BAB IV DESKRIPSI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Hasil Penelitian 1. Profil Himpunan Konselor HIV/AIDS Jawa Barat (HiKHA Jabar) a. Sejarah Berdirinya HiKHA Himpunan Konselor HIV/AIDS Jawa Barat pada mulanya bernama Tim VCT Jawa Barat. Lembaga ini didirikan atas prakarsa sejumlah orang yang telah mengikuti pelatihan konseling HIV/AIDS atau Voluntary Counseling and Testing (VCT) dengan standar WHO dari Departemen Kesehatan. Berdasarkan akte notaris No. 101 pada tanggal 29 Juli 2004 Tim VCT Jawa Barat berganti nama menjadi Himpunan Konselor HIV-AIDS Jawa Barat yang kemudian disingkat dengan nama HiKHA Jabar. HiKHA merupakan lembaga independen nonpemerintah, wadah di mana para konselor VCT berhimpun dan membaktikan dirinya kepada masyarakat yang ingin mengetahui status HIV pada dirinya. HiKHA terletak di Jl. Sarimanah II Blok 5 No. 171 Sarijadi Bandung 40151 Jawa Barat Telp/Fax. 022-2019203 e-mail:
[email protected]. Kantor HiKHA berada di sebuah bangunan permanen yang berdiri di atas tanah seluas 90 m2. Bangunan ini memiliki beberapa ruangan, yang terdiri dari ruang tamu, ruang pimpinan dan administrasi, ruang pengolahan data, dan ruang konseling. Bangunan ini terletak di tengah pemukiman masyarakat. Pada awal berdirinya, sempat terjadi penolakan dari masyarakat sekitar yang tidak menghendaki berdirinya sebuah lembaga HIV/AIDS di kawasan tempat tinggal mereka. Masyarakat mengira bahwa HiKHA akan dijadikan tempat rehabilitasi
narkoba atau rumah perawatan bagi para pengidap HIV/AIDS. Nampak sekali adanya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA (orang dengan HIV-AIDS), yang dikarenakan kurangnya pengetahuan dan pemahaman mereka tentang HIV/AIDS. Untuk mengatasi hal tersebut, pimpinan HiKHA mengumpulkan warga dari beberapa RW di sekitar kantor HiKHA, lalu diberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai HIV/AIDS dan apa itu HiKHA. Setelah mendapat penjelasan dan informasi yang benar mengenai HIV/AIDS dan HiKHA, akhirnya masyarakat dapat memahami dan menerima HiKHA di lingkungan mereka. Bahkan ada beberapa orang di sekitar Sarijadi yang datang dan mengikuti layanan konseling di sini. b. Visi, Misi, Motto dan Tujuan HiKHA Jabar Visi dari HiKHA yaitu “Mewujudkan masyarakat Jawa Barat sadar HIV/AIDS” dengan misi sebagai berikut: -
Meningkatkan promosi, sosialisasi, perlindungan dan upaya pencegahan HIV/AIDS
-
Mengembangkan partisipasi masyarakat dan keluarga
untuk mencegah
STIGMATISASI dan DISKRIMINASI terhadap Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) -
Mengupayakan bantuan dan dukungan bagi kelompok yang membutuhkan Slogan dan motto HiKHA adalah “Menguak Gunung ES dan Memerangi
Stigma”. Seperti sering dikatakan bahwa angka/jumlah kasus HIV/AIDS yang ada pada saat ini merupakan puncak gunung es saja, dan jumlah tersebut hanya 1/100 dari jumlah keseluruhan. Angka-angka yang ada pada saat ini adalah hasil sero
survey sehingga hanya merupakan suatu besaran prevalensi kejadian di suatu kelompok sasaran. Sifatnya unlink-anonymous, artinya tak ada link atau kaitan dan tak ada nama. Oleh sebab itu tes semacam ini bukanlah tes diagnostik karena tidak diketahui siapa orang-orang di balik setiap angka tersebut. Untuk mengetahui orang-orang yang berada di balik setiap angka tersebut, maka dilakukanlah VCT melalui kegiatan para konselor VCT. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai oleh HiKHA adalah: 1) Menyediakan layanan konseling dan dukungan bagi individu yang membutuhkan 2) Memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi ODHA
c. Struktur Organisasi dan Personil HiKHA Saat ini HiKHA diketuai oleh Kuswara Sonkka, namun untuk pelaksanaan program dipimpin oleh seorang Direktur Program, yaitu Ibu Sri Judaningsih yang juga sekaligus sebagai penggagas dan pendiri HiKHA. Selain itu terdapat koordinator konselor, petugas finance dan administrasi, manajer data, janitor, 8 orang konselor, dan 8 orang relawan. Mereka tersebar di berbagai lembaga, baik LSM maupun institusi pemerintah dan swasta serta dapat memberikan pelayanan VCT ketika sewaktu-waktu diperlukan baik oleh klien maupun oleh organisasi (HiKHA). Struktur organisasi dan personil HiKHA dapat digambarkan sebagai berikut.
STRUKTUR ORGANISASI, PEMBINAAN PERSONIL DAN ADMINISTRASI KEUANGAN PROGRAM HiKHA JABAR Direktur Program
Koordinator Konselor
Finance & Administrasi
Janitor
Manajer Data
Konselor
Relawan
Keterangan: Garis pembinaan teknis Garis koordinasi Garis pelaporan Garis feedback
Bagan 4.1 Struktur Organisasi HiKHA Adapun personil HiKHA Jabar yang terlibat dengan program dan masuk dalam struktur di atas dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 4.1 Daftar Personil HiKHA No
Nama
Jabatan
1
Sri Judaningsih
Direktur Program
2
Ners. Walter, S.Kep
Koordinator Konselor
3
Ira
Finance & Administrasi
4
Asep Mardianto
Manajer Data
5
Hendrawan
Janitor
6
Budi Widiyanto, Drs
Konselor
7
Rudiyanto, Am.K
Konselor
8
Citra Mei Lany, SHI
Konselor
9
Dina Pugar, dr
Konselor
10
Kiki Alimudin
Konselor
11
R. Dedy Kurniawan, SH
Konselor
12
Ragil Pardiantoro
Konselor
13
Martin Budi Kurniawan
Konselor
14
Aji
Relawan
15
Wyl Syarief
Relawan
16
Dade
Relawan
17
Ukis
Relawan
18
Chandra
Relawan
19
Norman
Relawan
20
Romi
Relawan
21
Kifli
Relawan
2. Program Kegiatan HiKHA merupakan lembaga yang peduli dan bergerak dalam bidang pencegahan HIV/AIDS dan dukungan terhadap ODHA. Oleh karena itu setiap program kegiatan yang dijalankan selalu mengacu pada visi, misi, dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan atas visi, misi dan tujuan yang ingin dicapai, maka dikembangkanlah strategi dan kegiatan sebagai berikut. Strategi 1 : Meningkatkan kemampuan pengelola dan pelaksana kegiatan (Capacity Building). Yang dijabarkan ke dalam kegiatan: a. Advokasi kepada penentu dan pembuat kebijakan
b. Seminar dan diskusi dengan para mitra c. Pelatihan dan orientasi tentang pencegahan penularan HIV dan VCT Strategi 2 : Pemberdayaan masyarakat (Community Development), yang dijabarkan ke dalam kegiatan: a. Diskusi kelompok dan melaksanakan kegiatan dengan pemuka agama dan masyarakat b. KIE (Komunikasi, Edukasi, dan Informasi) kepada masyarakat dan kelompok beresiko tinggi c. Mengembangkan media KIE Strategi 3 : Pelayanan ODHA (Facilitation), yang dijabarkan ke dalam kegiatan: a. Memberikan konseling kepada orang yang membutuhkan (sebelum dan sesudah tes HIV) b. Melayani orang yang ingin mendapatkan tes HIV (ke laboratorium) c. Menyediakan support kepada ODHA melalui pelayanan psikologi, pengobatan, kesejahteraan sosial, dan lain-lain Strategi 4 : Pengkajian. Dalam strategi ini HiKHA mengumpulkan dan memproses data mengenai kasus HIV/AIDS serta data pendukung lainnya. Khusus
yang
berkenaan
dengan
konseling
HIV/AIDS,
HiKHA
mempunyai program yang disebut dengan ASA (Aksi Stop AIDS). Di dalamnya terdapat layanan konseling dan testing sukarela HIV/AIDS atau disebut juga Voluntary Counseling and Testing (VCT). Program ini bekerja sama dengan sejumlah lembaga dan institusi dari luar maupun dalam negeri, antara lain dengan FHI (Family Health International) sebagai lembaga donor, KPA (Komisi
Penanggulangan AIDS) Kota Bandung, RS Hasan Sadikin, RS Umum Bungsu, RSUD Kota Bandung, RS Muhammadiyah Bandung, RS Al-Islam, Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Cibadak, Yayasan bahtera, Yayasan Grapiks, Yayasan Abiasa, 25 Messengers, Puskesmas Rancaekek, Puskesmas Jatinangor. Layanan konseling VCT ditempuh melalui dua jalan, yaitu pelayanan statis dan pelayanan keliling (mobile VCT). Dalam pelayanan statis, konselor HiKHA melayani klien di tempat tugasnya masing-masing, yakni di kantor HiKHA itu sendiri, di beberapa rumah sakit di kota Bandung, beberapa puskesmas klinik kesehatan dan yayasan. Dalam hal ini, konselor hanya menunggu klien yang datang untuk melaksanakan konseling. Adapun bagi klien yang sulit atau kurang memiliki kesadaran untuk konseling dan tes HIV, HiKHA melayaninya melalui mobile VCT. Di sini konselorlah yang mendatangi calon klien. Biasanya yang menjadi sasaran untuk mobile VCT adalah orang-orang yang beresiko tinggi terkena HIV, seperti para pengguna narkoba suntik (Injecting Drug User/IDU) dan penjaja seks komersial (PSK), atau bisa juga atas permintaan masyarakat maupun lembaga tertentu yang diduga anggotanya memiliki resiko terkena HIV. Dalam pelayanan ini tim terdiri atas konselor dan phlebotomist (pengambil darah) yang akan mendatangi kelompok sasaran. Layanan mobile VCT ini biasanya didahului oleh penyuluhan atau KIE (Komunikasi, Edukasi, dan Informasi) tentang HIV/AIDS dan VCT secara berkelompok. Setelah itu, bagi anggota kelompok yang berminat dapat mengikuti konseling dan selanjutnya tes HIV secara sukarela dan atas kesadarannya sendiri.
Selain melaksanakan konseling, secara periodik juga diadakan pertemuan antar anggota dengan agenda utama case conference. Dalam konferensi kasus ini, para konselor berbagi pengalaman dalam menangani berbagai macam kasus dan berbagi isu-isu terbaru dalam bidang konseling dan HIV/AIDS, juga untuk mengurangi kejenuhan dalam pekerjaan sehari-hari.
