BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Overeducation dan Undereducation Istilah ini pada situasi overeducation di mana seorang individu memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari yang diperlukan untuk pekerjaan tertentu. Meskipun lingkup fenomena ini bervariasi di seluruh negara dan tergantung pada pendekatan database dan pengukuran yang digunakan, telah jelas menunjukkan bahwa proporsi yang signifikan dari pekerja yang overeducated menunjukkan bahwa dalam tingkat pendidikan yang sama, pekerja overeducated berpenghasilan kurang dari rekan-rekan mereka. Banyak faktor yang dapat terjadi dalam kasus ini, sehingga pekerja overeducated mendapat penghasilan dibawah pendidikan yang ditamatkan misalnya pengalaman bekerja, keahlian dan lamanya mencari kerja serta kurang tersedianya lapangan pekerjaan. Human capital sangat berperan dalam ekonomi terutama di bidang pendidikan karena permintaan tenaga kerja sangat membutuhkan keahlian tenaga kerja. Jika tenaga kerja tidak memiliki keahlian dapat menimbulkan terjadinya overeducation dan undereducation. Peningkatan permintaan tenaga kerja yang memiliki keahlian dan tingkat pendidikan menimbulkan kebijakan bagi suatu negara untuk menetapkan peningkatan terhadap pendidikan yang bersifat investasi. (Becker dalam Green, 1999: 2-8).
9
Mason
(1996)
menyebutkan
bahwa
dengan
peningkatan
tingkat
pendidikan, lulusan perguruan tinggi yang dipekerjakan pada pertengahan administrasi posisi di mana di masa lalu posisi ini biasanya dipegang oleh pekerja dengan tingkat menengah pendidikan. Oleh karena itu, tingkat yang diperlukan pendidikan perlu diperbarui secara teratur oleh analis dengan melihat kondisi yang telah modern dan memiliki teknologi yang cukup tinggi. Jika tidak maka akan dianggap usang atau tidak berlaku lagi. Oberai (dalam Tobing, 2003: 3) secara spesifik melakukan studi mengenai perubahan-perubahan penting dalam pasar ketenagakerjaan selama proses pembangunan ekonomi. Menurut Oberai, angkatan kerja cenderung bergeser ke arah sektor dan pekerjaan yang memiliki tingkat upah yang tinggi seperti manufaktur berskala besar, jasa modern, transportasi dan konstruksi. Juga dikemukakan bahwa perolehan gaji pada setiap lapangan pekerjaan meningkat bersamaan dengan pekerjaan yang menuntut syarat-syarat pendidikan dan keterampilan yang tinggi. Menurut Freeman merupakan masalah yang sangat dinamis dalam jangka pendek terutama bagi perusahaan. Hal ini diakibatkan karena perusahaan memilih tenaga kerja dengan menggunakan metode produksi dengan menggunakan lebih banyak tenaga kerja yang ahli sehingga dapat meningkatkan pengembalian terhadap investasi pendidikan yang telah dilakukan. Jika terjadi kelebihan investasi dapat menimbulkan kelebihan penawaran tenaga kerja, sehingga berdampak pada tenaga kerja itu sendiri. Kelayakan dan keefektifan di dalam melakukan investasi merupakan bagian dari konsep overeducation. Dengan kata 10
lain overeducation cenderung terjadi karena kemampuan tenaga kerja kurang, produktivitas rendah sehingga menimbulkan upah yang diterima rendah. Undereducated terjadi jika pendidikan yang ditamatkan tidak adanya kesesuaian dengan pekerjaan yang dilaksanakan. Hal ini mengakibatkan perusahaan melaksanakan kewajiban untuk melakukan estimasi terhadap tingkat pendidikan yang diwajibkan di dalam pelaksanaan pekerjaan dan dalam prakteknya pendidikan (kualitas pendidikan) penting terhadap pekerjaan yang dilaksanakan individu. Bagian dari tujuan melakukan pendidikan adalah untuk meningkatkan tingkat produktivitas individu dan dengan demikian meningkatkan pendapatan. Jadi, itu adalah kesesuaian dan efektivitas keputusan investasi ini bahwa konsep mengacu pada overeducation. Pendidikan menghasilkan manfaat nonuang lainnya yang mungkin lebih
