1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan jaman, yang dikenal dengan era globalisasi hal ini menyebabkan perubahan menyelimuti hampir disegala segi kehidupan. Revolusi seks yang terjadi di Amerika dan Eropa pada akhir 1960-an seolah-olah sudah merambat ke negeri ini melalui perantara teknologi, informasi dan sarana yang makin canggih. Adanya perubahan yang terjadi dalam masyarakat, secara perlahan telah menyebabkan pergeseran nilai-nilai yang dianut. Remaja yang notabene adalah pelajar dinegara kita merupakan orang yang banyak terkena imbas dari hal-hal negatif terutama jika para remaja tidak memiliki filter diri yang kuat untuk menghadapinya. Sayangnya dari berbagai laporan dinyatakan bahwa remaja sudah terjebak dalam masalah pergaulan bebas tanpa batas yang makin kompleks dan memprihatinkan. Banyak remaja yang ikut-ikutan tren, yang hal ini menjadi bagian dari gaul yang sarat imitasi, terutama peniruan nilai-nilai budaya barat. Mengikuti tren tertentu dianggap gengsi sehingga tren menjadi ukuran remaja dalam bergaul (L‟enge, Brown & Kenneavy, 2006). Salah satu masalah besar yang dihadapi remaja adalah penyesuaian terhadap perubahan secara fisiologis dan psikologis karena pengaruh hormon seksual yang sudah mulai berfungsi. Sebenarnya perkembangan seksualitas merupakan aspek yang normal pada remaja karena memang salah satu tugas perkembangan individu selama masa remaja berkaitan dengan seksualitas (Gestsdottir & Lerner, 2007). Setelah mendapatkan pengalaman menstruasi untuk perempuan dan mimpi basah untuk laki-laki, keingintahuan terhadap
1
2
seksualitas dan keinginannya untuk menyalurkan dorongan seksual menjadi bertambah besar. Kematangan organ reproduksi dan seksual pada masa remaja menyebabkan munculnya keinginan remaja tentang seksual dan ketertarikkan terhadap lawan jenisnya. Ketertarikkan antar lawan jenis ini kemudian berkembang dalam bentuk keinginan untuk memperoleh teman baru, menjalin cinta dengan lawan jenisnya yang kemudian dimunculkan dalam bentuk berpacaran (Sarwono, 2010). Setiap remaja bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas dirinya, karena remaja adalah generasi penerus bangsa dan akan menjadi orangtua bagi generasi berikutnya. Pacaran seharusnya dijadikan sarana untuk pengenalan pribadi pasangnya dan disaat masa remaja ini lah diharapkan remaja mampu untuk menyelesaikan tugas perkembangan seksualitasnya dengan baik sehingga bisa berperilaku yang sehat dan bertanggung jawab. Masyarakat dunia menyadari bahwa remaja merupakan aset bangsa karena 20 atau 30 tahun lagi merekalah yang mungkin akan menjadi pemimpin bangsanya. Hal ini berarti bahwa remaja diharapkan tidak melakukan perilaku yang melanggar norma agama dan sosial, termasuk perilaku seksual selain dapat menimbulkan kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, dan terkena penyakit menular serta HIV AIDS, perilaku seksual yang demikian bebasnya juga membawa konsekuensi moral yang besar (Raffaeli & Crockett, 2003). Hampir seluruh remaja di dunia termasuk Indonesia mempunyai suatu budaya untuk mengekspresikan percintaan remaja itu sendiri yang biasa kita sebut sebagai “Pacaran”. Di zaman modern seperti sekarang ini pacaran sudah merupakan tren dan kebutuhan dikalangan remaja. Jika tidak punya pacar akan merasa sedih, malu, tidak percaya diri, merasa tidak laku, dan lain-lain.
