perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KAJIAN TEORI, DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Tinjuan Pustaka Tujuanpustaka ini mengetengahkan beberapa hasil penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh para peneliti yang memiliki relevansi dengan disertasi yang sedang dikerjakan. Hasil penelitian yang berupa buku yang telah diterbitkan, disertasi, atau tesis selengkap penuturya diuraikan di bawah ini. Abdul Syukur Ibrahim. 1996. “Bentuk Direktif Bahasa Indonesia Kajian Etnografi Komunikasi.”Disertasi. Program Pascasarjana Univeristas Arilangga Surabaya. Bentuk Direktif Bahasa Indonesia (BDBI) belum banyak dikaji, khusus pemakaian BDBI dalam Interaksi Diadik Bersemuka (IDB )antara Camat dengan Kades di Kabupaten Malang.
BDBI dapat menimbulkan Salah pemahaman
terhadap apa yang dikatakan, apa yang dimaksudkan, dan apa yang dilakukan mereka dalam IDB. Penelitian ini memperkaya teori-teori tindak tutur yang memiliki kaitan dengan tuturan langsung dan tidak langsung serta menambah cakrawala peneliti. Kunjana Rahardi.2008. “Makna-makna Imperatif dalam Ranah Sosial: Kajian Sosiopragmatik”. Penelitian Hibah. ASMI Santa Maria Yogyakarta. Imperatif memiliki fungsi komunikatif yang sangat signifikan dalam komunikasi. Imperatif dipastikan selalu hadir dalam gradasi keseringan yang tinggi. Kajian ihwal makna imperatif
di
dalam
ranah
sosial
ini
menerapkan
ancangan
sosiopragmatik.Pelaksanaannya melibatkan delapan ranah sosial (social domain), yakni (1) pendidikan, (2) keagamaan, (3) kemasyarakatan, (4) media, (5) pemerintahan, (6) perkantoran, (7) keluarga, dan (8) transaksional bisnis. Tujuan pokok kajian ini adalah untuk memerikan atau mendeskripsikan makna-makna sosiopragmatik imperatif dalam ranah-ranah sosial tersebut. Hasil penelitian ini memberikan pemahaman tentang model-model kajian linguistik dari dimensi sosiopragmatik sehingga menambah wawasan dan perspektif peneliti. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14 Slamet Supriyadi. (2008) “Karikatur Karya GM Sudarta di Surat Kabar Kompas: Kajian Pragmatik”. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta.Karikatursebagai
gambaran
pengisi
rubrik
opini
dapat
menimbulkan emosi orang, rasa nasionalisme, rasa solidaritas, dan rasa kebencian. Karikatur bisa mendidik, mengejek, menyindir, mengimbau, menyarankan, memerintahkan, menertawai, menghibur dengan kelucuan-kelucuan, menanggapi sesuatu peristiwa, dan lain-lain. Di dalam kerangka pragmatik, tuturan yang dipergunakan tersebut merupakan bentuk dari tindak tutur. Dalam komunikasi yang sesungguhnya, pemakaian tuturan tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguisti, tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor yang sifatnya nonlinguistik. Penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan peneliti, yaknikajian pragmatik dengan objek material karikatur G.M. Sudarta. Sementara itu, peneliti mengkaji pragmatik dengan objek material pertunjukan wayang sehingga berbeda walaupun objek formalnya sama. Galih Wicaksono. (2011). “Tindak Tutur Ekspresif pada Rubrik Gambang Suling di Majalah Jaya Baya”. Tesis. Unnes Semarang. Berdasarkan hasil analisis data, tindak tutur ekspresif dan efek perlokusi dalam rubrik gambang suling di majalah Jaya baya terbagi dalam sepuluh jenis tindak tutur ekspresif. Penelitian tesis ini berbeda dengan yang dikerjakan peneliti.Kajian tindak tutur ekspresif dalam rubrik gambang suling berbeda dengan kajian tindak tutur ekspresif dalam pertunjukan wayang. Harun Joko Prayitno (2011). “Tindak Tutur Direktif
Pejabat dalam
Peristiwa Rapat Dinas: Kajian Sosiopragmatik Berperspektif Jender di Lingkungan Pemerintahan Kota Surakarta”.Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh dua hal pokok, yaitu pemakaian bahasa dan jender, khususnya tindak tutur direktif (TTD) dalam kajian sosiopragmatik dengan studi berperspektif jender. Disertasi tentang tindak tutur direktif tersebut memberikan wawasan tentang kajian tindak tutur direktif, tetapi penelitian ini sangat berbeda dengan yang dikerjakan peneliti tentang tindak tutur direktif pada pertunjukan wayang kulit. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15 Mulyani. (2011). “Tindak Tutur Direktif Guru SMA dalam Kegiatan Belajar-Mengajar di Kelas: Kajian Pragmatik dengan Perspektif Gender di SMA Kabupaten Ponorogo”. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Objek penelitian ini adalah TTD guru SMA laki-laki dan guru perempuan dalam KBM di kelas. Sumber data adalah peristiwa tutur di kelas. Disertasi tentang tindak tutur direktif yang digunakan di kalangan guru di sekolah memberikan wawasan tentang kajian tindak tutur direktif. Penelitian ini sangat berbeda dengan yang
dikerjakan
peneliti tentang tindak tutur direktif pada pertunjukan wayang kulit. Sutopo (2011). “Tindak Tutur Direktif dalam Proses Pembahasan Perda Rencana Pembangunan Jangka Panjang di Kabupaten Karanganyar”. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk menunjukan TTD yang terjadi dalam proses pembahasan Perda RPJPD sejak dari tingkat desa sampai provinsi dan mengidentifikasi faktor-faktor yang melatarbelakangi tuturan direktif dalam proses pembahasan RPJPD di Kabupaten Karanganyar. Objek formal penelitian yang dilakukan Sutopo adalah kajian tindak tutur direktif. Akan tetapi, peneliti mengkaji objek material yang berbeda dengan Sutopo, yaitu tindak tutur ekspresif dan direktif dalam pertunjukan wayang kulit gaya Surakarta. Sutarno Haryono. (2010). “Kajian Pragmatik Teks Menakjingga Lenapada Seni Pertunjukan Langendriya Mandraswara Mangkunegaran”. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian tersebut menggunakan komponen verbal dan komponen nonverbal sebagai media komunikasi antarpenari. Komponen verbal dalam bentuk bahasa Jawa berupa tembang macapat yang sangat terikat oleh konvensi-konvensi yang berlaku. Penelitian itu memiliki fokus kajian yang sama fokus dengan disertasi ini yakni seni pertunjukan, tetapi sangat berlainan dalam aspek objek kajian wayang kulit yang disajikan oleh dalang. Langendriyan dilakukan oleh sejumlah penari dengan dialog berupa tembang Macapat. Langendriyan mengambil cerita Damarwulan, sedangkan wayang kulit dengan cerita Mahabarata dan Ramayana. Hal ini berbeda commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16 dengan objek material yang dikerjakan oleh peneliti, yaitu tindak tutur ekspresif dan direktif dalam pertunjukan wayang kulit gaya Surakarta. Maryono. (2010).“Komponen Verbal dan Nonverbal dalam Genre Tari Pasihan Gaya Surakarta. (Kajian Pragmatik)”.Disertasi.Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Disertasi ini memiliki objek material seni pertunjukan Tari Pasihan Gaya Surakarta dan merupakan kajian pragmatik. Fokus kajiannya adalah seni pertunjukan, tetapi berlainan dalam objek kajian, yakni dilakukan oleh sejumlah penari dengan gerap verbal dan nonverbal. Hal ini berbeda dengan objek material yang dikerjakan oleh peneliti, yaitu tindak tutur ekspresif dan direktif dalam pertunjukan wayang kulit gaya Surakarta. Suratno(2012). “Kajian Sosiopragmatik Tindak Tutur Adegan Limbukan dalam Seni Pertunjukan Wayang Purwa di Surakarta (Studi Kasus Terhadap Ki AnomSuroto, Ki Purbo Asmoro, dan Ki Warseno Slenk)”. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Selain itu, strategi bertutur yang dominan adalah bertutur tidak langsung dan implementasinya yang dominan adalah konvensional ke dalam ungkapan daya pragmatik. Temuan prinsip kerjasama para dalang mengadegankan Limbukan. Disertasi Suratno memiliki objek material pertunjukan wayang kulit dengan fokus dalang AnomSuroto, Purbo Asmoro, dan Warseno Slenk yang mengambil adegan Limbuk Cangik dari perspektif kajian sosiopragmatik. Hal ini berbeda dengan penelitian tindak tutur ekspresif dan direktif pada adegan pathet sanga dan manyura sajian Nartasabda dan Purbo Asmoro. Walaupun sama objek materialnya, fokus kajian berbeda sehingga hasilnya juga berlainan. Penelitian yang telah dilakukan terdahulu lebih mengetengahkan masalahtindak tutur direktif dalam kaitanya dengan objek kebahasaan. Ketiga peneliti berikutnya ialah (Sutarno Haryono, Maryono, dan Suratno). Penelitian dilakukan dengan objek kajian masalah seni pertunjukan, yaitu berfokus pada tari Karonsih atau Pasihan dan Langendriyandengan kajan sosiopragmatik mengenai adegan Limbuk Cangik dalam pertunjukan wayang dalang Anom Suroto, Purbo Asmoro, dan Warseno Slenk. Berdasarkan paparan hasil penelitian tersebut di to user atas, ternyata kajian tindak tuturcommit ekspresif dan direktif pertunjukan wayang kulit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17 sajian Nartasabda dan Purbo Asmoro dalam lakon Karna Tandhing, Dewa Ruci, Rama Gandrung dan Brubuh Ngalengka belum pernah dilakukan, khususnya pada adegan pathet sanga dan manyura. B. Kajian Teori Kajian teori ini akan mengetengahkan teori pragmatik, tetapi sebelumnya perlu dijelaskan pula teori linguistik. Linguistik memiliki berbagai cabang ilmudi antaranya fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasaan digunakan di dalam komunikasi sehingga merupakan kajian bahasa yang mencakup tataran makrolinguistik. Hal ini berarti bahwa pragmatik mengkaji hubungan unsur-unsur bahasa yang dikaitkan dengan pemakai bahasa. Kajiannya tidak hanya aspek kebahasaan, tetapi juga dipengaruhi oleh konteks. Secara umum, pragmatik yang lebih tinggi cakupannya dapat diartikan sebagai kajian bahasa yang telah dikaitkan dengan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa dalam hubungannya dengan pengguna bahasa. Pragmatik sebagai ilmu memiliki hubungan dengan ilmu-ilmu lain sehingga menelurkan beberapa kajian. Kajian dalam bidang pragmatik sangat beragam yang meliputi variasi bahasa, tindak bahasa, implikatur, percakapan, teori deiksis, praanggapan, analisis wacana, dan lain-lain.
1. Pragmatik Pragmatik dalam perkembangannya memiliki hubungan yang amat erat denganSemantik sehingga sulit untuk membuat pemisahan yang tegas antara keduanya. Subroto menegaskan bahwa pragmatik dan semantik adalah aspek yang berbeda atau bagian yang berbeda dari bidang studi yang sama, yaitu soal meaning. Baik pragmatik maupunsemantik sama-sama mengkaji arti, tetapi dari kacamata yang berbeda. Semantik mengkaji arti, yaitu arti bahasa (arti lingual), sedangkan pragmatik mengkaji arti menurut si penutur (speaker's meaning atau speaker's sense) (Edi Subroto, 2008: 6). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18 Arti bahasa yang menjadi bidang kajian semantik adalah arti kata-kata yang dipakai dalam sebuah kalimat serta arti kalimat sesuai dengan strukturnya. Arti lingual tersebut tidak bergantung pada konteks dan biasa disebut arti yang bersifat natural (natural meaning). Natural meaning adalah arti dalam pengertian maksud yang menjadi bidang kajian pragmatik sangat bergantung pada konteks, yaitu siapa penutur, kepada siapa penutur itu berbicara, hubungan penutur dan mitra tutur, apa yang menjadi motif bertutur, dalam rangka apa penutur itu bertutur, tujuannya apa, di mana tuturan itu terjadi, dan sebagainya. Pragmatik tidak dapat dipahami maksudnya tanpa adanya konteks maksud tuturan.Secara pas, pragmatik hanya dapat dipahami dalam hubungan konteks. Selanjutnya, Levinson (1987) mendefinisikan sosok pragmatik sebagai studi perihal ilmu bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa dengan konteks tuturannya.
Konteks
tuturan
yang
dimaksud
telah
tergramatisasi
dan
terkodifikasikan sedemikian rupa sehingga sama sekali tidak dapat dilepaskan begitu saja dari struktur kebahasaannya. Jadi, di dalam menganalisis makna sebuah satuan kebahasaan tertentu tidak mungkin melakukan penelanjangan satuan kebahasaan dari konteks situasi tuturannya(Levinson, 1987:236). Pandangannya paling mendasar tercermin dalam kuliah-kuliahnya yang terkumpul menjadi sebuah buku yang diberi judul How to Do Things with Words. Austin (1987:53) mengamati bahwa tuturan-tuturan tidak saja dipakai untuk melaporkan sesuatu kejadian.Dalam hal-hal tertentu, tuturan diperhitungkan sebagai sebuah pelaksanaan tindakan (actions). Cukup banyak kiranya batasan atau definisi mengenai pragmatik, menerangkan pragmatik dan yang menjadi cakupannya sebagai berikut (dikutipkan beberapa di antaranya yang dianggap cukup penting). (1) Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan penafsirnya, sedangkan Semantik adalah kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan objek yang diacu oleh tanda tersebut. (2) Pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa, sedangkan semantik adalah kajian mengenai makna. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19 (3) Pragmatik adalah kajian bahasa dan perspektif fungsional.Artinya, kajian ini mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur linguistik dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonlinguistik. (4) Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara bahasa dengan konteks yang menjadi dasar dari penjelasan tentang pemahaman bahasa. (5) Pragmatik adalah kajian mengenai deiksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana. (6)
Pragmatik adalah kajian mengenai bagaimana bahasa dipakai untuk berkomunikasi, terutama hubungan antara kalimat dengan konteks dan situasi pemakaiannya. Ilmu bahasa pragmatik adalah telaah terhadap pertuturan langsung maupun
tidak langsung, presuposisi, implikatur, entailment, dan percakapan atau kegiatan konversasional antara penutur dan mitra turur. selanjutnyaKunjana menegaskan bahwa pragmatik sesungguhnya mengkaji
maksud penutur di dalam konteks
situasi dan lingkungan sosial-budaya tertentu. Karena yang dikaji dalam pragmatik adalah maksud penutur dalam menyampaikan
tuturannya, dapat
dikatakan bahwa pragmatik dalam berbagai hal sejajar dengan semantik, yakni cabang ilmu bahasa yang mengkaji makna bahasa, yang mengkaji makna bahasa, tetapi makna bahasa itu dikaji secara internal. Jadi, perbedaan yang sangat mendasar antarkeduanyaadalah bahwa pragmatik mengkaji makna satuan lingual tertentu secara eksternal, sedangkan sosok semantik mengkaji makna satuan lingual tersebut secara internal (Kunjana Rahardi, 2003:16). a. Teks Halliday dan Hasan (1976:1-2) menjelaskan teks sebagai unit bahasa dalam penggunaan, bukan unit gramatikal, seperti halnya klausa atau kalimat.Jadi, teks tidak tergantung pada ukurannya. Teks paling tepat dianggap sebagai unit semantik, yaitu unit yang berisi makna, bukan berisi bentuk. Teks dapat berbentuk lisan atau tulisan, prosa atau puisi, dialog atau monolog. Teks adalah bahasa yang berfungsi, yaitu bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi.Hal itu berlainan dengan kata-kata atau kalimat-kalimat lepas yang mungkin dituliskan di papan tulis.commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20 Masalah teks dan konteks melalui aspek-aspek pragmatik yang perlu diperhatikan adalah adanya sebuah asumsi bahwa teks itu bukan hanya segala sesuatu yang dipersepsi berupa buku. Teks bisa berupa (1) teks verbal (buku, tulisan-tulisan, prosa puisi, prosa, teks adalah unit bahasa hasil penggunaan sintaksis dan fonologi, tentang peristiwa komunikatif tertentu atau potongan wacana untuk tujuan analisis; berbentuk lisan atau tulisan; bagian dari wacana, terikat pada konteks (situasi); berupa pesan budaya dan atau pesan verbal. dsb), dan (2) teks nonverbal (misalnya: acungan jempol artinya hebat, atau jari telunjuk yang menempel di bibir yang artinya agar diam).
