginkannya. Imam adz-Dzahabī (w. 1348 Masehi), misalnya, menuntut ilmu hingga usia 20 tahun dengan biaya orangtuanya. Demikian pula Ibn Ḥazm (w. 1046 Masehi), yang juga didukung sepenuhnya oleh ayahnya yang menjabat wazir saat itu. Namun umumnya, pemerintah daerah mengalokasikan dana khusus untuk para penuntut ilmu. Di uni versitas dan sekolah-sekolah tinggi seperti Niẓāmiyyah, ʿAzīziyyah, Mus tanṣiriyyah dan sebagainya, baik staf pengajar maupun pelajar dijamin kehidupannya oleh badan wakaf masing-masing, sehingga mereka bisa konsentrasi penuh pada bidang dan karirnya serta produktif mengha silkan karya-karya ilmiah.14 Dengan kemakmuran jugalah kaum Muslim dahulu dapat membangun istana-istana yang megah, perpustakaanperpustakaan besar dan sejumlah rumah sakit. Faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah dukungan dan perlindungan politis dari penguasa saat itu. Hal ini cukup menentukan mengingat implikasi finansial serta sosialnya. Itulah sebabnya para saintis seperti Ibn Sīnā, Ibn Ṭufayl, Naṣīruddīn aṭ-Ṭūsī dan lain-lain berpindah dari satu tempat ke tempat lain, mengikuti patron-nya. Mereka menjadi penasehat sultan, dokter istana, atau sekaligus menjadi pejabat (seperti Ibn Sīnā yang diangkat sebagai menteri oleh penguasa Hamadan waktu itu). Pentingnya patronase ini dibenarkan oleh seorang ahli sosiologi sains: The considerable freedom and resources that certain outstanding philosophers and mathematicians had to pursue their studies, however, was always contingent upon the official protection of local rulers. As Willy Hartner pointed out in the case of more than a dozen notable figures (such as al-Bīrūnī, Ibn Sīnā, Abu l-Wafā’, Ibn Yūnus, and Ibn al-Haytham), royal patronage was a major element 14 Deskripsi terperinci mengenai sistem belajar mengajar di dunia Islam pada zaman dahulu dapat dilihat di George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981) dan Michael Cham berlain, Knowledge and Social Practice in Medieval Damascus 1190-1350 (Cambridge: Cambridge University Press, 1995).
SAINS di DUNIA ISLAM
90
in their careers. Once that direct ring of protection and approval was withdrawn, scholars immersed in philosophy and the foreign sciences could easily fall into disrepute, as happened to Averroes, despite the fact that he had served as the chief qādi of Cordoba for years.15
Apa yang dipaparkan di atas merupakan faktor-faktor kongkrit yang mempengaruhi perkembangan dan kemajuan sains dalam sejarah peradaban Islam. Disebut demikian berdasarkan fakta-fakta historis yang tertulis dalam literatur klasik. Oleh karena itu, adalah mitos belaka jika dikatakan bahwa sains di dunia Islam dahulu berkembang dan maju karena faham sekularisme atau buah gerakan sekularisasi. Sebab Kemunduran Sains di Dunia Islam Pertanyaan selanjutnya yang sering dilontarkan adalah mengapa cahaya kegemilangan sains tersebut kemudian redup lalu lenyap sama sekali? Tentu saja menjawabnya tidaklah sesederhana melontarkannya. Jawaban untuk pertanyaan ini membawa kita masuk ke arena perdebatan dan teka-teki. Mengingat pelbagai karya dan prestasi yang dicapai oleh para ilmuwan Muslim hingga abad ke-14 Masehi, para ahli sejarah sains banyak yang tak habis pikir mengapa perjalanan sains di dunia Islam seolah-olah mendadak berhenti. “This situation is a deep puzzle about which many have speculated for at least the last 150 years,” kata Toby E. Huff.16 Secara umum, faktor-faktor yang dikatakan menjadi penyebab kemunduran dan kematian sains di dunia Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, internal dan eksternal, yang masing-masing harus diteliti lagi sehingga dapat dibedakan mana yang faktual dan mana yang mitikal, mana yang berbasis data dan mana yang cuma berdasarkan spekulasi belaka. Dibawah ini adalah aneka jawaban yang dilontarkan oleh pakarpakar sejarah maupun praktisi sains dari kalangan Muslim maupun nonMuslim, berikut ulasan kritisnya. 15 Toby E. Huff, The Rise of Early Modern Science: Islam, China and the West (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 69. Ia mengutip Willy Hartner, “Quand et comment s’est arrêté l’essor de la culture scientifique dans l’Islam?” dalam Classicisme et déclin culturel dans l’histoire de l’Islam, ed. R. Brunschvig dan G.E. von Grunebaum (Paris: Maisonneuve et Larose, 1957), hlm. 332-3. 16 Toby E. Huff, The Rise of Early Modern Science: Islam, China and the West, 53.
