BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka 1. Hakikat Sastra Sastra diambil dari akar sas+ tra (Sansakerta), “sas” (mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk) dan “tra” (alat). Masyarakat secara luas memiliki pandangan yang sempit mengenai sastra, padahal istilah tersebut banyak dijumpai di kehidupan sehari-hari. Tidak banyak orang mengetahui hakikat sastra yang sesungguhnya, karena belum ada batasan nyata mengenai definisi sastra. Beberapa ahli mendefinisikan sastra menurut pandangan mereka, seperti Rokhmansyah (2014: 2) yang menyebutkan beberapa batasan sastra antara lain (a) sastra adalah seni, (b) sastra adalah ungkapan spontan dari kedalaman rasa, (c) sastra adalah ekspresi dari pandangan/ ide-ide/ perasaan/ pemikiran dan semua kegiatan mental manusia ke dalam media bahasa, (d) sastra adalah bentuk keindahan sebagai inspirasi kehidupan, (e) sastra adalah semua buku yang mengandung perasaan mendalam, kemanusiaan, kekuatan moral dengan sentuhan kesucian dan kebebasan pandangan yang memesona. Dalam pengertian sempit, menurut masyarakat kita sastra adalah bacaan yang bersifat imajinatif, fiksi, karangan penulis dan lain sebagainya. Wellek dan Austin (1990: 12) mendefinisikan sastra sebagai mahakarya yang menonjol dari segi bentuk dan ekspresi sastranya. Istilah mahakarya diambil karena memiliki reputasi yang baik, mengandung kecemerlangan ilmiah, ditambah lagi penilaian estetis atas gaya bahasa, komposisi, dan kekuatan penyampaiannya. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, cabang ilmu pengetahuan. Bagi kalangan awam, sastra hanya dianggap sebagai hiburan maupun bacaan di waktu senggang. Di balik isu-isu tersebut, kekuatan kata-kata atau bahasa dalam sastra nyatanya mampu memengaruhi cara dan jalan berpikir seseorang agar menjadi manusia yang lebih arif. Bahasa dalam sastra adalah simbol psikologis. Endraswara 9
10 (2012: 101) dalam bukunya menyatakan bahwa sastra adalah alat (wahana) untuk mengajarkan kearifan hidup. Kearifan hidup tak lain adalah suatu kebenaran. Sastra adalah fenomena yang menggunakan bahasa khas untuk menyampaikan sebuah kebenaran. Melalui sastra tiga pola pikir berikut akan terbangun; pertama, gemar berpikir imajinatif dan simbolik; kedua, berpikir lembut, indah, penuh hiburan; ketiga, menjadikan lebih kritis dan eksploratif. Sastra layak dijadikan referensi bacaan karena memiliki banyak keunggulan, seperti yang dijelaskan Nurgiyantoro (2004: 108) bahwa sastra akan memberikan pemahaman tentang kehidupan. Pemahaman itu datang dari eksplorasi terhadap berbagai bentuk kehidupan, rahasia kehidupan, penemuan dan pengungkapan berbagai macam karakter manusia, dan lain-lain yang dapat memperkaya pengetahuan dan pemahaman pembaca. Sastra tetaplah karya imajinatif yang berusaha memberikan hiburan. Hiburan dalam sastra bukanlah hiburan yang murahan. Hiburan dalam sastra memiliki nilai tambah dibanding karya imaji lain. Sastra menghibur sekaligus memberi makna bagi pembaca. Sastra sebagai sesuatu yang dipelajari dan sebagai pengalaman kemanusiaan yang dapat disumbangkan sebagai renungan memiliki beberapa fungsi. Di samping melatih keterampilan berbahasa, sastra dapat memberikan pengalaman hidup, membantu mengembangkan kepribadian seseorang, memberi kepuasan, kenyamanan dan meluaskan dimensi kehidupan. Sastra diakui juga sebagai salah satu alat menyampaikan pengajaran (pendidikan) yang berguna dan menyenangkan (dulce et utile) (Ismawati, 2013: 115). Fungsi lain dari hidupnya sastra dalam masyarakat (Rokhmansyah, 2014: 8), antara lain: a. Fungsi rekreatif yaitu sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi pembacanya b. Fungsi didaktif yaitu sastra mampu mendidik pembacanya melalui kebenaran dan kebaikan yang terkandung di dalamnya
11 c. Fungsi estetis yaitu sastra mampu memberikan makna keindahan kepada pembacanya d. Fungsi moralitas yaitu sastra mampu memberikan gambaran moral yang baik dan buruk. Sastra yang baik adalah sastra yang mengandung pembelajaran moral yang tinggi e. Fungsi religius, yaitu sastra mampu menjadi teladan agama untuk para pembacanya 2. Hakikat Novel a. Pengertian Novel Novel berasal dari bahasa Itali yaitu novella. Secara harfiah novella berarti “sebuah barang baru yang kecil”. Pada era ini pengertian novella setara dengan novelette (bahasa Inggris) yang berarti karya fiksi yang tidak panjang tetapi juga tidak pendek. Novel berisi cerita rekaan dari beberapa peristiwa penting yang dialami tokoh dan mempunyai alur cerita yang lebih kompleks daripada cerpen. Secara etimologis, kata novel berasal dari kata ”novellus” yang berarti baru. Jadi novel adalah salah satu jenis karya sastra yang paling baru. Novel merupakan karya sastra yang menyuguhkan nilai bagi masyarakat pembaca. Berikutnya Esten (dalam Siregar, dkk, 2005: 159) mengatakan novel adalah pengungkapan bentuk kehidupan manusia (dalam jangka panjang) di mana terjadinya konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan terjadinya jalan hidup antar pelaku. Panjangnya durasi cerita yang ada dalam novel menciptakan kebebasan bercerita, detail, lebih rinci, dan melibatkan banyak konflik di dalamnya, sehingga dapat dikatakan bahwa novel memiliki kelebihan menciptakan dunia yang utuh dan “jadi” (Nurgiyantoro, 1995: 11). Dalam menciptakan keutuhan tersebut diperlukan kepaduan antarbab yang saling mendukung jalannya cerita. Hubungan bab satu ke bab selanjutnya bisa jadi adalah bentuk sebab akibat maupun bentuk kronologis cerita. Bentuk penyampaian yang terpotong-potong tersebut menjadikan pembaca harus urut ketika membaca, tidak bisa acak atau akan kehilangan keutuhan cerita.
12 Melalui Sayuti (1996: 5-7) disimpulkan ciri khas novel, antara lain: terdiri dari empat puluh lima ribu kata atau lebih, menitikberatkan pada kompleksitas, tidak dapat selesai dalam sekali duduk, pengembangan karakter yang luas, memiliki perjalanan waktu yang panjang, penyajian yang panjang mengenai tempat atau ruang, dan permasalahan dalam novel bersumber dari posisi manusia dalam masyarakat. Novel adalah sebuah organisme yang bersifat kompleks dan terdiri dari rangkaian unsur. Cara penyampaiannya yang implisit membuat pembaca terkadang kesulitan untuk menangkap makna dalam cerita yang ada di dalam novel. Hal itu mendorong adanya kegiatan analisis atau menganalisis agar apa yang ada di dalam novel dapat tersampaikan dengan sempurna kepada pembaca. Analisis paling mendasar yang dapat dilakukan pembaca awam adalah mengenai struktur novel. b. Struktur Novel Struktur novel terdiri dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang ada dalam novel dan pasti akan dijumpai oleh pembaca novel. Kepaduan yang ada dalam unsur intrinsik tersebutlah yang membuat novel menjadi sebuah wujud nyata. Unsur intrinsik terdiri dari tema, alur, latar, penokohan, sudut pandang, amanat dan gaya bahasa. Beberapa ahli memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai aspek-aspek yang ada dalam unsur intrinsik. Kebanyakan dari mereka memiliki istilah lain yang makna sebenarnya hampir sama. Nurgiyantoro (2013: 30) menyebutkan unsur intrinsik terdiri dari peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa dan lain sebagainya. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang turut serta serta membangun novel namun tidak terlibat langsung di dalam tubuh novel. Unsur ekstrinsik dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang memengaruhi cerita. Unsur ekstrinsik meliputi latar belakang pengarang, kondisi sosial budaya dan kondisi geografis. Wellek dan Werren (1989: 75-135) menyebutkan unsur ekstrinsik itu terdiri dari unsur biografi, unsur psikologi, keadaan lingkungan, dan pandangan hidup pengarang. Koherensi dan totalitas dari seluruh unsur diatas menentukan keindahan dan keberhasilan sebuah karya fiksi seperti novel.
