ANALISIS TERHADAP PERSEPSI ULAMA TENTANG PERNIKAHAN OLEH WALI HAKIM KAITANNYA DENGAN WALI ADHOL (Studi Kasus di Ds. Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Ilmu Syari’ah
Oleh: SUBHAN NIM : 2105086
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2009
i
Drs. H. A. Noer Ali Wonosari, Ngaliyan-Semarang Muhammad Shoim, S. Ag Beringin Asri, Ngaliyan-Semarang PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp. : 4 (empat) Eks. Hal : Naskah Skripsi a.n. Sdr. Subkhan Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Di - Semarang Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini saya kirim naskah Skripsi saudara: Nama
: Subkhan
NIM
: 2105086
Jurusan
: Ahwal al-Syakhsiyah
Judul
: ANALISIS WALI
TERHADAP
PERNIKAHAN
HAKIM KAITANNYA
OLEH
DENGAN WALI
ADHOL (studi Kasus di Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang) Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqosahkan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Semarang, 11 Desember 2009 Pembimbing I,
Pembimbing II,
Muhammad Shoim, S. Ag NIP. 19711101 200604 1 003
Drs. H. A. Noer Ali NIP. 19450203 197702 1 001
ii
DEPARTEMEN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG FAKULTAS SYARI’AH Jl. Prof. Dr. Hamka Km. 2 Ngaliyan Telp./Fax. (024) 7601291 Semarang 50185
PENGESAHAN Skripsi Saudara : Subkhan NIM
: 2105086
Judul
: ANALISIS TERHADAP PERSEPSI ULAMA TENTANG PERNIKAHAN OLEH WALI HAKIM KAITANNYA DENGAN WALI ADHOL (Studi Kasus di Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang)
Telah dimunaqosyahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude / baik / cukup, pada tanggal 23 Desember 2009. Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1 tahun akademik 2009/2010. Semarang,
Januari 2010
Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Drs. H. Musahadi, M. Ag NIP. 19690709 199403 1 003
Muhammad Shoim, S. Ag NIP. 19711101 200604 1 003
Penguji I,
Penguji II,
Drs. H. Eman Sulaeman, M.H NIP. 19650605 199203 1 003
Akhmad Arif Junaedi, M. Ag NIP. 19701208 199603 1 002
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. H. Nur Ali, M. Ag. NIP. 19450203 197702 1 001
Muhammad Shoim, S. Ag NIP. 19711101 200604 1 003 iii
MOTO
ﻭﻣﻦ ﺍﻳﺘﻪ ﺍﻥ ﺧﻠﻖ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ ﺍﻧﻔﺴﻜﻢ ﺍﺯﻭﺍﺟﺎ ﻟﺘﺴﻜﻨﻮﺍ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻭﺟﻌﻞ (٢١ : ﺇ ﹼﻥ ﰲ ﺫﻟﻚ ﻻﻳﺖ ﻟﻘﻮﻡ ﻳﺘﻔﻜﺮﻭﻥ ) ﺍﻟﺮﻭﻡ.ﺑﻴﻨﻜﻢ ﻣﻮﺩﺓ ﻭﺭﲪﺔ “Dan diantara Tanda-tanda Kekuasaann-Nya ialah Dia Menciptakan untukmu Isteri-isteri Dari Jenismu Sendiri, Supaya Kamu Cenderung dan Merasa Tentram Kepadanya, Dan dijadikannya Di antara Kamu Rasa Kasih Sayang. Sesungguhnya Yang demikian itu Terdapat Tanda-tanda Bagi Kaum yang Berfikir ” (QS. Ar-Rum: 21)
iv
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggungjawab, Penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan dalam bahan rujukan.
Semarang,
Desember 2009
Deklarator,
Subkhan NIM. 2105086
v
PERSEMBAHAN Puji syukur kepada-Mu tatkala cintamu menetes ke jiwa yang sendiri. Titik cerah berlahan berenjak mengelayut mesra di puncak awal kebahagiaan. Nyanyian hati, gejolak jiwa tak tertahankan muncul bersama kata tak terucap. Selalu tersimpan, terpahat dalam sebuah kado kecil atas doa, perhatian dan perjuangan yang telah mengajariku tuk bias tersenyum di kala asa tiba-tiba menghilang, selalu menemaniku, memapahku menjemput impian tak terbatas, menggapai mendekap mahliga bahagia, buat yang tercinta, yang tersayang: 1.
Kedua orang tuaku, Bapak A. As’ari dan Ibu Rukiyah tercinta yang senantiasa mendoakan dan memberiku bimbingan. Semoga beliau temukan istana kebahagiaan di sisi Allah, dan selalu berada dalam pelukan kasih sayang-Nya. Ridhomu adalah semangat hidupku.
2.
Saudara-saudaraku, Agus Jawahir, Rohmatin, Slamet Miftah, Hamida, Bahrudin, Husni Tamrin, serta keponakanku yang lucu-lucu, Ghina Salsabila, Wildan, dan Nafis. Semoga kasih sayang Allah selalu bersama kita.
3.
Teman-teman Pengurus di Pondok Pesantren Uswatun Hasanah serta para santri yang selalu membantuku dan memberi semangat dalam pembuatan Skripsi ini.
4.
Teman-teman jurusan Ahwal al-Syakhsiyah angkatan 2005 yang tak bisa kusebutkan satu-persatu, mudah-mudahan kesuksesan menyertai kalian semua.
5.
Yang terakhir buat seorang yang spesial di hatiku Reni Sulisetyoningrum yang senantiasa menemaniku dalam suka maupun duka dalam pembuatan Skripsi ini.
vi
ABSTRAK
Skripsi dengn judul “Analisis Terhadap Persepsi Ulama Tentang Pernikahan Oleh wali Hakim Kaitannya Dengan Wali Adhol (Studi Kasus di desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang)” ini merupakan penelitian lapangan (field research). Permasalahan: a). Bagaimana Persepsi Ulama terhadap Pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol yang terjadi di desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang ? b). Bagaimana pertimbangan hukum dari Persepsi Ulama desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang terhadap Pernikahan oleh Wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol ? Tujuan penitian ini untuk: 1). Mengetahui Persepsi Ulama terhadap pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol di desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang. 2). Mengetahui pertimbangan hukum dari Persepsi Ulama desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang terhadap pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol di desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang. Metode yang digunakan adalah dengan Metode Observasi, Interview, Dokumentasi yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode diskriptif. Hasil penelitian: a). Praktek pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali adhol yang dilakukan pada posisi perempuan yang tidak direstui oleh walinya di desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang sejak tahun 2005 hingga tahun 2009 bisa di bilang sesuatu yang tidak aneh lagi, artinya kejadian seperti ini bisa dikatakan hampir setiap tahunnya ada. Ulama desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang, berpendapat bahwa kasus pernikahan oleh wali Hakim terhadap perempuan yang tidak mempunyai wali dikarenakan enggan menikahkan merupakan sebuah proses untuk mencapai pada tahap pernikahan, jadi hal itu tidak berpengaruh terhadap sahnya pernikahan asalkan mereka sekufu dan ketika ijab qabul mereka sudah bisa menerima. Namun tentang kebolehan pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol, para ulama sedikit berbeda pendapat, ada yang mengesahkan dan ada yang tidak mengesahkan, diantara pendapat ulama tersebut adalah sebagai berikut: K. Anwar As’ari dan K.H. Ihwan, beliau mengesahkan pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol dengan berbagai dalil yang mereka yakini kebenarannya. Sedangkan yang tidak mengesahkan adalah K. Arifin, beliau berpendapat bahwa wali Hakim tidak boleh menikahkan jika wali Mujbir (ayah) tidak setuju mengawinkan putrinya dengan laki-laki yang sepadan dari hasil pilihannya sendiri sedangkan si ayah sudah mempunyai laki-laki lain yang juga sekufu (sepadan). Walaupun laki-laki pilihan si ayah kesepadanannya lebih rendah dibanding pilihan putrinya. Berdasarkan pada dalil-dalil dalam al-Qur’an, Hadits, Kaidah fiqhiyah, KHI, UU Perkawinan no. 1 tahun 1974 maupun PERMENAG RI no. 2 tahun 1987 tentang Wali Hakim dan juga pendapat para ulama, maka penulis menyimpulkan bahwa pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali yang
vii
masih ada tetapi Adhol itu sah, di samping dalil-dalil yang menguatkan keabsahan tersebut, juga untuk memelihara martabat perempuan dalam masalah pernikahan. Sedangkan mengenai kesesuaian antara teori dengan kasus yang terjadi di desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang, penulis memandang berdasarkan dalil-dalil (al-Qur’an, al-Hadits, Kitab-kitab, KHI, PERMENAG RI No. 2 tahun 1987 dan UU. Perkawinan) yang telah penulis uraikan di atas, maka penulis menyatakan penyelesaian kasus tersebut sudah sesuai dengan teori.
viii
KATA PENGANTAR Bismilahirrahmanirrohim
Alhamdulillah Puji syukur senantiasa dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat, taufiq dan hidayah serta inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap tersanjung kepada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabatnya, dan orang-orang yang senantiasa mengikuti jejaknya. Penulisan skripsi ini, dimaksudkan untuk memenuhi tugas dan melengkapi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar dalam Ilmu Syari’ah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Semarang. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah turut serta membantu dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini. Kepada yang terhormat: 1. Kedua orang tua dan saudara-saudaraku tercinta yang dengan kasih dan sayangnya, serta doanya telah membantu dan memenuhi segala fasilitas yang penulis perlukan demi selesainya skripsi ini. 2. Bapak Prof. H. Abdul Djamil, M.A selaku Rektor di IAIN Walisongo Semarang. 3. Bapak Prof. Dr. H. Muhyiddin M.Ag selaku dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
ix
4. Bapak Drs. H. A. Noer Ali dan Bapak Muh. Soim M.Ag, selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan petunjuk serta pengarahan kepada penulisan skripsi ini. 5. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah yang dengan ikhlas memberikan pengetahuan dan ilmunya kepada kami selaku mahasiswa. 6. Keluarga besar Pondok Pesantren Uswatun Hasanah Mangkangwetan Tugu Semarang, Abah K.H. Mustaqim Husnan beserta ibu, Abah K.H. Nur Asyikin Azis beserta ibu dan Abah K.H. Chumaidi Toha al-hafidz beserta ibu. Terima kasih atas didikan dan doanya, semoga berkahnya mengalir pada santri-santrinya. 7. Bapak Kepala Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian, para tokoh masyarakat dan Ulama serta seluruh masyarakat Desa Ujunggede yang membantu penulis selama penulisan berlangsung guna mencari data-data akurat yang berkenaan dengan penulisan skripsi ini. 8. Seluruh sahabat serta rekan-rekan dan tak lupa seluruh pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Kepada mereaka semua penulis tidak dapat memberikan balasan apa-apa, hanya untaian rasa terima kasih yang tulus dan mendalam dengan iringa doa semoga Allah SWT membalas semua amalkebaikan mereka, dan selalu melimpahkan rahmat, taufiq dan inayah-Nya kepada semua dalam mengarungi samudra kehidupan ini.
x
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, karenanya penulis senantiasa mengharapkan masukan dan kritik yang konstruksi dari pembaca. Meski di sadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, namun penulis tetap berharap bahwa tulisan ini bermanfaat. Amin. Akhirnya hanya kepada Allah SWT, penulis memohon petunjuk dan berserah diri, memohon ampunan dan rahmat-Nya.
Semarang, Desember 2009 Penulis,
Subkhan Nim: 2105086
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………….......... i PERSETUJUAN PEMBIMBINNG …………………………………… ii HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………...... iii HALAMAN MOTO ……………………………………………………. iv HALAMAN DEKLARASI ……………………………………………... v PERSEMBAHAN ……………………………………………………….. vi HALAMAN ABSTRAK ………………………………………………... vii KATA PENGANTAR …………………………………………………... ix DAFTAR ISI……………………………………………………………. Xii BAB I : PENDAHULUAN 1 A.
Latar Belakang .................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ............................................................... 6
C.
Tujuan dan Kegunaan Penulisan......................................... 7
D.
Telaah Pustaka .................................................................... 7
E.
Metode Penelitian ............................................................... 10
F.
Sistematika Penelitian ......................................................... 13
BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN DAN WALI A. PERNIKAHAN ............................................................ 15 1.
Pengertian Pernikahan .............................................. 15
xii
2.
Dasar Hukum dan Tujuan Pernikahan ......................... 17
3.
Syarat dan Rukun Pernikahan .................................... 19
B. WALI .......................................................................... 24 1.
Pengertian Wali Nikah ............................................. 24
2.
Wali Nikah Menurut Fiqh ......................................... 25
3.
Wali Nikah Menurut UU No. 1 Tahun 1974 ................ 31
4.
Macam-macam Wali Nikah ...................................... 32
5.
Syarat-syarat Wali Nikah .......................................... 35
6.
Perpindahan Hak Wali Nikah .................................... 36
7.
Wali Mujbir..................................................................... 37
8.
Wali Adhol...................................................................... 38 a. Pengertian Wali Adhol .............................................. 38 b. Penetapan Adholnya Wali.......................................... 38 c. Faktor Penyebab Terjadinya Wali Adhol................... 40
BAB III: PERSEPSI ULAMA TENTANG PERNIKAHAN OLEH WALI HAKIM KAITANNYA DENGAN WALI ADHOL DI DESA UJUNGGEDE KEC. AMPELGADING KAB. PEMALANG .................................................................... 44 A. Gambaran umum desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang…………………………...……..44 B. Praktek Pernikahan oleh Wali Hakim karena Walinya adhol..48 C. Pendapat Masyarakat tentang Pernikahan oleh wali Hakim
xiii
kaitannya dengan wali Adhol…………………………..52 D. Pendapat Ulama tentang Pernikahan oleh Wali Hakim karena Walinya Adhol………………………………………53
BAB IV: ANALISIS PERSEPSI ULAMA TENTANG PERNIKAHAN OLEH WALI HAKIM KAITANNYA DENGAN WALI ADHOL......................................................... 58 A. Analisis terhadap Persepsi Ulama tentang Pernikahan oleh Wali Hakim kaitannya dengan Wali Adhol ................. 58 B. Analisis terhadap pertimbangan hukum persepsi Ulama terhadap Pernikahan oleh Wali Hakim kaitannya dengan Wali Adhol ................................................................ 67
BAB V : PENUTUP .................................................................................. 75 A. Kesimpulan .................................................................. 75 B. Saran-Saran .................................................................. 77 C. Penutup........................................................................ 78
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiv
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan merupakan Sunnatu al-Allah yang umum dan berlaku pada semua mahluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia merupakan salah satu yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan pada mahluk-Nya untuk berkembang biak serta melestarikan hidupnya. Akan tetapi Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainya yang hidup bebas mengikuti naluri dan hawa nafsunya serta berhubungan antara jantan dan betina tanpa adanya aturan. Untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, Allah SWT mengadakan hukum sesuai dengan martabat tersebut. Allah menciptakan hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan pernikahan sebagai jaminan kelestarian populasi manusia di muka bumi, sebagai motivasi dari tabiat dan syahwat manusia dan untuk menjaga kekekalan keturunan mereka. Dengan adanya dorongan syahwat seksual yang terpendam dalam diri laki-laki dan perempuan, mereka akan berfikir tentang pernikahan.1 Upaya untuk melanjutkan proses regenerasi dalam Islam telah diatur melalui suatu cara yang lazim disebut dengan pernikahan atau perkawinan. Pernikahan dalam Islam merupakan pertalian yang sakral, tidak sekedar pertalian antara seorang laki-laki dan perempuan yang sekedar menghalalkan persetubuhan, Allah SWT menyebut pernikahan itu dengan “mitsaqon 1
Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuny, Az-Zawaju Islamil Mubakkrir : Sa’adah, Terj. Mustaqiim, Hadiah untuk Pengantin, Jakarta: Mustaqim, Cet. 1, 2001, hlm. 28.
2
gholizon” (janji yang erat), yaitu perjanjian antara suami istri untuk hidup bersama sedemikian kukuh, sehingga bila mereka dipisahkan di dunia oleh kematian, maka mereka yang taat melaksanakan pesan-pesan Ilahi, masih akan digabung dan hidup bersama kelak di hari kemudian.2 Hal tersebut dikarenakan pernikahan tidak semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah.3 Pernikahan merupakan suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga serta keturunan dan saling mengenal antara satu dengan yang lain, sehingga akan membuka jalan untuk saling tolongmenolong.4 Selain itu, pernikahan merupakan institusi yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat sebagai sarana awal untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat dan keluarga sebagai pilar penyokong kehidupan bermasyarakat.5 Penciptaan manusia sebagai hamba (agar beribadah kepada Allah SWT) ini mengemban misi untuk meramaikan bumi dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT sendiri. Para Nabi dan Rasul itulah orangorang yang dipilih oleh Allah SWT untuk menyampaikan firman-firman-Nya, yang berisi aturan tatanan kehidupan yang luas dan benar sesuai dengan kehendak sang pencipta. Pada dasarnya Allah SWT menciptakan manusia itu hanya semata untuk beribadah kepada Allah SWT. Manusia juga diciptakan 2
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, Vol. 2, 2002, hlm. 387. 3 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 55. 4 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: CV Sinar Baru, Cet. Ke-25, 1992, hlm. 348. 5 Abdul Jalil (ed), Fiqh Rakyat (Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan), Yogyakarta: LKiS, 2000, hlm. 285.
