BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Teori 1.
Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan
dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang.
Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Rangkaian implementasi kebijakan dapat diamati dengan jelas yaitu dimulai dari program, ke proyek dan ke kegiatan. Model tersebut mengadaptasi mekanisme yang lazim dalam manajemen, khususnya manajemen sektor publik. Kebijakan diturunkan berupa program program yang kemudian diturunkan menjadi proyek-proyek, dan akhirnya berwujud pada kegiatan-kegiatan, baik yang dilakukan oleh pemerintah,
masyarakat
maupun
kerjasama
pemerintah
dengan
masyarakat. Van Meter dan Van Horn (dalam Budi Winarno 2008:146-147) mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan dalam
keputusan-keputusan
sebelumnya.
Tindakan-tindakan
ini
mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan besar dan
10
11
kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan yang dilakukan oleh organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai tujuantujuan yang telah ditetapkan. Adapun makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier (1979) sebagaimana dikutip dalam buku Solihin Abdul Wahab (2008: 65), mengatakan bahwa: Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedomanpedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian. Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Jadi implementasi merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh berbagai aktor sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran kebijakan itu sendiri. Terdapat beberapa teori dari beberapa ahli mengenai implementasi kebijakan, yaitu: a.
Teori George C. Edward Menurut pandangan Edward III (dalam Subarsono, 2011: 90-92) implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu :
12
1) Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group), sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. 2) Sumberdaya, meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, misalnya kompetensi implementor dan sumber daya finansial. 3) Disposisi, adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka implementor tersebut dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif. 4) Struktur Birokrasi, Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Aspek dari struktur organisasi adalah Standard Operating Procedure (SOP) dan fragmentasi. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel. b.
Teori Merilee S. Grindle Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (dalam Subarsono, 2011: 93) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Variabel tersebut mencakup: 1) Sejauhmana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan 2) Jenis manfaat yang diterima oleh target group 3) Sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan 4) Apakah letak sebuah program sudah tepat
13
5) Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci 6) Apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai. c.
Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier Menurut Mazmanian dan Sabatier (dalam Subarsono, 2011: 94) ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni karakteristik dari masalah (tractability of the problems), karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure implementation) dan variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation).
d.
Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn Menurut Meter dan Horn (dalam Subarsono, 2011: 99) ada lima variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni standar dan sasaran kebijakan, sumberdaya, komunikasi antarorganisasi dan penguatan aktivitas, karakteristik agen pelaksana dan kondisi sosial, ekonomi dan politik. Menurut pandangan Edward III (Budi Winarno, 2008: 175-177)
proses komunikasi kebijakan dipengaruhi tiga hal penting, yaitu: 1) Faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. 2) Faktor kedua adalah kejelasan, jika kebijakan-kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas. Seringkali instruksi-intruksi yang diteruskan kepada pelaksana kabur dan tidak
14
menetapkan kapan dan bagaimana suatu program dilaksanakan. 3) Faktor ketiga adalah konsistensi, jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintahperintah yang disampaikan kepada pelaksana kebijakan jelas, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik. Menurut pandangan Edwards (dalam Budi Winarno, 2008: 181) sumber-sumber yang penting meliputi, staff yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menerjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik. Struktur Birokrasi menurut Edwards (dalam Budi Winarno, 2008: 203) terdapat dua karakteristik utama, yakni Standard Operating Procedures (SOP) dan Fragmentasi: SOP atau prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari para pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas. Sedangkan fragmentasi berasal dari tekanan-tekanan diluar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi pemerintah. 2.
