BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Gamavuton-0
(GVT-0)
dengan
nama
kimia
1,5-bis(4'-hidroksi-3'-
metoksifenil)-1,4-pentadien-3-on merupakan senyawa analog kurkumin yang memiliki efek farmakologis sebagai antioksidan, antiinflamasi, dan antitumor. Penghilangan gugus metilen aktif pada GVT-0 memperbaiki stabilitas pada pH basa (Supardjan dan Ridho, 2006). GVT-0 memiliki kekurangan yaitu kelarutan dalam air yang rendah sehingga absorbsi dan bioavailabilitas GVT-0 menjadi rendah dan mengurangi efek terapi yang diharapkan. Salah satu upaya memperbaiki kelarutan suatu senyawa non polar adalah dengan menggunakan sistem nanopartikel biopolimer dimana obat hidrofob dijerap, ditangkap, diadsorbsi, atau diikat secara kimia dalam kompleks polimer hidrofilik (Li dkk, 2008). Nanopartikel merupakan sistem penghantaran yang banyak diteliti karena dapat digunakan pada jalur non invasif (Tiyaboonchai, 2003). Penggunaan polimer hidrofilik untuk formulasi nanopartikel dapat memperpanjang masa tinggal obat dalam sirkulasi darah dalam penggunaan lepas terkontrol maupun site specific (Thwala, 2010). Polimer yang umum digunakan dalam sistem nanopartikel adalah biopolimer kitosan. Kitosan memiliki karakteristik yang baik sebagai pembawa dalam sistem nanopartikel karena bersifat biocompatible, biodegradable, nontoksik, murah, mukoadhesif dan dapat membuka tight junction antara sel–sel
1
2
epitel
glikoprotein
(Schipper dkk, 1997; Tiyaboonchai, 2003). Pemanfaatan
kitosan sebagai biopolimer yang mampu menjerap GVT-0 didukung oleh keberadaan gugus amina dalam struktur kitosan. Gugus amina kitosan dalam asam dapat membentuk gugus ammonium kuartener bermuatan positif yang dapat berinteraksi ionik dengan GVT-0 yang memiliki karakteristik parsial negatif pada atom O gugus karbonil sehingga pembentukan nanopartikel GVT-0 kitosan dapat terjadi secara mudah dan sederhana melalui metode gelasi ionik. Kitosan untuk penggunaan
dalam
nanopartikel
dibedakan
menjadi
beberapa
golongan
berdasarkan bobot molekul. Peningkatan bobot molekul terjadi akibat perpanjangan rantai molekul. Penelitian yang dilakukan oleh Kouchak dkk (2012) menunjukkan bahwa formulasi menggunakan kitosan viskositas sedang (medium viscose/ molecular weight) menunjukkan karakteristik ukuran yang lebih kecil serta persen entrapment efficiency yang lebih baik jika dibandingkan dengan kitosan viskositas kecil dan kitosan viskositas tinggi. Peningkatan stabilitas dari kompleks nanopartikel GVT-0 dan kitosan memerlukan penambahan suatu senyawa sebagai crosslinker yang dapat mengikat sisa kitosan tanpa bersaing dengan GVT-0. Salah satu crosslinker yang dapat digunakan adalah biopolimer alginat yang tersedia melimpah di alam serta bersifat biodegradable, biocompatible, dan non toksik. Variasi konsentrasi kitosan, alginat, dan GVT-0 merupakan variabel bebas untuk mengamati karakteristik fisik maupun kimia dari nanopartikel yang terbentuk. Karakteristik yang diuji dalam penelitian ini berupa pengamatan stabilitas fisik, pengamatan morfologi menggunakan Transmission Electron
3
Microscope (TEM), pengukuran persen entrapment efficiency, pengamatan stabilitas kompleks dalam artificial gastric fluid (AGF) danartificial intestinal fluid (AIF). B. Rumusan Masalah 1. Apakah formulasi Gamavuton-0 dengan kitosan viskositas sedang dan alginat secara gelasi ionik dapat menghasilkan nanopartikel GVT-0? 2. Bagaimanakah pengaruh komposisi kitosan, GVT-0, dan alginat yang terhadap karakteristik nanogamavuton-0 yang terbentuk? 3. Bagaimana stabilitas nanogamavuton-0 dalam AIF yang berisi larutan elektrolit dan AGF tanpa pepsin?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah menemukan solusi perbaikan solubilitas GVT-0 melalui pembentukan nanopartikel GVT-0 dalam matriks kitosan viskositas sedang dan alginat. 2. Tujuan Khusus a.
Untuk mengetahui apakah formulasi kitosan, gamavuton-0, dan alginat dapat menghasilkan nanopartikel.
b. Untuk mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi kitosan, alginat dan GVT-0 terhadap kualitas karakteristik fisikokimia nanopartikel yang dihasilkan.