3. Gambaran Umum Layanan Konseling HIV/AIDS di HiKHA Jabar VCT (Voluntary Counseling and Testing) dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai Konseling dan Tes Sukarela (KTS). VCT dapat didefinisikan sebagai dialog yang bersifat sukarela dan konfidensial antara klien dan konselor dengan tujuan untuk membuat klien mampu mengambil keputusan-keputusan pribadi yang berkaitan dengan HIV/AIDS. Dalam konseling VCT konselor menawarkan berbagai alternatif dan pilihan dan klien dibiarkan untuk menentukan sendiri keputusan yang terbaik bagi dirinya, namun konselor juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan informasi dan penilaian diri atas klien. Di sini konselor berusaha menjadikan klien mandiri dan bertanggungjawab atas pilihan yang dia pilih. Pada prinsipnya, VCT atau KTS adalah gabungan dari dua kegiatan yaitu konseling dan tes HIV. Konseling dilakukan sebelum dan sesudah tes darah untuk HIV di laboratorium, sedangkan tes HIV dilakukan setelah klien memahami benar tentang HIV/AIDS melalui penjelasan yang benar dan lengkap dalam konseling yang diakhiri dengan penandatanganan lembar persetujuan (Informed consent). Tujuan yang ingin dicapai oleh VCT secara umum adalah mencegah penularan HIV/AIDS. Secara spesifik adalah membuka pintu pertama bagi orang
untuk mendapatkan pelayanan dan perawatan HIV/AIDS dan terjadinya perubahan perilaku ke arah yang positif. Langkah-langkah dalam VCT dibagi kepada tiga tahap, yaitu: konseling pre-tes, tes HIV dan konseling post tes. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap direktur program dan beberapa konselor, proses dari tiap tahapan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Konseling Pre-tes, dilakukan sebelum seseorang mendapatkan layanan tes HIV. Melalui konseling ini konselor membantu klien menggali faktor resiko dan mendiskusikan tentang alasan untuk melakukan tes HIV, memberikan informasi tentang HIV/AIDS yang benar dan jelas, informasi tentang prosedur tes HIV, mulai dari pengambilan darah, tempat, pembacaan hasil dan artinya. Setelah klien mendapat informasi yang jelas dan memahaminya, klien sendiri yang memutuskan apakah dia akan mengikuti tes HIV atau tidak. Bila klien memutuskan
secara
sukarela
untuk
melakukan
tes
HIV,
maka
klien
menandatangani lembar persetujuan (Informed consent). Namun bila klien memutuskan untuk tidak atau belum siap untuk dites HIV, maka konselor tidak bisa memaksa dan bila perlu dapat dilakukan sesi konseling berikutnya sesuai kesepakatan klien dan konselor. Selain itu juga diberikan penguatan dan penekanan pada perubahan perilaku klien. Pada intinya, dalam konseling VCT ini, pengambilan keputusan sepenuhnya ada di tangan klien. Peran konselor hanya memfasilitasi, memberikan informasi, dan mengarahkan. Tes HIV. Setelah klien mendapat informasi yang jelas dan memahaminya kemudian secara sukarela ingin melakukan tes HIV, maka klien menandatangani lembar persetujuan (Informed consent). Pengambilan darah dilakukan jika klien
secara sukarela memutuskan untuk dites HIV. Di laboratorium serum darah tersebut akan diperiksa dan untuk mengetahui hasilnya, akan dibuka dan diberitahukan pada konseling post-tes. Konseling post tes, bertujuan memberikan dukungan sesuai dengan hasil tes klien. Di sini ada penguatan lagi, tapi presentasi terbesarnya lebih ke psikologis, karena di sinilah penentuan antara klien itu positif atau negatif. Jadi lebih ke penguatan psikologis. Apabila hasilnya positif, berarti dukungannya lebih ke upaya penanganan lanjut dari hasil tes HIV, misalnya apa yang akan dilakukan, ke depannya seperti apa, klien akan terbuka atau tidak, dan hidup yang akan dijalani seperti apa. Di luar itu adalah merujuk ke pengobatan dan perawatan, mengatur pola hidup, serta tes lanjutan apakah klien harus menjalani tes-tes lainnya atau apakah tesnya perlu diulang. Sedangkan bila hasilnya negatif, konselor membantu mengingatkan klien untuk tetap berhati-hati dan menjaga perilakunya yang sudah baik atau klien bisa dianjurkan untuk mengulang tes 6 bulan kemudian atau melakukan tes setelah masa jendela (window period)-nya lewat. Setelah post tes ada lagi konseling lanjutan yang disesuaikan dengan kebutuhan klien. Apabila bila klien itu sudah berkeluarga, maka dapat dilanjutkan dengan konseling pasangan, konseling keluarga, dan konseling anak. Waktu yang diperlukan untuk tiap sesi konseling itu relatif, biasanya berlangsung antara 30-45 menit. Bila sudah lebih dari 45 menit dianjurkan untuk menghentikan sesi konseling dan dilanjutkan pada waktu lain. Hal ini dikarenakan bisa terjadi kejenuhan baik dari klien maupun konselor dan jalannya konseling sudah tidak fokus lagi. Intensitas pertemuan konseling juga berbeda tergantung
pada respons dan kondisi klien. Apabila klien sudah memiliki cukup informasi, khususnya mengenai HIV/AIDS dan VCT biasanya waktu yang dibutuhkan lebih singkat, tapi kalau klien itu belum cukup memiliki informasi atau takut dan cemas karena pernah melakukan perilaku beresiko itu akan membutuhkan waktu lebih lama. Setelah klien mengikuti semua tahapan VCT, klien dengan hasil positif kemudian dirujuk ke MK (manajer kasus) atau didampingi oleh buddies. Manajer kasus berperan dalam membantu dan memenej kebutuhan klien, seperti pengobatan dan perawatan, tes-tes lanjutan, kelompok dukungan, layanan kesejahteraan sosial, dan lain-lain. Sebelum melakukan VCT, HiKHA mempersiapkan masyarakat melalui kegiatan KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi). KIE yang dilakukan ditujukan kepada: -
Masyarakat atau keluarga yang dimaksudkan sebagai sasaran antara. Biasanya berisi materi yang lebih umum tentang HIV/AIDS dan bertujuan untuk mencegah stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.
-
Sasaran langsung, yaitu kelompok yang beresiko tinggi terkena HIV, misalnya: pekerja seks komersial (PSK), pengguna narkoba suntik (Injecting Drug User), ibu hamil dengan suami beresiko, orang dengan tanda-tanda infeksi opportunistik, petugas medis yang terkena pajanan okupasional, dan anak yang orang tuanya HIV positif. Untuk sasaran langsung ini biasanya diberikan KIE dengan materi bahasan yang lebih khusus dan mendalam tentang HIV dan VCT dengan intensitas lebih banyak.
Ketika kelompok masyarakat tersebut sudah mencapai pengetahuan yang cukup, diharapkan berkembang sikap yang lebih suportif dan mempraktekkan sikap memerangi stigma dan diskriminasi, serta mendorong keluarga atau kelompok yang beresiko untuk mengikuti layanan VCT. Kegiatan VCT maupun KIE saling berkaitan dan mendukung satu sama lain. Konseling yang dilakukan akan berjalan lebih mudah bila didahului dengan KIE sehingga klien sudah memperoleh informasi dasar mengenai HIV/AIDS dan VCT. Alur dari kegiatan KIE dan VCT dapat digambarkan sebagai berikut:
KIE Massa
Keluarga Cari Pelayanan
KIE Kelompok
Sasaran
Konseling Pra Testing Konselor
Tes HIV Laboratorium
Konseling Pasca Testing Konselor
Negatif
Positif
Manajer Kasus
6 bulan ARV
KB
Konseling ulang untuk tes Perawatan
Budding Psikologis Bagan 4.2 Alur kegiatan KIE dan VCT
Untuk
pelaksanaan
konseling,
diperlukan
fasilitas-fasilitas
yang
menunjang. HiKHA sendiri memiliki fasilitas pendukung untuk menunjang konseling, seperti adanya ruangan khusus untuk konseling dan media-media penunjang lainnya. Ruang konseling yang ada di HiKHA cukup nyaman dan terjaga privasinya, di dalamnya terdapat sofa yang nyaman, karpet, pendingin ruangan, tisu, air minum dan media-media KIE, seperti brosur, poster, leaflet, flyer dan buku-buku mengenai HIV/AIDS serta alat peraga seperti dildo, kondom, dll. Selain di HiKHA, ruang konseling juga terdapat di tempat-tempat lain yang menjadi mitra HiKHA, seperti di rumah sakit, klinik, maupun yayasan.
4. Langkah-langkah Konseling Langkah-langkah dalam konseling dimulai pada saat penerimaan klien oleh konselor. Klien biasanya datang sendiri ke konselor atau dirujuk oleh petugas penjangkauan (outreach) dan bisa juga konselor yang menjemput bola dengan mendatangi klien. Langkah-langkah konseling secara umum dapat diuraikan sebagai berikut. Menjalin hubungan. Konselor menciptakan suasana yang membuat klien merasa santai, tidak takut, merasa aman, dan bebas mengungkapkan perasaan dan pertanyaan yang ada dalam hatinya untuk didiskusikan. Hal ini bisa dicapai dengan jalan: a. Konselor memperkenalkan diri (bisa menjabat tangan, merangkul atau menepuk pundak klien). b. Konselor memberitahukan aturan sebelum percakapan dimulai, misalnya soal waktu, kerahasiaan, maksud dan tujuan percakapan.
c. Konselor bisa berbasa-basi sejenak misalnya menanyakan kabar, keluarga, anak, dan lain sebagainya. d. Memulai pertanyaan inti seperti berikut: “Apa yang membawa anda datang ke sini?”; “Apa yang ingin anda sampaikan/bahas?” Selama proses ini konselor harus bisa mendengarkan keluhan klien dengan penuh perhatian, menghargai klien sebagai sesama manusia, tidak menilai maupun menghakimi, memberi dorongan agar klien dapat berbicara terbuka, dan menunjukkan ekspresi tubuh/wajah yang mengungkapkan minat dan kepedulian. Eksplorasi. Konselor berusaha mengetahui secara mendalam tentang perasaan klien, situasi klien, faktor resiko yang ada dalam diri klien, dan alasannya datang untuk meminta bantuan. Pemahaman. Konselor membantu klien mengidentifikasi masalah dan penyebab masalah, serta membantu klien merancang alternatif pemecahan masalah. Langkah awal konselor harus mengetahui apakah benar ada masalah yang dirasakan oleh klien. Biarkan klien yang menceritakan dan merumuskan, baru konselor melanjutkan untuk menggali apakah masalah ada pada diri klien sendiri atau orang lain (yang terkait dengan klien). Perencanaan kegiatan. Dalam langkah ini, klien membuat rencana untuk mengatasi masalahnya. Konselor membantu klien untuk mengetahui dan memahami pilihannya. Konselor dapat mencapai tujuan ini dengan cara: a. Menentukan prioritas masalah yang hendak diatasi terlebih dahulu. b. Meyakinkan keputusannya.
kesiapan
klien
lebih
dahulu
sebelum
melaksanakan
c. Merencanakan beberapa alternatif pemecahan masalah, mendiskusikan keuntungan dan kendala dari setiap pilihan. d. Memberitahukan fakta-fakta yang relevan. e. Mendorong klien untuk mengambil keputusan sendiri, apabila klien ragu-ragu ajukan saran-saran yang dibutuhkan. f. Membantu klien membuat rencana yang dapat dijalankan sesuai kemampuan klien. g. Meninjau dan membahas setiap bagian rencana bersama-sama. Adapun langkah-langkah yang lebih khusus yang dilakukan pada saat konseling pre tes dan post tes dapat diuraikan sebagai berikut. a. Konseling Pre Tes 1) Menjalin hubungan. 2) Menilai resiko penularan HIV. Konselor menggali alasan mengapa klien ingin melakukan tes, menggali informasi yang berkaitan dengan perilaku beresiko HIV, misalnya perilaku seksual, jarum suntuk, transfusi darah, terpapar tato/tindik, dan mengulas riwayat kesehatan klien minimal 5 bulan terakhir. 3) Memberi informasi umum tentang HIV/AIDS dan tes HIV. 4) Memberi informasi tentang pengobatan yang tersedia. 5) Memberi informasi tentang masa jendela (window period), konselor menekankan kemungkinan kapan klien terpapar HIV, dan kapan sebaiknya tes dilakukan. 6) Memberi informasi tentang resiko penurunan HIV, misalnya penggunaan kondom, monogami, abstinensia, sterilisasi, dll.
