BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RERANGKA PEMIKIRAN
A. Kajian Pustaka 1.
Pengertian Pajak Pajak menurut Undang – Undang no. 6 Tahun 1983 dengan perubahan
terakhir nomor 16 tahun 2009, adalah kontribusi wajib pajak negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang – Undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar – besarnya kemakmuran rakyat. Para ahli dalam bidang perpajakan berusaha mendefinisikan pajak. Definisi pajak menurut pendapat ahli hukum pajak yaitu P.J.A. Adriani sebagaimana di kutip oleh Resmi (2013), P.J.A. Adriani mendefinisikan pajak sebagai berikut: Pajak adalah iuran rakyat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang secara langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Menurut pakar hukum pajak Indonesia, Soemitro (2004:6) menyatakan bahwa pajak adalah “peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat kontraprestasi yang secara langsung dapat ditunjukkan, dan digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan negara.”.
Menurut MJH. Smeets, dalam Sukrisno dan 6
7
Estralita (2007:3) pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma – norma umum, dan dapat dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan secara individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Definisi pajak secara formal dicantumkan dalam pasal 1 UU Nomor 28 tahun 2007 sebagai berikut: Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan bunga secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari definisi tersebut dapat diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, yaitu : 1. Pajak hanya dapat dipungut berdasarkan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya; 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah; 3. Pajak dipungut oleh negara (pemerintah pusat maupun pemerintah daerah);
2.
Fungsi Pajak dan Asas Pemungutan Pajak
2.1 Fungsi Pajak
Pajak dipergunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah dan apabila pemasukannya masih surplus dipergunakan untuk membiayai “public investment”. Menurut Mardiasmo (2006:1) Pajak mempunyai fungsi Budgetair
8
(penerimaan) dan Regulerend (pengatur). Fungsi budgetair yaitu sebagai alat untuk memasukkan dana ke kas negara. Dalam implementasi fungsi ini, pemasukan pajak saat ini merupakan sumber dana yang dominan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Fungsi regulerend yaitu
pajak sebagai alat untuk mengatur dan mengendalikan kegiatan masyarakat agar sejalan dengan rencana pemerintah. Fungsi regulerend tersebut di aplikasikan dengan cara positif yaitu dengan memberikan tax incentive, maupun dengan cara negatif yaitu dengan memberikan des incentive tax.
2.2 Asas Pemungutan Pajak
Teori yang mendasari pemungutan pajak menurut Adam Smith sebagai mana dikutip didalam buku Resmi (2013) adalah sebagai berikut :
1) Teori Asuransi, dalam perjanjian asuransi diperlukan pembayaran premi. Premi tersebut dimaksudkan sebagai pembayaran atas usaha melindungi orang dari segala kepentingannya misalnya keselamatan atau keamanan harta bendanya. Masyarakat seakan mempertanggungkan keselamatan dan keamanan jiwanya kepada negara sehingga masyarakat harus membayar premi kepada negara. 2) Teori Kepentingan, diartikan bahwa negara yang melindungi kepentingan harta dan jiwa warga negara dengan memperhatikan pembagian beban yang harus di pungut dari masyarakat. 3) Teori Gaya Pikul, pajak yang dibayar adalah menurut gaya pikul dengan ukuran besarnya penghasilan dan pengeluaran seseorang, daya pikul adalah kekuatan seseorang untuk memikul suatu beban dari apa yang tersisa, setelah
9
seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri beserta keluarganya. Kekuatan (gaya pikul) untuk membayar pajak timbul setelah terpenuhinya kebutuhan primer seseorang. Oleh karena itu seseorang yang berpenghasilan dibawah kebutuhan primer tersebut berarti gaya pikulnya tidak ada. 4) Teori Gaya Beli, diibaratkan sebagai pompa yang menyedot daya beli seseorang/anggota masyarakat, yang kemudian dikembalikan kepada rakyat melalui saluran lainnya. 5) Teori Kewajiban Pajak Mutlak (Teori Bakti), berlawanan dengan teori sebelumnya
bahwa
tidak
mengutamakan
kepentingan
negara
diatas
kepentingan warganya, teori ini mendasarkan pada paham Organische Staatsleer. Paham ini mengajarkan bahwa karena sifat suatu negara maka timbulah hak mutlak untuk memungut pajak. Orang – orang tidaklah berdiri sendiri, dengan tidak adanya persekutuan tidak akan ada individu. Oleh karena itu, persekutuan (yang menjelma menjadi negara) berhak atas satu dan yang lain. Akhirnya setiap orang menyadari bahwa menjadi suatu kewajiban mutlak untuk membuktikan tanda baktinya terhadap negara dalam bentuk pembayaran pajak.
