BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A.
Kajian Teori
1.
Penerjemahan
a.
Definisi Penerjemahan Penerjemahan umumnya didefinisikan sebagai pengalihan pesan,
makna, atau ide dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Definisi penerjemahan sudah banyak dikemukakan oleh para ahli. Larson (1998:3) memberikan pemahaman penerjemahan yang paling sederhana dengan mengatakan bahwa penerjemahan merupakan suatu kegiatan pengalihan bahasa sumber ke bahasa sasaran. Dilihat dari definisi tersebut belum memberikan gambaran jelas mengenai aspek-aspek apa saja yang dialihkan dalam proses penerjemahan. Berkaitan dengan ini, beberapa para ahli menggarisbawahi pentingnya aspek kesepadanan makna dalam penerjemahan. Catford (1980:20) mengatakan bahwa konsep penerjemahan merupakan kegiatan pergantian materi tekstual dalam suatu bahasa sebagai bahasa sumber (Bsu) dengan materi tekstual yang sepadan (equivalent) dalam bahasa sasaran (Bsa). Berdasarkan definisi tersebut, bahwa penerjemahan merupakan proses kegiatan tulis sehingga produknya juga dalam bentuk tertulis (teks). Catford menganggap penerjemahan adalah upaya pergantian teks atau bentuk semata. Sementara, teks suatu bahasa tidak dapat dialihkan begitu saja tanpa maksud pesan yang ada dibalik ungkapan tertentu, bahkan teks yang sepadan bisa memiliki 13 makna yang berbeda. Seperti pendapat Mounin dalam Newmark (1988:3) “......translation cannot simply reproduce,or be, the original” definisi tersebut maksudnya bahwa suatu proses penerjemahan tidak dianggap semata-mata menyampaikan ulang dan mempertahankan bentuk asli semata dari teks sumber, namun
12
banyak aspek yang harus dipertimbangkan penerjemah untuk mencari kesepadanan. Sementara itu, Nida dan Taber (1982:12) mengungkapkan bahwa “translation consists of reproducing in the receptor language the closest natural equivalence of the source-language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style,”. Bukan hanya
memberikan
pemahaman mengenai pentingnya kesepadanan makna, definisi tersebut juga menggarisbawahi mengenai pentingnya kesepadanan bentuk. Hal tersebut menurut Nida dan Taber dinamakan sebagai style. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa kesepadanan bentuk yang dimaksudkan lebih ditekankan pada tataran makro karena perbedaan struktur bahasa sumber dan bahasa sasaran umumnya membuat kesepadanan bentuk pada tataran mikro menjadi sulit untuk direalisasikan. Disamping itu, aspek kesepadanan makna tetap menjadi prioritas utama dalam proses pengalihan pesan dalam penerjemahan.
b.
Proses Penerjemahan Setelah memahami konsep penerjemahan maka hal berikut yang
akan dibahas adalah mengenai proses penerjemahan. Menurut Nababan (2003: 24) proses penerjemahan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seorang penerjemah pada saat dia mengalihkan amanat dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Proses penerjemahan sangat penting, terutama bagi seorang penerjemah, sebab dalam proses penerjemahan inilah terdapat langkah-langkah yang harus diketahui oleh seorang penerjemah agar dapat menghasilkan penerjemahan yang baik dan berkualitas. Dalam setiap penyampaian makna dan pesan dari satu bahasa ke bahasa yang lain atau yang biasa dikenal dengan penerjemahan, ada beberapa proses
yang harus dilalui untuk menghasilkan terjemahan
tersebut. Nida dan Taber (1974:33) mengemukakan beberapa langkah yang harus dilakukan seorang penerjemah dalam proses penerjemahan yakni:
13
The second system of translation consists of a more eleborate procedure comprising the three step (1) analysis, in which the surface structure (i.e the message as given in language is analysed in terms of (a) the grammatical relationship
and (b) the meaning of the words and
combinating if words, (2) transfer, in which analysed material is transfered in the mind of the translator from language A to language B, and (3) restructuring, in which the transfered material is restructured in order to make final message fully acceptable in the receptor language. Dalam hal ini, Nida dan Taber (1974) menjelaskan bahwa terdapat tiga proses yang dilalui seorang penerjemahan, yang meliputi proses menganalisis teks bahasa sumber mencakup analisis tentang hubungan gramatikal dan makna kata. Kemudian, dilanjutkan dengan proses pengalihan hasil analisis. Pada proses pengalihan ini, sifatnya tidak kasat mata sebab proses ini terjadi dalam benak seorang penerjemah atau dalam otak penerjemah. Lalu, proses yang terakhir, yaitu proses penyusunan kembali hasil pengalihan yang telah terjadi di dalam pikiran penerjemah agar mendapatkan suatu hasil terjemahan yang baik dan berkualitas serta dapat dipahami oleh pembaca. Tiga langkah yang dirumuskan Nida dan Taber (1982) dapat digambarkan pada bagan berikut ini: A (Source)
B (Receptor)
Analysis
Restructuring
Transfer Gambar 2.1 Proses Penerjemahan dari Nida dan Taber (1982: 33)
14
c.
Teknik Penerjemahan Teknik penerjemahan secara sederhana merupakan gambaran yang
tampak pada hasil terjemahan, terutama pada unit terkecil teks (unsur mikro). Molina dan Albir (2002) mengemukakan bahwa dengan melakukan analisis terhadap teknik penerjemahan yang ada dalam produk terjemahan, peneliti dapat mengetahui langkah-langkah yang dilakukan penerjemah dalam menerjemahkan teks pada tataran mikro. Hal yang dimaksud dengan tataran mikro adalah kata, frasa, klausa, maupun kalimat. Molina dan Albir (2002) membedakan
strategi dan teknik
penerjemahan berdasarkan produk dan proses. Strategi merupakan suatu proses yang terjadi di dalam pikiran penerjemah ketika sedang menerjemahkan, yaitu ketika penerjemah menghadapi suatu masalah dan berusaha memecahkanya, sedangkan teknik penerjemahan merupakan hasil dari pilihan yang dibuat oleh penerjemah atau perwujudan strategi dalam mengatasi permasalahan pada tataran mikro yang dapat dilihat dengan membandingkan hasil terjemahan dengan teks sumber. Molina dan Albir (2002) menyatakan bahwa teknik penerjemahan mempunyai lima karakteristik: 1.
Teknik penerjemahan mempengaruhi hasil terjemahan.
2.
Teknik diklasifikasikan dengan perbandingan pada teks aslinya.
3.
Teknik penerjemahan berdampak pada unit mikro teks.
4.
Teknik penerjemahan tidak saling berkaitan tetapi berdasarkan konteks tertentu.
5.
Teknik penerjemahan bersifat fungsional. Pada
penelitian
ini,
peneliti
menggunakan
teori
teknik
penerjemahan dari Molina dan Albir (2002). Alasan mengapa peneliti menggunakan teknik penerjemahan yang diusulkan Molina dan Albir (2002) dikarenakan teknik penerjemahan tersebut sangat terperinci dan jelas, memudahkan peneliti dalam mengklasifikasi setiap data yang diteliti.
15
Molina dan Albir (2002) dalam Meta XLVII, mengemukakan teknik penerjemahan meliputi: 1)
Adaptasi (Adaptation) Molina dan Albir (2002:511) menyebutkan fungsi adaptasi adalah
“To replace a ST cultural element with one from the target culture”. Adaptasi
merupakan
teknik
penerjemahan
di
mana
penerjemah
menggantikan unsur budaya yang mempunyai sifat yang sama dengan bahasa sasaran, dan unsur budaya tersebut akrab bagi pembaca sasaran. Sebagai contoh, dalam kalimat “the film swept the world” diterjemahkan menjadi
“film
ini
merambah
dunia”.