3
Sebaliknya, jika punya pacar akan muncul rasa bangga, percaya diri yang tinggi karena telah mengikuti tren remaja sekarang (Riwayat, 2007). Hal ini sesuai dengan survei awal yang penulis lakukan dengan wawancara terhadap 20 orang remaja awal berusia 13-15 tahun (10 laki-laki dan 10 perempuan) yang berstatus pelajar SMPN 2 Sungailiat-Bangka pada tanggal 12 Desember 2012. Berdasarkan wawancara tersebut diambil kesimpulan sementara bahwa para remaja menganggap bahwa pacaran itu penting bagi mereka. Seks dan pacaran sudah merupakan fenomena yang banyak ditemukan dikalangan remaja sekarang ini, gaya pacaran para remaja sekarang sudah mulai pada tingkat yang sangat megkhawatirkan. Menurut DeLamater (2005) pengalaman dalam berpacaran selain memberikan kepada remaja untuk bereksperimen dengan seksualitasnya sendiri juga memberikan kesempatan kepada remaja untuk naik ketahap perilaku seksual yang lebih tinggi. Dapat dikatakan juga bahwa orientasi dari pacaran itu sudah berubah pada orientasi seks, sehingga yang ditonjolkan disini adalah pemuasan hawa nafsu. Faktanya hampir disemua kota-kota besar, perilaku seksual remaja dalam berpacaran populer disebut ARDATH dengan akronim „ Aku Rela Ditiduri Asal Tidak Hamil ’ semakin melanda dikalangan remaja bahkan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang biasa disebut ‘kumpul kebo’ (Sopian, 2005). Halstead & Reiss (2004) mengemukakan bahwa saat ini sikap dan perilaku seksual remaja sangat berubah secara dramatis. Remaja memiliki kecenderungan sebagai pelaku seksual aktif. Bahkan pada usia yang lebih awal dari sebelumnya. Hubungan seksual yang seharusnya dilakukan dalam ikatan pernikahan, kini dilakukan oleh banyak remaja dalam proses berpacaran sebelum adanya ikatan pernikahan.
4
Hanifah (2004) mengatakan bahwa pacaran dianggap sebagai pintu masuk hubungan yang lebih dalam lagi, yaitu hubungan seksual sebagai wujud kedekatan antara dua orang yang sedang jatuh cinta. Dalam proses berpacaran ini, remaja sering menghadapi godaan untuk menyalurkan dorongan seksual dengan lawan jenisnya dan gaya pacaran remaja juga telah diwarnai dengan perilaku yang sangat mengkhawatirkan, yang berkisar pada kissing, necking, petting, intercourse dan tidak jarang pula yang melakukan seks oral. Para remaja beranggapan bukanlah pacaran namanya jika tidak melakukan perilaku seksual dalam proses pacaran, seperti dalam hasil penelitian Wang, Simoni, Wu & Banvard (2008) pada 159 remaja di Virginia berumur 14-20 tahun menunjukkan 60,3% telah melakukan hubungan seksual dan menyatakan setuju, hanya 33,3 % yang menyatakan tidak setuju terhadap hubungan seksual. Meskipun tidak semua remaja berpacaran melakukan hal tersebut, tetapi dari fakta menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan. Ironisnya, bujukan atau permintaan pacar merupakan motivasi untuk melakukan hubungan seksual dan hal ini menempati posisi ke empat setelah rasa ingin tahu, lingkungan keluarga yang negatif bagi remaja, agama atau keimanan yang kurang kuat serta terinspirasi dari film dan media masa (Bachtiar, 2004). Rice & Dolgin (2002) menjelaskan bahwa pacaran memiliki beberapa fungsi pada remaja,
diantaranya
adalah
sebagai
sarana
rekreasi,
sosialisasi,
dan
sebagainya. Beberapa fungsi tersebut juga disebutkan bahwa pacaran memiliki fungsi sebagai sarana eksperimentasi, kepuasan seksual dan pacaran menyediakan kesempatan lebih besar untuk melakukan aktivitas seksual. Ada perbedaan gaya pacaran remaja sekarang dengan dulu. Remaja saat ini lebih permisif untuk melakukan apa pun demi keseriusan pada
5
pasangannya. Semua aktivitas itu yang akhirnya mempengaruhi niat untuk melakukan seks lebih jauh dalam proses pacaran tersebut (Martinson, 2002). Berdasarkan survei kesehatan reproduksi yang dilakukan Badan Kesehatan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 2010, sekitar 92% remaja yang berpacaran, saling berpegangan tangan, ada 82% yang saling berciuman, dan 63% remaja yang berpacaran tidak malu untuk saling meraba
bagian tubuh
