BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka diperlukan untuk mendukung permasalahaan yang diungkapkan dalam usulan penelitian. Tinjauan pustaka sangat penting dalam mendasari penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2010). Dalam bab ini akan membahas mengenai konsep diare, nyeri, dan penatalaksanaan nyeri abdomen pada pasien diare
2.1 Konsep Diare 2.1.1 Pengertian Diare
Diare merupakan kondisi dimana terjadi frekuensi defekasi yang abnormal (Lebih dari 3 kali/ hari), serta perubahan dalam isi (lebih dari 200 g/hari) dan konsistensi (feses cair) ( Brunner dan Suddarth, 2010). Diare dedifinisikan sebagai buang air besar dengan feses yang tidak berbentuk (unformed stools) atau cair dengan frekuensi lebih dari tiga kali dalam 24 jam (Zein, 2004). Diare merupakan buang air besar encer lebih dari tiga kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat atau tanpa disertai lendir dan darah. (Simadibrata, 2007) Jadi dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa diare adalah suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal dengan frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali konsistensi feses encer, serta terjadi perubahan dalam isi feses yaitu lebih dari 200 g/ hari yang dapat atau tanpa disertai lendir dan darah.
7
8
2.1.2
Etiologi diare
Diare terjadi akibat pergerakan yang cepat dari materi tinja sepanjang usus besar. Beberapa penyabab diare secara fisiologis dapat dipengaruhi oleh Enteritis, diare psikogenik dan colitis ulserativa (Guyton, 2007). Enteritis merupakan peradangan yang biasanya disebabkan oleh virus maupun oleh bakteri pada traktus intestinalis. Lebih dari 90% kasus diare akut adalah disebabkan oleh agen infeksius (Ahlquist dan Camilleri, 2005). Di Indonesia, penyebab utama diare adalah Shigella, Salmonella, Campylobacter, E. Coli, dan Entamoeba histolytica (Depkes RI, 2000). Pada kasus tertentu seperti Traveller’s Diarrhea (TD) 80 % diantaranya disebabkan oleh bakteri Enteroinvasive coli (ETEC) (Diemert dalam NCBI,2006). Selain itu diare dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti Enterovirus (Virus ECHO, Coxsackie, Poliomyelitis), Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus; infeksi bakteri seperti Vibrio, Yersinia, Aeromonas; infeksi parasit seperti cacing (Ascaris, Trichiuris, Strongyloides), Protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis), jamur (Candida albicans) (Kliegman, 2006). Diare psikogenik terjadi akibat ketegangan saraf oleh stimulasi yang berlebihan pada system saraf simpatis. Kondisi ini dapat kita jumpai pada kondisi stress misalnya pada saat ujian. Akibatnya akan terjadi peningkatan motilitas maupun sekresi mukus yang berlebihan pada kolon distal yang menyebabkan diare (Guyton, 2007). Salah satu penyebab diare yang lain adalah proses peradangan dan ulserasi di daerah yang luas dari usus besar yang disebut colitis ulserativa. Motilitas dari
9
kolon yang mengalami ulserasi sering begitu besar sehingga perpindahan massa terjadi seharian, dibandingkan keadaan biasa yaitu 10 sampai 30 menit. Sekresi kolon juga sangat meningkat, akibatnya pasien mengalami gerakan usus dengan diare yang berulang (Guyton, 2007).
2.1.3
Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian diare
Faktor risiko yang mempengaruhi diare dapat ditinjau dari karakteristik responden, tingkat pengetahuan, pekerjaan dan higienitas. a. karakteristik responden 1) Jenis kelamin Diare merupakan masalah kesehatan gender. Perempuan berisiko terhadap penyakit diare dibandingkan laki-laki karena pengaruh perilaku dan paparan. Perempuan lebih banyak terlibat dalam kegiatan rumah tangga, seperti memasak, membersihkan rumah dan aktifitas lain yang menjadi sumber paparan patogen dalam rumah tangga serta berbagai bahan kimia (Rahmi, 2012) 2) Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang, semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki maka pengetahuannya pun meningkat (Widianti, 2007). Hal ini juga berpengaruh terhadap kemampuan orang untuk menerima informasi dalam mengembangkan dan meningkatankan derajat kesehatan yang berkaitan dengan pengetahuan dan penanganan diare.
