BUKU PANDUAN RAMADHAN 1432 H
TIDAK DIPERJUALBELIKAN
Persembahan
PUSKOMNAS FSLDK INDONESIA MASSA JIHAD 2010-2012
TIM KOMISI B PUSKOMNAS FSLDK INDONESIA
BUKU PANDUAN RAMADHAN 1432 H
Penerbit :
Sekretariat Puskomnas FSLDK Indonesia Lampung, 1432 H
BUKU PANDUAN RAMADHAN 1432 H
Tim Komisi B Puskomnas FSLDK Indonesia Lampung, Sekretariat Puskomnas FSLDK Indonesia Cetakan Pertama, Sya‟ban 1432 H 78 hlm; 24x16 cm
Tim Komisi B Puskomnas FSLDK Indonesia: Muchtar H.S, M.Sulaiman, M.N.Huda, Andriyansyah Leni Astuti, Istika S.D, Ratih, Desna M Layout : Heru Ruwandar
Penerbit : Sekretariat Puskomnas FSLDK Indonesia Jln.Z.A Pagar Alam, Perum Griya Kencana Blok A4 Rajabasa Bandar Lampung, 0813 6923 2063 www.fsldk.org
DARI PENERBIT
Ada banyak faktor yang membuat kita harus bersyukur kepada Allah Swt. Adapun salah satunya adalah disampaikan-Nya usia kita pada bulan Ramadhan yang Mubarak (Allahumma Balighna fi Ramadhan. Ya Alla, Sampiakanlah kami pada bulan Ramadhan), sehingga kita bisa rasakan lagi ibadah Ramadhan yang nikmat itu. Kenikmatan ibadah Ramadhan dapat kita rasakan salah satunya dari sisi nilai tarbiyyah (pendidikan) nya buan hanya kepada diri sendiri, melainkan juga kepada keluarga dan masyarakat yang ada disekeliling kita. Oleh karena itu, manakala ibadah Ramadhan ini dapat kita tunaikan dengan sebaik-baiknya, maka masyarakat dan negara kita yang mayoritas penduduknya muslim ini akan sampai pada suatu keadaan yang bersih jiwanya sehingga melahirkan masyarakat dan bangsa yang bersih dari sifat dan prilaku yang buruk. Ada banyak nilai tarbiyyah Ramadhan yang akan kita peroleh, baik itu sebelum, selama, dan setelah ramadhan. Untu itu, pemahaman mengenai hal ini perlu kita ingat dan segarkan kembali agar pelaksanaan Ramadhan pada tahun ini bisa kita optimalkan dalam peroleh hasil-hasilnya. Terbitnya
buku
ini
merupakan
salah
satu
sarana
untuk
mempermudah kita bersama dalam menjalankan pelaksanaan ibadah Ramadhan. Dan sekiranya mohon maaf apabila dalam buku ini banyak terdapat kesalahan, kutipan yang tidak sempurna, terlebih dalam hal isi.
Adapun buku ini tidak bermaksud untuk menimbulkan perbedaan pendapat dikarenakan ada beberapa isi dalam buku ini yang mengambil pendapat dari beberapa ulama yang berkaitan dengan masalah Fiqh. Tiada kata yang pantas untuk mengakhiri tulisan ini, selain firman Allah SWT : “Kemudian kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang dzalim pada diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang biasa saja dan diantara mereka ada yang lebih banyak berbuat kebaikan. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. Bagi mereka surga A‟dn yeng mereka masuki dengan dihiasi gelang-gelang emas dan mutiara dan pakaian mereka di dalamnya adalah sutera. Mereka berkata: Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan kami, sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Penerima Syukur”.(Q.S Fatir ayat 32-34) Wallahu „alam bi showab Bandar Lampung, Sya‟ban 1432 H Tim Komisi B Puskomnas FSLDK Indonesia
KATA PENGANTAR Agar menjadi kokoh dan solid Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk member peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (Q.S At Taubah : 122) Dinamika dakwah sejak proses hingga terbentuknya sebuah tatanan kekhalifahan dalam sejarah Islam sangat padat dengan pelajaran, yang perlu untuk diikuti oleh generasi penerusnya. Organisasi yang sangat besar membutuhkan orang-orang yang memiliki Quwwatul Fiqh (Kekuatan Ilmu Syari‟ah) sehingga dapat berjalan sesuai dengan aturan-aturan syari‟ah. Melalui kekuatan syari‟ah diharapkan mampu untuk menciptakan Quwwatul Indzar (Kekuatan memberikan arahan) kepada seluruh anggota, khususnya terhadap para anggota yang mengemban amanah dakwah. Setelah ada usaha dari tim yang memiliki kemampuan untuk memberikan arahan pada anggota organisasi dan masyarakat, diharapkan akan terbentuk dan terwujudnya masyarakat yang memiliki Quwwatul Hadzar (Kekuatan sensitifitas syari‟ah), sehingga terjadi sinergi positif antara pemimpin dan rakyat, kokoh dan solid. Bandar Lampung, 15 Sya‟ban 1432 H Ketua Puskomnas FSLDK Indonesia
Adi Inzar Kusuma
DAFTAR ISI
Dari Penerbit ………………………………………………. Kata Pengantar …………………………………………….. Daftar Isi …………………………………………………… BAB I PENDAHULUAN .................................................... Pengertian Ramadhan dan Hikmahnya ................................. BAB II PANDUAN KEGIATAN RAMADHAN .............. A. Sebelum Ramadhan ....................................................... B. Selama Ramadhan ......................................................... C. Setelah Ramadhan ……………………..……………... BAB III PANDUAN AMALIYAH RAMADHAN ............ A. Sebelum Ramadhan......................................................... B. Selama Ramadhan........................................................... C. Setelah Ramadhan........................................................... D. Panduan Shalat Tarawih E. Panduan I‟tikaf ............................................................... F. Malam Lailatul Qadar .................................................... BAB IV BAHAN PELENGKAP ........................................ A. Mutaba‟ah Yaumiyah – Ramadhan 1432 H …..………. B. Silabus Taujih Ramadhan ……………………............
All About FSLDK Indonesia ………………………..
I.
PENDAHULUAN
Ramadhan adalah satu dari dua belas nama bulan dalam setahun. Karena itu setiap tahun Ramadhan datang menjumpai kita. Banyak yang merasa beruntung karena telah berkali-kali menjumpai kedatangan bulan Ramadhan. Artinya, bisa berkali-kali pula berpuasa di bulan Ramadhan. Pertanyaannya adalah, apakah amal perbuatan kita selama puasa Ramadhan dari tahun ke tahun sudah berkualitas. Ataukah Ramadhan sekadar dirasakan sebagai bulan yang datang sebagai rutinitas dengan puasa dan sibuk menyiapkan menu pilihan buka bersama? Atau jangan-jangan kita masih merasakan kedatangan bulan Ramadhan sebagai beban karena harus berpuasa selama sebulan utuh? Diantara nama bulan Ramadhan yang maghfirah adalah Syahrut Tabiyah dan Sahrul Jihad. Inilah nama-nama lain bulan Ramadhan yang penuh hikmah ini Ramadhan adalah tamu yang sangat agung yang selalu dinanti dan ditunggu oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Ada beberapa hikmah dari bulan Ramadhan yang penuh berkah dan maghfirah ini, yaitu sesuai dengan nama dari bulan Ramadhan itu sendiri. Bulan Ramadhan memiliki banyak nama disamping Ramadhan itu sendiri, diantaranya ialah : 1. Syahrut-Tarbiyah (Bulan Pendidikan) Kenapa bulan Ramadhan disebut dengan syahrut Tarbiyah/bulan pendidikan, karena pada bulan ini kita dididik langsung oleh Allah SWT. seperti makan pada waktunya sehingga kesehatan kita terjaga. Atau kita diajarkan oleh supaya bisa mengatur waktu dalam kehidupan kita. Kapan
waktu makan, kapan waktu bekerja, kapan waktu istirahat dan kapan waktu ibadah. 2. Syahrul Jihad Pada masa Rasulullah justru peperangan banyak terjadi pada bulan Ramadhan dan itu semua dimenangkan kaum muslimin. Yang paling penting kita rasakan sekarang adalah kita berjihad melawan hawa nafsu sendiri, sehingga kita tetap bersungguh-sungguh menjalan aktifitas kita. 3. Syahrul Qur’an Al-Qur‟an petama sekali diturunkan di bulan Ramadhan dan pada bulan ini sebaiknya kita banyak membaca dan mengkaji kandungan AlQur‟an sehingga kita faham dan mengerti perintah Allah yang terkandung di dalamnya. 4. Syahrul Ukhuwah Pada bulan ini kita merasakan sekali ukhuwah diantara kaum muslimin terjalin sangat erat dengan selalu berinteraksi di Masjid/Mushollah untuk melakkukan sholat berjama‟ah. Dan diantara tetangga juga saling mengantarkan perbukaan sehingga antara kaum muslimin terasa sekali kebersamaan dan kesatuan kita. 5. Syahrul Ibadah Bulan Ramadhan disebut juga dengan Bulan ibadah karena pada bulan ini kita banyak sekali melakukan ibadah-ibadah sunnah disamping
ibadah wajib seperti sholat sunnat dhuha, rawatib dan tarawih ataupun qiyamullai serta tadarusan al-qur‟an. Namun, rutinitas keseharian yang kita jalani setiap harinya tanpa tersadar menyeret kita ke arus perubahan waktu. Tak sadar kita bertemu dengan bulan berkah yang suci bulan Ramadhan. Di bulan ini, ada 3 kelompok sikap yang menyambutnya : 1. Kelompok yang menyambut dengan suka cita dan gembira. Karena mengetahui nilai kemuliaan di bulan ini, maka ia mengisinya tidak hanya berpuasa tetapi ditunjang dengan amal ibadah yang lain. Si penyambut
tidak
akan
menyia-nyiakan
kehadiran
Ramadhan.
Ia
dianggapnya tamu jauh yang kehadirannya sangat sulit ditemui. Ia pun belum merasa yakin tamu tersebut datang mengunjunginya di tahun-tahun yang akan datang. Inilah analogi yang ia gunakan. Karenanya ia tidak ingin menyia-nyiakan setiap malam-malamnya. Ia mengerti betul hadist tentang keistimewaan Ramadhan. Bahwa 10 malam pertama adalah rahmat, 10 malam kedua adalah maghfiroh dan 10 malam yang ketiga adalah terbebas dari api neraka 2. Kelompok yang menyambutnya dengan sikap biasa-biasa saja dan tetap berpuasa. Kelompok ini, ia tetap berpuasa. Ia tetap melaksanakan solat sebagaimana hari-hari di luar Ramadhan. Namun, ia tidak menemukan keistimewaan di dalam bulan ini. Sepulang dari aktivitas pekerjaan, ia seperti biasanya menonton TV sambil menunggu waktu berbuka, kemudian mandi, solat maghrib, makan malam kemudian dilanjutkan dengan nonton
TV atau istirahat karena lelah setelah seharian bekerja. Tidak ada yang istimewa. 3. Kelompok yang menyambutnya dengan sikap menyesal bahkan menganggap bulan ini adalah bulan pengekangan hawa nafsu yang dianggap merugikan. Terhadap kelompok ini, ia kadang berpuasa kadang juga tidak. Aktivitas sehari-harinya lebih banyak digunakan dengan tidur karena menganggap bulan puasa sebagai bulan istirahat. Pun ia tidak berpuasa. Dari analogi ketiga kelompok di atas tentunya kita dapat mengelompokkan diri masing-masing. Berada di dalam kelompok manakah diri kita? Alangkah bahagianya jika kita berada dalam kelompok pertama yang benar-benar mengistimewakan kehadiran bulan Ramadhan. Terkadang aktivitas pekerjaan yang menyita pikiran dan tenaga membuatnya lelah dan kalah untuk mengisi malam-malam Ramadhan dengan amalan ruhiyah. Ketika Ramadhan sudah diambang pintu, ia bertekad untuk menyambutnya dengan suka cita. Ia bertekad akan mengisinya dengan amalan ruhiyah. Namun, setelah berlalu satu malam, dua malam, dan seterusnya hingga Ramadhan berakhir ia tidak berhasil. Pekerjaan dan penat menjadi alasan nomor satu yang membuatnya tertidur lelap. Ini adalah fenomena yang tidak bisa dipungkiri menjangkiti hampir setiap diri setiap muslim. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita berusaha menyambut tamu istimewa Ramadhan dengan spesial? Sudahkah kita memaknainya dengan kondisi ruhiyah yang khusyu‟ berserah diri? Memohon ampun atas dosa dan khilaf di sebelas bulan yang telah terlewati?
Karena di bulan inilah kesempatan dosa-dosa diampuni jika kita tidak yakin di bulan yang lain diampuni. Ramadhan adalah bulan latihan untuk menempa diri. Bulan tidak makan dan tidak minum untuk perbaikan metabolisme tubuh. Bulan dimana kita ‟dipaksa‟ untuk melakukan aktivitas terbaik dengan istirahatnya tubuh dari makan dan minum. Bulan dimana kita mengaktifkan sel-sel tubuh yang lain, yaitu potensi otak dan hati kita. Bulan dimana kita bisa mendapatkan pahala dimana di bulan-bulan sebelumnya kita belum tentu mendapatkannya. Bulan dimana dengan solat sunah saja kita mendapat pahala yang sama besarnya dengan solat wajib. Bulan dilipatgandakannya pahala. Tidakkah kita bersyukur dengan adanya Ramadhan? Subhanallah, Allah begitu sayang pada kita. Ia menurunkan rahmat-Nya melalui Ramadhan. Bulan dimana kita bisa berkesempatan meraih pahala, rahmat, hidayah dan ampunan-Nya. Bulan Ramadhan adalah bulan dimana dilipatgandakan pahala dan bulan diampuninya dosa-dosa. Beribadah sunnah di bulan ini pahalanya sama dengan mengerjakan pahala ibadah wajib. Kemudian Allah juga memberikan kemuliaan berupa tiga hal yaitu 10 hari pertama adalah rahmat, 10 hari kedua adalah ampunan, dan 10 hari terakhir adalah terbebas dari api neraka. Dan dibulan ini ada satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Sukses Ramadhan, tergantung seberapa jauh kita mempersiapkan diri. Persiapan fisik, pikiran dan mental insya Allah akan membuat Ramadhan kita berkualitas. Karenanya, sedini mungkin kita melakukan persiapan untuk menyambut Ramadhan. Persiapan itu alangkah baiknya dimulai dari bulan Rajab, bulan yang juga merupakan salah satu bulan yang Allah muliakan.
