BAB V ANALISA PEMBAHASAN
5.1.
Analisa Prioritas perbaikan proses Dyno dengan metode FMEA Setelah diketahui berbagai kendala dan hambatan dalam pencapaian target
WIP diproses Dyno, maka perlu dibuatkan analisa prioritas perbaikan sesuai dengan kebutuhan
bisnis
perusahaan.
Dari
berbagai
hambatan
tersebut
penulis
mengelompokkan menjadi beberapa kelompok yaitu: 1. Assembling: dimana dilakukannya proses assembling di dalam dyno room, sehingga mempengaruhi WIP dyno. Hal ini terjadi ketika WIP keseluruhan sudah mendekati promise date ke customer. Sehingga manajemen perlu melakukan assembling di dalam dyno room agar terjadi proses parallel antara persiapan
tes
dengan
finishing
assembling
engine.
Namun
dalam
kenyataannya manajemen tidak menambahkan man power agar tujuan yang diharapkan tercapai. 2. Preparation: dimana sudah penulis uraikan di bab 4 bahwa banyak sekali aktivitas waste di sub proses ini.
64
65
3. Troubleshooting: adalah aktivitas mencari akar masalah ketika engine performance tidak memenuhi spesifikasi yang ditentukan oleh factory. 4. Repairing: adalah proses perbaikan yang dilakukan di dalam dyno room keyoka selama pengetesan ditemukan adanya kerusakan, sehingga diperlukan perbaikan maupun penggantian part baru. 5. Testing: adalah hambatan-hambatan yang memberi dampak pada lamanya WIP proses pengetesan engine setelah proses persiapan selesai. 6. Contamination control: adalah bagian dari komitmen perusahaan kepada customer untuk menjaga engine customer dari kontaminasi.
5.2.
Perhitungan severity dan deteksi. Perhitungan severity didasarkan pada kesepakatan tim berkaitan dengan efek
yang ditimbulkannya pada proses selanjutnya. Begitu pula dengan perhitungan deteksi dimana sistem bisa melakukan deteksi sebelum engine masuk ke proses pengetesan engine. Kemudian kesepakatan tim tersebut disesuaikan dengan table severity dan detection.
5.3.
Perhitungan occurance. Nilai occurance diperoleh dengan melakukan perhitungan. Yaitu mencari
nilai PPM (Part per Million). Setelah nilai PPM didapat kemudian nilai tersebut disesuaikan dengan tingkatan nilai occurance yang ada pada table occurance. Berdasarkan kesepakatan tim data yang dipakai dalam perhitungan PPM adalah data tahun 2008, karena data tahun 2007
juga memiliki tren yang sama. Selain itu
66
didukung dengan data hasil wawancara dan observasi. Dari hasil PPM dikonversikan ke tabel occurance. Contoh perhitungan PPM Loosen components: (23/7523) x 1000000 = 306666.7 PPM = 306666.7/ 1000 = 307 perthousand test sehingga nilai O = 7(berdasar tabel O) Tabel 5.1 Perhitungan occurance.
Tabel 5.2 FMEA proses dyno
67
68
Dari hasil table FMEA di atas diperoleh urutan prioritas perbaikan adalah: 1. Kurangnya ketelitian dari teknisi di bagian assembling terhadap kekencangan pemasangan komponen, yang mana hal ini merupakan faktor yang paling vital dalam proses assemble. 2. Sulitnya mendapatkan hasil yang maksimal dalam contamination control. 3. Persiapan tool, dimana banyak sekali waktu yang dibutuhkan dalam menunggu tool fabrikasi yang sedang dibuat dan assembling tool. 4. Adanya penambahan order part yang menjadi tanggung jawab PT. XYZ memerlukan pengambilan keputusan yang lebih cepat oleh manajemen. 5. Troubleshooting, tidak akuratnya test bench pengetesan Fuel Injection Pump, sehingga tidak sinkron dengan di dyno test serta didukung kurangnya pengalaman dari teknisi dalam melakulan analisa penyebab masalah, dan juga tidak adanya dokumentasi dari pemecahan masalah-masalah engine sebelumnya. 6. Tool dyno tidak bekerja dengan baik, yaitu kurangnya perhatian dari teknisi yang bertindak sebagai operator dyno dalam melakukan perawatan tool juga kurangnya pengetahuan dari tim maintenance dalam melakukan perawatan dari tool dyno.
69
5.4
Penanggulangan masalah.
5.4.1. Diagram fishbone loosen components.
Gambar 5.1 fishbone diagram Loosen components 1. Faktor manusia. Proses assembling adalah pekerjaan berulang-ulang yang memungkinkan teknisi mengalami rasa jenuh dan juga terlalu percaya diri sehingga melakukan short cut pekerjaan dengan melanggar SOP yang ada. 2. Faktor manajemen. Teknisi tidak memiliki motivasi kerja yang tingi, karena selama ini merasa tidak dihargai hasil kerjanya oleh perusahaan.
70
3. Faktor metode kerja. Bekerja tidak sesuai SOP terutama tidak melakukan kontrol cek terhadap hasil kerjanya. 4. Faktor material. Kondisi dari bolt pengikat yang sudah fatique da tidak diketahui oleh teknisi yang melakukan proses assembling.
