BAB IV EVALUASI DAMPAK PERENCANAAN PAJAK UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PADA PT ABS INDUSTRI INDONESIA
IV.1. Evaluasi Pelaksanaan dan Perencanaan Pajak PT ABS Industri Indonesia Pajak merupakan salah satu beban yang sangat material, oleh karena itu perencanaan pajak harus dilakukan secara matang dan terorganisir agar semua aspek pengeluaran biaya fiskal dapat ditekan tanpa harus melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Perbedaan laba komersial dan laba fiskal disebabkan karena adanya perbedaan antara perlakuan akuntansi dan perlakuan pajak dalam pengakuan pendapatan dan beban. Dalam laporan keuangan komersial, setiap pengeluaran perusahaan dalam operasinya dapat dijadikan beban. Namun sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan, tidak semua beban komersial itu dapat dijadikan beban fiskal. Hal inilah yang mendorong PT ABS Industri Indonesia untuk melakukan perencanaan yang terbaik dan efektif untuk meminimalkan beban pajak perusahaan. Selain itu pelaksanaan perencanaan pajak yang dilakukan oleh perusahaan diharapkan dapat mengefisienkan penggunaan dana perusahaan. Dimana beban-beban fiskal yang mungkin untuk diminimalkan dapat dialihkan untuk pembayaran bebanbeban lain yang lebih bermanfaat untuk perusahaan. Berdasarkan laporan rekonsiliasi laba rugi fiskal PT ABS Industri Indonesia, perusahaan belum melakukan perencanaan pajak yang efektif karena masih banyak terdapat koreksi positif atas beban-beban komersial yang dapat menyebabkan rugi lebih kecil atau laba dan Pajak Penghasilan perusahaan menjadi lebih besar. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dilakukan evaluasi dan alternatif-alternatif perencanaan pajak yang
67
efektif yang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk meminimalkan beban pajak.
IV.1. Evaluasi Pelaksanaan dan Perencanaan Pajak Penghasilan Pasal 21 Berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000 Pasal 21 Ayat (1) huruf a, perusahaan sebagai pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan pegawainya. PT ABS Industri Indonesia mempunyai pegawai yang berjumlah sekitar 150 orang termasuk pegawai yang ada di kantor pusat maupun yang ada di pabrik. Berdasarkan data pada Surat Pemberitahuan (SPT 1721) Tahunan yang dilaporkan oleh penghasilan
PT ABS Industri Indonesia untuk Tahun Pajak 2005, Jumlah
bruto
pegawai
PT
ABS
Industri
Indonesia
adalah
sebesar
Rp 2.012.301.666,- dengan PPh Pasal 21 terutang sebesar Rp 431.090.457,-. Perusahaan telah mengangsur sebesar Rp 227.673.904,- selama tahun berjalan sehingga perusahaan memiliki PPh 21 kurang disetor Rp 203.416.553,-. Dalam penghitungan PPh Pasal 21 sudah dilakukan dengan sistem yang mendekati seharusnya. Namun pajak yang masih harus dibayar pada akhir tahun tersebut dinilai terlalu besar karena seharusnya relatif kecil atau bahkan nihil. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan belum maksimal dalam pelaksanaan atau perencanaan PPh Pasal 21 atas karyawannya. PT ABS Industri Indonesia melihat dan menyadari bahwa total PPh 21 yang ditanggung pegawai cukup besar, oleh karena itu perusahaan mencoba menutupi potongan pajak yang ditanggung karyawan dengan memberikan sarana dan prasarana 68
tambahan untuk meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas kerja karyawan. Sarana dan prasarana yang diberikan perusahaan adalah : 1.
Tunjangan Transportasi Karyawan tidak memperoleh fasilitas antar jemput, sebagai penggantinya perusahaan menyediakan tunjangan transportasi. Besarnya tunjangan transportasi yang diberikan berbeda-beda untuk setiap karyawan, tergantung tingkat golongan atau jabatannya masing-masing yang ditentukan dengan Surat Keputusan Direksi. Perusahaan memberikan tunjangan transportasi berupa sejumlah uang yang diterima karyawan setiap bulan bersamaan dengan pembayaran gaji pokok, bila suatu saat karyawan menerima fasilitas transportasi dalam bentuk lain dari perusahaan seperti antar jemput, kendaraan operasional, dan COP (Car Ownership Programme), maka karyawan tidak berhak lagi atas tunjangan transportasi.
2.
Tunjangan Makan Perusahaan menyediakan sarana dan fasilitas makan yang dalam pelaksanaannya diberikan dalam bentuk uang. Nilai uang makan tersebut sama untuk seluruh golongan atau jabatan dan nilai uang makan akan ditinjau kembali sesuai dengan IHK (Indeks Harga Konsumen). Tunjangan ini diterima setiap bulan bersamaan dengan pembayaran gaji pokok.
3.
Tunjangan Lembur Tunjangan lembur diberikan kepada karyawan bagian operasional atau karyawan yang terlibat langsung dalam pengerjaan proyek tertentu diatas jam kerja normal (setelah pukul 05.00 sore). Perintah kerja lembur dibuat dengan mengisi SPL (Surat Perintah Lembur) dan dikeluarkan pada hari dimana jam kerja lembur
69
dilaksanakan dan disetujui atau diketahui oleh departemen Personalia. Tunjangan ini diterima setiap bulan bersamaan dengan pembayaran gaji pokok. 4.
Tunjangan Kesehatan (medical) Perusahaan selain memberikan tunjangan kesehatan yang diterima setiap bulan bersamaan dengan pembayaran gaji pokok juga menerapkan sistem reimbursement atas biaya kesehatan yang lain diluar tunjangan kesehatan yang besarnya disesuaikan dengan sistem batas atas (plafon) yang berbeda-beda tiap golongan. Karyawan hanya dapat mengajukan klaim atas biaya ini (reimbursement), apabila minimal telah mempunyai masa kerja 3 bulan dihitung dari tanggal masuk kerja.
5.
Tunjangan Perumahan Perusahaan memberikan tunjangan perumahan dalam bentuk uang dengan jumlah yang berbeda-beda untuk setiap karyawan (tergantung tingkat golongan atau jabatannya masing-masing) dan diterima setiap bulan bersamaan dengan pembayaran gaji pokok.
6.
Bonus dan Tunjangan Hari Raya (THR) Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/Men/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan (THRK) bagi karyawan, maka perusahaan memberikan bonus dan Tunjangan Hari Raya (THR) sekali dalam setahun dalam bentuk uang kepada karyawan yang sudah mempunyai masa kerja tiga bulan secara terus menerus.
7.
