BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang
Tanaman obat telah menjadi bagian yang sangat penting bagi kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan perawatan kesehatan primer. Menurut World Health Organization (WHO), lebih dari 80% dari populasi manusia di dunia bergantung pada sistem pengobatan tradisional untuk beberapa aspek perawatan kesehatan primer (Hasan, 2010). Pacing yang dikenal dengan nama ilmiah Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith merupakan satu dari sekian banyak tanaman obat yang yang bermanfaat sebagai antifertilitas. Menurut Sari (2013), selain diosgenin senyawa fenolik termasuk tanin juga bertanggung jawab atas aktivitas anti-spermatogenesis dalam tanaman pacing. Tanaman pacing memiliki laju multiplikasi rendah, viabilitas benih buruk, dan persentase perkecambahan biji rendah. Hasil pemotongan vegetatif pacing menghasilkan perakaran yang sangat lambat (Robinson, 2009). Secara umum di masyarakat, bagian tanaman pacing yang digunakan sebagai antifertilitas adalah rimpang (Pawar, 2014). Permintaan obat tradisional yang lebih besar menyebabkan peningkatan pemanenan tanaman secara besar-besaran sehingga terjadi penipisan sumber daya spesies tertentu rentan terhadap eksploitasi. Bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan baku obat tradisional serta cara pemanenannya mempengaruhi sustainabilitas tanaman. Secara umum penggunaan akar,
1
2
rimpang, atau seluruh bagian tanaman memiliki dampak
lebih besar pada
dibandingkan dengan biji, daun, bunga, dan buah (Kuipers, 1997). Rimpang pacing dilaporkan mengandung diosgenin hingga 3.37% (Gautama & Vimala, 2013). Diosgenin merupakan konstituen utama yang ditemukan dalam tanaman pacing. Diosgenin dapat ditemukan di berbagai bagian tanaman pacing seperti batang, daun, bunga dengan berbagai macam kadar (Dasgupta dkk., 1970). Kandungan total fenolik dapat dihasilkan dari sejumlah molekul sederhana yaitu senyawa fenolik, sampai dengan molekul kompleks seperti tanin (Robards dkk., 1999). Kandungan fenolik yang terdapat pada pacing umumnya terdapat pada daun, jaringan bunga, bagian berkayu seperti batang dan kulit kayu (Nehete, 2010) Penelitian dilakukan dengan penetapan kadar diosgenin dan tanin yang terhitung sebagai kadar fenolik total bagian daun, batang, dan rimpang dari tanaman pacing. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar penggantian penggunaan rimpang pacing yang umum digunakan menjadi bagian tanaman lain dari pacing sehingga sustainabilitas tanaman pacing di alam dapat terjaga. Dengan demikian, diharapkan dapat memberi manfaat terhadap pengembangan dan pengkajian potensi tanaman pacing yang berkhasiat sebagai bahan yang berpotensi sebagai kontrasepsi alternatif bagi pria.
3
B. 1.
Perumusan Masalah
Bagaimana perbedaan profil fitokimia ekstrak etanolik daun, batang, dan rimpang tanaman pacing?
2.
Berapa kadar fenolik total ekstrak etanolik daun, batang, dan rimpang tanaman pacing ?
3.
Berapa kadar diosgenin ekstrak etanolik daun, batang, dan rimpang tanaman pacing ?
C. Pentingnya Penelitiam Bahan baku steroid yang relatif murah dan aman diperoleh dari sumber daya alam khususnya nabati. Beberapa tanaman memiliki nilai komersial yang tinggi sebagai penghasil steroid. Tanaman pacing (Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith utamanya rimpang merupakan prekusor pembuatan obat anti-spermatogenesis tradisional yang telah digunakan dalam skala industri. Tanaman pacing memiliki reproduktivitas yang buruk dengan rendahnya presentase perkecambahan biji dan pertumbuhan hasil pemotongan vegetatif yang lamban. Hal ini menyebabkan eksploitasi penggunaan bagian rimpang tanaman pacing dapat mengancam sustainabilitasnya di alam. Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari tahu kadar diosgenin dan fenolik total dari bagian-bagian tanaman pacing sehingga dapat digunakan sebagai acuan konversi penggunaan bagian rimpang menjadi bagian lain dari tanaman pacing. Serta mempertimbangkan tingkat efisiensi proses produksi serta keramahan terhadap ekologi. Berdasarkan pertimbangan hal- hal diatas, maka
4
layaklah kiranya jika jenis penelitian ini diprioritaskan disamping penelitianpenelitian yang lain. D.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui : 1.
