FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT YANG IDEAL (Analisis Terhadap Urgensi Ketinggian Tempat Dan Penggunaan Waktu Ihtiyat Untuk Mengatasi Urgensi Ketinggian Tempat Dalam Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S.1) Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
YUYUN HUDHOIFAH NIM : 0 7 2 1 1 1 0 8 3
KONSENTRASI ILMU FALAK JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
Drs. Sahidin, M.Si Jl. Merdeka Utara I/B.9 Ngaliyan Semarang Drs. Slamet Hambali, M.Ag. Jl. Candi Permata II / 180 Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp. : 4 (empat) eks. Hal
: Naskah Skripsi An. Sdr. Yuyun Hudhoifah
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah saya mengoreksi dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirim naskah skripsi Saudara : Nama
: Yuyun Hudhoifah
NIM
: 072111083
Judul
: Analisis Terhadap Urgensi Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi Saudara tersebut dapat segera dimunaqasyahkan. Demikian harap menjadi maklum. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Semarang, 10 Mei 2011 Pembimbing I
Pembimbing II
ii
PENGESAHAN
iii
MOTTO
t Artinya: Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa’: 103)1
1
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Bandung : Jumanatul Ali Art (JArt), 2005, hlm. 176
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini Saya persembahkan untuk :
Bapak dan Ibu Tercinta Ahmad Qamaruddin Madchan (alm) dan Siti Masri’ah Keluarga tersayang, Mbak Luk - Mas Ghufron, Mas Iib - Mb Khuzma , Mas Yoyok - Mbak Yani, Mas Aank, Mbak Nunus Keluarga Semarang, Nyak, Mpok, Abang (we’re still together still going strong) Mb Q3, Ayuk, Ciput Kenyong Keluarga Besar Darut Taqwa, Dan dipersembahkan juga untuk, Kaum Muslimin dimana pun berada di berbagai belahan dunia
v
DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan dalam penelitian ini.
Semarang, 10 Mei 2011 Deklarator
Yuyun Hudhoifah NIM: 072111083
vi
ABSTRAK Dari beberapa point yang mempengaruhi waktu shalat daerah satu dengan daerah lain, yang jarang diperhatikan adalah ketinggian tempat suatu daerah. Jadwal awal waktu shalat dalam software Athan, di dalamnya tidak menggunakan ketinggian tempat. Sementara program Prayer Times dan Shollu memberikan ruang untuk menginput data ketinggian tempat. Sedangkan jadwal awal waktu shalat dalam kalender Ponpes Lirboyo, menggunakan data rata-rata ketinggian tempat 100m dengan formulasi 0.0293 √ h. Slamet Hambali menggunakan formulasi0° 1’.76√ h, Muhyiddin Khazin cukup dengan ketentuan posisi tinggi matahari sebagai berikut: ho mahgrib: -1°, ho Isya’ : -18°, ho Subuh: -20° dan ho terbit: -1°, dan Abdur Rachim menyatakan formulasi √3,2 h. Textbook on Sperical Astronomy menggunakan rumus 0.98√h, sementara dalam buku Almanak Hisab Rukyah Departemen Agama dan Rinto Anugraha menggunakan formulasi 1.93√h. Dari perbedaan-perbedaan tersebut, membuat penulis tertarik untuk mengkaji urgensi ketinggian tempat dalam waktu shalat karena shalat merupakan ibadah wajib yang waktunya telah ditentukan sehingga tidak dapat dilakukan sembarang waktu.. Dari beberapa perbedaan formulasi tersebut juga, penulis ingin menelusuri formulasi dan penyajian jadwal waktu shalat yang ideal beserta toleransi waktu seperti penggunaan waktu ihtiyat yang diberikan apakah telah dapat mengatasi perbedaan waktu akibat pengaruh ketinggian tempat suatu wilayah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode pengumpulan datanya bersifat Library research (penelitian kepustakaan) dan wawancara pihak terkait. Sebagai sumber data primernya yaitu seluruh data yang diperoleh langsung dari buku-buku dan software-software karya para hali falak dan wawancara langsung dengan ahli falak, yaitu Reza Zakariya dan Yazid (Lirboyo), Slamet Hambali, serta Rinto Anugraha. Sedangkan data sekundernya adalah seluruh dokumen berupa buku, tulisan, makalah-makalah yang berkaitan dengan obyek penelitian. Data-data tersebut dinalisis dengan menggunakan analisis kritis, dengan menggunakan metode induktif komparatif. Dari hasil penelitian diketahui bahwa ketinggian tempat dinilai sangat urgensi dalam formulasi penentuan awal waktu shalat demi tingkat keakurasian waktu shalat. Sedangkan formulasi waktu shalat yang paling ideal adalah formulasi yang di dalamnya terdapat koreksi kerendahan ufuk dengan penggunaan data ketinggian tempat dan rumus ku sebagai berikut: - (ku + ref + sd) dengan dip/ku: 1,76 √ℎ (meter) atau 0.98√ℎ (feet). Penggunaan waktu ihtiyat untuk mengatasi pengaruh ketinggian tempat dalam penyajian jadwal waktu shalat yang ideal adalah cukup dengan menggunakan toleransi waktu yaitu pengambilan data rata-rata tinggi tempat dalam suatu wilayah, penggunaan daerah yang tinggi sebagai acuan untuk waktu yang berhubungan dengan terbenam matahari, dan menggunakan data daerah yang rendah sebagai acuan untuk waktu yang berhubungan dengan terbit matahari, serta penggunaan waktu ikhtiyat 2 menit dengan pembulatan detik. Konversi tempat karena perbedaan ketinggian tempat bisa diberlakukan secara lokal sekali di wilayah puncak bukit dengan ufuk yang lebih rendah dari kondisi normal dengan nilai ekstrim. Key word: waktu shalat, ketinggian tempat, kerendahan ufuk
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberi kesempatan dan segala hal untuk memahami sedikit ilmu-Nya agar lebih dapat mengenal-Nya. Hanya dengan ijin dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Pengaruh Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat dengan lancar lewat segala proses yang memberi banyak arti. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi agung Muhammad Saw sebagai Rasul Allah yang telah memberi penerang atas gelap dan dahaga bagi para pencari-Nya. Demikian juga shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada keluarga Nabi, para sahabat Nabi saw, para alim ulama’, yang warna-warni pemikiran mereka menjadi bahan dan bekal referensi bagi para musafir ilmu. Sehubungan dengan ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam tahap pengerjaan hingga penyelesaian skripsi ini penulis tidak sendiri. Banyak pihak yang memberi uluran tangan, pemikiran, dukungan, dan doa selama proses kegiatan ini sehingga skripsi dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu melalui kata pengantar ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalamdalamnya kepada: 1. Kementerian Agama Republik Indonesia khususnya Pedepontren yang telah memberi kesempatan mendapat Beasiswa Santri berprestrasi.
viii
2. DR. Imam Yahya, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dan Muhyiddin, M.Ag (Dekan sebelumnya). 3. Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag selaku kepala Prodi Konsentrasi Ilmu Falak, Drs. H. Eman Sulaeman, MH (kepala Prodi sebelumnya) beserta staf-staf-nya, Maksun, M.Ag, H. Ahmad Izzuddin, M.Ag, serta Ahmad Syifaul Anam, SHI. MH, Bapak Suwanto, yang telah bersusah payah memberikan arahan dan bimbingan sepenuhnya kepada penulis dan teman-teman KIF lainnya selama belajar di Semarang. 4. Drs. Slamet Hambali, M.Si dan Drs. Sahidin, M.Si selaku pembimbing dalam penulisan skripsi ini, yang telah mau bersabar meskipun penulis kurang disiplin waktu, memberikan arahan, masukan, bimbingan serta memberikan acc sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini. 5. Bapak Sabri (Undip), Bapak Reza Zakariya dan Bapak Yazid (Lirboyo) yang telah mau memberikan arahan, bimbingan dan data falak; Bapak Rinto Anugraha, Bapak Thomas Djamaluddin, Bapak Dr. Ing. Khafid yang mau menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis via email 6. Kedua orang tua penulis, ibu’ dan bapak (alm), yang telah mengajarkan arti sebuah nafas kehidupan dan atas perjuangan serta doanya yang tiada terkira. 7. Keluarga penulis tercinta (Mbak Luk, Mas Ghufron; Mas Ib, Mb Khuzma; Mas Yok, Mbak Yani; Mas Ank; Mb Nus) yang selalu memberi cinta kasih dan semangat lahiriyah maupun bathiniyah. Juga Lek Mad, Lek Tun, Lek Zayik, Om Arip, Bu Tin sekeluarga, Bulek Sum, Tsania Muna, dan unyilunyil.
ix
8. Keluarga besar Pondok Pesantren Darut Taqwa Purwodadi Grobogan yang telah mengajarkan cara mengenal-Nya dan cara berjalan di jalan-Nya. 9. Keluarga Besar Pondok Pesantren Daarun Najaah Jerakah Tugu Semarang, khususnya kepada KH. Sirojd Chudlori beserta keluarga selaku pengasuh yang juga menjadi motivator dan inspirator penulis dan yang telah memberikan ilmu-ilmunya serta atas bimbingan dan arahannya. 10. Keluarga besar Genk STAR (Kenyong (Rabiatul Aslamiyah) tukang jamu, mb Q3(Kitri Sulastri) tukang ngibul, Yoyo’ (Ayuk Khairunnisa’)tukang senam, Nyak (Anifatul Kiftiyah) tukang ngupil, Mpok (Arrikah Imeldawati) tukang ngomel, bang Mannan (M. Mannan Ma’nawi) tukang tidur, bang Ari (Mukhsin Ari Wibowo) tukang nari, mz Rifa’ (M. Rifa Jamaluddin N) tukang dzikir, Usro’ (Sri Hidayati) tukang gazebo tapi telah mau ngalor-ngidul, muter seser bareng, Ciput (Wahyu Fitria) tukang nangis, mb Mahyo (Mahya Laila) tukang pusing, mb Adah (Musyayadah) tukang mringis, mz Syamsul (M. Syamsul Ma’arif) tukang ruwet, mz Djay (Ahmad Jailani) tukang comment, mb Faroh (Siti Mufarrohah) tukang ngaji, Hassan (Hasanuddin) tukang nggosip, Ncep (Encep Abdul Rozak) tukang theodolit, om Faqih (Faqih Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki siyakul (Oki Yosi) tukang ngilang, Maryani (Maryani AM) tukang dinas, teh Entong (Eni Nuraini Maryam) tukang nyanyi, bulek Hasdul (Hasna Tuddar Putri) tukang makan, mb Opil (Siti Muslifah) tukang nabrak, mb Ipeh (Latifah) tukang qiro’, mbah Ansor (Ansorullah) tukang malak, pakde Tahrir (Tahrir Fauzi) tukang foto, teh Anis (Annisa Budiwati) tukang ngguyu, mbah
x
uti (Siti Tatmainul Qulub) tukang lebai) yang telah melalui lebih dari 1000 hari bersama. Lewat mereka penulis memahami arti warna, perjuangan dan asa, serta arti kebersamaan karna adanya perbedaan. 11. Huda cah purwodadi (angkatan 08), Yadi (angkatan 08), Inayah (angkatan 09), Qoink (angkatan 08), Nisa’;
dan semua pihak yang membantu dalam
pengumpulan dan pengolahan data yang penulis butuhkan, 12. Pondok Putri Utara (Banyu Biru), khususnya kamar “empat” Al Badriyah, Kepompong, Aina, Kakang yang selalu ada di saat pertama membuka mata dan menutup mata. Juga Nila, Gepeng, Lilik, bang jack sebagai teman melek. 13. Temen-temen CSS MoRA IAIN Walisongo Semarang 14. Temen-temen KKN ke-56, khususnya posko 18 Desa Bulu Kecamatan Banyuputih Kabupaten Batang. 15. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan kepada penulis selama penulis studi di Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang. Tidak ada yang dapat penulis berikan atas arti keberadaan mereka, kecuali sepenggal harapan semoga pihak-pihak yang telah penulis kemukakan di atas selalu mendapat rahmat dan anugerah dari Allah Swt. Demikian skripsi yang penulis susun ini sekalipun masih belum sempurna namun harapan penulis semoga akan tetap bermanfaat dan menjadi sumbangan yang berharga bagi khazanah kajian ilmu falak. Semarang, 10 Mei 2011 Penulis
Yuyun Hudhoifah NIM. 072111083 xi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ..............................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................
iii
HALAMAN MOTTO .....................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .....................................................................
v
HALAMAN DEKLARASI .............................................................................
vi
HALAMAN ABSTRAK .................................................................................
vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ...............................................................
viii
HALAMAN DAFTAR ISI .............................................................................
xi
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................
1
B. Rumusan Masalah .................................................................
11
C. Tujuan Penelitian ..................................................................
12
D. Manfaat Penelitian ................................................................
12
E. Telaah Pustaka ......................................................................
13
F. Metode Penulisan .................................................................
18
G. Sistematika Penulisan ...........................................................
20
FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT KONVERGENSI SYAR’I DAN SAINS SERTA FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA A. Dasar Hukum Waktu Shalat ..................................................
23
1. Dalil Waktu Shalat ..........................................................
23
2. Kajian Tafsir dan Pendapat Ulama .................................
26
xii
B. Formulasi Waktu Shalat Perspektif Syar’I dan Sains ........... 1.
32
Shalat Dzuhur .................................................................
33
2. Shalat Ashar ....................................................................
36
3. Shalat Maghrib ................................................................
39
4. Shalat Isya’ ......................................................................
41
5. Shalat Subuh ...................................................................
43
C. Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat ............................
45
1. Meridian Pass ..................................................................
45
2. Sudut Waktu Matahari Awal Waktu Shalat ....................
46
3. Koreksi Waktu Daerah ...................................................
47
4. Ihtiyat .............................................................................
48
D. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu Shalat
50
1. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu Shalat ...............................................................................
50
2. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu Shalat Daerah satu dengan Daerah lain........................... BAB III
51
PENGGUNAAN DATA KETINGGIAN TEMPAT DALAM FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT A. Ketinggian Tempat ................................................................
55
B. Penggunaan Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat ..............................................................
59
1. Kitab Klasik ....................................................................
59
2. KH. Slamet Hambali .......................................................
60
xiii
3. Lirboyo ...........................................................................
61
4. Saaduddin Djambek ........................................................
63
5. Muhyiddin Khazin ..........................................................
65
6. Shollu ..............................................................................
65
7. Athan ...............................................................................
66
8. Accurate Times ...............................................................
66
9. Mawaaqit .........................................................................
67
C. Formulasi Koreksi Ketinggian Tempat dalam Kerendahan Ufuk/Dip ..............................................................................
68
1. Dip/ ku: 1.76√ h (meter) .................................................
69
2. Dip/ ku: 0.0293 √ h (meter) ...........................................
69
3. Dip/ku: 0,97 √h feet atau 1,757√h meter ........................
69
4. Dip/ ku: √3,2 h ................................................................
69
5. Dip/ku: 0,032° √ℎ ...........................................................
71
6. Dip/ ku: 1,93√ h ..............................................................
72
7. Dip/ ku: 0,98√ h ..............................................................
73
D. Data Jadwal Waktu Shalat Beberapa Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat ............................................................... BAB IV
75
ANALISIS TERHADAP URGENSI KETINGGIAN TEMPAT DALAM FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT A. Analisis Urgensi Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat ..............................................
xiv
80
B. Analisis Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat Ideal Terkait Formulasi Kerendahan Ufuk yang Berbeda-Beda ....
89
C. Analisis Toleransi yang Diberikan untuk Memback Up Urgensi Ketinggian Tempat dalam Penyajian Jadwal Waktu Shalat yang Ideal ....................................................... BAB V
97
PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................... 104 B. Saran ...................................................................................... 106 C. Penutup ................................................................................. 107
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT PENDIDIKAN
xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan shalat merupakan persoalan fundamental dan signifikan dalam Islam. Dalam penetapan waktu shalat ditemukan bahwa teks-teks yang dijadikan landasan bersifat interpretatif. Sebagai implikasinya muncul perbedaan dalam menetapkan awal waktu shalat. Kelompok pertama berpandangan bahwa awal waktu shalat ada tiga. Sementara itu, kelompok kedua menyebutkan bahwa awal waktu shalat ada lima.1 Pendapat pertama banyak diterima oleh golongan Syiah. Sedangkan mayoritas muslim di Indonesia, lebih memegangi pendapat yang kedua, berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat sebagai berikut:
Artinya: Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang, (QS. Thaha: 130)2
1
Menurut Muhammad Jawad Muqniyyah, dalam kitab At-Tafsir al-Kasif, 15:74 sebagaimana yang dikutip oleh Susiknan Azhari, Awal Waktu Salat Perspektif Syar’I dan Sains, bisa diakses di www.ilmufalak.or.id 2 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah Tafsir Al Qur‟an, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, hlm. 492
1
2
Artinya: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS. Al-Isra‟: 78)3
Artinya: Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatanperbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. (QS. Al Hud: 114)4
Artinya: Maka bertasbihlah kepada Allah diwaktu kamu berada dipetang hari dan waktu kamu berada diwaktu Subuh. Dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan bumi dan diwaktu kamu berada pada petang hari dan diwaktu kamu berada diwaktu Dzuhur. (QS. Ar Rum: 17-18)5 Didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah r.a
3
Ibid, hlm. 436 Ibid, hlm. 344-345 5 Ibid, hlm. 643 4
3
)(رواه احمد والنسائ والتزمذى Artinya : Dari Jabir bin Abdullah r.a berkata telah datang kepada Nabi SAW. Jibril a.s lalu berkata kepadanya bangunlah, lalu bersembahyanglah kemudian Nabi salat Dzuhur dikala matahari tergelincir. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Ashar lalu berkata, bangunlah lalu sembahyanglah, kemudian Nabi salat Ashar di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Maghrib lalu berkata bangunlah , kemudian Nabi shalat Maghrib dikala matahari terbenam. Kemudian datang lagi kepadanya di waktu Isya‟ lalu berkata : bangunlah dan salatlah kemudian Nabi salat Isya‟ dikala mega merah telah terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu fajar lalu berkata : bangun dan salatlah, kemudian Nabi shalat fajar di kala fajar menyingsing, atau ia berkata: di waktu fajar besinar. Kemudian ia datang pula esok harinya pada waktu Dzuhur kemudian ia berkata padanya bangunlah lalu shalatlah kemudian Nabi salat Dzuhur dikala bayang-bayang suatu sama dengannya. Kemudian datang lagi kepadanya di waktu Ashar dan ia berkata : bangunlah dan shalatlah kemudian Nabi shalat Ashar dikala bayang-bayang matahari dua kali sesuatu itu. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Maghrib dalam waktu yang sama, tidak bergeser dari waktu yang sudah. Kemudian ia datang lagi di waktu Isya‟ di kala telah lalu separo malam, atau ia berkata telah hilang sepertiga malam, kemudian Nabi shalat Isya‟. Kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah bercahaya benar dan ia berkata bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi shalat fajar, kemudian Jibril berkata saat dua waktu itu adalah waktu shalat. (HR. Imam Ahmad, Nasai dan Thirmidzi) 7 Berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-qur‟an maupun Hadis tersebut, ketentuan waktu-waktu shalat dapat dirincikan sebagai berikut: (1) Dzuhur, Waktu Dzuhur dimulai sejak matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah matahari mencapai titik kulminasi dalam peredaran hariannya, sampai tiba waktu 6
Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Asy-Syaukani , Nailul Authar, Beirut-Libanon : Dal al-Kitab, jilid I,, hlm 435 7 Program Hadis Kutubus Sittah, الجامع الصحيح للتزمذي, kitab abwab as-shalat, no 001
4
Ashar, (2) Ashar, waktu Ashar dimulai saat panjang bayang-bayang suatu benda sama dengan bendanya ditambah dengan panjang bayang-bayang saat matahari berkulminasi sampai tibanya waktu Maghrib, (3) Maghrib, waktu Maghrib dimulai sejak matahari terbenam sampai tiba waktu Isya, (4) Isya, waktu Isya dimulai sejak hilang mega merah sampai separuh malam (ada juga yang menyatakan akhir salat Isya adalah terbit fajar), dan (5) Subuh, waktu Subuh dimulai sejak terbit fajar sampai terbit matahari. Secara syar‟i, dalam menunaikan kelima waktu shalat tersebut, kaum muslimin terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan sebagaimana Firman Allah dalam surat An Nisa‟ (4): 103, yaitu:
t Artinya: Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa‟: 103)8 Dari ayat ini, Az Zamakhsyariy berkomentar bahwa seseorang tidak boleh mengakhirkan waktu dan mendahulukan waktu shalat seenaknya baik dalam keadaan aman atau takut.9 Penggunaan lafaz “Kaanat” menujukkan keMudawamah-an (continuitas) suatu perkara, maksudnya ketetapan waktu shalat
8 9
Ibid, hlm. 176 Lihat Az Zamakhsyariy, Tafsir Al Khasyaf, Beirut: Daar Al Fikr, 1997, juz I, hlm. 240
5
tak akan berubah sebagaimana dikatakan oleh Al Husain bin Abu Al „Izz Al Hamadaniy.10 Dalam Tafsir Ibnu Katsir11 dijelaskan bahwa, Firman Allah Ta‟ala “Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditentukan waktunya bagi kaum mukmin” yakni difardhukan dan ditentukan waktunya seperti ibadah haji. Maksudnya, jika waktu shalat pertama habis maka shalat yang kedua tidak lagi sebagai waktu shalat pertama, namun ia milik waktu shalat berikutnya. Oleh karena itu, orang yang kehabisan waktu suatu shalat, kemudian melaksanakannya diwaktu lain, maka sesungguhnya dia telah melakukan dosa besar. Pendapat lain mengatakan “silih berganti jika yang satu tenggelam, maka yang lain muncul” artinya jika suatu waktu berlalu, maka muncul waktu yang lain. Sedangkan dalam Tafsir Manaar
12
mengungkap, sesungguhnya shalat itu
telah diatur waktunya oleh Allah SWT. كتابًاberarti wajib mua'kkad yang telah ditetapkan waktunya dilauhil mahfudz. موقوتًاberarti sudah ditentukan batasanbatasan waktunya. Dari beberapa tafsiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsekuensi logis dari ayat tersebut adalah shalat tidak bisa dilakukan dalam sembarang waktu, melainkan harus mengikuti atau berdasarkan dalil-dalil baik dari Al-Qur‟an maupun Al-Hadis. Dari sana dipahami bahwa betapa pentingnya penentuan awal waktu shalat. Penentuan awal waktu shalat ini dapat diperoleh dengan menggunakan cara 10
Al Husain bin Abu Al „Izz Al Hamadaniy, Al gharib fi I’rab Al Qur’ani, Qatar: Daar Ats Tsaqafah, juz I, hlm. 788 11 Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i. Tafsir Ibnu Katsir. Gema Insani:Jakarta, jilid 3, hlm. 292. 12 Rasyid Ridha, Tafsir Manaar, Dar Al Ma‟rifah: Beirut, juz 5, hlm. 383
6
melihat langsung pada tanda-tanda alam sebagaimana secara tekstual dalam hadishadis Nabi, seperti menggunakan alat bantu rubu‟13, tongkat istiwa’ atau miqyas yang dalam astronomis lebih dikenal dengan sundial14. Selain itu, waktu shalat dapat diketahui melalui jadwal shalat abadi atau jadwal shalat sepanjang masa, serta jadwal-jadwal shalat dari hasil hisab penentuan awal waktu shalat yang ada dan berkembang dalam masyarakat sekarang ini. Hisab ini menghitung dan memperkirakan kapan matahari akan menempati posisi-posisi seperti tersebut dalam nash-nash waktu shalat.
13
Rubu’ berarti seperempat. Dalam istilah astronomi disebut kuadran (quadrant), yaitu suatu alat untuk menghitung fungsi goniometris yang sangat berguna untuk memproyeksikan peredaran benda langit pada lingkaran vertical. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 1, 2005, hlm. 129. Rubu’ al-Mujayyab atau Kuadran sinus merupakan alat perangkat hitung astronomis untuk memecahkan permasalahan astronomi bola. Tokoh-tokoh yang berperan dalam pengembangan rubu’ ini adalah al-Khwarizmi (770-840) dan Ibn-Sathir (abad 11). Rubu’ al-Mujayyab yang berkembang di Indonesia ialah rubu’ hasil pengembangan dari rubu‟ IbnSathir. (Lihat Hendro Setyanto, Kajian Kitab-Forum Kajian Ilmu Falak “Zenith”, Rubu’, Bandung: Pundak Scintific, 2001, hlm. 3) dalam kitab-kitab falak klasik biasanya menggunakan metode penentuan awal waktu shalat dengan menggunakan rubu’. 14 Lihat Sundial; History, Theory, & Practice by Rene R.J.Rohr; translated by Gabriel Godin, Toronto: University of Toronto Press, 1970. Dalam buku ini, ada beberapa istilah yang dapat diartikan sebagai jam matahari atau sundial, yaitu hemisphere dan gnomons. Sundial (jam matahari) adalah seperangkat alat yang digunakan sebagai petunjuk waktu semu lokal (local apparent time) dengan memanfaatkan matahari yang menghasilkan bayang-bayang sebuah gnomon yaitu, batang atau lempengan yang bayang-bayangnya digunakan sebagai petunjuk waktu (gnomon merupakan salah satu bentuk dari sundial sederhana, oleh karena itu dianggap sebagai nama lain dari sundial), chapter three, Classical Sundials, hlm. 46. Pada dasarnya, sebuah sundial terdiri dari satu objek yang membentuk satu bayangan dari sebuah permukaan yang bergaris, yang disebut dengan garis jam. Permukaan tersebut dinamakan table jam. (Basically, a sundial consists of a surface on wich lines (the so-called hour-lines) have been traced; the surface is called the table of the dial). Jika kita meruntut sejarah, menurut data literatur papyrus pada tahun 1450 SM, sundial pernah dipakai di Mesir dalam bentuk obelisk yang saat itu digunakan untuk menentukan waktu dan menseting kalender. Groping through history with this Ariadne’s thread, we learn from the papyri that by about 1450 BC gnomons in the form of obelisks were used in Egypt for the measurement of time and the setting up of calendar. Sekitar tahun 1000, bangsa Arab telah menjadi ahli waris dari gnamon Yunani sebagaimana ilmu klasik lainnya. 15 buku mereka tentang gnomonic ditulis dari abad 11-14. By around the year 1000, the Arabs had become the inheritors of Greek Gnomonics, as well as of all the ather ancient sciences. Fifteen of their books on gnomoniccs written during the period from the elevent to the fourteenth century ave survived, Chapter one, History of The Sundial hlm. 5. Kemungkinan pada masa ni, kemudian umat Islam memanfaatkan sundial untuk menentukan awal waktu shalat. Dalam bahasa Arab disebut juga asSa’ah asy-Syamsiah atau mizwala. Lihat juga pada Susikanan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, hlm. 144.
