BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Mahasiswa 1. Pengertian Mahasiswa Mahasiswa secara sederhana dapat didefinisikan sebagai kelompok masyarakat yang dapat mengenyam pendidikan formal tingkat tinggi. Yahya Ganda (1987 : 10) mengatakan bahwa “mahasiswa diartikan sebagai pelajar yang menimba ilmu pengetahuan tinggi, dimana pada tingkat ini mereka dianggap memiliki kematangan fisik dan perkembangan pemikiran yang luas, sehingga dengan nilai lebih tersebut mereka dapat memiliki kesadaran untuk menentukan sikap dirinya serta mampu bertanggungjawab terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam wacana ilmiah”. A.M. Fatwa dalam Syaifullah Syam (2005 : 374) mengemukakan bahwa mahasiswa merupakan kelompok generasi muda yang mempunyai peran strategis dalam kancah pembangunan bangsa, karena mahasiswa merupakan sumber kekuatan moral (moral force) bagi bangsa Indonesia. Artinya, bahwa mahasiswa merupakan bagian integral dari masyarakat yang dengan seleksi tertentu sehingga dapat mengenyam pendidikan formal tingkat tinggi. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Perguruan Tinggi disebutkan bahwa “mahasiswa merupakan peserta didik yang terdaftar pada perguruan tinggi”. Sedangkan dalam Statuta Universitas
14
15
Pendidikan Indonesia dikatakan bahwa “mahasiswa adalah seseorang yang telah memenuhi persyaratan masuk dan memenuhi kewajiban administrasi”. Mahasiswa berhak untuk mengikuti kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler serta memanfaatkan fasilitas pendidikan sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan mahasiswa menurut Yahya Ganda (1987 : 1) ialah untuk “mencapai dan meraih taraf keilmuan yang matang, menguasai sesuatu ilmu, serta memiliki wawasan ilmiah yang luas, sehingga mampu bersikap dan bertindak ilmiah dalam segala dalam segala hal yang berkaitan dengan dengan keilmuannya untuk diabdikan kepada masyarakatnya dan umat manusia”. Andito (2005) mengatakan bahwa mahasiswa merupakan kelas sosial di masyarakat yang mempunyai konotasi religiusitas, moralitas, intelektualitas dan humanitas. Mahasiswa menghubungkan dimensi ketuhanan (maha) dan kemahlukan (siswa). Kata “maha” identik dengan makna kemutlakan, kebenaran absolut. Sedangkan kata “siswa” merupakan sosok pembelajar yang senantiasa bergerak/dinamis (karena memang mahasiswa sebagai manusia merupakan mahluk material yang akan terus bergerak). Mahasiswa merupakan bagian integral dari masyarakat yang merupakan perwujudan fase dari kehidupan manusia yang telah mencapai kesadaran akan tugas sejarah dan kemanusiaannya. Secara historis bahwa mahasiswa merupakan “sumber kepemimpinan” dan secara sosiologis bahwa mahasiswa merupakan usia muda, idealis serta ilmiah. Soe Hok Gie (2005 : 130) menyatakan bahwa mahasiswa merupakan “the happy selected few”
16
yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus juga menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya. Karena kesempatan mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih banyak ketimbang masyarakat lainnya, maka mahasiswa pula sering diidentikan sebagai cendekiawan yang harus senantiasa memahami kehidupan bangsa dan negaranya. Karenanya, Apudin (2005 : 8) menyatakan bahwa mahasiswa merupakan kaum menengah yang tercerahkan, sebagai kaum cendekiawan dan intelektual muda yang memiliki kecenderungan sebagai seorang pemimpin yang mapan dan bila dalam suatu realitas sosial selalu menjadi pembaharu. Karena dari catatan sejarah bangsa, mahasiswa banyak mengukir tinta dalam perjalanan bangsa Indonesia. Mulai dari 1908, 1928, 1945, 1966 hingga momentum reformasi 1998.
2. Aktivis Mahasiswa Aktivis mahasiswa merupakan mahasiswa yang melibatkan dirinya kedalam
kegiatan
dan
dinamika
organisasi
kemahasiswaan.
Aktivis
mahasiswa pula sering dikonotasikan sebagai pembaharu, karena banyak terlibat dalam penyikapan wacana kemasyarakatan. Biasanya mereka terlibat dalam penanaman intelektual serta pergerakan mahasiswa. Dalam konteks Indonesia, para aktivis dan pergerakan mahasiswa banyak mewarnai lembar perjalanan bangsa. Dalam kamus ilmiah popular (Burhani dan Hasbi Lawrens, tt : 18) dikatakan bahwa aktivis ialah orang yang aktif (menjadi anggota) suatu
17
organisasi. Sehingga dalam konteks aktivis mahasiswa, penulis dapat menyimpulkan bahwa aktivis mahasiswa ialah para mahasiswa yang melibatkan dirinya dalam kegiatan berorganisasi melalui sebuah wadah yang bernama organisasi mahasiswa. Gerakan-gerakan tersebut mempunyai tujuan yang didasarkan pada kehendak untuk merubah kondisi bangsa. Mulai ketika peiode 1966 (yang menjadi isu sentral ialah kedaulatan rakyat dan perbaikan ekonomi hingga kepada reformasi 1998 yang bertujuan untuk merubah tatanan kehidupan kebangsaan. Analisa gerakan aktivis mahasiswa tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Tabel 2.1. Analisa Gerakan Aktivis Mahasiswa 1966 - 1998 1966
1974
1978
1989
Kedaulatan rakyat Pimpinan nasional
Kedaulatan rakyat Strategi pembangun an
Kedaulatan rakyat Pimpinan nasional
Kedaulata n rakyat Perubahan struktural
Organisa si
Ekstrakulik Dewan uler (KAMI Mahasiswa dan Organisasi Pemuda)
Dewan Mahasiswa
Aliansi strategis
Angkatan Darat
Intelektual dan Politisi Oposisi
Visi Sasaran strategis
Intelektual dan Politisi Oposisi
1998
Kedaulatan rakyat Pimpinan nasional dan perubahan struktural Komite Jaringan Solidaritas Organisasi Mahasisw Mahasiswa a, Buruh Formal dan dan Informal Petani, Kelas Menengah Buruh, Intelektual, Petani, Kaum Miskin Intelektual Kota, Kelas dan Kelas Menengah Menengah Dan Profesional
18
Kondisi politik
Friksi tajam antara Soekarno, Angkatan Darat dan PKI
Friksi tajam antara Jenderal Soemitro dan Aspri Soeharto
Friksi politik relatif kecil
Friksi politik relatif kecil
Kondisi ekonomi
Inflasi sekitar 600 %
Hasil
Soekarno digulingkan , PKI dibubarkan
Pertumbuha Pertumbuha Pertumbu n ekonomi n ekonomi han cukup tinggi cukup tinggi ekonomi rata-rata 7 % Soeharto Soeharto Soeharto tetap tetap tetap berkuasa, berkuasa, berkuasa, perbaikan tidak ada tidak ada pada perbaikan perbaikan kebijakan kebijakan kebijakan ekonomi signifikan signifikan
Friksi tajam Soeharto vs 14 menteri, Jenderal Wiranto vs Letjen Prabowo S Depresiasi 708 % dan inflasi 82,4 %
Soeharto dan Habibie digulingkan, demarkasi politik tidak berjalan dan revolusi mahasiswa belum selesai Sumber : Komisariat GmnI FPIPS UPI
Gerakan mahasiswa merupakan gerakan politik yang menjungjung tinggi moralitas. Gerakan mahasiswa bukanlah gerakan politik partisan untuk ikut merengkuh kekuasaan. Gerakan mahasiswa merupakan pengkritik atau oposan kekuasaan atau perilaku yang menindas. Aktivis mahasiswa (gerakan mahasiswa) laksana seorang koboi yang datang dari horizon yang jauh, yang memasuki kota untuk membaasmi bandit dan setelah itu pergi lagi ke horizon yang jauh. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan secara hierarkis-piramid, mahasiswa memiliki posisi berada diantara kelas pemerintah dan kelas masyarakat. Maka, dengan jelas tersebutkan bahwa tugas dan peran mahasiswa ialah sebagai kelompok kritis dan pembaharu untuk bergerak
19
bersama-sama masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap segala bentuk kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang. Ungkapan tersebut nampaknya bukan isapan jempol semata. Karena, seperti analisis A.M Fatwa dalam Syaifullah Syam (2005 : 374) mengenai peran mahasiswa dalam kehidupan sosial yang menyatakan bahwa : 1. Mahasiswa telah mengalami proses pendidikan dan sosialisasi politik, sehingga mengetahui dan memahami serta meresapi persoalan-persoalan di masyarakat. 2. Mahasiswa merupakan kelompok masyarakat terdidik yang penuh dengan jiwa idealisme dan berhati nurani. Ia dapat menilai keadaan empirik dengan berpatokan kepada nilai-nilai idealita, yang dalam banyak kasus seringkali tidak sesuai dengan apa yang ada di lapangan. Hal ini menyentuh nilai-nilai idealisme mahasiswa. 3. Mahasiswa mempunyai nyali dan keberanian luar biasa dalam melakukan perubahan-perubahan sosial menurut idealisme yang mereka miliki.
