BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kurikulum Kurikulum merupakan kajian yang sangat luas, banyak sekali pengertian-pengertian kurikulum yang diungkapkan oleh para ahli, dari mulai pengertian kurikulum secara sempit sampai kepada pengertian kurikulum secara luas. Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata-mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. (Sukmadinata, 2005 : 4). Beauchamp (Zais, 1976: 3) mengemukakan pengertian kurikulum yang lebih luas yang digunakan oleh para ahli biasanya istilah kurikulum mengacu pada dua penggunaan cakupan (1). Untuk mengindikasikan rencana untuk pembelajaran bagi pembelajar, dan (2). Untuk mengidentifikasi sebuah cakupan studi. Menurut Zais, komponen dan kurikulum terdiri atas : (1). Tujuan (aims, goals, and Objectivies); (2). Isi atau materi (content); (3) Proses belajar mengajar (learning); (4). Evaluasi. Beauchamp (Sukmadinata, 2005 : 5), menyatakan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis yang berisi beberapa unsur.
19
Selanjutnya Lewis dan Miel (Saylor: 1981 : 3) berpendapat tentang kurikulum, yaitu: They defined curriculum as “a set of intentions about opportunities for engagement of person to-be-educated with other person and with things (all bearers of information, process, techniques, and values) in certain arrangements of time and space”. Mereka mendifinisikan kurukulum sebagai sebuah set yang bermaksud atau bertujuan pada sekumpulan kesempatan aktifitas pengajaran bagi individu agar menjadi terdidik dengan segala sesuatu yang terdapat pada seluruh proses, tekhnik dan nilai dalam rangkaian waktu dan tempat tertentu. Menurut pandangan paling mutakhir terhadap kurikulum adalah yang menekankan pada bentuk kata kerja kurikulum itu sendiri, yaitu curere. Sebagai ganti interpretasinya dari etimologi arena berpacu / berlomba (race course) kurikulum, curere menunjuk pada arena perlombaan dan menekankan kapasitas individu sendiri dalam merekonseptualisasikan otobiografinya sendiri. Hal ini ditegaskan oleh Schubert (1986 : 33) sebagaimana dalam kutipan berikut ini: Instead of taking to the interpretation from the race course etimology of curriculum, curere refers to the running of the race and emphasize the individual’s own capacity it reconceptualize his or her otobiography. Hamalik juga mengemukakan pendapatnya tentang kurikulum, yaitu sebagai program pendidikan yang disediakan oleh lembaga pendidikan (sekolah) bagi siswa (Hamalik, 2001 : 65). Berdasarkan program pendidikan tersebut siswa melakukan kegiatan pembelajaran sehingga mendorong
20
perkembangan dan pertumbuhannya yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Selanjutnya Saylor (Nasution, 1982 : 10), mengemukakan bahwa “kurikulum merupakan seluruh upaya sekolah untuk mempengaruhi siswa (belajar), yang dilaksanakan baik di dalam ruangan kelas, di halaman maupun di luar sekolah”. UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 menyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan, banyak sekali pemahaman tentang kurikulum dari yang sempit kepada pengertian kurikulum secara luas. Terlepas dari pengertian kurikulum menurut Sisdiknas pula, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kurikulum dapat dikatakan kurikulum sebagai rencana (dokumen), kurikulum sebagai pengalaman belajar, dan kurikulum sebagai hasil belajar untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu yang pelaksanaannya dapat diselenggarakan di dalam kelas maupun di luar kelas.
B. Komponen Kurikulum Menurut Zais (1976), bahwasanya kurikulum terdiri dari komponen: (1). Tujuan (aims, goals, and Objectivies); (2). Isi atau materi (content); (3) Proses belajar mengajar (learning); (4). Evaluasi.
21
1. Tujuan Komponen tujuan berkaitan dengan sasaran yang akan dicapai dalam penyelenggaraan pendidikan. Tujuan sebagai komponen pertama yang harus diperhatikan dalam kurikulum dan tujuan sebagai pedoman bagi guru dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas. Berkenaan dengan tujuan ini ada beberapa istilah yaitu: Aims, Goals dan Objective (Zais, 1976 : 297). Ketiga istilah tersebut mempunyai arti yang sama yaitu tujuan yang hendak dicapai dari pendidikan / kurikulum itu sendiri. Namun dalam istilah khusus, ketiganya memiliki tempat atau posisi dan sifat yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Selain itu ketiganya juga memiliki hubungan dan atau kesinambungan yang akurat antara Aims dengan Goals, antara Goals dengan Objective, dan antara Objective dengan Aims. Aims adalah tujuan pendidikan/kurikulum ideal secara umum atau luas dan bersifat jangka pandang serta berada pada level nasional. Aims ini memiliki cakupan yang luas yang harus ditempuh melalui tujuan pada level institusional dan level implementasi di kelas. Artikulasi yang terletak pada Aims ini harus bisa dimaknai dan diterjemahkan pada level institusional sehingga penyelenggaraan institusi pendidikan dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana mestinya dengan mengacu pada Aims tersebut. Goals adalah tujuan pendidikan/kurikulum ideal yang sifatnya berjangka menengah / sedang dan berada pada level institusional. Biasanya Goals ini tersirat dalam visi dan misi dari lembaga pendidikan atau satuan
22
pendidikian itu sendiri. Masing-masing satuan pendidikan memiliki visi dan misi yang hendak dicapai dengan seperangkat program atau kurikulum yang disediakan. Tentu saja, program yang disediakan sudah dengan sendirinya mengacu pada Aims. Objectives adalah tujuan pendidikan / kurikulum yang bersifat jangka pendek dan berada pada level kelas yang tertuang dan terjabarkan dalam tujuan mata pelajaran (program). Tujuan yang terdapat dalam Objective ini mengacu dan bersandar pada Goals dan Aims. Biasanya istilah yang lazim dipergunakan adalah kompetensi. Dari ketiga penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa antara Aims, Goals dan Objective ini memiliki hubungan yang erat yang harus mampu diterjemahkan dan diimplementasikan secara utuh dan menyeluruh. Tujuan yang tersebut dalam objective tidak boleh lepas dari Goals dan Aims sebagai perwujudan dan kerangka dari pencapaian tujuan pendidikan. Tujuan kurikulum memiliki tiga kategori yang kita kenal dengan istilah ranah atau domain (wilayah garapan) yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam konteks kognitif, Bloom (Hamalik, 2006: 123) membuat taksonomi sebagai berikut: Knowledge : kemampuan mengingat kembali materi yang baru dipelajari (recall). Contoh : mengulang kembali, mendefinisi. Comprehension : kemampuan untuk menangkap makna materi belajar. Contoh : mengilustrasikan, menggambarkan. Application : kemampuan memanfaatkan materi belajar dalam situasi yang baru / konkrit. Contoh: menggunakan, mempraktekkan. Analysis : kemampuan untuk memilah/membagi materi ke dalam komponen-komponen sehingga struktur organisasinya dapat dipahami. Contoh : membandingkan, mendeteksi. Synthesis : kemampuan untuk membentuk satu kesatuan yang baru. Contoh : memformulasikan, memprediksi. Evaluation :
23
kemampuan mempertimbangkan aspek nilai (value) dalam materi belajar. Contoh: mempertimbangkan, memutuskan. Sementara itu, Krathwol (Hamalik, 2006: 124) membuat pentahapan dalam konteks afektif adalah sebagai berikut: Receiving : merujuk kepada kepekaan siswa terhadap stimulus, kemauan untuk menerima. Contoh: memperhatikan, menerima Responding : merujuk kepada perhatian aktif siswa terhadap stimulus, kemauan untuk merespon atau memberi perhatian. Contoh: menikmati, memberi kontribusi, kerjasama Valuing : merujuk kepada keyakinan dan sikap, komitmen. Contoh: menghormati, mempertimbangkan Organization : merujuk kepada internalisasi nilai dan keyakinan yang melibatkan konseptualisasi nilai dan organisasi sistem nilai. Contoh : mengklarifikasi, menguji Characterization : merujuk kepada internalisasi dan perilaku yang merefleksikan seperangkat nilai dan karakteristik filosofi kehidupan (penjatidirian). Contoh : menyimpulkan, menetapkan Sedangkan dalam ranah psikomotorik, oleh Anita Harrow (Hamalik, 2006: 125) diklasifikasikan sebagai berikut: Reflex movements : refleks yang melibatkan satu segmen otot dan memungkinkan keterlibatan lebih dari satu segmen otot Fundamental movements : keterampilan gerak yang berhubungan dengan berjalan, berlari, melompat, menekan Perceptual abilities : ditujukan kepada keterampilan yang berhubungan dengan koordinasi pergerakan tubuh, visual, auditori Physical abilities : berkenaan dengan daya tahan, fleksibilitas, ketangkasan, kekuatan, kecepatan Skilled movements : merujuk kepada ketangkasan permainan, olahraga Nondiscursive communication : merujuk kepada ekspresi gerakan yang disesuaikan dengan postur, ekspresi wajah, gerakan-gerakan kreatif (nondiscursive = tidak menyimpang) Dalam perumusan tujuan pendidikan juga tidak terlepas pada prinsip yang berkenaan dengan tujuan pendidikan (Sukmadinata, 2005 : 152-153), yaitu:
24
Ketentuan / kebijakan pemerintah; arah pembangunan nasional Survey persepsi orang tua; beberapa perkembangan pola hidup yang mempengaruhi generasi di bawahnya Survey pandangan para ahli; adanya beberapa landasan yang akurat.