Kebijakan Publik Secara etimologis, istilah kebijakan atau policy berasal dari bahasaYunani “polis” berarti negara, kota yang kemudian masuk ke dalam bahasa Latin menjadi “politia” yang berarti negara. Akhirnya masuk ke dalam bahasa Inggris “policie” yang artinya berkenaan dengan
15
pengendalian masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan. Istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat,suatu kelompok maupun suatu badan pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicaraan-pembicaraan biasa, namun menjadi kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang lebih bersifat ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan publik. Budi Winarno (2007:16) menyebutkan secara umum istilah “kebijakan” atau “policy” digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu lembaga pemerintahan) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu, pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif memadai untuk pembicaraan-pembicaraan-pembicaraan biasa, namun menjadi kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang kebih bersifat ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan publik oleh karena itu diperlukan batasan atau konsep kebijakan publik yang lebih tepat. Makna kebijakan menurut Friedrich yang dikutip oleh Solichin Abdul Wahab (1997 : 3) adalah: Kebijakan merupakan suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau sasaran yang diinginkan. Frederickson dan Hart dalam Tangkilisan (2003:19), mengemukakan
16
kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan adanya hambatan-hambatan tertentu sambil mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kebijakan adalah suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai tujuan, sedangkan kebijakan tentang perlindungan anak jalanan di Kota Yogyakarta adalah suatu kebijakan sosial yang dibuat pemerintah untuk mengatur tentang kesejahteraan sosial masyarakat yang bersifat proteksi terhadap permasalahan dan penanggulangan anak yang hidup di jalan. 3.
Kebijakan Pemerintah Daerah Seperti penjelasan sebelumnya kebijakan adalah suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai tujuan. Kebijakan pemerintah daerah adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah setempat yaitu pemerintah Kota Yogyakarta untuk mencapai sasaran atau tujuan yang diinginkan. Dalam kebijakan pemerintah daerah yang diambil yaitu Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 6 tahun 2011 tentang Perlindungan Anak yang Hidup di Jalan. Peraturan Daerah ini secara khusus mengatur mengenai perlindungan kepada anak yang hidup di jalan disebabkan posisi mereka yang sangat rentan terhadap kekerasan dan diskriminasi. Diperlukan sebuah peraturan perundangundangan yang bersifat affirmatif untuk melindungi dan menjamin hak-
17
hak anak-anak yang hidup di jalan agar mereka memperoleh kesempatan untuk tumbuh kembang yang layak. Kebijakan merupakan aturan yang harus dijalankan dan wajib di laksanakan. Peraturan Daerah (perda) adalah instrument aturan yang secara sah diberikan kepada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Sejak Tahun 1945 hingga sekarang ini, telah berlaku
beberapa
undang-undang
yang
menjadi
dasar
hukum
penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menetapkan peraturan daerah.
(Febrina
Fona,
2012
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/2065
diakses
pada tanggal
5
Februari 2013). 4.
Anak Jalanan Anak Jalanan menurut UNICEF, yaitu Street child are those who have abandoned their homes, school and immediate communities before they are sixteen years of age, and have drifted into a nomadic street life (anak jalanan merupakan anak-anak berumur di bawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya) (Handout Tim Anak Jalanan Kota Yogyakarta tahun 2008) Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) (dalam handout Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Penanganan Anak Jalanan berbasis Kewilayahan Kota Yogyakarta, 2012: 4) menyebutkan, dalam
18
menilai anak jalanan atau bukan dapat dilihat melalui beberapa indikator: a.
b.
c.
Anak yang benar-benar hidup dan bekerja di jalanan dan ditelantarkan atau telah lari dari keluarga mereka. Anak jalanan betul-betul tinggal di jalanan, lepas sama sekali dari orangtuanya. Mereka ini pada umumnya dianggap gelandangan (children of the street) Anak jalanan yang kadang-kadang saja kembali pada orangtuanya. Anak jalanan seperti ini pada umumnya kebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Anak tersebut masih menjaga hubungan dengan keluarga mereka, akan tetapi mereka menghabiskan banyak waktunya dijalanan (children on the street) Anak dari keluarga yang hidup dijalanan (family of the street), yaitu anak jalanan yang keluarganya berasal dari jalanan.
Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) mengelompokkan anak jalanan ke dalam kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Adapun yang dimaksud dengan PMKS adalah seseorang atau keluarga yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan tidak dapat melakukan fungsi sosialnya dan karenanya tidak dapat menjalin hubungan yang serasi dan kreatif dengan lingkungannya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (jasmani, rohani, dan sosial) secara memadai dan wajar. Kementrian RI menyebutkan terdapat 26 jenis PMKS dan anak jalanan merupakan salah satunya. Dinsosnakertrans Kota Yogyakarta mendefinisikan anak jalanan adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran di jalanan maupun ditempat-tempat umum. Dengan kriteria: a.
Anak yang rentan bekerja di jalanan karena suatu sebab
19
b.
Anak yang melakukan aktivitas di jalanan
c.