Aktivis mahasiswa identik dengan pergerakan dan lembaga (organisasi) kemahasiswaan. Namun, ada yang menarik untuk dicermati dari gerakan mahasiswa. Bahwa gerakan mahasiswa bukan gerakan politik untuk merebut suatu kekuasaan. Tetapi gerakan mahasiswa ialah gerakan moral untuk penekan suatu rezim yang berkuasa. Hal itu dilontarkan oleh Arief Budiman dalam Enin Supriyanto (1999 : xi) bahwa : Mahasiswa bukan kelompok politik yang berusaha meraih kursi kekuasaan. Melainkan suatu kekuatan moral (moral force) untuk memainkan peran bagi pencapaian cita-cita negara. Tugas mahasiswa aadalah melakukan kritik terhadap keadaan sosial yang kacau. Bila penguasa melakukan penyelewengan, mahasiswa harus melancarkan kritik sosial dan turun dari universitas. Tugas ini mirip sebagai intelektual resi dalam konsepsi kekuasaan di lingkungan budaya feodal-kolonial Jawa.
20
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa gerakan mahasiswa tidak bertujuan untuk mengambil atau menduduki jabatan politik tertentu. Tetapi secara politik gerakan mahasiswa menjadi sebuah penekan bagi kebijakankebijakan publik yang dibentuk dan dikeluarkan oleh pemerintah. Gerakan mahasiswa tidak perlu dibedakan menjadi gerakan moral atau gerakan politik. Tetapi secara jelas bahwa gerakan mahasiswa sebagai kekuatan moral untuk menekan segala kebijakan pemerintah.
B. Tinjauan Tentang Negara-Bangsa Konsep negara-bangsa mengandung dua makna yang saling berkaitan. Pertama, negara sebagai kesatuan politis, dan yang kedua ialah bangsa sebagai kesatuan yang sifatnya menonjolkan kehendak bersama serta hidup dalam sebuah persekutuan yang majemuk dan memiliki wilayah yang menjadi pijakan serta tempat untuk hidup bersama. Sistem negara-bangsa pada umumnya dikaitkan dengan Piagam Westphalia 1648. Piagam Westphalia merupakan perjanjian yang digunakan untuk mengakhiri perang yang terjadi di Eropa. Hal tersebut menekankan bahwa setiap setiap suku bangsa berhak memiliki negaranya sendiri serta menghilangkan batas-batas etnogeografis dan menonjolkan batas-batas politik. Sebuah negara-bangsa dibangun atas dasar kesamaan nasib dan teleologi kebaikan bersama (common good). Konsepsi negara-bangsa memiliki karakter/azas common sense, kepentingan nasional berada diataas kepentingan golongan maupun individu. Negara-bangsa didasarkan atas
21
nasionalisme tanpa harus menghilangkan identitas dan jati dirinya sebagai bangsa. Nurcholish Madjid (2003 : 42) mengatakan bahwa Negara-bangsa adalah negara untuk seluruh ummat yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan itu. Tujuan negara-bangsa adalah mewujudkan maslahat umum, yakni kebaikan yang meliputi seluruh warga negara tanpa kecuali. Negara-bangsa berbeda dari negara kerajaan yang terbentuk tidak berdasarkan kontrak sosial dan transaksi terbuka. Tetapi karena kepeloporan seorang tokoh kuat yang dominan. Negara-bangsa juga menggabungkan pemikiran tentang kesamaan kehendak dan persatuan orang dan tempat dari suatu bangsa. Hal ini sejalan juga dengan yang dikemukakan oleh Soekarno (Susilo Bambang Yudhoyono, 2004 : 11), bahwa Nationale Staat Indonesia berdiri di atas satu kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Indonesia dapat dikatakan sebagai sebuah negara-bangsa. Karena terdiri dari kemajemukan suku bangsa yang dibingkai dalam kesatuan dan persatuan. Hal ini dapat tercermin dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998) bahwa : “Hakikat negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan -atau nasionalisme-
22
yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun warga masyarakat tersebut berbedabeda agama, ras, etnik atau golongannya”. Terbentuknya
negara-bangsa,
tidak
dapat
dilepaskan
dari
terbentuknya sikap dan jiwa nasionalisme sebuah bangsa. Nasionalisme tersebut kemudian menjadi bingkai pemersatu dari kemajemukan yang ada. Hal seperti itu dapat juga kita saksikan dalam hal terbentuknya negara-bangsa Indonesia. Karena, munculnya nasionalisme didorong oleh faktor sejarah, yang secara ideologis merupakan kristalisasi kesadaran berbangsa dan bernegara. Pada awalnya, nasionalisme tumbuh dan berkembang ketika ada peluang pembuka jalan bagi pembentukan sebuah negara dan bangsa. Nasionalisme inilah yang sesungguhnya secara efektif mentransformasikan komunitas tradisional menjadi sebuah komunitas modern berbentuk negarabangsa atau nation state.
C. Tinjauan Tentang Tantangan Disintegrasi Bangsa, Modernisasi dan Globalisasi Negara-Bangsa Indonesia 1. Disintegrasi Bangsa Negara-bangsa Indonesia merupakan sebuah entitas yang berdiri di atas kemajemukan. Sebenarnya, kemajemukan tersebut menjadi salah satu faktor yang kemudian menyebabkan terbentuknya negara-bangsa Indonesia. Kemajemukan masyarakat Indonesia terlihat seperti yang dinyatakan oleh Furnivall (Nasikun, 2006 : 35), bahwa “masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk (plural society), yakni suatu masyarakat yang terdiri atas
23
dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan politik”. Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk telah menimbulkan persoalan intergrasi pada tingkatan nasional. Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal. Maka, tak jarang kemajemukan bangsa Indonesia dapat menyebabkan konflik horizontal yang berujung pada ancaman disintegrasi bangsa. Hal tersebut terekam secara historis bahwa dalam enam dasawarsa perikehidupan kenegaraan di tanah air, terbukti bangsa Indonesia pernah mengalami beberapa
kali konflik yang erat kaitannya dengan unsur SARA
(Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) serta politik. Sekalipun masalah SARA ini tidak sampai berujung pada terjadinya separatisme pada wilayah Indonesia yang sudah bersatu sejak awal kemerdekaan. Namun harus diakui bahwa beberapa kelompok kecil masyarakat lainnya telah menunjukkan bahwa di Indonesia mempunyai potensi untuk itu. Maraknya disintegrasi bangsa disebabkan oleh menipisnya rasa nasionalisme. Sehingga berujung kepada ancaman pecahnya kesatuan dan persatuan nasional. Etnisitas dan gerakan separatis seolah menjadi jamur di musim hujan. Konflik yang mengatasnamakan ras dan suku dari hari ke hari semakin menjadi. Gerakan separatispun semakin menunjukkan bahwa persatuan dan kesatuan nasional memang sedang terancam. Selain itu konflik yang bernuansa etnis atau antar golongan disebabkan karena lunturnya nilai-
24
nilai agama, adat dan sejarah. Kini hal tersebut telah dikalahkan oleh egoisme SARA itu sendiri. Gerakan
separatisme
yang
mengancam
disintegrasi
bangsa
sebenarnya telah muncul sejak dahulu. Hal ini dapat dilihat dari maraknya gerakan-gerakan separatis seperti DI/TII, RMS atau PRRI/PERMESTA. Namun, meningkatnya tensi separatisme dirasakan pada masa pasca reformasi berlangsung. Hal tersebut seperti yang dinyatakan oleh Azyumardi Azra (2002 : 120-122) bahwa : Kejatuhan Presiden Soeharto dari singgasananya pada Mei 1998 sebagai akibat lanjutan dari krisis moneter, ekonomi dan politik telah mengancam integrasi nasional negara-bangsa Indonesia…. Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, sistem sosial yang berbeda kelihatannya semakin rapuh. Menurut F.M. Suseno (Richard M Daulay, 2003 : 31-40), ada beberapa hal yang menyebabkan maraknya fanatisme sehingga pecahnya integrasi nasional. Pertama ialah masalah sentralisme, yang kedua ialah masalah primordialisme, dan yang ketiga adalah permasalahan ketidakadilan sosial. Kesemuanya tersebut nampak dalam beberapa konflik yang menyebabkan disintegrasi, seperti yang terjadi di Aceh, Papua, Riau, Ambon dan Timor-Timor. Permasalahan disintegrasi bangsa merupakan tantangan yang harus dihadapi demi bertahannya eksistensi negara-bangsa Indonesia yang didasarkan atas konsesus bersama serta sikap dan jiwa nasionalisme. Disintegrasi bangsa juga dapat ditinjau dari maraknya konflik horizontal yang bersifat politis maupun ideologis. Pada tingkatan ideologis,
25
konflik tersebut terwujud dalam bentuk konflik antara sistem-nilai yang dianut serta menjadi ideologi dari berbagai kesatuan sosial. Pada konflik yang bersifat politis, konflik tersebut terjadi dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas adanya di dalam masyarakat. Konflik-konflik ini biasanya terjadi pada kalangan elite yang akan berekses terhadap kalangan graas roots (kalangan pada tingkatan terbawah). Situasi konflik seperti itulah yang kemudian membuat para pihak yang berselisih akan berusaha mengabadikan diri dengan cara memperkokoh solidaritaas ke dalam diantara sesama anggotanya. Diantaranya ialah dengan membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan, bersaing dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi dan politik. Hal tersebut nampak dalam konflik komunal bangsa Indonesia atau konflik antar elite partai politik. Sehingga hal tersebut menjadi ancaman bagi eksistensi negara-bangsa Indonesia. Strategi seperti apa yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengatasi disintegrasi bangsa tersebut. Strategi tersebut diantaranya ialah seperti yang dikemukakan oleh Richard M Daulay (2003 : 31-40) pertama, dengan memperkuat kembali Pancasila sebagai sebuah ideologi nasional yang dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Kedua, menciptakan keadilan sosial dan pemerataan antara pusat dan daerah. Ketiga, membangun budaya Indonesia yang akan menyatukan seluruh elemen bangsa. Keempat ialah pelaksanaan otonomi daerah yang benar dan tepat. Sehingga antar daerah
26
akan terjalin kerjasama dan kemajuan tanpa harus menimbulkan kecemburuan dan keinginan untuk memisahkan diri. Artinya secara sederhana dapat dikatakan ada dua hal yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut. Pertama, secara politis (struktural) dan yang kedua ialah secara sosial (kultural). Secara struktural diharapkan pemerintah dapat membuat dan menerapkan kebijakan-kabijakan yang dapat dikatakan merata dan tidak membuat kecemburuan antar suku bangsa. Sedangkan secara kultural bahwa diharapkan masyarakat sebagai sebuah kesatuan dapat secara aktif mengeratkan diri melalui budaya lokal yang dapat menjadi penyangga bagi kesatuan nasional.