3
saling berpasang-pasangan, antara kaum laki-laki dan perempuan merupakan pasangan dari umat manusia, bercampurnya pasangan umat manusia tersebut biasa dalam agama Islam diucapkan dengan lafadz pernikahan atau perkawinan. Pernikahan adalah sebuah proses awal di mana seseorang akan melanjutkan kehidupan bersama pasangannya dalam ikatan suatu rumah tangga, untuk menanamkan fondasi bagi terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah.6 Hidup berpasangan di kalangan manusia ini dalam realitanya, tidak selamanya berjalan dengan tuntunan Allah SWT. Hal ini manakala tidak ada atau belum mengetahui hukum agama dengan benar. Realita tersebut mencemarkan agama dan tidak menghargai terhadap hukum-hukum agama yang berlaku. Sebenarnya Islam telah mengatur hal-hal yang berkenaan dengan nikah tersebut, namun terkadang kita sebagai manusia yang tidak mau belajar tentang masalah yang sedang terjadi, sehingga berakibat terhadap banyaknya penyimpangan hukum atau norma-norma yang telah ditentukan oleh agama. Sebagai agama yang menjujung tinggi nilai dan kehormatan manusia sebagai mahluk beradab, Islam menganjurkan untuk hidup berpasangpasangan dengan cara yang terhormat dan mulia yaitu melalui sebuah pernikahan terlebih dahulu. Namun pernikahan mempunyai arah, tugas dan tujuan, maka hendaknya dalam melakukannya dipenuhi dan terpenuhi rukunrukun dan syarat-syarat yang mengikat, memelihara dan menjaga baik
6
Taufiq, Justisia, Indahnya Kawin Sesama Jenis, Edisi 25, Semarang 2004, hlm. 7.
4
kelangsungannya
maupun
kelestariannya
dan
kewajiban
untuk
menentramkannya sebagai satu lembaga yang penuh arti dalam hidup sejati.7 Pengawasan Islam dalam pernikahan ini merupakan daya tahan hidup dalam rumah tangga dan keluarga yang sehat jasmani dan rohaninya. Di hindarkan segala sesuatu dari mulanya yang mungkin membawa malapetaka dan lain sebagainya yang mana akan menimbulkan penyesalan, perceraian dan lain sebagainya. Maka dari itu, di dalam pernikahan disyaratkan adanya wali yang bertanggung jawab dalam pernikahan seorang gadis, sebab ia masih buta dan masih muda. Ia belum mengetahui arti hidup dan pergaulan dalam hidup itu. Maka dianggap nikah itu hanya jalan keluarga dari keadaan yang dihadapi dan rasa hidup mandiri. Wali disyaratkan dari kalangan keluarga pria yang berdekatan darah dengan sang ayah si wanita. Akan tetapi jika tidak ada wali yang demikian ini, maka boleh berpindah kepada wali Hakim.8 Karena kedudukan Wali dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Akan tetapi pertanyaan yang muncul adalah jika timbul suatu perselisihan antara si gadis dengan Walinya mengenahi pernikahannya dikarenakan si wali sudah mempunyai pilihan sendiri, begitu juga si gadis sudah mempunyai pilihan sendiri, walaupun pilihan dari si wali dan si gadis sama-sama sekufu. Kemudian si gadis nekat nikah dengan pilihannya menggunakan wali Hakim dengan alasan walinya ghoib padahal Walinya berada ditempat yang dekat dan dapat diketahui. 7
Dr. Fuad Mohd Fachruddin, Kawin Mut’ah Dalam Pandangan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, hlm. 26. 8 Ibid, hlm. 28.
5
Ternyata fenomena seperti itu berindikasi pada pemikiran para remaja yang modern yakni gadis-gadis zaman sekarang tidak semudah itu mau di jodohkan oleh orang tuanya dikarenakan sudah bisa mencari pendamping hidup sendiri, sehingga mereka kadang-kadang terjadi perselisihan dengan orang tuanya dalam masalah pernikahannya. Kondisi seperti itu tentunya memicu pihak perempuan nekat melangsungkan pernikahannya dengan tanpa adanya wali, sehingga jalan pintas yang ditempuh adalah melangsungkan pernikahannya dengan menggunakan wali Hakim meskipun walinya ada tetapi adhol. Hal seperti ini sangat kontroversi dengan hukum Islam maupun hukum positif yang berlaku di Indonesia. Keadaan sebagaimana terurai di atas, ternyata masih terjadi di desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang, meskipun kejadiannya tidak pasti dalam setiap tahun, namun dalam kurun waktu 8 tahun ini penulis temukan 3 pasangan yang melakukan pernikahan oleh wali Hakim walaupun walinya ada tetapi adhol. Sebenarnya, desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang termasuk desa yang agamis serta kegiatan-kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan di desa tersebut sangat maju, di samping itu juga banyak para ulama yang notabene lulusan pondok pesantren yang tinggal di sana, sehingga untuk urusan keagamaan, desa tersebut tidak mau ketinggalan dengan desa lainnya.
6
Masyarakat desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang mayoritas bermata pencaharian sebagai pedagang dan petani, meskipun ada sebagian kecil yang menjadi guru dan PNS. Untuk tingkat pendidikan desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang termasuk menengah sebab rata-rata dari mereka dari latar belakang lulusan SMP dan SMA bahkan sampai perguruan tinggi. Karena mereka rata-rata berpendidikan menengah kesadaran untuk memilih seorang pendamping hidup tidak tergantung dari orang tuanya, sehingga terkadang terjadi perselisihan antara anak dengan orang tuanya. Berawal dari fenomena di atas, penulis yakin bahwa hal ini secara spesifik belum ada yang mengkaji, maka penulis menganggap perlu untuk mengkaji secara ilmiah terhadap permasalahan ini dengan kondisi-kondisi riil dalam masyarakat, sehingga akhirnya penulis dapat menemukan kesimpulan yang berarti demi kemaslahatan umat. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat penulis rumuskan permasalahan yang akan menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi ini, yaitu: 1. Bagaimana persepsi ulama terhadap pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol yang terjadi di desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang ?
7
2. Bagaimana pertimbangan hukum dari persepsi Ulama desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang terhadap pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol? C. Tujuan dan kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Mengetahui Persepsi Ulama terhadap pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol di desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang b. Mengetahui pertimbangan hukum dari Persepsi Ulama desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang terhadap pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol di desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang 2. Kegunaan Penelitian a. Sebagai kontribusi keilmuan bagi wacana yang berkembang saat ini yaitu pernikahan dengan wali Hakim walaupun walinya Adhol b. Sebagai kontribusi dalam rangka memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang studi hukum Perdata Islam. D. Telaah Pustaka Bertitik tolak dari permasalahan di atas, sepanjang pengetahuan penulis, permasalahan tentang pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol belum ada yang membahasnya secara spesifik dalam sebuah karya ilmiah. Hanya saja penulis menemukan beberapa tulisan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut, di antaranya yaitu :
8
1. “Analisis Pendapat Ahmad Hasan tentang bolehnya Wanita Gadis Menikah tanpa Wali” oleh Wirda Rosalin (2100105). Dalam penelitian ini dijelaskan menurut Ahmad Hasan seorang tokoh Ulama di Indonesia, beliau berpendapat bahwa Wanita Gadis boleh menikah tanpa Wali, dengan alasan bertentangan dengan beberapa keterangan dari Al-Quran, Hadits, dan riwayatnya yang sahih dan kuat. Dengan tertolaknya keterangan-keterangan yang mewajibkan Wali, berarti Wali tidak perlu, artinya tiap-tiap Wanita boleh menikah tanpa Wali. Jika sekiranya seorang Wanita tidak boleh menikah kecuali harus ada Wali, tentunya Al-Quran menyebutkan hal itu. Ahmad Hasan dalam mempertahankan pendapatnya menggunakan surat Al-Baqarah ayat 323 dan Hadits dari Abu Hurairah. Setelah diadakan analisis terhadap ayat yang dipergunakan Ahmad Hasan ternyata penafsirannya keliru. Selanjutnya tentang hadits yang dipergunakan sebagai dasar diperbolehkannya nikah tanpa Wali, maka disinipun Ahmad Hasan keliru, karena hadits itu menunjukkan bahwa wanita menikah harus oleh wali. 2. “Analisis
Pendapat
Asghar
Ali
Engineer
tentang
dibolehkannya
Perempuan Menikah Tanpa Wali” oleh Nur Rohmah (2100002) Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa menurut pendapat Ali Asghar Engineer (seorang tokoh feminis Muslim asal India), beliau berpendapat bahwa perempuan boleh menikah tanpa wali. Bahwa Engineer dalam memperbolehkan perempuan menikah tanpa Wali sebagai solusi dari
9
permasalahan yang dihadapi kaum tertindas di mana konteks yang diuraikan adalah mereka para perempuan miskin yang mendapat kesulitan dalam menghadirkan Wali dalam pernikahannya. 3. Di dalam bukunya Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy yang berjudul “Hukum-hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab” dijelaskan, menurut Ulama-ulama Malikiyah berpendapat bahwa : Apabila Wali tempatnya jauh, jika dikhawatirkan terjadi kemudaratan karena tidak ada yang menafkahi atau dikhawatirkan terjadi perzinaan, maka Hakim boleh menikahkannya. Akan tetapi apabila jaraknya dekat dan tidak pula terjadi kesulitan di dalam menanti kedatangannya, maka Hakim boleh terus menikahkan jika di khawatirkan terjadi kemudaratan.9 4. Di dalam bukunya Prof. H. Mohammad Daud Ali S.H. yang berjudul Hukum Islam Dan Peradilan Agama dijelaskan bahwa menurut Hazairin beliau adalah Guru Besar hukum Islam dan hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Indonesia, beliau berpendpat bahwa Wali bukan merupakan rukun nikah dalam pernikahan seorang wanita yang telah dewasa. Hanya menurut rasa kesusilaan masyarakat di Indonesia, tidak hadirnya Wali dalam pernikahan, dirasakan “kurang baik” dan rasanya memang tidak pula “baik” kalau seorang wanita kendatipun ia sudah dewasa, menawarkan dirinya sendiri kepada calon suaminya di hadapan dua orang saksi dan orang-orang yang hadir di sekitarnya.10
9
Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukun Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 228. 10 Prof. H. Mohammad Daud Ali S.H., Hukum Islam Dan Peradilan Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 12.
10
Dilakukannya telaah pustaka terhadap skripsi, serta buku di atas untuk membedakan antara penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang sudah
pernah
dilakukan
sebelumnya
oleh
peneliti
lain,
sehingga
menghindarkan dari adanya duplikasi. Karena itulah sekali lagi penelitian ini akan menjelaskan beberapa hal yang tidak diungkapkan oleh keterangan di atas, sehingga dari sini akan dapat diharapkan suatu penjelasan yang lebih jelas, argumentatif dan obyektif, sesuai dengan realitas yang terjadi di masyarakat, kaitannya dengan pernikahan oleh wali Hakim karena walinya adhol. E. Metode Penulisan Pada dasarnya penulisan skripsi ini berdasarkan pada suatu penelitian lapangan yang dilakukan di desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang, di samping itu juga meliputi studi kepustakaan yang ada hubungannya dengan pernikahan. Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1.
Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang obyeknya mengenai gejala-gejala atau peristiwaperistiwa yang terjadi pada kelompok masyarakat11. Dalam hal ini adalah mengenai persoalan yang berkaitan dengan Pernikahan oleh wali Hakim karena walinya adhol.
11
Rusady Ruslan, Metodologi Penelitian: Public Relation dan Komunikasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 32
11
Sehingga penelitian ini juga bisa disebut penelitian kasus atau studi kasus (case study) dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Adapun lokasi yang menjadi obyek penelitian dalam skripsi ini adalah desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang dengan pertimbangan bahwa di daerah tersebut telah terjadi Pernikahan oleh wali Hakim karena walinya adhol. 2.
Sumber Data Sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah subyek dari mana data diperoleh.12. Dilihat dari cara memperolehnya, sumber data penelitian ini terdiri dari dua, yaitu: sumber data primer dan sumber data sekunder13. Sumber data primer diperoleh dari informan khusus melalui prosedur
dan teknik pengambilan data yang dapat berupa
wawancara. Dalam hal ini sebagai sumber data primernya yaitu data yang diperoleh dari para ulama desa setempat, tokoh masyarakat dan pasangan yang telah melakukan Pernikahan oleh wali Hakim karena walinya adhol, terutama di kalangan masyarakat desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang. Dan data sekundernya yaitu berasal dari buku-buku, kitab-kitab, arsip desa, dan informan umum yang berupa informasiinformasi terkait dengan hal yang diteliti14.
12
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: suatu pendekatan praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 1998, hlm. 115 13 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I. Yogyakarta: Andi OffSet, 2000, hlm. 66 14 Riyanto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004, hlm. 57
12
3.
Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah: pertama, wawancara yaitu komunikasi langsung antara peneliti dengan responden.15 Di sini peneliti akan mewawancarai para ulama khususnya di wilayah desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang kaitannya dengan kasus pernikahan oleh wali Hakim karena walinya adhol. Kedua, dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, buku, notulen rapat.16 Di sini peneliti menggunakan bukti catatan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
4.
Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu suatu teknik yang menggambarkan persoalan yang terjadi dan menginterpretasikannya. Metode analisis ini bercirikan : a) Pemusatan
dari
pada
persoalan
yang
aktual
dan
berusaha
memecahkannya, b) Data yang terkumpul mula-mula disusun, dan dijelaskan kemudian dianalisis.17 Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data dan analisis data melalui langkah-langkah : a) Menelaah data yang diperoleh dari informan dan literatur terkait. b) Mengklasifikasi data dan menyusunnya
15
Alimudin Tuwu, Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: UI Press, 1995, hlm. 72 Suharsini Arikunto, op. cit, hlm. 206 17 Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Arsito, 1994, hlm. 140 16
13
c) Setelah data tersusun kemudian langkah selanjutnya adalah kesimpulan atau penarikan kesimpulan berdasarkan data yang ada yang diperoleh peneliti. F. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi menjadi lima bab yang sistematis dan logis yang dapat diuraikan dalam rangkaian sebagai berikut: BAB I
Berisi tentang pendahuluan sebagai penghantar secara keseluruhan, sehingga dari bab ini akan diperoleh gambaran umum tentang pembahasan skripsi ini. Bab pertama ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika.
BAB II
Menjelaskan gambaran umum tentang persepsi, bab ini merupakan landasan teori. Sesuai dengan judul skripsi ini maka pembahasan akan terpusat pada tinjauan umum tentang pengertian dan teori persepsi, pengertian dan dasar hukum Pernikahan, syarat dan rukun nikah, tujuan pernikahan serta macam-macam wali, perpindahan hak wali nikah, dan faktor penyebab terjadinya wali Adhol.
BAB III Menguraikan gambaran umum tentang pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol di desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang. Adapun cakupan bab ini adalah keadaan Geografis di desa Ujunggede, serta pendapat masyarakat dan Ulama desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang.
14
BAB IV Merupakan analisis secara umum tentang persepsi ulama terhadap pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol di desa Ujunggede Kec. Ampelgading Kab. Pemalang serta analisis terhadap pertimbangan persepsi ulama mengenai pernikahan tersebut. BAB V Merupakan bab terakhir sekaligus bab penutup. Bab ini terdiri dari kesimpulan, saran-saran dan penutup.
