BAB IV PERENCANAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK MENGEFISIENKAN BEBAN PAJAK PADA PT BPR WS
IV.1 Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan PPh Pasal 21 PT BPR WS Perencanaan merupakan salah satu fungsi utama dari manajemen. Secara umum perencanaan merupakan proses penentuan tujuan organisasi (perusahaan) dan kemudian menyajikan dengan jelas strategi-strategi (program), taktik-taktik (fakta cara pelaksanaan program) dan operasi (tindakan) yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan secara menyeluruh. Suatu sistem manajemen pajak yang efektif merupakan hal yang penting bagi perusahaan untuk tetap bertahan dalam kondisi sekarang ini, untuk itu diperlukan adanya suatu perencanaan pajak (tax planning), dengan tujuan untuk meminimalkan beban pajak, yang dilakukan masih dalam bingkai peraturan perpajakan dan tanpa harus melanggar undang-undang perpajakan. Pelaksanaan perencanaan PPh pasal 21 oleh perusahaan diharapkan dapat meminimumkan beban pajak terutang karyawan, yang nantinya akan menguntungkan kedua belah pihak, baik untuk perusahaan maupun karyawan. Namun, tidak hanya itu, perencanaan PPh pasal 21 juga diharapkan dapat memenuhi kewajiban perpajakan secara lengkap, benar dan tepat waktu sehingga dapat menghindari pemborosan sumber daya. Kebijakan PT BPR WS terhadap karyawannya yang berhubungan dengan perpajakan khususnya PPh pasal 21 adalah sebagai berikut:
62
1. Penghasilan setahun karyawan berasal dari gaji pokok saja ditambah dengan tunjangan hari raya. 2. PT BPR WS memberikan fasilitas perumahan untuk memotifasi kinerja bagi direktur utama. 3. PT BPR WS telah melakukan pembulatan PKP dalam menghitung PPh pasal 21 sesuai dengan Keputusan Direktorat Jenderal Pajak No. 545/PJ/2000 pasal 17 yang menyebutkan bahwa setiap PKP (Penghasilan Kena Pajak) dan besarnya pajak penghasilan harus dibulatkan kebawah hingga ribuan penuh. 4. Perusahaan menanggung seluruh PPh pasal 21 terutang karyawan. Berdasarkan kebijakan perusahaan diatas dan setelah dilakukan evaluasi perhitungan SPT 1721 tahun 2005 yang dilakukan oleh PT BPR WS, maka dapat dilihat beberapa masalah yang menghambat kegiatan operasi perusahaan. Masalah tersebut akan dibahas dibawah ini beserta jalan keluarnya yang merupakan bagian dari perencanaan pajak khususnya untuk PPh pasal 21, yaitu: 1. Masih ditanggungnya PPh pasal 21 karyawan secara keseluruhan oleh perusahaan. Namun perusahaan tidak dapat membebankan biaya penanggungan PPh pasal 21 tersebut sebagai biaya fiskal perusahaan. Berdasarkan Undang-Undang Perpajakan No.17 Tahun 2000 pasal 9 ayat 1 (h) tentang Pajak Penghasilan menyebutkan bahwa biaya atas penanggungan pembayaran PPh oleh perusahaan merupakan biaya yang tidak dapat dijadikan biaya oleh perusahaan dalam laporan keuangan fiskal. Sebab terjadinya kondisi di atas dikarenakan maksud awal perusahaan agar karyawan merasa senang atas penghasilan yang diterima setiap bulannya dapat
63
diterima penuh tanpa potongan apapun. Apalagi perusahaan hanya memberikan gaji pokok saja setiap bulannya tanpa tambahan kenikmatan lainnya. Akibat hal tersebut perusahaan akan dirugikan secara material karena biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk menanggung PPh pasal 21 karyawan tidak dapat dijadikan biaya dalam laporan keuangan fiskal, dengan begitu biaya yang dikeluarkan perusahaan berjumlah besar dengan hasil akhir pajak badan yang juga berjumlah besar. Untuk itu, disarankan perusahaan memberikan tunjangan PPh dengan cara gross up karena dengan begitu kedua belah pihak akan diuntungkan satu sama lain. Bagi perusahaan, tunjangan PPh dapat dijadikan biaya dalam laporan keuangan fiskal sehingga dapat menekan beban pajak badan dan disisi karyawan pendapatan yang diterimanya tetap seluruhnya karena perusahaan memberikan tunjangan PPh pasal 21 sebesar jumlah PPh pasal 21 terutang. 2. PT BPR WS memberikan kebijakan dalam pemberian natura kepada direktur utama dalam hal ini pemberian fasilitas perumahan tidak dalam bentuk tunjangan perumahan berupa uang tunai. Namun, perusahaan tidak dapat membebankan biaya tersebut sebagai biaya fiskal perusahaan. Berdasarkan Undang-Undang Pajak No.17 Tahun 2000 pasal 6 ayat I (a) tentang Pajak Penghasilan menyebutkan bahwa tunjangan dalam bentuk uang dapat dijadikan biaya oleh perusahaan dalam laporan keuangan fiskal. Akan tetapi, pemberian natura selain dalam bentuk uang tidak diperbolehkan dijadikan biaya. Terjadinya kondisi diatas disebabkan karena adanya maksud perusahaan agar direktur utama dapat meningkatkan produktifitas kerjanya dan untuk lebih memperlancar kegiatan operasi perusahaan. Selain itu, karena petugas yang 64
menangani perpajakan perusahaan belum optimal menerapkan ketentuan perpajakan yang berlaku. Dengan adanya kebijakan tersebut sangat merugikan bagi pihak perusahaan karena dengan adanya biaya yang dikeluarkan untuk memberikan fasilitas perumahan tersebut tidak dapat dijadikan biaya pada saat pembuatan laporan keuangan fiskal, yang akan berdampak pada pajak badan menjadi lebih besar karena biaya yang dibebankan perusahaan terlalu kecil. Untuk itu, disarankan agar perusahaan mengganti fasilitas tersebut berupa tunjangan yang berbentuk uang, dalam hal ini PT BPR WS memberikan tunjangan berupa tunjangan perumahan. Sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Pajak No.17 Tahun 2000 pasal 6 ayat I (a) tentang Pajak Penghasilan. 3. PT BPR WS melaksanakan pemotongan dan pengurangan tidak sesungguhnya dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Dalam hal ini PT BPR WS hanya mengurangi penghasilan brutonya hanya dengan biaya jabatan tanpa iuran pensiun yang nilainya 2,5% dari besarnya gaji karyawan. Hal tersebut mengakibatkan adanya kesalahan hitung dalam SPT 1721 tahun pajak 2005 khususnya pada perhitungan PPh pasal 21 untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Contohnya adalah Tn. Sunarto merupakan staf kredit PT BPR WS yang berstatus K/3. Ia menerima gaji pokok setahun sebesar Rp 22.740.000 dengan THR sebesar Rp 4.867.200 serta iuran pensiun Rp 568.500 (2,5% x Rp 22.740.000).