2. Modernisasi dan Globalisasi Modernisasi dan globalisasi dapat menjadi tantangan bagi eksistensi negara-bangsa Indonesia, karena dikhawatirkan bahwa modernisasi dan globalisasi akan menipiskan dan bahkan menghilangkan identitas dan jati diri bangsa
Indonesia.
Padahal
identitas
tersebutlah
yang
menyebabkan
terbentuknya sebuah entitas negara-bangsa. Proses menjadi modern dan menyesuaikan dengan tatanan global menjadikan sebuah negara menjadi tanpa batas (borderless). Sedangkan batas negara merupakan hal yang tak bisa ditawar guna menunjukan kedaulatan negara yang bersangkutan. Modernisasi dan globalisasi merupakan hal yang niscaya terjadi. Pada hakekatnya modernisasi dan globalisasi merupakan upaya untuk menyesuaikan dengan konstelasi dunia yang ada yang bersifat global. Namun
27
sayangnya modernisasi dan globalisasi selalu dimaknai sebagai westernisasi. Sehingga identitas kebangsaan menjadi pudar berganti dengan identitas barat. Padahal Koentjaraningrat (1990 : 138-142) dengan jelas membedakan modernisasi dan westernisasi. Hal tersebut tampak dalam ucapannya yang menyatakan bahwa :
“Modernisasi merupakan upaya untuk hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi dunia sekarang…westernisasi merupakan usaha untuk meniru gaya hidup orang Barat (Eropa Barat atau Amerika)”. Globalisasi sangat identik dengan penetrasi teknologi dan budaya kedalam suatu bangsa. Untuk konteks Indonesia nampaknya hal tersebut menjadi tantangan kebangsaan tersendiri. Proses tersebut menyebabkan sorang Indonesia menjadi kehilangan identitas dan jati dirinya. Jati diri bangsa yang selalu mengutamakan gotong royong dan kebersamaan, kini tergantikan oleh sikap individualistis sebagai buah daripada kapitalisme. Tentu saja hal tersebut sangat tidak sejajar dengan gagasan kebangsaan yang dikumandangkan para pendiri bangsa. Ciri penghargaan terhadap komunitaas dan keberagaman lenyap oleh kultur kapitalisme yang berorientasi pada diri sendiri. Dalam kamus ilmiah populer (Burhani dan Hasbi Lawrens, tt : 170) globalisasi didefinisikan sebagai perwujudan perubahan secara menyeluruh di segala aspek kehidupan. globalisasi yang kita hadapi sekarang ini, merupakan tahapan berikutnya, dari dua tahapan globalisasi sebelumnya. Globalisasi pertama, yang berlangsung dari abad ke-15 sampai abad ke-18, sering diistilahkan dengan jargon the globe is round. Pada era globalisasi pertama
28
itu, manusia berhasil membuktikan bahwa bumi itu bulat. Sebelumnya, para rohaniawan di Eropa masih percaya, bumi datar seperti meja. Dan di ujung lautan ada neraka. Faktor pendaya guna utama (key agent of changes) pada globalisasi pertama itu adalah empat kekuatan, yaitu kekuatan otot (muscle power), kekuatan angin (wind power), kekuatan daya kuda (horse power), dan kekuatan mesin uap (steam power). Era globalisasi kedua, berlangsung dari abad ke-19 sampai akhir abad ke-20. Faktor pendaya guna utama pada globalisasi kedua itu adalah penemuan-penemuan di bidang teknologi elektronika dan telekomunikasi. Pada masa itu, ditemukan telegram dan telepon, yang kemudian berkembang dengan penemuan satelit, serat optik, dan diakhiri dengan penemuan di bidang teknologi informatika dengan penemuan personal computer dan internet atau world wide web. Globalisasi kedua ini diistilahkan dengan jargon the globe is flat atau dunia mendatar, dalam arti, kemajuan teknologi elektronika dan telekomunikasi telah memungkinkan jangkauan yang semakin mudah ke berbagai tempat di penjuru dunia. Pada globalisasi kedua itu, dominasi bangsa-bangsa Eropa mulai berkurang dan perannya digantikan oleh dominasi korporasi-perusahaan multinasional (multinational corporations) yang umumnya menguasai key agent of change di bidang teknologi elektronika dan telekomunikasi. Globalisasi ketiga di era kita sekarang ini, dicirikan dengan kemajuan teknologi informasi yang telah menjadikan dunia semakin sempit (the shrinking globe), karena begitu mudahnya orang berkomunikasi dari berbagai belahan bumi mana pun. Pendaya guna utama di era globalisasi
29
ketiga itu, adalah teknologi informasi, khususnya yang diaplikasikan untuk membuka berbagai akses global (global access). Jika globalisasi kedua, ditandai
dengan
dominasi
berbagai
perusahaan
multinasional,
maka
globalisasi ketiga tidak lagi didominasi oleh perusahaan multinasional saja, akan tetapi oleh siapa pun—bahkan oleh individu sekali pun— asal dapat memanfaatkan akses global untuk meraih berbagai peluang yang tersedia di era global. Globalisasi menjadi paradoks bagi suatu bangsa. Hal tersebut dikarenakan
bahwa
kemajuan
teknologi
informasi
serta komunikasi
menyebabkan hubungan antara manusia menjadi cepat dan tanpa batas. Dunia telah merupakan suatu desa kecil yang tanpa batas (borderless world). Identitas bangsa menjadi luntur seiring dengan semakin pesatnya perubahan dan tipisnya perbedaan antar bangsa. Padahal dalam era modern seperti ini identitas bangsa merupakan suatu pelindung diri dari transformasi yang tak terkontrol di era globalisasi dewasa ini. Era globalisasi, tentu saja membuka peluang sekaligus tantangan. Untuk memanfaatkan berbagai peluang di era globalisasi itu, kita harus memahami tiga fitur yang sangat penting; pertama, open competition; kedua, interdependency; dan ketiga competitiveness. Open competition adalah kondisi persaingan terbuka yang semakin meluas dan menyangkut berbagai dimensi kehidupan. Karena kompetisi itu semakin terbuka dan meluas, dengan sendirinya tingkat kompleksitas dari kompetisi itu akan semakin meningkat sehingga mendorong terjadinya fitur yang kedua, yaitu desakan untuk semakin
30
meningkatnya aspek saling ketergantungan atau interdependency antara satu pihak dengan pihak lain. Dan untuk menghadapi kompetisi yang semakin meluas, namun juga bersifat saling ketergantungan itu, maka setiap pihak dituntut untuk memiliki fitur ketiga, yaitu daya saing atau competitiveness yang tinggi. Keberadaan ketiga fitur itu, paling nampak pada globalisasi di bidang ekonomi. Kiprah pemasaran barang-barang produksi, serta gencarnya publikasi dan globalisasi dalam fabrikasi dan standardisasi, telah mendorong tumbuhnya berbagai organisasi ekonomi multinasional yang saling bergantung satu dengan lainnya. Namun, di antara mereka juga terjadi suatu kompetisi di bidang ekonomi internasional. Pembangunan ekonomi di era yang semakin mengglobal itu, dicirikan dengan adanya peningkatan keterhubungan atau connectivity yang saling mempengaruhi atau interdependent-economy. Sebagai contoh, dinamika pasar saham atau stock markets di suatu negara, dapat memberikan pengaruh pada dinamika ekonomi di negara lain. Oleh karena itu membangun ekonomi suatu bangsa tidak cukup dengan hanya bersandar pada kekuatan tunggal saja. Setiap negara saat ini, dituntut untuk sanggup mengembangkan daya interaksi dan daya interkoneksinya dengan negara-negara lain guna memanfaatkan peluang ekonomi di era globalisasi itu dengan sebaik-baiknya. Ketiga fitur globalisasi tadi, juga berperan pada globalisasi ideologi. Persaingan atau kompetisi yang semakin terbuka dari berbagai paham ideologi telah menyebabkan terjadinya desakan globalisasi dari beberapa ideologi
31
tertentu. Kita mengalami proses berlangsungnya demokratisasi, perlindungan hak asasi manusia yang semakin baik, kebebasan pers yang terbuka, tata pemerintahan yang baik atau good governance, serta proses ke arah pembangunan masyarakat madani atau civil society. Persaingan antar ideologi itu juga mengakibatkan beberapa trend globalisasi ideologi yang patut kita waspadai, misalnya kemungkinan adanya dominasi yang dipaksakan dari politik luar negeri negara tertentu pada negara lain. Trend ini telah dan sedang dilakukan oleh beberapa negara yang memiliki kapabilitas lebih besar dibandingkan dengan negara lainnya. Peran daya saing juga nampak pada globalisasi ideologi, melalui kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi. Informasi dengan sangat cepat, menyebar ke seluruh penjuru dunia melalui media internet dan berbagai media informasi canggih lainnya. Apalagi didukung dengan penemuan-penemuan baru di bidang nano teknologi, yang memungkinkan adanya kreasi dari berbagai perangkat informasi dan telekomunikasi dalam beragam ukuran yang sangat kecil. Hasilnya adalah berbagai kejadian di seluruh dunia dapat disajikan dalam waktu yang sangat cepat dan bahkan dalam waktu seketika atau realtime. Negara-negara maju yang lebih menguasai teknologi informasi dan telekomunikasi itu akan dapat lebih cepat memformulasikan dan merumuskan berbagai masalah yang terjadi di negara berkembang dibandingkan dengan negara berkembang itu sendiri sehingga opini publik dunia dapat dibentuk dan ditentukan oleh negara-negara maju dibandingkan oleh negara-negara