kekasih mereka yang seharusnya tabu untuk dilakukan bahkan sampai melakukan hubungan intim selayaknya suami istri (Astinindiyar, 2013) Perusahaan Riset International Synovate atas nama DKT Indonesia tahun 2011 melakukan penelitian mengenai perilaku seksual remaja di empat kota besar yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan, dengan jumlah responden 450 remaja laki-laki dan perempuan yang berusia 15-24 tahun. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara secara langsung dengan kuota 50% aktif secara seksual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 450 responden terungkap 16% telah mempunyai pengalaman seks mulai pada usia 13-15 tahun, sedangkan
diusia
16-18
tahun
telah
melakukan
hubungan
seksual
(Oktediansyah, 2011). Beberapa penelitian berikut juga dapat membuktikan bahwa para remaja yang sedang pacaran telah melakukan perilaku seksual. Penelitian yang dilakukan oleh Anissa Fondation (Sebuah Lembaga Independen yang bergerak dibidang Kemanusian dan Kesejahteraan Gender) selama 6 bln mulai Juli hingga Desember 2006 lalu, dengan melibatkan sekitar 412 responden dari 13 Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) baik negeri maupun swasta di Cianjur dan Cipanas menunjukkan bahwa 42,3% pelajar di Cianjur telah hilang keperawanannya saat duduk dibangku sekolah, sedangkan
6
responden yang belum pernah melakukan hubungan seksual dengan pacarnya hanya 18,3% dan lebih dari 60% telah melakukan hubungan seksual dengan pacarnya, dari jumlah itu 12 % menggunakan metode coitus interuptus dan selebihnya menggunakan alat kontrasepsi (Hidayatullah, 2007). Temuan
Komisi
Nasional
Perlindungan
Anak
Indonesia
(KPAI)
menyebutkan bahwa dari hasil riset yang dilakukan di 12 kota besar di Indonesia
terhadap 2800 pelajar putra dan putri, 76 persen responden
perempuan mengaku pernah pacaran dan mengaku 6,3 persen pernah making love (ML), sementara responden laki-laki 72 persen mengaku pernah pacaran dan sebanyak 10 persen diataranya pernah melakukan making love (ML). Pada Oktober tahun 2010, Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat 62,7 persen remaja SMP dari 4.500 remaja di 12 kota besar menyatakan bahwa dirinya sudah tidak perawan lagi, sebanyak 97 persen remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno, 93 persen pernah melakukan berbagai macam adegan intim tanpa penetrasi serta 21,1 persen remaja di Indonesia pernah melakukan aborsi. Sekalipun terdapat perbedaan hasil dari ketiga survey, penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja saat ini cenderung toleran terhadap perilaku seks pranikah (Widiawan, 2013). Data-data tersebut di atas belum tentu menggambarkan kejadian yang sebenarnya, mengingat masalah seksualitas termasuk masalah sensitif sehingga tidak semua bersedia mengungkapkan keadaan sebenarnya. Meski demikian Sarwono (2010) tetap menegaskan bahwa data-data hasil penelitian dari berbagai pihak tersebut telah menunjukkan tingginya perilaku seksual remaja dalam berpacaran. Hanifa (2004) menjelaskan bahwa orientasi berpacaran kaum remaja telah berubah, dulu tujuan dari pacaran adalah untuk mencari calon
7
pasangan hidup (suami- istri), namun saat ini tujuan dari pacaran adalah untuk gengsi, fantasi, bahkan eksploitasi seks, maka dari itu, masalah seksualitas menjadi suatu hal yang patut diperhatikan oleh siapa saja terutama remaja. Alat reproduksi yang mulai berfungsi pada masa ini seolah menjadi titik awal munculnya permasalah dalam masa remaja yaitu adanya fenomena seksualitas. Sementara, adanya perubahan fisik maupun psikis yang terjadi pada masa remaja sangat mencolok, diantaranya timbulnya dorongan seksual sebagai akibat dari kematangan alat-alat seksual, remaja juga mengalami ketidakstabilan emosi dari waktu kewaktu sehingga sering menyebabkan kecenderungan remaja untuk melakukan perilaku yang kurang tepat termasuk melakukan perilaku seksual saat berpacaran, akan mengakibatkan remaja semakin tidak realistik dan mentalnya menjadi tidak sehat (Sarwono, 2010). Perilaku seksual merupakan perilaku yang kompleks Flishera & Aarob, (2002) dan menjadi pemikiran serius bagi orangtua, masyarakat, maupun pendidik bahkan remaja itu sendiri. Adanya akibat dari perilaku seksual bebas pada