Majalah Civitas | Juli 2012
1
DAFTAR ISI 04/ 07/ 12/ 15/
LIPUTAN UTAMA
Literasi Teknis dan Nasib Nelayan Muncar Minat Baca: Antara Tradisi dan Strategi Mengintip Statistik Literasi Indonesia Potret Intelektualitas Mahasiswa di Bingkai Literasi
KACAMATA
20/ Buku dan Kunci Perubahan 24/ Menyalakan Semangat Membaca Anak Indonesia OPINI 26/ Mencintai Literasi dengan Sederhana LIPUTAN KHUSUS 32/ Mengadu Sengketa di Lantai 9 35/ Dualisme Pertanggungjawaban Pengadilan Pajak 40/ Ajib : “Saya Enggak Akan Jadi Miskin dengan Tidak Bekerja di DJP“
WAWANCARA
43/ Konsep Freemium Adhitia Sofyan 52/ Anies Baswedan : “Mata Uang yang Bisa Diterima Dimanapun Adalah Karakter”“
JALAN - JALAN 48/ Menyelami Si Perut Seksi, Jatijajar Pemimpin Umum Aditya Hendriawan Sekretaris Umum Milki Izza Kepala Kesekretariatan Euis Kurniasih Bendahara Umum Siti Armayani Ray Pemimpin Redaksi Reza Syam Pratama Redaktur Pelaksana Majalah Hanifah Muslimah Kepala Penelitian dan Pengembangan Galuh Chandra Pemimpin Perusahaan Nuris Diansyah Manajer Art Center Annisa Fitriana Ilustrator Tri Hadi Putra
2
Majalah Civitas | Juli 2012
30/ 38/ 46/ 64/
OBROLAN BENGKEL
Change! Indah Pada Waktunya Nama Bukan Mainan Terakhir
ENGLISH CORNER
54/ Just Some Tips in Learning English EKONOMI 57/ Belajar dari China POLITIK 61/ Tingkat Korupsi pada Masa Transisi SASTRA 66/ Percakapan Senja RESENSI 69/ Find Your Passion and Enjoy Your Job! 72/ Sisi Gelap Sang Putri Salju PSIKOLOGI 76/ Reframing KESEHATAN 79/ Sehat 24/7 BUDAYA 83/ Pernikahan Adat Versi Kerajaan Paksi Pak Sekala Brak Layouter Nadia Rizqi Cahyani Desain Cover Nadia Rizqi Cahyani Reporter Tendi Aristo Rizki Saputri Tri Hadi Putra Irfan Syofiaan Muamaroh Husnantya Novia Fatma Ratwidayanti Kontributor Fatia Qanitat Mutia Hapsari Wawan Hadinata Aliffira Telepon: 021 91274205 Pos-el:
[email protected] Laman: mediacenterstan.com
Pengantar
A
da hal yang saling berkait di antara unsur penyusun budaya kita. Bahasa, tatanan sosial, latar belakang keagamaan, hingga sejarah munculnya sebuah peradaban membentuk irisan-irisan tertentu yang menghasilkan budaya kita saat ini. Satu unsur hilang atau berubah, maka berubah pulalah wujud budaya yang kita kenal. Namun rupa-rupa pernyataan tentang kebudayaan itu akan berhenti sampai dugaan-dugaan belaka bila tak ada sekelompok manusia yang secara sadar mencatat rinci aspek kehidupan di dalamnya. Jadi, tak berlebihan kiranya bila kita menyebut buku merupakan bagian dari kebudayaan sebab perannya dalam mencatat sejarah manusia. Mengapa demikian? Sebab bila peristiwa saat ini tak dituliskan, di masa depan, fragmen kehidupan kita saat ini akan banyak dihiasi kata “konon”. Identitas kita di mata orang-orang di masa depan akan berubah. Bisa jadi, eksistensi kita akan dimaknai berbeda pula oleh mereka. Oleh karena itu, hilangnya unsur literasi dalam budaya akan membuat budaya berubah, atau bahkan menghilang. Literasi tak hanya berpengaruh terhadap studi kita terhadap sejarah. Masa depan pun ternyata dibangun oleh penguat kebudayaan semisal literasi. Argumennya sederhana: adakah sumber primer lain yang lebih efektif dalam mengakselerasi penyerapan pengetahuan dibanding sebuah buku? Maka jangan heran bila negara yang masyarakatnya sudah terbiasa membaca—bacaan dengan tema apa pun itu—dikenal sebagai negara dengan Human Development Index yang tinggi. Premis dasar inilah, bahwa negara maju punya masyarakat berbudaya literasi tinggi, yang jadi pembuka edisi ini. Batas-batas dunia hampir-hampir hilang. Maka persaingan antarperadaban—untuk memperhalus kata “benturan peradaban” ala Samuel Huntington—merupakan hal yang nyaris niscaya. Dan untuk bertahan dalam persaingan, mutlak dibutuhkan bekal. Salah satunya tentu, pengetahuan tentang dunia.
