Pura Tampurhyang Sebagai Pusat Kawitan Catur Sanak Di Desa Songan. (Sebagai Sumber Belajar Sejarah Di SMA) Jero Kadek Mudiarta, Dra. Desak Made Oka Purnawati M.Hum, Dr. I Made Pageh M.Hum Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia e-mail: {
[email protected],
[email protected],
[email protected]}@Undiksha.ac.id Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memecahkan masalah terkait dengan tujuan penelitian: (1) sejarah Pura Tampurhyang dijadikan pusat Kawitan Catur Sanak di Desa Songan, Kintamani, Bangli, Bali (2) Aspek-aspek yang bisa di implementasikan sebagai sumber belajar sejarah di SMA. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan langkah-langkah: (1) penentuan lokasi penelitian, (2) penentuan informan, (3) pengumpulan data, (4) teknik penjaminan keaslian data (tringulasi data, tringulasi metode), dan (5) teknik analisis data. Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) sejarah Pura Tampurhyang dijadikan pusat Kawitan Catur Sanak diawali dengan kedatangan Mpu Semeru datang ke Tampurhyang dan melahirkan seorang putra yang dikenal Mpu Kamareka. Dari Mpu Kamareka menurunkan dua orang putra buncing (Mpu Gnijaya Mahireng dan Ni Ayu Cemeng), kemudian menikah dengan saudara, dari pernikahan tersebut menurunkan lima orang putra, empat laki-laki dan seorang putri yaitu: Mpu Kayu Ireng, Mpu Made Celagi, Mpu Nyoman Tarunyan, Mpu Kayuan, dan Ni Ayu Kayu Selem. Kemudian tempat bersemayamnya Mpu Kamareka dijadikan sebuah pura yang dikenal dengan Pura Tampurhyang yang merupakan pusat Kawitan Sang Catur Sanak (Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, Kayuan) dan Bali Mula. (2) Aspek-aspek yang dimiliki oleh Pura Tampurhyang yang dapat diimplementasikan sebagai sumber belajar sejarah lokal di SMA yaitu: (a) aspek historis, (b) aspek arsitektur dari Pura Tampurhyang. Kata Kunci : Pura Tampurhyang, Sumber Belajar Sejarah
Abstract This research aims to solve problems related to research objectives: (1) The history of Pura Tampurhyang become the center of Kawitan Catur Sanak in Songan Village, Kintamani, Bangli, Bali (2) Aspects that can be implemented from the results of this study as a source of learning history in high school. This research is a type of qualitative research, with steps: (1) determination of research location; (2) determination of informants; (3) data collection; (4) Data authentication assurance techniques (Triangulation of data, Tringulation method); (5) data analysis technique. The results showed that: (1) The history of Pura Tampurhyang became the center of Kawitan Catur Sanak due to the arrival of Mpu Semeru came to Tampurhyang and made a son known Mpu Kamareka. From Mpu Kamareka bring down two son buncing (Mpu Gnijaya Mahireng dan Ni Ayu Cemeng), Then married to a sister, the marriage was down to five sons, four men and a daughter namely: Mpu Kayu Ireng, Mpu Made Celagi, Mpu Nyoman Tarunyan, Mpu Kayuan, and Ni Ayu Kayu Selem. Then place bersemayamnya Mpu Kamareka made a temple known as Pura Tampurhyang which is the center of Kawitan Sang Chatur Sanak (Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, Kayuan) and Bali Mula; (2) Aspects of Tampurhyang temple that can be implemented as a source of learning local history in high school that is: (a) Historical aspect (b) Architectural aspects of Pura Tampurhyang Keywords: Tampurhyang tample, Learning Resources History
PENDAHULUAN Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang dikenal dengan sebutan pulau seribu pura. Di Provinsi Bali terdapat 8 kabupaten dan 1 kota madya diantaranya: Badung, Tabanan, Buleleng, Karangasem, Klungkung, Bangli, Gianyar, Jembrana dan Kota Madya Denpasar. Mayoritas penduduk Bali memiliki kepercayaan Hindu. Tempat suci umat Hindu adalah pura. Istilah pura berasal dari kata Sansekerta yaitu “pur” yang artinya tempat yang dikelilingi tembok (Wiana, 2007 : 8). Secara konseptual pura adalah tempat suci untuk melakukan persembahyangan atau menghaturkan persembahan sebagai sujud bhakti umat kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan juga Bhatara-Bhatari (Widana, 2002: 47). Ditinjau dari segi karakternya, pura di Bali dapat dibedakan menjadi empat kelompok yaitu: Pura Kahyangan Jagat, Pura Kahyangan Desa, Pura Swagina, dan Pura Kawitan. Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh suci leluhur dari umat Hindu yang memiliki ikatan “wit” atau leluhur berdasarkan garis keturunan. Jadi Pura Kawitan ini bersifat spesifik atau mengkhusus sebagai tempat pemujaan umat Hindu yang mempunyai ikatan darah sesuai dengan garis keturunan. Contoh-contoh pura yang termasuk ke dalam kelompok Pura Kawitan antara lain: Sanggah/Merajan, Pura Ibu, Dadia, Pedharman, dan sejenisnya. Bangli sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Bali juga banyak memiliki pura, baik yang berada di tengah-tengah ibu kota kabupaten, maupun yang berada di masing-masing Desa Pakraman. Di lihat dari segi pura yang terdapat di Desa Pakraman yaitu ada Pura Kayangan Tiga, Pura Fungsional seperti Pura Subak, Pura Kawitan dan pura-pura yang lainnya. Desa Pakraman Songan terdapat Pura Kahyangan Tiga seperti Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem. Selain itu di Desa Songan terdapat satu pura yang
unik yaitu Pura Penataran Agung Tampurhyang. Pura yang ada di Bali salah satunya adalah Pura Kawitan (Ped`harman) sama halnya dengan Pura Pasek. Pura Pasek yang berdiri sendiri seperti Pasek Trunyan, Pasek Kayu Selem, Pasek Celagi, dan Pasek Kayuan merupakan bagian dari kelompok Pasek Bali Mula. Dan juga ada Pasek Gelgel, Pasek Badak, Pasek Padang Subadra, dan Pura Tampurhyang itu adalah kawitan yang merupakan asal-usul klan di Bali. Pura Tampurhyang mempunyai keunikan tersendiri berbeda dengan Soroh Pasek Sapta Resi yang ada di Bali, Pura Penataran Agung Tampurhyang bukan hanya mempunyai satu kawitan melainkan sebagai pusat Kawitan Catur Sanak yang ada di daerah bintang Danu Batur. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan Pura Tampurhyang di Desa Songan, Kintamani, Bangli, Bali yaitu dengan memasukan Pura Tampurhyang ini sebagai sumber pembelajaran sejarah di sekolah Khususnya sember pembelajaran sejarah di SMA dalam kurukulum 2013. Karena selama ini pembelajaran sejarah hanya berkutat pada buku-buku dan objek-objek sejarah yang ada di Jawa saja, belum pernah menjelaskan tentang sejarah lokal yang ada disekitar sekolah salah satunya adalah pura. Setelah perubahan kurikulum dari KTSP ke kurikulum 2013 peristiwaperistiwa/sumber-sumber sejarah lokal mulai dijadikan sebagai sumber belajar sejarah lokal. Pura Tampurhyang ini memiliki potensi yang sangat bagus untuk dijadikan sebagai sumber pembelajaran oleh para guru, murid khususnya guru mata pelajaran sejarah di SMA dalam pengembangan sumber belajar pada sejarah peminatan/sejarah local. Kajian tentang pura sebagai sumber belajar sudah banyak dilakukan. Kajian tersebut antara lain “
Pura Kehen di Desa Pakraman Cempaga, Bangli, Bali ( Sejarah, Struktur, dan Fungsinya sebagai Sumber Belajar Sejarah)” yang ditulis oleh Karmini (2013). Tulisan ini membahas tentang sejarah, struktur Pura Kehen di Desa Cempaga, Bangli, Bali dan Fungsinya sebagai sumber belajar sejarah. Tulisan dari Sukarsana (2013) yang berjudul “Pura Gunung Lebah di Desa Pakraman Ubud, Gianyar, Bali (Tinjauan Sejarah, Struktur, dan Potensinya sebagai Sunber Pembelajaran Sejarah)” juga mengkaji tentang sejarah Pura Gunung Lebah, struktur dari pura tersebut serta petensinya sebagai sumber pembelajaran sejarah. Tulisan Edi (2009) mengkaji tentang “Pura Gunung Raung Di Desa Taro, Tegalalang, Gianyar, Bali (Tinjauan Sejarah, Struktur, dan Fungsi Pura)” skripsi ini membahas tentang keunikan dari pura ini yaitu letak pelinggihnya di Timur menghadap ke Barat sesuai dengan letak dari Gunung Raung di Jawa Timur yang berbeda dengan Pura-Pura pada umumnya di Bali, disamping itu pura ini memiliki empat jalan masuk sesuai dengan arah mata angin, yaitu dari barat, timur, selatan, dan utara. Skripsi berjudul “Pura Dalem Balingkang di Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli (Kajian Tentang Sejarah, Struktur dan Fungasi Pura)” Oleh Darma (2010), skripsi ini membahas tentang keunikan Pura Dalem Balingkang yang merupakan perpaduan antara kebudayaan Hindu dan Cina. Selain itu dijelaskan mengenai sejarah, struktur dan fungsi Pura Dalem Balingkang yang ada di Desa Pinggan Kabupaten Bangli. Dari beberapa penelitianpenelitian sejenis tersebut, terdapat beberapa perbedaan dari masalah yang dikaji dalam penelitian ini. Diantaranya, peneliti mengkaji tentang bagaimana sejarah Catur Sanak dan kontribusi pura Tampurhyang terhadap pendidikan. Jadi dari penelitian yang sudah diteliti orang, belum ada yang mengkaji tentang “sejarah Pura