remaja dapat menjadi alasan bahwa perilaku seksual remaja dalam berpacaran pantas diangkat menjadi permasalahan serius dan selanjutnya dipikirkan jalan keluarnya, meskipun untuk mengubah suatu perilaku khususnya perilaku seksual remaja dalam berpacaran bukanlah hal yang mudah dan sederhana, karena perilaku seksual remaja merupakan suatu masalah yang sangat kompleks yang banyak berkaitan dengan aspek-aspek lainnya. Banyak variabel yang dapat menjelaskan perilaku seseorang, kaitannya dengan perilaku seksual dalam berpacaran, maka dalam penelitian ini diajukan dua variabel penting yaitu persepsi keharmonisan keluarga dan kecerdasan emosi yang dapat berperan sebagai penuntun atau kontrol dalam berperilaku
8
sehari-hari agar tidak melakukan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai agama dan susila, termasuk tidak melakukan perilaku seksual dalam berpacaran. Salah satu faktor yang berpengaruh kuat terhadap perilaku seksual dalam berpacaran pada remaja yaitu, lingkungan keluarga. Keluarga memberikan pengaruh dalam pembentukan watak dan kepribadian anak, yang memberikan pondasi primer bagi perkembangan anak. Bagley, Bertrand, Bolitho, & Mallich (2001) mengatakan bahwa keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang memberikan pengaruh sangat besar bagi tumbuh kembangnya remaja. Secara ideal perkembangan remaja akan optimal apabila mereka bersama keluarga yang harmonis, sehingga anak memperoleh berbagai jenis kebutuhan fisikorganis, sosial, maupun psikososial. Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Deepshikha
&
Bhanot
(2009)
menunjukkan bahwa, remaja yang dibesarkan dalam lingkungan yang harmonis, yang didalamnya terdapat cinta kasih, toleransi, rasa aman dan kehangatan, maka seorang anak akan dapat melakukan penyesuaian diri secara sehat dan baik. Olson & Defrain (2003) menyatakan bahwa, setiap orangtua bertanggung jawab juga memikirkan dan mengusahakan agar senantiasa terciptakan dan terpelihara suatu hubungan antara orangtua dengan anak yang baik, efektif, dan menambah kebaikan dan keharmonisan hidup dalam keluarga. Hubungan yang serasi dan penuh pengertian serta perhatian dalam keluarga akan membawa remaja menjadi pribadi yang tenang, terbuka dan mudah dididik karena anak mendapat kesempatan yang cukup baik untuk tumbuh dan berkembang. Suris, Nebot & Parera (2003) menyatakan bahwa hubungan orangtua yang baik akan mengurangi kecenderungan perilaku berisiko pada remaja
9
Selanjutnya Hurlock (2006) menyatakan bahwa, anak yang hubungan perkawinan orangtuanya bahagia akan mempersepsikan rumah mereka sebagai tempat yang membahagiakan untuk hidup, karena semakin sedikit masalah antar orangtua, semakin sedikit masalah yang dihadapi anak. Lingkungan keluarga yang negatif, penuh dengan konflik, dan kurangnya komunikasi orangtua dan remaja juga akan membentuk remaja yang tidak punya proteksi terhadap perilaku orang-orang disekelilingnya. Dari hasil penelitian Damayanti (dalam “Siswa Cianjur Berhubungan Seks Pranikah”, 2007) terhadap 8.941 pelajar dari 119 SMA dan yang sederajat di Jakarta menunjukkan bahwa para remaja melakukan perilaku seksual pranikah karena alasan tuntutan pergaulan dan longgarnya kontrol orang tua mengenai praktek perilaku seksual pranikah. Penelitian yang dilakukan oleh Gerald Patterson dkk.,(dalam Santrok 2003) juga menunjukkan bahwa pengawasan orangtua yang tidak memadai terhadap keberadaan remaja, kurangnya perhatian terhadap aktivitas, penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesuai membuat remaja menjadi lebih mudah jatuh pada perilaku seksual pranikah . Mengingat bahwa masa Pada masa remaja juga terjadi pergolakan emosi, keadaan ini juga kemudian akan mempengaruhi perilaku remaja dalam kaitannya dengan perilaku seksual dalam berpacaran. Pastey & Aminbhavi (2006) mengatakan bahwa masa remaja sebagai suatu masa transisi, diwarnai oleh karakteristik yang sangat khas dalam aspek emosi. Keberhasilan dalam transisi emosi akan sangat mempengaruhi perilaku remaja dan keberhasilan dalam berbagai aspek perkembangan, dan sebaliknya apabila gagal akan mempengaruhi juga aspek yang lain.
