perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KAJIAN TEORI, DAN KERANGKA BERPIKIR A. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai pendekatan semiotik pada naskah dan nilai pendidikan karakter kurang diminati dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Kebanyakan penelitian yang telah ada kurang spesifik dalam menganalisis maupun mengkaji nilai pendidikan karakter dan pendekatan semiotik. Sebagian besar penelitian hanya mengkaji mengenai nilai pendidikan maupun semiotiknya saja. Adapun penelitian mengenai nilai pendidikan karakter Jawa masih jarang ditemukan, karena sebagian besar penelitian yang ada hanya mengkaji mengenai nilai pendidikan karakter secara umum belum mengkhususkan pada suatu karakter. Penelitian mengenai nilai pendidikan karakter, sangat baik jika direlevansikan dengan pengajaran. Karena dengan merelevansikan nilai pendidikan karakter dalam pengajaran dan proses pembelajaran, dapat membantu proses pembentukan karakter siswa menjadi lebih baik. Namun penelitian yang menggabungkan ketiga aspek tersebut masih dirasa kurang. Penelitian yang dianggap masih relevan dengan penelitian ini adalah penelitian Wardoyo (2005), dalam penelitiannya yang berjudul Dover Beach: Semiotics In Theory And Practice menyatakan bahwa semiotik pada teori dan praktiknya dapat diaplikasikan pada sebuah puisi. Hal tersebut sangat bermanfaat dalam menginterpretasikan teks puisi. Dengan menggunakan teori semiotik, pembaca puisi akan mudah menemukan suasana yang dramatis, memahami commit to user 12
perpustakaan.uns.ac.id
13 digilib.uns.ac.id
intertekstual dalam membaca puisi, serta memudahkan pemahaman interpretasi dalam membaca puisi. Kesamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama membahas sebuah objek menggunakan pendekatan semiotik dengan kajian sebuah puisi. Namun yang membedakan adalah objek kajiannya. Dalam penelitian Wardoyo menggunakan puisi berbahasa Inggris dengan judul Dover Beach, sedangkan dalam penelitian ini objek kajiannya berupa puisi Jawa lama yang terdapat dalam Sêrat Safingi. Meskipun sama-sama menggunakan pendekatan semiotik dalam penelitiannya, namun kajian yang diterapkan berbeda. Wardoyo mengambil bahan kajian mengenai semiotik yang dikupas menjadi tiga bagian yaitu decoding situasi dramatis, intertekstualitas, dan makna konotasi dalam puisi. Sedangkan dalam penelitian ini, kajian tidak hanya sekedar menggunakan pendekatan semiotik namun dikhususkan pada simbol. Pendekatan semiotik digunakan untuk mencari makna dari simbol-simbol yang terdapat dalam objek penelitian, namun juga dicari nilai pendidikan karakter Jawa dan kemudian dicari relevansinya dengan pengajaran Bahasa Jawa. Penelitian Veraksa (2013) yang berjudul Symbol as a Cognitive Tool mengungkapkan mengenai pemaknaan simbol yang tidak dapat dipisahkan dari realita. Berbagai macam aspek simbol dapat menunjukkan sesuatu yang spesifik. Oleh karena itu simbol merupakan sebuah alat yang spesial untuk berbagai situasi. Hasil penelitian tersebut adalah simbol dapat digunakan sebagai alat kognitif untuk memaknai sebuah kondisi berdasarkan pengamatan manusia. Apapun yang terjadi di dalam hidup manusia, tidak akan lepas dari simbol-simbol terutama dilihat dari simbol yang berkaitan dengan bahasa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
14 digilib.uns.ac.id
Penelitian tersebut dan penelitian ini sama-sama menggunakan simbol sebagai kajian penelitiannya. Simbol yang digunakan dalam kedua penelitian ini yaitu simbol yang berkaitan dengan bahasa. Yang sedikit berbeda adalah simbol yang berkaitan dengan bahasa dalam penelitian Veraksa berasal dari hasil pengamatan, sedangkan dalam penelitian ini simbol yang berkaitan dengan bahasa diperoleh dari Sêrat Safingi. Hal lain yang membedakan kedua peneletian ini adalah sumber penelitian. Penelitian Veraksa menggunakan pengamatan manusia sebagai sumber simbol, akan tetapi dalam penelitian ini simbol-simbol diperoleh dari susunan kata-kata dalam Sêrat Safingi. Perbedaan lainnya adalah dalam penelitian tersebut tidak disertakan nilai-nilai pendidikan karakter. Adapun pengaplikasian penelitiannya, pada dasarnya sama-sama diaplikasikan untuk kehidupan sehari-hari. Tetapi dalam penelitian ini, pengaplikasiannya lebih spesifik yaitu untuk pengajaran Bahasa Jawa selain diterapkan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Dwiningrum (2013) dalam penelitiannya Nation’s Character Education Based on the Social Capital Theory, mengemukakan mengenai pendidikan karakter nasional yang berdasar pada teori sosial kapital.