10
3) Pekerjaan Jenis pekerjaan berpengaruh terhadap kemampuan akses dalam bidang pelayanan kesehatan (Listiono, 2010). Penelitian yang dilakukan Lubby et al (2011) menyatakan ada hubungan antara pekerjaan dengan diare. Kelompok yang tidak bekerja cenderung berpendapatan rendah, penghasilan kurang cukup sehingga kurang dapat memebuhi kebutuhan sehingga kurang dalam praktek higine yang dapat berpengaruh terhadap diare. 4) Higiene Perilaku cuci tangan merupakan hal yang penting dalam pencegahan kontaminasi bibit penyakit penyebab diare. Cuci tangan dapat dilakukan menggunakan air mengalir dan sabun dan sikat kuku sebelum menjamah makanan, memegang peralatan makan, sebelum makan, setelah keluar dari kamar kecil atau WC serta sesudah memebuang tinja (Kementrian Kesehatan Republic Indonesia, 2011). Higiene sanitasi makanan minuman serta penanganan sanitasi lingkungan dan air bersih merupakan pegendalian terhadap gangguan kesehatan dengan mencegah berkembang biaknya pathogen dan penyabaran penyakit menular (KemenKes RI, 2010).
2.1.4
Faktor Risiko Traveller’s Diarrhea (TD)
Berdasarkan jurnal New Developments in Traveler's Diarrhea tahun 2011 terkait meningkatan risiko terjadinya Traveller’s Diarrhea (TD) adalah tingkat kebersihan. Selain itu faktor usia juga mempengaruhi kejadian TD, misalnya balita dan remaja yang kurang memperhatikan tingkat kebersihan atas makanan
11
yang dikonsumsi. Jenis diet dan makanan juga berpengaruh terhadap pencernaan para wisatawan yang sensitif terhadap makanan jenis terentu. Lokasi dan cuaca juga berperan terhadap peningkatan kejadian TD.
2.1.5
Klasifikasi Diare
Menurut
Guyton (2007) diare dapat diklasifikasikan berdasarkan durasinya
menjadi dua yaitu diare akut dan diare kronis. a.
Diare akut
Diare akut yaitu buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsistensi tinja yang lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya dan berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu. b.
Diare kronis
Diare kronis adalah diare hilang-timbul, atau berlangsung lama yang lebih dari 4 minggu (Harrison, 2010).
2.1.6
Patogenesis Diare
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare (Kowalak, 2012) ialah : a. Gangguan osmotik Keberadaan substansi yang tidak terserap, seperti jumlah gula sintesis atau peningkatan jumlah partikel osmotik di dalam usus halus akan meningkatkan tekanan osmotik dan menarik air secara berlebihan ke dalam usus halus sehingga terjadi peningkatan berat serta volume feses.
12
b. Gangguan sekresi Mikroorganisme patogen atau tumor akan mengiritasi otot dan lapisan mukosa intestinum. Peningkatan motilitas dan sekret (air, elektrolit seta lendir) sebagai konsekuensinya akan mengakibatkan diare. c. Gangguan motilitas usus Inflamasi, neuropati dan obstruksi menimbulkan refleks berupa kenaikan motilitas usus untuk mendorong iritan atau melepaskan obstruksi. Setelah terpapar dengan agen tertentu, virus akan masuk ke dalam tubuh bersama dengan makanan dan minuman. Virus akan merusakkan sel-sel epitel dalam vili usus halus sehingga tidak dapat menyerap cairan dan makanan dengan baik. Cairan dan makanan tadi akan terkumpul di usus halus dapat meningkatkan tekanan osmotik usus. Hal ini menyebabkan banyak cairan ditarik ke dalam lumen usus dan akan menyebabkan terjadinya hiperperistaltik usus sehingga terjadilah diare (Kliegman, 2006).
