112
BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Dalam bab IV ini akan diuraikan deskripsi dan pembahasan hasil penelitian. Uraian dalam deskripsi hasil penelitian disusun berdasarkan rumusan masalah yang kemudian dibahas sebagai dasar untuk merumuskan kesimpulan dan rekomendasi penelitian. 4.1
Deskripsi Hasil Penelitian
4.1.1
Sosiografi Cigugur-Kuningan Cigugur merupakan sebuah kelurahan yang terletak di kaki Gunung Ciremai
dan berjarak 30 km ke arah selatan kota Cirebon. Kelurahan Cigugur termasuk pada wilayah administratif Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kuningan dengan luas wilayah 300 Ha, dengan batas wilayah sebagai berikut: a. Sebelah Utara: berbatasan dengan Kelurahan Cipari b. Sebelah Timur: berbatasan dengan Kelurahan Kuningan c. Sebelah Selatan: berbatasan dengan Kelurahan Sukamulya d. Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur terletak kurang lebih 3,5 km ke arah Barat dari pusat kota Kuningan dengan letak geografis ketinggian 660 m dari permukaan laut. Bentuk permukaan tanahnya berupa perbukitan dengan keadaan tanah yang subur karena merupakan hasil pelapukan yang berasal dari gunung Ciremai. Di daerah Cigugur, terdapat tiga sumber mata air ini dipergunakan penduduk untuk memenuhi kebutuhan
113
sehari-hari dan mengairi areal pesawahan. Disamping itu, banyak penduduk yang mempergunakan air tersebut untuk memelihara ikan tawar dengan membuat kolam. Kelebihan air yang dihasilkan dari ketiga mata air itu untuk mensuplai kebutuhan air sebagian masyarakat kelurahan Kuningan dan Cirebon (Suganda, 2003 dalam http : // www.urang sunda.Or.Id) Wilayah Cigugur terdiri dari 38 RT, 13 RW dan 4 lingkungan yaitu: Lingkungan Manis, Lingkungan Pahing, Lingkungan Puhun, dan Lingkungan Wage. Keseluruhan lahan di Cigugur, umumnya dipergunakan sebagai perumahan, pertanian, ladang, kolam, fasilitas pemerintahan, pendidikan (sekolah), tanah kuburan, hutan, tempat peribadatan, dan sarana umum lainnya (Arsip Kelurahan Cigugur). Cigugur termasuk salah satu wilayah termaju di daerah Kabupaten Kuningan. Masyarakat Cigugur pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani, peternak, pedagang, dan pengrajin. Pertanian merupakan mata pencaharian yang paling banyak dikerjakan oleh masyarakat Cigugur. Disamping itu, masyarakat Cigugur sebelah barat pada umumnya mempunyai mata pencaharian sampingan sebagai peternak. Mereka memelihara sapi perah yang susunya ditampung oleh sebuah koperasi besar yang dikenal dengan Koperasi Dewi Sri Bahagia. Koperasi ini mensuplai kebutuhan susu bagi pabrik-pabrik susu di Jakarta.
114
Kelurahan Cigugur memiliki beberapa daya tarik yang khas diantaranya: 1. Kolam renang Cigugur yang oleh penduduk sekitarnya disebut sebagai Balong Girang. Di dalamnya terdapat ratusan ikan yang dianggap keramat oleh masyarakat 2. Situs Purbakala Cipari terletak di kampung Cipari (± 1,5 m dari Kantor Kelurahan Cigugur). Penemuan Situs Purbakala Cipari pada tahun 1972 yang bermula dari informasi yang diberikan oleh Wijaya, seorang pengunjung pameran kepurbakalaan yang diselenggarakan di Gedung Paseban Tri Panca Tunggal. Ia menuturkan bahwa pernah menemukan batu yang bentuk dan ukurannya mirip tutup peti kubur batu yang ada di pameran. Informasi ini ditindak lanjuti oleh Pangeran Djatikusumah sebagai Ketua Tim Survei Sejarah dan Purbakala Kabupaten Kuningan dengan mengadakan penggalian di sekitar tempat papan batu ditemukan. Pembangunan taman purbakala Cipari dilaksanakan pada tahun 1976 yang pelaksanaannya mendapat bantuan dari Yayasan Pendidikan Tri Mulya Cigugur. 3. Gedung Paseban Tri Panca Tunggal yang merupakan pusat kegiatan ADS. Bentuk bangunan ini mempunyai ciri khas dan berbeda dengan bentuk bangunan-bangunan lainnya. Di dalam gedung ini terdapat belasan ruangan yang besar dan kecil. Tiang-tiang dan langitnya penuh dengan ukiran kayu jati yang indah dan dindingnya dihias gambar-gambar relief yang indah. Diantara ruangan sekian yang besar, terdapat satu ruangan yang dikenal dengan Hawu Agung yang merupakan sebuah dapur (Hawu) berbentuk Mahkota Dewa
115
Wisnu. Di gedung ini sering diadakan kegiatan-kegiatan seni budaya sunda yang berorak khas dibandingkan dengan seni budaya sunda di daerah-daerah Jawa Barat lainnya. Keseluruhan penduduk yang menempati kelurahan Cigugur pada saat penelitian dilaksaanakan berjumlah 7.198 orang yang terdiri dari 3. 688 orang lakilaki dan 3.510 orang perempuan, dengan 600 kepala keluarga. Disamping itu umumnya masyarakat kelurahan Cigugur menempuh pendidikan formal, hal ini didukung dengan adanya sarana dan prasarana pendidikan, yaittu: TK (2 buah), SD/MI (3 buah), SLTP/MTS (2 buah), SMA/MAN (2 buah), dan Perguruan Tinggi (1 buah), (Arsip Kelurahan Cigugur).
4.1.2
Kehidupan Beragama Dalam proses kehidupan beragama, Cigugur merupakan satu wilayah yang
mempunyai keragaman beragama dibandingkan dengan wilayah lain di Kabupaten Kuningan. Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya beberapa agama di Cigugur dan satu kepercayaan yang dianut masyarakat Cigugur, yaitu agama Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha, Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan yang Maha Esa. Untuk lebih jelasnya, berikut data jumlah pemeluk agama di Cigugur pada tabel 4.1.
116
Tabel 4.1 Pemeluk Agama di Cigugur menurut Agama dan Kepercayaan yang Dianut No
Agama
Jumlah
1.
Islam
4.128
2.
Katholik
2.656
3.
Protestan
219
4.
Hindu
2
5.
Budha
1
6.
Lain-lain
155
Jumlah
7161
Sumber : Kantor Kelurahan Cigugur, 2008/2009 Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas masyarakat Cigugur adalah pemeluk agama Islam. Meskipun demikian, keanekaragaman keyakinan pada umumnya dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Cigugur dan dapat hidup rukun saling berdampingan. Hubungan sosial anatara warga yang berbeda keyakinan dapat berjalan dengan baik dan semua warga dapat menjalankan ibadahnya dengan tenang. Di kelurahan Cigugur bukanlah hal yang aneh jika dalam satu keluarga lebih dari satu keyakianan. Misalnya ibu atau bapaknya menganut agama Katholik kemudian anak-anaknya menganut agama Islam atau Penghayat Kepercayaan. Perbedaan keyakianan tersebut tidak menimbulkan ketegangan di antara mereka, hubungan diantara anggota keluarga tetap terjalin dengan serasi dan masing-masing tetap menjalankan ibadahnya dengan baik.
117
Masyarakat Cigugur terbiasa untuk hidup bergotong royong dan bekerjasama dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini terjadi disebabkan banyak diantara orangorang dari beberpa kelompok penganut agama dan kepercayaan itu memiliki rasa toleransi yang tinggi untuk saling membantu dan hidup dengan kekeluargaan. Jadi, pemeliharaan rasa kebersamaan dan kedamaian seakan telah menjadi kebiasaan yang paling utama. Ajaran dan keyakianan yang terdapat dalam masing-masing kelompok tampaknya mendukung dan menjamin terlaksanaya kehidupan yang mengutamakan kerukunan dan rasa toleransi.
4.1.3
Latar Belakang Kemunculan Kepercayaan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan Kepercayaan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dikenal oleh awam
kebanyakan dikembangkan oleh Madrais. Sebagaimana dikembangkan oleh Straathrof (dalam BASIS majalah Kebudayaan Umum edisi April 1971 XX/7:202, dalam pemaparan singkat jejak komunitas ADS ke komunitas Akur oleh Djatikusumah, 2008:1) bahwa “Pendiri Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah Pangeran Madrais Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat, putra Pangeran Alibasa 1, Sultan Gebang”. Padahal sesungguhnya pangeran Madris tidak bermaksud mendirikan suatu agama baru bahkan Kepercayaan Penghayat sekalipun. Pelabelan agama atau kepercayaan penghayat itu sendiri merupakan atau berangkat dari penilaian dasar teologia pemerintahan jajahan Belanda pada saat itu terhadap hal-hal yang dijabarkan oleh Pangeran Madrais. Madrais pada dasarnya
118
hanya mengembangkan dasar-dasar religiusitas adat karuhun Sunda (nenek moyang Sunda) yang melandaskan pada Tri Tangtu atau Pikukuh Tilu (tiga pokok kehidupan yang terdapat dalam wujud manusia dan di bumi). Nama Madrais yang sebenarnya adalah Pangeran Sadewa Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat salah seorang keturunan Gebang dengan silsilah keluarga sebagai berikut: 1) Pangeran Wira Sutajaya 2) Pangeran Seda Ing Demung 3) Pangeran Nata Manggala 4) Pangeran Seda Ing Tambak 5) Pangeran Seda Ing Garogol 6) Pangeran Dalam Kebon 7) Pangeran Sutajaya Upas 8) Pangeran Sutajaya II 9) Pangeran Alibasa. Silsilah keturunan ini tidak banyak diketahui orang, masyarakat Cigugur sekalipun tidak mengetahuinya. Mereka mengetahui bahwa Madrais masih keturunan Kepangeranan Gebang dan ada hubungannya dengan Kesultanan Cirebon. Dalam silsilah keluaga, Pangeran Alibasa disebut juga dengan nama Pangeran Surya Nata atau Pangeran Kusuma Adiningrat, karena ada perseturuan dengan pemerintah Belanda sebagai penjajah kemudian pangeran Surya Nata pada tahun 1825 dititipkan
119
kepada Ki Sastrawadana di Cigugur dengan maksud agar beliau dapat meneruskan leluhurnya dalam menentang penjajahan. Sekitar tahun 1840 Pangeran Kusuma Adiningrat kembali ke Cigugur. Meskipun beliau telah kembali ke Cigugur, beliau sering meningggalkan Cigugur untuk berkelana sampai ke beberapa daerah seperti Kuningan, Cisuru, Ciamis, Tasikamalaya, Garut, Bandung, dan beberapa daerah lainnya di tatar sunda dengan maksud menimba pengetahuan, (diantaranya medalami agama Islam). Setelah menetap kembali di Cigugur, beliau mendirikan ”mendirikan” atau perguruan tempat orang belajar dan menimba ilmu hakekat kehidupan sebagai manusia (pada saat itu padepokan ini dianggap sebagai pondok pesantren oleh awam). Pada akhirnya di Cigugur dikenalah ”padepokan Kiyai Madrais”. Menilik pada etimologi gelar atau sebutan Kiai ini berasal darai dua sebutan kata yaitu Ki dan Yai. Sebutan Ki dan Yai sesungguhnya meiliki persamaan makna adalah panggilan pada seorang ”kolot” atau seorang ”tetua” atau ”sepuh”. Sehingga bilamana digabungkan dua kata tersebut menjadi Kiai, dimana makna gelar sebutan Kiai ini banyak dipakai untuk kalangan ulama Islam. Sementara makna sesungguhnya memiliki makna universal sebagai ”sesepuh atau yang dipertua dan dihormati” dan tidak hanya milik keyakinan saja. Bahkan sebutan yang biasa dipakai bagi Madrais adalah Kiayai Madrais bukan Kiai Madrais. Artinya pula sebutan atau gelar Kiai sesungguhnya bukan semata-mata murni berasal dari tradisi agama tertenu (Islam) tetapi merupakan sebutan penghargaan bagi seseorang yang dipertua atau sesepuh dalam kebudayaan Sunda dan Jawa. Bahkan sebutan itu juga berlaku bagi
120
benda-benda pusaka atau sesuatu yang dikeramatkan atau disucikan. Namun gelar ini banyak dipakai juga bagai para ulama dalam kultur Islam. Nama Kiayi Madrais itu sangat terkenal hingga ke Pesantren Heubeul Isuk dan Ciwedus (daerah Gebang) sebagai seorang yang pandai dan berpengaruh. Ketika pihak Keraton Cirebon mengakui kebangsawanannya, beliau menggunakan nama Pangeran Sadewa Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat. Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin pondok Pesantren yang pada mulanya mengajarkan agama Islam beliau lebih dikenal dengan nama Kiyai Madrais. Sejarah berdirinya ajaran Kiayi Madrais ini, tercatat dalam dokumen kejaksaan Negeri Kabupaten Kuningan No. 227/KK/IX/1964 tertanggal 25 September 1964. Pada zaman kolonial Belanda, perkembangan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa oleh Kiyai Madrais kemudian diakui dan terdaftar sebagai adat rech atau hukum adat. Pada masa itu, setiap perkawinan secara hukum Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dicatatkan secara resmi oleh pejabat daerah setempat setingkat patih yang dikenal dengan wedana. Dengan demikian, pada awal ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Cigugur bersifat komunitas keadatan. Bahkan penamaan Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sendiri pun sesungguhnya pada awalnya bukan dari Kiayi Madrais sendiri, tetapi merupakan sebutan ajaran dari orang lain yang memahami dan mengapresiasi ajaran Kiayi Madrais yang sering mengajarkan nilai kebangsaan dalam tradisi budaya spiritual
121
Sunda dan Jawa masyarakat menyebutnya sebagai Agama Djawa Sunda. Namun pada perkembangannya kemudian, kolonial Belanda mencium adanya upaya penanaman kesadaran berbangsa yang dianggap berbahaya oleh kolonial penjajah saat itu, dalam ajaran yang dikembangkan Kiyai Madrais. Sampai pada akhirnya diketahuilah oleh kolonial Belanda bahwa Kiayi Madrais ini adalah salah seorang keturunan dari Kesultanan Gebang yang pernah melawan VOC pada pemerintahan kolonial Belanda di masa lalu. Berbagai upaya dilakukan penjajah Belanda untuk menghasut dan menumbuhkan ketidakpercayaan para pengikut Madrais bahkan sampai pada upaya politik adu domba dengan sesama padepokan atau pondok pesantren yang ada di Cigugur. Upaya kolonial penjajah Belanda saat itu berhasil, di mana puncaknya membubarkan Komunitas Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan melarang penyebaran ajarannya. Selain itu, penjajah Belanda menangkap dan membuang Kiyai Madrais Tanah Merah atau Boven Digul di Irian Barat (Papua) pada tahun 1901. Sekembalinya Kiyai Madrais dari pembuangan, beliau tidak mengajarkan ajarannya secara langsung, tetapi melalui strategi bertani tanaman bawang merah. Karena pada saat itu keberadaan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa masih dilarang, maka pertemuan dengan para pengikutnya yang
masih
setia
adalah
dengan
cara
bertani
bawang
merah
tersebut.
