BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN A. Pengertian dan Definisi Pajak Pajak merupakan sarana yang digunakan pemerintah untuk mendapatkan dana dari rakyat. Hasil penerimaan tersebut akan digunakan dalam
rangka
pembangunan
Negara
ataupun
lainnya.
Negara
membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan tersebut yang berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan. Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah : 1. Menurut Andriani, Pajak adalah iuran kepada Negara yang dipaksakan yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan paraturan yang tidak dapat mendapatkan prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakannya adalah untuk biayai pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas Negara dan untuk menyelenggarakan pemerintah. 2. Menurut SI.Djajadiningrat yang dikutip dalam munawir, Pajak sebagai kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan kepada Negara disebabkan sesuatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman menurut peratuaran yang ditetapkan oleh pemerintah serta dapat dipaksakan, tanpa ada jasa timbal balik dari Negara secara langsung, untuk memelihara kepentingan umum.
6
3. Menurut Leroy Beaulieu, pajak adalah bantuan baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah. 4. Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada
kas
negara
berdasarkan
undang-undang
(yang
dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat balas jasa timbal yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut : pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment. B. Teori Perilaku Wajib Pajak Ada benturan kepentingan antara wajib pajak dengan fiskus mengenai besarnya pajak. Wajib pajak berkepentingan terhadap besarnya pajak yang pantas. Fiskus berkepentingan terhadap terhimpunnya dana dari sektor perpajakan sebesar mungkin. Pajak yang pantas adalah besarnya pajak yang secara yuridis tidak melanggar undang-undang perpajakan yang berlaku dan secara ekonomis tidak memberatkan keuangan perusahaan. Upaya yang dilakukan oleh wajib pajak untuk mendapatkan besarnya pajak yang pantas adalah dengan melakukan perencanaan perpajakan.
7
Perencanaan perpajakan dilakukan dengan memanfaatkan celah-celah dalam peraturan perpajakan yang dapat menghindarkan atau setidaknya menunda pembayaran pajak (Davidson, 1983:206). Filosofi perencanaan pajak yang populer adalah the last and the least (Sophar Lumbantoruan, 1990:219). Kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak yang patuh sangat erat terkait dengan persepsi masyarakat tentang pajak. Persepsi sangat berpengaruh terhadap motivasi wajib pajak dalam membayar pajak. Motivasi pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Perilaku patuh wajib pajak sangat dipengaruhi oleh variabel perilaku individu dan lingkungan (James L. Gibson, 1991:24). Banyak warga masyarakat yang masih beranggapan bahwa pajak merupakan pungutan bersifat paksaan yang merupakan hak istimewa pemerintah dengan tidak memberikan kontraprestasi langsung kepada pembayar pajak (Rimsky K. Judissono, 1997:12). Persepsi keliru tentang perpajakan diperkuat dengan dianutnya sistem pemungutan pajak secara official assessment. Dengan sistem ini, wajib pajak ditempatkan sebagai subyek
pasif
perpajakan.
Kondisi
ini
tidak
mendukung
upaya
menumbuh kembangkan kesadaran masyarakat untuk menjadi wajib pajak yang patuh membayar pajak, bahkan ada kecenderungan untuk berusaha menghindari dari kewajiban pajak.
8
C. Fungsi Pajak Fungsi pajak pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua fungsi, yaitu fungsi budgetair dan fungsi regulerend. Dari pelaksanaan upeti pada zaman kerajaan, menunjukkan dengan jelas bahwa sejak dahulu kala negara telah mengandalkan pemasukan dana yang dipungut dari anggota masyarakat untuk menutup berbagai keperluan negara yang lebih dikenal sebagai fungsi budgetair. Sedang fungsi regulerend adalah fungsi perpajakan untuk mengatur tercapainya keseimbangan perekonomian politik suatu negara. Dengan semakin besarnya peran pajak dalam pembiayaan
keperluan negara, menempatkan wajib pajak pada posisi
tawar menawar (bargaining position) yang kuat. Semakin besar kontribusi masyarakat dalam membiayai pengeluaran negara, semakin tinggi pula hak control masyarakat terhadap kebijaksanaan pembangunan untuk mensejahterakan masyarakat.. D. Asas-asas Perpajakan Asas-asas yang digunakan sebagai pertimbangan pemungutan pajak yang adil dan ssah menurut Adam Smith adalah dikenal dengan The Four Maxims, yang terdiri dari equality, certainty, convience of payment dan effeciency. 1. Asas Equality : setiap subyek pajak yang mempunyai kondisi yang sama harus dikenai pajak yang sama pula. Implikasi praktis dalam pemungutan pajak, tidak adanya diskriminasi diantara sesama wajib pajak.
