BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Teori 1. Model Pembelajaran a. Pengertian Model Pembelajaran Model pembelajaran menurut Calhoun
dan Weil (2012: 17),
merupakan pola yang biasa digunakan guna menyusun kurikulum, mendesain materi-materi instruksional, dan memandu proses pengajaran di kelas. Sejalan dengan definisi tersebut Eggen dan Kauchak (2012: 7-8) menyatakan bahwa model pengajaran adalah pendekatan spesifik dalam mengajar yang memiliki tiga ciri yaitu: dirancang untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, memperoleh pemahaman mendalam tentang materi, membantu siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran, dan memotivasi siswa. Agus Suprijono (2009) mendefinisikan model pembelajaran yaitu landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar
yang dirancang berdasarkan analisis terhadap
implementasi kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional di kelas. Senada dengan pendapat tersebut, Dewi (2007: 33) mendefinisikan model pembelajaran secara umum dapat diartikan sebagai tampilan grafis, suatu kerangka konseptual yang melukiskan aturan yang sistematis dalam mengorganisasikan belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Dengan demikian, aktivitas belajar mengajar benar-benar merupakan
14
15
kegiatan yang tertata secara sistematis dan terlaksana sesuai dengan yang telah direncanakan. Triyanto (2013: 52) menyatakan bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Fungsi model pembelajaran adalah sebagai pedoman bagi perancang pengajaran dan para guru dalam melaksanakan pembelajaran. Pemilihan model pembelajaran sangat dipengaruhi oleh sifat dari materi yang diajarkan, tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran tersebut, serta tingkat kemampuan peserta didik. Berdasarkan uraian tentang pengertian model pembelajaran maka dapat ditarik kesimpulan bahwa model pembelajaran merupakan suatu konsep dalam praktik pembelajaran dengan rancangan prosedur yang sistematis
untuk
mencapai
tujuan
pembelajaran
tertentu.
Model
pembelajaran sebagai sarana bagi guru untuk menerapkan praktik mengajar yang disesuaikan dengan materi standar kompetensi dan kompetensi dasar agar sesuai dengan kebutuhan dan harapan dari peserta didik. b. Tipe-Tipe Model Desain Sistem Pembelajaran Menurut Gagne (Sanjaya, 2008: 66) desain pembelajaran disusun untuk membantu proses belajar siswa, di mana proses belajar itu memiliki tahapan segera dan tahapan jangka panjang. Gagne menyatakan bahwa belajar dapat dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
16
internal berasal dari dalam individu siswa. Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar individu. Sejalan dengan pendapat tersebut Kemp dkk (Pribadi, 2009: 86) berpendapat bahwa model desain sistem pembelajaran membantu sebagai perancang program atau kegiatan pembelajaran dalam memahami kerangka teori dengan lebih baik dan menerapkan teori tersebut. Model desain sistem pembelajaran berperan sebagai alat konseptual, pengelolaan, komunikasi untuk menganalisis, merancang, menciptakan, mengevaluasi program pembelajaran, dan program pelatihan. Banyak model desain pembelajaran yang dikembangkan oleh para ahli. Beberapa di antaranya disajikan di bawah ini: 1) Model Kemp Menurut Kemp pengembangan perangkat merupakan suatu lingkaran yang kontinum. Tiap-tiap langkah pengembangan berhubungan langsung dengan aktivitas revisi. Pengembangan perangkat dapat dimulai dari titik mana pun di dalam siklus tersebut. Perangkat model Kemp memberi kesempatan kepada para pengembang untuk dapat memulai dari komponen mana pun (Trianto, 2009: 179). 2) Model Banathy Model Banathy memandang bahwa penyusunan sistem instruksional dilakukan melalui tahapan-tahapan yang jelas. Tahap-tahap dalam mendesain suatu program pembelajaran yakni: menganalisis dan merumuskan
tujuan,
merumuskan
kriteria
tes,
menganalisis
dan
17
merumuskan kegiatan belajar, merancang sistem, mengimplementasikan dan melakukan kontrol kualitas sistem, dan mengadakan perbaikan dan perubahan berdasarkan hasil evaluasi (Sanjaya, 2008: 73). 3) Model Dick & Carey Mendesain pembelajaran model Dick & Carey harus dimulai dengan mengidentifikasi tujuan pembelajaran umum. Tujuan khusus baru dirumuskan
setelah
menganalisis
pembelajaran
serta
menentukan
kemampuan awal siswa terlebih dahulu. Setelah itu, dikembangkan strategi pembelajaran yakni skenario pelaksanaan pembelajaran. Langkah akhir dari desain adalah melakukan evaluasi formatif dan evaluasi sumatif (Sanjaya, 2008: 75). 4) Model Assure Model Assure difokuskan pada perencanaan pembelajaran untuk digunakan dalam situasi pembelajaran di dalam kelas secara aktual. Model ini dikembangkan untuk menciptakan aktivitas pembelajaran yang efektif dan efisien, khususnya pada kegiatan pembelajaran yang menggunakan media dan tekhnologi. 5) Model Addie Salah satu model desain pembelajaran yang memperlihatkan tahapantahapan dasar yang sederhana dan mudah dipelajari adalah model Addie. Model ini sesuai dengan namanya, terdiri dari lima fase utama, yaitu: Analysis, Desain, Development, Implementation, dan Evaluation. Kelima
18
fase dalam model Addie perlu dilakukan secara sistematik (Pribadi, 2009: 125). c. Prinsip-Prinsip Model Pembelajaran Istilah model pembelajaran meliputi pendekatan suatu model pembelajaran yang luas dan menyeluruh. Model-model pembelajaran dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan pembelajarannya, sintaks (pola urutannya) dan sifat lingkungan belajarnya. Nieven (Triyanto, 2011: 144) mengemukakan: Suatu model pembelajaran dikatakan baik jika memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) sahih (valid), aspek validitas yang dikaitkan dengan dua hal itu yaitu: apakah model yang dikembangkan didasarkan pada rasional teoritis yang kuat dan apakah terdapat konsistensi internal?; (2) praktis, aspek kepraktisan dapat dipenuhi jika para ahli dan praktisi menyatakan bahwa apa yang dikembangkan dapat diterapkan dan kenyataannya menunjukkan bahwa apa yang dikembangkan tersebut dapat diterapkan; (3) efektif, berkaitan dengan aspek efektifitas model ini, Nieven memberikan parameter: ahli dan praktisi berdasarkan pengalamannya menyatakan bahwa model tersebut efektif dan secara operasional model tersebut memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Dalam kaitannya dengan mengajar IPS yang termasuk di dalamnya mata pelajaran sejarah guru dapat mengembangkan model mengajarnya yang dimaksudkan sebagai upaya mempengaruhi perubahan yang baik dalam
perilaku
siswa.