Sepeninggalannya Kiyai Madrais pada tahun 1939 Masehi, perkembangan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa kemudian diteruskan
122
oleh Putra Pangeran Sadewa Kusuma Wijaya Ningrat (Kiyai Madrais) yaitu oleh Pangeran Tedja Buwana. Pada masa Pangeran Tedja Buwana, inilah gejolak muncul lagi pada pemerintahan transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Gejolak ini dikarenakan masih kuatnya stigmatisasi Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa atau Madraisme ini sebagai bentuk penyimpangan dari ajaran Islam sehingga memaksa pimpinan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa saat itu yaitu pangeran Tedja Buwana membubarkan organisasi Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa (pada sekitar tahun 1964) dan berpindah menganut keyakinan agama-agama yang dianggap” diakui negara pada saat itu (wawancara dengan Djatikusumah, 23 Juni 2009). Kebanyakan para pengikut eks Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa banyak menganut agama Katholik atau Kristen pada umumnya, sesuai dengan amanat dari sesepuh Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yaitu pangeran Tedja Buwana yang menyatakan bahwa: ”sementara untuk berteduh di bawah pohon cemara putih” (sebagian kecil saja yang menganut Islam) (wawancara dengan Gumirat Barna Alam, 23 Juni 2009). Kondisi ini mengingat secara politis memang terjadi provokasi atau pendiskriminasian oleh sekelompok umat Islam di Cigugur yang dipimpin seorang ulama setempat bernama Kiai Mad Tohir. Selain itu, karena beberapa hal dalam tradisi atau ajaran Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang
123
Maha Esa yang dianggap bertentangan dengan tradisi Islam kebanyakan, justru tidak dipermasalahkan oleh ajaran kaum Kristiani (Jejak Sejarah Komunitas ADS, 2008:11) Dalam meneruskan perjuangan menentang penjajahan kolonial Belanda sebagai amanat dari leluhurnya, Kiayi Madrais tidak melakukannya dengan cara adu kekuatan fisik, tetapi melalui penanaman rasa kepribadian dan persatuan bangsa. Sebab jika rasa kepribadian dan persatuan bangsa sudah tertanam, maka dengan sendirinya masyarakat akan menentang dan melawan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Dalam menanamkan tentang pentingnya persatuan bangsa, Kiyai Madrais sangat menonjolkan unsur-unsur budaya spiritual Sunda. Selain mengupas tuntunan budaya spiritual sistem kepercayaan Sunda, Kiyai Madrais juga mengajarkan atau mengupas hakekat ajaran agama-agama yang sudah ada (Islam, Kristen dan sebagainya). Hal ini dilakukan bertujuan untuk dapat menemukan titik persamaan dalam ber-Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar bagi terwujudnya cinta kasih terhadap sesama. Hal demikian sangat diperlukan dalam menumbuhkan rasa persatuan kebangsaan. Karakter spiritual yang berwawasan kebangsaan dan Pluralis dari ajaran dan sifat Kiyai Madrais ini juga sesuai dengan semangat dan karakter spiritual Rahiang Tangkuku atau Seuweu Karma, seorang Prabu dari Kerajaan Saung Galah di Kuningan, yang mikukuh ”tapak Dangiang Kuning” yaitu ajaran keparamartaan (ajaran kebijakan dalam menata kehidupan manusia yang berpedoman pada Dasa
124
Pasanta berupa Parigeuing). Penonjolan unsur-unsur budaya yang dikembangkan oleh Kiyai Madrais memberikan corak yang tersendiri yang berbeda dari padepokan atau pesantren lainnya. Perbedaan lainnya selain ajaran yang mengakar pada unsurunsur budaya Sunda dan Jawa, juga adanya beberapa perubahan seperti khitanan tidak diwajibkan bagi para pengikutnya, kecuali alasan tertentu yang berhubungan dengan kesehatan seseorang yang jalan keluarnya terpaksa harus dikhitan. Selain itu, tata cara penguburan jenasah menggunakan peti (biasanya terbuat dari peti kayu jati). Adanya perbedaan-perbedaan tersebut, oleh para kiai yang lainnya dianggap merupakan suatu penyimpangan terhadap ajaran Islam dan dinyatakan bahwa Kiyai Madrais mendirikan Agama Djawa Sunda (yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa). Penamaan ADS atau Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa terhadap ajaran yang dikembangkan oleh Kiyai Madrais tidak dinyatakan oleh Kiyai Madrais sendiri, namun penamaan tersebut dinyatakan oleh pihak luar. Berdasarkan penamaan tersebut, Kiyai Madrais tidak menolak dan tidak melakukan pembantahan. Meskipun orang menamainya Agama Djawa Sunda, Kiyai Madrais sama sekali tidak bermaksud menambah jumlah agama dan tidak bermaksud menciptakan agama baru. Dalam perkembangan selanjutnya, paham Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dipimpin oleh Kiyai Madrais semakin diintensifkan. Pendalaman paham Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa kepada para pengikutnya dipusatkan di Cigugur. Pada waktu Kiyai
125
Madrais mengembara ke beberapa daerah di tatar Sunda seperti Kuningan, Cisuru, Ciamis, Garut, Bandung, dan beberapa daerah lainnya, banyak yang tersentuh oleh fatwa-fatwanya,
terutama
oleh
pancaran
kekuatan
kepribadiannya
dan
keteladanannya dalam kehidupan sehari-hari. Bila kita merujuk pada istilah Soekanto (2004), maka tipe kepemimpinan yang dimiliki oleh Kiai Madrais berdasarkan wataknya adalah tipe pemimpin di muka dan di belakang. Digolongkan pada tipe ini, karena Kiai Madrais adalah seorang pemimpin yang mempunyai idealisme kuat dan mampu menentukan tujuan serta citacita yang diinginkan kepada para pengikutnya dengan jelas dan mampu mengikuti perkembangan masyarakat. Dari aspek wewenang, kepemimpinan Madrais termasuk pada tipe kepemimpinan kharismatik. Rintangan dari pihak luar yang mencoba untuk menghambat Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat disikapi dengan bijaksana oleh Kiai Madrais. Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak mempunyai kitab suci (tertulis) sebagaimana agama-agama lainnya. Kitab Suci yang dimaksudkannya bukan berbentuk kitab tertulis (buku) sebagaimana dalam agamaagama lainnya. Kitab suci yang disebut kitab suci ”titis tulis” yang berarti wujud pribadi manusia itu sendiri. Kiyai Madrais lebih menitikberatkan pada kesadaran diri baik fungsi diri selaku manusia maupun fungsi diri selaku suatu bangsa (Jejak Sejarah Komunitas ADS, 2008:11). Pada tahun 1939 Kiyai Madrais meningggal dunia kedudukannya dalam mengajarkan faham Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
126
dilanjutkan oleh Putranya bernama Pangeran Tedja Buwana Alibassa. Pada Tahun 1956 ajaran yang dikembangkan oleh Madrais di bawah pimpinan Pangeran Tedja Buwana Alibassa terdaftar pada Badan Koordinasi Kebatinan Indonesia (BKKI), dan kepemimpinannya dilanjutkan oleh cucunya bernama Pangeran Djatikusumah. Selanjutnya dengan terbentuknya Himpunan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (HPK) pada tahun 1981 membentuk lembga secara formal dengan sebutan Paguyuban Adat Karuhun Urang (PACKU) di bawah pimpinan Pangeran Djatikusumah dan terdaftar pada Direktorat Jenderal Bina Hayat dengan nomor 192/R.3/N.1/1982 yang wilayah kerjanya meliputi Jawa Barat dan sekitarnya. Pangeran Djatikusumah telah mempersiapkan anak laki-laki satu-satunya, yaitu Gumirat Barna Alam untuk meneruskan ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut ajaran Kiai Madrais, anak lelaki harus bersikap netral dan dapat mengerti semua agama. Sementara anak-anak Djatikusumah lainnya bebas memilih agama ataupun kepercayaan lain (wawancara dengan Djatikusumah, 23 Juni 2009).
4.1.4
Hal-hal yang menjadi dasar suatu pengikutan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa Setiap kepercayaan, baik itu dikategorikan sebagai suatu agama atau suatu
aliran kepercayaan pasti memiliki ajaran dan pemikiran yang menjadi landasan perkembangan kepercayaan itu. Ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang didirikan oleh Kiayi Madrais ini mempunyai suatu ajaran dan
127
pemikiran tersendiri. Kiai Madrais berusaha untuk mencari titik temu dari ajaran agama yang ada, dengan tetap berusaha untuk menjunjung tinggi budaya yang dimilikinya. Bila ditinjau dari sudut pandang Islam, ada kesamaan konsep ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kesamaan itu diantaranya: 1. Mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa yang dalam ajaran Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dikenal dengan Gusti Pangeran Sikang Sawiji-wiji. Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sangat mempercayai akan kekuasaan dan kekuatan Tuhan, sehingga mereka selalu mengandalkan segala sesuatunya kepada kekuatan Tuhan. Hal ini sejalan dengan Kitab Suci Alquran (Q.S. Al Ikhlash : 1-4) yang berbunyi: ”Katakanlah, Dia-Lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan Yang bergantung Kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakan. Dan tidak seorangpun yang setara dengan Dia”. 2. Mengakui bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna dan memiliki kewajiban untuk menjaga alam dan seisinya. Hal ini sejalan dengan Kitab Suci Alquran yang berbunyi: a) Q.S. Al Qashash ayat 77 ” Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai oarang-orang yang berbuat kerusakan”.
128
Kepercayaan bahwa manusia adalah manusia sempurna yang mempunyai kewajiban untuk menjaga alam dan seisinya menjadikan dasar ajaran dan pemikiran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dituangkan dalam Pikukuh Tilu. Dalam Pikukuh Tilu sangat ditekankan bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga dan melestarikan alam sehingga membantu ciptaan Tuhan yang lainnya kembali lagi kepada penciptanya. Satu yang berbeda dari pandangan Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa bila ditinjau dari ajaran Islam adalah keberadaan Tuhan. Umat Islam meyakini bahwa selain Tuhan berada dekat dengan setiap ciptaan-Nya dan selalu menjaga alam dan seisinya (imanen), Tuhan juga merupakan Zat Yang Maha agung, Maha besar, Maha sempurna kebesaran-Nya, Bagi-Nya segala kerajaan, Maha kuasa atas segala sesuatu dan tidak terjangkau oleh manusia (transenden). Tuhan bukan hanya tidak terjangkau oleh akal manusia, tetapi berada di sekitar kita, bahkan berada di setiap jiwa manusia. Hal ini membuktikan bahwa kuasa Tuhan begitu besar dan tak terbatas. Hal ini sejalan dengan Kitab Suci Alquran (Al-Baqarah ayat 186), (Al-Baqarah 115), (Al-Qaaf ayat 16) yang berbunyi: a) A l-Baqarah ayat 186 Apabila hamba-hamba Ku bertanya kepada engkau tentang Aku (Allah), maka sesungguhnya Aku adalah yang dekat, yang memperkenankan permintaan orang apabila orang meminta kepada-Ku. Oleh karena itu hendaklah mereka patuh dan percaya kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran. b) Al-Baqarah 115 Kepunyaan Allah timur dan barat, maka ke mana kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah itu Yang Maha luas (meliputi) dan Maha mengetahui.
129
c) Al-Qaaf ayat 16 Kami (Allah) kepada manusia lebih dekat dari urat nadinya. Kepercayaan akan adanya Tuhan bagi penganut Kepercayaan
dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan dasar bagi segalanya. Ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa mempercayai bahwa Tuhan itu ada dan Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha adil, Maha Esa, dan Maha Pengasih terhadap alam dan seisinya. Keesaan Tuhan ini disimpulkan dalam perkataan yang disebut dengan Gusti Pangeran Sikang Sawiji-wiji (Pangeran Yang Tunggul). Ia adalah Allah Maha Pencipta alam semesta serta segala isinya. Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa menganggap bahwa Gusti Allah tidak berbentuk, tidak berwujud, tidak bisa ditentukan jenis dan tempatnya (sawabnya). Tuhan tidak jauh dan tidak terpisahkan dari semua ciptaanNya terutama makhluk beriman yaitu manusia, makhluk yang paling tinggi, paling tinggi diantara makhluk lainnya (Yayasan Tri Panca Tunggal : 2). Sawab atau arus kekuatan dan sifat-sifat Allah pencipta dipercaya ada bersemayam dan hidup di setiap ciptaannya, khususnya manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Menurut ajaran Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam setiap diri manuisa bersemayam daya dan citra (sifat-sifat Tuhan ) lebih dari makhluk-makhluk lainnya. Manusia dianugerahi oleh Tuhan berupa budi, sir, rasa, pikir (batin), dan iman (wawancara dengan Djatikusumah, 23 Juni 2009).