Anak yang bekerja di jalanan. Jadi Anak jalanan, adalah anak yang berusia dibawah 18 tahun yang
menghabiskan sebagaian waktunya di jalan, anak yang berkerja di jalanan dan/atau anak yang berkerja dan hidup di jalanan. Umumnya anak jalanan berasal dari keluarga yang pekerjaannya berat dan ekonominya lemah. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif. 5.
Perlindungan Anak Jalanan Perda No. 6 Tahun 2011 mendefinisikan, perlindungan adalah segala tindakan untuk menjamin dan melindungin anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapat perlindungan sehingga anak terentaskan dari kehidupan di jalan. Perlindungan terhadap hak-hak anak telah diatur dalam banyak peraturan perundang-undangan antara lain Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Tetapi hak anak yang telah diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut ternyata masih belum optimal menjangkau anak yang hidup di jalan.
20
Kebijakan perlindungan anak yang hidup di jalan sesuai dengan Perda No. 6 tahun 2011 (pasal 3) menyebutkan bahwa perlindungan anak yang hidup di jalan bertujuan untuk mengentaskan anak dari kehidupan di jalan, menjamin pemenuhan hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian serta memberikan perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan demi terwujudnya anak yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Pemenuhan Hak anak yang hidup di jalan merupakan tugas dan tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota, masyarakat pada umumnya, dunia usaha, serta lembaga-lembaga yang secara khusus aktif di dalam pemenuhan hak-hak anak. Fokus utama pemenuhan hak anak di dalam Peraturan Daerah seperti yang diamanatkan dalam Perda no 6 tahun 2011 tentang perlindungan anak yang hidup di jalan (Pasal 15) meliputi: a. b. c. d. e. f.
Hak identitas Hak atas pengasuhan Hak atas kebutuhan dasar Hak kesehatan Hak pendidikan Hak untuk mendapatkan bantuan dan perlindungan hukum.
Di Kota Yogyakarta banyak terdapat anak–anak jalanan yang bekerja dan mengadu nasib di jalanan. Antara lain, mereka berusaha mendapatkan uang dan sesuap nasi dengan berbagai kegiatan seperti pengamen,
pedagang
asongan (koran,
makanan,
minuman dan
sebagainya). Hal tersebut mereka lakukan karena tidak ada pilihan lain
21
bagi mereka seperti layaknya anak-anak normal yang tiap hari hanya berkewajiban belajar atau sekolah yang serta mendapatkan perlindungan dan kasih sayang dari orangtua. Oleh karena itu, Pemerintah khususnya Pemerintah Kota Yogyakarta untuk lebih peduli dan memperhatikan anak jalanan terpenting lagi memberikan perlindungan kepada mereka yang hidup di jalanan. Seperti yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 34 yakni “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Dalam penyelenggaraan perlindungan anak yang hidup di jalan sebagaimana disebutkan dalam Perda No. 6 tahun 2011 (Pasal 5) Pemerintah Kota Yogyakarta berwenang: a. Menyusun pedoman operasional standar pelayanan minimal bagi usaha-usaha pemenuhan hak-hak anak yang hidup di jalan b. Melaksanakan pelayanan pemenuhan hak-hak anak yang hidup di jalan c. Melakukan pengawasan terhadap usaha-usaha pemenuhan hakhak anak yang hidup di jalan d. Mengembangkan jejaring kerjasama antar lembaga pemerintah maupun dengan masyarakat dan swasta. B. Penelitian yang Relevan 1.
Febrina Fonna (2012) dengan judul “Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Tentang Pembinaan penelitian
tersebut
dapat
Anak Jalan Di Kota Makassar”. Dari diketahui
bahwa
Pemerintah
Daerah
menghadapi dilema yaitu berkewajiban melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat disatu pihak, dipihak lain membutuhkan dana dan sumberdaya manusia yang fungsional dalam menangani masalah kesejahteraan sosial bagi anak jalanan. Terdapat beberapa faktor pendukung maupun faktor penghambat, kebijakan pemerintah daerah
22
seperti kebijakan tentang anak jalanan ini hendaknya harus mendapat apresiasi yang bagus dari masyarakat, karena ini juga merupakan langkah awal dari meminimalisirnya keberadaan anak jalanan yang seringkali meresahkan masyarakat. Misalnya saja dengan adanya masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam membina anak jalanan ini tentu akan membawa dampak positif. Namun, di lain pihak ada masyarakat juga yang tidak tahu aturan akan adanya sanksi atau denda jika mereka masih membiasakan memberikan uang kepada anak-anak jalanan tersebut. Adapun faktor dari orang tua dan/atau wali dari anak jalanan tersebut. Dukungan orang tua yang mendorong anaknya untuk tetap kembali ke jalan sangat besar pengaruhnya. Sebab, mayoritas para orang tua anak jalanan memiliki prinsip mengajar anak mereka hidup mandiri meski dengan cara meminta-minta di jalan. Kalau mereka sudah kehabisan modal/subsidi yang diberikan pemerintah, tentu akan kembali ke jalan lagi sebab mereka berpikir mencari uang di jalan lebih mudah dan hasilnya banyak. 2.