10
Masa remaja merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya. Dalam menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan emosi. Menurut Goleman (2000) kecerdasan intelektual bila tidak disertai dengan pengelolaan emosi yang baik, maka tidak akan mengarahkan untuk berperilaku baik sesuai dengan norma yang berlaku dan tidak akan menghasilkan kesuksesan dalam hidup seseorang karena kecerdasan emosi adalah kemampuan individu untuk memahami, menerima dan mengendalikan emosi yang dialami, memotivasi diri dan kemampuan berhubungan dengan orang lain, dan dengan memiliki kecerdasan emosi yang baik, maka dimilikinya kemampuan untuk mengendalikan emosi dan dorongan-dorongan dalam dirinya sehingga ketika seorang remaja merasa dirinya timbul gejolak untuk melakukan perilaku seksual pranikah maka emosi itu akan dapat dikendalikan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Gottman & DeClaire (1998) bahwa remaja yang cerdas secara emosi akan mampu memecahkan masalah mereka sendiri maupun bersama orang lain, mampu mengambil keputusan secara mandiri, lebih banyak mengalami sukses disekolah maupun dalam hubungannya dengan teman-teman sebaya, dan terhindar dari risiko penggunaan narkoba, tindakan kriminal dan perilaku seks yang tidak aman. Dikemukakan oleh Salisch (2001) bahwa baik teori klasik maupun kontemporer menekankan pentingnya peran keluarga dalam hal ini orangtua dalam perkembangan emosi anak. Orangtua bukan sekedar figur kelekatan, mereka juga mengajarkan bagaimana menggunakan label-label emosi, menilai, mengekspresikan dan mengajarkan strategi pengelolaan emosi. Selain itu
11
orangtua juga mengajarkan aturan-atuaran budaya yang berkaitan dengan masalah emosi. Keluarga merupakan tempat yang paling penting bagi remaja untuk pembentukkan sosial dan emosinya, khususnya kondisi remaja yang sedang memasuki masa transisi (Gunarsa & Gunarsa, 2002). Penelitian yang dilakukan Frankel & Bates (dalam Vasta, Haith & Miller, 1992) menunjukan bahwa anak yang dekat dengan orangtua akan cenderung menjadi lebih pintar dalam menyelesaikan masalah, tampak lebih memiliki kompetensi sosial, seperti lebih kooperatif, patuh pada orangtua dan memiliki hubungan yang baik dengan teman sebaya. Hamarta, Deniz & Saltali (2009) menemukan bahwa individu akan memiliki koping terhadap emosi negatif yang lebih baik, mempersepsi, memfasilitasi, memahami dan mengatur emosi dengan lebih baik. Pacaran sudah menjadi budaya dikalangan remaja saat ini dan tidak mungkin dilarang lagi, tugas kita mengarahkan mereka agar mampu melakukan pacaran yang sehat. Pacaran yang sehat mencakup sehat secara fisik, psikis dan sosial. Rahman & Hirmaningsih (2007) mengatakan bahwa pacaran yang sehat secara fisik adalah pola pacaran yang tidak membayakan fisik salah satu pasangan, seperti tidak terjadi kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual, dan lain-lain. Pacaran yang sehat secara psikis adalah ketika dalam proses pacaran tersebut tidak merugikan psikis salah satu pasangan, seperti tidak merasa terpaksa, tertekan, dan tidak menghambat proses perkembangan menuju kedewasaan. Sementara pacaran yang sehat secara sosial adalah pola pacaran yang tidak melanggar norma masyarakat, budaya dan agama.
