BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS
4.1
Praproses Citra
Praproses dan reduksi citra dilakukan dengan bantuan perangkat lunak IRAF. Praproses citra dimulai dengan pengecekan awal pada kualitas data secara statistik dengan menggunakan task IMSTAT pada IRAF yang meliputi nilai mean, standard deviasi, minimum, dan maksimum count setiap citra. Data dianggap berkualitas jika nilai-nilai tersebut mempunyai kecenderungan yang sama atau seragam untuk seluruh citra dalam satu waktu pengamatan dan dalam filter yang sama. Data statistik terlampir pada Lampiran D. Citra mentah (raw image) yang diperoleh dari suatu pemotretan mengandung banyak “sampah” yang harus disingkirkan dalam rangka memperoleh citra representatif objek yang diamati (Malasan, 1997). Sampah ini juga berbentuk berkas kosmis dan derau. Selain suatu citra terekam dibentuk oleh cahaya objek, juga mengikutsertakan perbedaan titik nol setiap piksel (bias), kepekaan dan respons terhadap temperatur. Untuk menyingkirkan efek ini dari citra mentah, umumnya astronom mempergunakan citra gelap/dark frame dan citra medan datar/flat field frame. Formulasi matematika yang bertautan dengan kalibrasi citra adalah sebagai berikut Citra mentah-citra gelap Citra bersih =
Citra medan datar
4.1
Dari citra tereduksi yang telah diperoleh dilakukan pengolahan data citra sehingga akan didapatkan nilai cacah foton objek yang dan cacah foton langit latar belakang. Kedua nilai tersebut akan digunakan dalam fotometri. Fotometri bukaan adalah salah satu metode pengolahan data citra tereduksi CCD dengan menggunakan tiga buah cincin digital untuk mengukur kecerlangan suatu objek. Cincin pertama yang paling dalam digunakan untuk mengukur kecerlangan total objek sedangkan cincin ke-2 dan ke-3 untuk memperkirakan kecerlangan langit latar belakang. Dapat dilihat pada gambar 4.1 di bawah ini 21
adalah contoh citra yang sudah direduksi dengan citra kalibrasi: flat,dark dan bias.
121471_v_15s_dark_bersih
140680_v_12s_dark_bersih
120602_v_50s_dark_bersih
122594_v_30s
122752_v_25s_dark_bersih Gambar 4.1 Citra bersih yang diambil tanggal 16-17 Juli 2006
22
4.2 Reduksi Fotometri Citra yang terkalibrasi tersebut merupakan citra bersih yang kemudian akan dilakukan proses reduksi yang dilakukan dengan paket IRAF/APPHOT. Tujuan akhir dari proses reduksi ini adalah mendapatkan nilai magnitudo instrumen objek pada sistem IRAF. Karena medan citra objek tidak terlalu ramai oleh bintang atau hanya berisi beberapa bintang yang tidak saling berdekatan, maka metode yang dipilih pada paket IRAF/APPHOT adalah teknik fotometri bukaan (aperture photometry). (Irfan dkk, 2003).
Prinsip dasar pengukuran kecerlangan bintang pada citra CCD adalah dengan menghitung intensitas pada semua piksel yang mengandung cahaya dari bintang, perkirakan besar intensitas langit latar belakang yang berkontribusi dalam piksel-piksel tersebut menggunakan piksel-piksel terdekat, kemudian kurangkan dengan kontribusi intensitas langit latar belakang tersebut untuk mendapatkan intensitas bersih bintang. Pada teknik fotometri bukaan, penjumlahan intensitas bintang dilakukan dengan membuat sebuah lingkaran dengan pusatnya adalah pusat bintang.