9
2. Asas Certainty : adalah asas yang menjamin kepastian setiap subyek pajak dari keraguan dalam menjalankan kewajiban perpajakannya, karena segaala sesuatunya telah jelas adanya. Implikaasi praktis dalam pemungutan pajak adalah terciptanya piranti peraturan pajak yang menjamin kepastian hukum bagi pembayar pajak. Perpajakan harus menunjukkan dengan jelas hak dan kewajiban wajib pajak. 3. Asas Convience of payment, adalah asas yang menekankan saat dan waktu yang tepat bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Implikasi praktis dalam pemungutan perpajakan adalah bahwa saat yang tepat bagi wajib pajak untuk membayar atau dipotong pajaknya adalah ketika persyaratan subyektif dan obyektif sebagai wajib pajak terpenuhi. Wajib pajak adalah orang yang telah mempunyai kewajiban secara subyektif maupun obyektif. 4. Asas Efficiency, adalah asas yang menjamin bahwa pengorbanan (biaya) yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan pemungutan pajak tidak boleh lebih besar dari jumlah pajak yang dipungut. Implikasi praktisnya adalah adanya daya guna dan hasil guna aparatur perpajakan dalam menghitung dan dari sektor perpajakan. E. Fungsi Perencanaan Perpajakan Fungsi perencanaan pajak adalah tahap awal dalam strategi penghematan pajak. Perencanaan pajak merupakan tindakan legal untuk memperoleh penghematan pajak. Upaya yang dilakukan dalam hal ini adalah memanfaatkan hal-hal yang tidak diatur dalam peraturan
10
perpajakan. Pada tahap perencanaan dialukan estimasi jumlah pajak yang akan dibayar, penelitian, dan pengumpulan hal-hal yang dapat dilakukan untuk menghindari pajak. Perencanaan perpajakan dapat dilakukan dengan cara: memanfaatkan pengecualian, potongan, atau pengurangan yang diperkenankan; membayar PKP, dan pemilihan bentuk usaha yang tepat. F. Fungsi Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan (Tax Execution) Fungsi
pelaksanaan
kewajiban
perpajakan,
adalah
hasil
perencanaan perpajakan sebaik mungkin. Jika dalam tahap perencanaan telah diketahui jenis dan cara secara material adalah membayar jumlah pajak yang terhutang sesuai dengan peraturan yang berlaku. G. Fungsi Pengendalian Pajak Fungsi pengendalian pajak adalah tahap untuk memastikan bahwa pelaksanaan kewajiban perpajakan telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku, serta memastikan apakah pelaksanaan kewajiban perpajakan telah sesuai dengan perencanaan perpajakan, yakni mengurangi aliran kas keluar dan mengatur aliran kas keluar yang paling ekonomis, contoh menangguhkan atau menunda memasukkan SPT sampai batas akhir masa pajak, adalah upaya yang dilakukan untuk mengukur aliran kas keluar.
11
H. Teori Motivasi Wajib Pajak 1. Teori Pengharapan (Expectancy Theory) – VROOM Vroom menyatakan bahwa dorongan atau kekuatan saja tidaklah cukup untuk mendorong seseorang melakukan suatu tindakan. Keyakinan bahwa usaha yang dilakukan seseorang akan menghasilkan prestasi yang diharapkan, justru merupakan faktor yang berpengaruh terhadap
perilaku
seseorang.