Tampurhyang sebagai pusat kawitan Catur sanak di Desa Songan, sehingga peneliti termotivasi ingin mengkaji tentang pura Tampurhyang dengan judul: “ Pura Tampurhyang Sebagai Pusat Kawitan Catur Sanak di Desa Songan, Kintamani, Bangli, Bali, (Sejarah, dan Potensinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah di SMA)”. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberaparumusan masalah yaitu: 1. Mengapa Pura Tampurhyang dijadikan Pusat Kawitan Catur Sanak di Desa Songan, Kintamani, Bangli, Bali? 2. Aspek-aspek apa saja yang bisa diimplementasikan dari hasil penelitian ini sebagai sumber belajar sejarah di SMA? Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui Pura Tampurhyang dijadikan pusat Kawitan Catur Sanak di Desa Songan, Kintamani, Bangli, Bali. 2. Untuk Mengetahui Aspek-aspek apa saja yang bisa di implementasikan dari hasil penelitian ini sebagai sumber belajar sejarah di SMA. Manfaat penelitian erat kaitannya dengan tujuan dan manfaat dari hasil penelitian. Manfaat ini dapat diklarifikasikan menjadi dua segi yaitu secara teoritis dan secara praktis. 1. Secara Teoretis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat untuk memperluas wawasan keberadaan Pura Tampurhyang Sebagai Pusat Kawitan Catur Sanak Bali, Khususnya Desa Songan, Kintamani, Bangli, selain itu juga penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan tentang sejarah, setruktur, dan fungsi pura, maupun berbagai
potensi pura sebagai sumber belajar sejarah. 2. Secara Praktis 1. Bagi Masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat desa Songan, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi pengetahuan tambahan tentang sejarah berdirinya Pura Tampurhyang, stuktur, fungsi serta potensinya sebagai sumber belajar sejarah Bali. 2. Bagi peneliti lain dapat menambah wawasan dan merangsang pihak-pihak yang berminat untuk melakukan penelitian yang serupa ataupun masalah-masalah ritual keagamaan lainnya. 3. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi tentang sejarah berdirinya pura dan aspek-aspek yang dimiliki Pura Tampurhyang sebagai pusat Pura Catur Sanak dalam kaitannya sebagai sumber belajar sejarah Bali. 4. Bagi siswa, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pengalaman belajar secara nyata dengan cara menggali informasi sebanyak-banyaknya mengenai asal-usul masyarakat Bali khususnya Bali Mula/Aga yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar sejarah lokal. 5. Bagi Guru, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai alternatif pembelajaran sejarah yang lebih menarik dan mendorong guru untuk lebih meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan diluar sekolah dengan memanfaatkan Pura Tampurhyang sebagai sumber belajar sejarah lokal. 6. Bagi jurusan pendidikan sejarah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam perkembangan materi perkuliahan mengenai asal-usul orang Bali khususnya Bali Mula
sebagai sumber belajar sejarah lokal. Landasan teori sangat diperlukan untuk mengkaji atau menjawab penelitian ini, sebagaimana yang dikemukakan pada uraian diatas. Untuk itu diuraikan beberapa teori atau pemikiran yang dapat membantu dalam memecahkan permasalahan penelitian ini. Maka dari itu akan dipaparkan beberapa pokok teori terkait, yang dapat dijadikan landasan teori penelitian adalah sebagai berikut: 1. Pura Sebagai Tempat Pemujaan Roh Leluhur. Pura sebagai pemujaan roh suci leluhur dapat disimbolkan dengan pematungan roh leluhur/raja, yang dijadikan bhataran lokal atau menjadi jungjungannya, yang terdapat di Pura Tampurhyang, pematungan roh leluhur, terutama raja dikenal dengan konsep Kultus Dewa Raja. 2. Jenis-jenis pura yang ada di Bali 1. Pura Kawitan, yaitu pura untuk memuja roh suci leluhur sebagai Sang Hyang Atma. Pemujaan roh suci leluhur sebagai Sang Hyang Atma ini didirikan oleh keluarga-keluarga Hindu, dari kalangan inti (Ayah, Ibu, Anak) sampai keluarga besar atau suku klen. Dalam keluarga initi tempat pemujaan disebut Sanggah atau Merajan. 