Mengetahui profil fitokimia ekstrak etanolik daun, batang, dan rimpang tanaman pacing
2.
Mengetahui kadar fenolik total ekstrak etanolik daun, batang, dan rimpang tanaman pacing.
3.
Mengetahui kadar diosgenin ekstrak etanolik daun, batang, dan rimpang tanaman pacing.
E. Tinjauan Pustaka 1. Tanaman pacing (Costus speciosus (Koen) J.E. Smith) Tanaman pacing memiliki deskripsi dan karakterisasi sebagai berikut : a. Morfologi Tumbuhan Pacing adalah herba dengan tinggi 0,5-3 m. Tangkai daun panjangnya maksimal 1,5 cm. Tata letak daum pada batang berupa spiralis dengan bagantata letak 1 spirostik. Helaian daun memanjang berbentuk lanset hingga oblong, ujung meruncing, di bagian bawah berambut berwarna hijau muda sedangkan bagian permukaan atas licin dengan warna hijau lebih tua. Pangkal daun tumpul, tepi daun rata, daging daun seperti belulang dengan tulang daun melengkung (cervinesis).
5
Batang merupakan batang basah (herbaceus), berbentuk bulat(teres), permukaan batang licin (laevis), arah tumbuh batang tegak lurus (erectus), percabangan pada batang semu monopodial, berwarna hijau sedikit kemerahan. Bunga duduk, bentuk bulir terminal rapat, putih, merah. Daun pelindung bulat telur sampai memanjang dengan ujung meruncing yang berduri menempel. Kelopak sebanyak 3 berwarna merah dan tidak rontok. . mahkota bunga sebanyak 3 buah. Panjang tabung mahkota kurang lebih 1 cm, lebar 0,5 cm, bentuk corong. Benang sari bentuk lanset, dengan garis tengah kuning dan ujung runcing, panjang 4-8 cm. Putik tunggal dengan 3 kepala putik. Terdapat 3 labellum berwarna putih, steril pada 1 labellum besar dan fertil pada 1 labellum kecil. Terdapat tangkai bunga berwarna hijau. Duduk bakal buah tenggelam. Buah kotak, bentuk telur, merah, tinggi 1,5-3 cm. (Pangestika, 2014; Steenis, 1975). b. Klasifikasi tanaman Menurut (Srivastava, 2011), klasifikasi tanaman pacing seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Tanaman pacing (Costus speciosus (Koen) J.E. Smith)
6
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Anak Kelas
: Zingiberidae
Bangsa
: Zingiberales
Suku
: Costaceae
Marga
: Costus
Jenis
: Costus speciosus (Koen) J.E Smith
c . N a m a S i n o ni m d a n N a m a D a e r a h Nama sinonim : Costus sericeous BI. Nama daerah
:
Sumatera
: Tabar-tabar (Batak), Galoba utan (Melayu), Kelacing (Bangka).
Jawa
: Pacing ( Jawa & Sunda), Binto (Madura).
Sulawesi
: Lingkuas in talun (Minahasa), Tampang tawara (Makasar), Tepu tawa (Bugis).
Maluku
: Tubu-tubu (Ambon), Muri-muri (Ternate) (Anonim, 1985)
d. Kandungan kimia Rimpang pacing merupakan sumber saponin seperti diosgenin, sapogenin,
tigogenin,
steroids
and
alkaloids.
