ARTIKEL Judul PURA DALEM SEGARA MADHU DI DESA JAGARAGA, SAWAN, BULELENG (LATAR BELAKANG BERDIRI DAN POTENSINYA SEBAGAI SUMBER BELAJAR SEJARAH LOKAL DI SMA)
Oleh NI WAYAN YULIASIH NIM. 0914021010
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2014
PURA DALEM SEGARA MADHU DI DESA JAGARAGA, SAWAN, BULELENG (LATAR BELAKANG BERDIRI DAN POTENSINYA SEBAGAI SUMBER BELAJAR SEJARAH LOKAL DI SMA) Oleh Ni Wayan Yuliasih1, Drs. I Gusti Made Aryana, M.Hum1, Dr. I Wayan Mudana, M.Si2 Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja e-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected] @undiksha.ac.id ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Latar belakang berdirinya Pura Dalem Segara Madhu, Sawan, Buleleng; (2) Aspek-aspek yang dimiliki oleh Pura Dalem Segara Madhu sebagai sumber belajar sejarah lokal; dan (3) Faktor yang menyebabkan SMA Wira Bhakti belum memanfaatkan Pura Dalem Segara Madhu sebagai sumber belajar sejarah lokal. Penelitian ini dilakukan di Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu: (1) teknik penentuan informan; (2) teknik pengumpulan data (observasi, wawancara, studi dokumen) dan; (3) analisis data. Berdasarkan temuan di lapangan menunjukkan bahwa (1) Pura Dalem Segara Madhu sebelumnya bernama “Jaya Pura” yang berfungsi sebagai Pasraman. Pada masa Perang Jagaraga tahun 1849, pura ini dijadikan sebagai pusat pertahanan benteng dalam menghalau serangan Belanda. Namun, akibat kekalahan perang pada masa itu, pura ini sempat dihancurkan oleh Belanda dan dibangun kembali oleh masyarakat Buleleng pada tahun 1865 dengan nama “Segara Madhu”, (2) Aspekaspek yang dimiliki oleh Pura Dalem Segara Madhu sebagai sumber belajar sejarah lokal yaitu aspek historis, dan aspek arsitektur bangunan, (3) Faktor yang menyebabkan guru sejarah di SMA Wira Bhakti kurang memanfaatkan Pura Dalem Segara Madhu sebagai sumber belajar sejarah lokal, yaitu karena faktor jarak dan kesibukan. Kata Kunci : Pura Dalem Segara Madhu, Sumber Belajar, Sejarah Lokal ABSTRACT Pura Dalem Segara Madhu the aim of this study is to determine (1) Backround of the founding of Segara Madhu Temple, Sawan, Buleleng; (2) Aspect which are owned by Segara Madhu temple as a source of learning local history; (3) Faktor which made the SMA Wira Bhakti not exploit yet the Segara Madhu Temple as a source of leraning local history the research is done in Jagaraga Village. This study uses qualitative methods namely: (1) Determination techniques informant; (2) Techniquest of data collection (observation, interviews, study document); (3) Based on data analysis. Finding in the field showed that (1) A previous Dalem Segara Madhu Temple named “Jaya Pura” which functioning as pasraman. During the war 1849, this temple was made as fortress in the center of defense to block attacks by dutch. But the loosed of the war at that time, the temple was destroyed by the Dutch and rebuilt by the the people of Buleleng on 1865 with names “Segara Madhu”, (2) Aspects which are owned by the Segara Madhu Temple as a source of learning local history namely historical aspects, and aspects of building arsitektur, (3) The factor that cause SMA Wira Bhakti history teacher in an underutilization of the temple as a source of learning local history, namely because the distance factor and busyness. Keyword : Dalem Segara Madhu Temple, Resource, Local History
A. Pendahuluan Bali adalah salah satu pulau yang berada di wilayah Kepulauan
Indonesia. Bali terkenal dengan keunikannya. Keindahan Bali dapat dilihat dalam hal keagamaan,
mayoritas masyarakat Bali beragama Hindu selain Agama Islam, Buddha, Kristen Katolik, Kristen Protestan, dan Kong Hu Chu. Letak kekuatan Bali adalah pada komposisi kekuatan alam dan kebudayaannya. Adapun kekuatan kebudayaan Bali dalam bidang agama salah satunya adalah keberadaan pura. Pura adalah istilah untuk tempat ibadah Agama Hindu di Indonesia, khususnya di Bali. Oleh karena itu muncullah sebutan untuk Bali sebagai Pulau Seribu Pura (Wiana, 2004: 74). Kepopuleran Pulau Bali bukanlah sesuatu yang baru, sebab sejak zaman purbakala pulau ini sudah dikenal di mancanegara. Julukan ini sesuai dengan kenyataan, karena beribu-ribu pura tersebar di seluruh Kabupaten di Bali (Soebandi, 1981: 12). Pura dibangun begitu megah dengan tujuan sebagai curahan hati nurani umat Hindu dan sekaligus sebagai media untuk memusatkan pikiran dalam memuliakan “Ida Sang Hyang Widhi Wasa” (Tuhan Yang Maha Kuasa). Di Bali terdapat bangunan suci (Pura) dengan nama dan fungsinya masing-masing. Selain itu, pura di masing-masing daerah juga mempunyai keunikan dan kekhasan hiasan puranya. Buleleng bagian dari Pulau Bali banyak terdapat pura yang tersebar di berbagai kecamatan, termasuk Kecamatan Sawan terdapat beberapa Pura Kahyangan Tiga, seperti Pura Beji yang terletak di Desa Sangsit, Kecamatan Sawan. Pura ini merupakan Kahyangan Tiga sebagai tempat pemujaan umat Hindu untuk memuja Hyang Widhi yang berstana disana sebagai Dewa Kesuburan yang biasa diistilahkan dengan Pura Subak. Pura ini memiliki keunikan yaitu hampir semua bagian dari pura ini dihiasi oleh ukiran style Buleleng berbentuk tumbuh-tumbuhan merambat dan
motif bunga ciri khas Bali Utara. Di samping itu, di Desa Jagaraga terdapat Pura Kahyangan Tiga yakni Pura Dalem Segara Madhu untuk pemujaan Dewa Siwa. Pura ini memiliki keunikan yaitu berbeda dengan Pura Dalem pada umumnya, yang terletak pada penyengker pura yang dihiasi dengan relief yang mengisahkan tentang kehidupan masyarakat pada masa kolonial. Dari sekian banyak pura tersebut di atas ada salah satu di antaranya yang menarik untuk dikaji, yakni Pura Dalem Segara Madhu. Adapun keunikan dari pura ini adalah ornamennya yang menceritakan tentang sisi historik dari warga Bali dalam melawan penjajahan Belanda. Secara garis besar, ukir-ukiran yang ada di tembok pura ini menceritakan kehidupan rakyat Bali sebelum dan sesudah kedatangan Bangsa Belanda ke tanah Bali. Gambaran secara jelas mengenai ornamen yang ada di Pura Dalem ini adalah sebagai berikut. Pada tembok bagian depan luar pura, terdapat pahatan relief tentang pertempuran pesawat udara model kuno, perahu, perampokan bersenjata, dan juga orang yang sedang minum bir. Selain itu ada juga relief yang menggambarkan kapal laut yang diserang oleh monster laut maupun orang yang mengendarai mobil. Untuk cerita asli Bali sendiri, terdapat keelokan patung Men Brayut yaitu salah satu cerita rakyat yang menggambarkan sebuah keluarga yang mempunyai banyak anak. Di samping itu, di sekitar areal pura yang sekarang sudah menjadi sawah, juga memiliki nilai historis, yang dahulu di sanalah terjadi perlawanan melawan Belanda yang disebut sebagai “Puputan Jagaraga” (Anonim, 2012: dalam http://Pura Dalem Jagaraga. pdf, diakses tanggal 30 November 2013). Buleleng bagian dari Pulau Bali banyak terdapat pura yang
tersebar di berbagai kecamatan, termasuk Kecamatan Sawan terdapat beberapa Pura Kahyangan Tiga, seperti Pura Beji yang terletak di Desa Sangsit, Kecamatan Sawan. Pura ini merupakan Kahyangan Tiga sebagai tempat pemujaan umat Hindu untuk memuja Hyang Widhi yang berstana disana sebagai Dewa Kesuburan yang biasa diistilahkan dengan Pura Subak. Pura ini memiliki keunikan yaitu hampir semua bagian dari pura ini dihiasi oleh ukiran style Buleleng berbentuk tumbuh-tumbuhan merambat dan motif bunga ciri khas Bali Utara. Di samping itu, di Desa Jagaraga terdapat Pura Kahyangan Tiga yakni Pura Dalem Segara Madhu untuk pemujaan Dewa Siwa. Pura ini memiliki keunikan yaitu berbeda dengan Pura Dalem pada umumnya, yang terletak pada penyengker pura yang dihiasi dengan relief yang mengisahkan tentang kehidupan masyarakat pada masa kolonial. Di Bali banyak terdapat pura salah satunya diantaranya yaitu Pura Dalem Segara Madhu yang terletak di Buleleng, Bali. Pura ini memiliki keunikan, yaitu terletak pada penyengker pura dengan relief bersejarah yang mengisahkan tentang Perang Jagaraga yang merupakan perlawanan rakyat Buleleng melawan penjajah Belanda. Di masa penjajahan Belanda, wilayah Buleleng dipandang sebagai daerah strategis oleh Belanda untuk memulai pergerakan menguasai Bali. Pemerintah tampak mulai lebih intensif mengadakan hubungan politik dengan raja-raja Bali pada tahun 1841 (Sastrodiwiryo, 1994: 205). Wilayah delapan kerajaan di Bali, termasuk Buleleng yang sudah terikat dalam Paswara Asta Negara digoyahkan oleh Belanda justru dari kekuatan Bali Utara di daerah Buleleng (Sastrodiwiryo, 1994: 205).
