13
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RERANGKA PEMIKIRAN A.
Kajian Pustaka
1.
Keuangan Daerah
a.
Pengertian Keuangan Daerah Keuangan daerah merupakan bagian integral dari keuangan negara dalam
pengalokasian sumber-sumber ekonomi, pemerataan hasil-hasil pembangunan dan menciptakan stabilitas ekonomi guna stabilitas sosial politik. Peranan keuangan daerah menjadi semakin penting karena adanya keterbatasan dana yang dapat dialihkan ke daerah berupa subsidi dan bantuan. Selain itu juga karena semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi daerah yang pemecahannya membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat di daerah (Frediyanto, 2010). Dalam Peraturan Pemerintah Pasal 1 ayat 5 No. 58 tahun 2005 dijelaskan bahwa keuangan daerah mengandung pengertian atas semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat di nilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD). Sedangkan Menurut Prasetyaningsih (2011) Keuangan daerah dalam arti sempit terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan APBD , oleh sebab itu keuangan daerah identik dengan APBD. Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa dalam keuangan daerah terdapat dua unsur penting menurut Prihatningsih (2010) yaitu :
14
1)
Semua hak dimaksudkan sebagai hak untuk memungut pajak daerah, retribusi daerah dan/atau penerimaan dan sumbersumber lain sesuai ketentuan yang
berlaku
merupakan penerimaan daerah sehingga
menambah kekayaan daerah; 2)
Kewajiban daerah dapat berupa kewajiban untuk membayar atau sehubungan adanya tagihan kepada daerah dalam rangka pembiayaan rumah tangga daerah serta pelaksanaan tugas umum dan tugas pembangunan oleh daerah yang bersangkutan. Pemerintah daerah adalah roda pemerintahan dalam menjalankan
pembangunan dan layanan sosial masyarakat dan wajib menyampaikan pelaporan pertangung jawaban keuangan daerahnya untuk dapat dinilai apakah pemerintah daerah tersebut berhasil atau tidak dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan pemerintahan yang berlaku.
Menurut Munteh
(2013) Pemerintah
daerah dituntut agar pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara baik dalam mewujudkan tujuan pemerintahan yang bersih (clean goverment), dimana pengelolaan keuangan daerah yang baik adalah kemampuan mengontrol kebijakan keuangan daerah secara ekonomis, efisien, transparan dan akuntabel. Masalah dasar keuangan daerah terkait erat dengan ekonomi daerah, terutama menyangkut tentang pengelolaan keuangan suatu daerah, tentang bagaimana sumber penerimaan digali dan didistribusikan oleh pemerintah daerah (Devas dalam Frediyanto, 2010).
15
b.
Prinsip Pengelolaan Keuangan Daerah Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, penata usahaan, pelaporan, pertanggung jawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Mardiasmo (2002) mengungkapkan dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah sebagai berikut : a)
Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan/pengendalian keuangan daerah.
b)
Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya.
c)
Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, Sekda dan perangkat daerah lainnya.
d)
Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi, dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas.
e)
Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH, dan PNS-Daerah, baik ratio maupun dasar pertimbangannya.
16
f)
Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja, dan anggaran multi-tahunan.
g)
Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional.
h)
Standar dan sistem akuntansi keuangan daerah, laporan keuangan, peran akuntan independen dalam pemeriksaan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
i)
Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi, dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah.
j)
Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah daerah terhadap
penyebarluasan
informasi
sehingga
memudahkan
pelaporan dan pengendalian, serta mempermudahkan mendapatkan informasi. Pada prinsipnya, hal-hal yang mendasari pengelolaan keuangan daerah haruslah senantiasa taat dan berpegang teguh pada dasar hukum pengelolaan keuangan daerah yang berlaku dan dilaksanakan dengan efektif, efesien, ekonomis, transparan, bertanggung jawab, menanamkan rasa keadilan dan kepatuhan yang diperutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Upaya konkrit dalam mewujudkan akuntabilitas dan transparansi di lingkungan pemerintah daerah mengharuskan setiap pengelola keuangan Negara untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan dengan
17
cakupan yang lebih luas dan tepat waktu. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan bahwa laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD yang dimaksud, dinyatakan dalam bentuk Laporan Keuangan yang setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, dan disusun berdasarkan PP No. 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah yang kemudian pada gilirannya akan di audit oleh BPK. Secara ringkas, dalam sistem pengelolaan keuangan daerah terdapat tiga siklus utama, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Pada tahap perencanaan, input yang digunakan adalah aspirasi masyarakat melalui musrenbang yang dilakukan oleh DPRD dan pemerintah daerah sebagai cikal bakal keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah dan kebijakan strategis yang akhirnya memberi payung dan arah bagi suatu APBD. Dari musrenbang tersebut dihasilkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang kemudian dijabarkan dalam usulan kegiatan/aktivitas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan diproses dengan Standar Analisis Belanja (SAB) sehingga setiap aktivitas yang diusulkan dapat mencerminkan visi, misi, tujuan, sasaran, dan hasil yang telah ditetapkan. Selain itu, anggaran yang diusulkan juga harus mencerminkan (anggaran) kinerja karena telah diproses dengan menekankan aspek kinerja. Pada tahap pelaksanaan, input yang digunakan adalah APBD yang sudah ditetapkan untuk kemudian dilaksanakan dan dicatat melalui sistem akuntansi guna menghasilkan laporan pelaksanaan APBD, baik berupa laporan
18
semesteran maupun tahunan sebagai laporan pertanggungjawaban kepala daerah. Sedangkan
pada
tahap
pengendalian,
meliputi
penyampaian
laporan
pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD, proses evaluasi laporan pertanggungjawaban, serta keputusan evaluasi berupa penerimaan atau penolakan laporan pertanggungjawaban (Sonny Yuwono dalam Prihatningsih, 2010) c.