membenarkan keputusan individu untuk
memperoleh pendidikan terlepas dari efek pada upah mereka. Persyaratan overeducation dan undereducation yang salah dapat menunjukkan bahwa alokasi antara pekerja dan pekerjaan tidak efisien. 2.1.2 Pasar Kerja Pasar kerja merupakan aktivitas dari para pelaku yang tujuannya adalah mempertemukan pencari kerja dan lowongan kerja (Sumarsono, 2009). Pasar kerja juga bisa disebut tarik-menarik antara permintaan tenaga kerja dengan jumlah tenaga kerja yang di tawarkan. Faktor utama naik turunnya jumlah permintaan dan penawaran tenaga kerja biasanya adalah besar kecilnya gaji yang akan diperoleh tenaga kerja dan besar kecilnya gaji yang akan dibayarkan kepada 11
tenaga kerja. Proses mempertemukan pencari kerja dan lowongan kerja ternyata memerlukan waktu lama. Dalam proses ini, baik pencari kerja maupun pengusaha dihadapkan pada suatu kenyataan sebagai berikut : 1. Pencari kerja mempunyai tingkat pendidikan, keterampilan, kemampuan dan sikap pribadi yang berbeda. Di pihak lain, setiap lowongan yang tersedia mempunyai sifat pekerjaan
yang berlainan. Pengusaha
memerlukan pekerjaan dengan pendidikan, keterampilan, kemampuan, bahkan mungkin dengan sikap pribadi yang berbeda.
Tidak semua
pelamar akan cocok untuk satu lowongan tertentu, dengan demikian tidak semua pelamar mampu dan dapat diterima untuk satu lowongan tertentu. 2. Setiap pengusaha atau unit usaha menghadapi lingkungan yang berbeda seperti output, input, manajemen, teknologi, lokasi dan pasar sehingga mempunyai kemampuan berbeda dalam memberikan tingkat upah, jaminan sosial dan lingkungan pekerjaan. Di pihak lain, pencari kerja mempunyai produktivitas yang berbeda dan harapan-harapan mengenai tingkat upah dan lingkungan pekerjaan. Oleh sebab itu, tidak semua pencari kerja bersedia menerima pekerjaan dengan tingkat upah yang berlaku di suatu perusahaan, sebaliknya tidak semua pengusaha mampu serta bersedia memperkerjakan seorang pelamar dengan tingkat upah dan harapan yang dikemukakan oleh pelamar tersebut. 3. Baik pengusaha maupun pencari kerja sama-sama mempunyai informasi yang terbatas mengenai hal-hal yang dikemukakan dalam butir (1) dan (2). Sekian banyak pelamar, pengusaha biasanya menggunakan waktu 12
yang cukup lama melakukan seleksi guna mengetahui calon yang paling tepat untuk mengisi lowongan yang ada. Di Indonesia sendiri, penyelenggaraan pasar tenaga kerja ditangani oleh Departemen Tenaga Kerja. Perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja menyampaikan jumlah dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan beserta persyaratannya ke Departemen Tenaga Kerja. Kemudian Depnaker akan mengumumkan kepada masyarakat umum tentang adanya permintaan tenaga kerja tersebut. 2.1.3 Angkatan Kerja Angkatan kerja adalah mereka yang mempunyai pekerjaan, baik sedang bekerja maupun yang sementara tidak sedang bekerja karena suatu sebab, seperti petani yang sedang menunggu panen atau hujan, pegawai yang sedang cuti, sakit, dan sebagainya. Angkatan kerja dibagi menjadi dua golongan, yaitu : 1. Golongan Bekerja (employment) adalah angkatan kerja yang benar-benar mempunyai pekerjaan atau sudah diserap oleh permintaan kerja. Golongan ini dibagi lagi menjadi 2 golongan, yaitu : a. Yang bekerja penuh (full employment) b. Yang bekerja tidak penuh/setengah menganggur 2. Golongan Pengangguran (unemployment) adalah angkatan kerja yang ingin bekerja, tetapi belum mendapat pekerjaan. Menurut UU No. 20 tahun 1999 pasal 2 ayat 2, yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja (15 tahun ke atas). Sementara menurut Bank Dunia, yaitu penduduk dalam usia 15 – 64 tahun. Pertumbuhan angkatan 13