Penelitian tersebut
menyatakan bahwa telah terjadi degradasi karakter nasional yang dapat berdampak pada kehidupan sosial suatu Negara yang dapat membahayakan bagi eksistensi suatu Negara di era globalisasi sekarang ini. Perlu adanya pendidikan karakter untuk menyelamatkan dan membangun kembali kekuatan Negara untuk menghadapi globalisasi. Pendidikan karakter tersebut dapat diperoleh melalui keluarga, sekolah, maupun komunitas. Pengembangan nilai-nilai kearifan lokal commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
15 digilib.uns.ac.id
dapat digunakan pula sebagai modal dasar penguatan nilai-nilai karakter. Penelitian yang dilakukan Dwiningrum dan penelitian ini sama-sama mengkaji mengenai pendidikan karakter yang diharapkan dapat memperkuat karakter bangsa Indonesia. Perbedaan utama yang terdapat dalam penelitian tersebut adalah teori yang digunakan untuk mengupas mengenai pendidikan karakter. Dalam penelitian tersebut teori yang digunakan adalah teori sosial kapital, adapun dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah teori semiotik. Perbedaan lainnya adalah Dwiningrum lebih memfokuskan penelitiannya pada pendidikan karakter nasional, adapun penelitian ini fokus pada nilai pendidikan karakter Jawa. Cakupan penelitian ini lebih luas dibanding dengan penelitian yang dilakukan oleh Dwiningrum. Dalam penelitian ini, setelah diperoleh nilai pendidikan karakter dalam objek penelitian yaitu Sêrat Safingi kemudian akan dicari relevansinya dengan pengajaran Bahasa Jawa. Sedangkan dalam penelitian Dwiningrum, diteliti mengenai unsur-unsur modal sosial yang diperlukan dalam pembentukan karakter sebuah bangsa kemudian dihubungkan dengan krisis karakter nasional. Kourdis & Zafiri (2010) dalam Semiotics and Translation in Support of Mother Tongue Teaching mengemukakan mengenai semiotik dan penerjemahan yang dapat mendukung dalam pengajaran bahasa ibu. Pendekatan yang digunakan untuk mengajar Bahasa Yunani sebagai bahasa ibu yaitu dengan menggunakan pendekatan semiotika dan terjemahan. Kedua pendekatan tersebut, kemudian diterapkan sebagai metode dalam pembelajaran bahasa ibu di sekolah dasar. Dengan menggunakan pendekatan semiotika akan mempermudah siswa dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
16 digilib.uns.ac.id
mempelajari dan memahami materi yang diajarkan melalui simbol-simbol baik warna maupun tampilan grafis berupa ilustrasi-ilustrasi. Adapun metode terjemahan digunakan sebagai pembanding antara Bahasa Yunani lama dan Bahasa Yunani modern, untuk lebih mempermudah terhadap pemahaman linguistik. Kedua metode tersebut diterapkan secara bersama dalam pengajaran bahasa ibu sebagai kontribusi guru agar proses pengajaran bahasa ibu memperoleh hasil yang lebih baik. Kedua penelitian ini sama-sama penggunakan pendekatan semiotik yang digunakan untuk memaknai simbol-simbol yang terdapat dalam materi pembelajaran bahasa ibu. Kemudian dari pemaknaan terhadap simbol-simbol tersebut akan direlevansikan dengan pengajaran bahasa ibu. Perbedaan utama dalam penelitian ini dengan penelitian Kourdis & Zafiri adalah objek penelitian yang digunakan, meskipun sama-sama menggunakan bahasa ibu namun bahasa ibu yang dimaksud sangat berbeda. Bahasa ibu dalam penelitian Kourdis & Zafiri adalah Bahasa Yunani, sedangkan dalam penelitian ini yang dimaksud bahasa ibu adalah Bahasa Jawa. Perbedaan lainnya terletak pada kajian penelitian yang dilakukan. Kourdis & Zafiri hanya menggunakan pendekatan semiotik kemudian direlevansikan dengan pengajaran bahasa ibu, sedangkan penelitian ini merelevansikan pengajaran Bahasa Jawa dengan nilai pendidikan karakter Jawa dalam Sêrat Safingi dengan menggunakan pendekatan semiotik. Abushihab (2012) dalam Semiotic-based Approach as an Effective Tool for Teaching Verbal and Non-verbal Aspects of Language mengemukakan mengenai prinsip-prinsip dasar dan wawasannya tentang semiotika, serta commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
aplikasinya dalam pembelajaran bahasa asing. Kesadaran guru sebagai pembelajar bahasa
asing
meningkat
melalui
pendekatan
semiotik
dan
bagaimana
mengaplikasikan pendekatan tersebut dalam pembelajaran. Hasil dari penelitian tersebut adalah semiotik memiliki kontribusi sangat besar jika digunakan secara maksimal, dampaknya dapat membuat pembelajaran bahasa asing menjadi lebih efisien. Hal ini dikarenakan melalui pembelajaran dengan menggunakan media tanda dalam semiotik dapat memfasilitasi siswa untuk belajar bekerjasama dan lebih mengenal budayanya, selain itu siswa juga akan lebih menikmati pembelajaran. Penelitian Abushihab dan penelitian ini memiliki persamaan yaitu samasama menggunakan pendekatan semiotik yang diaplikasikan dalam pembelajaran bahasa. Perbedaan antara penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah pada aplikasi
penerapannya.
Abushihab
memfokuskan
penelitiannya
untuk
pembelajaran bahasa asing, sedangkan dalam penelitian ini penerapannya ditujukan untuk pembelajaran bahasa daerah yaitu Bahasa Jawa. Selain hal tersebut, penelitian Abushihab hanya terbatas pada pendekatan semiotik yang dihubungkan dengan pembelajaran bahasa, sedangkan penelitian ini cakupannya lebih luas yaitu mengenai pendekatan semiotik dalam Sêrat Safingi, kemudian dicari nilai pendidikan karakter Jawa yang terdapat di dalamnya, untuk selanjutnya direlevansikan dengan pengajaran Bahasa Jawa. Wijayanti dan Nurwianti (2010) dalam “Kekuatan Karakter Dan Kebahagiaan pada Suku Jawa” mengemukakan hasil penelitiannya, bahwa kekuatan karakter pada suku Jawa di Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, dan commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jabodetabek mempengaruhi kebahagiaan hidup mereka. Dalam hal ini karakter Jawa yang sangat menonjol dan berperan terhadap kebahagian orang Jawa sendiri adalah kegigihan, kreatifitas, perspektif, keadilan, vitalitas, keingintahuan, dan pengampunan. Sedangkan kekuatan karakter yang menonjol dalam karakter Jawa adalah berterima kasih, kebaikan, kependudukan, keadilan, dan integritas. Persamaan anatara penelitian Wijayanti dan Nurwianti dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan karakter Jawa sebagai bahan penelitiannya. Namun terdapat beberapa perbedaan yang menonjol antara penelitian tersebut dengan penelitian ini yaitu pendekatan yang digunakan serta relevansi nilai karakter tersebut dengan pengajaran Bahasa Jawa. Secara garis besar, penelitian Wijayanti dan Nurwianti hanya membahas mengenai karakter Jawa dan direlevansikan dengan kebahagiaan seseorang. Namun dalam penelitian ini akan direlevansikan mengenai nilai pendidikan karakter Jawa dengan pembelajaran Bahasa Jawa di sekolah-sekolah, dengan menggunakan pendekatan semiotik. Hasim dan Adi (2012) dalam “Nilai-nilai Islam dalam Teks Tembang Macapat
Karya
Ranggawarsita”
mengemukakan
bahwa
berbagai
unsur
kebudayaan diantaranya etika, pandangan hidup, bahasa, religi, adat istiadat terdapat di dalam naskah Jawa lama. Salah seorang pujangga Jawa ternama yaitu Raden Ngabei Ranggawarsita banyak menulis teks-teks tembang yang terdapat nilai-nilai Islam di dalamnya, yaitu tawakal, istiqomah, amanah, sabar, bertanggung jawab, dan sebagainya. Dikemukakan pula bahwa pembelajaran sastra Jawa dapat digunakan sebagai media pembentukan karakter seseorang. Hasil yang diperoleh yaitu nilai-nilai Islami yang berhubungan dengan pendidikan commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
moral dan budi pekerti dalam hubungannya dengan diri sendiri yaitu cerdas, kerja keras, bijaksana, sederhana, percaya diri, sabar, jujur, mawas diri, dan tidak putus asa. Adapun nilai-nilai Islami dalam hubungannya dengan orang lain diantaranya adil, empati, tenggang rasa, bertanggung jawab, dan aja dumèh. Penelitian Hasim dan Adi tersebut memiliki persamaan dengan penelitian ini yaitu sama-sama mengambil objek penelitian berupa tembang-tembang dalam naskah Jawa lama karya R. Ng. Ranggawarsita. Namun yang membedakan adalah dari tembang-tembang dalam naskah tersebut oleh Hasim dan Adi dicari nilai Islami yang berhubungan dengan pendidikan moral dan budi pekerti. Sedangkan dalam penelitian ini berdasarkan tembang-tembang dalam Sêrat Safingi dicari nilai pendidikan karakter Jawa yang terkandung didalamnya, untuk kemudian direlevansikan dengan pengajaran Bahasa Jawa.
