BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman akan diikuti oleh banyak perubahan yang berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan suatu sistem yang ada. Perubahan-perubahan yang ada akan meliputi berbagai aspek kehidupan baik aspek sosial, ekonomi, politik, maupun aspek pendidikan. Kadang kita tidak menyadari bahwa aspek pendidikan sebenarnya mempengaruhi semua aspek yang ada, karena pendidikan adalah dasar kita untuk mendapatkan ilmu. Hal ini menyebabkan perbaikan-perbaikan dalam bidang pendidikan harus terus dilakukan.’’ Matematika sebagai salah satu disiplin ilmu tidak terlepas kaitannya dengan pendidikan terutama dalam pengembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga matematika dipandang sebagai suatu ilmu yang terstruktur dan terpadu, ilmu tentang pola dan hubungan, dan ilmu tentang cara berpikir untuk memahami dunia sekitar. Dalam proses pembelajaran matematika harus menekankan kepada siswa sebagai insan yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang, dan siswa terlibat secara aktif dalam pencarian dan pembentukan pengetahuan oleh diri mereka sendiri. melalui belajar matematika, siswa mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan berpikir sistematis, logis dan kritis untuk mengkomunikasikan gagasan atau pemecahan masalah.
Salah satu cabang dari ilmu matematika adalah geometri. Kemampuan yang dominan pada geometri salah satunya adalah kemampuan spasial. Kemampuan spasial merupakan salah satu aspek dari kognisi. Piaget menambahkan bahwa kognisi adalah hasil interaksi yang berkesinambungan antara seseorang dengan lingkungannya. Dalam konteks kurikulum, NCTM (2000) telah menentukan 5 standar isi dalam standar matematika, yaitu bilangan dan operasinya, pemecahan masalah, geometri, pengukuran, dan peluang dan analisis data. Dalam geometri terdapat unsur penggunaan visualisasi, penalaran spasial dan pemodelan. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan spasial merupakan tuntutan kurikulum yang harus diakomodasi dalam pembelajaran di kelas. Dalam kurikulum nasional di Indonesia, dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi siswa/mahasiswa dituntut untuk dapat menguasai materi geometri bidang dan geometri ruang yang notabene juga membutuhkan kemampuan spasial. Syahputra (2011: 1) pada intinya mengemukakan bahwa konsep tentang berfikir spasial cukup menarik untuk dibahas mengingat banyak penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa anak menemukan banyak kesulitan untuk memahami objek atau gambar bangun geometri. Berfikir spasial merupakan kumpulan dari keterampilan-keterampilan kognitif, yang terdiri dari gabungan tiga unsur yaitu konsep keruangan, alat representasi, dan proses penalaran. Piaget & Inhelder 1971 (dalam Tambunan, 2006: 28 ) menyatakan bahwa kemampuan spasial sebagai konsep abstrak yang didalamnya meliputi hubungan visual (kemampuan untuk mengamati hubungan posisi objek dalam ruang). Kerangka acuan (tanda yang dipakai sebagai patokan untuk menentukan posisi
objek dalam ruang), hubungan proyektif (kemampuan untuk melihat objek dari berbagai sudut pandang). Konservasi jarak (kemampuan untuk memperkirakan jarak antara dua titik), representasi visual (kemampuan untuk mempresentasikan hubungan visual dengan memanipulasi secara kognitif). Rotasi mental (membayangkan perputaran objek dalam ruang). Linn dan Petersen (dalam Syahputra 2011: 1) mengelompokkan kemampuan spasial ke dalam tiga kategori yaitu: (1) persepsi spasial, (2) rotasi mental, (3) visualisasi spasial. Dipandang dari konteks hubungan lintas ilmu/ bidang studi maka kemampuan spasial sangat dibutuhkan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan, unit geometri tampak merupakan unit dari pelajaran matematika yang tergolong sulit, antara lain terlihat bahwa murid sukar mengenal dan
memahami bangun-bangun geometri terutama
bangun-bangun ruang serta unsur-unsurnya. Kondisi ini ditemui di jenjang pendidikan dasar maupun menengah, Soedjadi 1991 (dalamSaragih, 2011: 3) Hasil studi pendahuluan Saragih (2008: 3) pada tiga SMP di Pekanbaru menunjukkan bahwa kemampuan spasial siswa kelas VIII dan IX masih rendah. Salah satu tes yang digunakan adalah seperti yang digambarkan pada gambar 1.1. H
G F
E
D
A
C B
Gambar 1.1 Kubus ABCD-EFGH