2. Materi / isi Isi kurikulum merupakan komponen yang berhubungan dengan pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa. Isi kurikulum itu menyangkut semua aspek baik yang berhubungan dengan pengetahuan atau materi pelajaran yang biasanya tergambarkan pada isi setiap mata pelajaran yang diberikan maupun aktifitas dan kegiatan-kegiatan siswa. Sebelum kita melakukan pengembangan materi, menurut Hamalik (2006 : 98) ada beberapa hal yang harus dipahami bersama, bahwa: 1) Materi merupakan isi pembelajaran, berupa pengetahuan, nilai-sikap, dan keterampilan. 2) Pengembang kurikulum harus menentukan kerangka konseptual ketika memilih materi kurikulum 3) Kerangka konseptual digunakan untuk menentukan kategori pengetahuan, ide pokok, dan esensi materi 4) Kriteria seleksi materi; validitas, signifikansi, menarik, mudah dipelajari, konsisten dengan realita sosial, berguna.
a. Pengorganisasian Materi Pengorganisasian materi tidaklah mudah, kadangkala dalam konteks ini menjadi tidak tepat sasaran akibat tidak adanya kesepahaman dalam merumuskan. Oleh karenanya, Hamalik (2006) menyatakan bahwa kita harus memahami hal-hal: Organisasi materi berkenaan dengan skope dan sekuensi (urutan) materi. Skope materi menunjuk pada makna keluasan dan kedalaman materi yang diajarkan. Sekuensi materi menunjuk pada urut-urutan
25
penyajian materi, berupa simpel ke kompleks, prerekuisit, kronologis, keseluruhan ke bagian-bagian. Teori belajar dan pembelajaran dapat mempengaruhi skope dan sekuensi materi. b. Kriteria Menilai Materi Pembelajaran Dalam menilai materi pembelajaran, kita harus memperhatikan kriteria. Kriteria ini kita gunakan agar materi pembelajaran nantinya menjadi akurat sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Menurut Brady (1990) bahwa materi pembelajaran harus memiliki kriteria ”Signifikan, Valid, Menarik, Mudah dipelajari, Konsisten dengan realita sosial, Berguna”. c. Struktur Materi Pada hakikatnya terdapat beberapa cara dalam membuat struktur materi antara lain yaitu: Hirarkial, Prosedural, pengelompokan materi dan kombinasi (Hamalik, 2006: 108). 1) Hirarkhial Susunan beberapa materi di mana satu/beberapa kompetensi menjadi prasyarat bagi kompetensi berikutnya. 2) Prosedural Kedudukan beberapa materi yang menunjukkan satu rangkaian pelaksanaan kegiatan/pekerjaan, tetapi antar materi tersebut tidak menjadi prasyarat untuk materi lainnya. 3) Pengelompokan Beberapa materi yang satu dengan lainnya tidak memiliki ketergantungan, tetapi harus dimiliki secara lengkap untuk menunjang materi berikutnya. 4) Kombinasi Beberapa materi yang susunannya terdiri dari bentuk hirarkhial, prosedural maupun pengelompokan.
26
3. Proses / Pembelajaran Komponen ini merupakan komponen yang memiliki peran sangat penting, oleh sebab berhubungan dengan implementasi kurikulum. Bagaimanapun bagus dan idealnya tujuan yang harus dicapai tanpa strategi yang tepat untuk mencapainya, maka tujuan kurikulum itu tidak mungkin dapat dicapai. Agar tercipta pembelajaran yang efektif, perlu digunakan model atau metode pembelajaran
yang tepat. Pemilihan metode pembelajaran
hendaknya didasarkan atas beberapa pertimbangan (Hamalik, 2006: 83): a. Tujuan Pembelajaran Kegiatan pembelajaran diarahkan pada pencapaian tujuan belajar.Tujuan memberikan arah terhadap semua kegiatan dan bahan yang akan disajikan.setiap bahan dan pendekatan mengajar dirancang dan dilaksanakan dengan maksud pencapaian tujuan secara maksimal. Tujuan pengajaran dirumuskan dalam bentuk prilaku atau performansi.Tujuan tersebut ada yang berkenaan dengan ranah afektif, ranah Kognitif dan ranah Psikomotorik. b. Karakteristik Mata Pelajaran Mata pelajaran yang akan diberikan termasuk atau bagian dari bidang ilmu atau bidang profesi tertentu. tiap bidang ilmu dan bidang profesi memilki karakteristik sendiri yang berbeda dengan yang lainnya. Bidang matematika, bahasa dan seni umpamanya memiliki karakteristik yang sangat berbeda, model atau pendekatan mengajarnya juga sangat berbeda. c. Kemampuan Siswa Siswa adalah subjek dan pelaku dalam pembelajaran. Pembelajaran diarahkan agar siswa belajar. Melalui kegiatan belajar, potensi, kecakapan, dan karakterisatik siswa dikembangkan. Kemampuan siswa merupakan hal yang sangat kompleks, selain terkait dengan jenis dan variasi tingkatan kemampuan yang dimiliki para siswa, tetapi juga dengan tahap perkembangan, status, pengalaman belajar, serta berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Agar siswa dapat mengembangkan semua potensi, kecakapan dan karakteristiknya secara optimal, dibutuhkan pendekatan, model dan 27
metode pembelajaran yang sesuai dengan tahap perkembangan dan kemampuan siswa tersebut. d. Kemampuan Guru Meskipun guru atau pendidik seharusnya seorang pendidik profesional, dalam kenyataannya kemampuan profesionalnya masih terbatas.terbatass karena latar belakang pendidikan, Pengalaman,pembinaan yang belum intensif atau karena hal-hal lain yang bersifat internal.Pemilihan Pendekatan, Model dan metode mengajar juga harus disesuaikan dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada pada guru. Seorang guru tidak bisa mengajarkan apa yang tidak dikuasai. 2. Evaluasi Sebelum menentukan definisi evaluasi kurikulum yang akan peneliti gunakan sebagai dasar dalam penelitian ini, berikut ini terdapat beberapa definisi sesuai dengan perkembangan yang ada. Dalam lingkup kurikulum, evaluasi dinyatakan sebagai berikut: ”Evaluation is the process for determining the degree to which these changes in behaviour are actually taking place” (Tyler, 1989:106). Evaluasi adalah proses untuk menentukan tingkat perubahan-perubahan perilaku yang secara nyata terjadi. Dalam konsep ini menuntut kita untuk mengetahui tingkat perubahan perilaku yang terjadi selama proses pendidikan berlangsung. Selain itu juga menimbulkan konsekuensi adanya penilaian yang tidak bersifat tunggal. Menurut Stake (Sukmadinata, 2005:180) bahwa ”evaluation is an observed value compared to some standard”. Lebih lanjut definisi Stake ini dipertegas oleh Hasan (1988:27) bahwa evaluasi kurikulum adalah bukan hanya sekedar evaluasi terhadap hasil belajar. Hasil belajar hanya merupakan salah satu komponen yang dievaluasi. Dalam definisi ini
28
menunjukkan adanya konteks pengertian kurikulum termasuk yang direncanakan guru, proses pelaksanaan rencana tadi. Selanjutnya menurut Daniel Stuffelbeam (Sukmadinata, 2005:180) bahwa ”Evaluation is the process of delineating, obtaining and providing useful information for delineating, obtaining and providing useful information for
judging decision alternatif”. Definisi ini menyiratkan