Rimpang
juga
mengandung dioscin, prosapogenins A and B of dioscin, gracillin, kuinon, kurkumin dan tricontanol. Tigogenin dan diosgenin juga dapat
7
diisolasi dari batang pacing (Pawar & Pawar, 2014). Struktur diosgenin dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur diosgenin hasil isolasi pacing (Srivastava dkk.,2011 )
e. Manfaat Rimpang
yang
berumbi
dapat
dimakan
disaat
paceklik,
rimpangnya mengandung kurang lebih 66% karbohidrat, tetapi agak berserat. Batangnya yang empuk dapat dimakan sebagai sayuran. Rimpang dan bijinya mengandung diosgenin (1,25-3% dalam berat kering). Sari dari daun yang dihancurkan dan daun yang masih muda dapat digunakan sebagai obat luar penyakit mata dan telinga, sari dari rimpang yang masih segar dapat dipakai sebagai pencahar. Rimpang yang dimakan dengan pinang dapat dipakai sebagai obat luar penyakit kulit dan demam. Saponin dari rimpangnya mempunyai khasiat anti radang (Soegihardjo, 2005)
2. Metabolit sekunder Metabolit sekunder tertentu hanya ditemukan pada organisme spesifik,
8
atau bahkan strain (galur) yang spesifik, dan hanya diproduksi pada kondisi kondisi tertentu. Starting material (prekusor) biosintesis metabolit sekunder didapatkan dari proses metabolisme primer (Dewick, 1999). Secara garis besar hanya ada tiga senyawa antara pokok yaitu: asetat, shikimat dan mevalonat yang berasal dari proses metabolisme primer. Perkusor-prekusor ini disebut building blocks dari metabolit sekunder. Ciri spesifik metabolit sekunder tersebut dijelaskan oleh (Mursyidi dan Fatah, 1989) antara lain sebagai berikut : a. Struktur kimia beragam. b. Penyebarannya relatif terbatas. c. Pembentukkannya dipengaruhi oleh enzim dan bahan genetik tertentu. d. Proses biosintesisnya dipengaruhi oleh jumlah dan aktivitas enzim. e. Merupakan aspek spesialisasi sel dalam proses diferensiasi dan perkembangan organisme secara keseluruhan. Senyawa metabolit sekunder
dalam tanaman pacing yang
bertanggung jawab terhadap efek anti-fertilitas adalah diosgenin dan tanin. Diosgenin merupakan senyawa sapogenin steroid yang termasuk dalam golongan senyawa saponin. Sedangkan tanin merupakan suatu senyawa polifenol yang memiliki struktur yang kompleks. Senyawasenyawa metabolit sekunder tersebut diuraikan sebagai berikut. a. Saponin
9
Saponin merupakan senyawa sabun (bahasa latin = sapo) yang umumnya berasa pahit, menstabilkan emulsi, dan dapat membentuk buih saat dikocok dengan air. Secara fisika buih ini timbul karena adanya penurunan tegangan permukaan yang dapat mengkacaukan iktan hidrogen pada air. Saponin memiliki sifat menghemollisi sel darah merah, aktivitas hemolisis ini disebabkan karena Saponin dapat berikatan dengan kolesterol dari membran sel. Dikenal dua jenis saponin, saponin triterpenoid (gambar 3) dan saponin steroid (gambar 2). Kedua jenis saponin ini larut dalam air dan etanol, tetapi tidak larut dalam eter.
Aglikonnya disebut
sapogenin, diperoleh dengan hidrolisis asam atau menggunakan enzim, dan tanpa bagian gula ciri kelarutannya sama dengan ciri sterol lain (Robinson, 1995). Contoh steroid sapogenin adalah diosgenin, tigogenin, milagen, sarsapogen, yukagenin, batogen (gentrogenin), hekogenin. Saponin steroid dibedakan kembali menjadi
dua macam yaitu
saponin steroid netral (gambar 1) dan yang kedua saponin steroid alkaloid (gambar 2) (Hostettmann & Marston, 1995).
(1)
(2)
10
(3) Gambar 3. Kelas utama saponin yaitu Steroid dan Triterpenoid (1-3). Kelas Steroid ada dua macam yaitu steroid netral (1) dan yang kedua steroid alkaloid ( 2)
Diosgenin merupakan bentuk aglikon dari saponin steroid, aglikon diperoleh dengan menghidrolisis menggunakan asam atau enzim. Tanpa bagian gula ciri kelarutan diosgenin sama dengan ciri sterol lain (Robinson, 1995). Diosgenin adalah saponin spirostanol yang terdiri dari sebuah gula hidrofilik yang terhubung dengan hidrofobik steroid aglikon. Struktur dari diosgenin mirip dengan kolesterol dan senyawa steroid yang lain (Raju dkk., 2009).