4
c.
Untuk mengetahui stabilitas nanogamavuton-0 dalam artificial gastric fluid (AGF) tanpa pepsin dan artificial intestinal fluid (AIF) yang berisi larutan elektrolit.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai formulasi nanopartikel Gamavuton-0 (GVT-0) dalam matriks biopolimer kitosan viskositas sedang (KVS) dan alginat menggunakan metode gelasi ionik sebagai alternatif solusi perbaikan solubilitas GVT-0.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Gamavuton-0 Gamavuton-0 dengan nama kimia 1,5-bis(4'-hidroksi-3'-metoksifenil)-1,4-
pentadien-3-on merupakan analog dari kurkumin, suatu pigmen berwarna kuning dan senyawa aktif dari turmeric. Kurkumin memiliki efek hepatoprotektif terhadap berbagai hepatotoksin, efek antiinflamasi, antikarsinogenik, antimikroba, serta menekan proliferasi sel tumor (Malesu dkk, 2011; Nurrochman dkk, 2012). Pemanfaatan kurkumin sebagai agen terapi baru yang poten terhambat oleh karakteristik fisikokimia kurkumin yang peka terhadap cahaya dan pH, serta bioavailabilitasnya yang rendah akibat kelarutan yang buruk dalam air. Modifikasi kurkumin menjadi GVT-0 bertujuan untuk meningkatkan stabilitas kurkumin tanpa mempengaruhi efek biologisnya. Modifikasi berupa penghilangan gugus metilen aktif sehingga GVT-0 memiliki stabilitas yang lebih
5
baik dibandingkan kurkumin pada pH basa (Sardjiman dkk, 1997 dalam Suparjan dan Ridho, 2006). Senyawa Gamavuton-0 diperoleh dengan mereaksikan vanillin dan aseton menggunakan katalis asam melalui reaksi Claisen-Schmidt. GVT-0 merupakan diena simetris pada bagian tengah yang menghubungkan dua cincin aromatik, sehingga GVT-0 memiliki dua bagian α,β unsaturated. Atom O karbonil memiliki karakteristik parsial negatif sehingga dalam kondisi terionisasi dapat bertindak sebagai nukleofil dan menyerang suatu kation. Pada GVT-0 tidak terdapat gugus metilen aktif seperti pada kurkumin. Gugus metilen aktif dapat terhidrolisis pada pH basa dan mengakibatkan degradasi fotokimia oleh cahaya (Tonnesen dan Karlsen, 1985 dalam Wulandari, 2013) sehingga penghilangan gugus tersebut mengakibatkan GVT-0 lebih stabil terhadap pengaruh pH dan cahaya.
Gambar 1. Struktur kimia Gamavuton-0
Penelitian parameter toksisitas pada GVT-0 memberikan respon yang baik. Hasil pengujian toksisitas akut dan subakut GVT-0 dalam pemaparan selama 24 jam dan 30 hari tidak menunjukkan efek toksik pada parameter hematologi dan kimia darah maupun urin pada tikus jantan dan tikus betina. Pengamatan pada organ–organ vital seperti paru–paru, ginjal, hati, usus dan limpa secara makroskopis
maupun
mikroskopis
abnormalitas (Ikawati, 2008).
juga
tidak
mengindikasikan
adanya
6
Meskipun GVT-0 memiliki stabilitas yang lebih baik dengan efek farmakologis yang tidak berbeda signifikan dari kurkumin, kemiripan kerangka inti GVT-0 dan kurkumin mengakibatkan sifat solubilitas yang mirip. GVT-0 praktis tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik. seperti aseton, dimetil sulfoksida, etanol, etil asetat (Sharma dkk, 2005). Kelarutan yang rendah pada pemakaian oral akan berdampak pada rendahnya absorbsi di usus, sehingga efek
farmakologis
yang
dicapai
tidak
maksimal
(Ravindranath
dan
Chandrasekhara,1980; Ravindranath dan Chandrasekara, 1981; Ravindranath dan Chandrasekara, 1982).
2.