7) Memberitahu kepada pasangan atau orang tua seandainya hasil tes positif. 8) Mengatur strategi dalam menghadapi tes HIV. 9) Menghimbau klien untuk konseling ulang. b. Konseling Post Tes (hasil tes negatif) 1) Mengembangkan hubungan dengan klien terutama untuk mengecek status mental dan kesiapan klien. 2) Membacakan hasil tes. Konselor membacakan dengan nada datar, tidak menambah komentar, tidak menunjukkan ekspresi muka tertentu, dan tidak tergesa-gesa. Selanjutnya tunggu reaksi klien dengan cara berdiam diri kurang lebih selama 15-30 detik. 3) Integrasi hasil tes, meliputi integrasi kognitif, maksudnya mengetahui pemahaman klien tentang masalah HIV sehubungan dengan hasil tesnya; integrasi emosional, yaitu memahami pengaruh hasil tes terhadap kehidupan emosional klien; dan integrasi perilaku, yaitu memahami rencana perilaku setelah hasil tes diterima. 4) Penilaian kebutuhan tes ulang dan menjaga kemungkinan untuk tetap negatif.
c. Konseling Post Tes (hasil tes positif) Konseling post tes HIV dengan hasil positif mempunyai tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Diperlukan keterampilan khusus dalam menangani klien dengan hasil tes positif, terutama pada awal klien mengetahui dirinya positif dimana reaksinya bisa sangat tidak terduga. Langkah-langkah dalam konseling post tes dengan hasil positif adalah:
1) Menjalin hubungan. 2) Membacakan hasil tes, seperti halnya pada konseling dengan hasil tes negatif. 3) Integrasi hasil tes, yang meliputi integrasi kognitif; integrasi emosional; integrasi perilaku; integrasi interpersonal, yaitu membahas dengan klien tentang potensi dampak yang akan terjadi bila hasil tes diberitahukan kepada orang lain dan membantu klien mengembangkan rencana untuk meningkatkan dukungan serta mengurangi dampak negatif terhadap diri klien; dan tindak lanjut medis, konselor menjelaskan bahwa hasil positif tidak selalu disertai dengan gejala sehingga tidak perlu pengobatan dan memberi pemahaman bahwa infeksi HIV tidak membunuh segera dan ada berbagai alternatif terapi untuk menghadapinya. 4) Harapan, advokasi dan pemberdayaan. Di sini konselor memberikan pernyataan secara konsisten dan realisitis tentang adanya harapan disertai dengan bukti-bukti yang mendukung, memfokuskan pada masalah kualitas hidup dan mendorong klien agar berpartisipasi aktif untuk meningkatkan status kesehatannya. 5) Identifikasi sumber rujukan yang memadai. Konselor membantu klien dalam mengidentifikasi kebutuhan dukungan, seperti kelompok dukungan, terapi individual, intervensi krisis, layanan media, informasi terapi alternatif, rehabilitasi pengguna narkoba, layanan hukum, sosial, psikologis, dan spiritual, serta program-program lainnya.
5. Prinsip-prinsip Konseling VCT Dasar dari kegiatan VCT adalah salah satu hasil summit meeting WHO pada tahun 1987 di mana untuk menghormati hak asasi manusia, maka test HIV tidak boleh lagi dilakukan secara “mandatory” atau paksaan/perintah, namun harus dilakukan atas dasar kesukarelaan orang yang ingin dites. Dalam pelaksanaan konseling dan tes HIV (VCT) ada beberapa hal yang tidak boleh dilanggar atau sejumlah hal-hal prinsip yang mendasarinya. Prinsip yang dianut dalam pelayanan VCT adalah: a. Kesukarelaan. Dalam hal ini klien melakukan VCT berdasarkan kesadaran dan keinginan pribadi bukan atas paksaan ataupun perintah. b. Kerahasiaan
atau
konfidensialitas.
Hal
ini
menegaskan
terjaminnya
kerahasiaan proses dan hasil tes yang diketahui hanya oleh klien dan konselor, serta orang lain yang dikehendaki oleh klien. c. Melalui konseling. VCT tidak boleh dilakukan tanpa konseling atau dilakukan secara diam-diam. d. Persetujuan. Harus diadakan persetujuan antara klien dan konselor dalam bentuk “Lembar Persetujuan” (Informed consent). Walaupun sifatnya sukarela, namun adakalanya dilakukan pula intervensi, terutama pada klien yang keras kepala tidak mau dites dan merubah perilakunya, sementara dia sudah jelas-jelas beresiko tinggi dan berpotensi pula menularkannya ke orang lain. Misalnya pengguna narkoba atau junkie yang hasil tesnya positif lalu menikah dan tidak memberitahu pasangannya, konfidensialitasnya terkadang dikesampingkan. Walaupun secara kode etik tidak boleh dilakukan dan banyak pihak yang menolak, tapi hal ini menyangkut keselamatan dan kesehatan individu
dan terlebih lagi dia bisa membahayakan orang lain. Seperti yang dikatakan oleh salah satu konselor (DK) dalam petikan wawancara berikut ini. Tapi kadang walaupun sifatnya sukarela, tapi kalau ada junkie yang dia tambeng ga mau dites, sementara dia sudah punya anak istri, ya ada baiknya juga intervensi. Tapi itu secara umum banyak yang nolak. Kalau saya pribadi sih yang lebih hapal tentang psikologi junkie itu seperti apa, soal konfidensialitas yang harus dijaga, kalau dia (klien) itu positif lalu menikah dan tidak memberitahu pasangannya, konfidensialitasnya kita kesampingkan mau tidak mau. Walaupun secara kode etik tidak boleh, tapi gimana lagi, inikan menyangkut keselamatan dan kesehatan individu dan terlebih lagi dia bisa membahayakan orang lain. (Wawancara, 21 Januari 2008). Adapun prinsip-prinsip lain dalam konseling VCT tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip konseling pada umumnya, yaitu: Mendengarkan. Ini berbarti konselor harus diam beberapa saat dan biarkan percakapan mengalir sehingga klien lebih banyak berbicara dibandingkan konselor. Bertanya dengan pertanyaan yang baik. Ini merupakan suatu cara agar klien bisa melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda dan membantu konsleor untuk memahami situasi. Dalam hal ini konselor harus mendengarkan setiap kata dan perasaan yang ada di balik kata-kata tersebut. Memberikan informasi yang tepat. Dalam hal ini konselor memberikan informasi yang benar dengan bahasa yang mudah dipahami oleh klien, juga meluruskan informasi yang keliru, antara mitos dan fakta. Menjaga kepercayaan klien. Konselor harus menjaga informasi tentang klien sehingga klien merasa bahwa rahasianya tidak terbuka kepada pihak lain dan klien dapat secara bebas dan terbuka menceritakan semua permasalahannya termasuk hal-hal yang peribadi sekalipun.
Perasaan tidak nyaman dan ketakutan. Dalam situasi tertentu, konselor pun kadang-kadang merasa membutuhkan pertolongan untuk mengatasi perasaannya dalam menghadapi klien. Misalnya ketika menghadapi klien dengan karakteristik yang agak sulit atau terjadi keterlibatan emosi yang terlalu dalam dengan klien. Hal-hal seperti dapat mengganggu proses konseling dan terkadang konselor tidak bisa berfikir obyektif. Bila hal ini terjadi, konselor dapt menghentikan proses konseling dan dilanjutkan di lain waktu atau dapat merujuk/mereferal klien ke konselor yang lain. Memilih tempat konseling yang cocok. Di manapun konselor memberikan konseling, hendaknya selalu memperhatikan hal-hal seperti kenyamanan, aman dari gangguan fisik (bising, sempit, gelap), terjaga privasinya, ada alat peraga dan media KIE lainnya, serta menyesuaikan dengan keadaan ekonomi dan nilai budaya.
6. Konselor dalam Konseling VCT Konseling dilakukan oleh seorang konselor khusus yang telah dilatih untuk memberikan konseling VCT. Tidak semua konselor bisa dan boleh memberikan konseling VCT. Oleh karena itu seorang konselor VCT adalah orang yang telah mendapat pelatihan khusus dengan standar pelatihan nasional. Untuk latar belakang belakang pendidikan formal, saat ini masih belum ada patokan yang pasti dari jurusan atau program studi apa, minimal dia memiliki ijazah SMA atau sekarang bisa dibatasi menjadi D3. Namun yang pasti seseorang yang ingin menjadi konselor VCT harus mendapatkan sertifikat sebagai konselor VCT yang diperoleh melalui pelatihan konseling VCT dengan standar WHO.