B. Kajian Teori 1. Tembang Macapat Padmosoekotjo (1956:21) mengungkapkan bahwa tembang merupakan sesuatu hal yang cara membacanya harus dilagukan. Tembang macapat merupakan bentuk karya sastra yang secara konvensi memiliki bentuk dan lagu dengan aturan dan tata cara tertentu, serta lazim disebut lagu macapat. Lagu macapat digunakan untuk membaca karya sastra yang berbentuk macapat, oleh kerena itu sering disebut juga sebagai lagu waosan (Suparno, 2013:1). Macapat disebut pula puisi bertembang karena ditembangkan atau dilagukan berdasar commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pada susunan titilaras atau notasi yang sesuai dengan pola metrumnya (Prabowo, 2007:163) Sejarah macapat dimulai pada zaman Majapahit akhir, dimana pengaruh budaya Hindu semakin berkurang dan mulai munculnya pengaruh Islam. Hal ini dibuktikan dengan munculnya tembang-tembang macapat yang diciptakan oleh Walisanga. Misalnya tembang dhandhanggula yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga, asmarandana dan pocung diciptakan oleh Sunan Giri, dan tembang pangkur yang diciptakan oleh Sunan Drajat (Sutardjo, 2006:16). Tembang macapat juga disebut sebagai tembang cilik, yang terdiri dari 11
(sebelas)
tembang
yaitu
mijil,
maskumambang,
sinom,
durma,
asmarandana, kinanthi, dhandhanggula, gambuh, pangkur, megatruh, dan pocung (Padmosoekatja, 1956:31). Soetardjo (2006:17) menjelaskan bahwa tembang-tembang macapat tersebut secara filosofis memiliki makna perjalanan hidup manusia dimulai sejak lahir sampai meninggal. Mijil merupakan simbol kelahiran seorang anak yang sifatnya prihatin karena menyambut kelahiran seorang anak dan terdapat perasaan senang karena putra yang diidamkan telah lahir. Tembang kedua adalah maskumbang yang merupakan simbol dari masa kanak-kanak.yang hanya diisi dengan bermain-main dan bersenang-senang. Adapun watak tembang tersebut adalah prihatin dan sedih, hal ini dikarenakan pada masa tersebut orangtua dipenuhi dengan perasaan khawatir dan was-was (Sutardjo, 2011:34). Sinom merupakan simbol dimana seseorang sedang melalui masa pertumbuhan alami dalam lingkungan kekeluargaan dan dalam proses commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
21 digilib.uns.ac.id
menginjak masa remaja atau masa muda (enom) (Rama, 2007:39). Watak tembang sinom cenderung digambarkan canthas „terlihat gagah‟ dan ethes „lincah‟. Oleh karena itu sangat cocok digunakan untuk memberikan petuah maupun sebagai penutup sebuah karangan. Tembang berikutnya adalah asmarandana, yang merupakan gambaran dimana seorang remaja mulai mengenal asmara. Oleh karena itu pada masa tersebut seseorang cenderung merasakan berbagai situasi perasaan, sehingga watak tembang tersebut adalah prihatin, sedih, dan kasmaran (Mardimin, 1991:154) Tembang kinanthi merupakan gambaran dari masa pada saat hidup berumah tangga yang bersifat senang, kasih sayang dan bersatu. Berikutnya adalah dhandhanggula yang merupakan gambaran kehidupan awal berumah tangga yang memiliki sifat manis seperti gula atau menyenangkan. Tembang kedelapan adalah durma sebagai gambaran dari masa dimana seseorang memasuki masa tuanya, sehingga tembang ini memiliki sifat pemberani dan memiliki semangat tinggi (Sutardjo, 2011:39). Gambuh merupakan gambaran dimana seseorang telah memasuki masa yang semakin matang baik lahir maupun batin. Hal ini disesuaikan dengan semakin matangnya usia seseorang. Watak tembang ini adalah persaudaraan dan sangat cocok digunakan untuk memberi petuah atau nasehat (Mardimin, 1991:155). Tembang kesembilan adalah pangkur yang merupakan gambaran dari perjalanan hidup manusia yang mulai memasuki masa lanjut usia dan sudah mulai mengesampingkan urusan duniawi dan lebih mempersiapkan diri untuk menghadap Tuhan (Sutardjo, 2011:36). Tembang tersebut memiliki commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
22 digilib.uns.ac.id
watak penuh semangat dan memiliki greget sehingga cocok pula untuk memberikan petuah (Mardimin, 1991:155). Tembang kesepuluh yaitu megatruh yang berkeyakinan bahwa hidup ini kuat karena Allah dan bahagia karena keyakinan inna lillahi wa inna ilaihi roji’un „semua makhluk akan kembali kepada Allah‟ (Rama, 2007:41). Tembang tersebut digambarkan sebagai masa dimana terpisahnya antara roh dengan jasad. Adapun watak tembang tersebut adalah sedih, prihatin, dan kecewa. Tembang yang terakhir adalah pocung yang merupakan gambaran akhir dari perjalanan hidup manusia di dunia yaitu setelah meninggal akan dipocong atau dipakaikan kain kafan. Watak tembang ini cenderung sembarangan atau seenaknya sendiri. Karena dalam kondisi seperti itu, manusia sudah tidak ingat apa-apa dan tidak dapat berbuat apa-apa lagi (Sutardjo, 2006:18-19). Kesebelas tembang macapat tersebut mengandung petuah supaya manusia menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan ini hanyalah bersifat semantara. Oleh karena itu perlu mempersiapkan diri sejak dini untuk menuju kehidupan berikutnya. Tembang-tembang macapat tersebut lazimnya ditulis dalam satu pupuh atau bait dan nama tembang di tuliskan langsung di atas cakêpan atau liriknya. Akan tetapi tembang macapat yang ditulis lebih dari satu pupuh seperti yang tertulis dalam naskah Jawa, penulisan nama tembang tidak ditulis secara jelas namun dengan menggunakan sasmita. Sasmita tembang menurut Prabowo (2007:268) adalah kata maupun gabungan kata yang digunakan sebagai pralambang atau penanda nama tembang. Sasmita tembang di awal pupuh commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berfungsi sebagai penunjuk nama tembang dalam pupuh tersebut. Adapun sasmita tembang yang terletak pada akhir pupuh, menunjukkan nama tembang pada pupuh berikutnya. Kata-kata yang digunakan sebagai sasmita tembang macapat dalam Padmosokotjo (1956:58) diantaranya adalah mijil (wijil, mêtu, sulastri); maskumambang (kumambang, kentir, timbul); sinom (srinata, anom, taruna); durma (mundur dan galak); asmarandana (asmara, kingkin, brangti); kinanthi (kanthi dan gandheng); dhandhanggula (sarkara, manis, guladrawa); gambuh (embuh,
jumbuh, kambuh); pangkur (wuri, wuntat, tutwuri);
megatruh (pegat, duduk, truh) dan pocung (kluwak dan ancung). Ciri-ciri tembang macapat menurut Prabowo (2007:164) yaitu setiap bait atau pupuh memiliki jumlah tertentu dan setiap larik atau gatra berakhir dengan guru lagu (asonansi) tertentu. Padmosoekotjo (1958:35) menjelaskan mengenai penulisan pada dalam tembang yang terdiri dari beberapa gatra (baris). Awal pupuh ditandai dengan adanya purwapada (§bC
§
), sedangkan
pupuh yang terletak di tengah-tengah menggunakan tanda yang disebut dengan madyapada (§!F`
§
), dan pada akhir pupuh digunakan wasanapada
(§I§).
