BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Pajak Para ahli memberikan batasan tentang pengertian pajak, di antaranya, yaitu
Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang barang dan jasa jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum (Suady, 2005 : 10). Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjukan, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan (Waluyo, 2007: 2). Pajak menurut pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UndangUndang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pajak adalah iuran wajib kepada Negara (dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
9
10
Menurut Waluyo (2007: 6) pajak memiliki 2 fungsi, yaitu : 1. Fungsi Penerimaan (Budgetair) yaitu pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. 2. Fungsi Mengatur (Reguler) yaitu pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi . 2.1.1 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, terdapat tiga sistem pemungutan pajak yaitu: 1. Official Assesment System Suatu sistem pemungutan pajak yang aparatur perpajakan menentukan sendiri (di luar Wajib Pajak) jumlah pajak yang terutang. 2. Self Assesment System Suatu sistem yang memberikan wewenang kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri dalam penentuan besarnya pajak yang terutang. 3. Witholding System Suatu keadaan yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga dalam pemungutan pajaknya. Undang-undang yang mengatur tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan telah mengalami perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6
11
Tahun 1983 menjadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Hal-hal yang diatur dalam Undang-undang terbaru tersebut meliputi: 2.1.2 Wajib Pajak Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan. Dengan demikian wajib pajak dibedakan menjadi : 2.1.2.1 Wajib Pajak Orang Pribadi Usahawan Wajib Pajak Orang Pribadi Usahawan adalah orang pribadi dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean. Contohnya : Pengusaha Toko Emas, Pengusaha Industri Kertas. Wajib Pajak Orang Pribadi Usahawan di bagi menjadi 2 yaitu: 1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) Pengusaha Kena Pajak menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2000 adalah pengusaha sebagaimana dimaksud dalam angka 14 yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undangundang ini, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan
12
dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Menurut
PPh
pasal
25,
Menteri
Keuangan
menetapkan
penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai 1(satu) atau lebih tempat usaha, besarnya angsuran pajak paling tinggi sebesar 0,75% (nol koma tujuh lima persen) dari peredaran bruto. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak (PKP) 1) Pengusaha yang telah wajib menjadi Pengusaha Kena Pajak atau Pengusaha Kecil yang memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak seperti tersebut diatas berkewajiban untuk : a) Melaporkan
usahanya
(mendaftarkan
perusahaannya)
untuk
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. b) Memungut PPN/PPn BM yang terutang. c) Menyetor PPN/PPnBM yang terutang (yang kurang dibayar). d) Melaporkan PPN/PPn BM yang terutang (menyampaikan SPT Masa PPN/PPn BM). 2) Apabila dalam satu tahun buku peredaran bruto Pengusaha Kena Pajak tidak melebihi batasan Pengusaha kecil, maka Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan pencabutan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
13
PPN merupakan jenis pajak tidak langsung untuk disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan merupakan penanggung pajak (konsumen akhir). Prinsip dasarnya adalah suatu pajak yang harus dikenakan pada setiap proses produksi dan distribusi akan tetapi jumlah pajak yang terutang dibebankan kepada konsumen akhir yang memakai produk tersebut. Tarif PPN menurut ketentuan Undang-Undang Dasar No.42 tahun 2009 pasal 7 : 1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen). 2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
Ekspor Jasa Kena Pajak
3. Tarif Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi sebesar 15% (lima belas persen) sebagai mana diatur oleh Peraturan Pemerintah. Sedangkan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang tergolong mewah yang dilakukan oleh produsen (pengusaha) untuk menghasilkan atau mengimpor barang tersebut dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