32
berkembang. Pada akhirnya, akan dapat digunakan oleh negara-negara maju itu untuk mendistribusikan berbagai konsepsi ideologinya kepada negaranegara berkembang. Kenyataan bahwa globalisasi merupakan hal yang tak dapat dihindarkan oleh bangsa manapun ialah memang benar adanya. Bahkan sampai muncul sebuah analogi bahwa globalisasi merupakan aliran sungai yang pasti akan bermuara pada satu titik tertentu dimana semua tidak dapat menghindarinya. Bahkan globalisasi diyakini dapat menipiskan identitas bangsa atau kultur nasional sebuah bangsa. Namun demikian, Siswono (1996 : 99) berpendapat bahwa nasionalisme merupakan sebuah perlawanan terhadap globalisasi. Wawasan kebangsaan ini akan menjadi penyaring dampak negatif dari arus globalisasi. Dengan terjadinya globalisasi maka dunia ini menjadi sebuah “desa global” (global village). Kecenderungan yang mencuat ialah bahwa manusia semakin bergantung kepada nilai-nilai yang lebih primordial. Perkembangan global merelatifkan batas-batas bangsa, menyebabkan primordialisme lebih kuat daripada nasionalisme. Globalisasi membuat manusia lebih berperilaku kosmopolitan
dan melemahkan ikatan kebangsaan, khususnya bagi
masyarakat kota besar yang langsung tersentuh pengaruh global. Globalisasi sangat berisiko tinggi bagi terkikisnya nasionalisme. Strategi yang dapat dilakukan untuk mencegah hal tersebut ialah sesuai dengan H.A.R. Tilaar (2007 : 25-28) ialah memperkuat kembali peranan budaya, bahasa dan pendidikan sebagai penopang bagi berkembang
33
dan tumbuhnya nasionalisme. Pertama, melalui budaya dapat dilihat bahwa penguatan kebudayaan nasional yang didasarkan atas budaya lokal akan memperkokoh diri dalam hal menangkal ekses buruk modernisasi dan globalisasi. Kedua, penggunaan bahasa nasional juga sangat penting dalam hal menunjukan dan menumbuhkan identitas bangsa. Seperti ungkapan yang menyatakan bahwa bahasa menunjukan bangsa. Ketiga ialah memperkokoh dan memvitalkan kembali pendidikan nasional sebagai poros utama dalam pembentukan identitas. Pendidikan nasional, walaupun berwawasan global dan bercirikan nilai-nilai modern, juga harus didasarkan akan nilai-nilai atau ciri nasional. Sehingga kepribadian (sebagai ciri identitas) akan tertanam, sehingga kemudian ancaman modernisasi dan globalisasi dapat kita minimalisir. Menurut Dadan Wildan (2008), setidaknya ada beberapa jalan yang dapat digunakan untuk mejaring arus globalisasi yang berkenaan dengan jiwa dan sikap nasionalisme. Cara tersebut ialah Pertama, mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Kedua, mewujudkan bangsa yang berdaya saing
dengan
mengedepankan
pembangunan
sumber
daya
manusia
berkualitas. Ketiga, mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum dengan terus memantapkan kelembagaan demokrasi yang lebih kokoh. Keempat, mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu dengan membangun kekuatan TNI hingga melampaui kekuatan esensial minimum, serta disegani di kawasan regional dan internasional. Kelima, mewujudkan
34
pemerataan pembangunan dan berkeadilan dengan terus meningkatkan pembangunan daerah; mengurangi kesenjangan sosial secara menyeluruh, keberpihakan kepada masyarakat, kelompok dan wilayah/daerah yang masih lemah. Keenam, mewujudkan Indonesia asri dan lestari dengan terus memperbaiki pengelolaan pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan, dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Ketujuh, mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional. Kedelapan, mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional, dengan memantapkan diplomasi Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional; melanjutkan komitmen Indonesia terhadap pembentukan identitas dan pemantapan integrasi internasional dan regional; serta mendorong kerja sama internasional, regional, dan bilateral antarmasyarakat, antarkelompok, serta antar lembaga di berbagai bidang.
D. Tinjauan Tentang Nasionalisme 1. Pengertian Nasionalisme Nasionalisme
sering
kali
dikonotasikan
dengan
aspek-aspek
emosional, kolektif dan idola serta sarat emosi historis. Nasionalisme selalu melibatkan
dimensi
atau
rasa,
seperti
seperasaan,
sepenanggungan,
seperantauan dan senasib. Faktor memori historis adalah faktor kecenderungan
35
yang dibangun untuk menumbuhkan perasaan bersatu dalam sebuah konsep kebangsaan tertentu. Pembicaraan seputar nasionalisme pasti tidak akan lepas dari pembicaraan tentang bangsa. Nasionalisme secara sederhana dikatakan sebagai sebuah paham kebangsaan. Maka oleh karenanya, perlu terlebih dahulu dirumuskan tentang definisi bangsa itu sendiri. Bangsa menurut Ernest Renan dalam Sri Sultan Hamengkubuwono X (2007 : 85), adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi ikatan bersama, baik dalam pengorbanan (sacrifice) maupun dalam kebersamaan (solidarity). Sedangkan Benedict Anderson mengatakan bahwa bangsa didefinisikan sebagai “sebuah komunitas politik terbayang”. Menurut Otto Bauer (Soekarno, 2007 : 146) bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman. Sedangkan
menurut
Soekarno
(2007
:
149)
bangsa
ialah
segerombolan manusia yang mempunyai kehendak untuk hidup bersama, mempunyai persamaan watak, tetapi berdiam diatas satu wilayah geopolitik yang nyata satu persatuan. Sartono Kartodirdjo dalam Adeng Muchtar Ghazali (2004 : 3) mengatakan bahwa bangsa menunjuk kepada suatu komunitas sebagai kesatuan kehidupan bersama yang mencakup pelbagai unsur yang berbeda dalam aspek etnik, kelas atau golongan sosial, aliran kepercayaan, kebudayaan linguistik, dan lain sebagainya. Kesemuanya terintergerasikan
36
dalam perkembangan historis sebagai kesatuan sistem politik berdasarkan solidaritas yang dipotong oleh kemauan politik bersama. Dengan demikian bahwasanya dapat dikatakan bahwa bangsa itu memiliki sifat yang pluralistik. Tidak berdiri di atas paham kesukuan, ras maupun agama. Bangsa lebih menonjolkan kehendak bersama serta hidup dalam sebuah persekutuan yang majemuk dan memiliki wilayah yang menjadi pijakan serta tempat untuk hidup bersama tersebut. Sedangkan etnis lebih kepada idenitas kebudayaan yang dimiliki. Nasionalisme
adalah
satu
paham
yang
menciptakan
dan
mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme berangkat dari situasi perjuangan merebut kemerdekaan dan sudah barang tentu dibutuhkan suatu konsep sebagai dasar pembenaran rasional dari tuntutan terhadap penentuan nasib sendiri yang dapat mengikat keikutsertaan semua orang atas nama sebuah bangsa. Nasionalisme adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa rasa kebangsaan dilihat sebagai perasaan utama dan cenderung dipakai untuk prinsip hidup secara personal atau secara publik. Secara luas juga dapat dikatakan bahwa nasionalisme menyatakan patriotisme yang merupakan prinsip moral dan politik yang
mengandung kecintaan pada tanah air,
kebanggaan emosional terhadap sejarah dan ketersediaan diri untuk membela kepentingan-kepentingan bangsa. Walaupun nasionalisme merupakan wujud
37
dari cinta tanah air, nasionalisme juga dapat muncul sebagai reaksi atau perlawanan terhadap penjajahan kolonial. Nasionalisme merupakan suatu teori politik atau antropologi yang menekankan bahwa umat manusia secara alami terbagi-bagi menjadi berbagai bangsa, dan bahwa ada kriteria yang jelas untuk mengenali suatu bangsa beserta para anggota bangsa itu. Untuk lebih mengetahui tentang nasionalisme, maka sekiranya kita harus memperhatikan terlebih dahulu mengenai rasa kebangsaan, paham kebangsaan, semangat kebangsaan dan wawasan kebangsaan. Rasa kebangsaaan adalah kesadaran berbangsa, kesadaran untuk bersatu sebagai suatu bangsa yang lahir secara alamiah karena sejarah, aspirasi perjuangan
masa
lampau,
kebersamaan
kepentingan,
rasa
senasib
sepenanggungan dalam menghayati masa lalu dan masa kini, serta kesamaan pandangan, harapan dan tujuan merumuskan cita-cita bangsa untuk waktu yang akan datang. Sedangkan paham kebangsaan adalah aktualisasi dari rasa kebangsaan yang berupa gagasan, pikiran-pikiran yang rasional, dimana suatu bangsa secara bersama-sama memiliki cita-cita kehidupan berbangsa dan tujuan nasional yang jelas dan rasional. Rasa kebangsaan dan paham kebangsaan akan melahirkan semangat kebangsaan.