Tekanan Belanda terus dilakukan menyusul Perang Jagaraga pada tahun 1849 yang memastikan Buleleng sepenuhnya dikuasai Kompeni. Perjuangan tersebut dipimpin oleh Patih I Gusti Ketut Jelantik, yang sempat menggegerkan pemerintah Belanda di Batavia akibat perlawanannya menentang penjajahan Belanda yang terkenal dengan Perang Puputan Jagaraga (Sastrodiwiryo, 1994: 205). Perang inilah yang diabadikan dalam relief unik di Pura Dalem Segara Madhu. Oleh karena itu, pura yang terletak di Desa Jagaraga, Buleleng ini terbilang unik dan berbeda. Menurut masyarakat Bali, pura ini adalah satu-satunya pura yang memiliki keunikan pada reliefnya dan tidak akan ditemukan di pura lain. Keberadaan Pura Dalem Segara Madhu memiliki potensi yang sangat penting dalam menjadikan ornament yang terdapat di penyengker pura tersebut sebagai sumber belajar sejarah lokal. Hal ini disebabkan Pura Dalem Segara Madhu memiliki nilai historis yang sangat penting dalam konteks kesejarahan pada masa kolonial sebagai salah satu pura yang patut dilestarikan dan membawa daya tarik tersendiri. Adapun materi yang bisa dihubungkan dengan keberadaan Pura Dalem Segara Madhu terletak pada silabus SMA, Kelas XI, Semester II. Kompetensi Dasar yaitu “menganalisis perkembangan kehidupan masyarakat pada masa kolonial”, dengan materi pokok yaitu “perlawanan bangsa Indonesia menentang dominasi asing”, yang pada masa itu terjadi sebuah perlawanan oleh bangsa Indonesia menentang dominasi asing. Di materi inilah terdapat pembahasan yang mengisahkan tentang “Perang Bali” yang disebut dengan “Puputan Jagaraga”.
Penelitian yang sejenis yaitu menyangkut Pura Dalem Segara Madhu sudah pernah diteliti oleh Senili (2004) mengkaji “Studi tentang Fungsi Relief yang terdapat pada Penyengker Pura Dalem di Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng’. Adapun inti dari penelitiannya yaitu membahas tentang alasan mengapa relief yang tidak ada kaitannya dengan Pura Dalem Jagaraga terpahat di dinding pura, fungsi dari pahatan relief yang terdapat pada dinding Pura Dalem Jagaraga dan hubungan sebab akibat relief yang terdapat pada dinding Pura Dalem Jagaraga. Dalam hal ini, peneliti akan membatasi kajiannya dengan mengkaji lebih dalam mengenai potensi Pura Dalem Segara Madhu sebagai sumber belajar sejarah lokal. Mengingat ornamen yang terdapat pada penyengker pura tersebut yang mengisahkan tentang perjuangan rakyat Bali melawan penjajah Belanda dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar sejarah lokal. Hal ini bertujuan untuk menambah wawasan siswa dalam memahami pembelajaran sejarah di daerah mereka. Skripsi berjudul “Pura Gunung Raung di Desa Taro, Tegallalang, Gianyar, Bali (Tinjauan Sejarah, Struktur, dan Fungsi Pura)” oleh Edi (2009), skripsi ini membahas tentang keunikan dari pura ini yaitu letak pelinggihnya di barat dan menghadap ke timur sesuai dengan letak dari Gunung Raung di Jawa Timur yang berbeda dengan pura-pura pada umumnya di Bali, di samping itu pura ini memiliki 4 jalan masuk sesuai dengan arah mata angin, yaitu dari barat, timur, selatan, dan utara. Di pura ini juga pemangku dalam menghaturkan puja mantra pada saat ritual tidak memakai genta sebagai pelengkap upacara. Skripsi berjudul “Pura Dalem Jawa
(Langgar) Di Desa Bunutin Kabupaten Bangli (Kajian Sejarah, Struktur Dan Fungsi) oleh Kerti (2009), skripsi ini membahas tentang keunikan Pura Langgar yang merupakan perpaduan antara kebudayaan Hindu dan Islam. Selain itu dijelaskan mengenai sejarah, struktur dan fungsi Pura Dalem Jawa (Langgar) yang ada di Desa Bunutin Kabupaten Bangli. Skripsi berjudul “Pura Tegeh Koripan di Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli (Kajian Tentang Sejarah, Struktur, dan Fungsi Pura)” oleh Swandana (2010). Keunikan dari pura ini yaitu, pura ini dikatakan sebagai pura yang sangat tua di jagat Bali, dan struktur pura Tegeh Koripan menyerupai punden berundakundak yang terdapat pura disetiap tingkatannya. Skripsi berjudul “Pura Segara Penimbangan di Desa Panji, Sukasada, Buleleng, Bali (Studi tentang Sejarah, Struktur, dan Fungsi)” oleh Yudiana (2010). Keunikan dari pura ini yaitu Pura Segara Penimbangan selain untuk memuja Tuhan dalam wujud sebagai Dewa Baruna dan Dewa Wisnu, tetapi juga sebagai tempat pemujaan rokh suci raja Buleleng yaitu I Gusti Ki Barak Panji Sakti yang telah Sidha Dewata. Skripsi berjudul “Pura Dalem Balingkang di Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli (Kajian tentang Sejarah, Struktur, dan Fungsi Pura)” oleh Darma (2010), skripsi ini membahas tentang keunikan Pura Dalem Balingkang yang merupakan perpaduan antara kebudayaan Hindu dan Cina. Selain itu dijelaskan mengenai sejarah, struktur dan fungsi Pura Dalem Balingkang yang ada di Desa Pinggan Kabupaten Bangli. Dari hal tersebut peneliti tertarik untuk meneliti tentang Pura Dalem Segara Madhu dengan judul ”Pura Dalem Segara Madhu di Desa