Bentuk segi empat ABCD pada kubus tersebut adalah Dari jawaban siswa di tiga sekolah tentang bentuk segi empat ABCD hasilnya adalah: Sekolah I. 53,2% siswa kelas VIII dan 45,7% siswa kelas IX menjawab belah ketupat. Sekolah II. 27,5% siswa kelas VIII dan 19,4% siswa kelas IX menjawab jajargenjang. Sekolah III. 19,3% siswa kelas VIII dan 34,9% siswa kelas IX menjawab persegi. Fakta lainnya Sebagaimana hasil penelitian Fauzan, 1996 (dalam Syahputra, 2011: 5) di Sumatera Barat yang meneliti tentang kemampuan persepsi ruang siswa kelas I SMA di tiga daerah berbeda yaitu daerah kota, daerah pantai dan daerah desa. Dapat dilihat adanya sejumlah siswa berpersepsi bahwa alas kubus adalah belah ketupat.. Dalam penelitiannya itu Fauzan menemukan beberapa kelemahan siswa tersebut: 1. Persepsi siswa terikat pada tampilan gambar 2. Siswa membutuhkan bantuan peraga untuk menjawab hampir setiap pertanyaan yang diajukan 3. Siswa tidak menguasai konsep-konsep geometri dasar. Selain itu kesulitan siswa masih terdapat dalam pemahaman geometri, yaitu pada temuan Soedjadi (dalam Yeni, 2011: 3), antara lain sebagai berikut: l. Siswa sukar mengenali dan memahami bangun bangun geometri terutama bangun ruang serta unsur-unsurnya. 2. Siswa sulit menyebutkan unsur unsur bangun ruang, misalnya, siswa menyatakan bahwa pengertian rusuk bangun ruang sama dengan sisi bangun datar. Dari beberapa penelitian di atas, menunjukkan bahwa kemampuan spasial tidak dapat diabaikan oleh guru, bahkan harus mendapat penekanan lebih dalam
proses belajar mengajar di sekolah. (Saragih, 2011: 4) mengungkapkan bahwa lemahnya kemampuan keruangan berdampak pada kemampuan berfikir matematika tingkat tinggi, karena diyakini topik keruangan merupakan salah satu topik yang dapat disajikan sebagai sarana pemberdayaan kemampuan berfikir tingkat tinggi. Menurut Lerner (dalam Abdurrahman, 1999: 357) ada beberapa karakteristik anak berkesulitan belajar matematika yaitu (1) adanya gangguan dalam hubungan spasial, (2) abnormalitas persepsi visual, (3) asosiasi visualmotor, (4) perseverasi, (5) kesulitan mengenal dan memahami simbol, (6) gangguan penghayatan tubuh, (7) kesulitan dalam bahasa dan membaca dan (8) performance IQ jauh lebih rendah daripada sekor verbal IQ. Konsep hubungan spasial umumnya telah dikuasai oleh anak pada saat mereka belum masuk SD. Anak-anak memperoleh pemahaman tentang berbagai konsep hubungan spasial tersebut dari pengalaman mereka berkomunikasi dengan lingkungan sosial mereka atau melalui berbagai permainan. Tetapi sayang, anak berkesulitan belajar sering mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan lingkungan sosial juga sering tidak mendukung terselenggarakannya suatu situasi yang kondusif bagi terjadinya komunikasi antar mereka. Komunikasi dapat menyebabakan anak mengalami gangguan dalam memahami konsep-konsep hubungan spasial (Abdurrahman, 1999: 259). Studi dari Sherman, 1980 (dalam Tambunan, 2006: 29) terhadap anak usia sekolah, menemukan adanya hubungan yang positif antara prestasi belajar matematika dan kemampuan spasial. Penggunaan contoh spasial seperti membuat bagan, dapat membantu anak menguasai konsep matematika. Metode pengajaran
matematika yang memasukkan berpikir spasial seperti bentuk-bentuk geometris, mainan (puzzle)
yang
menghubungkan konsep
spasial
dengan
angka,
menggunakan tugas-tugas spasial dapat membantu terhadap pemecahan masalah dalam matematika Elliot, 1987 (dalam Tambunan, 2006 : 28). Studi dari Guay & McDaniel 1977 dan Bishop 1980 (dalam Tambunan, 2006: 28) menemukan bahwa kemampuan spasial mempunyai hubungan positif dengan matematika pada anak usia sekolah. Pada anak usia sekolah kemampuan spasial ini sangat penting karena kemampuan spasial erat hubungannya dengan aspek kognitif secara umum. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman pengetahuan spasial dapat mempengaruhi kinerja yang berhubungan dengan tugas-tugas akademik matematika. (Syahputra, 2011: 230) menemukan bahwa pembelajaran geometri dengan pendekatan PMRI dapat meningkatkan kemampuan spasial siswa pada kedua kategori sekolah (baik dan sedang) dan terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kategori sekolah terhadap peningkatan kemampuan spasial siswa. Demikian pentingnya kemampuan spasial ini sehingga para guru dituntut untuk memberikan perhatian yang lebih dari cukup agar kemampuan spasial diajarkan dengan sungguh-sungguh. Keterampilan matematika yang juga penting untuk dikuasai siswa adalah kemampuan komunikasi matematis (mathematical communication). Melalui komunikasi matematis, siswa dapat mengorganisasi dan mengkonsolidasi berpikir matematisnya baik secara lisan maupun tulisan yang akhirnya dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang konsep matematika yang telah dipelajari.