Sebuah tembang macapat memiliki guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan sebagai pedoman. Guru gatra adalah jumlah baris atau gatra dalam setiap tembang. Setiap tembang memiliki jumlah gatra yang sudah baku, misalnya tembang maskumambang ber-guru gatra 5, kinanthi ber-guru gatra 6, durma ber-guru gatra 7, dan sebagainya (Soetardjo, 2011:23). Guru lagu commit to user menurut Prabowo (2007:110) merupakan pola selang-seling vokal akhir setiap
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
larik pada suku kata tembang macapat atau dengan kata lain persajakan akhir. Guru lagu sering pula disebut dengan dhong-dhing, misalnya guru lagu pada tembang asmarandana yaitu i, a, e, a, a, u, a. Guru wilangan adalah jumlah wanda atau suku kata pada setiap gatra tembang. Misalnya guru wilangan pada tembang dhandhanggula yaitu 10, 10, 8, 7, 9, 7, 6, 8, 12, 7 (Padmosoekotjo, 1958:23). Masing-masing tembang memiliki perbedaan jumlah guru gatra, lagu, dan guru wilangan sebagai ciri khas yang membedakan antara tembang yang satu dengan lainnya. Hal ini dikarenakan tidak ada tembang yang memiliki guru gatra, lagu, dan guru wilangan yang sama. Perbedaan di dalam tembang macapat tersebut oleh Suparno disajikan dalam tabel berikut (2013:2-3). Tabel 1. Guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan dalam tembang macapat Gatra keNo.
Nama Tembang
1
2
3
4
5
6
6i
6u
7
8
9
8i
12a
8a
12i
1.
Mijil
10i
6o
10e
10i
2.
Maskumambang
12i
6a
8i
8a
3.
Sinom
8a
8i
8a
8i
7i
8u
7a
4.
Durma
12a
7i
6a
7a
8i
5a
7i
5.
Asmarandana
8i
8a
8e
8a
7a
8u
8a
6.
Kinanthi
8u
8i
8a
8i
8a
8i
7.
Dhandhanggula
10i
10a
8e
7u
9i
7a
6u
8.
Gambuh
7u
10u
12i
8u
8o
9.
Pangkur
8a
11i
8u
7a
12u
8a
8i
10.
Megatruh
12u
8i
8u
8i
8o
11.
Pocung
12u
6a
8i
12a
commit to user
10
7a
perpustakaan.uns.ac.id
25 digilib.uns.ac.id
2. Pendekatan Semiotik Cobley dan Janz dalam Ratna (2004:97) mengemukakan bahwa semiotik secara definitif berasal dari bahasa Yunani seme yang berarti penafsir tanda. Dapat pula berasal dari kata semeion yang berarti tanda. Secara luas semiotika diartikan sebagai studi mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, dan manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Halliday dalam Ratna (2004:98) mengemukakan bahwa semiotik merupakan kajian umum, dimana bahasa dan sastra hanya satu bidang di dalamnya. Namun, melalui bahasa dan sastra kajian semiotika dapat dilakukan secara mendalam. Konsep utama dalam semiotik adalah hubungan antara petanda dan penanda. Kedua hal tersebut bersifat arbitrer. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa semiotik merupakan suatu kajian ilmu yang objeknya berupa tanda atau simbol. Analisis karya sastra secara semiotis dapat dilakukan dengan dua tahapan menurut Wellek dan Warren (2014), yaitu analisis intrinsik (analisis mikrostruktur) dan analisis ekstrinsik (analisis makrostruktur). Tanda dalam penelitian sastra salah satunya adalah bahasa. Bahasa tersebut merupakan salah satu sistem tanda yang sangat kompleks. Puisi maupun narasi dapat dianalisis secara semiotis dengan menentukan fungsi, pesan, dan efeknya terhadap masyarakat luas. Dalam sastra, tanda tidak hanya terbatas pada teks tertulis saja. Menurut Ratna (2004:112), hubungan antara penulis, karya sastra, dan pembaca juga merupakan suatu pemahaman mengenai tanda. Sistem tanda yang merupakan kajian nonverbal dalam naskah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
26 digilib.uns.ac.id
diantaranya adalah kulit buku, susunan warna, tebal buku, dan tipografi tulisan. Dalam penafsiran secara semiotis, maka tanda-tanda tersebut dihubungkan dengan ground, denotatum, dan interpretant. Simbolisme dalam peninggalan sejarah jawa banyak terdapat dalam naskah maupun kitab-kitab hasil karya para pujangga baik dalam bentuk prosa maupun berbentuk syair atau tembang (Herusatoto, 2008:189). Simbol menurut prespektif Saussurean dalam Berger (2010:27) adalah jenis tanda dimana hubungan antara penanda dan petanda seolah-olah bersifat arbitrer. Maksudnya adalah sebuah simbol tidak dapat digantikan dengan simbol yang lain. Salah satu jenis tanda yang dikemukakan oleh Berger (2010:79) adalah tanda-tanda imajiner, yaitu tanda yang tidak berada di dunia nyata namun dapat kita bayangkan. Dalam hal ini tanda dibagi menjadi beberapa bagian diantaranya (1) penggambaran secara verbal yang menggunakan kata-kata sebagai penjelas gambaran dalam angan-angan seseorang, (2) impian yang merupakan bentuk-bentuk khayal yang muncul pada saat tidur, (3) halusinasi yang merupakan kemampuan sistem saraf seseorang untuk memahami objekobjek tidak nyata, dan (4) bayangan yang merupakan cara memahami sesuatu dan bersifat supranatural (2010:79-82). Kemampuan manusia dalam menciptakan simbol merupakan bukti bahwa manusia telah memiliki peradaban dan kebudayaan yang tinggi bahkan maju. Hal ini dikarenakan manusia mampu menciptakan simbol sederhana seperti isyarat bahkan sampai simbol yang telah dimodifikasi seperti sinyal gelombang televisi maupun radio (Sobur, 2004:43). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
27 digilib.uns.ac.id
