BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN RERANGKA PEMIKIRAN
A.
Persediaan
1.
Definisi dan Jenis Persediaan Istilah persediaan (Inventory) adalah segala sesuatu atau sumber daya
organisasi yang disimpan dalam antisipasi pemenuhan permintaan dan menunggu untuk diproses selanjutnya. Permintaan akan sumber daya internal ataupun eksternal ini meliputi persediaan bahan mentah, barang dalam proses, barang jadi atau produk akhir, bahan-bahan pembantu atau pelengkap dan komponenkomponen lain yang menjadi bagian keluaran produk perusahaan. Penulis akan mengemukakan beberapa pendapat mengenai definisi persediaan: a)
Menurut Warren Reeve (2005:452), “Persediaan juga didefinisikan sebagai aktiva yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal dalam proses produksi atau yang dalam perjalanan dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa“.
b) Menurut Hendra Kusuma (2009:131), “Persediaan didefinisikan sebagai barang yang disimpan untuk digunakan atau dijual pada periode mendatang”. c)
Menurut Stice dan Skousen (2009:571), “ Persediaan dalah istilah yang diberikan untuk aktiva yang akan dijual dalam kegiatan normal perusahaan
7
8
atau aktiva yang dimasukkan secara langsung atau tidak langsung ke dalam barang yang akan diproduksidan kemudian dijual”. Jadi berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persediaan adalah suatu aktiva yang tersimpan dalam perusahaan yang akan diproduksi ataupun langsung dijual pada masa yang akan datang. Yang dimaksud persediaan dalam pembahasan ini adalah suatu bagian dari kekayaan perusahaan yang digunakan dalam rangkaian proses pembuataan toilet cubicle berupa accessories. Persediaan ada berbagai jenis. Setiap jenisnya mempunyai karakteristik khusus dan cara pengelolaannya juga berbeda. Dilihat dari jenisnya ada 4 macam persediaan secara umum, yaitu (Arman dan Yudha, 2008:113): a) Bahan baku (raw materialis), adalah barang-barang yang dibeli dari pemasok (supplier) dan akan digunakan atau diolah menjadi produk jadi yang akan dihasilkan oleh perusahaan. b) Barang setengah jadi (work in process), adalah bahan baku yang sudah diolah atau dirakit menjadi komponen namun masih membutuhkan langkah-langkah lanjutan agar menjadi produk jadi. c) Barang jadi (finished goods), adalah barang jadi yang telah selesai diproses, siap untuk disimpan di gudang barang jadi, dijual, atau didistribusikan ke lokasi-lokasi pemasaran.
9
d) Bahan-bahan pembantu (supplies), adalah persediaan barang-barang yang dibutuhkan untuk menunjang produksi, namun tidak akan menjadi bagian pada produk akhir yang dihasilkan perusahaan.
2.
Penyebab Timbulnya Persediaan Timbulnya persediaan dalam suatu sistem, baik sistem manufaktur
maupun non manufaktur adalah merupakan akibat dari 3 kondisi sebagai berikut (Arman&Yudha, 2008:115-116): a) Mekanisme pemenuhan atas permintaan (transaction motive). Permintaan akan suatu barang tidak akan dapat dipenuhi dengan segera bila barang tersebut tidak tersedia sebelumnya, karena untuk mengadakan barang tersebut diperlukan waktu untuk pembuatannya maupun untuk mendatangkannya. Hal ini berarti bahwa adanya persediaan merupakan hal yang sulit dihindarkan. b) Adanya keinginan untuk meredam ketidakpastian (precautionary motive). Ketidakpastian yang dimaksud adalah: 1.
Adanya permintaan yang bervariasi dan tidak pasti dalam jumlah maupun waktu kedatangannya.
2.
Waktu pembuatan yang cenderung tidak konstan antara satu produk dengan produk yang lain.
3.
Waktu ancang-ancang (lead time) yang cenderung tidak pasti karena berbagai faktor yang tidak dapat dikendalikan sepenuhnya.
10
4.
Ketidakpastian ini akan diredam oleh jenis persediaan yang disebut persediaan pengaman (safety stock). Persediaan pengaman ini digunakan jika permintaan melebihi peramalan produksi lebih rendah dari rencana atau waktu ancang-ancang (lead time) lebih panjang dari yang diperkirakan semula.
c) Keinginan melakukan spekulasi (speculative motive) yang bertujuan mendapatkan keuntungan besar dari kenaikan harga barang di masa mendatang. Dari Uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa persediaan itu berfungsi
untuk
memperlancar mekanisme dalam memenuhi kebutuhan
customer, sehingga kinerja perusahaan dapat berjalan secara maksimal.
3.
Fungsi dan Tujuan Persediaan Adapun fungsi-fungsi persediaan menurut Rangkuti (2004:15) yaitu : a)
Fungsi Decoupling adalah
persediaan
yang
memungkinkan
perusahaan
dapat
memenuhi permintaan pelanggan tanpa tergantung pada supplier. Persediaan bahan mentah diadakan agar perusahaan tidak sepenuhnya tergantung pada pengadaannya dalam kuantitas dan waktu pengiriman. b)
Fungsi Economic Lot Sizing. Persediaan lot size ini perlu mempertimbangkan penghematan atau potongan pembelian, biaya pengangkutan per unit menjadi lebih murah,
11
dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan perusahaan melakukan pembelian dalam kuantitas yang lebih besar dibandingkan biaya yang timbul karena besarnya persediaan (biaya sewa gudang, investasi, resiko, dan lain sebagainya). c)
Fungsi Antisipasi. Apabila perusahaan menghadapi fluktuasi permintaan yang dapat diperkirakan dan diramalkan berdasarkan pengalaman atau data-data masa lalu, yaitu permintaan musiman. Dalam hal ini perusahaan dapat mengadakan persediaan musiman (seasonal inventories). Di samping itu, perusahaan juga sering menghadapi ketidakpastian jika waktu pengiriman dan permintaan barang-barang selama periode tertentu. Dalam hal ini perusahaan memerlukan persediaan ekstra yang disebut persediaan pengaman (safety stock).
Tujuan mengadakan suatu persediaan menurut Indrajit dan Djokopranoto (2003:4) antara lain: 1.
Memenuhi kebutuhan normal
2.
Memenuhi Kebutuhan Mendadak
3.
Memungkinkan pembelian atas dasar jumlah ekonomis
4.