7
Atas dasar kebutuhan pada masa modern ini, hisab penentuan awal waktu shalat melangkah ke arah kemajuan dengan lahirnya software-software penentuan waktu shalat yang memudahkan masyarakat dalam mengetahui awal dan akhir waktu shalat. Jadwal shalat sekarang ini juga mudah didapatkan dalam kalenderkalender yang beredar dalam masyarakat oleh perhitungan hisab para ahli falak. Hampir di setiap kalender telah dicantumkan jadwal awal waktu shalat. Jadwal awal waktu shalat yang ada dalam kalender-kalender tersebut dapat disesuaikan dengan daerah masing-masing. Ada beberapa point yang menyebabkan perbedaan awal waktu shalat antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu antara lain: 1. Koordinat lintang tempat tersebut (Ф)15. Daerah yang terletak di sebelah utara garis khatulistiwa (ekuator) memiliki lintang positif, dan untuk daerah yang terletak di sebelah selatan garis khatulistiwa memiliki lintang negatif. 2. Koordinat bujur tempat tersebut (λ)16. Daerah yang terletak di sebelah timur Greenwich memiliki bujur positif dan untuk daerah yang terletak di sebelah barat Greenwich memiliki bujur negatif. 3. Zona waktu tempat tersebut (z)17. Daerah yang terletak di sebelah timur Greenwich memiliki z positif. Misalnya zona waktu Jakarta adalah UT +7
15
Lintang astronomi suatu tempat ialah sudut antara arah gaya berat (vertical) tempat tersebut dengan bidang yang tegak lurus sumbu putar bumi. Baca K.J. Vilianueva, Pengantar ke dalam Astronomi Geodesi, Bandung: Departemen Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Bandung, 1978, hlm. 4. 16 Bujur astronomi suatu tempat adalah sudut antara bidang di meridian tempat dan bidang meridian dari Greenwich. Lihat ibid, hlm. 114. Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa bujur sama dengan selisih waktu local tempat bersangkutan dengan waktu Greenwich. 17 Pada dasarnya bumi dibagi dalam 24 wilayah waktu (zona waktu) yang dibatasi oleh meridian-meridian dengan selisih bujur 15 derajat (1 jam). Dalam tiap wilayah ini berlaku satu macam waktu wilayah dengan meridian tengahnya sebagai referensi. Wilayah 0 meridian referensinya adalah meridian Greenwich. Ke timur dari Greenwich tiap wilayah diberi tanda +1, +2, dst dan untuk wilayah arah barat diberi tanda -1,-2, dst. Untuk wilayah ke-12 dibagi dua oleh “date line” dan untuk bagian barat diambil Δz = -12 sedangkan untuk bagian yang timur diambil
8
(Universal Time) atau seringkali disebut GMT +7 (Greenwich Mean Solar Time), maka z = 7. Sedangkan di sebelah barat Greenwich memiliki z negatif. Misalnya, Los Angeles memiliki z = -8. 4. Ketinggian tempat dari permukaan laut (h)18. Ketinggian lokasi dari permukaan laut (h) menentukan waktu kapan terbit dan terbenamnya matahari. Tempat yang berada tinggi di atas permukaan laut akan lebih awal menyaksikan matahari terbit serta lebih akhir melihat matahari terbenam, dibandingkan dengan tempat yang lebih rendah. Satuan h adalah meter atau feet (kaki). Dari keempat point di atas, yang jarang diperhatikan adalah ketinggian tempat dari suatu daerah. Dari penelusuran penulis, kebanyakan jadwal waktu shalat yang ada dalam kalender-kalender hanya memakai data rata-rata ketinggian tempat. Bahkan tidak jarang, jadwal shalat tidak memakai data ketinggian tempat. Begitu juga dengan software-software waktu shalat yang berkembang, banyak yang menyisihkan data ketinggian tempat. Jadwal awal waktu shalat yang tercantum dalam kalender keluaran Ponpes Lirboyo, yang dipakai oleh hampir seluruh alumni tersebut, dalam hisab awal waktu shalatnya menggunakan data ketinggian tempat 100m.19 Sedangkan jadwal
Δz = +12. Bila seseorang melewati “date line” maka ia harus menyesuaikan hari kalendernya dengan menambah atau mengurangi dengan satuan hari (24 j). selisih waktu untuk wilayah yang berdampingan adalah satu jam. Untuk keseragaman di suatu negara maka wilayah waktu itu disesuaikan dengan batas-batas negara. Lihat Ibid, hlm. 70-71. Untuk Indonesia sendiri dibagi dalam 3 zona waktu, yaitu WIB, WITA, WIT. 18 h dalam astronomi digunakan sebagai simbol untuk tinggi, posisi tinggi matahari biasaya menggunakan ho dan posisi tinggi bulan biasanya menggunakan h(. 19 Dalam penentuan awal waktu shalat, Ponpes Lirboyo menggunakan gabungan ephimeris - kitab Tashil Auqat, dengan data ketinggian tempat yang dipakai 100m. (Hasil wawancara dengan Bapak Yazid via telepon dan Bapak Reza melalui jaringan sosial Facebook, mereka adalah penyusun kalender Ponpes Lirboyo yang selama ini beredar).
9
awal waktu shalat dalam software Athan20, di dalamnya tidak menggunakan data ketinggian tempat. Sementara program Prayer Times21 dan Shollu22 memberikan ruang untuk menginput data ketinggian tempat untuk daerah yang dicari awal waktu shalatnya. Selain itu, yang lebih menarik dalam hal ini adalah dari beberapa ahli falak mempunyai formulasi penentuan awal waktu shalat yang berbeda-beda dalam penggunaan data ketinggian tempat terkait dengan kerendahan ufuk suatu tempat, yaitu pada waktu Maghrib, Subuh dan Isya‟. Pada umumnya, para ahli falak maupun astronomi menggunakan rumus ho= - (ku + ref + sd) dalam mencari tinggi matahari, dengan ketentuan sebagai berikut:
ku (kerendahan ufuk)
= 0° 1‟.76√ h (ketinggian tempat)
ref (refraksi tertinggi saat ghurub)
= 0° 34‟
sd (semidiameter matahari rata-rata)
= 0° 16‟
Formulasi ini digunakan oleh para ahli falak pada umumnya dalam menentukan awal waktu shalat Maghrib, salah satunya adalah Slamet Hambali.23 Sedangkan
20
Softwere program waktu shalat dalam computer yang secara otomatis akan membunyikan suara adzan ketika mulai waktu shalat, yaitu 5 kali dalam sehari. Dapat didownload di http://www.islamicfinder.rg/athanContact.php 21 Bisa di download di www.rukyatulhilal.com 22 Shollu, copyrights ©2004-2008 program waktu shalat versi 3.00, oleh Ebta Setiawan. Program ini bertujuan memberi peringatan kepada pengguna komputer bahwa waktu sholat telah tiba atau sebentar lagi tiba. Sehingga pengguna bisa bersegera untuk mempersiapkan diri untuk menunaikan sholat. Berbeda dengan versi 2.15 ke bawah, mulai shollu menggunakan koordinat wilayah ( garis lintang dan garis bujur), ketinggian dan beberapa kriteria lainnya. Pengguna hanya perlu setting sekali dan jadwal otomatis akan selalu update. Shollu dilengkapi dengan wilayahwilayah di Indonesia dan kota-kota besar di dunia. Untuk wilayah lainnya bisa download file tambahan, bisa dilihat dalam help file. 23 Slamet Hambali, Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris, materi ini disampaikan dalam pelatihan ketrampilan khusus bidang hisab-rukyah oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2007
10
dalam penentuan waktu Isya‟ dan Subuh, rumus tersebut dijumlahkan dengan masing-masing ho -17° dan ho -19°. Namun, ada beberapa ahli falak yang sedikit berbeda. Muhyiddin Khazin, dalam buku Ilmu Falak; Teori dan Praktek24 agaknya mempunyai toleransi terhadap pengaruh ketinggian tempat dengan menjelaskan bahwa rumus tersebut terkait kerendahan ufuk hanya dianjurkan dalam perhitungan awal bulan. Sedangkan untuk perhitungan awal waktu shalat sehari-hari hanya cukup dengan ketentuan sebagai berikut: ho mahgrib: -1°, ho Isya‟ : -18°, ho Subuh: -20° dan ho terbit: -1°. Sedangkan Uzal Syahruna seperti dalam materinya Perhitungan Awal Waktu Shalat, dalam mencari ku lebih memilih menggunakan bentuk decimal dari 0° 1‟.76√ h, yakni ku: 0.0293 √ h. Berbeda dengan Abdur Rachim, beliau mempunyai sedikit perbedaan ketentuan dalam mencari ku. Abdur Rachim mempunyai rumus sendiri yaitu dalam bukunya Ilmu Falak,25 dijelaskan bahwa ku mar‟i dapat diketahui dengan rumus √3,2 h. Pada salah satu literatur astronomi, Textbook on Sperical Astronomy26 disebutkan bahwa dalam mencari ku menggunakan rumus 0.98√h . Dari beberapa perbedaan tersebut, dapat dilihat bahwa beraneka macam respon ahli falak tehadap ketinggian tempat dalam penentuan waktu shalat. Maka dari itu, penulis tertarik untuk mengkaji urgensi data ketinggian tempat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat. Sebenarnya seberapa pengaruh data ketinggian tempat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat. Selain itu, 24
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak; dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana pustaka,
hlm. 56 25
Abd. Rachim, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberti, 1983, hlm. 33 W.M. Smart, Textbook on Sperical Astronomy, London: Cambridge University Press, 1950, hlm. 318 26
11
penulis juga tertarik untuk mengkaji bagaimana formulasi penentuan awal waktu shalat yang ideal untuk digunakan diantara yang dipakai oleh beberapa ahli falak tersebut. Dan meskipun dalam beberapa jadwal waktu shalat telah menggunakan data ketinggian tempat, namun dalam pemetaan wilayah dalam waktu shalat juga masih kurang memperhatikan data ketinggian tempat. Jadwal waktu shalat yang ada hanya menghitung salah satu titik yang mewakili satu wilayah kabupaten. Padahal, dalam satu kabupaten mempunyai dataran yang tingginya berbeda-beda. Oleh karena itu, penulis juga tertarik untuk mengkaji bagaimana toleransi waktu seperti penggunaan waktu ihtiyat yang diberikan oleh beberapa ahli falak tersebut di atas, untuk mengatasi pengaruh ketinggian tempat terkait keurgensiannya dalam penyajian jadwal waktu shalat yang ideal.
B. Rumusan Masalah Bertolak dari permasalahan yang telah dipaparkan, dan untuk membatasi agar skripsi lebih spesifik dan tidak terlalu melebar, maka dapat dikemukakan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut: 1. Bagaimana urgensi ketinggian tempat dalam formulasi penentuan waktu shalat? 2. Bagaimana formulasi penentuan waktu shalat yang ideal terkait formulasi kerendahan ufuk yang berbeda-beda? 3. Bagaimana penggunaan waktu ihtiyat untuk mengatasi pengaruh ketinggian tempat dalam penyajian jadwal waktu shalat yang ideal?
12
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak di capai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui urgensi ketinggian tempat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat, meliputi shalat apa saja yang dalam penentuan awal waktunya dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan seberapa besar pengaruhnya terhadap formulasi penentuan awal waktu shalat. 2. Untuk mendapatkan formulasi penentuan awal waktu shalat yang paling ideal dan akurat yang dapat digunakan oleh masyarakat. 3. Untuk mengetahui bagaimana toleransi atas urgensi tersebut dalam formulasi penentuan awal waktu shalat meliputi tinggi atau rendahnya suatu daerah mana yang dijadikan markaz perhitungan awal waktu shalat yang ideal dan bagaimana penyajian jadwal awal waktu shalat yang ideal.
D. Manfaat Penelitian Dengan mengetahui seberapa besar urgensi data ketinggian tempat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat dan seberapa besar toleransi urgensi ketinggian tempat dalam formulasi penentuan waktu shalat, maka diharapkan dapat merumuskan formulasi penentuan awal waktu shalat yang lebih akurat dan ideal untuk digunakan meliputi daerah mana yang dijadikan patokan perhitungan awal waktu shalat dan batas-batas penggunaan nama daerah dalam jadwal waktu shalat. Oleh karena itu, dapat meminimalisir kesalahan perhitungan penentuan awal waktu shalat sehingga lebih memantapkan hati kita dalam beribadah.
13
Dari sisi akademis kegunaan penelitian di samping berguna bagi pengembangan ilmu penulis juga dapat bermanfaat bagi peneliti-peneliti yang akan datang. Pentingnya hasil penelitian ini bagi peneliti-peneliti yang akan datang terutama terletak pada sisi ketersediaan data awal, karakteristik termasuk masalah-masalah yang belum mendapatkan analisis yang fokus.
E. Telaah Pustaka Sejauh penelusuran yang penulis lakukan, belum ditemukan tulisan dan penelitian yang secara khusus dan mendetail membahas pengaruh data ketinggian shalat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat dan toleransinya. Selama ini, banyak penelitian mengenai shalat, waktu shalat, namun ditinjau dari berbagai segi. Penelitian-penelitian yang ada sebagian besar mengenai shalat dan impactnya terhadap kehidupan sehari-hari. Sebagaimana skripsi yang ditulis oleh Marfungah, Pengaruh Intensitas Shalat 5 Waktu Terhadap Motivasi Beragama Anak di Panti Asuhan Yatim Piatu Darul Hadlonah Semarang27 dan skripsi oleh M. Khoirul Abshor yang berjudul Pengaruh Pendidikan Shalat Pada Masa Kanak-Kanak dalam Keluarga Terhadap Kedisiplinan Shalat Lima Waktu Siswa Kelas VIII Di Mts Negeri Kendal28. Kedua penelitian tersebut lebih menekankan
27
Marfungah, Pengaruh Intensitas Shalat 5 Waktu Terhadap Motivasi Beragama Anak di Panti Asuhan Yatim Piatu Darul Hadlonah Semarang, Skripsi Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, 2005 28 M. Khoirul Abshor yang berjudul Pengaruh Pendidikan Shalat Pada Masa KanakKanak dalam Keluarga Terhadap Kedisiplinan Shalat Lima Waktu Siswa Kelas VIII Di Mts Negeri Kendal, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2008
14
pada aspek sosial yang ditimbulkan dari pelaksanaan shalat 5 waktu dan praktek riil pelaksanaan shalat pada waktunya. Sedangkan skripsi yang ditulis oleh Mukhamad Hasanudin, Studi Analisis Pendapat Hasbi Ash Shiddiqie Tentang Bolehnya Mengerjakan Dua Shalat Fardlu Dengan Satu Kali Tayamum29 merupakan penelitian tentang shalat namun, diambil dari segi fiqh dan lebih menekankan pada persoalan tayamum. Hampir serupa, penelitian Waktu Salat Wajib dalam Pandangan Syi'ah (Kajian Atas Hadis-Hadis Tentang Waktu Salat Dalam Kitab Al-Kafi) oleh Nur „Aeni meskipun membahas tentang waktu shalat, namun lebih menekankan pada segi fiqhnya, yaitu membahas Hadis yang berkaitan dengan waktu shalat yang menjadi dasar hukum kaum Syi‟ah dalam menentukan waktu shalatnya.30 Penelitian tentang waktu shalat dengan penekanan pada bidang falak tergolong sedikit, penulis hanya menemukan beberapa saja, yaitu penelitian Korelasi Beda Bujur dalam Penemuan Selisih Waktu Shalat Antar Daerah (Studi Jadwal Waktu Shalat Yang Beredar Di Jawa Timur) oleh Abd. Salam yang mengungkapkan seberapa besar akurasi penentuan waktu-waktu shalat untuk kota-kota markaz pada jadwal waktu shalat yang beredar di Jawa Timur, serta akurasi konversi waktu shalat dari satu kota ke kota lainnya yang ditinjau dari beda bujurnya.31 Selain itu, penulis hanya menemukan dua karya ilmiah yang
29
Mukhamad Hasanudin, Studi Analisis Pendapat Hasbi Ash Shiddiqie Tentang Bolehnya Mengerjakan Dua Shalat Fardlu Dengan Satu Kali Tayamum, Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, 2004 30 Nur „Aeni, Waktu Salat Wajib dalam Pandangan Syi'ah (Kajian Atas Hadis-Hadis Tentang Waktu Salat Dalam Kitab Al-Kafi), Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, 2009 31 Abd. Salam, Korelasi Beda Bujur Dalam Penemuan Selisih Waktu Shalat Antar Daerah (Studi Jadwal Waktu Shalat Yang Beredar Di Jawa Timur), Sunan Ampel, 2005
15
meneliti awal waktu shalat, yaitu skripsi Muhammad Hartaji, yang berjudul Analisis Terhadap Perbedaan Lintang Terhadap Awal Waktu Shalat, yang hanya menganalisa terhadap perbedaan lintang dalam waktu shalat.32 Skripsi lain ditulis oleh Muntoha yang berjudul Analisis Terhadap Toleransi Pengaruh Perbedaan Lintang dan Bujur dalam Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, yang menjelaskan pengaruh lintang dan bujur tempat dalam penentuan awal waktu shalat beserta toleransinya yang menurut skripsi ini yaitu dengan waktu ikhtiyat. 33 Namun, hampir dari setiap buku falak secara umum yang ada, di dalamnya terdapat salah satu bab yang menjelaskan penentuan waktu shalat. Begitu pula dengan kitab-kitab klasik falak yang ada. Mesipun antara buku falak dan kitab falak klasik mempunyai konsep yang berbeda dalam formulasi penentuan awal waktu shalat, namun keduanya mempunyai benang merah yang sama. Diantara buku-buku falak tersebut ada buku Ilmu Falak Praktis; Metode Hisab-Rukyah Praktis dan Solusi Permasalahannya oleh Ahmad Izzuddin, M.Ag34 dan Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik oleh Muhyiddin Khazin35. Keduanya membahas ilmu falak secara umum, mulai dari arah kiblat, penentuan awal waktu shalat, penentuan awal bulan qamariyah, hingga gerhana matahari maupun gerhana bulan. Ilmu Falak oleh Abdur Rachim juga menjelaskan sekilas
32
Muhammad Hartaji, yang berjudul Analisis Terhadap Perbedaan Lintang Terhadap Awal Waktu Shalat, Semarang : FAI Unissula, 2003. 33 Muntoha, Analisis Terhadap Toleransi Pengaruh Perbedaan Lintang dan Bujur dalam Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, 2004 34 Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis; Metode Hisab-Rukyah Praktis dan Solusi Permasalahannya, Semarang: Komala Grafika dengan IAIN Walisongo Semarang, 2006 35 Muhyiddin Khazin, loc. cit.
16
tentang awal waktu shalat, namun pembahasan di dalamnya lebih ditekankan pada sisi astronominya. Selain itu, ada beberapa tulisan mengenai waktu shalat, seperti Rinto Anugraha dalam tulisannya Waktu-Waktu Shalat, telah menjelaskan beberapa hal terkait dengan waktu shalat lima waktu. Sedangkan tulisannya yang berjudul Cara Menghitung Waktu Shalat, menyajikan cara perhitungan waktu shalat dengan menggunakan sejumlah rumus matematika.36 Awal Waktu Salat Perspektif Syar’i dan Sains oleh Susiknan Azhari memadukan dalil-dalil waktu shalat dengan penggambaran dari segi astronomi mengenai posisi-posisi matahari dalam waktu shalat.37 Dalam karya Mukhtar Salimi, Ilmu Falak; Penentapan Awal Waktu Shalat dan Arah Kiblat berisikan landasan syar‟i dan landasan astronomi waktu shalat, serta praktek pembuatan jadwal waktu shalat. Sedangkan buku Pedoman Penentuan Jadwal Waktu Shalat Sepanjang Masa yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI, berisikan cara menghitung awal waktu shalat dengan dilampiri tabel-tabel jadwal awal waktu shalat sepanjang masa di beerapa wilayah di Indonesia.38 Almanak Hisab Rukyat39 memaparkan tentang perjalanan semu matahari yang relatif tetap maka dengan mudah memperhitungkan terbit, tergelincir dan terbenamnya matahari, demikian pula kapan matahari itu akan membuat bayang-
36
http://www.eramuslim.com/, yang diakses pada tanggal 22 April 2010 http://www.ilmufalak.or.id/ yang diakses pada tanggal 22 April 2010 38 Departemen Agama RI, Pedoman Penentuan Jadwal Awal Waktu Shalat Sepanjang Masa, Jakarta, 1994 39 Badan Hisab Rukyat Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyah, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1981 37
17
bayang suatu benda sama panjang dengan bendanya juga dapat diperhitungkan untuk tiap hari-hari sepanjang tahun dan tentunya orang akan mudah melakukan shalat hanya dengan melihat jadwal atau mendengar azan berdAsharkan perhitungan ahli hisab. Jadi jelas bahwa Almanak Hisab Rukyat ini hanya sekedar menggambarkan perjalanan matahari yang mana perjalanan matahari tersebut mempengaruhi masuknya awal waktu shalat. Almanak Djamilijah40 oleh Sa‟aduddin Djambek, pada bagian kedua buku ini memuat jadwal-jadwal lima waktu shalat dalam masa satu tahun, tetapi hanya pada tanggal 1, 5, 9, 13, 17, 21, 25, dan 29 pada tiap-tiap masehi. Dan dalam buku ini dilengkapi daftar koreksi, agar jadwal tersebut dapat digunakan di berbagai daerah. Kitab Ilmu Falak dan Hisab41 oleh KRM. Wardan, memuat teori berdasarkan ilmu yang berhubungan dengan tata surya, dan bola langit serta istilah-istilah lingkaran untuk menentukan posisi benda langit. Dan juga memuat praktik hisab untuk menentukan awal waktu shalat, arah kiblat, dan penggunaan rubu‟. Untuk kitabnya, ada kitab Khulashotul Wafiyah oleh KH. Zubair Umar Al Jailani, Sulamun Nayyirain, dan kitab-kitab lainnya. Thibyanul Miqat yang di dalamnya terdapat metode penentuan awal waktu shalat dengan menggunakan rubu‟. Untuk mengetahui istilah-istilah yang menggunakan bahasa asing yang terkait dengan persoalan hisab rukyah, maka penulis menelusurinya dalam Kamus 40 41
Sa‟aduddin Djambek, Almanak Djamilijah, Jakarta: Tintamas, 1953 KRM. Wardan, Kitab Ilmu Falak dan Hisab, Yogyakarta: cet I, 1957
18
Ilmu Falak karya Muhyiddin Khazin42, serta karya Susiknan Azhari yang berjudul Ensiklipedi Hisab Rukyah43. Selain karya-karya tersebut, penulis juga menelaah kumpulan materi pelatihan waktu shalat baik yang penulis ikuti sendiri maupun dari sumber-sumber yang terkait. Dari telaah pustaka tersebut, menurut penulis belum ada tulisan yang membahas secara spesifik tentang pengaruh data ketinggian tempat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat.
F. Metode Penelitian Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kualitatif,44 1. Sumber data Karena penelitian ini merupakan studi analisis terhadap urgensi ketinggian tempat yang penulis telusuri lewat pemikiran para ahli falak dan pendapat-pendapatnya, maka data-data yang dipergunakan lebih merupakan data pustaka. Ada dua macam data yang dipergunakan, yakni data primer dan data sekunder. a. Data primer yang dimaksud merupakan data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian. Data ini berupa dokumentasi yaitu berbentuk
42
Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005. Susiknan Azhari, Ensiklipedi Hisab Rukyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. 44 Adalah penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya, atau sebagaimana aslinya (natural setting), dengan tidak dirubah dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan. Penelitian kualitatif ini tidak bekerja menggunakan data dalam bentuk atau diolah dengan rumusan dan tidak ditafsirkan / diinterpretasikan sesuai ketentuan statistik/matematik. Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996, hlm. 174. 43
19
artikel, makalah seminar, atau buku karya para ahli falak, maupun wawancara dari beberapa ahli falak yang penulis angkat pemikirannya mengenai pengaruh ketinggian tempat dalam formulsai penentuan awal waktu shalat. b. Data Sekunder adalah data yang tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya atau bukan data yang datang langsung dari para ahli falak yang diangkat pemikirannya atau data-data yang terkait dengan penelitian ini, baik yang berbentuk artikel, makalah seminar, buku maupun wawancara. 2. Metode pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Library Research (studi kepustakaan) yakni melakukan penelusuran untuk
memperoleh
data-data
yang
ada
relevansinya
dengan
permasalahan. Seperti dokumen ataupun hasil penelitian mengenai awal waktu shalat, yaitu buku-buku awal waktu shalat maupun buku-buku falak secara umum, buku-buku astronomi dan juga buku-buku geodesi, serta karya-karya tulis terkait mengenai masalah penelitian dalam bentuk lainnya. b. Wawancara dengan para pihak yang berkaitan atau yang menguasai materi objek penelitian waktu shalat maupun ketinggian tempat, yaitu dengan ahli falak, yaitu Reza Zakariya dan Yazid (Lirboyo) terkait dengan kalender Lirboyo, Slamet Hambali terkait dengan kalender untuk daerah Semarang, Rinto Anugraha terkait dengan formulasi kerendahan
20
ufuk, Dr. Ing. Khafid terkait dengan ketinggian tempat serta beberapa pihak yang berkaitan dengan data ketinggian tempat. 3. Metode Analisis Data Dengan sifat penelitian deskriptif analisis kritis. Deskripsi (analisis dokumen/analisis
isi/content
analisis)
diperlukan
untuk
menjelaskan
kebenaran dan kesalahan dari suatu analisis yang dikembangkan secara berimbang dengan melihat kelebihan dan kekurangan obyek yang diteliti. Dalam konteks penelitian ini, penulis akan berusaha mendeskripsikan beberapa pemikiran tokoh falak, diantaranya Slamet Hambali, Abdur Rachim, M. Uzal Syahruna, dan Muhyiddin Khazin. Sehingga dengan menggunakan metode induktif komparatif akan mendapatkan akurasi dalam analisisnya. Metode induktif ini digunakan dalam rangka membuat konklusi yang dimuat dari hal-hal yang bersifat khusus menuju pembahasan yang bersifat umum. Metode komparatif penulis gunakan untuk mengkomparasikan pendapat antara ahli falak satu dengan yang lain yang berhubungan dengan skripsi ini.
21
G. Sistematika Penelitian Bab I
: Pendahuluan Bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan
Bab II : Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat Konvergensi Syar’i dan Sains serta Faktor yang Mempengaruhinya Bab ini meliputi landasan teori yang memuat dasar hukum waktu shalat yaitu dalil-dalil waktu shalat, penafsiran dan pendapat para ulama‟ tentang waktu shalat serta pembacaan awal waktu shalat secara astronomi yang kemudian dituangkan dalam formulasi rumus-rumus waktu shalat yang selama ini dipakai dalam perhitungan awal waktu shalat. Serta memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan awal waktu shalat, salah satunya ketinggian tempat. Bab III : Penggunaan Data Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat Bab ini meliputi sekilas tentang ketinggian tempat, pendapat beberapa ahli falak mengenai penggunaan ketinggian tempat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat. Disini penulis mencoba menelusurinya dengan melihat beberapa formulasi penentuan awal waktu shalat yang dipakai oleh beberapa ahli falak baik yang metode klasik maupun metode yang dipakai masyarakat sekarang ini. Pada bab ini juga akan dipaparkan jadwal awal waktu shalat sebagai hasil
22
perhitungan beberapa ahli falak berdasarkan penggunaan data ketinggian tempat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat tersebut. Bab IV : Analisis Terhadap Urgensi Ketinggian Tempat Dalam Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat
Analisis urgensi ketinggian tempat dalam formulasi penentuan waktu shalat.
Analisis formulasi penentuan awal waktu shalat yang ideal terkait formulasi kerendahan ufuk yang berbeda-beda
Analisis penggunaan waktu ihtiyat untuk mengatasi pengaruh ketinggian tempat dalam penyajian jadwal waktu shalat yang ideal.
Bab VI : Penutup Bab ini berisi jawaban dan kesimpulan atas rumusan masalah, saran, kritik dan kata penutup.