Penerjemah
memilih
menerjemahkan swept menjadi merambah karena merambah lebih dikenal dalam budaya pembaca sasaran dan konsepnya mirip dengan bahasa sumber. 2)
Amplifikasi (Amplification) Molina dan Albir (2002:511) menyebutkan fungsi amplifikasi
adalah “To introduce details that are not formulated in the ST: information, explicative paraphrasing”. Amplifikasi merupakan teknik penerjemahan
yang
mengungkapkan
pesan
secara
eksplisit
atau
memparafrasa suatu informasi yang implisit dalam bahasa sumber. Penerapan teknik ini ditandai oleh adanya perubahan dari yang tersirat menjadi tersurat. Selain itu, penggunaan dari teknik ini ditandai oleh adanya penambahan informasi yang pada dasarnya tidak ada dalam teks bahasa sumber. Sebagai contoh, kalimat “This is a Universe of Inclusion, not exclusion” diterjemahkan menjadi “Semesta ini adalah Semesta inklusif yang merangkul, bukan Semesta eksklusif yang menolak”. 3)
Peminjaman (Borrowing) Molina dan Albir (2002:511) menyebutkan fungsi borrowing
adalah “To take a word or expression straight from another language”. Peminjaman adalah teknik penerjemahan di mana penerjemah meminjam kata atau ungkapan dari bahasa sumber. Teknik ini dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu: (a) pure borrowing atau tetap mempertahankan kata
16
bahasa sumber tanpa melakukan perubahan apapun, seperti contohnya harddisk diterjemahkan menjadi harddisk, sedangkan
(b) naturalized
borrowing atau meminjam kata bahasa sumber tetapi lafalnya sudah disesuaikan dengan pelafalan dalam bahasa sasaran, seperti contohnya meditation diterjemahkan menjadi meditasi. 4)
Kalke (Calque) Molina dan Albir (2002:511) mendefinisikan Kalke sebagai berikut
“Literal translation of a region word or phrase: it can be lexical or structural”. Kalke adalah teknik penerjemahan di mana penerjemah menerjemahkan frasa bahasa sumber secara literal baik secara lesikal maupun struktural. Contohnya, dalam bahasa Inggris “He is the new assistant manager”. Diterjemahkan menjadi “Dia adalah asisten manajer yang baru”. 5)
Kompesasi (Compesation) Kompesasi
merupakan
teknik
penerjemahan
yang
memperkenalkan unsur-unsur informasi atau pengaruh stilistik teks bahasa sumber di tempat lain dalam bahasa sasaran karena tidak dapat ditempatkan pada posisi yang sama seperti dalam bahasa sumber. Seperti yang dinyatakan Molina dan Albir (2002:511) “To intoduce a ST element of information of stylistic effect in another place in the TT because it can not be reflected in the same place as in the ST”. Contohnya dalam kalimat “You can let your imagination go wild with a Vision Board” di terjemahkan “Melalui Papan Visi, Anda bisa membiarkan imajinasi mengembara sejauh mungkin” 6)
Deskripsi (Description) Menurut Molina dan Albir (2002:511) menyebutkan fungsi
deskripsi adalah “To replace a term or expressing with a description of its from or/ and function”. Teknik ini merupakan teknik penerjemahan yang digunakan dengan cara menggantikan sebuah istilah atau ungkapan dengan deskripsi bentuk dan fungsinya. Hal ini berbeda dengan amplifikasi yang mengeksplisitkan informasi yang masih implisit. Sebagai contohnya,
17
dalam kalimat “You’re bringing more of that into your life” diterjemahkan menjadi “Anda sedang mendatangkan lebih banyak kekhawatiran dan ketakutan ke dalam hidup”. 7)
Kreasi Diskursif (Discursive Creation) Kreasi
diskursif
merupakan
teknik
penerjemahan
untuk
menampilkan kesepadanan sementara yang tidak terduga atau keluar konteks. Teknik ini lazimnya digunakan dalam menerjemahkan judul buku atau film. Fungsi teknik penerjemahan kreasi diskursif adalah “To establish a temporary equivalence that is totally unpredictable out of context” (Molina & Albir 2002:511). Sebagai contoh, sebuah judul buku “The Minangkabau Response To The Dutch Colonial rule in the Nineteenth
Century”
diterjemahkan
menjadi
“Asal-usul
Elite
Minangkabau Modem: Respons terhadap Kolonial Belanda XIX/XX”. 8)
Padanan Lazim (Established equivalent) Dalam Molina dan Albir (2002:511) dijelaskan fungsi dari teknik
padanan lazim yaitu “To use a term or expression recognized (by dictionaries or language in use) as an equivalent in the TL. Teknik padanan lazim ini penerapannya ditandai oleh penggunaan kata, istilah, atau ungkapan yang lazim ditemukan dalam kamus bahasa sasaran atau digunakan sehari-hari. Teknik padanan lazim mirip dengan penerjemahan harfiah. Contohnya dapat dilihat pada kalimat berikut “Settle down, guys. Settle down.” Diterjemahkan menjadi “Tenanglah. Tenanglah” 9)
Generalisasi (Generalization) Generalisasi merupakan teknik penggunaan istilah yang lebih
umum atau netral dalam bahasa sasaran. Dalam bahasa sumber seringkali mengandung istilah-istilah khusus yang sulit dipahami oleh pembaca sasaran. Untuk mengatasi masalah tersebut, penerjemah seringkali menggunakan teknik generalisasi, yakni dengan mengganti istilah yang sulit dipahami dengan istilah yang lebih umum. Seperti definisi dari Molina dan Albir (2002:511) sebagai berikut, “ To use a more general or
18
neutral term,” sebagai contoh, kalimat “money loves me” diterjemahkan “uang menyukai saya”. 10)
Amplifikasi linguistik(Linguistic amplification) Amplifikasi linguistik merupakan teknik penambahan elemen
linguistik sehingga terjemahannya menjadi panjang. Molina dan Albir (2002:511) menambahkan “this is often used in consecutive intrepreting and dubbing”. Dengan kata lain, teknik ini lebih sering diterapkan dalam pengalihan bahasa dan dubbing. Contohnya pada kalimat “Listen. Stay away from him. You understand?” diterjemahkan menjadi “Dengarkan aku. Menjauhlah darinya! Kau paham?” 11)
Kompresi linguistik (Linguistic compression) Kompresi
linguistik merupakan kebalikan dari amplifikasi
linguistik. Pada teknik ini, dapat diterapkan dalam pengalihbahasaan simultan atau dalam penerjemahan teks film, dengan cara mensintesa unsur-unsur linguistik dalam teks bahasa sasaran. Sebagaimana dinyatakan Molina dan Albir (2002:511) “To synthesize linguistic elements in the TT”. Sebagai contoh dalam kalimat berikut “this mind is actually shaping the very thing that is being perceived” diterjemahkan menjadi “akal membentuk segala sesuatu yang ada”. 12)
Terjemahan harfiah (Literal translation) Terjemahan harfiah merupakan teknik penerjemahan suatu kata
atau ungkapan secara kata perkata. Seperti yang diungkapan oleh Molina dan Albir (2002:511) tentang fungsi terjemahan harfiah, “To translate a word or an expression word for word”. Penerapan teknik ini ditandai oleh adanya penyesuaian struktur bahasa sumber dalam bahasa sasaran dan pemadanan yang dilakukan lepas konteks. Contohnya pada kalimat berikut “Yeah, Tommy was a great scientist.” yang diterjemahkan menjadi “Ya, Tommy adalah seorang ilmuwan hebat” 13)
Modulasi (Modulation) Molina dan Albir (2002:511) menjelaskan fungsi teknik modulasi
sebagai berikut, “To change the point of view, focus or cognitive category
19
in relation to the ST; it can be lexical or structural”. Teknik modulasi merupakan teknik pergantian sudut pandang, fokus, atau kategori kognitif dari bahasa sumber. Pergantian sudut pandang bisa dalam bentuk struktural maupun lesikal. Contohnya pada kalimat “Get outta here” diterjemahkan “Sudahlah”. 14)
Partikulasi (Particlarization) Teknik partikulasi merupakan kebalikan dari teknik generalisasi.
Artinya, teknik ini ditandai dengan penggunaan kata yang lebih spesifik dan konkrit sebagai padanan dari kata bahasa sumber yang mempunyai makna umum. Sebagaimana yang disampaikan Molina dan Albir (2002:511), “To use more precise or concrete terms” sebagai contoh dalam kalimat “She likes to collect jewelry.” Diterjemahkan menjadi “Dia senang mengoleksi kalung emas” 15)
Reduksi (Reduction) Teknik reduksi adalah kebalikan dari teknik amplifikasi. Teknik ini
ditandai oleh adanya penghilangan sebagian unsur bahasa sumber di mana penghilangan itu dipandang tidak menimbulkan distorsi pesan secara keseluruhan. Molina dan Albir (2002:511), mendefinisikan fungsi dari teknik reduksi sebagai berikut, “ To surpress a ST information item in the TT”. Reduksi adalah teknik mengimplisitkan informasi karena komponen maknanya sudah termasuk dalam bahasa sasaran. Contohnya berikut ini “I didn’t attract the car accindent” diterjemahkan “Saya tidak menarik kecelakanan”. 16)
Substitusi (Substitution) Substitusi merupakan teknik penerjemahan dengan mengubah
unsur linguistik menjadi paralinguistik (termasuk gerak tubuh atau gesture dan intonasi) dan sebaliknya. Teknik ini biasanya digunakan dalam pengalihbahasaan secara lisan. Seperti yang disampaikan Molina dan Albir (2002:511), “To change linguistic elements for paralinguistic elements (intonations, gesture) or vice versa”. Sebagai contoh, “He puts his hand on heart” diterjemahkan “Dia mengucapkan terima kasih”.