Mengapa ada hadist Nabi : “Allahumma ballighna fii Rajaba wa Syaban wa ballighna Ramadan”? Artinya : Ya Allah, sampaikan kami pada (bulan) Rajab dan Sya‟ban, dan sampaikan kami pada (bulan) Ramadhan. Hal ini secara tersirat dimaksudkan agar kita mempersiapkan diri menyambut Ramadhan dengan melakukan amalan ruhiyah sejak bulan Rajab tiba. Untuk menjalani Ramadhan secara lebih baik hendaknya dimulai sejak sebelum kedatangannya. Sambut Ramadhan dengan melakukan berbagai persiapan. Rasululullah SAW dan para sahabat pun dulu sangat bersemangat menyambut datangnya bulan Ramadhan. Mereka serius mempersiapkan diri agar bisa memasuki bulan Ramadhan dan melakukan berbagai amalan dengan
penuh
keimanan,
keikhlasan,
semangat,
giat,
dan
tidak
merasakannya sebagai beban. Berbagai persiapan dilakukan untuk menyambut Ramadhan, tamu yang istimewa ini. Untuk memudahkan mungkin bentuk persiapan bisa kita rincikan sebagai berikut: 1. Persiapan Nafsiyah Yang dimaksudkan dengan mempersiapkan nafsiyah adalah menyambut dengan hati gembira bahwasanya Ramadhan datang sebagai bulan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT. Jiwa yang siap memandang Ramadhan bukan sebagai bulan penuh beban, melainkan bulan untuk berlomba meningkatkan kualitas ubudiyah dan meraih derajat tertinggi di sisi Allah SWT. Persiapan nafsiyah merupakan hal yang penting untuk
diperhatikan dalam upaya memetik manfaat sepenuhnya dari ibadah puasa. Tazkiyatun nafsi (penyucian jiwa) akan melahirkan keikhlasan, kesabaran, ketawakalan, dan berbagai amalan hati lainnya, yang akan menuntun seseorang kepada jenjang Ibadah yang berkualitas dengan kuantitas optimal. Seorang yang menjalani ibadah puasa di Bulan Ramadhan tanpa memiliki kesiapan secara nafsiyah dikhawatirkan puasanya akan menjadi kurang bermakna atau bahkan sia-sia, lebih parah lagi jika menjadi gugur. Persiapan penting yang harus kita lakukan adalah persiapan mental. Mempersiapkan diri secara mental tidak lain adalah mempersiapkan ruhiyah kita serta membangkitkan suasana keimanan dan memupuk spirit ketakwaan kita. Salah satu caranya adalah dengan memperbanyak amal ibadah. Dalam hal ini Rasulullah SAW telah memberikan contoh kepada kita semua dengan memperbanyak puasa pada bulan Sya‟ban. Ummul Mukmin Aisyah r.ha menuturkan: “Aku belum pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadhan dan aku belum pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa dibandingkan pada bulan Sya‟ban.” Puasa bulan Sya‟ban itu demikian penting dan memiliki keutamaan yang besar dari pada puasa pada bulan lainnya, tentu selain bulan Ramadhan. Sedemikian pentingnya dan utamanya sampai Imran bin Hushain menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada seorang sahabat, “Apakah engkau berpuasa pada akhir bulan (Sya‟ban) ini?‟ Laki-laki itu menjawab, Tidak!‟ Rasulullah SAW kemudian bersabda kepadanya, „Jika engkau telah selesai menunaikan puasa Ramadhan, maka berpuasalah dua hari sebagai gantinya.”
Walhasil, puasa Sya‟ban, di samping berbuah pahala yang besar dan keutamaan di sisi Allah, merupakan sarana latihan guna menyongsong datangnya Ramadhan. 2. Persiapan Tsaqafiyah Untuk dapat meraih amalan di bulan Ramadhan secara optimal diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai fiqh al-Shiyam. Oleh karena itu persiapan tsaqafiyah tidak kalah penting bagi seseorang untuk mendapatkan perhatian yang serius. Dengan pemahaman fikih puasa yang baik seseorang akan memahami dengan benar, mana perbuatan yang dapat merusak nilai shiyamnya dan mana perbuatan yang dapat meningkatkan nilai dan kualitas shiyamnya. Orang berilmu mengetahui tingkatan-tingkatan ibadah, perusak-perusak amal, dan hal-hal yang menyempurnakannya dan apa-apa yang menguranginya. Suatu amal perbuatan tanpa dilandasi ilmu, kerusakannya lebih banyak daripada kebaikannya. Hanya dengan ilmu kita dapat mengetahui cara berpuasa yang benar sesuai syariat Islam. Jembatan menuju kebenaran adalah ilmu, dan siapa yang menempuh perjalanan hidupnya dalam rangka menuntut ilmu maka Allah SWT akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dari Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang berjalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan [memudahkan] dengannya jalan dari jalan-jalan kesurga” 3. Persiapan Jasadiyah Tidak dapat dipungkiri bahwa aktivitas Ramadhan banyak memerlukan kekuatan fisik, untuk shiyamnya, tarawihnya, tilawahnya, dan
aktivitas ibadah lainnya. Dengan kondisi fisik yang baik akan lebih mampu melakukan ibadah tersebut tanpa terlewatkan sedikitpun, insya Allah. Bila kondisi fisik tidak prima akan berpotensi besar kesulitan melaksanakannya amaliyah tersebut dengan maksimal, bahkan dapat terlewatkan begitu saja. Padahal bila terlewatkan nilai amaliah Ramadhan tidak semuanya bisa tergantikan pada bulan yang lain. 4. Persiapan Maliyah Hendaknya persiapan materi ini tidak dipahami sekadar untuk beli pakaian baru, bekal perjalanan pulang kampung atau untuk membeli pernikpernik jajanan „Idul fithri. Hendaknya maliyah yang ada dipersiapkan untuk infaq, sedekah, dan zakat. Sebab nilai balasan infak dan sedekah akan dilipatgandakan sebagaimana kehendak Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap amal bani Adam dilipatgandakan, kebaikan diganjar sepuluh kali lipat yang sepadan dengannya hingga sampai 700 kali lipat, bahkan hingga sampai kepada apa yang Allah kehendaki. Allah Azza wa Jalla berfirman, „Kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu untukku dan Aku sendirilah yang akan membalasnya. la meninggalkan syahwat dan makannya hanya karena Aku.‟Bagi orahg yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan tatkalaia berbuka dan kegembiraan tatkala ia bertemu dengan Rabb-nya. Sungguh bau mulut seorang yang berpuasa itu adalah lebih harum di sisi Allah dibandingkan harumnya kesturi.”4 Bulan Ramadhan merupakan bulan muwasah (santunan). Sangat dianjurkan memberi santunan kepada orang lain, betapapun kecilnya. Pahala yang sangat besar akan didapat oleh orang yang tidak punya, manakala ia
memberi kepada orang lain yang berpuasa, sekalipun cuma sebuah kurma, seteguk air, atau sesendok nasi. Rasulullah SAW pada bulan Ramadhan ini sangat dermawan, sangat pemurah. Digambarkan bahwa sentuhan kebaikan dan santunan Rasulullah SAW kepada masyarakat sampai merata, lebih merata ketimbang sentuhan angin terhadap benda-benda di sekitarnya. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Ibnu „Abbas r.a, “Bahwasanya Rasulullah SAW adalah orang yang paling dermawan. Beliau akan lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan, saat beliau ditemui Jibril. Jibril menemui beliau setiap malam pada bulan Ramadhan, lalu membacakan kepadanya al-Quran. Sungguh, Rasulullah SAW lebih dermawan dalam kebaikan daripada angin yang berhembus.” Santunan dan sikap ini sudah barang tentu sulit dilakukan dengan baik jika tidak ada persiapan materi yang memadai. Termasuk dalam persiapan maliyah adalah mempersiapkan dana, sehingga tidak terpikir beban ekonomi untuk keluarga, agar dapat beri‟tikaf dengan tenang. Untuk itu, mesti dicari tabungan dana yang mencukupi kebutuhan di bulan Ramadhan.
II.
PANDUAN KEGIATAN RAMADHAN
A. SEBELUM RAMADHAN Program Tarhib Ramadhan adalah menyambut Ramadhan dengan mengkondisikan diri, keluarga dan masyarakat untuk menyambut dan mengisi Ramadhan yang mubarok dengan berbagai aktivitas yang dapat memantapkan ketaqwaan. 1. Mempersiapkan pribadi: Mempersiapkan fisik, mengingat atau mengkaji kembali fiqih yang berkaitan dengan ibadah Ramadhan, mengkondisikan diri dengan menunaikan ibadah-ibadah yang sunah seperti puasa bulan Sya‟ban, tadarus Al-Qur‟an dan sebagainya, saling maaf memaafkan dengan sesama kaum muslimin. 2. Mempersiapakan keluarga dan masyarakat: a. Pemasangan spanduk dan stiker penyambutan Ramadhan dengan slogan-slogan yang menumbuhkan semangat beribadah Ramadhan dengan segala aktivitasnya, b. Menyelenggarakan tabligh akbar---Tarhib Romadhon, c. Membuat jadwal imsakiah sebagai sarana sosialisasi agenda/isu dakwah d. Membuat dan Distribusi Brosur/buletin Panduan Ramadhan. e. Gerakan Membersihkan Sarana Ibadah, Rumah dan Lingkungan untuk Menyambut Ramadhan. f.
Pawai Menyambut Ramadhan.
B. SELAMA RAMADHAN : Ihya atau menghidupkan Ramadhan dengan berbagai aktivitas yang dapat mendekatkan diri kepada Allah: a. Kerjasama dengan media massa lokal untuk tasqif selama ramadhan, sebagai fungsi pembangunan opini. b. Pemasangan Spanduk dan Baliho atsna Ramadhan c. Safari ramadhan d. Ta‟lim Ramadhan e. Pesantren Ramadhan f.
Pembinaan diri, keluarga, dan masyarakat
g. Ifthor jama‟i atau Penyediaan ifthar di tempat-tempat strategis h. Sahur jama‟i on the way i.
Tadarus Bersama Masyarakat
j.
Ramadhan Expo
k. Santunan yatim-piatu/dhua‟fa l.
C.
Pengelolaan ZIS (zakat-infaq-shodaqoh)
SETELAH RAMADHAN Menindaklanjuti aktivitas Ramadhan sehingga Ramadhan tidak
berakhir begitu saja tanpa sesuatu yang berarti a. Pemasangan Spanduk dan Baliho Ba‟da Ramadhan b. Silaturahim Idul Fitri dengan Tokoh Masyarakat, dll
III.
PANDUAN AMALIYAH RAMADHAN
A. SEBELUM RAMADHAN Ramadhan boleh kita anggap sebagai tamu istimewa dan kewajiban bagi kita sebagai tuan rumah untuk menyambut kedatanganya dengan suka cita dan memuliakannya. Apa saja perkara yang harus di persiapkan menjelang kedatangannya tamu tersebut? 1. Taubat Nasuha yaitu dengan menyesali perbuatan buruk yang telah kita lakukan seraya meminta ampun kepada Dzat Yang Maha Pengampun secara sungguh-sungguh dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Kelalaian, syahwat dan kemarahan merupakan cobaan bagi manusia. Inilah pintu-pintu syaitan untuk membujuk manusia berbuat dosa dan maksiyat lalu menjerumuskannya ke jurang kehancuran. Apabila Allah menghendaki kebaikan atas hamba-Nya, maka akan dibukakan untuknya pintu taubat, penyesalan, kesungguhan untuk kembali ke jalan-Nya dengan mendekatkan diri kepada-Nya, menghamba dan memperbanyak do‟a dan amal kebajikan sehingga akan terbuka pintu rahmat-Nya. Kita sambut Ramadhan dengan janji kepada Allah untuk selalu berpegang teguh dengan ajaran-ajaran agama-Nya, menyerahkan jiwa raga dan harta benta di jalan Allah. “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman, jiwa dan harta mereka bahwa untuk mereka akan mendapatkan sorga”.
2. Meyakini bahwa kemuliaan, derajat tinggi dan kejayaan yang haqiqi tidak akan tercapai kecuali dengan iman dan hanya bagi orang-orang yang beriman. Allah SWT berfirman : “Janganlah kamu merasa hina diri dan bersedih hati, kamu semua adalah orang-orang yang berpangkat tinggi jika kamu adalah orang-orang yang beriman.(sungguh-sungguh)”. Dalam ayat yang lain : “Hanya milik Allah,segala kemuliaan dan rasulNya dan orang-orang yang beriman”. Apabila perasaan ini telah tertanam di dalam dada kita maka kita tidak akan dihinggapi perasaan hina, pesimis dan putus asa dengan rahmatnya Allah. Termasuk kewajiban kita dalam menyambut tamu adalah mengetahui derajat dan pangkat „tamu‟ tersebut. Di dalam bulan ini juga terlukis sejarah kemenangan umat islam; kemenangan umat Islam dalam perang Badar terjadi pada bulan ini; di taklukkanya kota Makkah oleh kaum muslimin; dibebaskanya Masjidil Aqso dari tangan yahudi setelah melalui peperangan sengit di bawah komando jenderal An-nasir Sholahuddin juga pada bulan ini. Semoga dengan bulan penuh berkah ini pula merupakan akhir dari kebiadaban musuh-musuh Islam dan awal dari kemerdekaan dan kemenangan saudara-saudara kita yang ada di Palestina, Kashmir, Chechnia maupun di bumi Islam lainnya yang saat ini masih terjajah dan tertindas.