Biaya Persediaan Adapun biaya-biaya yang ditimbulkan akibat persediaan menurut
Rangkuti (2007:16-18) yaitu:
12
1) Biaya penyimpanan (holding cost atau carrying costs), yaitu biaya yang terdiri atas biaya-biaya yang bervariasi secara langsung dengan kuantitas persediaan. Biaya penyimpanan per periode akan semakin besar apabila kuantitas persediaan bahan yang dipesan semakin banyak. atau rata-rata persediaan semakin tinggi. Dan biaya-biaya yang termasuk dalam biaya penyimpanan, yaitu: a. Biaya fasilitas-fasilitas penyimpanan (termasuk biaya penerangan, pendingin ruangan, dan sebagainya); b. Biaya modal (opportunity cost of capital), yaitu alternatif pendapatan atas dana yang diinvestasikan dalam persediaan; c. Biaya keusangan; d. Biaya penghitungan fisik; e. Biaya asuransi persediaan; f. Biaya pajak persedian; g. Biaya pencurian, pengrusakan, atau perampokan; h. Biaya penanganan persediaan dan sebagainya. 2) Biaya pemesanan atau pembelian (ordering costs atau procurement costs), pada umumnya biaya pemesanan tidak naik apabila kuantitas pemesanan bertambah besar. Tetapi apabila semakin banyak komponen yang dipesan setiap kali pesan, jumlah pesanan total per periode turun, maka biaya pemesanan total akan turun . Hal ini berarti, biaya pemesanan total per periode sama dengan jumlah pemesanan yang dilakukan setiap periode yang
13
dikalikan biaya yang harus dikeluarkan setiap kali pesan. Biaya-biaya itu meliputi: a. Pemrosesan pesanan dan ekspedisi; b. Upah; c. Biaya telepon; d. Biaya pengeluaran surat menyurat; e. Biaya pengepakan dan penimbangan; f. Biaya pemeriksaan; g. Biaya pengiriman kegudang; h. Biaya utang lancar dan sebagainya; 3) Biaya penyiapan (set-up cost), hal ini terjadi apabila bahan-bahan tidak dibeli, tetapi diproduksi sendiri “dalam pabrik” perusahaan, perusahaan menghadapi biaya penyiapan untuk memproduksi komponen-komponen tertentu. Biayabiaya ini terdiri dari: a. Biaya mesin-mesin menganggur; b. Biaya penyiapan tenaga kerja langsung; c. Biaya penjadwalan; d. Biaya ekspedisi dan sebagainya. 4) Biaya kehabisan atau kekurangan bahan (shortage costs) adalah biaya yang timbul apabila persediaan tidak mencukupi adanya permintaan bahan Biayabiaya yang termasuk biaya kekurangan bahan adalah sebagai berikut: a. Kehilangan penjualan;
14
b. Kehilangan pelanggan; c. Biaya pemesanan khusus; d. Biaya ekspedisi; e. Selisih harga; f. Terganggunya operasi; g. Tambahan pengeluaran kegiatan manajerial dan sebagainya.
B.
Pengendalian Persediaan Di dalam perusahaan pengendalian persediaan bahan baku merupakan
salah satu fungsi yang sangat penting dan berkaitan erat dengan kegiatan operasi produksi perusahaan, karena banyak biaya yang dikeluarkan dalam pengendalian persediaan bahan baku ini. Dan dalam pelaksanaannya, pengendalian persediaan ini bertujuan untuk meningkatkan nilai penjualan secara intensif dengan penggunaan sumber daya yang maksimal. 1.
Pengertian Pengendalian Persediaan Istilah pengendalian merupakan penggabungan dari dua pengertian yang
sangat erat hubungannya tetapi dari masing-masing pengertian tersebut dapat diartikan sendiri-sendiri yaitu perencanaan dan pengawasan. Pengawasan tanpa adanya perencanaan terlebih dahulu tidak ada artinya, demikian pula sebaliknya perencanaan tidak akan menghasilkan sesuatu tanpa adanya pengawasan (dikutip oleh Yuningsih, 2010).
15
Menurut Suandy (2003:2), “Secara umum perencanaan merupakan proses penentuan
tujuan
organisasi
(perusahaan)
dan
kemudian
menyajikan
(mengartikulasikan) dengan jelas strategi-strategi (program), taktik-taktik (tata cara pelaksanaan program) dan operasi (tindakan) yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan secara menyeluruh.” Pengawasan adalah mendeterminasi apa yang telah dilaksanakan, maksudnya mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu, menerapkan tindakantindakan korektif sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.(George R. Terry,2006:395) Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengendalian merupakan suatu proses memilih dan menentukan suatu cara untuk mencapai tujuan perusahaan lalu memastikan bahwa pelaksanaan pekerjaan tersebut sudah berjalan sesuai dengan rencana awal dengan melakukan evaluasi dan mengoreksinya bila perlu, dan melaporkan jika terjadi penyimpanganpenyimpangan terhadap pelaksanaannya. Berikut pengertian pengendalian persediaan menurut para ahli: a. Menurut Assauri (2004:176) (dikutip oleh Rovianti, 2007) adalah sebagai berikut : “Pengawasan persediaan merupakan salah satu kegiatan dari urutan kegiatan-kegiatan yang bertautan erat satu sama lain dalam seluruh operasi produksi perusahaan tersebut sesuai dengan apa yang telah direncanakan lebih dahulu baik waktu, jumlah, kuantitas maupun biayanya.”
16
b. Menurut
Rangkuti
(2004:25)
pengendalian
persediaan
adalah
:
“Pengawasan persediaan merupakan salah satu fungsi manajemen yang dapat dipecahkan dengan menerapakan metode kuantitatif.” Sehingga, bisa disimpulkan bahwa pengendalian persediaan bahan baku menjadi hal yang sangat penting karena berpengaruh pada jalannya operasi produksi perusahaan dan akhirnya mempengaruhi biaya-biaya yang ditimbulkan dalam proses pengendalian persediaan tersebut.
2.
Tujuan Pengendalian Persediaan Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dengan dilaksanaknnya
pengendalian persediaan. Menurut Assauri (2004:177) (dikutip oleh Rovianti, 2007) pengendalian persediaan bertujuan untuk: a. Menjaga jangan sampai perusahaan kehabisan persediaan sehingga dapat mengakibatkan terhentinya kegiatan produksi. b. Menjaga agar pembentukan persediaan oleh perusahaan tidak terlalu besar atau berlebih-lebihan, sehingga biaya-biaya yang timbul dari persediaan tidak terlalu besar. c. Menjaga agar pembelian kecil-kecilan dapat dihindari karena ini akan berakibat biaya pemesanan menjadi besar. Dari beberapa tujuan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengendalian persediaan bertujuan untuk mengontrol jumlah dan kualitas persedian barang yang berada di gudang agar tidak terjadi kelebihan ataupun kekurangan barang
17
sehingga proses produksi dapat berjalan dengan lancar dan dapat meminimalisasi biaya yang ditimbulkan.