Komunikasi tertulis dapat berupa penggunaan kata-kata, gambar, tabel, dan sebagainya yang menggambarkan proses berpikir siswa. Komunikasi tertulis juga dapat berupa uraian pemecahan masalah atau pembuktian matematika yang menggambarkan kemampuan siswa dalam mengorganisasi berbagai konsep untuk menyelesaikan masalah. Sedangkan komunikasi lisan dapat berupa pengungkapan dan penjelasan verbal suatu gagasan matematika. Komunikasi lisan dapat terjadi melalui interaksi antar siswa misalnya dalam pembelajaran dengan setting diskusi kelompok. Pentingnya pengembangan kemampuan komunikasi matematika siswa juga menjadi salah satu tujuan pembelajaran matematika dan menjadi salah satu standar kompetensi lulusan dalam bidang matematika. Melalui pembelajaran matematika, siswa diharapkan dapat mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah (Permen Nomor 22 Tahun 2006). Matematika umumnya identik dengan perhitungan angka-angka dan rumus-rumus, sehingga muncul anggapan bahwa kemampuan komunikasi tidak dapat dibangun pada pembelajaran matematika. Anggapan ini tentu saja tidak tepat, karena menurut Greenes dan Schulman, komunikasi matematika memiliki peran yaitu menjelaskan bahwa komunikasi matematik merupakan kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan konsep dan strategi matematika; sebagai modal keberhasilan siswa terhadap pendekatan dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematika dan komunikasi sebagai wadah bagi siswa untuk memperoleh informasi atau membagi pikiran, menilai dan mempertajam ide untuk meyakinkan orang lain (Ansari, 2004: 3). Sejalan dengan hal tersebut Pugalee dan
Sofyan (dalam Zulkarnaen, 2009: 3) menjelaskan, siswa perlu dibiasakan dalam pembelajaran untuk memberikan argumen setiap jawabannya serta memberikan tanggapan atas jawaban yang diberikan oleh orang lain, sehingga apa yang sedang dipelajari menjadi bermakna baginya. Bahkan membangun komunikasi matematika menurut National Center Teaching Mathematics (2000) memberikan manfaat dalam hal: 1. Guru dapat menginventarisasi dan konsulidasi pemikiran matematik siswa melalui komunikasi. 2. Siswa dapat mengkomunikasikan pemikiran matematik secara terurut dan jelas pada teman, guru dan lainnya. 3. Guru dapat menganalisis dan menilai pemikiran matematika siswa serta strategi yang digunakan 4. Siswa dapat menggunakan bahasa matematika untuk mengungkapkan ide matematik dengan tepat. Kusmaydi ( 2010: 4 ) berdasarkan pengamatan yang dilakukannya selama 6 tahun menjadi guru matematika di SMP Negeri 3 Kundur Utara Kabupaten Karimun sebagian besar siswa mempunyai kemampuan rendah dalam pelajaran matematika. Hal ini dilihat dari adanya gejala-gejala sebagai berikut: 1). Terhadap pertanyaan yang guru ajukan berkaitan dengan materi pelajaran sebelumnya atau materi yang telah diajarkan yang ada hubungannya dengan materi yang akan diajarkan ternyata kebanyakan siswa tidak tahu dan mengerti materi yang mana yang ada hubungannya dengan materi yang akan dipelajari; 2). Siswa sangat jarang bertanya karena belum mampu membuat pertanyaan tentang matematika yang dipelajari (siswa tidak dilatih bertanya); 3). Masih banyak siswa yang tidak
mampu menyatakan benda nyata, gambar dan diagram ke dalam idea matematika, dan juga tidak mampu menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika. Dari ungkapan ini dapat diduga bahwa kemampuan komunikasi matematik siswa masih rendah. Ada beberapa faktor yang membuat siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika, sebagaimana dinyatakan oleh Friasmansyah (2010: 2) bahwa banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam mencapai hasil belajar sebagaimana yang diharapkan, seperti: (1) siswa jarang bertanya, karena kebanyakan siswa tidak tahu dan tidak mengerti apa yang ditanyakan; (2) siswa jarang memberikan tanggapan, karena belum mampu menjelaskan