Semangat
kebangsaan
adalah
kerelaan
berkorban
demi
kepentingan bangsa, negara dan tanah airnya. Wawasan kebangsaan adalah cara pandang yang dilingkupi oleh rasa kebangsaan, paham kebangsaan, dan semangat
kebangsaan
untuk
mencapai
cita-cita
nasionalnya
dan
38
mengembangkan eksistensi kehidupannya atas dasar nilai-nilai luhur bangsanya. Kebangsaan (nationality) dan rasa kebangsaan (nationalism) saling berkaitan satu sama lain. Rasa kebangsaan, biasanya juga disebut nasionalisme, adalah dimensi sensoris, merupakan konsep antropologi yang tidak semata-mata memandang nasionalisme sebagai prinsip politik. Dimensi sensoris yang tak lain adalah kebudayaan ini memperjelas posisi antropologi yang berangkat dari konsep suku bangsa, kesukubangsaan, bangsa, dan kebangsaan, sebagaimana dibicarakan di atas. Inilah akar-akar rasa kebangsaan (nasionalisme). Rasa kebangsaan atau yang kerap kali juga disebut
nasionalisme
adalah
topik
baru
dalam
kajian
antropologi.
Nasionalisme sebagai ideologi negara-bangsa modern sejak lama adalah rubrik ilmu politik, sosiologi makro, dan sejarah. Mohammad Hatta (2008 : 22) mengatakan bahwa kebangsaan ada bermacam-macam, menurut rupa dan golongan yang memajukannya. Ada kebangsaaan cap ningrat, cap intelek dan ada pula kebangsaaan cap rakyat. Riwayat dunia ini cukup memberi bukti, bahwa ketiga golongan ini senantiasa ada. Kesenua tipologi tersebut mempunyai ide tentang bagaimana kedaulatan negara dapat tercapai serta bagaimana jiwa dan sikap nasionalisme itu dapat tumbuh. Sebagai ideologi modern di bidang sosial politik dan kenegaraan, nasionalisme muncul sekitar tahun 1779 dan dominan di Eropa pada tahun 1830. Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18 sangat besar pengaruhnya
39
berkembangnya gagasan nasionalisme tersebut. Semenjak itu beberapa kerajaan feodal mengalami proses integrasi menjadi ‘negara kebangsaan’ atau nation state yang wilayahnya menjadi lebih luas dan hidup dalam sistem pemerintahan yang sama. Sejak itu di negara-negara Eropa dan Amerika bermunculan pula gerakan-gerakan kebangsaan, dan segera menjalar ke Asia. Hal ini disebabkan ampuhnya nasionalisme sebagai ideologi yang dapat mempersatukan banyak orang di negeri-negeri jajahan dalam menentang kolonialisme. Konsep bangsa lahir sesudah revolusi Prancis. Ketika itu Parlemen Revolusi Prancis menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale yang menandai transformasi institusi politik tersebut, dari sifat eksklusif yang hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas meraih hak yang sama dengan kaum kelas elite dalam berpolitik. Dari sinilah makna kata nation menjadi seperti sekarang yang merujuk pada bangsa atau kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara. Hans Kohn dalam H.A.R. Tilaar (2007 : 24) membedakan antara dua konsep nasionalisme. Pertama, nasionalisme sebagai konsep politik atau suatu yang secara sukarela (volunteer) seseorang menjadi anggotanya. Menurut konsep ini, nasionalisme meupakan suatu bentuk kontraktual dari para anggotanya. Kedua, konsep nasionalisme sebagai konsep yang organik atau irasional. Konsep ini menyatakan bahwa individu mempunyai kesejarahan hidup yaitu dia menjadi seseorang, satu bagian organis dengan lingkungannya, suatu kesatuan yang mistis dengan lingkungannya itu, serta mempunyai
40
kemantapan hidup yang diperolehnya dari komunitasnya yaitu sejarah, agama, bahasa, adat-istiadat. Perbedaan
yang
simplisistik
dari
nasionalisme
politis
dan
nasionalisme organik biasanya dijadikan perbedaan antara nasionalisme barat dan nasionalisme timur. Ernest Gelner (H.A.R Tilaar, 2007 : 25) menolak pendapat nasionalitas atau nasionalisme sebagai sesuatu yang alamiah atau primodial. Kewarganegaraan merupakan suatu keanggotaan moral (moral membership) dari suatu masyarakat modern. Keanggotaan itu diperolehnya melalui pendidikan nasional dan biasanya menggunakan bahasa yang dipilih sebagai bahasa ibu atau bahasa nasional. Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat warga negara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebagian atau semua elemen tersebut. Dalam www.wikipedia.com, dikatakan terdapat beberapa bentuk nasionalisme diantaranya : 1. Nasionalisme Kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, "kehendak rakyat"; "perwakilan politik". Teori ini mula-mula dibangun oleh JeanJacques Rousseau. 2. Nasionalisme Etnis adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johann Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman untuk "rakyat"). 3. Nasionalisme Romantik (juga disebut nasionalisme organik, nasionalisme identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebenaran politik secara semula jadi ("organik") hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme. Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada
41
perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya "Grimm Bersaudara" yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnis Jerman. 4. Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya "sifat keturunan" seperti warna kulit, ras dan sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Tionghoa yang menganggap negara adalah berdasarkan kepada budaya. Unsur ras telah dibelakangkan di mana golongan Manchu serta ras-ras minoritas lain masih dianggap sebagai rakyat negara Tiongkok. Kesediaan dinasti Qing untuk menggunakan adat istiadat Tionghoa membuktikan keutuhan budaya Tionghoa. Malah banyak rakyat Taiwan menganggap diri mereka nasionalis Tiongkok sebab persamaan budaya mereka tetapi menolak RRT karena pemerintahan RRT berpaham komunisme. 5. Nasionalisme Kenegaraan ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah 'national state' adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Contoh biasa ialah Nazisme, serta nasionalisme Turki kontemporer, dan dalam bentuk yang lebih kecil, Franquisme sayap-kanan di Spanyol, serta sikap 'Jacobin' terhadap unitaris dan golongan pemusat negeri Perancis, seperti juga nasionalisme masyarakat Belgia, yang secara ganas menentang demi mewujudkan hak kesetaraan (equal rights) dan lebih otonomi untuk golongan Fleming, dan nasionalis Basque atau Korsika. Secara sistematis, bila mana nasionalisme kenegaraan itu kuat, akan wujud tarikan yang berkonflik kepada kesetiaan masyarakat, dan terhadap wilayah, seperti nasionalisme Turki dan penindasan kejamnya terhadap nasionalisme Kurdi, pembangkangan di antara pemerintahan pusat yang kuat di Spanyol dan Perancis dengan nasionalisme Basque, Catalan, dan Corsica. 6. Nasionalisme Agama ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah dicampuradukkan dengan nasionalisme keagamaan. Misalnya, di Irlandia semangat nasionalisme bersumber dari persamaan agama mereka yaitu Katolik; nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh pengikut partai BJP bersumber dari agama Hindu. Namun demikian, bagi kebanyakan kelompok nasionalis agama hanya
42
merupakan simbol dan bukannya motivasi utama kelompok tersebut. Misalnya pada abad ke-18, nasionalisme Irlandia dipimpin oleh mereka yang menganut agama Protestan. Gerakan nasionalis di Irlandia bukannya berjuang untuk memartabatkan teologi semata-mata. Mereka berjuang untuk menegakkan paham yang bersangkut paut dengan Irlandia sebagai sebuah negara merdeka terutamanya budaya Irlandia. Justru itu, nasionalisme kerap dikaitkan dengan kebebasan.