65
Tabel 4.1 Koreksi Atas Iuran Pensiun Uraian Gaji setahun THR Tunjangan Perumahan Tunjangan PPh Premi asuransi Jumlah penghasilan bruto Pengurangan : Biaya Jabatan 5% x penghasilan Bruto iuran pensiun Penghasilan netto setahun PTKP PKP PKP PPh Pasal 21 setahun
Sebelum Koreksi 22.740.000 4.867.200 27.607.200
Setelah Koreksi 22.740.000 4.867.200 27.607.200
1.296.000 26.311.200 16.800.000 9.511.000 475.550
1.296.000 568.500 25.742.700 16.800.000 8.942.000 447.000
Sesuai dengan Undang-undang PPh No.17 Tahun 2000 Pasal 6 ayat 1 (c) tentang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi dengan iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan. Pemberlakuan self assessment system adalah sebab utama terjadinya kondisi tersebut, penyebab lainnya adalah PT BPR WS tidak memiliki staf perpajakan yang benar-benar paham tentang pajak sehingga dalam perhitungan pajak, PT BPR WS dibantu oleh seorang konsultan pajak dan menyerahkan sepenuhnya isi dari laporan pajak tersebut tanpa adanya koreksi ulang yang dilakukan oleh staf PT BPR WS tentang isi dari laporan pajak tersebut.
66
Akibat dari tidak dimasukkannya iuran pensiun dalam menghitung PPh pasal 21 terutang karyawan, menyebabkan jumlah PPh pasal 21 terutang karyawan bisa menjadi lebih besar. Hal tersebut selain merugikan karyawan juga sangat merugikan perusahaan karena dapat memperbesar biaya yang dikeluarkan perusahaan. Apalagi pada saat ini perusahaan masih menanggung pembayaran PPh pasal 21 karyawan yang sebenarnya biaya tersebut tidak dapat dijadikan biaya (tidak dapat dipajaki) dalam laporan keuangan fiskal. Disarankan sebaiknya perusahaan tidak hanya mengurangi penghasilan brutonya dengan biaya jabatan saja tetapi juga dengan iuran pensiun yang dipungut dari penghasilan karyawan. Sehingga tujuan dari kewajiban perpajakan untuk melaporkan besarnya PPh pasal 21 terutang secara lengkap dan benar dapat dipenuhi dan dilaksanakan oleh perusahaan. Selain itu, sebaiknya perusahaan mempunyai staf perpajakan yang benar-benar menguasai tentang perpajakan atau memberikan pelatihan atau pendidikan kepadanya sehingga PT BPR WS tidak hanya mengandalkan konsultan pajak dalam menghitung dan melaporkan besarnya pajak yang terutang. 4. PT BPR WS tidak memasukkan premi asuransi dalam perhitungan PPh pasal 21 sehingga terdapat kesalahan hitung dalam SPT 1721 tahun pajak 2005, khususnya pada perhitungan penghasilan bruto. Premi asuransi tersebut hanya diberikan kepada direksi saja yaitu komisaris, direktur utama dan direktur sebesar Rp 674.270 dengan asumsi bahwa masing-masing direksi mendapat Rp 224.760. Contohnya adalah Tn. Kartono merupakan direktur PT BPR WS yang berstatus K/3. Ia menerima gaji pokok setahun sebesar Rp 89.424.000 dengan THR sebesar Rp 17.539.600 dan premi asuransi sebesar Rp 224.760. 67
Di bawah ini merupakan perhitungan PPh pasal 21 Tn. Kartono sebelum dan sesudah diadakannya koreksi, yaitu: Tabel 4.2 Koreksi Atas Premi Asuransi Uraian Gaji setahun THR Tunjangan Perumahan Tunjangan PPh Premi asuransi Jumlah penghasilan bruto Pengurangan : Biaya Jabatan 5% x penghasilan Bruto Iuran pensiun Penghasilan netto setahun PTKP PKP PKP PPh Pasal 21 setahun
Sebelum Koreksi 89.424.000 17.539.600 106.963.600
Setelah Koreksi 89.424.000 17.539.600 224.760 107.188.360
1.296.000 105.667.600 16.800.000 88.867.000 9.580.050
1.296.000 2.235.600 103.657.360 16.800.000 86.857.000 9.278.000
Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan No.17 Tahun 2000 pasal 5 ayat 1 (a) menyebutkan bahwa penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun. Penghasilan yang disebutkan dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan pasal 5 ayat 1 (a) yang tersebut diatas adalah
68
penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh pasal 21. Dengan kata lain bahwa premi asuransi yang dibayarkan oleh pemberi kerja yang tersebut di atas, dalam perhitungan PPh pasal 21, harus dimasukkan untuk menghitung besarnya penghasilan bruto. Penyebab utama terjadinya kondisi tersebut adalah adanya pemberlakuan self assessment system karena wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri, wajib pajak juga yang aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, sedangkan fiskus hanya mengawasi. Penyebab lainnya adalah PT BPR WS tidak memiliki staf perpajakan yang benar-benar paham dan mengerti tentang pajak. Akibat dari tidak dimasukkannya premi asuransi dan iuran pensiun yang telah dijelaskan di atas, menyebabkan jumlah penghasilan bruto menjadi lebih kecil dan penghasilan neto menjadi besar karena hanya dikurangi dengan biaya jabatan sehingga PKPnya menjadi lebih besar, otomatis PPh pasal 21 yang terutang juga menjadi besar pula. Untuk itu disarankan sebaiknya perusahaan tidak hanya memasukkan gaji dan THR saja untuk menentukan besarnya penghasilan bruto karena dengan dimasukkannya premi asuransi dalam perhitungan besarnya penghasilan bruto untuk menentukan PPh pasal 21 yang terhutang, menyebabkan penghasilan bruto menjadi lebih besar dan penghasilan neto menjadi kecil karena pengurang penghasilan neto tidak hanya biaya jabatan tetapi ditambah dengan iuran pensiun sehingga PKPnya menjadi lebih kecil secara otomatis PPh pasal 21 yang terutang juga menjadi kecil. Hal tersebut dapat menguntungkan bagi perusahaan, mengingat perusahaan masih menanggung pembayaran PPh pasal 21 karyawan. Selain itu, sebaiknya perusahaan 69