Astek Perusahaan memberikan perlindungan bagi tenaga kerja (karyawan) untuk mengatasi resiko sosial ekonomi tertentu, yang penyelenggaraannya menggunakan mekanisme asuransi sosial dalam program Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga 70
Kerja) sesuai dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1992 – PP No. 14 Tahun 1993. Jenis pelayanan dan premi yang harus dibayar oleh perusahaan dan karyawan kepada PT. Jamsostek yaitu berupa Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JK). Sesuai dengan kebijakan perusahaan, persentase masing-masing premi ditetapkan sebagai berikut : 1. Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar 5,7% x gaji sebulan (basic salary) 2. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebesar 0,89% x gaji sebulan (basic salary) 3. Jaminan Kematian (JK) sebesar 0,3% x gaji sebulan (basic salary) Premi atas ketiga program jamsostek yang diikuti oleh perusahaan tersebut seharusnya ditanggung karyawan sebesar 2% melalui potongan gaji dan sisanya ditanggung oleh perusahaan, tetapi pada kenyataannya perusahaan tidak melaksanakan itu (ditanggung seluruhnya oleh perusahaan). Selain itu premi tersebut dibayarkan oleh perusahaan sehingga tidak digolongkan sebagai penghasilan karyawan dan tidak dikenakan pajak, karena pajaknya akan dibayarkan pada saat jaminan tersebut diterima. Beberapa temuan yang diperoleh dari evaluasi yang dilakukan terhadap pelaksanaan dan perencanaan PPh 21 berdasarkan rekonsiliasi fiskal PT ABS Industri Indonesia adalah : 1. Perusahaan melakukan perencanaan pajak sebagian besar dengan memberikan fasilitas berupa tunjangan-tunjangan kepada karyawan dengan tujuan untuk menghindari pengenaan penghitungan PPh badan yang lebih besar, karena pemberian tunjangan yang dilakukan perusahaan itu dianggap sebagai penghasilan bagi karyawan yang merupakan objek PPh 21 dan bagi perusahaan merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan (deductible expense). Pemberian kenikmatan berupa tunjangan-tunjangan tersebut adalah salah satu upaya 71
agar pengeluaran-pengeluaran tersebut dapat diakui sebagai pengurang penghasilan bruto perusahaan untuk tujuan penghitungan fiskal, sehingga pada akhirnya akan lebih meminimalkan beban PPh badan yang terutang, antara lain dengan menyediakan makanan dan
minuman bagi seluruh karyawan termasuk dewan
komisaris dan dewan direksi secara bersama-sama di tempat kerja, dimana atas biaya ini dapat dibiayakan bagi perusahaan (deductible expense) dan menjadi objek PPh Pasal 21 bagi karyawan. Namun demikian pada dasarnya usaha tersebut adalah untuk mengalihkan beban PPh badan terutang kepada karyawan meskipun hanya terbatas kepada karyawan yang penghasilannya diatas Penghasilan Kena Pajak (PKP). 2. Perusahaan menanggung seluruh PPh 21 karyawannya. Dalam hal ini, karyawan tidak akan dirugikan, namun sangat merugikan bagi perusahaan karena beban PPh 21 yang ditanggung perusahaan itu tidak dapat ditambahkan pada penghasilan karyawan sehingga tidak dapat dijadikan beban fiskal. Sesuai dengan Peraturan Perpajakan yang berlaku bahwa biaya tersebut tidak diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-545/PJ/2000 Tanggal 29 Desember 2000 Pasal 7 huruf e bahwa PPh Pasal 21 yang ditanggung pemberi kerja (perusahaan) termasuk dalam pengertian kenikmatan dalam bentuk natura tidak diperlakukan sebagai pengurang penghasilan bruto. Oleh karena itu, perusahaan harus lebih cermat melakukan perencanaan pajak atas PPh 21 agar beban tersebut dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto. Alternatif yang dapat dilakukan oleh PT ABS Industri Indonesia yaitu dengan menggunakan penghitungan PPh Pasal 21 di gross up untuk menentukan tunjangan pajak, sehingga tunjangan pajak yang 72
diberikan perusahaan sama besarnya dengan PPh Pasal 21 yang dibayar oleh karyawan. Metode ini menguntungkan bagi pihak karyawan dan perusahaan karena jumlah uang yang akan diterima (take home pay) bagi karyawan akan semakin besar tanpa dipotong pajak. Selain itu tunjangan tersebut dapat dijadikan beban fiskal (deductible expense) bagi perusahaan. Menurut Zain (2005) Rumus Gross up : Tabel 4.1 Penghasilan Kena Pajak (PKP)
Pajak
PKP s/d Rp 25.000.000,00
1/228,6 ( PKPSTP – 0 )
PKP > Rp 25.000.000,00
s/d
1/108 (PKPSTP – 12.500.000)
s/d
1/204 (3 PKPSTP – 75.000.000)
s/d
1/36
Rp 50.000.000,00 PKP > Rp 50.000.000,Rp 100.000.000,00 PKP > Rp 100.000.000,-
(PKPSTP – 55.000.000)
Rp 200.000.000,00 PKP > Rp 200.000.000,00
10/78 (0,35 PKPSTP – 33.750.000)
Keterangan : PKPSTP (Penghasilan Kena Pajak Sebelum Tunjangan Pajak) 3. PT ABS Industri Indonesia memberikan tunjangan makan dalam bentuk uang kepada karyawannya, sehingga jumlah tersebut termasuk dalam komponen Pajak Penghasilan. Kondisi ini terjadi karena bagi perusahaan lebih efisien dengan memberikan dalam bentuk uang yang dimasukkan kedalam komponen gaji dan menjadi objek pajak. Seharusnya sesuai dengan perencanaan pajak yang akurat dapat dilakukan dengan menyediakan makanan dan minuman sehingga biaya tersebut
73
dapat dibiayakan (deductible expense) bagi perusahaan tetapi bukan merupakan objek pajak atau tidak termasuk ke dalam komponen Pajak Penghasilan bagi karyawan karena berupa natura/kenikmatan. Hal ini diatur Berdasarkan aturan pelaksanaan dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 466/KMK.04/2000 Tanggal 3 November 2000 serta Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep.213/PJ/2001 yang mulai berlaku Tanggal 1 Januari 2001 yang menyebutkan bahwa “Penyediaan makanan dan minuman untuk seluruh pegawai secara bersamasama termasuk dewan direksi dan dewan komisaris (tidak hanya khusus diberikan bagi pegawai level tertentu saja) di tempat kerja dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi perusahaan dan bukan merupakan objek PPh Pasal 21 bagi pegawai sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh No. 17 Tahun 2000. Jika ditinjau dari PPh Badan, sebenarnya tidak ada perbedaan perlakuan karena baik tunjangan makan ataupun penyediaaan makan bersama boleh dibiayakan (deductible expense). Akan tetapi jika ditinjau dari Pajak Penghasilan Pasal 21, pemberian tunjangan makan dalam bentuk uang tunai merupakan objek pajak sedangkan penyediaan makan bersama bukan objek pajak. Karena dalam pemberian makan bersama perusahaan menggunakan jasa catering maka timbul kewajiban PPh Pasal 23, tetapi tarif PPh Pasal 23 atas jasa catering lebih rendah dibandingkan tarif yang dikenakan atas PPh Pasal 21. Jadi ditinjau dari sisi pajak dan dengan asumsi jumlah beban pengeluaran yang sama, dapat disimpulkan bahwa penyediaan makan bersama akan lebih menghemat pajak. Dari segi moral, ketentuan ini dapat mendorong semangat kebersamaan dan kesetaraan antara atasan dan karyawan. Dan dilihat dari efisiensi kerja, hal ini sangat menguntungkan, karena karyawan tidak perlu mengeluarkan uang atau biaya untuk makan dan waktu tidak terbuang terlalu banyak karena tidak 74
harus
keluar
dari
kantor.