4.3.1 Penentuan titik pusat bintang Penentuan titik pusat citra pada frame merupakan hal yang mendasar dalam fotometri bukaan. Pada awalnya Penulis melakukan pendeteksian bintang yang akan dihitung melalui penginderaan mata, karena objek yang diamati merupakan objek terang dan tidak berada pada suatu daerah yang crowded. Titik pusat citra dapat ditentukan dengan menjumlahkan intensitas bintang pada suatu piksel dari arah kolom dan baris. Jumlah intensitas dari arah kolom ataupun dari arah baris disebut jumlah marjinal. Jumlah marjinal ini didekati misalnya dengan fungsi satu dimensi, contoh fungsi Gaussian. Maka dilakukan fitting terhadap masing-masing jumlah marjinal sehingga diperoleh perkiraan titik pusat bintang. Titik pusat yang diperoleh digunakan sebagai titik pusat ke-tiga cincin digital yang dipergunakan untuk mendapatkan nilai kecerlangan objek. Penentuan pusat bintang dalam reduksi kali ini adalah secara manual dengan memperkirakan pusat bintang yang mempunyai intensitas paling tinggi, setelah itu dalam langkah penentuan magnitudo bintang, IRAF akan melakukan 23
iterasi untuk menentukan pusat bintang yang sebenarnya. Radius bukaan (R) ditentukan dengan memperhatikan ukuran piksel dari CCD, jangan sampai nilai R terlalu besar untuk ukuran piksel yang besar dan terlalu kecil untuk ukuran piksel yang kecil, karena dapat mempengaruhi nilai intensitas bintang.
4.3.2 Menentukan Intensitas Langit Latar Belakang Cara yang sering dipakai untuk menentukan intensitas langit latar adalah dengan menghitung intensitas di dalam daerah sebuah cincin (annulus) yang berpusat pada bintang. Untuk menghindari bias dari objek maka radius annulus yang lebih dalam jaraknya harus cukup jauh dari bintang. Radius annnulus yang lebih dalam dapat diambil setidaknya 2-5 kali nilai full width at half maximum (FWHM) bintang. (Irfan dkk, 2003)
Gambar 4.2 Ilustrasi cincin annulus.
4.3.3 Menjumlahkan Intensitas Bintang Setelah titik pusat bintang dan nilai kecerlangan langit latar belakang, maka kecerlangan bintang dapat ditentukan. Jika sebuah bintang dalam suatu frame citra telah ditentukan pusatnya, intensitas lingkaran dengan radius R yang di dalamnya memuat seluruh cahaya bintang dapat dihitung dengan menjumlahkan semua intensitas dalam piksel-piksel yang berada pada radius R. I = ∑ Iij Iij adalah intensitas intensitas piksel pada posisi (xi, yj).
24
Proses penjumlahan hanya dilakukan dalam daerah cincin objek saja. Hasil dari ketiga tahapan fotometri bukaan menghasilkan nilai total intensitas objek. Nilai total ini disebut count bintang. Count dari bintang yang akan dipergunakan untuk mendapatkan nilai magnitudo dari bintang dengan informasi pendukung yaitu waktu pencahayaan. Count ini yang akan menjadi data masukan dalam analisis yang akan disampaikan pada bab selanjutnya.
4.3.4 Menentukan Magnitudo Bintang Setelah menentukan intensitas bintang dengan radius R dan intensitas langit latar belakang dalam daerah yang dilingkupi annulus, maka intensitas bersih bintang dengan radius bukaan R dapat ditentukan melalui persamaan : Is = I – npix isky . Is
= intensitas bersih bintang.
I
= intensitas bintang yang masih mengandung intensitas langit latar.
npix = jumlah piksel dalam radius bukaan. isky
= intensitas langit latar dalam tiap piksel.
Dari intensitas tersebut kemudian dapat ditentukan magnitudo bintang atau objek. m = zpt – 2.5 log Is . m
= magnitudo objek.
