DINAMIKA PENDIDIKAN PESANTREN Studi Implementasi dan Pengembangan Atas Konsep Lima Elemen Dasar Pesantren Pada Pondok Pesantren Futuhiyyah Suburan Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak
Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I) dalam Ilmu Tarbiyah
SKRIPSI
Disusun oleh:
ANIS CHOIRMAN ____________________________
NIM : 111 04 005
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2010
PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN
Saya bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Anis Choirman
NIM
: 111 04 005
Jurusan
: Tarbiyah
Program
: Pendidikan Agama Islam
Judul
: “DINAMIKA PENDIDIKAN PESANTREN STUDI IMPLEMENTASI DAN PENGEMBANGAN ATAS KONSEP LIMA ELEMEN DASAR PESANTREN PADA PONDOK PESANTREN FUTUHIYYAH, DESA SUBURAN, KEC. MRANGGEN, KAB. DEMAK”.
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Salatiga, 28 Februari 2010 Yang menyatakan
Anis Choirman
DEPARTEMEN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA Jl. Stadion 03 Telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721 Website : www.stainsalatiga.ac.id E-mail :
[email protected]
PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 1 ( satu ) naskah Hal
: Pengajuan Naskah Skripsi Kepada Yth. Ketua STAIN Salatiga di Salatiga Asslamualaikum Wr. Wb. Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini kami kirimkan naskah skripsi Saudara : Nama
: Anis Choirman
NIM
: 111 04 005
Jur/ Prog : Tarbiyah/ PAI Judul
: “DINAMIKA
PENDIDIKAN
IMPLEMENTASI
DAN
PESANTREN
PENGEMBANGAN
STUDI ATAS
KONSEP LIMA ELEMEN DASAR PESANTREN PADA PONDOK
PESANTREN
FUTUHIYYAH,
DESA
SUBURAN, KEC. MRANGGEN, KAB. DEMAK” Untuk diujikan dalam Sidang Munaqosah Skripsi. Demikian untuk menjadi periksa. Wassalamualaikum Wr. Wb. Salatiga, 27 Februari 2010 Pembimbing
M. Gufron, M. Ag NIP. 19720814 200312 1 001
M. Gufron, M. Ag Dosen STAIN Salatiga Jl. Tentara Pelajar No. 2 Telp. 0298.323706 Faxs. 323433 Salatiga 50723
NOTA PEMBIMBING Lampiran Hal
: 3 eksemplar : Naskah Skripsi Sdr. Anis Choirman
Kepada Yth. Ketua STAIN Salatiga di Salatiga
Assalamualaikum. Wr. Wb Setelah kami mengadakan pengarahan, bimbingan dan perbaikan seperlunya, maka naskah skripsi Saudara: Nama : Anis Choirman NIM : 111 04 005 Jur/ Prog : Tarbiyah/ PAI Judul : “DINAMIKA PENDIDIKAN PESANTREN STUDI IMPLEMENTASI DAN PENGEMBANGAN ATAS KONSEP LIMA ELEMEN DASAR PESANTREN PADA PONDOK PESANTREN FUTUHIYYAH, DESA SUBURAN, KEC. MRANGGEN, KAB. DEMAK” Dengan ini kami mohon agar skripsi saudara tersebut bisa segera dimunaqosahkan. Demikian harap menjadikan periksa dan akhirnya kami sampaikan terima kasih. Wassalamualaikum. Wr. Wb
Salatiga, 03 Maret 2010 Pembimbing
M. Gufron, M. Ag NIP. 19720814 200312 1 001
DEPARTEMEN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA Jl. Stadion 03 Telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721 Website : www.stainsalatiga.ac.id E-mail :
[email protected]
P E N G E S A H A N Skripsi
Saudara
:
Anis
Choirman
dengan
Nomor
Induk
Mahasiswa : 111 04 005 yang berjudul “DINAMIKA PENDIDIKAN PESANTREN STUDI IMPLEMENTASI DAN PENGEMBANGAN ATAS KONSEP LIMA ELEMEN DASAR PESANTREN PADA PONDOK PESANTREN FUTUHIYYAH, DESA SUBURAN, KEC. MRANGGEN, KAB. DEMAK” telah dimunaqosahkan dalam Sidang Panitia Ujian, Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada hari Sabtu, 13 Maret 2010 M yang bertepatan dengan tanggal 27 Robi’ul Awal 1431 H. Dan telah diterima sebagai bagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I). Salatiga,
13 Maret 2010 M 27 Robi’ul Awal 1431 H
Dewan Penguji Ketua Sidang
Sekretaris
Dr. Imam Sutomo, M. Ag NIP. 19580827 198303 1 002
Dr. H. Muh. Saerozi, M. Ag NIP. 19660215 199103 1 001
Penguji I
Penguji II
Drs. H. M Zulfa Machasin, M. Ag Dra. Djami’atul Islamiyah, M. Ag NIP. 19520430 197703 1 001 NIP. 19570812 198802 2 001 Pembimbing M. Gufron, M. Ag NIP. 19720814 200312 1 001
ABSTRAK Choirman, Anis. 2010. DINAMIKA PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Implementasi dan Pengembangan Atas Konsep Lima Elemen Dasar Pesantren Pada Pondok Pesantren Futuhiyyah, Desa Suburan, Kec. Mranggen, Kab. Demak 2009/2010”. Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Salatiga: Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: M. Gufron, M. Ag Kata Kunci: Dinamika, Implementasi, Lima Elemen Dasar Pesantren, dan Nilai Fundamental Pesantren. Penelitian ini bertujuan mengetahui sejauh mana implementasi dan pengembangan konsep lima elemen dasar pesantren di pesantren Futuhiyyah. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif lapangan dengan pendekatan analisis diakronis yang merupakan paduan analisis deskripsi sejarah pesantren Futuhiyyah dahulu disinkronkan dengan kondisi kondisi objektif pesantren Futuhiyyah sekarang. Pengumpulan data pada studi kasus ini menggunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pesantren Futuhiyyah Mranggen Futuhiyyah selalu berusaha merespons arus modernisasi yang terjadi di luar dirinya dengan mengambil hal-hal yang positif darinya tanpa meninggalkan jatidiri sebagai pesantren tradisional. Dinamika kehidupan Pesantren Futuhiyyah secara keseluruhan terlihat dengan fenomena bergesernya beberapa unsur pesantren mengalami transformasi, perubahan dan pengembangan secara bertahap, yang setiap periodik memperlihatkan kemajuan, antara lain : 1) Transformasi kepemimpinan (pola manajerial), yakni dari segi pola manajerialnya yang semula kepeminpinan yang sentralistik dan cenderung single fighter berubah menjadi model managemen kolektif sebagaimana model yayasan, 2) Transformasi sistem pembelajaran institusi, hal itu terlihat dari berkembangnya fungsi masjid yang mulai beralih ke institusi madrasah (sistem klaskal)/ sekolah-sekolah, dan 3) Transformasi kurikulum yang kemudian berpengaruh pada metode pembelajaran. Dengan demikian paling tidak, ada beberapa nilai fundamental yang dapat diambil pelajaran dari pendidikan pesantren salaf tersebut, yang kemudian dapat dijadikan alternatif Pendidikan Islam di Indonesia. Nilai-nilai fundamental itu antara lain: Komitmen untuk Tafaqquh Fiddin Pendidikan sepanjang waktu (fullday school), Pendidikan terpadu (Integratif), Pendidikan seutuhnya (afektif, kognitif, psikomotorik), Keragaman yang bebas dan mandiri serta bertanggungjawab, Pesantren adalah bentuk masyarakat kecil, serta Pendidikan alternatif. Pendidikan pondok pesantren selain diarahkan pada transmisi ilmu-ilmu keislaman, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama’, juga dimaksudkan menjadi alternatif bagi People centered development, Value oriented development, dan Institution development.
MOTTO dan PERSEMBAHAN M O T T O:
1. Demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. 3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Qs. Al-Asr: 1-3)
P E R S E M B A H A N:
Skripsi ini kupersembahkan kepada : Ayah dan Ibuku tercinta yang tak pernah lelah mendo’akan dan memberi motivasi demi suksesnya skripsi ini. Terima kasih yang tak terbatas atas kasih sayang do’a serta segala pengorbanan yang telah kau berikan kepadaku. Untuk kedua adikku terkasih (Arif dan Dian), yang senantiasa memberikan inspirasi, dan semangat untuk selalu maju demi suksesnya studiku. Romo KH. Mahfud Ridwan, Lc sekeluarga selaku pengasuh, yang selalu memberikan pencerahan hidup, serta seluruh keluarga besar civitas akademika Pondok Pesantren Edi Mancoro yang tidak bisa aku sebutkan satu per satu. Pak Khabib sekeluarga, kang Sabiq sekeluarga, serta Sahabat-sahabat karibku, Islamiyyah, Mir’ah and Sodiq, Hisyam, Yadin, Putri Faradina yang secara tidak lansung ku libatkan dalam pembahasan dan skripsi saya. Entah bagaimana nasibnya apabila tak ada teman untuk membagi penatnya dalam proses pembuatan skripsi ini. Sahabat yang pernah dekat dengan aku dan merasa ku buat kecewa. Buat seseorang yang suatu saat akan mendampingi hidupku .............
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum wr. wb Dengan mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan kenikmatan yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “DINAMIKA PENDIDIKAN PESANTREN STUDI IMPLEMENTASI DAN PENGEMBANGAN ATAS KONSEP
LIMA
ELEMEN
DASAR
PESANTREN
PADA
PONDOK
PESANTREN FUTUHIYYAH, DESA SUBURAN, KEC. MRANGGEN, KAB. DEMAK”. Dalam penulisan skripsi saya ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak. Oleh karena itu, tiada kata ataupun apa saja yang kami berikan kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini, kecuali ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan setulusnya atas semua bantuan, bimbingan dan partisipasinya, khususnya kepada : 1. Bapak Drs. Imam Sutomo, M. Ag. selaku Ketua STAIN Salatiga beserta seluruh stafnya yang telah memberikan fasilitas kepada penulis selama menuntut ilmu. 2. Bapak M. Gufron, M. Ag selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan yang sangat bermanfaat dan berharga, sehingga saya dapat mewujudkan skripsi ini.
3. KH. Muhammad Hanif Muslih, beserta civitas akademika Pondok Pesaantren Futuhiyyah yang telah menyediakan tempat, waktu dan informasi serta datadata yang penulis butuhkan skripsi ini. 4. Romo KH. Mahfud Ridwan, Lc sekeluarga, serta seluruh keluarga besar civitas akademika Pondok Pesantren Edi Mancoro, yang selalu menemani proses berpengetahuan dan menemukan makna hidup yang sebenarnya. 5. Teristimewa Ayah dan Ibu yang telah memberikan banyak pengorbanan dan do’anya yang tidak terhitung dengan harta benda. 6. Semua orang yang pernah aku sakiti dan aku repoti perasaan tenaganya dalam hal apapun, baik disengaja maupun tidak. Betapapun penulis telah berusaha dengan segenap kemampuan yang ada untuk menyajikan karya tulis yang sebaik-baiknya, akan tetapi pada lembaranlembaran skripsi ini masih saja dirasa dan ditemui banyak kekurangan dan kesalahan baik dalam bentuk format maupun isinya. Oleh karena itu, segala saran dan kritik dari semua pihak sangat saya butuhkan guna perbaikan dan penyempurnaan penulisan skripsi yang saya susun ini, penulis akan menyambut dengan lapang dada, dan berterima kasih. Semoga Allah SWT memberikan balasan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Amin. Wassalamu'alaikum wr. Wb
Salatiga,
Februari 2010 Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................
i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ......................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................. iv HALAMAN ABSTRAK ............................................................................ v HALAMAN MOTTO ................................................................................ vi HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. vii KATA PENGANTAR ................................................................................ viii DAFTAR ISI ............................................................................................. x BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 B. Penegasan Istilah .................................................................. 15 C. Rumusan Masalah ................................................................. 19 D. Tujuan dan Signifikasi Penulisan .......................................... 19 E. Metode Penelitian ................................................................. 20 F. Sistematika Penulisan Skripsi ............................................... 25
BAB II
KAJIAN PUSTAKA A. Unsur-unsur sebuah pesantren ............................................... 28 1. Kyai ................................................................................ 29 2. Masjid ............................................................................. 31 3. Santri .............................................................................. 33 4. Pondok ............................................................................ 34
5. Kitab-kitab Islam klasik .................................................. 35 B. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia ......... 37 C. Tipologi Pondok Pesantren .................................................... 41 D. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren .................................... 42 BAB III
PROFIL PONDOK PESANTREN FUTUHIYYAH MRANGGEN DEMAK A. Gambaran Umum Pondok Pesantren Futuhiyyah ................. 45 1. Letak Geografis .............................................................. 45 2. Visi, Misi dan Tujuan ...................................................... 47 3. Sejarah Singkat Berdirinya .............................................. 48 4. Periodesasi kepemimpinan di pesantren Futuhiyyah ........ 50 a. Periode Rintisan (1901-1926 Masehi), Generasi Pertama syeikh KH. Abdurrohman ............. 51 b. Periode pengembangan I (1927-1953 M), Generasi kedua syeikh KH. Ustman Abdurrohman ... 55 c. Periode pengembangan II, (1936-1981 Masehi) Generasi ketiga Syeikh KH. Muslih Abdurrohman ..... 61 d. Periode Pelestarian III (1982- 2005), Generasi ke empat Syeikh KH. Lutfi Hakim dan Syeikh KH. Ahmad Muthohar Syeikh KH. Hanif Muslih .......................................... 65 5. Proses Penyelenggaraan Pendidikan ................................ 67 6. Jenjang Pendidikan, Sistem Pengajaran dan Materi Kajian ........................................................................................ 70
7. Aktifitas Kegiatan Santri ................................................. 76 8. Organisasi Kelembagaan ................................................. 79 9. Kepengurusan Pondok Pesantren ..................................... 81 10. Sarana Prasarana ............................................................. 83 11. Santri dan Tenaga Pengajar ............................................. 84 12. Pengembangan ................................................................ 86 13. Keadaan Sosiologis .................................................... 87 B. Dinamika Pendidikan Pendidikan Pesantren Futuhiyyah ....... 88 BAB IV
ANALISIS TERHADAP IMPLEMENTASI KONSEP LIMA ELEMEN DASAR, DINAMIKA PENGEMBANGAN PENDIDIKAN DAN NILAI-NILAI FUNDAMENTAL PENDIDIKAN PESANTREN FUTUHIYYAH MRANGGEN A. Analisis Implementasi Konsep Lima Elemen Dasar Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen ........................................... 91 1. Pondok sebagai asrama pemondokan para santri .......... 92 2. Masjid ............................................................................. 95 3. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik ................................. 99 4. Santri .............................................................................. 102 5. Kyai ................................................................................ 106 B. Analisis Dinamika Pengembangan Pendidikan Pondok Pesantren Futuhiyyah ............................................................................ 110 1. Transformasi kepemimpinan (pola manajerial) ................ 111 2. Transformasi sistem pembelajaran institusi ..................... 114 3. Transformasi kurikulum .................................................. 116
C. Nilai-nilai Fundamental Pendidikan Pesantren Futuhiyyah ....................................................................................... 121 1. Komitmen untuk tafaqquh fiddin ................................. 121 2. Pendidikan Sepanjang Waktu (Fullday School) ............ 125 3. Pendidikan Seutuhnya ................................................ 127 4. Pendidikan Integratif .................................................. 129 5. Adanya kebebasan beraktualisasi dan tanggungjawab .. 131 6. Pesantren adalah Masyarakat Kecil ............................. 132 7. Pendidikan Alternatif ................................................. 134 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................... 135 B. Saran .................................................................................... 138 C. Penutup ................................................................................. 139
DAFTAR PUSTAKA BIOGRAFI PENULIS LAMPIRAN - LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan transformasi baik dalam diri, maupun komunitas. Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, intimidasi, dan ekploitasi. Di sinilah letak afinitas dari aspek pedagogik, yaitu membebaskan manusia secara konprehensif dari ikatan-ikatan yang terdapat di luar dirinya atau dikatakan sebagai suatu yang mengikat kebebasan seseorang. Maka dari pada itu, pendidikan adalah merupakan elemen yang sangat signifikan dalam menjalani kehidupan, karena dari sepanjang perjalanan hidup manusia, pendidikan merupakan barometer untuk mencapai maturitas nilainilai kehidupan. Hal itu sejalan dengan salah satu aspek tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang tercantum dalam UU SISDIKNAS RI No. 20 Tahun 2003, tentang membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur melalui proses pembentukan kepribadian, kemandirian dan norma-norma tentang baik dan buruk. Sedangkan di sisi lain manusia sebagai makhluk pengemban etika yang telah dikaruniai akal dan budi. Dengan demikian, adanya akal dan budi menyebabkan manusia memiliki cara dan pola hidup yang multidimensi, yakni kehidupan yang bersifat material dan bersifat spritual.
1
Begitu pentingnya pendidikan bagi setiap manusia, karena tanpa adanya pendidikan sangat mustahil suatu komunitas manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan cita-citanya untuk maju, mengalami perubahan, sejahtera dan bahagia sebagaimana pandangan hidup mereka. Semakin tinggi cita-cita manusia, maka semakin menuntut peningkatan mutu pendidikan sebagai sarana pencapaiannya. Hal ini telah termaktub dalam al-Qur‟an surat al-Mujadalah ayat 11:
Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapanglapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Depag RI, 1974: 911). Relevan dengan hal tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapai. Buktinya dengan penyelenggaraan pendidikan yang kita alami di Indonesia. Tujuan pendidikan mengalami perubahan yang terus menerus dari setiap pergantian roda kepemimpinan. Maka dalam hal ini sistem pendidikan nasional masih belum mampu secara maksimal untuk membentuk masyarakat yang benar-benar sadar akan tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Melihat fenomena yang terjadi pada saat sekarang ini banyak kalangan yang mulai mencermati sistem pendidikan pesantren sebagai salah satu solusi
2
untuk terwujudnya produk pendidikan yang tidak saja cerdik, pandai, lihai, tetapi juga berhati mulia dan berakhlakul karimah. Hal tersebut dapat dimengerti, karena pesantren memiliki karakteristik yang memungkinkan tercapainya tujuan yang dimaksud. Karena itu, sejak lima dasawarsa terakhir diskursus di seputar pesantren menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Hal ini tercermin dari berbagai fokus wacana, kajian dan penelitian para ahli, terutama setelah kian diakuinya kontribusi dan peran pesantren yang bukan saja sebagai “sub kultur” (untuk menunjuk kepada lembaga yang ber-tipologi unik dan menyimpang dari pola kehidupan umum di negeri ini) sebagaimana disinyalir Abdurrahman Wahid (1984: 32). Tetapi juga sebagai “institusi kultural” (untuk menggambarkan sebuah pendidikan yang punya karakter tersendiri yang unik,
sekaligus
membuka diri terhadap hegemoni eksternal),
sebagaimana ditegaskan oleh Hadi Mulyo (1985 : 71). Dikatakan unik, karena pesantren memiliki karakteristik tersendiri yang khas yang hingga saat ini menunjukkan kemampuannya yang cemerlang mampu melewati berbagai episode zaman dengan kemajemukan masalah yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan sejarahnya, Ia telah memberikan andil yang sangat besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pencerahan terhadap masyarakat. Pesantren sebagai salah satu format lembaga pendidikan dipercaya sebagai formula jitu yang dapat menangani permasalahan-permasalahan umat dewasa ini, mengingat perkembangan dunia pendidikan dewasa ini tampak
3
sangat memprihatinkan. Tidak hanya pendidikan Islam saja bisa dengan tanpa mengurangi nilai-nilai dan pandangan hidup yang sudah berjalan di pesantren. Pada dasarnya pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tidak memandang strata sosial, lembaga ini dapat dinikmati semua lapisan masyarakat, laki-laki-perempuan, tua-muda, miskin kaya, mereka semua dapat menikmati pendidikan di lembaga ini. Dan satu hal yang perlu kita catat bahwa tidak sedikit pemimpin-pemimpin bangsa ini, baik pemimpin yang duduk dalam pemerintahan maupun yang bukan, formal atau informal, besar maupun kecil, di antara pemikiran mereka diwarnai dengan pola pendidikan pondok pesantren. Di banyak tempat istilah yang identik dengan pondok pesantren ini juga mempunyai banyak persamaan nama, di Jawa dan Madura istilah yang sering digunakan adalah pondok (Dhofier, 1984: 18) atau pondok pesantren (Ali, 1987: 15), sedang di Aceh dikenal dengan istilah “Dayah, Rangkang, atau Meunasah/ Madrasah (Hasbullah, 1999: 32), adapun di Minangkabau pesantren lebih dikenal dengan istilah “Surau”, sedangkan di Pasundan institusi ini disebut dengan “Pondok” (Raharjo, 1985: 2). Sebagai lembaga pendidikan lanjut, pesantren merupakan tempat yang mengkonsentrasikan para santrinya untuk diasuh, dididik dan diarahkan menjadi manusia yang paripurna oleh kyai atau guru. Lalu sebenarnya kapan pondok pesantren berdiri di Nusantara?. Data sejarah tentang kapan pesantren berdiri, siapa pendiri, serta di mana secara detail berdirinya sulit untuk ditelusuri. Data dan keterangan
4
tentang pesantren tidak didapatkan secara pasti. Dari hasil pendataan yang dilakukan oleh Subdit Pesantren Depag R.I. pada tahun 1994/ 1995 diperoleh keterangan bahwa pondok pesantren tertua didirikan pada 1062 dengan nama pesantren Jan Tampes II di Pamekasan, Madura (Ahmad, 2002: 22). Namun data ini tentunya memunculkan pertanyaan lebih lanjut: Jika ada pesantren Jan Tampes II, tentu ada pesantren Jan tampes I yang usianya pastinya juga lebih tua, sayangnya data tersebut tidak mengikutkan data tentang Jan Tampes I yang mungkin usianya lebih tua. Pesantren adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembagan sistem pendidikan nasional. Menurut Nur cholish Madjid (1997: 3), secara histori pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian (Indigenius) Indonesia. Karena, sebelum datangnya Islam ke Indonesia pun lembaga serupa pesantren ini sudah ada di Indonesia dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan dan mengislamkannya. Secara sudut pandang histori pesantren merupakan hasil akulturasi (penyerapan) kebudayaan Hindu-Budha dan kebudayaan Islam yang kemudian menjelma menjadi suatu lembaga yang kita kenal sebagai pesantren seperti sekarang ini. Sekedar sebagai contoh adalah pola pergaulan antara guru dan murid, dalam hal ini kyai dan santri. Pola ini pada dasarnya mirip dengan pola pergaulan antara guru dan cantrik pada masa Hindu dan Budha, yang mana pada waktu itu, cantrik punya motivasi yang sangat kuat untuk mengikuti semua perilaku gurunya dan tampaknya masih lestari sampai saat ini di dunia
5
pesantren, walaupun tidak sama persis dengan tradisi guru dan cantrik pada masa Hindu dan Budha. Sebagai lembaga Islam yang tradisional, pada dasarnya pesantren terkait erat dengan Islamisasi (pengislaman) di Indonesia secara umum, atau internalisasi ajaran-ajaran Islam secara intensif pada masyarakat muslim Indonesia. Ditinjau dari aspek historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam,
pada
dasarnya
merupakan kelanjutan dari pendidikan
yang
dilaksanakan oleh masjid (Steenbrink, 1974: 10) ataupun langgar (Zuhri, 1974: 19). Sebab (masjid biasanya didirikan oleh tokoh-tokoh agamis) di samping berfungsi sebagai tempat untuk melaksanakan ibadah ritual seperti shalat jama‟ah, shalat jum‟at, sekaligus juga berfungsi sebagai tempat untuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Sedangkan langgar hanya dipakai untuk ibadah lainnya (Steenbrink, 1974: 11). Jadi masjid mempunyai peran yang dominan sebagai Islamisasi, pribumisasi, dan intensifikasi ajaranajaran Islam di Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman lambat laun pola pendidikan dan pengajaran yang dirintis dan diselenggarakan oleh masjid ini, mengalami banyak perubahan dan pembaharuan-pembaharuan. Maka berawal dari pendidikan itu, muncullah pendidikan pesantren sebagai solusi dan alternatif pendidikan yang diselenggarakan oleh masjid. Oleh sebab itu, pendidikan yang diselenggarakan oleh masjid merupakan embrio pendidikan pesantren (Dhofier, 1984: 20). Bahkan dalam perjalanan selanjutnya, masjid disebutsebut merupakan salah satu elemen pokok pendidikan pesantren.
6
Ditinjau dari aspek material, bahwa materi yang disajikan dalam pola pendidikan paling tradisional ini adalah materi-materi elementer, materi yang dasar dan sederhana. Contohnya: wudlu, shalat dan do'a-do'a (Steenbrink, 1974: 10), serta membaca Al-Qur‟an sesuai dengan ilmu yang ada (tajwid), ghorib, qasidah-qasidah dan Al-Barjanji. Materi dalam pola pendidikan masjid/ langgar ini, menurut Prof. Mahmud Yunus (1985: 35) dapat diklasifikasikan dalam 2 (dua) kategori, yaitu: 1. Tingkatan rendah, merupakan tingkatan pemula yaitu mulainya mengenal huruf –huruf hijaiyyah sampai dengan dapat membacanya, dan anak-anak hanya belajar pada malam dan pagi hari sesudah sholat shubuh. 2. Tingkatan atas, pelajarannya selain tersebut di atas, ditambah lagi dengan pelajaran lagu, qasidah, barzanji, tajwid, serta mengaji kitab perukunan. Sedangkan ditinjau dari anak sebagai peserta didik, maka tampaklah bahwa peserta didik dalam pendidikan masjid adalah mereka yang belum mencapai usia aqil baligh, yaitu mereka yang berkisar antara usia 6-10 tahun (Steenbrink, 1974: 11), bahkan usia 5 tahun pun menurut Dhofier (1984: 20) pendidikan dan pengajaran sudah dimulai dan tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan ini sederhana sekali yaitu, membaca Al-Qur‟an keseluruhan dengan baik. Jika peserta didik telah mampu membaca Al-Quran dengan baik, berarti tujuan pendidikannya telah terealisir. Berdasarkan deskripsi singkat di atas, menjadi jelas bahwa masjid merupakan embrio pendidikan pesantren, senada pula dengan pendapat Karel A. Steenbrink (1974: 11), bahwa pendidikan di masjid merupakan pendidikan
7
Islam yang paling sederhana, yang mana materi pokoknya adalah membaca Al-Qur‟an dan pengajaran kitab (yang diselenggarakan pesantren) merupakan pendidikan lanjutan. Jadi pada waktu itu pesantren bisa dikatakan merupakan pendidikan tingkat tinggi dan menengah. Pesantren pada dasarnya merupakan lembaga yang terbuka (open mind), toleran untuk menerima budaya lokal tanpa melupakan diri, dan jati dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam. Toleransi dan keterbukaan yang dipraktekkan pesantren ini, merupakan faktor yang dominan dalam Islamisasi dan Pribumisasi ajaran Islam di Indonesia. Sesuai pendapat Prof. Mukti Ali (1974: 6), bahwa suksesnya penyiaran Islam di Indonesia selain ajaran-ajaran Islam itu mudah dimengerti, juga karena kesanggupan pembawa Islam tempo hari dalam memberikan konsesi terhadap adat kebiasaan yang ada dan hidup dalam masyarakat. Pendidikan mengandung makna yang luas dan kompleks, sesuai pendapat Prof. Dr. Hasan Langgulung (1985: 135), pendidikan merupakan pengajaran yang lebih, biasa berbentuk pengajaran-pengajaran kalau bersifat perasaan atau afeksi, latihan kalau bersifat motoris. Dengan kata lain pendidikan harus mampu mengembangkan semua potensi peserta didik yang ujung-ujungnya adalah kepribadian yang paripurna (Insan Kamil). Sebagai lembaga pendidikan Islam, maka pesantren tidak hanya bertugas menyelenggarakan pengajaran saja, tetapi juga harus mendidik santri-santrinya sebagai peserta didiknya, menuju insan yang paripurna. Berawal dari sini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa secara ideal pesantren
8
harus didukung elemen-elemen dasar, sehingga mampu menjalankan perannya, sebagai lembaga pendidikan Islam. Menurut Zamakhsyari Dhofier (1984: 44), pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam harus didukung elemen-elemen dasar yang lima yaitu, pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik dan kyai. Senada dengan pendapat Prof. Mukti Ali (1987: 16), bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat seorang kyai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (anak didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pondok sebagai tempat tinggal para santri. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam tidak akan lepas dan harus didukung paling tidak lima elemen-elemen yang, mendasarinya, antara lain yaitu: 1. Santri 2. Kyai 3. Kitab kuning 4. Masjid 5. Pondokan. Dengan demikian sebagai lembaga pendidikan Islam, maka pesantren di samping harus memadukan elemen dasar di atas, juga dapat memadukan unsur unsur internal Islam sebagai agama. Unsur-unsur internal sebagaimana diungkapkan Adi Sasono dkk (1998: 103), antara lain adalah: 1. Ibadah untuk menanamkan iman dan takwa terhadap Allah SWT.