15
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN DAN WALI
A. Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan Nikah secara bahasa berarti ( اﻟﺠﻤﻊmenghimpun) dan اﻟﻀﻢ (mengumpulkan)1 dikatakan ( ﺗﻨﺎآﺤﺖ اﻷﺷﺠﺎرpohon-pohon itu saling berhimpun antara satu dengan yang lain) jika suatu bagian pohon itu saling berhimpun antara satu dengan yang lainnya.2 Sebutan lain buat pernikahan ialah ﺍﻟﺰﻭﺝ, ﺍﻟﺰﻭﺝdan اﻟﺰﺟﻪ, terambil dari akar kata ﺯﻭﺟﺎ- ﺯﺍﺝ – ﻳﺰﻭﺝ3 yang secara harfiah berarti menghasut, menaburkan benih perselisihan dan mengadu domba. Namun yang dimaksud dengan ﺍﻟﺰﻭﺝ, ﺍﻟﺰﻭﺝdisini ialah at-tazwij yang terambil dari kata ﺗﺰﻭﺟﺔ- ﺝﻭﺝ – ﻳﺰﻭ ﺯdalam bentuk wazan ﺗﻔﻌﻠﺔ- ﻞ ﻳﻔﻌ- ﻞ ﻓﻌyang secara harfiah berarti mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan memperistri.4 Syeikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary dalam kitabnya mengupas tentang tentang pernikahan dan tentang wali. Pengarang kitab tersebut menyatakan nikah adalah suatu akad yang berisi pembolehan melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz menikahkan atau
1
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., hlm. 208 Syaikh Muhammad Saryani al-Khotibi, Iqna’ juz II, Semarang: Maktabah wa Matba’ah Toha Putra, hlm. 115. 3 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., hlm. 591 4 Op. cit., hlm 591 2
15
16
mengawinkan.5 Kata nikah itu sendiri secara hakiki bermakna persetubuhan. Kitab Fath al-Qarib yang disusun oleh Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi,6 beliau menerangkan pula tentang masalah hukumhukum pernikahan di antaranya dijelaskan kata nikah diucapkan menurut makna bahasanya yaitu kumpul, wati’, jimak dan akad. Dan diucapkan menurut pengertian syara’ yaitu suatu akad yang mengandung beberapa rukun dan syarat. Menurut Zakiah Daradjat,7 bahwa pernikahan adalah suatu aqad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang di ridhai Allah SWT. Menurut Zahry Hamid, yang dinamakan nikah menurut Syara' ialah: Akad atau ijab qabul antara wali calon isteri dan mempelai laki-laki dengan ucapan-ucapan tertentu dan memenuhi rukun dan syaratnya.8 Menurut UU. Perkawinan, Perkawinan ialah : Ikatan lahir batin, antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.9
5
Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al- Mu’in Bi Sarkh Qurrah al-‘Uyun, Surabaya: Darul Abidin, hlm. 97. 6 Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib, Indonesia: Dar al-lhya al-Kutub al-Arabiah, hlm. 43. 7 Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 38. 8 Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 1. 9 Pasal 1Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974.
17
Menurut KHI Pernikahan yaitu suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan
gholizon
untuk
mentaati
perintah
Allah
SWT
dan
melaksanakannya merupakan ibadah.10 2. Dasar Hukum dan Tujuan Pernikahan Dasar hukum dan tujuan pernikahan menurut ajaran Islam yang pertama adalah melaksanakan Sunnatu al-Allah. Pernikahan yang dinyatakan sebagai sunnatu al-Allah ini merupakan kebutuhan yang diminati oleh setiap naluri manusia dan dianggap oleh Islam sebagai ikatan yang sangat kokoh atau mitsaqon ghalizon.11 Karena itu, pernikahan hendaknya dianggap sakral dan dimaksudkan untuk membina rumah tangga yang abadi selamanya.12 seperti yang tercantum dalam Al Quran (Surat An-Nur :32)
(#θçΡθä3tƒ βÎ) 4 öΝà6Í←!$tΒÎ)uρ ö/ä.ÏŠ$t6Ïã ô⎯ÏΒ t⎦⎫ÅsÎ=≈¢Á9$#uρ óΟä3ΖÏΒ 4‘yϑ≈tƒF{$# (#θßsÅ3Ρr&uρ {٣٢ : }ﺍﻟﻨﻮﺭÒΟŠÎ=tæ ììÅ™≡uρ ª!$#uρ 3 ⎯Ï&Î#ôÒsù ⎯ÏΒ ª!$# ãΝÎγÏΨøóムu™!#ts)èù Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurniaNya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Surat An-Nur: 32)13 Tujuan yang kedua adalah untuk mengamalkan sunah Rasulullah sebagaimana disebut dalam hadits Nabi SAW :
10
Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam Lihat, Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 21. 12 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, Jakarta: Akademika Pressindo, 2003, hlm. 6. 13 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al_Qur’an, (TM. Hasbi Ash-Shiddieqy), Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI. Proyek Pengadaan Kitab suci Al-Qur’an, 1989, hlm. 549. 11
18
ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﺳﻨﱵ ﻭﻣﻦ ﺭﻏﺐ ﻋﻦ ﺳﻨﱵ ﻓﻠﻴﺲ ﻣﲏ:ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ()ﺭﻭﻩ ﲞﺎﺭﻱ ﻭ ﻣﺴﻠﻢ 14
Artinya : Perkawinan adalah peraturanku barang siapa yang benci kepada peraturanku bukanlah ia termasuk umatku. (Bukhori dan Muslim). Tujuan dan dasar hukum yang ketiga adalah untuk menenangkan pandangan mata dan menjaga kehormatan diri sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi SAW:
ﻳﺎ ﻣﻌﺸﺮ ﺍﻟﺸﺒﺎﺏ ﻣﻦ ﺍﺳﺘﻄﺎﻉ ﻣﻨﻜﻢ:ﻋﻦ ﻋﺒﺪﺍﷲ ﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﺎﺀﺓ ﻓﺎﻟﻴﺘﺰﻭﺝ ﻓﺎﻧﻪ ﺍﻏﺾ ﻟﻠﺒﺼﺮ ﻭﺍﺣﺼﻦ ﻟﻠﻔﺮﺝ ﻭﻣﻦ ﱂ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺑﺎﻟﺼﻮﻡ ﻓﺎﻧﻪ 15 (ﻟﻪ ﻭﺟﺎﺀ )ﺭﻭﻩ ﲞﺎﺭﻱ ﻭ ﻣﺴﻠﻢ Artinya : Dari Abdulah bin Mas’ud Rasulullah SAW bersabda : Hai sekalian pemuda barang siapa di antara kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah kawin maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memelihara faraj dan barang siapa yang tidak sanggup hendaklah berpuasa, karena itu perisai baginya. (HR. Bukhori dan Muslim). Hadits di atas diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim karena kata alba’ah adalah kemampuan seseorang untuk melakukan sebuah pernikahan di lihat dari segi kemampuan jimak dan kemampuan ekonomi.16 Pernikahan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mapan untuk segera melaksanakannya, karena dengan pernikahan dapat mengurangi maksiat penglihatan dan memelihara diri dari perbuatan zina.
14
Al-Hafidz Ibn Hajar Al-asqolani, terj. Bulughul Maram, karya Machfuddin aladib, CV. Toha putra, tth. hlm. 491. 15 Imam Muslim, Shohih Muslim Juz 2, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992, hlm. 10181019. 16 Taqiyuddin Abi Bakar bin Ahmad al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Indonesia: Darul Ihya’ kutubil Arobiyah, hlm. 55.
19
Oleh karena itu, bagi mereka yang mempunyai keinginan untuk menikah, sementara perbekalan untuk memasuki perkawinan belum siap, maka untuk membentengi diri dari perbuatan tercela yang menuju perzinahan, caranya yaitu dengan berpuasa. Selain dari tiga hal tersebut di atas maka tujuan yang keempat untuk mendapatkan keturunan yang sah, yang kuat iman, kuat ilmu dan kuat amal sehingga mereka itu dapat membangun masa depannya yang lebih baik, bagi dirinya, keluarganya dan masyarakat serta bangsa dan negaranya. Dengan demikian maka rumusan tentang tujuan perkawinan yang ada di dalam undang-undang adalah sejalan dengan ajaran Islam yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. 3. Syarat dan Rukun Pernikahan Pernikahan adalah pintu masuk menuju keluarga, karena itu di dalam ajaran Islam pernikahan diatur dengan syarat dan rukun yang jelas dan rinci. Pernikahan oleh Agama ditentukan unsur-unsurnya yang menurut istilah hukumnya disebut rukun, dan masing-masing rukun memerlukan syaratsyarat.17 Syarat yang dimaksud dalam pernikahan adalah suatu hal yang pasti ada dalam pernikahan, akan tetapi tidak termasuk salah satu bagian dari hakikat pernikahan. Dengan demikian rukun nikah itu wajib terpenuhi ketika diadakan akad pernikahan, sebab tidak sah akadnya jika tidak terpenuhi rukunnya.
17
Toto Suryana, Ibadah Praktis, Bandung: CV. Alafabeta, tth, hlm. 80.
20
Untuk sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian banyak rukun dan syarat yang mereka pahami dari ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi SAW. Sebelum mengadakan pernikahan atau akad, sebaiknya kedua belah pihak sudah saling mengetahui keadaan yang sebenarnya yang menimbulkan hasrat untuk menikah, ketentuan semacam ini dapat kita baca dalam hadits berikut :
ﺍﺫﺍﺧﻄﺐ: ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻞ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ:ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﺣﺪﻛﻢ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﻓﺎﻥ ﺍﺳﺘﻄﺎﻉ ﺍﻥ ﻳﻨﻈﺮ ﻣﻨﻬﺎ ﺍﱃ ﻣﺎ ﻳﺪﻋﻮﻩ ﺍﱃ ﻧﻜﺎﺣﻬﺎ ﻓﻠﻴﻔﻌﻞ )ﺭﻭﺍﻩ 18 (ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ Artinya :Dari jabir r.a dia berkata : Rasulullah saw bersabda : apabila seseorang di antara kamu meminang seseorang wanita, lalu jika dia sanggup untuk melihat dari wanita itu sesuatu yang mendorong untuk menikahinya maka hendaklah dilakukan (HR. Abu Dawud). Adapun rukun dan syarat-syarat pernikahan sebagaimana dalam pedoman Pegawai Pencatat Nikah adalah sebagai berikut:19 a. Calon mempelai laki-laki, syarat-syaratnya : a) Beragama Islam b) Laki-laki c) Jelas orangnya d) Tidak beristri empat orang e) Dapat memberikan persetujuan
18
Abu Dawud Sulaiman Ibn Asya’es Al Sajastani, Sunan Abu Dawud, Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyah, 1996. hlm. 120. 19 Ahmad Rofiq, op. Cit., hlm.
21
b. Calon mempelai perempuan, syarat-syaratnya : a) Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani b) Perempuan c) Jelas orangnya d) Dapat dimintai persetujuan e) Tidak terdapat halangan pernikahan c. Adanya Wali Nikah Dari sekian banyak syarat dan rukun-rukun untuk sahnya pernikahan menurut hukum Islam, wali adalah hal yang sangat penting dan menentukan. Adapun syarat-syarat wali adalah sebagai berikut: 1) Laki-laki 2) Dewasa 3) Mempunyai hak perwalian 4) Tidak terdapat halangan perwaliannya. Dalam soal pernikahan, yang pertama kali berhak menjadi Wali adalah Wali Aqrab (bapak atau kakek), jadi selama Wali Aqrab masih ada, hak menikahkan belum dapat dipindahkan kepada Wali yang lain (Wali Ab’ad). Apabila Wali Aqrab masih ada dan memenuhi syarat tetapi yang menikahkan Wali Ab’ad, maka nikahnya tidak sah.20
20
Taqiyuddin Abi Bakar bin Ahmad al-Husaini, op. cit., hlm. 52.
22
d. Adanya Saksi Menurut jumhur ulama, pernikahan yang tidak dihadiri saksi itu tidak sah, jika ketika berlangsungnya ijab-qabul itu tidak ada saksi yang menyaksikan sekalipun diumumkan kepada khalayak ramai dengan menggunakan cara lain, perkawinannya tetap tidak sah.21 Adapun syarat-syarat menjadi saksi adalah sebagai berikut: 1) Minimal dua orang laki-laki 2) Hadir dalam Ijab Qabul 3) Dapat mengerti maksud akad 4) Islam 5) Dewasa. e. Ijab Qabul Rukun yang mendasar dalam pernikahan adalah ridhanya laki-laki dan perempuan, dan persetujuan keduanya untuk berkeluarga. Perasaan ridha dan setuju itu bersifat kejiwaan yang tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Karena itu harus ada tanda yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan ikatan suami istri. Tanda itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan akad.22 Akad nikah terdiri dari dua bagian, yaitu ijab dan qabul. Ijab ialah perkataan wali atau wakilnya dan qabul ialah penerimaan dari pihak calon mempelai laki-laki atau wakilnya. 21 22
Sayyid Sabiq, fikhus Sunnah, Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-Fikr, hlm. 48-49 Ibid, hlm. 29.
23
Akad nikah itu tidak dapat dibenarkan dan tidak mempunyai akibat hukum yang sah apabila belum memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1) Adanya pernyataan menikahkan dari wali 2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria 3) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah 4) Antara ijab dan qabul bersambungan 5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya 6) Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram haji/umrah 7) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu: calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari calon mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.23 f. Mahar Dalam bahasa Indonesia kata mahar dikenal dengan nama mas kawin. Mahar atau mas kawin adalah harta pemberian dari calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan yang merupakan hak isteri dan sunnah disebutkakan ketika akad nikah berlangsung.24 Jadi pemberian mas kawin ini wajib, dan sunnah apabila disebutkan pada waktu akad nikah25. Namun apabila mas kawin itu tidak
23
Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 71-72. Dirjen Bimbaga Islam Depag, Ilmu Fiqih, jilid 2, Jakarta:Proyek Pembinaan Prasarana Sarana Perguruan Tinggi agama, 1985, cet. Ke-2, hlm. 109. 25 Ibid., hlm. 110. 24
24
disebutkan dalam akad nikah, maka wajib membayar mas kawin yang pantas (mahar mitsil)26. B. Wali 1. Pengertian Wali Nikah Yang dikatakan wali adalah orang paling dekat dengan si wanita. Dan orang yang berhak menikahkan wanita adalah ayahnya lalu kakeknya dan seterusnya keatas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman.27 Wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Sedangkan wali dalam pernikahan adalah seorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.28 Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Wali di artikan sebagai pengasuh pengantin perempuan ketika menikah, yaitu orang yang melakukan janji nikah dengan laki-laki29 Begitu pula dalam Fiqh Sunnah di sebutkan bahwa Wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat di paksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya.30 Sehingga dapat di simpulkan, bahwa wali dalam pernikahan adalah seorang yang mempunyai hak untuk menikahkan atau orang yang melakukan janji nikah atas nama mempelai perempuan.