kerja dipengaruhi pula oleh struktur penduduk berdasarkan : jenis kelamin, usia penduduk, dan tingkat pendidikan. Sementara usia penduduk berpengaruh terhadap jumlah angkatan kerja dalam suatu negara. Semakin besar jumlah penduduk yang berusia produktif, maka semakin tinggi pula angkatan kerjanya. Semakin rendah tingkat pendidikan penduduk suatu negara, maka akan makin rendah pula angkatan kerjanya, karena saat ini tingkat pendidikan merupakan salah satu syarat untuk memasuki dunia kerja. 2.1.4 Angkatan Kerja Wanita Marlene Arthur Pinks dan Anna Bell Wilkinson menyebutkan setiap tahun semakin banyak perempuan memasuki angkatan kerja. Pada kenyataannya, bahwa lebih dari setengah dari semua orang dipekerjakan di negeri ini adalah perempuan. Penelitian lebih lanjut mengungkapkan sebagai berikut: 1. Perempuan yang dipekerjakan lebih dari satu-setengah yaitu semua wanita dewasa. 2. Enam dari sepuluh wanita menikah bekerja di luar rumah mereka. 3. Sebagian besar wanita (83 persen) di Amerika adalah seorang ibu. Mengapa wanita memilih untuk bekerja. Wanita biasanya memiliki dua pekerjaan meskipun dia dibayar untuk hanya satu pekerjaan. Ketika dia pergi untuk bekerja di luar rumahnya, dia menambahkan pekerjaan dan tidak mengubah satu untuk yang lain. Tuntutan pada waktu dan energi yang sangat meningkat begitu banyak sehingga dorongan untuk bekerja harus kuat. Wanita bekerja mempunyai alasan yang sama dengan pria. Di bagian atas daftar, kebutuhan 14
ekonomi adalah alasan utama perempuan bekerja. Banyak perempuan menjadi kepala rumah tangga mereka sendiri. Wanita yang menikah pada posisi telah bekerja untuk mengisi kesenjangan antara pendapatan suami mereka dan apa yang dibutuhkan untuk bahkan standar moderat hidup. Ini adalah penghasilan tambahan yang diperlukan untuk kelangsungan hidup keluarga individu sebagai unit ekonomi. Akhirnya, beberapa wanita sangat berkomitmen untuk pekerjaan profesional yang sangat terampil atau karier bisnis yang sangat menguntungkan. Dimana faktor pendidikan tidak lagi menjadi penentu wanita dalam memilih pekerjaan karena wanita lebih memilih pekerjaan yang fleksibel di dalam pasar kerja. 2.1.5 Kesempatan Kerja Sagir (1982) menyebutkan perluasan kesempatan kerja atau pemerataan kesempatan kerja serta hak untuk menikmati kehidupan yang layak, harus menjadi sasaran strategi dalam pembangunan nasional, oleh karena ketahanan suatu bangsa atau Negara, akan sangat tergantung pada ketangguhan sumber daya manusianya. Tolok ukur untuk menilai keberhasilan pembangunan, bukan saja di ukur dari keberhasilan laju pertumbuhan produksi fisik untuk pangan, sandang dan papan tetapi juga harus diukur dari kesempatan kerja yang berhasil diciptakan oleh adanya pembangunan itu sendiri. Dengan menjadikan pembangunan manusia sebagai titik sentral pembangunan nasional, maka diperlukan adanya perubahan orientasi pembangunan dari orientasi pada output atau laju pertumbuhan kepada orientasi perluasan kesempatan kerja produktif bagi angkatan kerja yang tersedia.