Ada 4 jenis konselor yang kompeten memberikan layanan konseling berdasarkan model implementasi dan strategi untuk meningkatkan layanan VCT (Pertemuan Harare, Zimbabwe, 2001), yaitu: a. Konselor sebaya (Peer Counsellor), adalah konselor yang mempunyai latar belakang sama dengan klien (termasuk ODHA). Misalnya, mantan pengguna NAPZA yang bertugas sebagai konselor penjangkauan, ibu-ibu membantu konseling
pada
PMTCT
(Preventive
Mother
To
Child
Transmision/Pencegahan Penularan Dari Ibu Ke Anak), konselor di tempat kerja dan konselor bagi remaja sebaya. b. Konselor awam (Lay Counsellor), adalah konselor yang melakukan konseling pre dan post tes, serta konseling lanjutan pada kasus yang biasa tanpa komplikasi. c. Konselor professional (Professional Counsellor), adalah konselor dengan latar belakang tertentu seperti dokter, psikolog, pekerja social, perawat, dll. Konselor ini dapat melakukan konseling pre dan post tes, konseling pasangan, konseling lanjutan dan dukungan konseling bagi konselor awam dan sebaya. d. Konselor senior (Senior Counsellor), adalah konselor berpengalaman serta memiliki pendidikan konseling dan psikoterapi. Tugasnya memberikan dukungan dan supervise bagi konselor lainnya, membimbing peran pembimbingan, pelatihan kader konselor, menerima rujukan kasus-kasus kompleks dan sulit, serta memfasilitasi kelompok-kelompok dukungan jika diperlukan. Seorang konselor VCT harus memiliki pengetahuan dan keterampilan khususnya dalam melakukan teknik-teknik mikro konseling, seperti melakukan
percakapan dan komunikasi yang efektif, ditambah lagi dengan wawasan yang luas dalam bidang HIV/AIDS. Selain itu juga harus memiliki kualitas pribadi yang baik yang akan mendukung kelancaran dan keberhasilan proses konseling. Berdasarkan wawancara dengan beberapa konselor VCT, ada beberapa sifat dan sikap yang harus dimiliki oleh konselor VCT, antara lain bersikap pro aktif tapi tidak reaktif. Artinya konselor membimbing orang untuk mengambil suatu keputusan untuk menjalani tes namun tidak boleh memaksa, jadi lebih bersifat informatif dan bisa menjadi tempat mereka bertanya, namun sebelum itu harus bisa membuat klien merasa nyaman dan menaruh kepercayaan kepada konselor (Wawancara, 21 Januari 2008). Selain itu konselor juga harus bisa berfikir jernih dan bersikap obyektif. Artinya tidak melibatkan emosi terlalu dalam dan mengesampingkan teori. Karena ada pula konselor yang berasal dari kalangan ODHA atau IDU kadang bersikap tidak obyektif dan mengedepankan pengalaman yang pernah dia alami sedangkan teori dikesampingkan. Menurut salah satu konselor (DK) kualifikasi yang terpenting dari seorang konselor VCT itu dia harus punya banyak waktu dan bertanggungjawab, karena konselor VCT itu bisa jadi profesi seumur hidup. Pada dasarnya, konselor VCT di HiKHA hanya bertugas untuk melakukan konseling pra dan pasca testing serta konseling lanjutan pada kasus-kasus tanpa komplikasi. Namun dalam kenyataannya, konselor HiKHA hampir semuanya seringkali melakukan tugas seperti hanya professional konselor, seperti melakukan konseling lanjutan, pasangan, dan keluarga. Tidak jarang “terpaksa” bertindak sebagai PMO (Pendamping Makan Obat/ARV) dan kadang-kadang seperti MK (Manajer Kasus), yakni menjadi jembatan antara klien dengan dokter
atau akses kesehatan. Akan tetapi dalam melakukan tugasnya, ada hal-hal yang harus diperhatikan oleh konselor, yaitu: -
Tidak memasuki wilayah peran dan tugas petugas medis
-
Tidak melakukan tugas laboratorium
-
Tidak memaksa klien melakukan testing Sebenarnya tugas konselor hanyalah melaksanakan konseling pra dan
pasca testing, setelah itu klien dirujuk ke MK (Manajer Kasus). MK akan membantu klien untuk memenuhi hal-hal yang dibutuhkannya, antara lain: pendampingan oleh buddies, mengatasi masalah kesehatan oleh dokter dan pendampingan makan obat ARV (Anti Retroviral) oleh PMO (Pendamping Makan Obat). Namun dalam kenyataannya klien lebih senang didampingi oleh konselor sehingga tugas konselor bertambah dengan kegiatan PMO, kunjungan ke RS atau rumah bagi klien yang sakit, sebagai mediator klien dengan dokter, mendengarkan keluhan klien kapan saja, membantu klien untuk membuka status pada keluarga atau pasangan, bahkan mencarikan pengurus jenazah ketika klien meninggal. HIV/AIDS merupakan isu yang sarat dengan muatan emosi dan kepekaan klien
yang
tinggi.
Seringkali
karena
keterbatasan
daya
tangkap
dan
ketidakstabilan emosi klien membuat mereka tidak mampu mengambil keputusan bagi dirinya sendiri. Oleh sebab itu, seorang konselor VCT sangat memerlukan kepercayaan diri yang tinggi dan mempunyai keterampilan mengatasi dilema etik dan emosi, dan untuk itu seorang konselor harus selalu menambah pengetahuan dan mengasah keterampilan, khususnya yang berkaitan dengan konseling dan HIV/AIDS.
Konselor bertanggungjawab memberikan informasi HIV/AIDS yang relevan dan akurat sehingga klien dengan sendirinya menjadi berdaya untuk membuat pilihan dan untuk klien yang positif berusaha untuk menjadikan mereka mandiri dan tidak tergantung kepada konselornya. ODHA atau orang dengan HIV-AIDS itu sendiri dipandang sebagai orang yang perlu dibantu, namun mereka juga harus bisa membantu diri mereka sendiri sehingga menjadi berdayaguna dan tidak tergantung kepada konselor maupun orang lain. Perlakuan terhadap ODHA seharusnya tidak dibeda-bedakan dengan orang lain, karena pada dasarnya walaupun dalam tubuh mereka terdapat virus, tetapi ODHA masih bisa berkarya dan hidup sehat seperti orang-orang lainnya. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang konselor bahwa: ODHA atau orang dengan HIV-AIDS yaitu teman yang harus dibantu tapi ODHA itu sendiri juga harus bisa membantu dirinya, jadi kita juga harus obyektif supaya mereka bisa berdaya guna jangan sampai mereka seperti anak kecil yang selalu minta disuapin. Karena menurut saya sih baik itu ODHA, orang dengan kusta, atau diabetes itu tidak harus dibeda-bedakan, namun kadang perlakuannya suka berlebihan. (Wawancara, 21 Januari 2008)
7. Gambaran Umum Klien VCT Klien yang datang datang untuk mengikuti VCT berasal dari berbagai kalangan dan latar belakang yang berbeda. Berdasarkan faktor resiko, klien VCT berasal dari kalangan homoseksual/biseksual, heteroseksual, pengguna napza suntik, pengguna tato, penerima transfusi darah, perinatal (penularan dari ibu ke anak), dan pajanan okupasional, namun presentasi terbesar berasal dari pengguna napza suntik. Sedangkan menurut pekerjaan kebanyakan berasal dari wanita
pekerja seks, pria pekerja seks, karyawan, ibu rumah tangga, PNS, serta pelajar dan mahasiswa. Kelompok umur yang terbanyak berada pada rentang usia 20-29 tahun dan 30-39 tahun. Pada umumnya mereka mengikuti VCT karena kesadaran sendiri untuk mengetahui status HIV yang ada pada diri mereka, namun ada juga yang ikutikutan atau dianjurkan oleh teman dan pasangan. Mereka menyadari bahwa mereka telah melakukan perilaku yang beresiko tertular HIV, oleh karena itu mereka ingin mengetahui status HIV pada diri mereka agar mereka mendapatkan pemahaman tentang apa yang harus mereka lakukan bila positif HIV. Selain itu ada juga klien yang mengikuti konseling agar mereka bisa mencurahkan permasalahan yang mereka hadapi khususnya yang berkaitan dengan HIV/AIDS dan mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan. Dengan adanya latar belakang yang berbeda tersebut, tentunya karakteristik maupun permasalahan yang diungkapkan oleh klien pun menjadi beragam. Kalau dilihat dari yang selama ini melakukan konseling kebanyakan merasa cemas atau takut karena didahului oleh anggapan bahwa HIV/AIDS itu penyakit yang mematikan, belum ada obatnya dan seolah-olah tidak ada jalan keluar atau seolah-olah dunia akan berakhir begitu tahu mereka positif. Kalau kliennya dari kalangan beresiko tinggi, terkadang sikap mereka lurus-lurus saja dalam artian mereka itu pasrah apapun hasilnya mereka sudah siap untuk menerimanya, malah seringkali terjadi ketika hasil testnya negatif mereka tidak percaya dan minta diulang lagi karena mereka sudah punya anggapan bahwa sudah positif. Tapi ada juga dari kalangan yang beresiko tidak mau dites mungkin
karena mereka menganggap konseling hanya sebagai pembenaran saja dan beranggapan bahwa hidup mati itu di tangan Tuhan. Klien dari kalangan IDU biasanya tambeng/keras kepala dan seringkali berbohong atau tidak mau berkata jujur. Kalau dari kalangan pasangan biasanya tingkat penyangkalannya tinggi karena mungkin mereka merasa tidak terlalu beresiko dan biasanya mereka terinfeksi HIV dari pasangannya. Pemahaman klien tentang HIV/AIDS pun beragam, ada yang sama sekali awam, ada juga yang sudah tahu informasi dasar tentang HIV/AIDS dari media maupun penyuluhan, namun pada umumnya, dari tahun ke tahun pengetahuan dan pemahaman klien yang pertama kali datang untuk konseling semakin meningkat. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan dan perubahan klien setelah mengikuti konseling VCT, berikut ini akan diuraikan hasil wawancara dengan beberapa orang klien yang pernah mengikuti layanan VCT di HiKHA. Responden Pertama (JS) a. Kondisi Umum dan Permasalahan Responden JS, laki-laki berusia 20 tahun dan berdomisili di Bandung. JS adalah seorang gay atau male sex male (MSM) yang bergabung dan aktif dalam komunitas gay di kota Bandung yaitu Yayasan ABIASA. JS mengikuti konseling VCT karena ingin mengetahui tentang status HIV yang ada pada dirinya. Sebelumnya dia sudah mengetahui informasi tentang HIV/AIDS karena aktif di yayasan. b. Kesan dan Perasaan selama mengikuti konseling Menurut JS, konselor yang dia ikuti konselingnya cukup konfidensial, bisa dipegang dan dipercaya dalam melakukan pelayanan VCT dan konselor bersedia
untuk membantu kapan saja kalau ada waktu. Selama konseling, konselor memberikan pemahaman tentang apa itu HIV/AIDS, bagaimana cara penularan ataupun pencegahannya, juga ke depannya bagaimana jika terkena HIV/AIDS positif atau HIV negatif. JS mengikuti semua tahapan konseling VCT bahkan sampai buka hasil dan masih mengikuti konseling lanjutan 1 bulan sekali serta masih melakukan test darah meskipun 6 bulan masa window period. Dalam konseling, JS menceritakan semua permasalahannya tapi hanya yang berkaitan dengan HIV/AIDS termasuk bagaimana cara dia melakukan hubungan seksual. Tanggapan konselor terhadap permasalahannya cukup baik, cukup bisa mendengarkan apa yang dia ceritakan serta menyikapi dengan baik dan bijak. Menurut JS konselor cukup membantunya dalam menyelesaikan permasalahan yang dia hadapi terutama yang berhubungan dengan HIV/AIDS. c. Dampak Konseling terhadap Klien Manfaat yang JS rasakan setelah mengikuti konseling adalah dia bisa tahu HIV/AIDS lebih dalam maupun IMS (Infeksi Menular Seksual) dan melakukan upaya pencegahannya. Pandangannya menjadi lebih luas karena dulu JS tidak tahu HIV/AIDS itu tertularnya lewat apa, tetapi sekarang dia jadi lebih tahu penularan dan pencegahannya. Sekarang JS menganggap bahwa HIV/AIDS itu bukan penyakit yang parah, karena ada penyakit lain yang lebih parah seperti DBD, malaria dan masih banyak lagi penyakit yang lebih parah dari HIV/AIDS. Perubahan perilaku yang JS lakukan setelah melakukan konseling adalah dengan melakukan perilaku seks yang aman (safety sex) dan juga dia mengikuti saransaran yang dianjurkan oleh konselor. Tentang pandangannya terhadap ODHA, kebetulan temannya ada yang ODHA, jadi pandangan JS terhadap ODHA sangat
prihatin sekali tapi itu tidak menjauhkannya dari mereka akan tetapi memacunya untuk membantu dan mengingatkan mereka untuk bisa hidup lebih sehat. d. Rencana dan Kegiatan Setelah Mengikuti Konseling Setelah mengikuti konseling, JS ingin berperan aktif dalam mencegah penularan HIV/AIDS dengan aktif di yayasan sebagai IT support. Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan penjangkauan-penjangkauan secara tidak langsung dengan membuat KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) seperti flyer, bulletin, website dan lain-lain khususnya untuk kalangan tertutup (kaum minoritas) seperti kalangan gay.