3.
Prinsip-Prinsip Pengendalian Persediaan Menurut Hammer, et al (dikutip oleh Irwansyah, 2010), sistem dan teknik
pengendalian persediaan harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang sesuai dengan sebagai berikut : a. Persediaan diciptakan dari pembelian bahan dan tambahan biaya pekerja serta overhead untuk mengolah bahan baku menjadi barang jadi. b. Persediaan berkurang melalui penjualan dan kerusakan. c. Perkiraan yang tepat atas skedul penjualan dan produksi merupakan hal esensial bagi pembelian, penanganan, dan investasi bahan baku yang efisien. d. Kebijakan manajemen yang berupaya menciptakan keseimbangan antara keragaman dan kuantitas persediaan bagi operasi yang efisien dengan biaya pemilikan persediaan tersebut merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan investasi persediaan. e. Pemesanan bahan baku merupakan tanggapan terhadap perkiraan dan penyusunan rencana pengendalian produksi. f. Pencatatan persediaan saja tidak akan mencapai pengendalian atas persediaan.
18
g. Pengendalian bersifat komparatif dan relatif, tidak mutlak. Hal ini dilakukan manusia dengan berbagai pengalaman dan pertimbangan. Aturan-aturan dan prosedur memberi jalan pada para personel dalam membuat evaluasi dan mengambil keputusan.
4.
Model Persediaan Menurut Rangkuti (2004:116) model persediaan pada manajemen
persediaan adalah sebagai berikut: a. Prosedur Perolehan Bahan Seluruh pembelian bahan dalam suatu perusahaan dilaksanakan oleh Depertement/Divisi
Pembelian.
Untuk
memperoleh
laporan
pertanggungjawaban yang lengkap mengenai penggunaan seluruh bahan yang dibeli, diperlukan prosedur yang sistematis. Dengan demikian, pembelian, pemakaian, maupun pemanfaatannya
dapat dilaksanakan
secara cepat dan optimal. b. Penyimpanan dan penggunaan Bahan Setelah semua bahan diterima oleh bagian gudang disertai dengan salinan proposal penerimaannya dari Departement Penerimaan dan Pemeriksaan, barang-barang/bahan disimpan secara cermat yaitu: 1) Barang disimpan berdasarkan nomor perkiraan bahan 2) Frekuensi penggunaan bahan 3) Sifat, ukuran, dan bentuk bahan tersebut
19
c. Penentuan Harga Pokok Persediaan Penentuan harga pokok persediaan sangat tergantung dari metode penilaian yang dipakai, yaitu metode FIFO (First In First Out), metode LIFO (Last In Last Out), atau metode harga pokok rata-rata (Average Cost Method). d. Pemilihan Metode Penetapan Harga Pokok Persediaan yang Sesuai Sebelum menentukan pilihan terhadap metode penetapan harga pokok persediaan yang sesuai, penting membandingkan nilai harga pokok ratarata per unit untuk ketiga metode diatas. e. Metode Harga Eceran untuk Penentuan Harga Pokok Persediaan Metode ini pada umumnya dipergunakan oleh retailer atau perusahaan dagang eceran, misalnya pasar swalayan, departemen store, dan sebagainya. f. Penilaian Persediaaan Berdasarkan Metode Laba Kotor Selain metode perkiraan persediaan yang telah disebutkan, jumlah persediaan dapat juga dinilai berdasarkan penaksiran laba kotor. Apabila presentasi laba kotor diketahui, nilai penjualannya dalam satu periode tertentu dapat dipecah dalam dua unsure, yaitu: a. Laba kotor b. Harga pokok Barang yang dijual g. Perencanaan Kebutuhan Material /Material Requirement Planning (MRP)
20
Material Requirement Planning (MRP) dapat mengatasi masalah-masalah kompleks yang timbul dalam persediaan yang memproduksi banyak produk. Masalah itu antara lain kebingungan, inefesiensi, pelayanan yang tidak memuaskan para konsumen. MRP dapat menghasilkan banyak keuntungan, seperti mengurangi persediaan dan biaya gabungan (inventory holding cost) karena biaya itu hanya sebesar materi dan komponen yang dibutuhkan dan bahkan kalau bisa tidak ada biaya sama sekali.
5.
Metode Pengendalian Persediaan Menurut Riyanti Wiranata (dikutip oleh Irwansyah 2010),
metode
pengendalian persediaan terdiri dari : a) Metode Pengendalian Persediaan Tradisional Metode ini secara formal diperkenalkan oleh Wilson pada tahun 1929 dengan mencoba mencari jawaban atas 3 pertanyaan dasar : 1. Berapa jumlah barang yang harus dipesan untuk tiap kali pemesanan (Economic Order Quantity - EOQ). 2. Kapan saat pemesanan harus dilakukan (Reorder Point). 3. Berapa jumlah cadangan pengaman yang diperlukan (Safety Stock). Metode ini menggunakan matematika dan statistik sebagai alat bantu utama dalam memecahkan masalah kuantitatif dalam system persediaan. 1.
EOQ (Economical Order Quantity) adalah jumlah kuantitas barang yang dapat di peroleh dengan biaya minimal, atau sering dikatakan sebagai jumlah
21
pembelian yang optimal. Dalam menentukan besarnya jumlah pembelian yang optimal ini kita hanya memperhatikan besarnya variabel dari penyediaan persediaan tersebut, baik yang dibeli atau disimpan maupun biaya variabel yang
sifat
perubahanya
berlawanan
dengan
perubahan
jumlah Inventory tersebut. Biaya variabel dari Inventory pada prinsipnya dapat di golongkan dalam : a.
Biaya-biaya yang berubah sesuai dengan frekuensi pemesanan yang kini sering
dinamakan
Procurement atau Set-Up
Cost. Procurement
Cost adalah biaya yang berubah-ubah sesuai dengan frekuensi pemesanan yang terderi dari : 1) Biaya selama proses persiapan 2) Biaya pengiriman pesanan 3) Biaya penerimaan barang yang di pesan 4) Biaya-biaya proses pembayaran b.