adanya proses/aktifitas yang menggambarkan dan mendapatkan serta menyiapkan berbagai informasi terkait dengan proses kurikulum untuk digunakan sebagai bahan alternatif pengambilan keputusan. Di dalam konteks kurikulum evaluasi dapat berfungsi untuk mengetahui apakah tujuan yang telah ditetapkan telah tercapai atau belum, atau evaluasi digunakan sebagai umpan balik dalam perbaikan strategi yang ditetapkan. Kedua fungsi tersebut menurut Scriven (1967) adalah evaluasi sebagai fungsi sumatif dan evaluasi sebagai fungsi formatif. Evaluasi sebagai alat untuk mengukur keberhasilan pencapaian tujuan, dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu tes dan non tes. Tes biasanya digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam aspek kognitif, atau tingkat penguasaan materi pembelajaran. Sedangkan non tes adalah alat evaluasi yang biasanya digunakan untuk menilai aspek tingkah laku termasuk sikap, minat dan motivasi. Ada beberapa jenis non tes sebagai alat evaluasi, diantaranya wawancara, observasi, studi kasus, skala penilaian.
29
Dari beberapa istilah evaluasi yang terdapat di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa evaluasi adalah proses untuk menentukan tingkat perubahan-perubahan perilaku yang terjadi selama proses pendidikan dengan menggunakan beberapa standar penilaian baik pada proses (pelaksanaan rencana) maupun hasil belajar yang dapat dijadikan sebagai informasi untuk bahan pengambilan keputusan dalam merumuskan umpan balik.
C. Fungsi dan Guna Kurikulum Semua
komponen
kurikulum
tersebut
harus
dirancang
dan
dikembangkan sedemikian rupa agar keempatnya menyatu dan saling menunjang bagi pencapaian tujuan pendidikan. Pada dasarnya, tujuan yang ingin dicapai merupakan sesuatu yang ideal. Oleh karena itu, penyusunan dan pengembangan kurikulum beserta seperangkat komponennya, perlu disusun dan dikembangkan oleh orang-orang yang profesional, ahli dan terlatih untuk melakukan hal itu agar memiliki fungsi dan kegunaan yang tepat. Inglis (Hamalik, 2006 : 11) menyatakan bahwa fungsi kurikulum adalah sebagai berikut : 1. Fungsi penyesuaian (the adjustive of adaptive function) Fungsi penyesuaian mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mengarahkan siswa agar memiliki sifat well adjusted yaitu mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan itu sendiri mengalami perubahan dan bersifat dinamis. Oleh karena itu, siswa pun harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya.
30
2. Fungsi pengintegrasian (the integrating function) Fungsi integrasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh. Siswa pada dasarnya merupakan anggota dan bagian integral dari masyarakat. Oleh karena itu, siswa harus memiliki kepribadian yang dibutuhkan untuk dapat hidup dan berintegrasi dengan masyarakatnya. 3. Fungsi diferensiasi (the differentiating function) Fungsi diferensiasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan pelayanan terhadap perbedaan individu siswa. Setiap siswa memiliki perbedaan, baik dari aspek fisik maupun psikis yang harus dihargai dan dilayani dengan baik. 4. Fungsi persiapan (the propaedeutic function) Fungsi persiapan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mempersiapkan siswa untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya. Selain itu, kurikulum juga diharapkan dapat mempersiapkan siswa untuk dapat hidup dalam masyarakat seandainya karena sesuatu hal, tidak dapat melanjutkan pendidikannya. 5. Fungsi pemilihan (the selective function) Fungsi pemilihan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan kesempatan pada siswa untuk memilih program-program belajar yang sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Fungsi pemilihan ini sangat erat hubungannya dengan fungsi diferensiasi, karena pengakuan atas adanya perbedaan individual siswa berarti pula diberinya kesempatan bagi siswa tersebut untuk memilih apa yang sesuai dengan minat dan kemampuannya. Untuk mewujudkan kedua fungsi tersebut, kuriukulum perlu disusun secara lebih luas dan bersifat fleksibel. 6. Fungsi diagnostik (the diagnostic function) Fungsi diagnostik mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu membantu dan mengarahkan siswa untuk dapat memahami dan menerima kekuatan (potensi) dan kelemahan yang dimilikinya. Apabila siswa sudah mampu memahami kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya, maka diharapkan siswa dapat mengembangkan sendiri potensi kekuatan yang dimilikinya atau memperbaiki kelemahan-kelemahannya. Bila kurikulum sudah tersusun dengan baik, maka guru harus mengemban tugas pelaksanaan kurikulum tersebut dengan baik pula, dengan
31
berpedoman pada kurikulum yang berlaku. Dengan demikian, fungsi kurukulum adalah sebagai pedoman kerja melaksanakan kurikulum. Selain sebagai pedoman, kurikulum juga berfungsi sebagai preventif, yaitu agar guru terhindar dari melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam kurikulum. Kalau hal ini terjadi, maka kurikulum dapat berfungsi korektif, yaitu sebagai rambu-rambu yang harus dipedomani dalam membetulkan pelaksanaan pendidikan yang menyimpang dari yang telah digariskan dalam kurikulum. Dilihat dari segi ini, kurikulum juga berfungsi konstruktif, yaitu memberikan arah yang benar bagi pelaksanaan, dan mengembangkan pelaksanaannya, asalkan arah pengembangan itu mengacu kepada kurikulum yang berlaku. Kurikulum memuat lebih dari rencana tertulis saja, tetapi memuat juga komponen
kurikulum,
yang
kalau
dilaksanakan
akan
menghasilkan
pengalaman belajar bagi peserta didik. Implikasi dari konsep ini adalah bahwa kurikulum mengandung keinginan konseptual tentang proses belajar mengajar, cetak biru kegiatan belajar peserta didik, aturan tentang materi pelajaran, organisasi materi dan sistem evaluasi keberhasilan kurikulum. Seperangkat komponen kurikulum (tujuan, materi/pengalaman belajar, organisasi materi, dan evaluasi) tersebut merupakan satu kesatuan yang saling terkait yang bila dilaksanakan secara professional dan terpadu akan mencapai tujuan yang diinginkan. Kurikulum merupakan pedoman guru dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), sebagai usaha untuk mewujudkannya dalam
32
keinginan nyata proses belajar mengajar. Kurikulum juga digunakan sebagai pedoman dalam mengevaluasi hasil belajar peserta didik. Hasil evaluasi bukan saja berguna bagi pengisian catatan kemajuan hasil belajar siswa (rapor), tetapi juga untuk perbaikan kurikulum itu sendiri, serta evaluasinya pelaksanaannya. Walaupun begitu, dengan kurikulum (dokumen) itu saja, belum dapat melakukan tugas mengajarnya. Guru perlu menyusun rencana kerja pertemuan tatap muka berupa rencana tertulis, RPP, silabus, dalam hitungan waktu tertentu (misalnya semester, mingguan dan harian).