2. Pura Tri Kahyangan atau Kahyangan Tiga. Sesuai namanya terdiri dari tiga pura, Pura Desa atau Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem. Pura ini harus ada di setiap Desa Pekraman, bahkan syarat sebuah desa berstatus Desa Pekraman, salah satunya memiliki Tri Kahyangan. 3. Pura Kahyangan Swagina. Pura ini adalah memuja Tuhan bagi Mereka yang memiliki kesamaan profesi atau fungsi. Misalnya para petani sawah memiliki tempat pemujaan yang disebut Pura Bedugul, Pura
Ulun Suwi atau Pura Ulun Danu. Di pura ini Tuhan dipuja sebagai Dewa Wisnu dan Dewi Sri sebagai Dwa kemakmuran pertanian. Para pedagang memiliki Pura Melanting. 4. Pura Kahyangan Jagat. Ini adalah pura yang dipuja oleh seluruh umat. Kelompok pura ini sebenarnya masih bisa dibagi berdasarkan kelompok lebih kecil. Misalnya kelompok Pura Kahyangan Padma Bhuwana. 3. Pengertian Tentang Sumber Belajar Yang dimaksud dengan sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh siswa untuk mempelajari bahan dan pengalaman belajar sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai (Sanjaya, 2006:174). Sumber belajar adalah berbagai atau semua sumber baik yang berupa data, orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh siswa dalam belajar baik secara terpisah maupun secara terkombinasi, sehingga mempermudah siswa dalam mencapai tujuan belajarnya. 4. Pura Sebagai Sumber Belajar Mengacu pada fungsi pura sebagai sumber pendidikan, maka selain pura sebagai tempat suci umat untuk mengadakan persembahyangan atau “Ngaturang Bhakti” ke hadapan Ida Sang Hyang Wdhi Wasa. Tetapi patut dicermati bahwa sesungguhnya ketika kita ke pura atau berada di pura untuk kepentingan utama yaitu sembahyang telah berlangsung juga fungsi-fungsi pura yang lainnya seperti pendidikan, sosial, budaya, dan lain-lain (Widana, 2002:69). METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif yang menekankan pada pemecahan masalah yang bersifat
kekinian yang menyangkut bidang pendidikan mengenai sejarah. Maka langkah-langkah peneliti berdasarkan pendekatan kualitatif tersebut adalah sebagai berikut: (1) penentuan lokasi penelitian, (2) teknik penentuan informan, (3) teknik pengumpulan data: teknik observasi, teknik wawancara, dan teknik studi dokumen, (4) teknik penjaminan keaslian data : tringulasi data dan tringulasi metode, (5) teknik analisis data: reduksi data. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini yang menjadi tempat penelitian adalah Pura Tampurhyang yang terletak di Desa Songan, kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Untuk mendapatkan gambaran umum mengenai daerah yang akan di teliti maka akan diuraikan wilayah Desa Songan secara umum. Desa Songan terletak di Kecamatan Kintamani, Bangli, Bali. Secara geografis Desa Songan relatif mudah dijangkau. Jarak dari kota kecamatan hanya sejauh 19 KM, ke ibu kota Kabupaten Bangli 36 Km, ke ibu kota provinsi 86 Km. Luas wilayah Desa Songan adalah 2.250 Ha. Dari data statistik Desa Songan pada bulan Desember tahun 2016, Desa Songan memiliki jumlah penduduk 15.177 jiwa. Dimana penduduk laki-laki berjumlah 7.341 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 7.836 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 3.489 KK. Struktur Penduduk Desa Songan menurut mata pencaharian menunjukan bahwa sebagian besar penduduk menggantungkan sumber kehidupan disektor pertanian, peternakan sektor lain yang menonjol dalam penyerapan tenaga kerja adalah perdagangan, sopir dan beberapa masyarakat sebagai Pegawai Negeri Sipil, ABRI dan Swasta. Struktur perekonomian Desa Songan masih bercorak agraris yang menitik beratkan pada sektor pertanian. Hal ini didukung oleh penggunaan lahan pertanian masih mempunyai porsi yang terbesar dari total penggunaan lahan desa.