Biaya-biaya
yang
berubah-ubah
sesuai
dengan
besarnya Average
Inventory yang sering disebut Storage atau Carrying Cost adalah biaya yang berubah- ubah sesuai dengan besarnya inventory. Penentuan besarnya carrying cost di dasarkan pada average inventorydan biaya ini dinyatakan dalam persentase rupiah dari average inventory. Carryying cost akan makin kecil apabila jumlah material biaya-biaya yang termasuk dalam carrying cost adalah : 1) Biaya penggunaan atau sewa ruangan gedung
22
2) Biaya pemeliharaan material dari allowance untuk kemungkinan rusak 3) Biaya untuk menghitung atau menimbang barang yang dibeli 4) Biaya asuransi 5) Biaya absolescence 6) Biaya modal 7) Biaya pajak dari persediaan yang ada dalam gudang Dalam melakukan pembelian berdasarkan EOQ maka ada syarat yang harus dipenuhi antara lain: a. Harga pembelian per unitnya constant b. Setiap saat perusahaan membutuhkan bahan mentah ada di pasar c. Jumlah produksi yang menggunakan bahan mentah tersebut stabil yang
berarti bahan mentah relatif stabil sepanjang tahun. Besarnya EOQ dapat dihitung dengan rumus: EOQ = √2SD H dimana: D = penggunaan atau permintaan yang diperkirakan per periode waktu; S = biaya pemesanan (persiapan pesanan dan penyiapan mesin) perpesanan; H = biaya penyimpanan per unit per periode Asumsi yang digunakan dalam analisis EOQ ini adalah: a) Jumlah kebutuhan bahan baku sudah dapat ditentukan lebih dahulu secara pasti untuk penggunaan selama 1 tahun/ 1 periode tertentu.
23
b) Penggunaan bahan baku selalu pada tingkat yang konstan secara kontinyu c) Pesanan persis diterima pada saat tingkat persediaan sama dengan nol (0) atau di atas Safety Stock (persediaan minimal/besi) d) Harga konstan selama periode tertentu 2.
Safety Stock adalah total quantity yang harus dimiliki oleh perusahaan agar proses produksi tidak terhenti.
3.
Reorder Point adalah suatu titik dimana harus diadakan pesanan lagi sedemikian rupa sehingga kedatangan atau penerimaan material yang dipesan itu akan tepat waktu dimana persediaansafety stock sama dengan nol.
b) Metode Perencanaan Kebutuhan Material (Material Requirements Planning- MRP) Menurut Mcleod (dikutip oleh Irwansyah, 2010) MRP diperkenalkan pertama kali pada tahun 1960-an oleh Joseph Orlicky dari J.I Case Company dan kemudian dikembangkan menjadi MRP II pada tahun 1983 oleh Oliver Wight dan George Plossl, yang semula Material Requirements Planning diubah menjadi Manufacturing Resource Planning. MRP merupakan strategi proaktif, orientasi ke depan dan mengidentifikasikan materi yang diperlukan dan jumlah serta tanggal diperlukannya. Menurut Rangkuti (dikutip oleh Irwansyah, 2010) dalam beberapa tahun ini, MRP telah menggantikan sistem persediaan tradisional karena walaupun sistem persediaan tradisional lebih sederhana, namun menimbulkan hal yang tidak menguntungkan, seperti biaya persediaan yang tinggi dan pengiriman
24
barang yang tidak tepat waktu. MRP bersifat computer oriented yang terdiri dari sekumpulan prosedur, aturan-aturan keputusan dan seperangkat mekanisme pencatatan yang dirancang untuk menjabarkan jadwal induk produksi. Selanjutnya, MRP II (Manufacturing Resource Planning) berupaya untuk mengintegrasikan semua proses dalam sistem manufaktur yang berhubungan dengan manajemen material.
c)
Metode ABC Seringkali suatu organisasi/perusahaan dihadapkan kepada masalah
penyimpanan dan pemeliharaan persediaan yang berbeda-beda, baik itu bahan baku, komponen, maupun barang jadi. Dalam kondisi seperti ini manajemen harus memberikan prioritas pengendalian yang ketat kepada jenis persediaan yang nilainya tinggi, sedangkan terhadap persediaan yang nilainya rendah pengendalian dapat dilakukan dengan agak longgar, sebab terlalu ketat pengendalian terhadap jenis ini bisa jadi biaya pengendalian menjadi lebih tinggi dari nilai persediaannya. Agar pengendalian efisien, maka persediaan tersebut harus diklasifikasikan terlebih dahulu. Klasifikasi biasanya dibagi menjadi tiga, yang biasa disebut klasifikasi ABC. Konsep ini diperkenalkan HF. Dickie pada tahun 1950 an. Klasifikasi didasarkan kepada nilai persediaan. Dengan diketahuinya klasifikasi ini, maka pengendalian akan lebih intensif kepada item tertentu yang merupakan item yang terpenting dari seluruh item yang ada dibandingkan dengan item laiinya.
25
Nilai dalam klasifikasi ABC adalah volume bahan yang dibutuhkan selama suatu periode dikalikan dengan harganya, dengan perkataan lain nilai di sini adalah nilai investasi (volume rupiah tahunan). Item yang memiliki nilai investasi yang lebih tinggi dari item lain dianggap item yang lebih penting, sehingga akan mendapat perhatian yang lebih serius dalam pengendaliannya. Item persediaan yang termasuk klasifikasi A adalah item yang memiliki jumlah fisik yang relatif sedikit (sekitar 20 persen) akan tetapi memiliki nilai rupiah tahunan yang tinggi (mencapai sekitar 70 persen) dari seluruh investasi persediaan. Kelompok ini harus mendapat perhatian yang serius karena berdampak biaya tinggi dalam persediaan. Klasifikasi B, adalah kelompok persediaan yang memiliki volume fisik sekitar 30 persen item dan sekitar 20 persen dari nilai investai tahunan. Terhadap kelompok persediaan ini pengendalian dilakukan secara moderat. Klasifikasi C, adalah barang-barang yang secara fisik mencapai sekitar 50 persen item dan sekitar 10 persen nilai investasi tahunan. Terhadap kelompok persediaan ini hanya diperlukan teknik pengendalian yang sederhana, dan pemeriksaan hanya perlu dilakukan sekali-kali. Nilai-nilai persentasi di atas bukan merupakan nilai yang mutlak, akan tetapi sangat tergantung kepada kebijakan perusahaan, dan begitu juga klasifikasinya tidak mutlak harus tiga klasifikasi.
26
C.
Material Requirements Plannning (MRP)
1.