D. Peranan Kurikulum Kurikulum sebagai program pendidikan yang telah direncanakan secara sistematis mengemban peranan yang sangat penting bagi pendidikan para siswa. Bila menganalisis sifat dari masyarakat dan kebudayaan, di mana sekolah sebagai institusi sosial melaksanakan operasinya, maka kita akan menentukan paling tidak 3 jenis peranan kurikulum yang dinilai sangat penting, yaitu : (1). Peranan konservatif; (2). Peranan kritis atau evaluatif, dan (3). Peranan Kreatif. Ketiga peranan ini sama pentingnya dan antara ketiganya perlu dilaksanakan secara berkeseimbangan. (Hamalik, 2006 : 9). Peranan konservatif. Salah satu tanggung jawab kurikulum adalah mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial kepada generasi muda. Dengan demikian, sekolah sebagai suatu lembaga sosial dapat mempengaruhi dan membina tingkah laku para siswa sesuai dengan nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat, sejalan dengan peranan pendidikan sebagai suatu proses
33
sosial. Karena pendidikan itu sendiri pada hakekatnya berfungsi pula untuk menjembatani antara para siswa selaku anak didik dengan orang dewasa di dalam suatu proses pembudayaan yang semakin berkembang menjadi lebih kompleks. Maka dalam kerangka ini,
fungsi kurikulum menjadi teramat
penting, oleh sebab turut membantu proses tersebut. Karena adanya peranan konservatif ini, maka sesungguhnya kurikulum itu berorientasi pada masa lampau. Namun demikian, peranan ini sangat mendasar sifatnya. Peranan Kritis atau Evaluatif. Kebudayaan senantaisa berubah dan bertambah. Sekolah tidak hanya mewariskan kebudayaan yang ada, melainkan juga menilai, memilih unsur-unsur kebudayaan yang akan diwariskan. Dalam hal ini, kurikulum turut aktif berpartisipasi dalam kontrol sosial dan menekankan pada unsur berpikir kritis. Nilai-nilai sosial yang tidak sesuai lagi dengan keadaan masa mendatang dihilangkan dan diadakan modifikasi serta dilakukan perbaikan. Dengan demikian, kurikulum perlu mengadakan pilihan yang tepat atas dasar kriteria tertentu. Peranan Kreatif. Kurikulum melakukan kegiatan-kegiatan kreatif dan konstruktif, dalam arti mencipta dan menyusun sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan masa sekarang dan masa mendatang dalam masyarakat. Guna membantu setiap individu mengembangkan semua potensi yang ada padanya, maka kurikulum menciptakan pelajaran, pengalaman, cara berpikir kemampuan dan keterampilan yang baru, dalam arti yang memberikan manfaat bagi masyarakat.
34
Ketiga peran tersebut berjalan secara seimbang, dalam arti terdapat keharmonisan di antara ketiganya. Dengan demikian kurikulum akan dapat memenuhi tuntutan waktu dan keadaan dalam membawa para siswa menuju kepada kebudayaan masa depan.
E. Pendekatan dalam Implementasi Kurikulum Pendekatan-pendekatan implementasi kurikulum yang berkembang hingga saat ini pada dasarnya berpijak dari pandangan/orientasi dalam menempatkan/memposisikan hubungan antara kurikulum dengan siswa sebagai subjek pembelajar. Artinya bahwa pendekatan implementasi kurikulum dalam bentuk kegiatan belajar mengajar sangat bergantung kepada konsep orientasi dalam menempatkan hubungan antara kurikulum dengan peserta didik dan pendidik itu sendiri. Dalam penjelasan Miller and Seller (1985:6-8) terdapat tiga orientasi yang mendasari suatu penyelenggaraan pembelajaran sebagai suatu aktivitas implementasi kurikulum, yakni: (1) orientasi transmisi (transmission position); (2) orientasi transaksi (transaction position); dan (3) orientasi transformasi (transformation position). Orientasi transmisi (transmission position), yang memandang bahwa pendidikan dan pembelajaran adalah proses meneruskan (to transmit) faktafakta, keterampilan dan nilai-nilai kepada peserta didik, akan memperlihatkan implementasi kurikulum pembelajaran yang bersifat pengalihan pengetahuan, informasi maupun nilai-nilai dari guru kepada siswa. Dalam konteks ini siswa bersifat pasif dan menunggu untuk kemudian memberikan respon terhadap
35
instruksi dari guru berkaitan dengan pengetahuan dan informasi yang dialihkan guru. Secara filosofis dikatakan bahwa Pendidik transmisi perhatiannya bukan untuk mengembangkan potensi pribadi peserta didik, melainkan untuk mempertahankan keadaan tetap pada suatu saat tertentu. Sedangkan orientasi transaksi (transaction position), yang memandang bahwa pendidikan dan pembelajaran adalah proses dialog antara peserta didik dengan kurikulum serta proses rekonstruksi pengetahuan secara terus menerus, sehingga akan menuntut model implementasi kurikulum yang menekankan kepada partisipasi aktif peserta didik dalam proses pembelajaran. Orientasi transformasi (transformation position), yang memandang bahwa kurikulum dan pembelajaran adalah wahana mengembangkan pribadi dalam dimensi individu dan sosial secara holistik. Dengan demikian pendidik dalam implementasinya memfokuskan pada perkembangan pribadi dan kelompok, serta memfasilitasi/menciptakan kondisi yang diperlukan untuk suatu perubahan yang positif. Secara konseptual, keterkaitan antara kurikulum, peserta didik dan pendidik/guru dalam suatu lingkungan pendidikan dan pembelajaran yang mencirikan ketiga orientasi tersebut, digambarkan sebagai berikut (Miller and Seller, 1985:6-8):
36
Orientasi Transmisi Peserta Didik
Kurikulum
Orientasi Transaksi Peserta Didik
Kurikulum
Orientasi Transformasi Kurikulum
Peserta Didik
Bagan 2.1: Orientasi dalam Implementasi Kurikulum
Pembelajaran berbasis kompetensi dalam implementasi kurikulumnya memiliki ciri sebagai berikut: menekankan isi berupa kompetensi; kompetensi dirinci menjadi sasaran belajar yang hasilnya dalam bentuk perilaku/tindakan yang dapat diamati/diukur; bahan pelajaran disusun dalam bentuk media cetak, modul atau pengajaran berprograma; penyusunan kurikulum dan perangkatnya dilakukan oleh ahli. Namun demikian, implementasi kurikulum juga tidak lepas dari orientasi transaksi, karena ciri dalam orientasi transaksi adalah: siswa adalah subjek didik dan merupakan pemeran utama pendidikan; isi bahan pembelajaran dirancang sesuai kebutuhan dan minat siswa; tidak ada kurikulum standar, yang ada kurikulum minimal; proses pembelajaran menekankan aktivitas inkuiri-diskaveri, serta pemecahan masalah.