130
Sekalipun kepercayaan akan Tuhan merupakan landasan terdalam bagi ADS, Suhandi (1988: 194) menilai bahwa dalam perkembangan, pengajaran, dan penerapan praktisnya kepercayaan itu lebih langsung dipusatkan kepada manusia sendiri, kepada sifat-sifatnya yang khas, hubungannya yang khas pula dengan alam semesta, dan keluhuran serta tanggung jawabnya sebagai manusia yang sempurna. Disinilah kiranya pandangan Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan aliran kebatinan umumnya lebih condong ke arah antroposentris. Pemahaman bahwa kepercayaan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa lebih cenderung bersifat antoposentris, tidak terlepas dari konsep immanen yang diyakininya. Menurut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa Tuhan berada di dalam setiap ciptaan-Nya baik itu yang bernyawa maupun tidak bernyawa. Pemikiran seperti ini menurut Bakhtiar (1999: 93-95) termasuk ke dalam aliran panteisme. Menurut aliran ini Tuhan sangat dekat dengan alam, mempunyai penampakan-penampakan atau cara berada di alam. Disamping mempunyai sifat maha Esa, Tuhan dalam pandangan aliran ini mempunyai sifat Maha Besar dan tidak berubah. Berdasarkan keyakinan ini, segala sesuatu yang terbatas, seperti dunia dan segala isinya tidak dapat berdiri sendiri, melainkan sangat tergantung pada substansi yang satu, yaitu Tuhan. Substansi yang Satu itu, berada di dalam segala sesuatu yang beraneka ragam. Jadi keanekaragaman hanyalah merupakan gambaran dari cara berada Tuhan. Konsep hidup dan mati yang diyakini oleh Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa lebih dikenal dengan istilah Sampuraning Hirup
131
Sajatining Mati (Kesempurnaan Hidup Dan Mati). Berdasarkan arsip Yayasan Tri Mulya (1960/1915 Saka), ajaran pokok Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat dibagi menjadi dua, yaitu mengenai: a. Papasten manusia sebagai makhluk utama, makhluk yang terpilih oleh Tuhan untuk menyempurnakan dunia. Manusia sebagai perantara roh-roh segala ciptaan Allah supaya dapat kembali ke Penciptanya. b. Kewajiban manusia untuk selalu menggunakan ukuran yang ditetapkan oleh Tuhan dalam mengukur semua gerak batin, segala ucapan, dan mengukur semua tingkah laku hidup manusia. Kedua ajaran pokok Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa ini menunjukan bahwa manusia mempunyai peranan yang sangat penting di dunia ini. Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna mempunyai tugas untuk menjaga alam dan seisinya sehingga dapat kembali kepada Sang Pencipta. Manusia harus mengolah, memanfaatkan dan memelihara alam dan isinya sehingga pada akhirnya manusia dapat mensyukuri ciptaan Tuhan dan memuliakan nama-Nya. Ajaran pokok Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa juga mengajarkan bahwa manusia hendaknya selalu berada di jalan Tuhan. Penulis setuju dengan hal ini, karena setiap manusia diwajibkan untuk mewujudkan segala perintah Tuhan dalam setiap gerak langkahnya, yang pada akhirnya akan kembali memuliakan nama-Nya. Kedua pokok ajaran itu bertujuan untuk membentuk manusia yang “Sempurna Hidupnya dan Sejati Matinya (Sampuraning Hirup, Sajatining Mati)”. Hidup
132
Sempurna adalah manusia diharapkan selalu hidup di jalan Tuhan, sadar dan mengerti apa yang harus dilakukan untuk dirinya, sesamanya, bangsa dan negaranya, yang pada akhirnya bertujuan untuk memuliakan Tuhan. Hidup yang sempurna adalah sempurna dalam Sir, Rasa, dan Pikiran. Sempurna dalam setiap langkah dan tingkah laku dalam mengerjakan setiap tugas yang dibebankan kepadanya. Jadi hidup sempurna menurut ialah apabila manusia sudah bisa hidup sebagai manusia sejati sesuai dengan kodratnya (papasten) (wawancara dengan Subrata, 23 Juni 2009). Mati Sejati, ialah apabila manusia bisa pulang kembali ke asalnya (Tuhan). Ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa meyakini bahwa manusia asalnya dari Tuhan dan kembali lagi pada Tuhan. Menurut kepercayaan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa mati sejati adalah Mati pur Katut, yaitu mati tanpa meninggalkan jasad kasarnya karena manusia itu berasal dari yang tidak ada kembali ke tidak ada lagi. Tidak ada karena pada hakekatnya manusia berasal dari roh, abstrak, dan misteri. Mati yang sejati akan terjadi dengan sendirinya apabila manusia yang mati itu sudah sempurna selama hidupnya (wawancara dengan Gumirat Barna Alam, 23 Juni 2009). Jika Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa memiliki pandangan tentang hidup dan mati tersebut, maka menurut pandangan yang dimiliki oleh agama Islam. Agama Islam meyakini bahwa apabila manusia mampu mencintai Tuhan dengan segenap jiwanya dan mengasihi seluruh ciptaan-Nya, beramal shaleh, dan rajin beribadah, maka kelak ia memperoleh hidup yang kekal yaitu surga. Hal ini sejalan dengan Kitab Suci Alquran (Q.S. Ali-Imran : 131 dan 133) yang berbunyi:
133
”Dan peliharalah dirimu dari apai neraka, yang disediakan untuk orangorang yang kafir. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luas langit dan bumi yang disediakan untuk orangorang yang bertaqwa”. Satu hal yang berbeda dengan agama Islam, yang meyakini bahwa manusia berasal dari yang tidak ada kembali menjadi yang tidak ada. Konsep bahwa ”jasad berasal dari tanah kembali lagi ke tanah”. Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa mempercayai bahwa baik jasad maupun jiwa akan kembali kepada Tuhan, karena sama-sama berasal dari yang tidak ada. Pikukuh Tilu merupakan pokok ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tiga asas dasar Ajaran ini pernah mengalami tiga kali penyempurnaan redaksional. Hal ini disebabkan oleh adanya tuntutan jaman. Naskah asli Pikukuh Tilu disajikan dalam bentuk pupuh Sunda dengan menggunakan bahasa Sunda buhun. Untuk mempermudah para pemeluk Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa menghayati ajarannya, maka Pikukuh Tilu disadur ke dalam bahasa Sunda biasa, kemudian disadur lagi ke dalam bahasa Indonesia. Adapun Pikukuh Tilu yang penulis kaji adalah Pikukuh Tilu berbahasa Indonesia. Pikukuh Tilu terdiri dari tiga dasar pokok, yaitu: 1. Ngaji Badan adalah memilih dan menyaring roh hirup tanah pakumpulan (memilih dan menyeleksi dengan selektif) agar tetap berada di jalan Tuhan. Manusia telah dianugrahkan oleh Tuhan lima sifat yang dikenal dengan cara ciri manusa, yaitu: Welas Asih (cinta kasih), Tatakrama adalah etika dan
134
aturan hidup yang baik di masyarakat, undak-usuk adalah tahap-tahap dan status sosial yang menentukan sikap hidup, budi basa-budi daya, sikap dan ucapan, wiwaha yuda naraga, yaitu mengukur, menimbang, dan memikirkan setiap ucapan dan tindakan yang akan dilakukan. Kelima sifat yang dianugerahkan oleh Tuhan ini diharapkan tetap mampu dipertahankan, sehingga manusia mampu melaksanakan papastennya itu. 2. Iman Kana Tanah yang terbagi menjadi dua, yaitu: tanah amparan dan tanah adegan. Tanah amparan adalah tanah/bumi yang kita pijak. Alam jagad raya dengan manusia yang lahir di dalamnya merupakan ciptaan Tuhan. Manusia diciptakan oleh Pangeran Sikang Sawiji-wiji sebagai manusia yang sempurna, karena dianugerahi oleh Tuhan sir, rasa, dan pikiran (cipta, karya, dan karsa) yang menyebabkan manusia dapat berfikir dan berkreasi untuk mengolah dan memanfaatkan alam tanpa harus merusaknya. Manusia juga mempunyai kewajiban membantu ciptan Tuhan yang lainnya untuk kembali kepada pencipta-Nya. Dengan demikian, manusia wajib menyempurnakan segala ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, iman kana tanah berarti manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga dan melestarikan bumi dan isinya yang diciptakan oleh Tuhan. Pengertian tanah sebagai tanah adegan, yaitu berupa wujud fisik manusia (rupa jeung wanda). Para pemeluk Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa mempercayai bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam lima
135
kebangsaan inti (cara- ciri bangsa) yang berbeda rupa/warna kulit, bahasa, aksara/huruf, adat istiadat, dan budaya. Kelima kebangsaan inti yang diciptakan oleh Tuhan adalah: bangsa Belanda/Eropa/Kulit Putih, bangsa Hindu/Kulit Tembaga, Bangsa Arab/Kulit Hitam, bangsa Cina/Kulit Kuning, dan Bangsa Sunda/Kulit sawo matang. Urutan kelima bangsa ini berasal dari yang terkecil menuju yang terbesar berdasarkan sifat dan kesempurnaannya. Pemeluk Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa meyakini bahwa bangsa Sunda merupakan bangsa penyempurna dari kelima bangsa yang ada. Setiap bangsa itu akhirnya melakukan persilangan dan percampuran sehingga menimbulkan banyak bangsa seperti sekarang ini. 3. Ngiblat ka Ratu Raja 3, 2, 4, 5, lilima, 6. Ngiblat adalah menghadap, mengimani, atau menghayati. Ratu raja adalah bahasa simbol untuk segala sesuatu yang rata atau adil dan Raja simbol mengolah atau memperlakukan sesuatu agar menjadi rata atau adil. Unsur 3 menggambarkan sir, rasa, dan pikiran yang merupakan komponen batin manusia, unsur 2 menggambarkan polaritas alam yang berpasangan, unsur 4 menggambarkan geraknya 2 kaki dan tangan. Sedangkan unsur 5 menggambarkan panca indera, unsur lilima menggambarkan fungsi dari organ tubuh yang lain, dan unsur 6 menggambarkan wujud manusia secara utuh (Yayasann Tri Mulya, 2007: 24). Hal ini berfungsi untuk menggambarkan bentuk dan rupa setiap bangsa dan kebudayaan yang dimilikinya. Selain itu ngiblat ka ratu raja berarti menghadap atau mentaati apa saja yang dapat mengatur atau menata segala
136
sesuatu yang tidak teratur dan tidak seimbang (tidak rata). Seperti pemerintahan, peraturan atau perundang-undangan, hukum dan hak asasi. Pikukuh Tilu merupakan tuntunan tentang konsep kesempurnaan hidup yang dibuat oleh Kiai Madrais. Pikukuh Tilu mengajarkan bagaimana manusia harus menyadari bahwa dirinya merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, sehingga mempunyai kewajiban untuk menjaga dan melestarikan alam guna membantu ciptaan Tuhan yang lainnya kembali kepada Sang Pencipta. Oleh karena itu, ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa lebih menekankan kepada Tuhan yang bersifat imanen (penjaga alam semesta). Setiap pemeluk Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa ditanamkan kepercayaan bahwa Tuhan berada dalam setiap ciptaan-Nya, sehingga dalam setiap langkah dan gerak manusia, setiap pemeluk Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa diharapkan selalu mengingat Tuhan dan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh-Nya. Bila manusia sudah dapat melaksanakan Pikukuh Tilu dengan baik, maka kelak ia akan memperoleh hidup yang sempurna. Ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tertuang dalam Pikukuh Tilu tersebut mempengaruhi waktu, cara, dan tempat beribadah Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa mewajibkan para penganutnya untuk beribadat pada setiap saat kapan saja dan di mana saja, terutama pada saat berfikir, hendak berbuat sesuatu, hendak berkata-kata, dan sebagainya.
137
Dengan kata lain, para pemeluk Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa diwajibkan untuk melakukan ibadat ketika hendak melakukan suatu kegiatan. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai ciptaan Tuhan diwajibkan untuk menyembah, memuja, berbakti, dan mengabdi kepada Tuhan baik secara langsung maupun tidak langsung (wawancara dengan Djatikusumah, 23 Juni 2009). Cara terbaik yang dilakukan oleh Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam melakukan ibadahnya ialah dengan bersamadi. Bersemadi menurut ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah sebagai suatu upaya untuk menciptakan si sakarupa sorangan, yaitu suatu keadaan dimana manusia bisa berhadapan dan berdialog dengan dirinya sendiri. Bila manusia bisa berdialog dengan dirinya, maka ia diharapkan seperti melihat dan berdialog dengan karya ciptaan Allahnya. Dalam ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dijelaskan bahwa “Sing saha uninga kana dirina sorangan, moal samar ka Allahna”. Adapun tujuan utama dilakukan semadi adalah membersihkan dan membebaskan dirinya dari segala pengaruh tidak baik yang berasal dari luar (Yayasan Tri Mulya, 1960: 22). Menurut Suhandi (1988: 198) dan (wawancara dengan Djatikusumah, 23 juni 2009) api merupakan benda simbolik bagi penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu ada dan dihadapi dalam setiap peribadatan, terutama dalam peribadatan masal. Api memancarkan terang dan panas, sehingga dapat menjadi simbol adanya suatu kehidupan. Proses hidup dan mati yang
138
terjadi dalam diri manusia, titisan roh kehidupan hanya dapat terlaksana lewat api, tempat semua daya hidup diolah dan diselaraskan bagi manusia. Menurut kepercayaan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, panas api tidak hanya terdapat dalam bumi dan benda-benda yang memiliki cahaya, tetapi terdapat pula dalam setiap diri manusia. Panas api yang berada di dalam setiap badan manusia bisa dipergunakan untuk menghancurkan dayadaya pengaruh yang bisa mengubah sifat-sifat manusia sekaligus mengusirnya dari sir (kemauan), rasa, dan pikiran manusia. Bila manusia menyadari tugasnya di alam jagad ini untuk menampung, mengolah, menyaring, dan menolak daya-daya kekuatan pengaruh yang ada di dalam alam semesta ini, maka apilah yang dijadikan cermin dalam melakukan semadi. Di muka api, manusia diajak untuk memusatkan perhatian kepada dirinya sendiri. Ia seolah-olah dihadapkan kepada kenyataan dan keadaan yang sebenarnya. Sambil bersemadi manusia diajak ber-sisaka rupa pribadi, membersihkan dan menyucikan diri. Api dipandang sebagai suatu alat penuntun kepada Tuhan. Menurut pandangan Kartapradja (1990:132) api dipandang sebagai sumber dari segala kejadian, oleh karena itu Madraisme memuliakan api sejati, yang tidak tampak oleh mata dan tidak dapat diraba dengan raba batin dan yakin. Konsep pandangan ini dalam agama Islam bisa dikategorikan perbuatan syirik. Perbuatan syirik termasuk dosa besar yang tidak akan diampuni oleh Allah SWT, sebagaimana tercantum dalam (Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 8) bahwa: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain
139
dari (syirik) itu, barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar. Memahami
betapa
kuatnya
keyakinan
Penganut
Kepercayaan
dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa akan makna dan fungsi api dalam sistem kepercayaan, maka tidak mengherankan apabila mereka melalukan semadi di depan api, baik api dapur, api lilin, atau bahkan api rokok sekalipun. Doa merupakan hal penting yang tidak dapat dilepaskan dari sikap dan kelakuan konkret seseorang. Pengertian doa bagi Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sama dengan pengertian doa pada masyarakat awam. Selain berdoa secara perorangan, Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa biasanya menyelenggarakan doa bersama di pusat kegiatan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Gedung Paseban Tri Panca Tunggal. Berdasarkan paparan tentang waktu dan cara beribadah, diperoleh gambaran bahwa cara beribadah penganut Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak mengenal waktu khusus, melainkan setiap waktu. Hal ini berdasarkan pada keyakinan bahwa Tuhan selalu menyertai manusia setiap saat. Pikukuh Tilu juga mempengaruhi Tata Cara Perkawinan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hukum dan aturan perkawinan Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa pertama kali diberlakukan pada tahun 1873, kemudian mengalami penyempurnaan pada tahun 1956. Penyempurnaan ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan, yaitu tidak mau
140
melibatkan petugas pemerintahan dalam upacara pernikahan dan merevisi peraturan lama yang belum sepenuhnya menjalankan pokok ajaran Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang ada dalam Pikukuh Tilu. Sebelum disempurnakan, UU Perkawinan tahun 1873 masih melibatkan pegawai pemerintah dalam pencatatan pernikahan dan belum mempersoalkan dilakukannya perkawinan campur, baik yang bukan sesama Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun berbeda suku bangsa. Untuk itulah UU Perkawinan disempurnakan pada tahun 1956. Tujuan Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa membuat Hukum Aturan Perkawinan sendiri adalah untuk menjaga kemurnian bangsa. Ajaran Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa memandang bahwa di dunia ini manusia harus hidup rukun dengan sesamanya dan berusaha untuk menjaga dan menghargai ciri khas budaya yang dimiliki oleh bangsanya. Dengan kata lain, Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa mencoba untuk mengejar kesempurnaan hidup sebagai manusia dan sebagai bangsa. Berdasarkan tujuan pembuatan hukum perkawinan ini, maka dapat dilihat bahwa Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa mencoba untuk menjaga kemurnian budaya bangsa (Sunda), sehingga terkesan bersifat eksklusif (tertutup). Dasar pemikiran inilah yang menyebabkan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak mengijinkan adanya perkawinan campuran antar bangsa. Dalam ketentuan perkawinan dijelaskan bahwa: “Sedangkan
141
apabila seseorang melakukan atau menganjurkan perkawinan campuran antar bangsabangsa, maka ia dianggap telah mengubah kodrat Tuhan yang dapat diartikan pula mengurangi keimanan kepada-Nya dengan sadar ataupun tidak”. Apabila perkawinan campuran terus dilakukan, maka “keaslian” bangsa akan lebih sulit ditentukan. (dalam BASIS majalah Kebudayaan Umum edisi April 1971 XX/7:202, dalam pemaparan singkatjejak komunitas ADS ke komunitas Akur oleh Djatikusumah, 2008:25-26) dan (wawancara dengan Djatikusumah, 23 juni 2009). Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah suatu aliran kepercayaan yang sangat menjunjung tinggi kemurnian budaya bangsa Sunda. Mereka mempercayai bahwa setiap bangsa mempunyai rupa/warna kulit, bahasa, aksara/huruf, adat istiadat, dan budaya yang berbeda (cara-ciri bangsa). Oleh karena itu untuk menjaga kemurnian dari cara ciri bangsa tersebut, Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa melarang adanya perkawinan campur. Perkawinan campur dianggap sebagai suatu tindakan pelanggaran terhadap perintah Tuhan. Keyakinan ini menurut penulis membuktikan bahwa Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang dimilikinya sehingga tidak mau terkontaminasi oleh budaya lain yang berasal dari luar. Hal ini bisa dimengerti karena kondisi sosial politik pada masa itu menunjukan bahwa adanya penetrasi budaya barat yang sangat besar, terutama masa penjajahan Belanda. Aturan perkawinan itu disusun berlandaskan kepada asas dasar Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Pikukuh Tilu, khususnya
142
ajaran mengenai Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa. Oleh karena itu, dalam Hukum Aturan Perkawinan (HAP) Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa banyak memuat ketentuan yang berhubungan dengan hak azasi (hak untuk hidup) dan nilai-nilai manusia beradab dan berbudaya (manusia memiliki tatanan nilai dan norma dalam kehidupan sosialnya), serta memuat mengenai nilainilai kebangsaan (manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga kemurnian bangsa yang dimilikinya) sebagai anugerah Tuhan. Adapun larangan dari Hukum Aturan Perkawinan (HAP) Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu tidak boleh bercerai, tidak boleh berpoligami atau berpoliandri, tidak boleh melakukan hubungan intim sebelum resmi menikah, suami/istri tidak boleh menyakiti pasangannya, suami/istri tidak diperkenankan mengabaikan kewajibannya dan tanggung jawabnya kecuali apabila fisiknya tidak memungkinkan karena sakit (dalam BASIS majalah Kebudayaan Umum edisi April 1971 XX/7:202, dalam pemaparan singkat jejak komunitas ADS ke komunitas Akur oleh Djatikusumah, 2008:26). Perkawinan menurut ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa wajib hukumnya. Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa memandang bahwa perkawinan adalah sesuatu yang suci dan sakral, sehingga perkawinan harus bersifat monogami dan disetujui oleh orang tua kedua pihak. Perkawinan tidak boleh terjadi karena adanya paksaan atau rekayasa tertentu. Perkawinan ADS dianggap sah apabila berlangsung di hadapan kedua orang tua, saksi, dan petugas pernikahan yang ditunjuk oleh Pimpinan Pusat Kepercayaan dan
143
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, memenuhi semua ketentuan HAP ADS, dan terdaftar di instansi pemerintahan yang berwenang (Kantor Catatan Sipil/Kantor Urusan Agama) (Straathnof , 1971: 50 ). Tata Cara Penguburan yang dimiliki oleh Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dengan beraneka ragam bentuk, nama, sifat dan karakter. Hal ini bertujuan agar manusia dapat memanfaatkan dan melestarikan alam yang pada akhirnya memuji kemuliaan Tuhan. Berdasarkan pemikiran tersebut, ajaran Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa meyakini bahwa manusia baik lahir maupun batin harus benar-benar sempurna menuju kematian yag sejati. Dalam istilah Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dikenal sebagai ”Sampurnaning Hirup Sajatining Mati”. Sajatining mati oleh Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa diartikan sebagai “Mulih ka Jati Mulang ka Asal”, yaitu manusia berasal dari Allah kembali lagi ke Allah dengan membawa roh susun-susun tanah pakumpulan ke maha penciptanNya sakit (dalam BASIS majalah Kebudayaan Umum edisi April 1971 XX/7:202, dalam pemaparan singkat jejak komunitas ADS ke komunitas Akur oleh Djatikusumah, 2008:26). Pemikiran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa tentang kematian itu mendorong Kiai Madrais menciptakan cara penguburan baru yang dianggap dapat membantu orang yang meninggal mencapai kesempurnaan dengan kembali kepada sang Pencipta. Penguburan jenazah dilakukan dengan
144
menggunakan peti yang terbuat dari kayu jati. Hal ini merupakan simbol dari “sajatining mati”. Selain itu, jenazah dibalut dengan kain kafan warna hitam yang merupakan simbol “pulang ke jagat peteng/gaib”, ditaburi oleh arang kayu yang merupakan simbol “supaya dosa-dosanya diserap dari jiwa almarhum”, dan ditaburi kapur sebagai simbol “menghancurkan segala dosa” (dalam BASIS majalah Kebudayaan Umum edisi April 1971 XX/7:202, dalam pemaparan singkat jejak komunitas ADS ke komunitas Akur oleh Djatikusumah, 2008:26). Berdasarkan pokok-pokok ajaran yang dimiliki oleh Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka dapat dimengerti apabila Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa berusaha untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan manusia secara lahir dan batin. Manusia dipandang sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna, karena itu manusia mempunyai kewajiban untuk mendasarkan segala prilaku hidupnya dengan ajaran Tuhan. Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah suatu aliran kepercayaan yang berkembang pada akhir abad ke-19. Agama ini berkembang cukup pesat di Jawa Barat, bahkan sampai ke Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Luasnya penyebaran ini menunjukkan bahwa Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa memiliki pengaruh yang cukup besar. Hal tersebut menurut penulis dikarenakan adanya seorang pemimpin yang kharismatik, berwibawa, dan mampu meyakinkan para pengikutnya.