Ketahuilah, bahwa untuk mencapai kehormatan dan kemuliaan, seorang hamba sangat tergantung seberapa kuat keimanannya kepada Allah. Kalau ada seorang hamba hidupnya hina, termarjinalkan tertindas itu terkadang karena kualitas keimanan mereka yang masih lemah dan kurang. Karena kemenangan dan kekuatan itu hanya diberikan oleh Allah kepada orang-orang-orang yang mempunyai keimanan yang kuat dan sempurna. Allah berfirman: “Sesungguhnya kami akan menolong para rasul dan orang-orang beriman di dunia dan di akherat”. Barang siapa imanya tipis maka sedikit pula jatahnya untuk menrima pertolonga Allah. Untuk itu, sewajarnya kita harus bisa memanfaatkan bulan Ramadhan ini sebaik-baiknya untuk memperbarui keimanan kita dengan berpegang teguh kepada ajaran Allah. 3. Jiwa dan Raga yang Istiqamah, Lurus dan Konsisten. Ini bisa terwujud melalui dua cara, yaitu: a. Cinta kepada Allah SWT melebihi cinta kepada selain-Nya. Di dalam
berpuasa,
ketika
suatu
perkara
yang
disenangi
bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah, maka orang yang berpuasa tersebut akan medahulukan cintanya kepada Allah dan menahan dirinya dari yang di haramkan. b. Menghormati dan mentaati perintah dan larangan-Nya, yaitu dengan melaksanakan apa yang diperintahkan agama dan menjauhi apa yang dilarang. Seorang mukmin pasti sadar bahwa mentaati perintah dan menjauhi larangan semata timbul
dari sikap pemuliaan terhadap pemilik perintah dan larangan tersebut, yaitu Allah s.w.r. sendiri. Maka kualitas suatu amal di sisi Allah bergantung pada seberapa jauh kadar kemurnian dan keikhlasan hati seseorang dalam beriman, ikhlas, mahabbah dan cintanya kepada Allah. Inilah yang nantinya, dengan izin Allah, dapat melebur dosa-dosa.
4. Anjuran untuk memperbanyak Dzikir. Rasulullah SAW bersabda: “Tidakkah aku memberitahukan pada kalian tentang amal yang paling mulia disisi Tuhan kalian (Allah), derajatnya tertinggi di antara amal kalian. Amal tersebut lebih mulia dibanding menginfakkan emas dan perak, lebih mulia dari pertempuran dengan musuh kalian, hingga kalian meninggal secara syahid)”. Para sahabat menjawab: “Dengan senang hati, ya Rasulallhoh”. Maka Rasulullah SAW berkata: “Amal tersebut adalah dzikir kepada Allah Yang Mulia”. Beberapa faidah dzikir: a. Dengan berdzikir akan memberi daya ingat yang kuat sehingga terkadang seseorang mampu melakukan pekerjaan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya tanpa dzikir. b. Dengan berdzikir akan memudahkan seseorang dalam menghadapi kesulitan, meringankan melaksanakan pekerjaan berat. c. Dzikir kepada Allah SWT. merupakan salah satu pertolongan Allah kepada hamba-Nya, dengan ketaatan tersebut Allah akan membalas dengan cinta-Nya dan memudahkan perkaranya.
d. Allah sangat membanggakan orang orang yang berdzikir di hadapan Malaikat. e. Berdzikir kepada Allah merupakan penyejuk hati sekaligus sebagai penyembuh penyakit-penyakit hati. Lupa adalah penyakit hati, di dalam hati ada sesuatu yang keras, tidak ada yang bisa mencairkan dan tidak ada yang bisa menyembuhkan kecuali dengan berdzikir. f.
Dzikir adalah inti dari rasa syukur seseorang. Orang tidak akan bersyukur kepada Allah kalau ia ia tidak berdzikir kepada-Nya.
g. Dzikir ibarat sebuah pohon yang berbuah ma`rifah bagi mereka yang menempuh jalan rohani (as-salik). Maka untuk menggapai kenikmatan buah tersebut, tidak ada jalan lain kecuali dengan berdzikir. h. Dzikir akan mengingatkan seseorang akan kerugian di hari Kiamat. i.
Dengan berdzikir akan menghidupkan hati, menyejukkan jiwa, menguatkan ruh dan menambah rasa takut kepada Allah.
j.
Menjauhkan diri dari omongan yang keji dan munkar
6. Memperbanyak Puasa Sunnah di Bulan Sya’ban Aisyah r.ha mengatakan, “Dahulu Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam berpuasa sampai-sampai kami mengira beliau tidak akan berbuka. Dan beliau juga pernah tidak berpuasa sampai-sampai kami kami mengira beliau tidak akan berpuasa. Tidaklah
aku
melihat
Rasulullah
shallallahu
„alaihi
wa
sallam
menyempurnakan puasa dalam waktu sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan. Dan aku tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa -di luar bulan Ramadhan- melainkan ketika bulan Sya‟ban.” (HR. Bukhari [1969, 1970, dan 6465] dan Muslim [1156]).
Al-Hafizh Ibnu Hajar menerangkan bahwa maksudnya dahulu Nabi biasa berpuasa (sunnah) di bulan Sya‟ban maupun bulan yang lainnya, namun puasa sunnah yang beliau lakukan di bulan Sya‟ban lebih banyak daripada di luar bulan itu (Fath al-Bari, 4/249). Beliau juga mengatakan bahwa di dalam hadits tersebut terdapat dalil tentang keutamaan berpuasa di bulan Sya‟ban (Fath al-Bari, 4/250). Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits sebelumnya yang menyebutkan larangan mendahului puasa Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari. Keduanya dapat dikompromikan, yakni larangan itu ditujukan kepada orang yang tidak biasa melakukan puasa (sunnah) pada hari-hari tersebut (Fath al-Bari, 4/250). Para ulama mengatakan bahwa Rasulullah SAW tidak berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar hal itu (puasa sunnah di setiap bulan) tidak dikira sebagai sebuah kewajiban (alMinhaj, 4/489). Oleh sebab itu, ketika ditanya tentang puasa di bulan Sya‟ban Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab bahwa hal itu adalah sunnah, dan memperbanyak puasa di bulan itu sangat dianjurkan. Bahkan para ulama mengatakan bahwa perumpamaan puasa Sya‟ban itu seperti halnya shalat sunnah rawatib yang menyempurnakan shalat-shalat wajib (Fatawa Arkan al-Islam, hal. 491) 7. Tidak Berpuasa Mendekati Ramadhan Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah ada salah seorang di antara kalian yang melakukan puasa sehari atau dua hari menjelang Ramadhan kecuali bagi orang yang memiliki kebiasaan puasa (sunnah) maka boleh baginya untuk puasa pada hari itu.”
(HR. Bukhari [1914] dan Muslim [1082] dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu‟anhu, ini lafazh Bukhari). An-Nawawi menjelaskan bahwa di dalam hadits ini terdapat penegasan hukum terlarangnya mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya bagi orang yang tidak berbenturan hari itu dengan
kebiasaannya
untuk
berpuasa
(sunnah)
atau
dia
tidak
menyambungnya dengan hari-hari sebelumnya. Maka apabila dia berpuasa tanpa disambung dengan hari sebelumnya atau bukan menjadi kebiasaannya maka hukumnya haram puasa pada hari itu. Inilah pendapat yang benar dalam pandangan beliau berdasarkan hadits ini, dan juga berdasarkan hadits lain yang diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dan yang lainnya, “Apabila bulan Sya‟ban sudah mencapai pertengahan maka tidak ada puasa sampai datang bulan Ramadhan.” …” (HR. Abu Dawud [1990] dengan lafazh „janganlah berpuasa‟, al-Minhaj, 4/418-419). Hadits yang disebutkan oleh An-Nawawi di atas bersumber dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu‟anhu dan diriwayatkan oleh As-habu asSunan dan disahihkan oleh Ibnu Hiban dan yang lainnya (Fath al-Bari, 4/152). Hadits tersebut juga disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Takhrij Misykat al-Mashabih [1974] dengan lafazh „janganlah berpuasa‟, Shahih wa Dha‟if Sunan Abi Dawud [2337] dan Shahih al-Jami‟ [397]. Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa hadits tentang larangan berpuasa setelah pertengahan bulan Sya‟ban adalah lemah. Beliau menyandarkan pendapatnya itu kepada Imam Ahmad yang melemahkan
hadits ini. Kalaupun haditsnya sahih, maka larangan itu hanya sebatas makruh saja sebagaimana yang dianut oleh sebagian ulama, kecuali bagi orang yang sudah terbiasa mengerjakan puasa (sunnah) maka dia boleh berpuasa meskipun sudah melewati pertengahan Sya‟ban, wallahu a‟lam (lihat Syarh Riyadhush Shalihin, 3/394). Apabila ada orang yang sudah terbiasa mengerjakan puasa sunnah pada akhir bulan maka tidak mengapa dia mengerjakan puasa itu di akhir bulan Sya‟ban. Kalaupun dia sengaja meninggalkan kebiasaannya -karena khawatir terkena larangan berpuasa sehari atau dua hari menjelang Ramadhan- maka hendaknya dia menggantinya sesudah bulan Ramadhan berakhir. Kompromi hadits seperti ini dikemukakan oleh Ibnu al-Munayyir dan al-Qurthubi, sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar (Fath alBari, 4/269-270). Kompromi serupa juga disampaikan oleh an-Nawawi dari al-Mazari (al-Minhaj, 4/502). Hal
itu
berdasarkan
hadits
sahabat
Imran
bin
Hushain
radhiyallahu‟anhuma berikut ini, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepada seorang lelaki, “Apakah kamu berpuasa pada akhir-akhir bulan ini?” Yaitu bulan Sya‟ban. Maka dia menjawab, “Tidak.” Maka Nabi berkata kepadanya, “Apabila kamu sudah selesai mengerjakan puasa Ramadhan nanti berpuasalah sehari atau dua hari.” Keragu-raguan itu berasal dari ucapan Syu‟bah. Namun dia mengatakan, “Aku kira beliau mengatakan dua hari.” (HR. Bukhari [1983] dan Muslim [1161] ini adalah lafazh Muslim). Sehingga tidaklah terdapat pertentangan antara kandungan hadits ini dengan larangan mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, sebab dalam hadits itu Nabi bersabda, “Kecuali bagi orang yang sudah biasa puasa (sunnah) maka
silakan dia berpuasa.” (sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fath alBari, 4/268). 8. Berpuasa Bersama Pemerintah Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Puasa adalah hari ketika kalian berpuasa bersama. Hari raya idul fitri juga di hari ketika kalian berhari raya bersama. Kurban juga di hari ketika kalian berkurban bersama.” (HR. Tirmidzi [693] dan Ibnu Majah [1660] dinyatakan sanadnya jayyid oleh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah [hadits ke-224], Sahih wa Dha‟if Sunan at-Tirmidzi [697], dan Shahih alJami‟ [3869] dari Abu Hurairah radhiyallahu‟anhu). At-Tirmidzi mengatakan setelah membawakan hadits di atas, “Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan : sesungguhnya makna dari ungkapan tersebut adalah berpuasa dan berhari raya (hendaknya) bersama dengan masyarakat (jama‟ah) dan kebanyakan orang.” (Sunan AtTirmidzi, Bab ma jaa‟a annal fithra yauma tufthiruun wal adh-ha yauma tudhahhuun). Abul Hasan as-Sindi mengatakan setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Tirmidzi di atas, “Yang tampak ialah bahwa maksudnya perkara-perkara ini bukan wewenang setiap orang. Mereka tidak boleh menyendiri dalam melakukannya (hari raya, puasa, dan kurban, pen). Akan tetapi urusan itu harus dikembalikan kepada imam (pemimpin/pemerintah) dan jama‟ah (masyarakat Islam di sekitarnya). Sehingga wajib bagi setiap individu untuk mengikuti ketetapan pemerintah dan masyarakat. Berdasarkan hal ini, apabila ada seorang saksi yang melihat
hilal dan pemerintah menolak persaksiannya maka dia tidak boleh menetapkan perkara-perkara tersebut untuk dirinya sendiri. Dia wajib untuk mengikuti masyarakat dalam melaksanakan itu semua.” (Hasyiyah as-Sindi „ala Ibni Majah, hadits 1650. asy-Syamilah). Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Apabila pemerintah sudah mengumumkan melalui radio atau media yang lainnya mengenai ditetapkannya (masuknya) bulan (hijriyah) maka wajib beramal dengannya untuk menetapkan waktu masuknya bulan dan keluarnya, baik ketika Ramadhan atau bulan yang lain. Karena pengumuman dari pemerintah adalah hujjah syar‟iyyah yang harus diamalkan. Oleh sebab itulah Nabi SAW dahulu memerintahkan Bilal untuk mengumumkan kepada masyarakat penetapan (awal) bulan agar mereka semua berpuasa karena ketika itu masuknya bulan telah terbukti di sisi beliau SAW. Dan beliau menjadikan pengumuman itu sebagai ketetapan yang harus mereka ikuti untuk melakukan puasa.” (Majalis Syahri Ramadhan, hal. 16).
B. SELAMA BULAN RAMADHAN Untuk lebih mengetahui Amaliyah Ramadhan, maka kita harus melihat dan mencontoh amaliyah Rasulullah SAW di bulan Ramadhan. Di bawah ini Amaliyah yang dilakukan Rasulullah SAW di bulan Ramadhan: 1. Shiyam (Puasa) Shaum atau shiyam bermakna menahan (al-imsaak), dan menahan itulah aktivitas inti dari puasa. Menahan makan dan minum serta segala macam yang membatalkannya dari mulai terbit fajar sampai tenggelam
matahari dengan diiringi niat. Jika aktivitas menahan ini dapat dilakukan dengan baik, maka seorang muslim memiliki kemampuan pengendalian, yaitu pengendalian diri dari segala hal yang diharamkan Allah. Dalam berpuasa, orang beriman harus mengikuti tuntunan Rasul SAW atau sesuai dengan adab-adab Islam sehingga puasanya benar. Dalam bukunya Ihya Ulumuddin, Al-Gazali mengatakan ada 6 perkara yang perlu diperhatikan dalam kita berpuasa: a. Menahan pandangan dan menjaga hati dari lalai mengingat Allah. Sebagaimana dikatakan Rasulullah, pandangan adalah panah beracun dari iblis. Barangsiapa yang meninggalkan pandangan karena takut pada Allah, maka akan didatangkan oleh Allah kemanisan iman dalam hatinya. (dirawikan Al-Hakim dari Huzaifah dan shahih sanadnya) b. Menjaga lidah dari perbuatan yang sia-sia dan berdusta/berbohong. Kalau menahan diri dari makanan dan minuman yang dihalalkan merupakan aspek zhohir dari shoum, maka menahan diri dari ucapan yang diperbolehkan merupakan makna shoum yang sesungguhnya. Sebagaimana dilukiskan Allah dalam QS.19:26. Ucapan Maryam seperti yang telah diabadikan Al Quran ini menunjukkan betapa beliau memahami makna shoum yang sebenarnya. Dengan tidak berbicara sama sekali, Maryam terhindar dari perkataan yang tidak berfaedah. Hal ini juga menunjukkan tingkat kemuliaan seseorang, sebagaimana yang telah dianugerahkan Allah kepada Nabi Zakaria. c. Mencegah pendengaran kita dari mendengar hal-hal yang dilarang Allah maupun yang bersifat makruh. d. Mencegah anggota-anggota tubuh yang lain dari segala hal yang membawa dosa. Demikian juga makanan dan minuman yang subhat ketika berbuka.
e. Tidak berlebih-lebihan sewaktu berbuka puasa. Seperti yang dijelaskan dalam hadits Rasulullah bahwa kita berhenti makan sebelum kenyang. Puasa merupakan sarana latihan untuk bersikap pertengahan dan sederhana dalam segala hal. Karena bila perut kenyang, akan memperberat ibadah. Sebaliknya, bila makan sekedar apa yang diperlukan tubuh agar kuat beribadah, maka akan jernihlah hati dan ringan untuk mengerjakan ibadah. f.