37
Suatu desain model kurikulum untuk dapat dilaksanakan secara maksimal di lapangan, memerlukan pilihan pendekatan implementasi yang sejalan dengan karakteristik kurikulum itu sendiri, serta karateristik pengguna/pelaksana. Hal ini sejalan dengan pandangan tentang impelementasi kurikulum, yang menyebutkan bahwa implementasi kurikulum pada dasarnya merupakan suatu proses penerapan konsep, ide, program, atau tatanan kurikulum ke dalam praktik pembelajaran, yang keberhasilannya setidaknya dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: (a) karakteristik kurikulum; (b) strategi implementasi; dan (c) karakteristik pengguna/pelaksana di lapangan. Pendekatan dalam implementasi kurikulum dijelaskan oleh Jackson (1991: 404) ada tiga yaitu: (1) fidelity perspective; (2) mutual adaptation; dan (3) curriculum enactment. Secara lebih rinci dijelaskan sebagai berikut: 1. Fidelity Perspective Suatu rancangan kurikulum yang telah dikembangkan berdasarkan pendekatan dan pertimbangan tertentu dan telah menjadi suatu desain model, pada gilirannya harus dilaksanakan/diimplementasikan di lapangan (di sekolah atau lembaga pendidikan lainnya). Menurut perspektif Fidelity, desain (rancangan) kurikulum (curriculum construction) adalah rujukan utama dalam implementasi kurikulum. Pendekatan fidelity berangkat dari prinsip kurikulum sentralistik (centralized curriculum), yang menggariskan bahwa desain kurikulum yang dikembangkan oleh pusat adalah sesuatu yang terstandar dan siap diterapkan tanpa harus dilakukan penyesuaian. Sehingga karakteristik utama pendekatan ini menurut Sukmadinata
38
(2002:3) adalah para pelaksana kurikulum di sekolah (guru, kepala sekolah, administrasi
pendidikan
atau
stakeholders
terkait)
berupaya
mengimplementasikan kurikulum sesuai dengan desain yang telah ditetapkan secara standar. Dengan menempatkan posisi kurikulum seperti tersebut, maka menurut perspektif Fidelity, dalam pelaksanaannya para guru, kepala sekolah dan adminsitratur pendidikan perlu secara konsisten merujuk kepada rancangan (desain) kurikulum yang telah dirumuskan oleh pusat. 2. Mutual Adaptation Ciri pokok pendekatan ini adalah bahwa dalam implementasinya pelaksana kurikulum mengadakan penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi riel, kebutuhan, dan tuntutan perkembangan secara kontekstual. Pendekatan ini berangkat dari asumsi bahwa berdasarkan temuan empirik, pada
kenyataannya
kurikulum
tidak
pernah
benar-benar
dapat
diimplementasikan sesuai rencana, namun perlu diadaptasi sesuai kebutuhan setempat (Jackson, 1991: 428). Menurut Jackson, pendekatan mutual adaptation pada dasarnya merupakan ciri penting dalam sebuah implementasi dan implementasi kurikulum. Bahkan beberapa peneliti tentang implementasi kurikulum memandang bahwa adaptasi merupakan kesepakatan pragmatis dalam implementasi dan implementasi kurikulum. Para peneliti yakin bahwa mutual adaptation adalah bagian penting dalam pengembangan dan implementasi kurikulum, karena tidak hanya aspek penerapan yang diperhatikan, tetapi juga bagaimana kurikulum dapat
39
dikembangkan dan dikelola agar berperan dalam proses pembelajaran. Menurut pendekatan ini, desain dan isi kurikulum dirancang di luar konteks pembelajaran, kemudian dalam implementasinya diadaptasi oleh guru sebagai sebuah pengembangan dengan konteks lokal. Adaptasi juga dapat dilakukan selama proses implementasi berlangsung. Pandangan di atas menegaskan bahwa modifikasi, adaptasi, maupun inovasi dalam penerapan dan implementasi kurikulum adalah persoalan penting (esensial), sebab sebuah kurikulum tidak akan pernah benar-benar dapat diimplementasikan sesuai desain, sehingga perlu dilakukan penyesuaian dan pembaharuan untuk memperoleh hasil secara maksimal. Dengan demikian, pengembangan model penyusunan dan implementasi kurikulum pada dasarnya dapat dilakukan melalui modifikasi, adaptasi, inovasi, atau gabungan dari dua atau ketiganya dalam penerapan suatu kurikulum. Salah satu pendapat yang sejalan dengan pandangan tersebut dijelaskan oleh Print (1993: 87) sebagai
berikut :
In the early stage of implementation it is likely that modifications will be made of the curriculum. .... The degree of successful implementation will reflect to large measure the ability and willingness of developers to accomodate modification to their curriculum.
Dengan
demikian,
modifikasi
dan
pembaharuan
dalam
implementasi dan implementasi kurikulum merupakan tahapan yang sangat perlu dipertimbangkan untuk dilakukan. Demikian juga ukuran kesuksesan sebuah implementasi dan implementasi kurikulum pada dasarnya dapat
40
dilihat dari sejauh mana pengembang kurikulum memiliki kemampuan dan kemauan untuk mengakomodasi kemungkinan dilakukannya modifikasi dalam kurikulum yang dirancang. Sebagai
suatu
rencana
tertulis
pembelajaran,
implementasi
kurikulum perlu memberikan peluang dilakukannya modifikasi dan penyempurnaan, sehingga pelaksana di lapangan memiliki keluwesan dalam menyusun rencana program (pembelajaran), melaksanakan, maupun melakukan evaluasi hasil pembelajaran. Seperti dijelaskan oleh Print (1993: 217-218) bahwa dalam implementasi kurikulum semestinya perlu diberikan peluang untuk dilakukan beberapa modifikasi, sebab sangat mungkin terjadi perbedaan antara rancangan dengan faktor-faktor yang bersifat lokal dan kontekstual, seperti perbedaan individual siswa, perbedaan sumbersumber sekolah, perbedaan guru, variasi keadaan orang tua, serta dukungan masyarakat sekitar. 3. Enactment Curriculum Pendekatan ini memiliki perbedaan dengan fidelity perspective dan mutual adaptation, dengan ciri utama pelaksana kurikulum melakukan berbagai upaya untuk mengoptimalkan pelaksanaan kurikulum. Secara konseptual,
pendekatan
ini
mendasarkan
kepada
prinsip
bahwa
implementasi kurikulum adalah suatu proses, yang di dalamnya akan berinteraksi berbagai faktor penentu. Sejalan
dengan
penjelasan
tersebut,
Jackson
(1991:429)
menguraikan bahwa perspektif enactment curriculum memandang bahwa
41
rencana program (kurikulum) bukan merupakan produk atau peristiwa (pengembangan), melainkan sebagai proses yang berkembang. Perencanaan program yang dilakukan di luar (eksternal), dipandang merupakan sumber bagi guru untuk menciptakan kurikulum sebenarnya yang diterapkan dalam pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas. Mereka (para guru) adalah creator dalam implementasi kurikulum. Dalam perspektif enactment curriculum, kurikulum sebagai proses akan tumbuh dan berkembang dalam interaksi antara guru dan siswa, terutama dalam membentuk kemampuan berfikir dan bertindak.
F. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 1. Pengertian KTSP KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan, dan dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan dengan memperhatikan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan Badan Standar Nasional Pendidikan ( BSNP ). 2. Konsep Dasar KTSP Dalam Standar Nasonal Pendidikan (SNP Pasal 1, ayat 15) dikemukakan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan
dan berdasarkan standar kompetensi serta
kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
42
KTSP disusun dan dikembangkan berdasarkan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat 1), dan 2) sebagai berikut : a. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. b. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Beberapa hal yang perlu dipahami dalam kaitannya dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah sebagai berikut: KTSP dikembangkan sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi dan karakteristik daerah, serta social budaya masyarakat setempat dan peserta didik. Sekolah dan komite sekolah mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, dibawah supervise dinas pendidikan kabupaten/kota, dan departemen agama yang bertanggungjawab di bidang pendidikan. Kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk setiap program studi di perguruan tinggi dikembangkan dan ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan. KTSP
merupakan
strategi
pengembangan
kurikulum
untuk
mewujudkan sekolah yang efektif, produktif, dan berprestasi. KTSP
43
merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum, yang otonomi luas pada setiap satuan pendidikan, dan pelibatan pendidikan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses belajar-mengajar di sekolah. Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah meiliki keleluasaan dalam megelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. KTSP adalah suatu ide tentang pengembangan kurikulum yang diletakan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah dan satuan pendidikan. Pemberdayaan sekolah dan satauan pendidikan dengan memberikan otonomi yang lebih besar, di samping menunjukan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntunan masyarakat juga merupakan sarana peningkatan kualitas, efisisen, dan pemerataan pendidikan. KTSP merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah dan satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntunan, dan kebutuhan masing-masing. Otonomi dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja guru dan staf sekolah, menawarkan
partisipasi
langsung
kelompok-kelompok
terkait,
dan
meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan, khususnya kurikulum. Pada sistem KTSP, sekolah memiliki “full authority and responsibility” dalam menetapkan kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan
visi,
misi,
dan
tujuan
tersebut,
sekolah
dituntut
untuk
44
mengembangkan
strategi,
menentukan
prioritas,
megendalikan
pemberdayaan berbagai potensi seklah dan lingkungan sekitar, serta mempertanggunngjawabkannya kepada masyarakat dan pemerintah. Dalam KTSP, pengembangan kurikulum dilakukan oleh guru, kepala sekolah, serta Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Badan ini merupkan lembaga yang ditetapkan berdasarkan musyawarah dari pejabat daerah setempat, komisi pendidikan pada dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), pejabat pendidikan daerah, kepala sekolah, tenaga pendidikan, perwakilan orang tua peserta didik, dan tokoh masyarakat. Lembaga inilah yang menetapkan kebijakan sekolah berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang pendidikna yang berlaku. Selanjutnya komite sekolah perlu menetapkan visi, misi, dan tujuan sekolah dengan berbagai implikasinya terhadap program-program kegiatan opersional untuk mencapai tujuan sekolah. 3. Tujuan KTSP Secara
umum
tujuan
diterapkannya
KTSP
adalah
untuk
memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum. Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk: 1) Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemnadirian dan inisiatif sekolah
dalam
mengembangkan
kurikulum,
mengelola
dan
memberdayakan sumber daya yang tersedia.
45
2) Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam mengembangankan
kurikulum
melalui
pengembalian
keputusan
bersama. 3) Meningkatkan kompetesi yang sehat antar satuan pendidikan yang akan dicapai. Memahami tujuan di atas, KTSP dapat dipandang sebagai suatu pola pendekatan baru dalam pengembangan kurikulum dalam konteks otonomi daerah yang sedang digulirkan sewasa ini. Oleh Karen itu, KTSP perlu diterapkan oleh setiap satuan pendidikn, terutama berkaitan dengan tujuh hal sebagi berikut. 1) Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi
dirinya
sehingga
dia
dapat
menoptimalkan
pemanfaatan
sumberdaya yang tersedia untuk memajukan lembaganya. 2) Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan peserta didik. 3) Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan seklah karena pihak sekolah lah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya. 4) Keterlibatan semua warga seklah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat, serta lebih efesien dan efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat sekitar.
46
5) Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masingmasing kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dam masyarakat pada umumnya, sehingga dia akan berupaya semaksimalkam mungkin unutk melaksanakna dan mencapai sasaran KTSP. 6) Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat. 7) Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat, serta mengakomodasikannya dalam KTSP. 4. Landasan KTSP 1) UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2) PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan 3) Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi 4) Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan 5) Permendiknas No. 24 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23 Tahun 2006 5. Ciri-ciri KTSP 1) KTSP
memberi
menyelenggarakan
kebebasan
kepada
tiap-tiap
program
pendidikan
sesuai
sekolah dengan
untuk kondisi
lingkungan sekolah, kemampuan peserta didik, sumber daya yang tersedia dan kekhasan daerah.
47
2) Orang tua dan masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. 3) Guru harus mandiri dan kreatif. 4) Guru
diberi
kebebasan
untuk
memanfaatkan
berbagai
metode
pembelajaran.
48
G. KTSP Berbasis Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam Pendidikan Islam yaitu bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuk kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian lain Pendidikan Islam merupakan suatu bentuk kepribadian utama yakni kepribadian muslim. kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak diri berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikan adalah mewujudkan tujuan ajaran Allah (Djamaluddin 1999: 9). Menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh Djamaluddin (1999) Pendidikan Islam ialah pendidikan yang memiliki empat macam fungsi yaitu : Menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang. Peranan ini berkaitan erat dengan kelanjutan hidup masyarakat sendiri. Memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan peranan-peranan tersebut dari generasi tua kepada generasi muda. Memindahkan nilai-nilai yang bertujuan untuk memilihara keutuhan dan kesatuan masyarakat yang menjadi syarat mutlak bagi kelanjutan hidup suatu masyarakat dan peradaban. Mendidik anak agar beramal di dunia ini untuk memetik hasil di akhirat.
An-Naquib Al-Atas yang dikutip oleh Ali mengatakan pendidikan Islam ialah usaha yang dilakukan pendidik terhadap anak didik untuk pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di
49
dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keberadaan (1999: 10 ). Adapun Mukhtar Bukhari yang dikutip oleh Halim Soebahar mengatakan pendidikan Islam adalah seganap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa dan keseluruhan lembaga-lembaga pendidikan yang mendasarkan program pendidikan atau pandangan dan nilai-nilai Islam (2002: 12). Pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejewantahkan nilai-nilai Islam baik yang tercermin dalam nama lembaga maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan (Soebahar 2002: 13). Kendati dalam peta pemikiran Islam upaya menghubungkan Islam dengan pendidikan masih diwarnai banyak perdebatan namun yang pasti relasi Islam dengan pendidikan bagaikan dua sisi mata uang mereka sejak awal mempunyai hubungan filosofis yang sangat mendasar baik secara ontologis epistimologis maupun aksiologis. Yang dimaksud dengan pendidikan Islam disini adalah : pertama ia merupakan suatu upaya atau proses yang dilakukan secara sadar dan terencana membantu peserta didik melalui pembinaan asuhan bimbingan dan pengembangan potensi mereka secara optimal agar nanti dapat
50
memahami menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sebagai keyakinan dan pandangan hidup demi keselamatan di dunia dan akherat. Kedua merupakan usaha yang sistimatis pragmatis dan metodologis dalam membimbing anak didik atau tiap individu dalam memahami menghayati dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh demi terbentuk kepribadian yang utama menurut ukuran Islam. Dan ketiga merupakan segala upaya pembinaan dan pengembangan potensi anak didik untuk diarahkan mengikuti jalan yang Islami demi memperoleh keutamaan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat. Menurut Fadalahil Al-Jamali yang dikutip oleh Muzayyin Arifin pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan mengangkat derajat kemanusiaan sesuai dengan kemampuan dasar (fitroh) dan kemampuan ajar (2003: 18). Pendidikan Islam sebagaimana rumusan diatas menurut Abd Halim Subahar ( 1992 : 64) memiliki beberapa prinsip yang membedakan dengan pendidikan lain. Prinsip Pendidikan Islam antara lain : 1) Prinsip tauhid 2) Prinsip Integrasi 3) Prinsip Keseimbangan 4) Prinsip persamaan 5) Prinsip pendidikan seumur hidup dan 6) Prinsip keutamaan.