5.4.2. Diagram fishbone contamination control.
Gambar 5.2 fishbone diagram contamination control.
71
1. Faktor manusia. Tidak peduli dengan metode kerjanya yang kurang efektif, sehingga tidak ada perbaikan untuk mendapatkan hasil yang lebih cepat. 2. Faktor mesin / alat kerja. Tidak tersedianya persediaan filter untuk membersihkan oli engine sehingga proses kidneylooping menjadi lebih lama. 3. Faktor manajemen. Kurangnya konsisten manajemen dalam melakukan support terhadap alat kerja maupun metode kerja operator. 4. Faktor material. Proses pembersihan komponen yang kurang bersih dan tidak terdeteksi dengan baik oleh teknisi assemble, sehingga kotoran tersebut bercampur dengan oli engine.
72
5.4.3. Diagram fishbone preparation tool.
Gambar 5.3 Fishbone diagram Kurangnya persiapan alat kerja. 1. Faktor manusia. Operator merasa tidak peduli terhadap kebutuhan alat kerja dalam pengetesan, sehingga tidak melekukan perseiapan dari awal engine masuk ke workshop. 2. Faktor manajemen. Tidak memberikan standar waktu untuk mempersiapkan tool fabrikasi selama proses disassemble.
73
3. Faktor alat kerja. Tidak ada standar dalam fabrikasi alat yang sudah dibuat, sehingga kesulitan dalam melakukan kontrol terhadap alat yang sudah dimiliki. 4. Faktor metode. Tidak adanya SOP yang jelas dalam pengaturan planning kerja secara keseluruhan sehingga banyak hambatan dalam pelaksanaan prose situ sendiri. 5. Faktor material. Merupakan engine yang pertama kali masuk ke workshop, sehingga memerlukan alat fabrikasi baru. 5.2.4. Diagram fishbone pengambilan keputusan.
Gambar 5.4 Diagram fidhbone lamanya decision making.
74
5.4.5. Diagram fishbone perawatan alat kerja.
Gambar 5.5 Diagram fishbone alat kerja tidak berfungsi. 1.
Faktor manusia. Kurangnya skill dalam pemakaian dan perawatan alat kerja, sehingga perlu diberikan training oleh vendor penyedia alat tersebut.
2.
Faktor manajemen. Tidak adanya kontrol yang mendeteksi berkaitan dengan berjalannya perawatan rutin oleh tim maintenance.
75
3.
Faktor alat kerja. Merupakan alat kerja khusus, sehingga tidak memiliki banyak literature baik yang diberikan suplier alat maupun pedoman perawatan umum.
4.
Faktor metode. Jadwal perawatan rutin tidak dibuat karena tidak ada panduan khusus berkaitan dengan perawatan alat kerja.
5.5.
Rekomendasi. Dari berbagai prioritas masalah di atas, perusahaan juga menghendaki adanya
perbaikan yang signifikan tapi juga murah dalam segi biaya. Oleh karena itu penulis memberikan solusi bagi perusahaan dengan data-data yang telah penulis kemukakan di atas. Berikut rekomendasi yang penulis berikan: 1. Merubah paradigma qualiti kontrol yang berpusat pada engine ke paradigma qualiti kontrol pada berjalannya proses dengan baik dan benar, dimulai dengan merubah form quality control card dan mensosialisasikan paradigma baru ini ke seluruh teknisi. 2. Merubah subproses yang salah berkaitan dengan contamination control di dyno test dan mengembalikannya sesuai SOP dari dept. contamination control, sehingga sebagian besar subproses ini bisa dikeluarkan dari proses pengetesan engine.
76
3. Dilakukan perbaikan metode dalam persiapan alat terutama untuk engine yang belum pernah masuk ke workshop sebelumnya. Persiapan dan pengukuran dilakukan ketika engine masih dalam proses disassembling, dan tool tersebut dibuat oleh vendor ketika engine dalam proses assembling. 4. Membangun
jalur pengambilan
keputusan yang melibatkan
middle
manajemen sehingga dapat memberikan informasi yang lebih cepat, sehingga keputusan lebih cepat didapat. 5. Membuat jalur penyelesaian masalah yang melibatkan pihak manajemen dalam mengambil keputusan dan sharing penyelesaian masalah. Selain itu memasukkan dokumentasi penyelesaian masalah ke dalam quality control card. 6. Melakukan coaching kepada teknisi untuk membangun kesadaran dalam perawatan tool, serta mengkordinasikan dengan tim maintenance agar mendapat training mengenai tool dyno.
77
5.6.
Hasil dari perbaikan. Setelah disepakati oleh manajemen perbaikan-perbaikan yang perlu
dilakukan, maka dilakukan pilot project pada tiga pengetesan engine.
Tabel 5.3. Hasil pengukuran pilot project.
78
Gambar 5.6 Grafik perbandingan total waktu pengetesan engine. Dari hasil tersebut diperoleh percepatan WIP yang signifikan walaupun belum mampu mencapai dari standar dari yang ditetapkan oleh perusahaan. Sehingga dengan hasil ini perusahaan perlu menjadikan metode dalam pilot project menjadi standar kerja perusahaan.