Namun
demikian,
perusahaan
harus
selalu
memperhitungkan semua unsur pengeluaran dengan baik, termasuk estimasi pajak yang mungkin terutang atas masing-masing alternatif (tunjangan makan atau pemberian makan bersama) dan juga harus disesuaikan dengan kondisi perusahaan. 4. PT ABS Industri Indonesia tidak memasukkan biaya astek sebagai penambah penghasilan bagi karyawan, biaya asuransi ini ditanggung seluruhnya oleh perusahaan dan dikoreksi dalam penghitungan Pajak Penghasilan Badan. Perusahaan menghadapi resiko koreksi karena tunjangan premi asuransi yang ditanggung perusahaan itu sebenarnya termasuk unsur
penambah penghasilan dan menjadi
objek PPh 21 bagi karyawan sehingga tidak boleh menjadi biaya bagi perusahaan (non deductible expense). Seharusnya perusahaan memasukkan premi asuransi sebagai unsur penambah penghasilan karyawan dan objek PPh Pasal 21 dan kemudian dibebankan sebagai beban fiskal (deductible expense). 5. PT ABS Industri Indonesia selain memberikan tunjangan kesehatan yang diterima setiap bulan bersamaan dengan pembayaran gaji pokok, juga menerapkan penggantian atas biaya kesehatan yang lain diluar tunjangan kesehatan yang dilakukan dengan sistem reimbursement. Menurut ketentuan fiskal, biaya kesehatan ini (reimbursement) merupakan pemberian natura atau kenikmatan yang diterima karyawan. Dengan demikian biaya ini tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Sebaiknya perusahaan mengalokasikan atau mengganti biaya reimbursement menjadi tunjangan kesehatan yang dibayar bersama gaji bulanan secara rutin. Selain itu, perusahaan dapat mengikutsertakan karyawan dalam program asuransi kesehatan, dimana premi tersebut ditanggung oleh perusahaan atas nama karyawan sehingga dapat dijadikan beban fiskal sebagai pengurang 75
penghasilan bruto perusahaan dan yang dikenakan pajak pada karyawan relatif kecil terhadap premi asuransi tersebut. 6. Tidak dilakukan pembulatan ribuan kebawah pada saat penghitungan PPh 21 terutang. Berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Pajak No. Kep.545/PJ./2001 menyebutkan bahwa harus dilakukan pembulatan ribuan atas PPh 21 terutang. Kondisi diatas terjadi disebabkan kurangnya pengetahuan pajak yang dimiliki oleh staf PT ABS Industri Indonesia. Akibatnya, walaupun pembulatan yang tidak dilakukan perusahaan bernominal kecil lambat laun hal itu dapat saja menyebabkan jumlah PPh 21 terutang menjadi lebih besar. Sebaiknya perusahaan melakukan pembulatan pada saat penghitungan PKP dalam Surat Pemberitahuan (SPT 1721), karena hal tersebut sangatlah menguntungkan karena dapat mengurangi besarnya jumlah pajak (PPh Pasal 21 karyawan) terutang. Berdasarkan temuan-temuan diatas, maka dapat dikatakan
bahwa PT ABS
Industri Indonesia belum melakukan perencanaan pajak secara efektif untuk PPh Pasal 21 karyawan dan hal tersebut sangatlah merugikan, baik itu bagi perusahaan sendiri maupun bagi karyawannya. Setelah disimpulkan bahwa PT ABS Industri Indonesia belum melaksanakan perencanaan pajak secara efektif atas PPh 21 karyawannya, maka dibawah ini merupakan contoh penghitungan PPh Pasal 21 dengan menggunakan 4 alternatif, yaitu : Alternatif 1
: PPh Pasal 21 ditanggung pegawai
Alternatif 2
: PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan
Alternatif 3
: PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan pajak
Alternatif 4
: PPh Pasal 21 di gross up
76
Adapun perinciannya sebagai berikut : “A” merupakan salah seorang pegawai PT ABS Industri Indonesia yang berstatus K/2. Setiap bulan ia menerima gaji pokok sebesar Rp 7.000.000,- ditambah dengan tunjangan-tunjangan yang diterimanya. Dikarenakan penghasilan “A” setiap bulannya diatas Rp 2.000.000,- maka sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2003, PPh Pasal 21 terutangnya tidak ada yang ditanggung pemerintah. Dibawah ini merupakan penghitungan PPh Pasal 21 “A” setelah disetahunkan : Tabel 4.2
Perhitungan PPh Pasal 21
Keterangan
Ditanggung
Diberikan dalam
Karyawan
bentuk
/pemberi kerja
tunjangan pajak
(Rp)
Rp)
Gaji setahun
84.000.000
84.000.000
84.000.000
Bonus & THR
14.000.000
14.000.000
14.000.000
Tunjangan Transport
7.728.000
7.728.000
7.728.000
Tunjangan Makan
2.400.000
2.400.000
2.400.000
Tunjangan Lembur
4.800.000
4.800.000
4.800.000
Tunjangan Perumahan
4.800.000
4.800.000
4.800.000
Tunjangan Kesehatan
7.000.000
7.000.000
7.000.000
13.038.000
17.384.000*)
Tunjangan Pajak
-
Di gross up
(Rp)
JKK (0,89%)
748.000
748.000
748.000
JK (0,30%)
252.000
252.000
252.000
125.728.000
138.766.000
Jumlah Penghasilan Bruto
143.112.000 77
Dikurangi : (1.296.000)
(1.296.000)
(1.296.000)
(1.680.000)
(1.680.000)
(1.680.000)
122.752.000
135.790.000
140.136.000
(15.600.000)
(15.600.000)
(15.600.000)
107.152.000
120.190.000
124.536.000
5 % x 25.000.000
1.250.000
1.250.000
1.250.000
10% x 25.000.000
2.500.000
2.500.000
2.500.000
15% x 50.000.000
7.500.000
7.500.000
7.500.000
25% x
1.788.000
-
Biaya Jabatan 5% (maksimal/tahun)
-
Iuran JHT (2%)
Penghasilan Neto Setahun PTKP (K/2)
Penghasilan Kena Pajak PPh Pasal 21:
7.152.000
25% x 20.190.000
5.048.000
25% x 24.536.000 PPh Pasal 21 Setahun Tunjangan Pajak PPh Pasal 21 yang harus
6.134.000 13.038.000 13.038.000
16.298.000
17.384.000
(13.038.000)
(17.384.000)
3.260.000
-
disetor / dipotong dari penghasilan karyawan
78
Tabel 4.3
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Tahun 2005
Keterangan
PPh Pasal 21
PPh Pasal 21
ditanggung
diberikan dalam
karyawan/perusahaan
bentuk tunjangan
PPh Pasal 21 di gross up
pajak (Rp)
(Rp)
(Rp)
PTKP : WP Pribadi
12.000.000
12.000.000
12.000.000
WP Kawin
1.200.000
1.200.000
1.200.000
Tanggungan (2)
2.400.000
2.400.000
2.400.000
15.600.000
15.600.000
15.600.000
Jumlah
PKPSTP = Penghasilan Kena Pajak Sebelum Tunjangan Pajak Tunjangan Pajak = 1/36 ( PKPSTP -
55.000.000) x 12
= 1/36 (107.152.000 – 55.000.000) x 12 = 1/36 (52.152.000) x 12 = 17.384.000,- *)
79
Dari beberapa alternatif yang ada, perbandingan gaji yang dibawa pulang (take home pay), biaya komersial dan biaya fiskal atas pembayaran gaji “A” merupakan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam rangka pemilihan alternatif. Di bawah ini adalah suatu ringkasan dari contoh diatas dengan beberapa alternatif yang ada, yaitu sebagai berikut :
Tabel 4.4 Keterangan
Ditanggung
Tanpa
Tunjangan
karyawan
Tunjangan
Pajak
(Rp)
pajak (Rp)
(Rp)
(Rp)
124.728.000
124.728.000
137.766.000
142.112.000
1.680.000
1.680.000
1.680.000
1.680.000
Gross up
Take Home Pay Gaji dan Tunjangan Dikurangi : Iuran JHT PPh Pasal 21
13.038.000
-
16.298.000
17.384.000
110.010.000
123.048.000
119.788.000
123.048.000
Penghasilan bruto
125.728.000
125.728.000
138.766.000
143.112.000
Jumlah
125.728.000
125.728.000
138.766.000
143.112.000
125.728.000
125.728.000
138.766.000
143.112.000
Jumlah Biaya Fiskal :
Biaya Komersial : Biaya fiskal
80
Ditambah : Iuran JHT PPh Pasal 21 Jumlah Selisih biaya fiskal dan