mempunyai staf perpajakan yang benar-benar menguasai tentang perpajakan atau dengan memberikan pelatihan dan pendidikan kepadanya sehingga dapat memperkecil terjadinya kesalahan hitung dalam pengisian SPT 1721 tahun pajak 2005 khususnya pada perhitungan penghasilan bruto. 5. Adanya karyawan yang tidak memberikan data yang sebenarnya mengenai status karyawan tersebut atau status wajib pajak. Sebagai contoh, salah seorang direksi PT BPR WS yang bernama Ahmad yang menjabat sebagai direktur utama dengan status kawin dan memiliki 2 orang anak serta 1 keponakan yang tinggal satu rumah bersamanya. Seharusnya status tanggungannya dalam perhitungan PTKP adalah K/2, tetapi kenyataannya dalam perhitungan PPh pasal 21 terutang, ia memasukkan status tanggungannya menjadi K/3. Berdasarkan Undang-Undang No.17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan pasal 7 ayat 1 (d) menyatakan bahwa tambahan tersebut diberikan kepada setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran dari setiap karyawan perusahaan PT BPR WS akan pentingnya pembayaran dan pelaporan pajak secara benar. Akibat dari adanya kondisi tersebut diatas adalah PTKPnya besar sehingga PKPnya menjadi lebih kecil dan secara otomatis besarnya PPh pasal 21 yang terutang juga menjadi lebih kecil. Hal tersebut memang menguntungkan bagi karyawan tetapi sangat merugikan bagi perusahaan. Karena dengan adanya kondisi tersebut berarti perusahaan telah melakukan penggelapan pajak (tax evasion). 70
Sebaiknya perusahaan menghitung dan mengisi SPT 1721 secara lengkap dan benar sehingga jika suatu saat terjadi pemeriksanaan pajak, perusahaan terhindar dari sanksi-sanksi perpajakan akibat adanya pajak terutang yang tidak atau kurang bayar, akibat menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau menyampaikan keterangan yang isinya tidak benar dan menyebabkan kesalahan hitung, yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang KUP No.16 Tahun 2000 pasal 38 dan 39. Selain itu, sebaiknya karyawan PT BPR WS diberikan pelatihan tentang perpajakan atau setidaknya staf yang menangani pajak setiap awal tahun pajak dapat menanyakan informasi kepada seluruh karyawan tentang ada atau tidaknya perubahan status baik itu pengurangan ataupun penambahan atau perubahan data lainnya untuk setiap karyawan, sehingga tidak terjadi kerugian baik dari sisi karyawan maupun dari sisi perusahaan. Dengan adanya beberapa masalah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa PT BPR WS belum melaksanakan perencanaan pajak secara efektif khususnya untuk PPh Pasal 21 karyawan sehingga hal tersebut sangatlah merugikan, baik bagi karyawan maupun perusahaan itu sendiri.
IV.2 Perhitungan PPh Pasal 21 yang Dilakukan PT BPR WS Sesuai dengan Undang-Undang PPh No.17 Tahun 2000, setiap pemberi kerja wajib untuk melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan atas pajak penghasilannya. Dalam hal ini PT BPR WS telah melaksanakan self assessment system dengan menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang, terhadap PPh pasal 21 karyawannya. PT BPR WS merupakan perusahaan yang memiliki 17 karyawan yang terdiri dari 16 karyawan tetap dan 1 karyawan tetap, yaitu konsultan pajak. 71
Berikut ini merupakan beberapa contoh cara perhitungan PPh pasal 21 karyawan yang dilakukan oleh PT BPR WS pada tahun 2005 sesuai dengan kebijakan pajak yang dijalankan perusahaan, yaitu : 1. Tn. Ahmad merupakan direktur utama PT BPR WS yang berstatus K/3. Ia menerima gaji pokok setahun sebesar Rp 137.960.000 dengan THR sebesar Rp 27.284.250. Di bawah ini merupakan perhitungan PPh pasal 21 Tn. Ahmad, yaitu: Gaji setahun
Rp 137.960.000
THR
Rp 27.284.250
Jumlah penghasilan bruto
Rp 165.244.250
Pengurang: Biaya jabatan 5% x penghasilan bruto (max)
Rp
1.296.000
Jumlah penghasilan neto
Rp 163.948.250
PTKP: Wajib pajak pribadi
Rp 12.000.000
Wajib pajak kawin
Rp 1.200.000
Tanggungan 3
Rp 3.600.000
Jumlah PTKP
Rp.(16.800.000)
PKP
Rp 147.148.250
PPh pasal 21: 5% x Rp 25.000.000
Rp 1.250.000
10% x Rp 25.000.000