12
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas, maka penulis mengajukan permasalahan penelitian sebagai berikut : Apakah persepsi keharmonisan keluarga dan kecerdasan emosi dapat memprediksi perilaku seksual remaja dalam berpacaran ? C. Keaslian Penelitian Banyak studi yang terkait dengan topik penelitian ini, beberapa diantaranya melibatkan satu atau dua variabel yang kemudian dihubungkan dengan variabel lain. Penelitian terdahulu yang membahas perilaku seksual remaja dalam berpacaran dan cukup dekat dengan penelitian ini yaitu penelitian oleh Sri Muniroh tahun 2008 tentang hubungan kecerdasan spritual dan kecerdasan emosi terhadap perilaku seksual remaja dalam berpacaran. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa adanya hubungan negatif antara kecerdasan spritual dan kecerdasan emosi terhadap perilaku seksual remaja dalam berpacaran. Perbedaan dengan penelitian Sri, dalam penelitian ini tidak akan membahas tentang kecerdasan spritual sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja dalam berpacaran, namun akan melihat pada persepsi keharmonisan keluarga dan kecerdasan emosi. Subjek dalam penelitian ini juga berbeda yaitu pelajar SMPN di Bangka Linda Yarni pada tahun 2005 juga meneliti tentang perilaku seksual remaja dalam berpacaran ditinjau dari kematangan beragama dan motivasi pacaran yang berorientasi keintiman fisik dan emosional. Hasil penelitian menujukkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara kematangan beragama dengan perilaku seksual remaja dalam berpacaran, Sementara
13
motivasi pacaran yang berorientasi keintiman fisik dan emosional berperan positif terhadap perilaku seksual remaja dalam berpacaran. Perbedaan penelitian Yarni dengan penelitian ini terdapat pada variabel penelitian, perbedaan juga terdapat pada subjek penelitian remaja SMP. Sri Dewi Lisnawaty meneliti tentang hubungan antara kecerdasan spritual dan motivasi berprestasi dengan perilaku seksual remaja dalam berpacaran di SMAN 4 Palu pada tahun 2006. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan negatif antara kecerdasan spritual dan motivasi berprestasi dengan perilaku seksual remaja dalam berpacaran. Artinya semakin tinggi kecerdasan spritual dan motivasi berprestasi seorang remaja maka akan semakin rendah perilaku seksual mereka dalam berpacaran. Perbedaan dengan penelitian ini, dalam penelitian ini tidak akan membahas tentang kecerdasan spritual dan motivasi berprestasi sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja dalam berpacaran, namun akan melihat pada persepsi keharmonisan keluarga dan kecerdasan emosi. Subjek dalam penelitian ini juga berbeda yaitu pelajar SMPN di Bangka. Pada penelitian ini, penulis akan meneliti tentang hubungan antara persepsi keharmonisan keluarga dan kecerdasan emosi dengan perilaku seksual remaja dalam berpacaran, karena sejauh pengetahuan penulis (dari hasil penelusuran yang didapat) belum ada penelitian tentang perilaku seksual remaja dalam berpacaran yang dilihat dari persepsi keharmonisan keluarga dan kecerdasan emosi.
14
D. Tujuan Penelitian Berdasakan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah : untuk mengetahui dan mendapatkan data secara empiris sejauh mana pengaruh persepsi keharmonisan keluarga dan kecerdasan emosi yang dimiliki remaja terhadap perilaku seksualnya dalam berpacaran.
E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini secara teoritis dapat memberikan sumbangan ilmiah terhadap pengembangan ilmu pengetahuan bidang psikologi khususnya psikologi perkembangan dan psikologi sosial. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan tambahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang mempunyai tujuan yang sama. 2. Manfaat praktis Manfaat yang kedua secara praktis akan bermanfaat bagi remaja dalam bersosialisasi dengan lawan jenis, bagi orang tua dalam menjalankan pengasuhan pada anak, karena persepsi keharmonisan keluarga dan kecerdasan emosi dapat berperan sebagai kontrol dalam mengendalikan perilaku seksual dalam berpacaran.