91
SYAMSUDDIN ARIF
Menurut Profesor Sabra, kemunduran merupakan fase keempat dari proses yang disebutnya sebagai ‘appropriasi’ itu. Pada tahap ini, aktivitas saintifik mengalami reduksi karena lebih diarahkan untuk me menuhi kebutuhan praktis. Sains menyempit wilayah dan perannya men jadi sekedar pelayan agama (handmaiden of religion). Pendapat beliau diamini oleh David A. King, pakar sejarah astronomi Islam dari Institut für Geschichte der Naturwissenschaften, Universitas Frankfurt. Maka arithmetika masih dianggap penting sebagai alat untuk menghitung pembagian harta warisan (farāʾiḍ). Sementara astronomi dan geometri (atau lebih tepatnya trigonometri) terus diajarkan terutama membantu para muwaqqit menetapkan jadwal shalat dari waktu ke waktu dan me nentukan arah kiblat.17 Penjelasan semacam ini tidak terlalu tepat. Sebab, pada banyak kasus, asas manfaat alias utilitarianisme ini justru berperan sebaliknya, menjadi faktor penting yang mendorong perkembangan dan kemajuan sains. Adapun David C. Lindberg menyebut (1) oposisi kaum konser vatif, (2) krisis ekonomi dan politik, serta (3) keterasingan dan keter pinggiran sebagai tiga faktor utama yang bertanggung-jawab atas kemu nduran sains di dunia Islam.18 Makin hari, penentangan dan kecaman terhadap sains dan saintis pada masa itu semakin gencar, tulis guru besar sejarah sains dari Universitas Wisconsin-Madison ini. Sebagai contoh, ia menunjuk kasus pembakaran buku-buku sains dan filsafat yang terjadi antara lain di Cordoba. Pernyataan Lindberg ini mengingatkan kita pada tulisan Goldziher kira-kira seabad sebelumnya yang ia beri judul “Sikap Ulama Salaf terhadap Ilmu-ilmu Klasik”.19 Namun tesis Goldziher ini telah dibantah oleh banyak kalangan. Dimitri Gutas dari universitas Yale, misalnya, mengatakan bahwa Goldziher terlampau gegabah dalam 17 Lihat David A. King, Astronomy in the Service of Islam (Aldershot etc: Variorum, 1993). 18 David C. Lindberg, The Beginnings of Western Science: The European Scientific Tradition in Philosophical, Religious, and Institutional Context, 600 B.C. to A.D. 1450 (Chicago: The University of Chicago Press, 1992), 180-2. 19 Ignaz Goldziher, “Die Stellung der alten islamischen Orthodoxie zu den antiken Wissen schaften,” Abhandlungen der Königlich Preussischen Akademie der Wissenschaften, Jahrgang 1915, Phil.-hist. Klasse, no. 8 (Berlin, 1916); dicetak ulang dalam I. Goldziher, Gesammelte Schriften (Hildesheim: Georg Olms Verlag, 1970), 5: 357-406; terjemah Inggrisnya berjudul “The Attitude of Orthodox Islam toward the Ancient Sciences,” dalam Studies in Islam oleh Merlin L. Swartz (Oxford: Oxford University Press, 1981), 185-215.