Nasionalisme menurut Stanley Benn dalam Adeng Muchtar Ghazali (2004 : 3) memiliki elemen-elemen seperti dibawah ini, yaitu : 1. Semangat ketaatan kepada suatu bangsa (semacam patriotisme). 2. Dalam aplikasinya kepada politik, nasionalisme menunjuk kepada kecondongan untuk mengutamakan kepentingan bangsa sendiri, khususnya jika kepentingan bangsa itu berlawanan dengan kepentingan bangsa lain. 3. Sikap yang melihat amat pentingnya penonjolan ciri khusus suatu bangsa. Karena itu, doktrin yang memandang perlunya kebudayaan bangsa dipertahankan. 4. Ada kriteria yang jelas untuk mengenali suatu bangsa beserta anggota para bangsa itu.
Menurut Nurcholish Madjid dalam Adeng Muchtar Ghazali (2004 : 3) mengatakan bahwa berdasarkan proses pembentukannya, dapat diketahui prinsip-prinsip nasionalisme, yakni : 1. Kesatuan (unity), yang mentransformasikan hal-hal yang polimorfik menjadi monomorfik sebagai produk proses integrasi; 2. Kebebasan (liberty), khususnya bagi negeri-negeri jajahan yang memperjuangkan pembebasan dan kolonialisme; 3. Kesamaan (equality), sebagai bagian implisit dari masyarakat demokratis yang merupakan antitesa dari masyarakat kolonial yang diskriminatif dan otoriter; 4. Kepribadian (identity), yang lenyap karena negasi kaum kolonial; dan 5. Prestasi amat diperlukan untuk menjadi sumber inspirasi dan kebanggaan bagi warga negara nasion.
43
H.A.R. Tilaar (2007 : 24-26) berpendapat ada beberapa faktor penting dalam menumbuhkan nasionalisme. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah bahasa, budaya dan pendidikan. Mengenai peranan bahasa dalam pertumbuhan nasionalisme dapat kita lihat misalnya di Inggris, Prancis, Belanda,
Belgia
Jerman
dan
Indonesia.
Peranan
budaya
didalam
menumbuhkan nasionalisme juga cukup signifikan. Kita dapat melihat Cina dengan Konfusianisme-nya dan Amerika dengan budaya Protentantisme. Faktor yang barangkali sangat penting dalam pertumbuhan nasionalisme adalah pendidikan. Pendidikan yang tersentralisasi dalam pengertian tertentu dapat menjadi suatu alat pemersatu yang sangat kuat.
2. Nasionalisme Indonesia 2.1. Sejarah Nasionalisme Indonesia Istilah nasionalisme dalam kamus perpolitikan di Indonesia diduga baru muncul setelah Samanhudi menyerahkan tampuk kepemimpinan Sarekat Islam kepada H.O.S Tjokroaminoto pada pertengahan 1912. Kemudian disusul Indische Partij yang mendengungkan nasionalisme menentang penetrasi asing yang dipelopori Douwes Dekker dengan Perhimpunan Indonesia. Kesemuanya merupakan partai-partai yang menjadi pelopor nasionalisme dalam pengertian politik yang kemudian disusul oleh banyak organisasi politik yang tumbuh pada masa pergerakan nasional. Pada permulaan abad-20, muncul kebijakan pemerintah Belanda yang dinamakan politik etis atau politik balas budi. Politik etis dilatar
44
belakangi oleh rasa simpati terhadap penderitaan bangsa Indonesia yang telah memberikan keuntungan terhadap Belanda. Politik etis ini meliputi tiga bidang kehidupan yaitu: pendidikan (edukasi), pengairan (irigasi), dan perpindahan penduduk (transmigrasi), tetapi pada pelaksanaannya politik etis ini lebih menguntungkan Belanda. Walaupun demikian politik etis ini merupakan dasar dalam pergerakan nasional. Bangsa Indonesia merupakan suatu kesatuan solidaritas kebangsaan. Seseorang yang termasuk bangsa Indonesia adalah seseorang yang memiliki perilaku tertentu yang merupakan perilaku Indonesia, perasaan-perasaan tertentu yang merupakan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Tumbuhnya nation Indonesia bermula dari kebangkitan nasional dengan lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908. Terbentuknya nation Indonesia juga dapat kita lihat dalam Sumpah Pemuda 1928, dimana anggota panitia tersebut terdiri dari suku bangsa dan agama. Nasionalisme adalah salah satu kekuatan yang menentukan dalam sejarah modern suatu bangsa untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Di Indonesia timbulnya pemikiran nasionalisme merupakan bentuk reaksi terhadap kolonialisme. Nasionalisme Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kekuatan kolonialisme barat. Nasionalisme Indonesia mengalami perkembangan dan pertumbuhan seirama dengan dinamika pergerakan kebangsaan Indonesia. Pergerakan
nasional
Indonesia
didukung
oleh
kebangkitan
nasionalisme negara-negara di Asia setelah Perang Dunia II. Di negara-negara
45
Asia, khususnya di Indonesia, tumbuhnya nasionalisme dalam pengertian modern merupakan bentuk reaksi terhadap kolonialisme, yang bermula dari cara eksploitasi yang menimbulkan pertentangan kepentingan yang permanen antara penjajah dan yang dijajah. Nasionalisme Indonesia adalah gejala historis yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan kolonialisme bangsa barat. Nasionalisme Indonesia secara umum bertujuan ke dalam memperhebat nation and character building sesuai dengan falsafah dan pandangan hidup bangsa, sedangkan tujuan keluar menolak segala bentuk kolonialisme. Semangat nasionalisme Indonesia muncul sebagai satu ikatan bersama melawan kolonialisme. Nasion dan nasionalisme dipakai sebagai perasaan bersama oleh penindasan kolonialisme dan oleh karena itu, dipakai sebagai senjata ampuh untuk membangun ikatan dan solidaritas kebersamaan melawan kolonialisme. Tidak dapat disangkal bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang diciptakan (invented). Oleh para pendiri bangsa Indonesia, melalui Budi Utomo dan kemudian Sumpah Pemuda, telah menciptakan nasionalisme Indonesia yang lintas etnis, dengan simbol bendera merah putih dan bahasa Indonesia. Nasionalisme yang muncul ketika menjelang dan awal kemerdekaan Indonesia dapat dikatakan disebabkan oleh tiga hal. Pertama, bangsa Indonesia menghadapi musuh yang sama (common enemy) yakni penjajahan. Adanya musuh bersama ini telah membentuk rasa solidaritas yang sangat tinggi untuk menghadapi dan mengusir musuh itu sejauh-jauhnya. Kedua,
46
berhubungan dengan yang pertama, pada waktu itu bangsa ini memiliki tujuan yang sama, yakni ingin mandiri sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Ketiga, karena kedua hal di atas, waktu itu bangsa ini merasa senasib seperjuangan. Semua merasa tertindas dan teraniaya oleh bangsa asing. Kehidupan menjadi teras selalu diinjak-injak dan sama sekali tak dihargai. Di sinilah terjadi sinergi dari segenap lapisan masyarakat dengan kemampuan masing-masing berjuang mengubah nasib bersama. Secara historis awalnya gerakan nasionalisme Indonesia berawal dari pembentukan organisasi Budi Utomo yang kemudian diikuti dengan berdirinya organisasi-organisasi lain seperti Sarekat Islam, Pemuda Jawa, Pemuda Sumatera, Pemuda Sulawesi, Pemuda Ambon dan organisasi lain yang bersifat kedaerahan. Organisasi-organisasi yang bersifat primordialisme ini segera mentransformasikan diri menjaadi organisasi yang bersifat nonprimordialisme atau bersifat nasional. Tahun 1927 berdirilah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang diprakarsai Soekarno. Sebagai organisasi politik berskala nasional pertama di Indonesia, partai ini secara tegas menggariskan agenda utama partai ialah Indonesia merdeka. Dengan lahirnya PNI, maka semangat nasionalisme Indonesia semakin berkobar-kobar seperti api yang menyala-nyala. Boleh dikatakan, bahwa gelombang nasionalisme pada awalnya merupakan hasil dari ekspansi barat, yang juga sebagai sebuah reaksi terhadap dominasi barat. Gelora nasionalisme yang berkobar-kobar itu kemudian dimuarakan lewat Kongres Pemuda tanggal 26-28 Oktober 1928 di Yogyakarta. Kongres
47
ini menghasilkan sebuah ikrar bersama yang dikenal dengan Sumpah Pemuda yang menyatakan satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa, yaitu Indonesia. Sumpah Pemuda pada
28 Oktober 1928 adalah Proklamasi Kebangsaan
Indonesia yang merupakan ikrar tentang eksistensi nasion dan nasionalisme Indonesia
yang telah tumbuh puluhan tahun dalam perjuangan melawan
kolonialisme Belanda. Perjuangan bangsa Indonesia tersebut pada tanggal 17 Agustus 1945 mencapai titik kulminasi dengan dikumandangkannya Proklamasi
Kemerdekaan
Indonesia
oleh
Soekarno-Hatta.