zpt
= nilai bebas sebagai titik nol magnitudo (biasanya antara 23.5 atau
25.0). (Ibrahim, 2001)
4.3.5 Galat Penentuan Magnitudo Kesalahan dalam memilih besarnya radius bukaan R dapat memicu adanya bias dalam perhitungan intensitas bintang yang direpresentasikan dalam galat atau deviasi dalam penentuan magnitudo. Asumsikan dalam sebuah radius bukaan R mengandung intensitas bintang Is dalam satuan foton, jika D adalah gain dari CCD dalam satuan elektron per ADU, maka nilai fotoelektronnya (sinyal) adalah IsD. Foton-foton tersebut mengikuti statistik Poisson, maka standard deviasi dengan
25
sinyal sebesar IsD foton adalah (IsD)1/2 foton atau (Is / D)1/2 dalam satuan ADU. Galat magnitudo dihitung dengan m ± δm = zpt – 2.5 log (Is ± σ(Is))
atau
δm =
(
1.09 I s D + npix ( r 2 + isky D ) Is D
)
1/ 2
.
δm
= galat magnitudo.
r
= derau bacaan keluar (readout noise) dalam satuan elektron.
σ
= standard deviasi.
Prinsip dasar praproses dan reduksi citra tersebut diterapkan dengan bantuan perangkat lunak IRAF/APPHOT yang terintegrasi dalam paket-paket dan task di dalamnya. (Romanishin, 2002)
4.4 Penentuan nilai magnitudo, ekstingsi dan transformasi 4.4.1 Penentuan nilai magnitudo Prosedur penentuan nilai magnitudo serta harga galat yang dijabarkan pada software IRAF diatas menggunakan prinsip dasar Pogson. Sementara sejauh ini belum ada software yang mempergunakan prinsip Lupton pada penentuan nilai magnitude beserta errornya. Informasi yang dipergunakan untuk dianalisis adalah nilai intensitas bersih bintang (dalam hal ini fluks), karena pada sistem Pogson maupun Lupton input utama penentuan magnitudo adalah fluks. Pada sistem Pogson nilai magnitudo instrumen diperoleh dengan mensubstitusikan harga fluks ke dalam persamaan 2.2. sementara untuk penentuan nilai galat dapat digunakan persamaan perambatan kesalahan (persamaan 2.5), karena untuk nilai S/N tinggi maka persamaan perambatan kesalahan ini masih dapat digunakan. Hasil akan dilampirkan pada table 4.1. Dalam sistem Lupton (Lupton et al, 1999) nilai magnitudo instrumen dapat diperoleh dengan mempergunakan perumusan pada persamaan 2.6 dan perhitungan galat pada sistem ini dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan 2.7. Namun terdapat sedikit perbedaan penerapan rumus Lupotn pada
26
data pengamatan dibandingkan dengan persamaan yang telah ditetapkan. Untuk lebih jelasnya di bawah ini ditampilkan kembali bentuk persamaan Lupton.
⎡
⎤ ⎛ x ⎞ ⎟ + ln b ⎥ . ⎝ 2b ⎠ ⎦
μ ( x) ≡ −a ⎢sinh −1 ⎜ ⎣
2.6
Pada persamaan diatas, nilai fluks yang dipergunakan adalah nilai fluks yang ternormalisasi. Telah beberapa kali disebutkan mengenai x ≡
f sebagai f0
fluks ternormalisasi yang menjadi argumen bagi skala asinh magnitudo. Namun di dalam aktivitas pengamatan serta pengolahan data kita lebih banyak menggunakan istilah fluks yang teramati, fluks yang teramati bukanlah nilai fluks yang ternormalisir. Dalam pengertian tersebut maka kita perlu sedikit mengubah skala
asinh magnitudo menjadi sebuah fungsi dibantu dengan pengertian b' = f 0 b dan
σ ' = f 0 σ maka penghitungan dalam memperoleh konstanta b dalam magnitudo Lupton dapat digantikan dengan
b ' = 1, 042σ ' .