SAINS di DUNIA ISLAM
92
menarik kesimpulan, dan itu karena ia dipengaruhi oleh bias pribadinya yang cenderung memojokkan tokoh-tokoh ulama Hanbalī.20 Kritik ini diperkuat oleh Sonja Brentjes berdasarkan hasil penelitiannya atas datadata biografis-historis yang ada. Ia menganggap gambaran yang ditulis Goldziher itu sebagai mitos.21 Michael Chamberlain datang menengahi. Menurut dia, kesalahan Goldziher terletak pada generalisasinya yang tergesa-gesa. Mestinya, untuk dapat mengambil kesimpulan yang akurat, kita harus meneliti kasus per kasus.22 Namun ada satu hal luput dari perdebatan ini, yaitu apa sebenarnya yang melatar-belakangi oposisi tersebut? Inilah yang perlu diungkapkan. Jadi bukan sekedar bagaimana atau seperti apa kejadiannya, namun mengapa semua itu terjadi. Jika para saintis dan filosof dahulu itu dikecam dan dikucilkan, hal itu disebabkan oleh sikap dan perilaku mereka sendiri. Pada puncak kemajuan dan kemakmurannya, banyak sekali diantara mereka yang secara diam-diam telah murtad dan kufur terhadap ajaran Islam. Trend yang berlaku saat itu adalah free-thinking alias liberalisme. Anda bukan intelektual jika tidak eksentrik, liberal dan sekular. Banyak sekali diantara mereka yang munāfiq dan zindīq, mereka yang ‘publicly’ Muslim tetapi ‘privately’ menganut agama Mani, Zoroaster, atau filsafat perennial.23 Contohnya adalah para saintis yang menamakan dirinya Ikhwān as-Safā’ yang mengingkari kenabian Muhammad saw dan menganut semacam natural religion.24 Ada juga yang terang-terangan mengkonsumsi khamar seperti ‛Umar al-Khayyām dan Ibn Sīnā atas berbagai macam alasan. 20 Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‛Abbāsid Society (2nd-4th/8th-10th Centuries) (London and New York: Routledge, 1998), hlm. 166-175. 21 Sonja Brentjes, “Orthodoxy, Ancient Sciences, Power, and the Madrasa (“College”) in Ayyūbid and Early Mamlūk Damascus,” paper presented to the International Workshop on Experience and Knowledge Structures in Arabic and Latin Sciences, Max Planck Institute for the History of Science, Berlin, December 16-17, 1996, (Preprint 77), 17-33. 22 Michael Chamberlain, Knowledge and Social Practice in Medieval Damascus 1190-1350 (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), hlm. 83-84. 23 Lihat F. Gabrieli, “La ‘Zandaqa’ an 1er siécle abbasid,” dalam L’Elaboration de l’Islam – colloque de Strasbourg 12-13-14 Juin 1954 (Paris, 1961), 23-38; D. Urvoy, Les penseurs libres dans l’Islam classique: L’Interrogation sur la religion chez les penseurs arabes indépendant (Paris, 1996) atau Sarah Stroumsa, Freethinkers of Medieval Islam (Leiden: E.J. Brill, 1999). 24 Ulasan mengenai karya mereka dapat dilihat di Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (London: Thames and Hudson, 1978), hlm. 25-104.
93
SYAMSUDDIN ARIF
Berbeda dengan generasi pertama atau kedua, banyak kalangan yang menyebut diri mereka ilmuwan saat itu tidak lagi peduli pada ajaran agama. Bahkan ada yang berkata bahwa mereka yang mengikuti sha lat jum’at itu tak ubahnya seperti sapi dan keledai.25 Dan memang ke hidupan hedonis saat itu sudah mulai dipraktekkan oleh kalangan istana dan kaum elit yang terdiri dari para politisi, cendekiawan, saintis dan budayawan semacam Ibn al-Muqaffaʿ, Abū Ḥayyān at-Tawḥīdī, al-Jāḥiẓ atau Abū Nuwās―kehidupan malam dengan pesta arak dan erotisisme.26 Tak dapat dipungkiri bahwa krisis ekonomi dan instabilitas poli tik sangat berpengaruh terhadap perkembangan sains. Konflik berke panjangan yang seringkali disertai dengan perang saudara telah menga kibatkan disintegrasi, krisis militer dan hancurnya ekonomi. Padahal, seperti dikatakan Lindberg, a flourishing scientific enterprise requires peace, prosperity, and patronage. Dan tiga pilar ini mulai absen di dunia Islam menjelang abad ke-13 Masehi. Semua ini diperparah lagi dengan serangan tentara Salib (1099 Masehi), pembantaian riconquista di Spanyol (1065-1248 Masehi) yang memakan ratusan ribu korban, dan in vasi pasukan Mongol yang berhasil menduduki Baghdad pada 1258 Ma sehi. Tidak hanya korban jiwa. Tidak sedikit perpustakaan dan berbagai fasilitas riset dan pendidikan yang porak-poranda. Ekonomi