Sesudah berbuka, hatinya bergantung dan bergoncang antara takut dan harap, karena tidak mengetahui apakah puasanya diterima atau ditolak. Dan hendaklah hal ini dilakukan pada akhir tiap-tiap ibadah yang dikerjakan. Allah SWT berfirman : “Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Yaqub yang telah melakukan kerja besar dan memiliki ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka (menganugerahkan mereka akhlak yang tinggi) yaitu selalu mengingatkan manusia kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar- benar termasuk orang-orang pilihan Kami yang terbaik”. QS. Shod: 45-47
2. Berinteraksi dengan Al-Quran Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Quran yang digunakan sebagai pedoman manusia dari segala macam aktivitasnya di dunia. Dan malaikat Jibril turun untuk memuroja‟ah (mendengar dan mengecek) bacaan Al-Quran dari Rasulullah SAW. Maka tidak aneh jika Rasulullah SAW lebih sering membacanya pada bulan Ramadhan. Iman Az-Zuhri pernah berkata: ”Apabila datang Ramadhan maka kegiatan utama kita (selain shiyam) ialah membaca Al-Quran”. Hal ini tentu
saja dilakukan dengan tetap memperhatikan tajwid dan esensi dasar diturunkannya Al-Quran untuk ditadabburi, dipahami, dan diamalkan Pada bulan ini umat Islam harus benar-benar berinteraksi dengan Al-Qur‟an untuk meraih keberkahan hidup dan meniti jenjang menuju umat yang terbaik dengan petunjuk Al-Qur‟an. Berinteraksi dalam arti hidup dalam naungan Al-Qur‟an baik secara tilawah (membaca), tadabbur (memahami), hifzh (menghafalkan), tanfiidzh (mengamalkan), ta‟liim (mengajarkan) dan tahkiim (menjadikannya sebagai pedoman). Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baiknya kamu orang yang mempelajari Al-Qur‟an dan yang mengajarkannya” 3. Qiyam Ramadhan (Shalat Tarawih) Ibadah yang sangat ditekan Rasulullah SAW di malam Ramadhan adalah Qiyamu Ramadhan. Qiyam Ramadhan diisi dengan shalat malam atau yang biasa dikenal dengan shalat Tarawih. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang melakukan qiyam Ramadhan dengan penuh iman dan perhitungan, maka diampuni dosanya yang telah lalu” (Muttafaqun „aliahi) 4. Menahan Hawa Nafsu dan Kesenangan Duniawi Yaitu dengan mengurangi makan ketika berbuka serta tidak berlebih-lebihan. Dalam sebuah ahdist dikatakan “Tidak ada perkara yang lebih buruk dari pada memenuhi isi perut dengan makanan secara berlebihan”. Ruh puasa terletak pada memeperlemah syahwat, mengurangi keinginan dan mengekang nafsu.
Dari Sahal bin Sa‟ad r.a Rasulullah s.a.w. bersabda: ”Sesungguhnya di surga ada salah satu pintu yang dinamakan Rayyan: masuk dari pintu tersebut ahli puasa di hari kiamat, tidak ada yang masuk dari pintu itu selain ahli puasa, lalu diserukan “Manakah para ahli puasa?”, maka berdirilah para ahli puasa dan tak ada seorangpun yang masuk dari pintu itu kecuali mereka yang tergolong para ahli puasa, dan apabila mereka sudah masuk, maka pintu sorga tersebut segera ditutup, dan tak ada satu pun yang diperbolehkan masuk setelah mereka”. (Bukhari Muslim). 5. Memperbanyak Dzikir, Doa dan Istighfar Bulan
Ramadhan
adalah
bulan
dimana
kebaikan
pahalanya
dilipatgandakan, oleh karena itu jangan membiarkan waktu sia-sia tanpa aktivitas yang berarti. Di antara aktivitas yang sangat penting dan berbobot tinggi, namun ringan dilakukan oleh umat Islam adalah memperbanyak dzikir, doa dan istighfar. Bahkan doa orang-orang yang berpuasa sangat mustajab, maka perbanyaklah berdoa untuk kebaikan dirinya dan umat Islam yang lain, khususnya yang sedang ditimpa kesulitan dan musibah. Doa dan istighfar pada saat mustajab adalah: a. Saat berbuka Abu Hurairah r.a berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Ada tiga golongan yang tidak akan ditolak do‟anya, mereka itu adalah: orang puasa ketika berbuka, doa pemimpin yang adil dan doa orang yang teraniaya”.
Untuk itu, hendakanya kita sekalian tidak melupakan saudara-saudara kita yang menderita di Palestina, Afghanistan, Kashmir dan Chechnia dan belahan bumi laninnya dalam doa kita. Betapa banyak do‟a yang ihlas dan tulus, lebih berguna dibanding ribuan anak panah b. Sepertiga malam terakhir, yaitu ketika Allah SWT. turun ke langit dunia dan berkata: ”Siapa yang bertaubat ? Siapa yang meminta ? Siapa yang memanggi? sampai waktu subuh (HR Muslim) c. Memperbanyak istighfar pada waktu sahur. Allah Ta‟ala berfirman, “Dan waktu sahur mereka memohon ampun”. d. Mencari waktu mustajab pada hari Jum‟at, yaitu di saat-saat terakhir pada sore hari Jum‟at. e. Duduk untuk dzikir, doa dan istighfar di masjid, yaitu setelah menunaikan shalat Subuh sampai terbit matahari. Sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Barangsiapa shalat Fajar berjamaah di masjid, kemudian tetap duduk berdzikir hingga terbit matahari, lalu shalat dua rakaat, maka seakan-akan ia mendapat pahala haji dan umrah dengan sempurna, sempurna dan sempurna” (HR At-Tirmidzi)
6. Shodaqoh, Infak dan Zakat Rasulullah SAW adalah orang yang paling pemurah dan di bulan Ramadhan beliau lebih pemurah lagi. Kebaikan Rasulullah SAW di bulan Ramadhan melebihi angin yang berhembus karena begitu cepat dan banyaknya. Dalam sebuah hadits disebutkan : “Sebaik-baiknya sedekah yaitu sedekah di bulan Ramadhan.” (HR Al-Baihaqi, Alkhotib dan At- Turmudzi)
Dan salah satu bentuk shodaqoh yang dianjurkan adalah memberikan ifthor (santapan berbuka puasa) kepada orang-orang yang berpuasa. Seperti sabda beliau: “Barangsiapa yang memberi ifthor kepada orang-orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahala senilai pahala orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut” (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu Majah) 7. Menuntut Ilmu dan Menyampaikannya Bulan Ramadhan adalah saat yang paling baik untuk menuntut ilmu ke-Islaman dan mendalaminya. Karena di bulan Ramadhan hati dan pikiran sedang dalam kondisi bersih dan jernih sehingga sangat siap menerima ilmuilmu Allah SWT. Maka waktu-waktu seperti ba‟da subuh, ba‟da Zhuhur dan menjelang berbuka sangat baik sekali untuk menuntut ilmu. Pada saat yang sama para ustadz dan da‟i meningkatkan aktivitasnya untuk berdakwah menyampaikan ilmu kepada umat Islam yang lain. 8. Umrah Umrah pada bulan Ramadhan juga sangat baik dilaksanakan, karena akan mendapatkan pahala yang berlipat-lipat, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Rasulullah kepada seorang wanita dari Anshor yang bernama Ummu Sinan : “Agar apabila datang bulan Ramadhan, hendaklah ia melakukan umrah, karena nilainya setara dengan haji bersama Rasulullah SAW”. (HR. Bukhari dan Muslim).
9. I’tikaf I‟tikaf adalah puncak ibadah di bulan Ramadhan. Dan I‟tikaf adalah tetap tinggal di masjid taqarrub kepada Allah dan menjauhkan diri dari segala aktivitas keduniaan. Dan inilah sunnah yang selalu dilakukan Rasulullah pada bulan Ramadhan, disebutkan dalam hadits : “Rasulullah shalallahu „alaihi wa sallam ketika memasuki sepuluh hari terakhir menghidupkan malam harinya, membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya” (HR Bukhari dan Muslim). 10. Mencari Lailatul Qadar Lailatul
Qodar
(malam
kemuliaan)
merupakan
salah
satu
keistimewaan yang Allah berikan kepada umat Islam melalui Rasul SAW. Malam ini nilainya lebih baik dari seribu bulan biasa. Ketika kita beramal di malam itu berarti seperti beramal dalam seribu bulan. Malam kemuliaan itu waktunya dirahasiakan Allah SWT. oleh karena itu Rasulullah SAW menganjurkan untuk mencarinya. Rasulullah SAW bersabda: “Carilah di sepuluh terakhir bulan Ramadhan, dan carilah pada hari kesembilan, ketujuh dan kelima”. Saya berkata, wahai Abu Said engkau lebih tahu tentang bilangan”. Abu said berkata: ”Betul” . “Apa yang dimaksud dengan hari kesembilan, ketujuh dan kelima”. Berkata: ”Jika sudah lewat 21 hari, maka yang kurang 9 hari, jika sudah 23 yang kurang 7 dan jika sudah lewat 5 yang kurang 5” (HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Al-baihaqi)
11. Menjaga Keseimbangan dalam Ibadah Keseimbangan dalam beribadah adalah sesuatu yang prinsip, termasuk melaksanakan ibadah-ibadah mahdhoh di bulan Ramadhan. Kewajiban keluarga harus ditunaikan, begitu juga kewajiban sosial lainnya. Rasulullah shalallahu „alaihi wa sallam senantiasa menjaga keseimbangan, walaupun beliau khusu‟ dalam beribadah di bulan Ramadhan, tetapi tidak mengabaikan harmoni dan hak-hak keluarga. Seperti yang diriwayatkan oleh istri-istri beliau, Aisyah dan Ummu Salamah r.ha, Rasulullah shalallahu „alaihi wa sallam adalah tokoh yang paling baik untuk keluarga, dimana selama bulan Ramadhan tetap selalu memenuhi hak-hak keluarga beliau. Bahkan ketika Rasulullah berada dalam puncak praktek ibadah shaum yakni I‟tikaf, harmoni itu tetap terjaga. 12. Memperhatikan Kesehatan. Meskipun shaum termasuk ibadah mahdhah, Tapi orang yang berpuasa juga sebenarnya adalah orang yang peduli dengan kesehatan. Makanya Rasulullah saw. berkata, “Berpuasalah kamu, maka kamu akan sehat.” agar tetap optimal, Rasulullah mencontohkan umatnya tetap memperhatikan kesehatannya selama shaum dengan hal-hal sebagai berikut: a. Menyikat gigi (bersiwak). b. Berbekam. c. Memperhatikan penampilan. Rasulullah Saw., pernah berwasiat pada Ibnu Mas'ud agar memulai shaum dengan penampilan yang baik, tidak dengan wajah yang kusut. d. Mengurangi tidur.
Di masyarakat kita, tidur pada bulan Ramadhan telah menjadi suatu kebiasaan, dengan tujuan agar tidak terlalu merasakan lapar dan dahaga. Padahal berapa banyak waktu dan umur menjadi sia-sia karena tidur. Memang benar ada hadits yang menyatakan "Tidurnya orang shaum adalah ibadah", tapi tentu saja tidak dijadikan alasan untuk membiasakan diri memperbanyak tidur di bulan Ramadhan. Rasulullah Saw., umahatul mukminin dan para sahabat begitu aktif melakukan kegiatan beribadah, bukan kegiatan tidur.
13. Memperhatikan Harmonisasi Keluarga. Meskipun ibadah shaum adalah ibadah yang khusus diperuntukkan kepada Allah Swt., dan mempunyai nilai khusus namun Rasulullah SAWsebagai suri tauladan juga tetap menjaga harmoni dan hak-hak keluarga selama Ramadhan. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah dan 'Aisyah. Bahkan di saat beliau berada dalam puncak ibadah shaum
yaitu
'itikaf,
beliau
tetap
menjaga
harmoni
keluarga.
Jadi, berpuasa bukan berarti menjauh dari istri karena taqarrub kepada Allah sepanjang malam. Bukan juga tiada hari tanpa i‟tikaf. Rasulullah SAW berpuasa, tapi juga memenuhi hak-hak keluarganya. Dalam praktik keseharian, hanya di bulan Ramadhan kita bisa makan bersama secara komplit sekeluarga, baik ketika berbuka atau sahur. Di bulan lain hal ini sulit dilakukan. Keharmonisan keluarga juga bisa kita dapatkan dari shalat berjamaah dan tadarrus bersama.
14. Memperhatikan Aktifitas Sosial, Perluasan Dakwah dan Jihad. Berbeda dengan kesan banyak orang tentang Ramadhan, Rasulullah SAW justru menjadikan bulan Ramadhan sebagai momentum berbagai aktifitas yang positif. Selain aktifitas di atas, beliaupun mengisinya dengan aktifitas da'wah dan sosial, perjalanan jauh dan jihad. Seperti: perjalanan ke Badar (th 2 H), ke Makkah (th 8 H), ke Tabuk (th 9 H) dan lainnya. Selama Ramadhan kita punya kesempatan berdakwah yang luas. Karena, siapapun di bulan itu kondisi ruhiyahnya sedang baik sehingga siap menerima nasihat. Jadi, jangan sia-siakan kesempatan ini. Rasulullah SAW bersabda, "barangsiapa menunjuki kebaikan, baginya pahala sebagaimana orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun". Jika mampu, jadilah pembicara di kultum ba‟da Sholat Zhuhur, Ashar dan Subuh di musholah atau masjid. Bisa juga menjadi penceramah di waktu tarawih. Jika tidak bisa berceramah, buat tulisan. Sebarkan ke orang-orang yang Anda temui. Jika tidak bisa, bisa mengambil artikel-artikel dari majalah, fotocopy, lalu sebarkan. Insya Allah, berkah. Ini sebenarnya hanyalah langkah awal bagi kerja yang lebih serius lagi. Dengan melakukan hal-hal sederhana seperti di atas, sesungguhnya Anda sedang melatih diri untuk menjadi sosok yang bermanfaat bagi orang lain. Kata Rasulullah SAW "mukmin yang baik adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain".
