BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai Nusa Dua pernah dilakukan oleh I Nyoman Madiun. Hasil penelitian itu dituangkan dalam buku yang berjudul Nusa Dua Model Pengembangan Kawasan Wisata Modern. Dalam tulisan itu ditekankan pada proses pengembangan pariwisata modern pada kawasan Nusa Dua yang dianggap telah
mengesampingkan
masyarakat
lokal.
Hak-hak
masyarakat
lokal
dikedepankan pada tulisannya, yaitu telah terjadi marginalisasi oleh penguasapenguasa kapitalis dan lokal. Dalam pengembangan kawasan wisata Nusa Dua sejak awal perencanaan sampai saat ini telah terjadi hegemoni dalam hal penjualan tanah masyarakat lokal yang identik dengan pemaksaan. Namun, dalam perkembangannya tidak ada kontribusi pariwisata kepada masyarakat lokal sehingga harapan akan kesejahteraan pada masyarakat lokal tidak terjadi. Bahwa masyarakat tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan, sehingga tidak mengherankan jika ada kelompok masyarakat yang menganggap bahwa pariwisata tidak ada gunanya. Di pihak lain penelitian yang penulis angkat memiliki perbedaan penekanan dalam objek kajian, yaitu upaya-upaya resistensi masyarakat Desa Adat Bualu melalui Forum Mayarakat Nusa Dua Bersatu dalam usahanya merebut pasar pariwisata. Karya I Nyoman Madiun menjadi acuan
16
17
penulis dalam upaya menemukan dan menjabarkan permasalahan di daerah Desa Adat Bualu, Kelurahan Benoa. Penelitian lain mengenai Nusa Dua juga pernah dilakukan oleh I Gusti Ketut Purnaya. Purnaya menulis disertasinya berjudul “Relasi Kuasa dalam Pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua, Bali”. Di dalam disertasi itu dibahas relasi kuasa yang terjadi di kawasan Nusa Dua yang disebut dengan istilah tiga pengampu kepentingan dalam pengelolaan resor wisata Nusa Dua sejak era reformasi. Di dalam disertasi itu juga dikatakan bahwa pengelolaan resor wisata tidak hanya ditentukan oleh manajemen kepariwisataan dan promosi semata, tetapi juga ditentukan oleh situasi sosial politik dan ideologi pariwisata global. Dalam perkembangannya, sampai tahun sekarang, tidak ada satu pun proyek BTDC berhasil di daerah lain di Indonesia. Berbagai persoalan muncul, yaitu mulai dari geografis, faktor lahan, dan kekuatan kuasa pemerintah sangatlah berpengaruh sehingga masyarakat tidak dapat melakukan negosiasi. Dalam pembebasan tanah tidak ada manisnya bagi masyarakat lokal. Hal tersebut disebabkan oleh relasi kuasa antara pemerintah dan masyarakat tidak seimbang. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh I Gusti Ketut Purnaya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis terlihat jelas bahwa yang dibahas di dalam disertasi I Gusti Ketut Purnaya adalah relasi kuasa resor pariwisata yang terjadi di kawasan Nusa Dua (BTDC atau yang sekarang disebut dengan ITDC). Di pihak lain yang penulis teliti merupakan upaya masyarakat dalam melawan perkembangan pariwisata modern yang kurang ada kontribusi bagi masyarakat lokal melalui Nusa Dua Bersatu. Namun, tidak menutup kemungkinan persamaan yang terjadi,
18
yaitu sama-sama sedang membongkar kekuasaan yang radikal dan penuh dengan kepentingan individual/kelompok
melaui sudut pandang yang berbeda dalam