145
Ajaran-ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa telah ditafsirkan oleh beberapa pihak sebagai suatu penyimpangan dari ajaran agama Islam, sehingga dengan alasan tersebut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam perkembangannya mendapat tekanan dari berbagai pihak. Akan tetapi dengan keyakinan bahwa ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa memperjuangkan kebebasan manusia secara lahir dan batin, maka perjuangannya tidak pernah surut. Pola kepemimpinan Kiai Madrais atau pun Pangeran Tedjabuana masih menggunakan pola kepemimpinan tradisional dengan watak kepemimpinan di muka dan di belakang. Tipe kepemimpinan ini sesuai dengan perkembangan masyarakat tradisional pada masa itu.
4.1.5
Pola Interaksi Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur Kuningan Salah satu sifat manusia adalah keinginan untuk hidup bersama dengan
manusia lainnya. Dalam hidup bersama antara manusia dan manusia atau manusia dan kelompok tersebut, terjadi ”hubungan” dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui hubungan itu manusia ingin menyampaikan maksud, tujuan, dan keinginannya masing-masing. Sementara itu, untuk mencapai keinginan tersebut harus diwujudkan dengan tindakan melalui hubungan timbal-balik. Interaksi terjadi bila dua orang atau lebih saling berhadapan, bekerja sama, bahan persaingan, pertikaian, dan sejenisnya, juga merupakan interaksi sosial.
146
Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial tidak mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang-orang secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian dan lain sebagainya. Maka dapat dikatakan bahwa interaksi sosial adalah dasar proses sosial, yang mana menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis (Soekanto,S.,2004:60-61). Proses interaksi yang terjadi antar sesama warga masyarakat di Kelurahan Cigugur didasarkan atas hubungan kekeluargaan, pekerjaan, dan gotong royong. Pada umumnya interaksi yang sering terjadi adalah dengan orang-orang yang satu pekerjaan meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda. Hal ini terjadi pada waktu mereka untuk berinteraksi lebih banyak bila dibandingkan dengan orang yang berbeda pekerjaannya. Interaksi diantara warga masyarakat di Kelurahan Cigugur juga terlihat dalam gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat seperti pada kegiatan bakti sosial, jumat bersih dan membuat sarana peribadatan sering dlaksanakan oleh masyarakat di Kelurahan Cigugur. Ketika diadakan kegiatan gotong royong biasanya antara satu anggota masyarakat dengan yang lainnya saling berjumpa. Pada waktu itu mereka saling menyapa dan saling bersenda gurau yang menandakan akrabnya hubungan mereka walaupun berbeda latar belakang dan agamanya.
147
Selain itu, gotong royong, dalam upacara perkawinan dan kematian juga merupakan saat-saat biasanya anggota masyarakat saling berkumpul dan saling berinteraksi. Dalam kehidupan masyarakat tokoh-tokoh agama dan kepala kelurahan dianggap sebagai seorang pemimpin kharismatik yang harus dipatuhi dan dijadikan panutan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kepala Kelurahan dan tokoh-tokoh agama tidak hanya sebagai tokoh panutan, tetapi juga dianggap sebagai tokoh yang mampu menyelesaikan berbagai masalah dalam masyarakat. Berdasarkan pernyataan di atas, dalam kehidupan sehari-hari para Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa juga terlihat adanya kepatuhan terhadap pimpinan dan ajarannya. Sosok Djatikusumah dianggap sosok panutan bagi mereka, khususnya di Paseban Tri Panca Tunggal di Kelurahan Cigugur. Selain itu, para penganut penghayat kepercayaan dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya sangat baik seperti masyarakat beragama pada umumnya. Para penganut penghayat terbuka dengan perubahan yang terjadi khusunya dalam masalah IPTEK, mereka mengambil manfaat dari IPTEK dan berusaha untuk berfikir maju (wawancara dengan Subrata, 23 Juni 2009). Dalam kehidupan beragama, masyarakat Kelurahan Cigugur terlihat harmonis. Hal ini terjadi karena antara masyarakat Cigugur dan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa memegang teguh rasa toleransi diantara mereka sehingga terjalin suatu hubungan yang baik. Pelaksanaan ritual keagamaan cukup kental, bahkan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh
148
masyarakat biasanya dihubungkan dengan
nilai-nilai agama.
Sarana-sarana
peribadatan pun cukup lengkap, terlihat dengan banyaknya tempat peribadatan, seperti masjid yang berjumlah enam, langgar sembilan, dan gereja ada dua buah (Arsip Kelurahan Cigugur, 2008). Bagi masyarakat komunitas Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang juga tersebar di wilayah Cigugur, tetapi juga di wilayah Jawa Barat lainnya, hidup berdampingan dan bertetangga dengan pemeluk agama yang berbeda. Bahkan tidak jarang dalam suatu keluarga terdapat beberapa keyakinan yang dianut tanpa saling menganggu satu dengan yang lainnya. Mereka bisa dan terbiasa menerima anggota keluarganya yang berasal dari pemeluk agama yang berbeda. Karena prinsip hidup tersebut, peneliti melihat bahwa kerukunan dalam masyarakat penghayat kepercayaan sangatlah dijunjung tinggi yaitu ”meskipun tidak sepengakuan tetapi mengutamakan pengertian”. Hal ini dilakukan dalam upaya ikut serta mewujudkan masyarakat yang sejahtera, seperti melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan, bekerja bersama-sama tanpa memandang suku, ras, agama, maupun golongan, baik itu yang datangnya dari pihak pemerintah maupun atas inisiatif dari warga masyarakat itu sendiri. Kegiatan tersebut wujud dari kesadaran akan kerukunan hidup Umat berKetuhanan Yang Maha Esa. Sejalan dengan hal di atas Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sangat menilai tinggi warisan budaya nenek moyangnya. Adat istiadat warisan para leluhurnya tetap dipelihara dalam kehidupan sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri bahwa adat istiadat tersebut berhubungan erat dengan sistem
149
kepercayaan. Sistem kepercayaan ini terlihat di dalam upacara adatnya, seperti yang dapat kita saksikan dalam upacara Seren Taun. Dalam upacara Seren Taun semua warga di Cigugur turut berpartisifasi di dalamnya tanpa memandang latar belakang agama, ras, suku dan golongan (wawancara dengan Angga, 13 Mei 2009). Dalam hal ini, Seren Taun bukan hanya milik Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa saja. Hal ini karena hakIkat keberadaan Upacara adat Seren Taun merupakan tuntunan bagi siapapun, suku bangsa, dan agama apapun yang mau bersama-sama bersyukur kepada hakekat Ketuhanan Yang Maha Esa. Keadaan ini perlu diungkapkan karena memang pada kenyataannya Upacara Seren Taun meskipun merupakan tradisi upacara ritual masyarakat Sunda (di Cigugur), tetapi dalam pra dan pelaksanaannya melibatkan berbagai elemen masyarakat Cigugur khususnya dan daerah lainnya tanpa membedakan keyakinan agama, suku, golongan dan sebagainya. Di satu sisi tentunya dalam mendukung pengembangan pariwisata daerah dan nasional, maka adanya upacara Seren Taun di Cigugur ini sekaligus juga merupakan Kalender Even nasional untuk kunjungan wisata budaya dan wisata alam. Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sangat menjunjung kerukunan dalam kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sangat patuh dan taat terhadap program-program yang diusung oleh pemerintah, di mana peran pupuhu atau ketua penghayat memiliki peranan yang besar untuk menggerakan para penganutnya dalam menjalankan program pemerintah.
150
4.1.6
Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan terhadap Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa Kesalahan anggapan hanya ada 5 agama yang diakui boleh jadi didasarkan
pada struktur Departemen Agama yang hanya terdiri atas Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik , dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu/ Budha. Hal ini telah menimbulkan masalah yang cukup penting. Mengenai pelarangan agama kita bisa mengambil ilustrasi kalau pembubaran atau pelarangan suatu partai politik saja dapat memerihkan, terlepas dari benar atau salahnya partai tersebut, apalagi pelarangan agama yang berkenaan dengan keyakinan terhadap sesuatu yang bersifat ultimate dalam kehidupan seseorang yang menyangkut keselamatan hidupnya, tidak hanya sekarang melainkan juga nanti setelah mati. Kalau orang bertepo seliro dengan mencoba meletakan diri ditempat mereka yang kehilangan kebebasannya dalam menganut keyakinannya, mungkin orang tidak akan begitu mudah mencabut kebebasan orang lain dalam berkeyakinan yang jelas-jelas dijamin oleh konstitusi negara kita. Di sini kita perlu menegaskan bahwa tidak mengakui keberadaan suatu agama sama saja dengan tidak menghargai hak asasi manusia. Adanya suatu agama tidak perlu mendapat pengakuan dari suatu negara, karena bisa jadi suatu agama ada sebelum negara itu ada. Keberadaan suatu agama juga tidak memerlukan pengakuan Departemen Agama yang suatu saat bisa saja dihapus sesuai kebutuhan (Madjid, Nurcholish; 2001: 113-115). Seiring dengan itu, pelarangan terhadap berbagai aliran
151
atau faham keagamaan dalam kenyataannya tidak akan efektif. Sebab hal ini menyangkut keyakinan pribadi seseorang dan keyakinan tidak mungkin ditaklukan dengan kekuasaan (negara). Dengan demikian, Fungsi legitimasi agama berupa pembenaran dan pengukuhan dari pemerintah juga penting guna menyukseskan program-program pembangunan yang diselenggarakan. Sehubungan dengan hal itu peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam penglegitimasian tersebut. Berkaitan dengan masalah tersebut, Pemerintah Daerah Kuningan juga mempunyai turunan dalam pengawasan terhadap Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang ada di kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan. Dalam rangka kelancaran roda Pemerintah Daerah Kuningan, khususnya yang menaungi atau membawahi masalah keagamaan yang berkaitan dengan Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur Kuningan, maka sesuai dengan pelimpahan kewenangannya Pemerintah Daerah Kuningan melimpahkan masalah ini. Adapun instansi terkait tersebut diantaranya adalah Departemen Agama Kabupaten Kuningan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan dan Bakor Pakem. Pelimpahan ini dilaksanakan sebagai upaya pembinaan dan memfasilitasi aparatur pemerintahan dalam rangka pelaksanaan kebijakan-kebijakan pusat ataupun peraturan daerah. Berdasarkan penelitian terungkap bahwa peran Pemerintah Daerah terhadap Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Kelurahan
152
Cigugur Kuningan yang diwakili oleh instansi-instansi terkait sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah Daerah Kuningan adalah sebagai berikut: 1) Dinas Pariwisata dan Budaya Pemerintah Daerah melalui Dinas Pariwisata dan Budaya berkaitan dengan masalah Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, berfungsi hanya sebatas melindungi Benda Cagar Budaya. Hal ini tercantum dalam UU RI No.5 tahun 1992 tentang benda-benda cagar budaya dan Peraturan Dearah (Perda) Kabupaten Kuningan nomor 7 tahun 2006 tentang pengelolaan Museum, Kepurbakalaan dan Nilai Tradisional. Perhatian pada bidang budaya diwujudkan dengan pemeliharaan dan penugasan gedung Paseban Tri Panca Tunggal. Gedung ini dimanfaatkan baik untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan maupun kebudayaan, yaitu: 1. Sebagai tempat penyelenggaraan Upacara Seren Taun yang digelar tiap tahun. 2. Sebagai tempat untuk menyimpan benda-benda bersejarah seperti: a. Macam-macam senjata, yaitu keris, tombak, dan sebagainya. b. Koleksi alat-alat kesenian daerah dari masa lampau dan perkembangannya. 3. Sebagai perpustakaan a. Buku-buku sejarah. b. Buku-buku keagamaan/ kepercayaan dari setiap agama dan kepercayaan penghayatan kepada Tuhan yang Maha Esa. 4. Sebagai pusat perkembangan seni budaya a. Latihan karawitan. b. Seni tari daerah.