15
Lokakarya tentang “Perluasan Kesempatan Kerja” berpendapat bahwa kesempatan kerja yang merupakan kondisi dimana seorang penduduk dapat melakukan kegiatan untuk memperoleh imbal jasa ataupun penghasilan dalam jangka waktu tertentu. Menurut Mankiw edisi keenam tahun 2006, para pekerja tidak dipekerjakan bukan karena mereka aktif mencari pekerjaan yang paling cocok dengan keahlian mereka, tetapi karena ada ketidakcocokan yang mendasar antara jumlah pekerja yang menginginkan pekerjaan dan jumlah pekerjaan yang tersedia. Masalah Masalah Pokok Dalam Perluasan Kesempatan Kerja. 1. Oleh karena itu, kesempatan kerja yang dimiliki setiap individu semakin kecil karena adanya kekurangan lapangan pekerjaan yang tersedia serta semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk serta dengan kecilnya lapangan pekerjaan yang ada makin ketat persaingan angkatan kerja untuk memperoleh pekerjaan dalam pasar kerja. Mas Pertumbuhan Angkatan Kerja Pertumbuhan angkatan kerja merupakan penawaran dalam pasar kerja lebih besar dari pada daya serap kesempatan yang tersedia. Pertumbuhan angkatan kerja dalam Pelita I dan II diperkirakan menunjukan bahwa pertumbuhan 1,5 kali dari kemampuan daya serap kesempatan kerja yang tersedia. 2. Rendahnya Tingkat Produktivitas Angkatan Kerja Rendahnya tingkat produktivitas pada umumnya dilatarbelakangi oleh hal hal sebagai berikut :
16
a. Rendahnya tingkat pendidikan, baik tingkat pendidikan umum, kejuruan maupun keterampilan. b. Rendahnya tingkat gizi masyarakat yang berakibat pula rendahnya daya tahan terhadap penyakit. c. Rendahnya tingkat teknologi dalam proses produksi yang dapat dikuasai oleh tenaga kerja. d. Tingginya tingkat absenssisme (bolos kerja) dan labor turnover (pindah lapangan pekerjaan, bosan dalam suatu pekerjaan tertentu). e. Rendahnya tingkat pendapatan atau balas jasa bagi tenaga kerja, sebagai pencerminan dari besarnya penawaran tenaga kerja terhadap permintaan dalam pasar kerja. 3. Rendahnya tenaga beli masyarakat pada umumnya Distribusi pendapatan kelompok masyarakat menunjukkan bahwa 80% dari penduduk Indonesia memperoleh tingkat pendapatan rata rata per kapita di bawah pendapatan per kapita nasional (BPS 1976); keadaan tersebut mengakibatkan rendahya tenaga beli masyarakat terhadap produksi dalam negeri. Pasaran yang sempit untuk produksi dalam negeri tersebut kemudian ditambah dengan masih rendahnya daya saing terhadap produk import, mempersempit
kemungkinan
perluasan kesempatan kerja di dalam negeri. 4. Belum adanya kebijaksanaan yang terpadu dan konsisten.
17
Belum adanya kebijaksanaan yang terpadu dan konsisten, diantaranya dapat tercermin dalam : a. Masalah perpajakan, upah, penetapan harga belum merupakan unsur pendorong untuk para penanam modal dalam turut serta memperluas kesempatan kerja. b. Rendahnya mobilitas angkatan kerja, terutama sebagai akibat masih kurangnya prasarana yang memungkinkan terhambatnya mobilitas angkatan kerja. c. Masalah penempatan bagi tenaga kerja asing, terutama terlihat dari segi jangka waktu ijin menetap dan kemungkinan alih teknologi bagi tenaga kerja Indonesia.
2.1.6 Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja Permintaan tenaga kerja berhubungan dengan fungsi tingkat upah. Semakin tinggi tingkat upah, maka semkain kecil permintaan pengusaha akan tenaga kerja. Jadi dalam permintaan ini sudah ikut dipertimbangkan tinggi-rendahnya upah yang berlaku dalam masyarakat, atau yang dibayarkan kepada tenaga kerja yang bersangkutan (Suroto, 1992). Penawaran tenaga kerja merupakan hubungan antara tingkat upah dan jumlah satuan pekerja yang disetujui oleh pensupply untuk di tawarkan. Jumlah satuan pekerja yang ditawarkan tergantung pada (1) besarnya penduduk, (2) persentase penduduk yang memilih berada dalam angkatan kerja, (3) jam kerja yang ditawarkan oleh peserta angkatan kerja, di mana ketiga komponen tersebut 18
tergantung pada tingkat upah. Jumlah orang yang bekerja tergantung dari besarnya permintaan dalam masyarakat. Besarnya penempatan (jumlah orang yang bekerja atau tingkat employment) dipengaruhi oleh faktor kekuatan penyediaan dan permintaan tersebut. Selanjutnya, besarnya penyediaan dan permintaan tenaga kerjadipengaruhi oleh tingkat upah.