Semakin
besar
sebuah
prestasi
memberikan hasil yang diharapkan, semakin besar pula kemungkinan seseorang mencoba berperilaku untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi. Ada dua jenis penghargaan dalam teori ini, yakni effort performance expectancy dan performance outcome expectation. Effort performance expectancy adalah persepsi seseorang terhadap usaha untuk
mencapai
prestasi
tertentu
berikut
kemungkinan
konsekuensinya. Performance outcome expectation adalah persepsi seseorang
bahwa
setiap
prestasi
akan
dihubungkan
dengan
konsekuensi tertentu baik positif maupun negatif (imbalan dan hukuman). 2. Teori Keadilan (Equity Theory) – ADAMS Adams, yang bekerja sebagai peneliti di bidang psikologi bekerjasama dengan General electric Co di Continville, New York mengembangkan dan melakukan pengujian terhadap equity theory. Equity theory menyatakan bahwa pada dasarnya seseorang akan melaukan perhitungan upaya dan penghargaan (effort and reward)
12
yang diperoleh, selanjutnya pada saat yang sama membandingkannya dengan apa yang terjadi pada orang lain. Teori ini mengnggap bahwa motivasi seseorang dalam melakukan aktivitas didorong oleh perlakukan yang adil dibandingkan dengan yang diperoleh orang lain. 3. Teori Penetapan Tujuan (Goal Setting) – E. A LOCKE A Locke mengatakan bahwa perilaku seseorang sangat ditentukan oleh tujuan yang dikehendaki (concious goal) dan keinginankeinginan. Pemahaman seseorang terhadap tujuan yang dikehendaki sangat penting pada goal setting theory. Tujuan yang dikehendaki (concious goals) disimbolkan dalam beberapa atribut antara lain: goal specifity, goal difficulty, dan goal intensity. Goal specifity adalah ukuran kuantitatif tujuan, goal difficulty adalah tingkat kesulitan pencapaian tujuan, sedang goal intensity adalah proses penetapan tujuan. I. Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Perspektif Teori Motivasi Dan Peraturan Perpajakan Persepsi Tentang Besarnya Pajak Ada perbedaan persepsi antara fiskus dan wajib pajak terhadap besarnya pajak. Fiskus berkepentingan terhadap terhimpunnya pajak secara maksimal. Wajib pajak berkepentingan terhadap besarnya pajak yang harus dibayar seminimal mungkin.
13
Upaya memaksimalkan terhimpunnya pajak dialkukan dengan cara intensifikasi dan ekstensifikaasi di bidang perpajakan. Intensifikasi adalah upaya meningkatkan terhimpunnya pajak pada subyek maupun obyek pajak yang telah ada. Intensifikasi tercapai jika terjadi peningkatan jumlah rupiah dari sektor perpajakan tanpa harus memperluas jumlah wajib pajak. Ekstensifikasi adalah upaya meningkatkan terhimpunnya pajak dengan memperluas subyek pajak maupun obyek pajak. Ekstensifikasi tercapai jika peningkatan jumlah rupiah dana yang terhimpun diikuti oleh bertambahnya wajib pajak yang dapat terjaring. J. Kepatuhan Wajib Pajak Dan Teori Motivasi Kepatuhan adalah perilaku untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan aktivitas tertentu sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku. Kepatuhan wajib pajak adalah perilaku wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.Perilaku individu atau kelompok sangat dipengaruhi oleh motivasi. Motivasi adalah dorongan yang dapat menimbulkan dan mengarahkan perilaku. Besarnya motivasi akan berpengaruh terhadap intensitas perilaku (termotivasi, tanpa motivasi, dan apatis) dan kesesuaian dengan tujuan perilaku (efektif, tidak efektif). Pengaruh motivasi terhadap perilaku secra teoris dapat dibahas melalui kajian struktur (content theory), dan kajian proses (process theory). Content theory menitikberatkan kepada faktor-faktor yang
14
melekat
pada
individu
yang
dapat
mempertahankan,
dan
menjelaskan
menganalisa
dan
menghentikan
menimbulkan, perilaku.
bagaimana
mengarahkan,
Process
perilaku
theory,
dimunculkan,
diarahkan, dipertahankan dan dihentikan. Dari pembahasan content theory, kepatuhan wajib pajak sangat terkait dengan kepentingan atau kebutuhan yang
harus
kebutuhan wajib pajak adalah menghitung besarnya pajak
terpenuhi, yang
pantas.