Pemungutan pajak harus didasarkan pada rasa keadilan, dilihat dari Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 adalah hierarki yang tertinggi, dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, pokok pikiran pertama “Negara begitu bunyinya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasarkan atas
10
persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dalam pengertian ini diterima pengertian negara persatuan negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya.”, dan dalam pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 juga menegaskan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Jadi, tekanannya bukan kepastian hukum saja, tetapi kepastian hukum yang adil. Adapun ciri-ciri atau sifat adil adalah tidak memihak (impartial), sama hak (equal), bersifat hukum (legal), sah menurut hukum (law ful), layak ( fair), wajar secara moral (equitable), benar secara moral (righteous). Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa “Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran".
Menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai "Kita tidak hidup di dunia yang adil." Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas.
11
Keadilan Menurut Aristoteles di dalam Gunawan (2013;22) menyebutkan bahwa keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang.
Teori Keadilan bertugas untuk menerangkan sifat-sifat dasar dan asal mula dari keadilan. Teori Keadilan sangat penting untuk diketahui dan dipahami, sebab suatu perbuatan akan dikatakan adil kalau kita tahu tentang keadilan. Dalam pembahasan ini, tidak akan dibahas teori-teori berdasarkan kurun waktu, tetapi pembahasan ini akan mengungkapkan pendapat beberapa tokoh keadilan, yang akan kita sebut teori keadilan. Tokoh-tokoh yang pernah mengungkapkan teorinya tentang keadilan didalam Gunawan (2013;22) antara lain sebagai berikut : 1) Teori Keadilan menurut Aristoteles - Keadilan Komutatif (Comutative Justice) adalah keadilan yang berhubungan dengan persamaan yang diterima oleh setiap orang tanpa melihat jasa-jasanya. Yang ditekankan dalam keadilan ini adalah asas persamaan dari setiap orang, tanpa membedakan dan melihat tenaga yang telah dikeluarkan, kemampuan atau jasa-jasa yang telah disumbangkannya. - Keadilan Distributif yaitu keadilan yang diterima seseorang berdasarkan jasa atau kemampuan yang telah disumbangkannya, Keadilan ini menekankan pada studi keseimbangan antara bagian yang diterima seseorang dengan jasa yang telah diberikannya.
Orang yang mempunyai persamaan dalam ukuran yang
12
ditetapkan, maka kedua orang itu harus memperoleh benda yang sama. Bila kedua orang itu tidak mempunyai persamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang itu akan memperoleh bagian (benda) yang tak sama. Dengan kata lain bila kedua orang itu mempunyai persamaan haruslah diperlakukan sama, bila berbeda harus pula diperlakukan beda dalam proporsi yang sama. Agar pembagian itu merupakan keadilan, maka distribusi tersebut harus berwujud suatu perimbangan (propotion). - Keadilan Kodrat Alam (natural justice) yaitu keadilan yang bersumber pada hukum alamiah/hukum kodrat (jus Naturale). Menurut para ahli hukum Romawi, hukum alamiah ditentukan oleh akal manusia yang dapat merenungkan sifat dasarnya sebagai makhluk berakal dan bagaimana seharusnya kelakuannya yang patut diantara sesama manusia. - Keadilan Konvensional yaitu keadilan yang mengikat warga negara, karena keadilan itu didekritkan melalui suatu kekuasaan khusus. Keadilan Konvensional menekankan pada keputusan/aturan kebiasaan yang harus dilakukan warga negara yang dikeluarkan oleh suatu kekuasaan. Jadi suatu tindakan yang dilakukan warga negara dianggap adil karena memang berdasarkan suatu aturan/keputusan, kebiasaan-kebiasaan yang dianggap lazim dalam suatu wilayah kekuasaan tertentu.