15. Menjauhi Larangan Agama Hal yang perlu diperhatikan oleh seorang mu`min adalah menjaga lisan dari mengguncing dalam keadaan berpuasa sebagaimana yang dipesankan Rasulullah SAW: “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan ghibah maka tiada artinya di sisi Allah baginya berpuasa dari makan dan minum” (HR: Bukhari). Berkata Ibnu Battal: Bukan berarti kemudian ia meninggalkan puasa, tapi ini merupakan peringatan agar meninggalkan perkataan dusta dan ghibah. Adapun makna perkataan Rasul: “Tiada arti di sisi Allah SWT” menurut Ibnu Munir adalah: tamsil dari ditolaknya puasa yang bercampur dengan dusta. Adapun puasa yang bersih dari pekerjaan tercela tersebut, insya Allah akan tetap diterima. Ibnu Arabi berkata: Umat-umat sebelum kita cara berpuasanya hanya menahan diri dari bicara namun diperbolehkan makan dan minum, begitupun mereka tidak sanggup, sehingga Allah meringankan dengan dihapusnya setengah hari yaitu malam dan dihapusnya setengah puasa yaitu puasa dari bicara, namun mereka tetap tidak sanggup, mereka bahkan melakukan tindakan-tindakan yang diharamkan agama. Kemudian Allah meringakan lagi untuk meningkatkan derajat manusia dengan meninggalkan perkataan dusta dan munkar. Allah pun mewayuhkan kepada Rasulullah SAW “Barangsiapa yang berkata dusta atau berbuat munkar maka Allah SWT tidak menerima puasanya dari makanan dan minuman. Maka beruntunglah mereka yang menyibukkan diri dengan aibnya hingga tidak memikirkan aib orang lain dan beruntunglah mereka yang tinggal di rumah, sibuk dengan ibadah kepada Allah, menangisi kesalahannya di saat manusia sedang terlelap tidur.
Selain itu, selayaknya kita tidak ikut campur urusan orang lain sehingga kita terseret dalam kemungkaran atau menjerumuskan orang lain dalam kemungkaran. Kalau ada orang yang mengganggu kita, hendaklah kita ingatkan bahwa kita sedang berpuasa, sebagaimana diajarkan Rasulullah saw: Apabila dihina oleh seseorang hendaklah ia ucapkan saya sedang berpuasa. Demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, mulut seorang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah dibanding minyak wangi misik”. Maka seorang mu`min yang menguasai syahwatnya dan menahan dirinya dari makanan dan minuman yang halal, menahan dirinya dari menggauli istrinya yang halal, seyogyanya ia juga menjaga dirinya dari hal yang jelas-jelas diharamkan di luar bulan puasa. Mulut ini, dijadikan Allah swt tidak untuk mengumpat. Mulut yang dijadikan Allah lebih harum dibanding aroma minyak misik, janganlah sengaja dikotori dengan perkataan dusta atau menghina meskipun dalam keadaan terpaksa. Hendaklah ia berkata pada dirinya: “Saya sedang berpuasa dan tidak dihalalkan bagiku berbuat hal tersebut”
C. SETELAH RAMADHAN Setelah kita melalui bulan Ramadhan, tentu saja kita masih perlu untuk beramal sebagai bekal kita nanti sebelum dijemput oleh malaikat maut. Pada tulisan kali ini, kami akan sedikit mengulas mengenai beberapa amalan yang sebaiknya dilakukan seorang muslim setelah menunaikan puasa Ramadhan. Semoga kita mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
1. Tetap Menjaga Shalat Lima Waktu dan Shalat Jama’ah Bulan Ramadhan sungguh sangat berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Orang yang dulu malas ke masjid atau sering bolong mengerjakan shalat lima waktu, di bulan Ramadhan begitu terlihat bersemangat melaksanakan amalan shalat ini. Itulah di antara tanda dibukanya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka ketika itu. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.” (HR. Muslim no. 1079) Namun, amalan shalat ini hendaklah tidak ditinggalkan begitu saja. Kalau memang di bulan Ramadhan, kita rutin menjaga shalat lima waktu maka hendaklah amalan tersebut tetap dijaga di luar Ramadhan, begitu pula dengan shalat jama‟ah di masjid khusus untuk kaum pria. Lihatlah salah satu keutamaan orang yang menjaga shalat lima waktu berikut. Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallambersabda, “Allah „azza wa jalla berfirman, „Aku wajibkan bagi umatmu shalat lima waktu. Aku berjanji pada diriku bahwa barangsiapa yang menjaganya pada waktunya, Aku akan memasukkannya ke dalam surga. Adapun orang yang tidak menjaganya, maka aku tidak memiliki janji padanya‟.” (HR. Sunan Ibnu Majah no. 1403. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho‟if Sunan Ibnu Majah mengatakan bahwa hadits ini hasan) Shalat jama‟ah di masjid juga memiliki keutamaan yang sangat mulia dibanding shalat sendirian. Rasulullah SAW bersabda,
“Shalat jama‟ah lebih utama dari shalat sendirian sebanyak 27 derajat.” (HR. Bukhari no. 645 dan Muslim no. 650) Namun yang sangat kami sayangkan, amalan shalat ini sering dilalaikan oleh sebagian kaum muslimin. Bahkan mulai pada hari raya „ied (1 Syawal) saja, sebagian orang sudah mulai meninggalkan shalat karena sibuk silaturahmi atau berekreasi. Begitu juga seringkali kita lihat sebagian saudara kita karena kebiasaan bangun kesiangan, dia meninggalkan shalat shubuh begitu saja. Padahal shalat shubuh inilah yang paling berat dikerjakan oleh orang munafik sebagaimana sabda Nabi SAW : “Tidak ada shalat yang paling berat dilakukan oleh orang munafik kecuali shalat Shubuh dan shalat Isya‟. Seandainya mereka mengetahui keutamaan keduanya,
niscaya
mereka
akan
mendatanginya
walaupun
sambil
merangkak.” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651) Begitu pula shalat jama‟ah di masjid, seharusnya setiap muslim khususnya kaum pria - menjaga amalan ini. Shalat jama‟ah mungkin kelihatan ramai di bulan Ramadhan saja. Namun, ketika bulan Ramadhan berakhir, masjid sudah kelihatan sepi seperti sedia kala. Memang dalam masalah apakah shalat jama‟ah itu wajib atau sunnah mu‟akkad terjadi perselisihan di antara para ulama. Namun berdasarkan dalil yang kuat, shalat jama‟ah hukumnya adalah wajib (fardhu „ain). Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits dari Abu Hurairah di mana beliau r.a berkata, “Seorang laki-laki buta mendatangi Nabi SAW, lalu dia berkata, „Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak memiliki orang yang menuntunku ke masjid‟. Kemudian pria ini meminta pada Rasulullah SAW agar diberi
keringanan untuk shalat di rumah. Pada mulanya Nabi SAW memberi dia keringanan. Namun, tatkala dia mau berpaling, beliau SAW memanggil pria tersebut dan berkata, „Apakah engkau mendengar adzan ketika shalat?‟ Pria buta tersebut menjawab, „Iya.‟ Lalu beliau SAW bersabda, „Penuhilah panggilan tersebut‟.” (HR. Muslim no. 653) Lihatlah pria buta ini memiliki udzur (alasan) untuk tidak jama‟ah di masjid, namun Nabi shallallahu „alaihi wa sallam tidak memberikannya keringanan, dia tetap diwajibkan untuk shalat jama‟ah di masjid. Padahal dia adalah pria yang buta, tidak ada penuntun yang menemaninya, rumahnya juga jauh. Di Madinah juga banyak hewan buas dan banyak pepohonan yang menghalangi jalan menuju masjid. Namun, lihatlah walaupun dengan berbagai udzur ini karena pria buta ini mendengar adzan, dia tetap wajib jama‟ah di masjid. Bagaimanakah kondisi kita yang lebih sehat dan berkemampuan? Tentu lebih wajib lagi untuk berjama‟ah di masjid. Itulah dalil kuat yang menunjukkan
wajibnya
shalat jama‟ah
di
masjid. Jika
seseorang
meninggalkan shalat jama‟ah dan shalat sendirian, dia berarti telah berdosa karena meninggalkan shalat jama‟ah, namun shalat sendirian yang dia lakukan tetap sah. Sedangkan bagi wanita berdasarkan kesepakatan kaum muslimin tidak wajib bagi mereka jama‟ah di masjid bahkan lebih utama bagi wanita untuk mengerjakan shalat lima waktu di rumahnya. 2. Berpuasa Enam Hari di Bulan Syawal Hendaklah di bulan Syawal ini, setiap muslim berusaha untuk menunaikan amalan yang satu ini yaitu berpuasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat
dari sabda Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam dari Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164) Pada hadits ini terdapat dalil tegas tentang dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab Syafi‟i, Ahmad dan Abu Daud serta yang sependapat dengan mereka. (Lihat Syarh An Nawawi „ala Muslim, 8/56) Bagaimana cara melakukan puasa ini? An Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi‟i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat „Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan.” Ibnu Rojab rahimahullah menyebutkan beberapa faedah di antaranya: a. Berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan akan menyempurnakan ganjaran berpuasa setahun penuh. b. Puasa Syawal dan puasa Sya‟ban seperti halnya shalat rawatib qobliyah
dan
ba‟diyah.
Amalan
sunnah
seperti
ini
akan
menyempurnakan kekurangan dan cacat yang ada dalam amalan wajib. Setiap orang pasti memiliki kekurangan dalam amalan wajib. Amalan sunnah inilah yang nanti akan menyempurnakannya.
c. Membiasakan berpuasa setelah puasa Ramadhan adalah tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan. Karena Allah Ta‟ala jika menerima amalan hamba, maka Dia akan memberi taufik pada amalan sholih selanjutnya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan, “Balasan dari
amalan
kebaikan
adalah
amalan
kebaikan
selanjutnya.
Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan selanjutnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula orang yang melaksanakan kebaikan lalu dilanjutkan dengan melakukan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.” d. Karena Allah telah memberi taufik dan menolong kita untuk melaksanakan puasa Ramadhan serta berjanji mengampuni dosa kita yang telah lalu, maka hendaklah kita mensyukuri hal ini dengan melaksanakan puasa setelah Ramadhan. Sebagaimana para salaf dahulu, setelah malam harinya melaksanakan shalat malam, di siang harinya mereka berpuasa sebagai rasa syukur pada Allah atas taufik yang diberikan. (Disarikan dari Latho‟if Al Ma‟arif, 244, Asy Syamilah) Namun lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho‟ (tanggungan) puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah. Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas, Nabi SAW mengatakan, “Barangsiapa berpuasa ramadhan”. Jadi apabila puasa ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.
Apabila seseorang menunaikan puasa syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi SAW tadi, “Barangsiapa berpuasa ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi‟, 3/89, 100) 3. Kebiasaan bersilaturahmi dengan keluarga dekat ataupun dengan Keluarga Jauh, Teman dan Kerabat merupakan amalan yang sangat dianjurkan. Apalagi disertai dengan sikap yang ikhlas untuk saling memaafkan atas berbagai kesalahan dan dosa kemanusiaan yang terjadi sebelumnya. Hati yang bersih, pikiran yang jernih, dan wajah yang penuh dengan keakraban disertai senyum persaudaraan merupakan unsur silaturahmi yang sangat penting. Diharapkan dengan amalan ini, akan mampu menghilangkan sifat dengki, iri, hasud, saling memfitnah, saling menjatuhkan dan saling menggunting dalam lipatan. Silaturrahmi semacam inilah yang akan menyebabkan dianugerahkan rezeki dan usia panjang yang penuh dengan keberkahan, disamping akan memperkuat solidaritas umat. 4. Menolong dan membantu kaum dhuafa Seperti orang-orang fakir-miskin, anak-anak yatim yang terlantar, dan janda-janda tua renta yang terabaikan, merupakan amalan yang harus terusmenerus dilakukan. Infak dan sedekah untuk kepentingan mereka maupun juga untuk kepentingan menegakkan syiar agama Allah merupakan amalan mulia yang harus terus-menerus dilakukan.
D. PANDUAN SHALAT TARAWIH Shalat tarawih termasuk qiyamul lail atau shalat malam. Akan tetapi shalat tarawih ini dikhususkan di bulan Ramadhan. Jadi, shalat tarawih ini adalah shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan. Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih merupakan salah satu syi‟ar Islam. Shalat tarawih lebih afhdol dilaksanakan secara berjama‟ah sebagaimana dilakukan oleh „Umar bin Al Khottob dan para sahabat r.a. Kaum muslimin pun terus menerus melakukan shalat tarawih secara berjama‟ah karena merupakan syi‟ar Islam yang begitu nampak sehingga serupa dengan shalat „ied. 1. Keutamaan Shalat Tarawih a. Pertama, akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu.Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi. b. Kedua, shalat tarawih bersama imam seperti shalat semalam penuh. Dari Abu Dzar, Nabi SAW pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda, “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” Hal ini sekaligus merupakan anjuran agar kaum muslimin mengerjakan shalat tarawih secara berjama‟ah dan mengikuti imam hingga selesai
2. Waktu Terbaik Shalat Tarawih Waktu shalat tarawih adalah setelah shalat Isya‟ hingga terbit fajar, boleh
menunaikan
di
antara
waktu
tersebut.
An
Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu‟ mengatakan, “Waktu shalat tarawih adalah dimulai selepas menunaikan shalat Isya‟. Demikian disebutkan pula oleh Al Baghowi dan selainnya. Dan sisanya sampai waktu Shubuh.” Akan tetapi jika seseorang melakukannya di masjid dan menjadi imam, maka hendaklah ia mengerjakan shalat tarawih tersebut setelah shalat Isya‟. Janganlah ia akhirkan hingga pertengahan malam atau akhir malam supaya tidak menyulitkan para jama‟ah. Karena dikhawatirkan jika dikerjakan di akhir malam, sebagian orang dapat luput karena ketiduran. Shalat tarawih di awal malam inilah yang biasa di lakukan kaum muslimin (dari masa ke masa). Kaum muslimin senatiasa mengerjakan shalat tarawih setelah shalat Isya‟ dan tidak diakhirkan hingga akhir malam. Ibnu
Qudamah
dalam Al
Mughni menyebutkan,
“Ada
yang
menanyakan pada Imam Ahmad: Bolehkah mengakhirkan shalat tarawih hingga akhir malam?” “Tidak. Sunnah kaum muslimin (di masa „Umar) lebih aku sukai,” jawab Imam Ahmad. (Sejak masa „Umar shalat tarawih biasa dilaksanakan di awal malam. Inilah yang berlaku dari masa ke masa). Adapun jika seseorang ingin melaksanakan shalat di rumahnya (seperti para wanita), maka ia punya pilihan. Ia boleh melaksanakan di awal malam, ia pun boleh melaksanakannya di akhir malam.