14
Barang-barang yang tergolong mewah dan harus dikenai PPnBM ialah:
Barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok
Barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
Barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
Barang yang dikonsumsi hanya untuk menunjukkan status atau kelas sosial Menurut Pasal 8 Undang-Undang No. 42 Tahun 2009, tarif pajak
penjualan atas barang mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi sebesar 200% (dua ratus persen) Jika pengusaha melakukan ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah maka akan dikenai pajak dengan tarif sebesar 0% (nol persen). Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dihitung dengan cara mengalikan persentase tarif PpnBM dengan nilai Dasar Pengenaan Pajak (harga barang sebelum dikenakan pajak, termasuk PPN). 2. Non Pengusaha Kena Pajak Menurut PP 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau di peroleh Wajib Pajak yang memiliki Predaran Bruto Tertuntu Wajib Pajak yang menyelenggarakan Pembukuan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau diperoleh wajib pajak dengan peredaran bruto tidak melebihi
15
Rp 4.800.000.000,00 dalam 1 tahun tidak termasuk penghasilan dari usaha adalah penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas. Dalam Perhitunganya pajak penghasilan jika peredaran bruto dalam 1 tahun kurang dari 4.800.000,00 maka dikenai PPh final dengan tarif 1% dari jumlah Peredaran Bruto setiap bulan dari tempat usaha. Pajak penghasilan yang bersifat final menurut pasal 4 ayat (2):
Bunga dari deposito dan jenis-jenis tabungan, bunga dari obligasi dan obligasi negara, dan bunga dari tabungan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota masing-masing;
Hadiah berupa lotere / undian;
Transaksi saham dan surat berharga lainnya, transaksi derivatif perdagangan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan ibukota mitra perusahaan yang diterima oleh perusahaan modal usaha;
Transaksi atas pengalihan aset dalam bentuk tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan sewa atas tanah dan / atau bangunan; dan
Pendapatan tertentu lainnya, sebagaimana diatur dalam atau sesuai dengan Peraturan Pemerintah.
16
2.1.2.2 Wajib Pajak Orang Pribadi Non Usahawan Wajib Pajak Orang Pribadi Non Usahawan adalah orang pribadi yang mendapatkan penghasilan dari pekerjaan dan pekerjaan bebas. Contohnya : Pegawai Swasta, Pegawai BUMN, PNS, Dokter, Notaris, Akuntan. Untuk menghitung PPh Orang Pribadi sebagai karyawan adalah sesuai dengan penghasilan yang diterima/diperoleh dari satu atau lebih pemberi kerja. Karena diperoleh dari pemberi kerja maka atas penghasilan tersebut dipotong pajak penghasilan oleh pemberi kerja yang disebut PPh pasal 21. Atas pemotongan tersebut merupakan angsuran pajak atau pembayaran pendahuluan bagi karyawan tersebut. Walaupun Pajak Penghasilan telah dipotong dan dibayar oleh pemberi kerja tetapi karyawan tersebut tetap wajib melaporkan pajak penghasilan tersebut. Pelaporan pajak tersebut dilakukan setiap tahun dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Orang Pribadi khusus karyawan berupa SPT tahunan PPh orang pribadi sederhana atau sangat sederhana, yaitu dengan menggunakan 1770S atau 1770SS. Penggunaan formulir tersebut sbb: 1. Formulir 1770SS diperuntukan bagi (Contoh Format di Lampiran) a) Orang Pribadi karyawan yang hanya memperoleh penghasilan dari 1 (satu) pemberi kerja dan b) Penghasilan bruto sebagai karyawan tidak melebihi Rp 60.000.000
17
2. Formulir 1770S diperuntukan bagi (Contoh Format di Lampiran) a) Orang Pribadi karyawan yang memperoleh penghasilan lebih dari 1 (satu) pemberi kerja, atau b) Penghasilan bruto sebagai karyawan melebihi Rp 60.000.000 Batas Penyampaian SPT Tahunan WPOP Non Usahawan Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak (30 Maret tahun berikutnya). 2.1.3 Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 2.1.3.1 Pengertian NPWP Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Berdasarkan sistem Self Assessment setiap Wajib Pajak (WP) wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) atau Kantor 15 Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan WP, untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). 2.1.3.2 Fungsi NPWP Menurut Mardiasmo (2011: 26) fungsi NPWP antara lain: 1. Sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak.