Apabila tingkat upah naik maka jumlah
penawaran tenaga kerja akan meningkat. Sebaliknya jika tingkat upah meningkat maka permintaan tenaga kerja akan menurun. Berikut Gambar 2.1 yang menunjukkan adanya keseimbangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja. W
SL
We
0
Ne
N
Sumber : Mulyadi Subri, 2003
Gambar 2.1 Kurva Keseimbangan Permintaan Dan Penawaran Tenaga Kerja
Keterangan Gambar : SL DL W N Ne We E
: Penawaran tenaga kerja (supply of labor) : Permintaan tenaga kerja (demand for labor) : Upah riil : Jumlah tenaga kerja : Jumlah tenaga kerja yang diminta : Tingkat Upah : Keseimbangan permintaan dan penawaran
19
Berdasarkan Gambar 2.1 diketahui bahwa jumlah orang yang menawarkan tenaganya untuk bekerja adalah sama dengan jumlah tenaga kerja yang diminta, yaitu masing-masing sebesar Ne pada tingkat upah keseimbangan We. Dengan demikian titik-titik keseimbangan adalah titik E. Di sini tidak ada excess supply of labor maupun excess demand for labor. Pada tingkat upah keseimbangan We maka semua orang yang ingin bekerja telah dapat bekerja. Berarti tidak ada orang yang menganggur. Secara ideal keadaan ini disebut full employment pada tingkat upah We tersebut. Salah satu masalah yang biasa muncul dalam bidang angkatan kerja adalah ketidakseimbangan antara permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja pada suatu tingkat upah. Ketidakseimbangan tersebut dapat berupa:
1. Lebih besarnya penawaran dibanding permintaan terhadap tenaga kerja (excess supply of labor). 2. Lebih besarnya permintaan dibanding penawaran terhadap tenaga kerja (excess demand for labor). 2.1.7 Pendidikan Tenaga Kerja Sistem pendidikan maupun latihan harus berorientasi kepada kebutuhan pasar tenaga kerja yang semakin ketat dan menuntut bukan saja keterampilan dan keahlian tetapi juga sikap dan motivasi. Hal-hal ini membutuhkan penyesuaian dan peningkatan mutu dari sistem pendidikan dan latihan yang ada. Investasi pendidikan adalah salah satu modal yang ada pada tenaga kerja untuk mencari pekerjaan pada pasar tenaga kerja. Selain pendidikan tenaga kerja juga didukung oleh keahlian tersendiri misalnya dapat berbahasa inggris, mengoperasikan komputer dan keahlian 20
lainnya. Semakin berkurangnya kesempatan kerja menjadikan persaingan antar angkatan kerja sangat ketat. Dari masalah ini menimbulkan pengangguran pada angkatan kerja yang belum terserap di lapangan pekerjaan. Ketidakinginan hidup menjadi penganggur ini berujung pada pemikiran untuk bekerja apa saja dengan mengabaikan latar belakang pendidikan yang dimiliki dalam ketenagakerjaan umumnya disebut dengan tenaga kerja mismatch. Investasi dalam pendidikan memiliki hubungan dengan permintaan tenaga kerja yang berpendidikan. Sehingga investasi dalam pendidikan merupakan syarat awal untuk mendapatkan perolehan upah sesuai dengan pendidikan yang telah ditamatkan. Selain itu pendidikan didukung oleh keahlian individu untuk mendorong tenaga kerja mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kriterianya. 2.1.8 Upah Tenaga Kerja Menurut Pasal 1 ayat 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Upah adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan jasa yang telah atau akan dilakukan. Dalam teori ekonomi, upah merupakan pembayaran atas jasa-jasa fisik maupun mental yang disediakan oleh tenaga kerja kepada pengusaha. Dengan demikian dalam teori ekonomi tidak dibedakan di antara pembayaran kepada pegawai tetap dengan pembayaran ke atas jasa-jasa pekerja kasar dan tidak tetap. 21