Manajemen Keuangan Daerah Reformasi manajemen keuangan daerah mulai dilaksanakan setelah
diberlakukannya UU No.22 dan UU No.25 Tahun 1999. Sebagai upaya konkrit, pemerintah mengeluarkan PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan PP no.108 Tahun 2000 tentang Pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Aspek utama reformasi manajemen keuangan daerah meliputi : 1)
Perubahan sistem anggaran dari sistem anggaran tradisional menjadi sistem anggaran berbasis prestasi kerja atau anggaran kinerja
2)
Perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah dari sistem sentralisasi pada bagian keuangan sekretariat daerah menjadi sistem desentralisasi ke masing-masing satuan kerja
3)
Perubahan sistem akuntansi dari sistem tata buku tunggal (single entry system) menjadi sistem tata buku berpasangan (double entry system)
4)
Perubahan basis akuntansi dari basis kas (cash basis) menjadi basis akrual (accrual basis)
19
Reformasi menejemen keuangan daerah ini guna mewujudkan keuangan daerah yang transparan dan akuntabel. Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa terdapat lima prinsip manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah meliputi : 1)
Akuntabilitas, mensyaratkan bahwa dalam mengambil suatu keputusan hendaknya berperilaku sesuai dengan mandate yang diterimanya. Kebijakan yang dihasilkan harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal dengan baik.
2)
Value for money, prinsip ini diopersionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah dengan ekonomis, efektif, dan efisien.
3)
Kejujuran dalam mengelola keuangan publik (probity), dalam pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada pegawai yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga potensi munculnya praktek korupsi dapat diminimalkan.
4)
Transparansi,
merupakan
keterbukaanpemerintah
dalam
membuat
kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun masyarakat. 5)
Pengendalian, dalam pengelolaan keuangan daerah perlu dilakukan monitoring
terhadap
penerimaan
maupun
pengeluaran
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sehingga bila terjadi selisih (varians) dapat dengan segera dicari penyebab timbulnya selisih.
20
Mardiasmo (2002) menyebutkan bahwa secara garis besar, pengelolaan (manajemen) keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Sumber penerimaan uang daerah dan pengeluaran uang daerah itulah dijadikan pedoman tindak lanjutan yang akan dilaksanakan pemerintah daerah atas bukti pertanggung jawaban pengelolaan (manajemen) keuangan daerahnya ke dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). d.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Prihatningsih (2010) Terkait
dengan rencana manajemen, sistem
penganggaran berfungsi sebagai suatu metode penganggaran bagi manajemen untuk mengaitkan setiap biaya yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan manfaat yang dihasilkan dimana manfaat tersebut dideskripsikan melalui seperangkat sasaran dan dituangkan dalam target kinerja pada setiap unit kerja. Untuk mengidentifikasi keterkaitan biaya dengan manfaat serta keterkaitan antara nilai uang dan hasil di tingkat pemerintahan daerah, pemerintah daerah menuangkan penganggaran tersebut dalam suatu rencana keuangan yang dikenal dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda). Sonny Yuwono dalam prihatningsih (2010) mengungkapkan jika keuangan daerah (APBD) dapat dikatakan sebagai jantung pengelolaan lembaga pemerintahan daerah, maka pengelolaan APBD merupakan
21
denyut nadi yang merefleksikan dinamika keuangan daerah sekaligus merupakan bagian integral dari sistem keuangan Negara sebagaimana diatur dalam UU No. 17/2003. Seperti diungkapkan oleh Siagian (2009), bahwa pengelolaan keuangan daerah berkaitan dengan penyampaian laporan pertanggungjawaban APBD yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti Standar Akuntansi Pemerintah untuk mewujudkan transparasi dan akuntabilitas. Dalam pengelolaan keuangan daerah untuk Asas Umum dan Struktur APBD yang terdapat pada PP No. 58 tahun 2005 adalah sebagai berikut : a)
Tersusunnya APBD harus disesuaikan dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan pendapatan daerah yang berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara.
b)
Berfungsi untuk otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi
c)
APBD, Perubahan APBD dan pertanggung jawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan oleh Peraturan Daerah (Perda).
d)
Semua jenis penerimaan dan pengeluaran daerah baik dalam bentuk uang, barang dan atau jasa dianggarkan dalam APBD.
e)
Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD ini merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan.
22
f)
Seluruh pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah dianggarkan secara bruto dalam APBD.
g)
Pendapatan daerah yang dianggarkan dalam APBD harus berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
h)
Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup.
i)
Penganggaran untuk setiap pengeluaran APBD harus didukung dengan dasar hukum yang melandasinya.
j)
Tahun anggaran APBD meliputi masa 1 (satu) tahun mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Dalam struktur APBD, komponen penerimaan daerah terdiri dari
(Rizkiano,2011) : 1)
Bagian sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu
2)
Bagian Pendapatan Asli Daerah (PAD)
3)
Bagian pendapatan yang berasal dari pemberian Pemerintah dan atau Instansi yang lebih tinggi, dan
4)
Bagian pinjaman pemerintah daerah
e.