penjabarannya. Penelitian lain, yaitu sebuah tesis karya Ni Wayan Sutiani (2009) yang berjudul “Konflik Kepentingan dalam Pembangunan Fasilitas Pariwisata di Loloan Yeh Poh, Desa Adat Canggu, Kuta Utara, Badung”. Tulisan ini membahas wacana pembangunan pariwisata yang pada umumnya ditujukan untuk peningkatan kualitas kehidupan manusia dan masyarakat. Pada kenyataannya konflik kepentingan tersebut terjadi karena ada dua kepentingan, yaitu (1) kepentingan masyarakat setempat terhadap adat istiadat dan budaya serta (2) kepentingan investor yang rencananya akan membangun fasilitas pariwisata. Pihak investor didukung oleh pihak negara melalui hegemoni kekuasaan yang dimilikinya. Masyarakat setempat mengandalkan kelompok-kelompok kritis dari masyarakat Bali. Dalam kaitannya dengan penelitian ini terdapat perbedaan tampat dan lokasi, yaitu penekanan pada resistensi Nusa Dua Bersatu dalam merebut pasar pariwisata. Dalam hal ini, memiliki suatu konflik kepentingan dalam pembangunan pariwisata yang diharapkan dapat berkontribusi bagi desa adat dan masyarakatnya. Tulisan lainnya berbentuk tesis hasil karya I Gusti Ngurah Agung Eka Darmadi (2011) yang berjudul “Representasi Budaya Masyarakat Lokal dan Politik Identitas Desa Adat Kuta dalam Poskolonial Kawasan Industri Pariwisata”. Tulisan ini menekankan pada fenomena kepariwisataan yang telah memberikan efek pada masalah publik yang multidimensional dan kebijakan pembangunan di
19
kawasan tersebut. Perkembangan pariwisata di daerah ini akibat dari konvensi tanah hingga kompresi ruang yang semuanya dipengaruhi oleh citraan turistik dan gerak kapitalis di bawah bayang-bayang pariwisata. Representasi budaya masyarakat lokal sebagai penghadiran kembali ruang budaya dengan tradisi dan kearifan lokal yang ada merupakan advokasi masyarakat lokal dengan adaptasi tindakan kultural karena perubahan ruang dan fisik. Kaitannya dengan penelitian yang penulis angkat adalah sama-sama membahas mengenai perkembangan pariwisata. Namun, dalam hal ini penulis lebih menekankan pada bentuk resistensi Nusa Dua Bersatu dalam usahanya merebut pasar pariwisata. Tulisan I Gusti Ngurah Agung Eka Darmadi menjadi pedoman tentang keberadaan identitas masyarakat lokal di dalam penelitian penulis. Hasil penelitian lain berupa tesis hasil karya Theresia Rifeni Widiartati (2010) berjudul “Keberadaan Forum Kemasyarakatan Berdasarkan Asas Pancasila Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia”. Tulisan ini menekankan pada keberadaan suatu forum kemasyarakatan yang berlandaskan asas Pancasila sebagai dasar negara yang dilihat dari perspektif hak asasi manusia. Selain itu, di dalam tulisan itu juga dibahas peranan pemerintah terhadap keberadaan forum kemasyarakatan yang ada di wilayah Indonesia. Perubahan pola kehidupan pada awal era reformasi menyebabkan pertumbuhan forum kemasyarakatan di Indonesia, baik yang mengatasnamakan agama maupun kesukuan. Keberadaan forum kemasyarakatan di Indonesia telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8, Tahun 1985 yang menekankan bahwa setiap forum kemasyarakatan diwajibkan menggunakan asas Pancasila sebagai asas tunggal. Penelitian yang penulis
20
lakukan lebih berkontribusi kepada forum masyarakat Nusa Dua Bersatu, yang bergerak dalam merebut pasar pariwisata di atas wilayah tanah kelahirannya. Dalam hal ini bentuk resistensi masyarakat lokal terhadap pergerakan pariwisata yang tidak lagi berkontribusi kepada desa adat dan masyarakat lokal. Tulisan Theresia itu dijadikan pedoman dalam kajian latar belakang terbentuknya suatu forum sosial dalam upayanya bereksistensi terhadap hal yang dianggap kurang berpihak. Penelitian mengenai Nusa Dua Bersatu dalam hal forum sosial belum pernah dilakukan secara mengkhusus. Dalam hal ini tulisan mengenai Nusa Dua Bersatu dalam judul tesis “Pergulatan Nusa Dua Bersatu dalam Merebut Pasar Pariwisata di Desa Adat Bualu” merupakan bentuk keperdulian penulis dalam fenomena forum sosial masyarakat yang kini makin bermunculan di permukaan wilayah Bali, khususnya Desa Adat Bualu. Semangat penulis dalam penelitian ini merupakan semangat culture studys untuk memihak kaum yang termaginalkan akibat dari kekuasaan dan kapitalisme modern (kaum pendatang).