2.1.7
Tanda dan Gejala (gambaran klinis)
Infeksi usus menimbulkan gejala gastrointestinal serta gejala lainnya bila terjadi komplikasi
ekstra
intestinal
termasuk
manifestasi
neurologik.
Gejala
gastrointestinal bisa berupa diare, kram perut, dan muntah. Sedangkan manifestasi sistemik bervariasi tergantung pada penyebabnya. Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion natrium, klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada muntah dan kehilangan air juga meningkat bila ada panas (Juffrie, 2010).
13
Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung yang turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit (Kliegman, 2006). Penyerapan cairan, elektrolit dan nutrient dapat berkurang dengan beragam faktor termasuk efek toksik mikroorganisme serta alkohol dan kerusakan mukosa. Kerusakan mukosa usus akan menimbulkan respon inflamasi yang mencetuskan nyeri abdomen.
2.1.8
Penatalaksanaan Diare
Penaltaksanaan diare menurut Zein (2004) dapat dibagi menjadi tiga yaitu a. Penggantian Cairan dan elektrolit Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Idealnya, cairan rehidrasi oral tersedia secara komersial dalam paket berupa oralit. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium. Jika terapi intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti cairan saline normal atau laktat ringer harus diberikan dengan suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. b. Antibiotik Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised. Pemberian antibiotik
14
secara empiris dapat dilakukan, tetapi terapi antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman. c. Probiotik Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran cerna akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan reseptor saluran
cerna.
Syarat
penggunaan
dan
keberhasilan
untuk
mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah yang adekuat.
2.1.9
Pencegahan
Diare umumnya ditularkan melalui 4 F, yaitu food, feses, fly, dan finger. Oleh karena itu upaya pencegahan diare yang praktis adalah dengan memutus rantai penularan tersebut. Beberapa upaya yang mudah diterapkan adalah penyiapan makanan yang higienis, penyediaan air minum yang bersih serta perilaku cuci tangan dan menjaga agar lingkungan tetap bersih dan sehat (Kemenkes RI, 2010).
2.2 Nyeri 2.2.1
Pengertian
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial (NANDA, 2012). Sedangkan definisi nyeri menurut Tamsuri (2007) adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat sehingga mempengaruhi seseorang (Tamsuri, 2007).
15
Jadi dari beberapa pengertian diatas nyeri dapat didefinisikan sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial baik ringan maupun berat sehingga mempengaruhi seseorang. 2.2.2
Klasifikasi nyeri
Menurut NANDA (2012) berdasarkan durasinya nyeri dapat dibedakan menjadi dua yaitu : a.
Nyeri akut
Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial yang terjadi secara tibatiba atau lambat dari intensitas ringan sampai berat yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung selama enam bulan atau kurang. b.
Nyeri kronik
Nyeri kronis adalah keadaan dimana seorang individu mengalami nyeri dengan intensitas dari ringan hingga berat yang terjadi secara konstan atau berulang tanpa akhir dan berlangsung lebih dari enam bulan. Menurut O’brien (2013) nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan neuroanatomi dapat dibedakan menjadi dua yaitu : a. Nyeri Viseral Nyeri viseral biasanya disebabkan oleh peregangan unmyelinated fiber yang menyelimuti dinding atau kapsul organ. Nyeri viseral seperti kram sering bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi ureteral,
16
menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan. Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi teradi pada peritoneum.
b. Nyeri Somatik Nyeri somatik disebabkan oleh iritasi myelenated fiber yang menyelimuti bagian parietal peritonium dan biasanya pada bagian anterior dinding abdomen. Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan, membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan peritoneum.