Langer dalam Herusatoto menjelaskan mengenai simbol yang dibedakan mejadi dua menurut pembedaan formal dan menurut cara pemakaiannya. Secara formal simbol dibedakan menjadi dua macam yaitu simbolisme presentasional yang merupakan simbol dan cara penangkapannya tidak memerlukan pemikiran matang, melainkan spontan menyampaikan apa yang dikandungnya. Biasanya dapat ditemukan dalam alam, lukisan, tarian, dan sebagainya. Sedangkan simbol yang kedua adalah simbolisme diskursif yang berupa simbol dengan cara penangkapannya menggunakan pemikiran yang matang, tidak serta merta mengungkapkan apa yang dikandungnya, melainkan secara beraturan dan bertahap. Media yang merupakan simbolisme diskursif adalah bahasa (2008:63). Menurut cara pemakaiannya, simbol dibedakan menjadi bahasa, ritus, mitos dan musik. Keempat hal tersebut digunakan untuk mengungkap arti dalam bidang lain, seperti mimpi, tingkah laku, dan anganangan (2008:64). Simbol menurut Herusatoto (2008:52) dapat berupa benda atau bentukbentuk, misalnya rumus-rumus maupun lambang. Namun simbol juga dapat berupa keadaan misalnya pepatah, candra sengkala, ataupun kisah dan dongeng. Puisi merupakan salah satu perwujudan dari tanda. Berger menyatakan bahwa tanda yang terpenting dalam karya sastra adalah visualisasi (2010:121). Hal ini juga dapat diaplikasikan dalam puisi Jawa klasik yang terdapat dalam sebuah naskah Jawa. Simbolisme dibagi menjadi beberapa jenis menurut Herusatoto (2008:139) yaitu 1) simbolisme dalam alat-alat yang dipakai dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
28 digilib.uns.ac.id
kehidupan sehari-hari orang Jawa; 2) simbolisme yang dipakai dalam penggunaan warna; 3) simbolisme dalam bahasa sastra yang dipakai orang Jawa misalnya penggunaan sengkalan, pepatah, perumpamaan, dan sebagainya. Klap dalam Berger (2010:125) menyatakan bahwa identitas sebuah tanda bukan merupakan suatu fungsi pemilikan materi setiap orang, tetapi identitas dihubungkan dengan wujud simbolis dan cara seseorang dirasakan oleh lainnya. Oleh karena itu, perlu ketelitian dan kebenaran seseorang dalam menafsirkan tanda-tanda yang berupa identitas. Oleh sebab itu, simbolisme digunakan sebagai alat untuk menguraikan dan menggambarkan sesuatu sebagai media budaya oleh orang Jawa (Herusatoto, 2008:153). Berdasarkan beberapa teori di atas, peneliti mengacu pada teori semiotik Berger dan teori simbol menurut Herusatoto. Hal tersebut dikarenakan pada teori Berger, semiotik merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda dimana simbol termasuk dalam bahan kajiannya. Sedangkan dalam teori Herusatoto simbol diterangkan lebih detail khususnya simbol-simbol dalam budaya Jawa. Kedua teori tersebut mengungkap mengenai simbol yang akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini. 3. Sêrat Safingi Sêrat Safingi merupakan naskah pertama dalam bendel Sêrat Iman Kanapi sebelum naskah Sêrat Raden Hermaya. Dalam katalog naskah Girardet dijelaskan bahwa Sêrat Iman Kanapi diawali dengan cerita kerajaan Supiyah di bawah pemerintahan Dewi Hamarah dan diakhiri dengan cerita Pangeran dari Ngesam (1983:46). Naskah tersebut merupakan koleksi Perpustakaan Sasana commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
29 digilib.uns.ac.id
Pustaka Keraton Surakarta dengan nomor penyimpanan KS 539.0 126Ka SMP 156/7 dan KS 539.1 126Ka SMP 156/7 (Florida, 1996:299). Namun setelah diteliti lebih lanjut pada penelitian sebelumnya, hanya ditemukan satu buah naskah dengan nomer penyimpanan 126Ka dalam katalog lokal perpustakaan Sasana Pustaka Keraton Surakarta. Naskah Sêrat Safingi berbentuk tembang macapat, yang terdiri dari 42 pupuh sebanyak 269 halaman. Naskah ini memiliki keunikan dalam penulisan halaman yaitu pada halaman pertama ditulis dengan menggunakan huruf Arab dan Jawa dalam satu halaman. Mulai pada halaman 2 sampai 61 ditulis secara recto-verso (bolak-balik) dengan menggunakan angka Arab (2, 3, 4, 5,…, 61) dan Jawa (;2;,;3;,;4;,;5;,…,;61;). Sedangkan halaman 62 sampai 135
ditulis secara recto dengan menggunakan angka Arab, dan halaman verso tidak diberi halaman. Pada halaman akhir naskah Sêrat Safingi dinyatakan hilang. Hal ini dibuktikan pada bait terakhir kalimat dalam satu gatra belum tuntas, namun sudah berganti teks lain. Selain itu pada halaman berikutnya terdapat sobekan di ujung bawah kanan dan kiri kertas, sehingga dapat disimpulkan bahwa bagian akhir naskah tersebut benar-benar hilang. Naskah Sêrat Safingi merupakan naskah anonym, karena tidak ditemukan nama pengarang atau penyalinnya. Hanya nama pemilik naskah saja yang disebutkan di dalam cover luar dan dalam Sêrat Safingi yaitu Bandara Radèn Ayu Adipati Sêdhah Mirah (Anonim, dalam). Naskah Sêrat Safingi commit 1801:cover to user
perpustakaan.uns.ac.id
30 digilib.uns.ac.id