153
c. Kerajinan. Berdasarkan pemaparan di atas berkaitan dengan skripsi yang dikaji, peran Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan khususnya peran Dinas Pariwisata dan Budaya yang tercantum dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan nomor 7 tahun 2006 yang berkaitan dengan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa lebih tepat dalam pengelolaan Nilai Tradisional, yaitu konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting yang berguna dalam hidup dan kehidupan manusia yang tercermin dalam ide dan sikap dalam perilaku serta selalu berpegang teguh kepada adat istiadat. Sementara itu, peran Dinas Pariwisata dan Budaya yang tercantum dalam UU RI no.5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya. Cagar budaya yang dimaksud adalah ”Paseban Tri Panca Tunggal”, yaitu tempat berkumpul khususnya para Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa (wawancara dengan Suryono, 22 Juni 2009). Dengan demikian, pada dasarnya peran Pemerintah Daerah Kuningan di sini adalah melakukan pengelolaan, pemeliharaan, melindungi, mengamankan dan melestarikan peninggalan budaya serta meningkatkan kepedulian dan kesadaran terhadap peninggalan budaya daerah. Dinas Pariwisata dan Budaya mengharapkan agar para Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia (wawancara dengan Suryono, 22 Juni 2009).
154
2) Departemen Agama Indonesia sering disebut sebagai nation state yang unik karena memiliki departemen yang khusus menangani masalah kehidupan beragama. Pembentukan Departemen Agama (dahulu Kementerian Agama) pada 3 Januari 1946 atau lima bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan. Keputusan yang mengakomodasi aspirasi para pemimpin Islam tersebut semakin mempertegas bahwa agama merupakan elemen yang penting dan terkait secara fungsional dengan kehidupan bernegara. Departemen Agama dibentuk dalam rangka memenuhi kewajiban pemerintah untuk melaksanakan isi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29. Pasal tersebut berbunyi, ayat (1) Negara berdasar atas ke-Tuhanan yang Maha Esa, ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Menurut kaidah bahasa Indonesia dan berdasarkan penjelasan Bung Hatta bahwa kata-kata ”itu” di belakang kata kepercayaan dalam pasal tersebut menunjukkan makna kesatuan di antara agama dengan kepercayaan. Jadi, yang dimaksud adalah kepercayaan di dalam agama, bukan kepercayaan di luar agama. Dengan demikian tugas Departemen Agama adalah membina umat beragama sesuai yang digariskan UUD 1945. Prinsip fundamental dalam UUD 1945 mengamanatkan supaya ajaran dan nilai-nilai agama selalu berperan dan memberi arah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
155
Berkenaan dengan itu, dalam Instruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1978 tentang kebijakan mengenai aliran-aliran kepercayaan yang ditandatangani Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara, antara lain ditegaskan bahwa Departemen Agama yang tugas pokoknya adalah melaksanakan sebagian tugas pemerintahan umum dalam pembangunan di bidang agama tidak akan mengurusi persoalanpersoalan aliran kepercayaan yang bukan merupakan agama tersebut. (Dalam: http://pendis.depag.go.id/index.php?a=artikel&id2=perandepagnationstate).
Pemerintah daerah melalui Departemen Agama Kuningan berfungsi dan berperan sebagai instansi yang memberikan pengawasan, pembinaan dan bimbingan agar tidak terjadi penyempalan-penyempalan agama, penyimpangan-penyimpangan serta tidak membuat agama baru seperti yang diharapkan Departemen Agama sendiri (wawancara dengan Ikin Asyikin, 22 Juni 2009).
Selain itu, Departemen Agama Kuningan juga berperan dalam memberikan penjelasan tentang perkawinan Penganut Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik itu mengenai perkawinan campuran maupun statusnya terdaftar atau tidak di kantor Catatn Sipil.
3) Bakor Pakem (Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat) Di Indonesia, lembaga yang berhak dan memiliki kewenangan khusus untuk menangani masalah aliran sesat ini adalah Tim Koordinasi Pengawasan Aliran
156
Kepercayaan Masyarakat (PAKEM). Tim Pakem ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung No.KEP-108/JA/5/1984. Sementara, dasar hukum terkait dengan penindakan terhadap aliran-aliran sesat didasarkan pada UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Untuk diketahui, Kejaksaan Agung mengenal dua delik dalam bidang agama yaitu delik penyelewengan agama dan delik anti agama. Penetapan itu didasarkan pada Surat Kejaksaan Agung RI No. B-1177/D.1/101982 tanggal 30 Oktober 1982 tentang Tindak Pidana Agama dalam UU No. 1/PNPS/1965 yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia. Pemerintah daerah melalui Kejaksaan Negeri dan Bakor Pakem Kuningan berperan sebagai lembaga yang memberikan penanganan dan pengawasan terhadap perkembangan Penghayat Kepercayaan di Cigugur Kuningan serta aliran-aliran kepercayaan lainnya yang ada di Kabupaten Kuningan.
4.1.7
Landasan Hukum Pembenaran terhadap Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur Kuningan Ketentuan Bab XI Pasal 29 UUD 1945 berbunyi: (1) Negara berasas atas
Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya menurut kepercayaannya itu. Dalam konsep UUD 1945 yang semula terdiri atas 42 pasal termasuk aturan peralihan dan aturan tambahan, di dalam pasal 29 hanya
157
dinyatakan bahwa ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apa pun dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing”. Pengakuan agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta jaminan terhadap penduduk yanng beragama dan menjalankan ibadat berdasarkan atas agama atau kepercayaan itu, merupakan ciri negara berKetuhanan Yang Maha Esa. Indonesia tidak berdasarkan pada agama tertentu dan juga tidak berdasarkan pada semua agama yang ada, tetapi memberikan perlindungan pada semua agama dan aliran kepercayaan, sehingga dari sudut ini tampak wawasan kebangsaannya sera sifatnya yang sekularistik. Pada dasarnya, agama dan negara mempunyai peran sendiri dan keberadaannya saling mengatur kehidupan manusia pada bidangnya masing-masing. Negara mengatur manusia dalam hubungannya dengan sesama dalam pergaulan dan hubungan dengan Tuhan. Negara sebenarnya juga mengatur hubungan manusia sebagai subjek hukum atau manusia yang lain. Namun hubungan manusia yang bersangkutan dengan soal hak dan kewajiban keperdataan itu, dasar pengaturannya berada pada kehendak para pihak yang saling berhubungan dan atau berdasarkan Undang-Undang Negara. Sementara itu, hubungan antar manusia diatur oleh agama berkait dengan kepercayaan dan kewajiban seseorang yang diperintahkan oleh Yang Maha Kuasa. Negara memiliki bidang pengaturan yang berbeda dengan bidang yang di atur oleh agama. Oleh karena itu, tidak perlu dicampuradukan antara urusan agama dengan urusan negara. Negara tidak akan mencampuri urusan bagaimana cara-cara
158
beribadat, karena itu merupakan bidang yang dilakukan oleh agama. Demikian pula negara tidak perlu membuat kriteria tentang apa yang diyakini oleh penduduk sebagai agama, serta persyaratan suatu kepercayaan disebut sebagai agama. Dalam UUD 1945 hanya dinyatakan bahwa” ayat ini menyatakan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Pembentuk Undang-undang Dasar tidak pernah mempermasalahkan macam agama yang dianut oleh penduduk Indonesia. Salah satu yang menyangkut tentang macam agama itu disinggung, ketika membicarakan Piagam Jakarta yang mencantumkan kata-kata dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya merupakan kompromis antara golongan Islam dengan Non-Islam. Tambahan katakata itu hanyadimaksudkan bagi ”pemeluk agama Islam” diwajibkan menjalankan syariat Islam, sedang yang non-Islam tidak dimaksud dalam kata-kata tambahan tersebut. Mula-mula golongan Islam menghendaki agar kata-kata ”bagi pemelukpemeluknya” ditiadakan sehingga kewajiban menjalankan syariat Islam berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Akhirnya, disepakati bahwa Negara Indonesia tidak berdasarkan agama tertentu dan memberikan peluang bagi penduduk negara memeluk masing-masing agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Dengan tidak dicantumkannya jenis agama yang dapat menampung kemungkinan adanya agama yang belum pernah dikenal di Indonesia. Dengan demikian pembatasan terhadap agama-agama tertentu tidak sesuai dengan Nilai Dasar yang terkandung dalam pasal 29 UUD 1945.
159
Penafsiran secara gramatikal dari pasal 29 ayat 2 UUD 1945 itu menghasilkan pengertian bahwa agama tidak dapat dipisahkan dengan kepercayaan sehingga tidak ada yang terlepas dari induk agama. Tampaknya penafsiran ini jauh dari realita empirik yang ada di masyarakat Indonesia. Di Indonesia masih banyak aliran yang tidak berpangkal pada induk agama. Penafsiran yang tepat untuk memahami pasal 29 ayat 2 yang masih sangat dipertahankan saat ini adalah penafsiran extensiel sehingga dapat mengantisifasi perkembangan. Ketentuan pasal 29 ayat 2 ini seyogyanya diartikan agama dan atau kepercayannya itu. Setelah diakuinya Aliran Kepercayaan sebagai aliran yang berdiri sendiri, kelompok masyarakat yang beraliran kepercayaan memperoleh pula pengakuan, dan memperoleh jaminan pelaksanaan ibadah berdasarkan atas kepercayaannya itu. Penganut aliran kepercayaan di Indonesia lahir sebelum tersentuh oleh pengaruh agama, oleh karena itu seyogyanya diakui oleh pemerintah. Di lain pihak, tidak dijelaskannya macam agama dalam UUD 1945, menimbulkan permasalahan yaitu perlukah pemerintah mengatur tentang macammacam agama yang diperkenankan dipeluk oleh penduduk Indonesia. Konsekuensi Indonesia yang tidak sekularistik, dapat dibenarkan bahwa pemerintah memberikan pengakuan terhadap agama dan atau aliran kepercayaan yang dianut oleh penduduk Indonesia. Hanya saja pemerintah harus memberikan peluang atau kesempatan yang sama bagi agama dan atau aliran kepercayaan yang dianut oleh penduduk Indonesia. Perdebatan tentang apa yang disebut sebagai ”agama” harus ditinggalkan dan diserahkan saja pada pemeluknya tentang apa yang disebut sebagai agama dan atau
160
aliran kepercayaan. Sikap demikian sejalan dengan tidak dinyatakannya salah satu agama sebagai agama negara. Pemerintah tidak perlu menetapkan jenis agama yang diperbolehkan oleh penduduk negara berdasarkan salah satu pandangan agama dan atau kepercayaan tertentu. Pengawasan dapat saja dilakukan terhadap ajaran yang diberikan di dalam agama, sehingga apabila agama yang beredar dan dipeluk oleh penduduk Indonesia ternyata mengajarkan aliran sesat dan membahayakan keamanan, pemerintah dapat melarang. Ketentuan pasal 29 UUD 1945 ini mengandung Nilai Dasar, yang penerapannya perlu peraturan perundangan. Dalam peraturan perundangan yang mengandung Nilai Instrumentalis justru tidak boleh membatasi Nilai Dasar. Gagasan memberikan pengakuan terhadap agama tertentu, membuktikan bahwa upaya pemerintah untuk memberikan pengakuan terhadap agama yang ada senantiasa menimbulkan keresahan dan masalah ketidakadilan. Kita sebagai bangsa yang merdeka tidak perlu lagi mengulangi kesalahan yang sangat diskriminatif yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada zaman republik upaya pemerintah ”mencampuri” agama dalam pengertian upaya memberikan pengakuan terhadap macam-macam agama itu bermula dari Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan atau Penodaan Agama. Dalam bagian penjelasan dinyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Pengakuan terhadap 6 agama ini dilatarbelakangi oleh
161
agitasi dan provokasi komunis yang cenderung melakukan pelecehan terhadap agama di Indonesia. Di dalam Penetapan Presiden itu sebenarnya sudah pula dijelaskan bahwa penetapan tersebut tidak bersifat membatasi agama, sehingga agama lain pun berhak memperoleh perlindungan hukum. Berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1969, tentang pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-undang, Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 tercantum dalam lampiran IIA yang bersama-sama dengan 22 Penetapan Presiden yang lain dalam lampiran itu yang dinyatakan sebagai Undang-undang. Keberadaan Undang-undang No. 1/Pn. Ps./1965 dari segi ketatanegaraan sebagai undang-undang yang sah yang secara hirarkis di bawah UUD 1945 dan Ketetapan MPR sebagaimana undang-undang lainnya. Dalam pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa ”Kemerdekaan adalah hak segala bangsa” Kemerdekaan yang diperjuangkan para pahlawan bangsa adalah kemerdekaan pada pasca revolusi kemerdekaan adalah perjuangan membebaskan bangsa dari pengaruh bangsa dan ideologi lain yang tidak sejalan dengan amanat yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 beserta pasal-pasalnya antara lain yang berhubungan dengan kebebasan yang paling azasi bagi manusia adalah kebebasan untuk beragama atau berkeyakinan seperti tertuang dalam: Pasal 28 E 1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan
dan
pengajaran,
memilih
pekerjaan,
memilih
162
kewarganegaraan,
memilih
tempat
tinggal
di
wilayah
negara
dan
meninggalkannya, serta berhak kembali. 2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Pasal 29 1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. UU RI No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 8 1) Instansi pelaksana melaksanakan urusan Adminduk dengan kewajiban meliputi: a) Mendaftar peristiwa kependudukan dan mencatat peristiwa penting b) Memberikan pelayanan yang sama dan profesional kepada setiap Penduduk atas pelaporan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting; c) Menerbitkan Dokumen Kependudukan; d) Mendokumentasikan hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil; e) rnenjamin kerahasiaan dan keamanan data atas Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting; dan F) melakukan verifikasi dan validasi data dan informasi yang disampaikan oleh Penduduk dalam pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. 4) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk persyaratan dan tata cara pencatatan peristiwa penting bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan berpedoman pada Peraturan Perundangundangan.
163
Pasal 61 2) Keterangan rnengenal kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam data base Kependudukan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
Pasal 81 1) Perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan dihadapan pemuka penghayat kepercayaan 2) Pemuka penghayat kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan untuk mengisi dan menandatangani surat penghayat kepercayaan 3) Pemuka penghayat kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di daftar pada kementrian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang maha Esa.
Dari peraturan hukum di atas, dapat dipahami secara menyeluruh bahwa terlihat jelas walaupun pemerintah sudah mengakui keberadaan para penghayat kepercayaan, sejumlah aturan menyangkut hal itu masih belum optimal. Sekilas eksistensi para penghayat kepercayaan diakui. Namun dalam praktiknya diskriminasi tetap menyelimuti. Dalam kartu identitas penduduk contohnya, mereka tidak pernah bisa mencantumkan penghayat kepercayaan. Dari KTP merembet ke masalah perkawinan, yang juga tidak bisa dicatat di Kantor Catatan Sipil apabila tetap menganut sebagai seorang penghayat kepercayaan.