9
2. Tabligh untuk penyebaran ilmu. 3. Amal untuk mewujudkan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kombinasi yang harmonis, di antara elemen-elemen dasar di atas, dan didukung unsur-unsur internal Islam sebagai agama, maka diharapkan pesantren dapat memainkan fungsinya secara optimal di tengahtengah masyarakat muslim Indonesia. Menurut Azumardi Azra (1998: 89), fungsi minimal yang harus dijalankan pesantren adalah sebagai berikut: 1. Transmisi ilmu pengetahuan Islam (Transmision Of Islamic Knowledge); 2. Pemeliharaan tradisi Islam (Maintenance Of Islamic Tradision); 3. Pembinaan calon-calon ulama‟ (Reproduction Of Ulama‟); Fungsi ini, merupakan fungsi minimal yang harus dijalankan pesantren, apapun coraknya baik pesantren yang bercorak salaf
maupun
khalaf (Dzofier, 1984: 41) ataupun corak-corak lain. Sebagai lembaga pendidikan Islam pesantren juga memiliki tujuan yang akan direalisasikan pada diri peserta didik yang telah menjalani proses pendidikan pengajaran. Menurut Dzofier (1984: 21) tujuan pendidikan pesantren tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi juga untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku jujur dan bermoral dan menyiapkan para murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Dalam hal ini, Madjid (1997: 18) berpendapat, tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk manusia yang memiliki kesadaran yang tinggi
10
bahwa Islam merupakan Weltanschaung yang bersifat menyeluruh. Selain itu juga diharapkan memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengadakan responsi terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada. Sedangkan Prof. DR. Said Agil Sirodj (1998:
26)
juga
berpendapat,
tujuan
pendidikan
pesantren
adalah
pembentukan jati diri manusia yang berakhalakul karimah hingga terwujudnya insan yang paripurna. Menurut Drs. H. Amal Fathullah Zarkasyi, M.A (Sasono dkk, 1998: 127) tujuan pondok pesantren yang ingin dicapai sebagaimana Pondok Modern Gontor adalah pembentukan manusia yang : 1. bertakwa kepada Allah dan taat menjalankan syariat Islam 2. berperangaikan manusia Indonesia yang terpuji 3. berbudi luhur, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berfikiran bebas. 4. berguna bagi masyarakat 5. berbahagia lahir batin di dunia dan di akhirat. Jadi sesuai dengan uraian di atas, bahwa tujuan pendidikan pesantren pada dasarnya adalah membentuk insan muslim yang berkepribadian paripurna (Insan Kamil) dengan nilai-nilai yang Islami. Tujuan ini merupakan tujuan yang final, tidak boleh ditawar-tawar lagi, maka kemudian yang menjadi persoalan saat ini adalah bagaimana pesantren (dengan elemen-elemen dasarnya) merespons dan menyikapi berbagai perubahan dalam era modernisasi dan globalisasi untuk tetap mencapai tujuan pendidikan seperti yang telah diungkap?
11
Di sisi lain saat ini mayoritas pesantren saat ini masih memberlakukan atau menerapkan sistem secara parsial, artinya hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja, sehingga outputnya belum mampu mencerminkan tuntutan zaman. Kalaupun ada beberapa pesantren telah memasukkan sistem umum, namun pada tingkat implementasinya masih belum maksimal. Sedangkan lulusan pesantren diharapkan menjadi lulusan yang mampu bersaing dan zamani, artinya santri yang mampu menguasai ilmu-ilmu agama dengan baik, serta menguasai ilmu-ilmu umum dengan baik pula. Berangkat dari latar belakang tersebut, maka sebenarnya posisi strategis pesantren sebagai lembaga pendidikan cukup dilematis. Di suatu sisi pesantren mempunyai ciri khas tradisi yang perlu dilestarikan, sedangkan di sisi lain lembaga pesantren merasa mempunyai tanggung jawab yang cukup besar dalam mengemban amanat dakwah Islam yang selalu dihadapkan dengan kondisi zaman yang selalu berubah, terlebih lagi moderinisasi yang ditawarkan lebih mempunyai banyak kelemahan daripada kelebihan. Dengan demikian, dinamika pengembangan pendidikan pesantren sebenarnya tidak bertentangan dengan motto pesantren itu sendiri, yaitu memelihara cara lama yang baik (relevan) dan dan mengembangkan cara baru yang lebih baik lagi. Oleh karena itu, keberadaan pesantren lambat laun tidak hanya berorientasi pada ilmu agama saja, melainkan lebih meluas lagi dalam bidang pengetahuan umum. Dengan kata lain pesantren sudah selayaknya menjadi lembaga Taffaquh Fiddin dalam arti luas.
12
Walaupun demikian, pesantren telah membuktikan diri bahwa pesantren tetap mampu untuk survive di tengah-tengah laju modernisasi dan globalisasi yang melalui semua sendi-sendi kahidupan, artinya pesantren mempunyai keistimewan yang harus dilestarikan, namun apa sebenarnya keistimewaan itu? Dari uraian di atas sebenarnya mengandung beberapa persoalan yang cukup menarik, yang selanjutnya akan dikaji oleh penulis, yaitu: Pertama, Bagaimana pesantren (dengan elemen-elemen dasarnya) menyikapi berbagai perubahan terjadi di tengah-tengah masyarakat modern. Kedua, Nilai-nilai positif apa yang dimiliki pesantren, sehingga pesantren masih tetap eksis sampai sekarang ataupun waktu yang akan datang. Pulau Jawa khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan salah satu basis berdirinya institusi lembaga unik di nusantara ini. Namun satu yang kota yang telah lekat dengan jargon “Kota Wali”. Jargon itu memancing kita berfikir bahwa para wali disebut-sebut telah mewariskan tradisi yang seperti sedang penulis perbincangkan ini yaitu pondok pesantren, artinya berdirinya pesantren tidak lepas dari peran para wali. Kota dimaksud adalah kota Demak. Sebenarnya wilayah Demak terdapat banyak sekali berdiri pondok pesantren, yang tentunya setiap pondok pesantren juga memiliki arah perkembangan yang berbeda-beda, terutama dalam pemeliharan tradisi kebudayaan semacam ini. Namun di antara banyak pesantren tersebut tidaklah mudah bertahan apabila dihadapkan dengan kondisi zaman sekarang ini, terlebih lagi modernisasi yang mengiringi tanpa tawar menawar. Salah satu
13
dari sekian banyak pesantren yang ada di daerah Demak adalah pondok pesantren Futuhiyyah Suburan, kecamatan Mranggen, kabupaten Demak. Konon pondok pesantren Futuhiyyah Suburan telah berumur lebih dari satu abad. Perannya sebagai lembaga pendidikan bernuansa Islam tentunya lebih dewasa, pondok pesantren Futuhiyyah Suburan berkembang dengan pesat. Dan yang tidak terlewatkan dalam beberapa dekade kepemimpinan ini, pondok pesantren Futuhiyyah Suburan yang masih mempertahankan ke lima elemen dasar pesantren yang dipercaya sebagai pola yang dapat dijadikan pembentuk karakter output santri yang ideal. Terlepas dari pembahasan penelitian penulis yang juga memungkinkan didapatkan berbagai anggapan yang berusaha menyimpulkan titik temu perkembangan suatu lembaga, maka dalam setiap kata penulis akan sangat berhati-hati dalam berargumen. Hal itu hanya untuk menghindari berbagai persepsi salah yang juga dimungkinkan, mengingat penulis juga manusia yang tidak sempurna. Setelah kita mengetahui hal itu, kemudian mengapresiasinya sehingga kita dapat menemukan pola pendidikan pesantren yang bisa dijadikan alternatif ataupun referensi bagi pendidikan sekarang dan masa depan. Inilah yang akan menjadi kajian penelitian ini dengan menampilkan profil sebuah pondok pesantren salaf yang cukup dewasa ini, pondok ini tetap berdiri “megah” dan telah “mencetak” banyak output, tidak sedikit mereka juga telah mendirikan lembaga serupa pesatren di daerah tempat asalnya masing-masing, beberapa juga menduduki kursi dalam birokrasi pemerintahan, dan lain-lain.
14
Maka dalam hal ini cukup menarik untuk penulis kaji lebih dalam. Dan apabila mungkin merupakan tugas penulis meneliti lebih jauh kelebihan dan kekurangan dari lembaga ini agar dapat diambil dari manfaat penelitian ini. Berangkat dari hal tersebut, penulis bermaksud mengkaji persoalan ini yang penulis ungkapkan tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul “DINAMIKA PENDIDIKAN PESANTREN STUDI IMPLEMENTASI DAN PENGEMBANGAN ATAS KONSEP LIMA ELEMEN DASAR PESANTREN PADA PONDOK PESANTREN FUTUHIYYAH, DESA SUBURAN, KEC. MRANGGEN, KAB. DEMAK 2009/2010” B. Penegasan Istilah Untuk menghindari salah persepsi dalam pemahaman persoalan ini, maka dirasa perlu untuk memberikan kejelasan istilah dari kajian ini, yaitu: a) Dinamika Dinamika dalam Kamus Induk Istilah Ilmiah yang ditulis Barry (2003: 141) adalah perubahan, perkembangan. Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989: 206), dimaknai dengan kelompok atau gerak yang dimiliki sekumpulan orang dalam masyarakat yang dapat menimbulkan perubahan dalam tata hidup masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud oleh penulis dengan dinamika tersebut, adalah perubahan positif yang terjadi terus menerus sehingga dapat diambil perkembagannya secara dinamis.
15
b) Pendidikan Banyak sekali makna pendidikan yang bisa ditemukan, tetapi penulis hanya akan memberikan sebagian dari makna tersebut, karena pada intinya adalah sama. Menurut Drs. Ahmadi (1984: 13), pendidikan dimaknai dengan perkembangan perlengkapan yang terorganisir dari semua potensi moral manusia, intelektual dan fisik. Sedang dalam Ensiklopedi Pendidikan (Poerbakawatja, 1981: 257/7), pendidikan adalah semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuan, pengalaman, kecakapan serta ketrampilannya kepada generasi muda sebagai usaha agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani. Jadi, pendidikan memuat unsur-unsur, antara lain: 1. usaha sadar berupa bimbingan, Pengajaran 2. generasi tua sebagai pendidik, Pengajar 3. generasi muda sebagai terdidik siswa, Murid 4. menuju kedewasaannya sebagai tujuan yang ingin dicapai. Proses pendidikan ini dijalankan oleh pesantren, maka tema pesantren merupakan tema yang sangat menarik. c) Pesantren Banyak makna ditemukan penulis menurut berbagai pakar, seperti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Purwodarminta, 1976: 746), pesantren merupakan asrama dan tempat para murid-murid belajar mengaji, sedangkan dalam psikologi pendidikan (Poerbakawatja, 1981:
16
279), pesantren dimaknai dengan tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Dalam Ensiklopedi Islam (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994: 99), pesantren dimaknai dengan lembaga pendidikan Islam tertua yang telah befungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah, dan pusat pengembangan masyarakat muslim di Indonesia. Sedangkan apabila selanjutnya penulis dalam menyebut pesanten akan sering mempergunakan kata-kata pesantren, pondok pesantren, PP ataupun Ponpes, maka sebenarnya yang dimasudkan penulis tidak lain adalah pondok pesantren. Dan pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam, mempunyai elemen-elemen dasar yaitu pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab klasik, Santri dan Kyai.
d) Implementasi Dalam kamus istilah pendidikan dan umum, implementasi berarti pelaksanaan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994: 374), penerapan, pelaksanaan (Muliono dkk, 1993: 672). Dalam kamus umum bahasa Indonesia kata pelaksanaan berasal dari kata yang berarti penerapan (Purwadarminta, 1976: 377). Jadi, arti dari pelaksanaan di sini adalah untuk menunjuk suatu proses, penerapan ide, konsep, kebijakan atau inovasi dalam suatu tindakan praktis, sehingga memberikan dampak
17
menyeluruh, baik berupa perubahan institusi, kelembagaan baik secara umum maupun khusus, nilai-nilai dan sikap secara signifikan dalam berbagai sudut pandang penialaian terhadap eksisitensi keberadaan suatu lembaga pendidikan. e) Pengembangan Penegembangan adalah proses, cara, perbuatan mengembangkan (W.J.S. Purwodarminta, 1989: 414). Istilah pengembangan, penulis mengidentikkan dengan term suatu konsep yang berjalan dengan inovasi. Ia mencakup dua proses, yang sesuai dengan kaidah pengembangan, yaitu:
Menggalakkan kembali nilai-nilai positif yang telah ada (lama), di samping juga mencakup pula pergantian nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna (Ismail SM, 2002: 49). Dalam hal ini penulis lebih memfokuskan pada pengembangan institusi ke lima elemen dasar pesantren. C. Rumusan Masalah Ada beberapa pokok persoalan yang melandasi kajian ini, persoalanpersoalan itu adalah : 1. Bagaimanakah profil pondok pesantren Futuhiyyah, Desa Suburan, Kec. Mranggen, Kab. Demak sebagai salah satu pondok pesantren tradisional yang relatif tua, namun tetap eksis setelah melalui perjalanan sejarah dari masa ke masa hingga kini?
18
2. Bagaimanakah implementasi dan pengembangan konsep lima elemen dasar pesantren di pesantren Futuhiyyah seiring perubahan zaman? 3. Bagaimanakah nilai-nilai fundamental pendidikan di pesantren Futuhiyyah Mranggen sehingga dapat dijadikan alternatif dalam mencerdaskan umat? D. Tujuan dan Signifikasi Penulisan Berdasarkan pokok masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai penulis adalah : 1. Menggambarkan bahwa tidak semua lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren tertinggal di tengah-tengah deru modernisasi. Tetapi justru menunjukkan eksistensinya yang dinamis, baik kelembagaan maupun sistem pendidikannya, sebagai contoh adalah Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen. 2. Untuk mengetahui perkembangan pesantren Futuhiyyah dan elemenelemennya dalam beradaptasi dengan masyarakat yang selalu berubah. 3. Melihat secara kritis nilai-nilai fundamental pendidikan pesantren Futuhiyyah yang mampu menciptakan generasi yang cerdas akal (otak), emosi, sosial dan spiritualnya sehingga menjadi generasi yang unggul, berintegritas tinggi dan penuh kemandirian. Adapun signifikasi penulisan kajian ini adalah sebagai berikut : 1. memberi wacana dan membuka wawasan bagi para pembaca tentang pesantren dan elemen dasar serta perkembangannya. 2. memberi
khasanah
pemikiran
Islam,
khususnya
keistimewaan pesantren agar pesantren tetap survive.
19
keistimewaan-
E. Metode penelitian Adapun obyek penelitian ini adalah Pondok Pesantren Futuhiyyah. Penelitian ini tidak menggunakan responden sebagai subjek penelitian, tetapi memilih informan, karena pendekatan penelitian ini adalah kualitatif. Informan dalam penelitian ini adalah pimpinan Pondok, beberapa ustadz, pengurus pesantren, pengurus yayasan, para santri dan beberapa alumni, serta bila mungkin tokoh masyarakat terkait yang tinggal di sekitar pesantren. 1. Sumber Data Ada dua macam sumber data yang dijadikan acuan dalam penelitian ini, diambil dari berbagai sumber diataranya :
a) Sumber data kepustakaan Merupakan sumber data yang langsung didapat dari penulis (orang pertama) (Arikunto, 1990: 337). Karena kajian yang dibahas oleh
penulis
bukan
kajian
tokoh,
melainkan
kajian
institusional/kelembagaan, maka sumber primer yang dimaksudkan penulis adalah semua kajian tentang pesantren yang ditulis oleh orang yang mempunyai otoritas tentangnya. b) Sumber lapangan Data lapangan diperoleh dari informan meliputi kyai, santri, ustadz, masyarakat sekitar pondok pesantren, dan dokumen-dokumen pondok pesantren yang relevan dengan penelitian ini.
20
2. Metode pengumpulan data Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini penulis menggunakan beberapa metode sebagai berikut : a. Metode Observasi Observasi adalah pengamantan secara langsung dan pencatatan dengan sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki. (Sutrisno Hadi, 1989: 136) Adapun jenis metode observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis non partisipan dimana peneliti tidak ambil bagian dalam peri kehidupan subyek yang diobservasi. Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang situasi dan kondisi obyektif pesantren yang meliputi keterpaduan konsep yang dikaji. b. Metode Interview Metode interview Adalah proses tanya jawab dalam penelitian dan berlangsung secara lisan dua orang atau lebih dengan bertatap muka dan mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan. (Chalid Narbuko dkk, 1999: 83) Pada teknik ini peneliti datang secara langsung pada informan atau obyek yang diteliti. Peneliti menanyakan sesuatu yang telah direncanakan kepada informan secara langsung. Pada wawancara ini dimungkinkan peneliti dengan responden melakukan tanya jawab
21
secara interaktif maupun secara sepihak saja, semisal dari peneliti saja. (Sukardi, 2003: 79) c. Metode Dokumentasi Dokumentasi dalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa skripsi, surat, lembar majalah, agenda dan sebagainya. (Sutrisno Hadi, 1994: 42) Pada teknik ini peneliti dimungkinkan memperoleh informasi dari berbagai macam sumber tertulis atau dokumen yang ada pada informan, tempat di mana informan tinggal atau melakukan kegiatan sehari-harinya. (Sukardi, 2003: 81) Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan kajian yang berasal dari dokumen-dokumen. d. Metode Analisis Data Setelah data terkumpul dari sumber-sumber di atas, maka tindakan selanjutnya adalah : a) Analisis Menurut Sukardi (2003: 164), yang dimaksud Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Analisis merupakan tahap penting untuk menentukan corak hasil penelitian, sebab dalam tahapan ini data akan diolah menurut pola pemikiran peneliti, data yang tadinya tidak dapat berbicara menjadi bermakna. Data yang terpisah dari tiap-tiap variabel yang nampak tidak memiliki
22
hubungan dapat dibangun membentuk suatu konfigurasi yang hidup, dan digeneralisasikan, diurai menurut varian yang berbedabeda dikomparasikan, maupun dicari kaitan kausalitasnya. (Thoha, 1996: 164) Karena skripsi ini bersifat Kualiatif-Deskriptif, maka dalam menganalisa data yang telah terkumpul dengan metode-metode diatas, kemudian dianalisa dengan langkah sebagai berikut ini : 1) Menelaah seluruh data yang terkumpul dari berbagai sumber, mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan abstraksi yaitu usaha membuat rangkuman proses dan pernyataan-pernyatan yang dirasa perlu. 2) Menyusun data dalam satuan-satuan atau mengorganisasikan pokok-pokok pikiran tersebut dengan cakupan fokus penelitian dan mengkaji secara diskriptif. 3) Mengadakan pemeriksaaan keabsahan data atau memberi maksa pada hasil penelitian dengan cara menghubungkannya dengan teori. 4) Mengambil kesimpulan. (Lexy, J. Moleng, 2005: 247) Cara ini digunakan penulis, khususnya ketika mengkaji tentang keistimewaan-keistimewaan pesantren. b) Sintesis Adalah cara penanganan terhadap suatu obyek ilmiah tertentu dengan jalan menghubungkan pengertian yang satu dengan
23
yang lain agar diperoleh pengertian baru (Lexy, J. Moleng, 2005: 23). Cara kedua ini banyak dipergunakan oleh penulis ketika membahas dinamika elemen pesantren secara umum. c) Diskriptif Merupakan akumulasi data dasar dengan cara diskriptif (penggambaran) semata-mata, tidak perlu menerangkan saling hubungan, mengetes hipotesis ataupun tindakan-tindakan lain. Cara ini dipergunakan penulis ketika membahas potret secara umum. Di samping dengan tiga cara analisa di atas, penulis masih mempergunakan metode berfikir deduktif dan induktif. 1. Deduktif Merupakan cara berfikir yang dalam mengambil kesimpulan berangkat dari peristiwa-peristiwa yang sifatnya umum kemudian ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat khusus. (Sutrisno Hadi, 1994: 36) 2. Induksi Merupakan cara berfikir dalam mengambil kesimpulan berangkat dari fakta-fakta yang sifatnya khusus, kemudian ditarik genaralisasi yang mempunyai sifat umum. (Sutrisno Hadi, 1989: 42)
24
Kedua metode berfikir ini sangat membantu sekali terutama sekali ketika penulis mengkaji dinamika elemen dasar pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dan keistimewaannya. F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah mempelajari dan memahami skripsi ini, maka dalam pembahasan skripsi ini dibagi menjadi lima bab. Untuk lebih jelasnya, penulis menyusun sistematika pembahasan sebagai berikut : Bab I
Pendahuluan Pendahuluan menguraikan kerangka dasar bagi penelitian ini yang berisikan mengenai sub-sub bab pendahuluan, yaitu pokok rumusan masalah, penegasan istilah, tujuan dan signifikasi penulisan, metodologi, dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II
Kajian Pustaka Dimaksudkan penulis sebagai pengantar tentang kerangka toeri tentang konsep lima elemen dasar pesantren yang sudah ada menurut beberapa referensi, di dalamnya juga meliputi pengertian pesantren, sejarah perkembangan pondok pesantren di indonesia, tipologi pesantren, dan sistem pendidikan pondok pesantren.
Bab III
Pemaparan Hasil Penelitian Dalam bab ini akan penulis arahkan untuk mencermati dua hal, biografi dan profil Pondok Pesantren Futuhiyyah dari awal berdirinya, salah satu profil pondok pesantren salaf yang menunjukkan eksistensinya secara dinamis. Dipaparkan melalui
25
gambaran
umum
geografis,
sejarah
berdirinya
Pesantren
Futuhiyyah dan perkembangannya, Visi dan Misi, Landasan Pendidikan, Sistem Pendidikan di sana, hingga sedikit dipaparkan gambaran tentang keadaan sosiologis desa Suburan dan sekitarnya. Kemudian diurai sedikit dinamika kehidupan pondok pesantren Futuhiyyah. Bab IV
Analisis Implementasi Konsep Lima Elemen Dasar Pesantren Merupakan hasil analisis impementasi dan pengembangan Konsep ke Lima Elemen Dasar Pesantren di Pesantren Futuhiyyah Mranggen saat ini, dengan meninjau kembali implementasi Lima Elemen Dasar Pesantren yang telah berjalan dari semula berdirinya hingga kini sebagai konsistensi kelembagaan. Setelah berhasil ditemukan analisis sementara maka akan dapat ditarik benang putih yaitu nilai-nilai fundamental pendidikan di Pesantren Futuhiyyah sebagai salah satu pola pendidikan yang dapat dijadikan alternatif pengembangan pola pendidikan Islam saat ini.
Bab V
Penutup Merupakan penutup dari pembahasan penelitian ini yang berisi Penutup, kesimpulan, kritik dan saran/ rekomendasi.
26
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Unsur-unsur sebuah pesantren Untuk memberi definisi sebuah pondok pesantren, harus kita melihat makna perkataannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri (Dhofier 1985:18). Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri. Menurut Wahid (2001:171), “pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent) dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas.” Pondok pesantren secara definitif tidak dapat diberikan batasan yang tegas, melainkan terkandung fleksibilitas pengertian yang memenuhi ciri-ciri yang memberikan pengertian pondok pesantren. Jadi pondok pesantren belum ada pengertian yang lebih konkrit, karena masih meliputi beberapa unsur untuk dapat mengartikan pondok pesantren secara komprehensif. Maka dengan demikian sesuai dengan arus dinamika zaman, definisi serta persepsi terhadap pesantren menjadi berubah pula. Kalau pada tahap awalnya pesantren diberi makna dan pengertian sebagai lembaga pendidikan tradisional, tetapi saat sekarang pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional tidak lagi selamanya benar.
27
Saat itu di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak di seluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001:70). Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian Dhofier (1984: 21), ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pesantren. Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya. Unsur-unsur inilah yang nantinya membentuk kesadaran pesantren dalam merespons setiap problem kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat, tidak terkecuali problem kemiskinan di dalamnya 1. Kyai Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa (Ziemek, 1986:130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: 1.sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; 2.gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya; 3.gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier, 1985: 55). Dalam fungsinya di pesantren
28
kyai biasanya mempunyai 2 tugas, yaitu; -sebagai pemimpin pesantren (pengasuh pesantren), dan -sebagai pengajar yang mengajarkan kitab-kitab kuning di pesantren. Dalam buku yang ditulis oleh Dzofir (1982) menyebutkan bahwa, Seorang kyai mempunyai peran penting dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren, berarti beliau merupakan unsur yang paling esensial dalam sebuah pesantren. Di samping itu juga di dalamnya ditulis tentang hubungan dan kekerabatan genealogi sosial para kyai pemimpin sebuah pesantren dengan pesantren lain. Sebagaimana dijelaskan di dalamnya, bahwa para kyai selalu menaruh perhatian istimewa terhadap putera-putera mereka sendiri untuk dapat menjadi pengganti pemimpin pesantren mereka. Jika seorang kyai mempunyai anak laki-laki lebih dari satu, biasanya ia mengaharapkan anak tertua dapat menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin pesantren setelah ia meninggal, sedangkan anak laki-lakinya yang lain dilatih untuk dapat mendirikan suatu pesantren yang baru, atau dapat menggantikan kedudukan mertuanya yang kebanyakan juga memimpin pesantren, para kyai juga mengawinkan putrinya yang para muridnya yang pandai, terutama jika murid-murid tersebut juga anak atau kerabat dekat seorang kyai, sehingga dengan demikian murid-murid tersebut dapat dipersiapkan sebagai calon potensial untuk menjadi pemimpin pesantren. Dengan cara inilah, para kyai saling terjalin dalam ikatan kekerabatan yang intensitas tali-temalinya sangat kuat.
29
Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, kharisma dan wibawa, serta kelihaian/ ketrampilan kyai dalam memimpin. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren. (Hasbullah, 1999:144) 2. Masjid Masjid secara bahasa berasal dari fiil madzi sajada yang artinya ia sudah sujud, lalu mendapatkan tambahan ma di awalan menjadi isim makan (tempat), maka sajada berubah menjadi masajidu (masjid) yang artinya tempat sujud. (Gazalba, t.th: 118) Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Jin, ayat: 18:
Artinya: “Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. Dari uaraian di atas maka masjid secara bahasa adalah tempat ibadah untuk bersujud (shalat) kepada Allah SWT, baik berupa shalat maktubah ataupun shalat jum‟at. Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat
30
lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani, sosial dan politik, dan pendidikan Islam. Masjid merupakan aspek kehidupan seharihari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka sebuah pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik” (Dhofier, 1985:49). Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid. Masjid itu biasanya terletak dekat atau di belakang rumah kyai. Masjid adalah tempat suci (rumah Allah) yang difungsikan sebagai pusat segala bentuk kegiatan yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah. Melihat fungsi masjid yang begitu suci, maka dalam pembangunan masjid tersebut harus didasarkan dengan niat yaitu berdasarkan dengan ketaqwaan dan keikhlasan, semata-mata mengharap pahala dan balasan dari Allah semata. Sebagaimana firman Allah surat At-Taubah: 107-108:
Artinya : 107. Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orangorang yang telah memerangi Allah dan rasul-Nya sejak dahulu (yang dimaksudkan dengan orang yang Telah memerangi Allah dan rasul-Nya sejak dahulu ialah seorang
31
pendeta Nasrani bernama abu 'Amir, yang mereka tunggu-tunggu kedatangannya dari Syiria untuk bersembahyang di masjid yang mereka dirikan itu, serta membawa tentara Romawi yang akan memerangi kaum muslimin. akan tetapi kedatangan abu 'Amir Ini tidak jadi karena ia mati di Syiria. dan masjid yang didirikan kaum munafik itu diruntuhkan atas perintah Rasulullah SAW. berkenaan dengan wahyu yang diterimanya sesudah kembali dari perang Tabuk). Mereka Sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). 108. Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.