Belanja Daerah Belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah yang menjadi beban
daerah dalam satu periode anggaran. Permendagri nomor 13 tahun 2006 sebagaimana diubah dengan permendagri nomor 59 tahun 2007 Pasal 36
23
menjelaskan bahwa belanja menurut kelompok belanja terdiri atas belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tak langsung meliputi bagian belanja yang dianggarkan tidak terkait langsung dengan pelaksanaan program yang terdiri dari belanja pegawai berupa gaji dan tunjangan yang telah ditetapkan undang-undang, belanja bunga, belanja
hibah,
belanja
bantuan
sosial,
belanja
bagi
hasil
kepada
provinsi/kabupaten/kota dan pemerintah desa, belanja bantuan keuangan, dan balanja tak terduga. Sedangkan belanja langsung meliputi belanja yang dianggarkan terkait langsung dengan pelaksanaan program yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal untuk melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah yang telah dianggarkan oleh pemerintah daerah. Dalam PP No.24 tahun 2005 menyebutkan bahwa belanja tak langsung dan belanja langsung dibagi kembali ke dalam pengklasifikasian ekonomi. Klasifikasi ekonomi yaitu pengelompokan belanja berdasarkan jenis belanja untuk melaksanakan suatu aktivitas yang dikelompokkan menjadi belanja operasi, belanja modal, dan belanja lain-lain/tak terduga. Belanja operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah pusat/daerah yang memberi manfaat jangka pendek. Belanja operasi meliputi belanja pegawai, belanja barang non investasi, pembayaran bunga utang, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja operasional lainnya. Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang
24
memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal terdiri dari belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan mesin, jalan, irigasi, dan jaringan, aset tetap lainnya, dan aset tak berwujud. Sedangkan belanja tak terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah daerah. Prihatningsih (2010), mengemukakan bahwa belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan propinsi/kabupaten/kota yang terdiri atas urusan wajib, urusan pilihan, dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Dalam penyelenggaraan belanja, urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kuaitas kehidupan masyarakat sebagai upaya pemenuhan kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat tersebut diwujudkan melalui prestasi kinerja dalam pencapaian standar minimal sesuai peraturan perundang-undangan.
25
f.
Sumber Pendapatan Daerah Sejalan dengan pemberian kewenangan kepada daerah termasuk sumber
keuangan didalamnya, maka bunyi pasal 79 UU No. 22 tahun 1999 dijelaskan bahwa sumber-sumber pendapatan daerah terdiri atas : 1) Pendapatan Asli Daerah, 2) Dana Perimbangan, 3) Pinjaman daerah, dan 4) Lain-lain pendapatan Daerah yang sah, yang dikelompokkan seperti pada tabel 2.1 dibawah ini : Tabel 2.1 Sumber-sumber Penerimaan Daerah setelah destralisasi fiskal No I
Kelompok Penerimaan Pendapatan Asli Daerah 1. Pajak Daerah
2. Retribusi Daerah
Dasar Hukum
Rincian Penerimaan
UU 18/1997 Jo.UU 34/2000
1. Pajak Daerah Kab/Kota: a.Hotel (10%) b.Restoran (10%) c.Hiburan (35%) d.Reklame (25%) e.Penerangan Jalan (10%) f. Pengambilan Bahan Golongan C (20%) g.Parkir (20%) 2. Pajak Daerah Provinsi : a.Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air (5%) b.Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (10%) c.Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (5%) d.Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (20%). 1. Jasa Umum a.Pelayanan Kesehatan b.Pelayanan Persampahan c.Pelayanan KTP
26
Lanjutan Tabel 2.1 2. Jasa Usaha a.Penyewaan Aset Daerah b. Penyediaan Tempat Penginapan c. Usaha Bengkel Kendaraan d. Tempat Pencucian Mobil e. Penjualan Bibit 3. Perizinan Tertentu a.Izin Mendirikan Bangunan b. Izin Peruntukan Penggunaan Tanah 3. BUMD
Penerimaan Dari BUMD : a. Pengelolaan Laba Usaha b. Penjualan Aset BUMD c. Deviden d. Penjualan saham PAD Lainnya a. Penjualan Aset Daerah b. Jasa Giro
4. Lain-lain PAD
II
Dana Perimbangan 1. Bagi Hasil
2. Dana Alokasi Umum
UU 25/1999
Bagian daerah dari : a. PBB 90% b. BPHTB 80% c. Kehutanan 80% d. Perikanan 80% e. Pertambangan Umum 80% f. Minyak Bumi 15% g. Gas Alam 30% h. Dari Bagian Pusat : • PBB Bagian Kab/Kota 10% • BPHTB Bagian Kab/Kota 20% Alokasi untuk Daerah minimal 25% dari Penerimaan Dalam Negeri a.Kab/kota 90% b.Provinsi 10%
27
Lanjutan Tabel 2.1 3. Dana Alokasi Khusus
Alokasi untuk Daerah melihat kondisi APBN a. Kebutuhan Khusus b. Dana Reboisasi (40%)