b. Konteks Peranan konteks amat penting dalam rangka memahami maksud sebuah tuturan. Konsekuensi dari definisi itu ialah semua ilmu kemanusiaan (all the human sciences) menjadi bagian dari pragmatik. Cakupan bidang studi itu terlalu luas dan perlu dibatasi, yaitu terbatas pada semua bentuk tuturan yang terjadi dalam konteks tuturan tertentu yang bersifat nyata dalam rangka melakukan suatu tindakan (mengingatkan, memerintahkan, meminta, menasihati, menolak, mengungkapkan, berjanji, menjatuhkan hukuman, mengungkapkan suasana kejiwaan tertentu, dan sebangsanya). (Edi Subroto2008:508) Mey (1994:13) menjelaskan konteks (ujaran) sebagai salah satu aspek situasi tuturan disamping pengirim/penerima, tujuan, tindak ilokusioner, ujaran sebagai hasil tindak verbal, serta waktu dan tempat dari ujaran tersebut. Konteks sebagai pengetahuan latar apa saja yang dianggap diketahui bersama oleh penutur maupun petutur dan yang membantu petutur menginterpretasikan maksud penutur. membicarakan konteks dalam kaitannya dengan pragmatik, yaitu kajian tentang penggunaan bahasa di dalam konteks. Lebih lanjut Mey menjelaskan sekilas bahwa konteks sering dilibatkan untuk menganalisis kalimat yang ambigu dan digunakan untuk memahami Semua faktor yang berperan dalam memproduksi serta memahami tuturan. Konteks adalah suatu konsep yang dinamis bukan statis. Dinyatakan lebih lanjut "... it is to be understood as the surroundings, in the commit to user widest sense, that enable the participants in the communication process to
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21 interact, and that make the linguistic expressions of their interaction intelligible". Jadi, konteks menyangkut segala sesuatu yang terdapat di sekitarnya atau lingkungannya yang memungkinkan para peserta tutur dalam proses komunikasi berinteraksi serta memungkinkan ekspresi kebahasaan dalam interaksi itu dapat dipahami. Konteks dalam pragmatik juga berkaitan dengan praanggapan (presuposisi),
implikatur
(kaitannya
dengan
eksplikatur),
serta
Semua
pengetahuan latar para peserta tutur Kreidler menyatakan bahwa konteks itu adalah suatu konsep yang bersifat dinamis. Benda-benda yang terdapat di alam sekitar serta hal-hal lainnya disebut sebagai "... the physical social context of an utterance" (Kreidler, 1998: 27). Termasuk dalam pengertian konteks di sinilah latar umum yang dimiliki bersama dan kesadaran akan latar umum bersama yang memungkinkan mereka dapat saling mengerti dalam proses komunikasi. Selanjutnya pengertian konteks dalam pragmatik yang dinyatakan sebagai berikut. a) Konteks itu sesuatu yang bersifat dinamis, bukan sesuatu yang statis. b) Konteks itu menyangkut benda-benda dan hal-hal yang terdapat di mana dan kapan tuturan itu terjadi. c) Konteks itu berkaitan dengan interaksi antara penutur dan mitra tutur menyangkut variabel kekuasaan, status sosial, jarak sosial, umur, dan jenis kelamin. d) Konteks juga berkaitan dengan kondisi psikologis penutur dan mitra tutur selama proses interaksi terjadi dan motif tuturan. e) Konteks juga menyangkut presuposisi, pengetahuan latar, skemata, implikatur (kaitannya dengan eksplikatur). f) Termasuk dalam konteks yang bersifat fisik ialah warna suara dan nada suara para peserta tutur (Edi Subroto, 2008:511). Aspek pragmatik berkaitan dengan teks dan konteksyang akan sangat berpengaruh serta menentukan sebuah makna pertuturan. Hal itu sesuai dengan pengertian pragmatik, yakni kajian mengenai penggunaan bahasa atau kajian commit to userkajian ini mencoba menjelaskan bahasa dalam perspektif fungsional. Artinya,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22 aspek-aspek struktur bahasa dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebabsebab nonbahasa. Dalam ranah pragmatik terdapat tindak tutur lokusi, ilokusi,dan perlokusi. Tindak tutur ilokusi sangat produktif dan sebagai tindak terpenting di dalam dunia pragmatik karena mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh penutur. Secara singkat,ilokusi adalah efek dari tindak tutur bagi mitratutur. Misalnya, dalam tuturan “Jafar ini jam berapa?” Saat si penanya masih mandi di pagi hari.
Kemudian dijawab: “Tuh korannya udah datang
Ajeng”. Sekilas tuturan jawaban ini tidak sesuai. Namun, karena antara penutur (Ajeng) dan mitra tutur (Jafar) dalam konteks budaya yang sama, jawaban Jafar terhadap Ajeng telah berterima. Artinya, saat Ajeng mandi bisa dipastikan bahwa waktu telah menunjuk pada jam tujuh pagi di saat jadwal waktu koran datang di pagi hari yang biasanya hadir jam tujuh. Secara linguistik tidak bisa dicerna tuturan tersebut, tetapi secara pragmatik hal ini justru bisa dipahami. (Jumanto (2008: 84)
c. Tindak Tutur dan Jenis-Jenisnya Setiap komunikasi menggunakan bahasapenutur menyampaikan informasi yang terjadi dalam peristiwa tutur karena interaksi berbahasa tersebut melibatkan penutur dan petutur dengan suatu pokok tuturan dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Jadi, terjadinya interaksi kebahasaan untuk saling menyampaikan informasi antara penutur dan petutur tentang suatu topik atau pokok bahasan pada waktu,
tempat,
dan
situasi
tertentu
disebut
peristiwa
tutur.
Nadar
menggarisbawahi tentang pendapat Hymes yang merumuskan bahwa suatu peristiwa tutur harus
memenuhi delapan komponen tutur yang disingkat
SPEAKING. (1) Setting berhubungan dengan waktu dan tempat pertuturan berlangsung dan scene mengacu kepada situasi pertuturan. Perbedaan setting dan scene mengakibatkan variasi bahasa. (2) Participant adalah peserta tutur, yaitu penutur dan petutur dengan status sosialnya. (3) Endsmengacu pada maksud dan tujuan tuturan. (4) Act Sequences berhubungan dengan bentuk ujaran dan isi ujaran. (5) Key berkaitan dengan nada suara (tone), penjiwaan (spirit), dan sikap commit to user (6) Instrumentalities berkaitan atau cara (manner) saat suatu tuturan diucapkan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23 dengan saluran
(channel) dan bentuk bahasa (the form of speech)
yang
digunakan dalam tuturan. (7) Normsof Interaction and Interpretation adalah normaatau aturan yang harusdipahami dalam berinteraksi. (8) Genremengacu pada bentuk pencapaian, seperti puisi, peri bahasa, dan prosa. Ada yang membedakan genre ke dalam tiga jenis, yaitu percakapan di dalam gedung, di luar gedung, dan melaui media. Keseluruhan komponen dan peranan komponen tutur dalam sebuah peristiwa berbahasa disebut peristiwa tutur (Nadar, 2009:7). Mengujarkan sebuah kalimat tertentu oleh Austin (1955) dalam bukunya How to do Things with Words dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (act) di samping memang mengucapkan kalimat tersebut. Jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran dibedakan atas lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Lokusiadalah sematamatatindak berbicara,
tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat
sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah sintaksisnya. Tiga segi tindak tutur adalah lokusi, ilokusi, dan perlokusi. (i) Tindaklokusi adalah hasil dari ungkapan linguistik yang bermakna. (ii) Tindakilokusi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk dilakukan oleh penutur dalam mengujarkan suatu ungkapan linguistik melalui dorongan konvensional yang dikaitkan dengan ungkapan itu, baik implisit maupun eksplisit. (iii) Tindakperlokusi adalah hasil dari konsekuensi atau efek pada pendengar melalui ujaran ungkapan linguistik.Konsekuensi atau efek semacam itu menjadi khusus bagi keadaan ujaran itu. Tindak lokusi adalah tindak bicara yang dasar. Tindak itu sendiri terdiri dari tiga subtindak yang terkait. Tiga subtindak tersebut adalah (i) tindak yang bersifat phonik untuk menghasilkan suatu persembahan ujar (utteranceinscription), (ii) tindakyang bersifat phatik (phatic) untuk menyusun ungkapan lingusitik khusus dalam bahasa tertentu, dan (iii) tindak bersifat yang rhetic untuk mengontekstualisasi utterance-inscription (Lyons, 1995: 177-185). Dengan kata lain, yang pertama dari tiga subtindak itu berkaitan dengan tindak fisik untuk membuat serangkaian bunyi vokal tertentu (dalam hal bahasa lisan) atau serangkaian simbol tertulis (dalam hal bahasa tulis). Yang kedua mengacu pada to user yang bentuknya baik, katakan tindak membentuk serangkaian commit bunyi/simbol
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24 sebuah kata, frase atau kalimat, dalam bahasa tertentu. subtindak ketiga bertanggung jawab atas tugas-tugas, seperti menentukan acuan, menyelesaikan deikis, dan menghilangkan ambiguitas utterance-inscription secara leksikal dan/atau gramatikal. Ketiga subtindak tersebut secara luas sesuai dengan tiga level dan modus yang jelas untuk menjelaskan dalam teori linguistik, yaitu fonetik/fonologi, morfologi/sintaksis, dan semantik/pragmatik. Tindak ilokusi mengacu pada jenis fungsi yang ingin dipenuhi oleh penutur atau jenis tindakan yang ingin diselesaikan penutur pada waktu menghasilkan suatu ujaran. Contoh-contoh tindak ilokusi mencakup menuduh, minta maaf, menyalahkan, memberi selamat, memberi izin, memerintah, menolak, dan berterima kasih. Fungsi atau tindakan yang barusaja disebutkan biasanya diacu sebagai daya ilokusi atau point of utterance. Daya ilokusi sering disebut Searle (1962) sebagai Illocutionary Force Indicating device (IFID). Jenis tindak ini paling konvensional dan langsung yang merupakan performatif eksplisit. Sebenarnya, istilah tindak tutur dalam pengertian sempit sering digunakan untuk mengacu secara khusus pada tindak ilokusi. Syarat felicity condition (kondisi kelayakan) dari Searle (1962) pada tindak tutur harus dipenuhi bukan hanya cara supaya suatu tindak tutur dapat tepat atau tidak tepat, tetapi juga bila digabungkan merupakan daya ilokusi. Dengan kata lain, kondisi kelayakan merupakan aturan yang menciptakan aktivitas itu sendiri dari tindak ujar. Pandangan Searle bahwa melakukan tindak tutur harus menaati aturan konvensional tertentu merupakan pokok dari jenis tindak tuturnya. Searle mengembangkan kondisi kelayakan itu dari Austin. Searle menjadikannya klasifikasi empat kategori dasar neo-Austinian, yaitu (i) isi proposisional, (ii) syarat persiapan, (iii) syarat ketulusan, dan (iv) syarat esensial. Sebagai gambaranan syarat-syarat tersebut, misalnya syarat ketepatan Searle untuk berjanji. (i) Isi proposisional: tindak ke masa depan A dari S. (ii) Persiapan: (a) H akan lebih memilih S melakukan Adaripada tidak melakukan A, dan S percaya demikian (b). Tidak jelas bagi S dan H bahwa S akan commit to user melakukan A dalam perjalanan tindakan yang normal.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25 (iii) Ketulusan: S bermaksud melakukan A. (iv)Esensial: ujaran dari e berarti sebagai usaha untuk melakukan A. AdapunS(Speaker) adalah pembicara, H(Hearer) pendengar, A(Activity) tindakan, dan e(expresion) ungkapan linguistik. Syarat kondisi kelayakan Searle untuk permintaan adalah sebagai berikut. (i) Isi proposisional: tindak masa depan A dari H. (ii) Persiapan: (a) S percaya H dapat melakukan A. (b). Tidak jelas bahwa H akan melakukan A tanpa diminta. (iii) Ketulusan: S menginginkan H melakukan A. (iv) Esensial: ujaran dari e berarti usaha untuk meminta H melakukan A Austin (1955) mengangkat teori tindak tutur. Tampaknya teori diacu dan dikembangkan oleh Searle (1962). Tindak tutur menurut Searle adalah komunikasi bukan sekadar lambang kata atau kalimat, tetapi lebih tepat disebut produk atau hasil lambang dalam kondisi tertentu dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah atau yang lain. Tindak tutur (speech act) adalah gejala Individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi. Dalam peristiwa tutur, orang menitikberatkan pada tujuan peristiwanya. Oleh karena itu, dalam tindak tutur orang lebih memperhatikan makna atau arti tindak dalam tuturan itu. Austin (1955) dalam How to Do Things with Words mengemukakan bahwa mengujarkan sebuah kalimat tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (act) di samping memang mengucapkan kalimat tersebut. Ia membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Lokusi adalah Semata-matatindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah Sintaksisnya. Di sinimaksud atau fungsi ujaran itu belum menjadi perhatian. Jadi, apabila seorang penutur (selanjutnya disingkat P) Jawa mengujarkan “Aku ngelak” „saya haus‟ dalam tindak lokusi kita akan mengartikan aku sebagai pronomina persona tunggal commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26 (yaitu si P) dan ngelak „haus‟ mengacu ke tenggorokan kering dan perlu dibasahi tanpa bermaksud untuk minta minum. Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Di sinikita mulai berbicara tentang maksud dan fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu dilakukan. Jadi, ”Aku ngelak” ‟saya haus‟ yang diujarkan oleh P dengan maksud minta minum adalah sebuah tindak ilokusi. Perlokusimengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh P. Secara Singkat, perlokusi adalah efek dari tindak tutur itu bagi mitra-tutur. Jadi, jika mitra-tutur melakukan tindakan mengambilkan air minum untuk P sebagai akibat,di sini dapat dikatakan terjadi tindak perlokusi. Tipologi tindak ilokusi Searle (1962) dapat dijelaskan seperti berikut ini. (i) Assertives; konstatif dalam dikotomi performatif/konstatif (Austinian yang asli) jenis-jenis tindak ujar yang memasukkan penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan. Tindak ini membawa nilai kebenaran. Tindak ujar ini mengungkapkan kepercayaan penutur. Kasus-kasus yang bersifat paradigmatik
mencakup
menegaskan,
mengklaim,
menyimpulkan,
melaporkan, dan menyatakan. Dalam mempertunjukkan jenis tindak ujar ini, penutur mewakili dunia sebagaimana yang dipercayainya. (ii) Directives adalah jenis tindak ujar yang mewakili usaha oleh penutur untuk menyuruh addresse melakukan sesuatu. Kasus paradigmatik mencakup saran, perintah, pertanyaan, permintaan. Penutur bermaksud mendapatkan jalannya tindakan di masa depan pada pihak addressee. Jadi, membuat dunia cocok dengan kata-kata melalui addressee. (iii) Commissives adalah jenis-jenis tindak ujar yang menuntun penutur pada alur tindakan di masa depan. Jenis-jenis ini mengungkapkan maksud penutur untuk melakukan sesuatu. Kasus-kasus ini mencakup tawaran, janji, penolakan, dan ancaman. Dalam hal commissives, dunia disesuaikan dengan kata-kata melalui penutur sendiri. (iv) Expressives adalah jenis tindak tutur fungsi ilokusi ini ialah mengungkap atau mengutarakan suasana psikologis atau penutur pada mitra tutur, commit to menyatakan user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27 seperti gembira,duka, dan suka/tidak suka. Kasus ini termasuk minta maaf, kekeliruan,
mengucapkan
selamat,
memuji,
dan
berterima
kasih,
belasungkawa. (v) Declaration (atau deklaratif) berhasilnya pelaksanaan ilokusi ini akan mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas, Misalnyamengundurkan
diri,
membaptis,
memecat,
memberi
nama,
menjatuhkan hukuman, mengucilkan/ membuang, dan sebagainya. Kreidler (1998:183) membagi klasifikasi tindak ilokusi menjadi 7 (tujuh) macam di bawah ini. 1.TindakTutur Verdiktif Tindak tutur verdiktif merupakan tindak tutur dimana si
pembicara
membuat penilaian atau putusan atas tindakan seseorang, terutama lawan bicara. Termasuk klasifikasi ranking, penilaian, pujian, dan permaafan. Kata kerja verdiktif termasuk tuduhan, denda, izin, dan terima kasih. Karena ucapan ini merupakan penilaian si pembicara atas tindakan yang dilakukan sebelumnya oleh lawan bicara atau atas apa yang sedang menimpa lawan bicara tersebut, Semuasaling berhubungan dengan kejadian sebelumnya. Kata kerja excuse dan pardon mengekspresikan ungkapan yang bukan sekadar komentar yang seharusnya bagi tindakan sebelumnya, tetapi dugaan awal atas kebenaran tindakan,
seperti
menyalahkan,
memperingatkan,
mengkritik,danmenegur.
Kondisi yang mendukung bagi ucapan verdiktif adalah kemungkinan peristiwa, kemampuan lawan bicara untuk melakukannya, kepastian pembicara dalam membuat ucapan tersebut, dan kepercayaan lawan bicara bahwa pembicara yakin akan hal yang dimaksud.. Contohverba verdiktif adalah dakwaan, tuduhan, selamat, pujian dan belasungkawa. Bagaimana kita mengekspresikan pujian dan belasungkawa, dan kapankah ucapan tersebut tepat diucapkan. Felicity conditions tindak tutur verdiktif dimungkinkan saat penutur bertutur dengan sesungguhnya berdasarkan kemampuan yang telah dicapai atau dilakukan oleh mitra tutur dan mitra tutur percaya terhadap kesungguhan penutur. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28 2.TindakTutur Ekspresif Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu,Misalnya mengucapkan salam, mengucapkan maaf, mengucapkan belasungkawa, dan menolak. Tindak tutur ekspresif juga merupakan tindak tutur yang dilakukan dengan tujuan agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi atau penilaian tentang hal yang telah dilakukan atau dirasakan sendiri oleh penutur pada masa yang lalu atau mungkin kegagalan yang telah dilakukan oleh penutur saat ini.