Responden Kedua (RM) a. Kondisi Umum dan Permasalahan Responden RM, laki-laki berusia 19 tahun berdomisili di Bandung. RM adalah mantan pengguna narkoba yang menggunakan narkoba sejak di bangku SMP. Saat ini dia sedang mengikuti rehabilitasi bagi pengguna narkoba di Yayasan KITA (YAKITA). Pada mulanya RM mengikuti konseling karena ikut-ikutan temannya, namun kemudian dia menyadari bahwa dia sudah melakukan perilaku yang beresiko tertular HIV, untuk itu ia ingin segera mengetahui statusnya apakah HIV positif atau negatif sedini mungkin sebelum terlambat. Walaupun hasil tesnya negatif, ia masih tetap mengikuti konseling lanjutan. b. Kesan dan Perasaan selama mengikuti konseling Menurut RM, konselor yang mendampinginya cukup enak, tidak menghakimi dan memberi pilihan-pilihan tidak seperti dokter yang menyuruh harus ini itu. Sebelum konseling ada briefing dulu, countdown dulu supaya tenang
walaupun positif HIV. Apalagi lingkungan dan teman-temannya di YAKITA tidak terlalu mempermasalahkan status, saling mensupport dan tidak ada stigma dan diskriminasi. Yang dilakukan oleh konselor selama konseling, pertama flashback lagi tentang HIV/AIDS, penularan dan pencegahan, lalu konselor menanyakan perilaku-perilaku yang beresiko dan hal-hal lebih privacy, seperti terakhir kali make (narkoba) kapan, terakhir kali hubungan seks kapan, sharing needle kapan, atau terakhir ditato kapan. Lalu kalau positif mau bagaimana, siapa yang akan diberitahu, orang tua atau teman dulu. Lalu kalau negatif apakah akan melakukan perilaku beresiko yang sama. Tanggapan konselor terhadap permasalahan yang dihadapi cukup baik dan enak, konselor bersikap obyektif dan memberi beberapa pilihan tapi tidak memberi perintah. Di luar sesi konseling tetap ada interaksi dengan konselor sehingga gerak-gerik RM cukup terpantau dan konselor cukup membantu RM dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang dia hadapi. c. Dampak Konseling terhadap Klien Setelah mengikuti konseling, RM merasa beban yang ada dalam hatinya menjadi lebih ringan karena dia bisa mengeluarkan uneg-uneg yang dia rasakan, walaupun RM sempat syok ketika pertama kali mengikuti konseling. Perubahan perilaku yang RM lakukan setelah mengikuti konseling adalah lebih berhati-hati dalam menggunakan barang-barang pribadi, khususnya benda tajam, seperti alat cukur, gunting kuku, agar tidak sembarangan berbagi dengan orang lain. Selain itu perilaku beresikonya dikurangi dan cari aman agar tidak terinfeksi HIV. Pemahamannya mengenai HIV/AIDS lebih fresh lagi dan pandangannya terhadap
ODHA pun berubah, dari yang sebelumnya takut berdekatan sekarang biasa saja, karena sudah tahu cara penularan dan pencegahannya seperti apa. d. Rencana dan Kegiatan Setelah Mengikuti Konseling Sekarang RM aktif menjadi peer dan volunteer untuk YAKITA karena dia sudah cukup lama mengikuti rehabilitasi sehingga diikutsertakan dalam program pencegahan HIV/AIDS. Setelah mengikuti konseling RM ingin semakin aktif menyuarakan anti HIV/AIDS dan anti stigma & diskriminasi. Kegiatan yang RM lakukan antara lain penjangkauan kelompok dan masyarakat. Penjangkauan masyarakat seperti ke institusi, sekolah-sekolah, kampus, kafe, perusahaanperusahaan seperti tempat hiburan malam dan penjangkauan kelompok ke komunitas tertentu seperti anak-anak jalanan, dan klub-klub motor.
Responden Ketiga (RN) a. Kondisi Umum dan Permasalahan Responden RN, wanita berumur 32 tahun berdomisili di Bandung. RN adalah seorang ibu rumah tangga yang didiagnosa HIV positif. Ia tertular dari suaminya yang mantan pengguna narkoba. Mempunyai dua orang anak, namun anak pertamanya telah meninggal dunia yang diduga terinfeksi HIV dan kini anak keduanya pun telah dinyatakan positif HIV. Pertama kali tahu tentang konseling VCT di rumah sakit Hasan Sadikin pada waktu anak keduanya sakit dan tidak diketahui sakitnya itu kenapa, setelah dites darah dan hasilnya positif HIV, RN pun memberanikan diri untuk mengikuti konseling dan tes HIV. Ternyata efek dari virus ini juga berpengaruh
kepada
fungsi
penglihatan
putrinya
sehingga
memerlukan
pengobatan yang cukup intensif untuk memulihkan kondisi penglihatanya. Karena
RN sekeluarga mengidap virus HIV, mereka harus meminum obat (ARV) dengan rutin dan melakukan tes imuni/CD4 enam bulan sekali serta mengikuti terapi alternative untuk meminimalisir efek samping dari obat ARV dan menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat. Walaupun RN sekeluarga mengidap HIV, namun secara umum kesehatan mereka tidak terganggu dan mereka tetap bisa beraktivitas seperti biasa. Akan tetapi karena kelelahan merawat putrinya, terkadang berat badannya menjadi turun dan menimbulkan stress juga karena memikirkan masa depan dia dan anaknya. Untungnya walaupun status RN positif HIV, keluarganya tidak lantas mengucilkannya, bahkan memberikan dukungan dan sangat membantu RN, baik secara moril maupun materiil. Hanya saja RN belum berani membuka statusnya kepada lingkungan di sekitar tempat tinggalnya karena masih khawatir akan anggapan dan perlakuan masyarakat kepada keluarganya. b. Kesan dan Perasaan selama mengikuti konseling Menurut RN, dalam konseling konselor memberikan informasi tentang HIV/AIDS dengan cukup jelas, bagaimana cara penularan dan pencegahannya sampai memberikan solusi terhadap permasalahan yang RN dan keluarga hadapi. Kesan RN setelah mengikuti konseling cukup bagus karena RN dibimbing oleh seorang konselor yang sangat memahami akan permasalahannya dan membantu berbagai kebutuhannya sampai konselornya membantu memberikan kebutuhan susu bagi putri RN, walaupun tidak secara langsung konselor memberikan susu tapi memberikan informasi kepada RN dimana bisa mendapatkan susu khususnya yang gratis. Selain itu konselor juga banyak membantu RN memberikan informasi mengenai pengobatan, tes-tes lanjutan, hingga sekolah khusus bagi putrinya yang mengalami gangguan penglihatan. Sikap yang ditunjukan konselor terhadap
permasalahan yang RN hadapi cukup bagus, sangat terbuka dan sangat mendengarkan apa yang RN ceritakan dan sangat enak untuk bisa dijadikan salah satu tempat berbagi mengenai permasalahan yang dihadapi. Selama konseling maupun di luar sesi konseling tanggapan konselor sangat baik dan ingin selalu memberikan yang terbaik bagi RN dengan memberikan solusi-solusi terhadap permasalahannya. c. Dampak Konseling terhadap Klien Setelah mengikuti konseling RN merasa lebih lega dan beban hidupnya menjadi lebih ringan. Ia juga merasakan semangat hidupnya kembali untuk dijalankan secara normal sebagaimana ibu rumah tangga yang lainnya, karena status HIV positif yang dialaminya sempat membuat RN down, selain itu juga RN bisa menjadi lebih peka terhadap lingkungannya dan lebih bisa menghargai orang lain khususnya orang yang mempunyai status sama sepertinya, bukan hanya itu saja RN jadi bisa mengetahui bagaimana untuk menjalani pola hidup sehat karena orang dengan status HIV positif pola hidupnya harus benar-benar dijaga terutama yang menyangkut dengan kesehatan. d. Rencana dan Kegiatan Setelah Mengikuti Konseling Walaupun satus RN hanya sebagai ibu rumah tangga biasa tapi RN mempunyai rencana dan cita-cita ke depan yang berkenaan dengan permasalahan penularan dan pencegahan HIV/AIDS, dan sekarangpun RN
cukup aktif
mengikuti undangan-undangan penyuluhan atau memberikan testimoni yang menyangkut permasalahan HIV/AIDS walapun tidak seaktif yang lain dikarenakan RN mempunyai seorang putri yang positif mengidap HIV yang memerlukan perhatian yang ekstra. RN bahkan mempunyai cita-cita ke depan
ingin membuat sekolah khusus bagi anak-anak penderita HIV/AIDS. Sekarang ia lebih berkonsentrasi memikirkan dan merencanakan masa depan putrinya kelak, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan dan perawatan putrinya, karena ia tidak tahu sampai kapan ia dan suaminya akan hidup dan bertahan. 8. Efektivitas dan Keberhasilan Konseling VCT Untuk menilai efektivitas dan keberhasilan konseling, dapat dilihat dari hasil yang dicapai setelah klien mengikuti proses konseling. Hal ini dapat dilihat dari ada atau tidaknya perubahan yang terjadi pada diri klien, baik itu perilaku, pemahaman, maupun kondisi psikologis lainnya. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dengan konselor dan klien, terjadi sejumlah perubahan pada diri klien setelah mengikuti konseling. Pemahaman klien tentang HIV/AIDS ada perubahan, sebelum konseling kebanyakan klien lebih tahu mitos daripada faktanya, setelah konseling mereka lebih memahami informasi yang benar mengenai HIV/AIDS, termasuk cara penularan dan pencegahannya. Selain itu klien juga memahami pentingnya pola hidup sehat untuk meningkatkan kualitas kehidupan mereka dan mencegah penularan HIV. Pada umumnya, semakin ke sini pengetahuan klien tentang HIV semakin meningkat. Dalam lembaran konseling itu ada 3 angka sebagai skala, yakni pengetahuan rendah, cukup, dan baik sekali. Tahun pertama itu angkanya kebanyakan rendah, tapi semakin ke sini dengan banyaknya informasi, klien jadi semakin tahu dan pengetahuannya semakin meningkat. Apalagi didukung dengan semakin banyak media masa atau lembaga-lembaga yang mengurusi HIV ini, tingkat pengetahuan klien semakin baik.