18
2. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. 2.1.3.3 Pendaftaran NPWP Menurut Mardiasmo (2011: 27) kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dibatasi jangka waktunya, karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak terutang. Jangka waktu pendaftaran NPWP adalah: 1. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan, wajib mendaftarkan diri paling lambat 1 (satu) bulan setelah saat usaha mulai dijalankan. 2. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan suatu usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas apabila jumlah penghasilannya tidak sampai satu bulan yang disetahunkan telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, wajib mendaftar diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya. 3. Terhadap Wajib Pajak
yang tidak
mendaftarkan
diri
untuk
mendapatkan NPWP akan dikenai sanksi perpajakan. 2.1.3.4 Sanksi NPWP Menurut Mardiasmo (2011:27) setiap orang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 2 kali
19
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Pidana tersebut ditambahkan 1 kali menjadi 2 kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 tahun, trhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. 2.1.3.5 Penghapusan NPWP Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jendral Pajak apabila: 1. Diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan Subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan 2. Wajib Pajak badan wajib dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha. 3. Wajib Pajak badan bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia atau 4. Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
20
2.1.4 Surat Pemberitahuan (SPT) 2.1.4.1 Pengertian Surat Pemberitahuan Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak, dan atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 2.1.4.2 Fungsi SPT Menurut Mardiasmo (2013: 31) Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT) bagi Wajib Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang: 1. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pungutan pihak lain dalam 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak. 2. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak. 3. Harta dan kewajiban dan/atau 4. Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) masa pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Pengusaha Kena Kena Pajak adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan
21
jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang 1) Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran dan 2) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Bagi pemotong pajak atau pemungut pajak, surat pemberitahuan
adalah
sebagai
sarana
untuk melaporkan
dan
mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkan. 2.1.4.3 Prosedur Penyelesaian SPT Menurut Mardiasmo (2011: 32) prosedur penyelesaian SPT adalah sebagai berikut: 1. Wajib Pajak sebagaimana mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau mengambiil dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.Wajib Pajak misalnya dengan mengakses Situs Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh formulir Surat Pemberitahuan tersebut. 2. Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf
Latin,
angka
arab,
satuan
mata
uang
Rupiah,
dan
menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jendral
22
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. 3. Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah yang diizinkan. 4. Penandataganan SPT dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama. 5. Bukti-bukti yang harus dilampirkan pada SPT, antara lain: 1) Untuk Wajib Pajak yang mengadakan pembukuan: Laporan Keuangan berupa neraca dan laporan rugi laba serta keteranganketerangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kenap Pajak. 2) Untuk SPT Masa PPN sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah pajak Masukan yang dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak. 3) Untuk Wajib Pajak yang menggunakan norma perhitunganperhitungan jumlah peredaran yang terjadi dalam tahun yang bersangkutan.
23
2.1.4.4 Pembetulan SPT Menurut PP 91/PMK.03/2015 : a) Surat
pernyataan
penyampaian
SPT,
yang
menyatakan
keterlambatan
bahwa
keterlambatan
pembayaran,
dan/atau
pembetulan SPT dilakukan karrena kekhilafan atau bukan karena kesalahan dan ditandatangani atas meterai oleh Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak orang pribadi atau wakil Wajib Pajak dalam hal Wajib pajak badan b) Fotokopi SPT atau SPT pembetulan yang disampaikan atau printout SPT atau SPT pembetulan berbentuk dokumen elektronik yang disampaikan c) Fotokopi bukti penerimaan atau bukti pengiriman surat yang dianggap sebagai bukti penerimaan penyampaian SPT atau SPT pembetulan d) Fotokopi Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan pajak terutang yang tercantum dalam SPT Masa atau bukti pelunasan kekurangan pajak yang tercantum dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan atau bukti pelunasan pajak yang kurang bayar yang tercantum dalam SPT pembetulan dan e) Fotokopi Surat Tagihan Pajak
24
2.1.4.5 Jenis SPT Menurut Mardiasmo (2011: 34) secara garis besar SPT dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak. 2. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. SPT dapat berbentuk 1. Formulir kertas (hardcopy). 2. E-SPT. 2.1.4.6 Batas Waktu Penyampaian SPT Menurut Mardiasmo (2011: 35) batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah: 1. Untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak. Khusus untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak. 2. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak. 3. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak
25
2.1.4.7 Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT Berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP) jangka waktu untuk menyampaikan SPT tahunan adalah sebagai berikut: 1. Untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak. 2. Untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Menurut Mardiasmo (2011: 35) pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan dibuat secara tertulis dan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak, sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan berakhir, dengan dilampiri: 1. Penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang batas waktu penyampaiannya diperpanjang. 2. Laporan keuangan sementara. 3. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang. Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak. Dalam hal ini Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan ditandatangani oleh Kuasa Wajib Pajak, Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus. Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan dapat disampaikan:
26
1. Secara langsung. 2. Melalui pos dengan bukti pengiriman surat. 3. Dengan cara lain yang meliputi: 1) Melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat. 2) E-Filing melalui ASP (Application Service Provider). Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dianggap bukan merupakan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan. 2.1.5 Pajak Penghasilan Dilihat dari pengelompokkan pada pembahasan sebelumnya, Pajak Penghasilan merupakan pajak langsung yang dipungut pemerintah pusat. UndangUndang tentang pajak penghasilan telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang No. 36 tahun 2008. Sebagai pajak langsung, maka beban pajak tersebut menjadi tanggungan Wajib Pajak yang bersangkutan, dalam arti bahwa beban pajak tidak boleh dilimpahkan kepada pihak lain. Beban pajak tersebut muncul sebagai akibat dari sejumlah penghasilan yang diperoleh dari kegiatan Wajib Pajak. Berikut adalah pengertian Penghasilan dan Pajak Penghasilan, yaitu : Pengertian penghasilan yang dikutip dari PSAK 23 dalam Gunadi (2009: 147), menyebutkan bahwa: “Penghasilan adalah arus masuk bruto sebagai peningkatan manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi tertentu dalam
27
bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal.” Pengertian pajak menurut Undang-Undang PPh No. 36 Tahun 2008: “Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak.” 2.1.6 Subjek Pajak Penghasilan Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Dalam Undang-Undang PPh No. 36 Tahun 2008 Pasal 2 ayat (2) dijelaskan bahwa : 1. Subjek pajak dalam negeri adalah : 1) Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia. 2) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. 3) Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria : (1) Pembentukannya undangan.
berdasarkan
ketentuan
peraturan
perundang-
28
(2) Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). (3) Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau pemerintah daerah. (4) Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. 4) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. 2. Subjek pajak luar negeri adalah : 1) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. 2) Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia , serta memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. 3) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, yang dapat menerima atau memperoleh
29
penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. 2.1.7 Objek Pajak Penghasilan Dalam Undang-Undang no 36 tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk: 1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya. 2. Hadiah dari undian, atau pekerjaan, atau kegiatan, dan penghargaan. 3. Laba usaha 4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta. 5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak 6. Bunga
termasuk
premium,
diskonto,
dan
imbalan
karena
jaminan
pengembalian utang. 7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
30
8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak. 9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta 10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala 11. Keuntungan karena pembebasan utang 12. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. 13. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. 14. Keuntungan selisih kurs mata uang asing. 15. Premi asuransi 16. Surplus Bank Indonesia 17. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. 18. Keuntungan dari usaha berbasis shariah. 2.1.8 Penghasilan Tidak Kena Pajak Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah batas minimum penghasilan yang tidak dikenakan pajak, artinya jika Wajib Pajak berpenghasilan tidak lebih dari PTKP, maka tidak dikenakan pajak. Penghitungan PTKP ditentukan menurut keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak (Mardiasmo, 2008 : 141). Besarnya penghasilan tidak kena pajak sejak 1 Januari 2015 ( PMK No.122 Tahun 2015 ) disesuaikan menjadi sebagai berikut : 1. Rp 36.000.000,00 ( tiga puluh enam juta rupiah ) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi.