26
Ibid., hlm. 114. Muhammad Khotib al-Sarbani, Al-Mughnil Muhtaj, juz 4, Beirut Libanon: Dar al-Kutubi Ilmiah, hlm. 249 28 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006,hlm. 96 29 Tim Penyusun Kamus Penelitian dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 1007 30 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah 7, terj. Muhammad Tholib, Bandung: PT. Al-Ma’arif, cet. 2, 1982, hlm, 7 27
25
2. Wali menurut Fiqh Adanya suatu pernikahan dianggap tidak sah apabila tidak ada wali. Sebagai mana di sebutkan dalam pasal 19 KHI, Wali Nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus di penuhi bagi mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat tentang keharusan adanya Wali dalam pernikahan, sebagaimana dalam kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Ibnu Rusyd menerangkan:
ﺍﺧﺘﻠﻒ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻫﻞ ﺍﻟﻮﻻﻳﺔ ﺷﺮﻁ ﻣﻦ ﺷﺮﻭﻁ ﺻﺤﺔ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﺍﻡ ﻟﻴﺴﺖ ﺎ ﺷﺮﻁ ﰱ ﻭ ﺍ,ﺑﺸﺮﻁ؟ ﻓﺬﻫﺐ ﻣﺎﻟﻚ ﺍﱃ ﺍﻧﻪ ﻻﻳﻜﻮﻥ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻻ ﺑﻮﱄ 31 ﻰ ﻭﺑﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌ, ﰱ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﺍﺷﻬﺐ ﻋﻨﻪ.ﺍﻟﺼﺤﺔ Artyinya: Ulama berselisih pendapat apakah Wali menjadi syarat sahnya nikah atau tidak. Berdasarkan riwayat Asyhab, Malik berpendapat tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Imam Syafi’i. Menurut Hukum Islam, Wali Nikah adalah sangat penting dan menentukan. Sebagaimana Hadits Rasulullah SAW yang diriwyatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ:ﻋﻦ ﺃﰊ ﺑﺮﺩﺓ ﺑﻦ ﺃﰊ ﻣﻮﺱ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎﻝ 32
.( ﻻﻧﻜﺎﺡ ﺍﻻ ﺑﻮﱄ ﻭﺷﺎﻫﺪﻱ ﻋﺪﻝ )ﺭﻭﻩ ﺍﲪﺪ: ﻡ.ﺹ
Artinya: “Tidak sah Nikah melainkan dengan Wali dan 2(dua) orang saksi yang adil” 31
Abul Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Beirut: Dar al-Jill juz 2, 1409 H/1989M, hlm. 6 32 Abu Dawud Sulaiman Ibn Asy’as Al Sajastani, Sunan Abu Dawud, Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyah, 1996. hlm. 229
26
Begitu juga menurut Imam Syafi’i bahwa tidak sah nikah tanpa adanya Wali bagi pihak penganti perempuan.33 Di antara alasan yang paling jelas dari al-Quran tentang disyaratkannya Wali adalah Firman Allah:
£⎯ßγy_≡uρø—r& z⎯ósÅ3Ζtƒ βr& £⎯èδθè=àÒ÷ès? Ÿξsù £⎯ßγn=y_r& z⎯øón=t6sù u™!$|¡ÏiΨ9$# ãΛä⎢ø)¯=sÛ #sŒÎ)uρ Artinya: “Dan apabila diantara kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa Iddahnya, maka janganlah anda (para Wali) menghalangi mereka kawin dengan calon suaminya.” (QS. Al- Baqarah: 232)34 Golongan Ulama yang mensyaratkan adanya Wali menyatakan bahwa ayat ini ditunjukan kepada para Wali. Jika mereka tidak mempunyai
hak
dalam
perwalian,
tentu
tidak
dilarang
untuk
menghalanginya. Ayat lainnya adalah:
∩⊄⊄⊇∪ t £⎯ÏΒ÷σム4©®Lym ÏM≈x.Îô³ßϑø9$# (#θßsÅ3Ζs? Ÿωuρ Artinya: “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang Musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman.” (QS. al-Baqarah: 221)35 Wali nikah adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat Hukum Islam, yakni muslim, aqil dan baligh, yang terdiri dari Wali Nasab
33
Mohd Idris Ramulyo, SH., MH. (Hukum Perkawinan, Hukum Kewearisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat), Jakarta: Sinar Grafika Cet pertama 1995, hlm. 34 Yayasan Penyelengga Penterjemah Al-Quran Al-Quran dan Terjemahnya 30 Juz, Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994, hlm. 56 35 Yayasan Penyelengga Penterjemah Al-Quran Al-Quran dan Terjemahnya 30 Juz, Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994, hlm. 53
27
dan Wali Hakim.36 Jadi jika dilihat dari pengertian Wali bisa disimpulkan bahwa Wali ada dua macam yaitu Wali Nasab dan Wali Hakim. Berdasarkan riwayat Asyhab, Imam Malik berpendapat bahwa tidak ada nikah tanpa Wali, dan Wali menjadi syarat sahnya nikah. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i.37 Abu Hanifah, Zufar, asy-Sya’bi, dan az-Zuhri berpendapat apabila seorang perempuan melakukan melakukan akad nikahnya tanpa Wali, sedang calon suaminya sebanding, maka nikahnya itu boleh.38 Dawud memisahkan antara gadis dan janda. Dia mensyaratkan adanya Wali pada gadis, dan tidak tidak mensyaratkan pada janda.39 Berdasarkan riwayat Ibnul Qosim dari Malik dapat disimpulan adanya pendapat keempat, yaitu bahwa persyaratan Wali itu sunah hukumnya, dan bukan fardu. Demikian itu karena ia meriwayatkan dari Malik bahwa ia berpendapat adanya waris mewarisi antara suami dengan istri yang perkawinannya terjadi tanpa menggunakan Wali.40 Dengan demikian, seolah Malik menganggap Wali itu temasuk syarat kelengkapan perkawinan, bukan syarat sahnya perkawinan. Ini bertolak belakang dengan pendapat fuqoha Maliki dari Baghdad yang
36
DEPAG RI Direktorat Jendral Pembinaan Lembaga Agama Islam, Bahan Penyuluhan Hukum, hal. 36 37 Al- Faqih Abul Walid Muhammad Bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, terj. Imam Ghozali Said, MA, Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, Cet. 2, hlm. 409. 38 Ibid 39 Ibid, hlm. 410. 40 Ibid
28
mengatakan bahwa Wali itu termasuk syarat sahnya perkawinan bukan syarat kelengkapan.41 Golongan Ulama yang tidak mensyaratkan Wali dalam pernikahan mengemukakan alasan dari firman Allah:
∩⊄⊂⊆∪ Å∃ρâ÷êyϑø9$$Î/ £⎯ÎγÅ¡àΡr& þ’Îû z⎯ù=yèsù $yϑŠÏù ö/ä3øŠn=tæ yy$oΨã_ Ÿξsù £⎯ßγn=y_r& z⎯øón=t/ #sŒÎ*sù Artinya: “(kemudian apabila telah habis iddahnya), maka tiada dosa bagimu membiarkan mereeka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.” (QS. Al-Baqara: 243)42 Sedangkan dari hadis, mereka beralasan dari Hadits Ibnu Abbas r.a. yang telah disepakai sahihnya, yaitu sabda Nabi SAW:
ﻖ ﺑﻨﻔﺴﻬﺎ ﺍﻻﱘ ﺍﺣ:ﻡ. ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺹ,ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﺎ )ﺍﺧﺮﺟﻪ ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩﺎ ﺻﻤﺎﻣﻦ ﻭﻟﻴﻬﺎ ﻭﺍﻟﺒﻜﺮ ﺗﺴﺘﺄﻣﺮ ﰲ ﺗﻔﺴﻴﻬﺎ ﻭﺍﺫ 43 (ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﺪﻱ Artinya: “Wanita-wanita janda itu lebih berhak itu lebih berhak atas dirinya daripada Walinya, dan gadis itu di mintai pendapat tentang dirinya, dan persetujuannya adalah diamnya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) Dari beberapa perbedaaan pendapat para Ulama tentang Wali menjadi syarat sahnya nikah atau tidak dapat digaris bawahi sebagai berikut: a. Wali Nikah menurut Imam Syafi’i dan Imam Maliki. Imam Syafi’i beserta penganutnya berpendapat tentang Wali Nikah ini bertitik tolak dari Hadits Rasulullah SAW yang
41 42
Ibid Yayasan Penyelengga Penterjemah Al-Quran Al-Quran dan Terjemahnya 30 Juz, op. cit.,
hlm. 57
43
Muhammad Ibn Ismail As-Sanani, Subul al-Salam, juz III, Kairo: Dar al-Turas al-Arabi, 1980, hlm. 231
29
diriwayatkan oleh Imam Ahamad dan Al Tirmidzi berasal dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ﻡ ﺍﳝﺎ ﺍﻣﺮﺍﺓ ﻧﻜﺤﺖ ﺑﻐﲑ ﺍﺫﻥ. ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺹ: ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ 44
{ﻭﻟﻴﻬﺎ ﻓﻨﻜﺎﺣﻬﺎ ﺑﺎﻃﻞ }ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ
Artinya: “Barang siapa diantaa perempuan yang menikah dengan tidak seizin walinya, maka nikahnya batal”. Dalam Hadits Rasulullah SAW tersebut terlihat bahwa seorang perempuan yang hendak menikah disyaratkan harus memakai Wali, berarti jika tanpa Wali maka nikahnya tidak sah. Dari Hadits Rasulullah SAW yang lain yang diriwyatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ﻗﺎﻝ:ﻋﻦ ﺃﰊ ﺑﺮﺩﺓ ﺑﻦ ﺃﰊ ﻣﻮﺱ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎﻝ 45
.( ﻻﻧﻜﺎﺡ ﺍﻻ ﺑﻮﱄ ﻭﺷﺎﻫﺪﻱ ﻋﺪﻝ )ﺭﻭﻩ ﺍﲪﺪ: ﻡ.ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺹ
Artinya: “Tidak sah Nikah melainkan dengan Wali dan 2(dua) orang saksi yang adil. b. Wali Nikah menurut Mazhab Imam Hanafi Menurut Hanafi, nikah (pernikahan) itu tidak merupakan syarat harus pakai wali. Imam Abu Hanifah atau Mazhab Imam Hanafi dan beberapa penganutnya nengatakan bahwa akibat ijab (penawaran), akad nikah yang diucapkan oleh wanita yang dewasa dan berakal (aqil baligh) adalah sah secara mutlak, demikian juga
44 45
Op, cit., hlm. 204 Ibid
30
menurut Abu Yusuf, Imam Maliki dan riwayat Ibnu Qosim. Beliau itu mengemukakan pendapat berdasarkan analisis dari Al-Qur’an surat alBaqarah ayat 230 dan 232 sebagai beikut dibawah ini:
3 …çνuöxî %¹`÷ρy— yxÅ3Ψs? 4©®Lym ߉÷èt/ .⎯ÏΒ …ã&s! ‘≅ÏtrB Ÿξsù $yγs)¯=sÛ βÎ*sù Artinya : “Apabila suami mentalaq isterinya (isteri-isteri) sesudah talaq yang kedua, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya seningga dia (perempuan ) itu menikahi calon suami mereka yang baru”. (QS. Al-Baqarah:230)46
£⎯ßγy_≡uρø—r& z⎯ósÅ3Ζtƒ βr& £⎯èδθè=àÒ÷ès? Ÿξsù £⎯ßγn=y_r& z⎯øón=t6sù u™!$|¡ÏiΨ9$# ãΛä⎢ø)¯=sÛ #sŒÎ)uρ Artinya : “Apabila kamu mentalaq isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya janganlaah kamu (para Wali) menghalanhg mereka Nikah lagi dengan calon suaminya”. (QS. AlBaqarah:232)47 Jadi menurut Hanafi wali nikah itu tidak merupakan syarat sah nikah, akan tetapi baik calon mempelai laki-laki atau calon mempelai perempuan yang hendak menikah hendaknya meminta restu atau izin terlebih dahulu dari walinya. Ulama Hanafiyah juga berpendapat bahwa hadits tentang disyaratkannya wali dalam pernikahan yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. dianggap lemah. Sebab, hadits ini diriwayatkan oleh sekelompok orang dari Ibnu Juraij dan az-Zuhri, sementara itu Ibnu Ulayyah mengatakan dari Ibnu Juraij bahwa ia (Ibnu Juraij) pernah
46 47
Op. cit., hlm. 56 Op. cit., hlm. 56
31
menanyakan kepada az-Zuhri tentang Hadits tersebut, tetapi ia tidak mengenalnya.48 Sebagai dalil atas kebenaran hal itu, mereka mengatakan bahwa az-Zuhri sendiri tidak mensyaratkan adanya wali, dan pensyaratan wali juga bukan merupakan pendapat Aisyah r.a.49 3. Wali menurut UU No. 1 tahun 1974 Dalam pasal 6 Undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan diatur sebagai berikut : a) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, harus mendapat izin dari kedua orang tua. (Ps. 6 ayat 2) b) Dalam hal seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (Ps. 6 ayat 3) c) Dalam hal seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari Wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (Ps. 6 ayat 4)
48
Drs. Imam Ghozali Said, op. cit., hlm. 416. Dalam hal ini masih terjadi kontraversi, apakah suatu ketetapan hukum berdasarkan “fatwa sahabat” atau berdasarkan “subtansi hadits” yang diriwayatkan. 49
32
Oleh karena itu, Undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan menganggap bahwa wali bukan merupakan syarat untuk sahnya nikah, yang diperlukan hanyalah izin orang tua, itupun bila calon mempelai laki-laki maupun wanita belum dewasa (di bawah umur 21 tahun), bila telah dewasa (21 tahun keatas) tidak lagi di perlukan izin dari orang tua. 4. Macam-macam Wali Nikah Wali Nikah adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, yakni muslim, aqil dan baligh, yang terdiri dari wali nasab dan wali Hakim.50 Jadi jika dilihat dari pengertian wali bisa disimpulkan bahwa wali ada dua macam yaitu wali Nasab dan wali Hakim. Adapun di dalam hukum perkawinan Islam dikenal adanya empat macam wali nikah, yaitu: a) Wali Nasab Wali Nasab yaitu wali nikah karena pertalian nasab atau pertalian darah dengan calon mempelai perempuan atau orangorang yang terdiri dari keluarga calon mempelai perempuan yang berhak menjadi wali.51 Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan
50
susunan
kekerabatan
dengan
calon
mempelai
DEPAG RI, ibid, hal. 36 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, Edisi pertama, Jakarta: Akademika Pressindo, 2003, hlm. 110 51
33
perempuan. Adapun keempat kelompok tersebut adalah sebagai berikut: Kelompok pertama, adalah kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni: ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kelompok kedua, adalah kelompok kerabat dari saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki se ayah dan keturunan laki-laki mereka. Kelompok ketiga, adalah kelompok dari paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara se ayah dan keturunan laki-laki mereka. Kelompok keempat, adalah kelompok dari saudara kandung lakilaki kakek, saudara laki-laki se ayah kakek dan keturunan lakilaki mereka. Adapun urutan wali nasab adalah sebagai berikut:52 1. Ayah. 2. Kakek (Bapak ayah). 3. Ayah Kakek (ayah tingkat tiga) dan seterusnya ke atas. 4. Saudara laki-laki se kandung. 5. Saudara laki-laki se ayah. 6. Anak laki-laki saudara laki-laki se kandung. 7. Anak laki-laki saudara laki-laki se ayah. 8. Paman se kandung (Saudara laki-laki ayah se kandung).
52
Ahmad Roriq, op. Cit., hlm. 87
34
9. Paman se ayah (Saudara laki-laki ayah se ayah) 10. Anak laki-laki paman se kandung. 11. Anak laki-laki paman se ayah. 12. Saudara kakek se kandung (Bapak ayah se kandung). 13. Saudara kakek se ayah (Bapak ayah se ayah). 14. Anak laki-laki saudara kakek se kandung. 15. Anak laki-laki saudara kakek se ayah. b) Wali Mu'tiq Wali Mu’tiq yaitu Wali Nikah karena, memerdekakan, artinya seorang ditunjuk menjadi wali nikahnya seorang perempuan, karena orang tersebut pernah memerdekakannya. Untuk jenis kedua ini di Indonesia tidak pernah ada. c) Wali Hakim Wali Hakim yaitu Wali Nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan wewenang untuk bertindak sebagai wali nikah.53 Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghoib atau adhol (enggan). Wali Hakim dapat bertindak menggantikan kedudukan wali nasab apabila : 54 1. Wali Nasab tidak ada, 53
DEPAG RI Direktorat Jendral Pembinaan Lembaga Agama Islam, op. cit., hal. 32 DEPAG RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Pedoman Pegawai Pencatatan Nikah, Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Islam, 1981, hlm. 53 54
35
2. Wali Nasab bepergian jauh atau tidak di tempat tapi tidak memberi kuasa kepada Wali yang lebih dekat yang ada di tempat, 3. Wali Nasab kehilangan hak perwaliannya, 4. Wali Nasab sedang berihram, haji atau umrah, 5. Wali Nasab menolak bertindak sebagai wali (wali Adhol). d) Wali Muhakam Wali Muhakam yaitu wali nikah yang terdiri dari seorang laki-laki yang diangkat oleh kedua calon suami isteri untuk menikahkan mereka,55 dikarenakan tidak ada wali nasab, wali mu'tiq, dan wali Hakim. Untuk jenis terakhir ini di Indonesia sedikit sekali kemungkinan terjadinya. Berdasarkan hal-hal tersebut maka yang lazim di Indonesia hanyalah Wali Nasab dan Wali Hakim saja. 5. Syarat-syarat Wali Untuk menjadi Wali seseorang harus memenuhi syarat-ayarat sebagai berikut: 56 a. Islam, b. Baligh, c. Merdeka, d. Laki-laki, e. Berakal sehat,
55 56
Op cit. hlm. 144 Syaikh Muhammad Saryani al-Khotibi, Op cit. hlm. 123
36
f. Adil (tidak fasik). Namun demikian Sayyid Sabiq berpendapat bahwa seorang wali tidak dikatakan adil. Jadi seorang durhaka tidak kehilangan hak sebagai wali dalam pernikahan. Kecuali kalau kedurhakaannya itu melampaui batas-batas kesopanan yang berat, karena jelas Wali tersebut tidak jiwa orang yang diutusnya, oleh karena itu hak menjadi Wali hilang.57 6. Perpindahan hak Wali Nikah Hak menjadi Wali Nikah terhadap perempuan adalah sedemikian berurutan, sehingga jika masih terdapat Wali Nikah yang lebih dekat maka tidak dibenarkan Wali Nikah yang lebih jauh itu menikahkannya, jika masih terdapat Wali Nasab maka Wali Hakim tidak berhak menjadi Wali Nikah. Dalam urutan Wali Nasab, Wali Nikah yang lebih dekat disebut Wali Aqrab, sedang yang lebih jauh disebut Wali Ab'ad, misalnya ayah dan kakek, ayah disebut Wali Aqrab sedang kakek disebut Wali Ab'ad. Demikian pula antara kakek dan ayah kakek, antara ayah kakek dan saudara laki-laki sekandung, antara saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki seayah dan seterusnya. Hak Wali Nikah dari Wali Aqrab berpindah kepada Wali Ab'ad apabila: 58
57 58
Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 7 Dedi Junaedi, op.cit., hlm. 111
37
a. Wali Aqrab tidak beragama Islam sedang calon mempelai perempuan beragama Islam. b. Wali Aqrab orang yang fasiq. c. Wali Aqrab belum baligh. d. Wali Aqrab tidak berakal (gila atau majnun). e. Wali Aqrab rusak ingatannya sebab terlalu tua atau sebab lain. 7. Wali Mujbir Wali Mujbir yaitu seseorang atau Wali yang berhak mengakad nikahkan orang yang diwakilkan tanpa menanyakan pendapat mereka terlebih dahulu, dan akadnya berlaku juga bagi orang yang diwakilkan tanpa melihat ridho tidaknya.59 Ulama
yang
membolehkan
Wali
(ayah
dan
kakek)
menikahkan tanpa izin ini menggantungkan bolehnya dengan syaratsyarat sebagai berikut: 60 a. Tidak ada permusuhan antara bapak dan anak, b. Laki-laki pilihan Wali harus kufu (seimbang) dengan gadis yang akan dinikahkan, c. Calon suami harus mampu membayar mahar mitsil, d. Antara gadis dan calon suami tidak ada permusuhan, e. Laki-laki pilihan Wali akan dapat memenuhi kewajibankewajibannya sebagai suami yang baik dan tidak terbayang akan berbuat yang mengakibatkan kesengsaraan isteri. 59
Ibid, hlm. 16 Sahal Mahfud, Dialog dengan Kiai Sahal Mahfud Solusi Problematika Umat, Surabaya: Ampel Suci, 2003, hlm. 10 60
38
Sekilas dilihat mungkin Wali Mujbir dapat dengan mudah menggunakan hak ijbarnya, namun tidak boleh dikesampingkan bahwa salah satu prinsip pernikahan dalam Islam adalah persetujuan masing-masing pihak dan didasarkan atas perasaan suka rela. 8. Wali Adhol a. Pengertian Wali Adhol Wali Adhol adalah Wali yang enggan atau Wali yang menolak. Maksudnya adalah seorang Wali yang enggan atau menolak menjadi Wali dalam pernikahan anak perempuannya dengan seorang laki-laki yang sudah menjadi pilihan anaknya.61 Apabila seorang perempuan telah meminta kepada Walinya untuk dinikahkan dengan laki-laki seimbang (sekufu) dan Walinya berkeberatan dengan tidak ada alasan, maka Hakim berhak menikahkannya setelah ternyata bahwa keduanya sekufu dan setelah memberi nasehat kepada Wali agar mencabut keberatannya itu.62 b. Penetapan Adholnya Wali Adapun penetapan Adholnya wali dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 2 tahun 1987 dijelaskan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut:63 1. Pasal 2 a) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/wilayah ekstratetorial Indonesia ternyata tidak mempunyai wali 61
Ahrun Khoeruddin, Pengadilan Agama, Bandung: Citra Aditia Bakti, 1999, hlm. 47 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, cet. 37, 2004, hlm. 38 63 Peraturan Menteri Agama RI No. 2 tahun 1987 62
39
Nasab yang berhak atau wali Nasabnya tidak memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau Adhol, maka nikahnya dapat dillangsungkan dengan wali Hakim. b) Untuk menyatakan Adholnya wali sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal colon mempelai wanita. c) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan Adholnya wali dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan wali calon mempelai wanita. 2. Pasal 3 "Pemeriksaan dan penetapan Adholnya wali bagi calon mempelai wanita warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri dilakukan oleh wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita. Dalam kenyataan di masyarakat sering terjadi bahwa seorang wanita atau bakal calon mempelai wanita berhadapan dengan kehendak orang tuanya atau walinya yang berbeda, termasuk pilihan seorang laki-laki yang hendak dijadikan mantu (suami) ada yang sama-sama setuju, mengizinkannya, atau sebaliknya orang tua menolak kehadiran calon mantunya yang telah menjadi pilihannya, mungkin karena orang tua telah mempunyai pilihan lain atau karena alasan lain yang prinsip. Perlu diketahui bahwa orang tua dan anak sama-sama mempunyai tanggung jawab, bagaimana menentukan jodoh yang sesuai dengan harapan dan cita-citanya, walaupun harus berhadapan dengan kenyataan di mana orang tua dan anak berbeda pandangan satu sama lain. Bahkan dalam kenyataan ada seorang anak yang melarikan diri dengan laki-laki pilihannya
40
dengan tujuan hendak nikah tanpa prosedur yang berlaku. Hal seperti ini bukan yang diinginkan hukum dan perlu dihindari, pihak calon mempelai perempuan berhak mengajukan kepada Pengadilan Agama agar pengadilan memeriksa dan menetapkan adholnya.64 Jika ada wali Adhol maka wali Hakim baru dapat bertindak melaksanakan tugas sebagai wali nikah setelah ada penetapan Pengadilan Agama tentang adholnya wali.65 c. Faktor penyebab terjadinya Wali Adhol. Setiap pernikahan disyaratkan adanya Wali bagi wanita, maka jika pernikahan tidak dipenuhi adanya Wali bagi wanita, maka pernikahannya adalah batal. Ini sebagai gambaran betapa pentingnya kedudukan Wali sebagai wali nikah. Umumnya yang menjadi Wali Nikah adalah orang tua kandung. Dan jika orang tua berhalangan, maka bisa diwakilkan oleh paman, kakek, saudara laki-laki sebagai Wali Nasab. Atau jika semuanya berhalangan maka bisa diwakilkan Wali Hakim.66 Akan tetapi bagaimana jika orang tua tapi tidak mau (enggan) menikahkan anaknya? Jika hal ini terjadi, maka anak tersebut boleh mengajukan permohonan wali Adhol di Pengadilan Agama. Wali Adhol adalah wali yang menolak atau membangkang menjadi wali nikah untuk menikahkan anak perempuannya.