Desa Songan terdiri dari 16 Banjar atau Dusun yakni Dalem, Yeh Panes, Ulundanu, Serongga, Pulu, Balingkang, Kayupadi, Bantas, Peradi, Kendal, Batu Meyeh, Desa, Tegalinggah, dan Ngalan. Desa Songan merupakan desa yang memiliki penduduk yang sangat padat, sehingga dalam sistem administrasi pemerintahannya dibagi menjadi dua yakni Desa Songan A dan Desa Songan B. Tetapi tidak menjadi pembagian wilayah yang jelas antara Desa Songan A dan Desa Songan B. Pembagian sistem dilakukan semata untuk memudahkan dalam pelayanan administrasi penduduk Desa Songan. Secara geografis batas-batas wilayah Desa Songan adalah: - Sebelah Utara :Desa Belandingan - Sebelah Selatan :Desa Batur - Sebelah Barat :Desa Batur - Sebalah Timur :Desa Tianyar (Karangasem) Sejarah Pura Tampuhyang sebagai Pusat Kawitan Catur Sanak Pura Tampurhyang merupakan pusat Kawitan Sang Catur Sanak yang berada di Desa Songan, tepatnya di alas Tampurhyang yang merupakan alas dari Gunung Batur bagian timur yang masih sedikit penduduk tinggal didaerah Tampurhyang, sehingga lingkungan tampak asri, tenang dan nyaman karena pura ini terletak di tengah hutan. Keberadaan Pura Tampurhyang ini tidak terlepas dari datangnya panca pandita dari Jawa ke Bali yang diawali dengan Sanghyang Pasupati berperiyangan di Gunung Semeru Jawa Timur dengan kedudukan beliau sebagai seorang yoginya dunia ini, yang mana dalam kehidupan seharihari beliau sangat taat menjalankan ajaran agama dengan kewajiban beliau sebagai brahmana. Setelah beberapa lama beliau Sanghyang Pasupati melakukan yoga, maka dari kekuatan gaib panca bayunya, maka lahirlah dari
yoghanya itu (prabhawa beliau) 7 orang putranya yaitu: Bhatara Hyang Gnijaya, Bhatara Hyang Putrajaya, Bhatari Hyang Dewi Danuh, Bhatara Hyang Tumuwuh, Bhatara Hyang Manik Gumawang, Bhatara Hyang Manik Galang, Bhatara Hyang Tugu (Sudarsana, 2005:3). Setelah Bali dalam keadaan tenang. Bhatara Hyang Tiga (Bhatara Putrajaya, Bhatara Gnijaya, dan Bhatari Danuh) turun ke Bali atas perintah Bhatara Hyang Pramesti Guru (disebut juga Bhatara Jagat Karana, Bhatara Hyang Acintya, dan Hyang Pasupati). Selain Bhatara Hyang Tiga, Turut Pula Bhatara Catur Purusa (Bhatara Tumuwuh, Sang Hyang Manik Kumayang, Hyang Manik Galang, dan Bhatara Hyang Tugu). Bhatara Putrajaya (Mahadewa) bersemayam di Tohlangkir (Besakih), Bhatari Danuh di Ulun Danu Batur yang disebut Tampurhyang, Bhatara Gnijaya di Lempuyang, Bhatara Tumuwuh di Gunung Watukaru, Sang Hyang Manik Kumayang di Gunung Beratan, Hyang Manik Galang di Pejeng, dan Bhatara Hyang Tugu di Andakasa (Sudarsana, 2005:4-5) Dari Bhatara Gnijaya terlahir lima orang putra yang disebut Panca Pandita atau Panca Tirta yaitu: Sang Brahmana Pandita, Mpu Mahameru, Mpu Gana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah. Kelimanya ini dikirim ke Jambudwipa untuk memperdalam ilmu pengetahuan, tepatnya di Gunung Mahameru, stana Bhatara Hyang Pasupati. Pulau Bali masih sepi oleh karena tidak ada manusia yang menghuninya, oleh karena itu, Bhatara Putrajaya bersama-sama Bhatara Catur Purusa menghadap Bhatara Hyang Pramesti Guru untuk memohon agar tercipta manusia di Bali dan permohonan pun dikabulkan. Di Tampurhyang, daerah Ulun Danu, merupakan tempat Bhayata Hyang Pramesti Guru beryoga menciptakan manusia. Dan periangan beliau itu tercipta manusia ada yang berasal dari tanah, dari kelapa gading,
dan dari Buhtala. Demikianlah banyak manusia telah tercipta dan kemudian berkembang (manak gumanak) menjadi banyak karena telah beranak pinak. Sang Panca Pandita telah matang pengetahuannya. Mereka silih berganti datang ke Bali, salah satunya Mpu Mahameru turun ke Bali, menuju Basukih, melewati Desa Kuntul Gading. Tiba di Tampurhyang berhenti Sang Mpu Mahameru di sana. Mpu Semeru datang dari Jawa ke Bali dengan tujuan menghadap menghadap Bhatara Hyang Putrjaya dan lain-lainnya. Beliau datang seorang diri. Menyusuri pegunungan Pulau Bali, pertama beliau tiba di Kuntulgading (Kedisan). Kemudian beliau meneruskan perjalanan ke Tampurhyang (Songan). Mpu Semeru terpesona melihat