Hal
itu
membuktikan bahwa nasionalisme Indonesia sudah merupakan faktor penentu perkembangan sejarah Indonesia – sejarah berdirinya negara Republik Indonesia. Nasionalisme akan mudah untuk dimengerti dan diimplementasikan jika ada musuh bersama. Jika musuh ini hilang, maka ikatan nasionalisme akan mengendur dengan sendirinya. Preseden yang muncul di Indonesia mempertegas pendapat ini. Jika kita melihat ke tahun 1940-an, ketika Belanda masih berusaha menguasai Indonesia melalui Agresi Militer I dan II, nasionalisme di kalangan masyarakat masih kuat, sehingga perjuangan Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 membuahkan hasil diakuinya kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara. Namun pasca-KMB 1949, Indonesia kehilangan musuh bersama dan golongan-golongan dalam masyarakat lebih mengutamakan kepentingan kelompok yang ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet selama masa tersebut. Nasionalisme sempat muncul
48
meski sebentar, ketika Indonesia mengeluarkan sikap politik luar negeri terhadap Malaysia dengan Dwikora. Hal ini tidak berlangsung lama, karena kondisi internal dalam Indonesia memang sedang rapuh. Setelah itu, nasionalisme dapat dimunculkan kembali ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) dijadikan sebagai musuh bersama karena dianggap sebagai biang keladi Gerakan 30 September. Lebih dari 30 tahun kemudian, Indonesia memperoleh kembali sebuah musuh bersama, yaitu Orde Baru, sehingga gerakan nasionalisme dapat menghasilkan reformasi dan demokrasi yang selama 30 tahun dikebiri. Namun ketika musuh bersama tersebut telah berhasil dilumpuhkan, kepentingan kelompok kembali muncul mengesampingkan nasionalsime itu sendiri. Kejadian-kejadian historis di Indonesia tersebut mempertegas bahwa nasionalisme dapat secara efektif diimplementasikan apabila masyarakat dalam sebuah negara memiliki musuh bersama.
2.2. Karakteristik Nasionalisme Indonesia Nasionalisme Indonesia bangkit sebagai bentuk perlawanan atau penentangan
terhadap
kolonialisme.
Nasionalisme
Indonesia
dengan
sendirinya juga mengandung tiga aspek penting, yaitu : 1. Politik. Nasionalisme Indonesia bertujuan menghilangkan dominasi politik bangsa asing dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat.
49
2. Sosial ekonomi. Nasionalisme Indonesia muncul untuk menghentikan eksploitasi ekonomi asing dan membangun masyarakat
baru
yang
bebas
dari
kemelaratan
dan
kesengsaraan. 3. Budaya. Nasionalisme Indonesia bertujuan menghidupkan kembali kepribadian bangsa yang harus diselaraskan dengan perubahan zaman. Ia tidak menolak pengaruh kebudayaan luar, tetapi dengan menyesuaikannya dengan pandangan hidup, sistem nilai dan gambaran dunia (worldview, Weltanschauung) bangsa Indonesia. Juga tidak dimaksudkan untuk mengingkari kebhinnekaan yang telah sedia ada sebagai realitas sosial budaya dan realitas anthropologis bangsa Indonesia. Notonegoro mengemukakan bahwa nasionalisme dalam konteks Pancasila bersifat “majemuk tunggal” (bhinneka tunggal ika). Unsur-unsur yang membentuk nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Kesatuan Sejarah, yaitu kesatuan yang dibentuk dalam perjalanan sejasrahnya yang panjang sejak zaman Sriwijaya, Majapahit dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam hingga akhirnya muncul penjajahan VOC dan Belanda. Secara terbuka nasionalisme mulai pertama dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
50
2. Kesatuan Nasib. Bangsa Indonesia terbentuk karena memiliki persamaan nasib, yaitu penderitaan selama masa penjajahan dan perjuangan merebut kemerdekaan secara terpisah dan bersama-sama, sehingga berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dapat memproklmasikan kemerdekaan menjelang berakhirnya masa pendudukan tentara Jepang. 3. Kesatuan Kebudayaan. Walaupun bangsa Indonesia memiliki keragaman kebudayaan dan menganut agama yang berbeda, namun keseluruhannya itu merupakan satu kebudayaan yang serumpun dan mempunyai kaitan dengan agama-agama besar yang dianut bangsa Indonesia, khususnya Hindu dan Islam. 4. Kesatuan
Wilayah.
Bangsa
ini
hidup
dan
mencari
penghidupan di wilayah yang sama yaitu tumpah darah Indonesia. 5. Kesatuan Asas Kerohanian. Bangsa ini memiliki kesamaan cia-cita, pandangan hidup dan falsafah kenegaraan yang berakar dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri di masa lalu maupun pada masa kini. Substansi nasionalisme Indonesia memiliki dua unsur. Pertama, kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, etnik, dan agama. Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk pensubordinasian, penjajahan, dan penindasan dari bumi Indonesia. Semangat dari dua substansi tersebutlah yang
51
kemudian tercermin dalam Sumpah Pemuda dan Proklamasi serta dalam Pembukaan UUD 1945. Nasionalisme Indonesia mengalami pertumbuhan dan perkembangan pada masa lalu seirama dengan dinamika pertumbuhan dan perkembangan pergerakan kebangsaan Indonesia. Nasionalisme yang dianut oleh bangsa Indonesia melahirkan pendirian untuk menghormati kemerdekaan bangsa lain sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 “bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa”. Oleh karena itu dalam nasionalisme terkandung sikap anti penjajahan. Semangat yang demikian dengan sendirinya tidak menumbuhkan keinginan bangsa Indonesia untuk menjajah bangsa lain, sebaliknya bangsa Indonesia ingin tetap bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain untuk mewujudkan perdamaian dunia menuju masyarakat maju, sejahtera, dan adil bagi semua umat manusia di dunia. Berbicara tentang nasionalisme Indonesia, perlu dicatat bahwa kita tidak dapat menyepadankannya begitu saja dengan nasionalisme Barat. Nasionalisme
Indonesia
adalah
nasionalisme
berfondasi
Pancasila.
Nasionalisme yang bersenyawa dengan keadilan sosial, yang oleh Soekarno disebut Sosio-nasionalisme. Nasionalisme yang demikian ini menghendaki penghargaan, penghormatan, toleransi kepada bangsa atau suku bangsa lain. Maka nasionalisme Indonesia berbeda dengan nasionalisme Barat yang bisa menjurus kepada sikap chauvinistik dan ethnonationalism -nasionalisme sempit- yang membenci bangsa atau suku bangsa lain, menganggap bangsa
52
atau suku bangsa sendirilah yang paling bagus, paling unggul, sesuai dengan individualisme Barat. Nasionalisme Indonesia menurut Soekarno (2006 : 8) adalah nasionalisme yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka, bukan chauvinis. Nasionalisme Indonesia ialah nasionalisme yang bercorak ketimuran, yang timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, yang memberikan tempat pada lain-lain sesuatu, bagaikan lebarnya dan luasnya udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup. Lebih lanjut mengenai nasionalisme Indonesia, Soekarno (2003 : 14) juga menambahkan bahwa nasionalisme kita bukanlah nasionalisme yang sempit (jingo nationalism), yang selalu menghitung untung rugi (gain dan loss). Nasionalisme kita bukanlah nasionalisme biasa, tetapi sosionasionalisme yang dalam pengertian, kita berhubungan erat dengan seluruh perikemanusiaan dan kemanusiaan. Nasionalisme bangsa Indonesia merupakan nasionalisme yang berdasarkan Pancasila. Hal ini terwujud dalam butir-butir pancasila, sila ke tiga yakni : a. Menempatkan persatuan dan kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan
bangsa
sebagai
kepentingan
kepentingan pribadi atau golongan.