Nanopartikel Nanopartikel merupakan partikel koloidal solid dengan ukuran berkisar
antara 1-1000 nm. Dalam teknologi farmasi umumnya berupa polimer nanopartikel, dimana obat dijerap, ditangkap, atau terikat secara kimiawi pada polimer alami atau sintesis yang bersifat biocompatible dan biodegradable. Berdasarkan proses penyiapannya, nanopartikel dapat dibedakan menjadi nanosphere dan nanocapsule (Allemann dkk, 1993 dalam Tiyaboonchai, 2003). Nanocapsule merupakan sistem membran, dimana obat ditangkap dalam rongga yang dikelilingi membran polimer (Nagavarma dkk, 2012). Sementara nanosphere merujuk pada partikel nano dengan sistem matrix (struktur monolitik) dimana obat terjerap atau terdispersi di permukaan polimer (Tiyaboonchai, 2003). Istilah nanopartikel digunakan untuk menyebutkan partikel berukuran nano secara
7
umum karena tidak dapat dibedakan tipe partikel yang terbentuk (Tiyaboonchai, 2003). Dalam teknologi farmasi pengembangan sistem penghantaran secara nanopartikel bertujuan untuk peningkatan solubilitas senyawa lipofilik, kontrol ukuran, karakter permukaan, melindungi obat bersifat labil dalam penghantaran, pelepasan bahan aktif mencapai situs aksinya dengan kecepatan yang optimum dan dosis yang sesuai untuk tujuan terapetik (Hermawan, 2012; Thwala, 2010). Nanopartikel mempermudah penggunaan obat melalui rute non invasif yaitu secara oral, nasal, dan ocular dan menunjukkan respon permeasi yang efektif melalui membran sel, juga stabil dalam aliran darah (Nagavarma dkk, 2012; Tiyaboonchai, 2003).
Gambar 2. Nanosphere dan Nanocapsule
Beberapa polimer nanopartikel larut dalam air pada kondisi pH fisiologis. Polimer tersebut dapat menjerap air dalam jumlah besar dalam jaringan strukturnya. Nanopartikel dengan tipe polimer seperti ini dikenal dengan istilah nanogel. Nanogel umumnya dapat dihasilkan oleh polimer-polimer dengan gugus fungsi bersifat hidrofil seperti –OH, -COOH, -CONH2, dan SO3H, dimana gugus
8
tersebut dapat memerangkap air dalam struktur kompleks nano gel namun tidak mengakibatkan disolusi (Thwala, 2010). Nanohidrogel polimerik dapat menahan sejumlah besar air, sehingga dapat menjaga integritas struktural dan elastisitas kompleks nanohidrogel yang terbentuk. Secara umum Thwala 2010 menjelaskan pemanfaatan sistem penghantaran berukuran nano memiliki kelebihan berupa : (1). Dapat menembus kapiler terkecil karena ukurannya yang kecil. Hal tersebut juga mengurangi pengeliminasian yang cepat secara fagositosis, sehingga memperpanjang keberadaan obat dalam aliran darah. (2). Ukuran nano mempermudah penetrasi obat pada permukaan jaringan. (3). Sistem nano dapat dimodifikasi menjadi sediaan control release dengan modifikasi karakteristik bahannya. (4). Nanopartikel dapat meningkatkan efek obat dan mengurangi efek samping obat. Selain itu nanopartikel dapat berperan sebagai adjuvant yang baik bagi vaksin (Tiyaboonchai, 2003) dan memungkinkan penghantaran obat hasil rekayasa bioteknologi melalui berbagai anatomi tubuh yang ekstrim misalnya sawar otak, cabang saluran sistem pulmonary, tight junction dari sel epitel usus serta memungkinkan penetrasi yang lebih baik pada tumor yang memiliki poripori berdiameter 100-1000 nm (Rawat dkk, 2006). Dibandingkan dengan sistem pembawa yang lain seperti sistem emulsi submikron, nanopartikel memiliki stabilitas yang lebih baik dalam cairan biologis. Nanopartikel dapat melindungi obat dari kontak dengan cairan biologis juga
9
melapisi obat saat menembus lapisan membran intestinal, sehingga saat mencapai cairan intraseluler konsentrasi obat masih cukup tinggi (Thwala, 2010). Beberapa polimer juga memiliki pengaruh dalam proses menembus membran saluran intestinal. Beberapa polimer dapat bersifat mukoadhesif seperti pada alginat, juga dengan membuka epithelial tight junction seperti pada kitosan. Kedua
karakteristik
tersebut
mempermudah
proses
interaksi
kompleks
nanopartikel dengan permukaan mucus dan memperpanjang waktu aksi. Proses pemasukan nanopartikel ke dalam sel melalui mekanisme yang disebut pinositosis. Mekanisme uptake nanopartikel dijelaskan oleh Faraji dan Wipf, 2009 melalui gambar 3 dengan urutan proses : (1) Penempelan nanopartikel pada sel. (2) Internalisasi nanopartikel melalui endositosis. (3) Pelepasan nanopartikel dari endosomal. (4) Degradasi kompleks nanopartikel oleh lisosom. (5) Obat bebas berdifusi dalam sitoplasma (6) Penghantaran obat ke organel target oleh sitoplasma. (7) Eksositosis kompleks nanopartikel.
Gambar 3. Mekanisme cellular uptake agen terapi dengan pembawa nanopartikel (Faraji dan Wipf, 2009).