2.2 Konsep Konsep yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan dapat menuntun serangkaian proses penelitian yang dilakukan. Beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
21
2.2.1 Nusa Dua Bersatu Nusa Dua bersatu merupakan forum masyarakat yang berada di wilayah Nusa Dua. Nusa Dua Bersatu memiliki tujuan perjuangan peduli masyarakat lokal dalam bidang ekonomi dan sosial. Perjuangan Nusa Dua Bersatu dominan dalam hal mencari pekerjaan untuk kesejahteraan masyarakat lokal. Nusa Dua Bersatu beranggapan bahwa perjuangan lembaga-lembaga, baik formal maupun informal, tidak
memiliki
kekompakan
dalam
memperjuangkan
masyarakat
lokal.
Perjuangan yang bersifat partial, tidak comprehensip, dan insidential, menjadi tumpang tindih sehingga tujuan yang diinginkan tidak tercapai. “Nusa Dua bagai Angsa Bertelur Emas” kiasan ini mungkin cocok untuk menggambarkan Nusa Dua sebagai daerah pariwisata yang menjadi incaran para investor untuk MEREBUTNYA. Pertumbuhan Nusa Dua yang sangat pesat seyogianya dapat memberikan peluang bagi masyarakatnya untuk bisa menikmati telur emas tersebut (Arsip Nusa Dua Bersatu: 1). Nusa Dua Bersatu dalam pandangannya melihat bahwa masyarakat lokal telah dianaktirikan. Masyarakat lokal yang kini dapat dikatakan mampu berkecimpung di dalam dunia pariwisata tidak mendapatkan tempat yang layak sebagaimana mestinya. Pengusaha-pengusaha kecil menjadi korban dalam persaingan dengan pengusaha besar dengan kuasa modal yang sangat besar pula. “Pembangunan pariwisata membutuhkan partisipasi aktif masyarakat lokal. Bila masyarakat lokal selalu dianaktirikan dan bahkan diabaikan begitu saja, maka masyarakat akan bertindak pasif dan bahkan apatis. Selanjutnya tiadanya dukungan masyarakat lokal akan menimbulkan benih – benih kebencian yang pada akhirnya dapat menyulut tindakan anarkis” (Arsip Nusa Dua Bersatu: 2).
22
Fenomena tersebut merupakan tonggak awal tercetusnya gagasan atau ide untuk membentuk satu wadah pemersatu. Oleh karena itu, disepakati untuk membentuk wadah yang akomodatif dengan nama Nusa Dua Bersatu “Kebo Iwa”.
2.2.2 Pasar Pariwisata Pasar
pariwisata
merupakan
konsep
pemasaran
yang
mencakup
identifikasi keinginan atau kebutuhan konsumen jasa pariwisata, penentuan produk yang ditawarkan, penentuan harga, dan promosi. Pasar pariwisata dalam tindakannya merupakan sebuah konsep pemasaran, yaitu individual dan kelompok mendapatkan apa yang diinginkan. Hal tersebut dapat diraih melalui penciptaan dan pertukaran produk dan nilai secara bebas dengan pihak lainnya (noviantoblogs.blogspot.com/2011/09/analisis-pasar-dan-pemasaranpariwisata.html?m=1). Pariwisata memiliki sistem dalam aktivitas kegiatannya. Pada sistem pariwisata terdapat aktivitas yang kompleks yang dapat dilihat sebagai suatu sistem besar dan memiliki berbagai komponen, seperti ekonomi, teknologi, sosiokultural, dan lingkungan sebagai sebagai faktor yang memengaruhi pasar pariwisata. Mengingat pariwisata sebagai sebuah sistem, maka untuk mengkajinya tidak bisa terlepas dari subsistem di dalamnya, seperti politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Subsistem tersebut tidak bisa dipisahkan karena merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan saling keterkaitan (Pitana dan Diarta, 2009: 56-57).
Sebuah sistem merupakan cara kerja dalam
upaya merekrut,
23
mengondisikan, dan memengaruhi berbagai aspek sesuai dengan keadaan yang diharapkan. Pasar pariwisata dalam hal ini merupakan konsep yang dilakukan dan diharapkan, baik oleh individual maupun kelompok, untuk mencapai kepentingan dan keinginan. Pariwisata merupakan suatu kegiatan wisata yang didukung dengan fasilitas dan pelayanan, baik dilakukan oleh masyarakat, pengusaha, maupun pemerintah (http://id.m.wikipedia.org/wiki/Pariwisata).