BAB II FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT KONVERGENSI SYAR’I DAN SAINS SERTA FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
A. Dasar Hukum Waktu Shalat 1. Dalil Waktu Shalat a. QS. An Nisa‟ ayat 103
Artinya: Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa‟: 103)37 b. QS. Thaha ayat 130
Artinya: Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang. (QS. Thaha: 130)38 37
Departemen Agama Republik Indonesia, loc cit, hlm. 138 Ibid, hlm. 492
38
23
24
c. QS. Al Isra‟ ayat 78
Artinya: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS. Al-Isra‟: 78)39
d. QS. Al Hud ayat 114
Artinya: Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatanperbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. (QS. Al Hud: 114)40
e. QS. Ar Rum ayat 17-18
Artinya: Maka bertasbihlah kepada Allah diwaktu kamu berada dipetang hari dan waktu kamu berada diwaktu Subuh. Dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan bumi dan diwaktu kamu berada pada petang hari dan diwaktu kamu berada diwaktu Dzuhur. (QS. Ar Rum: 17-18)41
39
Ibid, hlm. 436 Ibid, hlm. 344-345 41 Ibid, hlm. 643 40
25
f. Didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah r.a
)(رﻭاﻩ احﻤد ﻭاﻟﻨظائ ﻭاﻟتزﻣذﻯ Artinya : Dari Jabir bin Abdullah r.a berkata telah datang kepada Nabi SAW. Jibril a.s lalu berkata kepadanya bangunlah, lalu bersembahyanglah kemudian Nabi shalat Dzuhur dikala matahari tergelincir. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Ashar lalu berkata. Bangunlah lalu sembahyanglah kemudian Nabi shalat Ashar di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Maghrib lalu berkata bangunlah , kemudian Nabi shalat Maghrib dikala matahari terbenam. Kemudian datang lagi kepadanya di waktu Isya‟ lalu berkata : bangunlah dan shalatlah kemudian Nabi shalat Isya‟ dikala mega merah telah terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu fajar lalu berkata : bangun dan shalatlah, kemudian Nabi shalat fajar di kala fajar menyingsing, atau ia berkata: di waktu fajar besinar. Kemudian ia datang pula esok harinya pada waktu Dzuhur kemudian ia berkata padanya bangunlah lalu shalatlah kemudian Nabi shalat Dzuhur dikala bayang-bayang suatu sama dengannya. Kemudian datang lagi kepadanya di waktu Ashar dan ia berkata : bangunlah dan shalatlah kemudian Nabi shalat Ashar dikala bayang-bayang matahari dua kali
26
sesuatu itu. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Maghrib dalam waktu yang sama, tidak bergeser dari waktu yang sudah. Kemudian ia datang lagi di waktu Isya‟ di kala telah lalu separo malam, atau ia berkata telah hilang sepertiga malam, kemudian Nabi shalat Isya‟. Kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah bercahaya benar dan ia berkata bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi shalat fajar, kemudian Jibril berkata saat dua waktu itu adalah waktu shalat. (H.R Imam Ahmad, Nasai dan Thirmidzi) 42
g. Hadits Nabi Yang Diriwayatkan Abdullah Bin Amar R.A
ﻋﻦ ﻋﺑﺩ اﷲ ﺑﻦ ﻋﻣز زﺿﻰ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗاﻝ اﻦ اﻟﻧﺑﻰ ﺼﻠﻰ اﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭظﻟﻡ ﻗاﻝ ﻮﻗﺖ اﻟﻅﻬز اﺫا ساﻟﺖ اﻟﺷﻤص ﻮﻜاﻦ ﻈﻞ ﻜﻝ اﻟزﺟﻞ ﻜﻄﻮﻟﻪ ﻤاﻟﻡ ﻳﺤﺿز اﻟﻌﺼر ﻮﻮﻗﺖ اﻟﻌﺼر ﻤاﻟﻡ تﺻﻔز اﻟﺷﻤص ﻮﻮﻗﺖ ﺻﻼﺓ اﻟﻤﻐزﺏ ﻤاﻟﻡ ﻴﻐﺏ اﻟﺸﻔﻖ ﻮﻮﻗﺖ ﺻﻼﺓ اﻟﻌﺷاﺀ اﻠﻰ ﻨﺻﻒ اﻟﻳﻝ اﻻﻭظﻁ ﻭﻭﻗﺖ ﺼﻼﺓ اﻟﺻﺑﺢ ﻣﻦ ﻁﻠﻮﻉ اﻟﻔﺠز ﻤاﻟﻡ )تﻁﻟﻊاﻟﺷﻣص(رﻭاﻩ ﻣظﻠﻢ Artinya : Dari Abdullah bin Amar RA berkata: rsulullah bersabda: waktu Dzuhur apabila tergelincir matahari sampai bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya yaitu selama belum datang waktu Ashar dan waktu Ashar selama matahari belum menguning, dan waktu Magrib selama syafaq belum terbenam dan waktu Isya sampai pertengahan malam dan waktu Subuh mulai fajar menyingsiang sampai matahari belum terbit.(HR Muslim). 2. Kajian Tafsir dan Pendapat Ulama‟ a. Surat An-Nisa‟ Ayat 103 Dalam Tafsir al Misbah,44 (
ً ) كِتَاﺑاً َﻣﻮْﻗُﻮتاkitaban mauqutan dalam
surat An Nisa 103 diartikan sebagai shalat merupakan kewajiban yang tidak
42 43
Program Hadis Kutubus Sittah, اﻟﺠاﻣﻊ اﻟﺼﺤﻴﺢ ﻟﻠتزﻣذﻱ, kitab abwab as-shalat, no 001 Imam Muslim, Shohih Muslim, Beirut Libanon: Dar al-Kutub Ilmiah, jilid 2, 1994, hlm.
547 44
M.Quraisy Syihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, vol. 2, 2005, hlm. 570
27
berubah, selalu harus dilaksanakan, dan tidak pernah gugur oleh sebab apapun. Hal ini dipertegas oleh Tafsir Manaar45 bahwa sesungguhnya shalat itu telah diatur waktunya oleh Allah SWT. كتاﺑًاberarti wajib mua'kkad yang telah ditetapkan waktunya dilauhil mahfudz. ﻣﻮﻗﻮتًاdisini menunjukkan arti sudah ditentukan batasan-batasan waktunya. Dilanjutkan dengan keterangan Tafsir Ibnu Katsir,46 bahwa firman Allah Ta‟ala “Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditentukan waktunya bagi kaum mukmin” yakni difardhukan dan ditentukan waktunya seperti ibadah haji (maksudnya, jika waktu shalat pertama habis maka shalat yang kedua tidak lagi sebagai waktu shalat pertama, namun ia milik waktu shalat berikutnya. Oleh karena itu, orang yang kehabisan waktu suatu shalat, kemudian melaksanakannya diwaktu lain, maka sesungguhnya dia telah melakukan dosa besar. Pendapat lain mengatakan “silih berganti jika yang satu tenggelam, maka yang lain muncul” artinya jika suatu waktu berlalu, maka muncul waktu yang lain. Sedangkan, Az Zamakhsyariy mengatakan bahwa seseorang tidak boleh mengakhirkan waktu dan mendahulukan waktu shalat seenaknya baik dalam keadaan aman atau takut.47 Penggunaan lafaz “Kaanat” menujukkan ke-Mudawamah-an (continuitas) suatu perkara, maksudnya ketetapan waktu
45
Rasyid Ridho, Tafsir Manaar, Dar Al Ma‟rifah: Beirut, hlm. 383 Muhammad nasib Ar-Rifa‟i, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3. Gema Insani:Jakarta, hlm.292. 47 Lihat Az Zamakhsyariy, Tafsir Al Khasyaf, Beirut: Daar Al Fikr, 1997, juz I, hlm. 240 46
28
shalat tak akan berubah sebagaimana dikatakan oleh Al Husain bin Abu Al „Izz Al Hamadaniy.48 Maka konsekuensi logis dari ayat ini adalah shalat tidak bisa dilakukan dalam sembarang waktu, tetapi harus mengikuti atau berdasarkan dalil-dalil baik dari Al-Qur‟an maupun Al-Hadis. b. Surat Thoha Ayat 130 Quraisy Shihab dalam tafsirnya menyatakan bahwa ”Qabla Thulu‟i
asy-Syamsyi” sebelum matahari terbit mengisyaratkan shalat Subuh. ”Wa Qabla Ghurub” dan sebelum terbenamnya adalah shalat Ashar.49 Firman Allah ”wa min anaail al-lail” pada waktu-waktu malam menunjukkan shalat Maghrib dan Isya‟, namun sebagian ulama‟ menfsirkannya sebagai shalat tahajud pada saat malam.50 Sedang ”wa min athrafa an-nahar” pada penghujung-penghujung siang adalah shalat Dzuhur. c. Surat Al-Isra‟ Ayat 78 Dalam Tafsir Al Ahkam51 dijelaskan bahwa semua mufasir telah sepakat bahwa ayat ini menerangkan shalat yang lima dalam menafsirkan kata ﻟدﻟﻮﻙ اﻟﺸﻤضdengan dua pendapat, yaitu:
48
Al Husain bin Abu Al „Izz Al Hamadaniy, Al gharib fi I‟rab Al Qur‟ani, Qatar: Daar Ats Tsaqafah, juz I, hlm. 788 49 M. Quraish Shihab, op cit, vol. 8, hlm. 399-400 50 Muhammad Nasib Ar Rifa‟i, op cit, jilid 3, hlm. 1987. Surat Thaha ayat 130 ini dilatarbelakangi ketika Nabi Saw sedang duduk-duduk bersama para sahabat, beliau mengadahkan wajah ke langit melihat cahaya bulan, lalu berkata: ”Kalian melihat Tuhan seperti aku melihat bulan ini, jika kalian sanggup mengerjakan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam maka lakukanlah.” Lalu beliau membaca, ”Wa sabbih bi hamdi Rabbika qabla thulu‟i asy syamsi wa qabla ghurubiha.” Selengkapnya baca Al Wahidy, Asbabun Nuzul, Beirut: Dar Al Kutub Al Arabiyah, tt, hlm. 221 51 Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai. Tafsir Al-Ahkam, Kencana: Jakarta, 2006, cet I, hlm. 512
29
1. Tergelincir atau condongnya matahari dari tengah langit. Demikian diterangkan Umar bin Khatab dan putranya. 2. Terbenam matahari. Demikian diterangkan Ali bin Mas‟ud, Ubay bin Ka‟ab, Abu Ubaid, dan yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Ini dikuatkan lagi dengan redaksi ayat di atas yang meninggalkan perintah melaksanakan shalat sampai إﻟﻲ غظﻖ اﻟﻠﻴﻞyakni kegelapan malam. Demikian tentang al-Biqa‟i ulama syiah kenamaan, Thobatha‟i berpendapat, bahwa kalimat
ﻟدﻟﻮﻙ اﻟﺸﻤض إﻟﻲ غظﻖ اﻟﻠﻴﻞmengandung empat kewajiban
shalat, yakni ketiga yang disebut Al-Biqa‟i dan shalat isya yang ditunjuk oleh ghasaki lail. Kata إﻟﻲ غظﻖ اﻟﻠﻴﻞpada mulanya berarti penuh. Malam dinamai إﻟﻲ غظﻖ اﻟﻠﻴﻞkarena angkasa dipenuhi oleh kegelapannya.52 Sedangkan kata
ﻭﻗزأﻥ اﻟﻔﺠزdiartikan sebagai shalat Subuh.
Demikian disepakati juga oleh Auzair dan Abu Hanifah, Malik dan Syafi‟i, Ibnu Umar, Ibnu Mas‟ud, Al Hasan, Adh Dhahak dll. Atas dasar ini, maka saat shalat yang disebutkan dalam ayat di atas termasuk dalam shalat lima waktu. Adapun firman Allah “ mulai tergelincir matahari hingga gelap malam, mencakup shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib dan isya.53 d. Surat Hud Ayat 114 Ayat ini mengajarkan dan laksanakanlah shalat dengan teratur dan benar sesuai dengan ketentuan rukun, syarat dan sunnah. Pada kedua tepi
52 53
M. Quraish Shihab, op cit, vol: 7, hlm. 523 Muhammad Nasib Ar Rifa‟i, op cit, .hlm. 85
30
siang, yakni pagi dan petang, atau Subuh, zhuhur, dan Ashar dan pada bagian permulaan dari malam yaitu Maghrib dan Isya‟ dan juga bisa witir atau tahajud.54 Pada siang awal dan akhirnya, serta pada beberapa jam siang yang masuk ke dalam pembatasan waktu ini melengkapi semua waktu shalat, yaitu: Petang : waktu antara Dzuhur dan Maghrib, yaitu shalat Ashar, shalat Maghrib adalah Isya‟ yang pertama, dan „atamah‟ adalah Isya‟ yang kedua yaitu ketika mega merah telah menghilang. Yang
dimaksud
dengan
matahari
tergelincir
adalah
mulai
tergelincirnya matahari sampai ke permukaan malam masuk ke dalamnya, selain Shalat dzuhur adalah shalat Ashar, Maghrib, dan Isya‟.55 e. Surat Ar Rum ayat 17-18 Adh-Dhahak dan Said bin Jubair berkata, yang dimaksud dengan tasbih dalam ayat ini adalah shalat 5 waktu.56 “hiina tumsuuna” berarti waktu shalat Ashar; “hiina tushbihuun” adalah shalat Subuh; “wa „asyiyaa”
54
M. Quraish Shihab, op cit, vol. 6, hlm. 355-356. Dalam suatu riwayat dari Ibnu Mas‟ud r.a. dikemukakan bahwa seorang laki-laki setelah mencium seorang wanita secara tidak sah lalu datang menghadap Rasul dan menberitahukan peristiwa tersebut kapada Rasul. Maka wahyu Allah pun turun, (Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat). Laki-laki itu bertanya, “Apakah perintah itu khusus untukku?“ Nabi Saw menjawab,“Perintah itu untuk semua umatku (yang menghadapi masalah serupa)“. Lihat selengkapnya pada Hadis riwayat Bukhari no 327, dalam Irsadul al Sara Asy Syarah Shahih Al Bukhari, Beirut: Dar Al Fikr, tt, juz 1, hlm. 477 55 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al Qur‟anul Majid An-Nur. Semarang: Pustaka Rizki Putera, juz 12, 2000, hlm. 184-186 56 Muhammad nasib Ar-Rifa‟i, op cit, hlm. 759
31
diartikan sebagai bahagian malam, yaitu shalat waktu Maghrib dan Isya‟; “hiina tudzhiruun” diartikan sebagai shalat Dzuhur. 57 Dari beberapa penafsiran ayat-ayat tentang awal waktu shalat tersebut, maka para ulama sepakat bahwa waktu shalat terdiri dari 5 waktu shalat, yaitu Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya‟ dan Subuh. Meskipun sepakat bahwa waktu shalat terdiri dari 5 waktu shalat, namun sistem waktu shalat Syiah agak berbeda, yaitu Syiah dikenal dengan sistem tiga waktunya walaupun jumlah shalat yang dikerjakan sama pada umumnya yaitu lima shalat.58 Argumentasi yang dikemukakan oleh Syiah Itsna Asyariyah berkaitan dengan
waktu-waktu
tersebut
adalah
ayat-ayat
Al-Qur‟an
yang
mengemukakan tentang waktu shalat yang hanya menyebut tiga waktu. Yang dimaksud dengan طرفي النهارatau kedua tepi siang pada ayat tersebut adalah shalat Shubuh untuk tepi siang yang pertama. Sedangkan untuk tepi yang kedua adalah shalat Dzuhur dan Ashar. Sedangkan yang dimaksud dengan زلفا من الليلadalah shalat Maghrib dan Isya serta ayat-ayat lain yang dalam penafsirannya hampir serupa, yakni penggabungan 2 shalat dalam satu waktu. Jadi, berdasarkan penafsiran tersebut mereka memperbolehkan shalat dalam tiga waktu.59
57
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al Azhar, Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, jilid 7, hlm. 5496 58 Lihat pada Muhammad Jawad Maghniyah, Fiqh al-Imam Ja‟far ash-Shadiq, Juz 1, Qum: Muassasah Anshariyan li ath-Thiba‟ah wa an-Nasr, Cet. VII, 2007, hal. 142-145. 59 Dalam pandangan Syiah, setiap waktu shalat mempunyai dua waktu sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab rujukan mereka (Ushul al-Kafi, karya Syaikh Abu Ja'far Muhammad bin Ya'qub al-Kulaini ar-Razi; Man La Yahduruhu al-Faqih, karya ash-Shadiq Ibnu Babawaih alQummi; Al-Istibshar dan Tahdzib al-Ahkam karya Syaikh Abu Ja'far Muhammad Ibnu al-Hasan ath-Thusy). Dua waktu bagi setiap shalat adalah sebuah sistem waktu shalat yang memberikan dua waktu pilihan bagi setiap shalat, yaitu waktu tersendiri dan waktu bersama. Lihat pada M. Quraish
32
Meskipun demikian, sebagian besar ulama dan umat muslim (di Indonesia khususnya) lebih memilih sistem 5 waktu shalat. Dalam hal ini, waktu-waktu shalat tersebut yang akan dijelaskan lebih rinci dalam keterangan hadis-hadis dengan penjelasan para ulama‟ pada sub bab selanjutnya.
B. Formulasi Waktu Shalat Perspektif Syar’i dan Sains Pada dasarnya, banyak hadis yang memperjelas waktu shalat yang telah disebutkan dalam Al-qur‟an, namun penulis di sini hanya memngambil dua hadis yang menurut penulis jelas penggambarannya mengenai waktu shalat. Sebagaimana hadis riwayat Jabir bin Abdulla r.a. telah memberi gambaran kelima waktu shalat secara lebih jelas dengan posisi-posisi matahari yang menjadi patokan waktu. Matahari tidak hanya berfungsi menghangatkan biosfer bumi dengan cahayanya, namun dengan bayang-bayang benda atau tongkat istiwa matahari dapat berperan untuk mengatur ritme kewajiban dzikir manusia kepada Tuhannya. Dari kelima waktu shalat menggunakan matahari sebagai patokan dalam perhitungannya. Dalam penentuan waktu shalat, posisi matahari dalam koordinat horizon sangat diperlukan, terutama ketinggian atau jarak zenith.
Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkan?, Jakarta: Lentera Hati, 2007, hlm. 245. Jadi, setiap shalat boleh dikerjakan pada waktu tersendiri boleh juga dikerjakan pada waktu bersama. Waktu pilihan tersebut hanya berlaku untuk empat waktu shalat saja (tidak berlaku untuk waktu shalat Shubuh atau Fajar) yaitu Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Oleh karena itu, dalam sistem waktu shalat mereka dikenal tiga waktu, yaitu waktu Dzuhrain untuk shalat Dzuhur dan Ashar, waktu Isya‟ain untuk waktu Maghrib dan Isya‟ serta waktu fajar untuk shalat Shubuh. Pendapat tersebut mereka nyatakan dalam sebuah khabar yang berasal dari Imam Ja‟far ashShadiq. Lihat pada Abu Ja‟far Muhammad bin Hasan ath-Thusy, Al-Kutub al-Arba‟ah al-Ibtishar (1-4), Qum: Muassasah Anshariyan li ath-Thiba‟ah wa an-Nasr, Cet. I, 2005, hal. 102.
33
1. Shalat Dzuhur
…. … ﻗﻢ فﺼﻠﻪ فﺼﻠﻰ اﻟﻆﻩ ر حﻴﻦ ساﻟﺖ اﻟﺸﻤض. (kemudian Nabi shalat Dzuhur ketika matahari tergelincir)
.... …فﺼﻠﻰ اﻟﻈﻬز حﻴﻦ ﺻار ﻇﻞ كﻞ ﺷئ ﻣثﻠﻪ. (kemudian Nabi shalat Dzuhur dikala bayang-bayang suatu benda sama dengan aslinya).
… … ﻮﻗﺖ اﻟﻅﻬز اﺫا ساﻟﺖ اﻟﺷﻤص ﻮﻜاﻦ ﻈﻞ ﻜﻝ اﻟزﺟﻞ ﻜﻄﻮﻟﻪ ﻤاﻟﻡ ﻳﺤﺿز اﻟﻌﺼر (waktu Dzuhur apabila tergelincir matahari sampai bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya yaitu selama belum datang waktu Ashar) Para ahli fiqh memulai dengan shalat Dzuhur, karena ia merupakan shalat pertama yang diperintahkan (difardhukan). Kemudian setelah itu difardhukan shalat Ashar, kemudian Maghrib, lalu Isya‟, kemudian shalat Subuh secara tartib. Kelima shalat tersebut diwajibkannya di Makkah pada malam isra‟ setelah 9 tahun dari di utusnya Rasulullah. Hal demikian berdasarkan firman Allah surat Al-Isra‟ ayat 78.60
60
Muhammad Jawa Mughniyyah, Fiqih Lima Madzhab, Diterjemahkan oleh Masykur dkk dari Al-Fiqh „ala Al-Madzahib Al-Khamsah, Jakarta : Lentera, cet VI, 2007, hlm 74. Peristiwa isra„ mi‟raj disebutkan dalam surat Al-Isra„ ayat 1 dan terdapat penjelasan mengenai bertemunya Rasulullah dengan Jibril dalam bentuk aslinya dan kebesaran-kebesaran Allah yang disebutkan dalam surat An-Najm ayat 5-18. Sedangkan turunnya perintah shalat 5 waktu didapatkan dari Hadis riwayat Bukhari yang diriwayatkan dari Anas bin Malik. Dari hadis tersebut dikabarkan bahwa Rssul saat mi‟raj bertemu dengan dengan para nabi terdahulu dan turun perintah shalat 50 waktu dalam sehari-semalam. Dalam perjalanan kembali, Rasul bertemu dengan Nabi Musa yang selanjutnya memberi nasehat untuk meminta keringanan atas perintah shalat yang diterima Rasul, karena umat Rasul dinilai tidak akan sanggup mengerjakannya sebagaimana Nabi Musa mencobakannya pada umat dari Bani Israil terdahulu. Oleh karena itu diceritakan bahwa Rasul meminta keringanan beberapa kali kepada Allah sehingga perintah shalat menjadi 5 waktu dalam sehari-semalam. Sebenarnya Nabi Musa masih menyarankan agar Rasul meminta keringan lagi, namun Rasul menolak dan berkata,“Aku telah meminta terlalu banyak dari Tuhanku dan itu membuatku malu. Tapi aku rasa sekarang aku gembira dan berserah diri kepada perintah Allah.“ Dan ketika Rasul pergi, beliau mendengar suara berkata “Aku telah memberikan perintahKu dan telah mengurangi beban para hambaKu“. Selengkapnya lihat pada Hadis riwayat Bukhari no. 349 dalam Al Jami„ Shahih Al Bukhari, Beirut: Dar Al Fikr, tt, hlm. 382. Hadis ini dinalai shahih dengan sanad Yahya bin Abu Bukair, Lais bin Su‟dan, Yunus, dan Muslim bin Abdullah bin
34
Pada hadis pertama yang diriwayatkan oleh Jabir, disebutkan bahwa Jibril datang menyuruh Nabi shalat dzuhur pada hari pertama setelah tergelincir matahari, dan datang lagi diwaktu Ashar saat bayangan benda sama dengan benda tersebut. Pada hari kedua, Jibril datang menyuruh shalat Dzuhur pada waktu bayangan benda sama dengan benda itu sendiri, tepat pada waktu melakukan shalat Ashar pada hari pertama.61 Sedangkan pada hadis kedua dijelaskan bahwa waktu Dzuhur ialah bila matahari sudah tergelincir; atau oleh ulama lain diartikan condong ke Barat; hingga bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya atau saat bayangbayang suatu benda sama panjangnya dengan benda tersebut. Kata “ka-na” diathafkan terhadap kata “za-lat”, yang maksudnya waktu Dzuhur itu tetap berlangsung hingga terjadi bayangan orang sama dengan tinggi badannya, selama belum masuk waktu Ashar. Inilah batasan bagi permulaan dan akhir waktu Dzuhur.62 Dalam hal ini, para ulama‟ sependapat bahwa penentuan awal waktu Dzuhur, adalah pada saat tergelincirnya matahari. Sementara dalam menentukan akhir waktu Dzuhur, ada beberapa pendapat yaitu sampai panjang bayang-bayang sebuah benda sama dengan panjang bendanya (menurut Imam
Syihab yang dianggap muttasil dan dikenal sebagai perawi-perawi yang dapat dipercaya. Lihat pada Syekh Syihabuddin Abi al Fadhal Ahmad bin Ali bin Hajar Al Asqalani, Tahdzib al Tahdzib, Beirut: Dar Al Kitab Al Islami, 852 H, hlm. 178-445. Dan juga lihat pada Syekh Islam Abi Muhammad Abd Rahman bin Abi Hatim Muhammad, Al Jarah wa Ta‟dil, Beirut: Dar Al Kutub, 1373 H, hlm. 247, serta lihat pula Imam Hafiz Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz Dzahbi, Mizan Al I‟tidal, Beirut: Dar Al Kutub Al Islamiyah, tt, hlm. 515. 61 Abu Bakar Muhammad, Subulus Salam, Surabaya: Al-Ikhlas, hlm. 306 62 Ibid, hlm. 305
35
Malik, Syafi‟I, Abu Tsaur dan Daud). Sedangkan pendapat Imam Abu Hanifah ketika bayang-bayang benda sama dengan dua kali bendanya.63 Secara astronomis, tergelincirnya matahari diwaktu Dzuhur dapat dikatakan bahwa matahari sedang berkulminasi atas, yaitu ketika matahari meninggalkan meridian. Secara ilmu pasti ialah pada saat titik pusat matahari bergerak dari meridian, atau saat bayang-bayang benda condong ke arah Timur dan sudut yang dihasilkan dengan garis i‟tidal (garis timur-barat) bukan lagi 90°. 64 Tinggi kulminasi matahari setiap hari berubah, karena adanya deklinasi. Untuk mengetahui besarnya tinggi kulminasi, harus diketahui lebih dahulu zm matahari, yaitu jarak titik pusat matahari saat kulminasi dari zenith yang dapat diperoleh dengan rumus, 𝑧𝑚 = [𝜑 – 𝛿 ]. Dengan kata lain, jarak zenith titik pusat matahari saat kulminasi besarnya sama dengan harga mutlak lintang tempat dikurangi deklinasi. Oleh karena itu, dalam penentuan awal waktu shalat, maka dapat dirumuskan bahwa jarak zenit (bu‟du as-sumti), ℎ = 90° – 𝑧𝑚.65 Atau biasanya diambil dua menit setelah tengah hari.66 Dan beberapa hisab praktis, hanya menghitung waktu tengah antara terbit dan tenggelam matahari. waktu pertengahan saat matahari berada di meridian
63
Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujatahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, di terjemahkan oleh Imam Ghazali dkk, dari Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Jakarta : Pustaka Amani, 2007, hlm. 66 64 Abd. Rachim, Op cit, hlm. 23 65 Ibid, hlm. 14-15 66 Moedji Raharto Tarmi, op cit, yang dikutip dari Mohammad Ilyas, A Modern Guide to Islamic Calendar, Times & Qibla, 1984, hlm. 55
36
(Meridian Pass) yang dirumuskan dengan 𝑀𝑃 = 12 – 𝑒.67 Waktu inilah yang menjadi patokan hitungan untuk waktu-waktu shalat lainnya. 2. Shalat Ashar
.…… فﺼﻠﻰ اﻟﻌﺼز حﻴﻦ ﺻار ﻇﻞ كﻞ ﺷﻴئ ﻣثﻠﻪ. (kemudian Nabi shalat Ashar ketika bayag-bayang suatu benda sama dengan aslinya) ….… فﺼﻠﻰ اﻟﻌﺼز حﻴﻦ ﺻار ﻇﻞ كﻞ ﺷئ ﻣثﻠﻪ. (kemudian Nabi shalat Ashar ketika bayang-bayang suatu benda dua kali dari aslinya)
…. … ﻮﻮﻗﺖ اﻟﻌﺼر ﻤاﻟﻡ تﺻﻔز اﻟﺷﻤص. (dan waktu Ashar selama matahari belum menguning) Meskipun secara garis besar dapat dikatakan bahwa awal waktu Ashar adalah sejak bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya, tapi hal ini masih menimbulkan beberapa penafsiran. Dalam hadis riwayat Jabir bin Abdullah r.a Nabi Saw diajak shalat Ashar oleh malaikat Jibril ketika panjang bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya dan pada keesokan harinya Nabi diajak pada saat panjang bayangan dua kali tinggi benda sebenarnya.68 Menurut Imam Malik akhir waktu Dzuhur adalah waktu musyatarok (waktu untuk dua shalat), Imam Syafi‟i, Abu Tsaur dan Daud berpendapat akhir waktu Dzuhur adalah masuk waktu Ashar; yaitu ketika panjang bayangbayang suatu benda melebihi panjang benda sebenarnya. Sedangkan Abu
67 68
Muhyiddin Khazin, op cit, hlm. 88 Muhammad Jawa Mughniyyah, op cit, hlm. 74
37
Hanifah berpendapat bahwa awal waktu Ashar ketika bayang-bayang sesuatu sama dengan dua kali bendanya.69 Dan dalam penetapan akhir waktu shalat Ashar juga ada perbedaan antara hadits Imamatu Jibril dengan hadits Abdillah, yaitu yang pertama dalam hadits Imamatu Jibril sesungguhnya akhir waktu Ashar itu adalah ketika benda itu sama dengan dua kali bayang-bayangnya (pendapat Imam Syafi‟i)70, dalam hadits Abdillah sebelum menguningnya matahari (pendapat Imam Ahmad bin Hambal), dan dalam hadist Abu Hurairah akhir waktu Ashar sebelum terbenamnya matahari kira-kira satu raka‟at (pendapat Ahli Dhahir).71 Kedua waktu masuknya waktu Ashar ini dimungkinkan karena fenomena seperti itu tidak dapat digeneralisasi akibat bergantung pada musim atau posisi tahunan matahari. Pada musim dingin hal itu bisa dicapai pada waktu Dzuhur, bahkan mungkin tidak pernah terjadi karena bayangan selalu lebih panjang dari pada tongkatnya. Sementara pendapat yang memperhitungkan panjang bayangan pada waktu Dzuhur atau mengambil dasar tambahannya dua kali panjang tongkat (di beberapa negara Eropa) dianalisir sebagai solusi yang dimaksudkan untuk
69
Lihat pada Syamsudin Sarakhsi, Kitab Al-Mabsuth Juz 1-2, Beirut Libanon : Darul Kitab Al-Ilmiyah, hlm 143. Dalam kitab ini disebutkan bahwa, 70
Menurut Imam Syafi‟i dalam kitabnya Al-Umm, waktu Ashar dalam musim panas yaitu ketika bayangan benda sama dengan bendanya atau satu kali bayangan benda sampai ketika habisnya waktu Dzuhur Awal waktu Ashar adalah bila bayang-bayang tongkat panjangnya sama dengan panjang bayangan waktu tengah hari ditambah satu kali panjang tongkat sebenarnya. Lihat pada Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Idris Asy-Syafi‟i, Al-Umm, Beirut-Libanon : Dar AlKitab, Juz I, tt, hlm 153. 71 Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit, hlm. 205.