pun lumpuh dan, sebagai akibatnya, sains berjalan tertatih-tatih. Faktor ketiga yang ditunjuk oleh Lindberg biasanya disebut juga ‘marginality thesis’. Mereka yang mengusung tesis ini berpendapat bah wa sains di dunia Islam tidak bias maju karena statusnya memang se lalu dipinggirkan atau dianak-tirikan. Akibatnya, sains tidak pernah se cara resmi diakui sebagai salah satu mata pelajaran atau bidang studi tersendiri. Pengajaran sains hanya bisa dilakukan dengan cara ‘nebeng’ atau diselipkan bersama subjek lainnya. Seberapa jauh kebenaran tesis ini masih terbuka untuk diperdebatkan. Pada level yang lebih tinggi, hal ini berimplikasi pada riset dan pengembangan. Konon para saintis saat 25 Dialah Tsumāmah ibn al-Asyras, sebagaimana dikutip oleh S. Stroumsa, Freethinkers of Medieval Islam (Leiden: E.J. Brill, 1999), hlm. 14 catatan kaki no.47. Lihat juga John Tolan, Saracen Philosophers Deride Islam (Leiden: E.J. Brill, 2002). 26 Lihat Charles Pellat, Arabische Geisteswelt (Zürich und Stuttgart: Artemis, 1967); C.E. Bosworth, The Medieval Islam Underworld, 2 jilid (Leiden: E.J. Brill, 1976); A.L. alSayyid-Marsot, Society and the Sexes in Medieval Islam (Los Angeles: University of California Press, 1979) dan Philip F. Kennedy, The Wine Song in Classical Arabic Poetry : Abū Nuwās and the Literary Tradition (Oxford: The Clarendon Press, 1997).
SAINS di DUNIA ISLAM
94
itu banyak yang bekerja sendiri-sendiri, di laboratorium milik pribadi, meskipun disponsori dan dilindungi oleh patronnya. Namun demikian tidak ada lembaga khusus yang menampung mereka. Kesimpulan sema cam ini agak problematik. Hal ini jelas mencerminkan generalisasi yang tergesa-gesa dan, kedua, karena institutionalisasi tidak selalu berdam pak positif tetapi bisa juga berakibat sebaliknya. Selain itu, beberapa faktor internal seperti kelemahan metodologi, kurangnya matematisasi, langkanya imajinasi teoritis, dan jarangnya eksperimentasi, juga dianggap sebagai penyebab stagnasi sains di dunia Islam. Pendapat ini disanggah oleh Toby E. Huff. Menurut dia, mengapa di dunia Islam yang terjadi justru kejumudan dan bukan revolusi sains lebih disebabkan oleh masalah sosial budaya ketimbang oleh hal-hal tersebut di atas.27 Buktinya, Copernicus tampaknya menggunakan model dan instrumen yang didesain oleh at-Ṭūsī.28 Tradisi saintifik Islam, tegas Huff, juga terbukti cukup kaya dengan pelbagai teknik eksperimen da lam bidang astronomi, optik maupun kedokteran.29 Oleh karena itu Huff lebih cenderung menyalahkan iklim sosial-kultural-politik saat itu yang dianggapnya gagal menumbuhkan semangat universalisme dan otonomi kelembagaan di satu sisi, dan membiarkan partikularisme dan elitisme berkembang-biak. Di sisi lain, Huff menilai tidak terdapatnya skeptisisme yang terorganisir dan dedikasi yang murni (disinterestedness) juga telah mempengaruhi perkembangan sains di dunia Islam.30 Dengan poin terakhir ini, Huff telah membawa kita keluar dari wilayah sosiologi ke epistemologi sains. Uraian di atas belum lengkap jika tidak membahas pendapat 27 Toby E. Huff, The Rise of Early Modern Science: Islam, China and the West (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 208-12. 28 Noel Swerdlow dan Otto Neugebauer, Mathematical Astronomy in Copernicus’s “De revolutionibus” (New York: Springer Verlag, 1984), 46. 29 A.I. Sabra, “Scientific Enterprise,” dalam Islam and the Arab World, ed. Bernard Lewis (New York: Alfred Knopf, 1976); David C. Lindberg, Theories of Vision from alKindi to Kepler (Chicago: University of Chicago Press, 1976); George Saliba, “History and Observation in Islamic Astronomy: The Work of Ibn al-Shātir,” dalam Journal for the History of Astronomy 18 (1987): 35-43; Max Meyerhof, “Thirty-three Clinical Observations of Rhazes,” dalam Isis 23 (1933): 321-55; Albert Dietrich, “Islamic Sciences and the Medieval West: Pharmacology,” dalam Islam and the West, ed. Khalil Semaan (Albany: State University of New York Press, 1980), 50-64. 30 Untuk penjelasannya lihat Toby E. Huff, The Rise of Early Modern Science: Islam, China and the West (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 213-36.