Nanda Al Iradah, Chyntia Dewi A S, Windujati P, Fariz Afifah (2012) dengan judul “Implementasi Perda No. 6 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Anak Jalanan (Anjal) Di Kota Yogyakarta”. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah Implementasi Perda No. 6 Tahun 2011 sudah banyak memberikan efek positif dalam penanganan dan perlindungan anak jalanan, hal ini ditandai dengan adanya upaya-upaya dari pemerintah yang bekerja sama dengan Forum Komunikasi Pekerja
23
Sosial Masyarakat (FK PSM) dalam mewujudkan program-program pembinaan terhadap anak jalanan (anjal). Adapun manfaat positif dari adanya program tersebut serta perhatian dari pemerintah sangat berdampak pada berkurangnya prosentase anak jalanan (anjal) yang ada di Kota Yogyakarta karena mereka sudah kembali ke tengah keluarga mereka dan tentunya kembali bersekolah dengan difasilitasi pemerintah dalam hal ini Dinas Sosial Pemerintah Kota Yogyakarta yang dibantu Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat (FK PSM). Dalam penelitian ini peneliti hanya memfokuskan peran Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam menangani implementasi perda no 6 tahun 2011. Jadi dari kesimpulan-kesimpulan penelitian diatas, peneliti ingin melanjutkan penelitian mengenai anak jalanan yang difokuskan pada perda No 6 Tahun 2011 tentang Perlindungan Anak yang Hidup di Jalan. Penelitian sebelumnya lebih Content Analysis dimana mengkaji serta mengevaluasi
isi/konten Perda,
sedangkan penelitian
ini
untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan yang dilihat dari empat variabel, yaitu: komunikasi, sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi. Peneliti juga ingin lebih mengetahui implementasi perda tersebut dari berbagai stakeholders tidak hanya dari instansi pemerintahan seperti penelitian sebelumnya, karena dalam mengimplementasikan suatu peraturan diperlukan peran-peran stakeholders lainnya. Jadi dalam
24
penelitian ini, dalam mengetahui implementasi suatu kebijakan lebih mengembangkan peran dari stakeholders lainnya. C. Kerangka Berfikir Kerangka pemikiran penelitian ini dimulai dengan adanya permasalahanpermasalahan sosial mengenai anak jalanan. Masalah kemiskinan dan krisis ekonomi yang melanda menyebabkan anak untuk hidup di jalan. Akibat kondisi tersebut sebagian anak-anak yang terpaksa hidup di jalan cenderung rawan terjerumus dalam tindakan yang salah, seperti tindakan penyimpangan yang ringan sampai dengan yang harus berurusan dengan hukum. Lingkungan pergaulan yang bebas dan tidak adanya kontrol dari keluarga yang ketat adalah faktor penyebab anak jalanan terjerumus dalam kehidupan seks bebas dan prostitusi. Anak jalanan juga sering mengalami tindak kekerasan dari lingkungan, dari keluarga mereka sendiri bahkan terdapat orang tua yang membiarkan dan menyuruh anak untuk melakukan aktifitas ekonomi atau melakukan kegiatan meminta-minta di jalan atau ditempat umum, hal tersebut tentunya mengakibatkan anak menjadi tereksploitasi. Di Kota Yogyakarta, keberadaan anak jalanan umumnya tersebar di berbagai kantong atau zone tertentu, yakni tempat atau lokasi dimana anak jalanan melakukan kegiatan atau aktivitasnya termasuk bekerja. Aktivitas yang dilakukan anak-anak tidak saja di jalanan tanpa tujuan, tetapi juga mencakup kegiatan ekonomi, seperti mengamen, mengasong, mengemis, penyemir sepatu, pembersih motor/mobil, ojek payung, pekerja seks dan berkeliaran tak tentu. Aktivitas-aktivitas itu umumnya dilakukan ditempat-
25