Rp 2.500.000
15% x Rp 50.000.000
Rp 7.500.000
25% x Rp 47.148.250
Rp11.787.062,5
Total PPh pasal 21 terutang
Rp. 23.037.000,72
2. Tn. Indra merupakan Kasi. kredit PT BPR WS yang berstatus K/3. Ia menerima gaji pokok setahun sebesar Rp 29.950.000 dengan THR sebesar Rp 5.622.900. Di bawah ini merupakan perhitungan PPh pasal 21 Tn. Indra, yaitu: Gaji setahun
Rp 29.950.000
THR
Rp
Jumlah penghasilan bruto
Rp 35.572.900
5.622.900
Pengurang: Biaya jabatan 5% x penghasilan bruto (max)
Rp
1.296.000
Jumlah penghasilan neto
Rp 34.276.900
PTKP: Wajib pajak pribadi
Rp 12.000.000
Wajib pajak kawin
Rp 1.200.000
Tanggungan 3
Rp 3.600.000
Jumlah PTKP
Rp (16.800.000)
PKP
Rp 17.476.000
PPh pasal 21: 5% x Rp 17.476.000
Rp
Total PPh pasal 21 terutang
873.800 Rp
873.800
3. Tn. Beny merupakan Kasi. Adm. kredit PT BPR WS yang berstatus K/2. Ia menerima gaji pokok setahun sebesar Rp 29.950.000 dengan THR sebesar Rp 5.753.525. Di bawah ini merupakan perhitungan PPh pasal 21 Tn. Beny, yaitu:
73
Gaji setahun
Rp 29.950.000
THR
Rp
Jumlah penghasilan bruto
Rp 35.703.525
5.753.525
Pengurang: Biaya jabatan 5% x penghasilan bruto (max)
Rp
1.296.000
Jumlah penghasilan neto
Rp 34.407.525
PTKP: Wajib pajak pribadi
Rp 12.000.000
Wajib pajak kawin
Rp 1.200.000
Tanggungan 2
Rp 2.400.000
Jumlah PTKP
Rp (15.600.000)
PKP
Rp 18.807.000
PPh pasal 21: 5% x Rp 18.807.000
Rp
Total PPh pasal 21 terutang
940.350 Rp
940.350
4. Tn. Charles merupakan staf kredit PT BPR WS yang berstatus K/3. Ia menerima gaji pokok setahun sebesar Rp 22.740.000 dengan THR sebesar Rp 4.569.450. Di bawah ini merupakan perhitungan PPh pasal 21 Tn. Charles, yaitu: Gaji setahun
Rp 22.740.000
THR
Rp
Jumlah penghasilan bruto
Rp 27.309.450
4.569.450
74
Pengurang: Biaya jabatan 5% x penghasilan bruto (max)
Rp
1.296.000
Jumlah penghasilan neto
Rp 26.013.000
PTKP: Wajib pajak pribadi
Rp 12.000.000
Wajib pajak kawin
Rp 1.200.000
Tanggungan 3
Rp 3.600.000
Jumlah PTKP
Rp (16.800.000)
PKP
Rp 9.213.000
PPh pasal 21: 5% x Rp 9.213.000
Rp
Total PPh pasal 21 terutang
460.650 Rp
460.650
Untuk lebih memudahkan dalam menilai kebijakan PPh pasal 21 yang dijalankan perusahaan secara keseluruhan, maka dibawah ini merupakan tabel ringkasan atas perhitungan PPh pasal 21 untuk semua karyawan PT BPR WS, yaitu:
75
Tabel 4.3 Perhitungan PPh Pasal 21 Karyawan PT BPR WS ( Sesuai dengan kebijakan yang dijalankan perusahaan ) No
Nama
Suherman Ahmad 2 Kartono 3 Indra 4 Beny 5 Charles 6 Soleh 7 Devi 8 Ima 9 10 Fatmawati 11 Riska 12 Indah 13 Johari 14 Komarudin 15 Rika 16 Harjatmo 17 KONSULTAN PAJAK JUMLAH 1
Status
K/3 K/3 K/3 K/3 K/2 K/3 K/3 K/3 K/0 K/0 K/0 K/3 K/3 K/3 K/2 K/3
Penghasilan Bruto (Rp.)
Penghasilan Netto (Rp.)
PKP (Rp.)
75.690.000 74.394.000 57.594.000 165.244.250 163.948.250 147.148.000 106.963.600 105.667.600 88.867.000 35.572.900 34.276.900 17.476.000 35.703.525 34.407.525 18.807.000 27.309.450 26.013.450 9.213.000 27.607.200 26.311.200 9.511.000 24.118.450 22.912.528 6.112.000 27.011.700 25.715.700 13.715.000 26.526.600 25.230.600 13.230.000 22.635.875 21.504.081 9.504.000 19.268.850 18.305.408 1.505.000 18.314.250 17.398.538 598.000 18.232.500 17.320.875 520.000 28.318.550 27.022.550 11.422.000 18.672.500 17.738.875 938.000 7.750.000 7.750.000 684.940.200 658.168.080 413.910.000
PPh PPh Pasal 21 Pasal 21 Terutang Dipotong (Rp.) (Rp.) 4.889.100 1.523.391 23.037.000 7.178.083 9.580.050 2.985.041 873.800 272.267 940.350 293.003 460.650 143.534 475.550 148.176 305.600 95.222 685.750 213.672 661.500 206.116 475.200 148.067 75.250 23.447 29.900 9.317 26.000 8.101 571.100 177.949 46.900 14.614 581.250 581.250 43.714.950 14.021.250
PPh 21 Kurang/ (lebih) Dipotong 3.365.709 15.858.917 6.595.009 601.533 647.347 317.116 327.374 210.378 472.078 455.384 327.133 51.803 20.583 17.899 393.151 32.286 29.693.700
76
Dari ringkasan pada Tabel 4.3 maka dapat disimpulkan beberapa point penting yang terdapat dalam perhitungan PPh Pasal 21 Karyawan PT BPR WS, yaitu: 1. Total PPh pasal 21 tahun 2004 adalah: PPh pasal 21 yang harus dipotong
Rp 43.714.950
PPh pasal 21 yang telah dipotong
Rp (14.021.250)
PPh pasal 21 kurang bayar
Rp 29.063.700
2. Total biaya yang dikeluarkan perusahaan adalah: Take home pay
Rp 684.940.200
PPh pasal 21 yang terutang
Rp
43.714.950
Total biaya
Rp
684.940.200
Rp
684.940.200
3. Total penghasilan yang diterima karyawan adalah: Take home pay
IV.3 Analisa Perhitungan PPh Pasal 21 dengan Perencanaan Pajak Setelah disimpulkan bahwa PT BPR WS belum melaksanakan perencanaan pajak secara efektif khususnya untuk PPh pasal 21, maka di bawah ini merupakan beberapa contoh perhitungan PPh pasal 21 dengan menggunakan tiga alternatif, yaitu perhitungan PPh pasal 21 tanpa pemberian tunjangan (PPh pasal 21 ditanggung perusahaan), perhitungan PPh pasal 21 dengan diberikan tunjangan PPh dan perhitungan PPh pasal 21