4.2
σ ' adalah nilai standard deviasi dari fluks pengamatan. Hasil perhitungan dilampirkan pada tabel 4.2. Setelah itu, nilai magnitudo dapat dihitung dengan mengaplikasikan persamaan
μobs = -2.5 log b ' - a sinh -1 ( f / 2b ')
4.3
f adalah nilai fluks pengamatan. Untuk galat dari magnitudo kita gunakan persamaan Var ( μ ) = σ '2
a2 f 2 + b '2
4.4
f adalah harga fluks pengamatan. Nilai magnitudo instrumen yang diperoleh dari perhitungan kedua sistem magnitudo adalah sebagai berikut:
27
1. Sistem Lupton Tabel 4.1 Magnitudo instrumen Lupton
Fluks
Magnitudo
σ
SAO121741_B_00
399521.033
-14.004
0.018
SAO121741_B_01
382979.500
-13.959
0.030
SAO121741_B_02
186358.950
-13.176
0.027
SAO121741_B_03
171274.720
-13.086
0.0464
SAO121741_B_04
74805.602
-12.190
0.074
SAO121741_B_05
18673.170
-10.686
0.087
SAO140680_b
238093.24
-13.44
0.037
SAO120602_b
112853.42
-12.635
0.062
SAO122594_b
83510.89
-12.326
0.144
SAO122752_b
57344.186
-11.897
0.032
SAO121093_b
Rejected
Citra Bintang FILTER B
FILTER V
SAO121741_V_00
340524.550
-13.831
0.027
SAO121741_V_01
245139.560
-13.475
0.039
SAO121741_V_02
213516.250
-13.324
0.028
SAO121741_V_03
163097.420
-13.034
0.056
SAO121741_V_04
105473.430
-12.562
0.063
SAO121741_V_05
24593.836
-10.978
0.032
SAO140680_v
369722.42
-13.920
0.030
SAO120602_v
373287.94
-13.935
0.073
SAO122594_v
212296.28
-13.330
0.110
SAO122752_v
159351.60
-13.014
0.087
SAO121093_v
Rejected
28
2. Sistem Pogson Tabel 4.2 Magnitudo instrumen Lupton
fluks
Magnitudo
σ
SAO121741_B_00
399521.033
-14.004
0.018
SAO121741_B_01
382979.500
-13.958
0.030
SAO121741_B_02
186358.950
-13.176
0.027
SAO121741_B_03
171274.720
-13.084
0.046
SAO121741_B_04
74805.602
-12.185
0.074
SAO121741_B_05
18673.170
-10.678
0.088
SAO140680_b
238093.24
-13.443
0.037
SAO120602_b
112853.42
-12.635
0.062
SAO122594_b
83510.89
-12.326
0.144
SAO122752_b
57344.186
-11.897
0.032
SAO121093_b
Rejected
Citra Bintang FILTER B
FILTER V
SAO121741_V_00
340524.550
-13.831
0.027
SAO121741_V_01
245139.560
-13.475
0.039
SAO121741_V_02
213516.250
-13.324
0.028
SAO121741_V_03
163097.420
-13.034
0.057
SAO121741_V_04
105473.430
-12.562
0.064
SAO121741_V_05
24593.836
-10.978
0.032
SAO140680_v
369722.42
-13.920
0.030
SAO120602_v
373287.94
-13.935
0.073
SAO122594_v
212296.28
-13.330
0.110
SAO122752_v
159351.60
-13.014
0.087
SAO121093_v
Rejected
σ adalah nilai galat magnitudo.