Aziz
(2012:
52)
mengemukakan
bahwa
pengembangan model-model mengajar tersebut adalah dimaksudkan untuk membantu guru meningkatkan kemampuannya untuk lebih mengenal siswa dan menciptakan lingkungan yang lebih bervariasi bagi kepentingan belajar siswa.
19
Dalam prakteknya semua model pembelajaran bisa dikatakan baik jika memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut: pertama, semakin kecil upaya yang dilakukan guru dan semakin banyak aktivitas belajar siswa, maka hal itu semakin baik. Kedua, semakin sedikit waktu yang diperlukan guru untuk mengaktifkan siswa belajar juga semakin baik. Ketiga, sesuai dengan cara belajar siswa yang dilakukan. Keempat, dapat dilaksanakan dengan baik oleh guru. Kelima, tidak ada satupun metode yang paling sesuai untuk segala tujuan, jenis materi, dan proses belajar yang ada (Hasan dalam Isjoni 2014: 50). Berdasarkan uraian tentang prinsip model pembelajaran maka dapat disimpulkan bahwa dalam menerapkan model pembelajaran harus disesuaikan dengan materi pembelajaran dan memberikan kesempatan yang lebih di kelas agar siswa lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar. d. Fungsi Model Pembelajaran Chauhan (Aziz, 2012: 55) menyatakan bahwa fungsi secara khusus dari model pembelajaran adalah sebagai berikut: 1) Pedoman. Model mengajar dapat berfungsi sebagai pedoman yang dapat menjelaskan apa yang harus dilakukan guru. Dengan memiliki rencana pengajaran yang bersifat komprehensif guru diharapkan dapat membantu siswa mencapai tujuan-tujuan pengajaran. 2) Pengembangan kurikulum. Model pembelajaran dapat membantu dalam pengembangan kurikulum untuk satuan kelas yang berbeda dalam pendidikan. 3) Menetapkan bahan-bahan pengajaran. Model mengajar menetapkan secara rinci bentuk-bentuk bahan pengajaran yang berbeda yang akan digunakan guru dalam membantu perubahan yang baik dari kepribadian siswa.
20
4) Membantu perbaikan dalam mengajar. Model mengajar dapat membantu proses belajar mengajar dan meningkatkan keefektifan mengajar. 2. Pembelajaran Sejarah a. Hakekat Sejarah Sejarah merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang masa lampau, yang memungkinkan penelitian dan percobaan, pengukuran apa yang didapat, penyajian secara sistematis dan berdasarkan peraturan-peraturan umum. Masa lampau tersebut terutama berkaitan dengan pengajaran sejarah tentang peristiwa yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Sartono Kartodirdjo (1992: 59) mendefinisikan sejarah sebagai berbagai bentuk gambaran pengalaman kolektif di masa lampau. Bagi kehidupan kelompok, pengalaman kolektif merupakan landasan untuk menentukan identitasnya. Seperti di dalam suatu bangsa, identitasnya dikembalikan kepada pengalaman bersama di masa lampau pada umumnya dan kepada asal-usul khususnya. Menurut Ibnu Khaldun sejarah merupakan catatan tentang masyarakat umat manusia atau peradaban dunia dan tentang perubahanperubahan yang terjadi pada watak masyarakat itu. Ibnu Khaldun memandang sejarah sebagai rentetan yang tidak putus-putusnya dari kebangkitan dan kejatuhan negara, suatu siklus yang tidak habis-habisnya (Zaenuddin, 1992: 227).
21
Arnold J Toynbee (Hans Meyerhoff, 1959: 114) history like drama and the novel, grew out of mythology, a primitive form of apprehension and expression in which in fairy tales listened by children or in dreams by sophiscated adult the line between fact and fiction is left undrawn. Artinya, sejarah seperti halnya drama dan novel tumbuh dari suatu mitologi, seperti cerita anak-anak, antara fakta dan fiksi. Di sisi lain sejarah juga ditempatkan sebagai ilmu pengetahuan, bukan dalam pengertian masyarakat primitif tetapi sebagai suatu peradaban dimana untuk merangkai fakta-fakta sejarah membutuhkan teknik sejarah berdasarkan data-data yang valid. Secara praktis sejarah telah menempuh perjalanan yang amat panjang. Sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, sejarah telah ada sejak manusia bereksistensi dipermukaan bumi ini (Latief, 2006: 40). Ini membuat sejarah menjadi sangat menarik. Sejarah seperti puzzle kehidupan yang harus dikonstruksikan secara sistematis agar tidak ada lubang yang terlewatkan. Namun, untuk merekonstruksi itu semua tidaklah mudah, karena untuk mencari kebenaran dalam sejarah diperlukan interpretasi mendalam. Menurut Taufik Abdullah (1985: 13) peristiwa yang masuk sebagai peristiwa sejarah adalah peristiwa-peristiwa penting di masa lalu. Ukuran penting atau tidak penting baru dapat terbentuk setelah pertanyaan pokok ditentukan oleh sejarawan yang bersangkutan. Jawaban terhadap apa, siapa, dan dimana merupakan fakta sejarah secara obyektif. Jawaban-
22