pemandangan Tampurhyang yang indah. Udaranya sejuk menyegarkan badan. Beliau menyucikan diri di Tirta Bungkah, air yang ada pada sebuah kubangan kecil di pinggir Danau Batur, sangat jernih dan bersih airnya. Kemudian melanjutkan perjalanannya, tiba di Toya Bungkah, beliau mensucikan diri, ketika sedang mandi, beliau melihat di sana ada seorang anak kecil, sangat tampan rupanya, sangat tersentuh dan kasihan perasaan Sang Mpu menyaksikan anak kecil, sangat tampan rupanya, sangat tersentuh dan kasihan perasaan Sang Mpu menyaksikan keadaan anak kecil sang prabangkara itu. Kemudian beliau mengadakan “Upacara Asta Pangku”, terhadap Sang Prabangkara. Karena beliau orang suci, sidhi wakbjra, beliau berdoa amat sempurna, dan berkata: “ duhai anak kecil semoga kamu menjadi Manusia Utama, paham akan Sastra Utama. Mpu memberkati dirimu”, demikianlah maka Asta Pangku yang beliau ucapkan. Ternyata berhasil, dan seketika Sang Prabangkara itu menjadi manusia utama. Karena kuatnya weda yang dianugrahkan pada sang Prabangkara, maka normallah Sang Prabangkara, sempurna badaniah bahkan sudah dapat berbicara,
sehingga menjadi sang bujangga Bali Mahutama (Soebandi, 2003:43) Setelah normalnya Sang Prabangkara Mpu Semeru mengubah namanya menjadi “Sang Reka” dengan nama Mpu Kamareka, dan selanjutnya mengatakannya sebagai putra dan muridnya. Setelah sempurna penjelemaan Bhatara Mpu Kamareka berkat anugrah “Asta Pangku” Sang Aji Bhatara Mpu Semeru, maka beliau menetap di Tampur Hyang, dan berparhyangan di Tampurhyang (Songan). Beliau senantiasa mengikuti petunjuk dan ajaran Mpu Semeru. Beliau sama sekali tidak berani ingkar atau menyimpang dari petunjuk dan ajaran tersebut. Di Tampurhyang terdapat gundukan-gundukan tanah yang oleh penduduk setempat diberi nama Goa Song. Di sanalah Mpu Kamareka membangun pertapaan, melakukan yoga semadhi dengan melakukan puasa, tanpa makan minum dan sekarang tempat ini dijadikan sebuah pura yaitu Pura Tampurhyang tempat bersemayamnya Mpu Kamareka. Mpu Kamareka beryoga di Goa Song wilayah Tampurhyang. Ditempat itu beliau berjodoh dengan Dedari Kuning (Bidadari Kuning). Dari perkawinan ini lahirlah dua (2) orang putra secara bersamaan (buncing) yang laki bernama Mpu Gnijaya Mahireng, dan yang putri bernama Ni Ayu Cemeng. Keduanya menikah dengan saudara, setelah itu, dari pernikahan Mpu Gnijaya Mahireng dengan Ni Cemeng, lahirlah lima orang putra empat (4) laki-laki dan satu perempuan, kelimanya adalah: yang sulung bernama Mpu Kayu Ireng, Mpu Made Celagi, Mpu Nyoman Tarunyan, Mpu Kayuan, dan Ni Ayu Kayu Selem (Riana, 2011:24-26). Keempat cucu Mpu Kamareka yang laki-laki menguasai daerah sekitar pegunungan, yang pertama (1) Mpu Kayuan pergi dari Goa Song, beryoga di Panarajon (Gunung kahuripan), setelah hancurnya Gunung Penulisan akibat banjir dan hujan badai,
berpindah ke Balingkang (Meru Tumpang Tiga Balingkang). (2) Mpu Tarunyan beryoga dekat Gunung Tuluk Biyu, semula bernama Desa Belong, lalu menetap di Tarunyan (Meru Tumpang Tiga di Tarunyan. (3) Mpu Gni Jaya Mahireng Menetap di Goa Song, menjadi Songan. Maka dari itu, Pura Tampurhyang tempat bersemayamnya Mpu Kamareka kemudian dijadikan Pura Tampurhyang sebagai pusat Kawitan Sang Catur Sanak (Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, Kayuwan) lan Bali Mula, yang di sung-sung oleh warga Catur Sanak. Pura Tampurhyang Sebagai Pemujaan Roh Leluhur Pura sebagai pemujaan roh suci leluhur dapat disimbolkan dengan pematungan roh leluhur/raja, yang dijadikan bhataran lokal atau menjadi jungjungannya, yang terdapat di Pura Tampurhyang, pematungan roh leluhur, terutama raja dikenal dengan konsep Kultus Dewa Raja. Pematungan Dewa merupakan kelanjutan pematungan roh leluhur/raja. Bersamaan dengan pematunga para Rsi, dan Dewa-Dewa. Sebagai Dewa Utama yang dikultuskan, mengikuti aliran yang dipujanya. Zaman inilah (sebelum abad ke X) muncul sektaria di Bali. Sekta yang dianut dapat diselusuri dari sosiofact, mentifact dan tradisi yang tersisa. Umumnya sekta Ganapatia, Durga/Siwa, Indra, atau campuran yang paling menonjol. Juga dapat dijejaki dari ritual ngaben-nya, karena ngaben sesungguhnya acara terakhir dalam ritus daur hidup manusia, sehingga ritus itu mengembalikan roh manusia kepada-Nya. Di Terunyan dan di Songan mengembalikan roh suci leluhur kepada Dewa Indra (Sekta Indra), Dewa Perang, sehingga profesi ngaben adalah mewujudkan ideologi mengembalikan roh seseorang pada Indra (dibiarkan kena hujan, angin, dan dibiarkan terbuka di setra). Patung Datonda di Trunyan adalah simbolik wujud Roh Leluhurnya. Sedangkan di