merupakan naskah salinan, dimana terdapat kata manurun sungging atau menyalin pada pupuh pertama. Namun setelah dilakukan penelitian, tidak ditemukan naskah babon atau naskah aslinya. Selain keterangan tersebut, terdapat pula keterangan mengenai kolofon dari naskah ini yaitu Kêmis Wagè, 28 Muharam 1728 tahun Jawa dengan sêngkalan èsthi nêmbah swarèng rat, atau Kamis Wage, 11 Juni 1801 setelah dikonversikan dalam tahun Masehi (Anonim, 1801:1). Secara garis besar, Sêrat Safingi berisi tentang cerita petualangan Raja Safingi (Imam Safi‟i) dan anak lelakinya yang bernama Raden Khanafi dan Raden Maliki. Mereka adalah rakyat biasa yang soleh dan taat beragama, namun kemudian diangkat menjadi Raja Supiyah. Sedangkan Raden Maliki kemudian diangkat menjadi Raja Karsinah. Dalam kehidupan pernikahan, Raden Safingi menikah dengan dua orang istri yaitu Dewi Amarah dan Ni Retna Kumalawati. Dari kedua istrinya tersebut masing-masing memiliki satu orang putra. Naskah tersebut juga menggambarkan peperang antara Islam yang melawan kekafiran dan selalu dimenangkan oleh Islam. Ajaran mengenai Islam yang terdapat dalam Sêrat Safingi adalah mengenai nafsu dalam diri manusia yaitu amarah, sufiyah, aluamah, dan mutmainah. Nafsu-nafsu tersebut dijadikan sebagai nama tokoh maupun nama tempat. Nafsu yang dijadikan sebagai nama tokoh dalam naskah ini adalah Dewi Amarah, Maharaja Luamah, dan Dewi Mutmainah. Adapun nafsu sufiyah digunakan sebagai nama tempat kerajaan yang menjadi seting utama dalam Sêrat Safingi yaitu kerajaan Supiyah. commit to user
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Pengajaran Bahasa Jawa Pengajaran menurut Dewantara (1977:20) adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau pengetahuan, serta memberi kecakapan terhadap anak-anak, yang keduanya dapat bermanfaat untuk kehidupan anak-anak baik lahir maupun batin. Dalam pengajaran, seorang pengajar harus memberikan seluruh ilmu pengetahuan baik yang bersifat umum maupun khusus. Tentunya ilmu pengetahuan yang diberikan haruslah yang berguna bagi siswa dalam kehidupannya (1977:164). Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling mendasar digunakan oleh manusia. Bahasa yang digunakan sehari-hari pada dasarnya merupakan bahasa yang dipakai dalam keluarga maupun lingkungan sekitar. Bahasa yang digunakan oleh anak biasanya merupakan bahasa ibu. Dalam masyarakat Jawa, bahasa ibu yang dimaksud adalah Bahasa Jawa. Menurut Perda Provinsi Jawa Tengah no. 9 tahun 2012, Bahasa Jawa berfungsi sebagai sarana komunikasi dalam keluarga dan masyarakat serta pembentuk kepribadian dan peneguh jatidiri pada suatu masyarakat di daerah. Melihat kondisi saat ini, banyak keluarga Jawa yang sudah tidak menggunakan bahasa ibu sebagai alat komunikasi, namun menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa seharihari. Hal ini dikarenakan lingkungan sekitarnya yang kurang mendukung dengan menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa pergaulan. Tidak ada salahnya menggunakan bahasa nasional sebagai bahasa sehari-hari, namun perlu suatu keseimbangan dengan tetap menggunakan Bahasa Jawa sebagai commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bahasa pergaulan. Jika kondisi seperti itu berlangsung terus menerus, maka lambat laun kondisi Bahasa Jawa akan semakin memprihatinkan. Pengajaran bahasa daerah banyak mengajarkan nilai-nilai luhur budaya lokal suatu daerah. Dalam hal ini pengajaran bahasa yang dimaksud adalah Bahasa Jawa. Pada Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah nomor 4 tahun 2012, pasal 47 ayat 4 menyatakan bahwa mata pelajaran muatan lokal adalah Bahasa Sastra dan Budaya Jawa yang diajarkan pada semua jenjang pendidikan dan satuan pendidikan secara berdiri sendiri dengan alokasi waktu 2 (dua) jam per minggu, dievaluasi setiap semester, dan akhir jenjang pendidikan dengan mencantumkan di rapor dan ijazah. Dalam pengajaran bahasa perlu diperhatikan dan disampaikan keempat aspek keterampilan berbahasa yaitu mendengarkan, berbicara, mambaca, dan menulis (Andayani, 2010:1). Oleh karena itu perlu adanya pengajaran Bahasa Jawa sebagai salah satu upaya untuk tetap menjaga dan memelihara kelestarian bahasa dan sastra Jawa (Perda nomor 9 tahun 2012 tentang bahasa, sastra, dan aksara Jawa; bab I, pasal 1, ayat 8). Proses pengajaran pada dasarnya dilakukan oleh guru dengan menyampaikan sebuah materi terhadap siswa. Tugas guru menurut Endraswara diantaranya
adalah
menyampaikan
ilmu
pengetahuan,
menyampaikan
maklumat, menyampaikan amanat, memberi kemahiran, dan memupuk nilainilai luhur (2002: 70). Seorang guru juga perlu melakukan pendekatan kepada muridnya agar para siswa dapat mengembangkan keterampilan dan commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kepribadiannya masing-masing. Hal ini dapat dilakukan selama proses pembelajaran sedang berlangsung. Nurhayati dalam Wibowo (2013:39) menyatakan bahwa implementasi proses pengajaran sastra yang dapat membangun karakter siswa dibagi menjadi beberapa cara, salah satunya yaitu dengan mengarahkan siswa untuk membaca karya sastra kemudian mencari nilai-nilai positif dalam karya sastra untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada dasarnya, pelajaran bahasa sangat penting. Hal ini dikarenakan bahasa dapat digunakan sebagai alat untuk mengekspresikan diri. Sehingga dalam pengajaran Bahasa Jawa peran guru sangat diperlukan dalam penyusunan materi yang matang dengan pemilihan metode yang tepat, serta pembentukan suasana belajar yang menyenangkan. Sehingga pengajaran bahasa memiliki kesan yang mendalam bagi siswa bukan hanya sebagai pelajaran yang membosankan dan tidak penting (Dewantara, 1977:506). Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengajaran Bahasa Jawa merupakan proses mengajarkan ilmu pengetahuan mengenai Bahasa Jawa yang dapat bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari siswa. Baik digunakan sebagai pembentukan karakter maupun penguatan identitas siswa. Selain itu, dengan pengajaran Bahasa Jawa akan menambah kecintaan siswa terhadap kebudayaan Jawa.
commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5. Nillai-nilai Pendidikan Karakter Jawa a. Pendidikan Karakter Pendidikan menurut Perda no. 4 tahun 2012 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, Bangsa dan Negara (bab 1, pasal 1, ayat 9). Menurut Dewantara (1977:20) pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Pendidikan menjadi tuntunan bagi segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar sebagai
manusia dan anggota masyarakat
dapat
memperoleh keselamatan dan mencapai kebahagiaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan upaya untuk mengajarkan tuntunan hidup melalui proses pembelajaran terhadap peserta didik, agar dapat
mengembangkan
potensi
dirinya
sebagai
langkah
untuk
mempersiapkan diri terjun didalam masyarakat. Karakter berasal dari bahasa Yunani yaitu kharakter yang berarti memahat atau mengukir. Sedangkan dalam bahasa Latin, karakter berarti membedakan tanda (Narwanti, 2011:1). Karakter pada dasarnya merupakan ciri khas yang melekat pada diri seseorang yang membedakan antara orang satu dengan lainnya. Karakter pada pribadi manusia dapat dibentuk sedini mungkin. Dengan menanamkan nilai-nilai tertentu, dapat pula digunakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
35 digilib.uns.ac.id
sebagai penentu karakter seseorang selain dari karakter bawaan yang berasal dari faktor keturunan. Scerenko dalam Samani (2012:42) mendefinisikan karakter sebagai ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan kompleksitas mental dari seseorang, suatu kelompok, atau bangsa. Listyarti (2012:3-4) membagi karakter seseorang secara teoritis menjadi tiga aspek yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Spranger dalam Dewantara (1977:26) membagi karakter menjadi 6 (enam) jenis berdasar hasrat seseorang, yaitu kekuasaan (machtsmensch), agama (religieus mench), keindahan (kunstmensch), kegunaan (nutsmensch), pengetahuan (wetenschaps), dan mengabdi (sociale mensch). Berdasarkan penjabaran di atas, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa karakter adalah sifat bawaan seorang manusia yang sudah dibawa sejak lahir dan merupakan sesuatu yang melekat dalam diri seseorang. Pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada seseorang yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan. Pada dasarnya pendidikan karakter juga mencakup pembiasaan mengenai perilaku dan kebiasaan yang baik. Dengan menanamkan hal tersebut di sekolah, siswa dapat memahami serta merasakan dan mau membiasakan diri untuk bersikap dan berperilaku baik. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
36 digilib.uns.ac.id
Tujuan pendidikan karakter disebutkan dalam Pasal 40 ayat 1, Perda no. 4 Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 yaitu membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dijiwai oleh Pancasila, iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun tujuan pendidikan karakter menurut Suparlan (2012:103) adalah meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang sesuai standar kompetensi lulusan. Pencetus pendidikan karakter yaitu Jerman FW Foerster pada tahun 1869-1966. Beliau lebih menekankan pada proses pembentukan pribadi dari dimensi etis-spiritual. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea, dan Cina pendidikan karakter dimulai sejak pendidikan dasar. Negara-negara tersebut beranggapan bahwa penanaman pendidikan karakter sejak sekolah dasar menimbulkan efek positif bagi perkembangan anak ke depan. Indonesia saat ini juga telah melakukan suatu gerakan yang disebut Gerakan Nasional Pendidikan Karakter (GNPK). Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam Narwanti (2011:16) mengemukakan bahwa terdapat lima hal dasar yang menjadi tujuan dari GNPK tersebut, yaitu (1) manusia Indonesia harus bermoral, berakhlak, dan berperilaku baik; (2) bangsa Indonesia menjadi bangsa yang cerdas dan rasional; (3) bangsa Indonesia commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
37 digilib.uns.ac.id
menjadi bangsa yang inovatif dan mengejar kemajuan serta bekerja keras mengubah keadaan; (4) harus bisa memperkuat semangat; dan (5) manusia Indonesia harus menjadi patriot sejati yang mencintai bangsa dan negara serta tanah airnya. Pendidikan karakter memiliki berbagai fungsi diantaranya adalah (a) mengembangkan potensi dasar supaya memiliki hati, pikiran, dan perilaku yang baik; (b) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; (c) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Konsep nilai-nilai pembentukan karakter sangat beragam. Nilai pembentuk karakter yang cukup lengkap dikemukakan oleh Pusat Kurikulum mengenai Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Pilar nilai karakter menurut Pusat Kurikulum, Balitbang Diknas dalam Suparlan (2012:66-67), dirumuskan sebanyak delapan belas item nilai yang harus dikembangkan untuk membentuk karakter anak didik di Indonesia. Nilai-nilai tersebut adalah (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat atau kominikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab. Ki Hajar Dewantara mengungkapkan pemikirannya mengenai konsep pendidikan karakter. Ajaran Ki Hajar Dewantara yang merupakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
38 digilib.uns.ac.id
positioning karakter dalam pendidikan nasional (Samani dan Hariyanto, 2012:34) adalah (a) Lawan Sastra Ngesti Mulya, yang artinya dengan ilmu manusia akan mencapai keberhasilan hidup, (b) Suci Tata Ngesti Tunggal, artinya adalah untuk mencapai cita-cita yang mulia diperlukan kesucian batin, kejernihan pikiran, dan kedisiplinan nasional. Ki Hajar Dewantara menyampaikan pula tiga macam fatwa yang satu yaitu (a) Tetep-Mantep-Antep yang maknanya adalah dalam melakukan suatu pekerjaan hendaknya harus diiringi dengan ketetapan hati, tekun bekerja, kemantapan hati, dan kebulatan tekat. Karena dengan ketetapan pikiran dan kekuatan batin akan menentukan kualitas seseorang; (b) Ngandel, Kendel, Bandel, Kandel, maksudnya adalah untuk menggapai citacita harus percaya pada diri sendiri, berani menghadapi segala hal yang merintang, teguh pendirian, kuat secara lahir-batin, serta tawakal; dan (c) Neng-Ning-Nung-Nang, maknanya adalah kita harus memiliki sikap meneng, wening, hanung, dan menang. Kesucian pikiran dan hati yang diperoleh dengan ketenangan hati, akan mendatangkan kebahagiaan. Apabila telah dicapai ketiga hal tersebut, maka kesuksesan atau kemenangan akan kita peroleh (Dewantara, 1977:14). Lickona (2012:82) menjabarkan mengenai karakter yang tepat bagi pendidikan nilai yaitu karakter yang baik terdiri dari mengetahui hal yang baik, menginginkan hal yang baik, dan melakukan hal yang baik. Pada dasarnya karakter yang tepat diterapkan adalah yang dapat membuat seseorang memiliki sikap dan menjadi pribadi yang lebih baik. Adapun ciricommit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ciri karakter digambarkan oleh Lickona dalam komponen karakter yang baik sebagai berikut (2012:84). Komponen Karakter yang Baik Pengetahuan Moral 1. Kesadaran moral 2. Pengetahuan nilai moral 3. Penentuan perspektif 4. Pemikiran moral 5. Pengambilan keputusan 6. Pengetahuan pribadi
Perasaan Moral 1. Hati nurani 2. Harga diri 3. Empati 4. Mencintai hal yang baik 5. Kendali diri 6. Kerendahan hati
Tindakan Moral 1. Kompetensi 2. Keinginan 3. Kebiasaan
Bagan 1. Komponen Karakter yang Baik Berdasarkan beberapa teori mengenai karkter dan pendidikan karakter di atas, peneliti lebih memilih konsep pendidikan karakter menurut Ki Hajar Dewantara sebagai acuan dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan konsep pendidikan karakter Ki Hajar Dewantara mengacu pada konsep kebudayaan Jawa, dimana akan lebih relevan dengan penelitian ini. b. Karakter Jawa Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter Jawa merupakan penanaman pendidikan karakter kepada seseorang yang berlandaskan kebudayaan Jawa. Aspek nilai pendidikan karakter Jawa telah diungkapkan oleh Dewantara pada dasarnya merupakan sebuah ajaran bahwa karakter seseorang terbentuk karena pribadi orang tersebut. Oleh karena itu diperlukan kemantapan hati, kerendahan hati, percaya pada kuasa Tuhan, terus menuntut ilmu, serta commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ketenangan batin untuk mencapai sebuah kesuksesan dan kemuliaan lahir maupun batin (1977:14). Masyarakat
Jawa
pada
masa
lalu
dikenal
lebih
banyak
bermatapencaharian sebagai petani. Karakter yang menonjol pada petani Jawa
adalah
menerima
keadaan
yang dijalaninya
sebagai
nasib.