tempat atau pusat-pusat keramaian. Misalnya perempatan jalan, terminal, stasiun kereta api, bioskop, mall/plaza, taman kota dan sebagainya. Permasalahan sosial anak jalanan ini perlu mendapat perhatian secara khusus dari pemerintah dan
masyarakat
karena
anak
harus
mendapatkan
perlindungan baik pendidikan, kesehatan, keamanan, bebas dari kekerasan dan ekspolitasi. Pemerintah Kota Yogyakarta sebenarnya sudah mengeluarkan kebijakan untuk menangani permasalahan sosial anak jalanan ini. Kebijakan tersebut dibuat dalam suatu Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011 tentang perlindungan anak yang hidup di jalan yang telah diimplementasikan kurang lebih satu tahun. Tugas dan wewenang pemerintah sesuai perda tersebut yaitu, melakukan koordinasi lintas lembaga pemerintah maupun dengan masyarakat dan swasta, memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak yang hidup di jalan, memberikan pelayanan pemenuhan hak-hak anak yang hidup dijalan dan memfasilitasi usaha-usaha penyelenggaraan pelayanan pemenuhan hak-hak anak yang hidup di jalan. Untuk mengetahui sejauh mana implementasi Peraturan Derah no 6 tahun 2011 tentang perlindungan anak yang hidup di jalan perlu dilakukan analisis secara
mendalam
yang
mencakup
proses
komunikasi,
kemampuan
sumberdaya, proses disposisi dan kejelasan struktur birokrasi. Dengan alasan tersebut peneliti memutuskan untuk menggunakan teori George C. Edward, dikarenakan teori tersebut menyebutkan bahwa implementasi kebijakan
26
dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi. Dari proses implementasi kebijakan melalui empat indikator tersebut dapat diketahui apa saja hambatan dalam implementasi kebijakan perlindungan anak jalanan. Edwards menyebutkan bahwa empat faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu dan menghambat implementasi kebijakan (Budi Winarno, 2008:174). Sehingga dari pernyataan diatas peneliti menilai bahwa teori ini akan memudahkan peneliti dalam mengetahui bagaimana implementasi perda no 6 tahun 2011 tentang perlindungan anak yang hidup dijalan dengan melihat bagaimana proses komunikasi yang dilakukan, kemampuan sumberdaya, proses disposisi dan struktur birokrasi yang ada. Dari proses implementasi kebijakan melalui empat indikator tersebut dapat diketahui apa saja hambatan dalam implementasi kebijakan perlindungan anak jalanan. Hambatan-hambatan tersebut seperti hambatan dalam upaya pencegahan, upaya penjangkuan, upaya pemenuhan hak dan upaya reintegrasi sosial. Sehingga dengan adanya hambatan-hambatan tersebut peneliti dapat mengetahui upaya-upaya apa saja yang akan dilakukan dalam mengatasi hambatan tersebut.
27
Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Komunikasi
Sumberdaya
Disposisi
Struktur Birokrasi
Hambatan Implementasi Kebijakan
Upaya Mengatasi Hambatan Implementasi Kebijakan Gambar 1. Kerangka Pemikiran D. Pertanyaan Penelitian 1.
Bagaimana proses komunikasi dalam implementasi perda nomor 6 tahun 2011 tentang perlindungan anak yang hidup di jalan?
2.
Bagaimana kemampuan sumberdaya dalam mengimplementasikan kebijakan tentang perlindungan anak jalanan?
28
3.
Bagaimana proses disposisi dalam implementasi kebijakan tentang perlindungan anak jalanan?
4.
Bagaimana kemampuan struktur birokrasi dalam mengimplementasikan kebijakan tentang perlindungan anak jalanan?
5.
Apa hambatan pelaksanaan Perda Nomor 6 Tahun 2011 tentang perlindungan anak jalanan di kota Yogyakarta?
6.
Bagaimana
upaya
yang
dilakukan
implementasi kebijakan tersebut?
untuk
mengatasi
hambatan