13
- Keadilan Perbaikan (Remedial Justice) Keadilan Perbaikan yaitu untuk mengembalikan persamaan dengan menjatuhkan hukuman kepada pihak yang bersangkutan. Keadilan ini khusus ditujukan terhadap seseorang atau orang lain yang dirugikan atau beruntung karena dalam proses pengadilan 2) Teori Keadilan Menurut Plato Memerintah suatu negara adalah seorang yang arif dan bukannya hukum, karena hukum tidak memahami secara sempurna apa yang paling adil untuk semua orang, dan karenanya tidak dapat melaksanakan yang terbaik. Dari ungkapan tersebut, berarti seorang raja harus mempunyai jiwa filsafat, supaya mengetahui apa itu keadilan dan bagaimana keadilan itu harus dicapai oleh negara, Plato mengungkapkan dua teori keadilan, yaitu - Keadilan Moral, yaitu keadilan yang dasarnya keselarasan (harmoni). Oleh karena itu dia berpendapat bahwa keadilan itu timbul karena adanya pengaturan atau penyesuaian yang memberi tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat. - Keadilan Prosedural atau Keadilan Hukum merupakan sarana untuk melaksanakan keadilan moral yang berkedudukan lebih tinggi daripada hukum positif dan adat kebiasaan. 3) Teori Keadilan Menurut Thomas Hobbes Adalah salah seorang tokoh teori perjanjian masyarakat, oleh karena itu konsepsi mereka tentang keadilan didasarkan pada teori perjanjian masyarakat. Menurut kontruksi dia dalam perjanjian masyarakat, bahwa manusia pada
14
dasarnya jelek, suka cakar menyakar. Jadi manusia harus dikendalikan, harus ada kekuatan yang mengendalikan manusia. Menurutnya suatu tindakan dikatakan adil kalau suatu perjanjian yang telah dibuat ditaati, dan ketidakadilan adalah tidak lain daripada ketiadaan pelaksanaan (pelanggaran) dari perjanjian yang telah dibuat. Menurut Adam Smith sebagaimana dikutip oleh Rochmat Soemitro (2004), supaya peraturan pajak itu memenuhi rasa keadilan maka harus memenuhi empat syarat yaitu : 1) Equality and equity Equality atau kesamaan mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau orang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama. Equality atau kesamaan dalam sistem perpajakan lazimnya disebut non discrimination, sehingga orang asing dan warga negara berada dalam keadaan yang sama akan diperlakukan sama dan dikenakan pajak yang sama besar. Prinsip
Equity
mengharuskan
peraturan
perundang-undangan
pajak
memperhatikan rasa keadilan bagi masyarakat. Orang-orang dengan keadaan ekonomi yang sama harus dikenakan pajak yang sama bebannya, dan orangorang dengan keadaaan ekonomi yang berbeda harus dikenakan secara berbeda. Selanjutnya syarat Equity berarti pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenalkan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak
15
menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta.
2) Certainty
Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang.
3) Convenience Of Payment
Wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan misalnya saat wajib pajak memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut Pay as You Earn.
4) Economics of Collection
Biaya pemungutan diharapkan seminimum mungkin, pemungutan pajak menggunakan cara (stelsel) nyata, fiktif, dan campuran yaitu: - Stelsel Nyata (rill stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui. - Stelsel Fiktif (fictive stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat diterapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
16
- Stelsel Campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Terdapat tiga sistem pemungutan pajak yang dipergunakan dalam pemungutan pajak, yaitu: 1) Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kapada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. 2) Self Assassment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. 3) Withholding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Dalam perundang-undangan pajak, terdapat penekanan pemungutan terhadap subjek atau objek. Perbedaan penekanan ini menimbulkan adanya teori yang berasaskan tempat tinggal/ kedudukan wajib pajak yang disebut asas domisili dan teori yang menekankan pada sumber objek pajak yang diperoleh
17
yang disebut asas sumber. Dalam perundang-undangan juga terdapat penekanan pada nasionalitas/kebangsaan yang disebut asas nasionalitas/kebangsaan. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Asas Domisili Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atas seluruh penghasilan WP berdasarkan tempat tinggal WP tanpa memperhatikan apakah ia sebagai warga negaranya atau warga negara asing. 2) Asas Sumber Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang bersumber dari suatu negara. 3) Asas Kebangsaan Pengenaan pajaknya dihubungkan dengan kebangsaan/status kewarganegaraan suatu negara.