Jagaraga, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng (Latar Belakang Berdiri dan Potensinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah Lokal di SMA)”. B. Metode Penelitian Penelitian ini lebih banyak bertujuan untuk memberikan gambaran secara jelas kepada pembaca, sehingga metode yang digunakan lebih bersifat deskriptif kualitatif. Adapun langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan antara lain sebagai berikut: (1) Teknik Penentuan Informan, (2) Teknik Pengumpulan Data: Teknik Observasi, Teknik Wawancara Mendalam, Teknik Studi Dokumen, (3) Teknik Penjaminan Keabsahan Data, (4) Teknik Analisis Data: Pengumpulan Data, Penyajian Data, Reduksi, verfikasi. C. Hasil dan Pembahasan Hasil Dalam penelitian ini yang menjadi tempat penelitian adalah Pura Dalem Segara Madhu yang terletak di Desa Pakraman Jagaraga, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Untuk mendapat gambaran umum mengenai kawasan yang akan diteliti maka akan diuraikan wilayah Desa Pakraman Jagaraga secara umum. Melalui uraian ini akan dapat diperoleh karakteristik dan gambaran umum mengenai lokasi dari penelitian ini. Secara administratif, Desa Jagaraga terdiri dari lima banjar atau lingkungan, yaitu Banjar Triwangsa, Banjar Kauh Luan, Banjar Kauh Teben, Banjar Kangin Luan dan Banjar Kangin Teben. Dari kelima banjar adat tersebut masing-masing memiliki kelian adat yang mempunyai wewenang untuk mengatur sistem pemerintahan di masing-masing banjar adat. Adapun penelitian yang dilakukan peneliti terletak di Banjar Kangin Teben. Desa Jagaraga secara geografis memiliki ketinggian lebih
dari 100-150 meter di permukaan laut, yang memiliki luas wilayah sekitar 383 hektar dan terletak 100 Km dari pusat Pemerintahan Kota Provinsi, 9 Km dari dari pusat Pemerintahan Kota Kabupaten dan 5 Km dari pusat Pemerintahan Kecamatan. Desa Jagaraga merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Sawan dengan batas-batas wilayah sebagai berikut. Sebelah utara : Desa Bungkulan Sebelah selatan : Desa Menyali Sebelah timur: :Tukad/Sungai Daya Sebelah barat :Tukad/Sungai Gelung Desa Jagaraga dikatagorikan sebagai desa yang letaknya di dataran rendah. Sebagian besar wilayah Desa Jagaraga kini merupakan bangunan pemukiman dan persawahan. Pembahasan Pura Dalem Segara Madhu Berdasarkan wawancara dengan tokoh penjaga Pura Dalem Segara Madhu pada tanggal 02 Maret 2014, yang secara otomatis mengetahui tentang sejarah Desa Jagaraga bernama I G. Ketut Suradnya (60 Th) dikatakan bahwa Pura Dalem Segara Madhu sebelum terbentuknya Desa Jagaraga, wilayah desa ini dibagi menjadi dua wilayah antara wilayah Bungkulan dari Timur Laut, menuju Barat Daya, di sana terdapat Pura Bungkulan dan ada Subak Bungkulan. Kemudian di sebelah Utara kuburan terdapat penduduk yang berasal dari Desa Bungkulan. Sedangkan dari Barat Daya ke Timur Laut itu menjadi wilayah Menyali yang merupakan desa tua yang dahulu merupakan tempat kerajaan dan di desa ini terdapat Pura Menyali. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Desa Jagaraga diapit oleh Desa Bungkulan dan Menyali, maka karena letaknya yang strategis pada masa dulu sehingga Desa Jagaraga ini dijadikan sebagai tempat translit
perdagangan atau tempat mengadakan barter antara penduduk di atas dengan penduduk di bawah. Kemudian lama kelamaan semakin banyaknyalah orang-orang yang melakukan perdagangan di desa ini, sehingga pada saat itu dinamakan Desa Suka Pura yang masyarakatnya hidup dari hasil pertanian”. Berdasarkan wawancara tersebut, maka dapat diketahui bahwa di Buleleng pada abad XIX sudah menjadi daerah transit perdagangan, yaitu dengan adanya 7 buah pelabuhan yang semuanya dipimpin oleh subandar Cina sejak dari Pengastulan, Temukus, Anturan, Sangsit, Buleleng, Kubu Kelod dan Lirang. Pelabuhanpelabuhan ini, yaitu Buleleng dan Temukus dapat dikatakan sudah merupakan pelabuhan internasional karena telah melakukan impor ekspor bukan antara kota-kota di Hindia Belanda saja seperti Surabaya, Batavia, Makassar, dan lain-lain (Sastrodiwiryo, 2007: 4142). Pura Dalem Segara Madhu berdasarkan sumber-sumber yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pura ini dibangun pada tahun 1181 oleh seorang Raja Sri Jaya Raga dan desa ini bernama Suka Pura dengan organisasi subak bernama Jagasari yang mencerminkan kesuburan desa. Pada tahun 1651 dalam pemerintahan Raja Sri Aji Jaya Sakti, pura ini difungsikan sebagai Pasraman Bhagawanta berdasakan Prasasti Blanjong A dan Prasasti Depaha 555. Pura ini pernah mengalami kehancuran pada tahun 1818 akibat gempa dan banjir di bagian Timur Buleleng, yang kemudian direnovasi kembali dan nama pura ini adalah “Jaya Raga” atau “Jaya Pura”. Pada masa itu, pura ini difungsikan sebagai Pasraman.