3. Santri Santri adalah orang yang belajar di pesantren. (Daulay, 2002: 15) Sedangkan oleh Dhofir (1985: 52), hal itu disebabkan karena: 1. ingin mempelajari kitab-kitab yang membahas Islam secara lebih mendalam 2. ingin memperoleh pengalaman kehidupan pondok pesantren baik dalm pengajaran maupun keorganisasian. 3. ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa disibukkan oleh kewajiban-kewajiban sehari-hari di rumah. Di samping itu dengan tinggal di sebuah pondok pesantren yang jauh dari rumah, ia tidak mudah pulang bolak-balik meskipun kadang-kadang meninggalkannya. 4. setelah ia selesai menagjar di pondok pesantren ia diharapkan menjadi seorang alim yang dapat mengajar kitab-kitab dan memimpin masyarakat dalam kegiatan keagamaan. Santri juga merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren, karena langkah pertama dalam tahaptahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar kepada seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas lebih lengkap yaitu didirikannya asrama pondok. Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap
32
dalam pondok, tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren, jadi tidak keberatan kalau sering pulang pergi. Maka santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan bagi santri, karena dia harus penuh dengan cita-cita dan sungguh-sungguh, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya selama hidup di pesantren (Dhofier, 1985:52). 4. Pondok Definisi singkat istilah „pondok‟ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999:142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki. Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustadz, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh
33
kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan. Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok. Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan (Dhofier, 1985:45). 5. Kitab-Kitab Islam Klasik Sebagaimana disebutkan diatas bahwa pesantren salaf merupakan jenis pesantren yang tetap mempertahankan dan hanya menyelenggarakan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai kajian inti pendidikannya. Dan memakai sistem sorogan dan bandongan sebagai pola pendidikannya. Kitab yang dikaji biasanya kita-kitab islam klasik yang kebanyakan masih berupa Korasan (seperti koran, tanpa dijilid). Kitab-kitab tersebut pada umunya dikarang oleh para ulama negara Arab terdahulu yang ditulis berabad-abad lalu (Bruinessen, 1995: 17) dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik tersebut di
34
Indonesia sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning. Menurut Dhofier (1985:50), “pada masa lalu, pengajaran kitabkitab Islam klasik…. merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.” Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang
sederhana,
kemudian
dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan (Hasbullah, 1999:144). Kitab kuning di pesantren biasanya tidak hanya mencakup ilmuilmu tafsir (ulumu al-tafsir), asbabu an-nuzul, hadist, asbabu al wurud, fiqh (qowaidu al fiqhiyyah), tasawwuf, tauhid, nahwu shorof, dan balaghah saja. Lebih dari itu meskipun hanya sebagai referensi perpustakaan pesantren, kitab kuning juga mencakup ilmu-ilmu mantiq, falak, faro‟id, hisab, adabu al bahsi wa al munadhoroh (metode diskusi), thibb (kedokteran), hayatu al hayawan (kehidaupan para hewan), tarikh, thabaqot (biografi tokoh) bahkan sudah ada katalogisasi atau anotasinya, misalnya; kitab kasyfu azumam fi asma‟i kutubi al funun. (Dhofer, 1982: 29). Namun lebih lanjut lagi juga menurut Dhofer, (1982: 51), biasanya ada delapan macam bidang pengetahuan yang sering diajarkan dalam
35
pesanren-pesantren, yaitu: 1.nahwu dan saraf (morfologi); 2.fiqh; 3.usul fiqh; 4.; 5.tafsir; 6.tauhid; 7.tasawwuf dan etika; dan 8. cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan ke dalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama. Berdasarkan macam-macam kitab tersebut dapat kita ketahui bahwa kitab kuning merupakan penjelasan dari semua ilmu dalam islam, karena di samping membahas tentang ilmu alat (nahwu shorof), kitab kuning juga membahas tentang ilmu syari‟at islam yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas keberagamaan seorang muslim, sehingga mampu menjalin hubungan yang baik terhadap Tuhannya (hablumminallah) melalui ibadah serta menjalin hubungan baik dengan sesama manusia (hablumminannas) dan lingkungan sekitarnya. B. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang
36
mendorong sistem
pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut. Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah. (Dhofier 1985:41) Peraturan-peraturan
tersebut
membuktikan
kekurangadilan
kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolahsekolah umum tersebut. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini
37
berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak (Dhofier 1985:41). Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997:150), ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia. Menurut survai yang diselenggarakan Kantor Urusan Agama yang dibentuk oleh Pemerintah Militer Jepang di Jawa tahun 1942 mencatat jumlah madrasah, pesantren dan murid-muridnya seperti terlihat berikutnya dalam Tabel 1: TABEL 1: Jumlah pesantren, madrasah dan santri di Jawa dan Madura pada tahun 1942 (Survai kantor Urusan Agama) Propinsi Daerah
Jumlah Pesantren dan Madrasah
Jumlah Santri
Jakarta
167
14 513
Jawa Barat
1 046
69 954
Jawa Tengah
351
21 957
Tawa Timur
307
32 931
38
Jumlah:
1 871
139 415
(Dhofier, 1985:40) TABEL 2: Jumlah pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1978. (Laporan Departement Agama RI) Propinsi Daerah
Jumlah Pesantren
Jumlah Santri
Jakarta
27
15.767
Jawa Barat
2.237
305.747
Jawa Tengah
430
65.070
Tawa Timur
1.051
290.790
Jumlah:
3.745
675. 364
(Hasbullah, 1999:140) Dalam Tabel 2, dapat kita melihat bahwa hampir empat dasawarsa kemudian, jumlah pesantren di Jawa telah bertambah kurang lebih empat kali. Statistik dari Tabel 2, yang dikumpulkan dari laporan Departemen Agama RI pada tahun 1978 yang mengenai keadaan pesantren di Jawa, menunjukkan bahwa sistem pendidikan pesantren di Jawa dipelihara, dikembangkan dan dihargai oleh masyarakat umat Islam di Indonesia. Kekuatan pondok pesantren dapat dilihat dari segi lain, yaitu walaupun setelah Indonesia merdeka telah berkembang jenis-jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk madrasah dan pada tingkat tinggi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), namun secara luas, kekuatan pendidikan Islam di Jawa masih berada pada sistem pesantren (Dhofier 1985:20). Dari data-data tersebut harus kita bertanya, mengapa pesantren begitu sanggup menahan dan berkembang selama bertahun-tahun penuh dengan tantangan dan kesulitan yang dibuat baik pemerintah Belanda maupun
39
pemerintah RI? Menurut saya, sistem pendidikan pondok pesantren mampu bertahan dan tetap berkembang karena siap menyesuaikan dan memoderenkan tergantung pada keadaan yang sebenarnya ada di Indonesia. Sejak awalnya, pesantren di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dan tantangan karena dipengaruhi keadaan sosial, politik, dan perkembangan teknologi di Indonesia serta tuntutan dari masyarakat umum. Oleh karena itu, pada masa ini di dunia pesantren terjadi pembangunan sistem pendidikan pesantren modern yang akan dibahasi dalam bagian berikut. C. Tipologi Pondok Pesantren Seiring dengan laju perkembangan masyarakat, maka pendidikan pesantren baik tempat, bentuk, hingga substansinya telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tidak lagi sesederhana seperti apa yang digambarkan seseorang tempo dulu, akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman. Di sini penulis hanya menemukan satu refrensi yang mungkin dapat dijadikan pedoman tipologi pesantren yaitu pendapat Mas‟ud dkk (2002: 149150), ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu : a. Pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama‟ abad pertengahan. Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang, seperti pesantren Lirboyo di Kediri
40
Jawa Timur, beberapa pesantren di daeah Sarang Kabupaten Rembang, Jawa tengah dan lain-lain. b. Pesantren yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajarannya, namun dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tidak mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang dikeluarkan tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal. c. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalamnya, baik berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjangnya, bahkan ada yang sampai Perguruan Tinggi yang tidak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan meliankan juga fakultas ilmu umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur adalah contohnya. d. Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santrinya belajar di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi di luarnya. Pendidikan agama di pesantren model ini diberikan di luar jam-jam sekolah, sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yang terbanyak jumlahnya. D. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Dulu, pusat pendidikan Islam adalah langgar, masjid atau rumah sang guru, dimana murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari supaya tidak mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari. Menurut Zuhairini (1997:
41
212), tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pesantren. ”Ini berarti bahwa sistem pendidikan pada pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama. Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Al-Qurán dan kenyataan merupakan bagian yang paling sulit, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren. (Dhofier, 1985: 28) Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru (Dhofier, 1985: 28). Sistem sorogan juga digunakan di pesantren tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual. Dalam perkembangannya pesantren dapat dibedakan dalam 2 (dua) macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan
42
pesantren tradisional sering disebut sistem salafi. Yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Sedangkan pondok pesantren modern (kholaf) merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah). Modernisasi merambah sistem pendidikan dunia pesantren. Namun tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahanperubahan yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk: mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat (Hasbullah, 1999:155).
43
BAB III PROFIL PONDOK PESANTREN FUTUHIYYAH MRANGGEN DEMAK
A. Gambaran Umum Pondok Pesantren Futuhiyyah 1. Letak Geografis Salah satu diantaranya pesantren di kota Demak adalah Pondok Pesantren Futuhiyyah. Pondok Pesantren ini berlokasi di pinggiran kota Demak lebih tepatnya sebuah kampung kecil tepatnya di desa Suburan, kecamatan Mranggen, kabupaten Demak, provinsi Jawa Tengah. Lokasi yang terletak di kabupaten Demak bagian selatan ini juga dikenal sebagai Kawedanan (kecamatan). Tak heran jika desa ini mempunyai karakteristik yang berbeda dengan desa lainnya di kecamatan Mranggen, sebagai ibu kota kecamatan, Mranggen menjadi pusat pemerintahan sosial, ekonomi, budaya, dan keagamaan. Untuk mencapai lokasi tersebut tidak terlalu sulit, pesantren itu bisa dijangkau kurang lebih hanya 150 meter dari jalan raya kota Semarang-Purwodadi, sedangkan dari pusat kota Semarang hanya berjarak 13 Km, sedangkan dari pusat kota Demak 25 km, maka akses terdekat dari pesantren ini adalah kota Semarang, hal itulah yang menjadikan mobilitas penduduk desa Mranggen sangat tinggi. Pesantren ini berada di tengah-tengah pemukiman warga, menempati tanah seluas kurang lebih 6.750 m². Dengan konstruksi bangunan yang
44
rata-rata berlantai dua, penulis mengira pada mula didirikan pesantren ini lokasinya yang sudah terbatas, dengan pemukiman warga yang mengelilinginya,
sedangkan pesantren
ini
secara
kuantitas
terus
berkembang, maka jalan satu-satunya mengembangkan pesantren ini hanya dengan menambah bangunan secara susun (bertingkat). Di sekitar radius 200 meter dari pesantren ini yang masih dalam lingkungan desa Suburan juga dapat ditemukan banyak lembaga pendidikan yang merupakan wujud eksistensi lembaga Futuhiyyah. Beberapa pesantren lain yang mengelilingi pesantren Futuhiyyah antara lain pesantren Al-Anwar, pesantren An-Nur, pesantren Kyai Mu‟rodi, pesantren Al-Badriyyah, pesantren Al-Amin, pesantren Al-Mubarok, selain itu juga masih ada beberapa pondok pesantren lain yang berdiri di sekitar wilayah kecamatan Mranggen (pondok pesantren lain yang dimaksud adalah Ponpes Darul Qur‟an (Bandung Rejo), Ponpes Asyarifah (Brumbung), Ponpes Kyai Ageng Giri Kusumo yang berada di desa Giri dan masih banyak pondok pesantren lain yang berada di sekitar Pesantren Futuhiyyah. Sementara lingkungan yang tidak jauh dari pondok pesantren lain inilah dapat mendukung kegiatan belajar bersama serta menciptakan pergaulan santri yang lebih terjaga). Maka tidak heran apabila santri diantara ponpes di sekitar Futuhiyyah belajar berkiblat ke arah pesantren Futuhiyyah. Adapun apabila dilihat dari sisi topografi Pondok Pesantren Futuhiyyah, Mranggen adalah sebagai berikut :
45
1) Sebelah barat berbatasan dengan pasar desa Mranggen, dan desa Bandung Rejo, serta 500 meter dari batas kota Semarang. 2) Sebelah timur berbatasan dengan desa Brumbung dan rel KA stasiun Brumbung jurusan Semarang-Surabaya. 3) Sebelah utara berbatasan dengan desa Brumbung. 4) Sebelah selatan berbatasan dengan jalan raya Semarang-Purwodadi. 2. Visi, Misi dan Tujuan a. Visi “Pembentukan generasi muslim bermental ulama‟ yang tahan uji dalam menghadapi situasi dan kondisi.” b. Misi “Membentuk insan kamil berakhlakul karimah yang berpegang teguh pada aqidah ahlussunah wal jama‟ah”. (Hasil observasi pada tanggal 20 Desember 2009) c. Tujuan Tujuan pendidikan pesantren Futuhiyyah saat ini menurut pandangan Kepala Pengurus Pondok Pesantren Futuhiyyah 2009-2010 paling tidak ada 3 (tiga), antara lain yaitu: 1) Tholabul Ilmu (artinya : santri ke pondok pesantren masih dalam rangka tujuan niat utama yaitu mencari ilmu sebagai bekal kelak hidup di masyarakat) 2) Suluk (ibadah, ahlak dan hidmah) maksudnya: santri selama di pesantren mengamalkan amalan-amalan ibadah, seperti; dzikir sholat, puasa dan sebagainya, selain itu santri mempunyai jiwa hidmah yang nantinya kembali ke masyarakat senantiasa mengabdi di masyarakat, seperti; senantiasa memakmurkan masjid misal dengan menjadi imam, khotib, dan lain sebagainya. 3) Dakwah (memiliki majal). Maksudnya santri setelah kembali ke daerah masing-masing mempunyai kegiatan dakwah. (Hasil wawancara dengan H. Agus Hilmi Wafa, SE, Kepala Pengurus Pondok Pesantren Futuhiyyah, pada tanggal 20 Februari 2010)
46
Sedangkan secara umum menurut beliau KH. Muhammad Hanif Muslih agar nantinya para santri dapat mempunyai bekal ilmu pengetahuan agama yang nantinya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat
luas
dan
senantiasa
Nasyrul
Ulum
An-Nafi'ah
(menyebarkan ilmu yang bermanfaat) (Hasil wawancara dengan KH. Muhammad Hanif Muslih, Lc, pada tanggal 18 Januari 2010). 3. Sejarah Singkat Berdirinya Zaman dahulu pondok-pondok pesantren umumnya didirikan tanpa diberikan nama, kecuali disesuaikan dengan nama kampung atau desa di mana pondok pesantren tersebut berdiri, misalnya : Pondok Lasem, Pondok Termas dan tidak terkecuali pondok Futuhiyyah yang awalnya juga lebih masyhur dengan sebutan “Pondok Suburan Mranggen”. Pada saat mendirikan madrasah ini Syeikh KH. Muslih sedang mondok di Serang, sementara beliau pernah pulang ke kampung dan sempat mengusulkan serta memusyawarahkan tentang nama madrasah, dan akhirnya disetujui dengan suatu nama FUTUHIYYAH tanpa awalan AL, sebagai nama madrasah yang baru didirikan yang sekaligus sebagai nama pondok pesantren yang sedang dikembangkan. Kata Futuhiyyah
secara harfi‟ah berasal dari kata dasar
yang berarti membuka, dari kata benda kunci. ( dari kepanjangan :
47
) itu sendiri diambil
1.
: Funduq
: pondok pesantren
2.
: Turobby
: yang mendidik
3.
: Wufud, Wurud
: santri Pendatang atau utusan
4.
: Hishoshul Ulum
: berbagai cabang ilmu
5.
: Yaqiniyyah
: yang diyakini kebenarannya
(Dokumentasi Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen Tahun 2009, Profil Pondok Pesantren Futuhiyyah) Sehingga mungkin yang dimaksud Futuhiyyah berarti sesuatu untuk membuka, (sedangkan sesuatu untuk membuka tersebut kemudian diidentikan dengan kunci). Harapan kepada para murid atau santri yang tersirat dari nama tersebut yaitu : 1. Diharapkan, dapat dengan cepat ter-futuh (terbuka) hati beserta fikirannya, karena hadirnya ilmu yang bermanaat lagi barokah 2. Diharapkan, para murid atau santri dapat terbebas dari kebodohan segala bentuk penjajahan, baik yang bersifat fisik atau moral 3. Diharapkan, para murid atau santri dapat ter-tafa‟ul (tertulari) atas segala kesuksesan dari para pejuang-pejuang Islam terdahulu, missal: Kanjeng Sultan Fatah beserta para wali Sembilan. (Sejarah Se Abad Pondok Pesantren Futuhiyyah, 2001: 3-4) Nama Futuhiyyah memang baru muncul sekitar tahun 1927 Masehi diberikan oleh ulama syeikh karismatik yang bernama syeikh KH. Muslih Abdurrohman saat kakaknya yaitu syeikh KH. Usman Abdurrohman mendirikan madrasah atas perintah dan persetujuan dari syeikh KH. Abdurrohman selaku ayahnya yang sekaligus sebagai pengasuh utama.
48
Pondok pesantren Futuhiyyah, Suburan didirikan oleh Hadratu Syeikh KH. Abdurrohman bin Qosidil Haq, seorang ulama‟ asli Mranggen sebagai keturunan pangeran Wijil II atau pangeran Notonegoro II, kepala perdikan Kadilangu Demak sesepuh ahli waris atau Dzurriyyah Kanjeng Sunan Kalijaga Kadilangu. Pondok pesantren Futuhiyyah Mranggen didirikan kurang lebih pada tahun 1901 Masehi, yang secara kebetulan bersamaan dengan meletusnya gunung Kelud di Jawa Timur. Menurut adik Nyai Hj. Shofiah (isteri beliau), yaitu Nyai Aisyah Binti Sheih KH Abu Mi‟roj Sapen yang sempat tinggal bersama beliau sejak kecil, mengatakan bahwa saat terjadi hujan abu pada tahun 1901 Masehi dan kerena saking pekatnya menyebabkan tertutupnya langit di atas Mraggen, bahkan untuk menyulut api oborpun tidak bisa. Pondok pesantren ini telah mengalami pasang surut, seirama dengan dinamika masyarakat sekitarnya, ketika pecah perang kemerdekaan proses belajar mengajar para santri pada tahun 1945 sempat dipindahkan ke tempat lain, saat itu pesantren dijadikan markas Hizbullah, baru sesudah 1950 proses belajar mengajar kembali menempati pondok seperti sedia kala. 4. Periodesasi Kepemimpinan di pesantren Futuhiyyah Hingga kini kepemimpinan pondok pesantren Futuhiyyah ini telah berangsur mengalami regenerasi dalam 5 (lima) generasi kepemimpinan, antara lain yaitu Masa syeikh KH. Abdurrohman, syeikh KH. Ustman
49
Abdurrohman, syeikh KH. Muslih Abdurrohman, syeikh KH. Ahmad Muthohar dan syeikh KH. Lutfi Hakim, dan syeikh KH. Hanif Muslih. Adapun penjabaran tentang masa pemerintahan mereka adalah sebagai berikut: a) Periode Rintisan (1901-1926 Masehi), Generasi Pertama syeikh KH. Abdurrohman Syeikh KH. Abdurrohman bin Qasidil Haq adalah asli warga Mranggen, beliau dilahirkan pada tahun 1862 M. Beliau adalah putra dari Syeikh Qosidil Haq bin Raden Oyong Abdullah Muhajir, yang berasal dari desa Gubug (Purwodadi) yang menikah dengan penduduk Mranggen dan akhirnya menetap di Mranggen. Beliau dilahirkan serta dibesarkan di suatu kampung yang kemudian sekarang menjadi jalan raya Mranggen. Di samping sebagai seorang pengajar agama di kampung Suburan beliau juga berprofesi sebagai seorang pedagang yang jujur, yang sangat disenangi dan dinanti-nantikan oleh para pelanggan di pasarnya. Syeikh KH. Abdurrohman tumbuh menjadi ulama‟ tidaklah sekali jadi, tetapi melalui proses pendidikan yang panjang pula. Setelah belajar dari orang tua sendiri beliau melewati masa remaja dengan nyantri di berbagai tempat di antaranya adalah sebagai berikut : 1. Pondok Tajem 2. Beberapa pondok di Jawa Timur 3. Belajar sambil bekerja di Malaya (Malaysia)
50
4. Pondok Sapen Penggaron Semarang 5. Pondok Brumbung Mranggen, Di pondok pesantren Brumbung di bawah asuhan syeikh Ibrohim inilah beliau mendapatkan ilmu thoriqoh dan beliau berbaiat langsung kepada KH. Ibrohim sampai akhirnya beliau diangkat sebagai Kholifah setelah melalui ujian yang berat. Syeikh KH. Abdurrohman menikah dengan ibu nyai Hj. Shofiyyah binti Syeikh KH. Abu Mi‟roj, Sapen, Penggaron yang juga merupakan guru beliau sendiri. Dari perkawinan beliau dikaruniai beberapa orang putra dan putri, yakni : 1. syeikh KH. Ustman Abdurrohman (alm), wafat tahun 1967 M 2. syeikh KH. Muslih Abdurrohman (alm), wafat tahun 1981 M 3. syeikh KH. Mu‟rodi (alm), wafat tahun 1980 M 4. kyai. Fathan (alm), wafat tahun 1940 M (pengasuh PP. Kuwaron, Gubug) 5. syeikh KH. Ahmad Muthohar (alm) 6. Nyai. Hj. Rohmah (alm), wafat tahun 1988 M 7. Nyai. Hj. Tasbihan. Syeikh KH. Abdurrohman wafat pada tahun 1941 dalam usia 79 tahun, selama masa hidupnya beliau dikenal sebagai tokoh yang kuat memegang prinsip. Pesan beliau kepada putra-putranya agar selalu belajar dan mengajar.
51
Sekitar awal abad ke-19 Masehi atau seratus tahun yang lalu syeikh KH. Abdurrohman bin Qasidil Haq sengaja mendirikan langgar serbaguna untuk kegiatan pengajian, pendidikan pesantren dan sebagai mushola (tempat orang sholat berjamah), serta dapat digunakan pula sebagai sarana menginap para santri. Namun apabila hanya difungsikan sebagai tempat melakukan sholat jama‟ah, maka bisa dilakukan di pendopo rumah beliau 4 (Joglo), atau langgar yang memang sudah ada sebelumnya dan tempatnya berada di sebeleh utaranya. Berdampingan langgar yang menjadi milik mbah KH. Marhaban ayah mbah Kartubi. Semula KH. Abdurrohman adalah seorang kyai Musholla yang mengelola pengajaran Al-Qur‟an dan berbagi cabang ilmu agama, seperti Fiqh, Tafsir, Hadist, dan lain sebagainya. Proses belajar mengajar sampai tahun 1926 Masehi, syeikh KH. Abdurrohman secara praktisinya di dalam mengasuh pesantrennya dilakukan sendiri tanpa dibantu oleh siapapun, begitu pula yang terjadi pada putra-putra beliau. Di sisi lain beliau masih meneruskan belajar di ponpes Brumbung, ikut mengajar Thoriqoh selaku badal. Kemudian setelah putra-putranya mulai beranjak remaja (setelah tamat belajar di Madrasah Awaliyyah Brumbung),
beliau
menghendaki
agar
putra-putranya
dapat
terkaderisasikan melalui pondok pesantren, yaitu syeikh KH. Ustman Abdurrohman bersama syeikh KH. Murodi berada di pondok pesantren Lasem, sedangkan syeikh KH. Muslih Abdurrohman berada di pondok
52
pesantren Sarang dan Lasem, ini semua diakukan dengan harapan dapat meneruskan perjuangan beliau dan para leluhur (ushul) dan merealisir cita-cita beliau, yakni mengurus dan mengembangkan pondok pesantren sesuai dengan keinginan awal beliau, termasuk dapat menyelenggarakan bai‟at dan mengadakan Thoriqoh Al Mu‟tabaroh. Baru pada tahun 1926 masehi itulah salah seorang putra beliau yakni, syeikh KH. Ustman Abdurrohman pulang kembali ke kampung Suburan Mranggen, lalu diperintahkan untuk mulai mengembangkan pondok pesantren sekaligus mendirikan madrasah. Syeikh KH. Abdurrohman dikenal sebagai seorang saudagar yang berhasil. Diantara beliau berjualan beraneka ragam pakaian jadi, kecuali celana panjang dan dasi yang dinilai haram. Selain itu beliau juga memiliki tanah sawah, perkebunan kelapa, pisang serta lainlainnya, dimana semuanya itu berada di beberapa tempat di Suburan dan Pungkuran Mranggen Mondosari (Batursari). Tanah-tanah tersebut dalam perawatannya apabila diurus sehari-hari oleh sepuluh orang saja mungkin tidak cukup. Maka untuk mengerjakan tanah pertaniannya syeikh KH. Abdurrohman memanggil santri-santri dhuafa‟ yang tinggal serta belajar di pesantren rintisan Ponpes ini, dan mereka dikenal dengan istilah santri kejar yang artinya bekerja sambil belajar. Sedangkan pendidikan pesantren yang diselenggarakan oleh syeikh KH. Abdurrohman sejak awal tahun 1901 Masehi hingga akhir hayat beliau than 1941 Masehi ialah :
53
1. Praktek Ubudiyyah, yaitu shalat fardu lima waktu secara berjama‟ah dan diteruskan dengan wiridan, serta dzikir thoriqoh yang diantaranya melakukan mujahadah, riyadhoh, shalat-shalat sunnah, tadarus Al-Qur‟an dan termasuk di dalamnya membaca kisah Maulid nabi Muhammad SAW yang biasanya jauh pada malam Jum‟at. 2. Pengajan Al-Quran 3. Bimbingan serta pengamatan Qodiriyyah Wa Naqsabandiyyah, dikhususkan bagi orang-orang Mranggen dan sekitarnya yang telah bai‟at thoriqoh tersebut pada Syeikh KH. Ibrohim Yahya, Brumbung 4. Pengajian syari‟at 5. Pengajian Kitab Kuning, diantaranya kitab tauhid, fiqh, dan lainlainnya. Bagi santri yang tetap meupun santri kalong, dan santrisantri tersebut bisa berasal dari wilayah Suburan Mranggen maupun dari wilayah lainnnya. b) Periode pengembangan I (1927-1953 M), Generasi kedua syeikh KH. Ustman Abdurrohman Syeikh KH. Ustman Abdurrohman adalah putra laki-laki tertua syeikh KH. Abdurrohman bin Qasidil Haq. Beliau dikader sendiri oleh Syeikh KH. Abdurrohman, beliau dikaderkan pula di Brumbung kepada Syeikh KH. Ibrahim Yahya dan di Pondok pesantren Lasem Syeikh KH. Kholil dan Syeikh KH. Maksum. Sekembali dari Lasem
54
pada tahun 1926 Masehi beliau mulai serius berusaha mengembangkan Pondok Pesantren Suburan yang merupakan rintisan abahnya. Usaha beliau dimulai pada tahun 1927 Masehi, antara lain : 1. merenovasi langgar yang sudah ada menjadi bangunan pondok serbaguna yang terdiri atas ruang mushala, sekaligus ruang belajar dan beberapa kamar santri, dimana kamar santri dan kamar pengurus sekaligus menjadi ruang kantor pondok. 2. mendirikan Madrasah Diniyah Awaliyyah 3. melanjutkan dan mengembangkan pendidikan pondok pesantren yang sudah ada sebelumnya dengan memperluas bahasan pengajian kitabnya, termasuk latihan pecak silat. 4. Dakwah keliling ke desa-desa termasuk menghimbau agar kaum muslimin mau menyekolahkan puta-putinya ke madrasah dan mendoakan putra-putinya ke pondok pesantren, sekaligus dakwah NU (Nahdhatul Ulama‟), karena kebetulan Syeikh KH. Ustman dan guru-guru madrasah adalah pengurus NU cabang Mranggen yang diketuai oleh beliau, yang didirikan bersama Syeikh KH. Toyyib bin Ibrohim Yahya Brumbung dan kyai-kyai lain termasuk Syeikh KH. Abdurrohman. 5. Usaha lainnya dalam rangka mengisi pondok pesantren yang diasuhnya. Dalam perkembangan selanjutnya Syeikh KH. Ustman bertindak sebagai pengasuh pondok pesantren dan Syeikh KH.