Di dalam teori ekonomi kedua jenis pendapatan pekerja dinamakan upah. Ahli ekonomi membedakan pengertian upah menjadi dua, yaitu upah uang dan upah riil.Upah uang adalah jumlah uang yang diterima para pekerja dari para pengusaha sebagai pembayaran ke atas tenaga mental atau fisik para pekerja yang digunakan dalam proses produksi. Upah riil adalah tingkat upah pekerja yang diukur dari sudut kemampuan upah tersebut membeli barang dan jasa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan para pekerja (Sukirno, 2006). Sumarsosno (2003, dalam Fadliilah dan Atmanti, 2012) menjelaskan bahwa tingkat upah akan mempengaruhi biaya produksi. Naiknya tingkat upah akan menaikkan biaya produksi perusahaan, selanjutnya akan meningkatkan harga per unit barang yang diproduksi. Konsumen biasanya akan memberikan respon yang cepat apabila terjadi kenaikan harga barang, yaitu mengurangi konsumsi atau bahkan tidak mau membeli barang yang bersangkutan. Akibatnya banyak produk yang tidak terjual dan terpaksa produsen menurunkan jumlah produksinya. Turunnya target produksi mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja yang dibutuhkan, Penurunan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan karena pengaruh turunnya skala produksi disebut dengan efek skala produksi atau scale effect. Apabila tingkat upah naik (asumsi harga dari barang modal lainnya tidak berubah) maka pengusaha ada yang lebih suka menggunakan teknologi padat modal untuk proses produksinya dan menggantikan kebutuhan akan tenaga kerja dengan kebutuhan akan barang modal seperti mesin. Penurunan
22
penggunaan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan karena penggunaan mesin disebut efek substitusi atau substitution effect. Manning (1994:103) juga mendorong beberapa riset mengenai upah. Satu diantaranya masalah perbedaan upah yang disebutnya sebagai subjek yang besar dan penting, baik perbedaan upah antar tingkat pendidikan, antardaerah, antargender maupun antarsektor. Dari sisi teori, studi penentuan upah terdapat adanya dua perspektif teori, yaitu teori upah Neo Klasik (teori upah kompetitif) dan teori upah nonkompetitif yang salah satunya adalah teori upah efisiensi. Perbedaan dasar dua teori tersebut antara lain teori upah Neo Klasik meramalkan harga (upah) bisa berbeda dalam jangka pendek tetapi dalam jangka panjang pelaku ekonomi akan mendekati harga yang sama pada tingkat keseimbangan. Sebaliknya, teori upah efisiensi meramalkan bahwa dalam jangka panjang upah akan tetap berbeda-beda antar industri dan pengusaha tidak berusaha untuk melakukan penyesuaian menuju kesamaan harga. Dalam penentuan
upah,
pemerintah
sangat
berkepentingan
dengan
kebijakan
pengupahan, disatu pihak untuk tetap dapat menjamin standar kehidupan tenaga kerja, meningkatkan produktivitas dan meningkatnya daya beli masyarakat. Di lain pihak, kebijaksanaan pengupahan harus mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja serta mampu menahan laju inflasi. Kenaikan upah harus diikuti dengan adanya kenaikan produktivitas karena akan berdampak sulitnya pengusaha untuk memperluas usaha atau melakukan investasi baru dan mempertahankan kondisi perusahaan. Disinilah perlu adanya investasi pendidikan
untuk mendukung keahlian tenaga kerja agar dapat 23
meningkatkan produktivitas tersebut. Investasi pendidikan tenaga kerja misalnya kursus ataupun keahlian lainya yang dibutuhkan perusahaan akan menunjang kinerja produktivitas lebih baik. Kondisi inilah memungkinkan kenaikan upah dapat terjadi menyeimbangi investasi pendidikan yang dilakukan tenaga kerja untuk perusahaan tersebut. 