Desa Jagaraga yang pada masa dahulu dinamakan Desa Suka Pura memiliki peran yang sangat penting dalam bidang perdagangan antara Desa Menyali dan Bungkulan. Hal ini disebabkan Desa Jagaraga memiliki daerah yang sangat strategis karena diapit oleh dua desa. Setelah masuknya Belanda ke daerah Buleleng sampai akhirnya terjadi perlawanan rakyat Buleleng dari Perang Buleleng sampai akhirnya terjadi Perang Jagaraga, desa inilah yang berperan sebagai tempat mengadakan perundingan untuk melawan penjajah Belanda. Desa Jagaraga merupakan sebuah desa yang memiliki nilai historis pada masa silam. Sebelum bernama Desa Jagaraga, pada mulanya bernama Desa Suka Pura yang memiliki arti masyarakat sangat menghormati keberadaan tempat suci dan juga memiliki subak yang bernama Jagasari (wawancara dengan Bapak Ketut Sukartya (45 tahun) tanggal 13 Oktober 2013). Sejak perang Jagaraga pertama kali terjadi sekitar abad XVI, Desa Suka Pura berganti nama menjadi Desa Jagaraga. Adapun nama Jagaraga diambil dari nama Benteng Jagaraga yang dijadikan basis pertahanan dalam melawan penjajah Belanda dan juga diambil dari nama Perang Jagaraga. Hal ini dikarenakan pada masa penjajahan, Belanda akan menyerang Desa Suka Pura yang menjadi incaran penjajah, Suka Pura pada waktu itu diperintah oleh I Gusti Ketut Jelantik (wawancara dengan Bapak Ketut Sukartya (45 tahun) tanggal 13 Oktober 2013). Pada saat terjadi pergolakan antara pihak Belanda dengan rakyat Buleleng yang akhirnya menyebabkan terjadinya Perang Jagaraga pada tanggal 9 Juni 1848, maka Patih I Gusti Ketut Jelantik segera memerintahkan pasukannya untuk memantau kedatangan Belanda, mereka-mereka inilah yang
menyamar menjadi petani, buruh tani, pedagang dan lain-lain. Penyamaran ini dilakukan bertujuan untuk mengelabuhi pihak Belanda agar tidak curiga dan mencari tahu rencana apa yang sebenarnya sedang dilakukan Belanda, kemudian untuk dilaporkan kepada raja. Pada saat perang di Buleleng tanggal 27 Juni 1846, masyarakat Bali mengalami kekalahan dalam melawan Belanda dan mundur ke selatan. Desa Jagaraga menjadi pilihan untuk menjadi lokasi pertahanan. Pura Dalem Segara Madhu inilah yang kemudian dijadikan sebagai pusat pertahanan benteng. Benteng Jagaraga memiliki peran yang sangat penting dalam menghalau serangan Belanda. Pergolakan tersebut terjadi karena berlakunya hukum tawan karang, yaitu hak dari Bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kekuasaannya. Hukum tawan karang ini telah menimpa kapal-kapal Belanda seperti yang dialami pada tahun 1844 di pantai Prancak dan Sangsit. Pada saat itu, terjadi perampasan terhadap kapal-kapal milik Belanda yang terdampar. Percekcokan kemudian timbul antara kerajaan-kerajaan tersebut dengan Belanda. Raja-raja di Bali dituntut agar mau menghapuskan hak tersebut. Akan tetapi, raja-raja di Bali menolak untuk menghapus hak tawan karang, karena hak tersebut sudah diberlakukan sejak lama (Notosusanto, 1992: 231). Akibat permasalahan hak tawan karang yang tidak menemukan jalan keluar. Menyebabkan Belanda mengambil tindakan militer. Sehingga, pada tahun 1848 terjadilah Perang Jagaraga I yang dipimpin oleh Patih I Gusti Ketut Jelantik, dan Belanda mengalami kekalahan. Kekalahan yang dialami Belanda disebabkan karena
pertahanan benteng yang dibuat pasukan Bali memiliki ketebalan yang kuat. Selain itu, keadaan bukitbukit yang tandus dan alang-alang yang hitam terbakar di musim panas menyebabkan pasukan Belanda kehausan dan tidak dapat menemui sumber-sumber air setetespun (Sastrodiwiryo, 1994: 117-118). Hal itulah yang menyebabkan pasukan Belanda merasa terjebak dalam situasi tidak siap menghadapi sistim perbentengan Patih Jelantik. Sehingga Belanda harus berhati-hati menyusun strategi secara matang sebelum melakukan serangan ke benteng Jagaraga (Sastrodiwiryo, 1994: 117-118). Setelah diketahui secara pasti dan diperhitungkan secara matang, tahun 1849 benteng Jagaraga diserang kembali dengan kekuatan yang lebih besar. Dalam