55
Abdurrohman bertindak sebagai sesepuh yang tetap bertindak sebagai imam sholat jama‟ah serta mujahadah, dan di samping itu juga tetap mengasuh pengajian oran-orang tua, yaitu bimbingan ubudiyyah dan berthoriqoh. Dakwah keliling yang diselenggarakan syeikh KH. Ustman Abdurrohman berbentuk masyrokhiah (teater, sandiwara) dengan iringan musik terbang atau rebana yang dipadu dengan pertunjukan tari Zipin dan pencak silat, selain itu disisipi pula oleh ceramah keagamaan. Lakon-lakon yang dimainkan teater tersebut, seperti lakon ludruk tetapi bernuansa Islami. Group teater sandiwara tesebut kebanyakan beranggotakan remaja atau pemuda di wilayah Mranggen yang telah terlatih lebih dulu dan lokasinya bertempat di kompleks Futuhiyyah, yang sekaligus berfungsi untuk menarik mereka agar mau mengaji di ponpes Futuhiyyah. Sehingga muncullah suatu slogan mengaji, berlatih dan berdakwah. Wilayah se kecamatan Mranggen dan sekitarnya lebih dikenal sebagai daerah hitam dengan tanda-tanda banyak brandal, kecu dan kaum abangan, sehingga dakwah maupun tabligh yang melalui teater, secara teknis sangat menguntungkan dan diantaranya adalah : 1. dapat mengajak orang agar masuk agama Islam. 2. dapat mengajak orang agar mau beribadah, misal : sholat, puasa. 3. dapat mengajak orang agar meninggalkan molimo (madon atau zina, minum atau mabuk, madat, nyeret atau narkotika, main atau
56
judi dan maling atau mencuri dan sejenisnya) dan termasuk didalamnya berkelahi, apalagi saling membunuh. 4. dapat mengajak orang agar mengaji atau belajar agama Islam 5. dapat mengajak serta menyeru agar putra-putra kaum muslimin bisa masuk untuk belajar di madrasah dan di pondok-pondok pesantren Dengan demikian teater teater tersebut murni sebagai sarana media dakwah dan bukan merupakan teater yang dipergunakan untuk mencari keuntungan dunia semata-mata. Usaha lainnya dalam menarik remaja-remaja Mranggen dan sekitarnya agar mau belajar serta mengaji di pondok pesantren Futuhiyyah adalah memberi makan malam pada murid-murid madrasah yang sanggup tidak pulang (belajar dan bermalam di pondok). Madrasah Futuhiyyah tersebut terdiri dua kelompok belajar di tingkat Awaliyyah yaitu kelompok anak-anak dan kelompok remaja. Makan malam itu disediakan oleh Syeikh KH. Abdurrohman dan beberapa tetangga, bahkan adapula guru-guru madrasah yang ikut serta menyediakan untuk kelompok remaja maupun pemuda. Sejak masa mbah KH. Abdurrohman, sedekah makanan yang digelar di langgar adalah hal yang lumrah, sehingga muncul suatu pameo di Mranggen, “Kalau ingin mendapatkan banjir berkat (nasi dan makanan kecil), datanglah ke pondok Suburan”, maksudnya adalah pada saat peringatan Maulid Nabi dan Rajabiyyah di pondok
57
pesantren Futuhiyyah selalu kebanjiran Nasi Berkah dari masyarakat Suburan dan sekitarnya, hingga melimpah-ruah dan mungkin setiap orang yang hadir bisa mendapatkan 2-3 takir nasi berkat dan ditambah adanya jaburan berupa makanan kecil. Tradisi tersebut memang sudah berjalan di desa Suburan sejak sebelum masa syeikh KH. Ustman dan di samping tradisi jaburan pada bulan puasa, ada juga tradisi tasyakuran atau selamatan dengan bentuk nasi berkat tumpengan dan jaburan di kalangan kaum muslimin, dan ini sebenarnya telah dibudayakan oleh Kesultanan Bintoro Demak, yaitu Sultan Fatah dan Wali Sembilan (Baca; Wali songo) di tanah Jawa. Di kalangan muslimin dalam rangka taysakuran biasanya disertai ihya‟us sunah shodaqoh satu tahun beserta Idkholus surur (memasukkan kesenangan). Dan tradisi nasi berkat atau tumpengan ini sering diselenggarakan di masjid ataupun mushala dengan disesuaikan pada even-even tertentu, diantaranya : 1. peringatan Maulid Nabi pada bulan Maulud 2. peringatan rajabiyyah pada bulan Raja 3. Nisfu Sya‟ban pada malam 15 Sya‟ban atau Ruwah 4. peringatan Nuzulul Qur‟an pada 17 Ramadhan 5. hari raya Idul Fitri yang tepatnya sehabis sholat Idul Fitri 6. hari raya Idul Adha yang tepatnya sehabis sholat Idul-Adha 7. saat gerhana bulan (khusuf Qomar) maupun gerhana matahari
58
8. pada malam sepuluh Asyuro‟ (10 Muharom), biasanya berbentuk bubur beras campur lauknya. Dan biasanya ada yang diantar ke tetangga. 9. mungkin juga pada saat Rabu pungkasan (Rabu terakhir) pada bulan Sapar dan berfungsi sebagai tolak balak. Selain tradisi selamatan maupun tasyakuran dapat juga dilakukan dengan tujuan-tujuan sebagai berikut : 1. saat punya gawe mengawinkan anaknya mantu maupun khitanan. 2. saat sepekan atau 5 hari perkawinan. 3. saat istri mengandung 3 atau 4 bulan lebih tepatnya saat pemberian nyawa serta penetapan qodho‟ pada umumnya, rejeki dan tentang nasib baik-buruknya. 4. saat istri mengandung 7 bulan. 5. saat istri melahirkan dan saat pemberian nama bayi maupun tiap hari kelahiran dan pasaran. Selain syeikh KH Ustman sebagai pengasuh pesantren, beliau juga sebagai ketua NU cabang Mrangen oleh karena itu sekembalinya KH Muslih dari pesantren serang pada tahun 1935 Masehi, pesantren Futuhiyyah diserahkan syeikh KH Muslih untuk dikembangkan. Hal ini dikarenakan syeikh KH Ustman sibuk berdakwah dan mengurus NU cabang Mranggen, hingga tak sempat mengasuh pesantren secara langsung.
59
Walaupun syeikh KH Ustman sibuk di luar tidak menjadikan beliau repot, merupakan tugas utama menjadi pengasuh pesantren Futuhiyyah, di sela-sela kegiatan rutin beliau masih menyempatkan diri berbincang-bincang dengan syeikh KH Muslih di pesantren Futuhiyyah,
termasuk
memberi
pengarahan
serta
pelaksanaan
pembangunan pesantren Futuhiyyah hingga akhir hayat beliau pada tahun 1967. (Sejarah Seabad Pesantren Futuhiyyah, 2001: 6-14) c) Periode pengembangan II, (1936-1981 Masehi) Generasi ketiga Syeikh KH. Muslih Abdurrohman Syeikh KH. Muslih Abdurrohman adalah putra kedua dari Syeikh KH. Abdurrohman bin Qasidil Haq pendiri Ponpes Futuhiyyah, yang apabila ditarik garis ke atas akan bertemu sebagai garis Dzuriyyah (keturunan) Kanjeng Sunan Kalijaga, sedangkan isterinya Nyai Hj. Shofiyah binti Abu Mi‟roj, Sapen, Penggaron adalah dzuriyyah Kajeng Sultan Fatah – Bitoro, Demak. Di samping itu beliau juga belajar di pesantren Brumbung yang diasuh oleh KH. Ibrohim Yahya, kemudian mondok di pesantren Patebon bersama KH. Ichsan (putra KH. Ibrohim). Selepas dari Patebon beliau melanjutkan belajar di pondok pesantren Sarang di bawah asuhan KH. Zubair selama kurang lebih sembilan tahun. Semasa beliau di pondok Sarang beliau jaga belajar kepada KH. Maksum di pondok Lasem. Sekitar tahun 1935 beliau pulang membantu pendidikan di pesantren Futuhiyyah dan belajar berdagang
60
sebelum beliau melanjutkan pendidikan ke Termas untuk menunaikan amanat dari KH. Maksum Lasem. Kedatangan beliau ke Lasem ini merupakan awal dari karir beliau dalam pergulatan keilmuan. Beliau langsung diminta untuk mengajar di madrasah oleh KH. Ali Maksum (Krapyak, Yogyakarta) selaku kepala madrasah di kelas yang beliau ajar (kelas Alfiyyah), semula beliau menolak dengan alasan belum mampu, namun tetap dipaksa dan dibujuk dengan kata-kata “nanti saya ajari”, akhirnya beliau menerima dan beliau diajari hanya sekali semalam sebelum mengajar, kemudian KH. Ali Maksum pergi selama setengah tahun dan langsung menanyakan pada para santri tentang pengajaran beliau. Syeikh KH. Muslih Abdurrohman menikah dengan Maftuhah bin KH. Sirojd dari Prampelan, Sayung. Dari pernikahan ini beliau dikarunia beberapa putra, yakni : 1. Al Inayah, istri KH. Mahdum Zein (alm) (pengasuh PP. Mubarok) meninggal tahun 2003 2. KH. MS. Lutfi Hakim (alm) (1981) 3. Faizah, istri KH. Muhammad Ridwan (alm) (PP Al-Amin) meninggal tahun 1995 4. KH. Hanif Muslih, pengasuh Ponpes Futuhiyyah (1985 - sekarang) 5. dan putra-putra beliau yang lain meninggal sejak kecil.
61
Setelah Nyai Maftuhah meninggal tahun 1959, beliau menikah lagi dengan Mukminah binti KH. Muhsin, dari pernikahan ini beliau dikaruniai dua putri, yakni : 1. Qoni‟ah (alm), istri KH. Masyhuri meninggal tahun 1991 2. Masbahah (alm), istri KH. Abdurrohman Badawi, meninggal 2003. Pada tahun 1964 beliau ditinggal wafat oleh istrinya yang kedua, kemudian menikah lagi dengan Sa‟adah binti H. Mahmud dari Randusari, Semarang. Beliau meninggal tahun 1981 di Makkah sewaktu akan menunaikan ibadah haji dan dimakamkan di Ma‟la. Syeikh KH. Muslih bin Abdurrohman adalah ulama‟ alamah yang sangat berjasa dalam mengembangkan dan membesarkan pesantren Futuhiyyah, karena pada masa beliaulah masa kemajuan yang sangat pesat sekali, boleh dibilang masa itu adalah masa keemasan pesantren Futuhiyyah, karena pada masa itulah beliau dengan fadhol dan rahmah dari Allah SWT telah melahirkan banyak Kyai dan ulama‟ yang tersebar di belahan Nusantara. Ketika beliau mengasuh PP Futuhiyyah banyak kemajuan yang diperoleh antara lain sebagai berikut : 1. merenovasi rumah Nyai Sairoh dan Nyai Aisyah sebagai madrasah tahun 1949, kemudian 1957 membangun madrsah di sebelah makam KH. Abdurrohman, 1959 menggabungkan dua rumah dengan madrasah yang dibangun 1957, 1965 merehabilitasi gedung dan dijadikan sebagai Madrasah Tsanawiyah 1 sampai sekarang.
62
2. Tahun 1961 beliau mendapatkan bantuan bangunan sebagai balai pengobatan, namun karena tidak adanya tenaga medis akhirnya tahun 1963 dijadikan sebagai MWB (MI). 3. Tahun 1969/ 1970 membangun sepuluh kamar di sebelah utara masjid, 1975 membangun gedung SMP Futuhiyyah berlantai dua secara bertahap sampai 1978 sejumlah sepuluh lokal. 4. Tahun 1977 membentuk Yayasan Pondok Pesantren Futuhiyyah. 5. mendirikan beberapa pondok pesantren cabang di lingkungan Futuhiyyah, yakni : a. PP. Al Falah, tahun 1952 sejak tahun 1983 berubah nama menjadi PP. KH. Mu‟rodi b. PP. Al Mubarok, tahun 1961 (KH. Mahdum Zein, Alm, KH. Abdullah Asyif, LC) c. PP Al Badriyyah (KH. Muhibbin) d. PP. Al Amin (KH. Ridwan [alm], KH. Ali Mahsun) Di samping itu beliau juga ikut berjasa dalam pendirian jam‟iyyah ahli at thoriqoh bersama para ulama‟ yang lain yakni, KH. Khafid (Rembang), KH. Nawawi (Berjan, Purworejo), KH. Wahab Hasbullah (Tambak Beras), KH. Idham Kholid (Jakarta) dan KH. Chodhori (pengasuh PP. API [Asrama Perguruan Islam] Magelang). Beliau juga banyak meninggalkan aurod-aurod yang beliau amalkan yang diijazahkan secara umum ataupun khusus, diantaranya :
63
a. Ijazah umum untuk para santri atau umat islam yang berminat, yakni : membaca Al-Fatihah 100 kali tiap malam, shalawat Nariyyah 4444 kali, dan Asma‟ul Husna sehabis shalat. b. Nasrul Fajr c. Dzikir khusus dan shalawat Kubro (ijazah pada kholifah) d. Tsamrotul Qulub e. Dala‟ilul Khoir / puasa Dalail (ijazah terlebh dahulu) d) Periode Pelestarian III (1982- 2005), Generasi ke empat Syeikh KH. Lutfi Hakim (alm) dan Syeikh KH. Ahmad Muthohar (alm)Syeikh KH. Hanif Muslih Periode ini adalah periode pelestarian dan pengembangan pesantren Futuhiyyah. Sistem pendidikan yang dipakai masih melestarikan sistem pendidikan yang lama yakni sistem pendidikan yang diterapkan oleh Syeikh KH. Muslih, akan tetapi pada masa KH. Lutfi Hakim Muslih dan KH. Hanif Muslih ini lebih terorganisir dan sistematis. Sistem pendidikan pada masa ini menggunakan sistem gabungan yakni antara salaf dan khalaf. Hal ini dilakukan karena tuntutan zaman yang mengaharuskan santri selain menguasai ilmu agama juga harus menguasai ilmu-ilmu umum. Adapun pendidikan tersebut meliputi: pendidikan sekolah dan pendidikan pesantren. Untuk pendidikan sekolah kurikulumnya mengikuti kurikulum Depag dan Diknas.
Sedangkan kurikulum
64
pesantren
masih
menggunakan
kurikulum yang dipakai oleh simbah KH. Muslih. (Team Penulis Sejarah Seabad Pondok Pesantren Futuhiyyah, 2001: 15-24) Pendidikan pesantren pada masa KH. Lutfi Hakim Muslih dan KH. Hanif Muslih ini menggunakan sistem klasikal dan non klasikal, untuk klasikal dilaksanakan habis maghrib dan habis isya‟. Sedangkan non klasikal dilaksanakan habis Ashar dan habis subuh dengan materi kurikulum pokok seperti: Ulumul Qur‟an, Tafsir, Hadist, Ulumul hadist, Fiqih, Ushul Fiqh, Aqidah, Ahklak, Nahwu, Tajwit dan Shorof. Sedangkan jenis pendidikan sekolah yang dilaksanakan pada masa KH. Luthfi Hakim dan KH. Hanif Muslih meliputi pendidikan keagamaan dan umum yang juga merupakan lanjutan rantisan-rintisan sebelumnya. Pendidikan itu antara lain: -Taman kanak-kanak Alqur‟an atau taman penididikan alqur‟an (TKA/ TPA), -Taman kanak-kanak (TK) Masyithoh, dan -Madrasah ibtidaiyyah (MI). Kurikulum yang digunakan di pendidikan formal tersebut, mengacu pada kurikulum Departemen Agama untuk MI, MTs, dan MA. Sedangkan untuk SLTP dan SMU menggukan kurikulum pesantren departemen pendidikan nasional. Khusus untuk Madrasah Aliyyah, selain menggunakan kurikulum Departemen Agama, juga menggunakan kurikulum pesantren. Kurikulum khusus ini terutama untuk pendalaman materi kitab kuning, meski demikian kurikulum departemen agama menempati porsi lebih banyak. (Profil Pondok Pesantren Futuhyyah, 2004: 6)
65
5. Proses Penyelenggaraan Pendidikan Secara global sistem pendidikan/ pembelajaran yang diterapkan di pondok pesantren Futuhiyyah sekarang ini, terbagi ke dalam 2 (dua) jenis, antara lain yaitu: a. Pendidikan non-formal Sebagai pondok pesantren yang berciri salaf dan kholaf, Futuhiyyah tetap mempertahankan ciri khas pendidikan pesantren salaf. Ciri khas itu antara lain, pengajian kitab–kitab kuning dengan metode pengajaran sorogan dan bandongan, dalam penjenjangan klasikal di Madrasah Diniyyah. Keikutsertaan para santri dalam pendidikan tersebut bersifat wajib (Hasil wawancara dengan Ahmad Sahal, staf bagian Dikjar Pengurus Pondok Pesantren Futuhiyyah, pada tanggal 20 Februari 2010). Kitab yang digunakan dalam pengajian tersebut, terdiri dari kitab pegangan wajib dan anjuran untuk menambah wawasan, adapaun materi yang diberikan adalah sebagaimana yang disebutkan dalam materi kajian pesantren di belakang sub bab ini. Di
samping
itu
Pondok
Pesantren
Futuhiyyah
sejak
kepemimpinannya di bawah KH. Muslih menyelenggarakan pengajian khusus pada bulan Romadhon, biasanya dimulai sejak pertengahan bulan Sya‟ban dan diakhiri pada akhir bulan Romadhon, meskipun realitanya sekarang ini dimulai pada awal bulan Romadhon. Kitab yang pernah dibaca adalah : Kitab Nahwu : Mughnil Labib, Bi I
66
lalaghoh : Uqudul Juman, Fiqih : Al-Muhaddzab, Mizan As-Sya‟roni, Qolyuby wa Umairoh, Ushulul fiqih : Jam‟ul Jawami‟, Hadits : Shohih Bukhory, Shohih Muslim, Sunan Nasa‟ie, Sunan Abi Dawud, Sunan Turmudzi dan Muwattho‟, Ushul hadits, Manhaj Dzawin Nadhor dll, pesertanya kebanyakan biasanya adalah santri senior dari berbagai pondok pesantren di seluruh Jawa dari Ujung barat Banten sampai ujung timur Banyuwangi, bahkan juga ada yang dari luar Jawa, Sumatra dan Kalimantan, di samping santri senior juga ada beberapa yang sudah mempunyai pondok sendiri yang mengikuti pengajian Romadhon yang menggunakan sistem bandongan ini.
(Hasil
wawancara dengan Ahmad Sahal, staf bagian Dikjar Pengurus Pondok Pesantren Futuhiyyah, pada tanggal 20 Februari 2010) b. Pendidikan formal Pendidikan formal di sini adalah pendidikan yang menginduk dari sistem yang ditawarkan Depag dan Diknas. Dalam hal ini jenjang pendidikan di kompleks Futuhiyyah adalah mulai dari TK, MI, MTs, MA, SMA dan SMK. Pada jenjang pendidikan ini digunakan sistem pembelajaran
klasikal
dengan
memasukkan
berbagai
metode
pembelajaran modern yang telah ditemukan, di samping juga tetap mempertahankan sistem sorogan dan bandongan. Berikut rincian lembaga pendidikan formal yang bernaung di bawah yayasan Pondok Pesantren Futuhiyyah, antara lain yaitu: 1) Taman Pendidikan Al – Qur‟an (TPQ) Futuhiyyah
67
2) Taman kanak – kanak ( TK ) Futuhiyyah 3) Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Futuhiyyah 4) Madrasah Tsanawiyah I Futuhiyyah (Putra) 5) Madrasah Tsanawiyah II Futuhiyyah (Putri) 6) Madrasah Aliyah Futuhiyyah I (MAF I) (Putra) 7) Madrasah Aliyah Futuhiyyah II (MAF II) (Putra/ Putri) 8) Sekolah Menengah Lanjutan Pertama (SMP) Futuhiyyah (1972) 9) Sekolah Menengah Umum (SMU) Futuhiyyah (1983) 10) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Futuhiyyah (1998) Pada jenjang pendidikan formal ini, model kurikulum yang digunakan adalah kurikulum kombinasi, mengacu antara kurikulum DEPAG (Departemen Agama) dan kurikulum lokal khas pesantren (MI, MTs, dan MA). Yang dimaksud kurikulum kombinasi di sini adalah kurikulum yang ditentukan oleh pesantren sendiri, dalam hal ini yayasan, misalnya ada beberapa mata pelajaran tambahan yang tidak ada di kurikulum Depag, ataupun sudah ada tetapi menggunakan sylabus atau kitab rujukan yang berbeda dari apa yang telah ditetapkan oleh Depag. Khusus untuk MA disamping menggunakan kurikulum Departemen
Agama,
juga
menggunakan
kurikulum
Pondok,
Kurikulum khusus ini terutama sekali untuk pendalaman kitab-kitab salaf (kuning), meski demikian kurikulum Departemen Agama porsinya lebih dominan (banyak). Sedangkan khusus untuk lembaga
68
SMP, SMA dan SMK menggunakan kurikulum Departemen Pendidikan Nasional. 6. Jenjang Pendidikan, Sistem Pengajaran dan Materi Kajian Jenjang pendidikan di pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen mencapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan menggunakan sistem pendidikan yang sangat operasional baik itu materi pendidikan dan pengajaran yang diajarkan di dalam kelas (pendidikan formal), maupun di luar kelas (non formal). Adapun jenjang pendidikan yang diajarkan di dalam kelas (formal) adalah sebagai berikut: a. Tingkat I‟dat (persiapan) Kelas ini terdiri dari santri junior yang masih pemula ataupun baru masuk pesantren, hal itu sebagai dasar belajar di madrasah diniyyah Ponpes Futuhiyyyah. Kelas ini terdiri dari kelas A dan B. b. Tingkat lanjut Kelas ini ada 5 kelas yang berbeda sesuai dengan tingkatan kemampuan masing-masing santri. Pada kelas tingkat lanjut biasanya terdiri dari santri yang dianggap telah mampu mengikuti pengajian. Di Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen ada beberapa sistem pengajaran yang diterapkan, yaitu sistem klasikal atau madrasah dan sistem non klasikal. Dalam sistem non klasikal ini ada dua metode yang dipakai, yakni metode sorogan dan metode bandongan atau wetonan.
69
Adapun sistem sorogan tersebut dilaksanakan sebagaimana Jadwal Pelajaran Pengajian Kitab Ba‟da Ashar Pondok Pesantren Futuhiyyah 2009/ 2010, berikut ini: No
Hari Sabtu,
1
Minggu, Senin
Kitab
Ustadz
Siswa
Wassilah,
H. Hilmi
3,4,5
Ya Waqitul Atsani,
Wafa, SE
MDSF
Matan Al Udah
Kasyifatussaja
2
Minggu,
Tanqihul Qoul
Senin Attahliyyah
3
4
5
Selasa Sabtu, Minggu Senin
Masjid
Tanqiatul Qulub Fathul Qorib
Sabtu,
Tempat
Ust A Sahal, Ust Muh
Ust Mahbub Alwi
Farid
Kelas
Kelas
Fitri Khosyi
Jiddan
Imla‟ (qiro‟ati)
1, 2 ̽
Ust Imam
Ust Ahmad
Fasolatan
Kelas
Shofi‟i
Sarah Muhtasoru
Ta‟limmuta‟alim
Kelas
Kelas
Ust Muh
Semua
Hafidz
Murid
Ustdz
I'dad
Khuzairi
A, B
Ust Hakim
I'dad
M Makruf
A, B
Masjid
Kelas
Kelas
Keterangan: Sistem pengajian Ba'da 'Ashar adalah Sorogan (Santri membaca kitab dan maknanya disimak oleh Guru dan santri lain yang mengikuti pengajian dalam satu majlis ta‟lim) Tanda ( ̽ ), Khusus kelas 1 dan 2, diperbolehkan memilih pengajian sorogan atau bandongan, sesuai dengan keinginan mereka masingmasing. (Hasil Wawancara ustadz Ahmad Sahal, staf pengajar sekaligus pengurus Ponpes Futuhiyyah, tanggal 20 Februari 2010)
70
Sedangkan Pengajian Kitab Ba‟da Maghrib Pondok Pesantren Futuhiyyah 2009/ 2010 umumnya memakai sistem sorogan sebagaimana jadwal pengajian berikut ini: No
Hari
Kitab
Ustadz
Siswa
Tempat
Setiap Hari, 1
kecuali Senin
2, 3 Tafsir Jalalain
Syeikh Muh.
MA
Hanif Muslih
3 SMA
dan
Masjid
& SMK
Kamis 2
Senin
Unisul Muttaqin
Jum‟at, 3
Sabtu,
Attadzhib
Minggu 4
5
2 SMA
Farid
& SMK 2 SMA
Rabu
1
Dziya‟uddin
& SMK
Selasa, Rabu
Sabtu,
Safinatunnajah
Sabtu,
Selasa, Rabu Jum‟at,
Ustadz Abdus Somad
Minhatussaniyyah, Ustadz Ahmad Matan Jurumiyyah
Sahal Uastadz
Salamuttaufiq
Minggu
9
Ustadz Ahmad
Ustadz Ahmad
Jum‟at,
8
Santri
Al Muntakhobath
Minggu
7
Semua
Selasa,
Jum‟at, 6
H. Hilmi Wafa
Mahbub Alawi al Hafidz
Qomi‟uttughyan Fiqh Wadhih 1
71
Masjid
Kelas
Kelas
1 SMA, SMK,
Kelas
MA 1 SMA, SMK,
Kelas
MA 3 MTs & SMP
Ustadz M.