20
17)
Transposisi (Transposition) Transposisi merupakan teknik pengubahan kategori grammatikal,
misalnya dari verb menjadi adverb. Teknik ini sama dengan pergeseran kategori, struktur dan unit. Pengubahan susunan kata harus dilaksanakan penerjemah disebabkan struktur bahasa sumber berbeda dengan bahasa sasaran (obligatory). Sementara itu, pergeseran kategori dilakukan bila diperlukan (optional). Sebagaimana dinyatakan oleh (Newmark, 1988; Molina & Albir, 2002; Hoed, 2006) bahwa fungsi dari transposisi adalah “ To change a grammatical category”. Sebagai contoh kalimat “They have no control over outside circumstances” diterjemahkan “Mereka tidak dapat mengendalikan situasi dari luar dirinya”. 18)
Variasi (Variation) Teknik variasi dilakukan dengan mengubah unsur linguistik atau
paralinguistik (intonasi, gesture) dengan yang mempengaruhi variasi bahasa misalnya pergantian gaya, dialek sosial, dialek geografis. Seperti disampaikan Molina dan Albir (2002:511), “To change linguistic or paralinguistic elements (intonation, gesture) that affect aspects of linguistic variations changes of textual tone, style, social dialect, geographical dialected indicators for characters when adopting novels for children, etc”. Teknik ini biasanya digunakan dalam menerjemahkan naskah drama. Contohnya “Give it to me now!” diterjemahkan menjadi “Berikan barang itu ke gue sekarang! “.
d.
Penilaian Kualitas Penerjemahan Kualitas terjemahan dapat diukur melalui tiga aspek penting, yaitu:
keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan. Di dalam penelitian ini, hanya ada dua aspek yang akan dijadikan acuan, yakni keakuratan dan keberterimaan. Aspek-aspek ini menjadi pedoman bagi para penerjemah agar bisa menghasilkan terjemahan dengan tingkat keakuratan dan
21
keberterimaan yang tinggi. Faktanya, tidak jarang penerjemah menghadapi suatu keadaan yang membuatnya harus mengutamakan salah satu aspek sehingga mengorbankan aspek lainya. Situasi tersebut terjadi ketika penerjemah menemukan kesulitan dalam mencari padanan bahasa sumber maupun
ketika
penerjemah
dihadapkan
pada
media
dan
jenis
penerjemahan yang bervariasi. Nababan (2003; 86) mengemukakan bahwa penilaian terhadap mutu terjemahan terfokus pada tiga hal pokok, yaitu: (1) Ketetapan pengalihan pesan, (2) ketetapan pengungkapan pesan dalam bahasa sasaran, (3) kealamiahan bahasa terjemahan. Secara umum, keakuratan berkaitan dengan makna, sedangkan keberterimaan berkaitan dengan kaidah bahasa dan norma budaya. Penjelasan mengenai kedua variable kualitas terjemahan dipaparkan sebagai berikut: 1)
Keakuratan atau Ketepatan (Accuracy) Istilah keakuratan (accuracy) menurut Shuttleworth dan Cowie
(1997: 3) mengatakan bahwa keakuratan dalam penerjemahan merupakan suatu istilah dalam penilaian kualitas terjemahan yang merujuk pada kesepadanan bahasa sasaran dengan bahasa sumber. Jadi, keakuratan ini dapat dianggap sebagai kesesuaian atau ketetapan pesan yang disampaikan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Kesepadanan bahasa sumber dan bahasa sasaran adalah aspek paling penting dalam setiap kegiatan penerjemahan. Kesepadanan yang dimaksud bukanlah hanya kesepadanan dalam bentuk struktur bahasa (form) semata tetapi juga dalam hal makna (meaning). Kesepadanan pada tataran mikro tidak harus menjadi prioritas utama dalam proses penerjemahan. Meskipun, penerjemahan diharapkan mampu
menghasilkan terjemahan yang dapat menyesuaikan ide dan
pemikiran penulis asli pada terjemahan yang dihasilkan. Dengan demikian, pesan yang disampaikan penulis harus dapat disampaikan oleh penerjemah.
22
Lebih lanjut, menurut Nababan (2010) tingkat keakuratan pengalihan pesan ditetapkan oleh seberapa akurat isi pesan atau teks bahasa sumber dialihkan ke dalam bahasa sasaran. Penilaian keakuratan ini sangat penting karena tujuan penerjemahan adalah mencari padanan makna sedekat mungkin dengan teks bahasa sasaran. Penerjemah akurat jika makna yang disampaikan oleh penerjemah itu sepadan dengan makna dalam teks aslinya. Selain sepadan, menurut
Machali (2000:110)
menyatakan bahwa dari segi ketepatan ini dapat dilihat aspek linguistik (struktur gramatik), semantik, dan pragmatik. Dari pendapat tersebut terlihat bahwa keakuratan tidak hanya dilihat dari ketepatan pemilihan kata, tetapi juga ketepatan grammatikal, kesepadanan makna, dan pragmatik. Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat akurasi adalah accuracy rating instrument yang dikemukakan Nababan (2004). Nababan mengadaptasi instrumen dari Nagao, Tsuji, dan Nakamura untuk mengukur tingkat akurasi tersebut berdasarkan tiga kriteria dengan skala 1 sampai 3. Lebih lanjut, Nababan dkk (2012) menentukan kriteria penilaian yang lebih sederhana berdasarkan pada kriteria penilaian accuracy rating instrument tersebut. Penilaian ini menggunakan skala 1 sampai 3 dengan kriteria sebagai berikut: Tabel 2.1 Instrumen Penilaian Keakuratan Skor Parameter Kualitatif
Kategori Terjemahan Akurat 3
Kurang Akurat
2
Tidak Akurat
1
Makna kata, frasa, klausa atau kalimat dalam bahasa sumber dialihkan secara akurat dalam bahasa sasaran, sama sekali tidak ada distorsi makna. Sebagian besar makna kata, istilah teknis, frasa, klausa atau kalimat dalam bahasa sumber dialihkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran. Namun, masih ada distorsi makna atau terjemahan makna ganda (taksa) ataupun reduksi yang mengganggu keutuhan pesan. Makna kata,frasa, klausa atau kalimat bahasa sumber dialihkan secara tidak akurat dalam bahasa sasaran atau dihilangkan
23
2) Keberterimaan (Acceptability) Berbeda dengan keakuratan yang terfokus pada ketetapan pesan, keberterimaan lebih terkait dengan kewajaran. Aspek ini berkaitan dengan kealamiahan dan kelaziman suatu teks terjemahan. Teks hasil terjemahan haruslah disesuaikan dengan kaidah dan budaya pembaca atau pendengar sasaran. Nababan dkk (2012: 44) menjelaskan bahwa istilah keberterimaan merujuk pada apakah suatu terjemahan sudah diungkapkan sesuai dengan kaidah-kaidah, norma, dan budaya yang berlaku dalam bahasa sasaran atau belum, baik pada tataran mikro maupun tataran makro. Semakin tinggi nilai keberterimaan, maka semakin dekat terjemahan dengan budaya bahasa sasaran. Berikut instrumen penilaian keberterimaan suatu terjemahan yang di sarankan oleh Nababan dkk (2012: 51). Penilaian ini menggunakan skala 1 sampai 3 dengan kriteria sebagai berikut: Tabel 2.2 Instrumen Penilaian Keberterimaan Skor Parameter Kualitatif
Kategori Terjemahan Berterima 3
Kurang Berterima
2
Tidak Berterima
1
Terjemahan terasa alamiah, istilah teknis lazim digunakan dan akrab bagi pembaca; frasa, klausa, dan kalimat yang digunakan sudah sesuai kaidahkaidah bahasa Indonesia. Pada umunya terjemahan sudah terasa alamiah; namun ada sedikit masalah pada penggunaan istilah teknis atau terjadi sedikit kesalahan gramatikal. Terjemahan tidak alamiah atau terasa seperti karya terjemahan; istilah teknis yang digunakan tidak lazim digunakan dan tidak akrab bagi pembaca; frasa, klausa, dan kalimat yang digunakan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia.
2.
Pragmatik
a.
Pragmatik dan Penerjemahan Yule (1996: 3) menyebutkan 4 definisi pragmatik, yaitu 1) bidang
yang mengkaji makna pembicara, 2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya, 3) bidang yang mengkaji melebihi makna yang diujarkan, dikomunikasikan, atau terkomunikasikan oleh pembicara, dan
24
4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Di lain pihak, Nababan (1987: 2)
mengemukakan pragmatik sebagai aturan-
aturan pemakaian bahasa yaitu, pemilihan bentuk bahasa dan penentuan maknanya sehubungan dengan maksud pembicara sesuai dengan konteks dan keadaanya. Sehubungan dengan itu, Levinson (dalam Rahardi, 2008;48) mengemukakan pragmatik merupakan studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dan konteksnya. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang menelaah makna dengan tidak dapat lepas dari konteks di dalam suatu komunikasi. Konteks yang dimaksud adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan lawan tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan. Di dalam penerjemahan terdapat transfer pesan. Penerjemah dalam mentransfer pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran penting untuk memperhatikan konteksnya, oleh karenanya penguasaan akan pragmatik akan sangat membantu dalam tugasnya. Contoh: Fairy Mary
: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10.
Tinker Bell (BSu)
: Why are you counting?