Hasil penelitian (Tarigan, 1980),
diosgenin dari rimpang pacing dapat dikonversi menjadi suatu senyawa antara pada sintesis obat-obat steroid termasuk senyawa kontraseptik. Saponin steroid dan saponin triterpenoid dibiosintesis melalui jalur biosintesis
asetat dan mevalonat, sebelum terjadi siklisasi
terbentuk skualena. Untuk saponin steroid, hasil akhir yang
11
didapatkan dapat
berupa kolesterol atau inti steroid spiroketal
contohnya diosgenin. Biosintesis steroid saponin melalui jalur asam mevalonat. Reaksinya dimulai dari penggabungan asam asetat dengan koenzim A melalui kopling reaksi menjadi asetil koenzim A, atau disebut pula sebagai asetat aktif yang dalam proses biosintesis ternyata amat berperan (Trease & Evans,1989). Selanjutnya masing masing asetil koenzim A akan saling bergabung membentuk rantai yang lebih panjang menjadi asetoasetil KoA, kemudian membentuk β-hidroksiβ-metil glutaril-KoA. Selanjutnya akan mengalami reduksi yang membutuhkan 2 molekul NADPH2 menjadi asam mevalonat Dengan ATP, asam mevalonat akan mengalami fosforilasi menjadi asam 5fosfomevalonat yang seterusnya akan membentuk asam 5-pirofosfo3-fosfomevalonat. Selanjutnya dengan adanya eliminasi CO2 dan H2O serta pemasukan molekul ATP, akan membentuk 3-isopentenil pirofosfat. Isopentenil pirofosfat akan membentuk 3,3-dimetilalil pirofosfat. Dengan adanya isopentenil yang lain, dimetilalil pirofosfat akan membentuk geranil pirofosfat. Penambahan unit isopentenil yang lain pada geranil pirofosfat akan mengakibatkan terbentuknya farnesil pirofosfat. Farnesil pirofosfat dengan farnesil pirofosfat yang lain dan dengan NADPH2 akan membentuk skualen (Tyler dkk., 1988).
12
b. Senyawa Fenolik Senyawa
fenolik
atau
polifenol
merupakan
sekumpulan
metabolit sekunder yang memiliki cincin aromatik yang terikat dengan satu atau lebih substituen gugus hidroksi yang berasal dari jalur metabolism sikimat dan fenil propanoid. Termasuk dalam kelompok senyawa fenolik dan polifenol adalah fenol sederhana, asam fenolat, kumarin, tanin, dan flavonoid. Dalam tanaman, senyawa senyawa ini biasanya berada dalam bentuk glikosida atau esternya (Proestos,
2006).
Dengan kata lain, senyawa fenolik
adalah senyawa yang sekurang kurangnya memiliki satu gugus fenol (Vermerris & Nicholson, 2006).
Gambar 4. Gugus fenol
Senyawa senyawa fenolik umumnya ditemukan pada tanaman, baik yang dapat dimakan maupun tidak dapat dimakan, dan dilaporkan mempunyai sejumlah aktivitas biologis termasuk antioksidan. Ekstrak buah, sayuran, dan bahan bahan kaya senyawa fenolik menarik bagi kalangan industri makanan karena ekstrak ekstrak ini mampu memnunda kerusakan oksidatif senyawa senyawa lemak, sehingga meningkatkan nialai nutrisi suatu makanan (Kahkonen dkk., 1991).
13
Tabel I. Klasifikasi senyawa fenolik
Banyaknya variasi gugus yang mungkin tersubstitusi pada kerangka utama fenol menyebabkan kelompok fenolik memiliki banyak sekali anggota. Terdapat lebih dari 8.000 jenis senyawa yang termasuk dalam golongan senyawa fenolik. Oleh karena senyawa kimia yang tergolong sebagai senyawa fenolik banyak macamnya, berbagai cara klasifikasi dilakukan oleh banyak ilmuan. Salah satu metode klasifikasi adalah berdasarkan jumlah karbon pada molekul yang dilakukan oleh ( Harborne, 1964). Menurut (Vermerris &
14
Nicholson, 2006) rincian klasifikasi senyawa fenolik berdasarkan jumlah atom karbon dapat dilihat pada Tabel I.
1) Flavonoid Flavonoid adalah senyawa yang memiliki konfigurasi struktur C6-C3C6, yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh satuan tiga karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga. Pereaksi digunakan adalah Alumunium klorida yang tampak berpendar kuning pada sinar UV 366nm (Sutrisno, 1986). Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar. Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau (Markham, 1988). Lebih lanjut berdasarkan posisi cincin B terhadap cincin C pada flavonoid, senyawa flavonoid dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu flavonoid
(2-fenilbenzopiran),
isoflavonoid
(3-benzopiran),
dan
neoflavonoid (4-benzopiran) (Narais dkk., 2006).