Pura Manasa Sinabun dipuja Dewa Ganesha sebagai sungsungan utama di puranya ( dan Patung yang ada di Pura Tampurhyang adalah simbolik wujur Mpu Kamareka yang merupakan leluhur Sang Catur Sanak Kayu Selem, Celagi, Tarunya, Kaywan. Pura Tampurhyang merupakan pemujaan terhadap roh leluhur Mpu Kamareka beserta sanak saudaranya dan keempat cucunya yang disebut Catur Sanak disamping itu Pura Tampurhyang bukan saja sebagai tempat pemujaan roh leluhur tetapi pemujaan terhadap dewa-dewi yang beristana disana seperti halnya purapura lain yang ada di Bali. Sehingga menjadi Pura Tampurhyang yang sekarang ini. Aspek-Aspek dari Pura Tampurhyang yang dapat di jadikan sumber belajar di SMA Aspek-aspek yang dimiliki oleh Pura Tampurhyang sebagai sumber pembelajaran sejarah di SMA, yaitu: a. Aspek Sejarah (Historis) Pura Tampurhyang memiliki sisi historis yang sangat penting pada masa silam. Pura Tampurhyang ini adalah Pura tempat bersemayamnya Mpu Kama Reka dari jaman silam samapi sekarang terus diperbaharui oleh pengempon pura Tampurhyang, pura ini sebagai Pusat Kawitan Sang Catur Sanak lan Bali Mula. Pada saat Mpu Kamareka berparahyngan di Tampurhyang (Songan) beliau senantiasa mengikuti petunjuk dari Mpu Semeru. Beliau sama sekali tidak berani ingkar janji atau menyimpang dari petunjuk dan ajaran tersebut. Di Tampurhyang terdapat gundukangundukan tanah yang oleh penduduk setempat diberi nama goa Song. Disanalah Mpu Kamareka membangun pertapaan, yang sekarang menjadi Pura Tampurhyang, melakukan yoga
semadhi, dengan mel;akukan puasa (Soebandi, 2003:48). Berdasarkan pemaparan diatas maka sejarah Pura Tampurhyang ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar sejarah. Menunjukan bahwa pada masa prasejarah di daerah Songan sudah terdapat masyarakat yang hidup berkelompok, dan memiliki sistem kepercayaan terhadap roh leluhur. Maka dari itu potensi sejarah yang dimiliki oleh Pura Tampurhyang ini dapat menjadi sumber sejarah dalam pembelajaran sejarah di sekolah. Setelah disesuaikan dengan silabus SMA dalam kurikulum 2013 kelas X maka akan ditentukan strategi pembelajarah sesuai dengan materi ini, strategi yang akan digunakan adalah strategi pembelajaran inquiri yang lebih banyak menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analisis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. b. Aspek Arsitektur Keunikan yang dimiliki oleh arrsitektur Pura Tampurhyang ini merupakan salah satu aset arsitektur yang ornamentik dengan ragam hias yang unik serta mengandung unsur historis yang terdapat di bagian candi bentar, yang mrupakan bangunan asli dahulu. Oleh karena itu, arsitektur yang ada di Pura Tampurhyang sangat berguna sebagai sumber pembelajaran sejarah lokal baik bagi peserta didik maupun generasi muda yang lainnya. Mereka harus dibekali wawasan dalam memahami sejarah dari leluhur orang Bali Aga karena sebagian besar di daerah pegunungan sampai sekarang masih dihuni oleh orang Bali Aga/Mula. Hal inilah yang nantinya akan menumbuhkan nilai-nilai pariotisme, kebersamaan dan persatuan dalam kehidupan atau bermasyarakat. Pelestarian nilai-nilai historis dan