III
Pinjaman Daerah
UU 25/1999
IV
Dana Darurat
UU 25/1999
a. Sumber Pinjaman Dalam Negeri • Pemerintah Pusat • Lembaga Keuangan Bank • Lembaga Keuangan Bukan Bank • Masyarakat b.Sumber Pinjaman Luar Negeri melalui Pemerintah Pusat • Bilateral • Multilateral Dana yang disalurkan dari APBN untuk penanggulangan bencana nasional
V
Dana Sektoral Pusat (DIP), UU APBN Daftar Isian Proyek (DIP) Dana ini diklasifikasikan a. Dana Dekonsentrasi sebagai in-kind allocation b. Dana Tugas Pembantuan Karena walaupun dananya mengalir ke daerah namun tidak termasuk ke dalam APBD Sumber : Departemen Keuangan 2004 (Hermawan, 2007) g.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh dari sumber-
sumber pendapatan daerah yang dikelola sendiri oleh pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sumber-sumber PAD sendiri dapat dilihat pada tabel 2.1. Sedangkan menurut Rusyidi dalam Pratiwi (2013) Pendapatan asli daerah adalah penerimaan daerah dari berbagai usaha pemerintah daerah untuk
28
mengumpulkan dana guna keperluan daerah yang bersangkutan dalam membiayai kegiatan rutin maupun pembangunannya, yang terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha milik daerah, dan lain-lain penerimaan asli daerah yang sah. PAD diharapkan menjadi salah satu sumber APBD yang paling dominan karena kemampuan suatu daerah dalam membiayai urusan rumah tangganya dapat dilihat dari besar kecilnya PAD tersebut. Tanpa tersediannya sumber keuangan ini, maka akan kesulitan bagi daerah dalam upaya melaksanakan pelayanan dan pembangunan bagi masyarakat secara efektif dan efisien (Kaho dalam Sukadana,2010). Menurut Halim dalam Sukadana (2010) potensi PAD masing-masing daerah adalah berbeda sehingga memengaruhi kemandirian keuangan daerah. Beberapa variabel yang dapat memengaruhi potensi sumber-sumber PAD sebagai tolok ukur kemandirian daerah adalah sebagai berikut : 1)
Kondisi awal suatu daerah (keadaan ekonomi dan sosial suatu daerah) Struktur ekonomi dan sosial suatu masyarakat menentukan tinggi rendahnya tuntutan akan adanya pelayanan publik sehingga menentukan besar kecilnya keinginan pemerintah daerah untuk menetapkan pungutan untuk meningkatkan kemandirian keuangan daerahnya. Tuntutan akan adanya pelayanan publik yang ada di masyarakat industri dan atau jasa adalah lebih besar daripada tuntutan pada masyarakat agraris (berbasis pertanian).
29
2)
Perkembangan PDRB perkapita riil Semakin tinggi PDRB perkapita riil suatu daerah, semakin besar pula kemampuan masyarakat daerah tersebut untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan pemerintahannya. Dengan kata lain, semakin tinggi PDRB per kapita riil suatu daerah, semakin besar pula potensi sumber penerimaam daerah tersebut, sehingga daerah dapat lebih mandiri.
3)
Pertumbuhan penduduk Besarnya pendapatan dapat dipengaruhi oleh jumlah penduduk. Jika jumlah penduduk meningkat maka pendapatan yang dapat ditarik akan meningkat dan kemandirian daerah juga dapat ditingkatkan.
4)
Tingkat Inflasi Inflasi akan
meningkatkan penerimaan PAD yang penetapannya
didasarkan pada omzet penjualan, misalnya pajak hotel dan restoran. 5)
Perubahan Peraturan Adanya peraturan-peraturan baru, khususnya yang berhubungan dengan pajak dan atau retribusi, dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah membuka peluang yang lebih luas untuk meningkatkan PAD.
6)
Peningkatan cakupan atau ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan PAD. Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam usaha peningkatan cakupan ini, yaitu a) menambah objek dan subjek pajak dan
30
atau retribusi; b) meningkatkan besarnya penetapan; c) mengurangi tunggakan. 7)
Penyesuaian tarif Peningkatan pendapatan sangat tergantung pada kebijakan penyesuaian tarif. Untuk pajak atau retribusi yang tarifnya ditentukan secara tetap (flat) maka dalam penyesuaian tarif perlu mempertimbangkan laju inflasi. Kegagalan menyesuaikan tarif dengan laju inflasi akan menghambat peningkatan PAD. Dalam rangka penyesuaian tarif retribusi daerah, selain harus memperhatikan laju inflasi, perlu juga ditinjau hubungan antara biaya pelayanan jasa dengan penerimaan PAD.
8)
Pembangunan Baru Penambahan PAD juga dapat diperoleh bila ditopang oleh pembangunan sarana dan prasarana baru, seperti pembangunan pasar, pembangunan terminal, pembangunan jasa pengumpulan sampah, dan lain-lain.
9)
Sumber Pendapatan Baru Adanya kegiatan usaha baru dapat mengakibatkan bertambahnya sumber pendapatan pajak atau retribusi yang sudah ada. Misalnya usaha persewaan laser disc, usaha persewaan komputer/internet dan lain-lain.
h.