Tindak tutur ini mencerminkan pernyataan psikologis.Ujaran yang
mengacu kepada jenis tuturan ekepresif ditandai dengan bentuk verba, seperti memohon maaf, menolak, serta mengakui.Felicity conditions „kondisi-kondisi kelayakan‟ tindak tutur ekspresif orientasinya pada diri penutur, yaitu kemungkinan suatu tindakan dan penutur mempunyai kemampuan, penutur serius dalam bertutur, dan mitra tutur percaya akan tuturan penutur tersebut. 3.Tindak Tutur Performatif Tindak tutur performatif adalah tindak tutur yang menghendaki sebuah tindakan atau respons dari pendengar. Tindak tutur yang memunculkan suatu keadaan atau sebuah urusan disebut dengan performatif, Misalnya bid, blessing, firings, baptism, arrests, marrying, declaring a mistrial. Tindak tutur performatif dinyatakan sah jika diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wewenang yang bisa diterima oleh pendengar yang lain. Demikian juga, situasi dan kondisinyaharus sesuai dan bisa diterima. Kata kerjanya meliputi bet, declare, baptism, name, nominate, pronounce. Adapunfelicity conditions tindak tutur performatif adalah apa yang dituturkan merupakan keahliannya, yakni hanya orang-orang tertentu yang mempunyai otoritas dan kewenangan serta pada kondisi lingkungan sesuai dan berterima bagi mitra tutur. Tujuan tindak tutur ini bukan masalah benar atau salah,tetapi untuk membuat orang lain sependapat dengan apa yang dilakukan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29 4. Tindak Tutur Direktif Tindak tutur direktif adalah tindak tutur dimana si pembicara berusaha membuat lawan bicaranya melakukan sesuatu atau menanggapi sebuah tindakan atau mengulanginya. Dalam kalimat direktif, kata anda merupakan pelaku meskipun sebenarnya mewakili ucapan tersebut maupun tidak. Tindak tutur direktif bersifat prospektif. Seseorang tidak dapat meminta orang lain melakukan kegiatan di masa lalu. Sama seperti jenis tindak tutur lainnya, sebuah tindak tutur direktif menduga kondisi tertentu ada pada lawan bicara dan pada konteks situasi. Ucapan “Jangan kemari!” pada kalimat ini tidak tepat karena memang kenyataannya orang itu sudah datang pada waktunya, serta ucapan.Ucapan “Nyalakan AC!” menjadi lemah jika pada kenyataannya di musim dingin menyalakan AC. Ketika ucapan dapat diwujudkan, berarti suasana mendukung dan jika tidak terwujud berarti tidak mendukung. Tiga macam tindak tutur direktif dapat dikenali sebagai perintah, permintaan,dan saran. Sebuah perintah menjadi efektif jika si pembicara mempunyai derajat kontrol tertentu atas tindakan lawan bicara. Sebuah request adalah ekspresi atas apa yang ingin dilakukan sebagai akibat perbuatan. Sebuah request tidak mengasumsikan kontrol pembicara terhadap orang yang diajak bicara. Sebuah ucapan, baik direktif atau bukan serta apapun jenis direktifnya bergantung pada bentuk Sintaktik, yakni pada pemilihan predikatnya (harus, meminta, menyarankan, dsb.). Terlebih lagi hal itu bergantung pada situasi, para partisipan, dan status kekerabatan. Kondisi yang mendukung melibatkan kenyataan akan tindakan dan kemampuan lawan bicara. Untuk sebuah perintah, agar dapat memenuhi syarat kondisi waktu yang memungkinkan, lawan bicara harus menerima otoritas si pembicara, Misalnya untuk sebuah permintaan, harapan si pembicara, dan untuk sebuah saran, serta penilaian si pembicara. Felicity conditions tindak tutur direktif adalah kemampuan mitra tutur untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kelayakan tindakan. 5.Tindak Tutur Komisif. Ungkapan yang menempatkan seorang pembicara di suatu kondisi commit to user tertentu disebut sebagai ucapan atau tindakan komisif, termasuk di dalamnya janji,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30 ikrar, perjanjian, dan sumpah. Kata kerja komisif diilustrasikan dengan setuju, meminta, menyajikan, menolak, dan bersumpah. Semua diikuti oleh infinitif dan semua itu bersifat prospektif serta terfokus pada komitmen pembicara mengenai kegiatan yang akan datang. Sebuah predikat komisif merupakan suatu yang dapat menempatkan seseorang (atau menolak untuk menempatkan seseorang) pada sebuah tindakan di masa yang akan datang. Oleh karena itu,subjek kalimatnya cenderung berbentuk saya atau kami. Lebih jauh lagi, kata kerjanya harus dalam bentuk sekarang (present) dan terdapat lawan bicara, baik ucapan tersebut menampilkannya atau tidak karena pembicara pastilah membuat komitmen dengan seseorang. Selain itu,kondisinya yang mendukung si pembicara mampu melakukan tindakan dan ingin melakukannya; lawan bicara mengetahui kemampuan si pembicara dan keinginannya. Felicity conditions dalam tindak tutur ini adalah penutur akan melaksanakan apa yang dituturkannya mempunyai kemampuan untuk itu dan mitra tutur percaya terhadap apa yang ingin diwujudkan penutur dan terhadap kemampuan penutur.
6. Tindak Tutur Phatic (Fatis) Tidak ada satu orang pun yang suka untuk mengucapkan pertanyaan seperti apa kabarmu?,bagaimana keadaanmu? benar-benar ingin tahu tentang sebuah informasi. Kita tidak mengasumsikan bahwa pernyataan seperti saya senang bertemu dengan Anda atau senang berjumpa denganmu lagi merupakan ekspresi yang terdalam yang diucapkan pembicara. Tujuan ucapan ini adalah untuk membangun laporan antaranggota di lingkungan sosial yang sama. Bahasa fatis memiliki sedikit fungsi yang jelas dibanding keenam tipe yang didiskusikan di atas, tetapi tidak kalah penting. Ucapan fatis termasuk salam, perpisahan, formula sopan seperti terima kasih, terima kasih kembali, permisi, dan sebaiknya dimana semua itu tidak terlalu verdiktif atau ekspresif. Mereka termasuk rangkaian komentar mengenai situasi, pertanyaan tentang kesehatan seseorang atau apapun yang lazim dan oleh karena itulah diharapkan pada lingkup sosial commituntuk to user tertentu. Frase stereotip menjadi lazim menyampaikan harapan, baik bagi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31 seseorang mulai dari menyantap makanan, mulai perjalanan, menjalani bisnis tertentu, atau menyelenggarakan liburan bersama maupun pribadi. Kondisi yang mendukung dapat ditemui ketika si pembicara dan lawan bicara menganut kebiasaan sosial yang sama dan mengakui ucapan fatis sebagaimana mestinya. Felicity conditions tindak tutur ini adalah apabila antara penutur dan mitra tutur mempunyai latar belakang sosial budaya yang sama, mereka mempunyai pengetahuan tentang penggunaan tuturan tertentu.
7. Tindak Tutur Asertif (penegasan) Dalam jenis ini, pembicara dan penulis menggunakan bahasa untuk memberitahukan apa yang mereka ketahui atau mereka yakini. Bahasa asertif mempertimbangkan banyak fakta. Tujuannya ialah untuk menginformasikan. Jenis tindak tutur ini berhubungan dengan pengetahuan dan pemahaman. Tindak tutur ini berkaitan dengan data-data yang ada ataupun tidak, yang sedang terjadi ataupun yang telah terjadi, bisa salah atau benar dan biasanya dapat dilakukan pengujian atau dipalsukan. Hal ini dapat dilakukan bukan hanya pada orang yang mendengarkan ucapan ini saja, tetapi pada dasarnya ucapan jenis ini menjadi objek penelitian empiris. Tuturan asertif tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaknitindak tutur asertif yang langsung dan tindak tutur asertif yang tidak langsung. Tindak tutur asertif juga memasukkan beberapa kata kerja asertif dan diikuti oleh klausa penuh. Kata kerja itu meliputi allege, announce, agree, report, remind, predict, protest. Felicity conditions tindak tutur asertif adalah yang disampaikan itu benar. Demikian pula, mitra tutur menerimanya sebagai sesuatu maka bisa benar atau bisa salah. Kajian pragmatik lebih menitikberatkan pada ilokusi dan perlokusi daripada lokusi sebab di dalam ilokusi terdapat daya ujaran (maksud dan fungsi tuturan) dan dalam perlokusi terjadi tindakan sebagai akibat dari daya ujaran tersebut. Sementara itu, di dalam lokusi belum terlihat adanya fungsi ujaran.Yang ada barulah makna kata/kalimat yang diujarkan.
Berbagai tindak tutur yang
terjadi di masyarakat, baik tindak tuturrepresentatif, direktif, ekspresif, komisif, commit to tidak user langsung, maupun tindak tutur dan deklaratif, tindak tutur langsung dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32 harafiah dan tidak harafiah atau kombinasi dari dua/lebih tindak tutur tersebut merupakan bahan sekaligus fenomena yang sangat menarik untuk dikaji secara pragmatik. Misalnya, bagaimanakah tindak tutur yang dilakukan oleh orang Jawa apabila ingin menyatakan suatu maksud tertentu, seperti ngongkon „menyuruh‟, nyilih „meminjam‟, njaluk „meminta‟, ngelem „memuji‟, janji „berjanji‟, menging „melarang‟, dan ngapura „memaafkan‟. Pengkajian tindak tutur tersebut tentu menjadi semakin menarik apabila peneliti mau mempertimbangkan prinsip kerja sama Grice dengan empat maksim: kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara, serta skala pragmatik dan derajat kesopansantunan yang dikembangkan oleh Leech (1983). Teori tindak tutur ini akan dipergunakan untuk menganalisis jenis-jenis tindak tutur yang terdapat pada ginem, khususnya adegan pathet sanga dan manyura lakon wayang kulit gaya Surakarta.Komunikasi satu maksud atau satu fungsi dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk/struktur. Untuk maksud menyuruhorang lain, penutur dapat mengungkapkannya dengan kalimat imperatif, kalimat deklaratif, atau bahkan dengan kalimat interogatif. Dengan demikian, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Pragmatik berbeda dengan semantik. Pragmatik mengkaji maksud ujaran dengan satuan analisisnya berupa tindak tutur (speech act), sedangkan semantik menelaah makna satuan. Kajian tindak tutur ini juga diperlukan untuk memahami teks ginem (dialog) dalam adegan pathet sanga dan pathet manyura yang lebih lengkap dari dua dalang yakni Nartasabda (Karna Tandhing/KTNS) dan Dewaruci/DRNS serta Purbo Asmoro (Brubuh Ngalengka/BNPA dan RamaGandrung/RGPA). Hal itudimaksudkan untuk mendapatkan jenis-jenis tindak tutur ekspresif dan tindak tutur direktif. Pada gilirannya dari tuturan itu didapat gambaran tentang relevansinya dengan nilai-nilai yang dapat membentuk karakter jiwa bangsa. d. Strategi Tindak Tutur Strategi bertutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan taklangsung sertatindak tutur literer dan tindak tutur tidak literer. Tindak tutur to user langsung adalah suatu tindak tuturcommit yang menyampaikan maksud tuturannya secara
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33 langsung. Teknik pencapaian tuturan dilakukan dengan menggunakan jenis-jenis kalimat sesuai dengan fungsi jenis-jenis kalimat tersebut. Misalnya, kalimat berita untuk menyatakan sesuatu, kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyampaikan perintah, ajakan, permohonan, dan sebagainya sehingga dikatakan sebagai tindak tutur langsung (Wijana, 1996:29-33). Berikut contoh pemakaian kalimat tuturan dalam KTNS dan DRNS yang dimaksud. (1) Prb.Hardawalika:Eee…patih majuå lungguhmu. (KTNS.Gn.027S). Pth. Kridhamanggala :Nuwun wonten pengendika ingkang adhawuh njeng yaksendra nimbali ingkang abdi ing kepatihan kawula nok-nok non Terjemahan: Prb.Hardawalika: „Eeee, patih, majulah dudukmu‟. Pth. Kridhamanggala :‘Ya adakah perintah yang dapat dilaksanakan dalam memanggil saya‟. Modus tuturan (1) dan makna kalimat sesuai dengan maksud
Prb
Hardawalika, yakni memerintah patih agar duduknya maju ke depan. Hal ini terjadi ketika Pth Kridhamanggala menghadap kepada Prb Hardawalika di Guwabarong. Ujaran ini disampaikan secara langsung literal karena modus kalimat dan maksud penuturmempunyai makna yang sama. (2)
Basukarna:
Iya, åjå karo nangis ndhak ora cêtha aturmu hé…(KTNS.Gn.0085S). Surtikanthi : Sareng kula nyumerapi paduka menganggo sarwa enggal, rumaos kula salebeting liyep layaping aluyub. Paduka nitih tandhu mengagem sarwa enggal busananing penganten kairing brahmana ingkang sadaya busana sarwa seta. Terjemahan: Basukarna: „ya, jangan menangis karena tidak jelas bicaramu‟. Surtikanthi : „Setelah saya mengetahui Paduka mengenakan serba baru, perasaan saya dalam mimpi sekejab Paduka mengenakan serba baru dan ditandu diiringi para brahmana yang mengenakan serba puti‟. Tuturan (2) merupakan tuturan yang menunjukkan larangan.Pengutaraan
kalimat dan maksud penutur memiliki makna yang sesuai maka ujaran tersebut disampaikan secara langsung dan lierer. Hal ini dapat diketahui ketika Basukarna commit to user melarang istrinya Surtikanthi agar tidak menangis pada saat perbincangan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34 berlangsung. Surtikanthi menangis karena mengetahui bahwa Basukarna telah mengenakan busana serba baru dan Surtikanthi merasa itu merupakan firasat yang tidak baik bagi diri suaminya. Tuturan yang termasuk ke dalam kategori tuturan tidak langsung adalah apabila terdapat tipe-tipe kalimat tersebut disengaja untuk menyatakan suatu maksud lain, yaitu dengan mengubah fungsi jenis kalimat, untuk menyatakan perintah dengan kalimat berita, dan sebagainya. Berikut terdapat contoh pemakaian kalimat tuturan dalam lakon RGPA yang dimaksud. (3) Ramawijaya: Muga-muga jroning alas iki andadekake suka senenging atimu satemah ora bakal nabet apa-apa ingkang nate mbok lakoni jroning Kraton Manthilidirja, wong ayu. (RGPA.Gn.007/S) Sinta : Inggih pengeran inggih menika wujud kasetyan garwa paduka. Wujud kasetyaning garwa menika boten namung ing kalane ingkang kakung maksih ngregem kawibawan miwah kamulyan nanging tumrap Sinta wujuding kasetyan kalawau inggih sageda angraosaken panandhanging kakang Terjemahan: Ramawijaya: „Semoga di dalam hutan ini menjadikan dirimu bahagia tidak bertentangan dengan apa yang pernah kamu lakukan di Kraton Mantilidirja, Si cantik‟. Sinta : ‘Iya inilah wujud dari sebuah kesetiaan. Wujud kesetiaan itu bukan saja hanya menikmati pada saat suami sedang jaya, namun bagi Sinta wujud kesetiaan juga pada saat suami sedang menderita‟. Tuturan (3)dalam kata muga-muga„semoga‟ sebagai tuturan tidak langsung dan literer.Artinya, tuturan diungkapkan secara tidak langsung dengan tuturan harapan. Namun, kalimat itu mengandung satu maksud memerintahkan agar dapat merasakan kebahagiaan seperti yang diharapkan Ramawijaya. Tuturan ini diutarakan sesuai dengan maksud. Pemarkah kata muga-muga merupakan pemarkah yang maknanya berharap. Artinya, secara tidak langsung memerintah secara halus terhadap apa yang menjadi harapannya/permintannya agar dikabulkan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35 2. Tindak Tutur Ekspresif Kaitannya dengan Tindak Tutur Verdiktif Hal yang membedakan antara tindak tutur ekspresif dengan verdiktif adalah bahwa ucapan verdiktif merupakan tindak tutur dimana pembicara membuat suatu penaksiran atau penilaian terhadap tindakan orang lain, biasanya orang yang disapa. Ini termasuk menentukan peringkat, menaksir, menilai, dan memaafkan. Kata kerja verdiktif termasuk menuduh, menuntut, memaafkan, dan berterimakasih. Oleh karena ucapan-ucapan ini menyampaikan penilaian pembicara terhadap tindakan yang sudah dilakukan orang yang disapa atau apa yang telah terjadi pada orang yang disapa, ucapan ini bersifat restropektif. Misalnya: Saya memaafkan kamu karena telah menyakitiku, kata kerja memaafkan atau mengampuni mengungkapkan tindak tutur yang lebih dari sekadar memberi komentar terhadap tindakan yang diduga sudah dilakukan sebelumnya karena sudah menduga sebelumnya kebenaran perbuatan, seperti menyalahkan, menghardik, dan memarahi. Ucapan verdiktif termasuk penuduhan, menyalahkan, ucapan selamat, pujian, dan ucapan duka cita. Ucapan verdiktif terkait dengan tindakan yang telah dilakukan orang yang disapa. Tindak tutur ekspresif berpijak pada tindakan yang telah dilakukan pembicara sendiri atau mungkin akibat tindakan saat ini. Dengan demikian, ucapan ekspresif bersifat retrospektif dan melibatkan pembicara. Kata kerja ekspresif paling umum dalam arti ekspresif yang dimaksud di sini