38
mengatasi masalah panjang bayangan pada musim dingin.72 Untuk masyarakat Indonesia sendiri, digunakan pendapat yang pertama, yaitu masuknya waktu Ashar adalah saat bayang-bayang seseorang atau suatu benda sama dengan seseorang atau benda tersebut. Secara astronomis dapat digambarkan sebagai berikut: AB = tongkat tegak lurus sepanjang a Saat kulminasi, bayang-bayang ujung tongkat A jatuh pada titik C. Bayang seluruhnya ialah B-C yang panjangnya b. CAm menuju pada titik pusat matahari sewaktu di meridian. Jadi sudut zAm ialah jarak dari titik zenith ke titik pusat matahari yang dinamakan zm. Bila matahari bergerak ke Barat melewati titik kulminasi dan kedudukannya semakin rendah, mis. di titik as, maka bayangan tongkat AB semakin panjang. Pada awal Ashar, panjang bayangan itu adalah BCD, yaitu BC + CD. Jadi panjang bayang-bayang AB waktu Ashar = b + a.
72
Departemen Agama RI, op cit, (Penentuan Jadwal Waktu Shalat Sepanjang Masa), hlm 29. Sedangkan Saadoe‟ddin Djambek dalam pendapatnya menyatakan bahwa di antara dua pendapat antara Imam Hanafi dan Syafi‟i yang dijadikan landasan dalam penentuan awal waktu salat Ashar adalah pendapat Imam Hanafi dengan alasan pendapat Imam Hanafi juga mempertimbangkan daerah-daerah kutub, dimana matahari pada awal Dzuhur tidak begitu tinggi kedudukannya di langit dan dalam keadaan demikian bayang-bayang memanjang lebih cepat dari pada ketika matahari pada tengah hari berkedudukan tinggi di langit seperti di negeri kita. Jika kita menggunakan pendapat Syafi‟i sebagai syarat masuknya awal waktu Ashar maka masuknya waktu Asar akan lebih cepat dan akibatnya waktu Dzuhur menjadi terlalu pendek dan waktu Asar akan terlau panjang. Selengkapnya baca Wahbah az-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, cet. II Beirut : Dar al-Fikr, 1989, I : 509. Baca juga Hasbi ash-Shiddiqie. Pedoman Salat, cet. X , Jakarta : Bulan Bintang, 1978, hlm. 128. Perhatikan pula Saadoe'ddin Jambek, Salat dan Puasa di daerah Kutub, cet. I, Jakarta : Bulan Bintang, 1974, hlm 9.
39
Z S
m
A
a
C b
a
D
B
Gambar 1. Bayangan waktu Ashar
Sudut ABD ialah tinggi matahari pada awal waktu Ashar, cotg Δ ADB
= BD/AB
cotg Δ ADB
=
b a
b +a a
b
b
b
a
a
a
= + = +1
ialah tan Δ BAC atau tg Δ zAm, jadi tan zm.
sehingga diperoleh rumus:
𝑐𝑜𝑡𝑔 ℎ𝑎 = 𝑡𝑎𝑛 𝑧𝑚 + 1 Cotangent tinggi Ashar sama besarnya dengan tangens jarak zenith titik pusat matahari sewaktu berkulminasi, ditambah dengan bilangan satu. Adapun akhir waktu Ashar adalah ketika terbenamnya matahari.73 3. Shalat Maghrib
….… فﺼﻠﻰ اﻟﻤﻐزﺏ حﻴﻦ ﻭﺟبﺖ اﻟﺸﻤض. (Nabi shalat Magrib ketika matahari terbenam)
….… ﻣثﻠﻪ ثﻢ ﺟاءﻩ اﻟﻤﻐزﺏ ﻭﻗتا ﻭاحدا ﻟﻢ ﻳشﻝ ﻋﻨﻪ. (kemudian datang lagi kepada-Nya diwaktu Magrib dalam waktu yang sama tidak bergeser dari waktu yang sudah) 73
Abdr. Rachim, op cit, hlm. 24-25
40
…. …ﻮﻮﻗﺖ ﺻﻼﺓ اﻟﻤﻐزﺏ ﻤاﻟﻡ ﻴﻐﺏ اﻟﺸﻔﻖ. (dan waktu magrib selama syafaq belum terbenam) Dari kedua hadis, ada kesepakatan bahwa awal waktu Maghrib adalah ketika matahari terbenam. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang akhir waktu shalat Maghrib. Imam Hanafi, Hambali, dan Syafi‟i, berpendapat bahwa waktu Maghrib adalah antara tenggelamnya matahari sampai tenggelamnya mega atau sampai hilangnya cahaya merah di arah barat.74 Sedangkan Imam Maliki berpendapat, sesungguhnya waktu Maghrib sempit, ia hanya khusus dari awal tenggelamnya matahari sampai di perkirakan dapat melaksanakan shalat Maghrib itu, yang termasuk di dalamnya, cukup untuk bersuci dan adzan dan tidak boleh mengakhirkanya (mengundurnya) dari waktu ini, ini hanya pendapat Maliki saja.75 Secara astronomi, terbenamnya matahari yang menjadi tanda masuknya awal waktu Maghrib ialah ketika seluruh piringan matahari berada di bawah ufuk yang biasa dikatakan posisi matahari -1°. Pada saat tersebut, garis ufuk bersingungan dengan piringan matahari bagian atas. Sedangkan besar jarak titik pusat matahari ke ufuk ialah seperdua garis tengah matahari. Garis tengah matahari rata-rata ialah 32‟, jadi jarak titik pusat matahari ke ufuk ialah
74
1
2
×
Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit,
hlm. 206 75
Muhammad Jawa Mughniyyah, op cit, hlm.75. Untuk akhir waktu Maghrib, ada riwayat mengatakan pada hilangnya mega merah (Asy Syafaq Al Ahmar) menurut Qoul Jadid yang sependapat dengan Abu Ishaq, Ats Tsaury, Abu Tsaur, Ashab Ar Ra‟yi dan sebagian Ashab Asy Syafi‟i. Dan ada juga riwayat yang mengatakan bahwa waktu Maghrib hanya seukuran Wudhu, adzan, iqamat, shalat Maghrib, dzikir dan shalat sunnah dua raka‟at. Pendapat kedua ini menurut Qaul Qadim Imam Syafi‟i.
41
32 = 16‟.76 Oleh karena itu, dalam penentuan waktu Maghrib diformulasikan dengan menambah jarak titik pusat matahari tersebut; atau yang biasa disebut dengan semidiameter matahari; dengan koreksi reraksi yang menggunakan data refraksi rata-rata pada saat Maghrib senilai 0° 34‟; serta kerendahan ufuk. Sehingga diperoleh rumus untuk mencari tinggi matahari (ho) pada saat Maghrib adalah sebagai berikut: ho = - (ku + ref + sd) 4. Shalat Isya‟
….…فﺼﻠﻰ اﻟﻌﺸاء حﻴﻦ غاﺏ اﻟﺸﻔﻖ. (kemudian Nabi shalat Isya‟ ketika mega merah telah terbenam)
... ﺟاءﻩ اﻟﻌﺸاء حﻴﻦ ﺫﻫب ﻧﺼﻒ اﻟﻠﻴﻞ اﻭﻗاﻝ ثﻠث اﻟﻠﻴﻞ فﻘاﻝ ﻗﻢ فﺼﻠﻪ فﺼﻠﻰ اﻟﻌﺸاء... (kemudian datang lagi kepadanya di waktu Isya dikala telah lewat separuh malam atau ia berkata telah hilang sepertiga malam, kemudian Nabi shalat Isya‟)
….…ﻮﻮﻗﺖ ﺻﻼﺓ اﻟﻌﺷاﺀ اﻠﻰ ﻨﺻﻒ اﻟﻳﻝ اﻻﻭظﻁ. (dan waktu Isya‟ sampai pertengahan malam) Permulaan waktu Isya‟ dari keterangan hadis tersebut dapat diketahui bahwa pada saat hilangnya mega merah dan berlangsung hingga tengah malam. Namun, dari kedua hadis tersebut, hadis kedua menyebutkan bahwa batas waktu Isya‟ hingga tengah malam. Sedangkan pada hadis pertama, disebutkan bahwa Jibril baru datang ;dihari kedua; ketika telah lewat separuh malam atau sepertiga malam, kemudian Nabi shalat Isya‟. Dari situ, ada tiga pendapat untuk batas waktu Isya‟, yang pertama sampai sepertiga malam (menurut 76
Abd. Rachim, op cit, hlm. 26
42
Syafi‟i dan Abu Hanifah), kedua sampai separoh malam (menurut Imam Malik), dan terakhir sampai terbit fajar (menurut imam Daud).77 Di Indonesia, para ulama sepakat bahwa waktu Isya‟ ditandai dengan mulai memudarnya mega merah (asy-Syafaq al-Ahmar) di bagian langit sebelah barat, yaitu tanda masuknya gelap malam. Peristiwa ini dalam falak ilmiy dikenal sebagai akhir senja astronomi (astronomical twilight).78 Secara astronomis, apabila matahari telah di bawah ufuk, cahaya yang langsung mengenai bumi telah tidak ada, yang ada hanya cahaya yang dipantulkan dan dibiaskan oleh partikel-partikel halus yang berada di udara hingga mencapai mata pengamat. Kadar penyebaran cahaya oleh partikelpartikel tersebut berbanding sebagai kebalikan pangkat empat panjang gelombang. Gelombang yang terpendek ialah sinar biru, sedangkan yang
77
Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit, hlm. 210. Pendapat pertama bahwa akhir waktu Isya„ adalah pada pertengahan malam dilansir oleh Ats Tsaury, Ashab ar Ra‟yi (ulama yang condong pada akal dalam proses ijtihadnya), Ibnu Al Mubarak, Ishaq bin Rawaih dan Abu Hanifah. Sedangkan akhir waktu Isya„ ialah sepertiga malam seperti yang dilansir oleh Umar bin Khattab, Abu Hurairah, Umar bin Abdul Aziz dan Asy Syafi‟i (pada salah satu riwayat dari Ishaq bin Ibrahim dari Jarir dari Manshur). Untuk akhir waktu Isya„ saat terbitnya fajar sebagaimana dilansir oleh Asy Syafi‟i (pada riwayat lain), Abdullah bin Abbas, Atha„, Thawus, Ikrimah dan Ahlu Ar Rifahiyyah. Selengkapnya lihat pada Sa‟id bin Muhammad Ba‟asyun, Busyr Al Karim Syarh Al Muqadimah Al Hadhramiyah, Beirut: Dar Ihya Al Kutub Al Arabiyah, tt, hlm. 56 78 There is one phenomenon that lengthens the fraction of the day given over to daylight. Even after the sun has set, some sunlight is received by the observer, scattered and reflected by the earth‟s asmosphere. As the sun sinks further below the horizon, the intensity of this light diminishes. The phenomenon is called twilight and is classified as civil, nautical or astronomical twilight. Civil twilight is said to end when the sun‟s centre is 6° below horizon, nautical twilight ends when centre 12° below the horizon, while astronomical twilight ands when the centre of the sun‟s is 18° below the horizon. Twilight is a nuisance, astronomically speaking, often preventing the observation of very faint celestial objects. We shall see below that in some latitudes during part of the year, twilight is indeed continuous throughtout the night, evening and morning twilight merging because the sun‟s centre at all times of the night is less than 18° below the horizon. Lihat A. E. Roy, D. Clarke, Astronomy Principles and Practise, published by Adam Hilger, Bristol: Techno House, 1936,, hlm. 83.
43
paling panjang adalah sinar merah. Sinar merah ini yang biasa disebut mega merah.79 Waktu Isya‟ dapat diketahui pada saat peristiwa dusk astronomical twilight, yaitu ketika langit tampak gelap karena cahaya matahari di bawah ufuk tidak dapat lagi dibiaskan oleh atmosfer. Dalam referensi standar astronomi, sudut altitude untuk astronomical twilight adalah 18° di bawah ufuk, atau sama dengan -18°.80 Hal ini berarti, bayangan merah setelah terbenamnya matahari tidak terlihat lagi jika matahari berada pada 18° di bawah ufuk (-18°), dengan jarak pusat matahari sama dengan 108° (posisi matahari tenggelam 90° + 18°). Ketentuan h Isya‟ -18° ini dipegang oleh Saadoeddin Djambek dan dalam beberapa keterangan-keterangan pada berbagai kesempatan oleh Abdur Rachim serta Husen kamluddin.81 5. Shalat Subuh
….…فﺼﻠﻰ اﻟﻔﺠز حﻴﻦ ﺑزق اﻟﻔﺠز اﻟﻔﺠز اﻭ ﻗاﻝ طﻄﻊ اﻟبﺤز. (lalu Nabi shalat Fajar dikala fajar menyingsing atau ia berkata diwaktu fajar bersinar)
….…ﺟاءﻩ حﻴﻦ اطﻔز ﺟدا فﻘاﻝ ﻗﻢ فﺼﻠﻪ فﺼﻠﻰ اﻟﻔﺠز. (kemudian ia datang lagi kepada-Nya dikala telah bercahaya benar dan ia berkata: bangunlah dan shalatlah kemudian Nabi shalat Fajar)
….…ﻭﻭﻗﺖ ﺼﻼﺓ اﻟﺻﺑﺢ ﻣﻦ ﻁﻠﻮﻉ اﻟﻔﺠز ﻤاﻟﻡ تﻁﻟﻊاﻟﺷﻣص.
79
Abd Rachim, op cit, hlm. 38-39 Rinto Anugraha, dalam artikel yang ditulis, Cara Menghitung Waktu Shalat, yang diakses di www.eramuslim.com pada tanggal 13 November 2010 81 Saadoe‟ddin Djambek, Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa, Jakarta: Bulan Bintang, 1394, hlm. 32 80
44
(dan waktu Subuh mulai fajar menyingsiang sampai matahari belum terbit) Kedua hadis telah jelas menyebutkan bahwa waktu Subuh adalah waktu mulai terbitnya fajar shadiq dan berlangsung hingga terbitnya matahari. Para ahli fiqh sepakat dengan pendapat tersebut, meskipun ada beberapa ahli fiqh Syafi‟iyah yang menyimpulkan bahwa batas akhir waktu Subuh adalah sampai tampaknya sinar matahari.82 Fajar shadiq83
dapat dipahami sebagai dawn astronomical twilight
(fajar astronomi), yaitu ketika langit tidak lagi gelap dimana atmosfer bumi mampu membiaskan cahaya matahari dari bawah ufuk. Cahaya ini mulai muncul di ufuk timur menjelang terbit matahari pada saat matahari berada sekitar 18° di bawah ufuk (atau jarak zenit matahari=108° derajat). Pendapat lain menyatakan bahwa terbitnya fajar sidik dimulai pada saat posisi matahari 20° derajat di bawah ufuk atau jarak zenit matahari adalah 110° (90° + 20°).84 Di Indonesia pada umumnya, Subuh dimulai pada saat kedudukan matahari 20° derajat di bawah ufuk hakiki (true horizon). Hal ini bisa dilihat misalnya pendapat ahli falak terkemuka Indonesia, yaitu Saadoe‟ddin Djambek disebut-sebut oleh banyak kalangan sebagai mujaddid al-hisab (pembaharu pemikiran hisab) di Indonesia. Beliau menyatakan bahwa waktu Subuh dimulai dengan tampaknya fajar di bawah ufuk sebelah timur dan berakhir dengan terbitnya matahari. Menurutnya dalam ilmu falak saat tampaknya fajar 82
Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit,
hlm. 213 83
Fajar shidiq disebabkan oleh hamburan cahaya matahari di atmosfer atas. Berbeda dengan fajar kidzib (cahaya zodiak), yang disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debudebu antarplanet. 84 Abd Rachim, op cit, hlm.39
45
didefinisikan dengan posisi matahari sebesar 20° dibawah ufuk sebelah timur.85 Sementara itu batas akhir waktu Subuh adalah waktu Syuruq (terbit), yaitu -1°.
C. Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat Data yang diperlukan untuk menghitung awal waktu shalat, adalah sebagai berikut : 1. Meridian Pass (MP) Saat matahari berkulminasi dinyatakan dengan istilah Meridian Pass (MP). Data saat kulminasi matahari dapat diperoleh dengan cara mengurangi Waktu Hakiki (waktu matahari) dengan Perata Waktu (Equation of Time yang disimbolkan dengan e). Dengan demikian MP dapat dirumuskan, MP = Kulminasi – equation of time atau lebih sederhananya, MP = 12 – e.86 Waktu hakiki atau waktu matahari selalui menunjukkan pukul 12.00 pada saat matahari berkulminasi. Padahal perjalanan harian matahari itu sebenarnya tidak benar-benar rata. Adakalanya lambat dan adakalanya cepat. Satu putaran kadang ditempuh dalam 24 jam tepat, kadang kurang, dan kadang lebih. Akibatnya Waktu Hakiki itu boleh jadi berselisih beberapa menit dengan Waktu Pertengahan, atau jam arloji, yang jalannya benar-benar rata. Selisih
85
Saadoe‟ddin Djambek, op cit, hlm. 45. Untuk h matahari saat terbitnya fajar shadiq dan fajar kidzib sendiri terdapat perbedaan dari beberapa kalangan ahli falak dan ahli astronomi. Abu Raihan Al Biruni berpendapat h matahari untuk waktu Subuh adalah sekitar -15° hingga -18°. Dalam Al-khulashatul Wafiyah fil falaki Jadawidil Lughritimiyah (Zubair umar al-jaelani) hlm. 176, dan Ilmu Falak (Kosmografi) (P. Sima-Mora) hlm.82 disebutkan bahwa h matahari saat Subuh adalah -18°. Sedangkan dalam Taqribul Maqshad fil „amali bir rubu‟il Mujayyab (Muhammad Muhtar bin Atharid al-Jawi al-Bogori) hlm. 20, ad-Durusul Falakiyah (Muhammad Ma‟shumm bin Ali al-Maskumambangi) hlm.12, dan Ilmu Hisab dan Falak (KRT Muhammad Wardan Diponingrat) hlm. 72, menyebutkan bahwa h matahari saat Subuh adalah -19° sebagaimana Ibnu Yunus, Al Khalily, Ibnu Syathhir dan Ath Thusiy.. 86 Muhyiddin Khazin, Loc cit
46
antara Waktu Hakiki dengan Waktu Pertengahan itu disebut Perata Waktu. Jika perjalanan matahari itu lambat maka nilai perata waktu negatif (-), dan jika perjalanan matahari cepat maka harga perata waktunya positif (+). 2. Sudut Waktu Matahari Awal Waktu Shalat ( t ) Dinamakan sudut waktu, karena bagi semua benda langit yang terletak pada lingkaran waktu yang sama akan berkulminasi pada waktu yang sama pula (atau jarak waktu yang memisahkan benda langit tersebut dari kedudukannya sewaktu berkulminasi sama). Besarnya sudut waktu itu menunjukkan berapakah jumlah waktu yang memisahkan benda langit tersebut dari kedudukannya sewaktu berkulminasi. Jika benda langit sedang berkulminasi, maka harga t-nya = 0°. Besar t diukur dengan derajat sudut dari 0° -180° dan selalu berubah ± 15°/ jam, karena gerak harian benda-benda langit.87 Sudut waktu adalah sudut yang dibentuk oleh setiap lingkaran waktu dengan lingkaran meridian. Sudut waktu matahari adalah jarak matahari dari titik kulminasi diukur sepanjang lintasan harian. Sudut waktu disebut juga Hour Angle atau dalam bahasa Arab disebut fadl al-daair. Sudut waktu ada dua macam : a. Sudut waktu Positif (+) yaitu sudut waktu untuk benda langit yang sudah melewati titik kulminasinya, dari 0 sampai 180. b. Sudut waktu Negatif (-) yaitu sudut waktu untuk benda langit yang belum melewati titik kulminasinya, dari 0 sampai -180.
87
Abd Rachim, op cit, hlm. 7
47
Rumus Sudut Waktu Matahari Awal Waktu Shalat ( t ) : 88 𝐶𝑜𝑠 𝑡 = 𝑠𝑖𝑛 ℎ ÷ 𝑐𝑜𝑠 Ф ÷ 𝑐𝑜𝑠 𝛿 − 𝑡𝑎𝑛 Ф 𝑥 𝑡𝑎𝑛 𝛿 Keterangan: t = Sudut waktu Ф = Lintang Tempat δ = Deklinasi Matahari h = Ketinggian Matahari
3. Koreksi Waktu Daerah (KWD) Untuk memindahkan waktu istiwa‟ yang dihasilkan oleh perhitungan awal waktu shalat yang menggunakan data-data GMT, maka harus dilakukan koreksi untuk mengetahui waktu setempat. Rumus koreksi waktu daerah : (dh - tp)÷15 Keterangan: λdh: Bujur Daerah λtp : Bujur Tempat
Sebagai upaya dalam mengatasi kesulitan karena adanya perbedaan waktu pada setiap wilayah di dunia, maka dibentuk waktu daerah yang disesuaikan menurut bujur daerah tersebut yang berpedoman dengan meridian yang melintasi kira-kira pada pertengahan daerah bersangkutan. Bujur daerah Indonesia sendiri sejak tanggal 1 Januari 1964 terbagi menjadi 3 bagian, yaitu: a. Waktu Indonesia Barat: 105º dengan zona waktu GMT + 7j b. Waktu Indonesia Tengah: 120º dengan zona waktu GMT + 8j c. Waktu Indonesia Timur: 135º dengan zona waktu GMT + 9j 88
Muhyiddin Khazin, op cit, hlm. 81
48
Sebagai batas diantara bujur daerah-daerah waktu tersebut diambil dari garis bujur yang terdapat pada pertengahan meridian-merdian waktu daerah yang berbatasan yang juga ditentukan oleh perbatasan pemerintahan dari daerah tersebut.89 4. Ihthiyat Ialah suatu langkah pengamanan dengan cara menambahkan atau mengurangkan waktu agar jadwal waktu shalat tidak mendahului awal waktu atau akhir waktu.90 Ihtiyat dari segi kegunaannya dibagi menjadi tiga, yaitu:91 a. Ihtiyat guna luasnya daerah, berarti memindahkan meridian yang kita pedomani ke batas sebelah barat ataupun sebelah timur dari daerah hisab. Hal ini digunakan untuk mempertimbangkan perbedaan waktu shalat antara daerah bagian timur dan barat yang biasanya terdapat selisih dalam berbuka puasa. Ihtiyat ini juga digunakan untuk menentukan lintang dan bujur suatu tempat yang biasanya diukur dari suatu titik (markaz) di pusat kota yang mewakili daerah tersebut. b. Ihtiyat guna koreksi sesaat dalam hasil hisab, digunakan untuk mengoreksi atas data-data yang kita ambil sebagai ketelitian. c. Ihtiyat guna keyakinan, digunakan untuk menandai waktu imsak (puasa) yang dimajukan beberapa menit dari awal Subuh atau juga beberapa menit yang diundurkan dari waktu Dzuhur untuk menghilangkan keragu-raguan atas larangan mengerjakan shalat pada saat matahari berkulminasi.