31
2. Rp 3.000.000,00 ( tiga juta rupiah ) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin. 3. Rp 36.000.000,00 ( tiga puluh enam juta rupiah ) tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami 4. Rp 3.000.000,00 ( tiga juta rupiah ) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 orang setiap keluarga. Sesuai dengan Pasal 17 ayat 1, Undang-Undang No. 36 tahun 2008, tarif pajak penghasilan pribadi sebagai berikut: Tabel 2.1 Tarif PPh Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak (%)
0 – Rp 50.000.000,00
5
Di atas Rp 50.000.000,00 – Rp 250.000.000,00
15
Di atas Rp 250.000.000,00 – Rp 500.000.000,00
25
Di atas Rp 500.000.000,00
30
Sumber: Undang-Undang No 36 Tahun 2008. 2.1.9 Dasar Perhitungan Penghasilan Kena Pajak Menurut ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, PKP merupakan dasar penerapan tarif bagi wajib pajak dalam negeri dalam satu tahun pajak dan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dihitung dengan cara mengurangkan
32
penghasilan neto dengan PTKP. Jadi penghitungan PKP bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yaitu:
PKP = Penghasilan netto – PTKP Keterangan : a) Biaya jabatan dikenakan tarif 5% dengan dikali penghasilan Bruto selama 1 tahun dan setinggi-tingginya Rp 6.000.000 setahun atau Rp 500.000 sebulan b) Iuran pensiun maksimal sebesar Rp 2.400.000 per tahun Sedangkan Pajak Penghasilan (PPh) di hitung dengan rumus :
Pajak Terutang = Tarif Pajak x PKP
2.1.10 Pengetahuan Perpajakan Pengetahuan adalah informasi yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan inderawi. Sedangkan pengetahuan pajak adalah merupakan pengetahuan mengenai konsep ketentuan umum di bidang perpajakan, jenis pajak yang berlaku di Indonesia mulai dari subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, perhitungan pajak terutang, pencatatan pajak terutang sampai dengan bagaimana pengisian pelaporan pajak (Veronica Carolina, 2009: 7).
33
Wajib pajak yang memiliki pengetahuan tentang pajak, seharusnya dapat menyadari bahwa pajak merupakan sumber penerimaan negara yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum sebagai pencapaian tujuan pembangunan yang dapat memberikan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya pengetahuan yang dimiliki tersebut diimplementasikan terhadap suatu sikap patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Tingkat pengetahuan yang dimiliki masyarakat dapat dimulai dari pemahaman terhadap pemahaman peraturan serta kebijakan perpajakan, pemahaman dalam menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), pemahaman akan kewajiban dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) (Verisca, 2010). Konsep pengetahuan pajak atau pemahaman pajak menurut Septiayani dalam Siti Kurnia (2010: 31) yaitu Wajib Pajak harus meliputi: 1. Pengetahuan mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 2. Pengetahuan mengenai sistem perpajakan di Indonesia. 3. Pengetahuan mengenai fungsi perpajakan. Adapun indikator dalam mengukur tingkat pengetahuan pajak yaitu: 1. Pengetahuan Wajib Pajak terhadap fungsi pajak 2. Pengetahuan Wajib Pajak terhadap peraturan pajak 3. Pengetahuan Wajib Pajak terhadap pendaftaran sebagai Wajib Pajak 4. Pengetahuan Wajib Pajak terhadap Tata Cara Pembayaran Pajak 5. Pengetahuan Wajib Pajak terhadap tarif pajak
34
2.1.11 Kesadaran Wajib Pajak Kesadaran wajib pajak adalah sikap mengerti wajib pajak badan atau perorangan untuk memahami arti, fungsi dan tujuan pembayaran pajak. Kesadaran wajib pajak merupakan faktor terpenting dalam sistem perpajakan (Harahap, 2004: 43). Kesadaran memenuhi kewajiban perpajakan tidak hanya tergantung kepada masalah-masalah teknis saja yang menyangkut metode pemungutan, tarif pajak, teknis pemeriksaan, penyidikan, penerapan sanksi sebagai perwujudan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dan pelayanan kepada wajib pajak selaku pihak pemberi dana bagi negara. Di samping itu juga tergantung pada kemauan wajib pajak sejauh mana wajib pajak tersebut akan mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Siti Kurnia, 2010: 141). Adapun indikator dalam mengukur tingkat Kesadaran Wajib Pajak yaitu: 1. Kesadaran akan fungsi pajak 2. Kesadaran untuk membayar pajak bukan karena paksaan 3. Kesadaran akan manfaat pajak yang dibayarkan 4. Kesadaran bahwa pajak diatur Undang-Undang 2.1.12 Kepatuhan Wajib Pajak Kepatuhan Wajib Pajak merupakan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh pembayar pajak dalam rangka memberikan kontribusi bagi