pertempuran yang sengit pasukan Bali tidak dapat menghalau pasukan musuh bahkan mereka terdesak dan meninggalkan benteng-bentengnya pada hari itu juga. Pasukan Bali mengalami kekalahan dan bentengbenteng tersebut jatuh ke tangan Belanda (Notosusanto, 1992: 239). Pasca perang dan rakyat Buleleng mengalami kekalahan, akhirnya pura dihancur totalkan oleh Belanda. Akan tetapi, masyarakat masih berusaha membangun kembali pura dengan mengerahkan penduduk dari berbagai desa termasuk para undagi. Dengan adanya ketekunan tersebut, maka pada tahun 1865 pura pun berhasil dibangun kembali dengan nama “Pura Dalem Segara Madhu” yang mengandung filosofi “gelombang kehidupan”. Aspek-Aspek yang Dimiliki oleh Pura Dalem Segara Madhu Sebagai Sumber Belajar Sejarah Lokal
Aspek-aspek yang dimiliki oleh Pura Dalem Segara Madhu yang dapat dikembangkan sebagai sumber belajar sejarah lokal yaitu: (a) aspek historis yaitu Pura Dalem Segara Madhu pernah dijadikan sebagai basis pertahanan benteng masyarakat Buleleng melawan penjajah Belanda . Perang Jagaraga terjadi karena perbedaan prinsip antara raja dengan pihak Belanda tentang “Hak Tawan Karang”. Sudah sejak lama Kerajaan Bali menjalankan Tawan Karang, yakni hak untuk merampas kapal-kapal yang terdampar di perairan Bali dan seisinya termasuk anak buah kapal sebagai aset mereka. Pada tahun 1841, hak ini diberlakukan atas kapal Belanda, yang kemudian menimbulkan protes dan Kerajaan Buleleng, Karangasem, dan Klungkung beserta penerusnya bersungguhsungguh menerapkan hak itu dan menawarkan perompak dan pedagang budak untuk melawan, hingga tahun 1844 perjanjian tersebut dijalankan (wawancara dengan Bapak Suradnya (60 tahun) tanggal 15 Februari 2014). Pada tahun itu juga, ketika sebuah kapal milik Belanda terdampar di Bali, kapal itu di rompak dan protes atas perlakuan itu diabaikan. Hal itu berarti penguasa Bali melanggar kesepakatan, sehingga pemerintah kolonial di Jawa tidak bisa lagi mentoleransi dan melancarkan ekspedisi. Perlawanan-perlawanan tersebut berlangsung sekitar tahun 1846-1849. Perlawanan tersebut terkenal dengan “Perang Buleleng” sampai pada terjadinya perang “Puputan Jagaraga” (wawancara dengan Bapak Suradnya (60 tahun) tanggal 15 Februari 2014). Pura Dalem Segara Madhu sebagai Pusat Komando Tempur Bali memiliki dua brikade yang melindungi dari serangan langsung
pihak Belanda yang bergerak dari arah pantai, yaitu Gelar Belumbang Batur yang terletak tepat di sebelah Utaranya. Tempat ini merupakan jurang buatan yang dikerjakan oleh Laskar dari Batur, dibuat melintang jalan raya dan sejajar dengan benteng yang ada di depannya, selain itu dilengkapi dengan berbagai jebakan seperti misalnya katapel-katapel berpeluru batu-batu besar yang dipasang dengan menggunakan daya lenting padi pada pohon bambu yang dilengkungkan sampai hampir menyentuh tanah, perangkap berbentuk cakra yang dapat mencederai orang-orang yang menyentuhnya, sungga-sungga poleng yang ditanam tersembunyi pada dasar dan tepian jurang serta puluhan pasang mata yang selalu megintai dari dinding Utara pura ini siap menembakkan senjata api. Brikade yang kedua adalah benteng Jagaraga sendiri yang disebut Sektor Segara Madhu, karena tempatnya tepat di depan Pura Dalem Segara Madhu (Sastrodiwiryo, 1994: 149). (b) aspek arsitektur bangunan yaitu tampak pada penyengker Pura Dalem Segara Madhu yang memiliki relief mengisahkan perlawanan rakyat buleleng melawan penjajah Belanda. Keunikan yang dimiliki oleh arsitektur Pura Dalem Segara Madhu ini merupakan salah satu aset arsitektur yang ornamentik dengan ragam hias yang unik serta mengandung unsur historis. Relief yang terdapat pada pura ini seperti orang Belanda naik mobil, naik sepeda, boat, kapal terbang, semua itu mencerminkan bahwa Belanda menyerang Desa Jagaraga dari segala arah. Selain itu, terdapat juga relief orang naik pohon kelapa, memancing, main layang-layang, itu adalah para pahlawan yang menyamar untuk mengetahui kedatangan Belanda.