adalah
mengakui, minta maaf, dan menyangkal. Kedua tindak tutur di atas (verdiktif dan ekspresif) dan predikat yang muncul di dalamnya menunjukkan persamaan karena semuanya terkait dengan suatu tindakan tertentu. Selain itu, juga ditunjukkan perbedaan apakah tindakan tersebut dikatakan sudah terjadi (retrospektif) atau belum terjadi (prospektif) serta apakah pembicara atau orang yang disapa merupakan pelaku tindakan tersebut. Verdiktif - retrospektif- melibatkan orang yang disapa. Ekspresif - retrospektif - melibatkan pembicara. Ucapan verdiktif merupakan ucapan di mana pembicara memberi komentar commit to user terhadap tindakan yang sudah dilakukan orang yang disapa, atau akibatnya. Ini
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36 termasuk menuduh dan menyalahkan, pemberian ucapan selamat dan pujian. Ucapan ekspresif terjadi ketika pembicara bercerita tentang tindakannya sendiri di masa lalu dan perasaannya sekarang yang bisa disampaikan melalui permintaan maaf, bualan, dan penyesalan. Contoh: “Saya minta maaf atas kesalahan ini”. Kondisi yang mendukung sama dengan tindak tutur verdiktif: tindakannya nyata, pembicara mampu melakukannya, pembicara berkata dengan yakin dan lawan bicara memercayainya. Ketika seseorang meminta maaf kepada orang lain, baik orang tersebut
mengekspresikan penyesalan (akan apa yang telah dia
lakukan) atau dia mengekspresikan maksud sehingga ujarannya memenuhi harapan
untuk
mengekspresikan
penyesalan
(tanpa
benar-benar
menyampaikanpenyesalan). Acknowledgment yang bersifat rutin menghendaki kerjasama implisit mitratutur. Acknowledgment itu disampaikan dan semua menyadari sebagai rutinitas atau formalitas,Misalnya saja ketika seseorang meminta maaf karena secara tidak sengaja menyenggol orang lain. Tindak tutur ini merupakan tindakan tentang apa yang dilakukan sebelumnya oleh lawan bicara.Sebuah ucapan ekspresif muncul dari tindakan sebelumnya yang dinilai mitra tutur. Ucapan ekspresif merupakan retrospektif dan pembicara terlibat. Kata kerja ekspresif yang umum (dalam konteks ekspresif) adalah mengesahkan, mengakui, menyangkal/menolak, dan memaafkan. Ucapan salam saat pertemuan (greetings) dan saat perpisahan (farewell) adalah dipertukarkan, ucapan terima kasih (thanks) itu diterima (You're welcome), ucapan selamat (congratulation) dan ucapan belasungkawa (condolence) diterima dengan "Terima kasih" atau sejenisnya, dan permintaan maaf (apology) diterima (That's okey) atau ditolak (maaf saja belum cukup). Congratulations dan condolence adalah biddings atau (pengekspresian) Harapan, bisa negatif seperti dalam kasus kutukan atau laknat. Yang jelas bidding mungkin juga konstatif (constatives),yaitu sampai pada efek bahwa seseorang memiliki harapan, tetapi dalam kasus-kasus yang lain bidding diperlukan dan harus diklasifikasikan sebagai acknowledgments. Permisi (pardoning, excusing) dan memaafkan (forgiving) tampaknya merupakan acknowledgments (meminta commit to user (request). untuk diizinkan atau dimaafkan jelas merupakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37 3. Tindak Tutur Direktif Tindak tutur direktif (directives) mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh mitratutur. Apabila sebatas pengertian ini yang diekspresikan, direktif (directives) merupakan konstatif (constatives) dengan batasan pada isi proposisinya, yaitu bahwa tindakan yang akan dilakukan ditujukan kepada mitratutur. (Abul Syukur 1993:27) menjelaskan bahwa direktif (directives)juga bisa mengekspresikan maksud penutur (keinginan, harapan) sehingga ujaran atau sikap yang diekspresikan dijadikan sebagai alasan untuk bertindak oleh mitratutur. Berikut enam kategori dijelaskan oleh Abdul Syukur (1993) yang tercakup dalam tindak tutur direktif. Requestives: (meminta, mengemis, memohon, menekan, mengundang, mendoa, mengajak, mendorong). Dalam mengucapkan e, petutur memohon mitratutur untuk A apabilapetutur mengekspresikan: i. keinginan bahwa mitratutur melakukan A, dan ii. maksud bahwa mitratutur melakukan A oleh karena (paling tidak sebagian) keinginan Petutur. Questions: (bertanya, berinkuiri, menginterogasi). Dalam mengucapkan e, petutur menanyakan mitratutur apakah Ps atau tidak Ps apabila petutur mengekspresikan: i. keinginan bahwa mitratutur menyampaikan petutur apakah Ps atau tidak, dan ii. maksud bahwa mitratutur menyampaikan pada petutur apakah Ps atau tidak oleh karena keinginan petutur. Keterangan: A: aksi, P: penutur, Mt: mitratutur, e: ekspresi; Ps: preposisi. Requirements: (memerintah, menghendaki, mengomando,
menuntut,
mendikte, mengarahkan, menginstruksikan, mengatur, mensyaratkan). Dalam mengucapkan e, petutur menghendaki mitratutur untuk Aapabila petutur mengekspresikan: i. keinginan bahwa ujarannnya, dalam hubungannya dengan posisinya di atas mitratutur, merupakan alasan yang cukup bagi mitratutur untuk melakukan A, dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38 ii. maksud bahwa mitratutur melakukan A oleh karena (paling tidak sebagian) keinginan petutur. Probibitives: (melarang, membatasi). Dalam mengucapkan e, petutur melarang mitratutur untuk melakukan A apabilapetutur mengekspresikan: i.kepercayaan bahwa ujaran itu dalam hubungannya dengan otoritasnya terhadap mitratutur menunjukkan alasan yang cukup bagi mitratutur untuk tidak melakukan A, dan ii. maksud bahwa oleh karena ujaran petutur, mitratutur tidak melakukan A. Permissives: menganugerahi,
(menyetujui,
mengabulkan,
membolehkan, membiarkan,
member
wewenang,
mengizinkan,
melepaskan,
memaafkan, memperkenankan). Dalam mengucapkan e, petutur menghendaki mitratutur untuk melakukan A apabila petutur mengekspresikan: i. kepercayaan bahwa ujarannnya dalam hubungannya dengan posisinya di atas mitratutur membolehkan mitratutur untuk melakukan A, ii. maksud bahwa mitratutur percaya bahwa ujaran petutur membolehkannya untuk melakukan A. Advisories:(menasehatkan,
memperingatkan,
mengonseling,
mengusulkan, menyarankan, mendorong). Dalam mengucapkan e, petutur menasihati mitratutur untuk melakukan A apabilapetutur mengekspresikan: i. kepercayaan bahwa terdapat alasan (yang cukup) bagi mitratutur untuk melakukan A, dan ii. maksud bahwa mitratuturmengambil kepercayaan petutur sebagai alasan (yang cukup) baginya untuk melakukan A. Requestives mengekspresikan keinginan penutur sehingga mitra tutur melakukan sesuatu. Di samping itu, requestives mengekspresikan maksud penutur (atau, apabila jelas bahwa dia tidak mengharapkan kepatuhan, requestives mengekspresikan keinginan atau harapan penutur) sehingga mitra tutur menyikapi keinginan yang terekspresikan ini sebagai alasan (atau bagian dari alasan) untuk bertindak. Maksud perlokusi yang sesuai sebagaimana yang akan terlihat adalah bahwa mitratutur menyikapi petutur benar-benar memiliki keinginan dan maksud to user yang diekspresikan dan bahwa commit mitratutur melakukan tindakan yang diminta
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39 penutur. Verba requesting (permohonan) ini mempunyai konotasi yang bervariasi dalam kekuatan sikap yang diekspresikan sebagaimana yang ada dalam "invite" (mengundang) dan "insist" (mendorong) dan di antara "ask" (meminta) dan "beg" (mengemis). Verba yang lebih kuat mengandung pengertian kepentingan. "Beseech" (mendesak) dan "supplicate"(memohon),
Misalnya, merupakan
pencapaian upaya untuk menarik simpati dalam performansi tertentu. Sebagian verba requesting memiliki cakupan yang
lebih spesifik. "memanggil" (atau
"mengundang" secara sempit) mengacu pada permohonan terhadap permintaan agar mitra tutur datang; "beg" (mengemis) dan "solicit" (meminta) juga berlaku untuk permohonan yang berhubungan.Berikut contoh pamakaian TTD meminta dalam lakon KTNS. (4) Semar : é….. kula ndara Arjuna:Mêngko wisé ngancik suryning rumangsang dibacutaké maneh nggoné padha lumaku. (KTNS.Gn.047S). Terjemahan: Semar: „e….ya ndara‟. Arjuna: „Nanti setelah sore berlalu dilanjutkan lagi yang pada berjalan‟. Kalimat mengko wise ngancik suryaning rumangsang dibacutake maneh nggone padha lumaku. Tuturan Arjuna terhadap Semar merupakan jenis TTD.Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah dibacutake maneh „dilanjutkan lagi‟.Pemarkah dibacutake maneh merupakan TTD memerintah,
merupakan
penanda yang menyatakan untuk „melakukan sesuatu‟dan sebagai verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba di+bacut+ke. Cara memerintah sebagai perintah langsung dan lugas. Questions merupakan requests. Dalam kasus khusus bahwa terdapat pengertian apa yang dimohon adalah mitra tutur memberikan kepada penutur informasi tertentu. Terdapat perbedaan di antara pertanyaan-pertanyaan,
juga
terdapat pertanyaan ujian dan pertanyaan retoris. (5) Basukarna : Apa ra ana daharan kang sêmandhing? (KTNS.Gn.101S) Surtikanthi : Inggih pun kula cawisakên Basukarna : Siadhi kok kethul ya? Siadhi kok kethul? Sing tak karepake pangunjukan mau ora kok wantah pun kakang kudu ngunjuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40 banyu, nanging segering sarira mono sak temene yenta wus ta sangoni rasa sengsem. Terjemahan: Basukarna:„Apa tidak ada makanan yang tersedia?‟ Surtikanthi:„Iya sudah saya siapkan.‟ Basukarna : ‘Adinda bodoh ya? Adinda kok bodoh? Yang saya maksud air itu bukan berarti air minum dalam arti Kakanda harus minum air,namun kesegaran ini kalau Adinda memberikan sesuatu yang mengesankan‟. Tuturan BasukarnaApa ra ana daharan kang semandhing terhadap Surtikanthi merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata apa.Pemarkah apa merupakan TTD yang menyatakan pertanyaan yang ditandai dengan penanda lingual tanda tanya (?). Cara menyampaikan TTD adalah sebagai perintah langsung dan lugas. Requirements seperti menyuruh dan mendikte jangan sampai dirancukan dengan request (memohon) meskipun permohonan dalam pengertian yang kuat. Terdapat sebuah perbedaan penting di antara kedua perintah dan permohonan. Dalam memerintah, penutur mengekspresikan maksudnya sehingga mitra tutur menyikapi keinginan yang diekspresikan oleh penutur sebagai alasan untuk bertindak; Adapunrequirements maksud yang diekspresikan penutur adalah bahwa mitratutur menyikapi ujaran petutur sebagai alasan untuk bertindak.Dengan demikian, ujaran penutur dijadikan sebagai alasan penuh untuk bertindak. Akibatnya, requirements tidak mesti melibatkan ekspresi keinginan penutur supaya mitra tutur bertindak dalam cara tertentu. Mungkin jelaslah bahwa penutur tidak bisa memberikan perhatian lebih. Namun sebagai gantinya, apa yang diekspresikan oleh petutur adalah kepercayaannya bahwa ujarannnya mengandung alasan cukup bagi mitratutur untuk melakukan tindakan itu.
Dalam
mengekspresikan kepercayaan dan maksud yang sesuai, petutur mempresumsi bahwa dia memiliki kewenangan yang lebih tinggi daripada mitratutur (misalnya, otoritas fisik, psikologis, institusional) yang memberikan bobot pada ujarannya. (6) Lesmana:Kula wontên dhawuh kakang Mas. Ramawijaya: Lan sumurupayayi sayêktine walèh-walèh apa ingkang kudu tansah narbuka atinira. commit to user(RGPA.Gn.013S)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41 Terjemahan Lesmana: „Saya ada perintah apa Kanda?‟ Ramawijaya : „Dan ketahuilah Adinda sebenarnya apa yang harus terbuka di hatimu‟. Tuturan Ramawijaya kepada Lesmana adiknya bahwa dalam kalimat Lansumurupa yayi sayektine waleh-waleh apa … merupakan jenis TTD perintah agar
mengetahui
atau
memahami
bahwa
sebenarnya
Arjuna
terbuka
hatinya.Pemarkah kata sumurupa „mengertilah‟ merupakan penanda yang menyatakan verba aktif dari kata dasar su(um)+urup+a. Penanda akhiran –a merupakan pemarkah perintah langsung lugas
bermakna perintah agar
mengetahui dan memahami. Cara menyampaikan sebagai perintah langsung dan lugas. Prohibitives (larangan), seperti melarang atau membatasi, pada dasarnya adalah requirements (perintah/suruhan) supaya mitra tutur tidak mengerjakan sesuatu. Melarang orang merokok sama halnya menyuruhnya untuk tidak merokok. (7) Ramawijaya: Kowe aja klèru, iki dudu prêkara Wisnu. (BNPA.Gn.067M) Dasamuka : Kêblingêr piyé, hêm? Ramawijaya : Ngertiya, tekaku ora mung ngrebut bojoku, nanging bakal ngendhek angkaramu. Jagad iki bakal saya remuk bubuk ajur mumur yenta isih tinekem dening kliliping jagad kaya dhapurmu. Terjemahan Ramawijaya:„Kamu jangan keliru, ini bukan urusan Wisnu‟. Dasamuka: ‘Terkecoh bagaimana?‟ Ramawijaya : ‘Ketahuilah, kedatanganku bukan hanya merebut isteriku, namun juga akan memberhentikan angkaramurkamu. Bumi ini akan hancur luluh lantak jika masih terkena sentuhanmu‟. Tuturan Ramawijaya terhadap Dasamuka merupakan jenis TTD melarang dapat diamati dengan adanya penanda aja kleru. Kata aja kleru yang ditandai dengan pemarkah aja merupakan bentuk tindak tutur melarang yanng berarti tidak boleh melakukan sesuatu. Hal ini dapat dilihat ketika Ramawijaya melarang Dasamuka membicarakan tentang perihal yang berkaitan dengan turunan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42 wisnu.Ramawijaya menganggap bahwa hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan masalah turunan wisnu. Permissives mengekspresikan kepercayaan penutur dan maksud penutur sehingga Mitratutur percaya bahwa ujaran penutur mengandung alasan yang cukup bagi mitratutur untuk merasa bebas melakukan tindakan tertentu. Alasan yang jelas untuk menghasilkan permissive adalah dengan mengabulkan (grant) permintaan izin atau melonggarkan pembatasan yang sebelumnya dibuat terhadap tindakan tertentu. Oleh karena itu, dalam permissives tampak bahwa penutur mempresumsi adanya permohonan terhadap izin itu atau mempresumsi adanya pembatasan terhadap apa yang dimintakan izin itu. (8) Basukarna : Upamané mengkono prasida iki ingkang tak pilih. Surtikanthi : Sangêt-sangêt ing panyuwun kula, kaparênga paduka ngêndika sêpisan malih hanjabêl prêkawis sêda nanging têtêp jaya. (KTNS.Gn.096M) Terjemahan Basukarna : „Seandainya seperti itu, mati terhormatlah yang saya pilih‟. Surtikanthi : „Sanga-sangat dalam permohonanku, perkenankan Paduka berbicara untuk mencabutmasalah kematian namun tetap jaya/merdeka‟. Tuturan Sanget-sanget ing panyuwun kula, kaparenga paduka ngendika sepisan malih hanjabel prekawis seda nanging tetep jaya. Tuturan Surtikanthi terhadap Basukarna merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah panyuwun kula „permintaan saya, pemarkahkaparenga „izinkanlah‟, dan
akhiran
–a
dalam
kata
kaparenga
„mempersilakan‟.