bersama
diatas
53
b. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan c. Mengembangkan rasa cinta tanah air dan bangsa. d. Mengembangkan rasa kebangsaan dan bertanah air Indonesia. e. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, persamaan abadi dan keadilan sosial. f. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhineka Tunggal Ika. g. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
2.3. Penurunan Nilai dan Semangat Nasionalisme Indonesia Memudarnya rasa kebanggaan bagi bangsa selama beberapa tahun belakangan ini, sesungguhnya disulut oleh menguatnya sentimen kedaerahan dan semangat primordialisme pasca krisis. Suatu sikap yang sedikit banyak disebabkan oleh kekecewaan sebagian besar anggota dan kelompok masyarakat bahwa kesepakatan bersama (contract social) yang mengandung nilai-nilai seperti keadilan dan perikemanusiaan dan musyawarah kerap hanya menjadi retorika kosong belaka. Saat ini disinyalir bahwa nasionalisme Indonesia rapuh dalam menghadapi gejala-gejala mutakhir berupa solidaritas parokial dan kekuatan eksternal akibat pengaruh globalisasi, baik kekuasaan kolonial, penetrasi transnasional corporation, multinasional corporation, maupun lembagalembaga internasional lainnya. Selain itu, meurut Barbara Goodwin (Kokom
54
Komalasari, 2007 : 555) setidaknya ada empat faktor dibalik tidak adanya pertalian dari tegaknya nasionalisme. Pertama, basis nasionalisme atau identitas nasional. Kedua, fragmentasi atau konflik yang terjadi. Ketiga, loyalitas yang berlapis. Keempat, sirkulasi antara identifikasi subjeksitas individu dan masyarakat yang sifatnya voluntaris atas keberadaan suatu nation. Dewasa ini harus diakui bahwa kesadaran Nasionalisme sedang mengidap banyak masalah berat, yang memerlukan pembenahan secara serius. Kegagalan pembenahannya akan mempunyai dampak terhadap persatuan bangsa dan kesatuan negara Indonesia. Dengan kilas balik ke sejarah lampau, kita melihat jelas bahwa selama Indonesia dalam kekuasaan rezim Orba berlaku tatanan pemerintahan kediktatoran-militer yang anti demokrasi, anti nasional, anti HAM, anti hukum dan keadilan, yang menumpas ideal nasionalisme Indonesia. Kekuasaan demikian, yang berlangsung selama 32 tahun dan menggunakan pendekatan kekerasan, telah mematikan inisiatif dan kreativitas rakyat, memperbodoh rakyat. Di sisi lain tindakan rezim Orba tersebut menumbuhkan kebencian rakyat mendasar, terutama rakyat luar Jawa yang merasakan kekayaan alamnya dijarah dan kebudayaannya dieliminir. Dari situasi yang demikian itu rakyat daerah luar Jawa merasakan ketidakadilan yang sangat mendalam, yang mengakibatkan tumbuhnya benih-benih gerakan disintegrasi dalam negara Indonesia. Di samping itu konflik yang bernuansa SARA, seperti misalnya antara suku Dayak dengan suku Madura (di Kalimantan), antara
ummat
55
Kristen dengan ummat Islam (di Maluku dan Sulawesi), penganiayaan fisik dan pengrusakan hartabenda etnik Tionghoa (di Jakarta) ditengarai sebagai penyebab retaknya bangunan nasionalisme Indonesia. Di era reformasi dan otonomi ini, nasionalisme Indonesia justru terasa kabur. Akumulasi itu terjadi karena nasionalisme sudah kehilangan makna dan ruhnya ketika ia sudah teramat sering dibajak oleh rezim untuk kepentingan kekuasaan. Nasionalisme tak jarang dipakai sebagai komoditas politik dan tameng untuk melanggengkan kekuasaan yang korup dan otoriter. Konteks inilah yang mengantarkan nasionalisme menjadi meaningless, usang dan tak bermakna.
3. Mahasiswa dan Nasionalisme Mahasiswa merupakan kelompok strategis komponen bangsa, yang sekaligus mempunyai peran sentral dalam mempelopori gerakan-gerakan nasional yang dapat membangkitkan semangat nasionalisme. Dalam perspektif sejarah, gerakan mahasiswa telah dibuktikan bahwa peran mereka begitu besar dalam mengorganisisr perjuangan bangsa Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari catatan awal pembentukan nasionalisme Indonesia (seperti Budi Utomo, Syarikat Islam, Indische Partij, Perhimpunan Indonesia) yang merupakan bukti sejarah tentang gerakan mahasiswa. Merekalah yang memepolopori bangkitnya gerakan kebangsaan Indonesia, dari mulai Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, hingga mencapai puncaknya ketika Proklamasi 1945. Hal ini juga dibuktikan
56
dengan adanya sebuah catatan A. Fanar Syukri (2003) yang menyatakan bahwa : “Peran nyata para pemuda dan mahasiswa dalam 5 gelombang nasionalisme di Indonesia, yang berulang hampir 29 tahun sekali, dapat kita lihat dari perjalanan sejarah nasional; sejak Sumpah Pemuda 1928, Kemerdekaan 1945, bangkitnya Orde Baru 1966 dan bangkitnya Orde Reformasi 1998”. Gerakan mahasiswa tidak dapat dilepaskan dari agenda-agenda nasional yang akan berdampak terhadap keberlangsungan negara-bangsa Indonesia. Dalam hal ini nasionalisme juga menjadi sebuah agenda yang menjadi landasan bagi pergerakan mahasiswa. Kita dapat melihat bahwa dalam medio 1908 para mahasiswa STOVIA berkumpul untuk mendirikan sebuah organisasi yang kelak akan menjadi tonggak pergerakan nasional Indonesia. Kemudian di era 1920-an berdirilah partai-partai politik yang dicetuskan oleh para mahasiswa (seperti PNI Soekarno) yang bernapaskan semangat nasionalisme. Kemudian para pemuda (mahasiswa) melaksanakan kongres yang kemudian menghasilkan sebuah sumpah yang menjadi dasar perjuangan melawan kolonialisme yang dilakukan tanpa kekerasan. Sampai kemudian mencapai momentum proklamasi kemerdekaan. Pasca kemerdekaan gerakan mahasiswa dalam hal nasionalisme lebih ditekankan pada kondisi ekonomi serta sosial-politik. Kita dapat melihat pada periode 1960-an aksi dan gerakan mahasiswa didasarkan pada perbaikan kondisi ekonomi dan politik yang didasarkan pada jiwa dan semangat nasionalisme. Contoh nyata ialah tuntutan tentang penurunan harga-harga serta pengembalian Irian Barat ke tangan NKRI. Periode 1970-an semangat
57
nasionalisme mahasiswa masih digelorakan melalui isu-isu ekonomi dan politik. Seperti pada 15 Januari 1974 (peristiwa malari) dimana terjadi aksi mahasiswa guna menolak penanaman modal asing. Momentum berikutnya ialah pada tahun 1998 dimana terjadi reformasi yang salah satu tuntutannya ialah pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme yang menipiskan sikap nasionalisme. Era pasca reformasi agenda gerakan mahasiswa mengenai nasionalisme diisi dengan tuntutan penolakan terhadap investasi asing, nasionalisasi aset bangsa serta pemberantasan korupasi, kolusi dan nepotisme. Gerakan mahasiswa dan nasionalisme dapat dilihat sebagai berikut : Tabel 2.2. Deskripsi Gerakan Mahasiswa dan Nasionalisme Periode 1908
1920-an
1945
1960
1970-an
1998
Deskripsi Dibentuknya Budi Utomo oleh mahasiswa STOVIA, yang kemudian diyakini dan dijadikan sebagai kebangkitan nasionalisme Indonesia. Terselenggaranya Kongres Pemuda dan lahirnya Sumpah Pemuda yang dipelopori oleh para mahasiswa. Selain itu, berdiri pula partai politik yang berlandaskan nasionalisme (PNI) yang didirikan oleh mahasiswa (Soekarno). Momentum ini dijadikan sebagai tonggak bagi perjuangan nasional bangsa Indonesia. Para mahasiswa mendesak para tokoh pejuang untuk memproklamirkan kemerdekaan. Hasilnya ialah proklamasi kemerdekaan dibacakan tanpa menunggu pemberian Jepang. Nasionalisme mahasiswa didasarkan pada kondisi ekonomi serta politik (penurunan harga BBM dan pengembalian Irian Barat ke tangan NKRI). Salah satu peristiwa yang terkenal ialah tewasnya aktivis mahasiswa Arief Rahman Hakim. Semangat nasionalisme mahasiswa ditunjukkan melalui penolakan terhadap penanaman investasi asing di Indonesia. Salah satu tragedi yang paling dikenang ialah peristiwa MALARI dimana saat itu mahasiswa menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang yang diduga akan menanamkan modalnya di Indonesia. Gelora reformasi didasarkan pada semangat anti KKN yang akan mengikis semangat nasionalisme bangsa. Momentum ini kemudian menjadi perubahan bagi berbagai sistem kehidupan
58
yang ada di Indonesia. Pasca 1998-sekarang
Semangat nasionalisme mahasiswa ditunjukkan dengan tuntutan pemberantasan korupsi serta melakukan nasionalisasi aset asing yang ada di Indonesia.
Dalam era kemerdekaan sekarang, peran mahasiswa dituntut untuk lebih giat lagi dalam mengaktualisasikan
nasionalismenya. Hanya saja,
nasionalisme sekarang berbeda dengan nasionalisme pada zaman sebelum kemerdekaan. Menurut Mupid Hidayat (2008 : 91) mahasiswa dalam segi historis, telah berhasil menggerakan kesadaran kolektif seluruh komponen bangsa untuk terlibat dalam upaya perubahan. Hal ini tidak lepas dari peran mahasiswa sebagai agent of change dan pressure group yang berpegang pada idealisme dan cita-cita luhur untuk memajukan bangsa dan negara. Hakekat daripada nasionalisme mahasiswa adalah menjadikan bangsa Indonesia menjaadi bangsa yang kuat, sejahtera, adil dan makmur. Nasionalisme mahasiswa tidak hanya sekedar cinta tanah air, bangga sebagai bangsa Indonesia, rela berkorban, cinta produksi sendiri, dan sloganslogan verbalistik lainnya yang hanya merupakan simbol-simbol. Tetapi, nasionalisme mahasiswa hendaknya mencakup segala aspek kehidupan kebangsaan menuju tercapainya cita-cita nasional. Mahasiswa Indonesia harus sungguh-sungguh dalam mempersiapkan dan meningkatkan kualitas dirinya agar mampu membangkitkan kembali nasionalisme Indonesia. Ketika kualitas diri mahasiswa Indonesia meningkat dan kajian ilmiah semakin menguat, mahasiswa Indonesia akan mampu menjadi poros bagi pergerakan nasionalisme di Indonesia.