89
Abd. Rachim, op cit, hlm. 55-57 Depag RI, Pedoman Penentuan Jadwal Waktu Shalat Sepanjang Massa,op cit, hlm. 38 91 Abdur Rachim, op cit, hlm. 53 90
49
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam sebagaimana Saadoeddin Djambek, mempergunakan ihtiyat + 2 menit, yang dianggap cukup memberikan pengaman terhadap koreksi data rata-rata dan mempunyai jangkauan 27,5 – 55 km ke arah barat atau timur.92 Dari keterangan di atas, maka dapat diformulasikan data dan rumus yang digunakan dalam penentuan waktu shalat adalah sebagai berikut: 1. Meridian Pass MP = 12 – e 2. Rumus sudut waktu matahari 𝐶𝑜𝑠 𝑡 = 𝑠𝑖𝑛 ℎ ÷ 𝑐𝑜𝑠 Ф ÷ 𝑐𝑜𝑠 𝛿 − 𝑡𝑎𝑛 Ф 𝑥 𝑡𝑎𝑛 𝛿 3. Rumus tinggi matahari (ho) -
Ashar
: Cotan ho = tan zm + 1 atau zm = [φ – δ]
-
Maghrib
: - (ku + ref + sd) - 1º
-
Isya‟
: - 17 + - (ku + ref + sd) - 18º
-
Subuh
: - 19 + - (ku + ref + sd) - 20º
-
Terbit
: (ku + ref + sd) 1º
4. Rumus koreksi waktu daerah : Kwd =(dh - tp)÷15 Sehingga rumus awal waktu shalat: 1. Dzuhur
= MP + Kwd + i
2. Ashar
= MP + t ÷15 + Kwd + i
3. Maghrib = MP + t ÷15 + Kwd + i 4. Isya‟
= MP + t ÷15 + Kwd + i
5. Subuh
= MP - t ÷15 + Kwd + i
92
Depag RI, op cit, hlm. 39
50
D. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu Shalat 1. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu Shalat a) Deklinasi /Apparent Declination Jarak titik pusat benda langit sepanjang lingkaran deklinasi sampai ke equator dinamakan deklinasi atau apparent declination.93 Pada kitab falak klasik biasanya menggunakan dengn bahasa Arab ﻣﻴﻞ اﻟﺸﻤض, untuk deklinasi matahari, dan ﻣﻴﻞ اﻟﻘﻤز. untuk deklinasi bulan. Deklinasi matahari berubah sewaktu-waktu selama satu tahun, dan pada tanggal-tanggal tertentu, yaitu 21 Maret – 23 September deklinasi matahari positif karena dibagian utara. Sedangkan pada tanggal 23 September – 21 Maret deklinasi matahari berada di selatan dan disebut negative. Pada tanggal tersebut matahari bernilai 0°. Setelah tanggal 21 Maret matahari mulai bergerak ke Utara menjauhi equator hingga tanggal 21 Juni mencapai nilai 23° 26‟ Utara atau dalam bahasa Arab disebut ﻣﻴﻞ ألﻋﻈﻢ.94 Setelah itu, matahari mulai berbalik arah mendekati equator hingga tanggal 23 September. Kemudian bergerak terus ke selatan menjauhi matahari hingga mencapai bilangan 23° 26‟ yaitu tanggal 22 Desember. Lalu berbalik lagi ke arah utara mendekati equator hingga tanggal 21 Maret.95
93
Muhyiddin Khazin, op cit, hlm. 65 Dalam kitab Khulashatul Al Wafiyah disebutkan bahwa deklinasi terjauh (mailul „adzom) khulashoh 23° 27‟, Lihat Zubair Umar Al Jailani, Khulashatul Al Wafiyah, tp, tt. hlm. 81. Begitupun yang terdapat dalam Ephimeris deklinasi terjauh 23° 27‟, sedangkan dalam Tibyanul Miqat 23° 52‟. Lihat juga pada Maksum bin Ali, Tibyan Al Miqat fi Ma‟rifat Al Auqat wa Al Qiblah, Kediri: Madrasah Salafiyah Al Falaki, tt, hlm. 12 95 Abd Rachim, op cit, hlm. 8 94
51
b) Equation of Time. Perlu Anda ketahui bahwa lintasan bumi ketika mengelilingi matahari berbentuk elips (agak lonjong seperti telur). Oleh karenanya jarak bumi dan matahari tidak tetap setiap saat, kadang-kadang dekat dan kadang-kadang jauh. Jarak terdekat bumi dengan matahari dinamakan Perigee yang dalam bahasa Arabnya dinamakan حﻀﻴﺾdan jarak terjauhnya dinamakan Apogee yang dalam bahasa Arabnya dinamakan أﻭج. Dekat tidaknya bumi dengan matahari ini berdampak pada kecepatan gerak bumi, dimana ketika jaraknya dekat dengan matahari, pergerakan bumi pada lingkaran ekliptika berlangsung lebih cepat daripada ketika jaraknya jauh. Akibatnya, saat kulminasi matahari setiap hari senantiasa berubah, kadang persis jam 12:00, kadang kurang dan kadang lebih dari jam 12:00. Selisih antara kulminasi matahari hakiki dengan waktu kulminasi matahari rata-rata (jam 12:00) dinamakan Equation Of Time yang dalam bahasa Indonesia dinamakan Perata Waktu, dalam bahasa Arab mempunyai beberapa nama antara lain : , تﻌدﻳﻞ اﻟﻮﻗﺖ, تﻌدﻳﻞ اﻟشﻣاﻥdan ﺩﻗائﻖ اﻟتﻔاﻭت. 2. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu Shalat Daerah satu dengan Daerah lain a) Koordinat Lintang Tempat (Ф). Lintang adalah jarak dari suatu tempat ke khatulistiwa diukur dengan melalui meridian bumi. Dalam bahasa Arab dinamakan ﻋزﺽ اﻟبﻠد dan biasanya ditandai dengan huruf Yunani Ф (phi, cara baca : fi). Daerah
52
yang terletak di sebelah utara garis khatulistiwa (ekuator) memiliki lintang positif, dan untuk daerah yang terletak disebelah selatan garis khatulistiwa memiliki lintang negatif. 96 Perbedaan lintang tidak sama besar pengaruhnya terhadap waktu shalat sepanjang tahun.97 Hal ini berkaitan dengan nilai deklinasi matahari yang berbeda-beda dalam setiap waktu. b) Koordinat Bujur Tempat (λ). Bujur astronomi suatu tempat adalah sudut antara bidang di meridian tempat dan bidang meridian dari Greenwich.98 Dalam bahasa Arab bujur tempat itu dinamakan طﻮﻝ اﻟبﻠدyang biasanya ditandai dengan lambang astronomi dengan huruf Yunani (cara baca : lamda). Kesepakatan internasional menetapkan permulaan perhitungan garis bujur bumi (bujur 0), di mulai pada garis bujur yang melintasi kota Greenwich di Inggris. Daerah yang terletak di sebelah timur Greenwich sampai 180 memiliki bujur positif dan untuk daerah yang terletak di sebelah barat Greenwich sampai 180memiliki bujur negatif. Tanda nilai bujur ini berhubungan dengan waktu, artinya untuk mendapatkan standar waktu internasional GMT, wilayah barat (bujur barat) harus dikurangi angka tertentu. Sebaliknya, bujur timur harus ditambah angka tertentu. Garis bujur timur 180 dan garis bujur barat 180 bertemu dan berhimpit
96
Baca K.J. Vilianueva, op cit, hlm. 4 Muntoha, op cit, hlm. 52. Hal ini yang membuat beberapa ahli falak meniadakan konversi waktu daerah untuk jadwal waktu shalat, salah satunya Tim Lajnah Falakiyah Lirboyo. 98 Lihat ibid, hlm. 114. Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa bujur sama dengan selisih waktu local tempat bersangkutan dengan waktu Greenwich. 97
53
dilautan Pasifik dan dijadikan garis batas tanggal dalam penanggalan Masehi. Sebagaimana yang dikutip dari skripsi Muntoha yang berjudul Analisis Terhadap Toleransi Pengaruh Perbedaan Lintang dan Bujur dalam Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, dijelaskan bahwa perbedaan bujur cukup besar pengaruhnya terhadap masuknya waktu shalat.99 Perbedaan 1o bujur berarti perbedaan 4 menit waktu, perbedaan bujur sebesar 0,1o atau jarak tepat ke timur atau tepat ke barat sejauh 11 km berarti perbedaan waktu sebanyak 0,4 menit atau 24 detik. Jarak 27 ½ km tepat ke barat atau ke timur berarti perbedaan waktu sebanyak satu menit. c) Zona Waktu Tempat (z). Pada dasarnya bumi dibagi dalam 24 wilayah waktu (zona waktu) yang dibatasi oleh meridian-meridian dengan selisih bujur 15º (1 jam). Dalam tiap wilayah ini berlaku satu macam waktu wilayah dengan meridian tengahnya sebagai referensi. Wilayah 0º meridian referensinya adalah meridian Greenwich. Daerah yang terletak di sebelah timur Greenwich memiliki z positif, sedangkan di sebelah barat Greenwich memiliki z negatif. Untuk wilayah ke-12 dibagi dua oleh “date line” dan untuk bagian barat diambil Δz = -12 sedangkan untuk bagian yang timur diambil Δz = +12. Bila seseorang melewati “date line” maka ia harus menyesuaikan hari kalendernya dengan menambah atau mengurangi dengan satuan hari (24j). Untuk keseragaman di suatu negara maka
99
Muntoha, op cit, hlm. 51
54
wilayah waktu itu disesuaikan dengan batas-batas negara. Misalnya zona waktu Jakarta adalah UT +7 (Universal Time) atau seringkali disebut GMT +7 (Greenwich Mean Solar Time), maka z = 7. Misalnya, Los Angeles memiliki z = -8.100 Untuk Indonesia sendiri dibagi dalam 3 zona waktu, yaitu Waktu Indonesia Barat (+7), Waktu Indonesia Tengah (+8), dan Waktu Indonesia Timur (+9). Tanda waktu dari masing-masing daerah di wilayah Indonesia biasanya dapat dikoreksi dengan adanya tanda waktu yang dipersiapkan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika yang biasanya disiarkan oleh Radio Republik Indonesia pada jam-jam tertentu. d) Ketinggian Tempat dari Permukaan Laut (h). Ketinggian lokasi dari permukaan laut (h) menentukan waktu kapan terbit dan terbenamnya matahari. Tempat yang berada tinggi di atas permukaan laut akan lebih awal menyaksikan matahari terbit serta lebih akhir melihat matahari terbenam, dibandingkan dengan tempat yang lebih rendah. Satuan h adalah meter atau feet (kaki).101
100 101
Lihat Ibid, hlm. 70-71. Satu meter sama dengan 3,048 feet
BAB III PENGGUNAAN DATA KETINGGIAN TEMPAT DALAM FORMULASI PENENTUAN WAKTU SHALAT
A. Ketinggian Tempat Faktor yang mempengaruhi waktu shalat antara daerah satu dengan daerah lainnya salah satunya ialah tinggi tempat. Tinggi secara geodetik (h) adalah jarak titik yang bersangkutan dari ellipsoid referensi di dalam arah garis normal terhadap ellipsoid referensi.102 Ketinggian tempat dapat diperoleh sebagai hasil pengukuran dari ilmu ukur tanah, yaitu ilmu yang mempelajari tentang teknikteknik pengukuran di permukaan bumi dan bawah tanah dalam areal yang terbatas untuk keperluan pemetaan dan lain-lain. Ketinggian tempat dalam geodesi lebih dikenal dengan sebutan beda tinggi. Menurut ilmu ukur tanah, beda tinggi di atas permukaan bumi dapat ditentukan dengan berbagai cara, yaitu sesuai dengan tingkat ketelitiannya adalah sebagai berikut:103 1. Sipat datar Sipat datar merupakan salah satu metode yang bertujuan untuk menentukan beda tinggi antara titik-titik di atas permukaan bumi secara teliti. Tinggi suatu objek di atas permukaan bumi ditentukan dari suatu bidang referensi, yaitu bidang yang ketinggiannya dianggap nol yang dalam istilah
102
Eddy Prahasta, Konsep-konsep Dasar Sisitem Informasi Geografis, Bandung: Penerbit Informatika, 2002, hlm. 140. Ellipsoid referensi ialah pendekatan model geometric bentuk bumi yang diperlukan untuk hitungan-hitungan geodesi yang akurat dengan jangkauan yang sangat jauh. Lihat pada hlm. 120 103 Slamet Basuki, Ilmu Ukur Tanah, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006, hlm. 139-140
55
56
geodesi, disebut sebagai bidang geoid. Bidang geoid merupakan bidang equipotensial yang berimpit dengan permukaan air laut rata-rata (mean sea level). Bidang-bidang ini selalu tegak lurus dengan arah gaya berat dimana saja di permukaan bumi. Istilah sipat datar di sini berarti konsep penentuan beda tinggi antara dua titik atau lebih dengan garis bidik horizontal yang diarahkan pada rambu-rambu yang berdiri tegak atau vertikal. Alat ukurnya disebut penyipat datar atau waterpas.104 2. Takhimetrik Takhimetrik merupakan metode yang menggunakan data lapangan untuk menghitung jarak mendatar dan vertikal dengan bacaan rambu ukur yang terdapat pada alat reduksi system takhimetri. Beberapa alat reduksi system takhimetri yang ada di Indonesia antara lain busur stadia Beaman, reduksi takhimeter otomatis dari Hamer-Fennel, dan reduksi takhimetri “Wild RDS”. Kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi dalam pengukuran takhimetri ialah kesalahan alat, kesalahan pengukur, dan kesalahan yang bersumber dari alam.105 3.
Trigonometrik Pengukuran beda tinggi dengan cara trigonometrik adalah suatu proses penentuan beda tinggi dari titik-titik pengamatan dengan cara mengukur sudut miring atau sudut vertikalnya dengan jarak yang diketahui, yang dapat diukur dengan alat teodolit.106
104
Ibid Ibid, hlm. 88-93 106 Ibid, hlm. 242 105
57
4. Barometrik Pada dasarnya, barometer ialah alat untuk mengukur variasi tekanan udara disetiap tempat, namun karena variasi tekanan udara berkaitan dengan tinggi tempat, maka oleh karena itu, dapat juga diukur beda tinggi. Alat barometer sendiri disebut barometric leveling. Tekanan udara pada permukaan air laut adalah 1 kg/cm2 dan berkurang jika ketinggiannya bertambah. Perbedaan 1 cmm air raksa akan sebanding dengan kenaikan tinggi 108 meter. Altimeter adalah barometer yang dibuat khusus untuk survey atau pengukuran beda tinggi dengan ketelitian yang lebih tinggi dibanding dengan barometer biasa, bacaannya langsung dalam meter atau feet. Metode sipat datar, takhimetrik, dan trigonometrik semata-mata digunakan untuk menentukan beda tinggi antara dua buah titik atau lebih, sedangkan metode barometrik, selain dapat menentukan beda tinggi, juga dapat menunjukkan ketinggian titik-titik tersebut di atas bidang reverensi atau mean sea level (permukaan air laut rata-rata).107 Untuk keperluan jaringan kontrol vertikal di Indonesia dilakukan pengukuran sipat datar dimulai dari Pulau Jawa pada tahun 1925. Nilai tingginya mengacu pada hasil pengamatan pasang surut di Tanjung Priok. Namun, akibat perang dunia ke-2, banyak titik control geodesi hilang dan rusak, maka didirikan BAKOSURTANAL (Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional) tahun 1969, yang bertugas dalam pengadaan peta rupa bumi Indonesia. Pada tahun 1980
107
Ibid, hlm. 255
58
– 1987 BAKOSURTANAL mulai menyelenggarakan pengadaan jaring kontrol vertikal di Jawa dengan membangun sipat datar orde pertama sepanjang 4657 km dengan Titik Tinggi Geodesi yang disingkat dan dikenal dengan TTG sebanyak 1532 titik.108 Setelah pemanfaatan teknologi militer Amerika Serikat Navstar (Navigation Satellite Time and Ranging) yang lebih dikenal dengan teknologi Globlal Positioning System yang disingkat dengan GPS untuk keperluan sipil, maka dalam rangka kerja sama penelitian antara BAKOSURTANAL dan National Science Foundation America Serikat (US-NFS) dilakukanlah penelitian geodinamika. Pemanfaatan teknologi GPS di Indonesia berlanjut dan berkembang hingga BAKOSURTANAL membangun jaringan kontrol geodetik nasional yang berlanjut dengan menetapkan Datum Geodetik Nasional 1995 (DGN 95).109 Saat ini dengan perkembangan teknologi yang ada, data keinggian tempat dapat dilihat dan diperoleh selain dari BAKOSURTANAL, dapat diperoleh juga dari GPS, atau softwere-sofwere yang ada di internet yang menyajikan data ketinggian tempat untuk umum seperti Google Earth, Google Map, dll. Dalam formulasi penentuan awal waktu shalat, beberapa ahli falak menggunakan data ketinggian tempat dalam proses perhitungan waktu Maghrib, Isya’, dan Subuh. Dan beberapa formulasi dalam penentuan waktu shalat antara satu dengan yang lain terdapat sedikit perbedaan mengenai data ketinggian tempat. Beberapa ahli falak menggunakan data ketinggian tempat untuk menghitung kerendahan ufuk (ku/dip), namun ada juga ahli falak yang
108 109
Joinil Kahar, Geodesi: Teknik kuadrat terkecil, Bandung: Penerbit ITB, 2006, hlm. 55 Ibid, hlm. 87
59
mengabaikan data keinggian tempat karena dianggap tidak terlalu mempengaruhi waktu shalat.
B. Penggunaan Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan Jadwal Waktu Shalat 1. Kitab Klasik Kitab-kitab klasik pada umumnya dalam menguraikan formulasi penentuan waktu shalatnya lebih panjang karena proses perhitungannya sering kali menggunakan rumus manual sederhana tanpa penggunaan kalkulator. Dalam formulasi penentuan waktu shalatnya beberapa kitab terdapat konsep koreksi kerendahan ufuk yaitu saat proses perhitungan waktu shalat Maghrib. Konsep koreksi ini biasanya disebut ikhtilaf ufuk atau dikenal juga dengan istilah daqaiqul tamkin. Dari kitab falak klasik yang pernah penulis baca (seperti kitab Khulashatul Al Wafiyah, Badiatul Misal, Ittifa’ Dzatil Bain, Tibyanul Miqat, Sulamunayyirain, dll.) hanya kitab Irsyadul Murid karangan Ahmad Ghazali (Madura) yang di dalamnya terdapat koreksi kerendahan ufuk yang telah menggunakan formulasi kerendahan ufuk dengan istilah إلنحفاض االفقinhifadhul ufuk (dip) dengan formulasi 1.76/60 × √𝑇𝑇 (Tinggi Tempat).110 Namun, koreksi ini digunakan untuk mencari waktu ghurub dalam perhitungan penentuan awal bulan Kamariyah, bukan pada perhitungan penentuan waktu shalatnya.
110
Ahmad Ghazali, Irsyadul Murid, Jember: Yayasan An Nuriyah, 2005, hlm. 134
60
2. KH. Slamet Hambali111 Dalam
penyusunan
jadwal
waktu
shalat,
Slamet
Hambali
menggunakan data ephemeris untuk mengambil data deklinasi dan equation of time. Pengambilan data tersebut diambil data pada jam 12 WIB. Dalam perhitungan jadwal waktu shalat dalam satu bulan, ia menggunakan satu perhitungan untuk 5 hari. Sebab, selisih perhari dianggap sedikit sehingga hanya mengambil beberapa tanggal saja. Dengan demikian, Slamet Hambali hanya menghitung tanggal-tanggal sebagai berikut: 1-6-11-16-21-26. Menurutnya, ketinggian tempat berpengaruh pada penentuan waktu shalat. Oleh karena itu, ia menggunakan data ketinggian tempat 200 m dalam perhitungan penentuan waktu shalatnya untuk mengcover waktu shalat didaerah Semarang yang topografi yang sangat bervariasi, yaitu disekilingi pegunungan ungaran dan merbabu juga daerah pantai. Pada perhitungan kerendahan ufuk, rumus yang digunakan Slamet Hambali adalah ku: 0º 1.76√h. Sedangkan koreksi waktu antar kota menurutnya hanya berdasarkan bujur dan lintang saja. Sedangkan ikhtiyat yang dipakai untuk kehati-hatian adalah 2 menit utuh dengan pembulatan detik. Dalam menkonversi waktu, Slamet Hambali memperhitungkan antara pantai selatan – pantai utara mana yang lebih dulu dan yang lama masuk awal
111
Slamet Hambali saat ini tercatat sebagai Wakil Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), anggota Muker dan Raker Badan Hisab Rukyah Kementerian Agama, sebagai anggota Badan Hisab Rukyah Indonesia Jakarta dan merupakan Wakil Ketua Tim Hisab Rukyah Jateng. Selain itu juga menjadi dosen pengajar Ilmu Falak di IAIN Walisongo Semarang dan UNISULA (Universitas Sultan Agung) Semarang.
61
shalat. sehingga dapat digunakan untuk daerah lain yang lintangnya berbeda namun satu jalur.112 Tabel 1. Jadwal Waktu Shalat Bulan Januari 2011113 Tgl 1 6 11 16 21 26
Imsak 03.52 03.55 03.58 04.01 04.04 04.07
Subuh 04.02 04.05 04.08 04.11 04.14 04.17
Terbit 05.22 05.25 05.27 05.30 05.32 05.34
Dhuha 05.51 05.54 05.56 05.59 06.01 06.03
Dzuhur 11.44 11.47 11.49 11.51 11.52 11.53
Ashar 15.11 15.13 15.14 15.15 15.15 15.15
Maghrib 18.02 18.04 18.06 18.07 18.08 18.09
Isya’ 19.18 19.20 19.21 19.22 19.22 19.22
3. LIRBOYO114 Tiap tahunnya Pondok Pesantren Lirboyo atau yang lebih dikenal dengan Pondok Lirboyo mengeluarkan kalender yang dilengkapi jadwal waktu shalat. Hampir seluruh santri maupun alumni dari pondok tersebut selama ini memakai dan menggunakan jadwal tersebut sebagai acuan dalam waktu shalatnya. Dalam wawancara via telepon, penulis memperoleh data bahwa dalam perhitungannya, Lirboyo menggunakan data ketinggian tempat dalam perhitungannya, yaitu yang digunakan adalah ketinggian 100 m sebagai tinggi rata-rata kota Kediri dengan rumus ku: 0,0293 √h. Sedangkan koreksi antar kota yang biasanya dicantumkan dibeberapa kalender untuk konversi waktu daaerah tidak dicantumkan dalam kalender 112
Wawancara dengan Slamet Hambali pada tanggal 11 Januari 2011 Jadwal ini menggunakan lokasi Semarang dengan pengambilan salah satu titik dengan lintang -7° LS untuk batas utara dan mepertimbangkan batas selatan dengan pengambilan titik -7° 48’ LS. Sedangkan untuk garis bujurnya diambil titik 110° 24’ BT. 114 PP. Madrasah Hidayatul Mubtadi’in (MHM) Lirboyo lebih dikenal dengan PP. Lirboyo karena berada di Lirboyo Kediri yang dibangun pada tahun 1910 oleh KH. Abdul Karim atau sering dipanggil Kiai Manab. Lihat pada Album PP. Lirboyo 2002, hlm. 98-106. Pondok ini merupakan salah satu pondok salaf tertua yang ada di Indonesia dan telah mencetak lebih dari 100.000 santri yang berasal dari seluruh pelosok Indonesia. Untuk th. 2006 saja, santri Lirboyo tercatat mencapai + 9.060 yang ditampung dalam kamar sebanyak + 400 kamar. 113
62
tersebut. Hal ini dikarenakan penambahan atau pengurangan waktu sebagai konversi waktu dianggap tidaklah konsisten dalam setiap bulannya. Itu semua tergantung pada lintang dan deklinasi yang ada pada saat tersebut. Konversi waktu dapat diadakan jika lintang kedua daerah dari markas jadwal waktu shalat sama dengan daerah yang dikonversi. Untuk menghindari kesalahan dalam waktu beribadah, maka kebijakan Tim Lajnah Falakiyah yang dipimpin oleh Reza Zakariya ini meniadakan konversi waktu antar kota. Hal ini berdasarkan pengamatannya melalui beberapa jadwal waktu shalat yang ada dan konversi waktu antar kota yang dipakai oleh beberapa ahli falak yang di situ menunjukkan bahwa ada ketidak kontinuitasan. Oleh karena itu, dalam penggunaan waktu shalat sebaiknya setiap daerah melakukan perhitungan masing-masing khusus untuk daerahnya. Karena waktu shalat merupakan waktu yang dapat dikatakan bersifat lokalitas. Artinya, satu jadwal waktu shalat hanya dapat dipakai oleh daerah tersebut saja, sedangkan untuk daerah lain harus menghitung dengan data daerah masing-masing. Jadwal waku shalat yang dibuat adalah jadwal waktu shalat dengan menggunakan wilayah markas Kediri. Jadwal waktu shalat PP. Lirboyo dibuat oleh Tim Lajnah Falakiyah Lirboyo sama dengan jadwal waktu shalat pada umumnya, yakni melalui perhitungan dengan memperoleh data deklinasi dan equation of time melalui ephimeris. Dalam perhitungannya, Lirboyo menggunakan per 3 hari untuk satu perhitungan karena selisih per 3 hari masih dapat diatasi dengan ihtiyat yang digunakan, yakni 1-2 menit. Untuk penyajian konversi daerah menurut
63
ketinggian tempat menurut beliau tidak perlu diadakan karena selisih tidak mencapai 2 menit, hanya ketinggian 1000 m yang menimbulkan selisih mencapai 3 menit. Oleh karena itu, nilai ihtiyat dianggap dapat menutupi selisih tersebut.115 Table 2. Jadwal waktu shalat Kalender Lirboyo daerah Kediri Januari 2011 Tanggal 01 – 05 06 – 10 11 – 15 16 – 20 21 – 25 26 – 31
Dzuhur 11:38 11:40 11:42 11:44 11:46 11:47
Ashar 15:05 15:06 15:07 15:08 15:08 15:08
Maghrib 17:56 17:58 18:00 18:01 18:02 18:02
Isya’ 19:11 19:13 19:14 19:15 19:15 19:15
Subuh 03:45 03:48 03:52 03:55 03:57 04:00
Terbit 05:14 05:16 05:19 05:21 05.23 05.24
*Jadwal waktu shalat di atas hanya berlaku di daerah Kediri yang ketinggian tempatnya tidak melebihi 100 m dari permukaan air laut. *karena penambahan dan pengurangan waktu shalat untuk daerah selain Kediri disetiap bulannya berbeda, maka penambahan dan pengurangan waktu shalat ditiadakan.
4. Saaduddin Djambek Dalam bukunya almanak waktu shalat sepanjang massa, Saaduddin Djambek menyajikan tabel jadwal waktu shalat abadi dalam kurun satu tahun dengan dilengkapi data lintang yang dapat disesuaikan dan dikoreksi selisih waktunya sesuai daerah masing-masing. Dalam jadwal tersebut Djambek menyajikan secara utuh jadwal, sehingga user (pengguna) hanya perlu menyesuaikan dengan selisih waktu setempat saja. Koreksi untuk masingmasing daerah di sini disesuaikan menurut deklinasi dan lintang tempat dari tempat yang bersangkutan.