Pemarkah
keparengamerupakan penanda untuk mempersilakan dan sebagai verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba ka+pareng+a. Kata panyuwun kula merupakan TTD permintaan dan kata keparenga merupakan TTD mempersilakan. Cara memerintah sebagai perintah tidak langsung dan lugas. Untuk advisories, apa yang diekspresikan penutur bukanlah keinginan bahwa mitratutur melakukan tindakan tertentu,melainkan kepercayaan bahwa melakukan sesuatu merupakan hal yang baik.Tindakan itu merupakan kepentingan mitratutur. Penutur juga mengekspresikan maksud bahwa mitratuturmengambil kepercayaan tentang ujaran petutur sebagai alasan untuk bertindak. commit to user Maksud perlokusi yang sesuai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43 adalah bahwa mitratutur menyikapi petutur untuk percaya bahwa petutur sebenarnya memiliki sikap yang dia ekspresikan dan mitratutur melakukan tindakan yang disarankan untuk dilakukan (tentu saja mungkin, bahwa petutur sebenarnya tidak perduli). Advisories bervariasi menurut kekuatan kepercayaan yang diekspresikan sebagian advisories mengimplikasikan adanya alasan khusus sehingga tindakan yang disarankan merupakan gagasan yang baik. Dalam peringatan, misalnya, petutur mempresumsi adanya suatu kesulitan bagi mitratutur. (9) Arjuna: … Penandhang kang tumpuk matumpa-tumpa. Semar: …. Keparênga mupus ing pênggalih. ... Prayogi sawêtawis wau angginakna pètang-pétang ingkang jangkêpunsampun ngantos klintu têmbê wingkingipun ndara (KTNS.Gn.044S). Terjemahan Arjuna: „Halangan yang bertububi-tubi‟ Semar :„Perkenankan mengikhlaskan…lebih baik menggunakan hitungan yang cermat jangan sampai keliru diakhirnya‟. Tuturan …keparenga mupus ing penggalih. ... Prayogi
sawetawis wau
angginakna petang-petang ingkang jangkep …. adalah tuturan Semar kepada Arjunayangberjenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah prayogi „sebaiknya‟ sebagai indikator penanda lingual TTD menasihati. Pembicaraan antara Semar dengan Arjuna merupakan jenis TTD menasihati karena Semarmemberikan nasihat atau menyarankan agar harus selalu menggunakan semua perhitungan yang tepat. Hal itu dimasudkan agar di kemudian hari tidak salah dalam perhitungan. 4.Prinsip Berkomunikasi a. Prinsip Kerja Sama Grice mengemukakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama setiap penutur harus memenuhi empatmaksim percakapan, yakni maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan (Grice, 1975: 45-47). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44 1. Kuantitas Bidal kuantitas adalah bidal pertama dari prinsip kerja sama. Maksim kuantitas: Berilah jumlah informasi yang tepat. (a) Buatlah sumbangan Anda seinformatif yang diperlukan. (b) Jangan membuat sumbangan Anda lebih informatif dari yang diperlukan. (10) Surtikanthi: Nuwun wontên pengendika ingkang adhawuh kanjêng Sinuwun. (KTNS.Gn.056S) Basukarna: Swarga nêrakaning wong lanang, swarga nêrakaning kakung, swarga nerakané priya mau ukurané yèn pinuju sapatêmon kaya kang lagi disandhang iki.(KTNS.Gn.057S) Terjemahan Surtikanthi: „Ya Sang Raja ada sesuatu yang akan diperintahkan‟. Basukarna: „Kebahagiaan seorang laki-laki bilamana sedang bertemu dengan isteri seperti saat ini‟. Maksim kuantitas adalah maksim pertama dari prinsip kerja sama.Maksim ini
berisi
anjuran
bahwa
kontribusi
yang diberikan
penutur tidaklah
berlebihan.Artinya, cukup memberikan informasi kepada mitratutur. Tuturan (10) merupakan maksim kuantitas yang banyak memberikan jawaban. Pernyataan Surtikanthi terhadap pembicaraan Basukarna merupakan pematuhan kualitas karena Basukarna memberikan jawaban yang sangat baik terhadap apa yang telah dinyatakan oleh Surtikanthi. 2. Kualitas Bidal kedua dari prinsip kerja sama adalah bidal kualitas. Bidal ini berisi nasihat agar penutur memberikan kontribusi percakapan yang memiliki nilai kebenaran dan jangan katakan sesuatu yang tidak mereka yakini kebenarannya. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah semua kontribusi percakapan yang tidak memiliki nilai kebenaran dianggap melanggar prinsip kerja sama bidal kualitas. Maksim kualitas: Buatlah sumbangan atau kontribusi Anda sebagai sesuatu yang benar:
(a) Jangan mengatakan apa yang Anda yakini salah; (b) Jangan
mengatakan sesuatu yang Anda tidak memiliki bukti. (11) Semar: È… kêjaba saka iku, apa to ta user mungguh pêrluné déné kowésêsinglon commit mémba rasêksa lan rasêksi. (DRNS.Gn.300S).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45 Kamajaya: Mêkatên awratipun raos katrêsnan kula dhatêng titah pujangkara pun Pamadi. Ingkang sanyatanipun ing ri kalênggahan mênika anandhan sisah...(DRNS.Gn.301S). Terjemahan Semar: „Selain itu mengapa kamu bersembunyi berubah wujud menjadi raksasa‟. Kamajaya:„Karena cinta saya kepada Permadi, dan waktu sekarang dalam suasana sedih, ...‟. Maksim kedua dari prinsip kerja sama adalah bidal kualitas. Maksim ini berisi nasihat agar penutur memberikan kontribusi percakapan yang memiliki nilai kebenaran dan jangan katakan sesuatu yang tidak mereka yakini kebenarannya. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah semua kontribusi percakapan yang tidak memiliki nilai kebenaran dianggap melanggar prinsip kerja sama maksim kualitas. Hal ini dapat dicermati dalam contoh-contoh tuturan (DRNS.Gn.300S). Dalam tuturan di atas, pertanyaan Semar terhadap Kamajaya bahwa Semar menanyakan mengapa berubah sebagai rasaksa.Kemudian dari pertanyaan itu muncul jawaban Kamajaya yang menjelaskan tidak langsung pada sasaran.Justru Kamajaya bercerita tentang kesedihan yang melandanya disebabkan Werkudara berdekatan dan mengikuti. 3. Pelaksanaan Bidal ini berisi anjuran agar penutur memberikan kontribusi dengan jelas, yaitu kontribusi yang menghindari ketidakjelasan dan ketaksaan. Selain itu, kontribusi penutur juga harus singkat, tertib dan teratur. Maksim cara: Tajamkanlah pikiran: (a) Hindari ungkapan yang membingungkan; (b) Hindari ambiguitas. (12)
Togog: Ajeng napa sampéyang nyêdhaki pêsanggrahané Prabu Ramawijaya? (BNPA.Gn.010S). Indrajit: Isih kêncar-kêncar diyané (BNPA.Gn.011S). Togog : Enggih mawon nika isih enten kloyang-kloyong wonten ingkang tumbuk kemit Bilung : Ketheke pirang-pirang e…… nek sing rai baya Terjemahan Togog: „Akan melakukan apa mendekati tempat kediaman Prabu Ramawijaya? ‟. commit to user Indrajit: „Lampunya masih terang benderang‟.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46 Togog : „Iya saya masih ada yang mondar-mandir di sana‟. Bilung : „Keranya banyak sekali, ...ada yang berwajah buaya‟. Maksim pelaksanaan ini berisi anjuran agar penutur memberikan kontribusi dengan jelas, yaitu kontribusi yang menghindari ketidakjelasan dan ketaksaan. Selain itu, kontribusi penutur juga harussingkat, tertib, dan teratur. Tuturan
(BNPA.Gn.010S)
dalam
maksim
pelaksanaan
ini
menyalahi
prinsipenuturya karena antara Togog dengan Indrajit terdapat jalinan jawaban yang dapat bermakna ambiguitas. Hal ini terlihat ketika Togog memberikan pertanyaan kepada Indrajit apa yang akan dilakukan dengan mendekat ke pesanggrahan Prabu Ramawijaya. Akan tetapi, jawaban dari Indrajit atas pertanyaan Togog tidak bisa sesuai. Bahkan, hal itu dapat menimbulkan salah tafsir dari jawabannya muncul kalimat lampu masih nyala terang benderang. Maksim ini berisi nasihat agar penutur memberikan kontribusi percakapan yang memiliki nilai kebenaran dan jangan mengatakan sesuatu yang tidak mereka yakini kebenarannya. 4. Relevansi Bidal relevansi merupakan bidal ketiga dari prinsip kerja sama. Bidal ini berisi anjuran bagi penutur untuk memberikan kontribusi yang relevan dalam suatu tindak komunikasi. Dalam suatu percakapan, tuturan atau ujaran yang tidak relevan dikatakan sebagai ujaran yang melanggar bidal relevansi.
Maksim
hubungan adalah menjaga kerelevansian. Bidal ini berisi anjuran bagi penutur untuk memberikan kontribusi yang relevan dalam suatu tindak komunikasi. Dalam suatu percakapan, tuturan atau ujaran yang tidak relevan dikatakan sebagai ujaran yang melanggar bidal relevansi. (13) Ramawijaya: Yèn ngono, apa karêpé siadhi? (RGPA.Gn.022S) Lesmana: Kula badhé mênthang gêndhéwa badhé pasang warastra.(RGPAGn.023S) Ramawijaya : Apa karepmu? Lesmana : Ciptaning manah kula mbok menawi utusaning Barata ingkang boten nrimakaken sugengipun kakangmas Rama. Terjemahan commit user Ramawijaya: „Bila demikian apa to yang kau inginkan‟.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47 Lesmana : „Saya akan membentangkan busur panah‟. Ramawijaya : „Apa maksudmu?‟ Lesmana : ‘Dalam benak saya siapa tahu suruhannya Barata yang mengancam kehidupan Kakanda‟. Maksim ini berisi anjuran bagi penutur untuk memberikan kontribusi yang relevan dalam suatu tindak komunikasi. Dalam suatu percakapan, tuturan atau ujaran yang tidak relevan dikatakan sebagai ujaran yang dapat diterima. Hal ini dapat dilihat dalam tuturan (RGPA.Gn.022S).Dalam hal ini dinyatakan adanya hubungan atau relevansi yang terpadu, yakni ketika Ramawijaya menanyakan kalau begitu apakah yang akan dilakukan oleh Adinda? Lesmana menjawab akan melakukan pembidikan dengan memasang senjata Warastra. Tuturan ini sangat komunikatif dan langsung berkaitan. Antara penutur dan mitratutur telah terjadi kesinambungan.
b. Prinsip Kesantunan 1. Skala Kesantunan Robin Lakoff Skala kesantunan menurut Robin dan Lakoff (1972:16-17) mencakup tiga ketentuan. Ketiga ketentuan itu secara berturut-turut dapat disebutkan sebagai berikut: (1) skala formalitas (formality scale),(2) skala ketidaktegasan (hesitancy scale), dan (3) skala kesamaan atau kesekawanan (equality scale). Berikut uraian dari setiap skala kesantunan. Skala kesantunan pertama, yakni skala formalitas (formality scale), menyatakan bahwa agar para peserta tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam kegiatan bertutur maka tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh berkesan angkuh. Di dalam kegiatan bertutur, masingmasingpeserta tutur harus dapat menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya serta senatural-naturalnya antara yang satu dengan yang lainnya. Skala yang kedua, yakni skala ketidaktegasan (hesitancy scale)atau seringkali disebut dengan skala pilihan (optionality scale). Skala inimenunjukkan bahwa agar penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dan kerasan dalam bertutur, pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48 pihak. Orang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang dan terlalu kaku di dalam kegiatan bertutur karena akan dianggap tidak santun. Skala kesantunan ketiga, yakni peringkat kesekawanan atau kesamaan menunjukkan bahwa agar dapat bersifat santun, orang haruslah bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak lain. Agar tercapai maksud yang demikian, penutur haruslah dapat menganggap mitra tutur sebagai sahabat. Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi pihak lainnya, rasa kesekawanan dan kesejajaran sebagai Salah satu prasyarat kesantunan akan dapat tercapai. 2. Skala Kesantunan Leech Skala kesantunan Leech (1983:123-126) terdapat lima pengukur paramater kesantunan yakni: (1) Cost-benefit scale, (2) Personality scale, (3) Indirectness scale, (4) Authority scale, dan(5)
Social distance. Berikut penjelasan skala
kesantunan menurut Leech. Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan menunjuk kepada besar-kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Apabila hal yang demikian itu dilihat dari kacamata si mitra tutur, dapat dikatakan bahwa Semakin menguntungkan diri mitra tutur akan semakin dipandang tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri, si mitra tutur akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Personality scale atau skala pilihan menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun. Berkaitan dengan pemakaian tuturan imperatif dalam commit to user bahasa Indonesia, dapat dikatakan bahwa apabila tuturan imperatif menyajikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49 banyak pilihan tuturan akan menjadi Semakin santunlah pemakaian tuturan imperatif. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dengan mitra tutur maka tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya maka akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu. Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya akan semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur akan semakin santunlah tuturan yang digunakan. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur. 3. Skala Kesantunan Brown dan Levinson Model kesantunan Brown and Levinson (1987:62) memiliki tiga skala penentu tinggi-rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan. Ketiga skala itu ditentukan secara kontekstual, sosial, dan kultural yang selengkapenuturya mencakup skala-skala berikut: (1) social distance between speaker and hearer, (2) the speaker and hearer relative power, dan (3) the degree of imposition associated with the required expenditure of goods or services. Berikut uraian dari commit setiap skala yang dimaksud satu demi satu.to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50 Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance between speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Berkenaan dengan perbedaan umur antara penutur dan mitra tutur, lazimnya didapatkan bahwa semakin tua umur seseorang maka peringkat kesantunan dalam bertuturnya akan menjadi semakin tinggi. Sebaliknya, orang yang masih berusia muda lazimnya cenderung memiliki peringkat kesantunan yang rendah di dalam kegiatan bertutur. Orang yang berjenis kelamin wanita lazimnya memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berjenis kelamin pria. Hal demikian disebabkan oleh kenyataan bahwa kaum wanita cenderung lebih banyak berkenaan dengan sesuatu yang bernilai estetika dalam keseharian hidup penuturya. Latar belakang sosiokultural seseorang memiliki peran sangat besar dalam menentukan peringkat kesantunan bertutur yang dimilikinya. Orang yang memiliki jabatan tertentu di dalam masyarakat akan cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan orang, seperti petani, pedagang, kuli perusahaan, buruh bangunan, dan pembantu rumah tangga. Demikian pula, orang-orang kota cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat desa. Pada zaman dahulu,
para
punggawa kerajaan terkenal memiliki kesantunan bertutur relatif tinggi dibandingkan dengan orang-orang kebanyakan, seperti pedagang, buruh perusahaan, petani, dan sebagainya. Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker and hearer relative power) atau seringkali disebut dengan peringkat kekuasaan (power rating) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur. Sebagai contoh, dapat disampaikan bahwa dalam ruang periksa sebuah rumah sakit seorang dokter memiliki peringkat kekuasaan lebih tinggi dibanding dengan seorang pasien. Demikian pula di dalam kelas, seorang dosen memiliki peringkat kekuasaan lebih tinggi dibandingkan dengan seorang mahasiswa. Sejalan dengan itu, di sebuah jalan raya seorang polisi lalu lintas dianggap commit to user memiliki peringkat kekuasaan lebih besar dibandingkan dengan seorang dokter
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51 rumah sakit yang pada saat itu kebetulan melanggar peraturan lalu lintas. Sebaliknya, polisi yang sama akan jauh di bawah seorang dokter rumah sakit dalam hal peringkat kekuasannya apabila sedang berada di sebuah ruang periksa rumah sakit. Skala peringkat tindak tutur atau sering pula disebut dengan rank rating atau lengkapenuturya adalah the degree of imposition associated with the required expenditure of goods or services didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lain dalam sebuah praktik pertuturan yang sesungguhnya. Di dalam model kesantunan Leech (1983),
setiap maksim
interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Sebagai contoh, dalam situasi yang sangat khusus, bertamu di rumah seorang wanita dengan melewati batas waktu bertamu yang wajar akan dikatakan sebagai tidak tahu sopan santun dan bahkan melanggar norma kesantunan yang berlaku pada masyarakat tutur itu. Namun demikian, hal yang sama akan dianggap sangat wajar dalam situasi yang berbeda saat kota terjadi gempa pada waktu yang tidak ditentukan. Seorang penutur menghadapi sejumlah pilihan sebelum membuat tuturan yang dapat mengakibatkan pelanggaran muka. Untuk itu, ada konsep face „muka‟ yang penting dalam kajian penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi. Brown dan Levinson (1987) menyatakan bahwa face "muka" adalah face, the public self-image that every member wants to claim for himself, consisting in two related aspects: (a) negative face: the basic claim to territories, personal preserves, rights to non distraction -i.e. to freedom of action and freedom from imposition, (b) Positive face: the positive consistent self-image or personality (crucially including the desire that this self image be appreciated and approved of) claimed by interactants. Muka, citra diri yang bersifat umum dan ingin dimiliki oleh setiap warga masyarakat meliputi dua aspek yang saling berkaitan. (1) Muka negatif merupakan keinginan setiap orang untuk wilayah, hak perseorangan, hak untuk bebas dari gangguan, yaitu kebebasan bertindak dan kebebasan dari kewajiban melakukan sesuatu.(2) Muka positif merupakan citra diri atau kepribadian positif commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52 yang konsisten yang dimiliki oleh warga dalam berinteraksi (termasuk di dalamnya keinginan agar citra positif ini diakui dan dihargai). Dengan demikian, ada dua tipe muka yaitu muka negatif dan muka positif. Muka negatif adalah keinginan Individu agar setiap keinginannya tidak dihalangi oleh pihak lain, sedangkan muka positif adalah keinginan setiap penutur agar dia dapat diterima atau disenangi oleh pihak lain. Lebih lanjut, Brown dan Levinson (1987:65-68) memberikan konesp tentang muka
yang bersifat universal dan
secara alamiah memiliki berbagai tuturan yang cenderung merupakan tindakan yang tidak menyenangkan yang disebut Face Threatening Acts „tindakan yang mengancam muka' dan disingkat FTA. Tindakan yang mengancam muka dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tindakan yang mengancam muka positif lawan tutur dan tindakan yang mengancam muka negatif lawan tutur. 4.Asim Gunarwan Magnis Suseno (1985: 38) menyatakan bahwa ada dua prinsip dasar yang sangat menentukan pola pergaulan sosial di dalam masyarakat Jawa. Keduaduanya ialah prinsip kerukunan dan prinsip kurmat. Yang pertama berasal dari kata rukun. Kata tersebut mengacu pada kewajiban setiap anggota masyarakat untuk memelihara keseimbangan sosial.Kata yang kedua bermakna 'hormat' yang merujuk kepada "kewajiban" setiap anggota masyarakat untuk menunjukkan hormat kepada orang lain sesuai dengan status dan kedudukan masing-masing di dalam masyarakat. Berangkat dari pendapat di atas, kerukunan dapat dijabarkan menjadi empat bidal. Hal ini telah dikemukakan oleh Asim Gunarwan (2008:441-443) bahwa keempat bidal yang dimaksud adalah (1) bidal-bidal kurmat ('hormat'), (2) andhap asor ('rendah hati'), (3) empan papan ('sadar akan tempat'), dan (4) tepa slira ('tenggang rasa'). Bidal kurmat berisi nasihat agar orang selalu menunjukkan hormat kepada orang lain sesuai dengan kedudukan masing-masing menurut tangga sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Di dalam penggunaan bahasa (bahasa Jawa), bunyi bidal ini kira-kira adalah: pakailah bahasa sedemikian rupa sehingga si petutur commit to user (the addressee) tahu bahwa Anda menghormatinya sesuai dengan kedudukannya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53 Subbidalnya adalah: (1) janganlah pakai bahasa sedemikian rupa sehingga si petutur merasa ia tidak ditempatkan sebagaimana layaknya dan (2) pilihlah tingkat tutur (speech level) dan pakailah honorifik jika perlu sesuai dengan kedudukan si petutur serta jarak sosial di antara Anda dan petutur.