Pajak yang pantas adalah besarnya pajak yang secara yuridis tidak melanggar peraturan perpajakan dan secara ekonomis tidak memberatkan keuangan wajib pajak. Dari kepuasan process theory, perilaku patuh dalam membayar pajak dapat didorong dengan menciptakan peraturan yang dapat mengakomodasi dan mendinamisasi ; sanksi dan insertif (reinforcement theory), harapan (expectancy theory), rasa keadilan (equty theory), dan tujuan (goal setting theory) yang terkait dengan kebijakan perpajakan. K. Kepatuhan Wajib Pajak dan Peraturan Perpajakan Peraturan
perpajakan
dibuat
untuk
mengatur
mekanisme
pemungutan pajak yang membatasi perilaku fiskus dan wajib pajak. Wajib pajak adalah orang dan kumpulan orang-orang. Perilaku manusia baik secara individu maupun secara kelompok dalam merespon aturan tidak berjalan secara mekanistik seperti pada sebuah mesin. Peraturan perpajakan harus netral dan tidak memihak kepada fiskus maupun wajib pajak. Peraturan perpajakan harus mengakomodasi kepentingan fiskus dan
15
wajib pajak secara adil.Peraturan perpajakan yang adil atau baik harus mempertimbangkan teori, azaz, dan sistem perpajakan, yaitu kemudahan, keadilan, kepastian hukum (azaz), dan partisipasi wajib pajak (teori dan sistem), tanpa harus mengorbankan tujuan yang akan dicapai oleh fiskus. Motivasi adalah konsep yang abstrak, untuk dapat mengukur pengaruhnya terhadap perilaku dilakukan dengan menduga (infrred) dan memanipulasi gejalanya (manipulated) yang berhubungan dengan perilaku. Motivasi yang mendorong kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi intensitas wajib pajak dalam mengisi dan memasukkan Surat pemberitahuan Pajak (SPT) ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Banyaknya SPT yang dimasukkan ke KPP berpengruh terhadap besarnya nilai rupiah dana yang terhimpun dan jumlah wajib pajak yang terjaring. Dengan demikian kepatuhan wajib pajak yang dipengaruhi oleh motivaasi membayar pajak dapat diukur berdasarkan jumlah rupiah dana yang terhimpun dan jumlah wajib pajak yang terjaring dari sektor perpajakan. L. Jenis Pajak 1. Jenis Pajak Menurut Golongannya a. Pajak langsung Pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, melainkan menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan, Contoh : Pajak Penghasilan b. Pajak tak langsung
16
Pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai 2. Jenis Pajak Menurut Lembaga Pemungutnya a. Pajak Pusat (Negara) Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai kepentingan Negara, Contoh : 1) Pajak Penghasilan 2) Pajak Pertambahan Nilai 3) Cukai 4) Bea Materai 5) Bea Masuk b. Pajak Daerah Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah. Pajak daerah diatur sesuai UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi. Pajak daerah dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1) Pajak Propinsi terdiri atas : a) Pajak Kendaraan Bermotor b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor d) Pajak Air Permukaan e) Pajak Rokok 2) Pajak Kabupaten/ Kota terdiri atas :
17
a) Pajak Hotel b) Pajak Parkir c) Pajak Hiburan d) Pajak Reklame e) Pajak Penerangan f) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan g) Pajak Parkir h) Pajak Air Tanah i) Pajak Sarang Burung Walet j) Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, dan k) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Penerimaan pajak propinsi sebagian besar diperuntukan untuk
daerah
Kabupaten/Kota
di
wilayah
propinsi
yang
bersangkutan. Bagian daerah Kabupaten/Kota ditetapkan dengan perda propinsi dengan memperhatikan aspek pemerataan dan potensi antar daerah Kabupaten/Kota. Perbedaan antara pajak propinsi dengan pajak Kabupaten/Kota terletak pada kewenangan dan objeknya. Pada pajak propinsi kewenangan memungut terletak pada Pemerintah Propinsi, sedangkan pada pajak Kabupaten/Kota kewenangan memungut berada pada Pemerintah Kabupaten/Kota.