64
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 23 ayat 2 Ibid 66 Dr. Fuad Mohd Fachruddin, Kawin Mut’ah Dalam Pandangan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996, hlm. 28. 65
41
Dalam hal wali Adlol (enggan), maka wali Hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut. Adapun penyebab wali Adhol adalah sebagai berikut: 1. Status Sosial Pada umumnya jika status sosial perempuan lebih tinggi dari status sosial laki-laki, orang tua beranggapan kalau anak gadisnya menikah dengan laki-laki yang statusnya lebih rendah, maka hanya akan membuat malu keluarga saja serta merasa harkat dan martabatnya turun. 2. Berbeda agama atau bukan setaraf pengamalan agamanya Sangat dipahami jika berbeda agama menjadi penyebab seorang bapak menolak anak gadisnya menikah dengan laki-laki yang berbeda keyakinan. Tapi pada umumnya yang terjadi adalah seorang bapak melihat bahwa calon suami anaknya pengalamannya kurang, dengan kata lain, berbeda jauh pengamalan Agama yang dilakukan bapaknya. Maka dengan hal tersebut dapat dipastikan si bapak enggan menikahkan anaknya dengan calon suaminya tadi. 3. Pernah mempunyai masalah Sosial Sulit untuk merumuskan kata-kata yang tepat akan tetapi sebagai gambaran ini, jika pernah terjadi masalah (baik
42
kecil atau besar) antara keluarga wanita dengan keluarga pria. Maka sudah dapat dipastikan pasti muncul penolakan. Hanya laki-laki tidak memerlukan Wali, maka laki-laki dapat meminimalisir pertentangan dari keluarganya. Hal ini banyak terjadi pada keluarga yang jarak rumahnya agak dekat (satu lingkungan) yang menyebabkan dua keluarga tadi saling mengetahui keadaan masing-masing, bahkan mungkin pernah terjadi perselisihan antara tetangga. Jika hal ini terjadi, maka sangat sulit untuk mengajak masing-masing orang tua menurunkan gengsinya dan menerima keinginan anak-anak mereka untuk menikah. 4. Status Duda Tentu saja sebagai orang tua status anak menjadi pertimbangan apakah jejaka atau duda, jika dudapun masih di pertimbangkan lagi, apakah duda karena cerai atau duda karena mati. Yang kerap menjadi masalah jika calon suami anak tersebut akan menikah dengan duda cerai. Umumnya orang tua masih sulit menerima jika calon menantunya adalah duda cerai, apalagi jika anaknya masih gadis, pasti kecurigaan dan kekawatiran apa penyebab perceraiannya, bagaimana jika kelak anaknya juga menjadi korban perceraian. Walaupun anak gadisnya berusaha meyakinkan bapaknya bahwa suaminya adalah yang terbaik. Dan jika hati bapak tidak bisa
43
luluh, maka jalan yang harus ditempuh adalah mengajukan permohonan Dispensasi Kawin di Pengadilan.67 5. Orang tua sudah mempunyai calon sendiri bagi anak perempuannya. Pada umumnya jika orang tua sudah mempunyai calon sendiri buat anak perempuannya sedangkan anak tersebut juga sudah mempunyai pilihan sendiri, maka kemugkinan besar yang terjadi adalah perselisihan antara orang tua dengan anaknya dikarenakan mereka sama-sama mempertahankan pilihannya masing-masing.
67
Lily Ahmad, “Dispensasi Kawin vs Wali Adhol”, http://www.lilyahmad.com/13082009
44
BAB III PERSEPSI ULAMA TERHADAP PERNIKAHAN OLEH WALI HAKIM KAITANNYA DENGAN WALI ADHOL DI DESA UJUNGGEDE KEC. AMPELGADING KAB. PEMALANG
A. Gambaran Umum Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang. 1. Kondisi goegrafis Desa Ujunggede ini letaknya di tengah dari desa-desa yang ada di Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang. Dari desa-desa yang ada di wilayah Kecamatan Ampelgading, desa tersebut letaknya sangat strategis dibanding desa-esa yang lain di Kecamatan Ampelgading karena dekat dengan jalur Pantura, di samping itu Desa Ujunggede juga dekat dengan pusat perbelanjaan yang sering dikunjungi masyarakat Kecamatan Ampelgading.
Letak
Desa
Ujunggede
Kecamatan
Ampelgading
Kabupaten Pemalang adalah dengan batas-batas sebagai berikut:
Sebelah Utara
: Desa Jatirejo
Sebelah Selatan
: Desa Losari
Sebelah Barat
: Desa Cibiuk
Sebelah Timur
: Desa Purwoharjo
44
45
2. Kondisi Demografi Desa Ujunggede memiliki wilayah yang cukup luas kira-kira mencapai 1,7 km², sedangkan jumlah penduduknya 2.701 orang dengan perincian sebagai berikut: a. Menurut jenis kelamin Laki-laki
Perempuan
1108
1593
Sumber: Statistik Desa Ujunggede tahun 2009 b. Menurut mata pencaharian (bagi umur 10 tahun ke atas) Mata Pencaharian
Jumlah 400 250 5 105 200 20 10 5 150
Petani Buruh tani Pengusaha Buruh Industri/bangunan Pedagang Angkutan PNS / ABRI Pensiun Lain-lain Sumber: Statistik Desa Ujunggede tahun 2009 c. Menurut Pendidikan (bagi umur 5 tahun ke atas) Tidak Sekolah
150
Tamat
SD Tidak Tamat
Belum Tamat
Tamat
300
255
783
SLTP SLTA PT/Akademi
Sumber: Statistik Desa Ujunggede tahun 2009
355
177
15
46
d. Menurut Agama Penduduk Desa Ujunggede mayoritas beragama Islam, adapun rincian tempat ibadahnya adalah sebagai berikut: 1. Masjid
: 3 buah
2. Musholla
: 12 buah
Sedangkan perkembangan NTCR bisa dilihat pada tabel berikut ini: Tahun
Nikah
Talak
Cerai
Rujuk
Jumlah
2005
26
-
2
-
28
2006
30
3
1
1
35
2007
20
-
-
-
20
2008
24
2
-
-
26
2009
15
-
3
1
19
Jumlah 115 5 6 2 Sumber: Statistik Desa Ujunggede tahun 2009
128
e. Keadaan atau Kondisi Pendidikan Desa Ujunggede dalam pemerintahannya didukung oleh berbagai sarana dan prasarana pendidikan yang dapat menunjang kegiatan belajar mengajar di desa tersebut. Adapun sarana pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut:
47
Sarana Pendidikan Formal No
Lembaga Pendidikan
Jumlah
1.
TK
3
2.
SD
4
3.
SMP
1
4 STM 1 Sumber: Statistik Desa Ujunggede tahun 2009 Sarana Pendidikan Non Formal No
Lembaga Pendidikan
Jumlah
1.
Majlis Ta’lim
4
2.
TPQ
2
3.
Madrasah Diniyah
4
Sumber: Statistik Desa Ujunggede tahun 2009 f. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat
Desa
Ujunggede
Kecamatan
Ampelgading
Kabupaten Pemalang setelah melakukan aktifitas sehari-hari dalam rangka untuk pemenuhan kebutuhan hidup untuk keluarga, juga ternyata mereka aktif melakukan kegiatan keagamaan, ini terbukti dengan banyak berdirinya Jam’iyah atau pengajian baik itu pengajian ibu-ibu maupun bapak-bapak. Dalam rangka ikut menyemarakkan kegiatan keagamaan para pemuda juga berperan aktif dengan mendirikan perkumpulan pengajian khusus remaja.
48
Kegiatan seperti ini ditujukan untuk menyeimbangkan antara kebutuhan jasmaniyah dengan rohaniyah karena pada kegiatan tersebut selalu diiringi dengan ceramah keagamaan oleh para tokoh agama yang sedikit banyak kegiatan semacam itu dijadikan sebagai sarana untuk menambah pengetahuan ilmu agama. Dengan seimbangnya kebutuhan jasmaniyah dengan rohaniyah diharapkan ketenangan dalam hidup dapat tercapai. Berdasarkan observasi yang penulis lakukan, terdapat berbagai macam kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang dan biasanya setiap orang hanya mengikuti satu kelompok pengajian. Berikut bentuk kegiatan keagamaan yang ada: 1) Barzanji Kegiatan ini dilakukan oleh para bapak dan ibu serta kelompok remaja yang masing-masing kelompok berasal dari berbagi jenis majlis ta’lim. Kegiatan ini rutin dilakukan seminggu sekali sesuai dengan hari yang telah ditentukan. Kegiatan ini di lakukan di rumah anggota masing-masing sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. 2) Pengajian tafsir Al-Qur’an Kegiatan pengajian ini dilakukan seminggu dua kali yaitu malam kamis dan malam minggu, kegiatan ini dilakukan secara berjamaah artinya diikuti orang-oraang desa setempat di sebuah
49
masjid, jadi tiap orang masing-masing membawa al-Quran untuk membaca dan menyimak keterangan dari pak kyai. Sebelum kegiatan ini dimulai biasanya di awali dengan istighotsah terlebih dahulu yang dipimpin oleh pak kyai sendiri. 3) Tahlil Pembacaan tahlil ini umumnya dilakukan setiap malam Jum’at, kemudian ketika ada syukuran, hajatan pernikahan, khitanan dan kematian. 4) Istighotsah dan pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jilani serta pengajian pada malam Jum’at Kliwon Istighotsah dan pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jaelani ini dilakukan setiap Jum’at Kliwon, kegiatan ini merupakan program rutin masyarakat Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang dalam rangka pengembangan Dakwah Islamiyah. Kegiatan ini dilakukan secara bergiliran pada setiap Masjid yang ada di Desa Ujunggede, kegiatannya berupa istightosah dan pengajian umum yang diisi oleh ulama setempat, setelah istighotsah dan pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jilani selesai maka dilanjutkan dengan pengajian yang diisi oleh ulama setempat. B. Praktek Pernikahan oleh Wali Hakim karena Wali Adhol Praktek pernikahan oleh Wali Hakim kaitannya dengan wali adhol yang dilakukan pada posisi perempuan yang tidak direstui oleh walinya di
50
Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang sejak tahun 2005 hingga tahun 2009 bisa dibilang sesuatu yang tidak aneh lagi, artinya kejadian seperti ini sudah pernah terjadi meskipun tidak pasti tiap tahunnya. Dalam kurun waktu 5 tahun ini, penulis menemukan 6 pasangan yang melakukan pernikahan tersebut, namun karena keterbatasan penulis hanya mengambil 3 pasangan yang dianggap cukup mewakili dari enam pasangan pernikahan tersebut, karena dari keseluruhan pasangan pernikahan tersebut ulama desa setempat mengesahkan pernikahan semacam itu, walaupun ada sebagian ulama dari desa tersebut tidak mengesahkannya. Sebut saja SLM dan YL, pasangan tersebut mengakui bahwasanya mereka telah melakukan pernikahan dengan wali Hakim walaupun sebenarnya walinya masih ada, karena faktor tidak direstui oleh walinya, sehingga mereka nekat nikah tanpa menggunakan walinya (ayahnya). Keadaan inilah yang memaksa ke dua pasangan tersebut (SLM dan YL) untuk melangsungkan pernikahannya karena mereka sudah saling mencintai bahkan YL pernah mencoba melakukan bunuh diri karena dia akan dijodohkan oleh ayahnya dengan laki-laki yang tidak disukainya. Awalnya SLM ragu untuk menikahi YL dikarenakan tidak disetujui oleh ayahnya, di karenakan ayah YL sudah mempunyai pilihan sendiri. Akan tetapi SLM mengaku dia sudah siap menikah sebab di samping sudah bekerja, usia SLM juga sudah cukup untuk melangsungkan pernikahan. Pada waktu itu SLM sudah berusaha membujuk orang tua YL agar mau menerima SLM, dan SLM sempat melamar YL, akan tetapi dengan
51
berbagai alasan, orang tua YL tetap tidak mau menerima lamaran dari SLM. Waktu itu SLM hampir putus asa dengan ditolaknya lamaran dari orang tua YL, kemudian SLM sempat melarikan diri ke Jakarta demi menghindar dari YL. Justru dengan SLM pergi ke Jakarta untuk menghindari YL malah memperkeruh masalah sebab YL malah sering kabur dari rumahnya untuk mencari keberadaan SLM sehingga orang tua
YL sering merasakan
kecemasan. Dengan kepergian YL dari rumahnya maka orang tua YL sering menelpon keluarga SLM untuk mengetahui keberadaan anaknya, sehingga keluarga dari pihak SLM juga menghubungi SLM untuk menanyakan hal yang sama. Setelah SLM mengetahui keadaan YL seperti itu, SLM merenung beberapa hari di Jakarta, SLM mulai berpikir tentang masalah yang dihadapinya. Pada akhirnya SLM pulang menemui YL untuk membicarakan masalahnya. Setelah mereka membicarakan masalah yang dihadapinya, akhirnya mereka memutuskan untuk menikah dengan wali Hakim kepada seorang kyai (Ulama Desa Ujunggede), akan tetapi sebelum mereka meminta Kyai tersebut untuk menikahkan, SLM dan YL menceritakan semua keadaan yang mereka hadapi kepada Kyai tersebut. Setelah mendengar cerita dari pasangan tersebut, Kyai tersebut langsung membicarakan langsung kepada ulama-ulama lainnya di Desa Ujunggede tentang masalah tersebut. Namun karena berbagai pertimbangan kemaslahatan, akhirnya mereka (SLM dan YL) melaksanakan pernikahan setelah ulama desa setempat memperbolehkan pernikahan tersebut.