Agak berbeda dengan
banyak bahasa yang lain, bahkan dengan bahasa-bahasa yang termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia, bahasa Jawa mengenal berbagai-bagai tingkat tutur (14) Prb Puntadewa: Inggih kaka prabu suwawi kula dhèrèkakên. (KTNS.Gn.026) Duryudana: Rawuh paduka Ramawijaya prabu ing Mandaraka, menawi kula ingkang mastani kadi dene pangejawantahing sang Hyang Yamawidura badhe njabuti nyawane Pandhawa. Terjemahan Prb Puntadewa: „Iya Kanda Prabu, sekarang mari kita hantarkan‟. Duryudana: „Hadirnya ayah Prabu Mandaraka, dapat disebutkan seperti inkarnasi Sang Hyang Yamawidura akan mengambil sukma para Pandawa‟. Pemakaian kata sapaan dalam tuturan kaka prabu (KTNS.Gn.026) merupakan
bentuk
tuturan
yang
mengandung
bidal
kurmat.Artinya,penuturmenghormati orang yang dianggap lebih tua, berkuasa, berpengalaman, dan berilmu. Saat Puntadewa berhadapan dengan Duryudana yang merupakan sesepuhnya maka terungkap tuturan yang menyatakan hormat. Penjelasan dalam tuturan di atas pada intinya mengungkapkan rasa hormat. Bidal yang kedua, andhap asor, berasal dari kata andhap 'rendah' dan asor 'berada di bawah'. Secara harafiah, frase ini bermakna 'sangat rendah' dan bidal ini berisi nasihat agar orang selalu berperilaku. Di dalam perilaku bahasa, bunyi bidal ini ialah: pakailah bahasa (dalam arti pilihlah kata-kata) sedemikian rupa sehingga si petutur tahu bahwa Anda rendah hati atau tidak congkak. Petutur yang tahu bahwa penutur rendah hati akan merasa bahwa sedang dipuji; makin rendah hati si petutur, makin tinggilah pujiannya. Subbidalnya adalah: (1) pakailah bahasa sedemikian rupa sehingga si petutur merasa bahwa ia dipuji secara maksimal dan (2) janganlah pakai honorifik untuk mengacu ke diri sendiri. commit to user sudah ditanamkan sejak dini di Perlunya bertingkah laku andhap asoritupun
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54 dalam masyarakat Jawa. Jalan agar orang menjadi pandai dan sakti adalah bahwa ia harus rendah hati. (15) Sinta: Mula nganti iki aku nêksèni aku ya rumangsa bombong nyawang tékadmu kang kaya gunung waja. (BNPA.Gn 053) Dasamuka : Lagene ngerti, gene ngerti mripatmu. Kowe ana kene wong wedok krubyuk kabotan pinjung upama ta aku gelem ngruda peksa wis biyen-biyen. Ning yagene aku ndulit wae ora, hem. Terjemahan Sinta : „Sampai sekarang saya menyaksikan dan sangat bangga, melihat tekadmu seperti gunung baja‟. Dasamuka : ‘Nah tahu kan, matamu melihat. Kamu di sini perempuan keberatan dengan kain jarikmu andai saya mau sudah dari dulu. Namun kenapa saya tidak mau, hem...‟. Tuturan (15) mengandung satu ungkapan pernyataan dari Sinta yang termasuk bidal andhap asor.Artinya, pada saat Sinta bertutur kepada Dasamuka ada makna di dalamnya yang mempunyai arti andhap asor. Hal ini terlihat dalam pemakaian kata rumangsa bombong nyawang tekadmu. Pernyataan yang menjelaskan tentang pakailah bahasa sedemikian rupa sehingga si petutur merasa bahwa dipuji terbukti oleh Sinta dalam kalimat rumangsa bombong nyawang tekadmu.Sinta secara kesopanan telah memberikan sanjungan kepada Dasamuka atas kemauan Dasamuka yang kuat tidak keras sehingga tuturan serta merasakan berbangga hatinya terhadap apa yang telah dilakukan oleh Dasamuka. Kata empan dalam bidal yang ketiga yang dipostulatkan di sini, yaitu empan papan, berasal dari kata papan itu sendiri yang bermakna 'tempat' atau 'posisi'. Bidal ini berisi nasihat agar kita pandai-pandai membawa diri atau agar selalu menyadari tempat atau kedudukan kita di dalam konstelasi masyarakat. Menurut pandangan Jawa tradisional, tempat seseorang di dalam semesta ini sudah ditentukan dari "sana." Selama menempati kedudukan yang sudah ditetapkan itu, keseimbangan akan terjaga. Jika orang berpindah kedudukan, ada kemungkinan akan bertabrakan dengan orang lain. Kalau ini terjadi, keseimbangan dapat terusik. Rendah hati, tidak congkak, tidak tinggi hati, dsb. Bunyi bidal ini di dalam perilaku bahasa ialah: pakailah bahasa (dalam arti commit to user pilihlah kata-kata) sedemikian rupa sehingga si petutur tahu bahwa Anda rendah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
55 hati atau tidak congkak. Petutur yang tahu bahwa penutur rendah hati akan merasa bahwa ia sedang dipuji; makin rendah hati si petutur, makin tinggilah pujiannya. Subbidalnya adalah: (1) pakailah bahasa sedemikian rupa sehingga si petutur merasa bahwa ia dipuji (secara maksimal) dan (2) janganlah pakai honorifik untuk mengacu ke diri sendiri. Skala yang lebih kecil, yakni bidal ketiga itu dapat ditafsirkan sebagai bermakna 'sadarilah di mana Anda sedang berada.' Suatu bentuk perilaku mungkin patut-patut saja di dalam suatu situasi, tetapi mungkin ia tidak patut di dalam situasi yang lain. Demikian pula, suatu ujaran mungkin baik dan berterima di dalam suatu peristiwa tutur; di dalam peristiwa tutur yang lain, ia mungkin tidak patut bahkan kurang sopan diujarkan. Jadi, di dalam penggunaan bahasa bidal ini berisi nasihat agar seseorang menggunakan bahasa sesuai dengan hal-hal yang ada di dalam peristiwa tutur (siapa peristiwa tutur, di mana peristiwa tutur terjadi, apa topiknya, dsb.). Subbidalnya adalah: (1) pilihlah tingkat tutur sesuai dengan status sosial Anda serta status sosial peserta tutur yang lain dan (2) susunlah ujaran Anda dan pilihlah kata-kata dengan menimbang komponen-komponen peristiwa tutur. (16)
Hareksa :É é é é é ...Wong bagus...Byuh sapa kowé hèh? Arjuna : Pamadyaning Pandhawa, satria Madukara kêkasihku Radèn Pamadi. Kowé sapa? Hareksa : O o o ohh, kang mbaurêksa alas kéné jênêngku Ditya KalaHarêksa... Arjuna : Mèmpêr praupamu rêksasa yèn bêbudènmu bêtah butêng hanganiaya. Aja ta kang bakal ndiblèk kêkulitku nadyan kowé nyénggol awakku waé, sariraku tak rêsiki nganggo tirtaning sumbêr sêdina kaping pitu. (DRNS.Gn.290) Hareksa : Ho hoho parat! Ya, gêdhému amung sak driji, ngibaraté timun mungsuh durèn, glundhungi mêmêt kuwandhané. Terjemahan Hareksa Arjuna Hareksa Arjuna
: „É é é é é ...Orang bagus...Byuh kamu siapa hèh?‟ :‟Pamadyaning Pandhawa, satria Madukara kêkasihku Radèn‟.Pamadi. Kamu siapa?. :‟Penguasa hutan di sini namakuDitya Kala Harêksa... : „Pantas rautmukamu raksasa sudah sesuai dengan tingkahmu yang jahat. Bila kamu badanku akan kubersihkan commit to memegang user dengan air tujuh kali setiap hari‟.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
56 Hareksa
:„Hohoho keparat! Ya, dirimu hanya sebesar jari, ibaratnya
mentimun melawan durian hancur luluh lantak‟. Tuturan ini mengandung empan papan.
Artinya, raksasa yang
berkelakuan dan berparas buruk kalau sampai menyinggung satria maka akan mandi dengan air sebanyak tujuh kali. Hal ini menunjukan bahwa empan papan terletak pada raksasa yang tidak boleh bersinggungan dengan seorang satria.Raksasa harus tahu tempatnya. Tuturan ini dapat dilihat pada saatArjuna bertemu dengan Hareksa karena istri Hareksa sedang mengidam daging setampuk dari tubuh satria yang rupawan. Pada saat itulah Hareksa di tengah hutan bertemu dengan Arjuna. Oleh Hareksa, daging Arjuna akan diminta demi istrinya yang sedang mengidam. Tidak pada tempatnya jika rakasasa menyinggung tubuh satria apalagi meminta dagingnya. Bidal keempat yang dipostulatkan, yakni tepa slira, berasal dari kata tepa yang bervarian dengan tepak 'kena' dan kata slira 'tubuh'. Dapat juga tepa diartikan sebagai 'ukuran' sehingga tepa slira dapat diartikan sebagai 'ukurlah tubuh sendiri.' Parafrasenya kira-kira berbunyi 'jangan lakukan kepada orang lain sesuatu yang Anda tidak mau orang lain melakukan kepada Anda.' Di dalam hal penggunaan bahasa, kira-kira bunyinya adalah 'jangan gunakan bahasa yang tidak patut kepada orang lain sebagaimana Anda tidak mau orang lain menggunakan bahasa yang tidak patut kepada Anda.' Subbidalnya adalah: (1) 'pakailah bahasa yang patut kepada orang lain sebagaimana Anda mau orang lain menggunakan bahasa yang patut kepada Anda' dan (2) 'Hindari penggunaan bahasa yang tidak patut.' (17) Wibisana: Ora susah kakèhan gunêm kang tanpa guna ingkang wigati titi mangsa iki rungokna kandhané pun bapa ya nggèr. (BNPA.Gn 031). Indrajit : Inggih kados pundi paman Wibisana : Wong urip ana alam padhang, wong urip ana ing alam padhang iki dikantheni budi perkerti ingkang ganep (pedhot). Terjemahan Wibisana: „Tidak usah banyak bicara, yang penting dengarkan nasihat saya‟. Indrajit : „Iya bagimanacommit Paman?‟ to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57 Wibisana : Orang hidup di dunia, orang hidup di dunia ini dilengkapi dengan budi pekerti yang lengkap‟. Tuturan (BNPA.Gn.031) Ora susah kakèhan gunêm kang tanpa guna ingkang wigati…termasuk dalam bidal empan papan karena tuturan ini mengingatkan kepada Indrajit yang sedang berbicara kepada Wibisana. Tuturan ini dikatakan sebagai empan papan.Artinya, Wibisana berbicara kepada Indrajit agar mau mendengarkan apa yang dipesankan dari Wibisana dan tidak perlu Indrajit banyak bicara yang tiada gunanya. Apapun Wibisana sebagai paman Indrajit tentu mempunyai hak untuk memberikan petuah dan nasihat.Hal ini sudah sesuai dengan status sosial bahwa Wibisana mempunyai kedudukan lebih tinggi jika dibandingkan dengan Indrajit. Teori kesopanan Gunawan akan digunakan untuk membahas dialog tokoh wayang yang berkaitan dengan etika dalam wayang. Alasan memilih teori ini disebabkan wayang merupakan salah satu teater Jawa yang menggunakan dialog bahasa Jawa yang dalam jagad pedalangan disebut bahasa pedalangan. Dalam bahasa pedalangan, dialog antartokoh sangat memperhatikan unggah-ungguh, status sosial, empan papan, dan angon- tinon antara pembicara tokoh satu dengan lainnya. Untuk itu, teori kesopanan Gunawan kiranya sangat tepat untuk menganalisis tindak tutur dalam ginem atau dialog tokoh wayang pada adegan tertentu.
c. Implikatur Istilah implikatur berasal dari bahasa Latin plicare yang berarti „melipat.‟ Derivasinya dalam bahasa Inggris adalah kata kerja to imply
yang aslinya
bermakna to fold something into something else „melipat sesuatu ke dalam sesuatu yang lainnya‟. Berdasarkan paparan tersebut, kata implikatur berasal dari kata implied yang berarti folded in „terlipat‟ dan harus dibuka lipatan tersebut (unfolded) jika kita ingin mengetahui artinya. Cara yang ditempuh mitra tutur untuk memahami implikatur yang hendak disampaikan penutur dalam komunikasi adalah menghubung-hubungkan tindak ujar dengan konteks yang melingkupinya. commit to user Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman. Setidaknya dapat untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
58 meminimalisasi kesalahan sewaktu kita menafsirkan maksud penutur. Implikaturimplikatur yang disiratkan dalam ujaran merupakan sumber utama pragmatik yang difungsikan sebagai nilai komunikasi yang dimotivasi dari beragam keinginan penutur. Yule (1996: 69-80) menjelaskan bahwa implikatur secara garis besar dibedakan menjadi dua, yaitu implikatur percakapan dan implikatur konvensional. Implikatur percakapan (conversational implicature) merupakan makna tambahan atau bagian dari informasi yang disampaikan dan tidak dikatakan karena dipicu dari motif-motif tertentu penutur. Implikatur percakapan terkait dengan cara kita memahami suatu ucapan dalam percakapan sesuai dengan apa yang kita harap untuk didengarkan. Dengan demikian, jika kita mengajukan pertanyaan, suatu jawaban yang pada tingkat permukaan tidak masuk akal,tetapi dapat saja merupakan jawaban yang memadai atau berterima. Ilustrasi pernyataan itu adalah sebagai berikut. (18) Raka: “Kita berangkat jam berapa Nim?” Nimas: “Setelah kereta lewat.” Jawaban Nimas tidak rasional dalam konteks percakapan tersebut. Raka dan Nimas sama-sama mengetahui bahwa setiap hari keretaapi melintas di depan rumah mereka pada pukul 07.30. Akan tetapi, dalam percakapan itu Nimas tidak menjawab atau menunjuk pada waktu tertentu serta Raka dapat memahami jawaban Nimas. Jawaban Nimas merupakan jawaban yang relevan sehingga Rakamemahaminya. Implikatur konvensional (conventional implicature) tidak berdasarkan pada prinsip kerja sama atau maksim. Tidak harus terjadi dalam percakapan dan tidak tergantung pada konteks khusus untuk interpretasinya. Mirip dengan presuposisi leksikal, implikatur konvensional terkait dengan kata-kata khusus atau tertentu dan menghasilkan makna atau maksud tambahan yang disampaikan ketika kata-kata tersebut digunakan, Misalnya bentuk kata-kata konjungsi dalam bahasa Inggris: but 'tetapi', even 'bahkan'; dan yet 'belum'. Istilah implikatur menurut Grice (1975: 45) adalah komunikasi itu akan berjalan dengan efisien dan efektif jika para peserta tutur bekerjasama satu sama commit to user mematuhi prinsip kerja sama lain. Artinya, peserta komunikasi perlu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59 (Cooperative Principle) yang dijabarkan menjadi empat maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim hubungan, dan maksim cara. Jika keempat maksim itu dipenuhi,pencapaian informasi akan menjadi efektif dan efisien. Secara ringkas, seorang penutur dikatakan memenuhi maksim-maksim Grice apabila memberikan informasi tidak lebih atau tidak kurang dari yang dibutuhkan, informasinya benar atau tidak keliru, informasi itu relevan dengan pokok pembicaraan dan pencapaiannya baik dan mudah dipahami, jelas, sistematis, langsung, dan tidak bertele-tele.Namun demikian, penutur tidak selalu mematuhi maksim-maksim
Grice
tersebut.
Pelanggaran
terhadap
maksim
Grice
menyebabkan timbulnya implikatur percakapan, yakni makna atau pesan tambahan yang menjadi bagian dari komunikasi yang tidak dikatakan. Yule (1996) menyatakan bahwa implikatur dalam pragmatik terkait dengan cara kita memahami suatu tuturan di dalam percakapan sesuai dengan yang kita harapkan. Suatu respons percakapan yang tampaknya kurang tepat dapat berterima jika kita hubungkan dengan konteksnya. Sejalan dengan pendapat Yule, Mey (1994) memberi batasan implikatur sebagai "an additional conveyed meaning".Maksudnya, makna tambahan lebih dari yang dikomunikasikan. Dalam hal ini, penutur yang memilih berkomunikasi dengan implikatur, sedangkan mitra tutur (petutur) bertugas mengasumsikan bahwa penutur bekerjasama dalam percakapan yang mereka lakukan sehingga dapat mengenali makna tambahan yang dimaksudkan dalam percakapan dengan menarik simpulan (inference). Menurut Levinson (1983:97), implikatur percakapan adalah "the notion of conversational implicature is one of the single most important ideas in pragmatics". Dari ketiga pakar, secara ringkas dapat disarikan bahwa implikatur adalah makna yang disiratkan dalam sebuah percakapan. Teori implikatur akan dimanfaatkan untuk mengetahui keterkaitan antara tuturan yang telah dilakukan oleh para tokoh dalam lakon pertunjukan wayang kulit yang disajikan oleh kedua dalang. Tuturan dari para tokoh yang mengandung maksud tersirat dapat dimaknai dengan implikatur, khususnya pada dialog yang mengandung tindak tutur ekspresif dan direktif dalam adegan pathet sanga dan commit to user manyura.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60 d. Daya Pragmatik Leech (1976: 45) menegaskan bahwa dalam pemahaman
pragmatik
harusdikaitkan makna suatu tuturan dengan daya pragmatik tuturan tersebut. Kaitan ini dapat bersifat langsung atau tidak langsung. Tugas pragmatik adalah menjelaskan kaitan penutur dengan dua jenis arti tersebut, yakni makna harafiah dengan daya atau ilokusi. Leech berasumsi bahwa makna dapat diperikan lewat representasi semantik, sedangkan daya diperikan melalui seperangkat implikatur. Pada dasarnya semua implikatur itu oleh penutur dengan tuturannya tidak pernah dapat kita ketahui secara pasti hanya dengan beberapa faktor, seperti kondisi yang dapat diamati, bentuk tuturan, dan konteks mitra tutur dapat membuat simpulan interpretasi. Secara tegas Leech menyatakan bahwa makna (sense), yakni makna yang ditentukan secara semantik, sedangkan daya (force), yakni makna yang ditentukan secara semantis dan pragmatik. Adapun ikatan antara makna dan daya perlu disadari.Daya mencakup makna dan secara pragmatik daya sekaligus dapat diturunkan dari makna. Implikatur dan daya pragmatik merupakan dua buah batasan yang merujuk pada sebuah makna. Artinya,masing-masing batasan, baik implikatur maupun daya pragmatik secara garis besar mengacu pada satu objek yang sama yakni, makna yang disiratkan dalam sebuah pertuturan. Beberapa pakar linguistik sependapat bahwa implikatur adalah makna yang disiratkan dalam sebuah percakapan. Menurut Leech (1993), daya pragmatik dapat diperikan dengan seperangkat implikatur. Artinya, daya pragmatik merupakan kekuatan atau force yang muncul dari seperangkat implikatur. Terkait dengan analisis tindak tutur dalam dialog adegan pathet sanga dan manyura dalam sajian dalang Nartasabda dan Purbo Asmoro akan dilihat pula implikaturnya melalui dialog antartokoh. Berdasarkan seperangkat implikatur-implikatur dari teks dialog yang terdapat pada adegan pathet manyura akan muncul makna utama yang merupakan makna pragmatik. Makna utama tersebut merupakan kekuatan yang dapat memberikan makna dalam cerita lakon yang dimaksudkan mempunyai kekuatan atau daya pengaruh atau efek bagi penonton khususnya dan masyarakat pada umumnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
61 Makna yang terkandung dalam isi dialog adegan pathet sanga dan manyura adalah inti cerita (babaring lakon). Solusi atau pemecahan permasalahan akan terjaring melalui dialog para tokohnya yang menuju kepada pemecahan permasalahan. Daya pragmatik diharapkan dapat mengungkapkan makna terhadap tuturan dalam ginem adegan pathet sanga dan manyura pada lakon yang disajikan kedua
dalang,
yakni
Nartasabda
dan
Purbo
Asmoro.