ide-ide matematika dengan baik; (3) beberapa siswa mampu menyelesaikan soal matematika, tetapi kurang memahami makna yang terkandung di dalam soal tersebut; (4) masih banyak siswa yang tidak mampu membuat kesimpulan dari materi yang dipelajari. Kesulitan-kesulitan tersebut diduga karena adanya faktor komunikasi yang masih rendah dimana pada saat pembelajaran tidak terjadi aliran informasi dua arah antara siswa dan guru, dan informasi tersebut tidak direspon sesuai dengan harapan siswa atau guru. Rendahnya kemampuan spasial dan kemampuan komunikasi matematik siswa tidak terlepas dari pengelolaan pembelajaran. Umumnya di lapangan, guru matematika lebih menekankan bangun ruang dari aspek ingatan seperti banyaknya titik, rusuk, bidang sisi, mencari luas bidang sisi, dan volume. Selain itu, guru juga dapat menetapkan dari mana harus memulai pembelajaran dengan melihat kemampuan siswa sebelum mengikuti proses pembelajaran. Kemampuan awal matematik (KAM) yang digolongkan ke dalam kelompok
tinggi,
sedang
dan rendah. Kemampuan awal matematik dimaksudkan adalah tingkat pengetahuan atau keterampilan yang telah dimiliki, yang lebih rendah dari apa yang akan dipelajari. Kemampuan awal matematik adalah kemampuan yang dimiliki oleh siswa tentang materi dasar sebagai prasyarat dalam mempelajari materi yang baru. Dengan mengetahui kemampuan awal matematik siswa, guru dapat menetapkan dari mana harus memulai pembelajaran. Sehubung dengan KAM yang dimiliki siswa, dalam program pendidikan dirancang suatu sistem yang dilaksanakan untuk mencapai sutau tujuan, yaitu agar siswa mengalami perubahan yang positif. Perkembangan intelektual siswa SMP yang secara umum masih berada pada tahap peralihan, maka dalam membangun pengetahuan tentang konsep, prinsip
atau
aturan
dalam
matematika
seharusnya
dilakukan
dengan
memanfaatkan konteks-konteks nyata yang mereka alami. Ben-Claim, Lappan and Houang 1988 (dalam Saragih, 2011: 8) menemukan bahwa aktifitas subjek untuk membangun, menilai dan mensketsa model-model bangun ruang yang dibuat dari dadu-dadu atau kubus-kubus dapat meningkatkan kemampuan visual ruang. Sehingga pengalaman sehari-hari, aktifitas memanipulasi objek-objek dalam pembelajaran memberikan kontribusi terhadap kemampuan spasial. Keberhasilan suatu proses pembelajaran dipengaruhi oleh berbagai komponen yang ada di dalamnya, antara lain: tujuan, bahan atau materi, metode atau model pembelajaran, media, guru dan siswa. Terkait dengan model pembelajaran, masih banyak pembelajaran yang digunakan guru dalam pembelajaran matematika di sekolah dengan
menggunakan pembelajaran
konvensional, yang cenderung berjalan searah, berpusat pada guru dan kurang
melibatkan siswa dalam belajar mengajar sehingga menyebabkan siswa kesulitan dalam memahami konsep atau materi yang diberikan. Cara pembelajaran konvensional seperti ini tidak merangsang siswa untuk mengerti tentang apa yang dipelajari, dan pada gilirannya nanti siswa tidak memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang terkait dengan materi pelajaran yang siswa pelajari. Dapat juga dikatakan bahwa cara belajar para siswa menjadi kurang bermakna. Karena bisa jadi, siswa di kelas hanya menjadi seorang pendengar yang pasif. Ketika siswa menerima ataupun menemukan dan menggali sendiri pemecahan masalah yang berkaitan dengan materi yang dipelajari saat itu, mungkin siswa hanya menghafalkan materi-materi yang baru diperolehnya. Siswa tidak berusaha mengkaitkan antara informasi baru yang diperoleh dengan struktur kognitif yang sebenarnya telah dimiliki. Hal ini menjadi sebuah tantangan bagi guru untuk merencanakan suatu metode pembelajaran yang kreatif, efektif dan efisien sehingga materi yang asalnya dianggap sulit oleh siswa dapat dipahami dengan mudah dengan didukung oleh proses pembelajaran yang menyenangkan tapi tetap bermakna (meaningfull learning). Salah