115
Wawancara dengan Reza Zakariya, Ketua Tim Lajnah Falakiyah PP. Lirboyo Kediri Jawa Timur via telepon pada tanggal 15 Januari 2011
64
Selain koreksi tersebut, Sa’aduddin Djambek menambahkan suatu koreksi khusus untuk ketinggian tempat. Di daerah-daerah pegunungan harus diperhitungkan bagi waktu syuruq dan waktu Maghrib bagi ketinggian mata d atas daerah sekeliling. Dalam almanak sepanjang masa disebutkan bahwa hal ini disebabkan oleh karena persoalan syuruq dan ghurub dipengaruhi oleh kedudukan ufuk mar’i (visible horizon). Oleh bentuk bumi yang bulat, ufuk mar’i semakin rendah jika kedudukan pengamat semakin tinggi. Kerendahan ufuk ini mengakibatkan matahari kelihatan lebih cepat terbit dan lebih lambat tenggelam. Table 3. Daftar Koreksi Ketinggian Pengamat Menurut Sa’aduddin Djambek Ketinggian mata 50 75 100 150 200 250 300
Koreksi (menit) 0,2 0,4 0,5 0,8 1,0 1,2 1,4
Ketinggian Mata 400 500 600 700 800 900 1000
Koreksi (menit) 1,7 2,0 2,3 2,5 2,7 2,9 3,1
Yang dimaksud dengan ketinggian tempat pada tabel di atas bukan berdasakan permukaan air laut, melainkan berdasarkan ketinggian daerah sekeliling sampai kaki langit. Misalnya untuk kota bandung, tinggi kira-kira 700 meter di atas permukaan air laut, tidaklah dilakukan koreksi sebanyak 2,5 menit sebagaimana yang tercantum pada table, tetapi cukup sebanyak 0,5 menit atau paling tinggi 1 menit. Berbeda jika kita berada pada suatu tempat yang ketinggian dengan pandangan bebas sampai ke laut, dimana bagian barat
65
pengamat dapat melihat tenggelam maupun di sebelah timur pengamat bisa melihat pada saat matahari terbit.116 5. Muhyiddin Khazin117 Dalam bukunya, Ilmu Falak, yang digunakan sebagai salah satu referensi bagi sebagian besar mahasiswa falak, Muhyiddin Khazin tidak menggunakan koreksi ketinggian tempat. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa untuk mencari h matahari dalam perhitungan waktu shalat cukup menggunakan data h matahari Maghrib: -1°, h Isya’: -18°, h Subuh: -20° dan h terbit: -1°. Sedangkan koreksi tinggi tempat digunakan untuk menghitung waktu Maghrib ketika proses perhitungan awal bulan Komariyah. 6. Shollu Shollu merupakan program waktu shalat versi 3.08.2, oleh Ebta Setiawan. Program ini bertujuan memberi peringatan kepada pengguna komputer bahwa waktu sholat telah tiba atau sebentar lagi tiba. Sehingga pengguna bisa bersegera untuk mempersiapkan diri untuk menunaikan sholat. Berbeda dengan versi 2.15 ke bawah, Shollu versi ini menggunakan koordinat wilayah (garis lintang dan garis bujur), ketinggian dan beberapa kriteria lainnya. Pengguna hanya perlu setting sekali dan jadwal otomatis akan selalu update. Shollu dilengkapi dengan wilayah-wilayah di Indonesia dan kota-kota besar di dunia. Untuk wilayah lainnya bisa download file tambahan, bisa
116
Saadoeddin Djambek, op cit, hlm. 21 Muhyiddin Khazin pernah menjabat sebagai tenaga pengajar Ilmu Falak di UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kepala Sub Direktorat Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat pada Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama, Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, anggota Muker dan Raker Badan Hisab Rukyah Kementerian Agama, dll. 117
66
dilihat dalam help file. Di samping itu, Shollu memberikan pilihan dalam setting untuk waktu shalat Ashar, yaitu menggunakan konsep mahdzab Syafi’i atau menggunakan konsep mahdzab Hanafi. Di dalamnya juga disediakan kolom penambahan ihtiyat sesuai yang diinginkan user. Sedangkan untuk waktu Subuh dan Isya’, disediakan beberapa pilihan konsep penggunaan nilai h matahari. Pengguna juga dapat menginput sendiri nilai h matahari yang diinginkan. Selain itu, pengguna juga dapat menambah pesan pengingat sesuai yang diinginkan. 7. Athan Sebagaimana Shollu, Athan merupakan program waktu shalat yang digunakan dalam computer sebagai peringatan telah masuk waktu shalat. Program Athan hanya menyajikan data-data negara saja, sedangkan kita harus menginput nama kota beserta data lintang, bujur dan penambahan waktu GMT secara manual. Untuk data ketingian tempat tidak disediakan. Namun, untuk data h matahari dalam waktu Subuh dan Isya’ diberikan kolom untuk menginput data berapa nilai h yang ingin digunakan. Selain itu Athan juga memberikan pilihan untuk menggunakan konsep waktu shalat standar (mahdzab Syafi’i, Maliki dan Hambali) atau konsep waktu shalat mahdzab Hanafi. Juga disediakan kolom ihtiyat untuk penambahan waktu shalat Dzuhur dan Maghrib. 8. Accurate Times Accurate Times adalah program waktu shalat yang diadopsi oleh pemerintah Jordania yang ditulis oleh Muhammad Odeh yang merupakan
67
salah satu anggota Jordanian Astronomical Society (JAS) dan sebagai Wakil Presiden dari Pengamat Observatorium and Mawaqeet Committee, dari lembaga Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS). Program Accurate Times tidak hanya menghitung waktu-waktu shalat, namun juga menyajikan waktu-waktu astronomi, seperti waktu matahari; waktu bulan; tahap fase bulan; dan juga menghitung arah kiblat dan lain sebagainya. Accurate Times dapat dikatakan sebagai program waktu shalat yang paling teliti, karena telah memperhitungkan beberapa koreksi. Untuk h matahari waktu Subuh dan Isya’ pada umumnya menggunakan 18° di bawah ufuk. Namun, beberapa negara dapat mengadopsi nilai h matahari yang diingini seperti -16°, -19° atau -20°. Dalam Accurate Times terdapat kolom pada location untuk menginput data ketinggian waktu shalat yang diberi nama elevation dengan satuan meter untuk koreksi tinggi pengamat. Bahkan didalamnya juga disediakan kolom untuk menginput data suhu tempat yang berpengaruh pada refraksi. Selain itu, juga terdapat kolom untuk menginput ihiyat yang akan digunakan oleh user dan dapat memilih menggunakan konsep standar pada umumnya atau menggunakan konsep waktu shalat mahdzab Hanafi. 9. Mawaaqit Software Mawaaqit 2001.06 yang ditulis dalam bahasa program PASCAL dalam DOS oleh Dr. Ing. Khafid. Program ini ditulis dalam empat pilihan bahasa, yaitu Inggris, Belanda, Jerman dan Indonesia. Dalam program ini terdapat beberapa menu utama, yaitu program Al-qur’an, Al-hadis, waktu
68
shalat dan arah kiblat, kalender, gerhana serta grafik. Pada masing-masing menu utama terdapat beberapa menu lagi yang berkaitan dengan menu utama tersebut. Dalam menu waktu shalat dan arah kiblat, salah satunya disajikan pilihan jadwal waktu shalat untuk satu hari, satu bulan, dan satu tahun. Meskipun dibuat oleh Dr. Ing. Khafid yang notabenenya seorang ahli geodesi, namun dalam penentuan lokasi perhitungan tidak memperhitungkan data ketinggian tempat. Dalam Mawaaqit hanya disediakan nama lokasi yang telah tersave beserta data lintang, bujur dan zona waktunya. Sedangkan untuk koreksi tinggi tempat dan pengamat tidak diperhitungkan. Meskipun demikian, Mawaaqit memberikan pilihan untuk menginput h matahari yang akan digunakan dalam perhitungan shalat Subuh dan Isya’. Sedangkan untuk shalat Ashar user dapat memilih 3 opsi, yaitu konsep waktu Ashar mahdzab Syafi’i, konsep waktu Ashar mahdzab Hanafi, atau konsep pengambilan nilai tengah antara Dzuhur dan Maghrib.
C. Formulasi Koreksi Ketinggian Tempat dalam Kerendahan Ufuk/Dip Selain perbedaan penggunaan data ketinggian tempat, dari beberapa literatur penulis juga menemukan perbedaan penggunaan formulasi untuk koreksi pengaruh ketinggian tempat itu sendiri. Mereka yang tidak menggunakan koreksi ketingggian tempat, menggunakan tinggi matahari untuk waktu Maghrib -1°, waktu Isya’ -18°, dan untuk waktu Subuh -20°. Sedangkan literatur lain
69
memperhitungkan ketinggian tempat dengan menggunakan beberapa formulasi, yaitu118: 1. Dip/ ku: 1.76√ h (meter) Formulasi ini yang digunakan oleh sebagian besar ahli falak yang menggunakan koreksi ketinggian tempat, salah satuya ialah Slamet Hambali yang mengambil formulasi rumus ini dari Almanak Nautika. 119
2. Dip/ ku: 0.0293 √ h (meter) Formulasi ini merupakan bentuk decimal dari 1.76√ h, yakni ku: 0.0293 √ h. Uzal Syahruna seperti dalam materinya Perhitungan Awal Waktu Shalat120, dalam mencari ku lebih memilih menggunakan rumus ini. 3. Dip/ku: 0,97 √h feet atau 1,757√h meter Dalam buku Ilmu Falak; Penetapan Awal Waktu Shalat dan Kiblat oleh Muchtar Salimi dijelaskan bahwa Dip dapat dihitung dengan rumus Dip = 0,97 √h feet atau 1,757√h meter.121 4. Dip/ ku: √3,2 h Abdur Rachim dalam bukunya Ilmu Falak122:menetapkan rumus kerendahan ufuk ini berdasarkan turunan rumus yang bermula dari rumus pitagoras, yaitu:
118
Masing-masing formulasi menghasilkan nilai dip/ku yang bersatuan menit derajat Almanak Nautika, Jakarta: TNI-AL Dinas Hidro Oseanografi, 1995, hlm. 259 120 Materi Perhitungan Waktu Shalat, yang disampaikan oleh Uzal Syahruna 121 Muchtar Salimi, Ilmu Falak; Peenetapan Awal Waktu,Shalat dan Arah Kiblat, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1997, hlm. 41 122 Abdur Rachim, op cit, hlm.33 119
70
Z h
d
R
R
D N
O
Gambar 2. Sudut dari dip/kerendahan ufuk
Bumi dengan ketinggian tempat ditulis dengan R + h. Garis pusat bumi yang ditarik lurus hingga ellipsoid (R), dengan garis siku horizontal dari garis perpanjangan dari garis pusat bumi (R + h), serta garis kerendahan ufuk (d) membentuk segitiga siku-siku dengan garis (R + h) sebagai garis miring. Maka dari itu, untuk mencari d : d = √(R + h)2 − R2 = √ R2 + 2Rh + h2 − R2 = √ 2Rh + h2 Karena panjang R dikira-kirakan sekitar 6.000 km, dan h biasanya hanya berjumlah beberapa meter saja, maka dalam bentuk √ 2Rh + h2, jumlah h2 dapat diabaikan, sehingga: d = √ 2Rh 2R merupakan bilangan tetap yang bernilai kira-kira 12.000 km. Jika bilangan h yang dinyatakan dengan meter kita pindahkan menjadi bilangan km juga, maka kita memperoleh: d = √12h
71
Artinya, d adalah besar jarak dari mata kita hingga ke kaki langit atau ufuk dalam satuan kilometer. Sedangkan untuk mengetahui jumlah kerendahan ufuk, kita dapat memasukkan angka keliling bumi, yaitu sekitar 1,85 km, maka: √12h/1,85 = √12h/3,42 = √3,5h Angka √3,5h ialah angka kerendahan ufuk yang juga refraksi. Maka untuk mendapatkan angka kerendahan ufuk saja angka tersebut dikurangi pengaruh refraksi. Oleh karena itu, rumus yang lebih mendekati ialah:123 d = √3,2 h 5. Dip/ku: 0,032° √ℎ Dalam buku Perbaiki Waktu Shalat dan Arah Kiblatmu! menggunakan formulasi 0,032° √ℎ untuk mencari nilai kerendahan ufuk. Berikut ini turunan rumusnya: B h
a Ho
a
A a
H Gambar 3. Sudut dari dip/kerendahan ufuk
Cos α =
sin2
123
α 2
Ibid, hlm. 34
=
R R+h
atau 1 – 2 sin2
h 2(R+h)
atau sin
α 2
α 2
=
R R+h
h = √2(R+h)
72
karena α dan α/2 adalah sudut yang kecil, maka sin α/2 = α/2 rad. Dan karena h << R, maka R + h ≈ R, sehingga: α 2
h 2h = √2R atau α = √ R
Jari-jari bumi R = 6,4 x 106 m, dan bila h dinyatakan dalam meter, maka:124 α = 0,032° √ℎ Tabel 4. Perubahan arah bidang horizon oleh ketinggian tempat. h (m) 50 100 150 200 250 300 350
α (°) 0,227 0,322 0,394 0,455 0,508 0,577 0,602
h (m) 400 450 500 550 600 650 700
α (°) 0,643 0,682 0,719 0,754 0,788 0,820 0,851
h (m) 750 800 850 900 950 100
α (°) 0,881 0,909 0,938 0,965 0,991 1,047
6. Dip/ ku: 1,93√ h Formula ini disebutkan dalam buku Almanak Hisab Rukyah oleh Departemen Agama untuk mencari kerendahann ufuk.125 Namun, turunan rumus ini penulis dapat dari Rinto Anugraha126 dengan penjelasan sebagai berikut: Kalau ada ketinggian h, maka jaraknya ke pusat bumi adalah R + h. R = jari-jari bumi. Jika sudut kerendahan ufuk sama dengan x, maka ada persamaan 124
Dimsiki Hadi, Perbaiki Waktu Shalat dan Arah Kiblatmu!, Yogyakarta: Madania, 2010, hlm. 100 125 Badan Hisab Rukyat Departemen Agama, op cit, hlm. 118 126 Hasil wawancara via email dengan Dr. Eng. Rinto Anugraha, salah satu pemerhati ilmu falak, yang juga dosen Fisika UGM, yang aktif menulis di www.eramuslim.org
73
cos x = R/(R + h) = 1 - h/(R + h). R + h bisa didekati dengan R, sehingga cosx = 1 - h/R. Karena x kecil, maka cos x bisa didekati menggunakan deret McLaurin menjadi cos x = 1 - 0.5x2 = 1 - h/R sehingga x = (2h/R)0.5 Dimasukkan R = 6378000 meter, nanti hasilnya x bersatuan radian. Supaya bersatuan derajat, dikalikan 180/pi. Jika bersatuan menit busur, dikalikan 60. Maka hasilnya, x = 1,93 kali h0.5 atau dip/ku = 1,93√ h 7. Dip/ ku: 0,98√ h Diambil dari buku Textbook on Sperical Astronomy.127 Buku ini merupakan buku referensi astronomi yang berisi tentang sesuatu yang berhubungan dengan fenomena astronomi seperti spherical trigonometry (mengenai triginometri yang digunakan dalam menghitung tata koordinat), the celestial sphere (memuat ketinggian benda langit, azimuth, sudut waktu, dll), refraction (mengenai refraksi), planetry motions (mengenai pergerakan plenet),
time (memuat waktu rata-rata, ephimeris dan universal time,),
planetary phenomena and holiographic co-ordinates (memuat pergerakan planet dari system geosentri dan heliosentri, inklinasi, posisi sudut matahari),
127
W.M. Smart, op cit, hlm. 318W
74
dll. Dalam buku ini dip/ku dijelaskan pada bab Determination of Position at Sea. T star
Z
O
P
H
h
T S
A V
φ
a
C
Gambar 4. Sudut dari dip/kerendahan ufuk
OAT = β φ Kita tahu OAC = 90° − β φ ; AOC = 90° − (θ + β φ); maka: 90° − β φ + 90° − (θ + β φ) + φ = 180° Dari
φ (1 − 2β) = θ sin (90° − β φ) 𝑎+ℎ θ
Atau
=
sin (90° − θ−β φ) 𝑎
1
2 sin 2 sin 2 (θ+2β φ) h = cos (θ+β φ) 𝑎
Karena θ dan φ ialah sudut yang kecil, maka kita dapat menulisnya sebagai berikut: θ (θ + 2β φ) = h/𝑎 atau
θ2 = 2 (1 − 2β) h/𝑎
masukkan nilai β dan θ dalam bentuk nilai sudut, maka kita mendapat: 22h θ = √13𝑎 cosec 1’
75
sekarang 𝑎 = 3960 x 5280 kaki dan cosec 1’ = 3438. Maka kita mendapat nilai:
θ = 0,98 (ℎ)1/2 atau θ = 0,98 √ℎ
D. Data Jadwal Waktu Shalat Beberapa Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat
Tabel 5. Jadwal Waktu Shalat untuk Semarang Januari 2011 oleh Slamet Hambali untuk kebutuhan Jadwal Imsakiyah Kementerian Agama Semarang (Lintang: 7o LS, Bujur: 110o 24' BT, h: 200m dengan mempertimbangkan batas selatan berupa daerah Jogja yaitu 7°48’ LS )
TGL 1 6 11 16 21 26
IMSAK 03.52 03.55 03.58 04.01 04.04 04.07
SHUBH 04.02 04.05 04.08 04.11 04.14 04.17
TERBT 05.22 05.25 05.27 05.30 05.32 05.34
DHUHA 05.51 05.54 05.56 05.59 06.01 06.03
DHHUR 11.44 11.47 11.49 11.51 11.52 11.53
ASHAR 15.11 15.13 15.14 15.15 15.15 15.15
MGHRB 18.02 18.04 18.06 18.07 18.08 18.09
ISYAK 19.18 19.20 19.21 19.22 19.22 19.22
76
1. Posisi Matahari128 ho: -1 Tabel 6. Jadwal Waktu Shalat Markaz Semarang Januari 2011 (Lintang: 7o LS, Bujur: 110o 24' BT, h: -1) Tgl
Deklinasi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
-23o 01' 45" -22o 56' 45" -22o 51' 16" -22o 45' 21" -22o 38' 59" -22o 32' 09" -22o 24' 53" -22o 17' 10" -22o 09' 01" -22o 00' 27" -21o 51' 26" -21o 41' 60" -21o 32' 09" -21o 21' 52" -21o 11' 12" -21o 00' 06" -20o 48' 37" -20o 36' 44" -20o 24' 28" -20 o 11'49" -19O 58'47" -19o 45'22" -19o 31' 36" -19o 17' 27" -19o 02' 58" -18o 48' 07" -18o 32' 55" -18o 17' 23" -18o 01' 32" -17o 45' 20" -17o 28' 50"
128
Equation of time -0o 3' 18" -0o 3' 46" -0o 4' 14" -0o 4' 41" -0o 5' 08" -0o 5' 35" -0o 6' 01" -0o 6' 27" -0o 6' 52" -0o 7' 17" -0o 7' 42" -0o 8' 05" -0o 8' 28" -0o 8' 51" -0o 9' 13" -0o 9' 34" -0o 9' 54" -0o 10' 14" -0o 10' 33" -0o 10' 51" -0o 11' 09" -0o 11' 26" -0o 11'42" -0o 11' 57" -0o 12' 12" -0o 12' 26" -0o 12' 39" -0o 12' 51" -0o 13' 02" -0o 13' 13" -0o 13' 22"
Shubuh h: -20 4:00:31 4:01:16 4:01:51 4:02:26 4:03:01 4:03:38 4:04:13 4:04:49 4:05:25 4:06:01 4:06:38 4:07:13 4:07:48 4:08:24 4:08:59 4:09:35 4:10:09 4:10:43 4:11:18 4:11:51 4:12:24 4:12:57 4:13:29 4:14:01 4:14:32 4:15:04 4:15:34 4:16:03 4:16:31 4:17:01 4:17:28
Terbit h: -1 5:25:11 5:25:52 5:26:23 5:26:54 5:27:25 5:27:56 5:28:26 5:28:55 5:29:27 5:29:57 5:30:27 5:30:56 5:31:25 5:31:54 5:32:23 5:32:50 5:33:17 5:33:44 5:34:11 5:34:36 5:35:01 5:35:26 5:35:50 5:36:13 5:36:37 5:37:08 5:37:21 5:37:42 5:38:01 5:38:22 5:38:40
Dzuhur
Ashar
11:41:32 11:42:10 11:42:38 11:43:05 11:43:32 11:43:59 11:44:25 11:44:51 11:45:16 11:45:41 11:46:06 11:46:29 11:46:52 11:47:15 11:47:37 11:47:58 11:48:18 11:48:38 11:48:58 11:49:15 11:49:33 11:49:50 11:50:06 11:50:21 11:50:36 11:50:50 11:51:03 11:51:15 11:51:25 11:51:37 11:51:46
15:08:37 15:08:59 15:09:21 15:09:42 15:10:02 15:10:21 15:10:39 15:10:57 15:11:12 15:11:28 15:11:42 15:11:55 15:12:08 15:12:17 15:12:27 15:12:35 15:12:41 15:12:47 15:12:52 15:12:53 15:12:55 15:12:55 15:12:54 15:12:51 15:12:46 15:12:41 15:12:34 15:12:26 15:12:14 15:12:04 15:11:50
Maghrib h: -1 17:57:53 17:58:28 17:58:53 17:59:16 17:59:39 18:00:02 18:00:24 18:00:45 18:01:05 18:01:25 18:01:45 18:02:02 18:02:19 18:02:36 18:02:51 18:03:06 18:03:19 18:03:32 18:03:45 18:03:54 18:04:05 18:04:14 18:04:22 18:04:29 18:04:35 18:04:41 18:04:45 18:04:48 18:04:49 18:04:52 18:04:52
Isya’ h: -18 19:13:28 19:14:00 19:14:21 19:14:41 19:15:00 19:15:19 19:15:26 19:15:52 19:16:07 19:16:22 19:16:39 19:16:47 19:16:59 19:17:10 19:17:19 19:17:27 19:17:34 19:17:40 19:17:46 19:17:49 19:17:52 19:17:54 19:17:55 19:17:55 19:17:54 19:17:52 19:17:49 19:17:44 19:17:38 19:17:33 19:17:25
Jadwal waktu shalat yang tidak menggunakan koreksi ketinggian tempat, tapi menggunakan posisi matahari rata-rata terbenam
77
2. Komparasi Waktu Maghrib Wilayah Semarang Tabel 7. Komparasi Jadwal Waktu Shalat Maghrib Markaz Semarang Januari 2011 untuk Berberapa Ketinggian Tempat (Lintang: 7o LS, Bujur: 110o 24' BT)
Tgl
Maghrib h: -1
Maghrib h: 100m
Maghrib h: 200m
Maghrib h: 300m
Maghrib h: 400m
Maghrib h: 500m
Maghrib h: 600m
Maghrib h: 700m
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
17:57:53 17:58:28 17:58:53 17:59:16 17:59:39 18:00:02 18:00:24 18:00:45 18:01:05 18:01:25 18:01:45 18:02:02 18:02:19 18:02:36 18:02:51 18:03:06 18:03:19 18:03:32 18:03:45 18:03:54 18:04:05 18:04:14 18:04:22 18:04:29 18:04:35 18:04:41 18:04:45 18:04:48 18:04:49 18:04:52 18:04:52
17:58:34 17:59:09 17:59:34 17:59:57 18:00:20 18:00:43 18:01:09 18:01:26 18:01:46 18:02:06 18:02:25 18:02:42 18:02:59 18:03:16 18:03:32 18:03:46 18:03:59 18:04:12 18:04:25 18:04:34 18:05:02 18:04:54 18:05:10 18:05:08 18:05:15 18:05:20 18:05:25 18:05:28 18:05:29 18:06:06 18:06:05
17:58:59 17:59:34 17:59:58 18:00:21 18:00:45 18:01:07 18:01:29 18:01:50 18:02:10 18:02:30 18:02:49 18:03:07 18:03:24 18:03:40 18:03:56 18:04:10 18:04:23 18:04:26 18:04:49 18:04:58 18:05:09 18:05:17 18:05:26 18:05:32 18:05:39 18:05:44 18:05:48 18:05:51 18:05:52 18:05:55 18:05:54
17:59:23 17:59:58 18:00:23 18:00:46 18:01:09 18:01:32 18:01:53 18:02:14 18:02:34 18:02:54 18:03:16 18:03:33 18:03:50 18:04:07 18:04:20 18:04:34 18:04:48 18:05:00 18:05:14 18:05:22 18:05:33 18:05:42 18:05:50 18:05:56 18:06:03 18:06:08 18:06:12 18:06:15 18:06:16 18:06:18 18:06:18
17:59:43 18:00:19 18:00:43 18:01:07 18:01:30 18:01:52 18:02:14 18:02:35 18:02:55 18:03:15 18:03:34 18:03:51 18:04:08 18:04:25 18:04:40 18:04:55 18:05:08 18:05:21 18:05:33 18:05:43 18:05:53 18:06:02 18:06:10 18:06:16 18:06:23 18:06:28 18:06:32 18:06:35 18:06:36 18:06:39 18:06:38
18:00:02 18:00:37 18:01:02 18:01:25 18:01:48 18:02:11 18:02:32 18:02:53 18:03:13 18:03:32 18:03:52 18:04:09 18:04:26 18:04:43 18:04:59 18:05:13 18:05:26 18:05:39 18:05:51 18:06:01 18:06:11 18:06:20 18:06:28 18:06:34 18:06:41 18:06:46 18:06:50 18:06:53 18:06:54 18:06:56 18:06:56
18:00:19 18:00:53 18:01:18 18:01:41 18:02:04 18:02:27 18:02:48 18:03:10 18:03:30 18:03:49 18:04:09 18:04:26 18:04:43 18:04:59 18:05:15 18:05:29 18:05:42 18:05:55 18:06:07 18:06:17 18:06:27 18:06:36 18:06:44 18:06:50 18:06:57 18:07:02 18:07:06 18:07:09 18:07:10 18:07:12 18:07:12
18:00:34 18:01:09 18:01:33 18:01:56 18:02:19 18:02:42 18:03:04 18:03:25 18:03:45 18:04:04 18:04:23 18:04:41 18:04:57 18:05:14 18:05:30 18:05:44 18:05:57 18:06:10 18:06:22 18:06:31 18:06:42 18:06:51 18:06:59 18:07:05 18:07:12 18:07:17 18:07:21 18:07:24 18:07:24 18:07:26 18:07:26
78
3. Komparasi Waktu Isya’ Wilayah Semarang Tabel 8. Komparasi Jadwal Waktu Shalat Isya’ Markaz Semarang Januari 2011 Untuk Beberapa Ketinggian Tempat (Lintang: 7o LS, Bujur: 110o 24' BT)
Tgl
Isya’ h: -1
Isya’ h: 100m
Isya’ h: 200m
Isya’ h: 300m
Isya’ h: 400m
Isya’ h: 500m
1. 6. 11. 16. 21. 26. 31.
19:13:28 19:15:19 19:16:39 19:17:27 19:17:52 19:17:52 19:17:25
19:14:02 19:15:53 19:17:10 19:18:01 19:18:26 19:18:25 19:18:58
19:14:36 19:16:26 19:17:43 19:18:34 19:18:58 19:18:57 19:18:29
19:15:01 19:16:51 19:18:08 19:18:58 19:19:23 19:19:21 19:18:53
19:15:22 19:17:12 19:18:28 19:19:19 19:19:43 19:19:42 19:19:14
19:15:41 19:17:31 19:18:48 19:19:38 19:20:02 19:20:00 19:19:32
Tgl
Isya’ h: -1
Isya’ h: 600m
Isya’ h: 700m
Isya’ h: 800m
Isya’ h: 900m
Isya’ h: 1000m
1. 6. 11. 16. 21. 26. 31.
19:13:28 19:15:19 19:16:39 19:17:27 19:17:52 19:17:52 19:17:25
19:15:58 19:17:47 19:19:04 19:19:55 19:20:18 19:20:16 19:19:48
19:16:14 19:18:03 19:19:20 19:20:10 19:20:33 19:20:31 19:20:03
19:16:29 19:18:18 19:19:34 19:20:24 19:20:48 19:20:46 19:20:16
19:16:42 19:18:31 19:19:48 19:20:37 19:21:01 19:20:58 19:20:30
19:16:55 19:18:44 19:20:01 19:20:50 19:21:14 19:21:11 19:20:42
79
4. Komparasi Waktu Subuh Wilayah Semarang Tabel 9. Komparasi Jadwal Waktu Shalat Subuh Markaz Semarang Januari 2011 Untuk Beberapa Ketinggian Tempat (Lintang: 7o LS, Bujur: 110o 24' BT)
Tgl
Subuh h: -1
Subuh h: 100m
Subuh h: 200m
Subuh h: 300m
Subuh h: 400m
Subuh h: 500m
1. 6. 11. 16. 21. 26. 31.