1.680.000
1.680.000
1.680.000
-
13.038.000
-
1.680.000 -
127.408.000
140.446.000
140.466.000
144.792.000
1.680.000
14.718.000
1.680.000
1.680.000
biaya komersial
Ikhtisar dari take home pay, biaya fiskal dan biaya komersial serta selisihnya merupakan faktor-faktor penentuan pemilihan alterntatif yang dapat dilihat dibawah ini : Tabel 4.5 Uraian
Take home
PPh Pasal 21
pay (Rp)
Biaya fiskal
(Rp)
Biaya
Selisih Biya fiskal
Komersial
dan biaya
(Rp)
komersial (Rp)
Ditanggung pegawai
110.010.000 125.728.000
127.408.000
1.680.000
Ditanggung perusahaan
123.048.000 125.728.000
140.446.000
14.718.000
Diberikan tunjangan pajak
119.788.000 138.766.000
140.446.000
1.680.000
23.048.000 143.112.000
144.792.000
1.680.000
Di gross up
Setelah memperhatikan alternatif diatas, maka pilihan dijatuhkan pada alternatif keempat, karena dari sudut pandang karyawan gaji yang dibawa pulang mereka merupakan jumlah yang terbesar (Rp 123.048.000,-). Alternatif ini dapat menghemat PPh Pasal 21 karyawan sebesar Rp 17.384.000,-. Dari segi komersial, biaya fiskal yang besar tampaknya seperti suatu pemborosan, namun harus diperhatikan pula bahwa akibat
81
biaya fiskal yang besar akan berdampak kepada laba sebelum pajaknya menjadi lebih kecil dan selanjutnya PPh badan pun akan menjadi lebih kecil. Dengan kata lain perusahaan dapat melakukan perencanaan PPh Pasal 21 yang optimal dengan menggunakan metode gross up. Dengan melakukan gross up atas PPh 21, tidak akan merugikan perusahaan karena tunjangan PPh yang diberikan kepada karyawan dapat dijadikan beban fiskal. Alternatif kedua memang menguntungkan dari sisi karyawan, karena gaji bersih sesudah pajak yang dibawa pulang mereka juga merupakan jumlah yang terbesar (Rp123.048.000,-). Akan tetapi disisi perusahaan pemilihan alternatif ini sangat merugikan karena adanya selisih biaya fiskal dan komersial akibat PPh 21 ditanggung perusahaan. Hal ini dapat mengakibatkan koreksi fiskal sebesar Rp 14.718.000,- yang berarti adanya pertambahan PPh badan. Alternatif ketiga sebaiknya tidak dilakukan oleh perusahaan, karena gaji yang dibawa pulang karyawan tidaklah maksimal, hal ini sangat merugikan karyawan. Alternatif pertama adalah alternatif yang sebaiknya tidak dilakukan perusahaan karena merugikan kedua belah pihak, baik itu karyawan maupun perusahaan. Dari sisi karyawan gaji yang dibawa pulang merupakan jumlah terkecil dari empat alternatif diatas (Rp 110.010.000) dan disisi perusahaan tejadi koreksi fiskal sebesar Rp 1.680.000,- yang dapat mengakibatkan jumlah PPh badan bertambah.
IV.2. Evaluasi Pelaksanaan dan Perencanaan Pajak Penghasilan Pasal 22 PPh Pasal 22 adalah pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang 82
yang sumbernya dari APBN/APBD dan badan-badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan dibidang impor atau kegiatan lain. PT ABS Industri Indonesia merupakan pihak yang dikenai pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. Berdasarkan ketentuan peraturan perpajakan bahwa PPh Pasal 22 yang dipungut tersebut dapat dikreditkan pada Pajak Penghasilan akhir tahun (dapat mengurangi pajak yang terutang diakhir tahun). PT ABS Industri Indonesia dalam melakukan kegiatan impor barang berkewajiban untuk membayar pajak yang terdiri dari : 1. Bea Masuk yang dikenakan tarif 5 % berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan Pabean dibidang impor. 2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dikenakan tarif 10% 3. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) sebesar 2,5% dari nilai impor berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan N0.254/KMK.03/2001. Dan jasa-jasa lain yang berhubungan dengan kegiatan impor, antara lain : 1. Jasa Terminal Handling Charge (THC), yaitu biaya pengurusan peti kemas di pelabuhan. 2. Custom Clearence, yaitu biaya untuk pengurusan dokumen. 3. Biaya Administrasi Pembayaran pajak ditujukan ke kas negara melalui bank persepsi, antara lain Bank Nasional Indonesia (BNI) cabang Cilegon, Bank Central Asia (BCA) dan Bank Nasional Indonesia (BNI) cabang Soekarno Hatta secara tunai atau bilyet giro atas nama kas negara. Dan Pemungut pajak menerbitkan bukti pemungutan PPh Pasal 22 dalam rangkap 3, yaitu : 83
1. Lembar pertama untuk pembeli 2. Lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan harus ada inisial nama dan NPWP perusahaan serta tanggal transaksi. 3. Lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan.
Untuk Tahun Pajak 2005, PT ABS Industri Indonesia mengalami kerugian untuk itu perusahaan dapat mengajukan pembebasan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 untuk mendapat Surat Keterangan Bebas Kena Pajak Penghasilan Pasal 22 dari Direktorat Jenderal Pajak. Terkait dengan pembebasan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh PT ABS Industri Indonesia, yaitu : 1. Meminta klarifikasi pada saat pembuatan kontrak dengan pemberi penghasilan. Hal ini untuk menghindari kesalahpahaman dikemudian hari. Idealnya pembuatan kontrak dilakukan sebelum transaksi dilakukan. 2. PT ABS Industri Indonesia sebagai pihak yang dipungut pajak harus meminta bukti pungut dari pihak yang mempunyai kewajiban untuk memungut pajak. Perusahaan juga harus memeriksa bukti apakah asli atau tidak. Format dari bukti pungut terdapat dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-506/PJ./2001 yang telah diubah terakhir dengan Kep-100/PJ./2003. Dalam hal pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, Surat Setoran Pajak (SSP) dapat dijadikan sebagai bukti pungut. PT ABS Industri Indonesia juga perlu meneliti apakah bukti pungut yang telah diterbitkan adalah bukti pungut yang semestinya. Jika ada kesalahan penerbitan bukti pungut, maka perusahaan harus secepatnya memberitahukan kepada pihak yang memungut. 84
3. Meminta pembebasan pemungutan pajak, karena PT ABS Industri Indonesia berada dalam keadaan rugi sedangkan perusahaan banyak melakukan transaksi dipungut atau dipotong, maka perusahaan dapat mengajukan Surat Keterangan Bebas (SKB) dari pemungutan Pajak Penghasilan. Hak ini hanya dapat diperoleh apabila perusahaan memenuhi syarat sebagai berikut : a. Perusahaan dapat menyertakan alasan-alasan dan data yang dapat mendukung keadaannya. Misalnya, dengan menunjukkan data bahwa beberapa klien potensial membatalkan transaksi atau perjanjian kerjasama. b. Perusahaan dapat menunjukkan bahwa di akhir tahun perusahaan akan merugi, dan apabila terus dilakukan pemungutan pajak, perusahaan akan mengalami lebih bayar. Caranya dengan melakukan proyeksi rugi laba perusahaan dimana proyeksi teresebut menunjukkan bahwa perusahaan akan mengalami kerugian. SKB dari pemungutan pajak oleh pihak lain hanya diberikan berkenaan dengan pemungutan pajak yang merupakan kredit pajak untuk tahun pajak yang sama dengan tahun yang tercantum dalam bukti pemungutan.