satu
alternatif
model
pembelajaran
yang
memungkinkan
dikembangkannya kemampuan spasial dan komunikasi adalah pembelajaran berbasis masalah. Mengapa digunakan pembelajaran berbasis masalah (PBM), adalah karena: (1) PBM menyiapkan siswa lebih baik untuk menerapkan pembelajaran (belajar) mereka pada situasi dunia nyata; (2) PBM memungkinkan siswa menjadi produsen pengetahuan, dari pada hanya konsumen; dan (3) PBM dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan spasial dan kemampuan
komunikasi siswa. Selain itu pada PBM, dengan menyajikan masalah pada awal pembelajaran diduga siswa dapat mengemukakan pendapat, mencari informasi, bertanya, mengekspresikan ide-idenya secara bebas ,mencari berbagai sumber yang tersembunyi, mencari berbagai alternatif untuk mengatasi masalah. Pembelajaran berbasis masalah (Probelem based learning), merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. PBM adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah. Susilawati (2011: 94) dalam penelitiannya di SLTP Negeri di Bandung menemukan bahwa melalui penerapan pembelajaran dengan pendekatan problembased learning kemampuan siswa mengajukan masalah matematika mencapai kriteria hasil belajar yang baik, secara kualitas adanya peningkatan kemampuan siswa dalam mengajukan masalah matematika. Hal ini nampak dari besarnya jumlah respon siswa mengajukan pertanyaan yang berkualifikasi tinggi. John Dewey (dalam Muslimin Ibrahim dan Mohamad Nur, 2002: 16) menganjurkan guru untuk mendorong siswa terlibat dalam proyek atas tugas berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki masalah-masalah intelektual. Lev Vygotsky (dalam Muslimin Ibrahim dan Mohamad Nur, 2002: 18) mengemukakan bahwa perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru yang menantang dan ketika mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalamannya sendiri. Dia
juga menambahkan bahwa interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Karakteristik pembelajaran berbasis masalah memungkinkan siswa untuk terlibat dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa dihadapkan pada situasi masalah. Keikutsertaan dalam kegiatan ini diperkirakan akan mempertajam kemampuan spasial dan kemampuan komunikasi matematika siswa. Selain itu dalam pembelajaran berbasis masalah siswa dibiasakan mengemukakan pendapat, serta mendengarkan pendapat. Semua kegiatan tersebut akan melatih mereka untuk terbiasa mendengar, memahami dan mengerti orang lain. Hal ini pembelajaran berbasis masalah berusaha membantu siswa menjadi pebelajar yang mandiri dan otonom. Dengan bimbingan guru yang secara berulang-ulang mendorong dan mengarahkan mereka untuk mengajukan pertanyaan, mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Perbedaan Peningkatan Kemampuan Spasial dan Komunikasi Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah“
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut : 1. Kurangnya minat belajar siswa dalam bidang studi matematika 2. Rendahnya prestasi belajar siswa di bidang studi matematika 3. Pengalaman belajar siswa yang kurang mendukung terciptanya kemauan belajar siswa 4. Siswa mengalami kesulitan mengenal dan memahami bangun-bangun geometri terutama bangun-bangun ruang serta unsurnya 5. Kurangnya minat guru untuk menerapkan model pembelajaran 6. Rendahnya kemampuan spasial dan kemampuan komunikasi matematik siswa 7. Pembelajaran matematika kurang melibatkan aktivitas siswa
C. Batasan Masalah Setiap aspek dalam pembelajaran matematika mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, maka perlu adanya pembatasan masalah agar lebih fokus. Sesuai dengan latar belakang masalah dan identifikasi masalah, penelitian ini hanya meneliti tentang penggunaan pembelajaran berbasis masalah terhadap kemampuan spasial dan komunikasi matematis siswa dan proses penyelesaian masalah siswa.