52
Setelah SLM dan YL sudah melaksanakan pernikahan, kemudian mereka mendaftarkan pernikahannya ke KUA agar tercatat sebagai pernikahan yang resmi. Mereka (SLM dan YL) meminta Wali Hakim untuk menikahkannya meskipun Walinya ada tetapi Adhol.1 Sedikit berbeda dengan yang diungkapkan oleh pasangan HMZ dan SN, mereka justru memilih jalan nikah dengan wali Hakim sebab hubungan mereka tidak direstui oleh orang tua pihak perempuan dikarenakan HMZ duda. Ketika dikonfirmasi mengenai penyebab terjadinya pernikahannya, mereka menjawab dengan tenang, bahwa sebenarnya mereka sungguh ingin menikah, HMZ sudah melamar SN akan tetapi lamarannya ditolak. Berhubung kami (HMZ dan SN) sudah terlanjur saling mencintai dan masyarakatpun sudah mengetahui hubungan kami (HMZ dan SN), hubungan kami tidak direstui oleh orang tua dan keluarga SN, dikarenakan saya (HMZ) duda, maka pihak keluarga SN meragukan keberadaan saya (HMZ) dan orang tua SN tidak merestui hubungan kita. Dan dari pada menimbulkan fitnah, dan terjerumus ke lembah perzinaan, maka akhirnya kami mengambil alternatif nikah dengan menggunakan
wali
Hakim.
HMZ
dan
SN
sebelum
melaksanakan
pernikahannya, mereka konsultasi terlebih dahulu kepada Ulama setempat, apakah pernikahan mereka boleh dilaksanakan atau tidak. Akan tetapi dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan ulama setempat, maka pernikahannya
1
Data dari hasil wawancara dengan Saudara SLM, tanggal 21 Juli 2009
53
bisa dilaksanakan, dan pada saat Ijab-Qobul dilaksanakan, keluaraga HMZ ikut menyaksikannya.2 Sedangkan pasangan yang ketiga yaitu DD dan ZN, pasangan ini ketika dikonfirmasi mengenai penyebab terjadinya pernikahan tidak jauh beda dengan pasangan HMZ dan SN bahkan pada proses Ijab-Qobulnya saja sama, akan tetapi yang berbeda hanya faktor penyebab dari orang tua ZN tidak merestui hubungan mereka (DD dan ZN) dikarenakan kedua keluarga dari saudara DD dan ZN pernah terjadi perselisihan.3 C. Pendapat Masyarakat tentang pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol Menanggapi kasus tersebut, Bapak Hambali mengatakan bahwa penduduk Indonesia dalam hal pernikahan itu mengikuti 2 hukum, yaitu hukum Negara dan hukum Agama. Masalah pernikahan dengan tidak menggunakan wali memang masih khilafiyah, ada yang memperbolehkan dan ada yang tidak memperbolehkan.4 Adanya hukum Negara adalah untuk menjembatani masalah-masalah yang terjadi, sebab tanpa adanya hukum Negara yang pasti negara akan kacau balau, karena masing-masing orang mempunyai pendapat dan keyakinan yang berbeda-beda. Ketika disinggung mengenai pernikahan perempuan oleh wali Hakim kaitannya wali Adhol yang terjadi di Desa Ujunggede beliau menjelaskan bahwa pernikahannya tetap sah, dikarenakan tingkat kemaslahatannya lebih
2
Data dari hasil wawancara dengan Saudara HMZ, tanggal 21Juli 2009 Data dari hasil wawancara dengan Saudara DD, tanggal 23 Juli 2009 4 Data dari hasil wawancara dengan bapak Hambali, beliau adalah mantan Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang pada tanggal 22 Juli 2009. 3
54
besar. Pada dasarnya nikah tanpa persetujuan wali, pernikahan tidak dapat di laksanakan. Namun, jika terjadi perselisihan wali Nasab dengan wanita yang akan menikah, izin wali Nasab itu dapat diganti dengan izin wali Hakim. Dalam masyarakat kami biasanya ketika ada kasus semacam itu, kami tidak langsung menghukumi haram pernikahan seperti itu, akan tetapi kita lihat terlebih dahulu kronologisnya dari pernikahan itu, walaupun pernikahan semacam itu bertentangan dengan Hukum Islam. D. Pendapat Ulama tentang pernikahan oleh wali Hakim karena walinya Adhol Salah seorang Ulama Desa Ujunggede (Ky. Anwar ‘Asy’ari) menyatakan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh seorang gadis tanpa wali (ayah dari calon mempelai perempuan) pada dasarnya tidak sah, akan tetapi kalau pernikahannya itu ditempuh melalui wali Mujbir malah mengakibatkan madhorot dan menimbulkan malapetaka bagi pasangan tersebut, maka pernikahan seperti itu sah sah saja, dikarenakan tingkat kemaslahatannya lebih besar. Beliau mengesahkan pernikahan ini antara lain berdasarkan kaidah usuliyah yang berbunyi ”Menolak kerusakan harus di dahulukan dari pada menarik kemaslahatan”. Beliau menjelaskan bahwa jika terjadi perlawanan antara kerusakan dan kemaslahatan pada suatu perbuatan, dengan kata lain jika satu perbuatan ditinjau dari satu segi terlarang karena mengandung kerusakan dan ditinjau dari segi yang lain mengandung kemaslahatan, maka segi larangannya yang harus didahulukan. Hal ini disebabkan karena perintah meninggalkan larangan lebih besar dari pada perintah menjalankan kebaikan.
55
Beliau juga menambahkan syarat pernikahan mereka (pelaku pernikahan) sudah terpenuhi dan tidak ada larangan syar’i untuk terjadi pernikahan, namun hanya saja ayah kandung perempuan enggan menikahkan mereka. Dan apabila wali nasabnya Adhol maka boleh berpindah ke wali Hakim, walaupun dipaksa atau enggan menikahkan dan tidak boleh sekali-kali pindah perwaliannya kepada wali yang jauh atau wali ab’ad.5 Kemudian beliau juga menambahkan bahwa masyarakat itu bersifat majemuk dan masing-masing mempunyai ciri-ciri serta tradisi yang berbedabeda pada masing-masing daerah apalagi dalam satu desa. Dalam satu keluargapun kemajemukan itu selalu ada dan selalu saja ada perbedaan pendapat, karena perbedaan pendapat adalah rahmat dari Allah SWT. Jadi kita tidak boleh menyalahkan pendapat ataupun keyakinan orang lain ketika terjadi sebuah perbedaan. Hal senada juga dikatakan oleh Bapak K.H. Ihwan, kemudian bahwa pernikahan perempuan dengan wali Hakim karena walinya Adhol itu hukumnya sah apabila alasan wali yang enggan menikahkan tersebut dengan alasan yang tidak syar’i, akan tetapi kalau alasannya syar’i maka perwaliannya tidak bisa pindah ke wali Hakim dan wali tersebut harus ditaati. Kemudian beliau juga menjelaskan bahwa apabila seorang perempuan yang layak nikah minta dinikahkan dengan laki-laki yang seimbang derajatnya (sekufu) lalu
5
Wawancara dengan Bapak K. Anwar As’ari, Ulama Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang, tanggal 22 Juli 2009.
56
wali nikahnya menolak, maka wali Hakim yang akan menikahkan. (lihat kitab Muhadzab, juz. 3, hlm. 37)6 Beliau juga menambahkan bahwa pernikahan dengan tanpa Wali masih khilafiyah (lihat kitab Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid). Di samping itu beliau juga melihat tingkat kemaslahatannya lebih besar. Beliau juga berpendapat mengenai wanita menikah tidak harus menggunakan wali, hal ini didasarkan pada analisis QS. Al-Baqarah: 230 dan 232. Hal tersebut di atas, berbeda dengan pendapat K. Arifin, beliau berpendapat bahwa pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol itu tidak sah. Hal ini didasarkan pada Hadits Nabi SAW yang menjelaskan tentang larangan menikah dengan tidak menggunakan wali, beliau tidak mengesahkan pernikahan tersebut karena seorang Hakim tidak boleh menikahkan jika wali Mujbir (ayah) tidak setuju mengawinkan putrinya dengan laki-laki yang sepadan dari hasil pilihannya sendiri sedangkan si ayah sudah mempunyai laki-laki lain yang juga sekufu (sepadan). Walaupun lakilaki pilihan si ayah kesepadanannya lebih rendah dibanding pilihan putrinya.(lihat kitab I’anah at-Thalibin, juz 3).7 Demikianlah pendapat-pendapat ulama Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang, mengenai pernikahan yang dilangsungkan dengan tanpa wali, yang akhirnya dapat dibuat garis besar sebagai berikut:
6
Wawancara dengan Bapak K.H. Ihwan, Ulama Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang, tanggal 22 Juli 2009. 7 Wawancara dengan Bapak K. Arifin, Ulama Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang, tanggal 22 Juli 2009.
57
1. K. Anwar ‘Asy’ari berpendapat bahwa perempuan yang menikah dengan tanpa
menggunakan
pernikahannya
wali
dilaksanakan
memang dengan
khilafiyah, wali
akan
Mujbir
tetapi malah
jika bisa
mengakibatkan madhorot, maka pernikahan seperti itu sah, karena di pandang tingkat kemaslahatannya lebih besar. Beliau juga menambahkan bahwa apabila wali Nasabnya Adhol maka boleh berpindah ke wali Hakim,
walaupun dipaksa atau enggan menikahkan dan tidak boleh
sekali-kali pindah perwaliannya kepada wali yang jauh atau wali Ab’ad. 2.
K.H. Ihwan, beliau sependapat dengan K. Anwar ‘Asy’ari, dan masih menurut beliau bahwa pernikahan perempuan dengan tanpa wali itu sah akan tetapi masih khilafiyah. Beliau juga menambahkan apabila seorang perempuan yang layak nikah minta dinikahkan dengan laki-laki yang seimbang derajatnya (sekufu) lalu wali nikahnya menolak, maka wali Hakim yang akan menikahkan.
3. K. Arifin, beliau tidak mengesahkan pernikahan tersebut, hal ini didasarkan pada Hadits Nabi Muhammad SAW bahwa nikah tidak sah kecuali dengan menggunakan wali, dan keterangan dalam kitab I’anah atThalibin bahwa Hakim tidak boleh menikahkan jika wali Mujbir (ayah) tidak setuju menikahkan putrinya dengan laki-laki yang sepadan dari hasil pilihannya sendiri sedangkan si ayah sudah mempunyai laki-laki lain yang juga sekufu (sepadan). Walaupun laki-laki pilihan si ayah kesepadanannya lebih rendah dibanding pilihan putrinya.
BAB IV ANALISIS PERSEPSI ULAMA TENTANG PERNIKAHAN OLEH WALI HAKIM KAITANNYA DENGAN WALI ADHOL
A. Analisis terhadap Persepsi Ulama tentang Pernikahan oleh Wali Hakim kaitannya dengan Wali Adhol Dalam ajaran Islam orang tua tidak boleh memaksa mengawinkan anak putrinya yang sudah dewasa dengan laki-laki yang tidak disukainya.1 Orang tua berkewajiban meminta pendapat anak putrinya mengenai laki-laki yang akan dijodohkan, apakah ia mau menerima laki-laki itu atau menolaknya. Apabila anak perempuannya itu janda, maka ia harus menyampaikan persetujuannya secara terus terang. Tapi jika anak perempuannya gadis, maka diamnya adalah tanda setuju karena diakuinya perasaan malu. Jika ia mengatakan ”tidak” maka orang tua tidak berwenang untuk memaksakan ia nikah dengan laki-laki yang tidak disukai. Kerena dengan orang tua memaksa anak perempuannya nikah dengan laki-laki yang tidak disukai bisa mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, bisa saja anak perempuannya kabur dari rumahnya dan melakukan pernikahan yang tidak sesuai dengan prosedur hukum, bahkan anak tersebut bisa bunuh diri karena akan dijodohkan dengan laki-laki yang tidak disukainya. Pada masa sekarang memang banyak terjadi perselisihan antara orang tua dengan anak perempuannya mengenai hal pernikahan. Oleh sebab karena
1
Ghazali Mukri, Panduan Fiqh Perempuan, Jogjakarta: Salma Pustaka, 2000, hlm. 127
58
59
terjadi
perselisihan
antara
oarang
tua
dengan
anak
perempuannya
kemungkinan besar orang tua tidak bersedia menikahkan anak perempuannya atau enggan (Adhol) menjadi wali bagi anak perempuannya. Salah satu prinsip pernikahan dalam Islam adalah persetujuan masingmasing pihak dan didasarkan atas perasaan sukarela. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Nabi bersabda:
ﻻ: ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﹼﻢ:ﻋﻦ ﺃﰉ ﻫﺮﺭﻳﺮﺓ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻛﻴﻒ: ﻗﺎﻟﻮﺍ,ﱴ ﺗﺴﺘﺄﺫﻥ ﱴ ﺗﺴﺘﺄﻣﺮ ﻭ ﻻ ﺗﻨﻜﺢ ﺍﻟﺒﻜﺮ ﺣ ﻢ ﺣﺗﻨﻜﺢ ﺍﻻﻳ 2
( ﺃﻥ ﺗﺴﻜﺖ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ: ﺎ ؟ ﻗﺎﻝﺇﺫ
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. (beliau berkata): Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Tidak boleh dinikahkan perempuan janda itu sehingga diperintah dan perempuan gadis tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai izinnya, kemudian para sahabat bertanya: Ya Rasulullah, Bagaimana izinnya perempuan gadis itu? Beliau menjawab: Diamnya (tanda izinnya). (Muttafaq ‘alaih) Dari hadits di atas terlihat bahwa seorang perempuan mempunyai hak untuk menolak dinikahkan, yaitu dengan tidak memberikan izin kepada walinya untuk menikahkan. Dalam hadits lain dijelaskan, bahwa Nabi bersabda:
ﻭ ﺇﻥ ﺍﻧﺸﺘﺠﺮﻭﺍ: ﻡ. ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺹ,ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ 3
{ﻓﺎﺍﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻭﱃ ﻣﻦ ﻻ ﻭﱃ ﻟﻪ }ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ
Artinya: Dari ‘Aisyah r.a (beliau berkata): Bahwa Rasulullah saw bersabda: Jika mereka (para Wali) menolak menikahkan, maka sultanlah Wali bagi orang yang tidak mempunyai Wali. (Muttafaq ‘alaih)
2
Muhammad Bin Ismail al-Kahlani as-San’ani, Subul as-Salam, juz 3, Cairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950, hlm. 118 3 Hafid Abi Abdillah Bin Yazid al-Qoswaini, Sunan Ibn Majah Juz 1, Beirut: Darul Fikri Arabiyah, hlm. 605
60
Pernikahan dengan wali Hakim kaitannya kaitannya dengan wali yang masih ada tetapi adhol, menurut para ulama desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang di antaranya K. Anwar As’ari dan K.H. Ihwan, mereka berpendapat bahwa pernikahan perempuan dengan wali Hakim kaitannya dengan wali yang masih ada tetapi Adhol itu sah, karena di pandang tingkat kemaslahatannya lebih besar, sebab apabila pernikahan tersebut dilakukan dengan prosedur yang ada justru malah memberikan madhorot bagi pelaku pernikahan tersebut. Bapak K.H. Ihwan berpendapat bahwa pernikahan perempuan yang tidak menggunakan wali masih khilafiyah, di samping itu apabila seorang perempuan yang layak nikah minta dinikahkan dengan lakilaki yang seimbang derajatnya (sekufu) lalu wali nikahnya menolak, maka wali Hakim yang akan menikahkan. Untuk lebih jelasnya akan penulis paparkan pendapat imam mazhab mengenai wali dalam pernikahan: 1. Menurut pendapat Imam Syafi’i Imam Syafi’i beserta penganutnya berpendapat tentang wali Nikah ini bertitik tolak dari Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al Tirmidzi berasal dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ﺍﳝﺎ ﺍﻣﺮﺍﺓ ﻧﻜﺤﺖ: ﻡ. ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺹ,ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ 4
4
{ﺑﻐﲑ ﺍﺫﻥ ﻭﻟﻴﻬﺎ ﻓﻨﻜﺎﺣﻬﺎ ﺑﺎﻃﻞ }ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ
Abu Dawud Sulaiman Ibn Asy’as Al Sajastani, Sunan Abu Dawud, Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyah, 1996. hlm. 204
61
Artinya: Dari ‘Aisyah r.a (beliau berkata): Bahwa Rasulullah saw bersabda: Barang siapa diantara perempuan yang menikah dengan tidak seizin Walinya, maka nikahnya batal.(Muttafaq ‘alaih) Dalam hadits Rasulullah SAW tersebut terlihat bahwa seorang perempuan yang hendak menikah disyaratkan harus memakai wali, berarti jika tanpa wali maka nikahnya tidak sah. Dari hadits Rasulullah SAW yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Rasulullah SAW bersabda: 5
.( ﻻﻧﻜﺎﺡ ﺍﻻ ﺑﻮﱄ ﻭﺷﺎﻫﺪﻱ ﻋﺪﻝ )ﺭﻭﻩ ﺍﲪﺪ: ﻡ.ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺹ
Artinya: “Tidak sah nikah melainkan dengan Wali dan 2 (dua) orang saksi yang adil. 2. Menurut pendapat Imam Hanafi Menurut Hanafi, nikah (pernikahan) itu tidak merupakan syarat harus memakai wali. Imam Abu Hanifah atau Mazhab Hanafi dan beberapa penganutnya mengatakan bahwa akibat ijab (penawaran), akad nikah yang diucapkan oleh perempuan yang dewasa dan berakal (aqil baligh) adalah sah secara mutlak, demikian juga menurut Abu Yusuf, Imam Maliki dan riwayat Ibnu Qosim. Beliau itu mengemukakan pendapat berdasarkan analisis dari Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW sebagai berikut di bawah ini:
3 …çνuöxî %¹`÷ρy— yxÅ3Ψs? 4©®Lym ߉÷èt/ .⎯ÏΒ …ã&s! ‘≅ÏtrB Ÿξsù $yγs)¯=sÛ βÎ*sù Artinya : “Apabila suami mentalaq isterinya (isteri-isteri) sesudah talaq yang kedua, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya
5
Ibid. hlm. 229
62
seningga dia (perempuan ) itu menikahi calon suami mereka yang baru”. (QS. Al-Baqarah:230)6
£⎯ßγy_≡uρø—r& z⎯ósÅ3Ζtƒ βr& £⎯èδθè=àÒ÷ès? Ÿξsù £⎯ßγn=y_r& z⎯øón=t6sù u™!$|¡ÏiΨ9$# ãΛä⎢ø)¯=sÛ #sŒÎ)uρ Artinya: “Apabila kamu mentalaq isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya janganlah kamu (para Wali) menghalangi mereka nikah lagi dengan calon suaminya”. (QS. Al-Baqarah:232)7 Jadi menurut Imam Hanafi, wali nikah itu tidak merupakan syarat sah nikah, akan tetapi baik calon mempelai laki-laki atau calon mempelai perempuan yang hendak menikah hendaknya meminta restu atau izin terlebih dahulu dari Walinya. Ulama Hanafiyah juga berpendapat bahwa hadits tentang disyaratkannya Wali dalam pernikahan yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. dianggap lemah. Sebab, hadits ini diriwayatkan oleh sekelompok orang dari Ibnu Juraij dan az-Zuhri, sementara itu Ibnu Ulayyah mengatakan dari Ibnu Juraij bahwa ia (Ibnu Juraij) pernah menanyakan kepada az-Zuhri tentang hadits tersebut, tetapi ia tidak mengenalnya.8 Sebagai dalil atas kebenaran hal itu, mereka mengatakan bahwa az-Zuhri sendiri tidak mensyaratkan adanya wali, dan pensyaratan wali juga bukan merupakan pendapat Aisyah r.a.9
6
Yayasan Penyelengga Penterjemah Al-Quran Al-Quran dan Terjemahnya 30 Juz, Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994, hlm. 56 7 Ibid 8 Al- Faqih Abul Walid Muhammad Bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, terj. Imam Ghozali Said, MA, Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, Cet. 2, hlm. 416. 9 Dalam hal ini masih terjadi kontraversi, apakah suatu ketetapan hukum berdasarkan “fatwa sahabat” atau berdasarkan “subtansi hadits” yang diriwayatkan.