jawaban bagaimana adalah suatu deskriptif yang disebut sejarah atau ikatan fakta-fakta. Sedangkan pertanyaan mengapa dan apa jadinya merupakan pertanyaan kausalitas sebagai puncak studi sejarah yang sering juga disebut sejarah kritis dan menunjukkan kausalitas ilmiahnya. Berbagai pengertian, penjelasan, dan pemahaman akan masa lampau tersebut di atas dapat dijadikan sebagai cermin untuk masa kini dan dapat memprediksi masa yang akan datang. Dengan mempelajari sejarah, diharapkan seseorang akan dapat menafsirkan dan memahami sebab akibat suatu peristiwa sejarah dan seseorang dapat lebih bijaksana. Berpikir kritis harus difokuskan pada pengertian mengenai sesuatu dengan penuh kesadaran, dan mengarah pada sebuah tujuan. b. Pengertian Pembelajaran Sejarah Pembelajaran sejarah terutama pembelajaran sejarah nasional adalah salah satu di antara sejumlah pembelajaran yang terdapat di berbagai tingkat pendidikan dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Pembelajaran sejarah berfungsi untuk menanamkan semangat berbagsa dan bertanah air. Tugas pokok sejarah adalah dalam rangka character building siswa. Pembelajaran sejarah akan membangkitkan kesadaran empati di kalangan peserta didik, yakni empati dan toleransi terhadap orang lain yang disertai dengan kemampuan mental dan social untuk mengembangkan imajinasi dan sikap kreatif, inovatif, serta partisipatif (Aman, 2011: 2). Belajar sejarah mempunyai fungsi ditaktis, yaitu akan menjadi sumber inspirasi dan aspirasi bagi generasi penerus
23
dengan mengungkapkan model-model tokoh sejarah dari berbagai bidang dan sejarah akan menjadi perbendaharaan suri teladan dan kebijakan nenek moyang termasuk nilai-nilainya. Mata pelajaran sejarah di SMA paling tidak mengandung dua misi yakni pertama untuk pendidikan intelektual. Kedua, pendidikan nilai, pendidikan kemanusiaan, pendidikan pembinaan moralitas, jati diri, nasionalisme dan identitas bangsa. Pendidikan sejarah di SMA lebih menekankan pada perspektif kritis-logis dengan pendekatan historissosiologis (Sayono, 2006: 9). Pembelajaran sejarah yang baik adalah pembelajaran yang mampu menumbuhkan kemampuan siswa melakukan konstruksi kondisi masa sekarang dengan mengaitkan atau melihat masa lalu yang menjadi basis topik pembelajaran sejarah. Kemampuan melakukan konstruksi ini harus dikemukakan secara kuat agar pembelajaran tidak terjerumus dalam pembelajaran yang bersifat konservatif. Konstektualitas sejarah harus kuat, mengemuka, dan berbasis pada pengalaman pribadi para siswa. Apalagi sejarah tidak akan terlepas dari konsep waktu, kontinuitas, dan perubahan (Subakti, 2010). Pembelajaran sejarah dalam proses belajar, memiliki peran penting dan terlihat jelas bukan hanya sebagai proses transfer ide, akan tetapi juga sebagai proses pendewasaan peserta didik untuk memahami identitas, jati diri, dan kepribadian bangsa melalui pemahaman terhadap peristiwa sejarah. Pembelajaran sejarah hendaklah berorientasi pada pendekatan
24
nilai. Menyampaikan fakta yang memang sangat penting dalam pembelajaran sejarah, akan tetapi yang tidak kalah penting adalah bagaimana mengupas fakta-fakta tersebut dan mengambil intisari nilai yang terdapat di dalamnya sehingga si pembelajar akan menjadi lebih mawas diri sebagai akibat dari pemahaman nilai tersebut (Susanto, 2014: 56-57). Berdasarkan uraian teori tentang pembelajaran sejarah di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran sejarah merupakan proses belajar mengajar tentang fakta-fakta yang mengkontruksikan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di masa lampau kemudian dikaitkan dengan peistiwa masa kini dan masa yang akan datang. Materi yang terkandung dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar pada mata pelajaran sejarah sebaiknya disisipi nilai-nilai karakter dan budaya bangsa. Hal tersebut agar lebih bermanfaat bagi siswa dan sekaligus menerapkan pendidikan berbasis nilai-nilai. c. Tujuan Pembelajaran Sejarah Tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran adalah membantu peserta didik agar memperoleh berbagai pengalaman dan dengan pengalaman itulah, tingkah laku peserta didik bertambah. Tujuan pembelajaran mengacu pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dennis Gunning (Aman, 2011: 43-44) menjelaskan bahwa secara umum pembelajaran sejarah bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik, menyadarkan peserta didik untuk mengenal diri dan
25
lingkungannya, serta memberikan perspektif historikalitas. Secara spesifik menurut Gunning tujuan pembelajaran sejarah ada tiga yaitu mengajarkan konsep, mengajarkan keterampilan intelektual, dan memberikan informasi kepada peserta didik. Pengajaran sejarah juga bertujuan agar siswa menyadari adanya keragaman pengalaman hidup pada masing-masing masyarakat dan adanya cara pandang yang berbeda. Daliman (2012: 56) menyatakan bahwa pengajaran sejarah di sekolah bertujuan agar siswa memperoleh kemampuan berpikir historis dan pemahaman sejarah. Melalui pengajaran sejarah siswa mampu mengembangkan kompetensi untuk berpikir secara kronologis dan memiliki pengetahuan tentang masa lampau yang dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan proses perkembangan dan perubahan masyarakat serta keragaman sosial budaya dalam rangka menemukan dan menumbuhkan jati diri bangsa di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pengajaran sejarah yang bertujuan agar siswa menyadari adanya keragaman pengalaman hidup pada masing-masing masyarakat dan adanya cara pandang yang berbeda. Peraturan Mendiknas Nomer 22 Tahun 2006 Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (Aman, 2011: 58) menyebutkan: bahwa tujuan pembelajaran sejarah secara rinci adalah sebagai berikut: (1) membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan; (2) melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah
26