29
4.4.2 Penentuan Koefisien ekstingsi Selanjutnya pada nilai magnitudo instrumen yang diperoleh pada poin 4.4.1 tersebut harus dilakukan koreksi terhadap air mass. Dengan kondisi polusi cahaya yang terjadi di Observatorium Bosscha, dan juga kemampuan teleskop untuk mencapai objek langit yang cukup rendah, maka pengamatan dibatasi untuk rentang jarak zenith 0°-65°. Koreksi atmosfer dan magnitudo instrumen (Kaitchuck, 1982) dapat dihitung melalui persamaan mλo = minst − k ' λ sec z
4.5
Secara umum untuk jarak zenith antara -60o sampai dengan 60o maka model atmosfer diambil berbentuk plan paralel. Air mass(X) dapat didekati dengan X = sec z
4.6
Sedangkan untuk jarak zenith > -60o atau jarak zenith >60o maka model atmosfer berbentuk plan parallel tidak dapat digunakan sehingga persamaan untuk menghitung air mass (X) didekati dengan bentuk polynomial : X = sec z + 0.0018167(sec z − 1) − 0.002875(sec z − 1) − 0.0008083(sec z − 1) 2
3
Pendekatan polynomial yang digunakan pada persamaan adalah berdasar kepada data yang dikumpulkan oleh Bempored (Hardie, 1904). Pada penentuan pengaruh ekstingsi ini digunakan 5 titik bintang dari SAO121741. Selanjutnya akan disebut sebagai bintang ekstingsi. Pada pengamatan sebenarnya diperoleh 6 titik data bintang ekstingsi namun melihat besarnya pengaruh air mass pada titik data bintang yang ke enam. Penulis memutuskan untuk tidak mengikut-sertakan bintang tersebut penghitungan ekstingsi. Posisi bintang SAO121741_05 telah melampaui batas jarak zenith yang diharapkan (berada pada z~70°) sehingga pengaruh polusi cahaya yang cukup tinggi di Observatorium Bosscha tidak dapat ditoleransi lagi. Di bawah ini diberikan tabel data bintang ekstingsi yang digunakan.
30
1. Untuk sistem Pogson Tabel 4.3 Data Bintang Ekstingsi melalui Perhitungan Pogson
Citra Bintang FILTER B
FILTER V
minst
Xmedian
σmInstr
σXmedian
SAO121741_B_00
-14.004
1.053
0.018
0.001
SAO121741_B_01
-13.958
1.138
0.030
0.003
SAO121741_B_02
-13.176
1.509
0.027
0.008
SAO121741_B_03
-13.084
1.828
0.046
0.017
SAO121741_B_04
-12.185
2.256
0.074
0.028
SAO121741_B_05
-10.678
2.920
0.088
0.048
SAO121741_V_00
-13.830
1.066
0.027
0.001
SAO121741_V_01
-13.473
1.155
0.040
0.001
SAO121741_V_02
-13.323
1.570
0.027
0.001
SAO121741_V_03
-13.031
1.917
0.057
0.006
SAO121741_V_04
-12.558
2.405
0.064
0.011
SAO121741_V_05
-10.977
3.166
0.032
0.025
2. Untuk sistem Lupton Tabel 4.4 Data Bintang Ekstingsi melalui Perhitungan Lupton
Citra Bintang FILTER B
FILTER V
minst
Xmedian
σmInstr
σXmedian
SAO121741_B_00
-14.004
1.053
0.018
0.001
SAO121741_B_01
-13.959
1.138
0.030
0.003
SAO121741_B_02
-13.176
1.510
0.027
0.008
SAO121741_B_03
-13.086
1.828
0.046
0.017
SAO121741_B_04
-12.190
2.257
0.074
0.027
SAO121741_B_05
-10.686
2.920
0.087
0.048
SAO121741_V_00
-13.831
1.067
0.027
0.001
SAO121741_V_01
-13.475
1.155
0.039
0.001
SAO121741_V_02
-13.324
1.567
0.027
0.001
SAO121741_V_03
-13.034
1.917
0.056
0.006
SAO121741_V_04
-12.562
2.405
0.063
0.011
SAO121741_V_05
-10.978
3.167
0.032
0.025
Dengan menggunakan metode Linear Least Square, maka dapat diperoleh nilai koefisien ekstingsi untuk setiap filter, dan juga untuk setiap skala pengukuran. Dalam table 4.4 selain tertera data bintang ekstingsi juga tertera informasi31
informasi yang dibutuhkan dalam penghitungan koefisien ekstingsi, yaitu Xmedian atau air mass median yang merupakan nilai air mass dari 5 frame citra yang diperoleh dari sekali pengambilan. Selain itu juga dicantumkan σmInstr yang merupakan galat dari magnitudo instrumen. Galat instrumen merupakan akumulasi galat perhitungan yang dilakukan. Galat ini diperoleh dengan menggunakan persamaan perambatan kesalahan. (Lampiran A – Perambatan Kesalahan). Koefisien ekstingsi ditentukan dengan menggunakan metode yang tertulis pada lampiran ekstingsi atmosfer. Diperoleh nilai ekstingsi sebagai berikut Tabel 4.5 Perbandingan nilai ekstingsi Dari kedua Skala Magnitudo, Pogson dan Lupton
Pogson
Lupton
Koefisien Ekstingsi B
1.499 ± 0.042
1.496 ± 0.042
Konstanta Ekstingsi B
-15.583 ± 0.055
-15.580 ± 0.055
Koefisien Ekstingsi V
0.880 ± 0.042
0.878 ± 0.0421
Konstanta Ekstingsi V
-14.691 ± 0.061
-14.690 ± 0.061
Gambar 4.4 di bawah ini adalah kurva ekstingsi yang diperoleh dengan nilai magnitudo yang diperoleh melalui penghitungan menggunakan sistem magnitudo Pogson pada B dan V. Plotting dilakukan dengan menggunakan software Mathematica 5.2.