63
3. Menurut pendapat Imam Malik Berdasarkan riwayat Asyhab, Imam Malik berpendapat bahwa tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i.10 Akan tetapi Dawud memisahkan antara gadis dan janda. Dia mensyaratkan adanya wali pada gadis, dan tidak tidak mensyaratkan pada janda.11 Berdasarkan pendapat imam mazhab dan hadits Nabi tersebut di atas, pernikahan perempuan dengan wali Hakim kaitannya oleh wali yang masih ada tetapi Adhol itu sah. Oleh karena itu para ulama desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang juga berbeda-beda pendapat mengenai hal tersebut. Berikut ini adalah analisis penulis terhadap persepsi Ulama Desa Ujunggede
Kecamatan
Ampelgading
Kabupaten
Pemalang
terhadap
pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol: 1. Ulama yang mengesahkan pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol Apabila kita bandingkan pendapat-pendapat para ulama serta sumber-sumber hukum mereka yang mengesahkan pernikahan dengan tanpa wali dengan pendapat-pendapat imam mazhab seperti yang tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwasanya mereka mengikuti mazhab Hanafi. Penulis memandang apapun dalilnya dan alasan pengambilan suatu
10
Ibid. hlm. 409. Ibid, hlm. 410.
11
64
hukum, maka tidak dipandang suatu perbedaan, tetapi rahmat Allah yang telah memberi akal pada manusia. Penulis memandang dengan adanya perbedaan pendapat para ulama, di samping rahmat dari Allah SWT, hal ini juga suatu wujud dispensasi agama (al-Rukhsah fi al-Din) bagi para makhluk-Nya, hal ini sesuai hadits Nabi SAW, bahwa agama itu mudah, hanya saja manusianya yang mempersulit sendiri. Namun kaitannya dengan pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan yang masih ada tetapi Adhol, mereka (ulama desa setempat)
mengesahkan
pernikahan
tersebut
berdasarkan
aspek
kemaslahatan dari latar belakang pelaku pernikahan tersebut, sebab jika pernikahannya dilaksanakan dengan menggunakan wali Mujbir bisa mengakibatkan madhorot, maka pernikahan seperti itu sah, karena di pandang tingkat kemaslahatannya lebih besar tapi dengan syarat mereka harus sekufu, tidak ada mawani’ nikah pada mereka, dan keengganan para wali tidak berdasarkan alasan yang syar’i. Dalam hal ini penulis juga sependapat dengan para ulama, juga menurut hemat penulis jika pernikahan tersebut tidak dilaksanakan justru mereka bisa terjerumus ke lembah perzinaan, di mana zina itu dalam agama jelas dilarang. Jadi kesimpulannya wali yang enggan menikahkan anaknya itu tidak berpengaruh pada sahnya suatu akad pernikahan.
65
2. Ulama yang tidak mengesahkan pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol Ulama yang tidak mengesahkan pernikahan ini berdasarkan pada hadits Nabi SAW yang menerangkan bahwa nikah tidak sah kecuali dengan adanya wali. Menurut beliau bahwa Hakim tidak boleh menikahkan jika wali Mujbir (ayah) tidak setuju mengawinkan putrinya dengan laki-laki yang sepadan dari hasil pilihannya sendiri sedangkan si ayah sudah mempunyai laki-laki lain yang juga sekufu (sepadan). Walaupun laki-laki pilihan si ayah kesepadanannya lebih rendah di banding pilihan putrinya. Menurut analisis penulis terhadap ulama yang tidak mengesahkan pernikahan tersebut, apabila diperhatikan alasan-alasan tersebut di atas mengacu pada hadits nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
.(ﺍﲪﺪ
ﻻﻧﻜﺎﺡ ﺍﻻ ﺑﻮﱄ )ﺭﻭﻩ: ﻡ.ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺹ
Artinya: “Tidak sah nikah melainkan dengan Wali”
ﺍﳝﺎ ﺍﻣﺮﺍﺓ ﻧﻜﺤﺖ: ﻡ. ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺹ,ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ {ﺑﻐﲑ ﺍﺫﻥ ﻭﻟﻴﻬﺎ ﻓﻨﻜﺎﺣﻬﺎ ﺑﺎﻃﻞ }ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ Artinya: Dari ‘Aisyah r.a (beliau berkata): Bahwa Rasulullah saw bersabda: Barang siapa diantara perempuan yang menikah dengan tidak seizin walinya, maka nikahnya batal.(Muttafaq ‘alaih) Hal ini dikarenakan wali sangat penting dalam suatu pernikahan dan keberadaan wali dalam suatu pernikahan merupakam syarat sahnya sehingga tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali yang
66
melaksanakan akad nikah, ini adalah pendapat tiga imam madzhab yaitu Malik, Syafi’i dan Ahmad serta Jumruh ulama. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh ’Aisah di atas sangat jelas sekali menyatakan bahwa pernikahan itu batal tanpa adanya wali. Akad nikah merupakan sesuatu yang serius sehingga perlu mengetahui secara jelas apa manfa’at pernikahan tersebut dan madorotnya, perlu pengamatan yang seksama dan musyawarah terlebih dahulu. Sementara perempuan biasanya pendek pandangannya dan singkat cara berpikirnya atau jarang ada yang berpikir panjang sehingga dia memerlukan seorang wali yang memberikan pertimbangan akan akad tersebut dari aspek manfa’at dan legitimasi hukumnya. Oleh karena itu, adanya wali termasuk salah satu syarat ‘akad berdasarkan nash yang shahih dan juga pendapat Jumhur ulama. Penulis memandang bahwa hukum Islam itu tidak sekejam sebagaimana orang tua bisa memaksa anak perempuannya untuk menikah dengan orang yang tidak disukainya, sebab hal ini bisa membawa malapetaka bagi anak tersebut dan orang tuanya. Penulis memandang bahwa orang tua yang menggunakan hak ijbarnya jelas bertentangan dengan prinsip pernikahan dalam Islam, karena pada dasarnya prinsip pernikahan adalah persetujuan masing-masing pihak dan didasarkan atas perasaan suka rela. Jadi orang tua tidak boleh semaunya menjodohkan anaknya sebab dia juga mempunyai hak untuk memilih jodohnya dan yang akan menjalani kehidupannya dengan pasangannya.
67
Dalam membicarakan masalah ijtihadiyah, jangan berpikir itu membawa perpecahan, berpikirlah secara positif bahwa perbedaan pendapat itu menjadi arena untuk mencari dan menguji kebenaran kedua belah yang saling adu argumentasi dan logika, sehingga pendapat apapun yang disimpulkan adalah sesuai dengan bobot dari alasan masing-masing, sebab dari cara berpikir seseorang dan kemampuan ilmu seseorang pasti berbeda-beda sehingga wajar kalau terjadi perbedaan pendapat di kalangan para Ulama. B. Analisis terhadap pertimbangan hukum persepsi Ulama terhadap Pernikahan oleh Wali Hakim kaitannya dengan Wali Adhol Wali merupakan unsur paling penting dalam suatu akad nikah, sebagaimana pendapat ulama yang dianut oleh umat Islam di Indonesia, bahwa pernikahan tanpa adanya wali maka nikahnya tidak sah. Kendati demikian, dalam kenyataan kadang terjadi bahwa wali karena alasan tertentu enggan menikahkan anak perempuannya, sedang anak perempuannya tersebut sangat menginginkan untuk menikah dengan calon pilihannya, sehingga untuk bisa tetap melangsungkan pernikahannya mereka harus menggunakan wali Hakim. Menurut para ulama Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang di antaranya bapak K. Anwar Asy’ari dan Bapak K.H. Ihwan, mereka berpendapat bahwa pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali yang masih ada tetapi Adhol itu sah, mereka mengesahkan pernikahan tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang
68
menuju kemaslahatan dari latar belakang pelaku pernikahan tersebut, dengan kata lain mereka mengutamakan aspek kemaslahatannya. Hukum pernikahan perempuan yang tidak menggunakan wali itu ikhtilaf, ada yang membolehkan dan ada pula yang menganggap tidak sah. Para ulama saling berbeda pendapat satu dengan lainnya.
ﺍﺧﺘﻠﻒ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻫﻞ ﺍﻟﻮﻻﻳﺔ ﺷﺮﻁ ﻣﻦ ﺷﺮﻭﻁ ﺻﺤﺔ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﺍﻡ ﻟﻴﺴﺖ ﺑﺸﺮﻁ؟ ﰱ ﺭﻭﺍﻳﺔ.ﺎ ﺷﺮﻁ ﰱ ﺍﻟﺼﺤﺔ ﻭ ﺍ,ﻓﺬﻫﺐ ﻣﺎﻟﻚ ﺍﱃ ﺍﻧﻪ ﻻﻳﻜﻮﻥ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻻ ﺑﻮﱄ 12
ﻰ ﻭﺑﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌ,ﺍﺷﻬﺐ ﻋﻨﻪ
Artinya: Ulama berselisih pendapat apakah Wali menjadi syarat sahnya nikah atau tidak. Berdasarkan riwayat Asyhab, Malik berpendapat tidak ada nikah tanpa Wali, dan Wali menjadi syarat sahnya nikah. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Imam Syafi’i. Dengan adanya perselisihan pendapat antara ulama mengenai wali dalam pernikahan, para ulama di Desa Ujunggede juga terjadi perselisihan pendapat mengenai pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali yang masih ada tetapi Adhol. Berikut ini adalah analisis penulis terhadap pertimbangan hukum Ulama Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang terhadap pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol: 1. Pertimbangan berdasarkan Kemaslahatan Syari’at Islam bersifat umum, tidak hanya untuk sesuatu keadaan tertentu atau perseorangan. Sifat umum yang demikian ini dalam keadaan tertentu dapat menimbulkan kesulitan dan kemadorotan pada sebagian 12
Abul Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Beirut: Dar al-Jill, juz 2, 1409 H/1989M, hlm. 6
69
manusia. Dalam keadaan demikian syari’at Islam memberikan kelapangan untuk menolak kesulitan yang dia hadapi. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 sebagai berikut:
uô£ãèø9$# ãΝà6Î/ ߉ƒÌムŸωuρ tó¡ãŠø9$# ãΝà6Î/ ª!$# ߉ƒÌムArtinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” Ayat ini menjelaskan adanya keringanan dan kemudahan terhadap sesuatu beban hukum yang dianggap sulit untuk dilaksanakan karena adanya udzur tertentu. Al-Quran dalam menetapkan hukum tidak menyulitkan manusia dalam pelaksanaannya dan tidak menetapkan hukum di luar kemampuan manusia. Para ahli hukum Islam berpendapat bahwa kemudahan dan keringanan ini meerupakan rahmat dari Allah SWT kepada hamba-Nya. Dalam hal ini kaitannya dengan pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali yang masih ada tetapi Adhol para Ulama Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang dalam mengesahkan
pernikahan
tersebut
itu
berdasarkan
pada
aspek
kemaslahatan dari latar belakang para pelaku pernikahan tersebut, pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali yang masih ada tetapi Adhol adalah sebuah keringanan dan kemudahan terhadap sesuatu beban hukum yang dianggap sulit untuk dilaksanakan karena adanya udzur tertentu, hal ini juga sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
70
ﺩﺭﺀ ﺍﳌﻔﺎﺳﺪ ﻣﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ ﺍﳌﺼﺎﱀ Artinya: Menolak kerusakan itu harus didahulukan dari pada menarik kemaslahatan Bahwa jika terjadi perlawanan antara kerusakan dan kemaslahatan pada suatu perbuatan, dengan kata lain jika satu perbuatan ditinjau dari satu segi terlarang karena mengandung kerusakan dan ditinjau dari segi yang lain mengandung kemaslahatan, maka segi larangannya yang harus didahulukan. Hal ini disebabkan karena perintah meninggalkan larangan lebih besar dari pada perintah menjalankan kebaikan. Penulis juga memandang bahwa hukum asal pernikahan adalah sunnah, akan tetapi pernikahan bisa menjadi wajib jika orang yang telah mempunyai keinginan kuat untuk nikah dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban dalam pernikahan serta ada kekhawatiran, apabila tidak nikah, maka akan tergelincir untuk berbuat zina. Sebab menjaga diri dari perbuatan zina hukumnya wajib, apabila dari seseorang tertentu penjagaan diri itu akan terjamin jika dengan jalan menikah, maka menurut penulis kaitannya dengan kasus perempuan yang nikah dengan wali Hakim karena walinya Adhol melakukan pernikahan, maka pernikahan itu hukumnya wajib. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah bahwa sesuatu yang mutlak diperlukan untuk menjalankan suatu kewajiban, hukumnya adalah wajib. Dengan kata lain apabila suatu kewajiban tidak terpenuhi tanpa adanya suatu hal, maka hal itu wajib pula hukumnya. Menurut penulis penerapan kaidah tersebut
71
dalam masalah pernikahan apabila seseorang hanya dapat menjaga diri dari perbuatan zina dengan jalan pernikahan, maka baginya pernikahan itu wajib hukumnya. 2. Pertimbangan berdasarkan sudah terpenuhinya syarat-syarat pernikahan Bahwa menurut mereka (para Ulama Desa Ujunggede) syarat pernikahan mereka (pelaku pernikahan) sudah terpenuhi semua dan tidak ada larangan syar’i yang menghalangi pernikahan mereka, namun hanya saja ayah kandung perempuan enggan menikahkan mereka. Adapun alasan wali tidak mau menikahkan tidak berdasarkan alasan yang syar’i. Menurut penulis pernikahan tersebut juga sudah sesuai dengan UU Perkawinan, menurut UU Perkawinan Bab: 1 pasal 2 ayat 1 dinyatakan, bahwa perkawinan sah apabila dilakukan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan bagi umat Islam, pernikahan sah apabila dilakukan menurut Hukum Perkawinan Islam, dengan kata lain bahwa ketentuan hukum agama yang menjadi penentu utama sah dan tidaknya pernikahan. 3. Pertimbangan berdasarkan walinya Adhol Dan apabila wali Nasabnya Adhol maka boleh berpindah ke wali Hakim, walaupun dipaksa atau enggan menikahkan dan tidak boleh sekalikali pindah perwaliannya kepada wali yang jauh atau wali ab’ad. Hal ini menurut pandangan penulis, bahwa pernikahan dengan wali Hakim itu sudah sesuai dengan teori sebab di dalam KHI sudah dijelaskan pada pasal 23 ayat 1 dan 2, dan PERMENAG RI No. 2 tahun 1987 tentang Wali Hakim.