2.2.3 Patofisiologi nyeri
Ada beberapa teori yang menjelaskan mekanisme neurologik yang mendasari sensasi nyeri yaitu teori spesifisitas, teori pola , teori pengendalian gerbang, teori endorphin-enkefalin (Guyton, 2007) a. Teori pola (Pattern Theory) adalah nyeri yang terjadi karena efek-efek kombinasi intensitas stimulus dan jumlah impuls-impuls pada dorsal ujung dari sumsum belakang. Salah satu konsep kunci pada teori pola penjumlahan adalah bahwa terbentuk sirkuit-sirkui serat saraf dalam kelompok interneuron spinal (suatu reverberating circuit) setelah suatu cedera, sehingga nyeri dapat berlanjut tanpa stimulasi. Mekanisme ini dapat menjelaskan fenomena seperti phantom limb pain (nyeri anggota tubuh bayangan). b. Teori pemisahan (specificity theory).
17
Reseptor-reseptor nyeri tertentu menyalurkan impuls-impuls keseluruh jalur nyeri ke otak. Pada teori ini menjelaskan dua prinsip nyeri yaitu reseptor somatosensorik yang merupakan resptor yang mengalami spesialisasi untuk berespon secara optimal terhadap satu atau lebih stimulus tertentu. Tujuan perjalan neuron aferen primer dan jalur asedens merupakan faktor kritis dalam membedakan sifat stimulus di perifer. c. Teori pengendalian gerbang (gate control theory). Teori pengendalian gerbang dikemukakan oleh Melzak dan Wall (2000). Teori ini lebih komprehensip dalam menjelaskan tramisi dan presepsi nyeri, nyeri tergantung dari kerja serta saraf besar dan kecil yang keduanya berada dalam akar ganglion dorsalis. Baik serat sensorik bermielin besar (L) yang membawa informasi mengenai rasa raba dan propriosepsi dari perifer (serat A-α dan A-β) maupun serat kecil (S) yang membawa informasi mengenai nyeri (serat A-δ dan C) menyatu di kornu dorsalis medula spinalis. Rangsang pada serat saraf besar akan mengakibatkan tertutupnya pintu mekanisme sehingga aktivitas sel T terhambat dan menyebabkan hantaran rangsangan ikut terhambat. Rangsangan serat besar dapat langsung merangsang korteks serebri. Hasil persepsi ini akan dikembalikan ke dalam medulla spinalis melalui spinalis serat eferen dan reaksinya memengaruhi aktivitas sel T. Rangsangan pada serat kecil akan menghambat aktivitas substansia gelatiosa dan membuka pintu mekanisme, sehingga merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan menghantarkan rangsangan nyeri. (Melzack dalam Guyton, 2007)
18
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuronsensori dan serabut control desenden dari otak mengatur proses perthanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi P untuk mentrnsmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. Teknik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005) d. Teori transmisi dan inhibisi. Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi implus-implus saraf, sehinggga transmisi implus nyeri menjadi efektif oleh neurotransmitter yang spesifik. Kemudian, inhibisi implus nyeri menjadi efektif oleh implus-implus pada serabut-serabut besar yang memblok implus-implus pada serabut lamban endogen opiate sistem supersif (Suddarth & Brunner, 2013).
19
2.2.5
Faktor yang mempengaruhi terjadinya nyeri
Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri. Hal ini sangat penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang baik. a. Usia Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan (Potter&Perry, 2005). b. Jenis kelamin Gill (1990) dalam Potter & Perry (2005) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak mempunyai perbedaan secara signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri. Masih diragukan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis dimana seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang sama.
c. Pengalaman masa lalu Menurut Priyanto (2009), seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi
20
nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri. d. Ansietas Ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri (Brunner & Sudarth 2010). e. Budaya Budaya dan etniksitas berpengaruh pada bagaimana seseorang berespon terhadap nyeri (bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku dalam berespon terhadap nyeri), namun budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri, (Zatzick dan Dimsdale dalam Brunner & Suddarth, 2010). f. Efek placebo Efek placebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan atau tindakan lain karena suatu harapan bahwa pengobatan dan tindakan tersebut akan memberikan hasil bukan karena tindakan dan pengobatan tersebut benar-benar bekerja. Efek placebo timbul dari produksi alamiah (endogen) endorphin dalam sistem kontrol desenden. Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat meningkatkan keefektifan medikasi atau intervensi lainnya. Hubungan perawat-pasien yang positif juga dapat menjadi peran yang amat penting dalam meningkatkan efek placebo.