Definisi MRP MRP adalah prosedur logis, aturan keputusan dan teknik pencatatan
terkomputerisasi yang dirancang untuk menterjemahkan “Jadwal Induk Produksi” atau MPS (Master Production Schedulling) menjadi “Kebutuhan Bersih” atau NR (Net Requirement) untuk semua item, (Arman dan Yudha, 2008:245-246). Rangkuti (2004:144) juga menjelaskan bahwa: “Material Requirement Planning (MRP) adalah suatu sistem perencanaan dan penjadwalan kebutuhan material untuk produksi yang memerlukan beberapa tahapan proses atau fase. MRP merupakan suatu rencana produksi untuk sejumlah produk jadi yang diterjemahkan ke dalam masing-masing komponen yang dibutuhkan dengan waktu tenggang, sehingga ditentukan kapan dan berapa banyak bahan yang dipesan untuk masing-masing komponen produk yang dibuat”. Sedangkan
menurut
Gaspersz
(2004:177)
“MRP
adalah
metode
penjadwalan untuk perencanaan pembelian pesanan (purchased planned orders), dan perencanaan pesanan (manufactured planned orders). Planned manufacturing orders kemudian diajukan untuk analisis lanjutan berkenaan dengan ketersediaan kapasitas dan keseimbangan menggunakan perencanaan kebutuhan kapasitas”. Dari beberapa pendapat parah ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa MRP merupakan suatu metode perencaanaan dan penjadwalan untuk semua bahan baku yang diperlukan dalam suatu proses produksi dengan menggunakan
27
tenggang waktu, sehingga dapat menentukan kapan dan berapa banyak bahan baku yang akan dipesan. MRP merupakan suatu sistem yang dirancang untuk kepentingan perusahaan manufaktur, termasuk juga perusahaan kecil, karena metode ini merupakan metode yang mudah dipahami untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan pengendalian persediaan bahan baku. MRP digunakan pada berbagai industri yang berkarakteristik job-shop, yaitu suatu industri yang memproduksi sejumlah produk dengan menggunakan peralatan produksi yang relatif sama. MRP tidak cocok bila diterapkan pada perusahaan yang menghasikan produk dalam jumlah relatif sedikit. (Poerwanto, 2013)
2.
Tujuan dan Manfaat MRP Tujuan dari sistem MRP (Material Requirement Planning) meliputi
(Rangkuti, 2004:154-146): 1. Pengurangan jumlah persediaan MRP menentukan berapa banyak komponen yang dibutuhkan dan kapan dibutukannya sehingga MRP membantu manager menyediakan komponen saat dibutuhkan sehingga biaya kelebihan persediaan dapat dihindari. 2. Pengurangan produksi dan tenggang waktu pengiriman MRP mengidentifikasi jumlah material yang dibutuhkan, waktu, ketersediaan, perolehan dan produksinya untuk menyelesaikan pada waktu yang dibutuhkan untuk dikirim.
28
3. Komitmen yang realistis Janji untuk memenuhi pengiriman barang dapat memberi kepuasan lebih kepada konsumen. 4. Meningkatkan efisiensi MRP menyediakan koordinasi yang dekat antara bermacam divisi kerja (work center) yang terlibat dalam proses produksi. Akibatnya, produksi dapat berjalan lebih efisien karena keterlibatan secara tidak langsung dengan karyawan dapat dikurangi dan kegiatan interupsi produksi tanpa rencana dapat dikurangi. Akhirnya MRP dapat diatur dengan rapi sehingga meningkatkan efisiensi. Dan menurut Render dan Heizer (dikutip oleh Rovianti, 2007), manfaat dari MRP adalah : a) Peningkatan pelayanan dan kepuasan konsumen. b) Peningkatan pemanfaatan fasilitas dan tenaga kerja. c) Perencanaan dan penjadwalan persediaan yang lebih baik. d) Tanggapan yang lebih cepat terhadap perubahan dan pergeseran pasar.
3.
Input (Masukan) Sistem MRP Menurut Armand dan Yudha (2008:250-253), ada tiga input yang
dibutuhkan oleh system MRP, yaitu: 1. Jadwal Induk Produksi (Master Production Schedule/MPS)
29
Jadwal Induk Produksi didasarkan pada peramalan atas permintaan independen (independent demand) dari setiap produk akhir yang akan dibuat. Hasil peramalan (sebagai perencanaan ajangka panjang) dipakai untuk membuat rencana agregat (sebagai perencanaan jangka sedang), yang pada akhirnya dibuat rencana detail (jangka pendek) yang menentukan jumlah produksi yang dibutuhkan untuk setiap produk akhir beserta periode waktunya untuk suatu jangka perencanaan. Jadi, Jadwal Induk Produksi merupakan proses alokasi untuk
membuat sejumlah
produk yang diinginkan dengan memperhatikan “kapasitas” yang dipunyai (pekerja, mesin, dan bahan). Hal yang paling penting dalam perencanaan Jadwal Induk Produksi adalah penentuan panjangnya horizon perencanaan (planning horizon) yaitu, jumlah periode yang dibutuhka untuk penjadwalan. Horizon perencanaan minimal merupakan jumlah periode produksi (termasuk perakitan) ditambah waktu ancang-ancang pembelian atas bahan untuk setiap produk akhir yang dibuat 2. Catatan Keadaan Persediaan (Inventory Status File) Catatan keadaan persediaan menggambarkan status semua item yang ada dalam persediaan. setiap item persediaan harus didefinisikan untuk menjaga kekeliruan perencanaan. Pencatatan-pencatatan itu harus dijaga agara tetap “up to date”, dengan selalu melakukan pencatatan tentang transaksi-transaksi yang terjadi, seperti: penerimaan, pengeluaran
30
produk gagal, dan lain sebagainya. Catatan persediaan juga harus berisi data tentang waktu ancang-ancang, teknik ukuran lot yang digunakan, persediaan cadangan, dan catatan-catatan penting lainnya dari semua item. 3. Struktur Produk (Bill of Material) Struktur produk berisi informasi tentang hubungan antara komponen- komponen dalam suatu perakitan, Informasi ini sangat penting dalam penentuan kebutuhan kotor dan kebutuhan bersih. Lebih jauh lagi, struktur produk memberikan informasi tentang semua item, seperti: nomor item, jumlah yang dibutuhkan pada setiap perakitan, jumlah produk akhir yang harus dibuat.
4.