Oleh karena itu, arsitektur yang ada di pura ini sangat berguna sebagai sumber pembelajaran sejarah lokal baik bagi peserta didik maupun generasi muda yang lainnya. Mereka harus dibekali wawasan dalam memahami perjuangan para pahlawan di masa silam dalam melawan penjajah Belanda. Hal inilah yang nantinya akan menumbuhkan nilai-nilai pariotisme, kebersamaan dan persatuan dalam berkehidupan atau bermasyarakat. Pelestarian nilai-nilai historis dan tampilan wujud arsitekturnya yang selain sangat unik juga menyimpan nilai sejarah yang tinggi yaitu perjuangan rakyat Buleleng melawan penjajah Belanda pada masa silam. Dengan demikian, adanya Pura Dalem Segara Madhu sebagai sumber belajar sejarah lokal diharapkan dapat berperan dalam menanamkan nilai-nilai moral bagi peserta didik. Berikut ini merupakan bentuk-bentuk arsitektur relief di Pura Dalem Segara Madhu yang memiliki arsitektur unik bersifat historis sekaligus bisa dimanfaatkan sebagai sumber belajar sejarah lokal Adapun pemanfaatan Pura Dalem Segara Madhu sebagai sumber belajar sejarah lokal dapat diterapkan berdasarkan Silabus Mata Pelajaran Sejarah SMA, Kelas XI, Semester II. Mengacu pada pura tersebut yang mengandung unsur kesejarahan, maka dapat dijadikan sumber belajar sejarah dengan Standar Kompetensi “Menganalisis perkembangan bangsa Indonesia sejak masuknya pengaruh Barat sampai dengan pendudukan Jepang”, Kompetensi Dasar yaitu “menganalisis perkembangan kehidupan masyarakat pada masa kolonial”, dengan materi pokok yaitu “perlawanan bangsa Indonesia menentang dominasi asing”, yang pada masa itu terjadi sebuah perlawanan oleh bangsa Indonesia menentang dominasi asing. Di materi inilah terdapat pembahasan
yang mengisahkan tentang “Perang Bali” yang disebut dengan “Puputan Jagaraga”. Faktor yang Menyebabkan Pura Dalem Segara Madhu Belum Dimanfaatkan Sebagai Sumber Belajar Sejarah Lokal Potensi-potensi yang dimiliki oleh Pura Dalem Segara Madhu sangat berguna jika dijadikan sebagai sumber belajar sejarah lokal, khususnya untuk sekolah terdekat. Akan tetapi adanya berberapa faktor menyebabkan pura ini kurang dimanfaatkan sebagai sumber belajar. Sekolah SMA Wira Bhakti merupakan sekolah yang terletak di Desa Menyali, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Sekolah Wira Bhakti yang terletak di Menyali ini terbilang yang paling dekat dengan keberadaan Pura Dalem Segara Madhu, dibandingkan dengan SMASMA lainnya. Guru kurang memanfaatkan Pura Dalem Segara Madhu sebagai sumber belajar sejarah disebabkan karena beberapa faktor, salah satunya karena faktor jarak. Letak pura cukup jauh dari sekolah. Adapun jarak yang harus ditempuh untuk menuju Pura Dalem Segara Madhu adalah kurang lebih tiga kilometer sampai tujuan. Hal ini menjadi pemicu karena keterbatasan waktu mengajar. Adapun faktor lain yang menyebabkan guru sejarah belum memanfaatkan Pura Dalem Segara Madhu sebagai sumber belajar karena waktu untuk melakukan kunjungan ke pura yang dirasa kurang mencukupi, kurangnya dana yang di anggarkan pihak sekolah untuk melakukan proses belajar mengajar di luar sekolah. Simpulan dan Saran Simpulan Adapun latar belakang berdirinya Pura Dalem Segara Madhu yaitu pura ini dibangun untuk mengenang perjuangan rakyat Bali
melawan penjajah Belanda. Nilai historis yang dimiliki pura ini dalam bentuk relief bersejarah, pura ini memiliki peran yang sangat penting sebagai pusat pertahanan benteng pada Perang Jagaraga tahun 1849. Pada saat pergolakan tersebut terjadi, rakyat Buleleng mengalami kekalahan. Akibat kekalahan itulah akhirnya pura yang juga sebagai pusat pertahanan benteng dihancur totalkan oleh Belanda. Akan tetapi, walaupun sudah dihancurkan oleh Belanda, masyarakat masih berusaha membangun kembali pura dengan mengerahkan penduduk dari berbagai desa termasuk para undagi. Dengan adanya ketekunan tersebut, maka pada tahun 1865 pura pun berhasil dibangun kembali dengan nama “Pura Dalem Segara Madhu” yang mengandung filosofi “gelombang kehidupan”. Aspek-aspek yang dimiliki oleh Pura Dalem Segara Madhu yang dapat dikembangkan sebagai sumber belajar sejarah lokal yaitu: (a) aspek historis yaitu Pura Dalem Segara Madhu pernah dijadikan sebagai basis pertahanan benteng masyarakat Buleleng melawan penjajah Belanda (b) aspek arsitektur bangunan yaitu tampak pada penyengker Pura Dalem Segara Madhu yang memiliki relief mengisahkan perlawanan rakyat Buleleng melawan penjajah Belanda. Mengacu pada pura tersebut yang mengandung unsur kesejarahan, maka dapat dijadikan sumber belajar pada Silabus Mata Pelajaran Sejarah SMA, Kelas XI, Semester II dengan Kompetensi Dasar yaitu “menganalisis perkembangan kehidupan masyarakat pada masa kolonial”, dengan materi pokok yaitu “perlawanan bangsa Indonesia menentang dominasi asing”, yang pada masa itu terjadi sebuah perlawanan oleh bangsa Indonesia