3. Shalat Tarawih Pilihan Nabi SAW Dari Abu Salamah bin „Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada „Aisyah r.ha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah SAW di bulan Ramadhan?”. „Aisyah mengatakan, “Rasulullah SAW tidak pernah menambah jumlah raka‟at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka‟at.” Shalat tarawih 11 raka‟at itulah yang jadi pilihan Nabi SAW. Namun bolehkah
kita
menambah
dari
yang
Nabi shallallahu
„alaihi
wa
sallam lakukan? Mayoritas ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan bahwa boleh menambah raka‟at dari yang dilakukan oleh Nabi SAW. Ibnu „Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka‟at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka‟at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.” Disebutkan dalam Muwaththo‟ Imam Malik riwayat sebagai berikut: Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Muhammad bin Yusuf dari As-Sa`ib bin Yazid dia berkata, “Umar bin Khatthab memerintahkan Ubay bin Ka‟ab dan Tamim Ad Dari untuk mengimami orang-orang, dengan sebelas rakaat.” As Sa`ib berkata, “Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar.” (HR. Malik dalam Al Muwaththo‟ 1/115). Syaikh Musthofa Al „Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih.[10]
Dalam Musnad „Ali bin Al Ja‟d terdapat riwayat sebagai berikut: Telah menceritakan kepada kami „Ali, bahwa Ibnu Abi Dzi‟b dari Yazid bin Khoshifah dari As Saib bin Yazid, ia berkata, “Mereka melaksanakan qiyam lail di masa „Umar di bulan Ramadhan sebanyak 20 raka‟at. Ketika itu mereka membaca 200 ayat Al Qur‟an.” (HR. „Ali bin Al Ja‟d dalam musnadnya, 1/413). Syaikh Musthofa Al „Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih. Hadits di atas juga memiliki jalur yang sama dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro (2/496). Penjelasan di atas menunjukkan bahwa perbuatan sahabat di zaman „Umar bin Khottob bervariasi, kadang mereka melaksanakan 11 raka‟at, kadang pula -berdasarkan riwayat yang shahih- melaksanakan 23 raka‟at. Lalu bagaimana menyikapi riwayat semacam ini? Jawabnya, tidak ada masalah dalam menyikapi dua riwayat tersebut. Kita bisa katakan bahwa kadangkala mereka melaksanakan 11 raka‟at, dan kadangkala mereka melaksanakan 23 raka‟at dilihat dari kondisi mereka masing-masing. Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Kompromi antara riwayat (yang menyebutkan 11 dan 23 raka‟at) amat memungkinkan dengan kita katakan bahwa mereka melaksanakan shalat tarawih tersebut dilihat dari kondisinya. Kita bisa memahami bahwa perbedaan (jumlah raka‟at tersebut) dikarenakan kadangkala bacaan tiap raka‟atnya panjang dan kadangkala pendek. Ketika bacaan tersebut dipanjangkan, maka jumlah raka‟atnya semakin sedikit. Demikian sebaliknya.” 4. Yang Paling Bagus adalah Yang Panjang Bacaannya Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka‟at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh
Nabi SAW, berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka‟at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama. Nabi SAW bersabda, “Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” Dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Nabi SAW melarang seseorang shalat mukhtashiron.” Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu‟ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma‟ninah ketika membaca surat, ruku‟ dan sujud. Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka‟at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka‟at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka‟at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh thuma‟ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Karena ingatlah bahwa thuma‟ninah (bersikap tenang) adalah bagian dari rukun shalat. 5. Aturan Dalam Shalat Tarawih a. Salam setiap dua raka‟at. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, “Shalat malam adalah dua raka‟at dua raka‟at.” b. Istirahat tiap selesai empat raka‟at. Dasar dari hal ini adalah perkataan „Aisyah yang menjelaskan tata cara shalat malam Nabi SAW, “Nabi SAW melaksanakan shalat 4 raka‟at, maka janganlah tanyakan mengenai
bagus
dan panjang
raka‟atnya.
Kemudian
beliau
melaksanakan shalat 4 raka‟at lagi, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka‟atnya.” Yang dimaksud dalam
hadits ini adalah shalatnya dua raka‟at salam, dua raka‟at salam, namun setiap empat raka‟at ada duduk istrirahat. c. Sudah selayaknya bagi makmum untuk menyelesaikan shalat tarawih hingga imam selesai. Dan kuranglah tepat jika jama‟ah bubar sebelum imam selesai. Nabi SAW bersabda, “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam. 6. Ketentuan shalat tarawih bagi wanita Jika menimbulkan godaan ketika keluar rumah (ketika melaksanakan shalat tarawih), maka shalat di rumah lebih utama bagi wanita daripada di masjid. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummu Humaid, istri Abu Humaid As Saa‟idiy. Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi SAW dan berkata bahwa dia sangat senang sekali bila dapat shalat bersama beliau. Kemudian Nabi SAW bersabda,”Aku telah mengetahui bahwa engkau senang sekali jika dapat shalat bersamaku. … (Namun ketahuilah bahwa) shalatmu di rumahmu lebih baik dari shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.” Namun jika wanita tersebut merasa tidak sempurna mengerjakan shalat tarawih tersebut di rumah atau malah malas-malasan, juga jika dia pergi ke masjid akan mendapat faedah lain bukan hanya shalat (seperti dapat mendengarkan nasehat-nasehat agama atau pelajaran dari orang yang berilmu atau dapat pula bertemu dengan wanita-wanita muslimah yang sholihah atau di masjid para wanita yang saling bersua bisa saling mengingatkan untuk banyak mendekatkan diri pada Allah, atau dapat
menyimak Al Qur‟an dari seorang qori‟ yang bagus bacaannya), maka dalam kondisi seperti ini, wanita boleh saja keluar rumah menuju masjid. Hal ini diperbolehkan bagi wanita asalkan dia tetap menutup aurat dengan menggunakan hijab yang sempurna, keluar tanpa memakai harum-haruman (parfum), dan keluarnya pun dengan izin suami. Apabila wanita berkeinginan menunaikan shalat jama‟ah di masjid (setelah memperhatikan syarat-syarat tadi), hendaklah suami tidak melarangnya. Nabi SAW bersabda, “Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk ke masjid, namun shalat di rumah mereka (para wanita) tentu lebih baik.” Beliau SAW juga bersabda, “Jika istri kalian meminta izin pada kalian untuk ke masjid, maka izinkanlah mereka.” E. Panduan I’TIKAF 1. Definisi I’tikaf Para ulama mendefinisikan i‟tikaf yaitu berdiam atau tinggal di masjid dengan adab-adab tertentu, pada masa tertentu dengan niat ibadah dan taqorrub kepada Allah SWT . Ibnu Hazm berkata: I‟tikaf adalah berdiam di masjid dengan niat taqorrub kepada Allah SWT pada waktu tertentu pada siang atau malam hari. (al Muhalla V/179) 2. Hukum I’tikaf Para ulama telah berijma‟ bahwa i‟tikaf khususnya 10 hari terakhir bulan Ramadhan merupakan suatu ibadah yang disyariatkan dan disunnatkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW sendiri senantiasa beri‟tikaf pada bulan Ramadhan selama 10 hari. A‟isyah, Ibnu Umar dan Anas r.a meriwayatkan: “Adalah Rasulullah SAW beri‟tikaf pada 10 hari
terakhir bulan Ramadhan” (HR. Bukhori & Muslim) Hal ini dilakukan oleh beliau hingga wafat, kecuali pada tahun wafatnya beliau beri‟tikaf selama 20 hari. Demikian halnya para shahabat dan istri beliau senantiasa melaksanakan ibadah yang amat agung ini. Imam Ahmad berkata: “Sepengetahuan saya tak seorang pun ulama mengatakan i‟tikaf bukan sunnat”. 3. Fadhilah ( keutamaan ) I’tikaf Abu Daud pernah bertanya kepada Imam Ahmad: Tahukan anda hadits yang menunjukkan keutamaan I‟tikaf? Ahmad menjawab : tidak kecuali hadits lemah. Namun demikian tidaklah mengurangi nilai ibadah I‟tikaf itu sendiri sebagai taqorrub kepada Allah SWT. Dan cukuplah keuatamaanya bahwa Rasulullah SAW, para shahabat, para istri Rasulullah SAW dan para ulama‟ salafus sholeh senantiasa melakukan ibadah ini. 4. Macam-macam I’tikaf I‟tikaf yang disyariatkan ada dua macam; satu sunnah, dan dua wajib. I‟tikaf sunnah yaitu yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk bertaqorrub kepada Allah SWT seperti i‟tikaf 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Dan I‟tikaf yang wajib yaitu yang didahului dengan nadzar (janji), seperti : “Kalau Allah SWT menyembuhkan sakitku ini, maka aku akan beri‟tikaf. 5. Waktu I’tikaf Untuk i‟tikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinadzarkan , sedangkan i‟tikaf sunnah tidak ada batasan waktu tertentu. Kapan saja pada malam atau siang hari, waktunya bisa lama dan juga bisa
singkat. Ya‟la bin Umayyah berkata: ” Sesungguhnya aku berdiam satu jam di masjid tak lain hanya untuk i‟tikaf”. 6. Syarat-syarat I’tikaf Orang yang i‟tikaf harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut : a. Muslim. b. Berakal c. Suci dari janabah (junub), haidh dan nifas. d. Oleh karena itu i‟tikaf tidak diperbolehkan bagi orang kafir, anak yang belum mumaiyiz (mampu membedakan), orang junub, wanita haidh dan nifas. 7. Rukun-rukun I’tikaf a. Niat (QS. Al Bayyinah : 5), (HR: Bukhori & Muslim tentang niat) b. Berdiam di masjid (QS. Al Baqaroh : 187)
Disini
ada dua pendapat ulama tentang masjid tempat i‟tikaf . Sebagian ulama membolehkan i‟tikaf disetiap masjid yang dipakai shalat berjama‟ah lima waktu. Hal itu dalam rangka menghindari seringnya keluar masjid dan untuk menjaga pelaksanaan shalat jama‟ah setiap waktu. Ulama lain mensyaratkan agar i‟tikaf itu dilaksanakan di masjid yang dipakai buat shalat jum‟at, sehingga orang yang i‟tikaf tidak perlu meninggalkan tempat i‟tikafnya menuju masjid lain untuk shalat jum‟at. Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama Syafi‟iyah bahwa yang afdhol yaitu i‟tikaf di masjid jami‟, karena Rasulullah SAW i‟tikaf di masjid jami‟. Lebih afdhol di tiga masjid; masjid alHaram, masjij Nabawi, dan masjid Aqsho.
8. Awal dan Akhir I’tikaf Khusus i‟tikaf Ramadhan waktunya dimulai sebelum terbenam matahari malam ke 21. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : ” Barangsiapa yang ingin i‟tikaf dengan ku, hendaklah ia beri‟tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan (HR. Bukhori). 10 (sepuluh) disini adalah jumlah malam, sedangkan malam pertama dari sepuluh itu adalah malam ke 21 atau 20. Adapun waktu keluarnya atau berakhirnya, kalau i‟tikaf dilakukan 10 malam terakhir, yaitu setelah terbenam matahari, hari terakhir bulan Ramadhan. Akan tetapi beberapa kalangan ulama mengatakan yang lebih mustahab (disenangi) adalah menuggu sampai shalat ied. 9. Hal-Hal Yang Disunnahkan Waktu I’tikaf Disunnahkan agar orang yang i‟tikaf memperbanyak ibadah dan taqorrub kepada Allah SWT , seperti shalat, membaca al-Qur‟an, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, shalawat kepada Nabi SAW, do‟a dan sebagainya. Termasuk juga didalamnya pengajian, ceramah, ta‟lim, diskusi ilmiah, tela‟ah buku tafsir, hadits, siroh dan sebagainya. Namun demikian yang menjadi prioritas utama adalah ibadah-ibadah mahdhah. Bahkan sebagian ulama meninggalkan segala aktifitas ilmiah lainnya dan berkonsentrasi penuh pada ibadah-ibadah mahdhah. 10. Hal-Hal Yang Diperbolehkan Bagi Mu’takif (Orang Yang Beri’tikaf) a. Keluar dari tempat i‟tikaf untuk mengantar istri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap istrinya Shofiyah ra. (HR. Riwayat Bukhori Muslim)
b. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan. c. Keluar dari tempat keperluan yang harus dipenuhi, seperti membuang air besar dan kecil, makan, minum (jika tidak ada yang mengantarkannya), dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluanya d. Makan, minum, dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid. 11. Hal-Hal Yang Membatalkan I’tikaf a. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar, karena meninggalkan salah satu rukun i‟tikaf yaitu berdiam di masjid. b. Murtad ( keluar dari agama Islam ) (QS.39 : 65) c. Hilangnya akal, karena gila atau mabuk d. Haidh e. Nifas f.
Berjima‟ (bersetubuh dengan istri) (QS.2:187). Akan tetapi memegang tanpa syahwat, tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan istri- istrinya.
g. Pergi shalat jum‟at ( bagi mereka yang membolehkan i‟tikaf di mushalla yang tidak dipakai shalat jum‟at) 12. I’tikaf bagi Muslimah a. I‟tkaf disunnahkan bagi wanita sebagaimana disunnahkan bagi pria. Selain syarat-syarat yang disebutkan tadi, i‟tikaf bagi kaum wanita
harus
memenuhi
syarat-syarat
lain
sbb:
Mendapat izin (ridlo) suami atau orang tua. Hal itu disebabkan karena ketinggian hak suami bagi istri yang wajib ditaati, dan juga dalam rangka menghindari fitnah yang mungkin terjadi. b. Agar
tempat
i‟tikaf
wanita
memenuhi
kriteria
syari‟at.