10
Polimer yang dapat digunakan dalam pengembangan sistem penghantaran nanopartikel dapat berasal dari alam maupun hasil sintesis, namun pada dasarnya polimer tersebut harus memenuhi kriteria berupa biodegradable, biocompatible, non-immunogenic, non toxic, murah, mudah disintesis dan dikarakterisasi (Tiyaboonchai, 2003). Beberapa polimer alami yang umum digunakan dalam formulasi nanopartikel adalah kitosan, Natrium alginat, gelatin dan albumin. Meskipun nanopartikel polimer memiliki banyak keuntungan, namun pada kenyataan tidak dapat diperoleh suatu sistem nanopartikel yang ideal. Penyiapan nanopartikel dengan polimer tidak larut air melibatkan panas, serta solven organik yang mengakibatkan rusaknya obat, sehingga penggunaan polimer larut air lebih efisien dikarenakan lebih sederhana dan tidak membutuhkan energi sebanyak polimer tidak larut air (Tiyaboonchai, 2003). Ada beberapa metode dalam karakterisasi maupun mengukuran nanopartikel yang terbentuk. Karakterisasi tersebut didasari oleh sifat-sifat dasar nanopartikel, di antaranya: (1) Ukuran partikel Partikel nano merupakan sistem padatan koloid dengan ukuran 1-1000 nm. Pengukuran ukuran partikel nano dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti metode Single-Particle Optical Sensing (SPOS) secara mikroskopi dan spektroskopi photon korelasi atau Dynamic Scattering (DLS). Pada korelasi photon ukuran partikel ditentukan dari gerak brown maupun sifat penghamburan cahaya. Hasil pengukuran partikel secara DLS kemudian
11
dapat dibuktikan secara mikroskopi dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) atau Transmission Electron Microscopy (TEM). SEM dan TEM tidak hanya mampu menunjukan ukuran partikel yang terbentuk melainkan juga dapat mengetahui morfologi serta distribusi ukuran partikel. Dalam sistem penghantaran secara nanopartikel parameter ukuran partikel dan distribusi ukuran memiliki peranan yang sangat penting. Keduanya mempengaruhi distribusi in vivo, toksisitas, kemampuan penargetan, muatan, pelepasan obat, juga stabilitas nanopartikel yang terbentuk (Singth dan James, 2009). (2) Sifat Permukaan Nanopartikel Parameter sifat permukaan nanopartikel yang terbentuk penting diketahui karena mempengaruhi stabilitas fisik sediaan yang terbentuk serta mempengaruhi interaksi dengan sistem biologis. Pengaruh sifat permukaan terhadap stabilitas fisik ditunjukkan oleh zeta potensial. Pengukuran potensial zeta memberikan informasi yang berkaitan dengan interaksi elektrostatik nanopartikel akibat muatan permukaan serta distribusi antar muka muatan permukaan. Potensial zeta yang lebih dari ± 30 mV memicu kestabilan suspensi dan pengurangan agregasi dan sedimentasi sehingga penurunan potensial zeta permukaan nanopartikel memicu stabilitas fisik yang buruk akibat cepatnya sedimentasi dan agregasi (Hermawan, 2012). Pengukuran potensial seta dapat dilakukan dengan alat Dynamic Laser Scattering (DLS), Zetasizer, Zeta Plus TM, Zeta Potential Analyzer (Singth dan James, 2009).
12
Respon klinis suatu obat dihasilkan oleh interaksi antara obat dengan situs aksi dalam sistem biologis yang dimulai dengan interaksi sistem biologis terhadap permukaan sediaan. Sehingga karakteristik permukaan sediaan nanopartikel akan berkaitan dengan respon klinis yang ditimbulkan. Sifat permukaan nanopartikel yang terbentuk juga dapat digunakan untuk memprediksi biodistribusi nanopartikel dalam sistem biologis. Beberapa metode pengukuran penting diantaranya berupa pengamatan permukaan protein absorban pada nanopartikel secara electrophoresis. Parameter hidrofobisitas permukaan juga mempengaruhi prilaku in vivo nanopartikel, parameter ini dapat dianalisis menggunakan Hydrophobic Interaction Chromatography (HIC) (Ober dan Gupta, 2011). (3) Entrapment Efficiency Entrapment
efficiency
merupakan
parameter
yang
menggambarkan
keberhasilan polimer memerangkap obat terlarut dalam proses pembentukan nanopartikel. Besarnya parameter ini tergantung pada mekanisme yaitu interaksi dua gugus yang berbeda muatan pada polimer dan obat sepanjang reaksi, struktur anion,dan muatan permukaan (Gupta dan Jabrail, 2007). (4) Uji Disolusi Pada pembuatan nanopartikel dengan tujuan peningkatan kelarutan obat bersifat sukar larut air harus dilakukan uji disolusi. Prosedur pengujian dan peralatan untuk pengujian ini telah dikembangkan secara komersial, dan umumnya pengujian dilangsungkan berupa simulasi disolusi dalam cairan fisiologis buatan dari waktu ke waktu (Ober dan Gupta, 2011).