21
g. Keluarga dan Support Sosial Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri semakin bertambah (Potter & Perry, 2005). h. Sumber koping Sumber koping lebih dari sekitar metode teknik. Seorang klien mungkin tergantung pada support emosional dari anak-anak, keluarga atau teman. Kepercayaan pada agama dapat memberi kenyamanan untuk berdoa, memberikan banyak kekuatan untuk mengatasi ketidaknyamanan yang datang (Potter & Perry, 2005).
2.2.6
Penilaian Nyeri
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan. a. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.
22
Gambar 1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale (Sumber : Pain About.Com)
b.
Verbal Rating Scale (VRS)
Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala lima poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat. Alat VRS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri (Tamsuri, 2007). c.
Numerical Rating Scale (NRS)
Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.
Gambar 2. Skala Numerik (Sumber : Medscape, 2008)
23
d.
Visual Analogue Scale (VAS)
Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan skala dengan garis lurus 100 ml, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (100) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya (Willianson, 2008) .
Gambar 3. Skala Analog Visual (Sumber : Medscape, 2008)
2.2.7
Penatalaksanaan Nyeri
Penanganan nyeri yang efektif harus mengetahui patofisiologi sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi (multimodal analgesia), pembedahan, serta juga terlibat didalamnya perawatan yang baik dan teknik non-farmakologi (Brunner & Sudart, 2013).
a. Farmakologis Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologis dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter atau pemberi perawatan utama lainnya dan pasien. Intervensi farmakologis ini berupa pemberian obat-obat anti nyeri atau
24
berupa obat analgesik. Metode pemberiannya dapat berupa parenteral, oral, rectal, transdermal, atau intraspinal. b. Nonfarmakologis Penatalaksanaan nyeri melalui nonfarmakologis, meliputi : 1) Kompres hangat Kompres hangat adalah pengompresan yang dilakukan dengan mempergunakan kantung berisi air hangat secara konduksi terjadi pemindahan panas dari kantung ke dalam tubuh sehingga akan menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan akan terjadi penurunan ketegangan otot sehingga nyeri haid yang dirasakan akan berkurang atau hilang (Perry & Potter,2005). Menurut Price & Wilson (2005), kompres hangat sebagai metode yang sangat efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot. 2) Stimulasi dan masase kutaneus Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada punggung dan bahu. Teori gate control nyeri, bertujuan menstimulasi serabutserabut yang menstranmisikan sensasi tidak nyeri memblok atau menurunkan transmisi impuls nyeri selain itu masase dapat mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori A-beta yang lebih besar dan cepat, sehingga menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan A-delta berdiameter kecil sekaligus menutup gerbang sinap (Potter & Perry, 2005). 3) Terapi es dan panas Terapi es dan panas dapat menjadi strategi pereda nyeri yang efektif pada beberapa keadaan. Diduga bahwa terapi es dan panas bekerja dengan
25
menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-nosiseptor) dalam bidang reseptor yang sama seperti pada cedera. Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensivitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat proses ((Mutaqin, 2011) 4) Stimulasi saraf elektris transkutan/Trancutans Electric Neuro Stimulation (TENS) Stimulasi saraf elektris transkutan/Trancutans Electric Neuro Stimulation (TENS) menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan, menggetar atau mendengung pada area nyeri. TENS secara selektif akan TENS secara selektif akan mengaktifkan serat raba berdiameter besar (Ab) tanpa mengaktifkan serat nociceptive berdiameter lebih kecil (A dan C), sehingga menghasilkan subtansi analgesik segmental yang dikeluarkan otak dengan cepat dan terlokalisir pada dermatom yang bekerja pada system saraf pusat dan saraf perifer untuk mengurangi nyeri (Rita, 2009) 5) Distraksi Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada nyeri, dapat menjadi srategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang bertanggung jawab terhadap teknik kognitif afektif lainnya. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi system kontrol desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimulasi nyeri yang ditransmisikan ke otak (Tamsuri, 2007).