Kita telah mengetahui bahwa salah satu rukun atau syarat i‟tikaf adalah masjid. Untuk kaum wanita, ulama sedikit berbeda pendapat tentang masjid yang dapat dipakai wanita beri‟tikaf. Tetapi yang lebih afdhol- wallahu „alam- ialah tempat shalat di rumahnya. Oleh karena bagi wanita tempat shalat dirumahnya lebih afdhol dari masjid wilayahnya. Dan masjid di wilayahnya lebih afdhol dari masjid raya. Selain itu lebih seiring dengan tujuan umum syari‟at Islamiyah, untuk menghindarkan wanita semaksimal mungkin dari tempat keramaian kaum pria, seperti tempat ibadah di masjid. Itulah sebabnya wanita tidak diwajibkan shalat jum‟at dan shalat jama‟ah di masjid. Dan seandainya ke masjid ia harus berada di belakang. Kalau demikian, maka i‟tikaf yang justru membutuhkan waktu lama di masjid, seperti tidur, makan, minum, dan sebagainya lebih dipertimbangkan. Ini tidak berarti i‟tikaf bagi wanita tidak diperboleh di masjid. Wanita bisa saja i‟tikaf di masjid dan bahkan lebih afdhol apabila masjid tersebut menempel dengan rumahnya, jama‟ahnya hanya wanita, terdapat tempat buang air dan kamar mandi khusus dan sebagainya. Wallahu „alam.
F. MALAM LAILATUL QADAR Atas pendapat yang shohih, Malam Lailatul Qadar terjadi diantara malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan (21,23,25,27,29). Ini adalah pendapat Al-Hafidz, Abu Tsaur, Al- Mizzi, Ibnu Huzaimah, Ibnu Daqiqiel Ied dan sejumlah kalangan ulama. Berdasarkan hadits Aisyah dan Abu sa‟id r.a, Rasulullah SAW bersabda : ”Berjaga-jagalah (carilah) Lailatul Qodar pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan” ( HR. Bukhari No. 2016-2017) Dan bagi yang menghidupkan malam-malam lailatul qodar dengan ibadah yang disyariatkan maka dia termasuk yang dijanjikan mendapatkan keutamaan malam tersebut, walaupun dia tidak mengetahui bahwa malam tersebut adalah malam lailatul qadar. Ini adalah pendapat Ath-Thabari, Ibnu Arobi dan Sebagian ulama dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Utsaimin Rahimahullah . Rasulullah SAW apabila Ramadhan telah memasuki sepuluh hari terakhir, beliau semakin menggiatkan ibadahnya. Sebagaimana dalam hadits Aisyah r.a : “Rasulullah SAW apabila telah memasuki sepuluh hari (terakhir dari Ramadhan), beliau membangunkan keluarganya (untuk beribadah), menggiatkan dan bersungguh-sungguh dalam ibadahnya” (HR. Muslim No. 1174) 1. Malam lailatul Qadar memilki beberapa tanda, diantaranya : a. Hawa pada malam tersebut sedang, tidak panas tidak pula dingin. Rasulullah SAW bersabda :
“Dan Malam lailatul qadar adalah malam yang cerah dan terang, tidak panas dan tidak pula dingin “ (HR. Ibnu Huzaimah dari Jabir dan Ibnu Abbas, dan Diriwayatkan Ahmad dari Ubadah, datang juga dari sahabat yang lain dan dihasankan oleh Al-Allamah Al-Albani Rahimahullah dalam Shohihul Jami‟ No. 5472 atau 5475 ) b. Turun hujan pada malam tersebut, sebagaimana dalam hadits Abu Sa‟id r.a , ketika beliau mengabarkan tentang jatuhnya malam lailatul qadar: “Dan turun hujan pada kami pada malam dua puluh tiga (Ramadhan)”(HR. Bukhori No. 2118 dan Muslim No. 1168) c. Pada pagi harinya matahari terbit tidak menyilaukan mata, berdasarkan hadits Ubay bin Ka‟ab r.a: “Demi Allah, sungguh aku telah mengetahui pada malam keberapa malam itu (lailatul qadar) , malam itu adalah malam yang Rasulullah
SAW
memerintahkan
kami
padanya
untuk
menghidupkannya yaitu malam dua puluh tujuh dan tandanya adalah terbitnya matahari pada subuh hari itu berwarna putih dan tidak menyilaukan mata “ (HR. Muslim No. 762)
IV.
BAHAN PELENGKAP
A. MUTABA’AH YAUMIYAH – RAMADHAN 1432 H Mutaba‟ah (pengawalan) ibadah merupakan suatu elemen yang amat penting dalam proses pembinaan (takwin) seseorang muslim yang sholeh dan musleh, atau dalam kata lain membentuk seorang muslim yang berdaya saing yang mampu melakukan pembaharuan untuk kebaikan agama, negara dan bangsa. Mutabaah ibadah ini dapat menyuntik satu kekuatan kepada kita untuk
terus
beristiqomah,
beristimrar
dan
terus
tsabat
dalam
melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya terutama pada bulan Ramadhan. Sebahagian dari kita menolak mutaba‟ah kerana di dalam benak mereka yang terbayang dari kata itu adalah orang melaporkan apa yang telah mereka lakukan dalam rangka menjalankan program-program yang direncanakan, yang biasanya berupa amal-amal „ibadah, seperti solat jemaah, qiyamullail, al-ma'thurat, tilawah, puasa sunat dan kemudian mereka berpendapat bahawa itu adalah riak. Sebenarnya tidak seperti itu. Rasulullah SAW bertanya, “Siapa di antara kalian yang hari ini berpuasa?” Abu Bakar radhiyallahu „anh menjawab, “Saya.” Rasulullah shallaahu „alaihi wasallam bertanya, “Siapa di antara kalian yang hari ini menziarahi orang mati.” Abu Bakar radhiyallahu „anh menjawab, “Saya.” Rasulullah shallaahu „alaihi wasallam bertanya, “Siapa di antara kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?” Abu Bakar radhiyallahu „anh menjawab, “Saya.” Rasulullah shallaahu „alaihi wasallam bertanya, “Siapa di antara kalian yang hari ini menjenguk
orang sakit?” Abu Bakar radhiyallahu „anh menjawab, “Saya.” Rasulullah shallaahu „alaihi wasallam bersabda, “Tidak berkumpul halhal ini di dalam diri seseorang kecuali dia akan masuk surga.”( HR. Bukhori dan Muslim ) Apakah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan Rasulullah SAW itu berarti Abu Bakar r.a telah riak? Tentu tidak! Kerena beliau hanya sekadar menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, dan tidak bermaksud riak dengannya. Demikian pula, kita tidak riak hanya karena kita menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam mutaba‟ah. Sebab, hal itu diadakan tidak dengan maksud agar kita riak melainkan agar dapat diketahui apakah kita dengan
baik
telah
menjalankan
program-program
yang
telah
direncanakan. Bahwa kemudian di antara kita ada yang bermaksud riak dengan
menjawab
pertanyaan-pertanyaan mutaba‟ah,
itu
bukanlah
salah mutaba‟ah. Yang salah adalah dia yang bermaksud riak. Sebagaimana salah satu konsep pengurusan, mutaba‟ah sebetulnya satu keperluan penting. Ini karena tanpa mutaba‟ah pengurusan tidak sempurna. Padahal di dalam kaedah fiqh dikatakan, “Apa yang tanpanya sesuatu yang wajib tidak sempurna adalah wajib.” Kesempurnaan fungsifungsi pengurusan adalah perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan, dan pengendalian dan mutaba‟ah adalah pengendalian.
Berikut merupakan ibadah-ibadah yang biasa dimasukkan ke dalam senarai mutabaah: NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
KEGIATAN
1
2
3
4
5
6
7
8
Dst. .
Ttl
Maghrib berjamaah Isya berjamaah Subuh berjamaah Dhuhur berjamaah Ashar berjamaah Rowatib maghrib Rowatib isya Rowatib subuh Rowatib dhuhur Rowatib ashar Sholat dhuha Sholat tarawih Sholat witir Shoum Tilawah (lbr) Infaq/shodaqoh Hafalan Quran Hafalan hadits Silaturrahiim Dzikir pagi&petang hari Baca buku islam Baca buku pelajaran Berita terkini Riyadhoh Membaca program ini Jumlah Kolom Terisi Nb : “Amal yang paling dicintai Allah adalah yang berkesinambungan, kendati sedikit” Koreksilah dirimu, sebelum dirimu dikoreksi. Hitunglah amalmu, sebelum amalmu dihitung
Program ini khusus untuk individu. Alangkah baiknya jika tidak diperlihatkan kepada siapapun Jika jawabannya positif, beri tanda () dan ucapkanlah “Alhamdulillah” Jika jawabannya negatif, beri tanda (-), tidak ada yang dapat disalahkan kecuali diri anda sendiri “evaluasi diri”
B. SILABUS TAUJIH RAMADHAN
No 1
2
JUDUL/TOPI K Marhaban Ya Ramadhan
Tarbiyyah Ramadhan
POKOK BAHASAN 1) Persiapan dalam menyambut bulan Ramadhan a) Persiapan Fikriah (pemahaman) b) Persiapan Maknawiah (ruhiah) c) Persiapan Jasadiah (fisik) d) Persiapan Maaliah (harta) 2) Pengokohan Diri Seorang Mukmin; a) Kokoh Ruhiah b) Kokoh Fikriah c) Kokoh Sulukiah 3) Pengokohan Sosial dan membangun kontribusi; a) Berinteraksi dengan masyarakat b) Menjadi cahaya di tengah masyarakat c) Melayani masyarakat 4) Kiat sukses a) Persepsi yang benar terhadap Ramadhan b) Husnul ada‟ (pelaksanaan yang baik, kualitas dan kuantitas ibadah) c) Ihtisab dan selalu evaluasi
REFERENSI QS. 2: 183 QS. 6:122 QS. 8:2 Hadits 1, 2
1) Ramadhan Syahrut Tarbiyyah (Bulan QS 3:183 Pembinaan/Pendidikan) 2) Nilai Tarbiyyah Ramadhan: a) Membersihkan Jiwa
b) Memantapkan Keinginan Yang Baik c) Mengendalikan Hawa Nafsu d) Mengokohkan Jiwa Kemasyarakatan e) Meningkatkan Taqwa. 3
Ikhlas dalam beramal
1) Urgensi ikhlas 2) Indikasi ikhlas 3) Kiat-kiat memperoleh keikhlasan a) Wudhuhul hadaf b) Ittibau sunnah c) Bercermin kepada para mukhlasin d) Merenungkan bahaya riya e) Mengingat indahnya balasan terhadap mukhlasin
QS. 4:142. QS. 98: 5 QS. 9: 105 QS. 33: 21 QS. 18: 103104 Hadits 3,4
4
Pola hidup sehat ala Rasulullah saw
1) Mahalnya nikmat sehat 2) Dimensi-dimensi kesehatan (ruh, akal, dan fisik) 3) Tips menjaga kesehatan cara Rasulullah saw antara lain: a) Shaum yang sesuai dengan sunnah b) Olah raga (riyadhah) c) Pengobatan: bekam, ruqyah syar‟iyah d) Pola hidup yang seimbang
QS. 14: 7, 28-29 QS. 17: 36 QS. 15: 9293 Hadits 6 Hadits 7
5
Ramadhan Bulan Infaq
1) Infaq sebagai taqarrub kepada Allah QS 9:60 2) Infaq sebagai sebab seseorang masuk syurga 3) Kesempatan berharga untuk berinfaq di bulan Ramadhan karena pahalanya berlipat ganda 4) Shadaqah dan solusi social
6
Qiyamullail
1) Ramadhan Adalah Bulan Qiyam QS 73:1-5 2) Bilangan Rekaat Shalat Tarawih dan QS 51:17-18 Toleransinya. Hadits 2 3) Tujuan Shalat Adalah Untuk Membersihkan Diri
7
Ramadhan Bulan Jihad
1) Jihad Adalah Puncaknya Islam. Hadits 3 2) Perang Yang Terjadi Pada Bulan Ramadhan: Badr, Fathu Makkah, Ainu Jalut
8
Melanggengka n dzikir dan do‟a ma‟tsurat pagi dan sore
1) Pengertian dzikir dan do‟a ma‟tsurat 2) Contoh do‟a ma‟tsur yang dibaca oleh Rasulullah saw 3) Agar dzikir dan do‟a berdaya guna (adab berdo‟a) 4) Manfaat dzikir dan do‟a ma‟tsurat a) Selalu ingat dan berkomunikasi dengan Allah swt b) Dilindungi dari bahaya c) Dijaga dari tipu daya syetan d) Dihapuskannya kesalahan e) Ditingkatkannya derajat f) Meneguhkan dan menentramkan hati g) Memancarkan cayaha kewibawaan h) Investasi (tabungan) akhirat
QS. 2: 152 QS. 13: 28 QS. 33: 35 Hadits 10
9
Membangun Kerja Sosial Di Tengah Ummat
1) Urgensi Kerja Sosial a) Faridhah Diiniah (kewajiban agama) b) Faridhah Insaniah (kewajiban manusiawi) c) Faridhah Ijtimaiah (kewajiban sosial masyarakat) 2) Makanah(Kedudukan) Kerja Sosial a) Bersama Rasulullah Di Surga b) Bernilai Jihad c) Bernilai Ibadah
QS 107:1-7 QS 3:180 Hadits 38, 39,40
10
Meraih Rahmat Allah
1) Pengertian Rahmat Allah. 2) Meraih Rahmat Allah Merupakan Suatu Dambaan. 3) Kiat Meraih Rahmat Allah: a) Taat Pada Allah dan Rasul-Nya. b) Tolong Menolong, amar ma‟ruf nahi munkar, shalat dan zakat. c) Memiliki Iman Yang Kokoh d) Mengikuti Al-Qur‟an dan Selalu
QS 3:132 QS 9:71 QS 4:175 QS 6:155 QS 7:156 QS 7:56 QS 7:204 QS 27:46
Bertaqwa e) Berbuat Baik. f) Mendengarkan Bacaan Qur‟an. g) Taubat Dari Segala Dosa
Al-
11
Nilai & Realisasi Ukhuwah Islamiyah
1) Keharusan Memperkokoh Ukhuwah QS 49:10 Islamiyah. QS 3:103. 2) Nilai Ukhuwah: a) Kenikmatan Yang Besar. b) Konsekuensi/Bukti Iman. 3) Realisasi Ukhuwah: a) Tidak Ada Perasaan Buruk Terhadap Muslim Lainnya. b) Mengutamakan Muslim lainnya.