Tinkel Bell (BSa)
: Mengapa kau berhitung? (Diambil dari Awang Wigantara, 2015: 31)
Tuturan ini diambil dari salah satu tuturan Tinker Bell yang terdapat pada DVD. Jika penerjemah jeli memperhatikan konteksnya, maka dia tidak akan menerjemahkan “you” dengan kamu, melainkan dengan “anda”. Tuturan tersebut merupakan pertanyaan yang dilontarkan oleh Tinker Bell kepada Peri Mary di mana status Peri Mary lebih tinggi dari Tinker Bell.
b.
Tindak Tutur (Speech Act) Tindak tutur merupakan kegiatan menggunakan bahasa kepada
lawan tutur dalam rangka mengkomunikasikan sesuatu (Kridalaksana,
25
1984:154). Makna yang dikomunikasikan tidak hanya dapat dipahami berdasarkan penggunaan bahasa dalam bertutur tersebut tetapi juga ditentukan oleh aspek-aspek komunikasi secara komprehensif, termasuk aspek-aspek situasional komunikasi. Dalam menuturkan kalimat, seorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan mengucapkan kalimat itu. Ketika sesorang menuturkan kalimat, berarti ia menindakkan sesuatu. Leech (1993:19-20) membagi aspek-aspek situasi ujar menjadi lima macam yaitu: (1) penutur dan lawan tutur, (2) konteks sebuah tuturan, (3) tujuan sebuah tuturan, (4) tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan (tindak ujar), (5) tuturan sebagai produk tindak verbal. Di sisi lain, Austin (dalam Thomas, 1995: 49) membagi tiga macam tindak tutur. Tindak tutur yang pertama adalah tindak lokusioner (locutionary acts) yaitu tindak tutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa dan kalimat itu. Tidak tutur ini disebut juga dengan the act of saying something. Tindak tutur yang kedua adalah tindak tutur ilokusioner (illocutionary acts) yaitu tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini disebut juga the act of doing something. Terakhir, tindak tutur yang ketiga adalah tindak
perlokusi
(perlocutionary
acts)
yaitu
tindak
tutur
yang
menimbulkan pengaruh atau efek kepada lawan tutur. Tindak tutur ini disebut dengan the act of affecting someone. Di antara ketiga jenis tindak tutur tersebut, tindak tutur ilokusioner menjadi kajian paling sentral dalam pragmatik. Teori inipun
menjadi pijakan bagi beberapa ahli dalam
mengembangkan kajian mengenai tindak tutur. Berpinjak dari teori tindak tutur ilokusi yang diungkapkan oleh Austin. Searle dalam Leech (1993: 164) menjabarkan tindak tutur ilokusioner sebagai berikut: 1.
Asertif (Assertives) Tindak tutur asertif merupakan tindak tutur yang mengikat penutur
pada kebenaran proposisi yang dituturkan, misalnya, menceritakan, melaporkan, mengemukakan, menyatakan, mengumumkan, mengusulkan,
26
mengeluh. Tindak tutur asertif juga dapat diartikan sebagai tindak tutur yang berfungsi untuk menerapkan atau menjelaskan sesuatu apa adanya. Contoh: BSu : I can hear something rushing round the house, huffing and puffing. Bsa : aku mendengar suara berisik seperti dengusan dan embusan di sekeliling rumah.
2.
Direktif (Directives) Tindak tutur direktif merupakan bentuk tindak tutur yang
dimaksudkan oleh penutur untuk membuat pengaruh agar lawan tutur melakukan sesuatu tindakan, misalnya memohon, meminta, memberi perintah, menuntut, melarang, dan memberi nasehat. Contoh: BSu
: Can I come Into your bed?
Bsa
: Bolehkah aku naik ketempat tidurmu?
3.
Komisif (Commissives) Tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yang menyatakan
janji
atau
penawaran,
misalnya
menawarkan,
menawarkan
diri,
menjanjikan, berkaul, bersumpah. Contoh : BSu
: I will finish my thesis soon.
Bsa
: Aku akan segara menyelesaikan tesisku.
4.
Ekspresif (Expressives) Tindak tutur ekspresif merupakan tindak tutur yang berfungsi
untuk menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang sedang dialami oleh lawan tutur, misalnya mengucapkan selamat, mengucapkan terima kasih, merasa ikut bersimpati, meminta maaf, memuji. Contoh : BSu
: Congratulation on your graduation.
Bsa
: Selamat atas kelulusanmu.
27
5.
Deklarasi (Declarations) Tindak
tutur
deklarasi
merupakan
tindak
tutur
yang
menghubungkan isi tuturan dengan kenyataannya, misalnya memecat, membaptis, menikahkan, mengangkat, menghukum, memutuskan. Contoh: BSu
: “We find the defendant guilty”
Bsa
: “Terdakwa kami nyatakan bersalah”
c.
Kesantunan
1.
Definisi Kesantunan (Politeness) Kesantunan (politeness) merupakan suatu bagian dari budaya, adat,
kebiasaan, etika, atau tata cara yang berlaku di masyarakat. Dengan kata lain, kesantunan merupakan suatu aturan yang terjadi di masyarakat mengenai perilaku manusia yang telah ditetapkan baik secara langsung maupun tidak langsung dan aturan tersebut telah disepakati bersama dalam suatu kelompok masyarakat tertentu sehingga kesantunan akhirnya menjadi bagian dari perilaku masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, kesantunan (politeness) dapat dilihat dari beberapa aspek, yakni kesantunan sebagian dari etiket atau tata cara yang sesuai dengan norma yang berlaku dalam kelompok masyarakat. Misalnya, dalam kelompok masyarakat tertentu bertamu sampai larut malam dapat dianggap tidak santun atau sopan. Dilihat dari hal tersebut, kesantunan bersifat sangat kontekstual. Artinya kesantunan yang berlaku pada suatu kelompok tertentu belum tentu berlaku juga pada kelompok masyarakat lainya karena setiap kelompok masyarakat memiliki tolak ukur yang berbeda-beda tentang kesantunan. Selain itu, kesantunan juga memiliki sifat bipolar yaitu hubungan dua kutub seperti hubungan antara anak dengan orang tua, pimpinan dengan bawahan, guru dengan murid, tuan rumah dengan tamu, dan sebagainya. Kesantunan dapat tercermin dalam cara berpakaian atau berbusana, cara berperilaku atau/ bertindak dan juga dengan cara bertutur atau berbahasa.
28
2.
Kesantunan Berbahasa Kesantunan berbahasa dan etika berbahasa atau tata cara berbahasa
merupakan dua hal yang berbeda, namun seringkali banyak yang menyamakan. Beberapa pakar mengajukan teori mengenai kesantunan berbahasa dengan pendekatan yang beragam. Akan tetapi, penelitian ini akan menggunakan teori kesantunan berbahasa yang diungkapan oleh Brown dan Levinson (1987) dengan alasan bahwa teori yang diungkapkan oleh Brown dan Levinson (1987) membahas strategi kesantunan dengan lebih rinci dan klasifikasi yang lebih jelas. Teori kesantunan berbahasa Brown dan Levinson (1987: 61) didasarkan pada konsep face atau “muka”. Kedua linguis ini mendefinisikan “muka” sebagai citra diri yang bersifat umum yang dimiliki oleh setiap orang. Setiap orang dianggap memiliki dua jenis “muka”, yakni muka positif dan muka negatif. Muka positif berkenaan dengan citra diri setiap manusia untuk dihargai, diakui, disenangi, atau diterima oleh orang lain, sedangkan untuk muka negatif merujuk kepada citra diri setiap individu agar wilayah pribadinya tidak terganggu oleh orang lain. Berdasarkan teori tersebut, Brown dan Levinson (1987: 65-68) menyatakan bahwa tindak tutur dapat menjadi ancaman terhadap muka seseorang.
Tindak
tutur
tersebut
sebagai
tindakan
yang
tidak
menyenangkan atau tindak mengancam muka disebut juga dengan Face Threatening Acts/FTA. Oleh karenanya, dalam teori kesantunan Brown dan Levinson terdapat konsep tentang muka positif (positive face) dan muka negatif (negative face) maka kesantunan pun terbagi atas kesantunan positif (positive politeness) yang berguna untuk menjaga muka positif (positive face) dan kesantunan negatif (negative politeness) untuk menjaga muka negatif (negative face). Berkaitan dengan FTA, Nadar (2009: 33) menjelaskan bahwa tindakan yang mengancam muka dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni
29
tindakan yang mengancam muka positif lawan tutur dan tindakan yang mengancam muka negatif lawan tutur. Tuturan yang mengancam muka positif lawan tutur diantaranya adalah mengkritik, menghina, ungkapan tidak setuju, dan lain-lain. Sementara itu, tindakan yang mengancam muka negatif antara lain: tuturan memerintah, meminta, menasihati, memberi peringatan, mengancam, berjanji, menawarkan, memuji, ungkapan perasaan benci atau marah terhadap lawan tutur. Dalam suatu aktivitas tuturan, tindakan mengancam muka dapat diatur dengan menerapkan strategi kesantunan berbahasa. Brown dan Levinson (1987: 60) menerapkan lima strategi kesantunan berbahasa untuk meminimalkan tindakan yang mengancam muka penutur atau lawan tutur, yaitu:
a.