164
UUD 1945 sebagai sumber hukum di negeri ini dalam implementasinya sering dipersempit oleh aturan pelaksanaan turunannya yang justru bertolak belakang dengan spirit keberagaman bangsa. Tumpang tindih hukum mengakibatkan makin luasnya dampak diskriminasi bagi warga negara. Terutama dengan campur tangan negara dalam menentukan agama yang diakui dan tidak diakui oleh negara menyebabkan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang menjadikan landasan keyakinannya berakar pada tradisi spiritual genuine masyarakat nusantara yang seringkali terstigma dengan sebutan aliran sesat. Dampak dari perubahan Undang-undang Dasar 1945 bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat khususnya yang berhubungan dengan kebebasan berkeyakinan tidak segera tampak ke permukaan, karena biasanya peraturan perundang-undangan tersebut terselubung oleh judul yang sangat bagus. Hal ini dapat dilihat dalam UU No. 25 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, yang dari judulnya saja hanya terlihat hanya mengatur hal yang bersifat administratif, namun dalam kenyataannya masalah yang berhubungan dengan kebebasan berkeyakinan. Kini seolah terakomodir payung untuk para penghayat kepercayaan, namun birokrasi pemerintahan terbiasa mempersempit pemahaman dari komunitas Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Perubahan kedua UUD 1945 yang ditetapkan tahun 2000, bersamaan dengan berlakunya secara efektif UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Dalam pasal 7 ayat (1) bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
165
peradilan, moneter, dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Namun demikian, sering kali terjadi pemahaman yang tidak tuntas tentang pengertian otonomi daerah dan bahkan tidak jarang diartikan secara berlebihan tanpa mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Diskriminasi pada Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa umumnya karena tidak terakomodasinya hak-hak sipil dan budaya mereka dalam sistem hukum yang berlaku. Masalah yang senantiasa muncul saat ini adalah perlakuan dari aparat pemerintah yang sering membedakan hak dan kewajiban warga penghayat kepercayaan dengan para penganut agama. Beberapa masalah dalam kaitannya dengan diskriminasi dalam pelayanan aparat pemerintah terhadap hak-hak sipil para Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa umumnya diantaranya adalah: 1. Pencatatan perkawinan yang belum bisa dicatatkan secara sama (bahkan dengan PP yang ada kaitannya dengan UU ADMINDUK sekalipun, pelayanan pencatatan perkawinan kaum Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak bisa dicatatkan. Hal ini mengingat dalam PP tersebut hanya membatasi pada kelompok kepercayaan yang memiliki ”organisasi kepercayaan formal” saja yang tercatat di Direktorat Bina Hayat Pusat). 2. Pencantuman identitas keyakinan dalam KTP, atau dokeumen-dokumen resmi, kolom tersebut selalu tertulis kolom agama.
166
3. Pendidikan kerohanian (agama) di sekolah dan perguruan tinggi. Di mana anak-anak penghayat kepercayaan yang kebetulan ”duduk di bangku sekolah” diharuskan mengikuti pendidikan agama yang tidak dianutnya, kalau tidak mengikuti maka anak tersebut tidak mendapat nilai agama dan raport. 4. Tidak diberikannya tunjangan pegawai negeri sipil kaum penghayat karena tidak memiliki akte perkawinan. Meskipun pegawai negeri sipil bersangkutan sudah lama bekerja dengan baik, bahkan mendapat penghargaan dari Presiden RI sebagai pegawai teladan. 5. Masih berkembangnya ”Madraisme Phobia” dengan stigmatisasi yang melekat pada pola pemikiran dan pandangan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan kebudayaan yang dikembangkan oleh masyarakat Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa (wawancara dengan Djatikusumah, 23 Juni 2009).
167
4.2
Pembahasan Hasil Penelitian
4.2.1
Sosiografi Cigugur-Kuningan Cigugur merupakan sebuah kelurahan yang terletak di kaki Gunung Ciremai
dan berjarak 30 km ke arah selatan kota Cirebon. Desa Cigugur merupakan suatu desa yang berbeda dibandingkan desa yang lainnya. Hal ini terlihat dengan adanya kekayaan budaya dan sejarah yang beragam yang dimiliki oleh masyarakat desa Cigugur. Selain itu, di desa Cigugur terdapat sumber mata air, tanahnya yang subur dan ditemukannya benda-benda purbakala. Oleh sebab itu, di desa Cigugur terdapat obyek wisata yang dikenal oleh warga masyarakat dengan sebutan balong Girang atau kolam renang Cigugur, serta Taman Purbakala Cipari. Secara geografis, lokasi Kelurahan Cigugur terletak kurang lebih 3,5 km ke arah barat dari pusat kota Kuningan dengan letak geografis ketinggian 660 m dari permukaan laut. Di daerah Cigugur terdapat tiga sumber mata air dengan air yang jernih. Sumber mata air ini digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagai saluran irigasi tanah pertanian di desa Cigugur dan sekitarnya. Disamping itu, sebagian masyarakat ada yang memanfaatkan sumber air tersebut untuk memelihara ikan air tawar dalam kolam-kolam. Kelebihan air dari ke tiga sumber mata air itu juga digunakan untuk mensuplai kebutuhan air sebagian masyarakat Kelurahan Kuningan dan Cirebon (Arsip Kelurahan Cigugur). Dilihat dari sudut administratif, wilayah Cigugur terdiri atas 38 RT, 13 RW dan 4 lingkungan yang memungkinkan terjadinya mobilitas yang tinggi. Hubungan antar warga masyarakat Cigugur dengan masyarakat luar Cigugur dapat berjalan
168
lancar, sebab telah tersedia sarana transpotasi dan perhubungan yang memadai. Masyarakat Cigugur dapat menjangkau daerah sekelilingnya, seperti Desa Cisantana, Kelurahan Kuningan dan Kelurahan Sukamulya. Letaknya yang strategis tersebut memungkinkan proses akulturasi budaya yang berlangsung antara budaya di Cigugur dengan budaya di luar Cigugur. Berkaitan dengan keberadaan penduduk sebagaimana terungkap dari deskripsi hasil penelitian, bahwa Penganut Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang ada di Kelurahan Cigugur berawal dari pendirian Agama Djawa Sunda (ADS) oleh Kiai Madrais yang mencoba untuk membuat suatu sintesa dari seluruh agama yang ada. Kiai Madrais adalah seorang pangeran keturunan dari Kesultanan Gebang, beliau menyebarkan ajaran ajarannya kepada keluarga dan murid-muridnya setelah mendirikan paguron atau padepokan di wilayah Cigugur. Pada saat penelitian di lakukan jumlah Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa berjumlah 155 orang dan 137 kk yang tersebar di tempat kecamatan, diantaranya kecamatan Subang, Ciniru, Garawangi dan Cigugur. Dilihat dari sudut mata pencaharian masyarakat, sebagaimana terungkap dalam deskripsi hasil penelitian, ternyata sebagian masyarakat Kelurahan Cigugur khususnya para penghayat kepercayaan bermata pencaharian sebagai petani dan telah memiliki pekerjaan yang secara rutin mereka lakukan etos kerja yang terbina dalam diri masyarakat menumbuhkan sikap kerja keras diantara mereka untuk mendapatkan penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sanderson (Mutakin, 2006:63) bahwa:
169
Masyarakat agraris menyandarkan hidup kepada pertanian murni. Tanah dibersihkan dari semua tanaman dan ditanami dengan menggunakan bajak dan binatang-binatang dipergunakan menarik bajak. Ladang dipupuk secara besarbesaran, terutama dengan pupuk kandang. Ketika tanah ditanami dengan cara ini, maka ia dapat dipergunakan secara agak berkesinambungan . Dengan cara demikian, periode kosong sangat pendek atau bahkan tak ada lagi. Para petani sering menanami sebiang tanah tertentu setiap setahun, dan dalam beberapa kasus panen dapat dipungut dari ladang yang sama lebih dari satu kali dalam setahun.
Dalam kegiatan keseharian ini, terungkap juga nilai budaya mereka yang memandang kerja untuk nafkah hidup dan untuk menambah karya seperti yang mereka pahami dan jalankan sesuai dengan ajaran leluhur mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat tradisional, rasa kebersamaan dan kebangsaan serta kecintaan terhadap budaya yang dimiliki oleh bangsa sendiri yang menurut pandangan Bushar Muhammad (2003:27) bahwa: masyarakat hukum adat yang disusun berasaskan lingkungan daerah, adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa bersatu, dan oleh karena merasa bersama-sama merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sehingga terasa ada ikatan antara mereka masing-masing dengan tanah tempat tinggalnya. Dengan demikian, landasan yang mempersatukan para Penganut Kepercayaan Penghayat yang strukturnya bersifat teritorial adalah ikatan antara orang dengan tanah yang didiami sejak kelahirannya, yang didiami oleh neneknya, yang didiami oleh nenek moyangnya, secara turun-temurun. Dilihat dari sudut pendidikan warga masyarakat Kelurahan Cigugur khususnya penghayat kepercayaan, dapat dikemukakan bahwa pendidikan yang mereka tempuh adalah pendidikan formal. Hal ini terbukti dengan adanya sarana dan
170
prasarana pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak samapai kejenjang perguruan tinggi. Mereka mempunyai kemauan yang keras untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Tentu saja di balik semangat yang tinggi untuk menempuh pendidikan itu, terkandung nilai positif adanya gerak sosial atau mobilitas sosial ke arah yang lebih baik yang berorientasi ke masa depan untuk mencapai status sosial yang lebih baik, sebab melalui pendidikan diharapkan dapat terkumpul sejumlah pengalaman dan pengetahuan yang diperlukan dalam menghadapi hidup dan kehidupan di masa yang akan datang. Berkaitan dengan masalah kehidupan beragama dan sistem kepercayaan, Kelurahan Cigugur merupakan salah satu wilayah yang mempunyai keragaman beragama dibandingkan wilayah lain di Kabupaten Kuningan. Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya beberapa agama di Cigugur dan satu kepercayaan yang dianut oleh sebagaian masyarakat Cigugur. Agama dan kepercayaan tersebut antara lain: Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha dan penghayat kepercayaan yang menjadi kajian dalam skripsi ini, walaupun terdapat keragaman dalam hidup beragama, tetapi mereka bisa hidup berdampingan dan terlihat harmonis. Hal ini terjadi karena antara masyarakat Cigugur dan penghayat kepercayaan sangat memegang teguh toleransi beragama diantara mereka. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Levy Bruhl (dalam Geografi Budaya, 2006:108) sebagai berikut: …karena struktur masyarakat beraneka ragam, maka demikian juga gambaran-gambarannya, dan begitu pula pemikiran individunya. Setiap corak masyarakat karenanya punya mentalitas yang khas, karena masing-masing punya kebiasaan dan lembaga-lembaga yang khas pula, yang pada dasarnya
171
hanyalah merupakan suatu aspek tertentu bagi gambaran-gambaran kolektif; semua itu adalah gambaran-gambaran yang dipikirkan secara obyektif.
Berdasarkan pembahasan sosiografi Kelurahan Cigugur di atas, maka dapat dirumuskan kesimpulan sementara sebagai berikut: Cigugur merupakan sebuah wilayah yang ada di Kabupaten Kuningan yang mempunyai keunikan tersendiri diantara wilayah lainnya, dimana Cigugur mempunyai kekayaan budaya dan sejarah serta keanekaragaman dalam kehidupan beragama. Dalam keberagaman tersebut terdapat suatu keharmonisan hubungan antara sesama warga yang berbeda agama dan penghayat kepercayaan. Mereka hidup saling berdampingan tanpa membedabedakan latar belakang. Selain itu, mereka hidup dalam rasa gotong royong dan kekeluargaan yang tinggi, bahkan bisa membaur dalam semua kegiatan upacara Seren Taun yang bisa menyatukan mereka yang dalam prosesnya kental dengan nilai-nilai budaya tradisional, rasa kebangsaan dan kebersamaan.
4.2.2
Latar Belakang Kemunculan Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur Kuningan Kemunculan religi yang hidup dalam masyarakat sederhana, tidak lain karena
adanya fenomena alam, di luar jangkauan dan keterbatasan pemikiran manusia dalam menjawab fenomena tersebut, sehingga mereka menganggap adanya kekuatan dahsyat yang tidak dapat ditaklukan oleh kekuatan manusia. Hal itu sebagai kekuatan supranatural, sehingga harus dihormati dan dipuja agar memberikan perlindungan dan
172
berkah bagi masyarakat, sehingga Firth (dalam Geografi Budaya, 2006 : 110) mengemukakan sebagai berikut: Jika kita namakan hal ini suatu kepercayaan (religi) gaib, maka kita sekali-kali tidak bermaksud mengatakan bahwa hal-hal yang dipercaya rakyat tadi oleh mereka harus dianggap sebagai suatu di luar kekuasaan alam, akan tetapi oleh karena hal-hal itu tidak merupakan sebagian dari apa yang menurut pengalaman kita harus digolongkan ke dalam kekuatan alam. Pada hakekatnya tindakan hal-hal gaib tadi merupakan penyempurnaan bagi usaha-usaha biasa dari manusia… Deskripsi hasil penelitian mengungkapkan bahwa kemunculan Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, di Kelurahan Cigugur Kuningan berawal dari Agama Djawa Sunda (ADS) yang dikembangkan oleh Madrais di wilayah Cigugur Kuningan. Menurut Hartanto (2003), pada tahun 1940 di CigugurKuningan mulai dikenal nama Madrais tetapi ia sering meninggalkan Cigugur dengan maksud berkelana sampai akhirnya kembali lagi ke Cigugur dan mendirikan paguron dengan mengajarkan agama Islam dan dikenal Kiai Madrais. Menurut Prof. Pudjawijatna (1981:135) mengemukakan kepercayaan sebagai berikut: Ada pula kemungkinan, bahwa orang mempunyai keyakinan akan kebenaran bukan karena penyelidikan sendiri, melainkan atas pemberitahuan pihak lain. Kepastian terdapat karena percaya ini tidak perlu kurang pastinya dari kepastian yang diperoleh sendiri. Di paguron Cigugur, selain mengajarkan kerohanian dan agama Islam, Kiai Madrais menganjurkan pula anak istri dan murid-muridnya supaya lebih menghargai cara dan ciri (karakteristik kebudayaan) kebangsaan sendiri khususnya cara dan ciri Jawa Sunda. Kiai Madrais tidak membenarkan masyarakat menjiplak dan memakai bangsa lain, apalagi sampai tidak menghargai bangsanya sendiri (Indonesia). Selain
173
itu, Kiai Madrais dalam memberikan pengajarannya menguraikan ajaran-ajaran dari agama-agama lain untuk dapat diyakini dan ditemukan titik persamaannya dalam Ketuhanan Yang Maha Esa yang akan menjadi dasar terciptanya kesadaran berprikemanusiaan dalam mewujudkan cinta kasih terhadap sesamanya. Kesadaran akan kebangsaan dinyatakan sebagai syarat mutlak terwujudnya persatuan dan keutuhan bagi kebesaran suatu bangsa. Kesadaran yang pada prinsipnya tidak mau diperbudak oleh bangsa lain dilanjutkan oleh Kiai Madrais sebagai keturunan pangeran Gebang melalui paguronnya dengan menggugah kesadaran diri di samping mengajarkan dan menggali inti dari setiap ajaran agama. Pendirian Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, merupakan implementasi dari ajaran yang didapatkan oleh Kiai Madrais selama perkelanaannya. Kiai Madrais berusaha mencoba untuk membuat sintesa dari seluruh agama
yang
ada.
Sebagaimana
diungkapkan
A.