26
6) Teknik relaksasi Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot. Ada tiga hal utama yang diperlukan dalam relaksasi yaitu posisi yang tepat, pikiran beristirahat, lingkungan yang tenang. (Brunner & Suddart, 2010) 7) Imajinasi terbimbing Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus
untuk mencapai efek positif tertentu. Sebagai
contoh, imajinasi terbimbing untuk relaksasi meredakan nyeri dapat terdiri atas menggabungkan nafas berirama lambat dengan suatu bayangan mental relaksasi dan kenyamanan (Potter & Perry, 2005). 8) Hipnotis Hipnotis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah analgesic yang dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis. Teknik ini mungkin membantu dalam memberikan peredaan nyeri terutama dalam situasi kulit (missal, luka bakar).
2.3 Kompres Hangat 2.3.1 Pengertian
Menurut Asmadi (2008) kompres hangat adalah metode pemeliharaan suhu tubuh dengan menggunakan cairan atau alat yang dapat menimbulkan hangat pada bagian tubuh yang memerlukan. Panas yang disalurkan melalui kompres panas dapat meredakan nyeri dengan menyingkirkan produk – produk inflamasi, seperti bradikinin, histamin, dan prostaglandin yang akan menimbulkan nyeri lokal.
27
Panas juga merangsang serat saraf yang menutup gerbang sehingga transmisi implus nyeri ke medulla spinalis dan otak dapat dihambat (Price, 2005).
2.3.2 Manfaat efek panas Panas digunakan secara luas dalam pengobatan karena memiliki efek dan manfaat yang besar. Adapun manfaat efek panas adalah (Gabriel, dalam Prami 2014) a. Efek fisik Panas dapat menyebabkan zat cair, padat, dan gas mengalami pemuaian ke segala arah. b. Efek kimia Rata-rata kecepatan reaksi kimia didalam tubuh tergantung pada temperatur. Menurunnya reaksi kimia tubuh sering dengan menurunnya temperatur tubuh. Permeabilitas membran sel akan meningkat sesuai dengan peningkatan suhu, pada jaringan akan terjadi peningkatan metabolisme seiring dengan peningkatan pertukaran antara zat kimia tubuh dengan cairan tubuh. c. Efek biologis Panas dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi darah. Secara fisiologis respon tubuh terhadap panas yaitu menyebabkan pembuluh darah, menurunkan kekentalan darah, menurunkan ketegangan otot, meningkatkan metabolisme jaringan dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Kompres hangat menimbulkan efek vasodilatasi pembuluh darah sehingga meningkatkan aliran darah. Peningkatan aliran darah dapat menyingkirkan
28
produk-produk inflamasi seperti bardikinin, histamin, dan prostaglandin yang menimbulkan nyeri lokal. Selain itu kompres hangat dapat merangsang serat saraf yang menutup gerbang sehingga transmisi impuls nyeri ke medula spinalis dan otak dapat dihambat (Price & Wilson 2006). Respon dari panas inilah yang digunakan untuk keperluan terapi pada berbagai kondisi dan keadaan yang terjadi dalam tubuh. Panas menyebabkan vasodilatasi maksimum dalam waktu 20-30 menit, melakukan kompres lebih dari 30 menit akan mengakibatkan kongesti jaringan dan klien akan beresiko mengalami luka bakar karena pembuluh darah yang berkontriksi tidak mampu membuang panas secara adekuat melalui sirkulasi darah (Kozier, 2009).