95
SYAMSUDDIN ARIF
Pervez Hoodbhoy. Ahli fisika lulusan Massachusetts Institute of Techno logy (MIT) ini antara lain menyebut teologi Asyʿarī sebagai salah satu penyebab kemunduran sains. Menurutnya, doktrin teologi ini mem buat kaum Muslim jadi fatalistik, tidak berpikir rasional dan cenderung bersikap pasif dalam menyikapi fenomena dan realitas. Lebih jauh lagi Hoodbhoy menuduh Imam al-Ghazālī sebagai orang yang bertanggungjawab menghancurkan bangunan sains di dunia Islam.31 Tuduhan per tama hanya dapat dibenarkan jika Asyʿarisme adalah sinonim dari dan equivalent dengan fatalisme. Namun menyamakan apatah lagi mereduksi akidah Asyʿariyyah menjadi Jabriyyah adalah keliru sama sekali. Lebih sesat lagi jika ajaran Islam disamakan dengan fatalisme. Demikian pula tudingan yang kedua. Yang diserang dan ingin dihancurkan oleh Imam al-Ghazālī sebenarnya bukan bangunan sains, akan tetapi sikap para ilmuwan (scientific attitude) saat itu yang nampak sekali telah men dogmakan sains. Sains telah diagungkan sedemikian rupa seolah-olah seperti agama, sehingga tidak boleh dipertanyakan dan digugat lagi ke benarannya. ‘Scientisme’ semacam inilah yang sesungguhnya dikritik oleh Imam al-Ghazālī, dan bukan sains itu sendiri. Maka judul karyanya pun Tahāfut al-Falāsifah, bukan Tahāfut al-Falsafah. Jika dibaca dengan cermat dan seksama, kritik Imam al-Ghazālī justru bernilai positif dan sangat diperlukan untuk perkembangan dan kemajuan sains. Didalam nya bertaburan benih-benih empirisisme yang kelak menjadi ciri khas sains modern.32 Alessando Bausani (guru besar di Istituto Universitario Orientale di Napoli, Italia), pernah menyatakan bahwa seandainya para digma yang dominan pada masa itu ialah atomisme dan empirisisme ―bukan Aristotelianisme yang dikatakan terlampau rasionalistik dan deterministik, niscaya nasib sains di dunia Islam akan lain ceritanya.33 Ada juga klaim yang menghubungkan kemunduran sains de ngan merebaknya sufisme. Memang benar, seiring dengan kemajuan 31 Pervez Hoodbhoy, Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality (London and New Jersey: Zed Books, 1991), 104-7 dan 120. 32 Peran Imam al-Ghazālī ini telah dibahas oleh Prof. Dr. Cemil Akdogan dalam artikelnya, “Asal-usul Sains Modern dan Kontribusi Muslim,” dalam Islamia, Th.1, No.4 (JanuariMaret 2005), hlm. 95-9. 33 Lihat “Some considerations on three problems of the anti-Aristotelian controversy between al-Bīrūnī and Ibn Sīnā,” dalam Abhandlungen der Akademie der Wissenschafien in Gottingen, Philolog. histor. Klass. Ill, 98 (1976), hlm. 74-85.