32
mvo = mλv − (0.880710 ± 0.042350)X
mbo = mλb − (1.499149 ± 0.042390)X Gambar 4.3 Kurva ekstingsi Pogson pada filter B (bawah) dan filter V (atas)
33
Dan kurva ekstingsi Lupton dapat dilihat pada gambar di bawah ini
mbo = mλb − (0.878598 ± 0.042147)X
mbo = mλb − (1.496048 ± 0.042193) X Gambar 4.4 Kurva ekstingsi Lupton pada filter B (bawah) dan filter V (atas)
34
4.4.3 Penentuan Koefisien Transformasi Kalibrasi nilai magnitudo dilakukan dengan memasukkan nilai magnitudo instrumen dan nilai koefisien ekstingsi yang diperoleh sehingga kemudian didapatkan nilai magnitudo yang sudah dikoreksi terhadap ekstingsi (mvo dan mbo). Prosedur yang telah dilakukan adalah mengeliminasi pengaruh dari ekstingsi. Pekerjaan yang dilakukan adalah mengamati bintang-bintang standar di sekitar meridian secara acak dari berbagai air mass yang berbeda dengan rentang air mass antara 0°-65°. Bintang-bintang standar yang digunakan diambil dari Katalog Landolt (1983). Untuk menentukan koefisien transformasi dan zero point ( β λ C dan γ λ ) maka dilakukan plot antara (V-mvo) terhadap (B-V). Plot dapat dilihat pada gambar 4.6 dan gambar 4.7. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan metode Linear Least Square. Kemiringan grafik mewakili nilai koefisien trasformasi magnitudo, sementara perpotongan grafik dengan sumbu tegak dikatakan mewakili nilai zero point. Merujuk pada persamaan yang dibreikan pada Bab II, maka koefisien transformasi dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan V − mvo = β λ ( B − V ) + γ λ
4.6
Sementara untuk menentukan persamaan transformasi warna dapat diperoleh melalui persamaan ( B − V ) − (b − v)o = (1 −
1
μ
)(b − v)o +
ζ bv μ 4.7
dan ( B − V ) = μ (b − v)o + ζ bv
Pada hari pengamatan diamati 6 bintang standar , termasuk salah satunya adalah bintang ekstingsi, yang berada di sekitar horizon. Dan diperoleh 11 titik data yang diharapkan dapat mewakili kondisi langit. Hanya saja ternyata kondisi langit pada saat itu kurang stabil meski dapat dikatakan cukup fotometrik. Pada penentuan koefisien transformasi ini hanya digunakan 5 titik data saja. Hal ini disebabkan karena ternyata salah satu bintang merupakan bintang ganda (SAO120602), dan salah satu bintang lainnya ternyata memiliki hasil pemotretan 35
yang baik (SAO121093), karena pada saat pengambilan data terhalang pohon yang ada di bagian selatan Teleskop GOTO. Data-data bintang yang dijadikan bintang transformasi adalah sebagai berikut 1. Untuk sistem Pogson Tabel 4.6 Data untuk memperoleh persamaan transformasi mempergunakan magnitudo
Pogson CITRA
(B-V)
(V-mvo)
σv
(B-V)-(mbo-mvo)
σbv
SAO121741_00
0.776
22.823
0.073
1.589
0.138
SAO121741_01
0.776
22.544
0.08503
1.948