Mukti
Ali
(Muchtar
Ghazali,2004:217) yang menyatakan bahwa: Pemikiran sintesis adalah menciptakan suatu agama baru yang elemenelemennya diambil dari pelbagai agama, supaya tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari jaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Hal ini dilakukannya untuk mencari suatu kebenaran yang hakiki. Dalam melakukan sintesa dari ajaran agama yang ada. Kiai Madrais tetap memegang teguh unsur budaya bangsa, dalam hal ini adalah budaya Sunda. Berdasarkan pengalamannya mencari ilmu hampir di seluruh pulau jawa dan pembuangannya ke Boven Digul (tempat pembuangan tahanan politik), maka penulis
174
menganggap bahwa tidak mustahi selama pengelanaannya dan pengasingannya itu, Madrais mengenal dan melakukan kontak dengan tokoh-tokoh nasionalis. Hal ini semakin mempergigih usahanya untuk menanamkan kesadaran jangan mau diperbudak oleh bangsa lain kepada para pengikutnya (Djatikusumah, wawancara 23 Juni 2009). Penyebaran penghayat kepercayaan dari hasil penelitian terungkap bahwa penyebarannya tidak hanya meliputi daerah Kuningan saja, tetapi juga hampir seluruh Jawa Barat, bahkan samapai ke luar Jawa. Dari luasnya penyebaran, maka kita bisa melihat bahwa kharisma dan wibawa yang dimiliki oleh Kiai Madrais sangatlah besar. Faktor ini merupakan salah satu faktor dominan yang menyebabkan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat berkembang. Merujuk pada pendapat Soekanto (2004) tipe kepemimpinan yang dimiliki oleh Kiai Madrais berdasarkan wataknya adalah tipe pemimpin di muka dan di belakang. Digolongkan pada tipe ini karena Kiai Madrais adalah seorang pemimpin yang mempunyai idealisme kuat dan mampu menentukan tujuan serta cita-cita yang diinginkan kepada para pengikutnya dengan jelas dan mampu mengikuti perkembangan masyarakat. Dari aspek wewenang, kepemimpinan Madrais termasuk pada tipe kepemimpinan kharismatik. Berdasarkan pembahasan tentang latar belakang kemunculan Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur Kuningan, dapat
dirumuskan
kesimpulan
sebagai
berikut:
Madrais
melahirkan
dan
menggerakan Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
175
tidak mendapat kepuasaan baik dari ajaran Islam yang diberikan kepadanya maupun dari ajaran Ngelmu Cirebon yang diterimanya. Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang didirikan oleh Madrais mendasarkan pada sistem keyakinan yang mengguanakan landasan keyakianan pada konsep suci yang dibedakan dari duniawi, unsur gaib atau supranatural yang menjadi lawan dari hukum-hukum alamiah. Ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa juga dijadikan sebagai pendorong, penggerak dan pengontrol bagi tindakan-tindakan para pemeluknya untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajarannya.
4.2.3
Hal-hal yang menjadi dasar suatu pengikutan Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa Deskripsi hasil penelitian mengungkapkan bahwa setiap kepercayaan baik itu
dikategorikan sebagai suatu agama maupun suatu aliran kepercayaan pasti meiliki ajaran dan pemikiran yang menjadi landasan perkembangan kepercayaan itu. Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang didirikan oleh Kiai Madrais ini mempunyai suatu ajaran dan pemikiran sendiri. Kiai Madrais berusaha untuk menjunjung tinggi budaya yang dimilikinya. Dalam ajarannya tersebut menitikberatkan pada kesadaran kebangsaan sebagai dasar dari kesadaran iman kepada Tuhan dan dalam ajarannya di samping kepercayaan yang benar-benar menghayati, mengerti, dan dapat merasakan ke Agungan Tuhan serta menyadari fungsi hidup selaku manusia serta selaku suatu bangsa.
176
Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Djatikusumah (2008:7) bahwa Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak mempunyai kitab suci (tertulis) sebagaimana agama-agama lainnya. Kitab suci yang dimaksudkannya bukan berbentuk kitab tertulis (buku) sebagaimana dalam agamaagama lainnya. Kitab suci yang dimaksudkannya adalah kitab suci ”titis tulis” yaitu wujud atau pribadi manusia itu sendiri. Kiai Madrais lebih menitikberatkan pada kesadaran diri selaku suatu bangsa. Madrais mengajarkan dan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebutan yang sering digunakan oleh para Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah ”Pangeran Si Kang SawijiSawiji”. Menurut paham penghayat kepercayaan, manusia hendaklah dipandang dalam konteks keseluruhan dengan bentuk keanekaragaman hidupannya. Dalam menjalani kehidupannya, manusia memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan yakni: 1) percaya Ka Gusti Si Kang Sawiji-Wiji (percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa); 2) ngaji badan (Mawas diri); 3) akur rukun jeung sesama bangsa (hidup rukun dengan sesama); 4) hirup ulah pisah ti mufakat (mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat); 5) hirup kudu silih tulungan (hidup harus tolong-menolong). Melalui pemahaman nilai-nilai tersebut, terungkap bahwa penghayat kepercayaan sudah memiliki dasar dasar yang kuat dalam memaknai nilai-nilai yang
177
luhur yang telah diwariskan kepada mereka dengan menjunjung arti kesempurnaan hidup dalam tatanan vertikal dan horizontal (percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menjalin hubungan baik dengan sesama). Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan budaya spiritual yang berisi tuntunan luhur untuk berperilaku. Hukum ilmu suci dihayati dengan hati nurani, dengan kesadaran dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Manusia memiliki rasa dan pikir yang melahirkan budi pekerti, dengan kehalusan budi pekerti itulah manusia mempunyai nilai-nilai moral serta ketulusan budi. Menghayati kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berarti setiap warga harus yakin merasakan dan memikirkan bahwa hidup dan kehidupan ini terwujud karena perpaduan serta yakin diantara Ciptaan Yang Maha Esa sebagai pernyataan keagungan-Nya. Sebagaimana terungkap dalam deskripsi hasil penelitian, hal-hal yang menjadi dasar pengikutan penghayat Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa mewujud dalam bentuk kepercayaan akan adanya Tuhan, memaknai konsep hidup dan mati serta pemantapan tuntunan Pikukuh Tilu. Sebagaimana diungkapkan Nurdin (2001:27) mengemukakan bahwa agama meliputi tiga persoalan pokok, yaitu: 1) tata keyakinan atau credial, yaitu bagian dari agama yang paling mendasar berupa keyakinan akan adanya sesuatu kekuatan yang supernatural, Dzat Yang Maha Mutlak di luar kehidupan manusia. 2) tata peribadatan atau ritual, yaitu tingkah laku dan perbuatan-perbuatan manusia dalam berhubungan dengan Dzat yang diyakini sebagai konsekuensi dari keyainan akan keberadaan.
178
3) tata aturan, kaidah-kaidah, atau norma-norma yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, atau manusia dengan alam lainnya sesuai dengan keyakinan dan peribadatan tersebut. Seperti halnya diungkapkan oleh Yayasan Tri Mulya (2006/2007:24) sebagai berikut: 1) Kepercayaan akan adanya Tuhan Dalam tuntunan penghayat kepercayaan, hakikat Tuhan ada di atas segalasegalanya, Maha Tunggal. Tuhan tidak jauh dan tidak dapat dipisahkan dengan ciptaannya terutama manusia sebagai mahluk Tuhan yang paling sempurna, karena manusia memiliki rasa dan pikir yang melahirkan budi pekerti dan memiliki nilai-nilai moral dan nilai religius. Jadi pada dasrnya kepercayaan akan Tuhan merupakan landasan terdalam bagi penghayat kepercayaan. Sedangkan menurut ajaran Islam kepercayaan akan adanya Tuhan terkandung dalam Kitab Suci Al-Quran: a) (Q.S. Al Ikhlash : 1-4): yang berbunyi: ”Katakanlah, Dia-Lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan Yang bergantung Kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakan. Dan tidak seorangpun yang setara dengan Dia”. b) A l-Baqarah ayat 186 Apabila hamba-hamba Ku bertanya kepada engkau tentang Aku (Allah), maka sesungguhnya Aku adalah yang dekat, yang memperkenankan permintaan orang apabila orang meminta kepada-Ku. Oleh karena itu hendaklah mereka patuh dan percaya kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran. c) Al-Baqarah 115 Kepunyaan Allah timur dan barat, maka ke mana kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah itu Yang Maha luas (meliputi) dan Maha mengetahui. d) Al-Qaaf ayat 16
179
Kami (Allah) kepada manusia lebih dekat dari urat nadinya. Dari ayat-ayat di atas, dapat dikaji bahwa dari ayat-ayat Al-Qur’an itu dapat dipastikan terdapat juga dalam jaran-ajaran agma-agama lain, walaupun tidak sama sepenuhnya, sedikitnya sejalan dengan apa yang dimaksud oleh ayat-ayat Al-Qur’an tersebut. 2) Konsep Hidup dan Mati Manusia mempunyai peranan penting dalam menyempurnakan hidupnya di dunia. Konsep hidup dan mati ini diyakini oleh penghayat kepercayaan untuk membentuk manusia yang sempurna hidupnya dan sejati matinya. Hidup sempurna adalah tujuan manusia untuk selalu hidup di jalan Tuhan dan menjauhi segala laranganNya. Jadi, hidup sempurna menurut penghayat kepercayaan adalah apabila manusia sudah bisa hidup sebagai manusia sejati sesuai dengan kodratnya (papasten). Sedangkan mati sejati menurut penghayat kepercayaan adalah mati tanpa meninggalkan jasad kasarnya karena manusia itu berasal dari yang tidak ada kembali ke tidak ada lagi. Jika Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa memiliki pandangan tentang hidup dan mati tersebut, maka menurut pandangan yang dimiliki oleh agama Islam. Agama Islam meyakini bahwa ”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian kepada Kami-lah, kamu dikembalikan” (Q.S.Al-Ankabut:57). Menurut ajaran Islam apabila manusia mampu mencintai Tuhan dengan segenap jiwanya dan mengasihi seluruh ciptaan-Nya, beramal shaleh, dan rajin beribadah, maka kelak ia
180
memperoleh hidup yang kekal yaitu surga. Hal ini sejalan dengan Kitab Suci Alquran (Q.S. Ali-Imran : 131 dan 133) yang berbunyi: ”Dan peliharalah dirimu dari apai neraka, yang disediakan untuk orangorang yang kafir. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luas langit dan bumi yang disediakan untuk orangorang yang bertaqwa”. Dari ayat di atas, dapat dikaji surga dan neraka merupakan suatu keharusan demi tegaknya keadilan, karena kedailan di dunia belum diperhitungkan dengan seksama dan diadili dengan seadil-adilnya. Pengadilan Allah SWT di alam akhirat yang betul-betul diadili dengan seadil-adilnya terhadap semua perbuatan manusia ketika di dunia. Apabila manusia mampu mencintai Tuhan dengan segenap jiwanya dan mengasihi seluruh ciptaan-Nya, beramal shaleh, dan rajin beribadah, maka kelak ia memperoleh hidup yang kekal yaitu surga 3) Pikukuh Tilu Pada dasarnya manusia hidup menuju purwawisesa yakni sabda Tuhan yang dijiwai oleh pancaran kemanusiaan sejati. Manusia adalah mahluk religius, mahluk sosial, dan mahluk budaya. Untuk mencapai ke tiga hal tersebut diperlukan tuntunan yang disebut ”Pikukuh Tilu” yaitu tiga hal yang harus dipegang teguh (dipikukuhkan). Isi Pikukuh Tilu tersebut ialah sebagai berikut: a. Ngaji badan. b. Tuhu/ Mikukuh Kana Tanah.
181
c. Madep ka ratu raja 3-2-4-5 lilima 6. Jadi, pada dasarnya Pikukuh Tilu merupakan tuntunan tentang konsep kesempurnaan hidup dan mengajarkan bagaimana manusia harus menyadari bahwa dirinya merupakan makhluk Ciptaan Tuhan yang lainnya kembali kepada Sang Pencipta. Cara terbaik yang dilakukan oleh Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam melakukan ibadahnya ialah dengan bersemedi. Bersemadi menurut ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah sebagai suatu upaya untuk menciptakan si sakarupa sorangan, yaitu suatu keadaan di mana manusia bisa berhadapan dan berdialog dengan dirinya sendiri. Bila manusia bisa berdialog dengan dirinya, maka ia diharapkan seperti melihat dan berdialog dengan karya ciptaan Allahnya. Dalam ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dijelaskan bahwa “Sing saha uninga kana dirina sorangan, moal samar ka Allahna”. Adapun tujuan utama dilakukan semedi adalah membersihkan dan membebaskan dirinya dari segala pengaruh tidak baik yang berasal dari luar (Yayasan Tri Mulya, 1960: 22). Menurut Suhandi (1988: 198) dan (wawancara dengan Djatikusumah, 23 juni 2009) api merupakan benda simbolik bagi penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu ada dan dihadapi dalam setiap peribadatan, terutama dalam peribadatan masal. Api memancarkan terang dan panas, sehingga dapat menjadi simbol adanya suatu kehidupan. Proses hidup dan mati yang terjadi dalam diri manusia, titisan roh kehidupan hanya dapat terlaksana lewat api,
182
tempat semua daya hidup diolah dan diselaraskan bagi manusia. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Durkheim (Awan Mutakin, 2006:107) bahwa: religi adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka kegiatan religi yang dilakukan masyarakat, nampaknya memerlukan suatu alat yang dianggap suci dalam bentuk simbol yang diyakini bersama memiliki kekuatan yang dapat mempersatukan kehidupan mereka yang disebut Totem. Dengan demikian, bahwa sistem totem sebagai religi yang hidup dalam masyarakat primitif, telah memberikan suatu keyakinan yang dalam terhadap kelompoknya, sehingga di manapun mereka berada akan tetap bersatu dalam totem yang sama dan akan berkumpul di saat-saat tertentu dalam upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh klannya, sehingga totem ini sebagai alat integrasi sosial ke dalam bagi kehidupan masyarakat. Dari pembahasan hal-hal yang menjadi dasar suatu pengikutan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, dapat diambil kesimpulan bahwa ada hal yang mendasari kepercayaan penghayatan tersebut yaitu: Kepercayaan akan adanya Tuhan, memaknai konsep hidup dan mati serta menjalankan Pikukuh Tilu. Adanya hal-hal dasar itu memberikan acuan atau tuntunana bagi para Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk berperilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari mereka. Perilaku penghayatan tersebut terbagi dalam beberapa aspek , seperti aspek teologis (Ngaji badan, Tuhu kana tanah, Madep Ka ratu raja 3-2-4-5 lilima 6), aspek sosial (Tolong menolong, gotong royong, dan berbudi luhur yang diwujudkan dalam tekad ucap
183
serta lampah), aspek kultural (membina, mengembangkan serta melestarikan alam dan budaya sesuai dengan cara-ciri manusia dab cara ciri bangsa).
4.2.4
Pola Interaksi Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa Sebagaimana dikemukakan dalam deskripsi hasil penelitian terungkap bahwa
dalam mengamalkan ajaran budi luhur warga atau para Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa menyadari bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berbeda dan hidup bersama orang lain. ” Adanya aku karena adanya engkau”, artinya manusia bisa hidup karena adanya orang lain. Dalam hidup keseharian manusia selalu ingin dicintai dan mencintai, satu sama lain saling membutuhkan karena sudah menjadi kewajiban bagi setiap insan manusia untuk ikut serta mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang aman dan sejahtera. Dalam upaya ikut serta mewujudkan masyarakat yang sejahtera warga penghayat kepercayaan mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan bekerja bersama-sama tanpa memandang suku, ras, agama maupun golongan, baik itu kegiatan yang datangnya dari pihak pemerintah maupun atas inisiatif dari warga masyarakat itu sendiri. Kegiatan tersebut sekaligus merupakan perwujudan dari jalinan persatuan dan kesatuan bangsa.