2.1.9 Jam Kerja Pada Tenaga Kerja Berdasarkan hukum The Law Diminishing of return, dengan bertambahnya jam kerja pada suatu titik akan menurunkan pendapatan. Keadaan ini sesuai dengan kurva yang bersifat backward banding supply curve dimana pada jam kerja (titik tertentu), pekerja tidak dapat lagi menambah jumlah jam kerja karena pada titik ini pendapatan tidak akan bertambah (Polacheck dan Siebert, 1993:101). Semakin tinggi jam kerja seseorang akan mengakibatkan pendapatan yang diperoleh akan semakin menurun. Hal ini di sebabkan oleh sektor tertentu, kelebihan jam kerja tidak diperhitungkan sebagai tambahan penghasilan bagi pekerja. Keadaan ini menunjukan tenaga kerja belum dihargai dengan baik. 2.1.10 Usia Tenaga Kerja Meningkatnya usia kerja diiringi dengan semakin meningkatnya posisi atau jabatan yang berimplikasi pada semakin tinggi pendapatan yang diperoleh. Usia meningkat biasanya akan meningkatkan pengalaman kerja dan dapat meningkatkan pendapatan. Pada titik usia tertentu penghasilan mereka akan lebih rendah dari penghasilan tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Terdapat juga fenomena semakin meningkatnya usia semakin membuat para tenaga kerja tidak
24
memilih pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan mereka, ini dapat terjadi karena kebutuhan ekonomi keluarga dan semakin menyempitnya lapangan pekerjaan. Tenaga kerja akan lebih memilih bekerja dengan titik usia tertentu tanpa memikirkan investasi pendidikan yang telah dilakukan dari pada menjadi seorang pengangguran. Kesimpulannya kurangnya lapangan pekerjaan dan permintaan upah yang tinggi para tenaga kerja terdidik mengakibatkan adanya kesenjangan yang terjadi dipasar tenaga kerja. 2.1.11 Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu merupakan hasil-hasil dari penelitian sebelumnya yang terkait tentang fenomena overeducation dan undereducation dalam pasar kerja wanita. Beberapa penelitian tersebut antara lain : 1. Ratna Juwita (2011) Judul : Analisis Pengaruh Undereducation Terhadap Pendapatan Tenaga Kerja Sektoral Di Kota Palembang. Hasil penelitian sebagai berikut : a. Pendidikan memiliki pengaruh positif terhadap pendapatan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Becker (1993: 29) serta Polachek dan Siebert bahwa jika pendidikan meningkat maka penghasilan juga meningkat. b. Usia mempengaruhi pendapatan secara positif. Meningkatnya usia pekerja diiringi dengan semakin meningkatnya posisi atau jabatan yang berimplikasi pada semakin tinggi pendapatan yang
25
diperoleh. Usia meningkat biasanya akan meningkatkan pengalaman kerja dan meningkatkan penghasilan. c. Jam kerja memiliki koefisien negatif berarti semakin tinggi jam kerja seseorang akan mengakibatkan pendapatan yang diperoleh semakin menurun. Hal ini disebabkan pada sektor tertentu kelebihan jam kerja tidak diperhitungkan sebagai tambahan penghasilan bagi pekerja. d. Koefisien jenis kelamin bernilai negatif menunjukan rata-rata pendapatan
laki-laki
sama
dengan
rata-rata
pendapatan
perempuan. Dengan demikian tidak terdapat diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, karena yang dinilai adalah hasil kerja yang dilatarbelakangi oleh pendidikan dan keahlian yang dimiliki oleh tenaga kerja. 2. Wiko Saputra dan Junaidi (2011) Judul : Fenomena Over Education dan under Education dalam pasar kerja wanita di Sumatera Barat. Hasil penelitian sebagai berikut : Secara
deskriptif
hasil
penelitian
yaitu
terdapat
fenomena
overeducation dan undereducation dalam pasar kerja wanita bila dilihat dari posisi pekerjaan utama, yaitu tenaga kerja bagian produksi dan tenaga kerja bagian penjualan. Pada dua posisi terdapat 100 persen gejala tersebut. Posisi yang sedikit mengalami fenomena overeducation dan undereducation adalah tenaga kerja profesional, tenaga kerja manajemen, tenaga kerja administrasi dan buruh tani. 26