Ketidakpunyaan dan kerasnya hidup membentuk para petani memiliki sifat yang sabar, tabah, dan pasrah (Koentjaraningrat, 1984:436). Sikap lain yang tampak dalam diri manusia Jawa adalah prinsip yang digunakan dalam bergaul yaitu sangat memperhatikan empan papan, lambe ati, dan duga prayoga. Hal-hal tersebut yang kemudian membentuk terjadinya unggah-ungguh basa dan beragam tuturan yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari (Djatun, 2011:14). Cerminan karakter manusia Jawa juga tergambar melalui sifat air. Karakter tersebut diantaranya bersih dan jernih yang melambangkan kebersihan hati, kejernihan pikiran, serta kejujuran. Aliran air yang tidak selalu lurus menggambarkan bahwa manusia Jawa memiliki karakter yang luwes, kreatif, mudah beradaptasi, dan tidak mudah putus asa. Air juga memiliki sifat selalu mengalir dari atas ke bawah. Hal tersebut melambangkan sifat manusia yang memiliki sopan santun serta kerendahan hati (Widodo, 2011:188). Kerendahan hati dan sopan santun juga nampak pada tutur kata serta cara berbicara orang Jawa. Sifat tersebut dipersepsi masyarakat sebagai sifat khas masyarakat Jawa, karena masyarakat Jawa commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
beranggapan bahwa sifat rendah hati merupakan sifat manusia yang luhur (Djatun, 2011:16). Sikap hidup manusia Jawa yang juga sangat jelas terwujud adalah etis, estetis, spiritualis, taat pada adat-istiadat warisan leluhur, serta selalu mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadinya (Herusatoto, 2008:130). Perda Provinsi Jawa Tengah no. 9 tahun 2012, bab IV, pasal 7, poin c menjelaskan bahwa fungsi bahasa, sastra, dan aksara Jawa salah satunya adalah sebagai sarana pembentuk kepribadian dan peneguh jati diri suatu masyarakat di daerah. Bahasa Jawa yang penuh dengan lambang tersembunyi dalam kiasan, harus dibahas dan dikupas secara mendalam sehingga
dapat
menangkap
makna
sebenarnya
yang
tersembunyi
(Herusatoto, 2008:137). Hal tersebut akan semakin memperkuat dan mempertegas karakter Jawa seorang manusia Jawa melalui media naskah.
C. Kerangka Berpikir Naskah Jawa carik merupakan salah satu produk kebudayaan Jawa. Dalam berbagai jenis naskah yang ada, terdapat salah satu naskah yang diambil untuk menjadi objek kajian penelitian yaitu Sêrat Safingi. Pengajaran Bahasa Jawa juga merupakan salah satu bagian dari kebudayaan Jawa. Dengan mengajarkan Bahasa Jawa, sama halnya dengan ikut melestarikan dan menghidupkan kebudayaan Jawa yang adi luhung. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
42 digilib.uns.ac.id
Sêrat Safingi yang pada penelitian sebelumnya telah melalui proses deskripsi naskah dan kritik teks, pada penelitian ini langsung dilakukan pengkajian dengan menggunakan pendekatan semiotik. Dengan pendekatan tersebut, kemudian dicari simbol-simbol atau tanda-tanda beserta maknanya yang terdapat di dalam naskah. Langkah awal penelitian yaitu menerapkan pendekatan semiotik untuk mencari simbol-simbol yang sesuai dengan teori Herusatoto untuk dapat dilakukan pengkajian lebih lanjut. Kemudian naskah dipilah berdasarkan bait-bait dalam pupuh atau episode maupun bagian-bagiannya untuk dipilih dan diidentifikasi nilai pendidikan karakter Jawa yang terkandung di dalam Sêrat Safingi. Selanjutnya pupuh-pupuh tersebut dianalisis secara mendalam untuk mencari nilai pendidikan karakter Jawa sesuai dengan karakter Jawa yang tersurat dalam Sêrat Safingi, untuk kemudian dibahas dengan menggunakan konsep dasar pendidikan karakter menurut Ki Hajar Dewantara. Setelah ditemukan nilai-nilai pendidikan karakter di dalam Sêrat Safingi, langkah selanjutnya adalah mencari relevansi mengenai nilai pendidikan karakter Jawa dalam naskah dengan pengajaran Bahasa Jawa baik pada tingkat SMP, maupun SMA. Ketiga hal tersebut kemudian dihubungkan dengan pengajaran Bahasa Jawa. Dalam pengajaran Bahasa Jawa yang menjadi acuan utama guru berasal dari standar kompetensi yang terdapat di dalam silabus pembelajaran. Selain hal tersebut pengajaran Bahasa Jawa juga mengacu pada fungsi dan tujuan pembelajaran Bahasa Jawa khususnya pada kompetensi inti sikap religius dan sikap sosial. Untuk selanjutnya, pengajaran Bahasa Jawa dihubungkan kembali dengan commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kebudayaan Jawa, dimana pengajaran Bahasa Jawa termasuk di dalamnya dan menjadi bagian yang penting sebagai salah satu upaya pelestarian budaya Jawa. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan mengajarkan dan memperkenalkan kebudayaan Jawa kepada genarasi muda dalam hal ini adalah siswa. Gambaran singkat untuk memperjelas konsep pemikiran tersebut, maka dibuat bagan kerangka berpikir dalam penelitian ini sebagai berikut. Kebudayaan Jawa
Simbol Sêrat Safingi
Pendekatan Semiotik
Nilai Pendidikan Karakter Jawa
Pengajaran Bahasa Jawa
Relevansi Fungsi dan Tujuan Pembelajaran Bahasa Jawa
Bagan 2. Kerangka Berpikir
commit to user