Dalam sejarah perpajakan terdapat adagium, misalnya di Negara Inggris dengan kalimat “No Taxation Without Representation” dan di Negara Amerika dengan semboyan
“Taxation Without Representation is Robbery” dan di
Indonesia bunyi pasal 23A Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sudah sangat cukup jelas mengisyaratkan hal-hal yang senada dengan itu.
Apabila ditinjau dari jenis hukum pajak yang mengatur pemungutan pajak tersebut, maka hukum pajak dibedakan menjadi dua jenis yaitu :
1) Hukum pajak materiil
18
Yaitu hukum yang mengatur tentang norma-norma tentang keadaan, perbuatan hukum yang dikenakan pajak, berapa besar pajak yang dikenakan dan norma materiil lainnya. 2) Hukum pajak formil Hukum yang mengatur tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan, misalnya tata cara pemotongan pajak, penyetoran pajak ke kas negara dan pelaporan 3.
Jenis Pajak Ditinjau dari segi jenis-jenisnya, pajak dapat dibagi menjadi berdasarkan
sifat, sasaran atau objek dan menurut pemungut pajak yaitu: 1) Menurut sifat a) Pajak langsung yaitu pajak yang pembebanannya dilimpahkan kepada pihak lain tetapi harus menjadi beban langsung Wajib pajak yang bersangkutan. b) Pajak tidak langsung
yaitu pajak
yang pembebanannya dapat
dilimpahkan ke pihak lainnya 2) Menurut sasaran / objek a) Pajak subjektif yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. b) Pajak objektif yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan/kemampuan subjek pajak.
19
3) Menurut pemungut a) Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat. b) Pajak daerah yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah.
4.
Pembukuan dan Pencatatan Pasal 1 angka 29 Undang-Undang KUP menegaskan pembukuan adalah
suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan adalah : 1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di Indonesia; 2) Wajib Pajak badan di Indonesia
Bagi wajib pajak dalam negeri orang pribadi pada dasarnya terdapat dua cara untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak, yaitu dengan menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan dengan menggunakan norma perhitungan penghasilan neto. a) Bagi wajib pajak orang pribadi apabila peredaran usaha dalam 1 (satu) tahun pajak lebih dari Rp 4.800.000.000,- maka wajib menyelenggarakan
20
pembukuan. Atau wajib pajak yang dengan kemauan sendiri melakukan pembukuan. b) Bagi wajib pajak orang pribadi yang peredaran usahanya kurang dari Rp 4.800.000.000,- dalam 1 (satu) tahun dapat menyelenggarakan pencatatan menggunakan norma perhitungan penghasilan neto. Norma Penghitungan yang masih berlaku hingga saat ini ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jendral pajak No. Kep. 536/PJ/2000 yang berisi tarif norma penghitungan untuk masing-masing jenis usaha. Penghasilan neto denga norma perhitungan diperoleh dari : Penghasilan Bruto 1 tahun x Norma Penghitungan Penghasilan Neto Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pembukuan atau pencatatan dalam Pasal 28 UU KUP : 1) Pembukuan atau pencatatan harus dilakukan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. 2) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. 3) Pembukuan diselenggarakan dengan taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas. Perubahan terhadap metode dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan dari Direktur Jendral Pajak.
21
4) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak terutang. 5) Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin dari Menteri Keuangan. Dalam hal Wajib Pajak dikecualikan dari kewajiban pembukuan dan diwajibkan melakukan pencatatan, pencatatan harus mencakup seluruh data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/ atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan Objek Pajak dan/ atau yang dikenai pajak yang bersifat final. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara aplikasi on-line wajib disimpan selama 5 tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak Badan.