4:00:31 4:03:38 4:06:38 4:09:35 4:12:24 4:15:04 4:17:28
3:59:57 4:03:03 4:06:03 4:09:01 4:11:51 4:14:31 4:16:55
3:59:23 4:02:30 4:05:31 4:08:28 4:11:18 4:13:59 4:16:24
3:58:58 4:02:05 4:05:06 4:08:03 4:10:54 4:13:34 4:15:59
3:58:36 4:01:43 4:04:44 4:07:42 4:10:33 4:13:13 4:15:39
3:58:18 4:01:25 4:04:26 4:07:23 4:10:14 4:12:55 4:15:21
Tgl
Subuh h: -1
Subuh h: 600m
Subuh h: 700m
Subuh h: 800m
Subuh h: 900m
Subuh h: 1000m
1. 6. 11. 16. 21. 26. 31.
4:00:31 4:03:38 4:06:38 4:09:35 4:12:24 4:15:04 4:17:28
3:58:00 4:01:08 4:04:09 4:07:07 4:09:58 4:12:39 4:15:05
3:57:45 4:00:52 4:03:53 4:06:51 4:09:43 4:12:24 4:14:50
3:57:30 4:00:37 4:03:39 4:06:37 4:09:28 4:12:10 4:14:36
3:57:16 4:00:24 4:02:47 4:05:46 4:09:15 4:11:56 4:14:22
3:57:03 4:00:11 4:03:12 4:06:11 4:09:02 4:11:44 4:14:10
BAB IV ANALISIS TERHADAP URGENSI KETINGGIAN TEMPAT DALAM FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT
A. Analisis Urgensi Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat Dari beberapa data pada Bab III menunjukkan beraneka macam penggunaan data ketinggian tempat oleh para ahli falak. Perbedaan respon dan penggunaan data ketinggian tempat tersebut dikarenakan ada pendapat yang menganggap ketinggian tempat tidak berpengaruh pada waktu shalat, sehingga ketinggian tempat dianggap menjadi tidak urgensi dalam formulasi penentuan awal waktu shalat. Oleh karena itu, untuk mengetahui urgensi tidaknya ketinggian tempat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat, penulis mencoba menelusurinya dari pengaruh ketinggian tempat dalam waktu shalat. Secara
astronomi,
ketinggian
tempat
mempengaruhi
atmospheric
extinction, yaitu pengurangan kecerahan suatu benda langit sebagai foton benda langit tersebut untuk menembus atmosfer kita. Efek dari atmospheric extinction ini tergantung pada transparasi, ketinggian pengamat, dan sudut puncak (sudut dari puncak untuk satu baris dari penglihatan). Ketika sudut puncak meningkat, cahaya dari objek bintang harus melalui suasana yang lebih, sehingga mengurangi
80
81
kecerahan. Oleh karena itu, bintang dekat zenit terlihat lebih terang daripada saat mendekati horizon.129 Ada tiga faktor yang dapat dipertimbangkan untuk menilai secara kuantitatif dampak atmospheric extinction. Salah satunya adalah penyerapan Molekuler, terutama disebabkan ozon atmosfer dan air, yaitu sekitar 0,02 besarnya per massa udara.130 Pengukuran menunjukkan bahwa konsentrasi ozon meningkat dengan ketinggian dan mencapai maksimum di sekitar ketinggian 25 km, kemudian turun dengan jumlah yang kecil pada ketinggian 50 km. Sedangkan konsentrasi uap air berkurang (turun) terhadap ketinggian.131 Sebagai sinar perjalanan cahaya dari lapisan ke lapisan, cahaya tersebut bergerak dengan udara pada ketinggian yang berbeda bergerak dalam arah yang berbeda pada berbagai kecepatan. Sinar yang melewati lapisan dibiaskan dengan jumlah yang terus berubah. Pada rentang waktu puluhan milidetik, posisi bintang akan berubah oleh pecahan detik derajat.132 Sehingga, pada saat mencapai tanah, sinar mungkin telah bergeser ke posisi yang sedikit berbeda dan kecerahannya pun berkurang. Oleh karena itu, observatorium gunung mempunyai atmospheric extinction yang lebih kecil. Begitu pula atmospheric extinction di musim dingin lebih kecil daripada di musim panas karena atmosfer sedikit air.
129
http://www.asterism.org/tutorials/tut28-1.htm yang diakases pada tanggal 16 Maret 2011, situs ini disarankan oleh Hendro Setyanto dari hasil wawancara penulis via facebook pada tanggal 1 Maret 2011 130 Ibid 131 Bayong Tjasyono, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Catatan Kuliah; GM-322 Meteorologi Fisis, Bandung: Penerbit ITB, 2001, hlm 1.3 132 http://spiff.rit.edu/classes/phys559/lectures/atmos/atmos.html yang diakses pada tanggal 26 Maret 2011
82
Extinction ini menjadi signifikan ketika ketinggian suatu benda langit, (dalam hal ini yang dimaksud adalah matahari) lebih rendah dari sekitar 45o. Apabila posisi tersebut diamati di permukaan laut, kepunahan puncaknya sekitar 0,28 magnitudo. Sedangkan jika suatu benda langit pada ketinggian 12,5o, kepunahan adalah 1,28 magnitudo, meningkat sebesar 1,00 magnitudo lebih besar dari puncak pada saat 45o. Efeknya menjadi jauh lebih dramatis di ketinggian rendah bahkan di cakrawala, efek besarnya adalah 11,2 magnitudo.133 Di samping itu, ketinggian suatu tempat juga ada kaitannya dengan refraksi. Bila sinar cahaya lewat dari ruang hampa angkasa antar bintang ke dalam atmosfer, maka kecepatannya berkurang. Perbandingan kecepatan sinar dalam ruang hampa dengan kecepatan sinar dalam ruang medium disebut indeks refraksi (indeks bias). Indeks refraksi atmosfer dapat dihitung berdasarkan ketinggian, karena tekanan barometric dan tekanan parsial uap air lebih cepat dibandingkan dengan temperatur udara. Penurunan indeks refraksi menyebabkan kenaikan kecepatan penjalaran gelombang dengan ketinggian, sehingga sinar dibelokkan ke bawah.134 Namun, dari kedua point tersebut; atmospheric extinction dan refraksi; menurut penulis ketinggian tempat besar pengaruhnya pada kerendahan ufuk
133
Op cit, http://www.asterism.org/tutorials/tut28-1.htm. Selain mengurangi kecerahan, atmospheric extinction juga menyebabkan memerahnya suatu bintang. Fenomena ini terkait dengan extinction (kepunahan) antar bintang di mana spektrum radiasi elektromagnetik dari sumber radiasi mengubah karakteristik dari objek yang awalnya dipancarkan. Matahari biasanya menjadi redup pada panjang gelombang pendek dengan terangnya tersebar di langit latar depan, dan cahaya ditransmisikan sehingga yang tersisa dan tampak adalah cahaya merah. Memerah ini terjadi karena hamburan Rayleigh mempengaruhi cahaya biru sehingga sudut zenith meningkatkan ada kemerahan yang sesuai dari objek bintang. Inilah yang menjadikan matahari ataupun bulan tampak merah ketika senja dan pagi hari. Lihat pada http://mintaka.sdsu.edu/GF/ explain/extinction/extintro.html yang diakses pada tanggal 27 Maret 2011 134 Bayong Tjasyono, op cit, hlm. V.8 – V.11
83
pengamat. Kerendahan ufuk atau ikhtilaful ufuq ialah perbedaan kedudukan antara ufuk hakiki (ufuk yang sebenarnya) dengan ufuk mar’i (ufuk yang terlihat) oleh seorang pengamat. Dalam suatu pengamatan, kedudukan atau arah bidang horizon bagi pengamat di muka laut berbeda dengan kedudukan atau arah horizon bagi pengamat di tempat yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan bumi dianggap berbentuk bulat.135 Bila tinggi suatu benda langit diamati pada ketinggian tertentu di atas permukaan air laut, maka tinggi benda langit yang terlihat tersebut adalah tinggi dari horizon pengamat (ufuk mar’i), bukan horizon hakiki. Horizon hakiki adalah suatu bidang yang melalui titik pusat bumi dan tegak lurus pada garis vertikal.136 Saat kita berdiri di atas bumi, maka letak mata kita tidak pernah tepat pada permukaan bumi, akan tetapi senantiasa pada jarak tertentu di atasnya. Oleh karena itu, setiap pengamat yang mengamati benda-benda langit termasuk matahari dan bulan, matanya tidak akan tepat di permukaan bumi maupun di permukaan laut, melainkan pada ketinggian tertentu di atas benda langit tersebut. Jika dari pengamat ditarik garis lurus sejajar dengan bidang horizon, maka garis atau bidang ini yang disebut dengan ufuk hakiki yang berjarak 90° dari zenith. Sedangkan ufuk yang terlihat dan tampak di lapangan merupakan batas persinggungan antara pandangan mata dengan permukaan bumi atau permukaan laut. Garis lurus yang ditarik dari batas persinggungan ini yang disebut dengan ufuk mar’i. Maka dari itu, ufuk mar’i lebih rendah daripada ufuk hakiki. Perbedaan 135 136
Dimsiki Hadi, op cit, hlm. 99 Abdr Rachim, Op cit, hlm. 29
84
ini lah yang dinamakan kerendahan ufuk, atau dalam istilah astronomi dikenal dengan dip. Dip atau kerendahan ufuk ini sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Semakin tinggi kedudukan mata kita, semakin besar nilai kerendahan ufuk. Sehingga, tempat yang berada lebih tinggi akan menyaksikan benda langit terbit lebih awal serta melihat benda langit terbenam lebih akhir, dibandingkan dengan tempat yang lebih rendah. Koreksi kerendahan ufuk yang dipengaruhi oleh ketinggian tempat adalah untuk koreksi jika tinggi matahari kurang dari 10°, lebih dari nilai tersebut, koreksi dapat diabaikan saja, sebagaimana dalam Almanak Nautika:137 An additional correction, given on page A4, is required for the change in the refraction, due to variations of pressure and temperature from the adopted standar conditions; it may generally be ignore for altitudes greater than 10°. Dari beberapa keterangan tersebut, maka menurut penulis ketinggian tempat berpengaruh pada kerendahan ufuk yang teramati, selanjutnya berdampak pada posisi matahari yang teramati kemudian juga mempengaruhi sudut waktu matahari.
Sebagai
konsekuensinya,
maka
ketinggian
tempat
dikatakan
mempengaruhi jadwal waktu shalat, yaitu waktu-waktu yang berhubungan dengan kerendahan ufuk dengan ketinggian matahari kurang dari 10° yakni waktu Maghrib, waktu Isya’ dan waktu Subuh serta waktu terbit sebagai akhir waktu Subuh. Dari beberapa perhitungan penulis menunjukkan bahwa pengaruh ketinggian tempat dalam waktu shalat tidak linear. Sehingga pengaruh tersebut 137
Almanak Nautika, op cit, hlm. 259
85
tidak dapat digeneralisir dan dianggap sama besar dengan ketinggian tertentu, melainkan masing-masing ketinggian tempat mempunyai pengaruh selisih waktu yang berbeda antar ketinggian. Berdasarkan data perhitungan penentuan waktu shalat dengan ketinggian tempat, maka penulis menyimpulkan bahwa pengaruh ketinggian tempat terhadap waktu shalat (dalam suatu wilayah yang sama nilai lintang dan bujurnya) adalah sebagai berikut: 1. Waktu Maghrib Waktu Maghrib adalah waktu dimana matahari tenggelam. Dalam astronomi waktu ini posisi tinggi matahari (ho) diperkirakan sekitar -1° dari horizon. Ini adalah waktu shalat dimana posisi matahari paling dekat dengan horizon, sehingga menurut penulis, waktu Maghrib merupakan waktu shalat yang paling dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Dari hasil perhitungan penulis, selisih waktu shalat yang menggunakan ho -1° dan waktu shalat yang menggunakan data ketinggian tempat dengan formulasi 1.76√ℎ adalah sebagai berikut:138 Tabel 10. Selisih jadwal waktu shalat Maghrib ho: -1° dengan ho: -( ku + ref + sd) Ketinggian pengamat (meter) 50 75 100 150 200 138
Selisih (menit) 0,18 0,38 0,68 0,85 1,08
Serupa dengan tabel Daftar Koreksi Pengamat menurut Sa’aduddin Djambek, tabel tersebut juga berdasarkan ketinggian daerah sekeliling hingga kaki langit atau ufuk. Namun jika dibandingkan dengan tabel yang disajikan oleh Sa’aduddin Djambek, tabel selisih waktu untuk koreksi ketinggian tempat ini agak berbeda. Sedikit perbedaan ini dikarenakan pembulatan dua angka di belakang koma. Selain pembulatan koma, tabel daftar koreksi oleh Djambek hanya untuk waktu syuruq dan ghurub saja.
86
250 300 400 500 600 700 800 900 1000
1,3 1,5 1,85 2,15 2,42 2,67 2,92 3,13 3,35
2. Waktu Isya’ Waktu Isya’ diperkirakan waktu dimana posisi ho matahari: -18° dibawah ufuk. Meskipun telah berada dibawah horizon 18°, menurut penulis pada posisi ini ketinggian tempat cukup mempengaruhi pengamatan kerendahan ufuk matahari sehingga mempengaruhi keberadaan sisa-sisa cahaya yang ada di langit. Dari hasil perhitungan yang membandingkan waktu shalat yang hanya menggunakan ho -18° dan waktu shalat yang menggunakan formulasi kerendahan ufuk 1.76√ℎ dengan melibatkan data ketinggian tempat adalah sebagai berikut: Tabel 11. Selisih jadwal waktu shalat Isya’ ho: -18° dengan ho: -( ku + ref + sd) + -17° Ketinggian pengamat(meter) 50 75 100 150 200 250 300 400 500 600 700
Selisih (menit) 0,18 0,4 0,58 0,87 1,12 1,35 1,55 1,9 2,22 2,5 2,75
87
800 900 1000
3 3,23 3,45
3. Waktu Subuh Waktu Subuh untuk Indonesia sekarang ini masih terdapat perbedaan dari kalangan ahli falak mengenai ho matahari. Ada yang menyebutkan ho matahari: -18°, -19°, dan -20°. Tabel 12. Selisih jadwal waktu shalat Subuh’ ho: -20° dengan ho: -( ku + ref + sd)+ -20° Ketinggian pengamat(meter) 50 75 100 150 200 250 300 400 500 600 700 800 900 1000
Selisih (menit) -
0,18 0,4 0,58 0,86 1,12 1,35 1,55 1,9 2,22 2,5 2,76 3 3,23 3,45
4. Terbit Sebagaimana waktu Maghrib, waktu terbit matahari juga kurang lebih berada pada posisi ho: -1° di bawah ufuk. Oleh karena itu, terbit sebagai tanda berakhirnya waktu Subuh juga terpengaruh dengan ketinggian tempat. Berkebalikan dengan Maghrib, untuk waktu terbit untuk daerah tinggi akan menyaksikan terbit lebih dahulu daripada daerah yang lebih rendah. Oleh karena itu, tempat yang lebih tinggi akan menyaksikan matahari lebih dahulu terbit dibandingkan dengan tempat yang lebih rendah.
88
Tabel 13. Selisih jadwal waktu shalat Terbit ho: -1 dengan ho: -( ku + ref + sd) Ketinggian pengamat(meter) 50 75 100 150 200 250 300 400 500 600 700 800 900 1000
Selisih (menit) -
0,18 0,38 0,68 0,85 1,08 1,3 1,5 1,85 2,15 2,42 2,67 2,92 3,13 3,35
5. Waktu Dzuhur Waktu Dzuhur tidak terpengaruh oleh data ketinggian tempat karena waktu Dzuhur tidak berhubungan dengan ufuk. Waktu Dzuhur adalah waktu dimana kedudukan matahari sesaat setelah berkulminasi. Waktu ini posisi matahari hampir 90° dari ufuk. Oleh karena itu waktu Dzuhur tidak terpengaruh dengan data ketinggian tempat. 6. Waktu Ashar Waktu Ashar adalah waktu dimana panjang bayang-bayang suatu benda lebih panjang dari benda yang sebenarnya. Pada saat itu diperkirakan posisi matahari 45° dari ufuk. Karena posisi tersebut dianggap masih tergolong tinggi dari ufuk maka pengaruh kerendahan ufuk terlalu kecil atau dianggap tidak ada. Oleh karena itu, waktu Ashar tidak terpengaruh oleh data ketinggian tempat.
89
Dari data tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa ketinggian tempat berpengaruh pada waktu shalat, yaitu waktu shalat Maghrib, Isya’ dan Subuh. Karena jelas berpengaruh dalam waktu shalat maka untuk keakurasian waktu shalat agar seseorang tidak menunaikan shalat sebelum waktunya atau berbuka puasa sebelum waktunya (terkait waktu Maghrib) maka ketinggian tempat suatu daerah dinilai sangat urgensi dalam formulasi penentuan awal waktu shalat. Sebab, sebagaimana dalam surat An Nisa 104, bahwa shalat merupakan ibadah yang telah ditentukan waktunya sehingga tidak dapat dilakukan sembarang waktu.
B. Analisis Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat yang Ideal Terkait Formulasi Kerendahan Ufuk Yang Berbeda-Beda Dari beberapa pendapat ahli falak tentang formulasi waktu shalat dengan data ketinggian tempat, yaitu dip (0 1.76’ √h) + ref + sd, dip (0,0293 √h) + ref + sd, dan dip (0,98 √h) + ref + sd ataupun (√3,2 h) + ref + sd, menurut penulis, semua rumusan tersebut merupakan pendekatan dalam menentukan dip karena bentuk permukaan bumi yang tidak rata. Bumi ini sebenarnya bukan berbentuk bulat rapi, melainkan berbentuk tidak rata. Hal ini dikarenakan pada bentuk permukaan bumi yang berupa dataran rendah, dataran tinggi, pegunungan, sungai, laut, dan sebagainya. Bentuk bumi yang tidak rata ini dalam geodesi digambarkan dengan geoid. Geoid adalah bidang ekipotensial gaya berat buni yang berimpit dengan permukaan laut ideal. Geoid ini dianggap bentuk yang paling mendekati mean sea level (permukaan laut rata-rata). Sedangkan rumus-rumus yang ada merupakan rumus dibuat
90
berdasarkan bentuk ellipsoid bumi, yaitu bentuk pendekatan untuk geoid yang mana bentuk bumi digambarkan bulat agar memudahkan dalam perumusan suatu formulasi perhitungan-perhitungan bumi.139
Gambar 5. bumi – geoid – ellipsoid
Gambar 6. garis pendekatan antara topografi bumi, ellipsoid, dan geoid.
Oleh karena itu, menurut penulis, banyaknya formulasi rumus ialah untuk mendapatkan nilai yang paling mendekati kebenaran mengenai kerendahan ufuk. Karena pusat dari bumi sendiri yang digunakan untuk pengukuran tinggi tempat masih berupa pendekatan, belum mencapai nilai mutlak. Dari turunan-turunan
139
Eddy Prahasta, op cit, hlm. 121, juga ada dalam materi power pint Sistem Koordinat yang disampaikan oleh Arief Laila Nugraha dalam perkuliahan Astronomi Bola di kelas Konsentrasi Ilmu Falak semester 3.
91
tersebut dapat kita lihat, bahwa masing-masing formulasi mempunyai pendekatan yang berbeda-beda. Dalam buku Ilmu Falak; Teori dan Praktik karya Muhyiddin Khazin ho Maghrib: -1°, ho Isya’ : -18°, ho Subuh: -20° dan ho Terbit: -1°. ho yang digunakan oleh Muhyiddin Khazin ini merupakan ho rata-rata matahari yang belum dicalculation oleh beberapa koreksi, termasuk koreksi tinggi tempat. Slamet Hambali dan beberapa ahli falak sebagaimana mengutip dari Almanak Nautika, menggunakan 0° 1’.76√h untuk mencari koreksi ku. Sedangkan Uzal Syahruna seperti dalam materinya Perhitungan Awal Waktu Shalat, dalam mencari ku lebih memilih menggunakan bentuk decimal dari 0° 1’.76√h, yakni ku: 0.0293√h. Sedangkan dalam buku Ilmu Falak; Penetapan Awal Waktu Shalat dan Kiblat oleh Muchtar Salimi dijelaskan bahwa dip dapat dihitung dengan rumus dip 0,97 √h feet atau 1,757√h meter. Dari penelusuran penulis, antara formulasi satu dengan yang lain ada beberapa kemiripan, bahkan menurut penulis satu kesatuan. Sebagaimana formula yang disuguhkan oleh Textbook on Sperical Astronomy, Rinto Anugroho dan Astronomy Principles and Practise menurut penulis adalah sama dan satu kesatuan. Berikut turunan rumus ku yang penulis peroleh dari buku Astronomy Principles and Practise140:
140
A.E. Roy, D. Clarke, op cit, hlm. 93-95
92
X
Z a
a’
H
O
θ
h
H’ θ'
A
T
‘
D
Ro
T’
Ro
C
Gambar 7. Sudut Dip/kerendahan ufuk a = a’ – θ Jari-jari bumi adalah R, maka CT = CA = R dan CO = R + h Segitiga OTC sama dengan T; ∠HOC = 90°, ∠ TOC = 90° - θ. Maka, Sin TOC = cos θ =
R
R+h Tapi θ adalah sudut kecil, maka kita dapat menulis
Cos θ = 1 R R+h
1-
=1-
𝜃2 2
=
𝜃2 2 𝜃2 2
R R+h
93
𝜃2 2
=
R+h R+h
-
R R+h
=
h R+h′
2h θ = √R+h
karena h sanagat kecil dibanding R, maka kita dapat menulis: 2h θ =√ R radian
untuk mengganti satuan radian menjadi derajat, maka untuk 1 radian: 3438, yaitu 57.32 x 60, menjadi: 2h θ = 3438 √ R
kemudian dimasukkan nilai R: 6372 x 106 menjadi: θ = 1,93’ √ℎ itu jika h berupa meter, sedangkan jika h berupa satuan feet (kaki), maka: θ = 1,06’ √ℎ apabila dimasukkan nilai refraksi maka nilainya berkurang menjadi: θ = 1,78’ √ℎ menit untuk h berupa meter, sedangkan h berupa feet, maka: θ = 0,98’ √ℎ menit Sebagaimana yang penulis kutip dari buku Astronomy Principles and Practise, yaitu:141 When refraction is taken into account, the path of ray from the horizon at T’ is cured as shown and therefore appears to come from a direction OD, so that the distance to the horizon is greater and the angel of dip is less.
141
Ibid
94
Dari turunan tersebut dapat dilihat bahwa hampir keseluruhan formulasi ada persamaan dengan beberapa rumus di atas. Dip/ku yang digunakan Rinto Anugraha, yaitu 1,93√ℎ adalah dip/ku yang belum menggunakan koreksi refraksi di dalamnya, dan h dalam formulasi ini bersatuan meter. Untuk formulasi dip/ku yang telah menggunakan refraksi seperti Textbook on Sperical Astronomy 0.98√ℎ adalah h bersatuan feet. Sedangkan formulasi yang digunakan Slamet Hambali, 1,76√ℎ merupakan bentuk formulasi yang telah memakai koreksi refraksi di dalamnya dan h bersatuan meter. Perbedaan dua angka di belakang koma dari yang digunakan dan ini hampir sama dengan yang digunakan oleh Muchtar Salimi, yaitu 0,97√ℎ feet dan 1,767√ℎ meter menurut penulis karena pembulatan. Berbeda-bedanya formulasi dip/ku tersebut selain karena penggunaan refraksi, juga dipengaruhi oleh penggunaan data R. Formulasi yang memakai tinggi tempat berupa feet sebagaimana dalam buku Textbook on Sperical Astronomy menggunakan R: 3960 x 5280 feet, sedangkan Rinto Anugraha menggunakan R: 6378000 meter dan buku Astronomy Principles and Practise menggunakan R: 6.372 x 106. Meskipun Rinto Anugraha dan Astronomy Principles and Practise berbeda mengunakan R, tapi formulasinya sama karena pembulatan di belakang koma. Sementara itu, Damsiki Hadi yang merupakan mantan Ketua Jurusan FMIPA Fisika UGM Yogyakarta, dalam bukunya Perbaiki Waktu Shalat dan Arah Kiblatmu! menggunakan formulasi 0,032° √ℎ. Formulasi tersebut ia juga menggunakan rumus trigonometri dengan penggunaan data R = 6,4 x 106 m.
95
Berbeda dengan Abdur Rachim, ia mempunyai sedikit perbedaan ketentuan dalam mencari dip/ku. Abdur Rachim mempunyai rumus sendiri yaitu dalam bukunya Ilmu Falak, dijelaskan bahwa ku mar’i dapat diketahui dengan rumus √3,2 h. Abdur Rachim mendapatkan nilai tersebut menggunakan pendekatan rumus pitagoras dari segitiga siku-siku untuk menggambarkan titiktitik antara pusat bumi, tinggi tempat dan ufuk. Sedangkan Rinto Anugraha, buku Textbook on Sperical Astronomy, dan Astronomy Principles and Practise ketiganya menggunakan pendekatan rumus trigonometri. Dalam penggunaan data R Abdr Rachim juga berbeda, yaitu dengan R: 6000 km. Dari penulusuran penulis tersebut, penulis beranggapan bahwa rumus yang digunakan oleh Abdr Rachim merupakan rumus paling sederhana karena masih menggunakan rumus bidang segitiga siku-siku dan memakai data R: 6000 km. Sedangkan ketiga formulasi (Rinto Anugraha, buku Textbook on Sperical Astronomy, dan Astronomy Principles and Practise) telah menggunakan pendekatan deret Mc.Laurin; yaitu deret yang biasa digunakan untuk memperhitungkan garis lengkung dengan perhitungan dari beberapa perpotongan garis; yang digunakan untuk menghitung garis lengkung antara pengamat dengan ufuk. Dari turunan tersebut, maka penulis menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya formulasi mencari dip/ku yang digunakan Textbook on Sperical Astronomy, Muchtar Salimi, Slamet Hambali, Uzal Syahruna, Rinto Anugroho dan Astronomy Principles and Practise adalah sama, hanya berbeda penggunaan dan pembulatan saja.
96
Dalam hal ini menurut penulis tidak ada larangan untuk memilih salah satu formulasi dalam perhitungan penentuan waktu shalat. Sebab, selisih waktu shalat yang dihasilkan dari beberapa formulasi tersebut tidak banyak, hanya sekian detik saja. Hal ini dapat dipahami dari tabel berikut ini: Tabel 14. Komparasi Formulasi ku142 Waktu Shalat
1.76 √𝒉 (m) 17:58:41 19:14:17 04:00:02 11:41:42 15:12:50
Asal ho 17:58:03 19:13:38 04:00:41 11:41:42 15:12:50
Maghrib Isya Subuh Dhuhur Ashar
1.93√𝒉 (m) 17:58:48 19:14:25 03:59:54 11:41:42 15:12:50
0.98 √𝒉 (ft) 17:57:47 19:13:22 04:00:58 11:41:42 15:12:50
√𝟑. 𝟐𝒉 (m) 17:58:42 19:14:18 04:00:01 11:41:42 15:12:50
0.032√𝒉 (m) 17:58:48 19:14:24 03:59:55 11:41:42 15:12:50
1.67 √𝒉 (ft) 17:58:48 19:14:24 03:59:55 11:41:42 15:12:50
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa selisih antara formulasi jika dibandingkan dengan tinggi matahari yang tidak menggunakan koreksi ketinggian tempat (Maghrib ho-1, Isya’ ho-18, Subuh ho-20) hanya sekian detik, yaitu: Tabel 15. Daftar Selisih Antar Formulasi – Tinggi Matahari Tanpa Koreksi Waktu Shalat Maghrib Isya Subuh
1.76 √𝒉 (m) 17:58:41 19:14:17 04:00:02
Waktu Shalat Maghrib Isya Subuh
Asal ho d
-38 -39 d 39 d
0.98 √𝒉 (ft) 17:57:47 19:13:22 04:00:58
1.93√𝒉 (m) √𝟑. 𝟐𝒉 (m) 7d 1d 8d 1d -8 d -1 d
Asal ho d
16 16 d -17 d
0.032√𝒉 (m) 7d 7d -7d
1.67 √𝒉 (ft) 1m 1 d 1m 2 d -1m 3 d
Meskipun tidak ada larangan dalam penggunaan formulasi, namun menurut penulis formulasi waktu shalat yang paling ideal adalah formulasi yang 142
Data ini menggunakan h 100 meter (30,48 feet), dan menggunakan data ephemeris pada tanggal 1 Januari 2011
97
di dalamnya terdapat koreksi kerendahan ufuk dengan penggunaan data ketinggian tempat dan rumus ku sebagai berikut: - (ku + ref + sd) dengan dip/ku: 1,76 √ℎ (meter) atau 0.98√ℎ. Karena pada formulasi tersebut telah ada koreksi refraksi, maka ku disini menggunakan ku yang di dalamnya belum ada koreksi refraksinya. Jika kita menggunakan ku: 1,93√ℎ (meter) atau dip/ku: 1,06√ℎ (feet) maka kita tidak perlu menambah data refraksi di dalamnya.