Dana Perimbangan Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan ini bertujuan untuk mengurangi
31
kesenjangan fiskal, dan menciptakan keseimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah dan antara pemerintah daerah. Dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pada dasarnya, dana perimbangan atau transfer pusat ini dapat dibedakan atas bagi hasil pendapatan (revenue sharing) dan bantuan (grants), adalah sebagai berikut : 1.
Pemerataan vertikal transfer (vertical equalization transfer) bertujuan untuk mengoreksi kesenjangan pendapatan yang diperoleh setiap tingkat pemerintahan.
2.
Pemerataan horisontal transfer (horizontal equalization transfer) bertujuan untuk menutup celah fiskal yang dimilik setiap daerah.
3.
Mengatasi
persoalan
efek
pelayanan
publik
(Correcting
spatial
externalities) bertujuan untuk mengatasi efek pelayanan publik yang pemanfaatannya tidak bisa dibatasi hanya untuk masyarakat tertentu, misalnya perguruan tinggi, pemadam kebakaran, jalan raya penghubung antar daerah, dan rumah sakit daerah. Apabila tanpa ada balas jasa pendapatan yang menguntungkan, umumnya daerah kurang tertarik di bidang pelayanan publik tersebut. Oleh karena itu pemerintah pusat perlu memberikan transfer ataupun menyerahkan sumber keuangan agar pelayanan publik demikian.
32
4.
Mengarahkan prioritas (Redirecting priorities) yang bertujuan untuk mengarahkan prioritas daerah dan pusat sesuai dengan keinginan yang diharapkan oleh masing-masing level pemerintahan.
5.
Melakukan eksperimen dengan ide-ide baru, stabilisasi dan kewajiban untuk menjaga tercapainya Standar Pelayanan Minimum (SPM) disetiap daerah. Untuk
jenis-jenis
dana
perimbangan
atau
transfer
pusat
dapat
dikelompokan menjadi dua, yaitu transfer tanpa syarat dan transfer bersyarat. (i) Transfer tanpa syarat ditujukan untuk menjamin adanya pemerataan dalam kemampuan fiskal antar daerah sehingga setiap daerah dapat melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri pada tingkat yang layak. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal yang bersifat horisontal. Ciri utama dari transfer ini adalah pemerintah daerah memiliki diskresi penuh dalam memanfaatkan dana transfer sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan atau prioritas daerah. Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan bentuk dari katagori transfer tanpa syarat. (ii) Transfer bersyarat ditujukan untuk keperluan yang dianggap penting oleh pemerintah pusat, namun kurang dianggap penting oleh pemerintah daerah. Transfer ini di kelompokkan kedalam dua jenis, yaitu transfer penyeimbang dan transfer bukan penyeimbang. Transfer penyeimbang adalah transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menutup sebagian atau seluruh kekurangan pembiayaan atas jenis urusan tertentu. Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan jenis transfer yang masuk kedalam
33
katagori transfer penyeimbang. Sedangkan transfer bukan penyeimbang adalah transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menambah
dana
penyelenggaraan
suatu
jenis
urusan
tertentu
tanpa
mempertimbangkan bahwa pemerintah daerah sendiri akan mengalokasikan dananya dengan jumlah besar atau kecil. i.
Dana Alokasi Umum (DAU) UU No. 33 tahun 2004 menjelaskan bahwa DAU adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dalam jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya adalah 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan APBN, Pendapatan Dalam Negeri Neto merupakan penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagi hasilkan kepada daerah. DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah (Tampubolon, 2011). DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Alokasi atas dasar celah fiskal merupakan kebutuhan fiskal yang dikurangi kapasitas fiskal daerah. Sedangkan Alokasi dasar merupakan perhitungan berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.
34
Panggabean dkk dalam Tampubolon (2011), berpendapat bahwa sistem hubungan keuangan pusat daerah adalah bagian dari sistem fiskal. Sebagai sebuah instrumen, sistem hubungan keuangan pusat daerah berfungsi sebagai alat untuk memberikan kepada pemerintah daerah sebagian dari penerimaan pajak nasional. Hal itu dilakukan dengan cara transfer dari anggaran pemerintah pusat ke anggaran pemerintah daerah. DAU dengan demikian merupakan bagian dari mekanisme redistribusi yang karenanya prinsip keadilan harus merupakan komponen terpenting dalam tujuan alokasi. Prinsip dasar alokasi DAU terdiri dari : 1)
Kecukupan (adequacy)
2)
Netralitas dan efisiensi (neutrality and efficiency)
3)
Akuntabilitas (accountability)
4)
Relevansi dengan tujuan (relevance)
5)
Keadilan (equity)
6)
Objektivitas dan transparansi (objectivity and transparancy)
7)
Kesederhanaan (simplicity)
3.
Flypaper Effect
a.
Pengertian Flypaper Effect Dalam Khasanah ekonomi, telaah mengenai flypaper effect
dapat
dikelompokkan menjadi 2 aliran pemikiran, yaitu birokratik (bureaucratic model) dan ilusi fiskal (fiscal illusion model). Model birokratik menelaah flypaper effect dari sudut pandang birokrat, sedangkan model ilusi fiskal mendasarkan kajiannya
35
dari sudut pandang masyarakat yang mengalami keterbatasan informasi terhadap anggaran pemerintahan daerahnya. Aliran pemikiran birokratik diawali oleh Niskanen (1968). Dalam pandangannya, posisi birokrat lebih kuat dalam pengambilan
keputusan
publik.