Hal
itu dapat
diinterpretasikan makna yang tersirat berdasarkan pengetahuan yang sama (background knowledge) sehingga makna ekspresif akan dapat dipahami.
5. Budaya Jawa Usaha memahami kebudayaan Jawa mengarah kepada pemahaman nilai-nilai, konsepsi-konsepsi, dan paham yang membimbingtindakan-tindakan dalam hidup di lingkungan masyarakat Jawa. Nilai-nilai dan konsepsi-konsepsi itu akan memperlihatkan pandangan dunia masyarakat Jawa secara vertikal maupun secara horisontal. Magnis Suseno dalam buku Etika Jawa (1988), pandangan dunia bagi orang Jawa adalah nilai pragmatisnya untuk mencapai suatu keadaan psikis tertentu, yaitu ketenangan, ketentraman, dan keseimbangan batin. Orang Jawa berpendapat bahwa suatu pandangan dunia dapat diterima jika semuaunsurunsurnya semakincocok satu sama lain (sreg) dan kecocokan itu merupakan suatu kategori psikologis yang menyatakan dari dalam bahwa tidak ada ketegangan dan gangguan batin (Noorsena 1999: 83). Gagasan utama yang mendasari pola pikir masyarakat Jawa akan tampak sebagai suatu hierarkis. Pada tingkat pertama, terdapat lingkungan adi kodrati yang memiliki mekanisme keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan kondisi lingkungan di bawahnya adalah lingkungan manusia dan masyarakat yang segala sesuatunya telah ditentukan sebelumnya (pepesthen). Segala sesuatunya harus mengikuti arah yang telah ditentukan dan selaras dengan hukum kosmos Lebih jauh dijelaskan bahwa dalam budaya Jawa keteraturan adalah kondisi yang harusditegakkan. Keteraturan berarti dengan tujuan kosmos dan dalam arti terdalam itulah terjadi kemanunggalan, kesatuan, dan segala-galanya, Pencipta commitGusti, to user dengan yang diciptakan, kawula dengan sangkan paran (Mulder, 1983: 15).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
62 Aspek penting dalam kebudayaan Jawa seperti gagasan, nilai, keyakinan dan sikap terhadap hidup, asalmula, dan tujuan hidup secara implisit dan eksplisit sering disajikan dalam pertunjukan wayang kulit. Karena nilai sosoial budaya dianggap dapat membentuk bangunan dasar struktur sosial, pertunjukan wayang kulit dengan lakon tertentu merupakan gambaranan tentang cita-cita masyarakat Jawa. Kebudayaan Jawa yang terungkap lewat pertunjukan wayang kulit menggambarankan tindakan manusia yang pantas dan tidak pantas beserta konsekuensinyamasing-masing. Dalam pertunjukan wayang, tersirat sikap keteladanan dengan harapan agar masyarakat pendukung wayang dapat mencapai keseimbangan sosial dan lingkungan. Demikian pula, sikap kesahajaan dan sikap tidak berlebihan tindakan manusia pada akhirnya akan mampu melestarikan keseimbangan sosial dan alami serta mencegah kehancuran. Brandon dalam bukunya On Thrones of Gold Three Javanes Shadow Plays (1970) mengatakan bahwa pandangan hidup orang Jawa tecermin lewat cerita-cerita lakon wayang. Pandangan tersebut memadukan unsur lokal dan unsur pinjaman. Sebagai contoh, dikatakan bahwa Arjuna tokoh Pandawa lahir sebagai orang Jawa. Tempat Tegal Kurusetra, Mahameru, Kendalisada, Mahameru tempat para dewa terletak di Jawa (Brandon, 1970: 50). Noorsena dalam bukunya Antara Bayangan dan Kenyataan (1999) mengatakan bahwa dalam budaya Jawa ditemukan adanya sistem klasifikasi. Pandangan ini dalam kosmos dibagi menjadi dua secara vertikal tinggi dan rendah yang dikenal dengan konsep dualistas: kanan-kiri, besar-kecil, gelap-terang, dan sebagainya. Pandangan ini sering disebut mono-dualistik, yaitu pandangan tata alam yang serba dua, tetapi satu. Dalam budaya Jawa, sering disimbolkan bapa angkasa dan ibu pertiwi (langit dan bumi), padhang-peteng, lanang-wadon, hidup dan mati, dan sebagainya (Noorsena, 1999: 84). Pemikiran-pemikiran tersebut di atas dipinjam untuk menganalisis implikatur lakon Karna Tandhing, Dewaruci, Rama Gandrung dan lakon Brubuh Ngalengka. Pemikiran dan konsep-konsep budaya Jawa digunakan saling commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63 melengkapi untuk mengungkap makna dan pesan yang terkandung dalam peristiwa lakon yang menjadi objek kajian ini. Tindak tutur ekspresif dan direktif yang disampaikan dalang tidak jarang mengandung pesan-pesan, seperti pesan moral, spiritual, pendidikan, penerangan, dan sebagainya. TTE dan TTD yang disampaikan oleh kedua dalang mengandung pesan-pesan pendidikan watak atau kepribadian seperti watak seorang kesatria Adipati Basukarna yang memiliki watak rela berkorban, menetapi janji yang telah diucapkan, jujur, loyal terhadap nusa dan bangsa, jiwa kepahlawanan, setia, dan sebagainya.Untuk itu, TTE dan TTD yang terungkap dapat dijadikan sarana pendidikan. TTD dan TTE yang terungkap mempunyai fungsi dalam penanaman pendidikan karakter maka untuk menganalisis fungsi tindak tutur ekspresif dan direktif dalam sajian kedua dalang dipinjam teori fungsi yang dikemukakan Seni pertunjukan paling tidak mempunyai delapan fungsi sosial:(1) sebagai sarana kepuasan batin; (2) sebagai sarana bersantai atau hiburan; (3) sebagai sarana ungkapan jati diri; (4) sebagai sarana integratif dan pemersatu; (5) sebagai penyembuhan; (6) sebagai sarana pendidikan; (7) sebagai integrasi pada masa kacau; dan (8) sebagai lambang penuh makna dan mengandung kekuatan (Budisantosa, 1992: 8).
6. Wayang Kulit Gaya Surakarta a.Asal-Usul Pertunjukan Wayang Masyarakat pendukung wayang khususnya masyarakat Jawa mengenal dan mengerti wayang bahkan banyak memahami serta menghayatinya. Ada pula sebagian pendukung pewayangan atau budayawan yang mengatakan bahwa memahami pertunjukan wayang berarti dapat mengenali kehidupannya sendiri. Lakon-lakon wayang yang ditampilkan seolah-olah menggambarkan kehidupan manusia sendiri. Tidak jarang dalam kehidupan, mereka mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh wayang tertentu dan bercermin pada karakter tokoh-tokoh wayang untuk melakukan perbuatan dalam kehidupan. Pertunjukan wayang kulit bukan sekadar tontonan dan pencerahan belaka, melainkan menjadi pemberi commit to user makna dalam kehidupan. Oleh sebab itu, wayang tetap terpeliharadi tengah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
64 masyarakat Jawa dan dipentaskan dalam berbagai upacara, seperti upacara perkawinan, khitanan, ulang tahun, ruwatan, bersih desa, sedekah laut, dan sebagainya. Pertunjukan wayang kulit sering dipandang sebagai bahasa simbol dari kehidupan yang bersifat rohaniah daripada lahiriah. Masyarakat pendukung pewayangan menyadari bahwa pertunjukan wayang mengandung konsepsi dan tidak jarang digunakan sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok masyarakat tertentu. Konsepsi-konsepsi tersirat dalam pergelaran wayang, sikap pandangan terhadap hakikat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Khalik-Nya, hubungan manusia dengan manusia, serta hubungan manusia dengan alamnya. Pertunjukan wayang kulit merupakan sumber nilai bilamana sajiannya dapat mengungkapkan isi secara artistik-estetik. Nilai-nilai yang terkandung dalam pertunjukan wayang merupakan nilai esensial dalam kehidupan manusia dengan harapan bahwa nilai itu dapat diresapi serta diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pertunjukan wayang kulit purwa yang mengambil cerita dari Mahabarata bukan bernilai historis, melainkan lebih bernilai etis (Soetarno, 2011:50). Pertunjukan wayang kulit purwa Jawa tetap hidup dalam era globalisasi karena tidak hanya aspek estetis visualnya saja, tetapi juga dibalik pertunjukan wayang terkandung makna yang dalam sehingga bagi masyarakat Jawa berfungsi sebagai tontonan, tuntunan, dan tatanan. Tahun 2003 wayang kulit purwa Jawa mendapat pengakuan UNESCO sebagai karya agung dunia yang nonbendawi. Dengan demikian, dalam pertunjukan wayang tidak hanya diperhatikan penampilan luar atau visualnya saja, tetapi juga yang paling hakiki adalah nilai– nilai yang tersirat atau tersurat dalam pertunjukan wayang disampaikan oleh dalang dan seberapa jauh nilai-nilai itu dapat ditangkap penonton atau penghayat. Nilai-nilai itu bilamana dapat dihayati maka terjadilah komunikasi sambung rasa antara penonton dan penyaji (dalang). Selanjutnya, terjadilah komunikasi estetis yang dapat mengangkat harkat dan martabat manusia yang pada giliranya akan meningkatkan kualitas hidup serta memperkaya pengalaman jiwa, memperluas commit to user persepsi, serta meningkatkan kedewasaannya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
65 Asal mula pertunjukan wayang kulit menurut data sejarah telah ada sejak abad ke-11 Masehi pada zaman Airlangga seperti tercantum dalam Kakawin Arjuna Wiwaha bait ke: 59 sebagai berikut. “Hanânonton ringgit manangis asěkěl mudha hiděpan huwus wruh towin yan walulang inukir molah angucap hatur ning wang tresnèng wisaya malahâ tan wihikana tatwan yan mâyâ sahana-haning bhâwa siluman” (Soetarno dkk, 2007:25). Terjemahan: ‟Ada orang melihat wayang menangis, kagum serta sedih hatinya, walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat hanya kulit dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara, yang melihat wayang umpamanya orang yang bernafsu dalam keduniawian yang serba nikmat, mengakibatkan kegelapan hati. Mereka tidak mengerti Semua itu hanyalah bayangan seperti sulapan, sesungguhnya hanya semau saja‟. Pertunjukan wayang diperkirakan telah ada sejak masa Jawa Kuna (tahun 908 M) pada pemerintahan Raja Dyah Balitung dari kerajaan Mataram Kuna seperti tersurat dalam isi Prasasti Wukajana sebagai berikut. “hinyunakěn tontonan mamidu sang tangkil hyang Sintaalu macarita bhima kumara mangigěl kicaka si jaluk macarita Ramayana mamirus mabanyol si mungmuk si galigi mawayang buatt hyang macarita ya kumara…”(Haryono, 2006: 177-178). Terjemahan: ‟Diadakan pertunjukan, yaitu menyanyi (nembang) oleh sang Tangkil hyang si Nalu bercerita Bhima kumara dan menarikan Kicaka. Si Jaluk bercerita Ramawijaya, menari topeng dan melawak oleh si Mungmuk. Si Galigi memainkan wayang untuk hyang (arwah nenek moyang) dengan cerita BhimaKumara‟. Pertunjukan wayang sebagian masyarakat Jawa disebut dengan istilah pakêliran. Pertunjukan wayang tidak hanya sebagai seni pertunjukan semalam, tetapi juga luwes dapat digunakan untuk mewadahi dan menjembatani berbagai kepentingan masyarakat, seperti peringatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan atau perjalanan hidup manusia sejak dalam kandungan hingga meninggal dunia; untuk sarana pemujaan (upacara agama atau kepercayaan); peringatan hari-hari besar kenegaraan atau keagamaan; untuk kepentingan sosial; untuk sarana pencapaian ide-ide dan pesantopemerintah atau kelompok masyarakat; commit user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
66 untuk tontonan dan tuntunan. Kelenturannya menyebabkan kehidupan wayang kulit di Jawa selalu mendapat tempat di hati masyarakat. Adapun pesan-pesan yang terkandung dalam setiap pertunjukan wayang kulit semalam adalah hal yang sangat penting dalam inti cerita. Pesan-pesan yang disampaikan mulai dari awal sebuah cerita (lakon) wayang biasa disebut dengan jejer. Struktur adegan atau bangunan lakon pertunjukan wayang purwa (wayang kulit) semalam dibagi menjadi tiga babak atau tiga pathet: pathet nem mulai pukul 21.00 s.d. 24.00; pathet sanga mulai pukul 24.00 s.d 03.00; dan pathet manyura mulai pukul 03.00 s.d 6.00. Jejer berupa adegan-adegan yang mencerminkan perjalanan hidup manusia dari awal hingga akhir hayatnya. Pathet nemmulai pukul 21.00 s.d. 24.00meliputi jejer, gapuran, adegan kedhatonan. adegan paseban jawi, budhalan, kapalan, perang ampyak; adegan sabrang, perang gagal. Pathet sanga yang dimulai pukul 24.00 s.d 03.00 meliputi adegan pendhita, gara-gara, perang kembang, adegan sintren jika ada perang dinamakan perang begalan. Pathet manyura dimulai pukul 03.00 s.d 05.00 pagi yang meliputi adegan manyura jika terdapat perang dinamakan perangbrubuh,perang
amuk-amukan, tayungan.adeg tancep kayon, dan
golekan(Soetarno, 2007:49). Dengan demikian, masing-masing jejer mempunyai kecocokan yang efektif untuk pesan tertentu. Keberhasilan dalang dalam menyampaikan pesan-pesan didukung oleh cara dan bentuk pengkomunikasian yang populer dengan daya tangkap masyarakat.Tingkat sosial masyarakat/ penonton wayang dan frekuensi menonton atau mendengarkan wayang kulit mempengaruhi sikap kondusif masyarakat terhadap pesan-pesan yang disampaikan (Waluyo,1994:215).