35
pembangunan negara yang diharapkan di dalam pemenuhannya dilakukan secara sukarela. Kepatuhan Wajib pajak menjadi aspek penting mengingat sistem perpajakan Indonesia menganut sistem Self Assessment di mana dalam prosesnya mutlak memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar dan melapor kewajibannya. Kepatuhan wajib pajak adalah suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi dimana : wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami sesuai ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas, menghitung jumlah pajak terutang dengan benar, membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya (Siti Kurnia, 2010: 138). Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000 tentang Kriteria Wajib Pajak Patuh, yaitu jika memenuhi kriteria berikut ini. 1. Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan untuk semua jenis pajak dalam dua tahun terakhir. 2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. 3. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir. 4. Dalam
dua tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU KUP, dan dalam hal wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang
36
terakhir untuk tiap-tiap jenis pajak yang terutang paling banyak lima persen. Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk dua tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. Laporan auditnya harus disusun dalam bentuk panjang (long form report) yang menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal. Dalam hal wajib pajak yang laporan keuangannya tidak diaudit oleh akuntan publik dipersyaratkan untuk memenuhi ketentuan pada angka 1, 2, 3, dan 4 di atas. Adapun indikator dalam mengukur Kepatuhan Wajib Pajak yaitu: 1. Kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri 2. Kepatuhan untuk menyetorkan kembali surat pemberitahuan 3. Kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terutang 4. Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan 2.2
Penelitian terdahulu Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu
No
Peneliti
Judul
Hasil
Sama/Beda dgn Peneliti sekarang
1
Siti Musyarofah
Pengaruh Kesadaran
Kesadaran wajib pajak
Beda
dan
Adi
dan Persepsi Tentang
berpengaruh
Penelitian Sekarang
Purnomo (2008)
Sanksi, dan Hasrat
terhadap kepatuhan wajib
karena
ISSN
Membayar
pajak,
yang
menggunakan
semakin
banyak
9857
1829-
Pajak
Terhadap Kepatuhan
positif
artinya wajib
persepsi
dengan
tidak
tentang
37
Wajib Pajak
2
pajak memiliki kesadaran
sanksi dan Hasrat
pajak yang tinggi akan
membayar pajak
mengerti
Sama
fungsi
dan
karena
manfaat pajak, sehingga
menggunakan
wajib pajak akan sukarela
Kesadaran
membayar pajaknya
Kepatuhan WPOP
Pengaruh Kesadaran
Kesadaran
Beda
Tiraada (2013)
Perpajakan,
berpengaruh
ISSN
Pajak, Sikap Fiskus
terhadap
Terhadap Kepatuhan
Wajib
WPOP di Kabupten
Pribadi. Masyarakat tidak
sanksi
Minahasa Selatan
terlalu
sikap fiskus
Tryana
A.M.
2303-
1174
Sanksi
Perpajakan signifikan Kepatuhan
Pajak
Orang
memandang
dan
dengan
Penelitian sebelumnya karena tidak menggunakan pajak
penting Kepatuhan Wajib
Sama
Pajak
menggunakan
dikarenakan
kesadaran hanya
perpajakan
akan
menjadi
bahan pertimbangan bagi mereka
dan
karena
kesadaran perpajakan
dan
kepatuhan WPOP
untuk
menyetorkan
nominal
pajak yang dibebankan kepada
wajib
pajak
tersebut. 3
Linda &
Santoso
Kusnawati
(2013) ISSN 682x
1979-
Analisis
Pengaruh
Pengetahuan
Pajak,
Pengetahuan
perpajakan
Sama
Dengan
secara empiris memiliki
Penelitian Sekarang
Persepsi Wajib Pajak
pengaruh
tetapi
dan
kepatuhan wajib pajak
Kemauan
Membayar
Pajak
terhadap
tidak
menggunakan persepsi wajib pajak
Terhadap Kepatuhan
dan
Wajib Pajak di KPP
membayar pajak.