72
4. Menimbang berdasarkan pada kitab Muhadzab Bahwa dalam keterangan kitab Muhadzab yang berbunyi: 13
ﺟﻬﺎ ﺍﻟﺴﻠﻄﺎﻥﻭ ﺇﻥ ﺩﻋﺖ ﺍﳌﻨﻜﺤﺔ ﻋﻠﻰ ﻛﻔﺆ ﻓﻌﻀﻠﻬﺎ ﺍﻟﻮﱃ ﺯﻭ
Bahwa apabila seorang perempuan yang layak nikah minta dinikahkan dengan laki-laki yang seimbang derajatnya (sekufu) lalu wali nikahnya menolak, maka wali Hakim yang akan menikahkan. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW, bahwa Nabi bersabda:
ﻭ ﺇﻥ ﺍﻧﺸﺘﺠﺮﻭﺍ: ﻡ. ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺹ,ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ 14
(ﻓﺎﺍﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻭﱃ ﻣﻦ ﻻ ﻭﱃ ﻟﻪ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ
Menurut pandangan penulis, berdasarkan hadits ini bahwa jika wali enggan menikahkan anaknya, maka wali Hakimlah yang akan menikahkannya. 5. Pertimbangan berdasarkan analisis QS al-Baqarah ayat 230, 232 dan 234 Bahwa dalam QS al-Baqarah ayat 232, Allah berfirman:
£⎯ßγy_≡uρø—r& z⎯ósÅ3Ζtƒ βr& £⎯èδθè=àÒ÷ès? Ÿξsù Artinya: “Maka janganlah kamu (para Wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya” (al-Baqarah: 232)15 Demikian juga firman-Nya:
…çνuöxî %¹`÷ρy— yxÅ3Ψs? 4©®Lym “Hingga dia kawin dengan suami yang lain” (al-Baqarah: 230)16 13
Syaikh Imam Abi Ishaq Ibrohim bin Ali, Muhadzab, juz 2, Semarang: Maktabah wa Matba’ah Toha Putra, hlm. 37 14 Hafid Abi Abdillah Bin Yazid al-Qoswaini, Sunan Ibn Majah Juz 1, Beirut: Darul Fikri Arabiyah, hlm. 605 15 Yayasan Penyelengga Penterjemah Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya 30 Juz, Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994, hlm. 56
73
Dan ayat yang terakhir
Å∃ρâ÷êyϑø9$$Î/ £⎯ÎγÅ¡àΡr& þ’Îû z⎯ù=yèsù $yϑŠÏù ö/ä3øŠn=tæ yy$oΨã_ Ÿξsù “Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut” (al-Baqarah: 234)17 Menurut penulis ayat di atas dan lainnya, kata nikah selalu disandarkan pada perempuan bukan kepada wali. Bahwa wali dilarang oleh al-Qur’an menghalangi nikah dengan lelaki yang disukainya. Menurut pandangan penulis bahwa pernikahan itu merupakan hak perempuan sepenuhnya dan ia layak menangani pernikahannya secara langsung tanpa izin terlebih dahulu kepada walinya. Oleh karena itu, pernikahan yang dilakukan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali yang masih ada tetapi Adhol itu sah. Hanya saja menurut rasa kesusilaan masyarakat di Indonesia, tidak hadirnya wali dalam pernikahan, dirasakan “kurang baik” dan rasanya memang tidak pula “baik” kalau seorang perempuan kendatipun ia sudah dewasa, menawarkan dirinya sendiri kepada calon suaminya di hadapan dua orang saksi dan orang-orang yang hadir di sekitarnya. Dari
keterangan
para
ulama
desa
Ujunggede
Kecamatan
Ampelgading Kabupaten Pemalang dapat dianalisis bahwa para ulama sebenarnya menganggap sah pernikahan perempuan dengan wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol. Sedangkan perbedaan pendapat terjadi karena pengambilan hukum yang berbeda, di samping itu juga karena 16 17
Ibid Ibid, hlm. 57
74
pemahaman atas suatu dalil yang berbeda-beda satu sama lainnya, sehingga terjadilah perbedaan penafsiran antara ulama satu dengan ulama lainnya. Sedangkan mengenai kesesuaian antara teori dengan kasus yang terjadi di Desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang, penulis memandang berdasarkan dalil-dalil (al-Qur’an, al-Hadits, Kitabkitab, KHI, PERMENAG RI No. 2 tahun 1987 dan UU. Perkawinan) yang telah penulis uraikan di atas, maka penulis menyatakan penyelesaian kasus tersebut sudah sesuai dengan teori.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah penulis uraikan dalam pembahasan di atas, maka dapat penulis simpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Bahwa persepsi ulama desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang terhadap pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali
Adhol adalah merupakan sebuah proses untuk mencapai pada tahap pernikahan, jadi hal itu tidak berpengaruh terhadap sahnya pernikahan asalkan mereka sekufu dan ketika ijab qabul mereka sudah bisa menerima. Ulama
desa
setempat
mengesahkan
pernikahan
tersebut,
karena
berdasarkan kemaslahatan dari latar belakang pelaku pernikahan tersebut. Sebab jika pernikahannya dilaksanakan dengan menggunakan wali Mujbir malah bisa mengakibatkan madhorot, maka pernikahan seperti itu sah, karena dipandang tingkat kemaslahatannya lebih besar. 2. Bahwa pertimbangan hukum dari persepsi ulama desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang terhadap pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol adalah sebagai berikut:
a. Pertimbangan berdasarkan Kemaslahatan Dalam hal ini para ulama desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading
Kabupaten
Pemalang
75
berdasarkan
pada
aspek
76
kemaslahatan dari latar belakang para pelaku pernikahan tersebut, hal ini beliau dasarkan sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
ﺩﺭﺀ ﺍﳌﻔﺎﺳﺪ ﻣﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ ﺍﳌﺼﺎﱀ Artinya: Menolak kerusakan itu harus di dahuiukan dari pada menarik kemaslahatan b. Pertimbangan
berdasarkan
sudah
terpenuhinya
syarat-syarat
perkawinan Bahwa menurut mereka (para ulama desa Ujunggede) syarat perkawinan mereka (pelaku pernikahan) sudah terpenuhi semua dan tidak ada larangan syar’i yang menghalangi pernikahan mereka. c. Pertimbangan berdasarkan Walinya Adhol Dan apabila wali Nasabnya Adhol maka boleh berpindah ke wali Hakim, walaupun dipaksa atau enggan menikahkan dan tidak boleh sekali-kali pindah perwaliannya kepada wali yang jauh atau wali Ab’ad. d. Pertimbangan berdasarkan analisis QS al-Baqarah ayat 230, 232 dan ayat 234. Bahwa dalam QS al-Baqarah ayat 232, 230 dan 234 kata nikah selalu disandarkan kepada perempuan bukan kepada wali. Bahkan wali dilarang menghalangi perempuan nikah dengan lelaki yang disukainya. e. Menimbang berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW: Dari Abu Hurairah r.a. (beliau berkata): Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Tidak boleh dinikahkan perempuan janda
77
itu sehingga diperintah dan perempuan gadis tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai izinnya, kemudian para sahabat bertanya: Ya Rasulullah, Bagaimana izinnya perempuan gadis itu? Beliau menjawab: Diamnya (tanda izinnya). (Muttafaq ‘alaih) Dalam hadits lain dijelaskan, bahwa Nabi bersabda jika mereka (para wali) menolak menikahkan, maka sultanlah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali” f. Menimbang berdasarkan pada kitab Muhadzab Bahwa apabila seorang perempuan yang layak nikah minta dinikahkan dengan laki-laki yang seimbang derajatnya (sekufu) lalu wali nikahnya menolak, maka wali Hakim yang akan menikahkan. Berdasarkan pada dalil-dalil dalam al-Qur’an, al-hadits, kaedah fiqhiyah dan juga pendapat para ulama, maka penulis menyimpulkan bahwa pernikahan oleh wali Hakim kaitannya dengan wali Adhol itu sah, di samping dari dalil-dalil yang menguatkan keabsahan tersebut, juga untuk memelihara martabat perempuan dalam pernikahan dan agar mereka tidak terjerumus ke lembah perzinaan. Sedangkan mengenai kesesuaian antara teori dengan kasus yang terjadi di desa Ujunggede Kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang, penulis menyatakan penyelesaian kasus tersebut sudah sesuai dengan teori. B. Saran-saran Dari uraian di atas, maka penulis mengajukan saran-saran untuk menjadi bahan pertimbangan sebagai berikut:
78
1. Orang tua dan pendidik seyogyanya menanamkan pengetahuan agama dan jiwa moral terhadap anak-anaknya sebagai bekal dalam hidupnya agar memahami terhadap ajaran Islam (dalam hal ini ajaran tentang hukum pernikahan), dan nantinya diharapkan untuk tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan syari’at Islam maupun hukum Positif. 2. Kepada mereka yang sudah menginginkan untuk menikah dan sudah mempunyai pilihan sendiri hendaknya segera memberi tahu orang tua sebelum hubungannya terlalu jauh, sebab kalau sudah terlanjur jauh tetapi orang tua tidak merestuinya justru akan menghambat pernikahan mereka. 3. Para perangkat desa, ulama dan ormas Islam hendaknya memberikan kebijakan-kebijakan yang dapat mencegah ataupun menghilangkan praktek nikah yang penulis temukan, sehingga diharapkan untuk generasi selanjutnya tidak terjadi lagi kasus yang serupa. 4. Kepada orang tua khususnya yang mempunyai anak perempuan hendaknya jangan terlalu memaksa untuk menjodohkan kepada anaknya, orang tua hendaknya memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk mencari pilihan sendiri dalam masalah pernikahannya, karena merekalah yang akan menjalaninya. C. Penutup Dengan
rasa
syukur
yang
seikhlas-ikhlasnya
serta
ucapan
Alhamdulillah atas segala petunjuk dari Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang bentuknya sederhana sesuai kemampuan yang dimiliki. Apa yang penulis uraikan dalam skripsi ini merupakan bagian dari
79
ilmu Allah SWT yang Maha Mengetahui, oleh karena itu semuanya penulis sandarkan kepada-Nya. Penulis menyadari, sekalipun telah mencurahkan segala usaha dan kemampuan dalam penulisan skripsi, namun masih banyak kekurangan disana-sini, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca guna perbaikan selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat diterima untuk memperoleh, memenuhi dan melengkapi syarat-syarat gelar sarjana. Dan sebagai penutup semoga skripsi ini dapat menambah khasanah keilmuan dan memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abi Bakar Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, Indonesia: Darul Ihya’ kutubil Arobiyah. Adi Riyanto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004 Al-asqolani Al-Hafidz Ibn Hajar, terj. Bulughul Maram, karya Machfuddin aladib, CV. Toha putra, tth Ali Ash-Shabuny Muhammad, Az-Zawaju Islamil Mubakkrir : Sa’adah, Terj. Mustaqiim, Hadiah untuk Pengantin, Jakarta: Mustaqim, Cet. 1, 2001. Amin Suma Muhammad, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta:. Raja Grafindo Persada, 2004 Arikunto Suharsini, Prosedur Penelitian: suatu pendekatan praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 1998. Daud Ali Mohammad, Hukum Islam Dan Peradilan Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997. Daradjat Zakiah, Ilmu Fiqh, jilid 2, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995. Dirjen Bimbaga Islam Depag, Ilmu Fiqih, jilid 2, Jakarta:Proyek Pembinaan Prasarana Sarana Perguruan Tinggi agama, 1985 Ghozali Said Imam, Analisa Fiqih Para Mujtahid, terj. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid Jakarta: Pustaka Amani, Hadi Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I. Yogyakarta: Andi OffSet, 2000. Hamid Zahry, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978 Ibnu Rusyd Muhammad, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Beirut: Dar al-Jill juz 2, 1409 H/1989M Idris Ramulyo Mohd, SH., MH. (Hukum Perkawinan, Hukum Kewearisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat), Jakarta: Sinar Grafika Cet pertama 1995 Ishaq Ibrohim Abi, Muhadzab, juz 2, Semarang: Maktabah wa Matba’ah Toha Putra
Jalil Abdul, Fiqh Rakyat (Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan), Yogyakarta: LKiS, 2000 Junaedi Dedi, Bimbingan Perkawinan, Jakarta: Akademika Pressindo, 2003 Khoeruddin Ahrun, Pengadilan Agama, Bandung: Citra Aditia Bakti, 1999 Khotib al-Sarbani Muhammad, Al-Mughnil Muhtaj, juz 3, Beirut Libanon: Dar alFikri. Mahfud Sahal, Dialog dengan Kiai Sahal Mahfud Solusi Problematika Umat, Surabaya: Ampel Suci, 2003. Mohd Fachruddin Fuad, Kawin Mut’ah Dalam Pandangan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib, Indonesia: Dar al-lhya al-Kutub al-Arabiah Muhammad Hasbi Teungku, Hukum-hukun Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997. Muhammad Ibn Ismail As-Sanani, Subul al-Salam, juz III, Kairo: Dar al-Turas alArabi, 1980 Muslim Imam, Shohih Muslim Juz 2, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992 Rasjid Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: CV Sinar Baru, Cet. Ke-25, 1992. Rofiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998 Ruslan Rusady, Metodologi Penelitian: Public Relation dan Komunikasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Sabiq Sayyid, fikhus Sunnah, Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-Fikr, tth Sabiq Sayyid, Fiqhus Sunnah 7, terj. Muhammad Tholib, Bandung: PT. AlMa’arif, cet. 2, 1982 Saryani al-Khotibi Muhammad, Iqna’ juz II, Semarang: Maktabah wa Matba’ah Toha Putra, 2005. Shihab Quraish, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, Vol. 2, 2002.
Sulaiman Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyah, 1996 Suryana Toto, Ibadah Praktis, Bandung: CV. Alafabeta, tth Surahmad Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Arsito, 1994. Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006 Taufiq, Justisia, Indahnya Kawin Sesama Jenis, Edisi 25, Semarang 2004. Tuwu Alimudin, Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: UI Press, 1995 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al_Qur’an, (TM. Hasbi Ash-Shiddieqy), AlQur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI. Proyek Pengadaan Kitab suci Al-Qur’an, 1989. Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al- Mu’in Bi Sarkh Qurrah al-‘Uyun, Surabaya: Darul Abidin.
BIODATA MAHASISWA
Nama
: Subkhan
Tempat Lahir
: Pemalang
Tanggal lahir
: 02 Mei 1982
Alamat Asal
: Desa Ujunggede RT. 04 RW. 07 Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Pemalang
Alamat Sekarang
: Pondok Pesantren Uswatun Hasanah, Kauman I Mangkangwetan, Kecamatan Tugu, Kotamadya Semarang
Nama Orang tua Ayah
: Anwar As’ari
Agama
: Islam
Alamat
: Desa Ujunggede RT. 04/RW. VII Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Pemalang
Ibu
: Rukiyah
Agama
: Islam
Alamat
: Desa Ujunggede RT. 04/RW. VII Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Pemalang
Semarang, Desember 2009
Subkhan NIM. 2105086
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Subkhan
Tempat tanggal lahir : Pemalang, 02 Mei 1982 Jenis Kelamin
: Laki-Laki.
Agama
: Islam.
Alamat Asal
: Desa Ujunggede RT. 04 RW. 07 Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Pemalang
Riwayat Pendidikan : 1. SDN. 02 Ujunggede (1990-1996). 2. SLTPN 02 Ampelgading (1996-1999). 3. MA. Ribatul Muta’allimin Kota Pekalongan (1999-2002). 4. Sejak tahun 2005 sampai dengan sekarang terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
Demikian riwayat hidup yang saya buat dengan sebenar-benarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, Desember 2009
Subkhan NIM. 2105086