Selain itu,
pariwisata membuka pergaulan dua kebudayaan atau lebih yang memiliki perbedaan dalam nilai, norma, kebiasaan, kepercayaan, dan sebagainya. Dalam perkembangannya belakangan ini pariwisata tidak hanya menyangkut satu bangsa, tetapi juga dilakukan oleh semua masyarakat etnis, ras, dan bangsa (Pitana, 2005:35). Pariwisata sangat erat terkait dengan masyarakat sosial, politik, ekonomi, yang juga di dalamnya terdapat keamanan, ketertiban, ramah-tamah, kesehatan, dan sebagainya. Pariwisata bersifat sangat kompleks sehingga perlu diperhitungkan berbagai aspek. Dalam hal ini diperlukan sebuah konsep pasar yang tepat yang mencakup semua aspek dan golongan untuk mencapai keuntungan dalam perkembangan pariwisata. Sebuah pemasaran memang dibutuhkan untuk mencapai konsep pariwisata sehingga berbagai komponen masyarakat diperlukan untuk mendukung konsep pasar pariwisata tersebut.
2.3 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan dua teori secara eklektik untuk mengkaji dan menganalisis permasalahan. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini
24
merupakan instrumen untuk menganalisis data yang diperoleh menurut metode pengumpulan data yang digunakan. Kedua teori tersebut dipaparkan sebagai berikut.
2.3.1 Teori Wacana Teori wacana Foucault membahas deskripsi dan analisis wacana yang berdampak kepada historis dan material tertentu yang berkaitan dengan praktik diskursif dan pembentukan wacana. Foucault melihat bahwasanya diskursus tidak hanya mengatur apa yang dapat dikatakan pada kondisi sosial dan kultural tertentu, tetapi juga mengatur siapa saja yang boleh berbicara, di mana, dan kapan. Teori ini menumbuhkan suatu pemahaman akan suatu wacana yang sebenarnya merupakan suatu bahasa yang dikonstruksi dengan kekuasaan dan memproduksi subjek melalui kekuasaan dalam bentuk praktik (Barker, 2011: 21). Terjadinya pembentukan wacana berawal dari deretan peristiwa yang berpola, mengacu, dan melahirkan suatu objek umum dalam berbagai arena (Barker, 2011: 83). Teori ini berpandangan bahwa wacana penuh dengan kepentingan yang menguntungkan sebelah pihak tanpa memikirkan suatu keadilan dan memiliki tujuan untuk berkuasa. Wacana juga dijadikan sebagai suatu alat pemerhati untuk memancing masyarakat agar masuk ke makna ideologi yang dibuat sehingga turut dalam ideologi tersebut. Teori ini dikontribusikan dalam mengkaji bahasa yang digunakan sebagai sebuah wacana yang mendominasi arena. Wacana sebagai aspek penting dalam sosialisasi dan komunikasi menjadi dasar pengkajian dalam bentuk wacana yang
25
didominasi oleh kepentingan.
Wacana yang bersifat fonologi, morfologi,
sintaksis, dan semantik juga ditunjang oleh situasi dalam masyarakat menjadi kajian yang perlu dipaparkan dalam penelitian ini.
2.3.2 Teori Hegemoni Teori hegemoni oleh Gramsci merupakan teori yang membahas mengenai kelas-kelas sosial yang menjalani kekuasaan dan otoritas sosial untuk mendapatkan kepemimpinan dengan cara kekuatan dan persetujuan. Untuk menopang kekuasaan itu maka dalam praktiknya didukung dengan ideologi yang mengklaim sebagai suatu kebenaran yang universal. Teori ini juga menjelaskan bahwa bentuk hegemonik tidak terdiri atas sosioekonomi yang tunggal, tetapi dibentuk dengan serangkaian aliansi, yaitu suatu kelompok telah berposisi sebagai pemimpin (Barker, 2011: 63). Di dalam teori ini dinyatakan bahwa hegemoni terjadi akibat adanya bentuk kekuasaan yang serakah, ingin menguasai, dan selalu mementingkan dirinya di atas kebutuhan masyarakat yang disubordinasikannya. Hegemoni membuat sebuah situasi, yaitu dari kelompok penguasa melakukan otoritas sosial dan kepemimpinan terhadap kelas-kelas yang ada di bawahnya dengan kombinasi kekuatan dan persetujuan (Barker, 2014:119). Teori ini digunakan untuk mengkaji peran penguasa dan pemodal sebagai masyarakat pendatang dalam upaya mengonstruksi budaya lokal dengan memasukkan ideologi dan kepentingannya. Upaya ini dapat dilihat dari korelasi kekuasaan yang lebih mendominasi dalam arena untuk menjadi konseptor dalam mewujudkan ideologinya. Dominasi kuasa menyebabkan masyarakat lokal
26
menjadi korban dalam praktiknya. Kekuasaan ini merupakan kesatuan dari kelaskelas sosial dengan modal sosial yang dimiliki. Korelasi penguasa tersebut memungkinkan terjadinya dominasi, hegemoni, dan jaringan kuasa.