IV.3. Evaluasi Pelaksanaan dan Perencanaan Pajak Penghasilan Pasal 23 PPh Pasal 23 adalah Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau Subjek Pajak Dalam Negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap dan perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
85
Berdasarkan Undang-undang PPh No.17 Tahun 2000 Pasal 23 ayat 1 huruf c, perusahaan sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 23. Dalam hal ini, PT ABS Industri Indonesia bertindak sebagai pihak pemotong, antara lain : 1. Jasa akuntan pada Kantor Akuntan Publik Paul Hadiwinata, Hidajat. Arsono & Rekan. 2. Jasa pemeliharaan/perawatan/perbaikan atas aktiva perusahaan. 3. Jasa legal 4. Jasa pemanfaatan informasi dibidang teknologi, yaitu jasa internet. Atas pemakaian jasa-jasa tersebut diatas, menimbulkan kewajiban bagi PT ABS Industri Indonesia sebagai pihak pemotong untuk memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 23. Pemotongan PPh Pasal 23 tersebut dilakukan pada saat penghasilan dibayarkan oleh pemberi penghasilan. PPh Pasal 23 yang dipotong disetorkan ke bank persepsi atau kantor pos dan giro dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak. Pelaporan PPh Pasal 23 dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana perusahaan terdaftar sebagai Wajib Pajak sebelum batas akhir pelaporan, yaitu tanggal 20 bulan berikutnya disertai dengan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT Masa). Hal ini dilakukan agar tidak mengganggu likuiditas perusahaan. Karena bila perusahaan tidak melakukan pemotongan, maka perusahaan beresiko untuk terkena sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan maksimal selama 24 bulan dan hal ini tentunya akan sangat mengganggu likuiditas kas perusahaan karena non deductible expense perusahaan akan bertambah. Sedangkan jika perusahaan terlambat
86
untuk melapor, maka akan terkena sanksi sebesar Rp 50.000,- sesuai dengan UU KUP Pasal 7 No.16 Tahun 2000. Beberapa temuan yang diperoleh dari evaluasi pelaksanaan dan perencanaan PPh Pasal 23 adalah : 1. Untuk memberikan laporan keuangan yang terpercaya, PT ABS Industri Indonesia menggunakan jasa eksternal audit pada Kantor Akuntan Publik Paul Hadiwinata, Hidajat, Arsono & Rekan. Dimana pembayaran pada jasa auditor ini, menimbulkan kewajiban bagi perusahaan untuk melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 23 yang dikenakan tarif 7,5% dengan tarif pemotongan 15% x 50% dari penghasilan bruto berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep170/PJ/2002. Dalam hal ini perusahaan telah melakukan pemotongan dan penyetoran atas pemakaian jasa tersebut dengan jumlah sebesar Rp 132.870.000,- serta melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana perusahaan terdaftar sebagai Wajib Pajak sebelum batas akhir pelaporan. 2. Atas aktiva berupa kendaraan, AC dan aktiva lainnya, perusahaan menggunakan jasa pemeliharaan/perawatan/perbaikan. Dimana atas jasa tersebut, perusahaan wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 23 yang dikenakan tarif
6% dengan tarif pemotongan 15% x 40% dari penghasilan bruto sesuai
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-170/PJ/2002. Dalam hal ini perusahaan telah melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa tersebut dan menyetorkan dengan jumlah sebesar Rp 1.490.640.083,- serta melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana perusahaan terdaftar sebagai Wajib Pajak sebelum batas akhir pelaporan.
87
3. Perusahaan menggunakan jasa legal yang berkaitan dengan hal perijinan. Atas jasa tersebut perusahaan berkewajiban untuk melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 23 yang dikenakan tarif
7,5 % dengan tarif pemotongan
15 % x 50 % dari penghasilan bruto berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-170/PJ/2002. Dalam hal ini perusahaan telah melakukan pemotongan dan penyetoran atas pemakaian jasa tersebut dengan jumlah sebesar Rp 54.094.186,- dan melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana perusahaan terdaftar sebagai Wajib Pajak sebelum batas akhir pelaporan. 4. Dalam menjalankan kegiatan operasional sehari-hari, perusahaan menggunakan jasa pemanfaatan informasi dibidang teknologi yaitu jasa internet. Jasa ini digunakan oleh karyawan dalam memperlancar hubungan komunikasi antar bagian operasional dengan semua pelanggan dan pihak lain yang ada kaitannya dengan perusahaan melalui fasilitas email. Atas pemakaian jasa tersebut, perusahaan berkewajiban untuk melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 23 yang dikenakan tarif 6% dengan tarif pemotongan 15 % x 40 % dari penghasilan bruto berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-170/PJ/2002. Dalam hal ini perusahaan telah melakukan pemotongan dan penyetoran atas pemakaian jasa tersebut dengan jumlah sebesar Rp 14.472.664,- dan melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana perusahaan terdaftar sebagai Wajib Pajak sebelum batas akhir pelaporan. Dari evaluasi yang telah dilakukan, PT ABS Industri Indonesia telah melakukan perencanaan PPh Pasal 23 yang tepat. Dimana perusahaan sebagai pihak pemotong telah memenuhi kewajiban perpajakannya dengan selalu berusaha melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan atas pemakaian jasa-jasa tersebut setiap bulan sebelum batas 88
akhir pelaporan yang dilengkapi dengan tanda bukti pemotongan serta menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT Masa ) sebelum masa pajak berakhir ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana perusahaan terdaftar sebagai Wajib Pajak. Sehingga perusahaan dapat terhindar dari resiko sanksi perpajakan yang dapat mengganggu likuiditas kas perusahaan. Tetapi, sebaiknya perusahaan melakukan penyetoran PPh Pasal 23 tersebut tidak terlalu awal dan juga tidak melewati batas waktu, hal ini dimaksudkan agar perusahaan dapat mengatur aliran (cash flow ) dan mengestimasi kebutuhan kas sehingga dapat menyusun anggaran kas secara lebih akurat, dimana aliran kas tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembayaran lain yang lebih bermanfaat bagi perusahaan.
IV.4. Evaluasi Pelaksanaan dan Perencanaan PPh Badan Dalam menentukan pajak terutang akhir tahun, Wajib Pajak badan harus menghitung laba kena pajak. Untuk menentukan besarnya laba kena pajak dalam menghitung PPh badan tersebut, PT ABS Industri Indonesia melakukan rekonsiliasi fiskal atas laporan laba ruginya. PT ABS Industri Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya belum melakukan perencanaan pajak secara memadai. Hal ini terlihat dari adanya laporan rekonsiliasi fiskal yang dilakukan oleh perusahaan, dimana masih terdapat koreksi fiskal positif yang cukup banyak. Dengan adanya perencanaan pajak diharapkan penggunaan sumber daya perusahaan dapat seminimal mungkin, terutama beban pajak. Bila ditinjau dari sisi PPh Badan, maka cara untuk meminimalkan
beban pajak adalah dengan menerapkan
peraturan perpajakan terbaru yang dianggap dapat menguntungkan perusahaan dan beban yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan (non deductible expense) dapat dialihkan atau dialokasikan untuk pembayaran lain yang lebih 89
bermanfaat bagi perusahaan dan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan (deductible expense). Beberapa temuan yang diperoleh dari evaluasi pelaksanaan dan perencanaan PPh Badan berdasarkan laporan rekonsiliasi fiskal yang dilakukan perusahaan berkaitan dengan pendapatan dan biaya–biaya yang terkena koreksi fiskal , baik koreksi fiskal positif maupun negatif dapat dijabarkan sebagai berikut :
a.
Koreksi Fiskal Positif 1.
PPh 21 ditanggung pemberi kerja PT ABS Industri Indonesia terkena koreksi positif atas PPh Pasal 21 sebesar Rp 431.090.457,- karena perusahaan menanggung seluruhnya PPh Pasal 21 karyawannya. Beban ini memang harus dikoreksi positif karena PPh Pasal 21 ditanggung pemberi kerja bukan merupakan deductible expense.
2.
Astek PT ABS Industri Indonesia tidak memasukkan biaya astek sebagai penambah penghasilan bagi karyawan. Biaya asuransi ini ditanggung seluruhnya oleh perusahaan dan dikoreksi dalam penghitungan PPh badan sebesar Rp 157.160.992,-, karena tunjangan itu sebenarnya termasuk unsur penambah penghasilan dan menjadi objek PPh 21 bagi karyawan sehingga tidak boleh menjadi biaya bagi perusahaan (non deductible expense). Perencanaan pajak yang dapat dilakukan oleh PT ABS Industri Indonesia adalah dengan memasukkan premi asuransi tersebut sebagai unsur penambah penghasilan bagi karyawan dan dikemudian dibebankan sebagai beban fiskal
90
(deductible expense). Dengan demikian perusahaan dapat menghemat beban pajak. 3.