Melakukan tindak tutur secara apa adanya (bald on record) Strategi bald on record berarti penutur melakukan tindak tutur
secara langsung tanpa basa basi. Dalam strategi kesantunan ini, Brown dan Levinson (dalam Nadar, 2009: 37) mengatakan bahwa penutur bertanggung jawab penuh terhadap tindakan yang ia lakukan dan berharap bahwa tuturannya dapat dipahami oleh lawan tutur pada saat peristiwa tutur ini terjadi. Strategi ini biasanya berpola tuturan seperti “Kerjakan X”. Pada umumnya, jenis strategi bald on record yang diujarkan secara langsung, dipakai untuk aksi-aksi komunikasi yang memiliki pontensi ancaman muka terhadap lawan tuturnya paling rendah (least threatening acst). Misalkan, tuturan langsung tersebut diujarkan oleh dua orang sahabat, diujarkan pada situasi darurat, atau apabila penutur memiliki kekuasaan
(power)
kekuasaannya.
atas
lawan
tuturnya
yang
berada
dibawah
30
b.
Melakukan tindak tutur dengan kesantunan positif (postive politeness) Brown dan Levinson (1987: 101) mengatakan bahwa kesantunan
positif dilakukan dengan pendekatan yang mengesankan pada lawan tutur bahwa pada hal-hal tertentu juga memiliki keinginan yang sama dengan lawan tutur. Lebih lanjut, seorang penutur menerapkan kesantunan positif dengan maksud menunjukkan kedekatan dan hubungan baik terhadap lawan tutur (Jumanto, 2005:41). Strategi kesantunan positif (positive politeness) dipakai untuk aksi-aksi komunikasi yang tidak terlalu mengancam muka lawan tutur (less threatening acts). Misalkan, komunikasi di antara dua orang kenalan atau teman dalam suatu kelompok di mana antara penutur dan lawan tutur terdapat kesukaan yang sama sehingga tindakan yang berpotensi mengancam muka lawan tutur tidak begitu dominan.
c.
Melakukan tidak tutur dengan kesantunan negatif (negative politeness) Melakukan tindak tutur dengan kesantunan negatif berarti penutur
menunjukkan adanya social brake atau jarak sosial antara penutur dan lawan tutur (Brown & Levinson 1987: 101). Strategi kesantunan negatif (negative politeness) disarankan untuk dipakai pada aksi-aksi komunikasi yang sangat berpotensi untuk mengancam muka lawan tutur (more threatening acts). Biasanya strategi ini dapat diterapkan dalam berkomunikasi dengan orang yang tidak begitu dikenal yang tidak ingin terganggu kebebasannya dan terbebani dengan perintah atau permintaan dari penutur.
d.
Melakukan tindak tutur secara tidak langsung (bald off record) Brown dan Levinson (1987: 211) mendefinisikan bald off record
sebagai strategi kesantunan yang membuat penutur melakukan tidak tutur secara tidak langsung dengan maksud tidak ingin dianggap bertanggung
31
jawab secara penuh terhadap tindakan yang dilakukannya. Tuturan dalam bald off record dapat diinterprestasikan secara beragam oleh lawan tutur. Strategi ini diterapkan pada aksi-aksi komunikasi yang secara pasti akan mengancam muka lawan tutur (most threatening acts).
e.
Tidak melakukan tindak tutur apapun atau diam Pada strategi kesantunan ini, penutur memilih untuk tidak
mengatakan apapun atau diam. Strategi kesantunan ini dilakukan karena besarnya kemungkinan mengancam muka jika tuturan tetap dilakukan. Strategi ini diterapkan manakala penutur ingin menghindari tindakan yang dapat mempermalukan lawan tutur, sehingga penutur lebih memilih untuk diam, akan tetapi tindakan diam atau tidak melakukan tindak tutur juga memiliki potensi mengancam muka lawan tutur karena merasa tidak dihargai. Saat penutur memilih untuk diam ketika penutur ingin menghindari tindakan yang dapat dipastikan akan mengancam muka dan mempermalukan lawan tutur. Ketika memilih untuk melakukan tindakan diam, sebenarnya penutur berharap lawan tutur memahami bahwa tindakannya dimaksudkan agar keduanya segera mengakhiri pembicaraan. Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang terancam mukanya. Berdasarkan teori di atas, peneliti akan mengunakan strategi kedua yaitu, strategi kesantunan positif (positive politeness), dikarenakan tuturan pada novel The Host banyak mengandung tuturan kesantunan positif.
3.
Strategi Kesantunan Positif (Postive Politeness) Istilah kesantunan positif berasal dari Brown dan Levinson (1987).
Mereka mengemukakan bahwa masalah kesantunan adalah masalah penyelamatan muka. Kesantuanan positif (postive politeness) berhubungan dengan muka positif lawan tutur. Muka positif berkenaan dengan keinginan agar apa yang dilakukan, apa yang dimiliki, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang diyakini dihargai orang lain, dan diakui sebagai sesuatu yang baik, yang menyenangkan, dan sebagainya (Brown &
32
Levinson, 1987: 101). Dalam sebuah tuturan, muka positif ini (juga muka negatif) sewaktu-waktu dapat terancam. Artinya, ada kalanya penutur yang merasa tidak dihargai sehingga muka positifnya terancam. Jika hal ini terjadi, komunikasi itu pasti tidak dapat berjalan dengan baik sebagaimana yang diharapkan. Untuk menghindari (atau setidak-tidaknya mengurangi) keterancaman terhadap muka positif tersebut, diperlukan kesantunan yang disebut dengan kesantunan positif. Kesantunan positif ini tentu dimaksudkan untuk melindungi muka positif, yang dilakukan dengan jalan menghargai petutur, baik terhadap apa yang dilakukan, apa yang dimiliki, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang diyakininya. Kesantunan positif ini pada umumnya menekankan segi kedekatan, keakraban, solidaritas, persahabatan, dan hubungan baik antara penutur dan petutur. Strategi ini oleh Brown dan Levinson (1987: 103-129) dirinci lagi menjadi lima belas macam sub-strategi dengan memberikan intonasi maupun penekanan melalui tuturannya: Sub-strategi
1:
memberi
perhatian
pada
lawan
tutur
dengan
memperhatikan minat, keinginan, kelakuan, kebutuhan dan barang-barang lawan tutur (Brown & Levinson, 1987: 103). Berdasarkan strategi tersebut, penutur harus memperhatikan aspek-aspek yang terjadi pada lawan tutur seperti, memperhatikan perubahan diri yang terjadi pada lawan tutur, kepemilikan atas barang-barang yang dimiliki lawan tutur, dan segala hal yang membuat penutur memperhatikan dan mengakui hal yang diinginkan lawan tutur. Contohnya: Bsu: “Will it help if I give you a ride?” Bsa: “Apakah membantu jika aku memberi tumpangan?” (diambil dari novel The Host) Contoh di atas menunjukkan bahwa penutur ingin memuaskan keinginan lawan tutur. Penutur tahu bahwa lawan tutur khawatir akan kondisi adik lawan tutur yang ditinggalkan sendirian di tempat persembunyian sehingga penutur mencoba menawarkan tumpangan agar
33
lawan tutur dapat segera bertemu dengan adiknya. Hal tersebut membuat lawan tutur puas bahwa kebutuhannya diperhatikan. Sub-strategi 2: membesar-besarkan minat, persetujuan, simpati terhadap lawan tutur (Brown & Levinson, 1987: 104). Berdasarkan strategi di atas, penutur bermaksud untuk memenuhi wajah positif lawan tutur dengan melebih-lebihkan ketertarikan terhadap keadaan lawan tutur dengan memuji, menyatakan persetujuan, menyatakan simpati serta ketertarikan kepada lawan tutur. Dalam strategi ini, penutur biasanya menggunakan intonasi yang melebih-lebihkan, memberi tekanan pada tuturan, dan aspeknya lainya dari prosodic pada saat bertuturan dengan lawan tutur seperti, penggunaan intensifying modifiers. Contohnya: Bsu: “Well, ain't that amazin'? There's something we could use around here. Mag's girl Sharon does the teaching for the three kids, but there's a lot she can't help with. She's most comfortable with math and the like. History, now –.” Bsa: “Well, bukankah itu hebat?Ada yang bisa kita manfaatkan di sini. Anak perempuan Mag, Sharon mengajari tiga anak, tapi banyak yang tidak bisa ditanganinya. Dia paling suka matematik dan sejenisnya. Nah, sejarah-.” (diambil dari novel The Host) Contoh di atas menunjukkan bahwa penutur telah memenuhi wajah positif lawan tutur dengan menunjukkan bahwa penutur menyukai minat lawan tutur. Kata “amazin”merupakan kata yang membesar-besarkan persetujuan penutur karena penutur tahu bahwa lawan tutur menyukai mengajar. Sub-strategi 3: meningkatkan ketertarikan terhadap lawan tutur (Brown & Levinson, 1987: 106). Jadi, strategi ini adalah cara penutur untuk berkomunikasi dengan lawan tutur dengan mendramatisir peristiwa atau fakta. Strategi ini membuat penutur ingin membagi beberapa keinginannya sehingga dapat memperkuat minat yang dimiliki penutur pada saat terjadi percakapan antara lawan tutur dengan cara menciptakan suatu cerita yang bagus. Biasanya, pada strategi ini penutur menyelipkan ungkapan yang