2.4 Model Penelitian Gambar 2.1 Perkembangan Desa Adat Bualu
Masyarakat Lokal
Pariwisata
Masyarakat Pendatang: Pengusaha dan pencari kerja
Pergulatan Nusa Dua Bersatu dalam Merebut Pasar Pariwisata di Desa Adat Bualu, Kelurahan Benoa
Latar Belakang Nusa Dua Bersatu Melakukan Pergulatan Merebut Pasar Pariwisata
Proses Pergulatan Ormas Nusa Dua dalam Merebut Pasar Pariwisata
Makna Pergulatan Nusa Dua Bersatu Bagi Masyarakat Desa Adat Bualu
Temuan Penelitian: Terbentuknya Forum Nusa Dua Bersatu merupakan bentuk eksistensi masyarakat lokal terhadap keberadaannya. Pergulatan yang dilakukan merupakan salah satu upaya dalam menyikapi fenomena pariwisata yang dianggap kurang berkontribusi bagi masyarakat lokal. Rekomendasi: Nusa Dua Bersatu, Penguasa Modal (pendatang), Penguasa lokal, dan masyarakat lokal Keterangan : : Berpengaruh : Relasi
27
Bagan tersebut dapat memberikan gambaran tentang kerangka dan pola pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini. Masuknya pariwisata di Desa Adat Bualu merupakan suatu harapan masyarakat desa untuk mengembangkan daerah dan tanah kelahirannya untuk memperoleh kehidupan yang layak serta berkontribusi bagi desa dan masyarakatnya. Dalam perkembangannya kekuatan penguasa modal melakukan lobi-lobi kekuasaan dalam hal pengembangan pariwisata di desa itu. Keterlibatan pemerintah daerah dan bendesa adat diharapkan dapat memberikan ruang bagi masyarakat lokal dalam keterlibatannya di dunia pariwisata. Berkaitan dengan hal tersebut, pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat menjadi tuntutan masyarakat kekinian, tetapi kekuatan kapitalis dan politik lebih mendominasi dalam mengambil keputusan pasar pariwisata. Terkait dengan hal tersebut, perkembangan periwisata di Desa Adat Bualu dirasakan tidak lagi berkontribusi bagi masyarakat lokal. Hal itu terjadi mengingat perkembangan pariwisata di daerah ini juga menarik minat masyarakat pendatang untuk bekerja di wilayah ini. Oleh karena itu, tidak dapat dihindari persaingan yang terjadi antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang dalam hal merebut lahan pekerjaan. Dengan adanya permasalahan tersebut, masyarakat Desa Adat Bualu bersama-sama dengan Desa Adat Kampial dan Peminge melakukan sebuah gerakan sosial yang disebut dengan Nusa Dua Bersatu. Munculnya forum sosial ini merupakan bentuk resistensi masyarakat lokal terhadap dampak pariwisata di tanah desanya sendiri. Judul tesis ini adalah “Pergulatan Nusa Dua Bersatu dalam Merebut Pasar Pariwisata di Desa Adat Bualu, Kelurahan Benoa”. Adapun
28
beberapa permasalahan yang diangkat adalah sebagai berikut. Pertama, mengapa Nusa Dua Bersatu melakukan pergulatan untuk merebut pasar pariwisata? Kedua, bagaimana proses pergulatan Nusa Dua Bersatu dalam merebut pasar pariwisata? Ketiga, apa makna pergulatan Nusa Dua Bersatu bagi masyarakat lokal Desa Adat Bualu ? Temuan di dalam penelitian ini adalah terbentuknya Forum Nusa Dua Bersatu merupakan bentuk eksistensi masyarakat lokal terhadap keberadaannya. Pergulatan yang dilakukan merupakan salah satu upaya dalam menyikapi fenomena pariwisata yang dianggap kurang berkontribusi bagi masyarakat lokal. Berdasarkan temuan tersebut direkomendasikan kepada penguasa lokal baik Bendesa Desa Adat Bualu maupun kelurahan, di samping masyarakat lokal dan pengusaha mengupayakan agar pariwisata dapat berkembang secara berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.