18
M. Syarat Pemungutan Pajak Berdasarkan asas pemungutan pajak dan untuk menghindari perlawanan pajak maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat- syarat dibawah ini: 1. Pemungutan pajak harus adil. 2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang. 3. Pemungutan pajak tidak mengganggu sistem perekonomian. 4. Pemungutan pajak harus efisien. 5. Pemungutan pajak harus sederhana. N. Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pada tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi Undang-undang, sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000. Pengesahan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) ini sangat strategis dan mendasar di bidang desentralisasi fiskal, karena terdapat perubahan kebijakan yang cukup fundamental dalam penataan kembali hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-undang yang baru ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010.
19
UU PDRD ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. 2. Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah. 3. Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan dalam penyusunan UU ini, yaitu: 1. Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional. 2. Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-undang (Closed-List). 3. Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam Undang-undang.
20
4. Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam undang-undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah. 5. Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara preventif dan korektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi. O. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak yang dipungut oleh Daerah atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor, sedangkan yang dimaksud dengan kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih beserta gandengannya yang disemua jenis jalan darat dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alatalat besar yang bergerak. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah yang memberikan kontribusi cukup besar bagi pembiayaan pemerintahan dan pembangunan daerah DKI Jakarta. Berdasarkan PERDA
21
PROV DKI JAKARTA NO. 8 TAHUN 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor dan PERDA DKI JAKARTA NO. 9 TAHUN 2010 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, yaitu: 1. Subyek Pajak Subyek Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan bermotor. Sedangkan Subyek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi yang dapat menerima penyerahan kendaraan bermotor. 2. Wajib Pajak Wajib Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang memiliki kendaraan bermotor. Sedangkan Wajib Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang Pribadi atau badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor. Bagi wajib pajak yang berupa suatu badan maka kewajiban perpajakannya diwakilkan oleh pengurus atau kuasa dari badan tersebut. 3. Objek Pajak Objek Pajak kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. Yang termasuk dalam pengertian kendaraan bermotor adalah kendaraan beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di semua jalan darat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 (Lima Gross Tonnage) sampai dengan GT 7 (Tujuh Gross Tonnage). Sedangkan
22
Objek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah penyerahan kendaraan bermotor. Dikecualikan : a. Kereta api b. Kendaraan bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan Negara. c. Kendaraan
bermotor
yang
dimiliki
dan/atau
dikuasai
kedutaan,konsulat,perwakilan Negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari pemerintah. d. Objek pajak lainnya ;yang ditetapkan dalam peraturan daerah. 4. Rumus Perhitungan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor a. Dasar Pengenaan Pajak Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil perkalian dari dua unsur pokok, yaitu : 1) Nilai Jual Kendaraan Bermotor (harga pasaran umum) Dalam hal Harga Pasaran Umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, Nilai Jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan dari sebagian faktor-faktor : a) Harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama.
23
b) Penggunaan Kendaraan bermotor untuk umum atau pribadi. c) Harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama. d) Harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama. e) Harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor. f) Harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis. g) Harga
Kendaraan
Bermotor
berdasarkan
dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB). 2) Bobot Kendaraan Bermotor Yang mencerminkan secara relative tingkat kerusakan jalan
dan/atau
pencemaran
lingkungan
akibat
penggunaan kendaraan bermotor yang dinyatakan dalam koefisien yang nilainya 1 (satu) atau lebih besar dari 1 (satu), dengan pengertian sebagai berikut : a) Koefisien
sama
kerusakan
jalan
lingkungan
oleh
dengan
1
(satu)
dan/atau penggunaan
berarti
pencemaran kendaraan
bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi.
24
b) Koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti penggunaan
kendaraan
bermotor
tersebut
dianggap melewati batas toleransi. Khusus untuk kendaraan bermotor yang digunakan di luar jalan umum, termasuk alat-alat berat serta kendaraan di air, dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hanya Nilai Jual Kendaraan Bermotor. b. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor Pasal 6 ayat 1 Undang-undang No. 28 Tahun 2009 yang mengatur bahwa penetapan batas bawah dan batas atas tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi. Dengan demikian, kepastian penetapan tarif tersebut diatur berdasarkan peraturan daerah pada masing-masing propinsi. Berdasarkan PERDA DKI No.8 Tahun 2010, tarif Pajak Kendaraan Bermotor sebagai berikut : 1) Kepemilikan oleh orang pribadi ditetapkan sebagai berikut : a) Untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama, sebesar 1,50 % (satu koma lima puluh persen). b) Untuk kepemilikan kendaraan bermotor kedua, sebesar 2 % (dua persen). c) Untuk kepemilikan kendaraan bermotor ketiga, sebesar 2,50 % (dua koma lima puluh persen).