D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan masalah tersebut di atas, maka hanya masalah dalam penelitian ini adalah bagian peningkatan kemampuan spasial dan kemampuan komunikasi matematik siswa. Untuk menjawab rumusan masalah penelitian ini, maka peneliti memecahkan menjadi pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut : 1. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan spasial siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran secara konvensional? 2. Apakah
terdapat
perbedaan
peningkatan
kemampuan
komunikasi
matematika siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran secara konvensional? 3. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran dengan kemampuan awal matematika siswa terhadap peningkatan kemampuan spasial? 4. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran dengan kemampuan awal
matematika
siswa
terhadap
peningkatan
kemampuan
komunikasi matematis? 5. Bagaimana proses penyelesaian jawaban siswa dalam menyelesaikan masalah
pada
konvensional?
pembelajaran
berbasis
masalah dan pembelajaran
E. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan spasial siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran secara konvensional 2. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran secara konvensional 3. Untuk
mengetahui
bahwa
ada
interaksi
antara
pendekatan
pembelajaran dan kemampuan awal matematika siswa terhadap peningkatan kemampuan spasial? 4. Untuk mengetahui bahwa ada interaksi antara pembelajaran dengan kemampuan
awal
matematika
siswa
terhadap
peningkatan
kemampuan komunikasi matematis? 5. Untuk
mengetahui
proses
penyelesaian
masalah
siswa
dalam
menyelesaikan masalah pada pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran konvensional?
F. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah : 1. Bagi Sekolah, bahan masukan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi pengelolaan pendidikan dalam mengambil kebijakan dalam penerapan inovasi pembelajaran matematika sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan dan kualitas guru. 2. Bagi Guru, sebagai bahan masukan dalam menggunakan model pembelajaran yang sesuai dengan pembelajaran matematika 3. Bagi Siswa, dapat menimbulkan rasa senang dan motivasi dalam belajar matematika sehingga prestasi siswa dapat meningkat 4. Bagi Peneliti, bahan masukan bagi calon guru 5. Bagi peneliti lain, bahan masukan yang ingin melakukan penelitian pada permasalahan yang sama
G. Defenisi Operasional Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap beberapa variabel yang digunakan maka perlu penjelasan. 1. Kemampuan Spasial adalah kemampuan atau keterampilan mental yang dimiliki
manusia
untuk
menemukan,
memanggil
kembali
dan
mentransformasi informasi visual tentang ruang yang terdiri dari Spatial Orientation, Spatial Visualization, Spatial Perception, Spatial Relation dan Spatial Dissembedding. 2. Kemampuan
Komunikasi
Matematis
adalah
kemampuan
siswa
menggunakan matematika sebagai alat komunikasi dan kemampuan mengkomunikasikan matematika diukur berdasarkan kemampuan siswa dalam (1) merefleksikan benda-benda nyata, gambar, atau ide-ide matematika, (2) membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode tertulis, konkrit dan grafik, (3) menggunakan keahlian membaca, menulis, dan menelaah, untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi ideide, simbol, istilah, skema serta informasi matematika, (4) merespon suatu pernyataan atau masalah dalam bentuk argumen yang meyakinkan 3. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) adalah suatu model pembelajaran yang dimulai dengan menghadapkan siswa pada masalah nyata. Ciri dominan dari proses pembelajaran ini adalah siswa mendekati masalah dari berbagai perspektif untuk menyelesaikannya melalui pengintegrasian informasi berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Langkah-langkah pembelajarannya
yaitu:
Mengorientasikan
siswa
pada
masalah,
Mengorganisasikan siswa untuk belajar, Membimbing penyelidikan
individu dan kelompok, Mengembangkan dan mempersentasikan artefak dan exhibi, Menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah 4. Pembelajaran Konvensional adalah pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah, dimana guru menyiapkan informasi atau pengetahuan kepada siswa sedangkan siswa menerima, menyimpan dan melakukan aktivitas-aktivitas sesuai dengan informasi yang diberikan. Guru juga memberikan latihan, tanya jawab seperlunya dan memberikan tugas pekerjaan rumah. 5. Proses penyelesaian jawaban adalah Bagaimana bentuk atau susunan kinerja jawaban siswa dalam menyelesaikan soal kemampuan spasial dan komunikasi matematik.