77
dengan metode gross up serta ditambah dengan pemberian tunjangan perumahan kepada direktur utama dalam setiap alternatif sebagaimana telah disebutkan dalam saran di atas tadi. Adapaun contoh yang diambil dari 4 karyawan yang terdiri dari direktur utama, Kasi. kredit, Kasi. Adm. kredit dan staf kredit. Dengan perinciannya sebagai berikut: 1. Tn. Ahmad merupakan direktur utama PT BPR WS yang berstatus K/3. Ia menerima gaji pokok setahun sebesar Rp 137.960.000 dengan THR sebesar Rp 27.284.250 serta tunjangan perumahan sebesar Rp 10.999.400. Tabel 4.4 Perhitungan Gross Up
Uraian
Gaji setahun THR Tunjangan perumahan
Tanpa Tunjangan PPh (Rp) 137.960.000 27.284.250 10.999.400
Tunjangan PPh
Gross Up
(Rp) 137.960.000 27.284.250 10.999.400
(Rp) 137.960.000 27.284.250 10.999.400
Tunjangan PPh Jumlah penghasilan bruto Pengurangan: Biaya jabatan
176.243.650
25.786.000 202.029.650
34.382.000 210.625.650
5% x penghasilan Bruto Penghasilan neto setahun
1.296.000 174.947.650
1.296.000 200.733.650
1.296.000 209.329.650
PTKP PKP PKP PPh pasal 21 setahun Tunjangan PPh PPh pasal 21 yang harus dipotong
16.800.000 158.147.000 25.786.000
16.800.000 183.933.000 32.233.000 25.786.000 6.447.000
16.800.000 192.529.000 34.382.000 34.382.000 -
25.786.000
78
Perhitungan PPh pasal 21 setahun: 1. Tanpa tunjangan (PKP Rp 158.147.000) 5% x Rp 25.000.000 = Rp 1.250.000 10% x Rp 25.000.000 = Rp 2.500.000 15% x Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000 25% x Rp 58.147.000 = Rp 14.536.000 Rp 25.786.000 2. Tunjangan PPh (PKP Rp 183.933.000) 5% x Rp 25.000.000 = Rp
1.250.000
10% x Rp 25.000.000 = Rp
2.500.000
15% x Rp 50.000.000 = Rp
7.500.000
25% x Rp 83.933.000 = Rp 20.983.000 Rp 32.233.000 3. Gross up (PKP Rp 192.529.000) 5% x Rp 25.000.000 = Rp
1.250.000
10% x Rp 25.000.000 = Rp
2.500.000
15% x Rp 50.000.000 = Rp
7.500.000
25% x Rp 92.529.000 = Rp 23.132.000 Rp 34.382.000 PTKP Wajib pajak pribadi
Rp 12.000.000
Wajib pajak kawin
Rp 1.200.000
Tanggungan 3
Rp 3.600.000
Total PTKP
Rp 16.800.000 79
Perhitungan tunjangan gross up Pajak = ((158.147.000 x 25%) – 13.750.000) / 0,75 = Rp 34.382.000
2. Tn. Indra merupakan Kasi. Kredit PT BPR WS yang berstatus K/3. Ia menerima gaji pokok setahun sebesar Rp 29.950.000 dengan THR sebesar Rp 5.622.900. Tabel 4.5 Perhitungan Gross Up
Uraian
Gaji setahun THR Tunjangan perumahan
Tanpa Tunjangan PPh (Rp) 29.950.000 5.622.900 -
Tunjangan PPh
Gross Up
(Rp) 29.950.000 5.622.900 -
(Rp) 29.950.000 5.622.900 -
Tunjangan PPh Jumlah penghasilan bruto Pengurangan: Biaya jabatan 5% x penghasilan bruto Penghasilan neto setahun
35.572.900
873.000 36.445.900
919.000 36.491.900
1.296.000 34.276.900
1.296.000 35.149.900
1.296.000 35.195.900
PTKP PKP PKP PPh pasal 21 setahun Tunjangan PPh PPh pasal 21 yang harus dipotong
16.800.000 17.476.000 873.000
16.800.000 18.349.000 917.000 873.000 44.000
16.800.000 18.395.000 919.000 919.000 -
873.000
Perhitungan PPh pasal 21 setahun: 1. Tanpa tunjangan (PKP Rp 17.476.000) 5% x Rp 17.476.000 = Rp 873.000
80
2. Tunjangan PPh (PKP Rp 18.349.000) 5% x Rp 18.349.000 = Rp 917.000 3. Gross up ( PKP Rp 18.395.000) 5% x Rp 18.395.000 =
Rp 919.000
PTKP Wajib pajak pribadi
Rp 12.000.000
Wajib pajak kawin
Rp 1.200.000
Tanggungan 3
Rp 3.600.000
Total PTKP
Rp 16.800.000
Perhitungan tunjangan gross up Pajak = (17.476.000 x 5%) / 0,95 = Rp 919.000.
3. Tn. Beny merupakan Kasi. Adm. Kredit PT BPR WS yang berstatus K/2. Ia menerima gaji pokok setahun sebesar Rp 29.950.000 dengan THR sebesar Rp 5.753.525. Tabel 4.6 Perhitungan Gross Up
Uraian
Gaji setahun THR Tunjangan perumahan Tunjangan PPh Jumlah penghasilan bruto
Tanpa Tunjangan PPh (Rp) 29.950.000 5.753.525 35.703.525
Tunjangan PPh
Gross Up
(Rp) 29.950.000 5.753.525 -
(Rp) 29.950.000 5.753.525 -
940.000 36.643.525
989.000 36.692.525
81
Pengurangan: Biaya jabatan 5% x penghasilan bruto Penghasilan neto setahun PTKP PKP PKP PPh pasal 21 setahun Tunjangan PPh PPh pasal 21 yang harus dipotong
1.296.000 34.407.525
1.296.000 35.347.525
1.296.000 35.396.525
15.600.000 18.807.000 940.000
15.600.000 19.747.000 987.000 940.000 47.000
15.600.000 19.796.000 989.000 989.000 -
940.000
Perhitungan PPh pasal 21 setahun: 1. Tanpa Tunjangan (PKP Rp 18.807.000) 5% x Rp 18.807.000 =
Rp 940.000
2. Tunjangan PPh (PKP Rp 19.747.000) 5% x Rp 19.747.000 =
Rp 987.000
3. Gross Up (PKP Rp 19.796.000) 5% x Rp 19.796.000 =
Rp 989.000
PTKP Wajib pajak pribadi
Rp 12.000.000
Wajib pajak kawin
Rp 1.200.000
Tanggungan 2
Rp 2.400.000
Total PTKP
Rp15.600.000
Perhitungan tunjangan gross up Pajak = (18.807.000 x 5%) / 0,95 = Rp. 989.000.