2) Tanin Tanin merupakan senyawa polifenol yang berarti termasuk dalam senyawa fenolik. Tanin diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok utama yakni tanin terkondensasi, tanin terhidrolisis, tanin kompleks. Tanin terhidrolisis dibedakan menjadi gallotannins dan ellagitannins Tanin terhidrolisis adalah senyawa amorf berwarna kuning kecoklatan yang larut dalam air panas untuk membentuk dispersi koloid. Merupakan
15
ester yang dapat terhidrolisis dengan memanaskan bersama asam yang terlarut untuk menghasilkan komponen fenolik. Biasanya merupakan derivat dari asam galat dan gula yang sering dirujuk sebagai pyrogallol tanin (Harborne, 1987). Tanin terkondensasi merupakan polimer dari komponen fenolik berhubungan dengan flavonoid dan mirip secara umum dengan tanin terhidrolisis. Namun tidak terlalu larut dalam air dan perlakuan dengan memanaskan dalam larutan asam terbentuk warna merah-coklat yang tak larut yang disebut phlobaphenes atan tanin-merah (Farnsworth, 1966). Tanin kompleks didefinisikan sebagai sebuah unit catechin yang berikatan secara glikosida dengan gallotannins atau ellagitannin. Sesuai dengan namananya struktur senyawa ini menjadi sangat kompleks. Sedangkan pseudotannins adalah senyawa dengan berat molekul lebih rendah dari tanin yang sesungguhnya (Vermerris & Nicholson, 2006). Tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tak larut dalam air. Tanin dapat dideteksi dengan sinar UV pendek berupa bercak lembayung yang bereaksi positif dengan setiap pereaksi fenol baku. Elagitanin (tanin terhidrolisis) bereaksi khas dengan asam nitrit (NaNO2 ditambah dengan asam asetat) membentuk warna merah cerah yang kian lama berubah menjadi biru indigo (Harborne, 1987). Tanin dilaporkan mampu mengikat protein dan ion-ion yang terdapat dalam membran spermatozoa yang dapat menyebabkan enzim tirosin dan proses fosforilasi dalam membrane spermatozoa terganggu sehingga
16
menyebabkan terjadinya abnormalitas morfologi spermatozoa maupun viabilitas spermatozoa. Sedangkan senyawa polifenol diketahui dapat menghambat produksi spermatozoa dalam epididimis (Shandilya dkk., 1982 Cit. Sari dkk., 2013). 3. Folin-Ciocalteu Metode yang saat ini dikembangkan untuk mendeteksi senyawa fenol berasal dari sekitar 100 tahun yang lalu yang diinisiasi oleh Folin dan Denis (1912), yang melakukan penelitian dengan membuat metode kolorimetri untuk mendeteksi asam amino tirosin. Kemudian reagen Folin-Denis ini disempurnakan pada tahun 1927 oleh Folin dan Ciocalteu. Reagen ini tidak hanya dapat mendeteksi tirosin dan triptopan, melainkan juga dapat mendeteksi senyawa fenolik dari berbagai sumber secara luas (Vermerris & Nicholson, 2008). Folin-Ciocalteu digunakan untuk mendeteksi adanya fenol total. Pengujian ini didasarkan pada proses oksidasi senyawa fenolik yang diamati dengan timbulnya gugus kromofor akibat dari tereduksinya reagen. Adanya beberapa senyawa reduktor seperti asam askorbat, asam amino, xantin, protein, dan lainnya dapat mengganggu pengujian (Makkar, 2003).
4. Maserasi Maserasi termasuk salah satu metode ekstraksi. Pada umumnya ekstraksi dipengaruhi oleh empat faktor penting yakni yakni ukuran partikel berpengaruh terhadap luas permukaan yang menentukan kontak bahan dan pelarut, pelarut berpengaruh terhadap kelarutan komponen yang akan
17
diekstrak. Proses maserasi merupakan cara penyarian sederhana yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Karena perbedaan konsentrasi di luar dan di dalam sel, cairan penyarian akan menembus dindinbg sel dan akan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol atau pelarut lain. Maserasi pada umumnya dilakukan sebagai berikut sepuluh bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok dimasukkan ke dalam sebuah bejana, lalu dituangi 75 bagian penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindungi cahaya sambil sering diaduk. Setelah 5 campuran tersebut diserkai, ampas diperas. Ampas ditambahkan cairan penyari secukupnya, diaduk diserkai sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian. Bejana ditutup, dibiarkan ditempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari, kemudian endapan dipisah (Anonim, 1986). Cara penyarian ini mempunyai kelebihan yaitu cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan, sedangkan kekurangannya ialah cara pengerjaannya lama, penyariannya kurang sempurna, dan memerlukan pelarut dalam jumlah banyak (Anonim, 1986). Proses maserasi sampai saat ini masih banyak mengalami modifikasi untuk mendapatkan hasil yang optimum. Menurut (List dan Schmidt, 2000 ) maserasi dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu maserasi sederhana, maserasi
18
kinetik, dan maserasi menggunakan tekanan. Teknik maserasi kinetik yakni maserasi yang disertai pengadukan menggunakan shaker umunya membuat lebih efektif. Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan larutan diluar sel (Anonim, 1986).