secara benar dengan didasarkan pada pendidikan dan pendekatan ilmiah serta metodologi keilmuan; (3) menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau; (4) menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang; (5) menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional. 3. Pembelajaran Nilai-Nilai Nilai berasal dari bahasa Latin vale’re yang artinya berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan sebagai sesuatu yang dipandang baik, bermanfaat dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau sekelompok orang. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, diinginkan, dikejar, dihargai, berguna dan dapat membuat orang yang menghayatinya menjadi bermartabat (Adi Susilo, 2014; 56). Menurut Budiono Kusumohamijoyo (1993: 32), nilai adalah sesuatu yang dianggap positif, dihargai, dipelihara, diagungkan, dihormati, membuat orang gembira, puas, dan bersyukur. Oleh karena itu, tingkah laku manusia, pola pikir dan kebiasaan-kebiasaan yang ada di masyarakat adalah cerminan dari nilai yang telah diyakini kebenarannya. Pola-pola
27
tingkah laku, sikap-sikap dan pola pikir-pola pikir sebagai wujud dari nilai-nilai tersebut merupakan modal utama dalam membentuk inti dari kebudayaan (Ambroise, 1989: 20). Sejalan mengemukakan
dengan bahwa
definisi nilai
tersebut
adalah
hakekat
Mardiatmaja sesuatu
hal
(1986) yang
menyebabkan hal tersebut pantas dikejar oleh manusia demi peningkatan kualitas kehidupannya. Nilai itu nampak sebagai tujuan dari tindakan seseorang. Seseorang menganggap sesuatu bernilai karena ada suatu dinamika afektif yang membuat kita memiliki obyek tersebut sebagai bernilai. Obyek yang bernilai itu selaras dengan dinamika afektif seseorang. Nilai itu bersifat subjektif dan imanen, sebab menyangkut keselarasan dengan suatu sikap batin, dengan kecenderungan serta kehendak insan orang yang bersangkutan (Moedjanto, 1987: 75-76). Menurut Drijarkara (1978: 35-37) nilai adalah hakikat dari sesuatu hal yang pantas untuk dikejar dan diusahakan oleh setiap manusia demi meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Nilai dengan demikian merupakan sesuatu hal yang bermakna dan dijunjung tinggi oleh setiap masyarakat yang mendukungnya. Orang yang tidak memiliki sistem nilai akan bersifat impulsif dan sepenuhnya akan bersifat skeptik. Nilai bukan ciptaan manusia, tetapi manusia dapat memahami, menemukan, serta dapat mewujudkan nilai. Manusia menurut kodratnya adalah makhluk yang dalam proses menjadikan dan membentuk dirinya, untuk menjadikan dirinya tidak tertutup, melainkan terbuka bagi yang lain
28
demi perkembangan dirinya. Hanya dalam hubungan dengan yang lain manusia
dapat
memperkembangkan
dirinya.
Manusia
cenderung
memperkembangkan dirinya sesuai dengan kodratnya. Sesuai dengan struktur hakiki yang ada dalam dirinya, manusia memperkembangkan aspek ekspresi, aspek sosialitas, serta aspek religiositasnya. Selain itu, nilai yang sungguh-sungguh diwujudkan secara konkrit juga akan dapat memperkembangkan orang yang bersangkutan (Paulus Wahana, 1991: 70). Berdasarkan uraian pengertian tentang nilai di atas dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan hakekat dari suatu hal yang dianggap pantas untuk dihargai, dipertahankan, dijunjung tinggi, dan menjadi pedoman bagi manusia dalam berperilaku dalam kehidupan sosialnya. Nilai menjadi landasan dan tercermin dalam perilaku sehari-hari. Tingkah laku yang berkiblat pada nilai-nilai akan membentuk sebuah kebudayaan dan identitas. Sejalan dengan perkembangan kepribadian seorang peserta didik sejak taman kanak-kanak sampai pendidikan tinggi, maka penghayatan dan pengamalan nilai-nilai tergantung kepada tingkat perkembangan jiwa peserta didik tersebut. Pada tahap paling awal tidak ada perbedaan antara penghayatan dan pengamalan. Seorang peserta didik pada usia dini melakukan sesuatu dengan meniru nilai-nilai yang dihayati langsung dari lingkungannya. Dalam perkembangan kepribadian peserta didik yang bertalian dengan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai, erat kaitannya
29
dengan berkembangnya kemampuan daya berpikir kritis peserta didik (Tilaar, 1998: 89). Beberapa pelaksanaan pembelajaran nilai-nilai yang penting dikedepankan yaitu model pewarisan lewat pengajaran, atau semacam indoktrinasi. Kepada anak didik nilai-nilai itu ditanamkan atau disampaikan. Namun, ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa nilai akan menjadi nilai jika ditemukan sendiri oleh anak didik dan dialaminya sendiri. Anak didik dibantu menyelidiki masalah-masalah nilai secara pribadi atau kelompok agar semakin lama semakin sadar akan nilainilainya sendiri (Rosyadi, 2014: 128). Menurut Lickona (Adi Susilo, 2014) pendidikan nilai atau moral yang menghasilkan karakter, ada tiga komponen karakter yang baik, yaitu: moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang mental, dan moral action atau perbuatan moral. Ketiga komponen itu menunjukkan pada tahapan pemahaman sampai pelaksanaan nilai atau moral dalam kehidupan sehari-hari. Ketiganya tidak serta merta terjadi dalam diri seseorang, tetapi bersifat prosesual, artinya tahapan ketiga hanya mungkin terjadi setelah tercapai tahapan kedua, dan tahapan kedua hanya tercapai setelah tahapan pertama. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa pembelajaran nilai-nilai merupakan pengahayatan terhadap ajaran yang mengandung arahan untuk membedakan mana yang pantas dicontoh dan diambil hikmahnya sebagai tuntunan dalam proses belajar.