Biaya Kesehatan Karyawan Dalam pengelolaan kesejahteraan karyawan, selain memberikan tunjangan kesehatan,
PT
ABS
Industri
Indonesia
juga
menerapkan
sistem
reimbursement dalam penggantian uang kesehatan. Menurut ketentuan fiskal, biaya kesehatan ini merupakan pemberian natura dan kenikmatan yang diterima karyawan. Dengan demikian biaya ini tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Perusahaan menghadapi resiko koreksi positif atas biaya kesehatan karyawan dengan jumlah sebesar Rp 212.515.354,-. 4.
Biaya Sanksi Administrasi Pajak Berdasarkan Pasal 9 Ayat (1) huruf k UU PPh No. 17 Tahun 2000, sanksi administrasi pajak berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan UU perpajakan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dan bukan merupakan objek pajak sehingga memang harus dikoreksi. Biaya sanksi administrasi pajak dikoreksi fiskal positif
dengan jumlah sebesar
Rp 567.270.127,-. Sebenarnya biaya ini masih dapat ditekan, bila PT ABS Industri Indonesia lebih berhati-hati dalam memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Sebagian besar dari sanksi tersebut muncul akibat keterlambatan pembayaran pajak serta keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa dan Surat Pemberitahuan Tahunan. 5.
Biaya Lain-lain Biaya lain-lain dapat diakui sebagai biaya perusahaan apabila didukung dengan bukti yang kuat berupa daftar nominatifnya. Biaya lain-lain diluar 91
biaya penjualan maupun biaya administrasi dan umum tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan, apabila tidak dilengkapi dengan bukti-bukti pendukung yang kuat. PT ABS Industri Indonesia terkena koreksi positif
atas biaya lain-lain dengan jumlah sebesar
Rp 776.587.893,-. Untuk menghindari biaya tersebut terkena koreksi fiskal, maka PT ABS Industri Indonesia harus mempunyai bukti-bukti pendukung secara formal dan mengklasifikasikan secara rinci biaya-biaya lain tersebut apakah termasuk dalam kegiatan 3M yang terkait dengan kegiatan usaha ke dalam akun yang sesuai sehingga biaya-biaya lain tersebut dapat menjadi beban fiskal. 6.
Biaya Penyusutan Produksi Operasional PT ABS Industri Indonesia menghadapi koreksi fiskal positif seluruhnya atas biaya penyusutan sebesar Rp 19.438.558.602. Atas biaya ini perusahaan memang perlu melakukan koreksi positif, karena hal ini bukan hak perusahaan dalam melakukan penghitungan penyusutan atas harta sewa guna usaha, melainkan kewajiban pihak lessor.
b.
Koreksi Fiskal Negatif Dengan adanya koreksi fiskal negatif akan lebih menguntungkan perusahaan, karena koreksi fiskal negatif tersebut maka akan memperbesar rugi perusahaan yang dapat dijadikan sebagai kompensasi untuk tahun berikutnya.
1.
Pendapatan Bunga PT ABS Industri Indonesia menghadapi koreksi fiskal negatif seluruhnya atas pendapatan bunga sebesar Rp 19.161.790,- yang diperoleh dari penyimpanan dana di bank selama tahun 2005. Karena pendapatan tersebut merupakan objek PPh yang 92
telah dipotong PPh Pasal 4 Ayat (2) yang bersifat final dengan tarif 20 % yang dilakukan oleh bank. Sesuai dengan Pasal 4 Ayat (2) UU PPh No. 17 Tahun 2000, maka atas pendapatan bunga dikenakan pajak final sebesar 20% yang dipotong langsung oleh bank yang bersangkutan. Pengenaan koreksi negatif
ini
dimaksudkan agar tidak terjadi pengenaan pajak secara berganda. 2.
Pembayaran Leasing (sewa guna usaha) dengan Hak Opsi Apabila PT ABS Industri Indonesia menggunakan sewa guna usaha dengan hak opsi, maka semua pembayaran sewa guna usaha yang dibayarkan kecuali pembebanan atas tanah merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang sewa guna usaha itu dapat digolongkan pada sewa guna usaha dengan hak opsi. Pembayaran ini telah dikoreksi fiskal negatif dengan jumlah sebesar Rp 40.858.749,-.
3.
Biaya Penyusutan Mesin dan Peralatan PT ABS Industri Indonesia terkena koreksi fiskal negatif atas biaya penyusutan mesin dan peralatan sebesar Rp 54.748.123.837,- karena adanya perbedaan pengakuan antara perusahaan dengan pajak dalam hal penentuan masa manfaat penggunaan aktiva.
4.
Biaya Penyusutan Bangunan dan Infrastruktur PT ABS Industri Indonesia terkena koreksi fiskal negatif atas biaya penyusutan bangunan dan infrastruktur sebesar Rp 5.127.250.338,- karena adanya perbedaan pengakuan antara perusahaan dengan pajak dalam hal penentuan masa manfaat penggunaan aktiva.
5.
Biaya Penyusutan Peralatan Kantor dan Pabrik
93
PT ABS Industri Indonesia terkena koreksi fiskal negatif atas biaya penyusutan peralatan kantor dan pabrik sebesar Rp 45.117.897,- karena adanya perbedaan pengakuan antara perusahaan dengan pajak dalam hal penentuan masa manfaat penggunaan aktiva. Selain beberapa koreksi-koreksi diatas juga ditemukan bahwa : ¾ Terdapat pembebanan pembayaran fiskal luar negeri sebesar Rp 3.000.000,- atas perjalanan dinas ke Australia, Hal ini dilakukan karena pada lembar bukti pembayaran fiskal luar negeri tidak dicantumkan nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) PT ABS Industri Indonesia, sehingga pembayaran fiskal ke luar negeri tersebut tidak dapat dipakai sebagai kredit pajak. Dalam menghadapi masalah ini, sebaiknya PT ABS Industri Indonesia melakukan pemeriksaan pada lembar tanda bukti pembayaran fiskal luar negeri setiap kali ada perjalanan dinas dengan syarat kepergian karyawan yang bersangkutan dalam rangka tugas (dinas) perusahaan, agar tidak terjadi lagi pembebanan fiskal luar negeri yang sebenarnya dapat dijadikan sebagai kredit PPh Badan tersebut.
IV.2. Rekonsiliasi Fiskal Sebelum dan Setelah Perencanaan Pajak Laporan keuangan suatu perusahaan yang akan digunakan untuk laporan pajak, harus diubah terlebih dahulu menjadi laporan fiskal. Proses ini disebut dengan rekonsiliasi fiskal. Tujuan utama rekonsiliasi ini adalah untuk membuat laporan keuangan komersial sesuai dengan peraturan perpajakan sehingga dapat digunakan untuk menghitung PPh badan. Perencanaan pajak yang efektif akan membuat suatu perusahaan mampu untuk meminimalkan beban-beban yang dapat mengurangi penghasilan bruto. Dengan meminimalkan beban-beban tersebut akan mengakibatkan 94
laba fiskal tidak jauh berbeda dengan laba komersial. Hal ini dapat dilakukan dengan perencanaan pajak yang efektif atas beban-beban yang tidak dapat mengurangi penghasilan bruto dalam laporan keuangan fiskal. Hasil akhir yang akan dicapai oleh perusahaan adalah penghematan pajak dari selisih rugi komersial dan rugi fiskal yang dapat dijadikan kompensasi untuk tahun berikutnya. Terdapat perbedaan perlakuan akuntansi komersial dan perlakuan pajak dalam pengakuan pendapatan dan beban. Perbedaan inilah yang menyebabkan adanya rekonsiliasi fiskal atas laporan laba rugi perusahaan. Hal ini dikarenakan tidak semua beban yang diakui dalam laporan laba rugi komersial dapat menjadi beban dalam laporan laba rugi fiskal PT ABS Industri Indonesia belum melakukan perencanaan pajak secara efektif. Hal ini tercermin dari rekonsiliasi fiskal perusahaan, dimana terdapat banyak pos-pos beban yang dilakukan koreksi positif. Dalam rekonsiliasi fiskal sebelum dan setelah perencanaan pajak dapat terlihat adanya perbedaan antara rugi komersial dan rugi fiskal karena adanya koreksi positif yang tidak dapat menjadi beban fiskal. Dari rekonsiliasi fiskal sebelum dan setelah perencanaan pajak, ada beberapa usulan perencanaan pajak pada PT ABS Industri Indonesia, yaitu : a.