3 MTs
Zainuttholibin
& SMP
Ustadz Muh
2 MTs
Kelas
Kelas Kelas
Shofi‟i
& SMP
Ustadz Muh
2 MTs
Sabtu, Minggu 10
Selasa,
Al ahlaq Libanain
Rabu
1
Jum‟at, 11
Durusul Fiqhiyyah
Sabtu,
Ustadz Agus Imam
1
Minggu
12
Solihin
Haromain
Selasa,
Tanbihul
Rabu
Muta‟alim
Ustadz M. Zainal Muttaqin
& SMP 1 MTs & SMP
1 MTs & SMP
Kelas
Kelas
Kelas
Keterangan: Sistem pengajian ba'da Maghrib adalah Bandongan (Guru membaca kitab, makna dan penjelasannya dan disimak oleh santri lain yang mengikuti pengajian dalam satu majlis ta‟lim). (Hasil Wawancara ustadz Ahmad Sahal, staf pengajar sekaligus pengurus Ponpes Futuhiyyah, tanggal 20 Februari 2010) Sedangkan sistem klasikal diterapkan pada pengajian Madrasah Diniyyah ba‟da Isya‟ Tahun Pelajaran 2009 / 2010 dengan jadwal sebagai berikut di bawah ini: Kelas NO
Hari
1
Jum'at
2
3
4
Sabtu
Ahad
Selasa
Jam I'dad I'dad A B I
X/8
P/9
II
P/9
X/8
I
P/9
V/6
II
V/6
P/9
I
I/1
U/5
II
U/5
Z/1
I
U/7
Z/1
72
I A Q/ 9 R/ 2 R/ 2 Q/ 2 Y/ 6 L/ 8 W /1
I II II B A B R/ T/ S/ 2 1 7 Q/ S/ T/ 9 7 1 Q/ M/ T/ 9 9 1 R/ T/ M/ 2 1 9 L / AA M / 8 /6 9 Y / M / AA 6 9 /6 Q/ N/ I/ 5 3 11
III
IV
V
O/ 1 O/ 1 K/ 9 K/ 9 H/ 11 G/ 5 H/ 2
Y/ 9 Y/ 9 C/ 6 Y/ 10 O/ 1 O/ 1 E/ 11
K/ 1 K/ 1 D/ 11 D/ 11 F/ 10 F/ 4 J/ 12
Rabu
5
II
Z/1
U/7
I
T/2
X/8
II
X/8
T/2
Q/ 5 S/ 7 W/ 1
W/ 1 W/ 1 S/ 7
I/ 11 L/ 8 N/ 5
N/ 3 N/ 5 L/ 8
G/ 7 O/ 1 AA /6
E/ 12 J/ 4 J/ 5
J/ 13 I/ 9 I/ 9
Keterangan: - Jam Pertama : 20.00 - 20.45 - Jam ke dua : 20.45 - 21.30 Kode asatidz
Kode asatidz
A
KH. M. Hanif Muslih, Lc
O
Mahbub Alwi, AH
B
KH. Said Lafif, S.Ag
P
Ahmad Khuzaeri
C
K. Abdul Hamid, AH
Q
Hakim Muhammad Ma'ruf
D
K. Muhammad Mahdi Suhail
R
Edy Haryanto Sa'dan
E
Agus Ahmad Akrom, S.Pd.I
S
Muhammad Sholihin, S.HI
F
Agus Ahmad Muhlisin, AH
T
Ahmad Sahal
G
Imron Masyhadi, S.HI
U
Luqmanul Hakim
H
Fuad Zen, AH
V
Muhammad Solikhan
I
M. Zaenal Muttaqin, AH. S.HI
W
Abdus Shomad
J
A. Dliyauddin, AH
X
Imam Fitri Khosyi'I
K
A Farid Eko Wibowo, S.HI
Y
Muhammad Shofi'I
L
Muhammad Zainut Tholibin
Z
Agus Imam Haromen
M
Abdul Hakim
AA Ahmad Faizin, S.Pd.I
N Muhammad Zamroni, AH
Kode Kitab
Jenis Kitab
Kelas
1
Nahwu
I‟dad
73
Nama kitab Nahwu Jawan
I
Tafrihatul Widan
II
Sulamussibyan
III
Imrithi
IV
Alfiyah Ibnu Malik
V
Alfiyah Ibnu Malik
2
Shorof
I‟dad
Amtsilatuttastrif
I
Amtsilatuttastrif
III
Al Mahfudz
3
I‟lal
II
Atho‟idhul Jalal
4
Balaghoh
IV
Qowa‟idul Lughotul Arobiyyah
V
Qowa‟idul Lughotul Arobiyyah
5
6
7
8
9
10
Tauhid
Ahlaq
Tarikh
Tajwid
Fiqh
I‟dad
Tauhid Jawan
I
Nurudzolam
II
Jawahirul Kalamiyyah
III
Qothrul Ghoits
IV
Tijan Addurori
I‟dad
Allalaa
I
Taisirul kholaq
II
Washoya
III
Attahliyyah
IV
Ayyuhal Walad
I‟dad
Taikh Nabi
I
Kholashoh Nurul Yaqin I
II
Kholashoh Nurul Yaqin II
III
Kholashoh Nurul Yaqin III
I‟dad
Shifa‟ul Janan
I
Tuhfatul Athfal
II
Mustholahul Tajwit
I‟dad
Mabadi‟ul Fiqhiyyah 1 & 2
I
Mabadi‟ul Fiqhiyyah 2 & 4
II
Safinatunnajah
III
Umdatussalik
IV
Fathul Qorib
V
Fathul Qorib
IV
Mabadi‟ul Fiqhiyyah
Ushul Fiqh
74
11
Hadist
12
Ilmu Hadist
13
Ilmu Qur‟an
V
Al-Waroqot
II
Al Arba‟innawawiyah
III
Atttarghib Wattarhib
IV
Bulughul Marom
V
Bulughul Marom
IV
Minhatul Muqits
V
Minhatul Muqits
V
Attibyan Fi ulumul Qur‟an
(Dokumentasi pondok Pesantren Futuhyyah 2010) Selain itu masjid di pondok pesantren Futuhiyyah juga diadakan pengajian Thoriqoh senin - kamis yang diampu oleh beberapa sesepuh pondok pesantren Futuhiyyah, adapun jadwalnya sebagai berikut: No
Hari
Nama guru syari’at/ Thoriqoh
1.
Senin legi
KH. Zaeni Mawardi
KH. Zaeni Mawardi
2.
Senin Pahing
K. M Ali Mahsun
K. M Ali Mahsun
3.
Senin Pon
K. A Maghfur Murod
K. A Maghfur Murod
4.
Senin Wage
KH. Fathurrozi
KH. Fathurrozi
5.
Senin Kliwon
KH. Mahmud Dawam
KH. Mahmud Dawam
6.
Kamis legi
KH. Abdullah Ashif
KH. Hanif Muslih
7.
Kamis Pahing
KH. Amin Wahab
KH. A. Zaeni/ KH. Abdul hadi
8.
Kamis Pon
Ny. Mahfudzi Fathan
KH. Said Latif Hakim
9.
Kamis Wage
KH. Zaeni Mawardi
KH. Said Latif Hakim
10.
Kamis Kliwon
Kh. Ali Mahsun
KH. Hanif Muslih
7. Aktifitas Kegiatan Santri Pondok Pesantren Futuhiyyah Aktifitas kegiatan santri bisanya terbentuk dari kebiasaaan (budaya). Budaya yang diciptakan dalam pondok pesantren memang sangat unik. Setiap pondok memiliki budaya dan suasana yang berbeda, walaupun tentu
75
ada banyak kesamaan juga. Budaya ini terutama dibuat dari fakta lingkungan pondok yang sangat terbatas, kemudian membentuk pola kebiasaan yang kemudian membudaya sifat para santri. Oleh karena, lingkungan pondok sangat terbatas dan banyak waktu harus dilewatkan di dalam satu tempat itu, maka harus ada kesabaran yang tinggi sekali. Santri-santri harus bisa bekerja sama dan saling paham untuk menciptakan suasana yang kondusif untuk belajar dan beribadah. Tidak ada banyak keragaman kegiatan bagi para santri dalam kehidupan sehari-hari di pondok pesantren Futuhiyyah. Jadwal sekolah dan kegiatan-kegiatan sehari-hari tetap, jarang berubah. Sedangkan jadwal pengajian harian santri diatur menurut jam salat, karena salat lima waktu merupakan kewajiban bagi kaum muslim, maka dibutuhkan manajemen waktu untuk menghindari terbenturnya waktu sholat dengan waktu belajar. Kegiatan-kegiatan dasar yang memenuhi hari-hari para santri di pesantren Futuhiyyah umumnya dikelompokkan ke dalam 2 bagian, yaitu: a. kegiatan pribadi, misalnya; mandi, mencuci pakaian, membersihkan kamar, makan, mengobrol dengan teman, sembahyang dan istirihat; b. kegiatan belajar, termasuk waktu belajar di kelas maupundi sekolah formal, mengaji di masjid dan mengerjakan PR atau belajar sendiri; Kegiatan-kegiatan tersebut bisa dilihat di jadwal harian santri Pesantren Futuhiyyah 2009/ 2010 di bawah: NO
Waktu
Kegiatan
Keterangan
1
04.00 - 04.30 WIB
Bangun Pagi dan Sholat Malam
-
76
2
04.30 - 05.00 WIB
Jama'ah Sholat Shubuh
-
3
05.00 - 06.00 WIB
Mengaji Al Qur'an
Terjadwal
4
06.00 - 07.00 WIB
Persiapan Berangkat Sekolah
-
5
07.00 - 13.30 WIB
Belajar di Madrasah / Sekolah
-
Ishoma 6
13.30 - 15.30 WIB
(ada beberapa santri mengisi
-
kegiatan di sekolah-sekolah, misal: les komputer, dsb)
7
15.30 - 16.00 WIB
Persiapan Jama'ah Sholat Ashar
-
8
16.00 - 16.30 WIB
Jama'ah Sholat Ashar
-
Mengaji Kitab klasikal 9
16.30 - 17.30 WIB
(ada yang sorogan atau juga
Terjadwal
bandongan) 10
17.30 - 18.00 WIB
Ishoma
-
11
18.00 - 18.30WIB
Jama'ah Sholat Maghrib
-
12
18.30- 19.40 WIB
Pengajian Kitab
Terjadwal
13
19.40 - 20.00 WIB
Jama'ah Sholat 'Isya
-
14
20.00 - 21.30 WIB
Madrasah Diniyyah Salafiyyah
Terjadwal
15
21.30 - 22.30 WIB
Musyawarah / Belajar
-
16
22.30 - 04.00 WIB
Istirahat
-
Sedangkan agenda program rutininas harian, mingguan, bulanan, tahunan pondok pesantren Futuhiyyah dapat dilihat pada table berikut ini: No
Event
1.
Harian
Jenis kegiatan
Waktu
Pengajian Al-Qur‟an
Ba‟da Shubuh
Pengajian Kitab (kitab kuning)
Ba‟da Ashar
77
2.
3.
MDF Futuhiyyah (jam pertama)
Ba‟da
MDF Futuhiyyah (jam ke dua)
Ba‟da Isya‟
Piket kebersihan (per kamar)
Ba‟da Shubuh
Mingguan Dziba‟iyyah
Bulanan
Kamis malam jum‟at
Ta‟limul Khitobiyyah
Senin malam selasa
Pengajian Irsyadul „Ibad
Senin malam selasa
Kebersihan (MTs/ MA)
Jum‟at pagi
Kebersihan (SMP, SMA & SMK)
Ahad Pagi
Pengajian Ta‟limul Muta‟alim
Selasa sore
Tikroran
Rabu dan kamis sore
Manaqib syeikh Abdul Qodir Al Malam ke-11 Jailani RA 4.
Tahunan
Mau‟idzoh Hasanah
Malam selasa kliwon
Khaul mbah Abdurrohman
12 Dzul hijah
Khotmil qur‟an
12 Dzul hijah
Bahsul masa‟il
11 Dzul hijah
PHBI
Maulid nabi Muhammad SAW
12 Robi‟ul Awal
Isro‟ mi‟roj nabi Muhammad
27 Rojab
Nuzulul qur‟an
17 Romadhon
PHBN:
HUT Kemerdekaan RI
Pengajian posonan (kilatan)
17 Agustus Bulan Romadhon
8. Organisasi Kelembagaan Sejak tahun 1977 Pondok Pesantren Futuhiyyah memandang perlu untuk membentuk payung hukum; Yayasan yang kemudian diberi nama dengan Yayasan Pondok Pesantren Futuhiyyah mengingat Pondok telah mengembangkan sayapnya dengan membuka sebuah sekolah yang
78
berhaluan umum yaitu Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SMP) pada tahun 1973, Yayasan diketuai oleh KH. Luthfi Hakim (alm) putra ke dua dari KH. Muslih, beliau memegang tampuk kepemimpinan di Yayasan sejak berdiri hingga beliau wafat tahun 2004, kemudian sejak itu yayasan dipegang oleh adik KH. Luthfi Hakim dan KH. M. Hanif Muslih, Lc. Sejak Undang-undang Yayasan diberlakukan Futuhiyyah diserahkan ke KH. Abd Choliq Murod, Lc. putra dari KH. Murodi, adik KH. Muslih. Sementara itu pesantren Futuhiyyah setelah wafatnya KH. Muslih 1981 dipercayakan tanggung jawabnya kepada Nadhir yang telah ditunjuk oleh KH. Muslih yaitu KH Lutfi Hakim Muslih dan adik kandungnya KH M. Hanif Muslih, Lc. Ke dua orang kyai itu merupakan putra dari KH. Muslih, mereka didampingi dan dibimbing oleh KH. Ahmad Muthohar yang merupakan paman dan putra ke-5 KH. Abdurrahman. Di bawah kepemimpinan KH. Lutfi Hakim Muslih dan adiknya KH. M. Hanif Muslih, Lc, pondok membuka beberapa lembaga baru antara lain yaitu: Madrasah Aliyah Futuhiyyah–2 (MAF-2), Madrasah Tsanawiyah Futuhiyyah–2 (MTs-2) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) pada tahun ajaran 1982-1983 dan terakhir pada tahun 1998 membuka Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). KH. Lutfi Hakim wafat pada tahun 2005 dan 6 bulan kemudian KH. Ahmad Muthohar menyusul wafat, kemudian tampuk kepemimpinan dipegang oleh KH. M. Hanif Muslih, Lc. dan dibantu oleh KH. Said Lafif Hakim, S, Ag, putra pertama KH. Luthfi Hakim hingga saat ini. (Dokumentasi PROFIL PP. Futuhiyyah)
79
9. Kepengurusan Pondok Pesantren Kepengurusan yang penulis maksud dalam hal ini adalah Susunan pengurus yang khusus menangani personalia santri di Pondok Pesantren Futuhiyyah saja yaitu masa khidmah 1430-1433 H/ 2009-2012 M. Pada dasarnya kepengurusan Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen secara esensi merupakan orang-orang yang sama juga mengisi kepengurusan sebelumnya, hanya mereka di-rolling dengan jabatan-jabatan lain dalam struktur kepengurusan. Adapun mereka kebanyakan diisi oleh santri senior dan mempunyai bekal ilmu yang cukup untuk mengajar, serta keluarga pengasuh, tokoh agama dan masyarakat sekitar Pondok Pesantren serta (Hasil wawancara ustadz Ahmad Farid Eko Wibowo, S.HI, staf pengajar sekaligus pengurus Ponpes Futuhiyyah, tanggal 19 Oktober 2009). Untuk lebih jelasnya mengenai kepengurusan Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen saat ini dapat dilihat pada Susunan Struktur Pengurus Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak masa khidmah 1430 - 1433 H / 2009 - 2012 M (Dokumentasi Surat Keputusan Pengurus Ponpes Futuhiyyah tahun 2009) di bawah ini : Pengasuh
: KH. Muhammad Hanif Muslih, Lc
Wakil Pengasuh
: 1. KH. Ahmad Said Lafif, S.Ag 2. H. Ahmad Faizurrahman Hanif
Pengawas
: 1. K. Abdul Chamid Masyhuri, AH, S.Pd.I 2. Ahmad Mujib Masyhuri, S.Pd.I
Kepala
: H. Agus Hilmi Wafa, SE
80
Wakil Kepala I
: Ahmad Dliyauddin, AH
Wakil Kepala II
: Ahmad Farid Eko Wibowo, S. Hi
Sekretaris
: Abdus Shomad
Wakil Sekretaris
: Muhammad Zainut Tholibin
Bendahara
: Abdul Hakim
Wakil Bendahara
: Luqmanul Hakim, AH
: 1. H. Agus Badrut Tamam, Lc ( Koordinator )
Dep. Dikjar
2. Mahbub Alwi, AH 3. Hakim Muhammad Ma‟ruf 4. Ahmad Sahal 5. Muhammad Shofi‟i
Dep. Kamtib
: 1. Imam Fitri Khosyi‟I ( Koordinator ) 2. Muhammad Zamroni, AH 3. Edy Haryanto Sa‟dan 4. Arifin Wal Musthofa
Dep. Sarpras
: 1. Muhammad Solikhan 2. Muhammad Sholihin, S.Hi
Dep. Kebersihan : 1. Agus Imam Haromen ( Koordinator ) 2. Hasan Hakim ( Baru ) 3. Muhammad Ali Husen ( Baru )
Dep. Humasy
: 1. Muhammad Zaenal Muttaqin, AH, S.Hi 2. Ahmad Khuzaeri
81
10. Sarana Prasarana Komplek pondok pesantren Futuhiyyah memiliki berbagai sarana dan prasarana, baik untuk kegiatan belajar mengajar maupun kegiatan administratif dan kegiatan lain-lain. Adapun secara seluruh sarana prasarana yang ada hingga kini kurang lebih adalah: 105 ruang belajar, 20 ruang kantor, 10 ruang pimpinan/ Kyai, 10 ruang perpustakaan, Dua Masjid, 14 Asrama Putra dan empat asrama putri semua fasilitas tersebut menempati tanah seluas 4 ha, di atas tanah seluas 5 ha. (Sejarah Seabad Pondok Pesantren Futuhiyyah, 2001) Secara lebih detail sarana tempat belajar pesantren memang masih sangat sederhana, ada berapa lokasi yang dipergunakan yaitu ruangan belajar seluas kurang lebih 8 x 8 meter, tiap ruang hanya terdiri dari meja dan kursi, almari, alat tulis berupa papan tulis, penghapus dan kapur saja, dan aula masjid (tempat di sekitar masjid). Sedangkan hal itu berbeda dengan fasilitas yang diberikan di sekolah-sekolah formal yang juga berada di naungan yayasan Futuhiyyah, beberapa ruang bahkan sudah ada yang memakai whiteboard dengan spidol maker sebagai alat tulisnya, bahkan juga beberapa gedung sudah ada yang memakai fasilitas multimedia berupa komputer yang telah terhubung dengan LCD/ proyektor seperti SMU dan SMK. (Profil Popes Futuhiyah: 6) Semua itu merupakan wujud nyata perkembangan institusi lembaga ini yang akan terus selalu berkembang menyesuaikan kebutuhan riil masyarakat.
82
11. Santri dan Tenaga Pengajar Adapun penelusuran data hasil penelitian perkembangan jumlah siswa yang pernah dihimpun Team Penyusun buku Sejarah Seabad Futuhiyyah mulai tahun 1991 – 2000 pada tahun 2001 telah menunjukkan bukti kejayaan yang signifikan. Namun begitu pada saat itu siswa yang ada di Yayasan Pondok Pesantren Futuhiyyah jumlahnya mengalami pasang surut, hal ini dapat dilihat dari data statistik perkembangan santri dua puluh tahun terakhir berikut: Jumlah Santri Menurut Data Statistik No
Tahun
Jumlah santri
1.
1991/ 1992
3.310 Orang
2.
1992/ 1993
3.390 Orang
3.
1993/ 1994
3.350 Orang
4.
1994/ 1995
3.450 Orang
5.
1995/ 1996
3.515 Orang
6.
1996/ 1997
3.755 Orang
7.
1997/ 1998
3.850 Orang
8.
1998/ 1999
3.897 Orang
9.
1999/ 2000
4.179 Orang
(Sejarah Se abad Pondok Pesantren Futuhiyyah, 2001) Saat ini jumlah santri yang hanya belajar dan mukim di komplek Pondok Pesantren Futuhiyyah secara keseluruhan berjumlah kurang lebih 300 Orang. Mereka semua mengaji di pesantren Futuhiyyah, termasuk semua santri yang juga santri khidmah (santri yang mengabdi di dalem romo Kyai Hanif), pengurus yang ada dalam struktur kepengurusan, santri yang masuk dalam Unit usaha pondok KOPPONTREN (Koperasi Pondok
83
Pesantren). Selain menempuh pendidikan pesantren mereka semua juga menempuh berbagai jenis jenjang pendidikan formal yang ada di Yayasan Pesantren Futuhiyyah. (Data Santri 2009/2009 dan Hasil wawancara H. Agus Hilmi Wafa, Kepala pengurus Ponpes Futuhiyyah, 12 Januari 2010) Sebagai pondok pesantren yang menerapkan sistem pesantren dan sistem persekolahan dalam proses belajar-mengajar, maka keberadaan peserta didik di Yayasan Pesantren Futuhiyyah dapat diklasifikasi dalam tiga bagian. Pertama, siswa yang belajar di pesantren (santri); ke dua, siswa yang belajar di pesantren dan sekolah formal (murid/ santri); dan ke tiga, siswa yang belajar di madrasah dan sekolah formal saja dan tidak menetap di pesantren. Dari awal berdirinya pesantren ini, telah menampung santri berasal dari segala penjuru, di mana setiap tahun jumlahnya semakin bertambah banyak, sehingga melebihi daya tampung kamar pemondokan maupun ruang kelas yang ada. Pernah pada suatu waktu kamar dan ruang yang ada tidak dapat mengimbangi bertambahnya santri-santri yang masuk. Asal daerah santri-pun cukup bervariasi mulai dari daerah sekitar Jawa sendiri yang meliputi : Jawa Tengah, Jawa Barat, D.I.Y, Jawa Timur serta D. K. I. Sementara luar Jawa meliputi : Lampung, Kalimantan Barat, Palembang, Riau, Aceh, dan Bali. Dan mulai pada tahun ajaran 1995/ 1996 ada santri yang berasal dari NTT. (Sejarah Seabad Pondok Pesantren Futuhiyyah, 2001). Tampaknya hal itu masih terlihat hingga sekarang.
84
Jumlah santri di pesantren sebanyak itu diasuh dan dibimbing kurang lebih 30 Ustadz/ Guru dengan latar pendidikan yang beragam. Juga dari hasil pengamatan penulis menemukan sebagian guru merangkap mengajar di dua sekolah yang berbeda jenis pendidikannya dengan jenjang yang sama. Seperti guru MTs merangkap mengajar di SMP atau juga SMK, begitu juga guru MA merangkap mengajar di SLTA, dst. Dan dari jumlah itu kesemuanya tidak hanya berlatar belakang pendidikan pesantren saja namun juga telah menempuh pendidikan formal, seperti SLTA, dan S1, meskipun juga masih ada yang sedang menyelesaikan masa kuliah. 12. Pengembangan Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi komitmen Pondok
Pesantren
Futuhiyyah,
untuk
itu
pesantren
ini
dalam
mengembangkan programnya selalu mendorong para santri agar siap berkiprah menjadi anggota masyarakat, untuk itu pesantren terus mengupayakan agar para santri bisa memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tingggi dalam berbagai bidang. Bagi mereka yang berhasrat menjadi pemimpin agama, pihak pesantren akan memberikan rekomendasi kepada santri untuk melanjutkan belajar di pondok pesantren yang bermutu, disamping itu, Futuhiyyah juga akan membuka Program Pendidikan Tinggi Ma‟had Aly dengan lama pendidikan 3 – 4 tahun. Selain mendapatkan ijazah Formal, para santri yang menyelesaikan dan menguasai ketrampilan hingga tingkat kemampuan tertentu akan
85
mendapat piagam/ sertifikat resmi dari lembaga ini. Ini semua dilakukan agar para santri mempunyai kompetensi yang unggul 13. Keadaan Sosiologis Secara umum pendidikan masyarakat di desa Suburan sudah dikatakan maju, karena di sana hampir 90% masyarakatnya pernah mengenyam pendidikan, walau mungkin hanya pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Adapun agama yang dianut masyarakat desa Suburan mayoritas Islam. Bahkan desa Mranggen pada umumnya hampir tempat ibadah yang berdiri adalah masjid dan mushola dan tidak ditemukan tempat ibadah lain, seperti; gereja, pura, wihara, dan lain-lain. Keadaan masyarakat desa Suburan yang majemuk, baik pada tataran perekonomian, mata pencaharian, agama maupun pendidikan, memberikan kesan bahwa desa Suburan termasuk sudah maju. Namun, jika dilihat pada bidang perekonomian, pendapatan yang diperoleh masyarakat masih dikatakan cukup, karena kebanyakan dari mereka berada pada posisi menengah ke atas. Mobilisasi masyarakat desa Mranggen dikatakan sangat tinggi mengingat desa Mrangen lebih dekat dengan kota Semarang yang merupakan jantung ibukota provinsi Jawa Tengah, keadaan masyarakat sekitar banyak bekerja sebagai buruh pabrik. Namun fasilitas desa seperti Puskesmas, pasar dan keberadaan pesantren mungkin juga sudah cukup memberi konstribusi yang positif bagi kemajuan ekonomi masyarakat
86
setempat. (Wawancara dengan Niswan Zamzami, salah satu alumni ponpes Futuhiyyah, pada tanggal 02 Januari 2010) B. Dinamika Pendidikan Pendidikan Pesantren Futuhiyyah Dinamika
kehidupan
Yayasan
Pesantren
Futuhiyyah
secara
keseluruhan terlihat dengan fenomena bergesernya beberapa unsur pesantren mengalami transformasi, perubahan dan pengembangan secara bertahap, yang setiap periodik memperlihatkan kemajuan, antara lain : Transformasi kepemimpinan (pola manajerial), Transformasi sistem pembelajaran institusi, Transformasi
kurikulum
yang
kemudian
berpengaruh
pada
metode
pembelajaran. Namun demikian dari sekian perubahan mendasar yang penting sebagai upaya transformasi adalah pola kepemimpinan yang demokratis seorang kyai sebagai figur utama pesantren. Dinamika tersebut seiring dengan perkembangan pergeseran sistem pendidikan yang baik secara nasional maupun regional telah merubah pola pikir masyarakat, sehigga mendesak pelaku pendidikan dalam pesantren Futuhiyyah untuk melakukan pengembangan.
Begitu pula pesantren
Futuhiyyah sejak perkembangan pendidikan di Indonesia umumnya mengalami perkembangan, maka lembaga inipun melakukan respons yang cukup tanggap, dengan terus memantau kebutuhan riil yang terjadi di masyarakat yang terus berkembang pula dengan tanpa meninggalkan cita-cita pendiri pesantren ini semula, agar eksistensi pesantren Futuhiyyah dapat dipertahankan dan ada dalam hati sanubari masyarakat. Tapi suatu hal yang positif diketahui dari penelitian di ponpes
87
Futuhiyyah adalah sikap terbukanya kyai pengasuh terhadap kebijakan dari luar, termasuk dari sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia sejak zaman Belanda (1927) diketahui tentang terbukanya KH. Ustaman Abdurrohman dengan mengembangkan pesantren Futuhiyyah dari sistem pengajian langgar, menjadi sistem madrasah formal yaitu, Madrasah Diniyyah Awaliyyah (1927 M), hingga pendirian Sekolah Menengah Kejuruan (1998) pada masa kepemimpinan KH. Lutfi Hakim Muslih dan KH. Hanif Muslih, Lc (1928sekarang). Tentang perkembangan lembaga-lembaga formal yang ada di ponpes Futuhiyyah dapat dilihat dalam table berikut ini: No
Nama Lembaga
Tahun Berdiri
1.
Diniyyah Awaliyyah
1927
2.
Madrasah Tsanawiyyah (1)
1936
3.
Madrasah Aliyyah Keagamaan (1)
1962
4.
Madrasah Ibtidaiyyah (MWB)
1963
5.
Taman Kanak-kanak
1972
6.
Sekolah Menengah Pertama
1983
7.
Madrasah Tsanawiyyah (2)
1983
8.
Madrasah Aliyyah (2)
1983
9.