5. Kromatografi lapis tipis Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan komponenkomponen atas dasar perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut pengembang atau pelarut pengembang campur. Pemilihan pelarut pengembang atau pelarut pengembang campur sangat dipengaruhi oleh macam dan polaritas zat-zat kimia yang dipisahkan (Mulja dan Suharman, 1995). Kromatografi lapis tipis adalah metode kromatografi cair paling sederhana. Kelebihan KLT adalah diperlukan sampel dan pelarut dalam jumlah sedikit, dapat diperoleh pemisahan senyawa yang baik, dan waktu pengerjaannya relatif singkat. Kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk tujuan analisis kualitatif, kuantitatif, preparatif maupun penjajakan sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan digunakan dalam kromatografi kolom Pada KLT, pemisahan senyawa berdasarkan perbedaan adsorpsi atau partisi solut antara fase diam dengan fase gerak secara kompetitif. Kemampuan
19
fase diam mengadsorpsi sangat bergantung pada topografi gugus aktif pada masing masing kompenen. Senyawa yang terikat kuat pada fase diam akan dielusi paling lama dan mempunyai nilai Rf (Retardation factor) kecil, sedangkan senyawa yang tidak terikat kuat pada fase diam akan terelusi terlebih dahulu dan mempunya harga Rf besar (Gritter dkk., 1991 Cit. Gandjar & Rohman, 2009).
Nilai Rf didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh solut dibagi jarak yang ditempuh fase gerak. Nilai maksimum Rf adalah 1 dan ini dicapai ketika solut mempunyai perbandingan distribusi (D) dan faktor retensi (k’) sama dengan 0, artinya solut bermigrasi dengan kecepatan yang sama dengan fase gerak. Nilai minimum Rf adalah 0 dan ini terjadi jika solut tertahan pada posisi titik awal di permukaan fase diam (Gandjar & Rohman, 2009). Harga Rf dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain struktur kimia senyawa yang dipisahkan, sifat menyerap, dan derajat aktivitasnya, tebal dan kerapatan lapisan penyerap, kemurnian fase gerak, tingkat kejenuhan uap di dalam bejana pengembangan, teknik percobaan (elusi secara menaik, menurun ataupun cara elusi 2 dimensi), jumlah cuplikan, suhu dan kesetimbangan (Sastrohamidjojo, 2002). Kromatografi lapis tipis digunakan secara luas untuk analisis solut-solut organik terutama dalam bidang biokimia, farmasi, klinis, forensik, baik untuk analisis kualitatif dengaan cara membandingkan nilai Rf senyawa baku atau untuk analisis kualitatif (Gandjar & Rohman, 2009).
20
a.
Analisis Kualitatif Kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk uji identifikasi senyawa baku. Parameter pada KLT yang digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf.
Dua
senyawa dikatakan identik jika mempunyai nilai Rf
yang sama jika diukur pada kondisi KLT yang sama. Untuk meyakinkan identifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan lebih dari satu fase gerak dan jenis pereaksi semprot. Teknik spiking dengan menggunakan senyawa baku yang sudah diketahui sangat dianjurkan untuk lebih memantapkan pengambilan keputusan senyawa (Gandjar & Rohman, 2009). b.
Analisis Kuantitatif Ada 2 cara yang digunakan untuk analisis kuantitatif dengan KLT. Pertama, bercak diukur langsung pada lempeng dengan menggunakan ukuran luas atau dengan teknik densitometry. Cara kedua adalah dengan mengerok bercak lalu menetapkan kadar senyawa yang terdapat dalam bercak dengan metode spektrofotometri. Pada cara pertama tidak terjadi kesalahan yang disebabkan oleh pemindahan bercak atau kesalahan ekstrasi, sementara pada cara kedua sangat mungkin terjadi kesalahan karena pengambilan atau karena ekstrasi (Gandjar & Rohman, 2009). Deteksi senyawa pada plat KLT dapat dilakukan dengan penyemprotan
(Harborne, 1987).