13 Beberapa ahli tidak menyebutkan unsur yang ada dalam sebuah novel sebagai intrinsik dan ekstrinsik, namun mengedepankan istilah unsur pembangun. Waluyo (2011: 6) menyebutkan unsur pembangun prosa fiksi terdiri dari tema cerita, plot atau kerangka cerita, penokohan dan perwatakan, setting atau latar, sudut pandang pengarang, latar belakang atau background, dialog, gaya bahasa, waktu cerita dan waktu penceritaan, dan amanat. Esten (2013: 25) menyebutkan bahwa struktur cerita rekaan fiksi terdiri dari alur, penokohan/ perwatakan, latar, pusat pengisahan, dan gaya bahasa sedangkan Rokhmansyah (2013: 33) menjelaskan unsur intrinsik prosa terdiri dari tema dan amanat, tokoh dan penokohan, alur, latar, gaya bahasa dan sudut pandang. Unsur instrisnik adalah hal yang paling umum untuk dianalisis karena sudah tersedia dalam tubuh novel itu sendiri. Apalagi dalam kegiatan belajar menagajar, unsur intrinsik pasti menjadi pokok pembahasan dalam pembelajaran. Teori mengenai unsur intrinsik sangat beragam. Dalam penelitian ini digunakan teori dari Kosasih (2012) karena sederhana dan ringkas sehingga akan mudah dipahami oleh siswa. Berikut ini Kosasih (2012: 62) menjelaskan secara singkat mengenai unsurunsur intrinsik: 1) Tema Tema adalah gagasan yang menjalin struktur isi cerita. Sudjiman (dalam Rokhmansyah, 2014: 33) menjelaskan bahwa tema dapat dikatakan sebagai ide atau pilihan utama yang mendasari lahirnya suatu karya sastra. Tema tidak pernah dituliskan secara tersurat oleh pengarang. Biasanya pembaca harus menarik kesimpulan sendiri setelah membaca karya tersebut. Tema merupakan aspek yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia. Sesuatu yang menjadikannya begitu diingat. Tema menyurut pada aspek-aspek kehidupan. Sama seperti makna pengalaman manusia, tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak (Stanton, 2007: 37). Setiap aspek cerita mendukung kehadiran tema. Oleh karena itu, pengamatan harus dilakukan terhadap semua hal baik peristiwa, tokoh-tokoh, bahkan objek-objek
14 yang sekilas tampak tidak relevan dengan alur utama. Ada tiga cara dalam menemukan sebuah tema cerita yaitu melalui alur cerita, melalui tokoh cerita dan melalui bahasa yang digunakan pengarang. Tema memiliki sifat objektif, artinya hampir semua pembaca memiliki tafsiran yang sama (Waluyo, 2011: 7). Namun, cara paling efektif untuk menemukan tema yang disembunyikan pengarang adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalam cerita (Pujiharto, 2012: 77). 2) Plot Plot atau lebih sering disebut alur adalah pengembangan cerita yang berbentuk sebab dan akibat. Di dalam novel plot memiliki rangkaian yang panjang, rumit, dan kompleks bila dibandingkan dengan cerpen. Nurgiyantoro (1995: 114) menjelaskan tiga unsur esensial dari plot yaitu peristiwa, konflik dan klimaks. Peristiwa bisa dikatakan keadaan yang dialami tokoh (event) dan yang dilakukan tokoh (action). Konflik mengarah pada sesuatu yang tidak menyenangkan dan tergolong penting. Klimaks adalah pertemuan antara dua atau lebih keadaan yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana permasalahan akan diselesaikan. Persoalan-persoalan yang menimpa tokoh diungkap melalui alur ini. Dalam menciptakan plot yang baik, terdapat kaidah pemlotan (Sayuti, 1996: 28-33) yang meliputi a) kemasukakalan (plausibility), b) kejutan (surprise), c) suspense, dan d) keutuhan. Kemasukakalan artinya sebuah cerita memiliki kebenaran dalam cerita itu sendiri, dapat diterima akal sehat. Kejutan yakni hal yang dapat memperlambat atau malah mempercepat klimaks. Antara kemasukakalan dan kejutan harus saling mendukung. Suspense mengarah pada banyaknya kemungkinan yang bisa ditebak oleh pembaca agar lebih menarik dan membuat penasaran. Terakhir, keutuhan yaitu memiliki kesatupaduan dan keterkaitan antarunsur pendukung. Plot dibagi menjadi tujuh tahap, meliputi pengenalan situasi cerita (exposition), munculnya konflik (inciting moment), menuju pada adanya konflik (rising action), konflik yang semakin ruwet (complication), puncak konflik/ kegawatan (climax), penurunan ketegangan (falling action) dan penyelesaian (denouecment) (Waluyo,
15 2011: 10-12). Secara umum menurut jenisnya alur dibagi kembali menjadi tiga yaitu alur normal, sorot balik dan maju mundur. 3) Latar Latar atau setting adalah tempat terjadinya peristiwa yang berupa latar tempat (lokasi), waktu, dan budaya dalam suatu cerita. Rahmanto (1988) menjelaskan lebih luas mengenai pengertian latar yaitu menyangkut tentang lingkungan geografi, sejarah, sosial dan kadang-kadang lingkungan politik atau latar belakang tempat kisah itu berlangsung. Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung (Stanton, 2007: 35). Latar sangat penting untuk memberikan kesan realistis pada pembaca. Fungsi dari latar ini adalah memperkuat atau menegaskan kepada pembaca tentang jalannya suatu cerita. Hal tersebut dipertegas dengan penjelasan Waluyo (2011: 23) yang menyebutkan fungsi dari latar adalah a) mempertegas watak pelaku; b) memberikan tekanan pada tema cerita; c) memperjelas tema yang disampaikan; d) metafora bagi situasi psikis tokoh; e) sebagai pemberi kesan (atmosfir); dan f) memperkuat posisi plot. Terdapat empat elemen yang membentuk latar, yaitu a) lokasi geografis yang nyata hingga bentuk ruang; b) pekerjaan dan cara hidup tokoh; c) waktu terjadinya peristiwa; dan d) lingkungan religius, sosial, intelektual dan emosional para tokoh (Sayuti, 1996: 81). Latar dibedakan menjadi tiga, yaitu latar tempat, waktu dan sosial. Nurgiyantoro (1995: 227-234) menjelaskan secara detail mengenai ketiga jenis latar tersebut. Latar tempat dapat berupa tempat-tempat dengan nama tertentu (contoh: Yogyakarta, Solo); inisial tertentu (contoh: Kota X, Y); atau lokasi tertentu tanpa nama yang jelas (contoh: desa, sungai, kota). Penggambaran latar yang kuat dapat semakin meyakinkan pembaca. Latar waktu adalah latar yang berhubungan dengan kapan terjadinya peristiwa. Latar waktu dibedakan kembali menjadi dua yaitu waktu cerita dan waktu penceritaan. Terakhir, latar sosial yaitu latar yang berhubungan dengan perilaku atau kehidupan masyarakat yang ada dalam cerita. Latar sosial dapat
16 berupa adat istiadat, tradisi, keyakinan, kebiasaan hidup, pandangan hidup, cara berpikir, dan lain sebagainya. 4) Penokohan Penokohan menceritakan,
atau perwatakan dan
adalah cara
mengembangkan
pengarang menggambarkan,
tokoh-tokoh
dalam
cerita.