51
Sedangkan tujuan pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Untuk membentuk akhlakul karimah. 2) Membantu peserta didik dalam mengembangkan kognisi afeksi dan psikomotori guna memahami menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sebagai pedoman hidup sekaligus sebagai kontrol terhadap pola fikir pola laku dan sikap mental. 3) Membantu peserta didik mencapai kesejahteraan lahir batin dangan membentuk mereka menjadi manusia beriman bertaqwa berakhlak mulia memiliki pengetahuan dan keterampilan berkepribadian integratif mandiri dan menyadari sepenuh peranan dan tanggung jawab diri di muka bumi ini sebagai abdulloh dan kholifatulloh. Dengan demikian sesungguh pendidikan Islam tak saja fokus pada education for the brain tetapi juga pada education for the heart. Dalam pandangan Islam karena salah satu misi utama pendidikan Islam adalah dalam rangka membantu peserta didik mencapai kesejahteraan lahir batin maka ia harus seimbang sebab bila ia hanya focus pada pengembangan kreatifiats rasional semata tanpa diimbangi oleh kecerdasan emosional maka manusia tak akan dapat menikmati nilai kemajuan itu sendiri bahkan yang terjadi adalah demartabatisasi yang menyebabkan manusia kehilangan identitas dan mengalami kegersangan psikologis dia hanya meraksasa dalam tehnik tapi merayap dalam etik.
52
Demikian pula pendidikan Islam mesti bersifat integralitik arti ia harus memandang manusia sebagai satu kesatuan utuh kesatuan jasmani rohani kesatuan intelektual emosional dan spiritual kesatuan pribadi dan sosial
dan
kesatuan
dalam
melangsungkan
mempertahankan
dan
mengembangkan hidup dan kehidupannya. 2. Mengintegrasikan Unsur-Unsur Pendidikan Islam ke dalam KTSP Dalam bahasa Arab Islamisasi ilmu disebut sebagai “Islamiyyat alMa’rifat” dan dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Islamization of Knowledge”. Dalam Islam, ilmu merupakan perkara yang amat penting malahan menuntut ilmu diwajibkan semenjak lahir hingga ke liang lahad. Ayat al-Quran yang pertama yang diturunkan berkaitan dengan ilmu yaitu surah al-’Alaq ayat 1-5. Menurut ajaran Islam, ilmu tidak bebas nilaisebagaimana yang dikembangkan ilmuan Barat--akan tetapi sarat nilai, dalam Islam ilmu dipandang universal dan tidak ada pemisahan antara ilmuilmu dalam Islam. Oleh kerana itu, sejarah dalam dunia ilmu Islam dahulu telah melahirkan ulama yang terkemuka yang dapat menguasai ilmu-ilmu “dunia” dan “akhirat”. Mereka berusaha menyeimbangkan ide-ide besar dalam tamadun yang lain dengan ajaran agama Islam. Ini dapat dilihat sebagai contoh seperti al-Kindi,Ibnu Sina, al-Ghazali,dan lain-lain. Mereka berusaha mengetengahkan beberapa ide dasar dan mempertemukan ilmu “luar“ dengan ajaran Islam. Perbedaannya,mereka tidak mengunakan istilah “pengislaman Ilmu” kala itu kerana pada saat itu umat Islam begitu cemerlang dalam ilmu pengetahuan.
53
Mulyanto mengatakan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan sering dipandang sebagai proses penerapan etika islam dalam pemanfaatan imu pengetahuan dan kreteria pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan di kembangkannya. Dengan kata lain, islam hanya berlaku sebagai kreteria etis diluar struktur ilmu pengetahuan, Asumsi dasarnya adalah, bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai. Konsekuensi logisnya mereka mereka menganggap mustahil munculnya ilmu pengetahuan islami, sebagaimana mustahilnya ilmu pengetahuan Marxisme. Dan islam beserta ideologiideologi lainnya, hannya mampu merasuki subjek ilmu pengetahuan beraksi; lalu menyerahkan kedaulatan muthlak pada metodologi ilmu bersangkutan. Lebih lanjut mulyanto mengatakan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan,tak lain dari proses pengembalian atau pemurnian ilmu pengetahuan pada prinsip-prinsip yang hakiki, yakni: tauhid, kesatuan makna kebenaran, dan kesatuan ilmu pengetahuan. Praktik islamisasi itu harus melibatkan seluruh pakar dalam berbagai disiplin keadilan. Praktik islamisasi dalam berbagai bidang keahlian tersebut kini tengah berlangsung di masyarakat. Upaya ini dilakukan oleh umat Islam dengan menggunakan pendekatan yang terkadang berbeda salah satu dan lainnya sebagai berikut. Pertama, ada yang menggunakan pendekatan formalistik,
verbalistik,
dan
simbolistik.
Yaitu
pendekatan
yang
menginginkan agar agama secara resmi menjadi dasar negara, dinyatakan secara eksplisit dalam kata dan diaplikasikan dalam bentuk simbol yang menjadin logo setiap bidang kehidupan. Praktik islamisasi yang demikian
54
itu dalam satu segi lebih memperlihatkan sosok yang tegas, lugas dan transparan dan sekaligus membedakan antara yang Islami dan yang bukan Islami. Namun, pendekatan yang demikian dapat berakibat timbulnya kecurigaan dan ketakutan bagi kelompok lain yang secara pluralistik berada di sekitarnya. Pendekatan yang demikian dapat efektif manakala kondisi sosial keaagamaan dan lainnya dalam keadaan kondusif seperti pada kasus yang di jumpai di propinsi Aceh Darussalam. Kedua, ada yang menggunakan pendekatan kultural, substansual dan aktual. Dengan pendekatan ini, agama Islam diupayakan beradaptasi dan mengakomodasi dengan berbagai kebudayaan yang ada di masyarakat; Islam sebagai rahmat bagi kehidupan umat manusua dapat dirasakan dengan nyata. Islam benarbenar terlibat dalam memecahkan masalah kehidupan masyarakat dalam bidang ekonomi, kesehatan, pemukiman, pendidikan dan kesejahteraan pada umumnya. Islam benarbenar tampak dalam kenyataan sebagai sebuah sistem kuhidupan yang menyejukkan umat manusia. Pendekatan yang kedua ini tampak kurang sosoknya secara lahiriah sehingga terkadang sulit untuk melakukan klaim Islam terhadapnya. Namun secara batiniah dan substansif dapat dirasakan. Pendekatan yang kedua ini tampak lebih disukai kelompok lain yang secara empiris memperlihatkan keragaman kultural.