13
3.
Kitosan Viskositas Sedang Kitosan merupakan polisakarida kationik rantai lurus alami yang tersusun
dari monomer glukosamin dan N-asetilglukosamin yang terhubung melalui ikatan 1-4 β-glikosidik. Kitosan diperoleh melalui N-deasetilasi parsial pada kitin, suatu biopolimer yang terdapat pada cangkang kepiting, udang, dan lobster. Secara alami kitosan juga dapat ditemukan pada mikroorganisme berupa yeast dan fungi (Illum, 1998).
Gambar 4. Proses deasetilasi kitin mejadi kitosan.
Kitin merupakan karbohidrat alami yang memiliki struktur mirip selulosa dengan monomer penyusun berupa N-asetilglukosamin. Deasetilasi kitin menggunakan NaOH pekat mengubah gugus asetil pada kitin menjadi gugus amina dalam kitosan, namun proses asetilasi sulit untuk secara mutlak mengubah keseluruhan gugus asetil menjadi amina sehingga kitosan tidak dapat dinyatakan sebagai poliglukosamin. Kitosan
mempunyai
rantai
tidak
linier
dan
mempunyai rumus umum (C6H11NO4)n atau disebut sebagai 1-4-amino-2deoksi-β-D-glukosa (Fernandez-Kim, 2004). Kitosan memiliki sifat kationik, biocompatible, biodegradable, non toksik, serta lebih basa dan nukleofilik jika dibandingkan dengan kitin. Karakter kitosan sebagai basa lemah mempengaruhi solubilitas kitosan. Kitosan memiliki pKa 6,5, sehingga kitosan tidak larut pada pH netral dan alkali, namun larut pada pH < 6
14
seperti dalam asam asetat, asam sitrat, dan asam aspartat (Hejazi dan Amiji, 2003). Di dalam asam, gugus amina pada kitosan akan mengalami protonasi menjadi amonium kuartener (NH4+) sehingga kitosan menjadi bermuatan positif. Proses protonasi ini yang meningkatkan kelarutan kitosan di dalam asam. Kitosan tidak larut dalam beberapa pelarut organik seperti dimetilsulfoksida (DMSO), dimetilformamida (DMF), alkohol organik, aseton, H3P04, H2SO4, sedikit larut pada HCl dan HNO3. Kitosan memiliki derajat deaselitasi dan rentang bobot molekul yang sangat luas. Berat molekul kitosan mempengaruhi kelarutan kitosan. Bobot molekul yang tinggi akan menurunkan kelarutan kitosan. Derajat deasetilasi merupakan derajat berkurangnya gugus asetil pada kitin yang mengalami perubahan menjadi amino pada kitosan. Derajat asetilasi pada kitosan dapat ditentukan dengan beberapa metode yaitu titrimetri HBr, Spektroskopi IR, FDUV Spektrofotometri, X-Ray diffraction, dan spektroskopi 1
H-NMR. Bobot molekul dan derajat deasetilasi dari kitosan merupakan faktor
utama yang mempengaruhi ukuran partikel, agregasi, dan formasi partikel kitosan (Tiyaboonchai,2003). Untuk pemakaian dalam formulasi sediaan farmasetik kitosan harus memiliki persyaratan seperti berwarna putih atau kekuningan, densitas 1,35 dan 1,40 g/cm3, pH 6,5-7,5, kandungan kelembaban <10%, derajat deasetilasi 70-100%,material tidak larut <1%, tidak berasa dan tidak berbau (Miyazaki dkk, 1981). Kitosan memiliki karakteristik unik sebagai polimer, yaitu bersifat mukoadhesif atau dapat melekat pada permukaan mukosa. Karakteristik
15
mukoadhesive ini diakibatkan oleh interaksi ionik antara gugus ammonium kuartener kitosan dengan permukaan mukus bermuatan negatif. Saat melekat pada permukaan mukosa kitosan dapat membuka sementara tight junction antar sel-sel epithel glikoprotein yaitu
asam sialat yang bersifat anionik. Pembukaan
sementara ini memberi waktu yang lebih panjang bagi interaksi dan transport obat ke dalam sel (Schipper dkk, 1997). Nanopartikel kitosan dapat dengan spontan dihasilkan melalui pembentukan kompleks dengan polianion atau melalui gelasi larutan kitosan dalam emulsi minyak (Sahoo dan Prusty, 2010). Nanopartikel kitosan dapat dimanfaatkan untuk penghantaran obat melalui jalur parenteral, peroral, ocular, dan sebagai vektor penghantaran gen non viral. Dalam penghantaran peroral nanopartikel kitosan mampu mengatasi permasalahan solubilitas, melindungi obat dari degradasi enzimatik, pelepasan terkontrol, serta perpanjangan waktu aksi melalui mekanisme ionik dengan musin (Sailaja dkk, 2011). Berdasarkan bobot molekul (BM) dan kelarutannya kitosan dikelompokkan menjadi : (1) kitosan larut asam dengan BM 800.000 sampai 1.000.000 Dalton (2) kitosan mikrokristalin (larut air) dengan BM sekitar 150.000 Dalton (3) kitosan nanopartikel dengan BM 23.000 Dalton sampai 70.000 Dalton, dapat berfungsi sebagai imunomodulator (Janes dkk, 2001). Sigma Aldrich kemudian menggolongkan kitosan nanopartikel menjadi tiga golongan
berdasarkan
pengamatan
bobot
molekular
dan
viskositasnya.