Sekolah Menengah Atas
1983
10. Fakultas Syari‟ah (IIWS)
1984
11. Taman Pendidikan Al-Qur‟an
1990
12. Madrasah Tsanawiyyah (3)
1996
13. Sekolah Menengah Kejuruan
1998
(Sejarah Se Abad Pondok Pesantren Futuhiyyah, 2001: 80) Dengan masuknya lembaga pendidikan formal ke sistem pesantren Futuhiyyah dari sejak berdirinya hingga saat ini, maka trasnformasi proses pendidikan telah terjadi. Namun demikian proses transformasi tidak akan
88
terjadi tanpa restu kyai, terlebih lagi main set kyai. (Hasil Wawancara Bapak Muhlisin Bisyri, Sekretaris Yayasan Ponpes Futuhiyyah sekaligus Kepala Sekolah SMK Futuhiyyah, pada tanggal 20 Februari 2010). Dalam hal ini mungkin yang dimaksud adalah apabila dalam melaksanakan formalisasi sangat urgen dan menentukan, di samping juga upaya pengenalan program pendidikan luas lainnya, tanpa restu seorang kyai pengasuh, maka akan sulit menembus pesantren. Mengingat figur kyai sangat menentukan transformasi pendidikan di pesantren, maka inovasi pendidikan akan diakui efektifitas dan efisiensi hanya akan berjalan juga sangat bergantung pada main set dan semangat kepemimpinan kyai. Apabila seorang kyai tidak menginginkan terjadinya proses transformasi, maka sudah tentu pondok pesantren akan sangat eklusif dan jauh dari inovasi pendidikan Seorang kyai dalam pesantren, sebagaimana di ponpes Futuhiyyah sangat menentukan nasib pembaharuan dan peerkembangan pendidikan. Beliau sebagai salah satu penentu kebijakan-kebijakan pendidikan dan sekaligus figur yang akan membawa pesantren berkembang atau bahkan tenggelam ataupun mati.
89
BAB IV ANALISIS TERHADAP IMPLEMENTASI KONSEP LIMA ELEMEN DASAR, DINAMIKA PENGEMBANGAN PENDIDIKAN DAN NILAI-NILAI FUNDAMENTAL PENDIDIKAN PESANTREN FUTUHIYYAH MRANGGEN
C. Analisis Implementasi Konsep Lima Elemen Dasar Pesantren Futuhiyyah Pesantren Futuhiyyah Mranggen dapat tumbuh dan berkembang secara subur dengan tetap menyandang ciri-ciri tradisionalitasnya. Sebagai lembaga pendidikan asli (indegenous) Indonesia. Hal ini masih relevan dengan apa yang diungkapkan Azra‟ (1998: 87), pesantren memiliki akar sosio-historis yang cukup kuat, sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia keilmuan masyarakatnya dan sekaligus bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan. Di sisi lain, sebagai lembaga pendidikan, pesantren Futuhiyyah dapat dipandang sebagai lingkungan yang khusus, di mana pesantren ini memiliki beberapa nilai fundamental yang selama ini jarang dipandang oleh kalangan yang menganggap dirinya tradisional. Dengan penerapan nilai-nilai tersebut dalam proses pendidikannya, pesantren Futuhiyah sekalipun tradisional dapat membentuk pribadi-pribadi yang unggul dan tangguh dalam menjalani hidup dengan perubahan yang menyertainya. Pesantren Futuhiyyah sebagai lembaga pendidikan juga memiliki elemen dasar, keberadaanya hingga kini masih saling kait mengkait antara
90
satu elemen dengan yang lain. Unsur-unsur dasar tersebut adalah sebagai berikut : (1) Pondok, (2) Masjid, (3) Kitab-kitab Klasik (kitab kuning), (4) Santri, dan (5) Kyai. Ke lima elemen tersebut keberadaanya saling menunjang dan kerjasama untuk mencapai tujuan pendidikan (Dhofier, 1984: 43). Setiap lembaga pendidikan pesantren Futuhiyyah tidak mungkin hanya terdapat bangunan gedung saja, akan tetapi juga terdapat elemen-elemen lain untuk mendukung kelancaran aktifitas pendidikan. Begitu pula di pondok pesantren Futuhiyyah yang masih dipakai sebagai proses belajar mengajar para santri, elemen-elemen tersebut antara lain: a. Pondok sebagai asrama pemondokan para santri Istilah pesantren biasanya tidak lepas dengan kata panduannya yaitu kata pondok, sehingga lumprah disebut pondok pesantren. Pondok merupakan tempat tinggal para santri yang berbentuk bangunan dan di dalamnya dipisahkan sekat yang kemudian menurut Nur Cholis Madjid (1997) disebut dengan “bilik-bilik” sebagai tempat tinggal para santri. Di tempat ini para santri tinggal bersama dan di bawah pengawasan guru pembimbing yang dikenal dengan sebutan “Kyai”. Di pesantren Futuhiyyah kyai tidak bekerja sendiri, pengurus sebagai tangan panjang kyai, mengatur segala keperluan santri. Hal itu merupakan bentuk ta‟dzim santri senior akan kesibukan kyai, maka dibentuknya pengurus pondok khusus menangani kebutuhan personalia santri (Hasil wawancara ustadz Ahmad Farid Eko Wibowo, S.HI, staf pengajar sekaligus pengurus Ponpes Futuhiyyah, tanggal 12 Januari 2010).
91
Asrama untuk para santri tersebut berada dalam satu lingkungan pesantren, di samping menyediakan pondok bagi para santri, juga menyediakan masjid sebagai tempat untuk beribadah, bahkan fasilitas belajar lain seperti ruang belajar, perpustakaan, ruang komputer dan lainlain, yang kesemuanya itu telah disediakan sebagai penunjang belajar bagi santri selama di pondok. (Hasil Wawancara ustadz Ahmad Farid Eko Wibowo, S.HI, staf pengajar sekaligus pengurus Ponpes Futuhiyyah, tanggal 12 Januari 2010) Pada
awal
perkembangan
sebagaimana
sejarah
singkat
berdirinya pesantren Futuhiyyah bukanlah semata-mata dimaksudkan sebagai tempat tinggal atau asrama para santri, untuk mengikuti dengan baik pelajaran yang diberikan kyai, tetapi juga sebagai tempat training dan latihan bagi santri agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat. Para santri di bawah bimbingan kyai bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dalam situasi kekeluargaan dan bergotong royong
sesama
warga
pesantren.
Tetapi
dalam
perkembangan
selanjutnya terutama pada masa sekarang tampaknya lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama dan setiap santri dikenakan semacam uang sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok tersebut yang biasa disebut syahriyyah. Pada dasarnya uang syahriyyah yang diterima dari santri, juga akan kembali untuk kesejahteraan
92
mereka. (Hasil Wawancara Ustadz Ahmad Sahal, staf pengajar sekaligus pengurus Ponpes Futuhiyyah, tanggal 20 Februari 2010). Ada tiga alasan utama pesantren harus menyediakan asrama bagi santrinya sebagaimana penulis menyimpulkan hasil penelitian. Yang pertama, kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam menarik santri-santri untuk datang. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut dibutuhkan waktu yang lebih lama, secara tidak langsung para santri harus meninggalkan kampung halamannya guna tinggal lebih dekat dengan para kyainya. Kedua, hampir semua santri yang belajar di pesantren ini berasal dari luar daerah desa Mranggen, sehingga perlu adanya asrama khusus yang cukup untuk dapat menampung santri untuk tinggal bagi mereka. Ketiga, adanya sikap timbal balik antara kyai dan santri, para santri menganggap seolah–olah para kyai adalah seorang ayah dan para santri adalah anaknya. Sikap ini yang menimbulkan keakraban dan kebutuhan saling berdekatan dan perasaan tanggung jawab, ini terlihat sering dijumpai terutama pada senior yang telah lama belajar di pesantren, maka di pihak kyai untuk dapat menyediakan tempat tinggal bagi para santri. Sebaliknya dari para santri tumbuh perasaan mengabdi kepada kyai, sehingga para kyai memperoleh imbalan dari santri berupa sumber tenaga dan pikiran bagi kepentingan pesantren dan keluarganya. Lebih dekat lagi mengamati kondisi kamar bagi santri dalam pondok sangatlah sederhana, mereka tidur di atas lantai tegel tanpa
93
fasilitas kasur ataupun bantal, namun terkadang beberapa para santri memanfaatkan sesuatu seadanya sebagai alas/ tikar. Keberadaan kamar tidak membedakan status sosial antara satu santri dengan santri yang lainnya, tidak dibedakan antara santri kaya dan yang miskin, antara santri senior dan yang yunior. Semula pondok pesantren Futuhiyyah memang juga pernah menerima santri putri, namun saat ini keseluruhan santri yang nyantri di Futuhiyyah dalem hanya santri putra. Asrama santri putri dipisahkan asrama santri laki-laki, keduanya dipisahkan oleh pemukiman penduduk. Keadaan masing-masing kamar tidak jauh beda antara satu dengan yang lainnya, pada dasarnya keadaan kamar santri bergantung pada kepedulian mereka dalam mengelola ataupun memanajemen kamar yang mereka tempati sendiri. Sistem pondok merupakan elemen penting dari tradisi pesantren, tetapi juga penopang utama bagi pesantren untuk dapat terus berkembang. Eksistensi pondok pesantren juga erat hubungannya dengan kepentingan seorang santri dalam menimba ilmu secara mendalam pada seorang kyai. (Hasil Wawancara ustadz Ahmad Farid Eko Wibowo, S.HI, staf pengajar sekaligus pengurus Ponpes Futuhiyyah, tanggal 12 Januari 2010) b. Masjid Sebagaimana pesantren pada umumnya, paling tidak pondok pesantren Futuhiyyah juga memiliki salah satu elemen pesantren yang tidak kalah penting fungsinya dalam kerangka sebuah pesantren yaitu
94
masjid. Masjid yang dimaksud dalam hal ini diberi nama Masjid An-Nur. Masjid ini berdiri di tengah-tengah lingkungan pesantren Futuhiyyah. Masjid sengaja dibuat satu lingkungan dengan gedung pemondokan santri berpagar dengan hanya terdapat tiga pintu keluar dengan satu utama. Masjid ini diperuntukkan bagi santri, hal itu demikian agar memudahkan pengurus memantau aktifitas santri selama di pesantren, Dahulu masjid bagi lembaga pendidikan sebuah pesantren merupakan bangunan tempat pusat kegiatan. Para kyai sebelum membangun pesantren lebih dulu membangun masjid. Namun pada awal sejarahnya di pesantren Futuhiyyah semula masih mempergunakan musholla sebagai tempat ibadah juga berfungsi sebagai tempat belajar. Musholla adalah sebuah kata tempat (isim makan) bentukan dari kata benda/ masdar "shalat" mempunyai arti sembahyang, do'a dan bacaan shalawat. Sedangkan secara terminologi musholla diartikan sebagai tempat untuk melaksanakan sholat baik shalat sendirian (munfarid), maupun shalat berjama'ah lima waktu (dzuhur, ashar, maghrib, isya' dan shubuh). Masjid dalam pesantren hingga kini digunakan sebagai unsur yang tidak dapat dipisahkan dari pesantren dan dianggap sebagai tempat paling sentral dalam mendidik para santri, terutama untuk mengimplementasikan sembahyang lima waktu, pelatihan khotbah, diskusi keagamaan/ bahsul masail antar pesantren dan sebagai tempat mengajarkan kitab-kitab klasik/ kitab kuning, pengajian thoriqoh dan kegiatan ibadah lainnya. (Hasil
95
Wawancara Ustadz Ahmad Sahal, staf pengajar sekaligus pengurus Ponpes Futuhiyyah, tanggal 20 Februari 2010). Adapun fungsi masjid Futuhiyyah sebagaimana terjadi dahulu hingga sekarang masih sebagai pusat kegiatan pengajian utama yaitu kitab kuning. Namun sekarang ini dengan bertambahnya jumlah kuantitas santri, maka diperlukan pengelolaan lebih efisien yaitu dengan dibuatnya gedung sebagai madrasah yang dibuat khusus untuk tempat belajar sesuai dengan kebutuhan belajar. Meskipun begitu masjid juga masih digunakan sebagai pusat kegiatan bagi santri mukim yang belajar di pesantren. Meskipun begitu masyarakat sekitar maupun pengunjung yang ingin beribadah pun juga tidak dilarang untuk melaksanakan ibadah di masjid ini. Sebagaimana fungsi dari masjid pada umumnya di pesantren menggunakan masjid sebagai pusat dari kegiatan para santri. Begitu juga dengan pondok Pesantren Futuhiyyah yang menggunakan masjid sebagai tempat pusat dari kegiatan santri. Adapun fungsi dari masjid tersebut di samping sebagai tempat praktek Ubudiyyah yang telah dipraktekkan sejak kepemimpinan Kyai Abdurrohman, kegiatan ini termasuk sholat fardhu lima waktu secara berjamaah dan diteruskan dengan mengamalkan wiridan, serta dzikir thoriqoh yang diantaranya melakukan mujahadah, riyadhoh, shalat-shalat sunnah, tadarus Al-Qur‟an dan termasuk di dalamnya membaca kisah maulid Nabi SAW, juga sebagai tempat untuk mengajar berbagai ilmu agama Islam dari para kyai bagi para santrinya.
96
Selain
itu
masjid
juga digunakan sebagai
tempat
untuk
bermusyawarah dengan masyarakat atau para santri. (Hasil Wawancara ustadz Ahmad Farid Eko Wibowo, S.HI, staf pengajar sekaligus pengurus Ponpes Futuhiyyah, tanggal 12 Januari 2010). Hal itu terlihat dari kegiatan mereka antara lain bahsul masail (merupakan suatu forum kegitan musyawarah yang diikuti beberapa pesantren yang berada di kabupaten Demak. Mereka berkumpul membahas dengan mengangkat salah satu tema permasalahan syar‟i (kontemporer) yang sering terjadi di masyarakat sesuai pengamatan para santri tersebut. Kemudian mereka menyepakati untuk dibahas, dengan mendatangkan nara sumber yang juga diantara para pengasuh pesantren yang mengikuti kegiatan ini. Kegiatan ini dilaksanakan secara bergantian antara satu pesantren ke pesantren yang lain dengan perputaran satu bulan sekali.) yang dilaksanakan di masjid pula. Itu pula yang menunjukkan bahwa pesantren mempunyai keterkaitan antara satu pesantren dengan pesantren yang lain. Di masjid ini pula masih dilaksanakan kegiatan pengajian thoriqoh yang diikuti para warga yang tinggal di sekitar desa Mranggen. Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap tempat paling tepat untuk mendidik para santri, memberi wejangan dan anjuran kepada para santri. Di dalam masjid ini para santri dibina mentalnya dan dipersiapkan agar manpu mandiri di bidang ilmu keagamaan. Hal itu telah berjalan sejak awal mula berdirinya
97
pesantren ini, sekitar abad ke-19 Kyai Abduroohman dengan sengaja telah mendirikan langgar untuk kegiatan pengajian. Dengan begitu jelaslah bahwa elemen pesantren satu ini juga masih eksis hingga sekarang, meskipun juga telah berkembang fungsi namun tidak jauh berbeda karakteristiknya dengan yang telah berjalan dulunya. c. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik Unsur pokok lain yang cukup membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan modern sekarang ini adalah bahwa pada pesantren mengajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang para ulama terdahulu, mengenai berbagai ilmu pengertahuan agama Islam dengan berbahasa Arab. Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yaang sederhana kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Dan tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan. (Hasbullah, 1996: 142-144) Pesantren Futuhiyyah baik sudah memasukkan kurikulum modern modern sekalipun, tidak pernah meninggalkan pengajaran-pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Kitab-kitab Islam klasik merupakan literatur yang sangat penting dalam pesantren, yang lebih luas lagi sebenarnya ada banyak literatur (Pesantren merupakan salah lembaga yang mengajarkan dasar Islam. Diantara literatur Kitab kuning juga merupakan berisi tentang hadist, ilmu fiqh, dan masih banyak lagi ilmu yang lain. Yang selanjutnya isi dari literatur kitab tersebut dijadikan landasan keislaman. Sebagaimana keterangan sebelumnya
juga
menyinggung
98
Bahsul masa‟il,
juga
membahas masalah-masalah tersebut juga berdasarkan hadis maupn kaidah yang diambilkan dari kitab kuning pula) yang juga dipelajari dan telah dijadikan andalan bagi setiap pesantren. Tujuan utama dari pengajaran tersebut adalah untuk mencetak atau untuk mendidik caloncalon ulama. Para santri yang tinggal di pondok pesantren Futuhiyyah dalam waktu yang pendek tidak hanya bercita-cita menjadi ulama, tetapi mempunyai tujuan untuk mencari pengalaman yang lebih mendalam. Demikian halnya yang dilakukan
pengasuh atau pimpinan
pondok pesantren Futuhiyyah Mranggen dalam menyelenggarakan pendidikan di pondok ini dan uraian tentang profil pondok ini dengan sistem pendidikan yang ada, sebagaimana dijelaskan dengan rinci dalam bab sebelum ini, maka dapat dimengerti bahwa pesantren Futuhiyyah tidak hanya memberikan pengajaran (ta'lim) saja, tetapi juga mengarah
pada
pendidikan
(tarbiyah),
dengan
berusaha
mengembangkan seluruh potensi santri secara bertahap menuju kesempurnaan. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pendidikan pesantren yaitu mendidik caloncalon ulama yang setia kepada faham Islam. Keseluruhan kitab klasik yang diajarkan pesantren Futuhiyyah paling tidak dapat digolongkan dalam delapan kelompok, yaitu ilmu Nahwu dan Sharof, ilmu Fiqh, ilmu Akhlak, Hadist, Tafsir, Tauhid, Tasawuf dan masih banyak lagi cabangcabang ilmu lain.
99
Kitab-kitab klasik yang juga biasanya dikenal dengan istilah kitab kuning, di mana kitab-kitab tersebut ditulis oleh para ulama zaman dulu (abad 16-18 M). Kitab-kitab ini rata-rata menggunakan bahasa Arab. Maka para santri tersebut untuk mendalami isi kitab dan juga mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa kitab tersebut. Seorang santri yang telah tamat belajar dari pesantren cenderung memiliki pengetahuan bahasa Arab, mampu memahami isi kitab dan mampu menerapkan bahasa dalam kitab menjadi bahasanya. Di pesantren waktu pengajaran kitab kuning diberikan pada pagi hari atau sore hari sehabis semua santri pulang dari sekolah formal. Sistem yang digunakan adalah wetonan, Sorogan dan Bandongan sebagaimana Dhofier pernah mengungkap (1984:50). Metode itu tersebut masih tergantung pada jenjang kemampuan masing-masing santri. Kitab yang diajarkan maupun sistem pengajaranya di seluruh pesantren Jawa dan Madura adalah sama. Pada dasarnya dari dulu kitab kuning adalah kitab yang berbahasa arab, penyusun kertasnya juga berwarna kuning dan masih belum mempunyai makna (baca: Maknani), sedangkan menurut beliau yang apabila sekarang ada kitab kuning yang telah mempnyai makna ataupun (tejemahan) sekalipun oleh beliau tidak bisa disebut kitab lagi, karena pada dasarnya tujuan kitab kuning dibuat tanpa makna, adalah supaya ada usaha sadar dari santri untuk mempelajari kitab kuning dengan memberi maknani (Tidak ada aturan bagaimana cara me-maknani sebuah kitab. Hal itu sesuai dengan apa yang difahami santri dalam menerima materi kajian dari ustadz ataupun kyai. Namun biasanya
100
mereka memaknai dengan tulisan arab dengan bahasa Jawa, atau disebut dengan Makna Pegon, namun begitu juga adapula yang biasanya masih pemula memaknai kitab kuning tersebut dengan tulisan latin dan berbahasa Indonsia) melalui pengajian yang diadakan langsung dengan kyai/ ustadz, dengan begitu santri bisa memahami sekaligus juga dapat menyesuaikan dengan kalimat yang dimaksud dalam kitab kuning tersebut. (Hasil Wawancara KH. Muhammad Hanif Muslih, Lc, pengasuh Ponpes Futuhiyyah, tanggal 12 Januari 2010) Meskipun seolah-olah pengajaran ini diangap statis, namun dalam kenyataanya pengajaran kitab-kitab tersebut tidak hanya sekedar membicarakan bentuk saja tetapi juga isi ajaran yang telah diberikan oleh Nabi pada zaman dahulu, namun isi ajaran dalam kitab-kitab tersebut sebenarnya juga masih kontekstual dengan kondisi zaman saat ini, karena pada dasarnya pengembangan pembelajaran kitab ini pun berdasarkan kaidah perubahan. Kemudian kyai ataupun ustadz yang merupakan pembaca dan penerjemah kitab tersebut banyak juga memberikan pandangan secara pribadi mengenai isi maupun bahasa dari teks tersebut. Dengan demikian kyai di lingkungan Futuhiyyah telah menguasai bahasa Arab, literatur dan cabang-cabang pengetahuan agama Islam lainnya, agar pendalaman kitab tersebut tepat dan mendalam, dan kontekstual dengan kondisi zaman. d. Santri.
101
Santri merupakan elemen penting dalam pesantren. Menurut tradisi pesantren, santri dapat digolongkan menjadi 2 (dua) jenis yaitu;
1) Santri Mukim Santri mukim merupakan murid yang berasal luar daerah yang sengaja menetap di pesantren. Santri mukim yang telah lama tinggal di pesantren, biasanya diberi tugas untuk mengurusi kepentingan pesantren sehari-sehari. Disamping itu juga ditugasi untuk mengajar para
santri
muda
tentang
kitab-kitab
dasar
dan
menengah.
(Dhofier,1984:51) Para santri yang menetap dalam suatu pesantren memiliki beberapa alasan antara lain: (1). Mereka ingin mempelajari kitab-kitab yang membahas Islam secara mendalam di bawah bimbingan kyai. (2) Mereka ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren baik dalam
pengajaran
maupun
dalam
berorganisasi.