PPh Pasal 21 PT ABS Industri Indonesia dapat melakukan perencanaan pajak atas PPh Pasal 21 dengan menggunakan metode gross up dengan memberikan sejumlah tunjangan PPh kepada karyawan yang dapat dijadikan beban fiskal. Beban PPh Pasal 21 sebelum perencanaan pajak adalah sebesar Rp 431.090.457,- dan dilakukan koreksi positif. Setelah perencanaan pajak, tunjangan PPh akan diberikan kepada karyawan
95
sebesar Rp 431.090.457,-. Dengan ini beban perusahaan akan bertambah sebesar tunjangan PPh Pasal 21 yang akan diberikan pada karyawan. b.
Biaya Sewa Rumah Pegawai Asing (expatriate) PT
ABS
Industri
Indonesia
harus
melakukan
koreksi
positif
sebesar
Rp27.665.282,- atas biaya sewa rumah pegawai asing (expatriate) karena hal ini merupakan pemberian natura/kenikmatan bagi pegawai sehingga tidak dapat menjadi biaya bagi perusahaan (non deductible expense). Perencanaan pajak yang dapat dilakukan adalah sebaiknya mengganti cara pemberian tempat tinggal kepada pegawai asing dengan memberikan tunjangan perumahan dalam bentuk uang dan penyewaan rumah dilakukan atas nama pegawai asing tersebut. Dengan demikian biaya tersebut dapat dibebankan oleh perusahaan dan diklasifikasikan sebagai objek PPh Pasal 21. c.
Biaya Kesehatan Karyawan Sesuai dengan Pasal 9 Ayat (1) huruf
b UU PPh No.17 tahun 2000, biaya
kesehatan dengan menggunakan sistem reimbursement merupakan pemberian natura dan kenikmatan yang diterima karyawan sehingga tidak dapat dijadikan biaya bagi perusahaan. Perencanaan pajak yang dapat dilakukan oleh PT ABS Industri Indonesia adalah mengganti atau mengalokasikan biaya reimbursement menjadi tunjangan kesehatan dalam bentuk uang sebesar Rp 212.515.354,-. d.
Biaya Entertainment PT ABS Industri Indonesia harus melakukan koreksi positif atas biaya entertainment sebesar Rp 200.000,- karena perusahaan tidak memberikan daftar nominatif dan tidak dapat membuktikan bahwa biaya tersebut adalah formal yang terkait dengan kegiatan usaha. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak 96
No. SE-27/PJ.22/1986 bahwa biaya entertainment, representatif, jamuan tamu dan sejenisnya dalam rangka untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan objek PPh yang sifatnya tidak final dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan dengan syarat dibuatkan daftar nominatif dan dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh. Perencanaan pajak yang dapat dilakukan oleh PT ABS Industri Indonesia adalah perusahaan harus membuat daftar nominatif yang memuat nomor urut, hari dan tanggal, jenis entertainment, nama tempat, alamat, jenis dan jumlah entertainment serta hal-hal yang berkaitan dengan relasi seperti nama posisi, nama perusahaan serta jenis usahanya secara cermat dan formal yang terkait dengan kegiatan usaha. e.
Sumbangan PT ABS Industri Indonesia harus melakukan koreksi postif atas biaya sumbangan sebesar Rp 400.000,- karena sumbangan dalam bentuk apapun tidak dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto perusahaan karena hal tersebut tidak berhubungan dengan kegiatan usaha perusahaan atau sehubungan dengan biaya 3M. Hal ini diatur dalam UU PPh Pasal 9 No.17 Tahun 2000, kecuali sumbangan untuk GNOTA atau sumbangan korban bencana alam antara lain tsunami Nanggroe Aceh Darussalam atau Sumatra Utara. Hal ini diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak
No.Kep-545/PJ/2000
dan
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
609/KMK.03/2004 tentang perlakuan Pajak Penghasilan atas bantuan kemanusiaan bencana alam di Nanggroe Aceh Darussalam atau Sumatra Utara. f.
Biaya Rumah Tangga Kantor PT ABS Industri Indonesia harus melakukan koreksi positif seluruhnya atas biaya rumah tangga kantor sebesar Rp 12.615.065,- karena biaya ini terdiri dari keperluan 97
dapur yang tidak berhubungan dengan kegiatan usaha perusahaan. Dalam hal ini perusahaan sebaiknya menggunakan jasa catering dalam hal penyediaan makanan dan minuman untuk seluruh karyawan yang dapat dijadikan beban fiskal perusahaan. Namun atas pemakaian jasa catering tersebut, perusahaan harus melakukan potongan PPh Pasal 23.