Dari hasil uji regresi, terdapat pengaruh pendapatan/upah terhadap fenomena overeducation dan undereducation dalam pasar kerja wanita di Sumatera Barat ditunjukan dari tiga aspek, yaitu : a. Over education diinterpretasikan sebagai penunjuk atau bukti adanya penurunan dari tingkat pengambilan secara ekonomis (economic return) di bidang pendidikan. Economic return di pendidikan lebih tinggi menurun secara relatif terhadap pendidikan yang rendah. b. Over education diasosiasikan dengan terjadinya credential education yaitu penelitian lebih dari masyarakat terhadap suatu jenis pendidikan yang tidak terkait dengan peningkatan keahlian yang dibutuhkan oleh suatu lapangan dan jenis pekerjaan tertentu. c. Over education merupakan salah satu indikator adanya occupational mismatch atau adanya pekerja yang tidak memperoleh pekerjaan yang dapat memaksimalkan tingkat pendidikan dan keahlian yang dimilikinya. 3. Chun - Hung A. Lin dan Chun-Hsuan Wang (2005) Judul : The Incidence and Wage Effects Of Overeducation: The Case Of Taiwan. Hasil penelitian sebagai berikut : Semua pengamatan dibagi menjadi empat kelompok dalam analisis empiris kami: lulusan universitas dengan gelar sarjana atau tingkat pendidikan yang lebih tinggi (dengan 16 atau lebih tahun pendidikan), lulusan perguruan 27
tinggi (perguruan tinggi junior, dengan 14 tahun pendidikan), Senior lulusan SMA (dengan 12 tahun pendidikan) dan SMP atau lulusan sekolah dasar (dengan 9 tahun pendidikan atau kurang). Sebuah analisis durasi digunakan untuk menganalisis data yang terkait dengan durasi pengangguran untuk masing-masing kelompok. Dengan beberapa pengamatan yang terjadi selama periode pengangguran, yang disurvei jangka waktu pengangguran mereka dianggap benar disensor, sehingga kita mempekerjakan model regresi disensor dengan distribusi log normal untuk memperkirakan efek dari kelebihan pendidikan durasi pengangguran. Sebuah variabel untuk menunjukkan apakah durasi pengangguran 'tidak disensor' (0), kiri disensor '(1), atau' benar-disensor '(1) diciptakan untuk model. Regresi kami juga dianggap karakteristik individu sosial ekonomi, industri dan pendudukan kategori dan tingkat pertumbuhan ekonomi makro selama periode data. Untuk mengakomodasi kemungkinan bahwa data pengangguran di sampel kami mungkin ditandai dengan dalam kelompok (yaitu, tren waktu dan tempat kerja) korelasi serial, kami memperkirakan model disensor menggunakan 230 cluster, yang dibuat menggunakan 10 tahun dan 23 kabupaten. Dibandingkan dengan pekerja tepat berpendidikan, menunjukkan bahwa pekerja lebih terdidik harus bertahan pengangguran untuk jangka panjang 78,82% ketika mereka memiliki gelar sarjana atau 28
lebih tinggi. Mereka yang lulus dari perguruan tinggi junior yang menganggur untuk jangka waktu lama 52,01%. Undereducation juga berkorelasi positif dengan durasi pengangguran, akuntansi untuk 59,99% dan 69,21% dari pekerja yang lulus dari sekolah SMA dan SMP atau SD, masing-masing. 2.2
Kerangka Konseptual Kerangka konseptual penelitian dalam penelitian adalah sebagai berikut :
Tingkat pendidikan (X1) Gaji
Overeducation dalam
(X2)
pasar kerja wanita (Y) Jam Kerja
(X3)
Usia
(X4)
Tingkat pendidikan (X1) Overeducation dalam Gaji
(X2)
Jam Kerja
(X3)
Usia
(X4)
pasar kerja wanita (Y)
Gambar 2.2 Kerangka Konseptual
29
2.3
Hipotesis Dalam penelitian ini dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : 1. Terdapat pengaruh tingkat pendidikan terhadap overeducation dan undereducation dalam pasar kerja wanita. 2. Terdapat pengaruh gaji terhadap overeducation dan undereducation dalam pasar kerja wanita. 3. Terdapat
pengaruh
jam
kerja
terhadap
overeducation
dan
undereducation dalam pasar kerja wanita. 4. Terdapat pengaruh usia terhadap overeducation dan undereducation dalam pasar kerja wanita.
30