tampilan wujud arsitekturnya yang selain sangat unik juga menyimpan nilai sejarah yang tinggi yaitu sejarah dari pura Tampurhyang yang merupakan tempat bersemayamnya Mpu Kamareka dan sebagai pusat dari kawitan Sang Catur Sanak yakni: pasek Kayu Selem, Celagi, Tarunyan dan Kayuan lan Bali Mula. Dengan demikian, adanya Pura Tampurhyang sebagai sumber belajar sejarah lokal diharapkan dapat berperan dalam menanamkan nilai-nilai moral bagi peserta didik. KESIMPULAN Pura Tampurhyang merupakan pusat Kawitan Sang Catur Sanak yang ada di daerah Bintang Danu yaitu Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, dan Kayuan, keempat ini terlahir dari perkawinan antara Mpu Gnijaya Mahireng dengan Ni Ayu Cemeng yang merupakan cucu dari Mpu Kamareka. Mpu Gnijaya Mahireng dan Ni Ayu Cemeng terlahir dari perkawinan antara Mpu Kamareka dengan seorang Dyah Dedari Kuning, Dyah Dedari Kuning adalah wanita asli Bali yang disebut Bali Mula dan juga Diyah Dedari Kuning adalah seorang wanita mulia yang dikenal oleh warga setempat pada saat itu. Oleh karena itu Pura Tampurhyang menjadi Pusat kawitan Sang Catur Sanak yang ada di daerah bintang danu. Pura Tampurhyang merupakan tempat pemujaan roh leluhur Mpu Kamareka dan leluhur dari empat sanak saudara yang dilahirkan itu beserta istrinya yang bersama-sama diistanakan di Pura Tampurhyang kemudian menjadi pusat percampuran hyang yang ada di Pura Tampurhyang yang sudah ngeniskala. Di samping itu Pura Tampurhyang bukan hanya untuk memuja roh leluhur beserta keturunannya yang disebut Catur Sanak, tetapi di Pura Tampurhyang juga memuja dewa-dewi seperti yang ada di pura lain, sesuai dengan refresentasi pura-pura lain yang ada di Bali atau perwujudan/peruntukan purapura yang ada di Pura Tampurhyang
seperti pelinggih Sanggah Suria, Pelinggih Kemulan, Rong Telu, Menjangan Seluang dan lain-lain, yang merupakan penjelasan lebih lanjut atau perjalanan sejarah sehingga menjadi Pura Tampurhyang yang sekarang ini. Pura Tampurhyang yang merupakan tempat bersemayamnya Sire Mpu Kamareka yang ada di Desa Songan kemudian menjadi pusat Kawitan Sang Catur Sanak (Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, Kayuan) lan Bali Mula. Kemudian yang diempon oleh warga Catur Sanak yang ada di Desa Songan, tetapi ada juga masyarakat luar yang termasuk warga Catur Sanak bersembahyang di Pura Tampurhyang. Pura Tampurhyang dapat dijadikan sumber belajar sejarah di SMA karena memiliki potensi yang sangat berguna jika dijadikan sebagai sumber belajar sejarah lokal, khususnya untuk sekolah terdekat seperti Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Kintamani. adapun aspekaspek yang dimiliki oleh Pura Tampurhyang yang dapat dikembangkan sebagai sumber belajar sejarah lokal yaitu: aspek historis yaitu Pura Tampurhyang dapat dijadikan Pusat Kawitan Catur Sanak dan bisa mempersatukan warga Catur Sanak (Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, Kayuan), di satu tempat yaitu Pura Tampurhyang. Saran Berdasarkan penelitian di atas, maka dapat disampaikan beberapa saran, yakni: 1. Masyarakat Desa Songan khususnya pengempon Pura Tampurhyang hendaknya terus menjaga dan melestarikan kesucian Pura Tampurhyang agar keberadaannya tetap terpelihara dan terjaga kesuciannya dan kelestariannya.
2.
Guru dan pengajar lainnya, diharapkan Pura Tampurhyang dapat difungsikan sebagai salah satu sumber pembelajaran bagi siswa, karena dalam kurikulum 2013 lebih menekankan sumbersumber sejarah lokal agar nantinyapara pengajar khususnya guru sejarah dapat mengembangkan media pembelajaran yang interaktif bagi para peserta didikny, sehingga pelajaran sejarah senang dipelajari oleh siswa dan bisa terkesan dan bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA. Riana, I Ketut. 2011. Lalintih Sang Catur Sanak Bali (Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, Kayuan Balingkang, Lan Warga Bali Aga. Gianyar: Yayasan Tan Mukti Palapa. Sanjaya
Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Bandung: Kencana.
Sudarsana, K.2005. Bali Dwipa Mandala. Soebandi, Ketut. 2003. Babad Pasek Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi. Denpasar:PT Pustaka Manikgeni. Wiana, I Ketut. 2007. Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Surabaya: Paramita. Widana, I Gst. Ketut. 2002. Mengenal Budaya Hindu Di Bali. Denpasar: PT. BP Denp
e-Journal Nama Jurnal Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan diganti dengan nama jurusan (Volume x Tahun xxxxx)