Secara psikologis, yang tadinya khawatir atau cemas bisa lebih rileks dan bisa melihat keuntungannya mengikuti tes HIV. Mereka sadar bahwa semakin cepat dites dan semakin cepat mengetahui hasilnya itu akan jauh lebih baik bagi mereka daripada tidak pernah mengikuti tes atau terlambat mengetahui hasil tes. Dan bagi yang hasil tesnya positif, mereka lebih bisa menerima keadaan dirinya, semangat hidupnya bangkit lagi dan bahkan turut berperan aktif dalam mencegah penularan HIV/AIDS. Untuk perubahan perilaku beresiko mungkin agak sulit memantaunya, cuma poin-poin pilihan klien untuk mencegah HIV mengalami perubahan dari sejak konseling pertama. Misalnya, tadinya mereka berprinsip bahwa pencegahan HIV cukup dengan menggunakan kondom, namun pada konseling-konseling selanjutnya selama masa window period, mereka lebih memilih untuk bersikap setia pada pasangan atau memilih untuk sama sekali tidak melakukan hubungan seks. Biasanya untuk memantau perubahan pada klien dapat dilakukan pada saat konseling lanjutan atau bila kliennya merupakan rujukan dari petugas penjangkau, konselor memantau perubahan klien melalui petugas penjangkau tadi atau pendamping bila klien berasal dari komunitas tertentu. Selain itu, tolok ukur keberhasilan konseling terutama konseling pre tes adalah dengan melihat jumlah klien yang akhirnya mau mengikuti tes dan mengikuti konseling post tes. Menurut konselor KA, keberhasilan konseling bisa dirasakan oleh konselor sendiri dengan adanya kepuasan batin konselor ketika kliennya mau tes, akhirnya ada perubahan perilaku, atau kliennya berterimakasih kepada konselor karena merasa terbantu dan merasakan manfaat konseling.
9. Faktor Pendukung dan Penghambat Konseling Faktor-faktor pendukung keberhasilan konseling dapat dibedakan menjadi menjadi faktor eksternal dan faktor internal yang berasal dari diri klien. Untuk faktor eksternal yang berasal dari luar diri klien adalah yang lebih bersifat teknis, seperti adanya ruang atau tempat khusus untuk konseling yang nyaman dan terjaga privasinya, didukung dengan adanya media-media informasi dan alat peraga khususnya yang berkaitan dengan HIV/AIDS. Kalau hal yang mendukung dari klien itu sendiri adalah adanya penguatan informasi dan dukungan dari kalangan orang-orang sekitarnya entah itu komunitas, keluarga dan pasangannya sehingga klien lebih terbuka dalam menceritakan permasalahan yang dialaminya. Untuk konselor lebih kepada waktu yang cukup luang, pengalaman dalam menghadapi karakteristik klien yang beragam yang akan semakin mengasah keterampilan konselor dalam melakukan konseling. Sedangkan faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan konseling secara teknis adalah masalah fasilitas di sejumlah tempat yang masih kurang mendukung atau waktu yang terbatas. Idealnya seorang konselor VCT itu mencurahkan seluruh waktunya untuk kepentingan VCT, jadi bukan sampingan. Tapi ada beberapa konselor yang punya pekerjaan lain di luar konseling VCT, sehingga waktunya untuk konseling menjadi berkurang. Dari sisi klien, masih banyak yang sulit untuk terbuka untuk memberikan informasi kepada konselor tentang masalah yang paling detail yang dihadapi, selanjutnya banyak klien VCT juga banyak yang masih takut, segan atau malu, khususnya karena takut akan stigma dan diskriminasi baik itu dari keluarga ataupun dari masyarakat.
10. Fungsi dan Peran VCT dalam Mencegah Penularan HIV/AIDS Secara umum, VCT dapat memutus mata rantai penularan HIV/AIDS dalam masyarakat, mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS), serta dapat mengurangi atau menghilangkan perilaku beresiko untuk menghindari penularan HIV/AIDS. Dengan VCT dapat dilakukan deteksi dini, sehingga dapat lebih cepat mengetahui status HIV pada diri seseorang dan pada akhirnya semakin cepat pula dapat dilakukan perawatan dan dukungan bagi klien yang hasil tesnya positif dan bagi yang hasilnya negatif dapat menghindari perilaku beresiko agar tidak sampai tertular HIV. VCT adalah pintu masuk yang sangat strategis baik untuk pencegahan (preventif) maupun untuk dukungan dan rehabilitasi (kuratif). Pencegahan yaitu bagi orang yang hasil tesnya negatif diharapkan menyadari akan perilaku beresiko yang dilakukannya yang kebetulan belum berakibat negatif, sehingga yang bersangkutan akan menghentikan perilaku buruknya tersebut dan menjalankan perilaku hidup sehat. Adapun bagi klien yang hasil tesnya positif diharapkan akan sadar untuk tidak berperilaku buruk yang bisa menularkan kepada orang lain dan memperburuk keadaan dirinya. Dukungan yang diberikan adalah membantu dan memfasilitasi kebutuhan klien tersebut, seperti pengobatan, dukungan psikologis, kesejahteraan sosial, dan yang terpenting adalah memelihara harga dirinya dengan memberdayakannya dan membiasakan pola hidup sehat. Seperti yang dinyatakan oleh konselor KA dalam petikan wawancara berikut ini: Memang salah satu tujuan VCT itu mencegah penularan HIV. Setidaknya ketika seseorang itu statusnya positif setelah melalui konseling VCT, kita sangat berharap klien itu tidak menyebarkan status/virus HIVnya kepada
orang lain. Selain itu, dengan mengikuti VCT kita berharap cukup dia saja yang terkena HIV dan dia tidak menjadi sumber penularan berikutnya. Kalau dia (klien) itu positif kita rujuk ke pengobatan, tapi kalau dia negatif ya kita pertahankan supaya tetap negatif. Jadi satu sisi bisa preventif tapi sisi lain juga kuratif. Preventif itu lebih ke masyarakat umum misalnya pasangan, kalau untuk kalangan resiko tinggi seperti IDU, WPS (wanita pekerja seks), dll, lebih ke kuratif karena mereka memang sudah melakukan perilaku yang beresiko. (Wawancara, 21 Januari 2008). Peran VCT dalam pencegahan penularan HIV/AIDS dapat digambarkan sebagai berikut:
Merencanakan masa depan
Menerima dalam keadaan terinfeksi HIV
Mencegah penyebaran HIV/AIDS
VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING
Memfasilitasi kegiatan pencegahan
Memfasilitasi fasilitas medis
Merencanakan perubahan perilaku
Membantu mengurangi stigma
Memfasilitasi pelayanan sosial
Bagan 4.3 VCT Sebagai Titik Awal
11. Resume Wawancara a. Resume Wawancara dengan Direktur Program Wawancara dengan Direktur Program HiKHA Jabar, SJ ini dilaksanakan pada hari rabu, 16 Januari 2008 dari pukul 11.30 – 12.30 bertempat di kantor
HiKHA. Ibu SJ ini berusia 61 tahun, merupakan pensiunan dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan pernah mengenyam pendidikan di fakultas kedokteran, namun tidak sampai selesai. Kini melanjutkan pendidikan kembali di Universitas Jendral Ahmad Yani mengambil jurusan Kesehatan Masyarakat. HiKHA Jabar yang didirikannya bersama dengan sejumlah rekannya bermula dari sekelompok orang yang telah mengikuti pelatihan konseling HIV/AIDS atau VCT dan ingin membuat suatu perkumpulan yang bisa mewadahi para konselor tersebut sehingga kegiatannya dapat lebih terprogram dengan baik. Dalam pelaksanaan program kegiatannya, HiKHA banyak bekerja sama dengan sejumlah lembaga, baik dari dalam maupun luar negeri khususnya yang peduli terhadap pencegahan penularan HIV/AIDS. Salah satunya adalah Family Health International (FHI) dan Komisi Penanggulangan AIDS, juga sejumlah rumah sakit, klinik, laboratorium, dan yayasan/LSM. Layanan konseling VCT yang dilaksanakan di HiKHA terdiri dari 3 tahap, yaitu konseling pre tes, tes HIV dan konseling post tes. Konseling pre tes dilaksanakan sebelum klien menjalani tes. Di dalamnya ada pemberian informasi tentang HIV/AIDS, penggalian faktor resiko pada diri klien, dan penandatanganan informed consent bila klien bersedia dites. Lalu berlanjut pada tes HIV yang dilaksanakan di laboratorium. Tahap berikutnya adalah konseling post tes atau buka hasil. Di sini dibacakan hasil tes klien dan membuat rencana tindak lanjut dari hasil tes tersebut.