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 PP No. 46 Tahun 2013 ini adalah peraturan baru yang dikeluarkan oleh
pemerintah untuk memberikan kemudahan bagi wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan yang memiliki penghasilan bruto tertentu. PP No. 46 Tahun 2013 ditetapkan pada 01 Juli 2013. Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat
22
final tersebut ditetapkan berdasakan pada pertimbangan perlunya kesederhanaan dalam pemungutan pajak, berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Tujuan pengaturan ini adalah untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha yang memiliki peredaran bruto tertentu, untuk melakukan penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang. Tabel 2.1 Perbandingan Perhitungan Pajak Sebelum dan Dengan Peraturan Pemerintah No. 46 Th. 2013 SEBELUM PP NO. 46 KETERANGAN
DENGAN PP NO. 46
Jumlah (Rp)
PENJUALAN BERSIH
Jumlah (Rp)
3.627.788.800
3.627.788.800
HARGA POKOK JASA Beban Gaji Beban ATK dan Fotocopy Beban Pembelian Tiket Beban Telepon Beban Listrik Harga Pokok Jasa
1.272.960.000 27.790.308 1.335.933.226 129.050.880 52.472.275
Laba Kotor Biaya Umum dan Administrasi Beban Kendaraan Beban Perjalanan Beban Rumah Tangga Beban Entertaint Beban Lain - Lain Beban Penyusutan
Laba Usaha
Laba Usaha Sebelum Pajak Penghasilan Taksiran Pajak Penghasilan Laba Usaha Setelah PPh
2.818.206.688
2.818.206.688
809.582.112
809.582.112
43.513.412 32.242.937 84.939.063 36.096.000 61.170.560 222.624.800
Jumlah Biaya Umum dan Administrasi Pendapatan/(Biaya) Luar Usaha Beban Diluar Usaha Pendapatan Diluar Usaha Jumlah Pendapatan/(Beban) Luar Usaha
1.272.960.000 27.790.308 1.335.933.226 129.050.880 52.472.275
43.513.412 32.242.937 84.939.063 36.096.000 61.170.560 222.624.800 480.586.772
480.586.772
328.995.339
328.995.339
(119.473.304) 24.887.565
(119.473.304) 24.887.565 (94.585.739)
(94.585.739)
234.409.600
234.409.600
29.301.200
36.277.888
205.108.400
198.131.712
23
Perhitungan dengan Pembukuan Penghasilan kena Pajak Perhitungan Pajak Penghasilan : Tarif dengan Pasal 31E 25% x 50% x
234.409.600
234.409.600 =
29.301.200
Perhitungan dengan PP no. 46 Th. 2013 Peredaran Usaha Pajak Penghasilan 1%
3.627.788.800 x
Berdasarkan
3.627.788.800 =
Tabel
Perbandingan
Perhitungan
36.277.888
Pajak
dan
Cara
Perhitungan Pajaknya, dapat dilihat bahwa perhitungan dengan menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 menjadi lebih mudah, yaitu degan cara mengalikan peredaran usaha dengan tarif 1%.
6.
Kriteria Wajib Pajak sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 Wajib pajak yang termasuk kriteria Wajib Pajak tertentu dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap dan menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
24
Wajib Pajak yang tidak termasuk adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan. Wajib Pajak Badan yang tidak termasuk adalah Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial atau Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
7.
Penelitian Terdahulu Penelitian sebelumnya terkait Perpajakan dan Keadilan Pajak
oleh
beberapa peneliti diantaranya Darmawan (2011) menyatakan bahwa keadilan pajak yang dirasakan oleh Wajib Pajak dapat menentukan tingkat kepatuhan, dimana tingkat keadilan yang mampu memberikan kontribusi terhadap kepatuhan wajib pajak adalah adanya tingkat keadilan secara umum (general fairness), timbal balik yang diterima pemerintah (exchanges with goverment), kepentingan pribadi (self interest), ketentuan-ketentuan yang diberlakukan secara khusus (soecial provisions), dan struktur tarif pajak (tax rate structures). Perilaku kepatuhan pajak timbul karena adanya sistem pajak yang diatur secara adil, cara pembebanan pajak penghasilan didistribusikan secara adil kepada setiap Wajib
25
Pajak, dan pajak yang dikenakan kepada Wajib Pajak harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay). Berutu dan Harto (2012) menyatakan bahwa secara umum tingkat kepatuhan WP OP pada dimensi persepsi keadilan pajak dipengaruhi oleh tarif pajak yang lebih disukai (preferred tax rate structures) yang dibebankan kepada masing-masing WP OP, yaitu tarif pajak progresif. WP OP merasa adil jika tarif pajak dibebankan sesuai dengan tingkat penghasilan masing-masing yang dapat meningkatkan perilaku kepatuhan pajak mereka. Resyniar (2013) menyatakan bahwa mayoritas para pelaku UMKM tidak setuju dengan penerapan PP No. 46 Tahun 2013. Perubahan tarif dan dasar perhitungan pajak memberikan dampak yang besar pada besarnya jumlah nominal pajak yang dibayarkan. Persepsi pelaku UMKP terhadap penerapan PP No. 46 Tahun 2013 mengenai fasilitas kemudahan dan penyederhanaan perpajakan mayoritas setuju bahwa PP No. 46 Tahun 2013 membawa kemudahan dan penyederhanaan perhitungan perpajakan. Selain itu, maksud yang diusung dalam PP No. 46 Tahun 2013 belum mampu mengedukasi masyarakat untuk transparansi. Para pelaku UMKM menilai apabila dasarnya dari omset maka para pengusaha ini justru akan merekayasa omset yang mereka peroleh tiap bulannya.