Ada dua segi penting mengenai penggunaan pereksi
semprot khas sebagai pengganti metode semesta seperti pengarangan dengan asam sulfat. Segi pertama ialah mengenai informasi gugus fungsi yang dapat
21
diperoleh. Segi kedua ialah mengenai derajat warna yang kecil terjadi jika pereaksi semprot dipakai, contohnya tidak ada alkaloid yang menghasilkan warna yang tepat sama apabila pereaksi Dragendorff dipakai (Gritter dkk, 1991). Berikut adalah cara-cara kimiawi yang dilakukan untuk mendeteksi bercak a. Menyemprot lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang aka bereaksi secara kimia dengan seluruh solut yang mengandung gugus fungsional tertentu sehingga bercak menjadi berwarna. Kadang-kadang lempeng dipanaskan terlebih dahulu untuk mempercepat reaksi pembentukan warna dan intensitas bercak. b. Mengamati lempeng di bawah lampu ultra violet yang dipasang panjang gelombang emisi 254 atau 366 untuk menampakkan solut sebagai bercak yang gelap atau bercak yang berfluoresensi terang pada dasar yang berfluoresensi seragam. Lempeng yang diperdagangkan dapat dibeli dalam bentuk lempeng yang sudah diberi dengan senyawa fluoresen yang tidak larut dimasukkan ke dalam fase diam untuk memberikan dasar fluoresensi atau dapat pula dengan menyemprot lempeng dengan reagen fluoresensi setelah pengembangan. c. Menyemprot lempeng dengan asam sulfat pekat atau asam nitrat pekat lalu dipanaskan untuk mengoksidasi solut-solut organik yang akan nampak sebagai bercak hitam sampai kecoklat-coklatan. d. Memaparkan lempeng dengan uap iodium dalam chamber tertutup.
22
e. Melakukan scanning pada permukaan lempeng dengan densitometer, suatu instrumen yang dapat mengukur intensitas radiasi
yang
direfleksikan dari permukaan lempeng ketika disinari dengan lampu UV atau lampu sinar tampak. Solut-solut yang mampu menyerap sinar akan dicatat sebagai puncak (peak) dalam pencatat (recorded) (Gandjar & Rohman, 2009).
Reagen yang digunakan sebagai penampak bercak dalam KLT dapat dibedakan menjadi dua, yaitu reagen umum (yang berlaku untuk hampir senyawa organik) sebagaimana terlihat pada Tabel II dan reagen khusus yang hanya mendeteksi jenis atau senyawa tertentu (Tabel III). Tabel II. Reagen umum yang digunakan dalam KLT (Gritter dkk, 1991) Metode deteksi
Warna bercak solute
Penggunaan
Asam fosfomolibdat + pemanasan
Biru gelap
Beberapa senyawa organik
Asam sulfat pekat + pemanasan
Hitam kecoklatan
Semua senyawa organik
Uap iodium
Coklat
Beberapa senyawa organik
Tabel III. Reagen spesifik yang digunakan dalam KLT (Gritter dkk., 1991)
Metode deteksi
Warna bercak solute
Penggunaan
Ninhidrin
Pink ke ungu
2,4-dinitrofenil hidrazon
Oranye/ merah
Asam-asam amino dan amina Senyawa-senyawa
23
Bromokresol hijau/biru 2,7-fluoresein Vanilin/ asam sufat Rhodamin B Anisaldehid / antimon triklorida Difenil amin/ seng
6.
Kuning Kuning-kehijauan Merah/hijau/pink Berfluoresensi merah Berbagai macam
karbonil Asam-asam organik Senyawa organik Alkohol, keton Lemak Steroid
Berbagai macam
Pestisida
Spektrofotometri UV-Vis Spektrofotometri UV-Vis adalah anggota teknik analisis spektroskopi yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultra violet dekat (190-380 nm)
dan
sinar
tampak
(380-780)
dengan
memakai
instrument
spektrofotometer. Bila cahaya jatuh pada senyawa, maka sebagian dari cahaya tersebut akan diserap oleh molekul- molekul sesuai struktur dari molekul. Setiap senywawa memiliki tingkat energi yang spesifik. Bila cahaya yang mengenai senyawa memiliki energi yang sama dengan perbedaan energi keadaan tereksitasi, maka elektron elektron pada keadaan dasar akan dieksitasi dan sebagian energi cahaya yang sesuai dengan panjang gelombang ini diserap. Frekuensi yang diserap setiap senyawa sangat spesifik karena perbedaan energi antara tingkat dasar dan tingkat tereksitasi setiap senyawa juga spesifik (Sastromidjojo, 1991). Analisis spektrofotometri UV-Vis selalu melibatkan pembacaan absorban radiasi elektromagnetik oleh molekul atau radiasi elektromagnetik yang diteruskan. Keduanya dikenal sebagai absorban (A) tanpa satuan dan transmitan dengan satuan persen (%T).