12
Memperkokoh Ukhuwah
1) Keharusan Memperkokoh Ukhuwah Islamiyah. 2) Langkah-Langkah Menjaga dan Memperkokoh Ukhuwah: a) Siap Meninggalkan Pendapat Pribadi Yang Salah dan Menerima Pendapat Orang lain Yang Benar. b) Siap Berbeda Pendapat Dalam Upaya Ijtihad. c) Perbedaan Harta Harus Melahirkan Keakraban d) Mengamalkan Akhlak Ukhuwah.
13
Akhlak Dalam Ukhuwah
1) Ukhuwah Terwujud Bila Akhlak QS 49:6-12 Terwujud. QS 3:159 2) Akhlak Dalam Ukhuwah: QS 10:1-3 a) Husnudzdzan (Berbaik Sangka). b) Tabayyun (Mengecek Berita). c) Taushiyah (Nasihat Menasihati) d) Ishlah (Perdamaian) e) Tenggang Rasa f) Silaturrahmi
14
Mengatasi Kesenjangan Sosial
1) Pengertian Kesenjangan Sosial. QS 62:10 2) Keharusan Mengatasi Kesenjangan QS 2:245 Sosial. Hadits 5 3) Langkah-Langkah Mengatasinya:
QS 49:10 QS 4:59 QS 43:32 QS 16:7
a) Bekerja Keras b) Menghindari Cara-Cara Yang Haram. c) Menolong Orang Yang Lemah 15
Al-Qur‟an 1) Beberapa Keutamaan Al-Qur‟an QS 15:9 Satu-Satunya a) Beribadah Pada Malam Kitab Suci Diturunkannya Al-Qur‟an Yang Terjamin Bernilai Seribu Bulan. Keasliannya b) Al-Qur‟an Dimudahkan Sebagai Pelajaran, termasuk menghafalnya. c) Al-Qur‟an Dijamin Oleh Allah dari Perubahan. 2) Perlakuan Umat Yang Keliru Terhadap Al-Qur‟an: a) Membaca Tanpa Memperhatikannya. b) Membaca Tanpa Adab. 3) Sikap Muslim Terhadap Al-Qur‟an.
16
Bersama Firman Allah
1) Membaca Al-Qur‟an Sangat QS 2:185 Menguntungkan, Apalagi Pada Bulan Hadits 6 Ramadhan. 2) Sebab Keuntungan Membaca AlQur‟an Pada Bulan Ramadhan: a) Al-Qur‟an Turun Pada Bulan Ramadhan b) Jibril Datang Di Bulan Ramadhan Setiap Malam.
17
Al-Qur‟an Sebagai Mu‟jizat
1) Mu‟jizat Al-Qur‟an: QS 2:23. a) Mu‟jizat Dari Segi Bahasa dan QS 17:88 Sastra. QS 6:125 b) Mu‟jizat Dari Segi Ilmu dan QS 31:14 Teknologi. QS 17:32 c) Mu‟jizat Dari Segi Hukum dan QS 24:2 Undang-Undang. QS 15:38
18
Interaksi Dengan Al-Qur‟an
1) Al-Qur‟an Merupakan Petunjuk Hidup. 2) Interaksi Terhadap Al-Qur‟an: a) Mengimani. b) Mempelajari dan Mengkaji.
QS 2:4 QS 4:82 QS 38:29 QS 47:24 QS 5:67
c) Mengamalkan d) Menyebarkan/Menda‟wahkan.
QS 25:30
19
Bahaya Rumor/Gosip
1) Kebiasaan Terlibat Rumor Karena QS 24:12-16 Terlanjut Menganggap Remeh. Hadits 7 2) Sikap Muslim Terhadap Rumor: a) Menghadirkan Sangkaan Baik Terhadap Sesama Muslim. b) Mengalihkan Pembicaraan Kearah Yang Baik. 3) Makna Ghibah 4) Bahaya Ghibah: a) Merusak Semua Amal Shaleh Yang Dimiliki b) Merusah Ukhuwah Islamiyah.
20
Keberkahan Hidup
1) Pengertian Keberkahan Dalam Hidup 2) Memperoleh Keberkahan Merupakan Dambaan Setiap Muslim. 3) Bentuk Keberkahan: a) Berkah Dalam Keturunan. b) Berkah Dalam Makanan c) Berkah Dalam Waktu
21
Menghalau Godaan Syaitan
1) Syaitan Selalu Menyesatkan Manusia. Hadits 8 2) Keharusan Menghalau Godaan Hadits 9 Syaitan. QS 7:201 3) Kiat Menghalau Godaan Syaitan: a) Menghindari Kekenyangan Makan dan Berlebihan. b) Dzikir, Istighfar dan Tilawah AlQur‟an. c) Menjauhi Ketergesa-gesaan d) Berpedoman Kepada Al-Qur‟an.
22
Takut Kepada Allah
1) Pengertian Takut Kepada Allah. QS 9: 13 2) Keharusan Memiliki Rasa Takut QS 33:39 Kepada Allah. QS 12:23 3) Dampak Positif Rasa Takut Kepada Allah: a) Tidak Berani Menyimpang Dari Ketentuan Allah. b) Segera Bertaubat Yang Sebenarnya Bila
QS 11:71-73 QS 5:88 QS 7:31 QS 103-1-3 QS 92:1-7
c) Melakukan Kesalahan. 23
Upaya 1) Pentingnya Memiliki Rasa Takut Menumbuhkan Kepada Allah. Rasa Takut 2) Kiat Memiliki Rasa Takut Kepada Kepada Allah Allah: a) Mengkaji Dalil Tentang Murka Allah b) Mengetahui Akibat Orang Yang Tidak Takut Kepada Allah. c) Memahami Siksa Akhirat Yang Tidak Terbayangkan.
QS 43:54-55 QS 71:25 QS 77:81 QS 29:40 QS 78:21-30
24
Urgensi Memahami Sirah Nabawiyah
1) Rasulullah Merupakan Teladan Dalam QS 33:21 Kehidupan. QS 2:208 2) Keharusan Mempelajari Sejarah Rasul QS 33:37-38 Dalam Rangka Meneladaninya. 3) Manfaat Memahami Sirah Nabawiyah: a) Memahami Pribadi Rasul Sebagai Teladan. b) Membantu Kearah Pemahaman Terhadap Al-Qur‟an. c) Mendapatkan Gambaran Tentang Prinsip Hidup dan Hukum Islam.
25
Hakikat Ketentuan Allah Bagi Manusia
1) Allah Swt Menciptakan Manusia Dengan Segala Ketentuan-Nya. 2) Hakikat Ketentuan Allah: a) Untuk Menjaga Martabat Manusia. b) Untuk Mengatur Ketertiban Hubungan Manusia. c) Untuk Mengendalikan Hawa Nafsu. d) Untuk Menjaga Martabat Khalifah. e) Untuk Menjaga Martabat Sebagai Da‟i. f) Untuk Pertanggungjawaban di Akhirat.
QS 95:4-6 QS 2:213 QS 35:8 QS 35:39 QS 2:44 QS 99:7-8
26
Urgensi 1) Keharusan Menunaikan Tugas QS 3:64 Da‟wah Dalam Da‟wah. QS 3:139 Membangun 2) Urgensi Da‟wah: Umat a) Membebaskan Manusia dari Seluruh Bentuk Pengabdian Kepada Selain Allah. b) Mengembalikan Eksistensi dan Peran Umat Islam Dalam Kepemimpinan Manusia. c) Menanamkan Kebanggaan Umat Islam Terhadap Agamanya. d) Menjaga Kemurnian Ajaran Islam.
27
Berinteraksi Dengan Orang Shaleh
1) Anjuran Berinteraksi Dengan Orang Shaleh Sebagai Karakter Orang Bertaqwa. 2) Manfaat Bersama Orang Yang Shaleh 3) Keshalehan Pribadi Harus Diikuti Dengan Keshalehan Jamaah dan Sistem. 4) Semua Nabi dan Rasul Berharap Dikumpulkan Bersama Orang Yang Shaleh
28
Berkata Benar Pangkal Kebaikan
1) Berkata benar, slah satu karakter QS 33:70 taqwa Hadits 11 2) Berkata benar, proses awal pembentukan manusia taqwa 3) Akibat berkata dusta: a) Berdosa besar b) Penghambat ampunan Allah c) Puasa menjadi sia-sia 4) Puasa melatih kita berkata benar
29
Waspada terhadap kebenaran semu
1) Sikap hidup yang paling rugi adalah QS 18:103 salah tapi merasa benar. QS 43:36-37 2) Penyebab Kerancuan menilai amal: QS 49:18 a) Suka mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam sesuatu b) Suka melanggar larangan Allah 3) Upaya menangkal kebenaran semu: a) Berdialog dengan hati nurani b) Terlibat dalam majelis ilmu
QS 9:119 QS 29:9 Hadits 10 QS 27:19 QS 12:101 QS 26:83
30
Akibat Mengikuti Hawa Nafsu
1) Tiap Manusia Diberi Nafsu dan Boleh Dituruti Keinginannya Yang Benar. 2) Islam Tidak Membenarkan Mengikuti Hawa Nafsu. 3) Akibat Negatif Mengikuti Hawa Nafsu: a) Menyimpang Dari Kebenaran b) Sesat dan Menyesatkan Manusia c) Melampaui Batas d) Merusak Kehidupan
QS 45:23 QS 23:43 QS 4:135 QS 38:26 QS 6:119 QS 18:28 QS 40:41
ALL ABOUT FSLDK INDONESIA
FSLDK Indonesia merupakan sebuah lembaga yang bergerak dalam ranah dakwah social. Sebagai salah satu lembaga yang menginisiasi perubahan bangsa, FSLDKI bergerak melaju dalam ranah perbaikan pemuda khususnya mahasiswa. Berpedoman kepada sebuah asas “Khodimul Ummah”, menjadi rumah aspirasi bagi masyarakat,berkomitmen melayani masyarakat, bangsa dan Negara guna menciptakan pemuda-pemuda yang unggul di bidangnya, sehingga cita-cita bangsa Indonesia dalam hal masyarakat madani akan tgercapai. “Teratur dan Terencana”, sebuah tahapan yang terus dilalui oleh FSLDK Indonesia.seperti sebuah lompatan-lompatan kecil yang terus menerus, bahkan setiap detik dari lompatan tersebut, bergerak dari tahapan satu menuju tahapan selanjutnya. FSLDK Indonesia melalui tahapan tersebut, telah menorehkan nberbagai prestasi dimulai dari 782 Lembaga Dakwah Kampus dan sekitar 32.000 Aktivis Dakwah Kampus yang tersebar diseluruh pelosok wilayah Indonesia, telah mampu menciptakan perubahan-perubahan perbai di seluruh wilayah Indonesia. Tidak cukup sampai disitu, sebuah cita-cita besar lainnya adalah menuju FSLDK Go Internasional Tahun 2014, gerakan perubahan yang tidak hanya mencakup wilayah Indonesia, melainkan seluruh pelosok dunia sehingga keberlakuannya meliputi “Rahmatan Lil Alamin”
Perjalanan FSLDK Indonesia Sebagai sebuah lembaga, FSLDKI tidak langsung berdiri seperti sekarang. Ada tahapan-tahapan sulit yang telah dilalui sehingga FSLDKI mampu berdiri secara mandiri. Berawal dari kesadaran untuk bersatu dan bersinergis dalam perjuangan, diawali pada tahun 1986 diselenggarakan “Sarasehan Lembaga Dakwah Kampus“ di UGM Yogyakarta yang dihadiri hanya oleh 13 kampus se-Jawa Sejak tahun 1989, peserta pertemuan tidak hanya lingkup wilayah jawa saja namun melibatkan Wilayah Sumatera, Sulawesi, Nusda Tenggara dan Bali. Pada Musyawarah Nasional di Ambon tahun 2010, dengan melihat jaringan yang dibangun semakin luas dan merambah ke seluruh pelosok Indonesia, untuk memudahkan kerja, kordinator tingkat pusat diamanahkan kepada Pusat Komuniskasi nasional UKM Birohmah Universitas Lampung dengan grand desighn FSLDK Go Internasional Tahun 2014. Fokus Kerja FSLDK Indonesia FSLDK Indonesia terus meningkatkan eksistensi peran FSLDK membangun masyarakat madani dan terus berproses menuju perbaikan organisasi dengan langkah-langkah membentuk FSLDK yang Futuh, Kokoh, menjadi rumah aspirasi masyarakat, transformative serta sinergis sehingga mampu mencapai FSLDK Go Internasional Tahun 2014
Dalam
menjalanan
kerja-kerjanya,
FSLDK
Indonesia
membangun jaringan di seluruh pelosok wilayah Indonesia dengan jumlah 12 Badan Pekerja Nasional (BP Nas), 6 Badan Khusus Nasional (BK Nas), dan 34 Pusat Komunikasi Daerah (Puskomda) guna memudahkan kinerja yang ada. 1. BP Sumatera Bagian Utara a. Puskomda Aceh b. Puskomda Sumatera Utara c. Puskomda Riau d. Puskomda Sumatera Barat 2. BP Sumatera Bagian Selatan a. Puskomda Jambi b. Puskomda Bengkulu c. Puskomda Bangka Belitung d. Puskomda Lampung e. Puskomda Sumatera Selatan 3. BP Jadebek Banten a. Puskomda Jadebek b. Puskomda Banten 4. BP Jawa Barat a. Puskomda Bandung Raya b. Puskomda Priangan Barat c. Puskomda Priangan Timur d. Puskomda Wil 3 Cirebon 5. BP Yogya a. Puskomda Yogyakarta
6. BP Jawa Tengah a. Puskomda Semarang b. Puskomda Solo c. Puskomda Purwokerto 7. BP Jawa Timur a. Puskomda Surabaya b. Puskomda Malang c. Puskomda Jember d. Puskomda Madiun 8. BP Bali Nusa Tenggara a. Puskomda Bali b. Puskomda Nusa Tenggara 9. BP Kalimantan a. Puskomda Kalimantan Timur b. Puskomda Kalimantan Tengah c. Puskomda Kalimantan Selatan d. Puskomda Kalimantan Barat 10. BP Sulawesi A a. Puskomda Sulawesi A 11. BP Sulawesi B a. Puskomda Sulawesi Tenggara b. Puskomda Sulawesi Selatan & Barat 12. BP Indonesia Timur a. Puskomda Maluku b. Puskomda Maluku Utara c. Puskomda Papua