Selain layanan konseling secara statis, juga ada layanan mobile VCT yang langsung mendatangi kelompok sasaran, biasanya bekerja sama dengan petugas penjangkauan atau atas permintaan masyarakat. Menurut beliau, keberhasilan dan efektivitas konseling dapat dilihat dari jumlah klien yang datang untuk konseling post tes dibandingkan dengan kedatangan pada konseling pra tes atau jumlah klien yang akhirnya bersedia dites. Adapun yang berkaitan dengan perubahan perilaku pada klien, dapat dipantau melalui petugas penjangkau atau bisa juga dengan mengontak klien misalnya melalui telpon atau SMS. Berbicara mengenai interaksi konselor dan klien di luar sesi konseling, beliau menyatakan bahwa kebanyakan klien merasa nyaman dengan konselornya sehingga kembali lagi untuk konseling lanjutan maupun kebutuhan lainnya. Tidak jarang klien menjadi tergantung kepada konselornya sehingga setiap ada permasalahan selalu bertanya dan meminta bantuan kepada konselor, namun konselor tetap berusaha menjadikan klien mandiri, bisa mengurus dirinya sendiri dan berdaya guna. Untuk memberdayakan klien, HiKHA sering melibatkan klien VCT dalam berbagai kegiatan yang diadakan oleh HiKHA, misalnya ketika ada penyuluhan, memberikan testimoni/pengakuan atau melibatkan mereka sebagai sukarelawan (volunteer). b. Resume Wawancara dengan Konselor Wawancara terhadap konselor dilakukan pada 3 orang konselor, yaitu NW, KA, dan DK. Wawancara dilakukan secara terpisah yaitu pada tanggal 15, 21, dan 22 januari 2008 di tempat yang berbeda pula. Latar belakang dari ketiga konselor
tersebut berbeda-beda. NW merupakan sarjana keperawatan dari Unpad, KA mengambil jurusan ekonomi, dan DK merupakan sarjana hukum, namun mereka semua telah mengikuti pelatihan konseling HIV/AIDS dari pelatih nasional dan telah mendapatkan sertifikat sebagai konselor VCT. Menurut NW yang juga sebagai koordinator konselor di HiKHA, konseling adalah pertemuan antara konselor dan klien membahas permasalahan klien yang dilandasi dengan kepercayaan dan keterbukaan. Konselor tidak memberi nasihat namun memberi saran-saran dan bersama-sama dengan klien mencari pemecahan atau solusi dari permasalahan klien. Senada dengan pendapat NW, KA mendefinisikan konseling sebagai pertemuan tatap muka antara konselor dan konseli di mana konselor itu menawarkan alternatif-alternatif dan memberikan informasi namun keputusan berada di tangan konseli. Sementara menurut DK sebenarnya secara prinsip konseling apapun harus bersifat sukarela, bukan karena ada paksaan, suruhan atau instruksi. Hanya yang membedakan konseling biasa dengan VCT adalah muatannya, kalau konseling biasa permasalahan yang dibahas lebih umum sedangkan dalm VCT muatan HIV/AIDSnya lebih banyak. Tujuan yang ingin dicapai dari VCT itu sendiri adalah mencegah penularan HIV/AIDS dan tercapainya perubahan perilaku pada diri klien. Bahkan menurut DK, VCT itu lebih efektif untuk mencegah penularan HIV dibandingkan dengan penyuluhan secara masal karena langsung menyentuh kepada sasaran dan pribadi dan dapat memutus langsung mata rantai penyebarannya melalui perubahan perilaku klien.
Menurut mereka bertiga, ODHA dipandang sebagai teman yang perlu dibantu, namun ODHA juga harus bisa membantu dirinya sendiri sehingga bisa berdaya guna. Perlakuan terhadap ODHA tidak harus dibeda-bedakan karena secara umum mereka pun sama seperti orang-orang kebanyakan, yang punya hak dan kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Kendala atau kesulitan yang sering dihadapi ketika melakukan konseling adalah
klien
yang
tertutup
dan
kurang
terbuka
dalam
menceritakan
permasalahannya. Padahal untuk menggali faktor resiko pada klien, diperlukan keterbukaan dari klien untuk menceritakan permasalahannya bahkan yang bersifat pribadi sekalipun. Untuk mengantisipasi hal ini dan untuk menumbuhkan kepercayaan klien terhadap konselor, biasanya konselor meyakinkan klien akan jaminan kerahasiaan dari apa yang mereka ceritakan dan ditegaskan lagi dengan pemberian informed consent. Yang terutama adalah membuat klien nyaman dan percaya kepada konselor dengan menunjukkan perhatian dan tidak menghakimi. Sebagai konselor, secara formal mereka bertiga melayani klien untuk konseling sesuai dengan jam kerja, namun seringkali konselor harus siap bila setiap saat klien itu membutuhkan bantuan, bahkan malam hari sekalipun. Adakalanya pula konselor harus menjemput bola dengan mendatangi klien di tempatnya berada dan interaksi konselor dan klien terus berlanjut di luar sesi konseling. Idealnya peran konselor itu hanya sampai konseling post tes, tapi kebanyakan klien enggan ditangani oleh manajer kasus dan kembali lagi pada konselornya karena sudah terlanjur merasa nyaman dengan konselornya tersebut.
c. Resume Wawancara dengan Klien Wawancara klien VCT dilakukan dengan 3 orang klien VCT dari latar belakang yang berbeda. Dari ketiga klien tersebut, dua orang statusnya negatif, dan satu orang positif HIV. Berdasarkan wawancara tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut. Motivasi mereka untuk mengikuti konseling VCT adalah keingintahuan akan status HIV yang ada pada diri mereka karena mereka menyadari bahwa mereka telah melakukan perilaku yang beresiko tertular HIV, namun adapula yang ikut konseling karena pasangannya telah terinfeksi HIV. Kesan mereka pada konselor yang membimbing mereka cukup baik, bisa dipegang kerahasiaannya dan dapat dipercaya. Konselor bersikap obyektif dan tidak menghakimi. Dalam membantu memecahkan permasalahan klien, biasanya konselor memberikan berbagai alternatif dan pilihan sehingga klien bisa memutuskan sendiri keputusan yang terbaik bagi dirinya. Setelah mengikuti konseling, pada umumnya ada perubahan pada diri klien tersebut, baik dari segi pemahaman, perasaan, maupun perubahan perilaku. Wawasan mereka mengenai HIV/AIDS menjadi bertambah luas dan pandangan mereka pun terhadap ODHA menjadi berubah. Klien juga merasakan manfaat dari konseling, yakni perasaan mereka menjadi lebih lega, beban hidup menjadi lebih ringan dan semangat hidup bangkit kembali. Berkaitan dengan perubahan perilaku mereka menyatakan bahwa setelah memahami lebih jauh mengenai HIV/AIDS melalui konseling, mereka lebih menjaga perilaku mereka agar jangan sampai terinfeksi HIV bagi yang hasil
tesnya kebetulan negatif supaya tetap negatif, dan bagi klien yang positif HIV menjaga pola hidup sehat agar kesehatannya tetap terjaga jangan sampai drop. Setelah mengikuti konseling, ketiga klien tersebut mengaku ingin lebih berperan dalam membantu pencegahan penularan HIV/AIDS dan membantu orang-orang yang bernasib sama seperti mereka. Bentuk aktivitas yang mereka lakukan untuk mewujudkan hal tersebut cukup beragam. Ada yang aktif di yayasan dan aktif membuat media yang menginformasikan pencegahan HIV/AIDS, atau sebagai relawan yang menjangkau komunitas dan masyarakat. Ada pula yang menjadi pembicara dalam penyuluhan-penyuluhan untuk memberitahukan keadaan mereka yang sebenarnya dan untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.
B. Pembahasan 1. Proses Konseling Proses konseling VCT di HiKHA dimulai sejak penerimaan klien oleh konselor. Klien ada yang datang sendiri secara sukarela ke tempat konselor berpraktek namun adakalanya konselor jemput bola dengan mendatangi klien dikarenakan klien merasa segan atau malu datang ke tempat konseling disebabkan masih adanya stigma dan diskriminasi di masyarakat. Langkah-langkah konseling selanjutnya adalah menjalin hubungan dengan klien agar klien merasa nyaman dan terbuka dalam menyampaikan perasaan ataupun permasalahannya, lalu menggali riwayat kesehatan dan faktor-faktor resiko yang ada pada diri klien khususnya yang berhubungan dengan HIV/AIDS,
memberikan penguatan dan dukungan kepada klien, serta membantu klien untuk membuat keputusan berdasarkan pilihan-pilihan yang ada. Langkah-langkah yang ditempuh dalam melakukan konseling VCT menurut bimbingan dan konseling ada tiga hal yang harus dilakukan oleh konselor dalam memulai proses konseling, yaitu: (a) membentuk kesiapan untuk konseling; (b) memperoleh riwayat kasus; dan (c) evaluasi psikodiagnostik (Surya, 1988: 138). Dalam hal menata kesiapan hubungan konseling, ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan oleh konselor, antara lain menumbuhkan motivasi, memberikan pengetahuan tentang konseling, menjajaki kecakapan intelektual, harapan-harapan terhadap peranan konselor dan sistem pertahanan dirinya. Dalam hal memperoleh riwayat kasus, meliputi upaya mengumpulkan informasi secara sistematis tentang kehidupan klien sekarang dan masa lalunya. Sedangkan psikodiagnostik memiliki beberapa makna, antara lain dari segi medis dan psikologis. Jika memandang dari segi medis adalah suatu proses memeriksa gejala, memperkirakan sebab-sebab, mengadakan observasi, menempatkan gejala dalam kategori dan memperkirakan usaha penyembuhan. Sedangkan dari segi psikologis adalah pernyataan tentang masalah klien, perkiraan sebab-sebab kesulitan, kemungkinan teknik-teknik konseling untuk memecahkan masalah, dan memperkirakan hasil konseling dalam bentuk tingkah laku klien di masa yang akan datang. Berkenaan dengan proses konseling VCT, konselor menata kesiapan hubungan konseling dengan menciptakan suasana yang membuat klien merasa santai, tidak takut, merasa aman dan bebas mengungkapkan perasaan dan pertanyaan yang ada dalam hatinya untuk didiskusikan dengan konselor. Hal ini
bisa dicapai dengan perkenalan diri, penjelasan tentang alur VCT dan penekanan pada konfidensialitas atau kerahasiaan, dan berbasa-basi sejenak sekedar menanyakan kabar atau keadaan klien. Selama proses ini konselor harus bisa mendengarkan keluhan klien dengan penuh perhatian, menghargai klien sebagai sesama manusia, tidak menilai ataupun menghakimi, memberi dorongan agar klien dapat berbicara terbuka, serta menunjukkan ekspresi tubuh dan wajah yang mengungkapkan minat dan kepedulian. Untuk memperoleh riwayat kasus, konselor VCT menggali informasi tentang faktor-faktor resiko penularan HIV, seperti aktivitas seksual (bergantiganti pasangan, hubungan seksual tanpa kondom), penggunaan napza lewat jarum suntik, transfusi darah, terpapar tanto/tindik, dll. Selain itu konselor juga menggali riwayat kesehatan klien terutama beberapa bulan terakhir. Sedangkan yang berkaitan dengan evaluasi psikodiagnostik, konselor memperkirakan tindak lanjut bagi klien berdasarkan eksplorasi riwayat kasus, termasuk mendiskusikan pilihan-pilihan serta rencana tindakan dan perubahan perilaku klien. Langkah-langkah yang diuraikan sebelumnya dilakukan oleh konselor pada saat konseling pre tes. Adapun pada konseling post tes, langkah-langkah yang dilakukan tidak terlalu jauh berbeda seperti pada saat tahap persiapan konseling hanya ada penambahan dengan adanya pembacaan hasil tes. Pada konseling post tes, pergulatan emosi yang dirasakan oleh klien terasa kental karena klien berharap-harap cemas akan hasil tesnya apakah negatif atau positif. Setiap langkah yang dilakukan pada konseling post tes diarahkan untuk membantu klien memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil tes dan
mendiskusikan langkah selanjutnya sesuai dengan hasil tes. Sebelum hasil tes dibacakan, klien harus ditanya dulu apakah mereka ingin mengetahui hasil tesnya dan diberitahu bahwa baik mereka ingin tahu hasil tesnya ataupun tidak, hasil tes tersebut akan tetap dirahasiakan. Bentuk dari konseling post tes tergantung dari hasil tes. Bila hasil tes negatif, konselor perlu menghadapi perasaan yang timbul dari hasil tersebut dan mendiskusikan pencegahan dari infeksi HIV. Meskipun orang akan merasa lega mendapatkan hasil negatif, konselor perlu menjelaskan bahwa karena adanya masa jendela (window period), hasil negatif tidaklah sepenuhnya menjamin bahwa klien tidak terinfeksi HIV. Konselor harus menganjurkan klien untuk tes ulang setelah 3-6 bulan dan membantu klien memformulasikan strategi agar tetap berada dalam status negatif. Sementara untuk hasil tes yang positif, konselor harus memperhatikan karakteristik klien tersebut dan juga budaya. Konselor menyampaikan hasil tes dengan cara yang dapat diterima oleh klien, secara halus dan manusiawi, serta bersiap untuk memberikan dukungan emosi dan bantuan strategi penyesuaian diri termasuk mengidentifikasi dukungan yang diperlukan. Penekanan pada konseling adalah memberikan harapan pada klien untuk tetap “sehat” dan menjalani hidup yang “normal”. Dasar keberhasilan konseling post tes ditentukan oleh baiknya konseling pra tes. Bila konseling pra tes berjalan baik, maka dapat terbina hubungan baik antara konselor dan klien. Dengan dasar ini maka akan lebih mudah untuk terjadinya perubahan perilaku dan memungkinkan pendalaman masalah klien. Mereka yang menunggu hasil tes HIV berada dalam kondisi cemas, dan mereka
yang menerima hasil tes positif, kemungkinan akan mengalami distress. Karena itu sebaiknya konselor yang melakukan konseling post tes adalah konselor yang sama dengan yang melakukan konseling pre tes.