Output (Keluaran) Sistem MRP Menurut Armand dan Yudha (2008:254), rencana pemesanan merupakan
output dari MRP yang dibuat atas dasar waktu ancang-ancang dari setiap komponen. Waktu ancang-ancang dari suatu item yang dibeli merupakan periode antara pesanan dilakukan sampai barang diterima (on-hand), sedangkan untuk produk yang dibuat di pabrik sendiri, merupakan periode antara perintah item harus dibuat sampai dengan selesai diproses. Ada dua tujuan yang hendak dicapai dengan adanya rencana pemesanan, yaitu: 1) Menentukan kebutuhan pada tingkat lebih bawah 2) Memproyeksikan kebutuhan kapasitan
31
Secara umum, output dari MRP adalah: a)
Memberikan
catatan
tentang
pesanan
penjadwalan
yang
harus
dilakukan/direncanakan baik dari pabrik sendiri maupun dari supplier. b) Memberikan indikasi untuk penjadwalan ulang. c)
Memberikan indikasi untuk pembatalan atas pesanan.
d)
Memberikan indikasi untuk keadaan persediaan. Output dari MRP dapat pula disebut sebagai suatu aksi yang merupakan
tindakan atas pengendalian persediaan dan penjadwalan produksi. Pada gambar dibawah ini, diberikan sistem MRP secara lengkap yang mencakup input dan outputnya.
Gambar 2.1 Sistem Lengkap MRP Sumber: Arman dan Yudha(2008:255)
32
5.
Prinsip-prinsip dasar MRP Menurut Arman dan Yudha (2008:255-260), MRP mempunyai asumsi
tertentu terhadap karakteristik produk serta proses yang digunakan dalam system manufakturnya. Oleh karena itu, MRP mempunyai beberapa prinsip serta syaratsyarat pendahuluan dan asumsi-asumsi sebagai berikut: a.
Prinsip Dasar 1. Phasa Waktu (Time Pashing) Phase waktu berarti penambahan dimensi waktu dalam status data persediaan, dengan penambahan serta perekaman informasi pada tanggal yang spesifik dari periode perencanaan yang dikaitkan dengan jumlahnya. Dalam MRP ini terdapat dua jenis persediaan, yaitu jumlah yang ada di tangan atau yang dimiliki (quantity on hand) dan jumlah yang akan diperoleh dari suatu pesanan sebelumnya (quantity on order), atau dari suatu proses pembuatan. Adapun teknik dari phasa waktu adalah membuat suatu hubungan yang relevan antara jumlah kebutuhan dengan waktu/jadwal perencanaan. 2. Status Persediaan Informasi status persediaan akan mengungkapkan berapa jumlah yang harus dipesan atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan. Status persediaan mengandung pengertian terhadap jumlah persediaan dari setiap item. Pentingnya kita mengetahui status/jumlah dari persediaan tersebut, antara lain untuk menjawab pertanyaan:
33
-
Apa yang kita punyai?
-
Apa yang kita butuhkan?
-
Apa yang harus kita lakukan?
Kedua pertanyaan yang pertama merupakan pertanyaan mendasar untuk mengetahui kemampuan dan kebutuhan kita, sedangkan pertanyaan terakhir merupakan tahap evaluasi dari semua yang kita punyai dan yang kita butuhkan. b.
Syarat Pendahuluan Syarat pendahuluan dari sistem MRP yang standar adalah sebagai berikut: 1. Ada dan tersedianya Jadwal Induk Produksi, dimana terdapat jadwal rencana dan jumlah pesanan dari item/produk. 2. Item persediaan mempunyai identifikasi khusus. 3. Tersedianya struktur produk pada saat perencanaan. 4. Tersedianya catatan tentang persediaan sekarang dan yang akan datang/direncanakan
c.
Asumsi-asumsi Asumsi-asumsi dari system MRP yang standar adalah sebagai berikut: 1. Adanya data file yang terintegrasi 2. Waktu ancang untuk semua item diketahui. 3. Setiap Item persediaan selalu ada dalam pengendalian. 4. Semua komponen untuk suatu perakitan dapat disediakan pada saat perakitan akan dilakukan.
34
5. Pengadaan dan pemakaian komponen bersifat diskrit 6. Proses pembuatan suatu item tidak bergantung terhadap proses pembuatan item lainnya.
6.
Langkah-langkah Dasar Proses Pengolahan MRP Menurut Baroto (dikutip oleh Surianto, 2013) proses pengolahan MRP
adalah sebagai berikut: a.
Langkah Pertama: Netting (Kebutuhan Bersih) Netting adalah proses perhitungan untuk menetapkan jumlah kebutuhan
bersih dengan keadaan persediaan bersih yang besarnya merupakan selisih antara kebutuhan kotor dengan keadaan persediaan (yang sudah ada dan yang sedang dipesan). Data yang diperlukan dalam proses perhitungan kebutuhan bersih ini adalah: a)
Kebutuhan kotor untuk setiap periode.
b) Persediaan yang dipunyai pada awal perencanaan (yang ada di tangan). c)
b.
Rencana penerimaan (schedule receipt) untuk setiap periode pesanan.
Langkah kedua: Lott Sizing (jumlah pesanan/ukuran lot) Proses Lott Sizing adalah suatu proses untuk menentukan besarnya pesasan
setiap item berdasarkan hasil perhitungan kebutuhan bersih. Alternatif untuk perhitungan lot diantaranya:
35
a.
Beberapa teknik diarahkan untuk menyeimbangkan biaya pesan dan biaya simpan.
b.
Ada yang bersifat sederhana yaitu dengan menggunakan konsep jumlah pemesanan tetap atau dengan pemesanan tetap.
c.
Langkah ketiga: Offsetting (penentuan waktu pemesanan) Langkah ini bertujuan untuk menentukan saat yang tepat untuk melakukan
pemesanan kebutuhan bersih. Rencana pemesanan diperoleh dengan cara mengurangkan saat awal tersedianya ukuran lot yang diinginkan dengan besarnya waktu ancang-ancang (lead time).
d.
Langkah keempat: Explosion (menentukan kebutuhan kotor) Explosion merupakan proses perhitungan kebutuhan kotor untuk setiap
item atau komponen yang mebih bawah, tentu saja berdasarkan atas rencana pemesanan. Dalam proses ini data mengenai struktur produk sangat memegang peranan karena atas dasar struktur produk inilah proses explosion akan berjalan dan dapat menentukan arah komponen mana yang harus ditentukan.
7.