34
menarik perhatian lawan tutur. Strategi ini adalah salah satu ciri biasa dari percakapan positif yang sopan karena bermaksud menarik lawan tutur ke tengah-tengah kejadian yang dibicarakan yang di lakukan secara metaforis yang terjadi pada tingkat tertentu, sehingga meningkatkan minat intrinsik mereka terhadapnya. Penggunaan sub-strategi ini terkadang juga menyelipkan sisipan ungkapan dan pertanyaan yang tujuannya membuat lawan tutur lebih terlibat interaksi. Contohnya: Bsu: “They've got Kyle and Jared. We're dead without you.” Bsa: “Mereka punya Kyle dan Jared. Kami mati tanpamu.” (diambil dari novel The Host) Contoh tuturan di atas menunjukkan bahwa penutur bermaksud untuk menimbulkan ketertarikan agar lawan tutur mau mengikuti permintaannya. Penutur kekurangan orang untuk bermain sepak bola agar timnya menang penutur mencoba mendramatisir keadaan supaya lawan tutur tertarik untuk ikut bermain. Tuturan tersebut menunjukkan bahwa penutur mencoba menarik lawan tutur ke tengah-tengah kejadian tujuannya agar lawan tutur lebih terlibat interaksi. Sub-strategi 4: menggunakan penanda yang menunjukkan jati diri atau kelompok (Brown & Levinson, 1987: 106). Jadi, strategi ini merupakan salah satu cara dalam strategi kesantunan positif untuk membuat petutur menjadi bagian dalam suatu kelompok atau masyarakat tertentu. Biasanya, pada strategi ini dengan menggunakan bentuk sapaan yang intim, bahasa atau dialek kelompok yang mencirikan kedekatan personal, jargon, slang dan elipsis. Penyampaian untuk menjadi anggota sebuah kelompok dapat menggunakan banyak cara yang tidak terhingga. Hal tersebut membuat penutur secara implisit dapat mengklaim bidang yang sama dengan lawan tutur yang disampaikan melalui definisi kelompok tersebut. Contohnya: Bsu: “Don't let 'em get you, honey.” Bsa: “Jangan biarkan mereka menangkapmu, sayang.” (diambil dari novel The Host)
35
Pada contoh tuturan di atas, penutur mengunakan kesantunan positif dengan memakai penanda jati diri atau kelompok. Dalam tuturan di atas penutur dan lawan tutur adalah paman dan keponakan. Penutur menggunakan “honey” kepada lawan tutur agar meminimalkan FTA (saran). Tuturan tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa lawan tutur adalah bagian kelompok dari penutur. Sub-strategi 5: mencari dan mengusahakan persetujuan terhadap lawan tutur dengan mengulang sebagian tuturan lawan tutur untuk menunjukkan kesetujuannya (Brown & Levinson, 1987: 112). Berdasarkan strategi tersebut, bahwa persetujuan dapat dilakukan dengan perulangan sebagian atau seluruh tuturan apa yang dimaksud oleh lawan tutur dalam suatu percakapan untuk menunjukkan bahwa penutur telah mendengar secara tepat apa yang diucapkan lawan tutur. Pengulangan terjadi untuk menekankan persetujuan emosional dengan gagasan atau menekan minat dan kejutan. Strategi ini biasanya membuat penutur membicarkan hal-hal yang menjadi topiknya ketertarikan dan aman bagi lawan tutur. Contohnya: Bsu: Melanie : “Maybe he told Aunt Maggie. Maybe she got better directions”. Jared : “Maybe,” Bsa: Melanie: “Mungkin Uncle Jeb menceritakannya kepada Aunt Maggie. Mungkin Aunt Maggie punya petunjuk-petunjuk lebih baik.” Jared: “Mungkin.” (diambil dari novel The Host) Pada contoh tuturan di atas menunjukkan bahwa penutur mencari kesepakatan dengan cara mengulang sebagian yang dikatakan oleh lawan tutur. Tuturan tersebut menunjukkan bahwa penutur berkerja sama dengan
36
lawan
tuturnya
dan
lawan
tutur
pun
puas
karena
penutur
mendengarkannya. Sub-strategi 6: menghindari ketidaksetujuan terhadap lawan tutur dengan cara menunjukkan persetujuan (Brown & Levinson, 1987: 113). Berdasarkan strategi tersebut, penutur menghindari ketidaksetujuan pendapat dan berusaha menunjukkan ketidaksetujuan pendapat dengan cara sehalus mungkin agar tidak mengintimidasi lawan tutur. Pada strategi ini ada beberapa cara untuk menghindari ketidaksetujuan seperti, persetujuan pura-pura, persetujuan yang semu, berbohong untuk kebaikan, dan kata berpagar. Oleh karenanya, strategi ini merupakan keinginan penutur untuk sepakat atau menunjukkan kesepakatan terhadap lawan tutur yang mengacu pada mekanisme untuk berpura-pura. Penutur biasanya berpura-pura tampak setuju untuk menghindari perselisihan dengan cara berkata “Ya. Tapi...”. Contohnya: Bsu: Kyle : “Why? You said you made sure. It's one of them.” Jeb :“Well, yes, she surely is. But it's a little complicated.” Bsa: Kyle: “Kenapa? Katamu kau sudah memastikan. Dia salah satu dari mereka.” Jeb: “Well, ya itu pasti. Tapi agak rumit.” (diambil dari novel The Host)
Pada contoh tuturan di atas menunjukkan bahwa penutur menghindari ketidaksepakatan. Pada tuturan di atas penutur tidak setuju dengan keinginan lawan tutur. Lalu untuk memuaskan wajah positif lawan tutur, penutur menyetujui pendapat lawan tutur untuk mengurangi FTA terhadap lawan tutur. Sub-strategi 7: menunjukkan hal-hal yang dianggap mempunyai kesamaan melalui basa-basi dan presuposisi (Brown & Levinson, 1987: 117). Pada strategi ini mempresuposisikan sejumlah persamaan antara penutur dan
37
petutur dengan mengurangi FTA ketika membicarakan topik yang tidak terkait sebelum menuju topik utama melalui sebuah percakapan yang menarik minat lawan tutur terhadap tuturan penutur. Penggunaan basa-basi saat melakukan percakapan yang dilakukan oleh penutur dengan lawan tutur adalah sebagai upaya penutur untuk menghabiskan waktu, sedangkan bagi lawan tutur sebagai upaya tanda persahabatan atau ketertarikan akan dirinya. Penutur menekankan minat umumnya atas lawan tutur, dan menunjukkan kepada lawan tutur bahwa penutur belum ingin melihat lawan tutur melakukan FTA (misal, membuat permintaan) bahkan keinginan hal tersebut tampak jelas dilakukan dengan membawa sebuah hadiah. Strategi ini di gunakan untuk menghaluskan permintaan atau meminta kesediaan. Contohnya: Bsu: “I've wondered a lot what it's like–getting caught, you know. Saw it happen more than once, come close a few times myself. What would it be like, I wondered. Would it hurt, having something put in your head? I've seen it done, you know.” Bsa: “Aku sering bertanya-tanya, bagaimana rasanya tertangkap-Kau tahu, kan? Peristiwa itu pernah kusaksikan lebih dari satu kali, dan aku sendiri nyaris beberapa kali nyaris tertangkap. Aku ingin tahu bagaimana rasanya. Apakah menyakitkan, ketika mereka meletakkan sesuatu ke dalam kepalamu? Kau tahu, aku pernah melihat kejadiannya.” (diambil dari novel The Host) Pada contoh tuturan di atas menunjukkan penutur melakukan strategi ini bermaksud untuk membuat lawan tutur tertarik akan topik yang dibicarakan sehingga lawan tutur lebih terlibat dalam berinteraksi yang diciptakan penutur. Penutur menganggap bahwa lawan tuturnya mengerti maksud tuturannya. Penggunaan tuturan ‘you know’ menegaskan bahwa penutur ingin membuat persepsi yang dapat meningkatkan intensitas terhadap tuturan penutur. Strategi ini digunakan oleh penutur karena penutur ingin menyelamatkan muka positif lawan tuturnya Sub-strategi 8: menyatakan lelucon (Brown & Levinson, 1987: 124). Pada strategi ini lelucon terjadi karena latar belakang pengetahuan dan nilainilai timbal balik antara penutur dan lawan tutur maka lelucon dapat
38