25
d) Untuk kepemilikan kendaraan bermotor keempat, sebesar 4 % (empat persen). 2) Kepemilikan oleh badan tarif pajak sebesar 1,50 % (satu koma lima puluh persen). 3) Tarif Pajak untuk TNI/POLRI, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, ditetapkan sebesar 0,50 % (nol koma lima puluh persen). 4) Tarif Pajak untuk angkutan umum, ambulans, mobil jenazah dan pemadam kebakaran sebesar 0,50 % (nol koma lima puluh persen). 5) Tarif untuk sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan sebesar 0,50 % (nol koma lima puluh persen). 6) Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan sebesar 0,20 % (nol koma dua puluh persen). Berdasarkan PERDA DKI JAKARTA NO. 9 TAHUN 2010, tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sebagai berikut : 1) Untuk penyerahan kendaraan bermotor pribadi pertama ditetapkan sebesar 10 % (sepuluh persen). 2) Untuk penyerahan kendaraan bermotor umum pertama ditetapkan sebesar 10 % (sepuluh persen).
26
3) Untuk penyerahan kendaraan bermotor alat-alat berat pertama ditetapkan sebesar 3 % (tiga persen). 4) Untuk
penyerahan
kendaraan
bermotor
pribadi
selanjutnya ditetapkan sebesar 1% (satu persen). 5) Untuk
penyerahan
kendaraan
bermotor
umum
selanjutnya ditetapkan sebesar 1 % (satu persen). 6) Untuk penyerahan kendaraan bermotor alat-alat berat selanjutnya ditetapkan sebesar 0,3 % (nol koma tiga persen). 7) Untuk penyerahan kendaraan bermotor pribadi karena warisan ditetapkan sebesar 0,1 % (nol koma satu persen). 8) Untuk penyerahan kendaraan bermotor umum karena warisan ditetapkan sebesar 0,1 % (nol koma satu persen). 9) Untuk penyerahan kendaraan bermotor alat-alat berat karena warisan ditetapkan sebesar 0,03 % (nol koma nol tiga persen). Dalam melakukan pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor tiap tahunnya, selain jumlah Pajak kendaraan bermotor itu sendiri, Wajib Pajak juga perlu memperhatikan biaya-biaya lain, seperti : a. Bea Balik Nama ketika Wajib Pajak pertama kali melakukan pembelian Kendaraan Bermotor.
27
b. Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ). Pasal 4 ayat (2) huruf C Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.010/2009 tentang besar santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (Permenkeu No. 36 Tahun 2008). P. Pajak Parkir Parkir adalah menempatkan kendaraan bermotor diluar badan jalan baik yang disediakan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. Pajak Parkir adalah pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan tempat parkir diluar badan jalan oleh orang pribadi atau badan usaha. Menurut PERDA PROV DKI JAKARTA NO. 16 TAHUN 2010 Tentang Pajak Parkir yaitu : 1. Obyek Pajak Parkir Yakni penyelenggaraan tempat parkir diluar badan jalan baik yang disediakan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. Dikecualikan : a. Penyelenggaraan tempat parkir oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. b. Penyelenggaraan tempat parkir oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri.