98
PT ABS Industri Indonesia Perbandingan Laporan Rekonsiliasi Fiskal Sebelum dan Sesudah Perencanaan Pajak Untuk Tahun Yang Berakhir 31 Desember 2005
Deskripsi
Sebelum Perencanaan Pajak Laporan Komersial Koreksi Fiskal
Laporan Fiskal
Sesudah Perencanaan Pajak Usulan Perencanaan Laporan Fiskal
Penjualan : Penjualan Lokal Penjualan ekspor Penjualan lain-lain Retur dan potongan penjualan Penjualan Bersih
150,826,589,119 78,814,121,042 13,774,201,465 (388,266,922) 243,026,644,704
Biaya Produksi (Beban Lokasi) : Biaya Langsung : Bahan baku Bahan additive Bahan kemasan Listrik dan utility Total Biaya Langsung
196,798,247,308 14,283,442,880 2,042,082,835 11,374,157,514 224,497,930,537
196,798,247,308 14,283,442,880 2,042,082,835 11,374,157,514 224,497,930,537
196,798,247,308 14,283,442,880 2,042,082,835 11,374,157,514 224,497,930,537
2,483,635,080 927,352,016 159,511,337 728,876,763 400,840,097 497,807,000 396,995,000 265,850,699 204,666,418 123,146,144 125,982,255 19,223,593,321 536,675,988 1,249,961,372 197,051,161 127,354,038 39,886,386 7,319,000 23,982,187 321,367,103
2,483,635,080 927,352,016 728,876,763 400,840,097 497,807,000 396,995,000 265,850,699 204,666,418 536,675,988 1,249,961,372 197,051,161 127,354,038 39,886,386 7,319,000 23,982,187 321,367,103
2,483,635,080 927,352,016 159,511,337 728,876,763 400,840,097 497,807,000 396,995,000 265,850,699 204,666,418 125,982,255 536,675,988 1,249,961,372 197,051,161 127,354,038 39,886,386 7,319,000 23,982,187 321,367,103
Biaya Tidak Langsung : Gaji karyawan Gaji karyawan asing PPh 21 expatriate ditanggung pemberi kerja Tunjangan lembur Bonus dan THR Tunjangan transportasi Tunjangan perumahan Tunjangan kesehatan Tunjangan makan Astek PPh 21 ditanggung pemberi kerja Biaya penyusutan Biaya sewa Biaya perbaikan dan pemeliharaan material Biaya perbaikan dan pemeliharaan jasa Biaya perjalanan dinas dan transportasi Biaya perijinan Biaya seminar dan pelatihan Biaya alat-alat tulis, buku, fotokopi Biaya perlengkapan pabrik
-
159,511,337
123,146,144 125,982,255 19,223,593,321
150,826,589,119 78,814,121,042 13,774,201,465 (388,266,922) 243,026,644,704
-
159,511,337
125,982,255
150,826,589,119 78,814,121,042 13,774,201,465 (388,266,922) 243,026,644,704
1
PT ABS Industri Indonesia Perbandingan Laporan Rekonsiliasi Fiskal Sebelum dan Sesudah Perencanaan Pajak Untuk Tahun Yang Berakhir 31 Desember 2005
Deskripsi Biaya sewa rumah pegawai asing (expatriate) Biaya asuransi Biaya telepon dan pos Biaya kesehatan karyawan Biaya rumah tangga pabrik Total Biaya Tidak Langsung Total Biaya Produksi Persediaan WIP awal Persediaaan WIP akhir Harga Pokok Produksi Persediaan barang jadi awal Persediaan barang jadi akhir Harga Pokok Penjualan Laba (Rugi) Kotor Biaya Penjualan, Administrasi dan Umum (Beban Kantor Pusat) : Gaji karyawan Tunjangan lembur Bonus dan THR Tunjangan Transportasi Tunjangan perumahan Tunjangan kesehatan Tunjangan makan Astek PPh 21 ditanggung pemberi kerja Biaya penyusutan Biaya sewa Biaya perbaikan dan pemeliharaan material Biaya perbaikan dan pemeliharaan jasa Biaya perjalanan dinas dan transportasi Listrik dan utility Sumbangan Biaya entertainment Biaya perijinan Biaya alat tulis, buku, fotokopi Biaya seminar dan pelatihan Biaya asuransi
Sebelum Perencanaan Pajak Laporan Komersial Koreksi Fiskal 27,665,282 1,387,687,275 43,184,216 37,567,067 37,567,067 6,652,030 29,544,609,235 254,042,539,772 883,450,866 (2,678,080,377) 252,247,910,261 3,941,969,853 (7,756,146,507) 248,433,733,607 (5,407,088,903)
1,147,014,993 65,809,332 246,814,897 235,051,000 58,500,000 117,764,477 44,565,882 34,014,848 145,596,865 214,959,280 211,110,800 37,782,550 5,845,000 152,331,646 12,338,500 200,000 400,000 14,207,800 69,298,996 17,815,000 5,549,490
34,014,848 145,596,865 214,959,280
Laporan Fiskal 27,665,282 1,387,687,275 43,184,216 6,652,030 9,874,809,111 234,372,739,648 883,450,866 (2,678,080,377) 232,578,110,137 3,941,969,853 (7,756,146,507) 228,763,933,483 14,262,711,221
1,147,014,993 65,809,332 246,814,897 235,051,000 58,500,000 117,764,477 44,565,882 211,110,800 37,782,550 5,845,000 152,331,646 12,338,500 200,000 400,000 14,207,800 69,298,996 17,815,000 5,549,490
Sesudah Perencanaan Pajak Usulan Perencanaan Laporan Fiskal (27,665,282) 1,387,687,275 43,184,216 37,567,067 37,567,067 6,652,030 10,170,204,488 234,668,135,025 883,450,866 (2,678,080,377) 232,873,505,514 3,941,969,853 (7,756,146,507) 229,059,328,860 13,967,315,844
145,596,865
(200,000) (400,000)
1,147,014,993 65,809,332 246,814,897 235,051,000 58,500,000 117,764,477 44,565,882 145,596,865 211,110,800 37,782,550 5,845,000 152,331,646 12,338,500 14,207,800 69,298,996 17,815,000 5,549,490 2
PT ABS Industri Indonesia Perbandingan Laporan Rekonsiliasi Fiskal Sebelum dan Sesudah Perencanaan Pajak Untuk Tahun Yang Berakhir 31 Desember 2005
Deskripsi Biaya pengiriman Biaya telepon dan pos Biaya kesehatan karyawan Biaya jasa profesional Biaya rumah tangga kantor Biaya komisi Biaya teknologi informasi Biaya iklan Biaya lain-lain Total Biaya Penjualan, Administrasi dan Umum Laba (Rugi) Kotor Pendapatan (Biaya) lain-lain : Biaya restrukturisasi hutang Laba (rugi) penjualan aktiva tetap Biaya bunga Laba (rugi) selisih kurs Pendapatan bunga Biaya sanksi administrasi pajak Pendapatan (biaya) lain-lain Pembayaran leasing (SGU) dengan hak opsi Biaya penyusutan Mesin dan peralatan Biaya penyusutan bangungan dan infrastrutur Biaya penyusutan peralatan kantor dan pabrik Total Pendapatan (Biaya) lain-lain Laba (rugi) Sebelum Pajak
Sebelum Perencanaan Pajak Laporan Komersial Koreksi Fiskal 2,966,549,498 99,270,694 174,948,287 174,948,287 132,870,500 12,615,065 371,664,414 14,472,664 4,046,250 60,209,296 6,673,618,024 (12,080,706,927)
(364,217,483) 164,000,000 (2,404,768) (60,186,952,974) 19,161,790 (567,270,127) (1,236,966,021)
(19,161,790) 567,270,127 776,587,893 (40,858,749) (54,748,123,837) (5,127,250,338) (45,117,897)
(62,174,649,583) (74,255,356,510) (38,397,335,187)
Laporan Fiskal 2,966,549,498 99,270,694 132,870,500 12,615,065 371,664,414 14,472,664 4,046,250 60,209,296 6,104,098,744 8,158,612,477 (364,217,483) 164,000,000 (2,404,768) (60,186,952,974) (460,378,128) (40,858,749) (54,748,123,837) (5,127,250,338) (45,117,897) (120,811,304,174) (112,652,691,697)
Sesudah Perencanaan Pajak Usulan Perencanaan Laporan Fiskal 2,966,549,498 99,270,694 174,948,287 174,948,287 132,870,500 (12,615,065) 371,664,414 14,472,664 4,046,250 60,209,296
602,725,464
6,411,428,831 7,555,887,013 (364,217,483) 164,000,000 (2,404,768) (60,186,952,974) (460,378,128) (40,858,749) (54,748,123,837) (5,127,250,338) (45,117,897) (120,811,304,174) (113,255,417,161)
3
Dari hasil perencanaan pajak yang telah dibuat oleh penulis yang tertera pada tabel diatas, maka penulis dapat melakukan penghematan rugi lebih besar sebesar Rp 602.725.464,-. Hal ini dapat dilihat dari usulan perencanaan dan keterangan atas usulan perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Dengan demikian rugi sebelum pajak menjadi
meningkat
yaitu
dari
jumlah
Rp
112.652.691.697,-
menjadi
Rp 113.255.417.161,-. Hasil perencanaan pajak yang dibuat oleh penulis dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan kompensasi pajak untuk tahun berikutnya. Kerugian perusahaan dari Rp 112.652.691.697,- menjadi
Rp 113.255.417.161,- merupakan keuntungan bagi
perusahaan jika dilihat dari sisi pajak. Hal ini dikarenakan PT ABS Industri Indonesia tidak diperkenankan untuk membayar pajak dan kerugian tersebut dapat pula dikompensasikan untuk tahun berikutnya jika diperkirakan tahun berikutnya perusahaan mengalami keuntungan atau memperoleh laba sehingga dapat meminimalkan beban pajaknya. Akan tetapi jika dilihat dari segi komersial atau akuntansi PT ABS Industri Indonesia sedang mengalami masa sulit dengan menderita kerugian sebesar Rp 74.255.356.510,-.
99