Dalam
mengggambarkan karakter tokoh pengarang memiliki dua jalan yaitu teknik analitik (langsung) dan teknik dramatik (tidak langsung). Secara langsung berarti pengarang mengungkapkan watak tokoh dalam ceritanya. Sedangkan secara tidak langsung adalah pengarang hanya menampilkan pikiran, ide, pendangan hidup, perbuatan, keadaan fisik, dan ucapan-ucapan tokoh dalam cerita (Rokhmansyah, 2014: 36). Menafsirkan perwatakan tokoh dalam novel dapat menjadi latihan dalam pengumpulan dan penafsiran peristiwa. Penokohan menggambarkan kepribadian atau sikap masing-masing tokoh dalam cerita. Tokoh sendiri dibedakan menjadi beberapa macam. Tokoh berdasarkan fungsi penampilannya untuk menyebabkan konflik dibedakan menjadi tokoh antagonis dan protagonist (Waluyo, 2011; 19). Tokoh antagonis dan protagonis adalah jenis tokoh yang paling sering digunakan dalam pembelajaran. Tokoh antagonis adalah tokoh yang menentang arus cerita dan biasanya menimbulkan perasaan benci pada pembaca. Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita. Tokoh berdasarkan tingkat kepentingan peranannya diklasifikasikan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Kemudian, tokoh berdasarkan wataknya dibedakan menjadi tokoh sederhana dan tokoh bulat/ kompleks (Pujiharto, 2012: 45). Dalam menjabarkan penokohan tokoh, penting kiranya untuk mengungkap aspek sosiologis, fisiologis dan psikologis. Aspek fisik dikaitkan dengan umur, ciri fisik, penyakit, keadaan diri, dan sebagainya. Sosiologis melukiskan suku, jenis kelamin, kelas sosial, pekerjaan, dan lain sebagainya. Aspek psikologis berkaitan dengan sifat atau karakter. Ketiga aspek tersebut akan mempermudah pembaca dalam mengenali dan
17 membedakan masing-masing tokoh dalam cerita. Aspek kejiwaan yang merupakan batasan dalam penelitian ini merupakan salah satu bagian dari penokohan ini. Penokohan dalam cerita ternyata memiliki hubungan erat dengan pendidikan karakter. Dapat dikatakan bahwa menafsirkan penokohan adalah unsur terpenting dalam kaitannya dengan pendidikan karakter, menimbang: a) dalam unsur penokohan terkandung berbagai masalah yang berkaitan dengan karakter dan karakterisasi; b) dikaitkan dengan disiplin lain, dalam hubungan ini pendidikan karakter tokoh dan penokohan paling mudah dikenali dan mudah untuk diaplikasikan; c) tokoh dan penokohan berkaitan dengan diri sendiri, dengan diri pembaca sehingga lebih mudah dipahami (Ratna, 2014: 248). 5) Sudut Pandang Sudut pandang atau point of view adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita. Waluyo (2011: 25) menyebutkan dua jenis sudut pandang yaitu orang pertama dan ketiga. Pengarang dapat menjadi orang pertama yang terlibat dalam cerita, biasanya menggunakan simbol “aku” atau “ku”. Selain orang pertama, pengarang dapat pula menjadi orang ketiga. Pengarang sebagai orang ketiga ini banyak menggunakan kata “ia”, “dia”, atau memakai nama orang dan hanya menceritakan apa yang terjadi antara tokoh satu dengan yang lain tanpa ikut dalam cerita. Tarigan (1984: 140) membagi point of view menjadi tiga bagian penting, yaitu: a) The first person narrator artinya cerita dapat diceritakan oleh salah seorang tokoh. Dapat berupa tokoh-tokoh utama atau yang lainnya. Sudut pandang seperti ini kurang meresapi pikiran dan perasaan tokoh lain b) The omniscient view artinya seorang narator luaran diberi wewenang untuk meresapi dan mencerminkan perasaan tokoh utama. Dalam hal ini sering disebut orang ketiga c) The objective point of view, merupakan narator yang menceritakan apa-apa yang dilakukan dan diucapkan para tokoh. Narator memberikan kebebasan penuh kepada pembaca untuk merasakan dan memikirkan apa-apa yang dirasakan dan dipikirkan tokoh
18 6) Amanat Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang hendak disampaikan dari pengarang melalui karyanya itu. Amanat dapat pula disebut sebagai manfaat yang diperoleh dari sudut pandang pembaca. Pembaca harus membaca keseluruhan cerita, baru setelah itu dapat mengambil amanatnya. Amanat biasanya bersifat subjektif, artinya setiap pembaca memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai amanat yang ada dalam suatu cerita. Amanat inilah yang kerap kali menjadi senjata bagi para pendidik untuk mengajarkan pendidikan karakter pada peserta didiknya. Salah satu indikator bahwa sebuah karya sastra dapat dikatakan bagus adalah dengan melihat sekuat dan sebanyak apa amanat yang dapat disampaikan pengarang melalui karyanya. 7) Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah ciri khas bahasa yang digunakan pengarang untuk membangun cerita. Kemampuan pengarang dalam mempergunakan bahasa secara cermat dapat menjelmakan suasana yang tepat guna bagi setiap adegan dalam cerita. Melalui bahasa pula pengarang dapat memberikan tanda karakter tokoh, latar, hingga amanat yang ingin disampaikan. Penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra dapat menjadikan ciri khas pengarang dan membedakannya dengan pengarang-pengarang yang lain meskipun menulis karya dengan genre yang sama (Effendi, 2012: 208). 3. Hakikat Psikologi Sastra a. Pengertian Psikologi Sastra Psikologi secara etimologis berasal dari kata psyche dari bahasa Yunani kuno yang artinya napas atau jiwa; logi dari kata logos yang artinya ilmu, jadi psikologi artinya ilmu jiwa. Dalam bahasa Inggris istilah psikologi disebut psychology dan dalam bahasa Indonesia padanannya adalah ilmu jiwa atau ilmu kerohanian. Cara hidup seseorang tentu sangat dipengaruhi oleh kualitas psikologinya. Bagaimana ia berperilaku, bertindak, bertingkah, mengambil keputusan dan sebagainya telah melalui mekanisme pemikiran yang matang. Orang yang memiliki kualitas psikologi baik tentu akan lebih mudah menangkap nilai-nilai yang ada dalam kehidupannya.
19 Ilmu jiwa atau psikologi adalah suatu cabang dari ilmu pengetahuan yang mempelajari, menyelidiki, atau membahas fungsi-fungsi kejiwaan dari orang yang sehat. Dengan kata lain psikologi mempelajari aktivitas kehidupan kejiwaan dari orang yang normal (Fudyartanta, 2011: 1). Bidang psikologi, bila dipadukan dengan sastra akan menciptakan disiplin ilmu baru yang saling memengaruhi. Ilmu tersebut sering disebut dengan psikologi sastra. Pada dasarnya psikologi sastra dibangun atas dasar asumsi-asumsi genesis, dalam kaitannya dengan asal-usul karya, artinya psikologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan psike. Beberapa pandangan ahli menyatakan bahwa perkembangan psikologi sastra agak lamban dikarenakan beberapa sebab. Kelambanan itu disebabkan oleh: pertama, psikologi sastra seolah-olah hanya berkaitan dengan manusia sebagai individu, kurang memberikan peranan terhadap subjek transindividual, sehingga analisisnya dianggap sempit. Kedua, dikaitkan dengan tradisi intelektual, teori-teori psikologi sangat terbatas sehingga para sarjana sastra kurang memiliki pemahaman terhadap bidang psikologi sastra (Ratna, 2003: 341). Keterbatasan-keterbatasan yang menyertai perkembangan psikologi sastra, menyurutkan beberapa kalangan peneliti untuk melakukan studi lebih lanjut. Of all the critical approaches to literature, the psychological has been one of the most controversial and for many readers the least appreciated (Gnanasekaran, 2014). Kebanyakan peneliti terutama mahasiswa lebih banyak mengkaji tentang struktur sebuah karya sastra, daripada memperdalam kajian sastra melalui sudut pandang psikologi. Secara etimologis tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung di dalam suatu karya. Aspek-aspek kejiwaan yang membangun psikologi sastra adalah a) unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b) unsur-unsur kejiwaan para tokoh fiksional dalam karya sastra, dan c) unsur-unsur kejiwaan pembaca (Minderop, 1990). Ketiga aspek tersebut harus dipahami untuk lebih memahami psikologi sastra. Menurut Semi (dalam Edraswara, 2008: 12) psikologi sastra sangat sesuai untuk mendalami aspek perwatakan, karena dengan pendekatan ini penulis
20 mendapatkan umpan balik mengenai perwatakan tokoh. Pendekatan ini akan sangat membantu dalam menganalisis karya sastra yang absurd dan sejenisnya. Terbukti dalam penelitian yang dilakukan oleh Wahidah Nasution, Mohammad Rohmadi, dan Sarwiji Suwandi (2014) bahwa psikologi sastra memiliki andil yang besar untuk mengungkap perwatakan tokoh. Penelitian tersebut menekankan kajian perwatakan pada tokoh-tokoh utama dengan metode showing melalui cara berdialog, berperilaku, dan sudut pandang serba tahu dalam novel Sordam karya Suhunan Situmorang. Peneliti berhasil mengungkapkan bahwa tokoh utama Paltibonar memiliki watak yang ambisius, tegar, dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Sedangkan tokoh Ibu memiliki watak yang keras kepala. Diandra memiliki sifat yang patuh kepada orang tua namun kurang sabar, dan Mary bersifat mandiri. Persamaan antara penelitian yang dilakukan Wahidah Nasution, Mohammad Rohmadi, dan Sarwiji Suwandi dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan kajian psikologi sastra untuk mengungkapkan perwatakan atau penokohan dalam sebuah karya sastra berbentuk novel, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua penelitian ini relevan. b. Teori Psikoanalisis Sigmund Freud Psikoanalisis adalah ilmu yang sampai saat ini masih dijadikan menara gading dalam dunia psikologi. Sigmud Freud dianggap sebagai peletak dasar psikoanalisis ini. Banyak pihak yang kurang mendukung bidang ilmu satu ini, padahal daya tarik psikoanalisis tidak dapat diragukan lagi (Endraswara, 2008: 194). Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan psikoanalisis Freud. Freud membagi struktur kepribadian menjadi tiga yaitu id, ego dan superego. 1) Struktur Kepribadian Sigmund Freud a) Id Id (berasal dari bahasa Jerman das es, yang artinya sesungguhnya “the it”). Id terdiri dari energi insting yang murni dan tidak pernah dewasa, eksis sepenuhnya di tingkat bawah-sadar. Id tidak bisa menoleransi tegangan yang muncul dari kebutuhan-kebutuhan badani, sehingga selalu menuntut penghilangan tegangan