28
c. Penyelenggaraan parkir oleh kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dan perwakilan lembaga-lembaga internasional dengan asas timbal balik. d. Penyelenggaraan tempat parkir di pemakaman, pendidikan dan tempat ibadah. 2. Subyek Pajak Parkir Orang pribadi atau badan usaha yang Melakukan parkir kendaraan bermotor ditempat parkir. 3. Wajib pajak Orang pribadi atau badan usaha yang menyelenggarakan tempat parkir. 4. Dasar Pengenaan Pajak Jumlah
pembayaran
atau
yang
seharusnya
dibayar
kepada
penyelenggara tempat parkir, termasuk potongan harga parkir dan parkir cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa. Perhitungan besarnya Dasar Pengenaan Pajak didasarkan kepada : a. Klasifikasi tempat parkir terdiri dari : 1) Gedung parkir 2) Lingkungan parkir 3) Pelataran parkir 4) Garasi yang disewakan 5) Jenis tempat parkir kendaraan lainnya b. Jenis kendaraan terdiri dari :
29
1) Kendaraan bermotor truk gandengan/trailer/kontainer 2) Kendaraan bermotor bus/truk 3) Kendaraan bermotor angkutan barang sejenis boks 4) Kendaraan bermotor roda 4 (empat) seperti sedan, minibus, pick up 5) Kendaraan bermotor roda 2 (dua) seperti sepeda motor dan sejenisnya 4. Tarif pajak Ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen) 5. Sistem Pemungutan Pajak Menurut Sumyar (2004:97) ada 3 macam system pemungutan pajak yaitu : a. Official Assessment System : adalah system pemungutan pajak yang
memberi
wewenang
kepada
pemerintah
untuk
menentukan besarnya pajak yang terhitung oleh wajib pajak. b. Self Assessment System : adalah sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terhutang. c. With Holding System : adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga atau bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan untuk menentukan besarnya pajak yang terhutang oleh wajib pajak.
30
Q. Konsep Pajak Daerah 1. Pengertian Pajak Daerah Pajak Daerah menurut Undang-undang No.28 Tahun 2009 pasal 10 tentang Pajak Daerah adalah : Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa
berdasarkan
Undang-undang,
dengan
tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi kemakmuran rakyat. Menurut Erly Suandy (2011:229), mengemukakan bahwa : pajak daerah adalah iuran yang wajib dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang
digunakan
untuk
membiayai
penyelenggaraan
pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Menurut Andriani dalam zain (2008:10), mengemukakan bahwa : pajak ialah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib pajak membayarnya menurut peraturanperaturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Roy, Herschel dan Horace dalam Zain (2008:11) mengatakan bahwa pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke
31
sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proposional agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan. 2. Tarif Pajak Daerah Dilihat dari segi Tarif Pajak Daerah yaitu salah satu unsur perhitungan pajak yang akan menentukan besarnya pajak terutang yang harus dibayar oleh wajib pajak adalah tarif pajak sehingga penentuan besarnya tarif pajak yang diberlakukan pada setiap jenis pajak daerah memegang peranan penting. Tarif pajak daerah yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang ditetapkan dengan pembatasan tarif paling tinggi, yang berbeda untuk setiap jenis pajak yaitu : a. Tarif PKB&KAA ditetapkan 5%, berdasarkan PERDA DKI JAKARTA NO. 8 TAHUN 2010 b. Tarif BBNKB&KAA ditetapkan 10%, berdasarkan PERDA DKI JAKARTA NO. 9 TAHUN 2010 c. Tarif
PBBKB
ditetapkan
5%,
berdasarkan
PERDA
DKI
JAKARTA NO.10 TAHUN 2010. d. Tarif PPABTAP ditetapkan 20%, berdasarkan PERDA DKI JAKARTA NO. 17 TAHUN 2010.
32
e. Tarif Pajak Hotel ditetapkan 10%, berdasarkan PERDA DKI JAKARTA NO. 11 TAHUN 2010. f. Tarif Pajak Parkir ditetapkan 20%, berdasarkan PERDA DKI JAKARTA NO. 16 TAHUN 2010. g. Tarif Pajak Hiburan ditetapkan 20 %, berdasarkan PERDA DKI JAKARTA NO. 13 TAHUN 2010. h. Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling 25%, berdasarkan PERDA DKI JAKARTA NO. 12 TAHUN 2010. i. Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan 3%, berdasarkan PERDA DKI JAKARTA NO. 15 TAHUN 2010. j. Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling 10%, berdasarkan PERDA DKI JAKARTA NO. 11 TAHUN 2010. k. Tarif Pajak Rokok ditetapkan 10 %, berdasarkan PERDA DKI JAKARTA NO. 2 TAHUN 2014 (115/PMK.07/2013) 3. Sumber-Sumber Pendapatan Daerah Untuk melaksanakan penyelenggarakan pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat dan untuk melaksanakan pembangunan. Pemerintah daerah sangat membutuhkan pembiayaan atau dana guna membiayai semua kegiatan daerah tersebut itu maka setiap daerah harus memiliki sumber-sumber pendapatan daerah untuk dimanfaatkan bagi pembangunan daerah. Berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 tentang PEMDA dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang
33
perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah sumbersumber pendapatan daerah terdiri dari, terdiri dari : a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari : 1) Hasil pajak daerah. 2) Hasil retribusi daerah. 3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan . b. Dana Perimbangan Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka prosentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan terdiri dari : c. Dana bagi hasil Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka pelaksanaan desentralisasi. Dana bagi hasil dari pajak terdiri dari: 1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah meliputi 16,2% untuk daerah Provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi, 64,8% untuk daerah Kabupaten/Kota yang
34
bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota, dan 9% untuk biaya pemungutan. 2) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Dana Bagi Hasil dari penerimaan BPHTP sebesar 80 % dengan rincian 16 % untuk daerah Provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi, dan 64 % untuk daerah Kabupaten dan Kota penghasil dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah
Kabupaten/Kota.