B. Rerangka Pemikiran Pembangunan nasional ditujukan untuk memenuhi salah satu tujuan negara yang terdapat di dalam Undang – Undang Dasar 1945 yaitu mensejahterakan kehidupan rakyat. Realisasi kegiatan pembangunan nasional memerlukan
26
pembiayaan yang besar, pembiayaan ini sumber utamanya
berasal dari
penerimaan pajak – pajak negara dan daerah, selain pinjaman dan bantuan dari luar negeri sebagai pelengkap penerimaan. Kebutuhan pengeluaran akan dibiayai melalui penerimaan negara merupakan suatu pengambilan keputusan melalui kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal sering juga disebut sebagai kebijakan pajak atau sebaliknya. Penerimaan pajak harus memperhatikan asas-asas pemungutannya. Asasasas pemugutan pajak harus memperhatikan prinsip-prinsip antara lain yang dikemukakan oleh Adam Smith yang meliputi asas equality atau keadilan; asas certainty atau kepastian hukum; asas convenience of payment; dan asas economy in collection. Dari ke empat asas yang dikemukan oleh Adam Smith tersebut menjadi inti dalam penulisan ini adalah asas equality atau keadilan. Asas tersebut merupakan asas yang harus diperhatikan dalam pemungutan pajak dan merupakan dasar pemikiran dalam proposal ini. Selain asas-asas pemungutan pajak yang perlu diperhatikan juga adalah fungsi-fungsi perpajakan. Diantara fungsi pajak selain fungsi budgeter adalah fungsi regulerend. Dalam fungsi regulerend perlu diperhatikan asas netralitas perpajakan.
Asas-asas pemungutan pajak dan fungsi pajak harus menjadi
substansi didalam penyusunan perundang-undangan perpajakan. Undang-undang perpajakan secara eksplisit harus mengandung makna yang dimaksud dalam asasasas dan fungsi pajak tersebut. Dalam penelitian ini yang menjadi pembahasan adalah fenomena penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, dimana dalam aturan
27
tersebut ditetapkan tarif pengenaan pajak 1% bagi UMKM. Tujuannya cukup mulia dimana bagi wajib pajak yang selama ini belum memahami administrasi perpajakan dan juga bagi wajib pajak yang belum sama sekali melakukan pembayaran pajak, dengan ketentuan ini semuanya dipermudah dimana pembayarannya cukup 1% dari peredaran usaha. Sehingga wajib pajak – wajib pajak yang belum berpartisipasi dalam pembayaran pajaknya dapat segera memenuhi kewajiban tersebut dengan cara melihat peredaran usaha saja, hal ini cukup bisa dipahami. Dalam kacamata kami pelaksanaan PP Nomor 46 ini harus juga melihat dan mempertimbangkan kelompok wajib pajak yang sudah patuh dan melakukan kewajiban sesuai dengan ketentuan. Jika ditelaah lebih dalam lagi pelaksanaan PP Nomor 46 sama sekali tidak mempertimbangkan wajib pajak kelompok ini. Dimana seharusnya untuk wajib pajak yang sudah melakukan kewajibannya tersebut, terutama yang melakukan dengan pembukuan maka pajak yang dikenakan harusnya atas penghasilan kena pajak saja. Dalam Pasal 4 Undang – Undang Pajak Penghasilan Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diperbaharui dengan Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2008 bahwa penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterma atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat diapakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Disini penulis melihat pelaksanaan PP nomor 46 ada unsur ketidakadilan dalam penerapannya. Beberapa pengaturan dalam PP ini bisa membuat para pelaku
28
UMKM menjadi tidak nyaman. Sejak tanggal 1 Juli 2013 sektor UMKM dikenakan pajak sebesar 1% dari omset, sehingga setiap UMKM akan menyetor 1% ke kas Negara dari omzetnya tidak peduli untung atau rugi.