30
Pembelajaran nilai diterapkan untuk membentuk karakter generasi penerus sesuai kepribadian bangsa. 4. Jiwa Kepemimpinan a. Pengertian Jiwa kepemimpinan Menurut Kihadjar Dewantara (1977: 424-425), jiwa atau rokh itu terpakai juga dalam arti semangat, misalnya berjiwa lemah atau berjiwa keras. Ada pula perkataan jiwa itu terpakai dalam arti bermacam-macam kekuatan atau kecakapan dalam hidup batin manusia. Perkataan jiwa diartikan sebagai kekuatan yang menyebabkan hidupnya manusia, menyebabkan manusia dapat berfikir, berperasaan, berkehendak, dan menyebabkan orang mengerti atau insyaf akan segala gerak jiwanya. Sejalan dengan pendapat tersebut,
Planton (Setyo, 2010)
menyebutkan pengertian jiwa adalah dia yang menggerakkan dirinya sendiri. Dengan demikian, kodrat atau physys jiwa adalah ia yang bergerak dari dirinya sendiri. Ia adalah prinsip pasif (yang dikenai) sekaligus aktif (yang mendorong melakukan sesuatu). Definisi jiwa merujuk pada gerak dari dirinya sendiri. Baru secara sekunder gerakan jiwa itu dikaitkan dengan manifestasi somatis (wujud-wujud ragawi). Jiwa menurut Pidarta (2009) adalah roh dalam keadaan mengendalikan jasmani yang dapat dipengaruhi oleh alam sekitar, karena jiwa psikis dapat dikatakan inti dan kendali kehidupan manusia itu sendiri. Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani. Berdasarkan pengertian-pengertian tentang jiwa, maka dapat disimpulkan
31
bahwa jiwa merupakan sesuatu di luar raga manusia yang menggerakkan dan menyemangati untuk melakukan suatu tindakan. Robert G Owens (1995) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan suatu interaksi antar suatu pihak yang memimpin dengan pihak yang
dipimpin.
Pendapat
ini
menyatakan
bahwa
kepemimpinan
merupakan proses dinamis yang dilaksanakan melalui hubungan timbal balik antara pemimpin dan yang dipimpin. Hubungan tersebut berlangsung dan berkembang melalui transaksi antar pribadi yang saling mendorong dalam tujuan bersama. Dengan kata lain, kepemimpinan adalah hubungan interpersonal berdasarkan keinginan bersama. Kepemimpinan bukan suatu sebab tapi akibat atau hasil dari perilaku kelompok, sehingga tanpa ada anggota (pengikut), maka tidak ada pemimpin. Pemimpin yang kuat adalah yang diakui dan didukung seluruh anggota organisasinya (Nawawi, 2006; 21). Sejalan dengan pandangan tersebut
James Gibson dkk (1997)
mengatakan bahwa kepemimpinan adalah upaya menggunakan berbagai jenis pengaruh yang bukan paksaan untuk memotivasi anggota organisasi. Ada juga yang mendefinisikan bahwa kepemimpinanmerupakan fakta proses untuk meyakinkan komponen organisasi untuk m
encapai tujuan
yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, suatu proses kepemimpinan sebenarnya merupakan proses untuk mempengaruhi komponen organisasi secara psikis untuk bekerja secara kolektif-kolegial (Muhith, 2013; 14).
32
Muhith (2013; 17) mendeskripsikan kepemimpinan sebagai suatu bentuk proses interaksi sosial untuk mempengaruhi komponen organisasi secara personal maupun kolektif untuk bersama-sama bekerja secara kolektif-kolegial mencapai tujuan bersama dengan aturan-aturan yang berlaku. Formulasi ini pada kerangka dasarnya mempunyai dua varian besar, yaitu: pertama, kepemimpinan sebagai suatu bentuk proses untuk menggerakkan orang lain serta mempengaruhinya dalam gerakan komponen organisasi mencapai tujuan bersama. Artinya, kepemimpinan dijadikan sebagai alat (sarana) atau proses untuk membujuk orang lain agar bersedia melakukan sesuatu secara suka rela sesuai dengan keinginan pemimpin sebagai pioner dalam organisasi; dan kedua, kepemimpinan adalah proses mengarahkan komponen organisasi untuk beraktivitas yang ada hubungannya dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya dengan berpegang pada aturan organisasi. Status pemimpin dalam strutur sosial masyarakatnya membawa fungsi atau peranan untuk menguasai, mengatur dan mengawasi agar tujuan
kolektif
tercapai
dan
terjaga
nilai-nilai
sosio-kultural
masyarakatnya. Ditinjau dari pendekatan struktural-fungsional ada interaksi dan komunikasi dua arah antara pemimpin dan pengikut. Diperlukan persetujuan, dukungan, dan kepercayaan dari pihak kedua oleh pihak pertama. Dalam masyarakat tradisional kekuasaan dan pengaruh bersumber pada prinsip kekuasaan yang keramat, yaitu kharisma (Kartodirjo, 1986: vi).
33
Berdasarkan teori sifat atau karakteristik kepribadian berasumsi bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin apabila memiliki sifat-sifat atau karakteristik kepribadian yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin, meskipun orang tuanya khususnya ayahnya bukan seorang pemimpin. Teori ini bertitik tolak dari pemikiran bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat atau karakteristik kepribadian yang dimiliki, baik secara fisik maupun psikologis. Dengan kata lain, teori ini berasumsi bahwa keefektifan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat, perangai atau ciri-ciri kepribadian tertentu yang tidak saja bersumber dari bakat, tetapi juga yang diperoleh dari pengalaman dan hasil belajar (Nawawi, 2006: 75). Seorang pakar kepemimpinan menyimpulkan dari berbagai sumber bahwa pemimpin seharusnya memiliki 4 sifat/karakteristik utama, yaitu: Pertama intelegensi, para pemimpin yang efektif atau pemimpin yang mampu mengefektifkan organisasi untuk mencapai tujuannya, pada umumnya lebih cerdas dari pada pengikut/anggota organisasi. Kedua kematangan dan keluasan pandangan sosial. Para pemimpin yang efektif atau yang mampu mengefektifkan organisasi untuk mencapai tujuannya pada umumnya lebih matang emosinya, sehingga selalu mampu mengendalikan situasi yang sulit dan bermasalah. Di samping itu memiliki kemampuan pula dalam melakukan sosialisasi dengan orang lain, khusunya anggota organisasi dan memiliki keyakinan serta kepercayaan diri yang cukup tinggi. Ketiga memiliki motivasi dan keinginan berprestasi Para pemimpin yang efektif atau yang mampu mengefektifkan organisasi untuk mencapai tujuannya. Pada umumnya memiliki dorongan yang besar dari dalam dirinya untuk dapat menyelesaikan sesuatu secara sukses. Keempat memiliki kemampuan hubungan manusiawi. Para pemimpin yang efektif atau yang mampu mengefektifkan organisasi untuk mencapai tujuannya, pada umumnya mengetahui bahwa usahanya untuk mencapai sesuatu sangat tergantung pada orang lain, khususnya anggota
34
organisasinya. Para pemimpin itu selalu mampu memahami orang lain dan berorientasi pada anggota organisasi. b. Tipe Kepemimpinan Banyak tokoh telah melakukan pengkajian secara mendalam tentang perilaku kepemimpinan dengan berbagai pendekatan dan objek kajian yang menjadi pusat perhatian mereka sebagai keinginan pengungkapan efektivitas kepemimpinan terhadap perputaran roda organisasi. Proses tersebut akhirnya memunculkan suatu prototipe gaya kepemimpinan, yaitu suatu cara yang digunakan pemimpin dalam berinteraksi dengan bawahannya. Prototipe ini menghasilkan beberapa varian atau tipe kepemimpinan, antara lain: 1) Kepemimpinan Kharismatik Kata kharisma berasal dari bahasa Yunani yang berarti berkat yang terinspirasi secara agung, seperti kemampuan untuk melakukan keajaiban atau memprediksikan
peristiwa
yang
bersifat
futuristik.