24
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis spektrofotometri UVVis. Berikut adalah tahapan-tahapan yang harus diperhatikan: a. Pembentukkan molekul yang dapat menyerap sinar UV-Vis. Hal ini perlu dilakukan jika senyawa yang dianalisis tidak menyerap pada daerah tersebut. Cara yang dilakukan adalah dengan merubah menjadi senyawa lain atau direaksikan dengan pereaksi tertentu . Pereaksi yang digunakan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu: 1) Reaksinya selektif dan sensitive. 2) Reaksinya cepat, kuantitatif, reprodusibel (ajeg). 3) Hasil reaksi stabil dalam jangka waktu lama. 4) Keselektifan dapat dinaikkan dengan mengatur pH, pemakaian masking agent, atau penggunaan teknik ekstraksi. b. Waktu operasional (operating time) Cara biasa untuk pengukuran hasil reaksi atau pembentukan warna. Tujuannya adalah untuk mengetahui waktu pengukuran yang stabil.Waktu operasional ditentukan dengan mengukur hubungan antara waktu pengukuran dengan absorbansi larutan. c. Pemilihan panjang gelombang Panjang gelombang yang digunakan untk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Untuk memilih panjang gelombang maksimal, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu.
25
d. Pembuatan kurva baku Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi (y) dengan konsentrasi (x). Bila hukum Lambert-Beer terpenuhi, maka kurva baku berupa garis lurus. e. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan Absorban yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2 sampai 0,8 atau 15% sampai 70% jika dibaca sebagai transmitan. Anjuran ini berdasarkan anggapan bahwa kesalahan dalam pembacaan T adalah 0,05 atau 0,5%.
7. Kromatografi cair kinerja tinggi Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau KCKT atau biasa juga disebut dengan HPLC (High Perforance Liquid Chromatoraphy) Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemuisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis; analisis ketidakmurniannya (impurities); analisis senyawa senyawa tidak mudah menguap (non-volatil); penentuan molekul-molekul netral, ionik, maupun zwitter ion; isolasi dan pemurnian senyawa; pemisahan senyawa senyawa yang strukturnya hampir sama; pemisahan senyawa-senyawa dalam jumlah sekelumit (trace elements), dalam jumlah banyak, dan dalam skala proses industri. Kromatografi cair kinerja tinggi merupakan metode yang tidak destruktif dan digunakan baik untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif.
26
Diperlukan
penatalaksanaan
yang
betul-betul
dipersiapkan
dan
diperhitungkan demi tercapainya maksud dan tujuuan analisis dengan KCKT maka, antara lain : 1.
Dipilih pelarut pengembang atau pelarut pengembang campur yang sesuai untuk komponen yang dipisahkan.
2.
Berkaitan dengan pemilihan pelarut pengembangan (solvent) maka kolom yang dipakai juga harus diperhatikan
3.
Detektor yang memadai.
4.
Pengetahuan dasar KCKT yang baik serta pengalaman dan ketrampilan kerja yang baik.
Instrumentasi KCKT pada dasarnya terdiri atas delapan komponen pokok yaitu : (1) wadah fase gerak, (2) sistem penghantaran fase gerak, alat untuk memasukka sampel, (4) kolom, (5) tabung pepghubung, dan (8) suatu komputer atau integrator atau perekam. Diagram blok untuk sistem KCKT ditunjukkan (Mulja dan Suharman, 1995).
F. Landasan Teori Costus speciosus (koen) J.E. Smith diketahui memiliki kandungan senyawa diosgenin dan tanin yang memiliki aktivitas antifertilitas. Tanin
27
diduga mampu menurunkan viabilitas spermatozoa pada kambing etawa (Sari dkk., 2013). Distribusi dari diosgenin dalam tanaman pacing baik telah dipelajari terdapat dalam rimpang, batang, daun, bunga dan biji. Jumlah maksimal kadar diosgenin dalam pacing dilaporkan sebanyak 0,65% pada batang, 0,37% pada daun dan 1,21% pada bunga (Anonim, 2007 Cit. Srivastava, 2011). Dalam ekstrak metanol dan air dari tanaman pacing mengandung flavonoid, alkaloid, terpenoid, steroid, saponin dan fenolik (Devi & Urooj, 2010). Menurut (Smith, 2009), bagian batang, rimpang, dan daun memiliki kandungan saponin, flavonoida dan tanin. G. Hipotesis 1. Terdapat perbedaan profil fitokimia antara ekstrak etanolik daun, batang, dan rimpang dari tanaman pacing. 2. Terdapat perbedaan kadar fenolik total dari ekstrak etanolik daun, batang, dan rimpang tanaman pacing. 3. Terdapat perbedaan kadar diosgenin dari ekstrak etanolik daun, batang, dan
rimpang tanaman pacing.