(3)
Mereka
memusatkan studinya di pesantren, tanpa disibukkan oleh kewajibankewajiban sehari-hari di rumah tangganya. Di samping itu dengan tinggal di pesantren yang letaknya jauh dari kampung halaman tak membuat mereka mudah untuk pulang bolak-balik, meskipun sebenarnya mereka menginginkannya dan memungkinkan untuk melakukan hal itu. (Dhofier, 1984: 52) Begitupula santri kalong, mereka pergi ke pondok pesantren dan pulang ke rumah dalam sehari. Santri kalong tidak dikenakan
102
biaya mengaji seperti santri mukim yang diwajibkan membayar uang syahriyah kepada pondok pesantren, karena pada dasarnya uang syahriyah akan kembali untuk kesejahteraan santri sendiri di pesantren. (Hasil Wawancara ustadz Ahmad Farid Eko Wibowo, S.HI, staf pengajar sekaligus pengurus Ponpes Futuhiyyah, 12 Januari 2010) 2) Santri kalong Santri kalong merupakan santri yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap di pesantren untuk mengikuti pelajaran di pesantren, mereka cukup bolak-balik dari rumahnya sendiri. Dengan demikian santri kalong dapat dikatakan sebagai murid pesantren yang keberadaanya masih dalam lingkungan pesantren (Dhofier,1984: 52). Namun dewasa ini seiring dengan perkembangan pendidikan yang tidak biasa kita nafikan dengan pantauan perkemabangannya, mulai timbul kecenderungan pergeseran tradisi keislaman, tugas santri yang dahulu identiknya hanya mengaji dan mengaji ilmu agama saja. Namun saat ini santri di ponpes sudah banyak yang mempunyai aktifitas (nyambi) belajar yang biasanya dikerjakan di sekolah lembaga formal lain. Bahkan yang hanya sekolah saja. Meskipun tujuan mereka juga tholabul ilmi di lingkungan pesantren. Maka kita akan lebih sulit mengklarifikasikannya dalam jenis santri yang dimaksud. Maka paling tidak Futuhiyyah sebagai pondok pesantren yang menerapkan sistem pesantren dan sistem persekolahan formal dalam
103
proses belajar-mengajar, maka keberadaan peserta didik di pesantren Futuhiyyah dapat diklasifikasi dalam tiga bagian. Pertama, siswa yang belajar di pesantren (santri); kedua, siswa yang belajar di pesantren dan sekolah formal (murid/ santri); dan ketiga, siswa yang belajar di madrasah dan sekolah formal saja dan tidak menetap di pesantren. Meskipun mengalami pelebaran makna karakteristik dari sosok seorang santri namun sebenarnya mereka mempunyai persamaan yaitu sama-sama mempunyai niat tholabul ilmi di pesantren. Adapun santri yang belajar di komplek pondok pesantren Futuhiyyah yang semula ada santri putrinya, namun kini hanya santri putra saja yang berjumlah kurang lebih 300 orang. Namun pada awal berdirinya pondok pesantren jumlah santrinya hanya beberapa orang saja, mereka bermukim pada bangunan pada pondok yang sangat sederhana (Hasil Wawancara Ustadz Abdus Shomad, staf pengajar sekaligus pengurus sebagai sekretaris Ponpes Futuhiyyah, tanggal 12 Januari 2010) Ditinjau dari jumlah santri di atas terlihat bahwa pondok pesantren Futuhiyyah mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangan ini disebabkan oleh keberanian, kegigihan dan kharisma generasi KH Hanif Muslih sebagai pengasuh, dan dalam mengadakan peningkatan sehingga pondok pesantren Futuhiyyah menjadi terkenal baik di wilayah Demak maupun luar kabupaten Demak. Sedangkan ditinjau dari usia sebenarnya para santri ponpes Futuhiyyah mempunyai usia yang rata-rata relatif muda, yaitu usia antara
104
6 - 25 tahun dari semua usia. Hal itu pun masih relevan dengan kriteria yang tercantum dalam UU SISDIKNAS RI no. 20 tahun 2003. Karena sebenarnya usia muda adalah produktif seorang anak yang sedang mengalami transmisi menuju masa dewasa. e. Kyai Pondok Pesantren Futuhiyyah telah berumur lebih dari seabad. Tentunya kepemimpinan pesantren ini tidak dimotori oleh seorang kyai saja, namun secara turun temurun telah silih berganti kepemimpinan. Dalam sejarahnya lima dekade kepemimpinan pesantren dilaluinya. Kyai dinilai berhasil dalam regenerasi kepemimpinan/ menyiapkan generasi pengganti kepemimpinan sejak permulaan memimpin yaitu KH. Muslih Abdurrohman hingga kyai Hakim Muslih. Bahkan tidak hanya menyiapakan figur pengganti untuk pesantren Futuhiyyah saja, lebih dari itu pesantren ini juga telah mengangkat banyak ulama‟ menjadi kholifah. Mereka dulunya juga santri pondok pesantren Futuhiyyah yang patuh dan serius mengembangkan ajaran Islam. Lantas kemudian yang diangkat menjadi ulama‟ tersebut kini telah mendirikan pesantren sendiri di daerah asalnya di seluruh pelosok tanah air dengan spesifikasi yang berbeda-beda. Perjalanan pondok pesantren Futuhiyyah, dari generasi ke generasi senantiasa melibatkan berbagai elemen penting baik dengan masyarakat maupun pemerintah. Sebagai seorang pemimpin, pengaruh KH. Hanif Muslih, terhadap pengelolaan lembaga pondok pesantren dapat dilihat dari dua dimensi yang saling berpautan. Dimensi pertama, kepribadian yang
105
dimiliki KH. Hanif Muslih, perannya sebagai pemimpin, pengasuh, dan pengajar. Pengajian kitab-kitab kuning yang diberikannya kepada santri yang diberikan setiap hari, maupun masyarakat desa dalam pengajian Thoriqoh tiap pekan, merupakan contoh kongkrit ketinggian ilmu yang senantiasa dipraktekkan dalam setiap aktivitasnya. Kyai Hanif sering membangkitkan semangat hidup beragama melalui contoh-contoh dan tindakan yang diajarkan dalam kehidupan sehari-sehari. Selain itu, KH. Hanif Muslih memberikan pelajaran yang berkaitan dengan hidup bermasyarakat, cara bergaul dengan sesama muslim, hidup bernegara, tata cara menghadap seorang guru atau ulama dan bagaimana tahapan-tahapan untuk mencapai derajat yang tinggi, baik di dunia maupun akhirat. Sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki karakteristik sosial keagamaan yang berbeda dengan kebanyakan lembaga-lembaga pendidikan lain. Seperti halnya perilaku tawadlu santri kepada kyai, cara berpakaian yang dikenakan sehari-hari oleh santri dan sebagainya. Hal ini bukan hanya berperan menyebarkan nilai-nilai keagamaan melainkan juga tata cara yang dijadikan sarana untuk menyebarkan dan mewujudkan ajaran-ajaran Islam itu berbeda dengan lembaga lain. Dimensi kedua, adalah pandangan para bawahan terhadap sifat kharisma yang dimiliki KH. Hanif Muslih. Bisa dikatakan bahwa munculnya kharisma terletak di mata orang yang memandangnya. Kharisma bukan merupakan sikap yang benar ada pada diri seorang
106
pemimpin, melainkan lebih merupakan sifat yang menurut para pengikutnya pada pemimpin mereka. Hal itu senada dengan yang dilontarkan Weber (2006: 62), sebab mereka sama-sama menunjukkan fakta, bahwa orang-orang mematuhi mereka, karena keyakinan pada kualitas personal mereka yang luar biasa. Karena pada dasarnya menurut Mark, kharisma yang bermakna harfiah “karunia
istimewa”,
Weber
sering
mengggunakannya
untuk
mengkarakterisasi pemimpin yang mengangkat diri sendiri dan diikuti oleh mereka yang dirundung kesulitan berat dan butuh mengikuti pemimpin, karena mereka memercayainya punya keutamaan luar biasa. Pola hubungan antara pengikut dengan pemimpin menandakan suatu keyakinan tentang adanya sifat karismatik yang dimilikinya. Pembawaan seorang karismatik yang penuh daya magnetis dapat menjinakkan segala yang dimiliki pengikutnya, karena sesuatu yang diungkapkan kyai dan simbol-simbol yang diisyaratkan selalu diyakini membawa sesuatu harapan dan perolehan kebahagiaan di kemudian hari. Ungkapan-ungkapan yang dikemukakan banyak didengarkan oleh para pengikutnya, baik santri maupun masyarakat desa sekitar, yang membawa unsur kesamaan dengan kecenderungan hatinya di dalam memperoleh sesuatu yang dicita-citakan. Pengharapan berkah dari kyai dalam hal ini pengasuh, sering dilakukan para santri dengan cara melazimkan bacaan surat Al Fatikhah, pujian do‟a dan wirid-wirid setelah jama‟ah sholat lima waktu maupun di luar itu. Kyai Hanif sendiri memberikan praktek seperti
107
itu, supaya ada kesinambungan sirri antara hati guru dan hati murid, sampai akhir nanti, walau sudah tidak lagi belajar di lembaganya. Kepemimpinan kharismatik kyai mewarnai kepemimpinan pondok pesantren Futuhiyyah, walau pada periode perkembangannya, ditemukan jenis pendidikan sekolah formal di pondok pesantren Futuhiyyah, tapi fungsi kelembagaan, dalam hal ini masing-masing unsur, tetap berperan sesuai dengan bidangnya dan secara keseluruhan bekerja mendukung keutuhan lembaga. Getaran emosional yang bersumber dari kharisma itulah yang bisa mendorong bawahan atau kerabatnya untuk rela berkorban dan ikhlas ikut berjuang dalam mengembangkan dan mengelola lembaga pendidikan pondok pesantren. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya, bahwa jenis kepemimpinan kharismatik dari seseorang atau kelompok kyai itu merupakan karakteristik sosial budaya keagamaan lembaga pondok pesantren. Kepemimpinan kyai dalam mengelola lembaga pendidikan lebih menekankan kepada prinsip pendelegasian dan pembagian wewenang. Hal ini dikarenakan kyai tidak hanya mengurusi masalah pendidikan dan pondok pesantren semata, tetapi lebih dari itu kyai memegang policy umum kebijakan dengan rambu-rambu yang ditentukan untuk selanjutnya sebagai pelaksana dan penjabaran tugas diserahkan sepenuhnya kepada bawahannya dalam hal ini adalah pengurus, kepala sekolah dan kepala tata usaha. Dengan demikian, tugas pokok kyai sebagai pemimpin lembaga memberikan kebijakan umum dan selanjutnya mengontrolnya. Tradisi
108
semacam ini berlaku baik dalam rekrutmen guru/ ustadz, pembuatan jadwal pelajaran sampai kepada masalah yang menyangkut administrasi personalia secara umum. Selain itu, dalam struktur organisasi, kedudukan kyai/ pengasuh pondok pesantren bersifat sebagai manajer dari pada sebagai seorang ahli ilmu agama yang mengajarkan ilmunya. Kyai dalam mengolah pondok pesantren berdasarkan atas kesepakatan bersama anggota yang terdaftar atau tidak dalam struktur kepemimpinan. Tetapi kyai masih sebagai figur atau simbol keagamaan, meski tidak selalu diartikan sebagai ahli agama. Dari
uraian-uraian
yang
sudah
dikemukakan
maka
pola
kepemimpinan pondok pesantren Futuhiyyah bersifat demokratis yang berakar pada kharismatik, dalam hal ini karena kecenderungannya dalam membagi kekuasaan merata kepada seluruh staf pondok pesantren, pengambilan keputusan dengan cara musyawarah, sistem organisasi bersifat desentralistik, aturan organisasi bersifat dinamis dan terbuka serta menuntut kesadaran anggota untuk berpartisipasi secara aktif dalam mengembangkan organisasi. Wujut nyata perkembangan itu terlihat jelas sekali dari perkembangan dalam hal kuantitas, yaitu dengan bertambahnya lembaga-lembaga pendidikan yang bernaung dalam yayasan ini. Pesantren yang semula hanya kecil, kini dapat kita lihat kebesaran kuantitas dan kualitas pesantren ini secara komprehen. D. Analisis Dinamika Pengembangan Pendidikan Pesantren Futuhiyyah Futuhiyyah Menjadi pondok pesantren dengan tipologi kombinasi atau
109
campuran antara salafiyah dan kholafiyah pada waktu 1960-an adalah sebuah ikhtiar yang luar biasa dan memerlukan sistem kepemimpinan yang mumpuni. Masuknya modernisasi sistem pendidikan sudah tentu akan menimbulkan konsekuensi perubahan di seluruh bidang, baik kepemimpinan, struktur organisasi, manajerial, kurikulum, dan pengembangan-pengembangan lainnya, termasuk diperlukannaya sarana dan prasarana pendidikan, sumber daya yang memadai dan para intelektual agar dapat meningkatkan kualitas mutu dan kualitas pesantren. Dengan berbekal kaidah perubahan, “melestarikan nilainilai lama yang baik, dan mengambil nilai baru yang lebih baik lagi”:
Dinamika kehidupan pesantren Futuhiyyah secara keseluruhan terlihat dengan fenomena bergesernya beberapa unsur pesantren mengalami transformasi, perubahan dan pengembangan secara bertahap, yang setiap periodik memperlihatkan kemajuan, antara lain : 1. Transformasi kepemimpinan (pola manajerial) Profil kepemimpinan kyai di pesantren bagaimanapun sangat mempengaruhi pola sistem pendidikan di bawahnya. Sehingga maju dan berkembangnya sebuah pesantren, hidup dan matinya pesantren akan sangat dipengaruhi dari figur seorang kyai. Begitupun di pondok pesantran Futuhiyyah,
walaupun
tidak
meninggalkan
pola
kharismatik
kepemimpinan, tatapi kyai pengasuh pondok pesantren tidak terjerambab dalam sikap otoriter (berkuasa mutlak) atas segala kebijakan baik kepada manajemen pesantren (intern) maupun kepada kebijakan luas (ekstern)
110
pesantren, termasuk terhadap kebijakan pemerintah, penerimaan pendapat masyarakat sekitar maupun informasi penting lainnya. Dengan pola yang elastis (luwes) itulah maka pondok pesantren Futuhiyyah memperlihatkan kedewasaanya. Dengan pola tersebut maka transformasi sosial-budaya akan mudah terjadi. Pola kepemimpinan yang merupakan faktor fundamental dalam pesantren inilah sebenarnya yang dibutuhkan terbuka dan transparan, agar tidak menimbulkan image, bahwa pondok pesantren memandang arti kamajuan, tidak jumud dan ekslusif. Bahkan yang menggembirakan pada dekade terakhir ini diketahui bahwa sistem kepemimpinan pondok pesantren Futuhiyyah bersifat multileader, sebagaimana dua kepemimpinan yang bertugas ke dalam pesantren dan bertugas urusan luar pesantren, sehingga terdapat pemimpin harian yang mengurusi urusan keseharian manajemen pesantren. Hal itu lebih menjamin kelangsungan hidup pesantren dengan keterlibatannya berkiprah di lingkungan sosial-politik. Namun begitu kyai tetap menempati pada posisi sentral di pesantren ini. Dalam pola kepemimpinan tersebut, keterlibatan barbagai kalangan (ahli) dengan berlatarbelakang pengalaman dapat menimbulkan suatu interaksi positif konstruktif apabila diarahkan oleh suatu orientasi yakni orientasi pengembangan dengan misi memberikan pemecahan-pemecahan problem pondok pesantren yang dihadapi. Dalam interaksi tersebut akan terjadi suasana saling menerima dan memberi (take and give), walaupun saling memberikan persepsi, sehingga wajah pesantren di masa depan akan
111
dibentuk dari multi perspektif. Implikasinya lulusan yang dihasilkan dirancang memiliki multi potensi. Segala bentuk kebijakan pendidikan dan pengajaran, baik menyangkut format kelembagaan berikut penjenjangannya, kurikulum yang dijadikan acuan, metode pembelajaran yang diterapkan, penerimaan santri baru dan global sistem pendidikannya semua bergantung pada wewenang kyai. Hal ini juga dapat dipahami dengan yang terjadi di ponpes Futuhiyyah
Mranggen.
Kharisma
seorang
kyai
pengasuh
masih
berpengaruh sangat besar terhadap pengembangan pesantren Futuhiyyah. Bahkan menurut Dhofir (1984: 56), hal itu merupakan harapan santri agar Kyai yang dianutnya merupakan orang yang percaya penuh kepada dirinya sendiri (self-confident), baik dalam hal pengetahuan Islam, maupun dalam bidang kekuasaan dan manajemen pesantren. Apalagi kepemimpinannya yang sekaligus menjadi panutan masyarakat, memungkinkan akan mendatangkan santri sangat banyak silih berganti dan semakin besarnya lembaga ini. Hal ini demikian karena membawa kekuatan bargaining pesantren dengan kondisi struktural masyarakat sekitar. Sebagaimana Dhofier (1986: 56) menyatakan bahwa, profil mereka sebagai pengajar dan penganjur Islam membuahkan pengaruh yang melampaui batas-batas dosa di mana pesantren mereka berada. Mengingat figur kyai sangat menentukan transformasi pendidikan di pesantren, maka inovasi kelembagaan akan diakui efektivitas dan
112
efisiensi hanya akan berjalan juga sangat bergantung pada sponsor dan semangat kepemimpinan kyai. Apabila seorang kyai melarang terjadinya proses transformasi, maka sudah tentu pondok pesantren akan sangat ekslusif dan jauh dari inovasi pendidikan. 2. Transformasi sistem pembelajaran institusi Sebagai pondok pesantren yang berkarakter terbuka, pondok pesantren
Futuhiyyah
Mranggen
Demak
yang
didukung
pola
kepemimpinan yang luwes, terbuka, dan tanggap terhadap kebutuhan zaman. Hal itu terlihat jelas dari sikap terbukanya kyai pengasuh terhadap kebijakan dari luar, termasuk dari sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia, sejak zaman Belanda (1927). Kemudian dengan diketahui tentang
sikap
terbukanya
KH.
Ustman
Abdurrohman
dengan
mengembangkan pesantren Futuhiyyah dari sistem pengajian langgar, menjadi sistem madrasah formal yaitu, Madrasah Diniyyah Awaliyyah (1927 M). Dilanjutkan
kepemimpinan
dipegang
oleh
KH.
Muslih
Abdurrohman (1936-1981) sejak dini juga telah memberikan respons positif dengan mendirikan beberapa lembaga pendidikan formal, antara lain: Madarasah Tsanawiyyah (1936), Madrasah Aliyyah (1962), Madrasah Ibtidaiyyah (1963), Taman Kanak-Kanak (1967), dan sekolah menengah pertama (1972), yang sekaligus menerima kurikulum negara (Depag maupun kurikulum nasional). Lebih-lebih lagi pada masa 90-an, pondok pesantren telah
113
memperlihatkan
kedewasaannya
dengan
meneruskan
dan
mengembangkannya. Di bawah pengasuh KH. Lutfi Hakim dan KH. Hanif Muslih (1982-sekarang) telah memperlihatkan kemajuan yang berarti. Beberapa lembaga pendidikan formal pun didirikan, antara lain: Madarasah Tsanawiyyah (1983), Madrasah Aliyyah (1983), Sekolah Menengah Atas (1983), Madrasah Tsanawiyyah (1996), Fakultas Syari‟ah IIWS (1984), dan yang terakhir berdirinya Sekolah Menengah Kejuruan (1998) pada masa kepemimpinan KH. Lutfi Hakim Muslih dan KH. Hanif Muslih, Lc (1928 - sekarang) merupakan bentuk nyata responsi pesantren terhadap kebutuhan riil masyarakat. Dengan masuknya lembaga pendidikan formal ke sistem pesantren Futuhiyyah dari sejak berdirinya hingga saat ini maka transformasi proses pendidikan telah terjadi. Namun demikian proses transformasi tersebut tanpa sikap keterbukaan kyai pengasuh di ponpes Futuhiyyah tidak akan terjadi. Restu kyai, dalam hal ini untuk melaksanakan formalisasi sangat urgen dan menentukan, di samping juga upaya-upaya pengenalan program pendidikan luas lainnya, tanpa resetu seorang kyai pengasuh maka akan sulit menembus pesantren. Saat ini lembaga tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis antara lain: c. Pendidikan non-formal Sebagai pondok pesantren yang berciri salaf dan kholaf, Futuhiyyah tetap mempertahankan ciri khas pendidikan pesantren salaf. Ciri khas itu antara lain, pengajian kitab–kitab kuning dengan
114
metode pengajaran sorogan,
bandongan dan wetonan,
Cuma
keikutsertaan para santri dalam pendidikan tersebut bersifat sukarela. d. Pendidikan formal Pendidikan formal disini adalah pendidikan yang menginduk dari sistem yang ditawarkan Depag dan Dinas pendiidkan. Dalam hal ini berarti jenjang pendidikan di kompleks Futuhiyyah adalah mulai dari TK, MI, MTs, MA, SMA dan SMK seperti yang telah disebut di depan. Pada jenjang pendidikan ini digunakan sistem pembelajaran klasikal dengan memasukkan berbagai metode pembelajaran modern yang telah ditemukan, di samping juga tetap mempertahankan sistem sorogan dan bandongan. Model pembelajaran santri yang juga menempuh pembelajaran formal, menyebabkan timbulnya kesan image mondok hanya sebagai tambahan saja. Meskipun secara keseluruhan prosentase belajar dalam seharianya di pondok dan di sekolah formal lebih banyak di pondok pesantren. 3. Transformasi kurikulum. Pondok Pesantren Futuhiyyah tanpa harus meninggalkan tradisi pesantren yang memiliki ciri antara lain: kyai pengasuh sebagai figur sentral pesantren, belajar dalam waktu 24 jam, pembelajaran kitab klasik (Kuning) sebagai kajiannya, dan ciri-ciri melekat lainnya. Pondok pesantren Futuhiyyah telah melakukan transformasi dengan sistem pendidikan luar (yang berlaku di Indonesia), baik dari Departemen Agama
115
maupun dari Departemen Pendidikan Nasional. Transformasi itu secara keseluruhan dapat dilihat dari kepemimpinan, institusi dan kurikulum di pesantren Futuhiyyah. Berlatarbelakang
kepemimpinan
tersebut,
maka
orientasi
pengembangan pesantren diutamakan, maka tidak heran jika transformasi kurikulum di sana sini telah terjadi di pondok pesantren Futuhiyyah. Kurikulum pesantren (sebagai peninggalan/tradisi) dengan sistem klasikal. Kurikulum Depag (sejak berdirinya madrasah) dan kurikulum pendidikan nasional (sejak lahirnya sekolah umum). Dalam kurun 40-50 tahun, pelesetaian dan pengembangan kurikulum yang diberlakukan masih mengalami perkembangannya (tambal sulam) di sana sini. Dengan memahami karakter dan tipologi pondok pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak, maka secara umum dapat diberikan analisis, bahwa pondok pesantren ini bersikap terbuka terhadap perkembangan sistem pendidikan, bahkan sejak zaman Belanda, karena sejak tahun 1927 pondok pesantren ini telah memiliki lembaga formal dan kurikulum yang variatif, sehingga dapat diterima oleh generasi-generasi berikutnya. Hingga saat ini dapat menerima perkembangan kurikulum, dari kurikulum 1984, 1994 yang telah disempurnakan, kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran). Namun demikian kurikulum yang dipakai bersifat selektif sesuai dengan karakter pesantren, yang mengedepankan aspek-aspek religius dan
116
menggabungkannya dengan ilmu-ilmu umum agar mencetak santri-santri yang berkemampuan dan kompetensi multidimensional. Selektivitas kurikulum ini agar santri tidak begitu bebas dengan modernisasi (sekularisasi), di sisi lain menyelematkan tradisi keilmuan pesantren agar menguasai
ilmu-ilmu
keagamanan,
pengembangannya,
dan
pengaktualisasiannya dalam kehidupan sehari-hari dengan penguasaan kitab-kitab tafsir, hadist, fiqh, dan kitab-kitab lainnya. Proses transformasi kurikulum berjalan dengan perlahan seiring kebutuhan pesantren, kolaborasi sistem pendidikan pesantren salafiyyah dan khalafiyyah menjadikan pemberlakuan kurikulum bersifat variatif, sesuai
dengan
kebutuhan
konsentrasi
sistem
pendidikannya.
Pengembangan pembelajaran bahasa Arab dan kitab klasik dengan metode sorogan dan bandongan tetap bercirikan salafiyyah, sedang pengalaman keilmuan keagamaan (tauhid, fiqh, nafsu, hadist, tasawuf (akhlak), mengikuti pola kurikulum Departemen Agama sementara pengembangan ilmu-ilmu umum mengikuti kurikulum pendidikan nasional, yang secara prinsip terbagi dalam tiga lembaga pesantren, madrasah dan sekolah. Pendirian lembaga-lembaga formal termasuk sekolah menengah kejuruan (SMK) dalam kasus pondok pesantren Futuhiyyah sebenarnya juga pengembangan pesantren akan kebutuhan masyarakat agar alumni pesantren
dapat
memiliki
kompetensi
yang
jelas,
sebagaimana
pengembangan kurikulum yang mengembangkan psikomotorik dan skill santri Futuhiyyah setelah lulus.
117
Pengembangan kurikulum di sana-sini berdampak pada pengadaan sumber daya yang kompetensinya siap atau layak dipersiapkan oleh pesantren Futuhiyyah, maka rekrutmen guru, ustadz-ustadzah mewarnai setiap pendirian lembaga formal yang didirikan, sekaligus kaderisasi pesantren dan pemberdayaan alumni pesantren di masa yang akan datang. Seiring dengan kebutuhan tenaga kerja dan skill,
maka
transformasi kurikulum pesantren bukan lagi hanya pada konsentrasi mata pelajaran dan kajian kitab kuning, kegiatan penunjang ekstra kurikuler juga diselenggarakan di ponpes Futuhiyyah, antara lain: menjahit, mengelas,
peternakan,
koperasi,
kepemimpinan
(keorganisasian),
jurnalistik dan komputer. Semua itu bertujuan agar para santri Futuhiyyah memiliki ketrampilan dengan memilih sendiri bakat dan minat santri. Diterimanya kurikulum umum (Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama) di Pondok pesantren Futuhiyyah tidak lain sebagai upaya bahwa pesantren ini mempunyai prinsip-prinsip bijaksana, yang berupaya membantu santri dalam menggapai cita-citanya, tanpa harus memaksa jalur pendidikannya, maka santri diharapkan memilih lewat madrasah atau sekolah. Prinsip lainnya adalah mengutamakan kompetensi santri, agar setelah lulus dari pondok pesantren Futuhiyyah dapat meneruskan cita-citanya atau memilih menjadi praktisi di masyarakat, sesuai dengan ketrampilan yang didapatnya. Prinsip lainnya adalah tetap memegang teguh pada tafaqquh fil din, yaitu tetap
118
mempertahankan fungsi utama pesantren sebagai basic ilmu keagamaan, mencetak kyai, ulama‟, dan mubaligh. Dengan prinsip tersebut, maka akan tercipta figur-figur alumni pesantren yang tanggap akan kemajuan dan kebutuhan masyarakat, bertanggung jawab untuk mengatur kehidupannya sendiri, mengatur keahlian (bidang) nya yang dipelajari dan mampu mengaktualisasikan ilmu-ilmu yang didapatnya, sebagai bekal untuk menghadapi berbagai permasalahan hidupnya. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa pesantren Futuhiyyah memang berada pada posisi yang sulit, di satu sisi, ia dihadapkan pada kemajuan iptek yang semakin tidak terkendali, sementara di sisi lain, ia dituntut untuk menyelesaikan problem internal yang tak kunjung terpecahkan seperti problem demokratisasi (pendidikan) pesantren, problem sumber daya manusia (human resources) dan lain sebagainya. Problem-problem
tersebut
mengindikasikan
bahwa
pesantren
Futuhiyyah harus terbuka dalam arti tidak menutup diri dari arus gelombang transformasi baik yang datang dari luar (eksternal) maupun yang datang dari dalam diri pesantren sendiri (internal). Dengan demikian, pesantren Futuhiyyah dihadapkan pada posisi tengah yang terjadi tarik menarik antara sesuatu yang absolut, statis dan kolot (konservatif) dengan sesuatu yang selalu mengalami perubahan (transformatif) dan dinamis, antara dinul Islam yang bersumber dari Tuhan dengan budaya yang bersumber dari makhluk. Dinamika tersebut sebenarnya seiring dengan perkembangan pergeseran
119
sistem pendidikan, yang baik secara nasional maupun regional telah mengubah pola pikir masyarakat, sehingga mendesak kalangan kyai maupun santri untuk melakukan transformasi kelembagaan. Begitupun pesantren Futuhiyyah, sejak perkembangan pendidikan di Indonesia umumnya mengalami perkembangan, maka lembaga ini melakukan respon yang cukup tanggap, dengan terus memantau kebutuhan riil yang terjadi
di
masyarakat,
agar
eksistensi
pesantren
Futuhiyyah
dapat
dipertahankan dan ada dalam hati sanubari masyarakat. Dengan demikian paling tidak, ada beberapa nilai fundamental yang dapat diambil pelajaran dari pendidikan pesantren salaf tersebut. E. Nilai-nilai Fundamental Pendidikan Pesantren Futuhiyyah 1. Komitmen untuk tafaqquh fiddin Tujuan pendidikan pesantren Futuhiyyah sebagaimana pesantren umumnya adalah untuk tafaqquh fiddin, dan tentunya pesantren akan berupaya untuk mencapai tujuan tersebut, begitu juga tujuan pendidikan Ponpes Futuhiyyah adalah untuk mencetak insan-insan muslim yang tafuqquh.fiddin yang senantiasa dapat
menyebarkan ilmu
yang
bermanfaat (Nasyrul Ulum An-Nafi'ah), pribadi muslim yang sesuai dengan ajaran Allah SWT dan mengamalkan ajaran tersebut dalam berbagai segi kehidupannya. Oleh karena itu, pesantren tentu akan berpegang teguh terhadap konsep dan ajaran agama. Terbentuknya masyarakat yang berbudaya (civil society) adalah manakala pondok pesantren komitmen terhadap nilai-nilai agama, karena dengan agama
120
orang dapat melangkah dengan pijakan yang jelas. Sehebat apapun teori seorang
manusia
sangat
dipengaruhi
oleh
sosio-kultur
yang
melingkupinya, sehingga bersifat sangat lokal. Sementara kalau nilainilai agama sifatnya universal. Lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam kepada masyarakat dan anak-anak Indonesia, telah lahir dan berkembang semenjak masa-masa awal kedatangan Islam di negeri ini. Pada masa awalnya kemunculannya, lembaga pendidikan ini bersifat sangat sederhana berupa pengajian Al Qur‟an dan tata cara ibadah yang diselenggarakan
di
masjid-masjid
surau,
rumah-rumah
ustadz.
Lembaga-lembaga yang kemudian berkembang bernama pesantren terus tumbuh dan berkembang didasari tanggung jawab untuk menyampaikan Islam kepada masyarakat dan generasi penerus. Pondok sebagai asrama tempat tinggal para santri, masjid sebagai pusat aktivitas peribadatan dan pendidikan. Santri sebagai pencari ilmu, pengajaran, kitab kuning serta kyai yang mengasuh merupakan lima elemen dasar. Berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang pada umumnya menyatakan tujuannya pendidikannya dengan jelas, pesantren terutama pesantren-pesantren lama biasanya tidak merumuskan secara eksplisit dasar dan tujuan pendidikannya. Namun bukan berarti bahwa pendidikan pesantren itu berlangsung tanpa arah dan tujuan, hanya saja tujuan itu tidak dirumuskan secara sistematis dan dinyatakan secara eksplisit. Hal ini ada hubungannya dengan sifat kesederhanaan
121
pesantren yang sesuai dengan dorongan berdirinya dimana kyai mengajar dan para santri belajar adalah semata-mata untuk ibadah dan tidak pernah dikaitkan dengan orientasi tertentu dalam lapangan penghidupan atau tingkat dan jabatan tertentu dalam hirarki sosial atau birokrasi kepegawaian. Tujuan pendidikan yang diselenggarakan dapat diketahui dengan jalan menanyakan langsung kepada penyelenggara dan pengasuh pondok pesantren atau dengan cara memahami fungsi-fungsi yang dilaksanakan baik dalam hubungannya dengan para santri maupun dengan masyarakat sekitarnya. Hal itu senanda dengan disimpulkan Mastuhu (1994: 56), bahwa tujuan pendidikan pesantren menciptakan
dan
mengembangkan
kepribadian
muslim,
adalah yaitu
kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, beraklak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan “jalan kawulo” atau abdi masyarakat sekaligus sebagai rasul yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Rosulullah SAW mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama dan menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat „izzul Islam wal muslimin serta mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Di samping berfungsi sebagai lembaga pendidikan pesantren mempunyai fungsi sebagai tempat penyebaran dan penyiaran agama
122
Islam (dakwah Islam). Hal ini bisa kita ketahui dari sejarah berdirinya pesantren Futuhiyyah di muka. Kehadiran Pesantren Futuhiyyah diawali dengan cerita “Perang Nilai“ antara pesantren sebelum berdiri dengan masyarakat sekitarnya namun akhirnya dengan kemenangan pihak pesantren, sehingga pesantren Futuhiyyah dapat diterima untuk hidup di masyarakat dan selanjutnya menjadi panutan bagi masyarakat sekitarnya dalam bidang kehidupan moral. Nilai baru yang dibawa pesantren Futuhiyyah tersebut untuk lebih mudahnya mungkin disebut “nilai putih” yaitu nilai moral keagamaan, sedang nilai lama yang lebih dahulu ada disebut “nilai hitam” yaitu nilai-nilai rendah dan tidak terpuji, seperti yang sedikit disinggung dalam bab sebelumnya adalah Mo Li Mo atau “lima nilai” yaitu : maling (mencuri), madon (melacur), minum (minum-minuman keras), madat (candu, narkotika) dan main (judi) dan nilai-nilai lain yang tidak terpuji seperti kebodohan, kedengkian, santet dan lainnya. Sehingga pesantren Futuhiyyah mempunyai eksistensi dalam tafaquh fiddin, karena agama mengatur segala aspek kehidupan manusia, yang meliputi hubungan vertikal (manusia dengan Allah), hubungan horizontal (sesama
manusia
dalam masyarakat)
dan
hubungan manusia dengan alam semesta. Karena itu komitmen tersebut dibangun dalam model yang tetap menonjolkan aspek kemanusiaan, ketuhanan, yang menunjukkan nilai keluhurannya dan menguatkan penetapannya sebagai insaana fi ahsani taqwim.