82
4. Tn. Charles merupakan staf kredit PT BPR WS yang berstatus K/3. Ia menerima gaji pokok setahun sebesar Rp 22.740.000 dengan THR sebesar Rp 4.569.450.
Tabel 4.7 Perhitungan Gross Up
Uraian
Gaji setahun THR Tunjangan perumahan
Tanpa Tunjangan PPh (Rp) 22.740.000 4.569.450 -
Tunjangan PPh
Gross Up
(Rp) 22.740.000 4.569.450 -
(Rp) 22.740.000 4.569.450 -
Tunjangan PPh Jumlah penghasilan bruto Pengurangan: Biaya jabatan 5% x penghasilan bruto Penghasilan neto setahun
27.309.450
460.000 27.769.450
484.000 27.793.450
1.296.000 26.013.450
1.296.000 26.473.450
1.296.000 26.497.450
PTKP PKP PKP PPh pasal 21 setahun Tunjangan PPh PPh pasal 21 yang harus dipotong
16.800.000 9.213.000 460.000
16.800.000 9.673.000 483.000 460.000 23.000
16.800.000 9.697.000 484.000 484.000 -
460.000
Perhitungan PPh Pasal 21 setahun: 1. Tanpa Tunjangan (PKP Rp 9.213.000) 5% x Rp 9.213.000 = Rp 460.000 2. Tunjangan PPh (PKP Rp 9.673.000) 5% x Rp 9.673.000 = Rp 483.000 3. Gross up (PKP Rp 9.697.000) 5% x Rp 9.697.000 = Rp 484.000
83
PTKP Wajib pajak pribadi
Rp 12.000.000
Wajib pajak kawin
Rp 1.200.000
Tanggungan 3
Rp 3.600.000
Total PTKP
Rp 16.800.000
Perhitungan tunjangan gross up Pajak = (9.213.000 x 5%) / 0,95 = Rp 484.000.
Dari keempat contoh di atas dan dari beberapa alternatif yang ada, perbandingan antara gaji yang dibawa pulang (take home pay), biaya komersial, dan fiskal merupakan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam rangka pemilihan alternatif. Di bawah ini adalah suatu ringkasan dari beberapa contoh diatas dengan beberapa alternatif yang ada, yaitu sebagai berikut: Tabel 4.8 Perbandingan Perhitungan Take Home Pay, Biaya Fiskal, Biaya Komersial dan Selisih Antara Keduanya
Uraian
Take Home Pay Gaji THR Tunjangan perumahan
Sesuai Kebijakan yang Dijalankan Perusahaan (Rp) Dibayar Perusahaan
Tanpa Tunjangan PPh (Rp) Dibayar Perusahaan
Tunjangan PPh (Rp)
Gross Up (Rp)
220.600.000 220.600.000 220.600.000 220.600.000 43.230.125 43.230.125 43.230.125 43.230.125 10.999.400 10.999.400 10.999.400
84
Tunjangan PPh Dikurangi: PPh pasal 21 Jumlah Biaya Fiskal Penghasilan bruto Ditambah: Pembelian pakaian seragam Pelatihan karyawan Transport dinas Jumlah
-
-
28.059.000
36.774.000
263.830.125 274.829.525
34.620.000 36.774.000 268.268.525 274.829.525
263.830.125
302.888.525 311.603.525
274.829.525
2.523.750 2.523.750 2.523.750 2.523.750 8.820.000 8.820.000 8.820.000 8.820.000 57.857.000 57.857.000 57.857.000 57.857.000 333.030.875 344.030.275 372.089.275 380.804.275
Biaya Komersial Biaya fiskal Ditambah: PPh pasal 21 Jumlah
25.311.800 28.059.000 358.342.675 372.089.275 372.089.275 380.804.275
Selisih Biaya Fiskal dan Biaya Komersial
25.311.800
333.030.875
344.030.275
372.089.275 380.804.275
28.059.000
-
-
Ikhtisar dari take home pay, biaya fiskal, dan biaya komersial serta selisihnya yang merupakan faktor-faktor penentu pemilihan alternatif dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 4.9 Pemilihan Alternatif
Uraian
Sesuai dengan kebijakan yang dijalankan
Take Home Pay
Biaya
Biaya
( Rp)
Fiskal
Komersial
263.830.125
( Rp) 333.030.875
( Rp) 358.342.675
Selisih Biaya Fiskal dan Biaya Komersial (Rp) 25.311.800
85
perusahaan (tanpa tunjangan perumahan & tunjangan pph ditanggung perusahaan Diberikan tunjangan perumahan (tanpa tunjangan PPh) ditanggung perusahaan Diberikan tunjangan PPh, dan tunjangan perumahan Diberikan tunjangan PPh, (gross up) dan tunjangan perumahan
274.829.525 344.030.275
372.089.275
28.059.000
268.268.525 372.089.275
372.089.275
-
274.829.525 380.804.275
380.804.275
-
Setelah memperhatikan alternatif di atas maka pilihan dijatuhkan kepada alternatif keempat, karena dari sudut pandang karyawan gaji yang dibawa pulang merupakan yang terbesar (Rp 274.829.525), tanpa adanya selisih biaya fiskal dan biaya komersial yang dapat memperbesar jumlah PPh badan. Pada alternatif keempat ini, terdapat penghematan PPh pasal 21 karyawan sebesar Rp 36.774.000 penghematan ini dikarenakan tidak ada lagi pajak yang dipotong dari penghasilan pokok karyawan. Dengan adanya biaya fiskal yang besar akan berdampak kepada laba sebelum pajaknya akan menjadi lebih kecil dan pajak penghasilan terutang pun akan menjadi lebih kecil dan selanjutnya PPh badan akan menjadi lebih kecil pula. Sedangkan pada alternatif kedua yang menunjukkan take home pay yang sama besar dengan alternatif keempat yaitu Rp 274.829.525 tidak dipilih walaupun dari segi karyawan memang menguntungkan. Akan tetapi jika dilihat dari sisi perusahaan pemilihan alternatif ini sangat merugikan sebab adanya selisih antara biaya fiskal dan biaya komersial akibat PPh pasal 21 ditanggung perusahaan sebesar Rp 28.059.000. Selisih terbesar yang terdapat pada alternatif kedua tersebut, disebabkan oleh adanya kenikmatan berupa pajak yang ditanggung pemberi kerja sebesar Rp 28.059.000.