Kepemimpinan
kharismatik secara nalar merupakan kepemimpinan yang luar biasa untuk memengaruhi orang lain tanpa logika yang biasa, sebab kharisma merupakan fakta tanpa nalar, bersifat intuitif, dan misterius. Pemimpin kharismatik dipercaya memiliki kekuatan gaib (super natural power) dan kemampuankemampuan yang luar biasa (Muhith, 2013: 23-24). Menurut Weber (Huges, 2012: 527) pemimpin kharismatik datang dari pinggiran masyarakat dan muncul sebagai pemimpin saat terjadinya krisis sosial besar. Para pemimpin ini mengajak masyarakat untuk fokus pada masalah yang dihadapinya serta pada solusi revolusioner yang ditawarkan oleh sang pemimpin. Pemimpin kharismatik harus memproyeksikan suatu
35
citra keberhasilan agar pengikutnya meyakini mereka memiliki kualitas luar biasa. Kegagalan apapun akan menyebabkan para pengikut mempertanyakan kualitas ilahiah sang pemimpin dan pada gilirannya mengikis otoritas pemimpin. Perilaku yang mencerminkan kepemimpinan kharismatik yaitu, sebagai berikut: (a) perilakunya dirancang untuk menciptakan kesan di antara pengikutnya bahwa pemimpin tersebut adalah kompeten untuk kesediaan para pengikut
yang
patuh;
(b)
menekan
pada
tujuan
ideologis
yang
menghubungkan misi kelompok kepada nilai-nilai atau cita-cita serta aspirasiaspirasi yang berakar dan mendalam yang dirasakan bersama oleh pengikutnya; (c) menetapkan suatu contoh perilaku mereka sendiri agar diikuti oleh pengikutnya; (d) mengomunikasikan harapan-harapan yang tinggi tentang kinerja para pengikut dan mengekspresikan rasa percaya pada pengikut; dan (e) menimbulkan motivasi yang relevan bagi misi kelompok. 2) Kepemimpinan Transformasional Umumnya kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai perilaku pemimpin dalam mengomunikasikan sebuah perubahan kepada yang dipimpinnya baik melalui pembuatan visi dan misi yang menarik, berbicara penuh antusias,
memberikan perhatian individu, memfokuskan, dan
sebagainya. Posisi dan peran dari seorang pemimpin transformasional dapat dimaknai sebagai spirit pemimpin untuk melakukan transformasi atau perubahan terhadap sesuatu menjadi bentuk lain yang berbeda dan lebih sempurna. Pola pemimpin transformasional berupaya untuk mencoba
36
membangun kesadaran para bawahannya dengan menyerukan cita-cita yang besar dan moralitas yang tinggi (Muhith, 2013: 26). Pemimpin transformasional mengartikulasikan permasalahan mereka dengan sistem yang ada dan memiliki visi luar biasa mengenai bentuk masayarakatt atau organisasi baru. Visi masyarakat yang baru ini berhubungan erat dengan nilai sang pemimpin dan pengikutnya. Visi ini mewakili ideal yang selaras dengan sistem nilai mereka (Richard, 2012: 530). Beberapa karakteristik yang menjadi ciri khas dari kepemimpinan transformasional menurut Munhith (2013: 27) berdasarkan perilaku-perilaku yang muncul, antara lain: (a) mempunyai visi yang besar dan mempercayai intuisi; (b) menempatkan diri sebagai motor penggerak perubahan; (c) berani mengambil resiko dengan pertimbangan yang matang; (d) memberikan kesadaran pada bawahan akan pentingnya hasil pekerjaan; (e) memiliki kepercayaan akan kemampuan bawahan; (f) fleksibel dan terbuka terhadap pengalaman baru; (g) berusaha meningkatkan motivasi yang lebih tinggi dari pada sekedar motivasi yang bersifat materi; dan (h) mampu mengartikulasikan nilai-nilai inti (budaya) untuk membimbing perilaku. 3) Kepemimpinan Kultural Kepemimpinan kultural sangat terkait dengan budaya atau tradisi organisasi sebagai satu kesatuan utuh untuk mencapai keefektifan kinerja organisasi. Subtansi kinerja pemimpin kultural dalam menggerakkan budaya organisasi memberikan pilihan pada beberapa varian. Minimal dalam hal ini ada dua pilihan bagi pemimpin kultural, yaitu mempertahankan budaya atau
37
cenderung untuk melakukan inovasi budaya dalam organisasi. Jadi, ia perlu mengerti arus pertumbuhan dan perkembangan budaya yang ada dalam organisasi untuk menguatkan pilihan tersebut. Kepemimpinan kultural adalah kepemimpinan yang mempunyai ideologi keberpihakan terhadap budaya atau nilai-nilai yang sudah ada sebelumnya. Nilai-nilai yang sudah ada tersebut kemudian dielaborasikan atau dikolaborasikan untuk menemukan kesesuaian dengan arus perubahan zaman. Akan tetapi, jika nilai itu sudah menarik atau cenderung menghambat ia akan memodifikasikannya tanpa mengubah identitas aslinya sehingga akar jati diri budayanya tidak akan hilang. Keadaan ini yang menjadi keunggulan dari kepemimpinan yang arif terhadap nilai, norma, dan ketataaturan organisasi. 4) Kepemimpinan Partisipasif Kepemimpinan partisipasif berkaitan erat dengan penggunaan berbagai macam prosedur pengambilan keputusan yang memberikan kepada orang lain suatu pengaruh tertentu apalagi terhadap keputusan-keputusan pemimpin tersebut. Kepemimpinan model ini juga dikenal dengan istilah kepemimpinan terbuka, bebas, non directive. Asumsi yang mendasari gaya kepemimpinan ini adalah bawahan akan lebih siap menerima tanggung jawab terhadap solusi, tujuan, dan strategi dimana mereka diberdayakan untuk mengembangkannya. Titik tekan kepemimpinan partisipasif hanya kepada partisipasi mereka, pemimpin hanya akan menjadi seseorang yang melegalkan apa yang menjadi keputusan semua pihak.