2. Prinsip-prinsip Layanan Konseling Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, terdapat beberapa prinsip yang melandasi layanan konseling dan tes sukarela (Voluntary Counseling and Testing) di HiKHA Jabar. Prinsip-prinsip itu adalah: (1) kesukarelaan, (2) kerahasiaan atau konfidensialitas, (3) dilakukan melalui konseling, dan (4) persetujuan. Konseling dan tes HIV harus betul-betul sukarela dan pribadi, artinya didasari oleh kesadaran dan keinginan orang yang bersangkutan tanpa adanya paksaan atau perintah. Ketika orang tidak mau, maka tidak bisa dipaksakan. Dalam bimbingan dan konseling, Winkel (1997: 72) menyatakan bahwa: “dalam konseling orang yang minta bantuan ingin mengalami suatu perubahan atas kesadaran serta kemauan sendiri”. Dengan dilandasi oleh kesukarelaan dan kesadaran, diharapkan klien akan bersungguh-sungguh dalam mengikuti setiap proses konseling dan lebih bertanggungjawab atas dirinya sendiri dan atas pilihan atau keputusan yang dibuatnya. Kerahasiaan sering diinterpretasikan dengan cara yang berbeda pada tempat-tempat yang berbeda. Di beberapa tempat, kerahasiaan diinterpretasikan sebagai jangan pernah memberi tahu siapapun tentang status HIVnya, akan tetapi kerahasiaan
(secrecy)
seperti
ini
tidak
sama
dengan
confidentiality.
Confidenciality berarti bahwa informasi tentang seseorang tidak diberitahukan
kepada orang lain tanpa ijin dari orang tersebut, namun secrecy dapat meningkatkan kesan bahwa HIV adalah hal yang tabu. Adalah penting untuk tidak membicarakan status HIV seseorang tanpa ijin, tetapi penekanan yang berlebihan pada kerahasiaan individu dapat mengakibatkan kesulitan bagi orang tersebut untuk mendapatkan dukungan yang tepat. Keputusan untuk menyampaikan informasi atau menyertakan orang lain dalam proses VCT ada di tangan klien, namun konselor tetap menganjurkan klien untuk berbagi tentang hasil tesnya dengan orang yang dipercayai, seperti orang tua, keluarga, pasangan, atau teman. Membagi kerahasiaan tidak berarti bahwa kerahasiaan itu tidak penting, dan keputusan untuk membuka status HIV harus tetap dikendalikan oleh orang dengan HIV itu sendiri. Direkomendasikan bahwa tes HIV selalu didahului oleh konseling. Ketika klien tak mau konseling, konselor bisa mengemasnya dalam bentuk obrolan ringan dengan membicarakan isu penting yang disajikan dalam konseling pre tes. Harus ditekankan bahwa pemberian informasi tidak dapat menggantikan fungsi konseling. Kebijakan UNAIDS menyatakan bahwa setiap konseling dan tes sukarela
termasuk
di
dalamnya
pembuatan
informed
consent
sebelum
pemeriksaan darah HIV, menjaga kerahasiaan dan konseling post tes. Persetujuan atau informed consent artinya klien telah setuju untuk dites dan telah mengerti betul apa yang tercakup dalam tes itu, keuntungan dan kerugian testing, serta hal-hal yang berkenaan dengan hasil positif atau hasil negatif. Keputusan untuk menjalani tes harus dibuat oleh klien sendiri tanpa tekanan atau paksaan dari orang lain. Begitu pula ketika informasi perlu dibuka untuk kepentingan rujukan haruslah dimintakan persetujuan tertulis dari klien.
Persetujuan ini berisi informasi spesifik, seperti bagian mana dari informasi yang tak boleh diberitahukan, bagian mana yang boleh serta kepada siapa. Semua prinsip-prinsip dalam layanan VCT tersebut, saling berkaitan dan mendukung satu sama lain. Dengan adanya prinsip-prinsip tersebut, klien akan merasa nyaman dalam mengikuti setiap tahapan konseling dan akan merasakan manfaat dari konseling yang diikutinya.
3. Dampak Konseling Terhadap Perubahan Perilaku Klien Berdasarkan hasil observasi dan wawancara terhadap konselor dan klien didapat hasil bahwa terdapat perubahan perilaku klien sebagai dampak dari layanan konseling yang dilakukan. Salah satu tujuan konseling VCT diarahkan pada terjadinya perubahan perilaku, terutama perilaku yang beresiko tertular atau menularkan virus HIV sebagai salah satu bentuk pencegahan penularan HIV. Konselor memfasilitasi perubahan perilaku klien ini dengan menyediakan informasi yang tepat tentang perilaku beresiko dan membantu klien dalam mengembangkan keterampilan pribadi yang diperlukan untuk perubahan perilaku. Dalam mengkomunikasikan perubahan perilaku, tidak ada satu model yang dapat digunakan untuk semua orang. Terdapat tiga model komunikasi perubahan perilaku yang biasanya digunakan oleh konselor, yaitu: (1) abstinensia, (2) pengurangan resiko, dan (3) pengurangan dampak buruk (harm reduction). Abstinensia adalah tidak melakukan perilaku beresiko sama sekali, artinya klien benar-benar berhenti dan tidak melakukan perilaku beresiko. Dengan berpuasa atau bersikap abstinen maka kemungkinan resiko tidak akan terjadi.
Ketika seseorang tak lagi melakukan hubungan seks atau menggunakan napza maka resiko penularan HIV tak ada. Model ini agak sulit diikuti meski menjamin 100% bebas terinfeksi. Kebanyakan klien sukar berhenti dan mengubah perilaku dengan cepat. Perilaku yang harus mereka tinggalkan adalah perilaku yang menyenangkan mereka. Model ini tak membiarkan alternative masuk, tidak ada kompromi, dan tutup mata pada perilaku manusia yang senang pada kenikmatan. Model pengurangan resiko tetap mengizinkan klien untuk berhubungan seks dan menggunakan napza. Pertimbangan seperti ini muncul mengingat bahwa ada orang yang tidak mampu berhenti seks atau menggunakan napza. Karenanya ditawarkan alternatif yakni seks aman (menggunakan kondom) dan penggunaan napza aman (tidak bertukar jarum suntik). Hal ini didasarkan pada pemikiran dan kenyataan bahwa ada orang yang tak dapat berhenti sama sekali melakukan seks dengan banyak orang atau menggunakan napza. Bagi mereka perlu dicarikan substitusi yang tidak merugikan kesehatan. Model ini tidak dapat menjamin 100% tak terinfeksi. Misal ketika orang berhubungan seks, kondomnya robek, maka penularan HIV dimungkinkan. Karena itu banyak konselor mengatakan model ini tak manusiawi dan diperlukan pendekatan individu untuk mengubah perilaku. Model pengurangan dampak buruk (Harm reduction) menggunakan pendekatan “all or nothing” dalam mengubah perilaku. Harm reduction dirancang untuk memperhatikan resiko yang menempel pada setiap pilihan perilaku. Dalam model ini terjadi perubahan perilaku secara bertahap dengan waktu yang panjang. Setiap perubahan perilaku positif dianggap baik dan makin mendekatkan diri pada perilaku sehat. Sebuah contoh harm reduction adalah program pertukaran jarum suntik. Pecandu tahu bahwa berhenti menggunakan napza tidak dapat dicapai
dalam waktu singkat. Model ini memahami sulitnya orang berhenti napza atau perilaku beresiko dalam waktu singkat, karenanya perlu ”reduces the harm” dengan cara membersihkan jarum suntik, menyediakan alat suntik bersih, untuk menurunkan resiko HIV. Beberapa klien merasa ada dilemma karena model ini tetap membuat klien terinfeksi bahkan bisa semakin memperburuk keadaan klien, dan karenanya perlu dikaji ulang. Perubahan perilaku yang terjadi pada klien setelah mengikuti konseling berubah ke arah yang lebih positif daripada sebelumnya. Walaupun tidak semua klien bisa berhenti sepenuhnya dari kegiatan atau perilaku yang beresiko, paling tidak mereka mencoba meminimalisir resikonya. Perubahan yang terjadi lebih ke pengurangan perilaku beresiko, bahkan meninggalkan sama sekali. Misalnya, klien yang belum bisa berhenti berhubungan seks, melakukan seks aman dengan menggunakan kondom. Ada juga yang berhenti menggunakan napza sama sekali. Pada umumnya mereka juga lebih menjaga pola hidup mereka agar tetap sehat. Seperti misalnya pada klien positif HIV, selain berhenti menggunakan napza, juga menjaga pola hidupnya agar tidak memperburuk kondisi kesehatannya, misalnya tidak bergadang, tidak merokok, dan tetap berolahraga secara rutin. Kesadaran klien untuk berubah, selain karena peran konselor namun juga didukung oleh lingkungan, khususnya keluarga dan komunitas yang suportif serta tidak ada stigma dan diskriminasi. Hal ini juga mendukung agar perubahan perilaku tersebut menetap, bahkan meningkat ke arah yang lebih baik lagi.