86
Alternatif kedua ini merupakan alternatif yang disarankan untuk tidak digunakan. Hal ini dapat mengakibatkan koreksi fiskal sebesar Rp 28.059.000 yang berarti adanya pertambahan PPh badan sekitar 25% x Rp 28.059.000 = Rp 7.014.750. Alternatif ketiga sebaiknya tidak dilakukan oleh perusahaan karena walaupun selisih biaya fiskal dan biaya komersial tidak ada, akan tetapi gaji yang dibawa pulang karyawan tidaklah maksimal yaitu sebesar Rp 268.268.525. Hal ini sangat merugikan karyawan. Alternatif pertama adalah alternatif yang sekarang dijalankan perusahaan. Hal ini sebaiknya tidak lagi dijalankan oleh perusahaan karena dapat merugikan kedua belah pihak baik itu karyawan maupun perusahaan. Disisi karyawan, gaji yang dibawa pulang merupakan jumlah terkecil dari keempat alternatif diatas yaitu sebesar Rp 263.830.125 dan dari sisi perusahaan terjadi koreksi fiskal sebesar Rp 25.311.800 yang dapat mengakibatkan jumlah PPh badan bertambah besar (25% x Rp 25.311.800 = Rp 6.372.950). Besarnya selisih antara biaya fiskal dan komersial ini diakibatkan karena adanya PPh pasal 21 ditanggung perusahaan sebesar Rp 25.311.800. Untuk lebih memudahkan dalam menilai seberapa besar keseluruhan keuntungan karyawan dan perusahaan dalam menggunakan metode gross up, maka di bawah ini merupakan ringkasan perhitungan PPh pasal 21 atas seluruh karyawan PT BPR WS sesuai dengan peraturan perpajakan, yaitu sebagai berikut:
87
Tabel 4.10 Perhitungan PPh Pasal 21 Karyawan PT BPR WS ( Metode Gross Up ) No
Nama
Suherman Ahmad 2 Kartno 3 Indra 4 Beny 5 Charles 6 Sholeh 7 Devi 8 Ima 9 10 Fatmawati 11 Riska 12 Indah 13 Johari 14 Komarudin 15 Rika 16 Harjatmo 17 KONSULTN PAJAK JUMLAH 1
Status
K/3 K/3 K/3 K/3 K/2 K/3 K/3 K/3 K/0 K/0 K/0 K/3 K/3 K/3 K/2 K/3
Penghasilan Bruto (Rp.)
81.801.000 210.625.650 118.252.000 36.491.900 36.692.525 27.739.450 28.107.200 24.439.450 27.732.700 27.222.600 23.135.875 19.347.850 18.345.250 18.259.500 28.919.550 18.721.500 7.750.000 753.584.000
Penghasilan Netto (Rp.)
80.505.000 209.329.650 116.956.600 35.195.900 35.396.525 26.497.450 26.811.200 23.233.527 26.436.700 25.926.600 22.004.081 18.384.407 17.429.537 17.347.875 27.623.550 17.787.875 726.866.477
PKP (Rp.)
63.705.000 192.529.000 100.156.000 18.395.000 19.796.000 9.697.000 10.011.000 6.433.000 14.436.000 13.926.000 10.004.000 1.584.000 629.000 547.000 12.023.000 987.000 7.750.000 482.608.000
PPh Pasal 21 Terutang (Rp.) 5.805.000 34.382.000 11.289.000 919.000 989.000 484.000 500.000 321.000 721.000 696.000 500.000 79.000 31.000 27.000 601.000 49.000 581.250 57.974.250
Tunjangan PPh PPh PPh Pasal 21 (Gross Up) Dipotong (Rp.) (Rp.) 5.805.000 34.382.000 11.289.000 919.000 989.000 484.000 500.000 321.000 721.000 696.000 500.000 79.000 31.000 27.000 601.000 49.000 57.393.000
581.250 581.250
88
Dari ringkasan perhitungan pada Tabel 4.10 akan kita bandingkan dengan perhitungan yang dijalankan perusahaan sebelumnya, agar terlihat jelas perbedaan sebelum perencanaan pajak dan setelah perencanaan pajak, perhitungannya adalah sebagai berikut: Tabel 4.11 Perbandingan perhitungan Take Home Pay, Biaya Fiskal, Biaya Komersial dan Selisih Antara Keduanya Uraian
Take Home Pay Gaji setahun dan THR Tunjangan perumahan Tunjangan PPh Dikurangi: PPh pasal 21 Jumlah Biaya Fiskal Penghasilan bruto Ditambah: Pembelian pakaian seragam Pelatihan karyawan Transport dinas Jumlah Biaya komersial Biaya fiskal Ditambah: PPh pasal 21 Jumlah Selisih biaya fiskal dan biaya Komersial
Sesuai Kebijakan Yang Dijalankan Perusahaan (Rp) Dibayar Perusahaan
Gross Up (Rp)
684.940.200 -
684.940.200 10.999.400 57.393.000
684.940.200
57.393.000 695.939.600
684.940.200
753.332.600
10.095.000 8.820.000 57.857.000 761.712.200
10.095.000 8.820.000 57.857.000 830.104.600
761.712.200
830.104.600
14.021.250 775.733.450
830.104.600
14.021.250
-
89
Ikhtisar dari take home pay, biaya fiskal dan biaya komersial serta selisihnya merupakan faktor-faktor penentuan pemilihan alternatif yang dapat dilihat dibawah ini : Tabel 4.12 Pemilihan Alternatif
Uraian
Sesuai dengan kebijakan yang dijalankan perusahaan tanpa tunjangan pajak dan tunjangan perumahan Ditanggung perusahaan Diberikan Tunjangan PPh, (gross up) serta tunjangan perumahan
Take Home Pay
Biaya
Biaya
( Rp)
Fiskal
Komersial
( Rp)
( Rp)
Selisih Biaya Fiskal dan Biaya Komersial (Rp)
684.940.200
761.712.200
775.733.450
14.021.250
695.939.600
830.104.600
830.104.600
-
Setelah memperhatikan alternatif di atas maka sudah jelas penggunaan metode gross up sangatlah menguntungkan bagi kedua belah pihak. Dilihat dari sudut pandang karyawan gaji yang dibawa pulang merupakan jumlah yang terbesar Rp 695.939.600 tanpa adanya selisih biaya fiskal dan biaya komersial. Pemilihan alternatif metode gross up ini dapat menghemat PPh pasal 21 karyawan sebesar Rp 57.393.000. Selain itu, adanya kenaikan biaya fiskal sebesar Rp 68.392.400 yaitu dari Rp 761.712.200 menjadi Rp 830.104.600 yang akan berdampak kepada laba sebelum pajaknya menjadi lebih kecil dan selanjutnya PPh badan pun akan menjadi lebih kecil. Oleh karena itu, perusahaan juga akan diuntungkan jika menggunakan metode gross up ini.