Sedangkan
20
%
bagian
Pemerintah dari penerimaan BPHTP dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh Kabupaten dan Kota.
3) Pajak Penghasilan (Pph) pasal 21, pasal 25 dan pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 merupakan bagian daerah adalah sebesar 20% yang dibagi antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dimana 60% untuk Kabupaten/Kota dan 40% untuk Provinsi. Dana bagi hasil dari bukan pajak terdiri dari : a) Kehutanan
35
Penerimaan dari sektor Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan ( IHPH ) dan ketentuan Sumber Daya Hutan ( PSDH ) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20 % untuk Pemerintah dan 60 % untuk daerah. Sedangkan penerimaan yang berasal dari Dana reboisasi dibagi dengan imbangan sebesar 60 % untuk Pemerintah dan 40 % untuk daerah. b) Pertambangan Umum Dana Bagi Hasil dari penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan
dibagi
dengan
imbangan
20%
untuk
Pemerintah dan 80% untuk daerah. c) Perikanan Dana Bagi Hasil dari penerimaan perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah dan 80% untuk seluruh Kabupaten dan Kota. d) Pertambangan Minyak Bumi Penerimaan
pertambangan
minyak
bumi
yang
dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan
36
pungutan
lainnya
dengan
imbangan
84,5%
untuk
Pemerintah dan 15,5% untuk daerah. 2) Dana Alokasi Umum (DAU) Dana alokasi Umun adalah dana yang bersumber dari APBN
yang
dialokasikan
dengan
tujuan
pemerataan
kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Menurut pasal 7 ayat 1 dan 2 UU No. 25/1999, DAU ditetapkan minimal 25% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN dimana 90% nya untuk daerah Kabupaten/Kota dan 10% nya untuk daerah propinsi. 3) Dana Alokasi Khusus (DAK) Sumber dana perimbangan yang ketiga adalah Dana Alokasi Khusus yaitu dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan
kepada
daerah
tertentu
untuk
membiayai
kebutuhan khusus dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. c. Lain – lain Pendapatan Asli Daerah yang sah Menurut pasal 3 UU No 25 Tahun 1999 yang disebut dengan
pinjaman
daerah
adalah
semua
transaksi
yang
mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka
37
pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan. Daerah dapat melakukan pinjaman yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Pinjaman jangka panjang dilakukan guna membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman tersebut, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. Sedangkan sumber pembiayaan pemerintah daerah yang berasal dari lain-lain yang sah antara lain berasal dari hibah, dan darurat serta penerimaan lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. R. Manfaat Pendapatan Daerah Manfaatnya adalah untuk melaksanakan urusan pemerintahan dalam melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar,pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum yang layak. Juga untuk melaksanakan penyelenggarakan pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat dan untuk melaksanakan pembangunan. Sehingga mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari pusat, sehingga meningkatkan otonomi dan keleluasaan daerah.
38
S. Peneliti Terdahulu Penulis membandingkan penelitian yang dilakukan dengan penelitian – penelitian terdahulu dalam hal judul penelitian, jenis penelitian, variable penelitian dan hasil penelitiannya. Untuk lebih jelasnya peneliti menyajikan dalam bentuk matrik perbandingan dibawah ini :
39