38
Gaya partisipasif, penerapannya pada bawahan yang memiliki kemampuan rendah, tetapi memiliki kemauan kerja tinggi. Ciri-cirinya adalah: a) pemimpin melakukan komunikasi dua arah; b) secara aktif mendengar dan respon segenap kesukaran bawahan; c) mendorong bawahan untuk menggunakan kemampuan secara operasional; d) melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan; e) mendorong bawahan untuk berpartisipasi; dan f) tingkat kematangan bawahan dari sedang ke tinggi (Muhith, 2013: 30). c. Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Prinsip kepemimpinan merupakan pokok-pokok pikiran yang dianggap benar yang harus ada dan dilakukan dalam proses kepemimpinan. Ada sejumlah prinsip-prinsip kepemimpinan yang sangat mendasar dan perlu dipegang oleh seorang pemimpin, di antaranya yaitu (Badeni, 2013: 135): 1) Kepemimpinan bukan sekedar kedudukan khusus yang diduduki seseorang dalam suatu organisasi. Kepemimpinan adalah kemampuan, pengaruh, seni, dan proses pengaruh-memengaruhi antara pemimpin dan pengikut. 2) Perilaku dan tindakan pemimpin harus bisa dicontoh oleh bawahan. 3) Kepemimpinan adalah ilmu dan proses. Sebagai ilmu, kepemimpinan berarti dapat dipelajari sebab ia memiliki beberapa prinsip yang jika diaplikasikan dapat meningkatkan efektivitas kepemimpinan. Kepemimpinan sebagai proses berati efektivitas kepemimpinan sangat tergantung pada situasi. 4) Pemimpin bukan seorang yang berasa di puncak hierarki suatu organisasi yang terpisahkan dengan pengikutnya. Pemimpin harus berada di tengah-tengah bawahan sebab dia harus memberikan support pada bawahan dan menjadi motivator. 5) Seorang pemimpin harus melalui berbagai cara dengan melihat situasi bawahan untuk mendapatkan pengikut. 6) Pemimpin perlu memberdayakan bawahan agar dapat mengidentifikasi tugas-tugas yang akan dilakukan dan tidak melakukan kesalahan.
39
B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang mengkaji tentang nilai-nilai dalam sebuah karya sastra zaman kuno kemudian diterapkan dalam pembelajaran di sekolah telah dilakukan beberapa pihak, karena merupakan hal yang penting untuk mendukung terbentuknya sikap kepemimpinan. Selain itu juga dapat menambah wawasan bagi guru maupun siswa bahwa karya sastra zaman dahulu memiliki nilai moral dan karakter yang baik sebagai rujukan untuk dijadikan teladan. Berikut beberapa penelitian yang relevan dengan topik yang dibahas dengan penelitian ini: a. Artikel yang dimuat dalam jurnal ilmiah CIVIS dengan judul “Identifikasi Nilai-Nilai
Keutamaan
dalam
Serat
Tripama
sebagai
Bentuk
Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Budaya” ditulis oleh Supriyono dan Agus Sutono. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai-nilai keutamaan atau nilai-nilai karakter yang terdapat dalam Serat Tripama sebagai sarana pendidikan karakter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Serat Tripama sebagai sebuah karya sastra telah mampu menghadirkan banyak kisah teladan. Nilai-nilai yang dapat diidentifikasi dalam Serat Tripama antara lain: nilai keberanian, nilai kejujuran, dan nilai penghargaan atas komitmen. Berbeda dengan tesis ini, penelitian Supriyono dan Agus hanya sebatas untuk mengetahui keutamaan nilai-nilai yang terkandung dalam Serat Tripama, sedangkan dalam tesis ini isinya lebih kompleks. Penelitian dalam tesis ini mengambil nilai-nilai kepemimpinan dari Serat Tripama.