Selanjutnya
dijelaskan bahwa adegan gara-gara dianggap oleh para dalang sebagai adegan yang paling bebas untuk membicarakan apa saja, baik pesan yang bersifat informasi maupun kritik sosial. Demikian pula pesan-pesan pembangunan yang disampaikan melalui adegan gara-gara tidak merusak keindahan ataupun tidak merusak pakem. Yang dimaksud dengan pakem berisi cerita, pedoman yang berisi perbendaharaan cerita pewayangan, baik yang dipakai sebagai sumber ataupun commit user sebagai pedoman bagi para dalang dalamtomempergelarkan wayang.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
67 Adegan
yang
menegangkan
sekaligus
mengharuskanadalah
penggambaranan salah satu realitas liku-liku kehidupan yang ada dalam setiap masyarakat dari dahulu, sekarang, dan masa datang. Seorang dalang dengan cara dan gayanya sendiri berusaha memikat hati para penontonnya dengan menampilkan tragedi, komedi, dan tragikomedi. Ada adegan cinta yang menghanyutkan, ada dilema sosial-politik yang berat dan rumit, dan ada pula adegan riang yang memesona, atau lawakan lucu yang menyegarkan. Banyak santapan yang bersifat psikologis, intelektual, religius, filosofis, estetis, dan etis yang sengaja diramu dalam berbagai adegan oleh sang dalang dengan menggunakan lambang-lambang dalam bentuk kata dan gerak. Penonton berhak memberikan interprestasi masing-masingsesuai dengan sikap dan pandangan, pengalaman, kemampuan, dan tingkat intelektual yang mewarnai pribadinya. Demikian pula pesan-pesan sosial dan moral, termasuk pembangunan yang disampaikan dalang melalui lambang, mengajak penonton
memberikan
maknanya sendiri. b. Perlengkapan dan Pelaku Pertunjukan Wayang Pertunjukan wayang kulit
gaya
Surakarta memerlukan
perlengkapan, yakni seperangkat gamelan slendro dan pelog.
beberapa
Instrumennya
terdiri dari gender, kendang, rebab, slentem, demung, saron barung, saron penerus,
siter,
seruling,
ketuk,
kenong,
kempul,
gong,
gambang,
bonangbarung,dan bonang penerus. Selain itu, untuk keperluan pertunjukan juga diperlukan gawangan kêlir untuk merentangkan layar (kêlir) dan kothak wayang yang berfungsi untuk menyimpan wayang serta menimbulkan efek bunyi (dhodhogan kothak). Kothak wayang berisi wayang kulit yangberjumlah kurang lebih 200 buah wayang. Ketika pertunjukan berlangsung, sebagian figur wayang dalam kotak dikeluarkan dan ditancapkan di kanan-kiri layar (kêlir)
yang
terlentang atau istilahnya wayang disimping di kanan-kiri ditancapkan pada gêdêbog atau batang pisang. Sementara itu, sebagian figur berada dalam kotak untuk dimainkan dalang. Perlengkapan lain adalah kêpyak atau kêprak yang terbuat dari logam berjumlah tigacommit kepingtoyang userdigantungkan pada kotak. Alat ini
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
68 berfungsi untuk menimbulkan suara yang digerakkan kaki dalang guna mengiringi gerak wayang. Demikian pula cêmpala,terbuat dari kayu asam dan
merupakan
alat untuk memukul kotak wayang sehingga menimbulkan suara guna mengiringi sulukan atau nyanyian dalang serta gerak wayang. Berhasil dan tidaknya pertunjukan wayang disamping kemampuan dan kreativitas dalang yang tinggi, juga ditentukan pesindhen pemain gamelan (pengrawit), dan penggerong yang mengiringi pergelaran wayang. Pada era sekarang, persiapan pementasan dilakukan dengan latihan atau proses yang melibatkan dhalang, pengrawit, pesindhen, dan penggerong agar dalam pementasan dapat berhasil dan bermutu. Pertunjukan wayang kulit sajian Nartasabda maupun Purbo Asmoro tidak memasukkan pelawak, penyanyi, dan campursari.Mereka menggunakan gamelan laras slendro dan pelog lengkap seperti yang disebutkan di atas. Pelaku pertunjukan wayang paling pokok adalah dalang. dhalangberasal dari kata lang
Kata
yang berarti „meloncat-loncat‟.Oleh sebab itu,
seorang dalang dalam pertunjukan selalu berpindah-pindah dari kota ke kota lain. Dalam pergelaran wayang kulit, dalang menempati kedudukan sentral, yakni bertanggung jawab terhadap
seluruh pergelaran wayang, sebagai pemimpin
musik/karawitan, sebagai sutradara, sebagai penyaji, sebagai pemimpin artistik, sebagai juru penerang, juru pendidik, juru penghibur, pendorong, dan inovator. Dengan kata lain, seorang dalang pada pertunjukan wayang bertindak sebagai komunikator, dinamisator, inovator, fasilitator, dan emansipator. Tugas dalang paling tidak mencakup tiga fungsi. Pertama, dalang bertindak sebagai komunikator.Artinya, dalang bertugas untuk menyampaikan pesan-pesan yang bersifat sosial, pendidikan, moral, serta
spiritual. Kedua,
dalang berfungsi
sebagai inovator.Artinya, seorang dalangharus dapat menempatkan diri pada posisi yang tidak memihak pada salah satu norma tertentu. Selain itu, pedalangan yang dihasilkan diharapkan berwawasan ke depan, berorientasi masa sekarang, serta dapat memotivasi munculnya
proses perubahan sosial. Ketiga,dalang
bertindak sebagai emansipator. Artinya, seorang dalang dalam mempergelarkan commit to user wayang diharapkan dapat membantu mengantarkan penonton secara kelompok
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
69 atau Individu ke tingkat perkembangan kepribadian yang lebih tinggi, meningkatkan daya apresiasi seni pedalangan, dan meningkatan kepekaan rasa keindahan yang pada gilirannya akan memperluas persepsi, memperkaya pengalaman jiwa, dan mengubah perilakunya (Soetarno,dkk.,2007:29).
c.Fungsi Wayang di Tengah Masyarakat Pertunjukan wayang sering dipandang sebagai simbol kehidupan yang bersifat rohaniah daripada lahiriah. Masyarakat pendukung wayang tidak bosanbosan menyaksikan pertunjukan wayang walaupun cerita yang disajikan telah dinikmatinya berulang-ulang. Orang yang melihat wayang ingin mendapatkan pengalaman estetis yang memuaskan di samping hal-hal lain, seperti hiburan dan sebagainya. Isi atau pesan yang disampaikan tidak berwujud rumusan ilmiah, tetapi berwujud pesan mengimbau
penonton yang pada gilirannya dapat
memengaruhi perilaku manusia. Dunia wayang merupakan sumber nilai bilamana sajiannya dapat mengungkapkan isi secara artistik dan estetik. Hasil-hasil
penelitian
maupun
penulisan
tentang
wayang
menginformasikan peranan wayang erat kaitannya dengan fungsi tontonan. Sebagian besar wayang dipandang sebagai alat semata atau dipandang dari dimensi antropologis atau sosiologi dan belum dikaji dari dimensi kebahasaan, khususnya kajian pragmatik yang memfokuskan pada tindak tutur ekspresif dan tindak tutur direktifserta relevansinya dalam membentuk watak bangsa. Studi ini ingin mengkaji pertunjukan wayang, yakni lakon Karna Tandhing dan Dewaruci lakon sajian Nartasabda serta lakon Brubuh Ngalengka dan Rama Gandrung sajian Purbo Asmoro, khususnya pada adegan pathet sanga dan pathet manyura. Nartasabda adalah seorang dalang tenar tahun 1959-1985. Sementara itu, Purba Asmoro adalah dalang tenar tahun 1995 sampai sekarang. Kedua dalang mewakili generasi tua dan generasi muda serta memiliki masyarakat pendukung yang berbeda. Di samping itu, kedua dalang memiliki sanggit dan garap pakeliran yang berbeda, tetapi
wujud garapan wayangnya bermutu serta
mendapat perhatian dari penonton hingga sekarang. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
70 d. Sumber Cerita dan Struktur Pertunjukan Wayang Lakon yang dipergelarkan dalam pertunjukan wayang gaya Surakarta pada umumnya
mengambil
epos
Ramayanadan
Mahabarata.
Kedua
kitab
Ramayanadan Mahabarata pada zaman Keraton Surakarta disadur kembali oleh Pujangga Keraton, yakni Yasadipura dan Ranggawarsita. Selanjutnya, karya sastra pedalangan itu dijadikan sumber lakon wayang kulit di Wilayah Surakarta. Serat Ramawijaya karya Yasadipura I, Serat Dewaruci karya Yasadipura I, dan Serat Pustaka Rajapurwa karya Ranggawarsita digunakan sebagai acuan dalam menyusun lakon wayang kulit. Objek material dalam penelitian ini adalah lakon Dewaruci termasuk lakon lebet, lakon Karna Tandhing termasuk lakon bratayuda dari siklus Pandawa dan
lakon RamaGandrung, lakon Brubuh Ngalengka
termasuk lakon bratayuda dari siklus Rama. (Soetarno dkk,2007:58). Objek kajian penelitian mengambil pathet sanga dan pathet manyura karena kedua pathet penuh pemecahan permasalahan serta esensi lakon. Dalam pertunjukan wayang kulit semalam, dibagi menjadi tiga pathet atau tiga babak, bagian pathet nem berisi tentang masalah-masalah yang muncul dalam pokok cerita, sedangkan pathet sanga berisi pencapaian pesan moral dan petunjuk atau jalan pemecahan masalah. Selanjutnya, dalam pathet manyura berisi esensi cerita atau penyampaian pesan- pesan esensial dalam lakon yang ditampilkan. e. Unsur-unsur Pertunjukan Wayang Pertunjukan wayang kulit purwa Jawa yang dalam jagad pedalangan disebut pakêliranmempunyai medium ganda.
Perwujudannya merupakan
kesatuan berbagai unsur yaitu:unsurlakon, catur, sabet, dan karawitan pakêliran. Keempat unsur terpadu dan merupakan kesatuan yang utuh dan kental dalam sajian pakêliran. Lakon dalam dunia pedalangan mengandung beberapa pengertian. Pertama, lakon berarti tokoh utama dalam keseluruhan cerita wayang yang disajikan.Kedua, lakon dapat berarti alur cerita. Ketiga, lakon berarti menunjuk judul repertoar cerita yang disajikan dalam pertunjukan wayang dantercermin dalam pertanyaan lakone apa. Memaknai lakon wayang berasal dari pangkal kata lakuyang berarti „berjalan‟ „sesuatu peristiwa‟ (Sastroamidjojo, commit atau to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
71 1961:98). Dalam wayang kulit,lakon berarti rentetan peristiwa atau perjalanan cerita yang berkaitan dengan tokoh tertentu sebagai pelaku dalam pertunjukan wayang. Cerita wayang purwa biasanya akan memunculkan permasalahan dan konflik yang muncul pada adegan pathet nem. Petunjuk permasalahan terdapat pada pathet sangadanpenyelesain terdapat dalam pathet manyura. Ginem (dialog) adalah wacana dalang dalam memerankan dialog tokoh wayang pada adegan tertentu sesuai karakter tokoh yang sedang ditampilkan. Terdapat dua macam ginem. Pertama,ngudarasa(monolog) adalah tokoh yang berbicara dengan dirinya sendiri. Kedua, dialog adalah pembicaraan antara dua tokoh atau lebih dalam suatu adegan tertentu. Contoh ginem dalam adegan Ramawijaya dengan Sintaadalah sebagai berikut. Ramawijaya:Yayi muskaraning pun kakang, nimas sayêktiné ing alas iki akèh kéwan ingkang manca warna, nanging miturut tuturé sira yayi déné ana kidang kok sêmuné nyalawadi. Sinta: Pangéran kula dados garwa paduka kula dèrèng naté gadhah panyuwun, èdhêping tékad kula inggih namung sêpisan punika mugi kêparênga mituruti gungan kula. Ramawijaya: Lesmana Lesmana : Kula wontên dhawuh Ramawijaya: Mara gagé tunggunên rêksanên jaganên mbakayumu yayi Rakyan Sinta, siadhi aja nganti lunga saka papan kéné, sakdurungepun kakang têka nggawa Kidang Kencana, Yayi. (RGPA) Terjemahan: Ramawijaya: „AdindaSinta yang saya cintai, di hutan banyak binatang yang beraneka macam, menurut penuturan Adinda Sinta ada kijang yang agak aneh‟. Sinta: „Pangeran selama saya menjadi istrimu belum pernah minta sesuatu, hanya kali ini permintaan saya,esmoga kanda dapat mengkabulkan‟. Ramawijaya:„DindaLesmana‟. Lesmana:„Iya Kanda ada apa‟. Ramawijaya:„Saya minta Adinda Lesmana menjaga Sinta, dan pesan saya jangan sampai dinggalkan tempat ini sebelum saya datang membawa kijang emas‟. Catur pedalangan mencakup ginem (dialog), pocapan (narasi),
dan
janturan (deskripsi) yang mengandung tindak tutur ekspresifmaupuntindak tutur commit to user direktif. Sebagai contoh tuturan direktif dalam ginem (dialog) lakon Karna
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
72 Tandhing antara Hardawalika dengan Patih Kridamanggala adalah sebagai berikut. Kridamanggala:
Dhuh Gusti menawi keparêng andhahar atur kula prayogi kawurunga, kêparêng paduka ingkang makatên jer satriya Madukara menika kinasihing déwa kinêmulan para widadari, Sintaungga para brahmana. Hardawalika: Embuh ora idhêp, nanging kiraku patih ora ngêrti karo kasêktènku. Mara gage sawangen mengko yen ana wujud dudu wujudku kowe aja kaget patih. Terjemahan: Kridamanggala:„Gusti saya minta keinginan membunuh kasatriya Madukara dibatalkan saja, sebab dia seorang kasatriya selalu dilindungi para dewa, bidadari, dan bidadara‟. Hardawalika: „Tidak tahulah, namun sekiraku patih tudak tahu akan kesaktianku. Coba lihat nanti bilamana kamu melihat perwujudan jangan terkejut‟. Isi atau esensi lakon wayang pada umumnya disampaikan lewat unsurcatur yang berdasarkan kaidah estetika pedalangan. Isi lakon disampaikan secara implisit melalui pesan-pesan yang berupa nilai-nilai kehidupan, seperti nilai religius, nilai moral, nilai kultural, nilai hedonistik dan sebagainya. Pesan-pesan bilamana dapat ditangkap diharapkan dapat memengaruhi dan mengubah sikap atau perilaku penonton wayang. Pesan-pesan pada umumnya merupakan kearifan lokal yang tidak jarang secara implisit dan eksplisit tercermin dalam dialog.Pesan berupa kearifan lokal itu sangat relevan dengan kehidupan sekarang dalam rangka pendidikan karakter. f. Pathet Struktur lakon wayang kulit purwa Jawa gaya Surakarta menurut Sri Hastanto (1985) terdiri dari struktur bertingkat dan tingkatan yang dimaksud adalah pathet, dimulai dari pathet nem (awal atau pertama), pathet sanga (tengah atau kedua), dan diakhiri pathet manyura (akhir atau
ketiga). Setiap pathet
memiliki jangka waktu dan rangkaian adegan. Waktu berkaitan dengan lamanya sajian lakon, sedangkan adegan merupakan materi dramatik meliputi tempat, tokoh yang tampil, permasalahan dan suasana yang dihadirkan (Hastanto, 1985: 25).Pathet dalam pertunjukan wayang bentuk semalam dipergunakan untuk commitkulit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
73 menandai adanya pergantian wilayah nada yang membingkai struktur lakon, dan dibagi menjadi tiga bagian yaitu: pathet nem kurang lebih jam 21.00 s.d jam 24.00; pathet sanga kurang lebih jam 24.00 s.d jam 03.00; dan pathet manyura kurang lebih jam 03.00 sampai dengan jam 06.00 (Soetarno,dkk.2007:59). Adanya jalinan antara waktu dengan adegan tokoh wayang dapat diberikan contoh dalam pertunjukan wayang semalam: pathet nem atau bagian awal berisi adeganjejer, bedhol jejer, kedhatonan dan sebagainya; pathet sanga atau disebut bagian tengah (madya) berisi adegan gara-gara, alas-alasan, perang kembang dan sebagainya; dan pathet manyura atau bagian akhir (wusana) berisi adegan manyura, perang amuk-amukan, tayungan dan tancep kayon.
C. Kerangka Berpikir Penelitian ini menggunakan kerangka berpikir yang berawal dari pertunjukan wayang dalang Nartasabda dan Purbo Asmoro yang merupakan karya pakeliran dan pesan-pesannya diharapkan dapat bermafaat bagi masyarakat penghayat/penonton pewayangan. Sajian kedua dalang itu masing-masing memiliki kemampuan sanggit dan garap wayang yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan mereka memiliki latar belakang kesenimanan yang berbeda. Nartasabda memiliki keunggulan dalam catur atau dramatik.Artinya, tokoh yang ditampilkan selalu mengalami konflik (perang catur). Sementara itu, Purbo Asmoro mempunyai keunggulan dalam garap lakon semalam dan garap wayang padat yang dipadukan menjadi satu. Tindak tutur ekspresif dan direktif dalam keempat lakon masing-masingmemiliki kekhasan dan makna tertentu berdasarkan kreativitas dan imajinasi sehingga ekspresi masing-masingdalang berbeda.Akan tetapi semuanya mencerminkan pertunjukan wayang yang bermutu dan mantap. Keseluruhan makna pargmatik di dalam cerita pada dua dalang tersebut secara holistik akan dijelaskan dalam bagan kerangka berpikir di bawah ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
74
GENETIK
OBJEKTIF
AFEKTIF
Wayang Kulit Pathet Sanga Pathet Manyura
Pakar
Budayawan
Peghayat
GINEM//CATUR
Nartasabda: Dewaruci Karna Tandhing
Purbo Asmoro: RamaGandrung Brubuh Ngalengka
Tanggapan Masyarakat
MAKNA PRAGMATIK
Gambar 2.1 :Kerangka Berpikir Holistik (Sutopo 1995: 145) Kerangka berpikir holistik di dalamnya terdapat tiga faktor, yakni genetik, objektif, dan afektif. Seniman (dalang) yang menyajikan lakon dianggap sebagai sumber informasi genetik. Faktor genetik di dalamnya terdapat sejumlah komponen. Komponen ini meliputi kepribadian seniman, kondisi psikologis, selera, keterampilan, kemampuan, pengalaman, dan latar belakang sosial budaya yang bekaitan dengan proses penciptaan karya seni.Karya seni dipandang sebagai sumber informasi objektif/faktor intrinsik yang berupa kondisi objektif karya seni tersebut.Penghayat sebagai sumber informasi afektif yaitu informasi berupa dampak emosional pada diri penghayat. Dampak ini timbul setelah menghayati karya dengan tafsir makna nilai akibat melakukan interaksi dalam penghayatan. Kondisi formal yang berupa objektif artinya peneliti akan melihat dan mencermati keempat pakeliran secara utuh. Selanjutnya dampak pertunjukan wayang dilihat dari faktor afektif/tanggapan para penonton. Kesimpulan dari analisis akhir commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
75 menghasilkan sintesis dari informasi lengkap yang bersumber dari tiga faktor tersebut. Dalam kaitannya dengan disertasi ini dibahas faktor genetik, faktor objektif, dan faktor afektif dari kedua dalang. Dibahas pula tanggapan para penonton terhadap sajian kedua dalang, serta fungsi TTE dan TTD dalam kaitannya dengan pendidikan karakter dan diharapkan dapat menjawab permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini.
commit to user