21 kebutuhan itu sesegera mungkin. Dua cara yang dimiliki id untuk memuaskan kebutuhan tubuh adalah dengan tindakan refleks dan pemenuhan kebutuhan. Tindakan relfleks tersebut adalah respon otomatis ke sumber ketidaknyamanan. Contoh dari tindakan refleks adalah ketika bayi bersin lalu secara langsung mengusap hidungnya yang gatal sebagai sumber ketidaknyamanan. Pemenuhan
kebutuhan
adalah
upaya
mengurangi
tegangan
dengan
membayangkan sebuah objek atau kejadian untuk memuaskan kebutuhannya. Contohnya adalah kebutuhan ketika lapar, maka id akan membayangkan jenis makanan yang dapat memberi efek sementara untuk mengurangi rasa lapar (Olson dan Hergenhahn, 2011: 51-52). Kesimpulannya id adalah naluri yang menekan manusia untuk segera memenuhi kebutuhan hidupnya dan terletak di alam bawah sadar. b) Ego Ego (das ich) dikatakan mengikuti prinsip kenyataan (realitas) dan beroperasi menurut proses sekunder. Untuk sementara waktu prinsip kenyataan menunda prinsip kenikmatan, meskipun pada akhirnya prinsip kenikmatan akan terpenuhi ketika objek yang dibutuhkan telah ditemukan dan dengan demikian tegangan dapat direduksikan (Hall dan Lindzey, 1993: 66). Proses sekunder adalah berpikir realistis. Dengan proses sekunder, ego menyusun rencana untuk memuaskan kebutuhan dan kemudian menguji rencana ini, biasanya melalui suatu tindakan untuk melihat apakah rencana itu berhasil atau tidak. Orang yang lapar berpikir di mana ia dapat menemukan makanan dan kemudian pergi ke tempat itu (Hall dan Lindzey, 1993: 66). Perbedaan pokok antara id dan ego adalah id hanya mengenal kenyataan subjektif jiwa, sedangkan ego membedakan antara hal-hal yang terdapat dalam batin dan hal-hal yang terdapat dalam dunia luar. Dalam teori Freud perlu diingat bahwa ego beroperasi untuk melayani id. Hubungan antara id dan ego dapat dilihat dalam skema dibawah ini:
22 ID (Proses-primer)
EGO (Proses sekunder)
Kebutuhan
Rasa lapar
food wish
menemukan & mencerna makanan
Identifikasi Dorongan lapar berkurang Gambar 2.1. Skema Hubungan Id dan Ego (diadaptasi dari Olson dan Hergenhahn, 2011: 54) Freud (dalam Olson dan Hergenhahn, 2011) menyatakan bahwa ego harus mewujudkan sepenuhnya niat id, memenuhi tugasnya untuk menemukan situasi dimana niatan itu bisa diwujudkan dengan sebaik-baiknya. Ego disebut eksekutif kepribadian, karena ego mengontrol pintu-pintu kearah tindakan, memilih segi-segi lingkungan ke mana ia akan memberikan respon, dan memutuskan insting-insting manakah yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya. Ego merupakan bagian id yang terorganisasi untuk memajukan tujuan-tujuan id, bukan mengecewakannya, dan seluruh dayanya berasal dari id. Peranan utamanya adalah untuk menengahi kebutuhan-kebutuhan instingtif dari organisme dan kebutuhan-kebutuhan lingkungan sekitarnya (Hall dan Lindzey, 1993: 66). c) Superego Superego (das uberich) dapat dikatakan sebagai suara hati atau bagian moral dari kepribadian. Melalui superego seorang manusia dapat mengambil kesimpulan mengenai sesuatu yang baik dan mana yang buruk. Superego berkembang dari polapola pengalaman, penghargaan, hukuman yang diinternalisasikan sejak kanak-kanak hingga dewasa (Olson dan Hergenhahn, 2011: 55). Dalam bukunya Hall dan Lindzey, (1993: 67) menyatakan bahwa superego adalah wewenang moral dari kepribadian yang memperjuangkan kesempurnaan dan bukan kenikmatan semata. Perhatian utamanya adalah memutuskan apakah sesuatu itu benar atau salah untuk dilakukan
23 sesuai dengan norma-norma moral yang diakui oleh wakil-wakil masyarakat. Fungsifungsi pokok superego adalah (1) merintangi impuls-impuls id, terutama impuls seksual dan agresif karena inilah impuls yang pernyataannya sangat dikutuk masyarakat; (2) mendorong ego untuk menggantikan tujuan-tujuan realistis dengan tujuan-tujuan moralistis; dan (3) mengajar kesempurnaan. Secara garis besar ketiga sistem di atas tidak dapat berdiri sendiri. Ketiganya bekerja dengan saling mengaitkan satu sama lain. Hall dan Lindzey (1993: 68) menyimpulkan bahwa id bisa dipandang sebagai komponen biologis kepribadian, sedangkan ego sebagai komponen psikologis dan superego sebagai komponen sosial. Berikut ini tabel perbedaan karakteristik antara id, ego dan superego: Tabel 2.2. Karakteristik Sistem Kepribadian Freud (diadaptasi dari Yusuf dan Nurihsan, 2008: 45) Id
Ego
Superego
Sistem asli (the true
Berkembang
psychic reality), bersifat
memenuhi
kebutuhan
kepribadian, terdiri dari
subjektif
(tidak
id yang terkait dengan
dua subsistem: kata hati
mengenal
dunia
dunia
nyata.
(yang
menghukum
terdiri
Memperoleh
energi
tingkah
laku
objektif),
yang
dari
gudangnya
dunia objektif (dunia
(yang
nyata).
tingkah
energi
psikis
yang
Mengetahui
Komponen
dari insting-insting dan (reservoir)
id.
untuk
digunakan oleh ketiga
moral
yang
salah) dan ego ideal mengganjar laku
yang
baik).
sistem kepribadian. Selain struktur kepribadian tersebut, Freud juga mengklasifikasikan beberapa hal yang berkaitan dengan keadaan jiwa, antara lain dinamika kepribadian, mekanisme pertahanan konflik dan klasifikasi emosi. Keempat komponen kejiwaan tersebut saling bertautan satu sama lain dan tak jarang merupakan hubungan kausal atau sebab akibat dengan kondisi kejiwaan seseorang.
24 2) Dinamika Kepribadian a) Naluri Naluri biasa disebut insting. Naluri secara umum memiliki pengertian dorongan dari alam bawah sadar. Dorongan-dorongan itu menuntut sebuah pemenuhan. Terpenuhi atau tidaknya dorongan sangat terpengaruh oleh budaya dan pendidikan (norma) yang berlaku di masyarakat. Menurut Freud, naluri adalah representasi psikologi bawaan dari eksitasi (keadaan tegang dan terangsang) akibat dari suatu kebutuhan tubuh. Naluri memiliki sifat regresif dan konservatif (berupaya memelihara keseimbangan) dengan memperbaiki kedaan yang menimbulkan kondisi kurang. Naluri dan id hampir sama dalam hal kinerja, karena sejatinya naluri berada satu atap di dalam area id manusia (Minderop, 2013: 26). Naluri dibedakan menjadi dua, yaitu naluri kehidupan (life instinct) dan naluri kematian (destructive instinct/ thanatos/ death instinct). Naluri kehidupan adalah naluri yang ditujukan kepada pemeliharaan kehidupan manusia sebagai individu. Contoh dari naluri kehidupan adalah lapar, haus, dan seks. Naluri kematian adalah naluri yang ditujukan pada perusakan atau penghancuran atas apa yang telah ada (organisme atau individu itu sendiri). Penghancuran itu dapat dilakukan kepada diri sendiri atau keluar dari diri sendiri. Penghancuran diri sendiri misalnya dengan menyakiti diri sendiri atau bahkan hingga tahap bunuh diri. Penghancuran keluar dapat dilihat dari tindakan menghancurkan atau membunuh orang lain (Koswara, 1991: 40). b) Kecemasan Kecemasan ialah suatu kegelisahan, kekhawatiran terhadap sesuatu yang tidak jelas dan mempunyai ciri mengazab seseorang. Gejala-gejala dari kecemasan yang mengikuti dapat berupa kondisi gemetar, geletar, keringat dingin, mulut kering, membesarnya pupil, sesak napas, percepatan nadi serta detak jantung, dan masih banyak lagi (Kartono, 2010: 130). Kecemasan atau anxitas merupakan wujud dari pertentangan antara id sebagai keinginan bawah sadar yang harus dipenuhi dengan ego serta superego sebagai
25 eksukutor pemenuhan. Kecemasan dibedakan menjadi dua, yaitu kecemasan objektif dan kecemasan neurotik. Kecemasan objektif adalah kecemasan yang digambarkan sebagai rasa terancam, bingung, dan bahaya dalam suatu lingkungan. Kecemasan neurotik lebih abstrak, sebab dari kecemasan ini tidak disadari oleh individu yang bersangkutan (Minderop, 2013: 28). Kecemasan meski dipandang negatif ternyata memiliki tujuan yang baik bagi individu. Tujuan dari kecemasan adalah agar individu dapat mengetahui adanya bahaya yang mengancam sehingga dapat mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Kecemasan dan rasa takut adalah dua kondisi perasaan yang berbeda. Kecemasan lebih mengarah pada sesuatu yang belum jelas sumbernya. Dapat dikatakan bahwa belum sepenuhnya tergambarkan apa yang membuat suasana jiwa menjadi tidak nyaman. Sedangkan ketakutan adalah kondisi di mana seseorang sudah mengetahui asal ketidaknyamanan dan biasanya berupa ancaman keselamatan diri. 3) Mekanisme Pertahanan Konflik (Ego) Pertahanan ego akan muncul ketika terjadi konflik yang disebabkan dorongan id melalui naluri dan tekanan superego atas ego individu. Pertahanan ego ini ada untuk mengurangi kecemasan atau ancaman-ancaman yang berasal dari dalam maupun dari luar individu. Kegagalan dalam mempertahankan ego dapat menyebabkan seorang individu mengalami gangguan pada kejiwaannya. Di bawah ini jabaran mengenai macam-macam mekanisme pertahanan ego: a) Represi (Repression) Represi adalah mekanisme pertahanan ego yang paling dasar dan utama karena berkaitan langsung dengan peredaan kecemasan. Represi adalah mekanisme yang dilakukan ego untuk meredakan kecemasan dengan menekan dorongan-dorongan yang menjadi penyebab kecemasan ke bagian tak sadar. Dorongan yang ditekan tersebut dapat muncul kembali (lolos) melalui mimpi dan salah ucap. Penekanan ini dapat menimbulkan ketidakefektifan ego dalam memelihara dan menuntun tingkah laku individu, karena besarnya energi yang dikeluarkan (Koeswara, 1991: 46).