40
Selanjutkan nilai-nilai tersebut akan disisipkan dalam pembelajaran sejarah di sekolah sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah dilakukan guna menumbuhkan jiwa kepemimpinan siswa. b. Penelitian yang kedua berupa skripsi yang ditulis oleh mahasiswa UI yang bernama Irfan Febrian. Penelitiannya berjudul “Tindakan sebagai Perwujudan Sikap Batin Tiga Tokoh dalam Serat Tripama: Patih Suwanda, Kumbakarna, dan Adipati Karna” diselesaikan pada tahun 2012. Penelitian tersebut membahas mengenai tindakan tiga tokoh dalam Serat Tripama sebagai perwujudan sikap mereka. Teridentifikasi sepuluh tindakan oleh tiga tokoh. Adapun tindakan perwujudan sikap batin mereka antara lain: sikap batin yang menjadi andalan kepada raja atau pemimpin, sikap batin yang mampu melaksanakan tugas sebagai seorang ksatria, sikap batin yang ingin menjadi sempurna, sikap batin yang tidak memihak kepada keputusan saudaranya, dan sikap batin yang ingin membalas budi. Perbedaan antara skripsi di atas dengan penelitian ini adalah kegunaan dan tingkatan analisis dari Serat Tripama. Dalam penelitian ini, Serat Tripama dijadikan basis untuk menerapkan pembelajaran sejarah dengan pendekatan nilai-nilai yang bersumber dari tiga tokoh teladan utama dalam Serat Tripama. Hal tersebut guna menumbuhkan jiwa kepemimpinan pada diri peserta didik. c. Penelitian ketiga adalah tesis yang ditulis oleh mahasiswa UNS bernama Nara Setya Wiratama. Penelitiannya berjudul “Model Pembelajaran Sejarah Berbasis Nilai-Nilai Serat Wedhatama untuk Meningkatkan Sikap
41
Kepemimpinan Siswa SMA N 1 Nganjuk. Penelitian tersebut membahas mengenai kandungan nilai-nilai yang ada dalam Serat Wedhatama. Serat Wedhatama merupakan salah satu kitab Jawa Kuno yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa karena mengandung piwulang dan piweling luhur yang berisi tentang konsep ketuhanan, kemasyarakatan, dan kemanusiaan. Berbeda dengan tesis ini, penelitian Nara mengambil nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung dalam Serat Wedhatama. Penelitian dalam tesis ini mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam Serat Tripama berdasarkan tiga tokoh teladan utama yaitu Patih Suwondo, Adipati Karna, dan Kumbakarna. Sifat-sifat luhur yang dimiliki oleh tiga tokoh ksatria ndalam Serat Tripama menjadi landasan penanaman nilainilai kepemimpinan. d. Penelitian keempat berupa disertasi yang ditulis oleh Eko Suwargono dari Universitas Jember. Penelitiannya berjudul “Kajian Terhadap Amanat Serat Lokapala Melalui Telaah Struktur”. Penelitian tersebut membahas mengenai nilai-nilai kearifan lokal sebagai warisan budaya masa lalu yang bisa dimanfaatkan sekarang. Serat Lokapala mengandung konsep ajaran etika dan metode pengembangan kepositifan jatidiri secara total. Berbeda dengan tesis ini, penelitian Eko Suwargono mengambil nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam Serat Lokapala sedangkan dalam penelitian ini cenderung mengambil nilai-nilai kepemimpinan dari Serat Tripama. Nilai-nilai kepemimpinan yang dimaksud adalah
42
bertanggung jawab, menepati janji, rela berkorban, cinta tanah air, dan keberanian. Hal ini menunjukkan perbedaan karena pemaknaan sebuah nilai tergantung pada apa yang terkandung di dalamnya. e. Penelitian kelima adalah tesis yang berjudul “ Nilai-Nilai Pribadi Ideal Konseli dalam Serat Wulangreh”. Tesis ini ditulis oleh Anisah Prafitralia seorang mahasiswa dari Universitas Negeri Malang. Penelitian ini berfokus untuk mewujudkan pribadi ideal konseli yang berketuhanan, berperikemanusiaan, pemersatu, berkerakyatan, dan berkeadilan sosial. Penelitian ini menggali dan mengenalkan kembali nilai-nilai luhur budaya yang digunakan sebagai wujud pengembangan ilmu. Perbedaan antara tesis di atas dengan penelitian ini terletak pada tujuan yang akan dicapai. Tujuan penelitian oleh Anisah adalah untuk mengenalkan isi Serat Wulangreh yang meliputi hakekat manusia, pribadi ideal konseli, serta metode untuk mengembangkan pribadi ideal konseli sedangkan penelitian ini dikembangkan untuk menumbuhkan jiwa kepemimpinan melalui nilai-nilai yang terkandung dalam Serat Tripama. C. Kerangka Berpikir Pembelajaran sejarah di SMA Negeri 3 Magelang awalnya masih berjalan seperti biasa. Selanjutnya, pengembangan pembelajaran sejarah berbasis nilainilai Serat Tripama akan diterapkan di SMA Negeri 3 Magelang. Pengembangan pembelajaran sejarah ini akan menghasilkan sintak dengan langkah-langkah tertentu yang menyisipkan nilai-nilai kepemimpinan dari tiga tokoh teladan utama
43
yang terdapat dalam Serat Tripama. Ketiga tokoh pemimpin teladan tersebut adalah Kumbakarna, Patih Suwanda, dan Adipati Karna. Masing-masing dari tokoh pemimpin di atas, memiliki jiwa kepemimpinan yang patut diteladani oleh siswa-siswa. Kumbakarna, Patih Suwanda, dan Adipati Karna merupakan sosok pemimpin yang bertanggung jawab, rela berkorban demi keutuhan bangsanya dari serangan bangsa asing, memegang teguh komitmen yang telah mereka buat untuk tetap setia kepada rajanya, dan keberanian yang mereka tunjukkan kepada para bawahan di medan laga ketika perang berlangsung. Hal tersebut diharapkan mampu menumbuhkan jiwa kepemimpinan pada diri siswa sekaligus memupuk sifat-sifat yang baik dari tiga tokoh teladan utama dalam Serat Tripama
Nilai kepemimpinan dari 3 tokoh teladan:
Pembelajaran Sejarah di SMA N 3 Magelang
Pengembangan Pembelajaran Sejarah berbasis Nilai-Nilai Serat Tripama
Keberanian Tanggungjawab Rela Berkorban Pantang menyerah Menepati janji Cinta tanah air
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Menumbuhkan jiwa kepemimpinan siswa
44
D. Model Hipotetik Dalam penelitian ini model hipotetik dapat digambarkan sebagai berikut: KBM
Pembelajaran Sejarah Berbasis Nilai-Nilai Serat Tripama
Perencanaan
Pelaksanaan Pembelajaran
Kemampuan: 1.Kerjasama 2.Kepemimpinan 3.Bertanggung jawab 4.Rela berkorban 5.Menepati janji
Perangkat Pembelajaran
Pelaksanaan Pembelajaran
Meliputi: 1.RPP 2.Silabus 3.Media Pembelajaran 4.Perangkat Simulasi Kepemimpinan
1.Pendahuluan 2. Inti: Eksplorasi Elaborasi Konfirmasi 3.Penutup
Jiwa Kepemimpinan Siswa
Kompetensi Guru
Hasil
Gambar 2. Model Hipotetik
Evaluasi
Evaluasi
1.Pre test 2.Test/Non Test 3.Post Test