menentang dominasi asing. Di materi inilah terdapat pembahasan yang mengisahkan tentang “Perang Bali” yang disebut dengan “Puputan Jagaraga”. Potensi-potensi yang dimiliki oleh Pura Dalem Segara Madhu sangat berguna jika dijadikan sebagai sumber belajar sejarah lokal, khususnya untuk sekolah terdekat yaitu SMA Wira Bhakti yang terletak di Menyali, Sawan. Akan tetapi adanya berberapa faktor menyebabkan pura ini kurang dimanfaatkan sebagai sumber belajar. Guru kurang memanfaatkan Pura Dalem Segara Madhu sebagai sumber belajar sejarah disebabkan karena beberapa faktor, yaitu faktor jarak dan kesibukan guru sehingga belum bisa melaksanakan pembelajarah di luar kelas. Saran Berdasarkan penelitian di atas, maka dapat disampaikan beberapa saran, yakni: 1. Masyarakat Desa Pakraman Jagaraga hendaknya terus menjaga dan melestarikan kesucian Pura Dalem Segara Madhu agar keberadaannya tetap terpelihara dan terjaga kesucian serta kelestariannya. 2. Kepada para guru atau pengajar lainnya, diharapkan Pura Dalem Segara Madhu dapat difungsikan sebagai salah satu sumber belajar bagi siswa, agar nantinya para pengajar khususnya guru sejarah di SD, SMP, maupun SMA dapat mengembangkan sumber pembelajaran yang interaktif bagi para peserta didiknya, sehingga pelajaran sejarah tidak terkesan monoton dan menjadi lebih bervariasi. 3. Pemerintah di Kabupaten Buleleng hendaknya agar
ikut memelihara dan menjaga kesucian serta kelestariaan Pura Dalem Segara Madhu sebagai bangunan sejarah dan juga aset budaya spiritual yang tidak ternilai harganya bagi keberlangsungan umat Hindu di Bali. 4. Penelitian di Pura Dalem Segara Madhu masih banyak hal yang menarik yang belum diteliti karena keterbatasan peneliti, sehingga diharapkan peneliti lain dapat meneliti aspek-aspek lain dari Pura Dalem Segara Madhu. Ucapan terima kasih ditujukan kepada: 1. Bapak Drs. I Gusti Made Aryana, M.Hum yaitu selaku Pembimbing Akademik (PA) dan Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya kepada penulis dengan membimbing dan memberikan pengetahuannya, memotivasi, dan membimbing penulis dalam penyusunan artikel. Daftar Pustaka Notosusanto, dkk. 1992. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka. Sastrodiwiryo, Soegianto. 1994. Perang Jagaraga 18461849 (Kisah Heroik Patih Jelantik Dari Bali, Dalam Melawan Tentara Kolonial Belanda Di Abad Ke- XIX. Denpasar: CV Kayumas Agung. Wiana, Ketut. 1997. Beragama bukan hanya di pura. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha. Darma. 2010. Pura Dalem Balingkang di Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli (Kajian tentang Sejarah, Struktur, dan Fungsi Pura) (Skripsi tidak
diterbitkan). Singaraja : Universitas Pendidikan Ganesha. Edi, I Made. 2009. Pura Gunung Raung di Desa Taro, Tegalalang, Gianyar, Bali (Tinjauan Sejarah, Struktur, dan Fungsi Pura) (Skripsi tidak diterbitkan). Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Kerti, Ni Wayan. 2009. Pura Dalem Jawa (Langgar) di Desa Bunutin, Kabupaten Bangli (Kajian Sejarah, Struktur dan Fungsi) (Skripsi tidak diterbitkan). Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Senili, Ni Luh. 2004. Studi Tentang Fungsi Relief yang Terdapat pada Penyengker Pura Dalem di Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng (Skripsi tidak diterbitkan). Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Swandana. 2010. Pura Tegeh Koripan di Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli (Kajian Tentang Sejarah, Struktur, dan Fungsi Pura) (Skripsi tidak diterbitkan). Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.