26 b) Sublimasi Sublimasi disebut juga dengan pengalihan. Sublimasi di sini maksudnya adalah bila seseorang memiliki perasaan yang kurang nyaman ia dapat mengalihkan ketidaknyamanan itu ke tindakan lain yang dapat lebih diterima (Minderop, 2013: 34). Freud menyatakan bahwa sublimasi mengarah pada perkembangan peradaban seperti seni dan ilmu pengetahuan. Sublimasi ini mengubah dan menyesuaikan dorongan primitif dari id ke dalam bentuk (tingkah laku) yang bisa diterima bahkan dihargai oleh masyarakat. c) Proyeksi Proyeksi adalah pengalihan dorongan, sikap, tingkah laku yang menimbulkan kecemasan kepada orang lain. Orang lain tersebut dapat berupa individu maupun kelompok yang biasanya bersifat minoritas. Proyeksi biasanya terjadi ketika individu tersebut melakukan kesalahan kemudian ingin menutupinya dengan melimpahkan masalah dan kesalahan itu kepada orang lain (Minderop, 2013: 34). d) Pengalihan (Displacement) Pengalihan atau pemindahan adalah penggantian sebuah pemuas kebutuhan dengan pemuas kebutuhan yang lain. Mengganti objek yang menimbulkan kecemasan dengan objek yang tidak menimbulkan kecemasan. Mengganti kecemasan dengan sesuatu yang lebih aman (Olson dan Hergenhahn, 2013:63). Pengalihan dapat juga disebut pengalihan kecemasan kepada objek lain yang memiliki tingkat bahaya lebih rendah dibanding objek awal. e) Rasionalisasi (Rasionalization) Hilgard (dalam Minderop, 2013: 35) menjelaskan dua tujuan adanya rasionalisasi yaitu mengurangi kekecewaan ketika ia gagal mencapai tujuan dan memberikan motif yang dapat diterima perilaku. Rasionalisasi terjadi apabila motif nyata tidak dapat diterima oleh ego. Motif nyata tersebut akhirnya digantikan oleh motif pengganti yang perlakuan ini sering kita sebut dengan tujuan pembenaran. Individu berusaha memutarbalikkan kenyataan yang mengancam ego. Agar tidak lagi
27 mengancam, individu membuat dalih atau alasan tertentu yang semasuk akal mungkin (Koeswara, 1991: 47). f) Reaksi Formasi (Reaction Formation) Reaksi formasi adalah sistem pertahanan ego yang cenderung melakukan sikap perlawanan dengan dorongan yang ditekan. Reaksi formasi dapat mencegah individu berperilaku yang menghasilkan kecemasan dan mencegah antisosial (Minderop, 2013: 37). g) Regresi Regresi adalah mekanisme pertahanan ego yang mengembalikan individu ke perkembangan sebelumnya yang lebih aman. Individu tersebut menghindarkan dirinya dari kenyataan yang mengancam. Kembali ke taraf yang rendah tersebut mengakibatkan tingkah lakunya mengikuti tingkat perkembangan yang diduduki (Olson dan Hergenhahn, 2013: 68). Terdapat dua interpretasi mengenai regresi, pertama adalah retrogressive behavior. Retrogressive behavior yaitu perilaku individu yang mirip anak kecil, menangis dan sangat manja agar memperoleh perhatian dan rasa aman dari orang lain. Kedua, primitivation adalah ketika seorang dewasa yang bersikap tidak berbudaya dan kehilangan kontrol diri sehingga terkadang sampai berkelahi (Minderop, 2013: 38). h) Agresi dan Apatis Agresi adalah perasaan marah pada seseorang. Perasaan marah tersebut dapat menimbulkan kegelisahan yang berujung pengrusakan atau penyerangan. Agresi ada dua jenis yaitu langsung dan pengalihan. Agresi langsung adalah agresi yang diungkapkan langsung kepada objek yang merupakan sumber kemarahan. Bagi orang dewasa agresi langsung lebih sering berbentuk verbal daripada fisikal, sedangkan agresi yang dialihkan adalah jenis agresi yang tidak dapat diungkapkan oleh individu karena sumber yang tidak jelas. Pengalihan ini sering disebut pelampiasan kepada pihak yang tidak bersalah. Apatis adalah bentuk lain dari reaksi terhadap kemarahan
28 atau frustasi yang diwujudkan dengan menarik diri dan seakan-akan pasrah (Minderop, 2013: 39). i) Fantasi dan Stereotype Fantasi adalah cara lain menghadapi frustasi yang berlebihan dengan cara menghayalkan sesuatu untuk mengurangi dorongan. Stereotype adalah tindakan yang memperlihatkan perilaku pengulangan terus menerus. Pengulangan tersebut aneh dan kurang bermanfaat (Minderop, 2013: 39). 4) Klasifikasi Emosi a) Rasa Bersalah Rasa bersalah dapat disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adanya konflik antara ekspresi impuls dan standar moral. Rasa bersalah dapat pula disebabkan oleh perilaku neurotik, yaitu ketika individu itu tidak mampu mengatasi masalah hidupnya. Rasa bersalah muncul dari adanya persepsi perilaku seseorang yang bertentangan dengan nilai-nilai moral atau perilaku yang berlaku. Rasa bersalah ini dapat diakui oleh seorang individu, namun dapat pula hanya dipendam. b) Menghukum Diri Sendiri Menghukum diri sendiri adalah wujud dari rasa bersalah yang paling menganggu. Rasa bersalah tipe ini dapat memberikan implikasi terhadap berkembangnya gangguan-gangguan kepribadian. c) Rasa Malu Konsep rasa malu berbeda dengan rasa bersalah. Rasa malu adalah perasaan kurang nyaman karena melanggar keumuman, namun bukan melanggar nilai-nilai moralitas. d) Kesedihan Kesedihan berhubungan dengan kehilangan sesuatu yang penting dan bernilai. Kehilangan tersebut mengakibatkan kekecewaan dan penyesalan. Semakin bernilai sesuatu yang hilang tersebut, maka tingkat kesedihannya pun semakin tinggi. Kesedihan yang mendalam dapat membuat individu depresi dan putus asa yang menjurus kecemasan, akibatnya dapat menimbulkan insomnia, tidak memiliki napsu
29 makan, timbul perasaan jengkel dan menjadi pemarah serta menarik diri dari pergaulan. e) Kebencian Kebencian berhubungan erat dengan perasaan marah, cemburu, dan iri hati. Ciri khas perasaan benci adalah adanya keinginan menghancurkan objek yang jadi sasaran kebenciannya. Seseorang tidak akan merasa puas sebelum objek tersebut benar-benar hancur. f) Cinta Cinta adalah perasaan tertarik kepada pihak lain dan berharap mendapat timbal balik yang sama. Cinta diikuti oleh perasaan setia dan sayang. Cinta adalah perasaan yang tidak mementingkan diri sendiri. Patut disyukuri bahwa meskipun beberapa pihak menyatakan bahwa kajian psikologi sastra kurang diminati atau lamban dalam perkembangannya, namun masih dapat ditemukan peneliti yang menggunakan psikologi sastra untuk sebuah analisis karya sastra. Asep Sundana (2013) dalam penelitiannya mengungkap kepribadian Nawai yang ternyata memiliki gangguan kejiwaan. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa Nawai sebagai tokoh utama dalam novel Rumah Lebah memiliki tujuh kepribadian sekaligus dalam satu tubuh. Kepribadian ganda Nawai diungkap menggunakan psikoanalisis Sigmund Freud. Berarti, psikoanalisis bukan hanya mampu mengungkap psikologi normal tetapi juga psikologi abnormal. Kelainan tersebut dimiliki Nawai karena trauma masa kecilnya yang sering mendapat perlakuan-perlakuan tak pantas. Persamaan antara kedua penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah samasama menggunkan teori Psikoanalisis Freud. Peneliti memilih teori psikologi tersebut karena menangkap ketidakseimbangan antara id, ego, dan superego, sehingga timbul gejala-gejala kecemasan, ketakutan, bahkan depresi yang terjadi pada tokoh utama. Selain itu, eksistensi teori Psikoanalisis sudah terbukti dengan adanya sumbangsih nyata pada penelitian-penelitian sebelumnya untuk mengemukakan aspek kejiwaan
30 normal maupun abnormal. Penggunaan teori Freud ini diperkuat dengan adanya percakapan tokoh yang menyinggung tentang Freud syndrom, sehingga ada kemungkinan besar bahwa penulis memiliki pemahaman tentang Psikoanalisis dan tidak menutup kemungkinan dalam menulis novel Bulan Nararya, pengarang menerapkan
Psikoanalisis.