Teknik Penentuan Ukuran Lot Lott Sizing merupakan proses dalam menentukan berapa jumlah pesanan
yang optimal untuk setiap item bahan baku berdasarkan pada hasil perhitungan kebutuhan bersih. Ada beberapa metode untuk menentukan ukuran lot. Dalam
36
penelitian ini teknik-teknik yang digunakan untuk pengukuran lot adalah sebagai berikut: a. Lot for lot Menurut Arman dan Yudha (2008:271-272), teknik penetapan ukuran lot dengan ini dilakukan atas dasar pesanan diskrit, disamping itu teknik ini merupakan cara paling sederhana dari semua teknik ukuran lor yang ada. Teknik ini hampir selalu melakukan perhitungan kembali (bersifat dinamis) terutama sekali apabila terjadi perubahan pada kebutuhan bersih. Penggunaan teknik ini bertujuan untuk meminimumkan ongkos simpan, sehingga dengan teknik ini ongkos simpan menjadi nol. Oleh karena itu sering sekali digunakam untuk item-item yang mempunyai harga /unit sangat mahal. Juga apabila dilihat dari pola kebutuhan yang mempuyai sifat diskontinyu atau tidak teratur, maka teknik L-4-L ini memiliki kemampuan yang baik. Menurut Purwati (2008) metode ini mengandung risiko, yaitu jika terjadi keterlambatan dalam pengiriman barang. Jika persediaan itu berupa bahan baku, mengakibatkan terhentinya produksi. Jika persediaan itu berupa barang jadi, menyebabkan tidak terpenuhinya permintaan pelanggan. b. Economic Order Quantity (EOQ) Menurut Arman dan Yudha (2008:270-271), dalam teknik EOQ besarnya ukuran lot adalah tetap. Namun perhitungannya sudah mencakup
37
biaya-biaya pesan serta biaya-biaya simpan. Perumusan yang dipakai dalam teknik ini adalah sebagai berikut:
EOQ = √2SD H dimana: D = penggunaan atau permintaan yang diperkirakan per periode waktu; S = biaya pemesanan (persiapan pesanan dan penyiapan mesin) perpesanan; H = biaya penyimpanan per unit per periode Metode EOQ ini biasanya dipakai untuk horizon perencanaan selama satu tahun atau 12 bln. Dan akan sangat efektif bila pola permintaan kebutuhan bersifat kontinu dan tingkat kebutuhan bersifat konstan. Menurut Surianto (2013), kelebihan teknik EOQ yaitu sederhana, mudah dianalisis dan dapat diolah secara manual. Bagi perusahaan yang memiliki tingkat pemakaian dan waktu tunggu yang berfluktuasi maka dapat ditambahkan persediaan pengaman untuk menerapkan teknik ini. Kelemahannya teknik EOQ yaitu kurang peka terhadap fluktuasi pemakaian dan waktu tunggu yang umumnya terjadi pada perusahaan. Selain itu teknik ini hanya menghitung jumlah pemesanan yang optimum dan frekuensi.
38
c. Fixed Periode Requirement (FPR) Teknik penetapan ukuran lot dengan Kebutuhan Periode Tetap (FPR) ini membuat pesanan berdasarkan periode waktu tertentu saja. Besarnya jumlah kebutuhan tidak berdasarkan ramalan, tetapi dengan cara menjumlahkan kebutuhan bersih pada periode yang akan datang . Dalam teknik FPR selang waktu antar pemesanan dibuat tetap dengan ukuran lot sesuai pada kebutuhan bersih (Arman dan Yudha 2008: 272-273). d. Part Period Balancing (PPB) Menurut Purwati (2008), metode Penyeimbang Sebagian Periode (PPB), merupakan salah satu pendekatan dalam menentukan ukuran lot untuk suatu kebutuhan material yang tidak seragam, yang bertujuan untuk memperkecil
biaya
total
persediaan.
Meskipun
tidak
menjamin
diperolehnya biaya total yang minimum, metode ini memberikan pemecahan yang cukup baik. Metode ini dapat menggunakan jumlah pesanan yang berbeda untuk setiap pesanan, yang dikarenakan jumlah permintaan setiap periode tidak sama. Ukuran lot dicari dengan menggunakan pendekatan sebagian periode ekonomis (Economic Part Period, EPP), yaitu dengan membagi biaya pemesanan dengan biaya penyimpanan
per
unit
per
periode.
Metode
lot
sizing
ini
mengkombinasikan periode-periode kebutuhan sehingga jumlah Part Period mendekati EPP.
39
Menurut Kurniawan (2008), kelemahan teknik PPB apabila diterapkan perusahaan, yaitu adanya kemungkinan kerusakan persediaan bahan baku akibat penyimpanan bahan baku di gudang. Teknik PPB tidak dapat dilakukan apabila nilai EPP-nya lebih kecil dibandingkan dengan kebutuhan kotornya.
D.
Penelitian Terdahulu Pada tahun 2007, Andi Novi Rovianti melakukan penelitian dengan judul
“Analisis Penerapan Material Requirement Planning (MRP) Dalam Upaya Mengendalikan Persediaan Bahan Baku Daging Pada Long Horn Steak & Ribs” pada tahun 2007. Dalam penelitian ini diketahui bahwa Pada Long Horn Steak & Ribs, proses pengendalian persediaan bahan baku berdasarkan atas adanya pesanan dari konsumen sehingga biaya persediaan yang ditimbulkan besar. Dan dari penelitiannya diperoleh hasil bahwa dengan teknik Least Total Cost atau Least Unit Cost baik untuk diterapkan dalam perusahaan, karena dengan kedua teknik ini, perusahaan akan mengurangi biaya persediaan, yang artinya menerapkan metode Material Requirement Planning dalam mengendalikan persediaan bahan baku dapat menghemat jumlah biaya persediaan bahan baku yang timbul dalam biaya yang di anggarkan pada biaya produksi perusahaan dan
40
juga sesuai dengan tujuan dan maksud yang telah dijabarkan dalam sistem MRP berdasarkan teori yang menjelaskan tentang sebuah teknik permintaan terikat yang menggunakan daftar kebutuhan bahan, persediaan, permintaan, penerimaan yang diperkirakan, dan jadwal produksi induk dalam menentukan kebutuhan bahan bakunya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sri Purwati dengan judul “Analisis Peranan MRP (Material Requirement Planning) Untuk Produksi Kursi Benelux Pada CV. Aksen Rattan Cirebon” pada tahun 2008. Penelitian tersebut mengidentifikasi masalah peranan metode MRP dalam perencanaan pengadaan bahan baku yang dilakukan perusahaan dan memberikan kesimpulan dari hasil penelitian bahwa untuk dapat mengoptimalkan fungsi persediaan, perusahaan harus membuat rencana dalam pengadaan bahan baku. Perencanaan tersebut harus sesuai dengan kebutuhan produksi untuk setiap waktu, tempat untuk penyimpanan persediaan bahan baku, dan juga sesuai dengan modal atau dana yang tersedia untuk pengadaan bahan baku. Ditahun yang sama, dilakukan penelitian oleh Wawan Kurniawan dengan judul “Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku di Perusahaan Kecap Segitiga Majalengka” pada tahun 2008. Dalam penelitian ini diketahui bahwa Sistem pengadaan dan pengendalian persediaan bahan baku kecap belum optimal dari segi biaya persediaan bahan baku. Adanya masalah perubahan permintaan konsumen terhadap kecap seringkali menuntut pihak perusahaan untuk melakukan perubahan terhadap rencana produksinya (revisi rencana produksi). Selain itu,