Pemanfaatan dalam formulasi nanopartikel secara gelasi ionik mengindikasikan
16
bahwa pemanfaatan kitosan viskositas sedang memberikan hasil berupa partikel dengan ukuran lebih kecil dan persen penjerapan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kitosan viskositas tinggi dan rendah (Kouchak dkk, 2012). KVS memiliki viskositas 200-800 cps, dan derajat asetilasi 75-85%.
4.
Alginat Alginat merupakan polisakarida alami yang dapat ditemukan pada spesies
alga coklat seperti Laminaria hyperborean, Ascophyllum nodosum, dan Macrocystis pyrifera. Keberadaannya di alam umumnya berupa garam dari beragam kation di laut seperti Mg2+ , Sr2+, Ba2+, dan Na+ (Thwala,2010). Alginat bersifat water soluble dan mengandung gugus 1,4 yang terikat residu asam amino α-L-guluronic and β-Dmannuronic (Li dkk, 2008).
Gambar 5.Struktur kimia polimer alginat.
Sifat alginat dipengaruhi oleh tingkat polimerisasi serta perbandingan komposisi guluronat dan mannuronat di dalam strukturnya. Asam alginat tidak larut dalam air dingin, namun sedikit larut dalam air panas, larut dalam alkohol, eter dan gliserol, mengendap di pH < 3,5. Alginat sangat stabil pada pH 5 – 10, sedangkan pada pH yang lebih tinggi viskositasnya sangat kecil akibat adanya
17
degradasi ß- eliminatif. Garam-garam (K, Na, NH4+, dn Ca2-) dan propilen glikol alginat larut dalam air dingin maupun panas, tapi garam kalsiumnya tidak dapat larut dalam kondisi pH>7. Alginat dalam industri farmasi memiliki rentang penggunaan yang sangat luas
karena
karakteristiknya
yaitu
mukoadhesive,
biodegradable
dan
biokompatibel (Li dkk, 2008), serta bersifat hemocompatible dan tidak terakumulasi pada organ tertentu pada penelitian degradasi in vivo (Sutherland, 1991). Sifat mukoadhesive alginat disebabkan oleh struktur alginat yang berupa anion polimer dengan ujung karboksilat yang merupakan agen mukoadhesive. Daya mukoadhesive alginat merupakan yang paling besar jika dibandingkan dengan polimer lain seperti polistiren dan kitosan. Sifat ini meningkatkan efektifitas dan bioavailabilitas obat melalui perpanjangan waktu transit obat di permukaan absorbsi (Thwala,2010). Garam natrium alginat dapat terion menjadi alginat anionik dalam pH yang lebih tinggi dibandingkan pKa natrium alginat (3,4 – 4,4) . Muatan negatif pada alginat terdapat pada gugus karboksilat dalam strukturnya, karakter ini memungkinkan alginat terionisasi mengalami interaksi ionik dengan suatu kation seperti kitosan terprotonasi. Selain itu, alginat juga memiliki sifat membentuk gel dengan keberadaan kation divalen seperti Ba2+, Sr2+, dan Ca2+. (Li dkk, 2008). Pemanfaatan alginat dalam sistem nanopartikel memiliki batasan, yaitu rendahnya stabilitas alginat dalam pH tinggi, dan adanya kemungkinan terlepasnya obat yang terenkapsulasi melalui pori nanopartikel alginat (Thwala, 2010). Keterbatasan alginat ini kemudian diatasi dengan penambahan gugus
18
aldehid, tiolasi alginat, pembuatan hydrophilic modified alginat, maupun pembuatan kompleks alginat dengan polimer lain seperti pektin, eudragit dan etil selulosa. Solusi pengatasan masalah alginat yang paling umum adalah melalui pembentukan kompleks polielektrolit yaitu pencampuran larutan berair dua polimer yang berlawanan muatan seperti kitosan dan alginat. Alginat merupakan polianion, sementara kitosan merupakan polikation, sehingga pencampuran alginat dan kitosan dalam kondisi normal dan membentuk kompleks polielektrolit yang mampu memerangkap obat di dalamnya. Selain itu perbedaan nilai pKa keduanya memungkinkan pergantian peran di dalam kondisi berbeda. Alginat tidak larut dalam pH rendah, sehingga dapat membantu kitosan dalam mempertahankan kompleks nanopartikel di tengah kondisi asam, sebaliknya kitosan memberikan dampak yang serupa di tengah kondisi basa (Thwala, 2010). Pemanfaatan alginat bersama kitosan sebagai matriks dalam kompleks nanopartikel menghasilkan perlindungan terhadap BSA dalam suasana asam selama kurang dari dua jam, perlindungan obat dalam pelepasan obat secara lepas lambat yang lebih efisien dibanding jika digunakan kitosan atau alginat secara tunggal dalam penjerapan obat, meningkatkan waktu kadaluarsa dan waktu paruh obat dalam cairan biologis, serta meningkatkan solubilitas senyawa non polar seperti nifedipin (Gazori dkk, 2009; Li dkk, 2008). Selain itu pemanfaatan kompleks kitosan alginat sebagai matriks penjerap kurkumin juga sudah diteliti oleh Das (2010) dan Malesu (2011).