Penelitian
mengenai
psikologi
sastra
tersebut
membuktikan bahwa kajian psikologi sastra itu tetap berkembang, namun secara perlahan-lahan. Hal tersebut diperkuat dengan adanya penelitian-penelitian serupa muncul tiap tahunnya. 4. Hakikat Pendidikan Karakter a. Pengertian Pendidikan Karakter Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action) (Wibowo, 2012: 33). Ketiga aspek yang disebutkan tadi saling berpengaruh dan merupakan dasar pendidikan karakter yang efektif. Istilah pendidikan berasal dari bahasa Latin edukasi, dari akar e, ex, (keluar) dan ducere, duct, duco (memimpin, mengadakan, membangunkan), sedangkan dalam pengertian bahasa Indonesia, pendidikan diambil dari kata dasar ”didik” yang berarti proses perubahan pikiran dan perasaan, perilaku secara keseluruhan, baik terhadap individu maupun kelompok (Ratna, 2014: 74). Pendidikan adalah mata rantai yang menghubungkan semua aspek kehidupan manusia. Pendidikan menjadi dasar hidup manusia setelah agama. Agama pun dipelajari dan ditanamkan menggunakan jembatan pendidikan yang disebut pendidikan keluarga. Seperti yang diungkapkan Mohammad Nuh (2013: 15) sebagai salah satu pemerhati pendidikan, pendidikan sangat berkaitan dengan kekinian dan kenantian. Generasi terdahulu dididik untuk hari ini dan generasi hari ini dididik untuk masa depan. Itulah gambaran nyata mengenai pentingnya pendidikan bagi generasi Indonesia. Pada tahun 2050 diperkirakan penduduk Indonesia akan mencapai sembilan miliar lebih dengan segala pemenuhan kebutuhan mereka seperti makan, energi dan air, oleh karena itu perlu diciptakan generasi yang siap
31 menanggung segala permasalahan dan tantangan yang muncul di masa depan. Generasi yang baik lahir dari pendidikan yang baik dengan proses yang baik pula. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang sistem pendidikan nasional berbunyi “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Melihat fungsi dari pendidikan nasional, pendidikan dan karakter adalah dua elemen yang tidak dapat dipisahkan. Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas dari tiap-tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, adat istiadat, dan estetika (Samani dan Hariyanto, 2013: 41). Dalam konteks universal pendidikan karakter awalnya muncul dan berkembang dilandasi oleh pemikiran bahwa sekolah tidak hanya bertanggung jawab agar peserta didik menjadi cerdas, tetapi juga harus bertanggung jawab untuk memberdayakan dirinya agar memiliki nilai-nilai moral yang memandunya dalam kehidupan seharihari. Pendapat lain mengenai pendidikan karakter datang dari Ratna (2014: 132) yang menyatakan bahwa pendidikan karakter merupakan proses pembentukan kepribadian, kejiwaan, dan psike, sekaligus hubungan seimbang dengan struktur kejasmanian, dalam rangka mengantisispasi pengaruh dari luar yang bersifat negatif. Prestwich & Tyra (dalam Almerico, 2014) berpendapat bahwa character education describes curriculum developed to teach children about essential traits needed to build good character. Is is deliberate effort to develop noble character and cultivate
32 core virtues that are worthy for the individual and society as a whole. It requires careful, calcuted, planning for success. Pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa (Samani dan Hariyanto, 2013: 45). Kesimpulannya, pendidikan karakter adalah proses pembentukan kepribadian dari segala dimensi, baik hati, pikir, raga, rasa dan karsa untuk mengantisipasi pengaruh negatif. Pendidikan karakter dapat disemayamkan ke dalam diri peserta didik melalui kebiasan. Menggunakan bahasa yang baik sebagai media komunikasi antar individu adalah salah satu wujud dari kebiasaan dalam pendidikan karakter. Publikasi Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional (2011) yang berjudul Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter menyatakan bahwa pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, gotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Dalam publikasi tersebut dijelaskan pula fungsi dari pendidikan karakter yaitu (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultural; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Almerico (2014) dalam jurnalnya menyatakan the benefits of character education are multifaceted going beyond the apparent outcomes of being a good person and responsible citizen. Melalui pendidikan karakter yang digaungkan secara besarbesaran tersebut, diharapkan generasi muda mampu menjadi insan yang taat beragama, berperilaku baik, tidak
melakukan hal-hal yang bersifat destruktif/
merugikan orang lain, peduli terhadap lingkungan sekitar dan bermanfaat bagi bangsa dan Negara. Dalam menyemayamkan pendidikan karakter pada peserta didik, diperlukan tekad yang kuat dan tahapan-tahapan yang konsisten.
33 b. Nilai Pendidikan Karakter Nilai pendidikan karakter adalah nyawa dari pendidikan karakter. Telah diidentifikasi sejumlah nilai pembentuk karakter yang merupakan hasil kajian empirik Pusat Kurikulum dan Perbukuan (2011: 8). Nilai-nilai yang bersumber dari agama, pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional tersebut adalah: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa ingin tahu, (10) Semangat kebangsaan, (11) Cinta tanah air, (12) Menghargai prestasi, (13) Bersahabat/ komunikatif, (14) Cinta damai, (15) Gemar membaca, (16) Peduli lingkungan, (17) Peduli sosial, (18) Tanggung jawab. Zainal Aqib (2012: 42) menyebutkan nilai pendidikan karakter yang harus dikembangkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia meliputi: (1) Berpikir Logis, (2) Kritis, (3) Kreatif dan Inovatif, (4) Percaya Diri, (5) Bertanggung Jawab, (6) Ingin Tahu, (7) Santun, dan (8) Nasionalis. Secara lebih rinci, Kemendiknas mendefinisikan masing-masing nilai pendidikan karakter berikut ini: Tabel 2.3. Deskripsi Nilai dalam Pendidikan Karakter (diadaptasi dari Kemendiknas, 2010: 9-10) Nilai Religius
Definisi Sikap patuh terhadap ajaran agama
yang dianutnya,
menghargai ajaran agama lain dan rukun terhadap pemeluk agama lain. Jujur
Perilaku yang berupaya menjadikan diri sendiri sebagai pribadi yang dapat dipercaya dalam hal perbuatan, perkataan dan pekerjaan.
Toleransi
Sikap yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan yang berbeda dengan dirinya.
Disiplin
Perilaku tertib dan patuh terhadap peraturan yang berlaku
Kerja Keras
Perilaku
yang
menunjukkan
kesungguhan
menyelesaikan tugas dengan segala hambatannya.
dalam
34
Nilai Kreatif
Definisi Berpikir untuk melakukan sesuatu yang dapat menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang dimiliki.
Mandiri
Sikap yang tidak mudah bergantung pada orang lain untuk menyelesaikan tugasnya.
Demokratis
Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama antara hak dan kewajiban dirinya dengan orang lain.
Rasa
Ingin Sikap yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam
Tahu
dari sesuatu yang dipelajarinya.
Semangat
Cara
Kebangsaan
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
berperilaku
bersikap
dan
berwawasan
yang
kepentingannya sendiri maupun kelompok. Cinta Tanah Sikap Air
yang
menunjukkan
kesetiaan,
kepedulian,
dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
Menghargai
Sikap
dan
tindakan
yang
mendorong
dirinya
untuk
Prestasi
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain.
Bersahabat/
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul
Komunikatif
dan bekerja sama dengan orang lain.
Cinta Damai
Cara bertingkah laku yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
Gemar
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
Membaca
bacaan.
Peduli
Perilaku yang berupaya mencegah kerusakan lingkungan alam
Lingkungan
sekitar dan upaya memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi.
35 Nilai
Definisi
Peduli Sosial
Perilaku yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan pertolongan.
Tanggung
Perilaku
seseorang
Jawab
kewajibannya
untuk
terhadap
diri
melaksanakan sendiri,
hak
dan
masyarakat
dan
lingkungan. Implementasi dari kedelapan belas nilai pendidikan karakter di atas merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, sekolah dan peserta didik sendiri. Dalam penanaman nilai pendidikan karater terdapat dua jalan yang dapat ditempuh. Pertama melalui jalan distribusi nilai kedalam mata pelajaran, kedua dengan dibiasakan melalui kegiatan sekolah seperti kegiatan ekstrakurikuler. Seperti yang dilansir dalam surat kabar online KOMPAS.com, “Semua guru, kepala sekolah maupun tenaga pendidikan yang lain bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah masing-masing, jadi nilai-nilai dalam pendidikan karakter diintegrasikan dalam mata pelajaran atau pembiasaan-pembiasaan dengan beragam cara yang tepat.” Menurut para ahli, implementasi pendidikan karakter melalui transformasi budaya dan perikehidupan sekolah, dirasakan lebih efektif daripada mengubah kurikulum dengan menambahkan materi pendidikan karakter ke dalam muatan kurikulum. Zulnuraini (2012) menyebutkan dalam jurnal hasil penelitiannya tentang implementasi pendidikan karakter di sekolah menunjukkan bahwa guru-guru sekolah dasar di kota Palu belum banyak yang memahami hakikat pendidikan karakter. Ketidakpahaman itu membuat guru-guru kesulitan mengintegrasikan nilai pendidikan karakter dalam diri siswa, sehingga beberapa nilai karakter tidak terpupuk dengan baik. Hal tersebut cukup menjadi gambaran bahwa implementasi pendidikan karakter selama ini belum maksimal, bahkan di tingkat dasar sekalipun. Dibutuhkan perhatian dari semua pihak terutama guru sebagai fasilitator utama dalam pembelajaran. Sebagai seorang pendidik, guru wajib memiliki karakter yang baik sebelum mengajarkan apa itu karakter kepada peserta didik. Ciri guru yang berkarakter di
36 antaranya (1) tidak menyukai sikap serba instan, (2) tidak meremehkan hal-hal atau prinsip, (3) tidak sembrono terutama pada hal yang berkaitan dengan penyimpanganpenyimpangan, (4) konsisten, (5) disiplin, dan lain sebagainya (Ismawati, 2013: 119). Gencarnya pembicaraan mengenai pendidikan karakter menunjukkan bahwa berbagai elemen sebenarnya memiliki tekad untuk menanamkan pendidikan karakter dengan sungguh-sungguh. Berbagai penelitian mengenai pendidikan karakter yang dilakukan para akademisi dan pihak-pihak yang berkecimpung di dunia pendidikan adalah upaya untuk menyukseskan pendidikan karakter sekarang ini. Penelitian Nima Lestianingsih (2013) adalah salah satu upaya untuk menyukseskan pendidikan karakter. Melalui penelitiannya ia menggali nilai-nilai pendidikan karakter
yang ada
dalam
novel
Partikel.
Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa novel Partikel mengandung beberapa nilai
pendidikan
karakter, diantaranya adalah (1) mandiri, (2) pantang menyerah, (3) rasa ingin tahu,
(4)
pemeliharaan
setia
kawan,
tumbuhan,
(5) binatang,
peduli
dan bertanggung jawab terhadap
dan
lingkungan alam sekitar, (6) cinta
lingkungan, (7) kerja keras, (8) keberanian, (9) taat kepada Tuhan Yang Maha Esa/ religius, (10) percaya diri, (11) bertanggung jawab, (12) rela berkorban, (13) gigih, (14) rajin, (15) toleran, (16) tidak pernah ingkar janji, (17) santun, (18) tabah, (19) kesadaran diri, dan (20) kasih sayang. Banyaknya nilai pendidikan karakter yang dicerminkan dalam novel Partikel dapat dijadikan referensi bacaan bagi peserta didik, sekaligus menanamkan nilai pendidikan karakter dengan cara yang menyenangkan. Persamaan antara penelitian diatas dengan penelitian ini adalah kajian mengenai nilai-nilai pendidikan karakter yang ada dalam sebuah novel. Adanya kesamaan ini mengindikasikan bahwa kedua penelitian tersebut relevan. Perbedaannya dengan penelitian kali ini adalah acuan nilai pendidikan karakter hanya akan difokuskan pada nilai-nilai yang dirumuskan oleh Kemendiknas saja.
37 5.
Hakikat Materi Ajar Materi ajar memiliki pengaruh yang besar terhadap pembelajaran di sekolah.
Guru sebagai penentu kegiatan pembelajaran harus mampu menyediakan bahan yang berkualitas sebagai materi ajar untuk siswa. Dalam memilih materi ajar tentunya seorang guru harus mempertimbangkan beberapa aspek. Aspek-aspek tersebutlah yang akan menentukan dapatkah materi tersebut menjadi jembatan pemahaman siswa sesuai kompetensi yang harus dicapai. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memilih materi ajar, di antaranya: (1) materi harus spesifik, jelas, akurat, mutakhir; (2) materi harus bermakna, otentik, terpadu, berfungsi, kontekstual, komunikatif; (3) materi harus mencerminkan kebhinekaan dan kebersamaan, pengembangan budaya, ipteks, mengembangkan kecerdasan berpikir, kahalusan perasaan, kesantunan sosial (Ismawati, 2013: 35). Bila dihubungkan dengan pembelajaran sastra, tiga aspek yang harus dipertimbangkan meliputi (1) bahasa, (2) kematangan jiwa, dan (3) latar belakang budaya peserta didik. Bahasa yang digunakan dalam karya sastra tentunya harus sesuai umur peserta didik, tidak terlalu kekanak-kanakan dan juga tidak terlalu berat untuk jenjang SMA. Selain itu materi ajar juga harus sesuai dengan perkembangan psikologinya. Jenjang SMA memasuki tahap generalisasi (umur 16 tahun ke atas) peserta didik memiliki minat untuk menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis suatu fenomena kemudian menemukan dan merumuskan penyebab fenomena itu terjadi. Peserta didik akan tertarik dengan karya sastra yang memiliki latar belakang dengan dirinya, apalagi dengan tokoh-tokoh yang berasal dari lingkungan yang sama dengan mereka (Rahmanto, 1988: 29). Dengan demikian seorang guru seharusnya memilih materi ajar yang latar ceritanya dikenal oleh para peserta didik. Hal ini tentunya menimbulkan dua keuntungan sekaligus yakni karya sastra sebagai materi ajar peserta didik menghadirkan sesuatu yang erat hubungannya dengan kehidupan mereka dan peserta didik akan terdorong mencintai budayanya sendiri dibanding budaya lainnya. Tiga aspek pemilihan karya sastra untuk pembelajaran yang diungkapkan Rahmanto
38 diperkuat oleh Oemarjati (2012: 50) yang menyebutkan tiga aspek yang sama yaitu bahasa, perkembangan jiwa siswa dan latar belakang siswa. Suhita (2010: 13) melalui jurnal Pendidikan Bahasa dan Seni menyimpulkan ketepatan materi ajar dalam pembelajaran sastra adalah harus memenuhi syarat. Syarat tersebut adalah kesesuaian dengan kemampuan siswa, sesuai dengan perkembangan psikologi siswa, dan panjang/ pendeknya memenuhi alokasi waktu. Sesuai dengan tujuan pembelajaran apresiasi sastra, pemilihan materi yang akan digunakan harus bersifat informatif mengenai pengetahuan apresiasi sastra, mampu menanamkan serta mengembangkan keterampilan murid dalam mengapresiasi karya sastra, serta dapat mengembangkan sikap yang baik dari murid terhadap karya sastra (Tanuwijaya, dkk, 2013: 23). Kesesuaian materi ajar, minat, serta kemampuan siswa yang baik tidak hanya memberikan informasi yang bersifat akademis, melainkan juga siswa dapat menikmati dan menghayati karya sastra yang dipelajarinya. Beberapa pihak memersepsikan sama antara materi belajar dengan bahan ajar. Berikut ini hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam memilih bahan ajar (Sudjana, 2013: 71): a. Memiliki kesesuaian dengan tujuan pembelajaran. Hanya bahan ajar yang memiliki keserasian dan bersifat menunjang tujuan pembelajaran yang perlu diberikan guru b. Urgensi bahan artinya bahan itu penting untuk diketahui oleh siswa. Bisa jadi bahan tersebut merupakan landasan untuk mempelajari bahan selanjutnya c. Memiliki kesesuaian dengan tuntutan kurikulum artinya bahan tersebut minimal wajib diberikan sesuai tuntutan kurikulum d. Keterbatasan buku sumber. Hubungan antara bahan dan buku sumber adalah saling melengkapi dimana kekurangan-kekurangan dari buku sumber dapat ditutup dengan bahan ajar Tidak semua karya sastra dapat dijadikan materi atau bahan ajar. Akan lebih baik, jika materi atau bahan ajar tersebut selain meningkatkan aspek kognitif juga melibatkan aspek afektif dan psikomotor. Lebih-lebih melalui karya sastra yang
39 diajarkan di kelas mampu membentuk pribadi peserta didik yang sejalan dengan penanaman pendidikan karakter. Wibowo (2013: 131) menjelaskan kriteria genre sastra yang patut diberikan kepada peserta didik untuk menunjang pendidikan karakter adalah sebagai berikut: a. Sastra yang mengandung nilai literer-estetis adalah genre sastra yang mengandung nilai keindahan, kebagusan, kenikmatan yang dimungkinkan oleh segala unsur dalam karya sastra b. Sastra yang mengandung nilai humanistis adalah genre sastra yang mengandung nilai
kemanusiaan,
menjunjung
harkat
dan
martabat
manusia,
serta
menggambarkan situasi dan kondisi manusia dalam menghadapi aneka masalah kehidupan c. Sastra yang mengandung nilai etis dan moral dalam karya sastra, mengacu pada pengalaman manusia dalam bersikap dan bertindak, melaksanakan yang benar dan salah, serta bagaimana seharusnya tanggung jawab dan kewajiban dilakukan d. Sastra religius-sufistis-profetis adalah genre sastra yang menyajikan pengalaman spiritual dan transendental, artinya karya sastra tersebut mampu menjadi jembatan penghubung manusia dengan Tuhannya. Senantiasa mengingat dan mencintai Tuhannya Penelitian yang mengkaji tentang relevansi sebuah karya sastra sebagai materi ajar apresiasi sastra di SMA adalah penelitian yang dilakukan oleh Nurul Hidayah (2013). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa novelet yang berjudul Ketika Mas Gagah Pergi dan Kembali dapat digunakan atau relevan dengan pembelajaran apresiasi sastra karena merupakan salah satu novelet yang diciptakan dengan menggambarkan ajaran-ajaran Islam sebagai bentuk kesucian jiwa yang sering dilupakan. Dari novelet tersebut siswa dapat mengambil beberapa amanat untuk membentuk kepribadian yang baik dan selalu beribadah pada Sang Pencipta dalam wujud amal nyata dengan tanggap pada diri sendiri. Apabila dijadikan materi ajar pada pembelajaran apresiasi sastra amanat-amanat, tersebut akan tersampaikan secara