41
kebijakan perusahaan menyangkut perencanaan kebutuhan dan pengendalian persediaan bahan baku sering dihadapkan pada kendala investasi yang terlalu banyak atau menekan persediaan. Oleh karena itu dalaam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa metode MRP teknik POQ direkomendasikan sebagai model alternatif dalam sistem pengendalian persediaan bahan baku yang optimal dilihat dari biaya persediaan bahan bakunya. Penggunaan metode MRP teknik POQ dapat dijadikan alternatif bagi pengendalian persediaan perusahaan karena metode ini menghasilkan periode gabungan yang akan meminimumkan biaya persediaan (biaya pemesanan dan biaya penyimpanan) serta biaya pembelian bahan baku. Dwika Ery Irwansyah menganalisi mengenai persediaan bahan baku dengan judul “Penerapan Material Requirement Planning (MRP) dalam Perencanaan Persediaan Bahan Baku Jamu Sehat Perkasa Pada PT. Nyonya Meneer Semarang” pada tahun 2010. Masalah dalam penelitian ini mengenai persediaan bahan baku, dimana terjadi keterlambatan pengiriman bahan baku dalam hal ekspedisi. Oleh karena itu dibutuhkan suatu sistem informasi yang diharapkan dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku dapat dilakukan dengan tepat dan penentuan biaya persediaannya dapat ditetapkan seoptimal mungkin yaitu melalui penerapan MRP. Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa penerapan metode Lot Sizing Algoritma Wagner Whititn untuk setiap bahan baku Jamu Sehat Perkasa pada PT. NYONYA MENEER Semarang dapat meminimalkan biaya total persediaan.
42
Pada tahun 2011 Restu Wahyuningsih membuat suatu penelitian yang berjudul “ Analisa Pengendalian Persediaan Bahan Baku Pada PT. Dagsap Endura Eatore di Kawasan Industri Sentul Bogor”. Penelitian tersebut dilakukan karena dalam perjalanannya perusahaan memiliki kendala dalam pengadaan bahan baku. Dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengendalian persediaan perusahaan tersebut dan menganalisis alternatif metode pengendalian persediaan dalam peningkatan efisiensi biaya persediaan bahan baku. Dari hasil penelitian bahwa dengan menggunakan metode MRP dengan teknik POQ dapat menghasilkan pengeluaran biaya yang paling rendah dibandingkan dengan metode perusahaan dan ketiga teknik lain. Agus Surianto melakukan penelitian dengan judul “ Penerapan Metode Material Requirement Planning (MRP) di PT. Bokormas Mojokerto” pada tahun 2013. Penelitian tersebut untuk mengetahui tingkat biaya produksi yang bisa dihemat dengan menerapkan MRP dalam merencanakan dan mengendalikan ketersediaan bahan baku proses produksi PT. Bokormas Mojokerto. Dari hasil analisis metode Material Requirement Planning (MRP) diketahui bahwa perusahaan dapat melakukan penghematan biaya persediaan karena persediaan bahan baku yang rendah, namun proses produksi tetap berjalan lancar tanpa terganggu. Perusahaan dapat melakukan produksi sesuai dengan permintaan dan memesan bahan baku sesuai dengan kebutuhan produksi tepat. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu di atas mengenai perencanaan dan pengendalian bahan baku dapat ditarik kesimpulan bahwa pada umumnya
43
metode yang diterapkan untuk menganalisa perencanaan dan pengendalian bahan baku yaitu dengan metode Material Requirement Planning (MRP), dengan membandingkan beberapa teknik Lott Sizing yang cocok dengan sistem perusahaan masing-masing, sehingga dapat meminimalisasi biaya persediaan.
E.
Rerangka Pemikiran Dalam sistem MRP memerlukan tiga inputan, yaitu JIP/MPS, BOM, dan
Data Persediaan. Jadwal Induk Produksi (JIP/MPS) didasarkan pada peramalan atas permintaan independen (independent demand) dari setiap produk akhir yang akan dibuat. Struktur produk (BOM) berisi informasi tentang hubungan antara komponen- komponen dalam suatu perakitan. Catatan keadaan persediaan menggambarkan status semua item yang ada dalam persediaan. Setelah mendapat tiga data tersebut, maka dapat dilanjutkan kelangkah berikutnya yaitu penentuan teknik lot sizing. Dalam penelitian ini ada 4 teknik lot sizing yag akan digunakan, yaitu teknik Lot for Lot, EOQ, FPR, dan PPB. Setelah mendapat hasil perhitungan dari teknik-teknik tersebut, maka dapat langsung dianalisa perbandingannya dengan hasil perhitungan dari metode perusahaan. Sehingga dapat menentukan metode mana yang menghasilkan biaya pengendalian persediaan bahan baku yang paling efisien. Gambaran umum tinjauan penyusunan skripsi mengenai “Perspektif Metode Material Requirement Planning (MRP) Dalam Perencanaan Dan Pengendalian Bahan Baku Acc. Toilet Cubicle Guna Meningkatkan Efisiensi
44
Biaya Persediaan Pada PT. Matrikstama Andalan Mitra”, terdapat dalam bagan kerangka konsep penelitian dihalaman selanjutnya:
Metode Perusahaan
JIP/MPS
Data Persediaan
MRP
BOM
Lot Sizing
Teknik Lot For Lot
Teknik EOQ
Teknik FPR
Teknik PPB
Analisa Perbandingan Total Biaya
Metode Pengendalian Persediaan Bahan Baku yang Efisien
Gambar 2.2 Bagan Kerangka Pemikiran Perspektif Metode Material Requirement Planning (MRP) dalam Perencanaan dan Pengendalian Bahan Baku Acc. Toilet Cubicle Guna Meningkatkan Efisiensi Biaya Persediaan Pada PT. Matrikstama Andalan Mitra