55
H. Implementasi KTSP melalui Pendekatan Mutual adaptive Dengan diberlakukannya KTSP membawa dampak perubahan yang sangat signifikan pada dua hal baru, yaitu (1) peserta didik menjadi dasar dalam mengorganisasi pengalaman belajar. Atau dengan kata lain peserta didik dijadikan sentral (student oriented ) dalam pembelajaran dan (2) perluasan peran guru sebagai pengembang kurikulum di dalam pembelajaran. Kedua hal tersebut merupakan inovasi jika guru mau melaksanakannya (Hasan, 1995). Bila dikaitkan dengan peran guru yang lebih luas, maka guru berkewajiban melakukan perubahan-perubahan dengan menemukan strategi-strategi yang paling tepat untuk mengimplementasikan KTSP dengan cara berhasil guna dan berdaya guna semaksimal mungkin. Secara konseptual perlu dipertanyakan pendekatan apa yan paling cocok untuk megimpelementasikan KTSP sehingga terjadi suatu inovasi ? Salah satu bentuk pendekatan dalam implemtasi kurikulum yang cocok dengan KTSP adalah pendekatan mutual adaptive, karena pendekatan ini menekankan pada penyesuiaian-penyesuaian
berdasarkan kondisi internal
siswa dan kondisi eksternal lingkungan sekolah. Dalam pengembangan kurikulum mutual adaptive sangat potensial untuk meningkatkan kreativitas guru. Menurut Marsh dan Stafford (1988) mendefenisikan mutual-adaptive sebagai modifikasi kesempatan yang telah dibuat antar pengguna dan pengembang yang memungkinkan terjaminnya implementasi secara berhasil. Dan ditegaskan pula bahwa mutual-adaptive diadasarkan asumsi bahwa tidak
56
semua kondisi internal dan eksternal siswa serta lingkungan sekolah sesuai dengan preskripsi dalam KTSP. Oleh karena itu perlu ada pengadaptasian dan peyesuaian dengan tetap mengacu pada tujuan pendidikan (dalam konteks ini tujuan pembelajaran). Berdasarkan implementasi KTSP dengan pendekatan mutual adaptive, guru yang tidak harus bertemu secara langsung bertatap muka (face to face) dengan perancang pengembangan kurikulum (curriculum designer), tetapi dapat berinteraksi dengan produk yang dirancang desainer kurikulum tersebut. Sejauh mana guru memahami pesan-pesan yang terkandung dalam KTSP terutama mengenai Kompetetensi Dasar (KD) dan Standar Kompetensi Kelulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) pada dasarnya merupakan syarat utama untuk melakukan pendekatan mutual adaptive secara efektif. Tingkat pemahaman ini terkait dengan cerminan keprofesionalan guru, yakni berupa pengetahuan, pemahaman dan kemampuan, sikap positif dan kemauan untuk melaksanakan suatu produk kebijakan. (Brady, 1987). KTSP sangat memungkinkan
guru untuk mengembangkanya pada
tataran satuan pendidikan dimana guru tersebut mengajar. Namun tidak secara eksplisit pendekatan mana yang harus digunakan dalam implementasi KTSP, tetapi berdasarkan cerminan keprofesionala guru akan memiliki keyakinan pendekatan mana yang lebih cocok untuk mengimplementasikan KTSP. KTSP dalam implementasi dilapangan ada tiga
hal yang pelu
diperhatikan yaitu: (1) orientasi dalam penyusunan program pembelajaran (2) orientasi dalam pelaksanaan program pembelajaran dan (3) orientasi dalam evaluasi/ penilaian program pembelajaran. Tiga hal ini hendaknya dipahami
57
oleh guru sebagai karasteristik atau jiwa yang melekat pada kurikulum tersebut. Jika guru tak memahaminya maka akan terjadi konflik penyusunan, pelakasanaan dan evaluasi pengajaran pada diri guru itu sendiri. Oleh karena itu, guru bersangkutan pada pilihan yang dilematis, yakni antara mencari aman dengan melakukan pembelajaran pola lama tampa sesuai dengan KTSP atau berusaha secara kreatif dengan berbagai resiko. Pilihan pertama membawa implikasi pengerdilan visi dan misi KTSP, dan pilihan kedua akan membawa resiko jika guru merasa belum siap untuk berbeda dari kebiasaan sebelumnya. KTSP akan baik dan behasil dalam implementasi jika didukung oleh sikap positif guru dan kemauan untuk melaksanakannya. Dengan kata lain implementasi KTSP membawa konsekwensi logis terhadap perlunya peningkatan profesional guru dalam menjalankan tugasnya. Dalam KTSP juga memberikan kebebasan guru untuk mampu membuat keputusan secara profesioanal sehingga proses pembelajaran dapat terlaksana dengan baik. Untuk itu guru dituntut unuk mengembangkan isi pembelajaran berdasarkan bahan kajian, mampu memilih starategi dan metoda pembelajaran, menentukan media dan sumber belajar serta menentukan alat evaluasinya secara tepat. Selain
itu,
dalam
pengorganisasian
pengalaman
belajar
guru
harus
mempertimbangkan prisip-prinsip kontinuitas, sekuensi dan integritasnya. Berdasarkan pengamatan guru sering menganggap bahwa kurikulum baru sama dengan kurikulum yang sudah dilaksanakan karena guru kurang yakin akan manfaat dari kurikulum baru tersebut. Oleh karena itu, mereka kurang bersungguh-sungguh
dalam
melaksanakannya,
padahal
guru
58
merupakan pihak terdepan dalam pelaksanaan implementasi kurikulum. Sesuai dengan pengamatan dan pemahaman-pemahaman ini, dapat ditegaskan bahwa keberhasilan visi dan misi KTSP tergantung dari sejauh mana guru berhasil dalam mengimplementasikannya. Faktor-faktor yang penting dipertimbangkan dalam implementasi KTSP dengan pendekatan mutual adaptive dan bagaimana pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa dapat digambarkan seperti dibawah ini.
Guru Kebijakan Pendidikan Implementasi KTSP Pendekatan MutualAdaptive
Siswa
• • •
Perencanaan Pelaksanaan dan Evaluasi
Hasil Belajar Siswa
Sarana dan Prasarana Lingkungan Sekolah
Bagan 2.2 Kerangka Konseptual Implementasi KTSP dengan Pendekatan Mutual adaptive
59
Dalam implementasi KTSP
pendekatan mutual adaptive
dalam
pembelajaran mulai kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, guru mengacu pada Standar Kompetensi Dasar
(SKD), Satandar Kompetensi
Kelulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) dengan mempertimbangkan kondisikondisi internal siswa dan eksternal lingkungan sekolah dan sarana prasarana. Penetapan sumber-sumber belajar, pemilihan bahan, pemilihan strategi dan metode
mengajar
dilakukan
berdasarkan
kriteria
potensial
untuk
meningkatkan aktivitas siswa (fisik, mental dan social) serta pemanfaatan secara maksimal sumber-sumber yang tersedia dalam lingkungan sekolah. Prinsip implementasi KTSP dengan pendekatan mutual adaptive adalah sejauh mana guru memanfaatkan posisinya secara optimal sebagai pengembang
kurikulum
dalam
merencanakan,
melaksanakan
dan
mengevaluasi proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran secara
efektif.
Operasionalisasi
konsep
implementasi
KTSP
dengan
pendekatan mutual adaptive sebagaimana yang diilustarasikan pada gambar di atas.
60