40 langsung kepada siswa. Persamaan antara penelitian yang sudah dilakukan oleh Nurul Hidayah dengan penelitian ini adalah sama-sama ingin mengungkapkan relevansi dari sebuah karya sastra dengan pembelajaran apresiasi sastra yang dalam hal ini dijadikan salah satu bahan untuk materi ajar di SMA. Hanya saja, dalam penelitian kali ini karya yang digunakan adalah karya yang berbentuk novel, bukan novelet. 6. Hakikat Apresiasi Sastra a. Pengertian Apresiasi Sastra Apresiasi sastra adalah salah satu dari lima aspek pengajaran sastra. Aspekaspek tersebut meliputi teori sastra, sejarah sastra, kritik sastra, sastra bandingan dan apresiasi sastra. Dapat dikatakan bahwa aspek apresiasi sastra adalah aspek yang paling sulit diajarkan di sekolah karena menyangkut pada segi afektif siswa yaitu rasa, nurani, nilai dan lain sebagainya (Ismawati, 2013: 1). Istilah apresiasi berasal dari bahasa Inggris appreciation yang berarti penghargaan, penilaian, pengertian. Apresiasi sastra dapat diterangkan sebagai pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra, kegairahan kepadanya, serta kenikmatan yang timbul sebagai akibat dari semua itu (Rusyana, dkk, 1978: 7). Apresiasi sastra adalah upaya memahami karya sastra dengan mengetahui bagaimanakah cara untuk dapat mengerti sebuah karya sastra yang kita baca, baik fiksi maupun puisi, mengerti maknanya, baik yang intensional maupun aktual, dan mengerti seluk beluk strukturnya (Sayuti, 1996: 2). Hayati dan Muslich (tanpa tahun) memberikan pengertian lain mengenai apresiasi sastra yaitu penghargaan, penilaian, dan pengertian terhadap karya sastra, baik yang berbentuk puisi mapun prosa. Apresiasi sastra mengarah pada pembahasan karya sastra yang berkaitan dengan kehidupan. Karya sastra tersebut dapat berbentuk novel, cerpen, puisi, atau drama untuk mengungkap nilai-nilai kehidupan sesuai tema yang ada di dalam karya tersebut. Dapat disimpulkan bahwa apresiasi sastra dalam pengajaran sastra berfungsi sebagai wahana untuk belajar menemukan nilai-nilai kehidupan yang terdapat di dalam karya sastra yang diajarkan (Ismawati, 2013: 3). Tiga aspek yang diharapkan
41 dapat dimiliki siswa setelah pembelajaran adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang baik dalam mengapresiasi karya sastra Indonesia. Tingkatan apresiasi sastra dibagi menjadi tiga, yaitu: apresiasi tingkat pertama terjadi apabila seseorang seperti mengalami pengalaman yang ada dalam sebuah karya sastra secara intelektual, emosional dan imajinatif. Tahap kedua terjadi apabila pembaca mulai mengambil makna yang didapat dari membaca karya sastra tersebut. Tahap ketiga adalah tahap yang menyadarkan pembaca bahwa suatu karya sastra adalah gejala yang bersifat lalu. Tidak menutup kemungkinan pembaca mencoba menelaah karya sastra dengan memperhitungkan faktor sosiologis, filosofis, politis, ekonomis, dan lain sebagainya (Rusyana, dkk, 1978: 8-9). Dalam rangka menuju apresiasi sastra yang ideal, terdapat beberapa tingkatan yang harus dilalui. Tingkatan-tingkatan tersebut dijabarkan secara rinci oleh Ismawati (2013: 2) sebagai berikut: 1) Tingkat Menggemari Tingkat ini ditandai dengan adanya ketertarikan membaca buku-buku yang berkaitan dengan sastra, baik yang buku sastra fiksi maupun sastra nonfiksi. 2) Tingkat Menikmati Tingkat menikmati dapat ditandai dengan sikap dapat merasakan cipta rasa sastra. Cipta rasa tersebut dapat muncul baik dalam mendengarkan pembacaan puisi, membaca novel, melihat pentas drama atau aktivitas sastra lainnya. Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah dengan memberikan tepuk tangan diakhir acara, bukan suitan atau gurauan. 3) Tingkat Mereaksi Tingkat ini ditandai dengan munculnya keinginan menyampaikan pendapat tentang cipta sastra yang dinikmati. Bentuknya dapat berupa keinginan mengikuti lomba-lomba sastra, ikut dalam diskusi sastra, atau menulis resensi di media massa.
42 4) Tingkat Mereproduksi Pada tahap ini seseorang mulai menghasilkan karya sastra baik secara profesional maupun amatir. Hasil karya tersebut pada akhirnya dipublikasikan secara umum. b. Pembelajaran Apresiasi Sastra Pembelajaran apresiasi sastra terutama prosa (novel dan cerpen) menekankan pada pemahaman dan penanaman cinta membaca (hobi) karya sastra. Pembelajaran sastra terintegrasi dalam empat keterampilan berbahasa yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Integrasi materi sastra dalam keempat aspek keterampilan berbahasa tersebut tujuannya tiada lain adalah agar siswa memperoleh dan memiliki pengalaman berapresiasi sastra secara langsung. Dengan berapresiasi sastra, pengetahuan dan wawasan siswa akan bertambah; kesadaran dan kepekaan perasaan, sosial, dan religinya akan terasa; dan penghargaan dan rasa bangsa terhadap sastra sebagai khazanah budaya dan intelektual akan muncul (Emzir dan Rohman, 2015: 255). Pembelajaran sastra tidak akan pernah terlepas dari apa yang disebut karya sastra. Pembelajaran sastra tidak hanya mendalami aspek kognitif maupun persoalan ilmu pengetahuan. Pengajaran sastra harus lebih mendalami aspek afektif, lebih-lebih psikomotorik. Ini berarti pembelajaran sastra tidak terbatas pada pendalaman materi teori-teori sastra dan sejarah sastra, tapi lebih-lebih pada penghayatan nilai estetis, penghayatan dunia rasa dan imajinasi, penghayatan hal-hal yang bersifat immaterial, syukur-syukur tergugah untuk produktif
dan kreatif menciptakan bentuk-bentuk
sastra (Mujiyanto dan Fuady, 2011: 11). Berikut ini tujuan khusus pembelajaran sastra di sekolah menurut Emzir dan Rohman, 2015: 278): 1) Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosi dan sosial
43 2) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperluas budi pekerti serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa 3) Menghargai dan bangga terhadap sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia Pembelajaran apresiasi sastra yang ideal mengharuskan adanya role model yang dapat memberikan contoh atau teladan bagi peserta didik. Guru sebagai role model utama di sekolah harus mampu menguasai kompetensi sastra dengan baik, seperti mampu membaca puisi dengan baik, menulis karya sastra dengan baik, dan sering menghadiri diskusi sastra untuk menambah wawasan kesastraannya. Dalam penelitian yang dilakukan Ana Rohana, Gede Gunatama, dan I Made Astika (2014) menyebutkan bahwa kompetensi guru di bidang sastra kurang inovatif. Hal tersebut sangat terlihat ketika guru menyampaikan materi tentang puisi, vokal, artikulasi, kinestetik, irama, dan mimik sangat kurang. Guru hanya fokus pada penyampaian materi melalui ceramah di depan kelas. Pembelajaran sastra dan pendidikan karakter rupanya dapat berjalan beriringan dan dapat saling mendukung. Hal ini didukung oleh Rahmanto (1988: 16) yang menjelaskan bahwa pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat yaitu: membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa dan menunjang pembentukan karakter. Sehubungan dengan pembentukan karakter atau watak, pengajaran sastra harus mampu membimbing peserta didik untuk lebih peka untuk menunjuk mana yang bernilai dan tidak serta memberikan bantuan dalam mengembangkan kualitas kepribadiannya. Muslich (2011: 213) menambahkan bahwa pengajaran sastra memiliki peran bagi pemupukan kecerdasan siswa dalam semua aspek termasuk moral. Melalui aspresiasi sastra, misalnya, kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual siswa dapat dilatih, serta dikembangkan. Siswa tak hanya terlatih untuk membaca saja, namun mampu mencari makna dan nilai-nilai dalam karya sastra.
44 B. Kerangka Berpikir Adapun kerangka berpikir untuk penelitian ini adalah sebagai berikut: Psikologi
Novel Bulan Nararya
Sastra
Perkembangan Sastra
(c)
Unsur Intrinsik
Kejiwaan Tokoh
Nilai Pendidikan Karakter
Relevansinya dengan materi ajar apresiasi sastra di SMA
Peningkatan Pembelajaran Apresiasi Sastra di SMA Gambar 2.4. Skema Kerangka Berpikir
Implementasi Pendidikan Karakter
45 Perkembangan sastra yang semakin pesat menambah daftar judul novel dengan tema yang semakin beragam. Salah satu judul novel yang menarik untuk dijadikan bahan penelitian adalah novel berjudul Bulan Nararya. Dengan bantuan psikologi sastra, novel Bulan Nararya dapat dianalisis. Penelitian ini diawali dengan mengungkapkan unsur intrinsik yang ada dalam novel agar pembaca lebih mudah memahami isi novel. Penelitian ini akan mengkaji pula tentang kejiwaan tokoh dan nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam novel tersebut. Hasil penelitian tersebut akan direlevansikan dengan kebutuhan materi ajar pembelajaran apresiasi sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA). Penggunaan novel Bulan Nararya sebagai materi ajar akan meningkatkan pembelajaran apresiasi sastra di SMA dan menunjang implementasi pendidikan karakter di sekolah.