Ia
mengasumsikan
birokrat
berperilaku
memaksimisasi anggaran sebagai proksi kekuasaannya. Secara implisit model birokratik menegaskan flypaper effect sebagai akibat dari perilaku birokrat yang lebih leluasa membelanjakan transfer daripada menaikkan pajak sebagai salah satu Pendapatan Asli Daerah. McGuire (1973) mengistilahkan hal ini sebagai ketamakan politisi (a greedy politicians model). Dengan demikian, flypaper effect terjadi karena superioritas pengetahuan birokrat mengenai transfer. Informasi lebih yang dimiliki birokrat memungkinkannya memberikan pengeluaran yang berlebih (Siagian, 2009). Kurnia (2013), menjelaskan tentang Istilah Flypaper Effect muncul karena adanya penyimpangan dalam teori bantuan pemerintah tak bersyarat bahwa transfer pemerintah pusat memang meningkatkan pengeluaran konsumsi barang publik, tetapi ternyata tidak menjadi substitut bagi pajak daerah. Fenomena tersebut yang kemudian dalam banyak literatur disebut dengan Flypaper Effect. Sedangkan istilah Flypaper Effect sendiri timbul dari pemikiran Okun (1930) pada Kusumadewi dan Rahman (2007) yang menyatakan “money sticks where it hits”. Sejauh ini, belum ada padanan kata “Flypaper Effect” dalam bahasa Indonesia sehingga kata ini dituliskan sebagaimana adanya tanpa diterjemahkan. Oates (1999) menyatakan ketika respon Pemerintah Daerah lebih besar untuk transfer
36
dibanding Pendapatan Asli Daerah (PAD) daerahnya sendiri maka disebut dengan Flypaper Effect. Sedangkan Sudrajat dalam Tampubolon (2011), menyatakan bahwa Flypaper Effect merupakan suatu kondisi pada saat pemerintah daerah merespon berbeda (lebih boros) dalam menentukan belanja daerah dengan mendasarkan pada transfer dari pemerintah pusat dibandingkan dengan pendapatan asli daerahnya. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah daerah menunggu alokasi DAU yang diperolehnya sebelum menentukan berapa besar belanja yang akan dihabiskannya, sehingga belanja periode mendatang cenderung lebih besar jumlahnya. Implikasi yang penting dari Flypaper Effect ini adalah Pemerintah daerah memperlihatkan perilaku yang tidak seperti biasanya, sehingga adanya cenderung melakukan manipulasi pengeluaran pemerintah setinggi mungkin dengan tidak mengupayakan maksimalisasi PAD agar nantinya dapat dapat memperoleh bantuan berupa transfer dari pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah merasa lebih mudah untuk memaksimalkan belanja daerah daripada menempuh cara untuk memaksimalkan PAD, seharusnya pemerintah daerah mulai untuk mengupayakan dan mencari cara memaksimalkan potensi daerahnya yang akan berdampak pada meningkatnya PAD. Cara ini harus dilakukan karena tidak mungkin selamanya pemerintah daerah akan selalu bergantung pada transfer pemerintah pusat (Afrizawati,2012).
37
B.
Kajian Riset Terdahulu Keseragaman pemilihan riset terdahulu menimbulkan persamaan dan
perbedaan dari penelitian yang akan dilakukan. Persamaan dengan penelitian sebelumnya terletak pada penggunaan variabel dependen yaitu belanja daerah sebagai variabel terikat dan penggunaan variable independen yaitu DAU dan PAD sebagai variable bebas. Untuk perbedaannya terletak pada daerah yang menjadi objek penelitian dan runtun waktu yang diteliti, dimana penelitian yang akan dilakukan berfokus pada Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten dengan runtun waktu tahun 2010 hingga 2014. Sedangkan riset-riset terdahulu seperti Pramela Augustina Siagian yang melakukan penelitian pada Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara dengan runtun waktu tahun 2004 hingga 2006, Leonard P Tampubolon
yang
melakukan
penelitian
pada
Pemerintahan
daerah
Kabupaten/Kota di Provinsi Riau dengan runtun waktu tahun 2007 hingga 2010, dan Marissa Ayu Saputri yang melakukan penelitian pada Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dengan runtun waktu tahun 2011 hingga 2012. Dari hasil riset ketiga peneliti tersebut, secara garis besar alat analisis yang digunakan adalah rasio keuangan daerah meliputi realisasi DAU, PAD dan belanja daerah untuk mengukur terjadinya fenomena flypaper effect pada objek penelitian yang diteliti. Adapun penelitian dalam cakupan wilayah yang lebih luas lagi, dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut :
38
Tabel 2.2 Riset Terdahulu No
Peneliti (Tahun)
Judul Riset
Variabel
Hasil Riset Secara parsial, PAD maupun DAU berpengaruh signifikan positif terhadap belanja daerah. Hasil uji t menunjukkan PAD mempunyai koefisien regresi 0,180 dan nilai sig 0,001. Hasil uji t menunjukkan DAU mempunyai koefisien regresi 0,837 dan sig 0,000. Uji F menunjukkan bahwa kedua variable independen yaitu PAD dan DAU secara simultan berpengaruh signifikan terhadap belanja daerah dengan nilai sig 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi Flypaper Effec, sesuai dengan syarat bahwa nilai koefisien DAU lebih besar dari nilai koefisien PAD dan keduanya signifikan. Kapasitas fiskal mempunyai pengruh yang lebih signifikan terhadap belanja daerah daripada dana alokasi umum. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan
I
Pramela Augustina Siagian (2009)
Flypaper Effect pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja Daerah pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara
DAU, PAD dan Belanja Daerah
II
Leonard P Tampubolon (2011)
Fenomena Flypaper Effect pada Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota di Propinsi Riau
DAU, DBH, PAD, dan Belanja Daerah
39
III
Marissa Ayu Saputri (2014)
Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2011-2012
kabupaten/kota di propinsi Riau lebih bertumpu pada kapasitas fiskal daerah daripada bantuan dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah juga tidak bertumpu pada dana alokasi umum dalam menyusun belanja daerah periode selanjutnya. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa dana alokasi umum dan kapasitas fiskal berpengaruh secara simultan terhadap belanja daerah. DAU, PAD (1) PAD dan DAU dan secara bersama-sama Belanja memiliki pengaruh yang Daerah signifikan terhadap Belanja Daerah. (2) Variabel DAU lebih berpengaruh signifikan terhadap belanja daerah dibandingkan dengan PAD. Ini membuktikan adanya flypaper effect dalam respon Pemerintah Daerah terhadap DAU dan PAD (3) Variabel DAUt-1 lebih berpengaruh signifikan terhadap belanja daerah dibandingkan dengan PAD t-1. Ini juga membuktikan bahwa flypaper effect juga terjadi dalam respon Pemerintah Daerah terhadap DAUt-1 dan
40
IV
I Nyoman Daermayasa dan I Made Sedanayasa (2012)
V
Indhi Hastuti (2011)
PADt-1. (4) Flypaper effect terjadi pada daerah dengan PAD rendah dan daerah dengan PAD tinggi. DAU, PAD Koefisien DAU sebesar Flypaper Effect dan 0,137 dan tidak Dana Alokasi Belanja signifikan, sedangkan Umum dan Modal koefisien PAD sebesar Pendapatan Asli 0,786 dan signifikan, Daerah sehingga tidak terjadi terhadap Belanja Flypaper Effect DAU Modal dan PAD terhadap (Studi kasus pada Belanja Modal pada Kabupaten dan kabupaten/kota di Bali Kota di Bali) untuk tahun 2006 sampai dengan tahun 2010, hipotesis ditolak. Tidak terjadinya Flypaper Effect disebabkan karena dari 45 data amatan terdapat 37 data amatan dikategorikan sebagai PAD tinggi (derajat otonomi fiskal lebih dari 5 %), sedangkan 8 data amatan adalah kategori PAD rendah, sehingga alokasi Belanja Modal lebih banyak bersumber dari PAD bukan DAU. Analisis Kinerja Dana Alokasi Umum Flypaper Effect Satuan (DAU) berhubungan Dana Alokasi Kerja dalam efisien Kinerja Umum (DAU), Perangkat Satuan Kerja Perangkat Pendapatan Asli Daerah Daerah (SKPD), Daerah (PAD) (SKPD), sedangkan Pendapatan dan Kinerja DAU dan Asli Daerah (PAD) tidak Satuan Kerja PAD mempunyai hubungan Perangkat Daerah yang signifikan dalam (SKPD) (Studi efisiensi Kinerja Satuan pada Kota dan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten (SKPD), perbandingan
41
Semarang)
VI
C.
Eka Daddy Kurnia (2013)
Analisis Flypaper Effect berdasarkan pemetaan indeks kemampuan keuangan dan pertumbuhan ekonomi (studi kasus pada Kabupaten/Kota di Jawa Timur)
DAU, PAD, Belanja Daerah
antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) berhubungan dalam efisiensi Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Jika dilihat lebih lanjut tingkat ketergantungan kinerja dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lebih dominan terhadap DAU daripada PAD. Fenomena Flypaper Effect tidak terjadi pada kabupaten/kota yang berada pada kuadran ideal atau daerah dengan Indeks Kemampuan Keuangan dan pertumbuhan ekonomi yang berada di atas ratarata. Sementara Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah juga terbukti berpengaruh signifikan dan positif terhadap Belanja Daerah.
Rerangka Pemikiran Suatu penelitian akan mudah apabila berdasar pada suatu rerangka
pemikiran yang sudah tersusun dan terarah pada pemecahan masalah tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan variabel PAD dan DAU sebagai variabel independen dan belanja daerah sebagai variabel dependen.
42
Menurut Siagian (2009), Mengungkapkan bahwa Flypaper Effect tidak dapat disimbolkan dalam kerangka konseptual karena Flypaper Effect merupakan sebuah fenomena yang terjadi saat pemerintah daerah merespon (belanja) lebih banyak/boros dengan menggunakan DAU daripada menggunakan PAD. Dari fenomena Flypaper Effect, muncul kecenderungan peningkatan belanja daerah bahwa penggunaan DAU tahun sebelumnya dapat dijadikan prediksi belanja daerah periode berikutnya. Kecenderungan peningkatan belanja daerah ini juga tidak disimbolkan dalam kerangka konseptual. Berdasarkan uraian diatas, maka disusun rerangka pemikiran pada gambar 2.1 sebagai berikut :
GAMBAR 2.1 RERANGKA PEMIKIRAN ANALISIS PENGARUH DANA ALOKASI UMUM (DAU) YANG BERLEBIH DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP BELANJA DAERAH (FLYPAPER EFFECT) PADA PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA PROVINSI BANTEN PERIODE 2010 – 2014
43
D.
Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan gambaran sementara terhadap rumusan masalah
penelitian karena jawaban yang diberikan masih berdasarkan teori yang relevan, belum berdasarkan fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah Syukriy & Halim (2003) menyatakan bahwa studi tentang pengaruh
pendapatan daerah (local own source revenue) terhadap pengeluaran daerah sudah banyak dilakukan (misalnya Aziz et al, 2000; Blackley, 1986, Joulfaian & Mokeejee, 1990; Legerenzi & Milas, 2001; von Furstenberg et al, 1986). Hipotesis yang menyatakan bahwa pendapatan daerah (terutama pajak) akan mempengaruhi anggaran belanja pemerintah daerah dikenal dengan nama taxspend hypnothesis (Aziz et al, 2000; Doi, 1998; von Furstenberg et al, 1986). Dalam hal ini, pengeluaran pemerintah daerah akan disesuaikan dengan perubahan dalam penerimaan pemerintah daerah atau perubahan pendapatan terjadi sebelum perubahan pengeluaran. Melihat beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa PAD merupakan sumber pendapatan yang sangat penting bagi sebuah daerah dalam memenuhi belanjanya dan menjadi tolak ukur tingkat kemandirian dalam suatu
44
daerah. Berdasarkan konsep dan temuan-temuan diatas, maka hipotesis untuk melihat pengaruh PAD terhadap Belanja daerah, dapat dinyatakan sebagai berikut: H1: PAD berpengaruh signifikan terhadap Belanja daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten. 2.
Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja Daerah DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah yang
dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah (Tampubolon, 2011). Syukriy & Halim (2003) menyatakan bahwa dalam literatur ekonomi dan keuangan daerah, hubungan pendapatan dan belanja daerah didiskusikan secara luas sejak akhir dekade 1950-an dan berbagai hipotesis tentang hubungan tersebut diuji secara empiris (Chang & Ho,2002). Sebagian studi menyatakan bahwa pendapatan mempengaruhi belanja, sementara sebagian lainnya menyatakan bahwa belanjalah yang mempengaruhi pendapatan (Aziz, 2000; Doi, 1998). Holtz-Eakin et al (1985) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat antara transfer dari Pempus dengan belanja pemerintah daerah. Studi Legrenzi & Milas (2001), menggunakan sampel municipalities di italia, menemukan bukti empiris bahwa dalam jangka panjang transfer berpengaruh terhadap belanja daerah. Secara spesifik mereka mereka menegaskan bahwa variabel-variabel
45
kebijakan Pemda dalam jangka pendek disesuaikan (Adjusted) dengan transfer yang diterima, sehingga memungkinka terjadinya respon yang non-liniear dan asymmetric (Syukriy & Halim, 2003). Berdasarkan konsep dan temuan-temuan diatas, maka hipotesis untuk melihat pengaruh DAU terhadap Belanja daerah, dapat dinyatakan sebagai berikut: H2 : DAU berpengaruh signifikan terhadap Belanja daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten. 3.
Flypaper Effect Hastuti (2011) mengemukakan bahwa fenomena flypaper effect membawa
implikasi lebih luas bahwa transfer akan meningkatkan belanja pemerintah daerah yang lebih besar daripada penerimaan transfer itu sendiri (Turnbull, 1998). Fenomena flypaper effect ini dapat terjadi dalam dua versi (Gorodnichenko, 2001). Pertama, merujuk pada peningkatan pajak daerah dan anggaran belanja pemerintah yang berlebihan. Kedua, mengarah pada elastisitas pengeluaran terhadap transfer yang lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap penerimaan pajak daerah. Syukriy & Halim (2003) menyatakan bahwa beberapa studi empiris menunjukkan behwa perbedaan stimulus antara grants dan pendapatan sendiri memang terjadi (Andersson, 2002; Aaberge & Langorgen, 1997; Deller et al,2002; dan Slack, 1980). Slack (1980) melakukan studi analisis dan empirik
46
dengan sampel municipalities di Kanada dan menyatakan bahwa unconditional grants kepada municipalities diiringi dengan kenaikan dalam pengeluaran municipalities (tapi dengan jumlah yang lebih kecil dari grants). Menurut Andersson, efek dari non-matching grants lebih besar dari matching grants dan efek ini tergantung pada penurunan relatif atas non matching grants untuk beberapa periode. Hasil ini mendukung hipotesis flypaper effect. Studi Aaberge & Langorgen (1997) menganalisis prilaku fiskal dan Belanja Pemda dengan simultaneous setting dan menemukan adanya flypaper effect dalam respon daerah terhadap perubahan pendapatan (Syukriy & Halim, 2003).
Maka,
hipotesis
untuk
menguji
adanya
Flypaper
effect
pada
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten adalah : H3 : Pengaruh DAU terhadap Belanja daerah lebih besar daripada pengaruh PAD terhadap Belanja daerah.