2.3.3 Mekanisme kerja panas Penggunaan kompres panas untuk area yang tegang dan nyeri dianggap mampu meredakan nyeri. Panas mengurangi spasme otot yang disebabkan oleh iskemia yang merangsang neuron yang memblok transmisi lanjut rangsang nyeri menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran darah ke area yang dilakukan pengompresan (Nicholas dan Zwelling, 1997; Simkin, 1995, dalam Walsh, 2007). Menurut
Perry
&
Potter
(2005),
Kompres
hangat
dilakukan
dengan
mempergunakan electric heating pad yaitu secara konduksi dimana terjadi pemindahan panas dari kompres hangat elektrik ke dalam tubuh sehingga akan menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan akan terjadi penurunan ketegangan
29
otot sehingga nyeri yang dirasakan akan berkurang atau hilang. Berikut ini merupakan suhu yang direkomendasikan untuk kompres hangat Tabel 2.1 Suhu yang direkomendasikan Untuk Kompres Hangat Deskripsi Hangat kuku Hangat Panas
Suhu 27-37oC 37-40oC 40-46oC
Sangat Panas Lebih dari 46oC Sumber : Kozier B dan Gleniora Erb, 2009
Aplikasi Mandi air hangat Mandi dengan air hangat, bantalan akuatemia Berendam dalam air panas, irigasi, kompres panas Kantong air panas untuk orang dewasa
2.4 Pengaruh Kompres Hangat Elektrik Dalam Menurunkan Nyeri Abdomen Pada Pasien Diare Kompres hangat elektrik adalah memberikan rasa hangat pada klien dengan menggunakan bantalan elektrik yang menimbulkan hangat pada bagian tubuh yang memerlukannya yang disambungkan ke sumber aliran listrik. Tujuan dari kompres hangat ini untuk menurunkan intensitas nyeri dengan manfaat pemberian kompres hangat secara biologis dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi darah. Secara fisiologis respon tubuh terhadap panas yaitu menyebabkan dilatasi pembuluh darah, menurunkan kekentalan darah, menurunkan ketegangan otot, meningkatkan metabolisme jaringan dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Respon dari panas inilah yang digunakan untuk keperluan terapi pada berbagai kondisi dan keadaan yang terjadi dalam tubuh. Pada kompres hangat elektrik dapat memberikan suhu secara konstan serta memiliki keuntungan pasien dapat mengatur secara mandiri suhu yang digunakan sesuai kebutuhan.
30
Berdasarkan hasil penelitian Prami (2014), sebanyak 27 remaja putri mengalami disminore dengan skala nyeri sedang. Responden diberi perlakuan kompres hangat selama 20 menit dan mengalami penurunan skala nyeri ringan sebanyak 24 responden (88,89%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rohmawati tahun 2005, adanya pengaruh pemberian kompres hangat terhadap waktu flatus ibu melahirkan post SC. Kompres hangat atau pemberian efek panas terhadap bagian yang nyeri merupakan salah satu teknik relaksasi. Teknik ini dapat menghasilkan hormon endorphin. Endorphin adalah neuropeptide yang dihasilkan tubuh pada saat relaks/tenang. Endorphin dihasilkan di otak dan susunan syaraf tulang belakang. Hormon ini dapat berfungsi sebagai obat penenang alami yang diproduksi otak yang melahirkan rasa nyaman dan meningkatkan kadar endorphin dalam tubuh untuk mengurangi rasa nyeri pada saat kontraksi. Ketika seseorang melakukan kompres hangat, maka b-endorphin akan keluar dan ditangkap oleh reseptor di dalam hipothalamus dan sistem limbik yang berfungsi untuk mengatur emosi. Peningkatan b-endorphin terbukti berhubungan erat dengan penurunan rasa nyeri, peningkatan daya ingat, memperbaiki nafsu makan, kemampuan seksual, tekanan darah dan pernafasan (Harry, 2007). Berdasarkan penelitian di atas, kompres hangat dapat mempengaruhi nyeri di abdomen dan merangsang peningkatan metobolisme gastrointestinal yang dapat meningkatkan proses penyembuhan.