0.173
SAO140680
0.550
22.392
0.077
0.743
0.175
SAO122594
-0.040
23.870
0.193
-0.096
0.423
SAO122752
0.830
24.368
0.218
1.086
0.384
2. Untuk sistem Lupton Tabel 4.7 Data untuk memperoleh persamaan transformasi mempergunakan magnitudo
Lupton CITRA
(B-V)
(V-mvo)
σv
(B-V)-(mbo-mvo)
σbv
SAO121741_00
0.776
22.821495
0.072667
1.588130
0.137414
SAO121741_01
0.776
22.543486
0.088589
1.947529
0.171543
SAO140680
0.550
22.391129
0.077040
0.742692
0.161851
SAO122594
-0.040
23.878856
0.189828
-0.088397
0.413573
SAO122752
0.830
24.307302
0.221653
1.142176
0.386976
Dari data pada tabel diatas diperoleh nilai koefisien transformasi dan nilai zero point masing-masing untuk persamaan transformasi warna dan trasformasi magnitudo.
36
Tabel 4.8 Perbandingan nilai koefisien transformasi Pogson dan Lupton Pogson
Lupton
Koefisien transformasi warna
-0.505 ± 0.223
-0.553 ± 0.221
Zero Point (transformasi warna)
23.071 ± 0.155
23.098 ± 0.130
Koefisien transformasi magnitudo
2.562 ± 0.477
2.598 ± 0.465
Zero Point (transformasi magnitudo)
-0.390 ± 0.340
-0.420 ± 0.328
Kurva transformasi yang diperoleh dengan input magnitudo yang diperoleh dari penghitungan menggunakan skala Pogson, adalah sebagai berikut
V − mvo = −0.504632( B − V ) + 23.070828
37
( B − V ) = 2.561950(b − v)o − 0.39003 Gambar 4.5 Kurva Transformasi warna Pogson (bawah) dan transformasi magnitudo
Pogson (atas)
Dan kurva yang diperoleh dari input magnitudo yang dihitung menggunakan skala Lupton dapat dilihat pada grafik dibawah ini
V − mvo = −0.554476( B − V ) + 23.099267
38
( B − V ) = 2.596527(b − v)o − 0.419538 Gambar 4.6 Kurva Transformasi warna dan transformasi magnitudo Lupton
Untuk memeriksa kualitas persamaan transfromasi yang diperoleh, maka dilakukan perbandingan nilai magnitudo dan indeks warna objek yang diperoleh melalui perhitungan dengan nilai magnitudo dan indeks warna katalog. Tabel 4.9 Perbandingan nilai magnitudo V standar
CITRA
V-Katalog
V-Pogson
σpogson
V-Lupton
σLupton
SAO121741_00
8.0460
7.916
0.451
7.907
0.447
SAO121741_01
8.0460
8.194
0.468
8.186
0.463
SAO121741_02
8.0460
7.979
0.474
7.973
0.469
SAO121741_03
8.0460
7.966
0.522
7.957
0.517
SAO121741_04
8.0460
8.008
0.554
8.000
0.548
SAO121741_05
8.0460
8.919
0.567
8.915
0.561
SAO140680
7.4980
7.912
0.456
7.914
0.451
SAO120602
8.2040
7.688
0.509
7.678
0.50
SAO122594
9.1010
8.269
0.571
8.289
0.564
SAO122752
8.9150
7.196
0.597
7.246
0.596
39
Pada data hasil transformasi di atas, diperoleh nilai magnitudo yang telah dipetakan dengan persamaan transformasi yang dimiliki pada masing-masing sistem magnitudo. Dapat dilihat berapa besar simpangan antara hasil analisis dengan hasil katalog. Salah satunya akan dibahas pada bab selanjutnya.
40