123
2. Pendidikan Sepanjang Waktu (Fullday School) Secara tehnis pondok pesantren adalah tempat tinggal santri. Pengertian ini menunjukkan ciri pesantren Futuhiyyah yang paling penting yakni sebuah lingkungan pendidikan yang total sepenuhnya. Artinya seluruh aktivitas di lingkungan pesantren itu memiliki nilai pendidikan. Pesantren Futuhiyyah merupakan tempat belajar secara lebih mendalam dan lebih lanjut tentang ilmu agama Islam yang diajarkan secara sistematis, langsung berdasarkan sumber teks kitabkitab islam klasik berbahasa arab karangan ulama besar yang hidup pada zaman permulaan jauh belum dari kehidupan nabi Muhammad SAW, semua itu diajarkan dengan waktu yang lebih di pesantren. Selama ini, sehebat apapun konsep tentang pendidikan, tidak ada sistem pendidikan yang memberikan pengajaran sampai sepanjang waktu (24 jam). Di pesantren Futuhiyyah hal demikian sudah menjadi agenda kegiatan harian. Selama 24 jam setiap hari, dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun. Kyai beserta seluruh ustadz senantiasa membimbing, mengajar, dan mendidik santri-santrinya baik dengan keteladanan dalam cara hidup (sederhana, tawakkal, ikhlas selalu, syukur, dermawan, dan banyak lagi nilai yang belum kita ketahui selama di pesantren), keteladanan dalam disiplin beribadah (disiplin shalat lima waktu secara berjamaah, disiplin puasa), maupun dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang dimilikinya dengan semangat pengabdian kepada Allah Yang Maha Pencipta.
124
Dengan pola fullday school dengan agenda yang padat, sebagaimana dipaparkan dalam bab sebelumnya, sejak santri bangun di fajar pagi dengan awal kegiatannya ibadah shalat yang dilanjutkan dengan dipandu amalan dzikir, kemudian mengaji ayat-ayat suci Allah, hingga malam hari ketika kegiatan telah dilaksanakan semua dan beranjak untuk istirahat, maka tiada waktu yang terlewatkan dengan sia-sia, sehingga tidak akan mengalami kerugian hidup, sebagaimana tersirat dalam Al-Qur'an, surat Al-`Ashr: 1-3 Artinya : “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. Sementara di sisi lain, santri terdidik untuk disiplin serta dapat mengelola waktu dengan baik, selain itu dengan pola pendidkan agama Islam yaitu mengusahakan secara sistematis dan pragmatis dalam membimbing anak didik yang beragama Islam untuk benar-benar menjiwai dan menjadikan sebagai bagian yang integral serta sebagai pedoman dalam hidupnya, sehingga dapat dijadikan sebagai alat pengontrol mentahnya.
bagi
perbuatan-perbuatannya,
Sehingga
santri
diharapkan
pemikiran agar
dan
sikap
nantinya
dapat
membimbing diri sendiri bahkan keluaganya supaya terhindar dari siksa
125
api neraka, sebagaimana firman Allah SWT Surat At Tahrim ayat 6 sebagai berikut : Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kapada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya.” 3. Pendidikan Seutuhnya Dalam pesantren Futuhiyyah, di samping memberikan ilmu pengetahuan secara formal yang tertuang dalam teks, juga langsung mempraktekkan secara kontekstual atau memadukan teori dengan praktek. Pendidikan di pesantren Futuhiyyah tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga berorientasi pada proses (manajemen proses), yaitu mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri peserta didik (manusia) itu dengan selalu memperhatikan ke tiga ranah kemanusiaan, yakni ranah kognitif (intelektual), ranah afektif (emosional), dan ranah psikomotorik. Tidak ada proses pendidikan yang dianggap sempurna jika meninggalkan salah satu dari ke tiga ranah ini. Oleh karena itu keterpaduan antara transfer of knowledge, transfer of value dan transfer of skill sebagai wujud penggarapan ke tiga ranah tersebut, menjadi hal yang penting untuk diperhatikan.
126
Di sisi lain, hal itu juga didasarkan pada tujuan pendidikan Islam yang jelas mengarah pada terbentuknya insan kamil berkepribadian muslim, yang merupakan perwujudan manusia seutuhnya, taqwa, cerdas, baik budi pekertinya (berakhlaq mulia), terampil, kuat kepribadiannya, berguna bagi agama, diri sendiri dan sesama. Bertolak dari rumusan tujuan pendidikan tersebut, maka sistem pendidikan juga berorientasi pada persoalan dunia dan ukhrawi sekaligus, dan memperhatikan keseimbangan dua kehidupan tersebut. Dengan menyadari bahwa penciptaan manusia menjadi khalifah di muka bumi Allah, maka untuk mengemban tugas kekhalifahan ini harus pula
membekali
diri
dengan
ilmu-ilmu
keduniawian
dan
perkembangannya. Dalam konteks pondok pesantren, santri (siswa) dibekali dengan pendidikan ketrampilan (vocational), atau dengan kegiatan-kegitan ekstrakurikuler seperti yang diselenggarakan di institusi sekolah maupun pondok pesantren Futuhiyyah. Selain program-program ketrampilan, kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan tersebut juga melatih dan membina sikap kepemimpinan santri. Sementara itu, lembaga pendidikan lain pada umumnya hanya berorientasi pada hasil (output) produk dan lebih mementingkan transfer of knowledge daripada transfer of value dan transfer of skill. Ini berimplikasi pada menguatnya paradigma bahwa kesuksesan seseorang atau suatu bangsa dinilai dengan hal-hal yang sifatnya harus terukur dan teramati. Padahal ada hal lain yang amat penting, yakni
127
terbentuknya generasi yang memiliki kekukuhan sikap, watak, dan budi pekerti. Pendidikan yang cenderung bertumpu pada ranah kognitif akan melahirkan generasi genius secara intelektual, tetapi kering emosional dan rendah kualitasnya. Pengetahuan kognitif dan diikuti dengan kesadaran emosi saja tidak dapat menggali potensi menjadi realitas secara optimal, namun harus diikuti dengan penggarapan ranah psikomotorik.
Penggarapan
ranah
psikomotorik
terkait
dengan
pengembangan etos kejujuran, kerja keras, profesional, kesopanan dan kepekaan sosial dalam bentuk disiplin dan latihan-latihan nyata. 4. Pendidikan Integratif Pendidikan Integratif adalah sebuah konsep pendidikan dengan mengkolaborasikan antara pendidikan formal, non-formal dan informal. Tidak banyak lembaga yang dapat menerapkan konsep semacam ini. Sistem pendidikan seperti ini yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Futuhiyyah. Dengan kyai, guru (ustadz) dan santri yang hidup dalam satu lingkungan 24 jam (seharian penuh/ fullday school), hal itu memungkinkan untuk dapat mensinergikan sekaligus mandat pendidikan
yang
dibebankan
institusi
pesantren,
persekolahan,
masyarakat, keluarga dan tempat-tempat ibadah. Dengan demikian kyai sekaligus berfungsi sebagai pendidik, guru, orang tua, pembina dan pemimpin kegiatan-kegiatan keagamaan santri-santrinya. Antara kyai dan santri pola hubungannya seperti orang
128
tua dan anak, sehingga sejauh pengetahuan penulis tidak pernah ada istilah mantan kyai atau mantan guru dan tidak ada sejarahnya santri mendemo kyai, yang ada hanyalah mengagumi dan menghormati dengan tulus, tidak hanya ketika mereka menuntut ilmu kepadanya, tetapi setelah pulang ke rumah masing-masing rasa hormat dan kagum itu tetap bersemayam di hati para santri sehingga akan selalu terkenang. Dengan sistem asrama (pondok), kebersamaan antara kyai, guru dan santri dapat berlangsung terus menerus dan hubungan mereka menjadi semakin luas. Dengan keleluasaan ini dan frekuensi kontak yang lebih intens, segala persoalan segera akan mendapatkan perhatian dan pemecahannya. Perjumpaan Kyai, guru dan santri tidak hanya dibatasi oleh jam-jam belajar di kelas. Kondisi ini sangat baik bagi proses pembentukan kepribadian santri. Apabila kondisi seperti ini dipergunakan secara efektif, maka semakin besar peluang untuk dapat mencapai tujuan akhir pendidikan, yaitu mengaktualisasikan segala potensi yang dikaruniakan Tuhan sebagai wujud penghambaan kepada Sang Khaliq. Suasana pendidikan seperti diuraikan diatas tidak terdapat dalam pusat-pusat
pendidikan
lain,
baik
dalam
sistem
persekolahan,
perguruan, kepemudaan dan keluarga. Siswa-siswi sekolah umum, misalnya, akan mengatakan "itu dulu guru saya", ketika mereka sudah tidak diajar oleh guru tersebut. Hubungan mereka hanya sebatas luasnya gedung sekolah, atau bahkan hanya seluas ruang kelas. Karena
129
kebanyakan sekolah hanya memberikan pengajaran, hanya Transfer of knowledge saja dan tidak diikuti oleh Transfer of values. Hubungan itu hanya didasarkan pada profesi dan materi. 5. Adanya kebebasan beraktualisasi dan tanggungjawab Pesantren Futuhiyyah lahir dari dan untuk masyarakat, sehingga semula masyarakat bebas menentukan model ataupun kurikulum pendidikan pesantren itu, apakah pesantren khusus Al-Qur'an, atau khusus Hadits, atau lebih mementingkan ilmu-ilmu alat (Nahwu atau Bahasa), dan lain-lainnya. Dari keragaman ini justru memiliki nilai plus tersendiri, karena pesantren Futuhiyyah mempunyai spesifikasi sendiri. Ini menjadi kekayaan tersendiri bagi khazanah pendidikan Islam. Dengan munculnya dari masyarakat, maka tingkat kemandirian untuk menjalankan roda pesantren ini sangat kuat, tidak bergantung kepada pihak-pihak lain, berbeda dengan lembaga pendidikan formal lain yang harus menunggu peraturan, sampai kucuran dana dan lain-lain dari atasan/ pemerintah. Sikap kemandirian dalam pengelolaan pendidikan ini pada gilirannya
akan
melahirkan
santri-santri
yang
memiliki
sikap
keswadayaan, penuh kemandirian dan percaya pada diri sendiri, tawakal dalam arti luas, dan bahkan juga membebaskan orang lain yang masih serba bergantung sebagai wujud rasa tanggung jawabnya untuk menjadikan yang lebih baik. Oleh karena itu, sangat jarang untuk tidak mengatakan tidak ada alumni-alumni pesantren yang mengeluh
130
kesulitan mencari pekerjaan, sebab biasanya mereka justru cenderung berusaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain, atau paling tidak bagi dirinya, sehingga tidak bergantung pada orang lain atau pihak lain, karena mereka telah terbiasa mengatur kehidupan dan persoalan baik secara individual maupun kolektif. 6. Pesantren adalah Masyarakat Kecil Pesantren Futuhiyyah Mranggen merupakan miniatur sebuah masyarakat atau disebut dengan Small Community. Sebagaimana sebelumnya Dhofir (1984: 56) pun pernah mengibaratkan pesantren sebagai suatu kerajaan kecil di mana kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority). Dalam lingkungan Futuhiyyah diajarkan bagaimana hidup bermasyarakat, kendati meskipun tanpa adanya materi sosiologi-antropologi, justru alumni pesantren Futuhiyyah lebih
mudah beradaptasi dengan
masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Komunitas santri sebenarnya merupakan masyarakat Islam yang terdiri atas kelompok-kelompok anak didik yang saling terikat oleh tradisi dan sistem, serta hukum-hukum yang khas. Kehidupan bersama khas pondok pesantren adalah kehidupan yang didalamnya kelompokkelompok santri hidup bersama-sama di wilayah tertentu dan samasama berbagi iklim serta "makanan" yang sama, justru kepentingankepentingan bersama dan ikatan-ikatan tertentu kehidupan islami
131
mempersatukan santri dengan mengarahkan kepada setiap individu untuk mempunyai suatu rasa kekeluargaan. Suasana kehidupan komunitas santri yang demikian itu diimplementasikan dalam kehidupan riil masyarakat dengan kyai sebagai "komandan"nya, kendati para kyai sangat tinggi ilmunya mereka tidak asing bagi masyarakatnya. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di pesantren modern yang selalu komitmen mengembangkan sistem pembelajaran klasikal dari awal berdirinya. Sebagaimana kritik LP3ES (1988) pada Pesantren Modern agar membuka diri terhadap masyarakat di sekitar juga tidak mampu mempengaruhi pondok ini. Jenis pesantren modern hingga kini tetap saja melakukam splendid isolation. Pimpinan pesantren menganggap, masyarakat sekitarnya merupakan sumber “polusi sosial” yang bisa merusak moral para santri. Hal ini berbeda dengan alumni sekolah pada umumnya, mereka merasa asing dengan masyarakatnya. Apalagi bagi mereka yang sudah mempunyai gelar tertentu, biasanya mereka merasa bahwa masyarakat bukan kelasnya sehingga enggan untuk membaur dengannya. Santri yang menuntut ilmu di pesantren berasal dari berbagai ragam komunitas, etnis dan kelas sosial, tetapi mereka tinggal bersama dalam pengasuhan kyai atau guru dengan selalu menjaga sikap saling menghormati dan saling menghargai. Mereka pun mempunyai satu
132
pemikiran ideologis yang sama bahwa tidak ada sesuatu hal yang menjadikan seseorang itu lebih mulia, kecuali tingkat ketaqwaan kepada Allah SWT. 7. Pendidikan Alternatif Dari pembahasan di atas menunjukkan bahwa sebenarnya pesantren Futuhiyyah lebih siap menghadapi perubahan-perubahan zaman, dengan model-model yang ditawarkannya, setidak-tidaknya pesantren Futuhiyyah mampu bergeliat dan menunjukkan kepada publik bahwa tipologi pesantren bukanlah tipologi yang selalu tertinggal. Terlepas dari plus minusnya pesantren, yang jelas nilai-nilai fundamental pesantren Futuhiyyah, minimal dapat ikut menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi bangsa ini, setidaknya dengan adanya sikap kemandirian dapat mengurangi beban pemerintah akibat derasnya arus modernisasi. Selain itu juga pesantren lebih mampu menciptakan generasi yang mampu bertanggungjawab. Sebagaimana nilai-nilai fundamental pendidikan pesantren yang telah disebutkan di atas, sebenarnya pesantren ini mempunyai potensi yang kemudian membentuk pola pendidikan yang dapat dijadikan alternatif dalam menyelenggarakan pendidikan Islam. Menjamurnya pesantren yang menyuguhkan spesialisasi kajian baik tradisional maupun modern, membawa dampak positif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di negeri ini. Kehadiran pesantren telah nyata membantu pemerintah dalam rangka mencerdaskan kehidupan
133
bangsa. Di samping itu, pesantren telah menawarkan jenis pendidikan alternatif bagi pengembangan pendidikan nasional. Sejak awal berdirinya pesantren dikenal sebagai lembaga pengkaderan ulama, tempat pengajaran ilmu agama, dan memelihara tradisi Islam. Fungsi ini semakin berkembang akibat tuntutan pembangunan nasional yang mengharuskan pesantren terlibat di dalamnya. Masalah ketidakadilan,
masalah-masalah sosial,
kemiskinan
menjadi isu-isu relevan dalam masyarakat Indonesia di zaman ini. Sebagai sekolah untuk kehidupan, pesantren bisa dianggap sebagai bentuk pendidikan alternatif yang memiliki banyak tujuan di bidang-bidang yang berbeda (budaya, ekonomi, sosial dan pendidikan). Sebagai lembaga keagamaan, pesantren dapat menetapkan dan menerapkan strategi-strategi untuk formasi sosial-budaya dan hubungan material dan produksi spiritual. Inilah sebagian eksistensi untuk menjawab persoalan-persoalan sosial dengan memberi kewenangan pada masyarakat santri. Pesantren merupakan pendidikan alternatif yang sangat berbeda dari sistem pendidikan negeri. Dengan naikan harga pendidikan di sekolah-sekolah negeri di seluruh Indonesia semakin susah orang-orang desa menyekolahkan anak-anaknya di sana. Bisa dikatakan bagi keluarga yang kurang mampu pesantren merupakan alternatif yang baik, karena biasanya biaya hidup di pesantren per anak per tahun sangat tergantung pada kemampuan orang tuannya. Walaupun begitu, bagi banyak keluarga Muslim di Indonesia lembaga pesantren merupakan pilihan nomor satu,
134
karena terjamin bahwa anaknya akan menjadi seorang santri yang tetap Islami dan bermoral tinggi di bawah bimbingan seorang kyai. Azas manfaat pendidikan alternatif pertama-tama ditujukan kepada peserta didik/ warga belajar, yaitu agar mereka dapat dimungkinkan mengikuti pendidikan sesuai dengan kondisi, minat dan kebutuhan mereka. Dengan serangkaian wacana tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa salah satu hakekat pendidikan alternatif adalah memberikan kemungkinan pendidikan yang sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kondisi manusia yang bersangkutan. Secara eksternal, pesantren muncul sebagai sebuah komunitas kehidupan yang memiliki daya untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas kreatif yang menggunakan pendidikan alternatif dengan menggabungkan pendidikan dan pengajaran bersama komunitas. Di tengah-tengah masyarakat Indonesia, pesantren secara historis dipandang identik dengan sekolah rakyat dan sekolah kehidupan khususnya di wilayah pedesaan. Menurut Dawam Rahardjo, pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan dan juga penyebaran Islam. Itulah identitas pesantren yang otentik sejak awal kemunculannya dan perkembangannya. Mencermati karakteristik
umat
Islam
serta
kecenderungan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa yang akan datang, disertai dengan perkembangan kebudayaan, maka pilihan format pondok pesantren lebih menekankan pada ilmu pengetahuan alam. Maka keberadaan pondok pesantren sangat optimis sebagai alternatif pendidikan.
135
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah dilakukan telaah atas pemasalahan penelitian ini melalui pembahasan-pembahasan pada bab-bab terdahulu, dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Bahwa Pondok Pesantren Futuhiyyah sebuah pesantren salaf di kota Demak Jawa Tengah telah memperlihatkan ketangguhan lembaga pendidikan Islam tradisional ini. Dalam usianya yang telah lebih dari seabad, dengan dinamika yang dialaminya dan tetap menyandang identitas salafinya. Dengan mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat mendalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) dan tetap percaya menjaga keutuhan lima elemen penting pembentuk sosok santri yang ideal melalui pengajaran kitab klasik (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama‟ abad pertengahan. 2. Pesantren Futuhiyyah merupakan pranata pendidikan Islam tradisional yang mengambil sikap modern dalam cara mendidik para santrinya. Cara modern dalam hal ini terdapat beberapa penyesuaian pesantren terhadap perkembangan zaman, cara itu antara lain adalah: a. Bahwa dari sisi managemen kelembagaan, di pondok pesantren Futuhiyyah hingga kini menunjukkan kecenderungan perubahan mendasar,
yakni dari segi pola
136
manajerialnya
yang semula
kepemimpinan yang sentralistik, hirarkis dan cenderung single fighter berubah menjadi model managemen kolektif sebagaimana model yayasan. Independensi kepemimpinan kyai menjadi sedikit bergeser seiring dengan intervensi pemerintah atas masuknya kurikulum pendidikan nasional dalam kurikulum pesantren, mengingat di pesantren ini telah berdiri yayasan. Namun demikian dari sekian perubahan mendasar yang penting sebagai upaya transformasi adalah pola kepemimpinan kharismatik seorang kyai, dalam hal ini KH. Hanif Muslih sebagai figur utama pesantren masihlah dibutuhkan, mengingat kyai sebagai sopir ke mana pesantren itu akan mengarah. b. Selain itu juga secara umum terlihat dalam hal transformasi sistem pembelajaran institusi c. Dan juga transformasi kurikulum pendidikan pesantren yang kemudian berpengaruh pada metode pembelajaran. Beberapa penyesuaian pesantren terhadap perkembangan zaman bukanlah hal yang berarti, selama pesantren masih konsisten dengan tujuan utama yang diusung pesantren. Suatu anggapan yang salah apabila sifat
tradisional
kerap
disangkutkan dengan penolakan terhadap
modernisme. Kenyataan yang ditemukan di Pesantren Futuhiyyah adalah bahwa sejak awal pemerintahan hingga kini KH Hanif Muslih menginginkan pondoknya maju seiring dengan kemajuan di masyarakat umum. Dengan tetap berbekal kaidah perkembangan Islam, yaitu:
137
“melestarikan nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil nilai baru yang lebih baik lagi”:
Kaidah tersebut dinilai masih relevan dengan yang berlaku di pesantren Futuhiyyah, agar dapat mengimbangi kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama dan melestarikan tradisi kebudayaan Islam. Tentu hal ini bisa digeneralisasikan untuk semua pondok pesantren yang hidup di era sekarang ini, karena masih banyak pesantren yang menggunakan sistem pendidikan tradisional. Namun pondok Pesantren Futuhiyyah dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman dengan konsisiten tanpa mengganggu keutuhan ke lima elemen dasar pesantren. 3. Bahwa ada beberapa nilai fundamental pendidikan pesantren Futuhiyyah, nilai-nilai fundamental itu antara lain: Komitmen untuk Tafaqquh Fiddin Pendidikan sepanjang waktu (fullday school), Pendidikan terpadu
(Integratif),
psikomotorik),
Pendidikan
Keragaman
yang
seutuhnya bebas
(afektif,
dan
kognilif,
mandiri
serta
bertanggungjawab, Pesantren adalah bentuk masyarakat kecil dan Pendidikan alternatif. Selanjutnya mungkin dapat digenaralisasikan bahwa pendidikan pondok pesantren selain diarahkan pada transmisi ilmu-ilmu keislaman, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama‟, juga dimaksudkan menjadi alternatif bagi People centered development, Value oriented development, dan Institution development.
138
B. Saran 1. Untuk pondok pesantren Futuhiyyah sebagai pondok pesantren yang menjadi kebanggaan masyarakat Mrangen agar lebih meningkatkan kualitas pendidikannya seiring dengan cepatnya laju informasi dan globalisasi di dunia sekarang ini dengan tetap mempertahankan identitasnya. 2. Untuk elemen masyarakat yang selama ini memandang sebelah mata akan eksistensi Pondok Pesantren agar melihat hal itu secara utuh dengan menelusuri sejarah perjalanan pondok pesantren. 3. Karena peran lembaga pendidikan pondok pesantren tradisional sejak awal kelahirannya
mampu
berkembang
positif
di
masyarakat
bahkan
mempunyai kontribusi vital tidak saja dalam dimensi theologis tetapi juga sosial, sangat penting dalam menjawab krisis kerohanian manusia modern, atau paling tidak sebagai balance/ lokomotif utama dalam pencerahan masyarakat terhadap kecenderungan pola hidup hedonistik dan ketidak jujuran, tentu saja ia merupakan hazanah dan kekayaan nasional yang patut dilestarikan di bumi nusantara tercinta ini. 4. Dari kesimpulan dalam bagian dahulu sudah jelas bahwa memang telah terjadi perkembangan dalam segala bidang dalam pesantren Futuhiyyah. Di satu sisi hal itu bisa dikatakan prestasi bagi suatu lembaga, namun di satu sisi juga bisa menyebabkan pergeseran tradisi peninggalan kebudayaan. Hal itu sebenarnya tergantung dari banyak entitas yang berkecimpung di dalam lembaga tersebut. Maka, paling tidak saran
139
terakhir dari penulis adalah bahwa pemimpin-pemimpin pondok pesantren seharusnya bekerja sama untuk saling mengobservasi dan mengevaluasi diri lembaga masing-masing, agar warisan budaya yang juga kekayaan bangsa ini dapat terjaga keutuhannya. Lewat observasi dan evaluasi tersebut pemimpin-pemimpin pesantren mampu merapatkan barisan dan saling menjaga idealisme lembaga pesantren. 5. Dan yang terakhir penulis berharap, sekecil dan sesederhana apapun kajian ini dapat bermanfaat bagi para pemerhati dan praktisi pendidikan, khususnya pendidikan Islam di negeri ini. C. Penutup Puji syukur Alhamdulillah penulis hanturkan kepada Allah SWT atas terselesaikannya penulisan skripsi ini, segenap tenaga, pikiran dan kemampuan telah penulis curahkan supaya hasil yang disajikan dapat memenuhi
syarat
kesempurnaan
yang
diharapkan.
Namun,
karena
kedangkalan ilmu pengetahuan dan terbatasnya kemampuan yang penulis miliki, maka tidak tertutup kemungkinan terdapat kesalahan dan tidak sempuna skripsi ini. Menyadari akan hal tersebut, maka segala saran, kritik dan koreksi terhadap skripsi ini akan penulis terima dari manapun datangnya. Sepanjang saran dan kritik tersebut dapat membangun menuju ke arah kebaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, seiring harapan semoga skripsi ini bermanfaat adanya baik bagi penulis, pembaca maupun masyarakat luas. Sehingga tercapai sasaran dan tujuan penulisan skripsi ini.
140
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi. 1984. Ilmu Pendidikan, Salatiga: Cv. Saudara Ali, Mukti. 1979. Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia. Jakarta: Tinta Mas Ali, Mukti. 1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali Arikunto, Suharismi. 1990. Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta Azra, Azumardi. 1998. Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu Barry, M Dahlan Y, Lya Sofyan Yacub. 2003. Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual. Surabaya: Target Press Bruinessen, Martin Van. 1995. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan. Dhofier, Zamakhsyari. 1984. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi 2. Jakarta: Balai Pusaka Gazalba, Sidi. t.th. Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam. Cet ke-1. Jakarta: Pustaka Al Husna Hadi, Sutrisno. 1994. Metodologi Researh, Jilid 1. Yogyakarta: Andi Offset Hadi, Sutrisno. 1989. Metodologi Research. Yogyakarta: Gajah Mada Press Hasbullah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia : Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Langgulung, Hasan. 1985. Pendidikan Islam Menghadapi Abad Abad Ke-21. Jakarta: Al-Husna Madjid, Nur Cholish. 1997. Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Cet Ke-1. Jakarta: Paramadina Mas'ud, Abdurrahman. 2006. Dari Haramain Ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren. Cet ke-1. Jakarta: Predana Media Group Moleng, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kwalitatif. Bandung: Remaja Rosyda Karya
Mudzhar, Atho’. 1998. Pendekatan Studi Islam: Dalam Teori dan Praktek. Cet 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Muhadjir, Noeng. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif, Pendekatan Positifistik Rasionalistik Phenomenologik dan Realisme Metaphisik, Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama. Yogyakarta: Rake Sarasin Narbuko, Chalid, Abu Ahmadi. 1999. Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara Poerbakawatja, R Soegarda, H.A.H Harahap. 1981. Ensiklopedi Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung Praja, M Sastra. 1981. Kamus Istilah Pendidikan dan Umum. Surabaya: Usaha Nasional Purwodarminta, W.J.S. 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka Raharjo, Dawam (Peny). 1985. Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES Sasono, Adi. 1998. Solusi Islam Atas Problematika Umat Ekonomi, Penddidkan, Dakwah. Jakarta: Gema Insani Press Siradj, Said Agil. 1998. Membangun Tradisionalitas Untuk Kemajuan dalam Saifullah Ma’sum (Ed). Dinamika Pesantren. Jakarta: Yayasan Islam AlHamidiyah dan Yayasan Saifudin Zuhri Steenbrink, Karel A. 1974. Pesantren Madrasah Sekolah. Jakarta: LP3ES Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara Thoha, Chabib. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Weber, Marx. 1966. The Theory of Social and Economic Organization. Terjemahan oleh Noorkholish. 2006. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Yunus, Mahmud. 1985. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung Ziemek, Manfred. 1986. Pesantren Dalam Perubahan Sosial. terj. Butche B. Soendjojo. Jakarta: P3M Zuhri, Saifuddin. 1974. Guruku Orang-Orang Dari Pesantren. Jakarta: PT. AlMa’arif.