90
Kebijakan pajak yang saat ini dijalankan perusahaan sebaiknya tidak lagi digunakan perusahaan karena sangat merugikan kedua belah pihak, baik itu karyawan maupun perusahaan. Di sisi karyawan gaji yang dibawa pulang mereka sangatlah tidak maksimal karena hanya mengandalkan gaji pokok dan THR saja. Selain itu dilihat dari sisi perusahaan terjadi koreksi fiskal sebesar Rp 14.021.250 yang akan mengakibatkan jumlah PPh badan juga akan bertambah besar (25% x Rp14.021.250 = Rp. 3.505.000).
IV.4 Dampak Perencanaan PPh Pasal 21 Terhadap Karyawan dan Perusahaan Beberapa dampak positif baik untuk karyawan maupun perusahaan setelah dilakukan perencanaan pajak PPh Pasal 21 dengan metode gross up yaitu: 1. Adanya penghematan PPh pasal 21 karyawan yang dilakukan perusahaan sebesar Rp 57.393.000. Penghematan disini bukan berarti tidak ada transaksi pembayaran PPh pasal 21 karyawan, akan tetapi penghematan terjadi karena tidak adanya lagi pajak yang dipotong dari penghasilan pokok karyawan. Hal ini terjadi karena perusahaan memberikan tunjangan PPh kepada karyawannya sebesar PPh pasal 21 terutang. Sehingga penghasilan yang diterima karyawan akan maksimal. Besarnya penghematan PPh pasal 21 didapat dari: PPh pasal 21 terutang
Rp 57.393.000
Tunjangan PPh
Rp 57.393.000
PPh pasal 21 dipotong
Rp
-
2. Bertambahnya biaya fiskal perusahaan sebesar Rp 68.392.400 karena adanya pemberian tunjangan PPh (gross up) kepada seluruh karyawan dan tunjangan
91
perumahan bagi direktur utama oleh perusahaan. Bertambahnya biaya fiskal perusahaan tidaklah menguntungkan bagi perusahaan bahkan sangat merugikan karena dapat mengurangi laba perusahaan. Akan tetapi, jika dilihat dari segi fiskal hal ini sangat menguntungkan perusahaan, karena pada saat pembuatan laporan keuangan fiskal perusahaan, biaya ini dapat menambah biaya perusahaan (biaya tersebut dapat dipajaki) menjadi lebih besar sehingga pendapatan perusahaan menjadi lebih kecil, sehingga pembayaran pajak badan PT BPR WS dapat lebih ditekan. Hal tersebut merupakan salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi biaya operasi perusahaan. Karena walaupun terjadi penambahan biaya operasi perusahaan namun disisi lain biaya tersebut dapat mengefisienkan pembayaran pajak badan PT BPR WS sehingga dapat memaksimalkan laba perusahaan. Pertambahan biaya ini boleh mengurangi pendapatan perusahaan karena sesuai dengan Undang-Undang Pajak No.17 Tahun 2000 pasal 6 ayat 1 (a). Besarnya nominal pertambahan biaya fiskal yang dikeluarkan perusahaan setelah perencanaan pajak dapat dilihat dari: Biaya fiskal setelah perencanaan pajak
Rp 830.104.600
Biaya fiskal sebelum perencanaan pajak
Rp 761.712.200
Kenaikan Biaya Fiskal Bagi perusahaan
Rp
68.392.400
2. Bertambahnya penghasilan yang diterima karyawan sebesar Rp 10.999.400. Hal ini sangatlah menguntungkan bagi karyawan dan juga berdampak positif bagi perusahaan, karena dengan adanya penambahan pengahasilan tersebut karyawan
92
akan merasa lebih dihargai sehingga dapat lebih memotivasi lagi dalam bekerja, yang secara otomatis kinerja operasi perusahaan akan semakin meningkat. Perhitungan bertambahnya penghasilan yang diterima karyawan didapat dari: Take home pay after tax plan
Rp 695.939.600
Take home pay before tax plan
Rp 684.940.200
Keuntungan bagi karyawan
Rp 10.999.400
Dengan adanya perbandingan diatas (sebelum perencanaan pajak dan setelah perencanaan pajak) maka dapat dilihat jelas keuntungan bagi kedua belah pihak, khususnya bagi perusahaan, dalam hal ini PT BPR WS dan juga bagi karyawan. Oleh karena itu, perencanaan pajak sangatlah penting dilakukan dalam suatu perusahaan.
93