Pratama Kebon
Jakarta Jeruk
Tahun 2011
Dua
kemauan
38
2.3
Kerangka Pemikiran Tata cara pemungutan pajak dengan Self Assesment System akan berhasil
dengan baik jika masyarakatnya mempunyai pengetahuan dan pemahaman serta disiplin pajak yang tinggi, dimana ciri-ciri Self Assesment System adalah adanya kepastian hukum, sederhana perhitungannya, mudah pelaksanaannya, lebih adil dan merata, dan perhitungan pajak dilakukan oleh Wajib Pajak (Siti Kurnia, 2010: 101). Self Assesment System menuntut adanya perubahan sikap (Kesadaran) warga masyarakat wajib pajak untuk membayar pajak secara sukarela. Kepatuhan memenuhi kewajiban pajak secara sukarela merupakan tulang punggung dari Self Assesment System. Salah satu kendala yang dapat menghambat keefektifan pengumpulan pajak adalah kepatuhan wajib pajak. Kepatuhan wajib pajak yaitu bagaimana sikap dari seorang wajib pajak yang mau dan melaksanakan kewajiban perpajakan yang ada (Tryana , 2013). Pengetahuan pajak dan kesadaran akan mempengaruhi sikap wajib pajak terhadap kewajiban pajak, semakin tinggi pengetahuan dan kesadaran Wajib Pajak akan peraturan perpajakan, semakin tinggi pula nilai kepatuhan Wajib Pajak. Kepatuhan Wajib Pajak adalah tindakan Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu negara (Siti Kurnia, 2010: 139).
39
Menurut Siti Kurnia (2010: 138) kepatuhan terbagi menjadi dua macam kepatuhan sebagai berikut : 1. Kepatuhan Formal Suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan. 2. Kepatuhan Material Suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantive atau hakekatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang perpajakan. Dalam penelitian ini akan berusaha dijelaskan mengenai pengaruh pengetahuan perpajakan dan kesadaran wajib pajak, terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi. pengetahuan perpajakan dan kesadaran wajib pajak, diduga akan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi.
40
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
Pengetahuan Perpajakan 1. 2. 3. 4. 5.
Pengetahuan Wajib Pajak terhadap fungsi pajak Pengetahuan Wajib Pajak terhadap peraturan pajak Pengetahuan Wajib Pajak terhadap pendaftaran sebagai Wajib Pajak Pengetahuan Wajib Pajak terhadap Tata Cara Pembayaran Pajak Pengetahuan Wajib Pajak terhadap tarif pajak
Parsial
Kepatuhan Wajib Pajak OP 1.
Sumber : Veronica Carolina, 2009
2. 3.
4.
Kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri Kepatuhan untuk menyetorkan kembali surat pemberitahuan Kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terutang Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan
Sumber : Siti Kurnia Rahayu, 2010 Kesadaran Wajib Pajak 1. 2. 3. 4.
Kesadaran akan fungsi pajak Kesadaran untuk membayar pajak bukan karena paksaan Kesadaran akan manfaat pajak yang dibayarkan Kesadaran bahwa pajak diatur 2.4 Hipotesis Penelitian Undang-Undang
Sumber : Harahap, 2004
Parsial
41
Berdasarkan uraian kerangka pemikiran di atas, maka penulis mencoba merumuskan hipotesis sebagai berikut : H1 :
Pengetahuan Perpajakan secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi Pada KPP Tegallega.
H2 :
Kesadaran Wajib Pajak secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi Pada KPP Tegallega.
H3 :
Pengetahuan perpajakan dan kesadaran wajib pajak secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi Pada KPP Tegallega.