digunakan untuk menekan latar belakang yang dibagikan atau nilai-nilai yang dibagikan. Lelucon merupakan salah satu teknik dasar kesantunan positif. Lelucon dapat meminimalkan FTA atas dasar permintaan. Penutur menggunakan lelucon untuk membuat lawan tutur menjadi nyaman saat penutur melakukan tuturan permintaan. Contohnya: Bsu: “Just don't test me. I haven't shot anybody in a real long time, and I sort of miss the thrill of it.” Bsa: “Tapi jangan mengujiku. Aku sudah lama sekali tidak menembak orang dan aku agak merindukan kegairahan itu.” (diambil dari novel The Host) Contoh tuturan di atas menunjukkan bahwa penutur meminta lawan tutur untuk tidak menganggu tahanan yang sedang dalam perlindungan penutur. Penutur memperingatkan orang-orang yang melanggar perintahnya akan ditembak. Untuk meredakan situasi penutur berbicara sambil berkelakar sehingga meminimalkan FTA terhadap lawan tutur. Penutur menggunakan lelucon untuk tidak mempermalukan lawan tutur. Sub-strategi 9: mempresuposisikan bahwa penutur memahami keinginan lawan tuturnya dengan menyatakan bahwa penutur dan lawan tutur adalah kooperator (Brown & Levinson, 1987: 125). Strategi ini merupakan satusatunya cara menunjukkan bahwa penutur dan lawan tutur bekerja sama sehingga secara potensial meletakkan tekanan pada lawan tutur untuk bekerja sama dengan penutur dengan menegaskan atau menyiratkan pengetahuan akan keinginan lawan tutur dan kemauan untuk mencocokkan keinginan seseorang dengan mereka. Contohnya: Bsu: “She is exceptional among our kind–braver than most. Her lives speak for themselves. I think she would volunteer, if it were possible to ask her.” Bsa: “Dia luar biasa di antara bangsa kita—lebih berani daripada sebagian besar kita. Kehidupan-kehidupan yang pernah dijalaninya membuktikan hal itu. Kurasa dia akan menawarkan diri, seandainya kita bisa menanyainya.” (diambil dari novel The Host)
39
Tuturan di atas tersebut menyatakan bahwa penutur dan lawan tutur adalah kooperator. Penutur menegaskan atau mengimplikasikan pengetahuan tentang keinginan dan kemauan lawan tutur sebagai suatu keinginan bersama. Strategi ini digunakan oleh penutur karena penutur ingin memberikan kepuasan terhadap muka lawan tuturnya. Sub-strategi 10: membuat penawaran atau janji (Brown & Levinson, 1987: 125). Strategi ini bertujuan untuk memuaskan muka positif lawan tutur. Pada strategi ini, penutur memilih untuk menekankan kerja sama dengan lawan tutur dengan cara lain dikarenakan untuk meredam ancaman potensial dari beberapa FTA. Penutur dapat mengakui bahwa (dalam keadaan tertentu yang relavan) apapun yang diinginkan lawan tutur yang diinginkan penutur juga dan penutur akan membantu lawan tutur untuk mendapatkannya. Penawaran dan janji merupakan akibat alami dari pemilihan strategi ini. Contohnya: Bsu: “I'll come back. I always come back” Bsa: “aku akan kembali. Aku selalu kembali.” (diambil dari novel The Host) Contoh tuturan di atas menunjukkan strategi kesantunan positif berjanji. Penutur ingin memuaskan keinginan lawan tuturnya disebabkan lawan tutur khawatir bahwa penutur tidak kembali lagi padanya. Pada tuturan di atas menunjukkan bahwa penutur mengetahui dan peka terdapat keinginan lawan tutur. Dengan tekanan pengulangan menunjukkan bahwa penutur ingin berkerja sama dengan lawan tutur. Sub-strategi 11: menunjukkan rasa optimisme beranggapan bahwa lawan tutur menginginkan atau membantu penutur mencapai keinginan penutur (Brown & Levinson, 1987: 126). Berdasarkan strategi tersebut, penutur menganggap keinginan lawan tutur sama dengan keinginan penutur dan penutur akan membantu lawan tutur untuk memperolehnya. Oleh karena itu, melalui asumsi penutur bahwa lawan tutur akan bekerja sama dengan penutur dikarenakan hal tersebut merupakan kepentingan yang saling menguntungkan. Contohnya:
40
Bsu: “Have faith, Wanderer. We'll find Uncle Jeb, or he'll find us” Bsa: “Yakinlah, Wandarer. Kita akan menemukan Uncle Jeb, atau ia yang akan menemukan kita.” (diambil dari novel The Host) Contoh tuturan di atas menunjukkan strategi kesantunan positif yang menunjukkan rasa optimisme. Pada tuturan di atas, penutur berasumsi bahwa mereka dapat menemukan orang di cari atau orang yang di cari tersebutlah yang menemukan penutur dan lawan tutur tersebut. Penutur menganggap jika lawan tutur berkerja sama, mereka dapat mencapai tujuan. Tuturan yang di atas memuaskan muka positif lawan tutur. Sub-strategi 12: berusaha melibatkan lawan tutur dan penutur dalam suatu kegiatan tertentu (Brown & Levinson, 1987: 127). Pada strategi ini, dimaksudkan bahwa penutur melibatkan lawan tutur dalam suatu kegiatan yang awalnya akan dilakukan oleh penutur sendiri. Biasanya, pada strategi ini menggunakan kata we atau let’s. Dengan menggunakan suatu bentuk inklusif “we” atau “kita” ketika saat penutur memaksudkan “saya” atau “kamu” maka penutur dapat mengasumsikan suatu kerja sama antara penutur dan lawan tutur dan dapat meredakan FTA. Contohnya: Bsu: “We'll seed and water tomorrow.” Bsa: “Kita akan menanam dan mengairinya besok,” (diambil dari novel The Host) Pada contoh di atas, penutur melibatkan lawan tutur dalam suatu kegiatan yang biasanya dilakukan kelompok tersebut. Saat itu status lawan tutur merupakan tahanan yang tidak bebas bergerak ke mana saja. Kegiatan tersebut membuat lawan tutur sebagai bagian dari kelompok tersebut. Sub-strategi 13: memberikan dan meminta alasan dengan melibatkan lawan tutur dalam suatu kegiatan yang dikehendaki penutur (Brown & Levinson, 1987: 128). Strategi ini digunakan biasanya saat mengeluh dan mengkritik dengan menuntut alasan dengan asumsi jika tidak ada alasan
41
yang bagus antara lawan tutur dan penutur tidak seharusnya berkerja sama. Pada aspek ini, penutur memberikan alasan mengapa dia menginginkan apa yang dia inginkan dengan menyertakan lawan tutur. Contohnya: Bsu: “Why did you give it water, Jeb?” Bsa: “Mengapa kau memberinya air, Jeb?” (diambil dari novel The Host) Pada tuturan yang dinyatakan oleh penutur di atas mempunyai makna bahwa penutur menanyakan kepada lawan tutur mengapa ia memberi air kepada Wanderer. Lawan tutur tidak menyukai tindakan yang dilakukan penutur. Dengan cara meminta alasan ini penutur optimis bahwa lawan tutur dapat melakukan kooperator yang baik. Penutur memilih strategi ini karena ingin melakukan FTA melalui kritikan. Sub-strategi 14: mengharap atau menuntut timbal balik (Brown & Levinson, 1987: 129). Pada strategi ini, jika lawan tutur melakukan X, maka penutur akan melakukan Y. Strategi ini akan meredakan FTA dengan meniadakan aspek hutang budi antara lawan tutur dengan penutur. Contohnya: Bsu: I'll make you a deal. You wait here while I gather more food, and I'll take you anywhere you want to go in my jeep. It's faster than running–even faster than you running. Bsa: Begini saja. Kau menunggu di sini, sementara aku mengumpulkan lebih banyak makanan. Lalu aku akan mengantarkanmu, ke mana pun kamu ingin pergi, dengan jipku. Lebih cepat daripada berlari—bahkan lebih cepat dari larimu. (diambil dari novel The Host) Contoh tuturan di atas menyelamatkan muka positif lawan tutur. Hal tersebut dilakukan dengan menyatakan permintaan yang timbal balik sehingga antara lawan tutur dan penutur melakukan FTA bersama-sama. Dengan melakukan hal timbal balik tersebut, mengurangi FTA yang di lakukan penutur kepada lawan tutur.
42
Sub-strategi 15: memberikan penghargaan tidak hanya benda nyata tetapi juga keinginan berinteraksi, keinginan untuk disukai, diakui, diperhatikan, dipahami, didengarkan, dan sebagainya (Brown & Levinson, 1987: 129). Berdasarkan strategi di atas, penutur bermaksud memuaskan muka positif lawan tutur dengan cara apa yang diinginkan lawan tutur juga diinginkan penutur, yaitu dengan benar-benar memuaskan beberapa keinginan lawan tutur. Contohnya: Bsu: “We don't like to waste batteries, and most of us know the floor here by heart, but since it's your first time, you can find your way with this.” Bsa: “Kami tidak suka memboroskan baterei, dan sebagian besar dari kami sudah hafal lantai di sini. Tapi karena ini pengalaman pertamamu, kau bisa mencari jalanmu dengan ini.” (diambil dari novel The Host) Pada contoh di atas termasuk dalam sub-strategi terakhir dalam kesantunan positif yaitu memberikan penghargaan berupa memberikan hadiah di mana penutur tahu bahwa lawan tutur membutuhkan senter supaya lawan tutur dapat menerangi jalannya saat berada di toilet. Pada data di atas menunjukan bahwa penutur mengakui lawan tutur sebagai bagian dari kelompoknya. Walaupun status lawan tutur merupakan tahanan di sana. Tuturan di atas memuaskan muka positif lawan tutur bahwa apa yang diinginkan lawan tutur merupakan juga yang diinginkan penutur.