SAINS di DUNIA ISLAM
96
peradaban Islam saat itu, muncul berbagai gerakan moral spiritual yang dipelopori oleh kaum sufi. Intinya adalah penyucian jiwa dan pembinaan diri secara lebih intensif dan terencana.34 Pada perkembangannya, ge rakan-gerakan tersebut kemudian mengkristal menjadi organisasi ta rekat-tarekat dengan pengikut yang kebanyakannya orang awam.35 Po pularisasi tasawuf inilah yang bertanggung-jawab melahirkan sufi-sufi palsu (pseudo-sufis) dan menumbuhkan sikap irrasional di kalangan masyarakat. Tidak sedikit dari mereka yang lebih tertarik pada aspekaspek mistik supernatural (seperti keramat (karāmah), kesaktian, keajai ban dan sebagainya) ketimbang pada aspek ‛ubūdiyyah dan akhlāqnya. Obsesi untuk memperoleh kesaktian dan kegandrungan pada hal-hal tersebut pada gilirannya menyuburkan berbagai bentuk bidʿah, takhay yul dan khurāfāt. Akibatnya yang berkembang bukan sains, tetapi ma gic (sihir serta pedukunan) dan aneka pseudo-sains seperti astrologi (zā’iraja), physiognomy (ilmu qiyāfah, firāsah, palmistry), geomancy, necromancy, mujarrobāt perjimatan (awfāq, ʿazīmat, tamīmah) dan se bagainya.36 Maka lebih tepat jika dikatakan bahwa kemunduran sains disebabkan oleh praktek-praktek semacam ini, dan bukan oleh ajaran tasawuf.37 Catatan Penutup 34 Ajaran sufi dikupas, misalnya, dalam Abū Bakr al-Kalābādhī, at-Taʿarruf li-Madzhabi Ahli t-Taṣawwuf (Kairo, t.t.); Abu al-Qāsim al-Qusyayrī, al-Risālah al-Qusyayriyyah (Kairo, 1379 H); Abū Nasr as-Sarrāj, al-Lumaʿ, ed. ʿAbdul Ḥalīm Maḥmūd et al. (Kairo, 1960); dan Ibn ʿAṭā’illāh as-Sakandarī, al-Ḥikam (Kairo: t.p., 1939). 35 Untuk ulasan terperinci lihat J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam (Oxford: The Clarendon Press, 1971). 36 Lihat Toufic Fahd, La divination arabe: Études religiueses, sociologiques et folkloriques sur le milieu natif de l’Islam (Leiden : Brill, 1966); C. Bonner, Medizin und Magie. Heil kunde und Geheimlehre des islamischen Mittelalter (Berlin, 1975); M. el-Gawhary, Die Gottesnamen im magischen Gebrauch in den al-Būnī zugeschriebenen Werke (Bonn, 1968) dan Dorothee A. Pielow, Die Quellen der Weisheit. Die arabische Magie im Spiegel des Uṣūl al-Ḥikma von Aḥmad ibn ʿAlī al-Būnī (Hildesheim: Georg Olms, 1995). 37 Demikian menurut Armand Abel, “La place des sciences occultes dans la décadence,” dalam Classicisme et déclin culturel dans l’histiore de l’Islam, ed. R. Brunschvig dan G.E. von Grunebaum (Paris: Maisonneuve et Larose, 1957), hlm. 291-311. Hal ini diper kuat dengan munculnya reaksi dan penentangan oleh sebagian ulama. Lihat John W. Livingston, “Ibn Qayyim al-Jawziyyah: A Fourteenth-Century Defense against Astrolo gical Divination and Alchemical Transmutation,” dalam Journal of American Oriental Society 91 (1971): 96-103.
97
SYAMSUDDIN ARIF
Memasuki era modern, sikap kaum Muslim terhadap sains terpe cah menjadi tiga. Ada yang anti dan menolak mentah-mentah, ada yang menelan bulat-bulat tanpa curiga sedikitpun, dan ada yang menerima dengan penuh kewaspadaan. Sikap yang pertama maupun yang kedua kurang tepat karena sama-sama ekstrim. Sikap yang paling bijak adalah bersikap adil, pandai menghargai sesuatu dan meletakkannya pada tem patnya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemajuan ataupun kemunduran sains dipengaruhi oleh dan tergantung pada banyak faktor internal maupun eksternal. Sebagai aktivitas nyata, ‘scientific enterprise’ mencerminkan nilai-nilai (epistemologis etc) yang dianut dan diamalkan para pelakunya. Kaum Muslim dapat meraih kembali kejayaannya jika mereka mau belajar dari sejarah agar tidak terjatuh ke jurang kegelapan berkali-kali.