C. Analisis Penggunaan Waktu Ihtiyat untuk Mengatasi Pengaruh Ketinggian Tempat dalam Penyajian Jadwal Waktu Shalat yang Ideal. Pengaruh ketinggian tempat dalam waktu shalat membuat jadwal waktu shalat antara daerah satu dengan daerah lainnya berbeda-beda. Namun, menurut penulis, dalam penentuan jadwal waktu shalat tidak perlu menghitung satu-persatu waktu shalat untuk masing-masing daerah. Menurut penulis, penggunaan ihtiyat yang digunakan para ahli falak telah dapat mengatasi perbedaan waktu akibat perbedaan tinggi tempat. Toleransi di sini berarti toleransi waktu yang diberikan sebagai jalan tengah waktu shalat suatu wilayah yang mempunyai toporafi tinggi tempat yang berbeda-beda. Ihtiyat yang diberikan oleh para ahli falak, biasanya dengan diambilnya rata-rata tinggi tempat dalam suatu wilayah, penggunaan daerah yang tinggi atau rendah sebagai acuan, dan penggunaan penambahan waktu ihtiyat. Penggunaan data ketinggian tempat rata-rata yang dipakai beberapa ahli falak menurut penulis telah dapat memback up pengaruh ketinggian tempat original, meskipun yang digunakan ialah data rata-rata ketinggian tempat 100-200
98
meter di atas permukaan air laut. Selama ini, ketinggian tempat yang ada biasanya berupa ketinggian tempat berdasarkan permukaan air laut rata-rata. Karena parameter ketinggian tempat yang dianggap standar adalah ketinggian tempat yang diukur dari permukaan air laut. Hal ini didasarkan permukaan air laut sebagai patokan karena diasumsikan bahwa permukaan air laut di semua tempat adalah sama. Berbeda jika ketinggian tempat diukur dari ufuk. Karena setiap ufuk dari masing-masing ketinggian suatu tempat atau wilayah berbeda-beda, sebab dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar, yaitu pohon, bukit, bahkan gedung bertingkat. Meskipun demikian, ketinggian tempat dapat diukur berdasarkan daerah lain yang menjadi ufuk. Beda tinggi ini dapat diukur dari Titik Tinggi Geodesi (TTG) yang ada. Dalam suatu wilayah ada beberapa TTG yang dapat menjadi acuan tinggi tempat dengan tanda patok sebagai pegukur untuk daerah lainnya. Pengukuran beda tinggi antara TTG yang terdekat dengan daerah yang dihitung tinggi tempatnya dengan menggunakan waterpas. Selain itu, beda tinggi antar daerah juga dapat diperoleh dengan menghitung selisih tinggi tempat kedua daerah tersebut. Misalnya untuk mencari ketinggian antara daerah Ngaliyan dengan Tugu, dapat diperoleh dengan menghitung selisih tinggi tempat keduanya.. Dengan demikian, dapat diketahui tinggi tempat berdasarkan daerah lain yang menjadi ufuk karena daerah Tugu merupakan daerah yang menjadi ufuk yang teramati dari Ngaliyan. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketinggian tempat dapat diukur dari ufuk yang berupa daerah lain yang teramati.
99
Oleh karena itu, pengunaan data ketinggian rata-rata 100-200 meter dinilai cukup sebagai pengcoveran berbedanya tinggi tempat, karena rata-rata ketinggian tempat sebagian besar wilayah jika dihitung dari garis ufuk tidak melebihi 200 m. Sedangkan koreksi waktu terhadap ketinggian tempat suatu daerah hanya diperlukan untuk daerah-daerah tertentu yang mempunyai ketinggian tempat yang ekstrim terhadap ufuk. Sebagaimana pendapat Thomas Djamaluddin bahwa143 koreksi dip yang dipengaruhi ketinggian tempat ini bisa diberlakukan secara lokal sekali di wilayah puncak bukit yang langsung berhadapan dengan ufuk yang lebih rendah dari kondisi normal. Sebagaimana yang telah penulis paparkan tentang ihtiyat pada Bab II poin C.4, bahwa ihtiyat berdasarkan kegunaannya ada tiga, yaitu ihtiyat guna luasnya daerah, ihtiyat guna koreksi sesaat dalam hasil hisab, dan ihtiyat guna keyakinan. Pada pengaruh ketinggian tempat dalam waktu shalat ini, ihtiyat pertama, yaitu ihtiyat guna luas daerah, menurut penulis telah digunakan oleh para ahli falak dalam menentukan jadwal waktu shalat suatu daerah. Sebagai ihtiyat guna luas daerah, sependapat dengan Slamet Hambali, sebagai toleransi, untuk waktu yang berhubungan dengan terbenamnya matahari, sebaiknya menggunakan perhitungan dari dataran yang lebih tinggi sebagai acuan dan patokan guna menanggulangi agar dataran tinggi tersebut tidak mengalami masuk waktu padahal belum masuk waktu yang semestinya. Sebagaimana waktu Maghrib dan Isya’ (berhubungan dengan terbenamnya matahari) digunakan perhitungan dengan ketinggian tempat paling tinggi, karena 143
Hasil wawancara dengan Thomas Djamaluddin via jejaring sosial facebook pada tanggal 3 Desember 2010
100
daerah yang lebih tinggi akan melihat matahari terbenam lebih akhir daripada yang lebih rendah. Untuk itu, agar daerah yang labih tinggi tidak masuk awal waktu shalat sebelum semestinya, maka pada saat waktu Maghrib dan Isya’ menggunakan data perhitungan dengan ketinggian tempat paling tinggi. Sedangkan untuk waktu Subuh sebaliknya. Daerah yang lebih tinggi akan menyaksikan fajar atau terbit matahari lebih cepat daripada yang lebih rendah. Sedangkan daerah yang lebih rendah akan menyaksikan fajar dan terbit matahari lebih akhir. Oleh karena itu, yang dijadikan patokan dalam hal ini adalah daerah yang lebih rendah. Sebab ini untuk menanggulangi agar daerah yang lebih rendah tidak masuk awal waktu shalat sebelum waktu yang semestinya. Dalam penentuan jadwal waktu shalat suatu daerah, biasanya para ahli falak telah memperhitungkan lintang antara pantai selatan dan utara, mana yang lebih dahulu masuk pada waktunya. Seperti untuk daerah Semarang, diharapkan memperhitungkan lintang paling utara; yaitu sekitar daerah pantai Semarang; dan lintang paling selatan; yaitu daerah sekitar Mijen. Dari titik paling utara dan selatan tersebut dapat digunakan sebagai patokan dengan memperhatikan nilai deklinasi matahari pada waktu tertentu. Seperti pada bulan Januari dengan deklinasi matahari berada pada sekitar -23° 01’ 45” s/d -17° 28’ 50” di sebelah selatan, maka yang harus menjadi acuan adalah daerah paling selatan, karena daerah paling selatan lebih akhir masuk waktu shalatnya. Sehingga dimungkinkan agar waktu daerah selatan tidak masuk waktu shalat sebelum waktu yang semestinya. Begitu juga sebaliknya, jika deklinasi matahari berada di sebelah
101
utara, maka yang dijadikan acuan adalah daerah utara, juga karena daerah utara lebih akhirr masuk waktu shalatnya. Dari data perhitungan penentuan jadwal waktu shalat untuk wilayah Semarang yang dilakukan penulis dengan pengambilan data yang dari beberapa titik dari Google Earth menunjukkan bahwa untuk wilayah Semarang sendiri mempunyai topografi yang sangat beragam. Daerah yang paling utara adalah sepanjang pantai di Semarang, yang penulis ambil titik tempat PRPP Jateng Fair dengan lintang -6° 57’ 04.74”. Sedangkan daerah paling selatan yang penulis ambil titiknya adalah daerah Ungaran dengan lintang -7° 07’39.19”. Selisih waktu shalat diantara kedua titik tersebut tidak begitu signifikan, hanya beberapa detik saja. Untuk perbedaan bujurnya, dalam satu wilayah markas yang digunakan perhitungan penentuan waktu shalat biasanya hanya terdapat perbedaan selisih yang terbesar mencapai 0,1° bujur saja. Sebagaimana dalam skripsi Muntoha tentang Analisis Terhadap Toleransi Pengaruh Perbedaan Lintang dan Bujur dalam Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, bahwa dalam perbedaan bujur sebesar 0,1o atau jarak tepat ke timur atau tepat ke barat sejauh 11 km berarti perbedaan waktu sebanyak 0,4 menit atau 24 detik. Sehingga menurut penulis, perbedaan bujur dalam satu wilayah dapat ditolerir dengan waktu ihtiyat yang digunakan para ahli falak. Oleh karena itu, ihtiyat luas daerah yang dipakai para ahli falak, menurut penulis telah cukup memback up perbedaan waktu antar daerah dalam satu wilayah.
102
Dari data perhitungan masing-masing tempat tersebut menunjukkan bahwa perbedaan waktu antar tempat tersebut tidak mencapai 3 menit. Sedangkan dari keterangan Bab III point D menunjukkan bahwa untuk suatu wilayah dengan nilai lintang dan bujur yang sama, pengaruh ketinggian tempat mencapai selisih 1 menit untuk perbedaan ketinggian sekitar 200 meter dan mencapai selisih 3 menit untuk ketinggian 1000 meter. Sedangkan ikhtiyat yang dipakai rata-rata ahli falak adalah 2 menit. Oleh karena itu, menurut penulis, ikhtiyat 2 menit ini telah mampu memback up selisih waktu antar daerah akibat pengaruh ketinggian tempat. Dari beberapa keterangan tersebut, maka menurut penulis tidak perlu pengadaan konversi tempat berdasarkan ketinggin tempat. Konversi tempat berdasarkan pembagian wilayah kota yang terdapat pada jadwal waktu shalat pada umumnya dapat dipergunakan jika bujur kedua tempat antara tempat markas perhitungan dan tempat yang akan disesuaikan mempunyai lintang yang sama. Jika mempunyai lintang yang berbeda dapat dikonversi asalkan perhitungan jadwal waktu shalat memperhitungkan batas wilayah jadwal yang paling dulu dan paling lambat masuk waktu shalat. Sehingga tidak menjadikan suatu daerah yang seharusnya belum masuk waktu shalat, tetapi dianggap telah masuk waktunya. Melihat topografi wilayah yang ada di Indonesia sangat beraneka macam, maka untuk mempermudah penentuan awal waktu shalat salah satunya dengan pengambilan satu titik ketinggian tempat rata-rata suatu wilayah sebagai pengganti konversi daerah untuk ketinggian tempat. Oleh karena itu, penulis membuat tabel berdasarkan ketinggian tempat sebagai berikut:
103
Tabel 16. Daftar Ketinggian Tempat Rata-rata untuk Suatu Wilayah Berdasarkan Berbagai Ketinggian Tempat
Ketinggian pengamat(meter) 0 - 50 0 - 75 0 - 100 0 - 150 0 - 200 0 - 250 0 - 300 0 - 400 0 - 500 0 - 600 0 - 700 0 - 800 0 - 900 0 - 1000
Ketinggian rata-rata yang digunakan (meter) 25 35 50 75 100 125 150 200 250 300 350 400 450 500
Ihtiyat (menit) 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Ketinggian tempat suatu daerah sangat urgensi dalam formulasi penentuan awal waktu shalat karena terkait dengan tingkat keakurasian waktu shalat agar seseorang tidak menunaikan shalat sebelum waktunya. 2. Formulasi waktu shalat yang paling ideal adalah formulasi yang di dalamnya terdapat koreksi kerendahan ufuk dengan penggunaan data ketinggian tempat dan rumus ku sebagai berikut: - (ku + ref + sd) dengan dip/ku: 1,76 √ℎ (meter) atau 0.98√ℎ (feet). 3. Penggunaan waktu ihtiyat untuk mengatasi pengaruh ketinggian tempat dalam penyajian jadwal waktu shalat yang ideal terkait urgensinya ketinggian tempat adalah tidak perlu pengadaan konversi tempat berdasarkan ketinggian tempat, tetapi cukup dengan menggunakan waktu ihtiyat sebagaimana yang diberikan oleh para ahli falak. Ihtiyat tersebut yaitu pengambilan data ratarata tinggi tempat dalam suatu wilayah, penggunaan daerah yang tinggi sebagai acuan untuk waktu yang berhubungan dengan terbenam matahari, dan menggunakan data daerah yang rendah sebagai acuan untuk waktu yang berhubungan dengan terbit matahari, serta penggunaan waktu ihtiyat 2 menit dengan pembulatan detik. Konversi tempat karena perbedaan ketinggian tempat bisa diberlakukan secara lokal sekali di wilayah puncak bukit yang
104
105
langsung berhadapan dengan ufuk yang lebih rendah dari kondisi normal dengan nilai ekstrim. Berikut tabel untuk pengambilan satu titik rata-rata ketinggian tempat yang digunakan dalam formulasi penentuan awal waktu shalat: Tabel 16. Daftar Ketinggian Tempat Rata-rata untuk Suatu Wilayah Berdasarkan Berbagai Ketinggian Tempat
Ketinggian pengamat(meter) 0 - 50 0 - 75 0 - 100 0 - 150 0 - 200 0 - 250 0 - 300 0 - 400 0 - 500 0 - 600 0 - 700 0 - 800 0 - 900 0 - 1000
Ketinggian rata-rata yang digunakan (meter) 25 35 50 75 100 125 150 200 250 300 350 400 450 500
Ihtiyat (menit) 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik 2 menit pembulatan detik
106
B. Saran 1. Pembuatan jadwal waktu shalat diharapkan memperhitungkan data ketinggian tempat dan tempat-tempat yang menjadi acauan perhitungan dalam suatu wilayah. 2. Pemerintah melalui BAKOSURTANAL (Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional) diharapkan menetapkan ketinggian tempat wilayahwilayah di Indonesia secara teliti, baik diukur dari permukaan air laut ratarata maupun diukur dari daerah lain yang menjadi ufuk. Serta membuat daftar ketinggian tersebut agar mudah diakses oleh umum sehingga dapat dipergunakan untuk kepentingan luas. 3. Skripsi ini masih sangat sederhana dan banyak kekurangan sehingga masih membutuhkan saran dan kritik yang konstruktif sehingga skripsi ini akan lebih sempurna, yang menjadikannya karya ilmiah yang bisa bermanfaat bagi masyarakat dan penulis umumnya. 4. Mempelajari ilmu falak adalah fardhu kifayah. Hendaknya ilmu ini tetap dijaga eksistensinya oleh setiap komponen dan lapisan, dengan melakukan pengembangan dan pembelajaran sejalan dengan perkembangan Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi).
107
C. Penutup Syukur Alhamdulillah atas pemberian kenikmatan serta karunia yang tidak terhingga kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Meskipun dalam pengerjaannya penulis telah berupaya dengan optimal, ada kiranya terdapat banyak kesalahan dalam penulisan dan pemaknaan, penulis harapkan adanya kritik, saran konstruktif untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat serta dapat meningkatkan wawasan dan ranah keilmuan kita, khususnya di bidang ilmu falak. Amin. Wallahu a’lam bish shawab.
DAFTAR PUSTAKA Abi al Fadhal Ahmad bin Ali bin Hajar Al Asqalani, Syekh Syihabuddin, Tahdzib al Tahdzib, Beirut: Dar Al Kitab Al Islami, 852 H Abi Muhammad Abd Rahman bin Abi Hatim Muhammad, Syekh Islam, Al Jarah wa Ta’dil, Beirut: Dar Al Kutub, 1373 H A. E. Roy, D. Clarke, Astronomy: Principles and Practice, Bristol: Techno House, 1978 Al Husain bin Abu Al „Izz Al Hamadaniy, Al gharib fi I’rab Al Qur’ani, Qatar: Daar Ats Tsaqafah, juz I, tt Album PP. Lirboyo 2002 Almanak Nautika, Jakarta: TNI-AL Dinas Hidro Oseanografi, 1995 Al Wahidy, Asbabun Nuzul, Beirut: Dar Al Kutub Al Arabiyah, tt Anugraha Rinto, Cara Menghitung Waktu Shalat, artikel ini dapat diakses di www.eramuslim.com Asy-Syaukani, Muhammad Bin Ali Bin Muhammad, Nailul Authar, Beirut-Libanon : Dal al-Kitab, jilid I, tt Az Zamakhsyariy, Tafsir Al Khasyaf, Beirut: Daar Al Fikr, juz I, 1997 Azhari, Susiknan, Awal Waktu Salat Perspektif Syar’I dan Sains, bisa diakses di www.ilmufalak.or.id Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 1, 2005 Badan Hisab Rukyat Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyah, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1981 Basuki, Slamet, Ilmu Ukur Tanah, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006 Bukhari, Irsadul al Sara Asy Syarah Shahih Al Bukhari, Beirut: Dar Al Fikr, tt, juz 1
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah Tafsir Al Qur‟an, Jakarta: Bulan Bintang, 1997 __________________, Pedoman Penentuan Jadwal Awal Waktu Shalat Sepanjang Masa, Jakarta, 1994 Djambek, Sa‟aduddin, Almanak Djamilijah, Jakarta: Tintamas, 1953 __________________, Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa, Jakarta: Bulan Bintang, 1394 __________________, Salat dan Puasa di daerah Kutub, cet. I, Jakarta : Bulan Bintang, 1974 Ghazali, Ahmad, Irsyadul Murid, Jember: Yayasan An Nuriyah, 2005 Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996 Hadi, Dimsiki, Perbaiki Waktu Shalat dan Arah Kiblatmu!, Yogyakarta: Madania, 2010 Hambali, Slamet, Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris, materi ini disampaikan dalam pelatihan ketrampilan khusus bidang hisab-rukyah oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2007 Hartaji, Muhammad, Analisis Terhadap Perbedaan Lintang Terhadap Awal Waktu Shalat, Semarang : FAI Unissula, 2003 Hasanudin, Mukhamad, Studi Analisis Pendapat Hasbi Ash Shiddiqie Tentang Bolehnya Mengerjakan Dua Shalat Fardlu Dengan Satu Kali Tayamum, Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, 2004 Hasbi ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad, Tafsir al Qur’anul Majid An-Nur. Semarang: Pustaka Rizki Putera, juz 12, 2000 _________________, Pedoman Salat, cet. X , Jakarta : Bulan Bintang, 1978 Ibnu Rusyd, Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad, Bidayatul Mujatahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, di terjemahkan oleh
Imam Ghazali dkk, dari Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Jakarta : Pustaka Amani, 2007 Imam Muslim, Shohih Muslim, Beirut Libanon: Dar al-Kutub Ilmiah, jilid 2, 1994 Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Idris Asy-Syafi‟i, Al-Umm, Beirut-Libanon : Dar Al-Kitab, Juz I, tt Izzuddin, Ahmad, Ilmu Falak Praktis; Metode Hisab-Rukyah Praktis dan Solusi Permasalahannya, Semarang: Komala Grafika dengan IAIN Walisongo Semarang, 2006 Jawa Mughniyyah, Muhammad, Fiqih Lima Madzhab, Diterjemahkan oleh Masykur dkk dari Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Khamsah, Jakarta : Lentera, cet VI, 2007 Jawad Muqniyyah, Muhammad, At-Tafsir al-Kasif, 15:74, Joinil Kahar, Geodesi: Teknik kuadrat terkecil, Bandung: Penerbit ITB, 2006 K.J. Vilianueva, Pengantar ke dalam Astronomi Geodesi, Bandung: Departemen Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Bandung, 1978 Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak; dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka, tt ________________, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005. KRM. Wardan, Kitab Ilmu Falak dan Hisab, Yogyakarta: cet I, 1957 M. Khoirul Abshor, Pengaruh Pendidikan Shalat Pada Masa Kanak-Kanak dalam Keluarga Terhadap Kedisiplinan Shalat Lima Waktu Siswa Kelas VIII Di Mts Negeri Kendal, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2008 Maksum bin Ali, Muhammad, Badiah al-Misal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal, Surabaya: Maktabah Sa‟ad bin Nashir Nabhan, tt ___________________, Tibyan Al Miqat fi Ma’rifat Al Auqat wa Al Qiblah, Kediri: Madrasah Salafiyah Al Falaki, tt
Malik Abdul Karim Amrullah, Abdul, Tafsir Al Azhar, Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, jilid 7, tt Marfungah, Pengaruh Intensitas Shalat 5 Waktu Terhadap Motivasi Beragama Anak di Panti Asuhan Yatim Piatu Darul Hadlonah Semarang, Skripsi Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, 2005 Materi Perhitungan Waktu Shalat, yang disampaikan oleh Uzal Syahruna yang dapat diakses dalam www.ilmmufalak.or.id Muhammad, Abu Bakar, Subulus Salam, Surabaya: Al-Ikhlas, tt Muhammad bin Ahmad adz Dzahbi, Imam Hafiz Syamsuddin, Mizan Al I’tidal, Beirut: Dar Al Kutub Al Islamiyah, tt Muhammad bin Hasan ath-Thusy, Abu Ja‟far, Al-Kutub al-Arba’ah al-Ibtishar (1-4), Qum: Muassasah Anshariyan li ath-Thiba‟ah wa an-Nasr, Cet. I, 2005 Muntoha, Analisis Terhadap Toleransi Pengaruh Perbedaan Lintang dan Bujur dalam Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, 2004 Nasib Ar-Rifa‟i, Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, Gema Insani:Jakarta, jilid 3, tt Nur „Aeni, Waktu Salat Wajib dalam Pandangan Syi'ah (Kajian Atas Hadis-Hadis Tentang Waktu Salat Dalam Kitab Al-Kafi), Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, 2009 Prahasta, Eddy, Konsep-konsep Dasar Sisitem Informasi Geografis, Bandung: Penerbit Informatika, 2002 Program Hadis Kutubus Sittah, الجامع الصحيح للترمذي, kitab abwab as-shalat, no 001 Rachim, Abd, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberti, 1983 Rene R.J.Rohr; translated by Gabriel Godin, Sundial; History, Theory, & Practice, Toronto: University of Toronto Press, 1970 Ridha, Rasyid, Tafsir Manaar, Dar Al Ma‟rifah: Beirut, juz 5, tt Salam, Abd, Korelasi Beda Bujur Dalam Penemuan Selisih Waktu Shalat Antar Daerah (Studi Jadwal Waktu Shalat Yang Beredar Di Jawa Timur), Sunan Ampel, 2005
Sa‟id bin Muhammad Ba‟asyun, Busyr Al Karim Syarh Al Muqadimah Al Hadhramiyah, Beirut: Dar Ihya Al Kutub Al Arabiyah, tt Salimi, Muchtar, Ilmu Falak; Peenetapan Awal Waktu,Shalat dan Arah Kiblat, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1997 Setyanto, Hendro, Kajian Kitab-Forum Kajian Ilmu Falak “Zenith”, Rubu’, Bandung: Pundak Scintific, 2001 Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai. Tafsir Al-Ahkam, Kencana: Jakarta, cet I, 2006 Syihab, M.Quraisy, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, vol. 2, 2005 _______________, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkan?, Jakarta: Lentera Hati, 2007 Tarmi, Moedji Raharto, op cit, yang dikutip dari Mohammad Ilyas, A Modern Guide to Islamic Calendar, Times & Qibla, 1984 Tjasyono, Bayong, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Catatan Kuliah; GM-322 Meteorologi Fisis, Bandung: Penerbit ITB, 2001 Umar Al Jailani, Zubair, Khulashatul Al Wafiyah, tp, tt. Wahbah az-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, cet. II Beirut : Dar al-Fikr, 1989 W.M. Smart, Textbook on Sperical Astronomy, London: Cambridge University Press, 1950 http://mintaka.sdsu.edu/GF/ explain/extinction/extintro.html yang diakses pada tanggal 27 Maret 2011 http://spiff.rit.edu/classes/phys559/lectures/atmos/atmos.html tanggal 26 Maret 2011
yang
diakses
pada
http://www.asterism.org/tutorials/tut28-1.htm yang diakases pada tanggal 16 Maret 2011 http://www.asterism.org/tutorials/tut28-1.htm. http://www.eramuslim.com/, yang diakses pada tanggal 22 April 2010
http://www.ilmufalak.or.id/ yang diakses pada tanggal 22 April 2010 http://www.islamicfinder.rg/athanContact.php www.rukyatulhilal.com
Wawancara via telepon dengan Bapak Yazid (salah satu penyusun kalender Ponpes Lirboyo yang selama ini beredar) pada tanggal 9 Maret 2010 Wawancara dengan Slamet Hambali pada tanggal 11 Januari 2011 Wawancara via telepon dengan Reza Zakariya, Ketua Tim Lajnah Falakiyah PP. Lirboyo Kediri Jawa Timur pada tanggal 15 Januari 2011 Wawancara via jejaring sosial facebook dengan Dr. Eng. Rinto Anugraha, salah satu pemerhati ilmu falak, yang juga dosen Fisika UGM, yang aktif menulis di www.eramuslim.org pada tanggal 14 – 27 Desember 2010 Wawancara via email dengan Thomas Djamaluddin pada tanggal 15 – 16 Desember 2010 Wawancara via jejaring sosial facebook dengan Hendro Setyanto pada tanggal 22 Februari 2011 Wawancara via email dengan Dr. Ing, Khafid pada tanggal 23 Februari 2011
DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN
Nama
: Yuyun Hudzaifah
Tempat Tanggal Lahir
: Grobogan, 3 Januari 1989
Alamat Asal
: Jl. Kol. Sugiono III/6 Purwodadi-Grobogan 58111
Alamat Sekarang
: Ponpes Daarun Najaah Jl. Stasiun No 275 Jrakah Tugu Semarang 50151
Jenjang Pendidikan
:
a. Pendidikan formal 1. TK Masithoh, Purwodadi Grobogan lulus 1995 2. Sekolah Dasar Negeri 04 Purwodadi Grobogan lulus tahun 2001 3. MTs. Darut Taqwa Purwodadi Grobogan lulus tahun 2004 4. MA. Darut Taqwa Purwodadi Grobogan lulus tahun 2007 b. Pendidikan Informal 1. Pondok Pesantren Darut Taqwa Purwodadi Grobogan 2002-2007 2. Pondok Pesantren ”Daarun Najaah” Jerakah Tugu Semarang 2007sekarang
Semarang, 6 Mei 2011
Yuyun Hudzaifah NIM. 072111083