4.
Skala Kesantunan Brown dan Levinson Selain merumuskan jenis-jenis strategi tindak mengancam muka,
Brown dan Levinson juga mengemukakan tiga skala penentu tinggi rendahnya kesantunan dan sebuah tuturan. Ketiga skala kesantunan tersebut ditentukan secara kontekstual, sosial dan juga kultural. Skala kesantunan yang dirumuskan oleh Brown dan Levinson (1987) meliputi, yakni:
43
Skala kesantunan yang pertama ditentukan berdasarkan peringkat jarak sosial antara penutur dan lawan tutur. Tingkat keakraban sosial (social distance) biasanya ditentukan oleh perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosial kultural. Misalkan, seorang teman dekat akan mengubah pola tuturannya kepada temannya yang saat itu sedang memimpin rapat resmi dan sekaligus menjadi atasannya. Skala kesantunan yang kedua ditentukan peringkat status sosial antara penutur dan lawan tuturnya (the speaker and hearer relative power) yang ditentukan berdasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan lawan tuturnya. Misalkan, seorang dokter memiliki peringkat kekuasaan lebih tinggi atas pasiennya meskipun pasiennya berkedudukan sebagai seorang polisi dan sebaliknya apabila dokter tersebut melanggar peraturan lalu lintas, maka polisi itu memiliki tingkat kekuasan yang lebih tinggi daripada seorang dokter dan dapat menangkapnya. Lalu, untuk skala kesantunan yang ketiga berdasarkan peringkat tindak tutur (rank rating) yang diukur atas dasar kedudukan relatif antara tindak tutur yang satu dengan yang lainnya. Misalkan, menelepon seseorang yang tidak memiliki hubungan dekat pada waktu larut malam akan dianggap tidak sopan bahkan dianggap melanggar norma kesantunan. Akan tetapi, hal yang sama dapat dianggap santun apabila terjadi hal darurat seperti mengabarkan berita duka cita, musibah, sakit, atau kabar bencana, dan sebagainya.
3. Novel The Host Novel The Host merupakan novel keempat dari Stephenie Meyer. Setelah berhasil menerbitkan novel bestseller yang diangkat ke layar lebar. Stephenie Meyer menerbitkan karya terbaru yang berbeda dari novel sebelumnya. Novel ini dirilis pada tahun 2008 dan di terjemahkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2009. The Host juga sudah dikembangkan menjadi sebuah Film yang dirilis pada tahun 2013.
44
The Host menceritakan tentang pertarungan mahkluk asing yang bernama Jiwa, yang ingin menguasai bumi, karena mereka menganggap bahwa manusia adalah mahluk mortal yang kasar. Raga-raga manusia dirasuki oleh para Jiwa, bagi manusia yang menentang maka akan terjadi goncangan bagi si tuan rumah/inang. Melanie Stryder adalah salah satu manusia yang masih memiliki jiwa pemberontak yang tersisa setelah invasi dari 'jiwa'. Setelah penyisipan ke dalam tubuh manusia, jiwa-jiwa asing ini akan menghapus keberadaan penghuni manusia dan menetapkan klaim atas tubuh dan pikiran mereka. Wanderer adalah jiwa yang pernah tinggal di delapan planet lain sebelumnya, dan Melanie menjadi tubuh inang kesembilannya. Setelah disisipkan pada Melanie, Wanderer kewalahan karena kejelasan emosi dan indera dari kenangan manusia, dan ia dengan cepat mengetahui bahwa ia tidak bisa sepenuhnya mengklaim kepemilikannya atas pikiran Melanie. Wanderer dibombardir oleh kenangan Melanie dan rasa rindunya yang kuat pada Jared Howe (kekasihnya), dan Jamie Stryder (adiknya). Melanie dengan putus asa berupaya mencari tahu apakah mereka semua masih hidup. Dalam perjalanan ke Tucson, Melanie ingat bahwa Pamannya, Jeb, pernah bercerita tentang tempat persembunyian rahasia yang ia buat, dan Jared mengetahui tempat ini. Wanderer memutuskan untuk menemukan tempat persembunyian itu, dengan sketsa samar jalan menuju ke sana, yang muncul dari kenangan Melanie. Wanderer akhirnya ditemukan oleh Jeb dalam keadaan sekarat. Ia dibawa ke tempat persembunyian, sebuah kompleks gua tempat sekelompok manusia pemberontak yang masih hidup tinggal, namun ia diperlakukan dengan sinis karena mereka menganggap bahwa Wanderer adalah parasit dalam tubuh Melanie. Seiring waktu, Wanderer, yang sekarang dipanggil "Wanda", menjadi bagian dari rutinitas kelompok. Ia ikut bekerja, makan, dan menjadi guru sejarah tidak resmi dengan menceritakan kisah-kisah setelah makan malam tentang pengalaman di mantan tubuh inangnya di planet lain
45
yang ditempati oleh jiwa-jiwa. Selama waktu ini, Ian, Jamie, dan manusia lainnya mulai berteman dengan Wanda. Pada suatu hari, Jamie terluka dan Wanda menyadari bahwa ia bisa menyembuhkannya dengan obat-obatan Penyembuh. Setelah melukai dirinya sendiri agar bisa dirawat oleh Penyembuh, ia mencuri obat-obatan yang diperlukan untuk membantu Jamie. Para manusia mulai mengijinkan Wanda untuk membantu mereka dalam aksi pencurian. Dalam salah satu aksi, mereka kepergok oleh Seeker dan Wes tertembak, Wanda lalu memutuskan untuk mengungkapkan rahasia terbesarnya: bagaimana menghapus jiwa tanpa membunuh manusia atau jiwa, prosedur yang dipercayakan untuk dilakukan oleh Doc. Wanda berjanji untuk mengajari Doc dengan dua syarat: pertama, mereka harus mengirimkan jiwa-jiwa ke planet baru tanpa menyakiti mereka, dan kedua, Doc harus menghapus jiwa Wanda dari tubuh Melanie dan menguburkan Wanda, karena ia tidak ingin menjadi parasit lagi. Ian yang sangat marah atas ide Wanda yang berniat untuk mengakhiri hidupnya agar Jared bisa memiliki Melanie kembali. Namun, Wanda masih bertekad untuk mengorbankan hidupnya demi Melanie. Wanda berhasil meyakini Doc untuk menyingkirkannya dari tubuh Melanie, percaya bahwa ia akan mati setelahnya, sesuai kesepakatan mereka. Namun, ia terbangun dalam tubuh manusia baru yang, dan ia mengetahui bahwa Jared dan Ian memaksa Doc untuk melanggar kesepakatan meraka, Wanda juga tahu bahwa sebagian besar manusia menginginkannya untuk tetap tinggal sebagai salah satu dari mereka. Buku ini diakhiri dengan para pemberontak yang menemukan kelompok manusia lain yang juga memiliki jiwa dalam kelompok mereka. Penemuan ini menunjukkan bahwa manusia dan jiwa mungkin masih memiliki harapan untuk masa depan.
46
B. Kerangka Pikir Kerangka pikir merupakan alur dalam sebuah penelitian. Alur penelitian
ini
dimulai
dengan
mengidentifikasi
kalimat
yang
merepresentasikan tuturan kesantunan positif baik dari bahasa sumber dan bahasa sasaran. Kemudian, peneliti mengidentifikasi penanda strategi kesantunan positif pada bahasa sumber dan bahasa sasaran. Penelitian dilanjutkan dengan menemukan teknik-teknik penerjemahan yang dipakai dalam menerjemahkan kalimat yang merepresentasikan tuturan kesantunan positif yang ada. Melalui analisis mengenai teknik penerjemahan ini, dapat ditemukan teknik apa saja yang berpengaruh terhadap bergeser atau tidak bergesernya strategi kesantunan positif yang ada pada bahasa sumber dan bahasa sasaran. Tahap berikutnya adalah analisis mengenai kualitas terjemahan, meliputi aspek keakuratan dan keberterimaan, dengan melibatkan pembaca ahli dalam memberi penilaian terhadap kualitas terjemahan. Pada tahap terakhir adalah membuat kesimpulan dari hasil penelitian. Alur penelitian disajikan dalam diagram berikut:
47
Gambar 2.2 Kerangka Pikir Penelitian
Kalimat yang Merepresentasikan Tuturan Kesantunan positif
Bahasa Sumber
Bahasa Sasaran
Penanda Strategi Kesantunan Positif
Teknik Penerjemahan
Kualitas Terjemahan
Keakuratan
Keberterimaan
Pembaca Ahli (Rater)
Kesimpulan