19
5.
Gelasi Ionik Secara garis besar, proses pembuatan partikel berukuran nano memiliki dua
prinsip dasar yaitu : (1) Teknologi top down Merupakan proses pembuatan partikel berukuran nano dari bahan awal partikel berukuran yang lebih besar. Dasar teknologi ini berupa teknik pengecilan partikel menggunakan gaya mekanik, seperti proses ball milling dan homogenisasi tekanan tinggi. Teknik top down memiliki prinsip sederhana dengan kisaran bahan dasar yang luas (Ober dan Gupta, 2011). Hasil yang diperoleh dari cara ini berupa nanosuspensi. (2) Teknologi bottom up Merupakan kontra dari teknologi top down, dimana partikel nano justru diperoleh dari dispensi molekuler suatu senyawa. Teknik ini meliputi presipitasi fluida kritik dan difusi emulsifikasi. Emulsi terbentuk melalui pencampuran obat dan polimer larut air, yang selanjutnya dimasukkan dalam air yang telah ditambahkan surfaktan. Pengecilan droplet hingga skala nano dilakukan melalui proses homogenisasi atau sonikasi. Droplet dapat dipadatkan melalui proses evaporasi solven. Keuntungan teknik ini adalah pemilihan surfaktan yang cocok dapat memberikan efek lebih pada partikel nano yang dihasilkan (Ober dan Gupta, 2011). Dalam pengembangan nanopartikel kitosan terdapat empat metode pembuatan yaitu ionotropic gelation, microemulsion, emulsification solvent diffusion dan polyelectrolyte complex (Tiyaboonchai, 2003). Dalam metode gelasi
20
ionik, polisakarida (alginat, gellan, dan pektin) dilarutkan dalam air atau dalam asam lemah (untuk kitosan). Larutan tersebut kemudian ditambahkan pada larutan yang mengandung counter ions dalam kondisi pengadukan konstan. Berhubungan dengan terjadinya pembentukan kompleks oleh muatan yang saling berlawanan, polisakarida mengalami gelasi ionik dan mengendap membentuk partikel sferis. Partikel difiltrasi, dicuci dengan akuades dan dikeringkan. Teknik gelasi ionik pada nanopartikel kitosan pertama kali dilakukan oleh Calvo dkk, 1997 dan secara luas telah diuji dan dikembangkan (Janes dkk, 2001 ; Pan dkk, 2002). Metode ini melibatkan interaksi ionik antara 2 muatan berbeda yang berasal dari polimer (misalnya kitosan) dan obatnya sehingga obat berukuran kurang dari 1000 nm dapat terjerap dalam polimer (Amritkar dkk, 2011). Pada pembentukan nanopartikel kitosan, mekanisme didasari oleh interaksi elektrostatik antara gugus amina pada kitosan dan gugus bermuatan negatif dari suatu poli anion seperti tripolifosfat (Bodmeier dkk, 1989). Pembuatan nanopartikel menggunakan metode ini menggunakan preparasi yang sederhana dan mudah dengan pelaksanaan di lingkungan berair. Pembentukan nanopartikel terjadi secara spontan saat gugus bermuatan negatif berikatan dengan gugus ammonium kuartener pada kitosan dalam kondisi pengadukan konstan (Tiyaboonchai, 2003).
F. Landasan Teori Gamavuton-0
(GVT-0)
dengan
nama
ilmiah
1,5-bis(4‟-hidroksi-3‟-
metoksifenil)-1,4-pentadien-3-on merupakan salah satu analog kurkumin.