Proses yang terjadi antar sesama warga masyarakat di Kelurahan Cigugur didasarkan atas hubungan kekeluargaan, pekerjaan, dan gotong royong. Dalam pandangan Koentjaraningrat (Awan Mutakin, 2006:65) pentingnya gotong royong dapat dilakukan dalam hal:
184
1. Dalam hal kematian, sakit atau kecelakaan, di mana keluarga yang sedang menderita itu mendapat pertolongan berupa tenaga dan benda dari tetangga dan orang lain sedesa. 2. Dalam hal pekerjaan sekitar rumah tangga, misalnya memperbaiki atap rumah, mengganti dinding rumah, membersihkan rumah dari hama tikus, menggali perigi pekarangan rumah dsb., di mana si pemilik rumah dapat meminta bantuan dari tetangga yang hidup dekat sekeliling rumahnya dengan memberi jamuan makan. 3. Dalam hal pesta bila seseorang misalnya hendak mengawinkan anaknya, bisa minta bantuan tidak hanya dari kaum kerabatnya tetapi juga dari kaum tetangganya dalam hal mengurus persiapan dan penyelenggaraan pestanya. 4. Dalam hal pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum dalam masyarakat desa, seperti memperbaiki jalan, jembatan, bendungan, irigasi, bangunan umum dsb., di mana penduduk desa dapat terpengaruh untuk bekerja bakti sesuai dengan pemerintah dari kepala desa Pada umumnya interaksi yang terjadi diantaranya: 1). dalam hal pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum dalam masyarakat desa, seperti memperbaiki jalan, jembatan, bendungan, irigasi, bangunan umum dsb.; 2). dalam hal kematian, sakit atau kecelakaan; 3) dalam hal pekerjaan sekitar rumah tangga, misalnya memperbaiki atap rumah, mengganti dinding rumah; 3) alam hal pesta bila seseorang misalnya hendak mengawinkan anaknya dan yang terbesar adalah dalam upacara seren taun. Hal itu di lakukan meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda. Dalam kehidupan beragama, masyarakat Kelurahan Cigugur terlihat harmonis. Hal ini terjadi karena antara masyarakat Cigugur dan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa memegang teguh rasa toleransi diantar mereka sehingga terjalin suatu hubungan yang baik. Merujuk pendapat Soekanto (2004:61) bahwa: Hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Apabila bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling tegur-menegur, berjabat tangan,
185
saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial Interaksi diantara warga masyarakat di Kelurahan Cigugur juga terlihat dalam kegiatan gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat, seperti kegiatan bakti sosial, jumat bersih, dan membuat sarana peribadatan. Dalam hal ini, meskipun mereka berbeda agama maupun kepercayaan tetapi mereka bisa membaur diantara masyarakat yang lainnnya untuk saling membantu membuat sarana peribadatan bahkan kalau ada yang meninggal berbeda agama mereka bahu-membahu ikut mengurus adan mengucapkan belasungkawa dan mengantarkan jenajahnya. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka bisa mengesampingkan ego dan fanatisme demi terciptanya rasa toleransi dan kekeluargaan diantara mereka tanpa membedakan latar belakang agama, ras, suku, dan golongan. Betapa pentingnya kerja sama, di gambarkan oleh Charles H. Cooley sebagai berikut: ”Kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhimemenuhi kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingankepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerja sama yang berguna”. Dalam kehidupan beragama masyarakat Kelurahan Cigugur terlihat harmonis. Hal ini terjadi karena antara masyarakat Cigugur dan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa memegang teguh rasa toleransi diantara mereka sehingga terjalin suatu hubungan yang baik. Pelaksanaan ritual keagamaan cukup kental, bahkan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh masyarakat biasanya dihubungkan dengan nilai-nilai agama. Sarana-sarana peribadatan cukup lengkap,
186
terlihat dengan banyaknya tempat peribadatan, seperti masjid ada enam buah, langgar ada sembilan buah dan gereja ada dua buah (Arsip Kelurahan Cigugur, 2008). Sebagaimana diungkapkan oleh Hasyim (1979:22) bahwa: Pada umumnya, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masingmasing, selama di dalam menjalankan dan menetukan sikapnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat azas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat. Dengan demikian, toleransi secara prinsipil adalah suatu tindakan yang apresiatif (menghargai), membiarkan tetap mengontrol tindakan orang lain, baik itu dalam konteks ibadah, akhlak, dan muamalah, agar sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Selanjutnya Hasyim (1979:23) memasukan unsur-unsur yang melandasi sikap toleransi, antara lain: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
mengakui hak setiap orang; menghormati keyakinan orang lain; setuju dalam perbedaan; saling mengerti; kesadaran dan kejujuran; jiwa. Berdasrkan pembahasan tentang pola interaksi Penganut Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan masyarakat sekitar di Kelurahan Cigugur Kuningan, maka dapat dirumuskan kesimpulan sementara sebagai berikut: Pola interaksi dengan warga sekitar terjalin dengan baik, sehingga saling menghargai, menghormati, toleransi dan kerukunan antar umat beragama terjalin dengan baik. Disamping itu, gotong-royong, bantu-membantu atau bekerjasama
187
dalam segala aktivitas dan kegiatan sosial juga terjalin dengan baik diwarnai dengan kehidupan yang harmoni dan bisa berkembang sampai sekarang di Kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan.
4.2.5
Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan terhadap Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa Sebagaimana terungkap dalam deskripsi hasil penelitian, bahwa peran
Pemerintah Daerah Kuningan dalam rangka kelancaran roda pemerintahan dan berjalannya stabilitas kerukunan anatar umat beragama, maka sesuai dengan pelimpahan dan kewenangannya Pemerintah Daerah Kuningan melimpahkan masalah ini pada instansi-instansi yang terkait yang berhubungan dengan masalah ini. Adapun insatansi-instansi terkait tersebut diantaranya: 1) Departemen Agama Kuningan 2) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kuningan 3) Bakor pakem Kuningan. Pelimpahan pada insatansi-instansi terkait ini sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah daerah Kuningan sendiri yang khusus menaungi atau membawahi masalah keagamaan yang berkaitan dengan kepercayaan penghayat di Kelurahan Cigugur Kuningan ini. Pelimpahan ini dilaksanakan sebagai upaya pembinaan dan memfasilitasi aparatur pemerintahan dalam rangka pelaksanaan kebijakan-kebijakan pusat ataupun peraturan daerah untuk terciptanya stabilitas nasional dan kerukunan antar umat beragama. Sebagaimana diungkapkan oleh M. Panggabean (Hasyim,
188
1979:357) menguraikan pandapat yang senada mengenai faktor-faktor dalam membina kerukunan hidup umat beragama, sebagai berikut: 1) Golongan yang belum beragama atau belum berKetuhanan Yang Maha Esa termasuk golongan atheis dan animis diusahakan agar mereka beragama dan berKetuhanan Yang Maha Esa, sesuai dengan keyakinan dan pilihannya sendiri. 2) Golongan yang sudah beragama atau berKetuhanan Yang Maha Esa, diusahakan agar mereka makin mantap dan tebal imannya serta luhur budi pekertinya berdasarkan keyakinan agamanya masing-masing. 3) Golongan pemuda dan golongan remaja diusahakan untuk mengahargai dan menghayati nilai-nilai moral dan akhlak yang luhur serta kegiatan-kegiatan usaha yang lebih mengarah kepada pembangunan. 4) Golongan agama dan cendikiawan diusahakan kreativitas dan dukungan yang bergairah sehingga akan menimbulkan partisifasi nyata dari rakyat terhadap program-program pembangunan. 5) Peningkatan kerukunan hidup beragama dan jiwa tenggang rasa umat beragama yang tinggi antar pemeluk agama yang berlainan, dengan memperhatikan faktor-faktor dibawah ini: a. Jangan sampai berusaha supaya orang lain yang sudah memeluk agama meninggalkan agamanya untuk memeluk agama yang ia peluk dengan penindasan atau daya tarik ekonomi dan kebudayaan. b. Menjauhi polemik untuk lebih meningkatkan hubungan antar kelompokkelompok yang berbeda agama. c. Saling memahami kepercayaan satu sama lain. Pembinaan yang baik membutuhkan pengawasan. Demikian pula aturanaturan dan larangan-larangan dapat berjalan dengan baik jika disertai dengan pengawasan yang terus-menerus. Oleh sebab itu, tokoh agama dan aparat pemerintah terkait haruslah berupaya untuk mengawas secara ketat dan bertanggung jawab terhadap praktek Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Fungsi legitimasi dari pemerintah terhadap agama dan kepercayaan berupa pembenaran dan pengukuhan sangat penting. Hal ini dikarenakan agar tidak adanya
189
kesimpangsiuran dan penyimpangan-penyimpangan dalam agama yang dapat meresahkan masyarakat yang nantinya akan menghambat suksesnya programprogram pembanguanan yang akan diselenggarakan. Sehubungan dengan hal itu, Pemerintah Daerah Kuningan juga mempunyai peranan pengawasan terhadap Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang ada di Kelurahan Cigugur Kuningan tersebut. Dari pembahasan tentang peran Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan terhadap Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur Kuningan, dapat ditarik kesimpulan sebagi berikut: Pada dasarnya peran Pemerintah Daerah Kuningan disini adalah melakukan pengelolaan, pemeliharaan, melindungi, mengamankan dan melestarikan peninggalan budaya serta meningkatkan kepedulian dan kesadaran terhadap peninggalan budaya daerah serta pengawasan, pembinaan dan bimbingan agar tidak terjadi penyempalanpenyempalan agama, penyimpangan-penyimpangan dan tidak membuat agama baru.
4.2.6
Landasan hukum pembenaran terhadap Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur Kuningan Beragama dan beraliran kepercayaan adalah Hak Sipil dalam arti bahwa hak
itu sudah ada, tumbuh dan berkembang dalam lembaga sosial serta keagamaan sebelum lahirnya organisasi negara. Hak Sipil itu umumnya berkaitan dengan dengan prinsip kebebasan, yang terganggu karena hadirnya negara. Negara melalui
190
pemerintah cenderung mengatur, membatasi dan terkadang melarang kebebasan sipil. Kebebasan sipil yang berkait dengan nilai-nilai agama diatur oleh kaidah agama, seringkali berimpit dengan hak penguasa dalam mengatur kehidupan kemasyarakatan. Hak untuk memilih pasangan hidup merupakan kebebasan yang harus diakui keberadaannya oleh Pemerintah. Negara tidak dibenarkan memaksa seseorang agar mengawini orang yang sama agamnya, karena perkawinan berbeda agama itu pun merupakan bagian dari kebebasan memilih calon suami istri. Kaidah dalam hak-hak asasi membenarkan perkawinan antar agama, jika pemerintah menolak pencatatan, kaidah hak asasi itu akan kehilangan makna. Oleh karena itu walaupun negara melarang perkawinan campuran antar agama, pemerintah secara tidak langsung menolak hak asasi melalui lembaga pencatatan nikah. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan kesan bahwa pemerintah memaksakan seseorang untuk memilih agama, yang semata-mata hanya untuk kepentingan
unifikasi hukum dan administrasi pemerintahan. Didalam
Ketentuan Pasal 18 Universal Declaration of Human Right dinyatakan bahwa: Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion: this right includes freedom to change his religion or belif, and freedom either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.
Unsur-unsur kebebasan yang dapat diturunkan dari ketentuan pasal tersebut adalah: (a) setiap orang mempunyai kebebasan atas pikiran, keinsafan batin dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama dan kepercayaan; (b) setiap orang mempunyai kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara
191
mengajarkannya, melaksanakannya, beribadat dan menaatinya; (c) kebenasan sebagaimana termaksud dalam butir b tersebut dapat dilaksankan baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun di tempat pribadi. Kebebasan memeluk agama dan atau alairan kepercayaan tercantum pula dalam Konvensi Internasioanal tentang Hak Sipil dan Politik. Di dalam Internasioanal “Convention on Civil and Political Right” dinyatakan: Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This righ shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and public or private, to manifest his religion or belif in worship observance, practice and teaching. Ketentuan Pasal 29 ayat2 UUD 1945 yang ditafsirkan secara gramatikal akan bertentangan dengan Pasal 18 International Convention on Civil and Political Right. ” to have or to adopt a religion or belief of his choice” berarti agama dan kepercayaan itu suatu alaternatif , sedangkan biasanya pasal 29 ayat 2 ditafsirkan secara komulatif. Sebagian masyarakat Indonesia mengenal bentuk ibadat yang artinya menjalankan perintah dari alairan kepercayaan yang tidak bersumber dari agama tertentu. Namun begitu konvensi tentang Hak Sipil dan Politik juga membenarkan pembatasan yang dilakukan dengan Undang-undang, sepanjang pembatasan itu untuk kepentingan keamanan ketertiban, hak-hak asasi dan kebebasan orang lain. Di Indonesia masih banyak aliran yang tidak berpangkal pada induk agama. Penafsiran yang tepat untuk memahami pasal 29 ayat 2 yang masih sangat
192
dipertahankan saat ini adalah penafsiran extensiel sehingga dapat mengantisifasi perkembangan. Ketentuan pasal 29 ayat 2 ini seyogyanya diartikan agama dan atau kepercayannya itu. Dengan tidak dijelaskannya macam agama dalam UUD 1945, timbul permasalahan yaitu perlukah pemerintah mengatur tentang macam-macam agama yang diperkenankan dipeluk oleh penduduk Indonesia. Konsekuensi Indonesia yang tidak sekularistik, dapat dibenarkan bahwa pemerintah memberikan pengakuan terhadap agama dan atau aliran kepercayaan yang dianut oleh penduduk Indonesia. Hanya saja pemerintah harus memberikan peluang atau kesempatan yang sama bagi agama dan atau aliran kepercayaan yang dianut oleh penduduk Indonesia UUD 1945 sebagai sumber hukum di negeri ini dalam implementasinya di lapangan sering dipersempit oleh aturan pelaksanaan turunannya yang justru bertolak belakang dengan spirit keberagaman bangsa. Tumpang tindih hukum mengakibatkan makin luasnya dampak diskriminasi bagi warga negara. Terutama dengan campur tangan negara dalam menentukan agama yang diakui dan tidak diakui oleh negara. Berkaitan dengan landasan hukum Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa menyebabkan
Penganut Kepercayaan dan Penghayatan
Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang menjadikan landasan keyakinannya berakar pada tradisi spiritual genuine masyarakat nusantara seringkali terstigma dengan sebutan aliran sesat. Dampak dari perubahan Undang-undang Dasar 1945 bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat khususnya yang berhubungan dengan kebebasan berkeyakinan tidak segera tampak ke permukaan, karena biasanya
193
peraturan perundang-undangan tersebut terselubung oleh judul yang sangat bagus. Hal ini dapat dilihat dalam UU No. 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, dari judulnya hanya terlihat mengatur hal yang bersifat administratif, namun dalam kenyataannya masalah yang berhubungan dengan kebebasan berkeyakinan. Kini seolah terakomodir payung untuk para penghayat kepercayaan, namun birokrasi pemerintahan terbiasa mempersempit pemahaman dari komunitas Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Diskriminasi pada Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa umumnya karena tidak terakomodasinya hak-hak sipil dan budaya mereka dalam sistem hukum yang berlaku. Masalah yang senantiasa muncul saat ini adalah perlakuan dari aparat pemerintah yang sering membedakan hak dan kewajiban warga penghayat kepercayaan dengan para penganut agama. Gagasan memberikan pengakuan terhadap agama tertentu, membuktikan bahwa upaya pemerintah untuk memberikan pengakuan terhadap agama yang ada senantiasa menimbulkan keresahan dan masalah ketidakadilan. Kita sebagai bangsa yang merdeka tidak perlu lagi mengulangi kesalahan yang sangat diskriminatif yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Berdasarkan pembahasan tentang landasan hukum pembenaran terhadap Penganut Keprcayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur Kuningan, dapat dirumuskan kesimpulan sementara sebagai berikut: Landasan hukum pembenaran terhadap penghayat kepercayaan tersebut adalah a) UUD 1945 Pasal 29 ayat (1 dan 2); b) UUD 1945 Pasal 28 E ayat (1 dan 2); c) UU
194
RI No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependuduk; d) Peraturan Pemerintah RI No. 37 Tahun 2007 tentang Administrasi Kependudukan.