21
Modifikasi pada kurkumin menjadi GVT-0 berupa penghilangan gugus metilen aktif pada kurkumin yang bertanggung jawab pada degradasi fotokimia kurkumin oleh cahaya dan hidrolisis oleh basa, sehingga GVT-0 memiliki stabilitas yang lebih baik terhadap pengaruh pH dan cahaya (Tonnesen dan Karlsen, 1985). Pemanfaatan GVT-0 sebagai agen terapi baru masih terhambat oleh solubilitas GVT-0 dalam air yang rendah, sehingga mempersulit absorbsi di usus dan berdampak pada rendahnya bioavailabilitas GVT-0. Salah satu alternatif perbaikan solubilitas GVT-0 adalah melalui sistem penghantaran nanopartikel. Sistem penghantaran nanopartikel merupakan partikel koloidal solid dengan ukuran berkisar antara 1-1000 nm, dimana obat dijerap, ditangkap, atau terikat secara kimia pada polimer sintetik maupun alami. Sistem nanopartikel dapat meningkatkan solubilitas melalui penjerapan obat hidrofob dalam matriks polimer yang bersifat hidrofilik. Salah satu polimer hidrofilik yang banyak digunakan dalam sistem penghantaran nanopartikel adalah kitosan. Kitosan merupakan polisakarida kationik rantai lurus yang secara alami diperoleh dari N-asetilasi parsial senyawa kitin dari cangkang crustaceae. Kitosan merupakan
polimer
hidrofilik
dengan
karakter
kationik,
biocompatible,
biodegradable, non toksik,serta mukoadhesive. Pada pH asam kitosan mengalami protonasi sehingga gugus amina dalam strukturnya berubah menjadi ammonium kuarterner yang bermuatan positif. Sifat kationik kitosan tersebut memungkinkan kitosan untuk berinteraksi secara ionik dengan suatu anion membentuk kompleks nanopartikel. Pembentukan nanopartikel melalui interaksi ionik dua senyawa berlawanan muatan disebut sebagai metode gelasi ionik. GVT-0 memiliki atom O
22
karbonil yang memiliki pasangan elektron bebas dan bersifat parsial negatif sehingga keberadaan kitosan terprotonasi dalam larutan bersama GVT-0 dapat memicu interaksi ionik antara gugus nukleofilik dalam GVT-0 dengan gugus ammonium kuartener kitosan terprotonasi membentuk partikel nano GVT-0 dalam matriks kitosan. Kitosan dapat dibedakan berdasarkan bobot molekulnya, hal ini berkaitan dengan panjangnya rantai polimer dalam strukturnya. Pemanfaatan dalam formulasi nanopartikel mengindikasikan bahwa kitosan viskositas sedang (KVS) menghasilkan partikel nano berukuran lebih kecil dan persen penjerapan obat yang lebih tinggi. Karakteristik polimer kitosan yang memungkinkan terdapat lebih dari satu gugus amina dalam strukturnya dapat mempengaruhi stabilitas kompleks nanopartikel yang dibentuk sehingga dibutuhkan counter ion yang mampu mengikat sisa ammonium kuartener pada kitosan terprotonasi. Counter ion bertindak mengikat kelebihan ammonium kuartener dalam rantai sehingga mengurangi gaya tolak menolak internal molekul kitosan. Salah satu anion yang dapat digunakan adalah biopolimer alginat. Alginat merupakanbiopolimer anionikkomponen struktural dalam tanaman alga coklat (Phaeophyceae). Alginat memiliki karakter tahan pada pH asam, sehingga mampu melindungi kompleks nanopartikel pada kondisi medium asam. Penggunaan kompleks kitosan-alginat sebagai matriks pada penghantaran berupa nanopartikel telah terbukti mampu meningkatkan kelarutan dan stabilitas berbagai sebagai non polar seperti nifedipin dan kurkumin.
23
G. Hipotesis Dari kajian pustaka yang telah dilakukan, dapat diajukan hipotesis sebagai berikut : 1.
Nanopartikel GVT-0 dengan polimer kitosan rantai sedang dapat terbentuk pada kombinasi kadar GVT-0 : KVS : Alginat (%) dalam rentang kadar yang ditentukan secara gelasi ionik.
2.
Nanopartikel yang terbentuk melalui komposisi optimum ketiga formula dapat memperbaiki kelarutan GVT-0 melalui pengamatan karakteristik fisikokimia nanopartikel yang dihasilkan yaitu berupa stabilitas fisik formula, morfologi partikel, serta persen Entrapment Efficiency.
3.
Nanopartikel GVT-0 yang dihasilkan memiliki stabilitas yang baik dalam mempertahankan obat terjerap melalui saluran pencernaan yang digambarkan melalui AGF dan AIF.