Pertanyaannya, siapkah kita? Pertanyaan ini retoris, sebenarnya. Toh, siap tak siap, ada kebutuhan mendesak untuk segera mengembangkan diri dan memperluas wawasan. Unsur literasi, kata Agus Irkham, meliputi empat proses. Mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Maka setelah tuntas membahas tema bahasa di edisi sebelumnya, kita perlu merengkuh unsur lainnya menyempurnakan literasi dalam masyarakat, terutama mulai dari diri kita sendiri.
Majalah Civitas | Juli 2012
3
Liputan Utama
Literasi Teknis dan
Nasib Nelayan Muncar
I
stilah “literasi” lekat dengan kata “modernisasi”, “pembaharuan”, “pencerahan”, pencerdasan”, atau frase klise bernuansa kemajuan lainnya. Disebut demikian sebab jamak disepakati bahwa tingkat kemajuan sebuah peradaban salah satunya dinilai dari budaya literasinya; apakah mereka meninggalkan tulisan—yang berikutnya jadi objek kajian sejarah—atau tidak. Ditambah lagi, membaca adalah salah satu sarana primer dalam belajar. Mereka yang banyak membaca tentu punya pilihan cara yang lebih beragam untuk mengatasi masalah hidupnya. Sayangnya, kata ini sering dipahami dengan arti teknisnya saja: “melek huruf” atau “mampu membaca”. Bila ia diartikan demikian, tentu Indonesia adalah negara yang punya prestasi luar biasa memuaskan terkait kemampuan baca masyarakatnya. Data dari The National Socio-
4
Majalah Civitas | Juli 2012
Economic Survey tahun 2004, seperti yang saya kutip dari artikel Agus M. Irkham berjudul Paradoks Keberaksaraan, tingkat keberaksaraan penduduk usia 15-24 tahun di Indonesia mencapai 98,7%. Misalnya di Jember, tingkat melek hurufnya luar biasa tinggi. Sudah di atas 95%. Saking tingginya, ini jadi salah satu bahan kampanye bupati incumbent menjelang pilkada di akhir masa jabatannya yang pertama. Namun, kita, masih dikutip dari artikel Agus M. Irkham itu, menghadapi realitas yang cukup mengherankan. Di tengah masyarakat dengan tingkat melek huruf tinggi, mengapa tingkat kemiskinan juga masih tinggi? Ada satu contoh yang cukup relevan di Jember. Di wilayah pesisir pantai Selatan, terdapat tempat pelelangan ikan yang sudah berdiri sejak lama. Sejak lima belas atau dua puluh tahun yang lalu, tiap pagi, tempat pelelangan ikan ini sudah ramai
Liputan Utama oleh pengepul dan distributor yang menjejerkan mobil bak terbukanya di jalan-jalan menuju pesisir. Dari dulu hingga kini, para nelayan yang katanya sebagian besar melek huruf ini masih menggunakan perahu kayu bermesin diesel untuk menjaring ikan. Inovasi, kreativitas, atau bahkan sekedar wacana yang biasa diharapkan dari kaum yang membaca guna meningkatkan taraf hidup masyarakatnya belum terdengar hingga kini.
di masa mendatang. Tapi tiga tahun terakhir ini, laut selatan berubah tak ramah. Ombak mulai sering menerpa dengan tenaga berlebih. Tahun 2011 saja, dikutip dari berbagai obrolan santai, sudah ada tiga kapal yang terbalik karena memaksa untuk melaut. Saat melaut pun, tak jarang kapal kembali dengan isi lambung kapal yang nyaris kosong.
Suatu ketika di akhir tahun 2011, pukul 15.00, awak redaksi kami berkunjung ke dermaga Muncar. “Jam segini, biasanya dermaga ramai; kapal-kapal sudah mulai berangkat,” kata warga setempat, sambil menambahkan bahwa dermaga tempat kami berdiri itu, tiga tahun lalu, lebih sering becek dan Insting untuk berbau amis dibanding bertahan hidup saat ini. Tapi hari itu, masih terbukti mendorong banyak kapal yang bersandar tanpa terlihat persiapan berkembangnya melaut awak kapalnya. kreativitas manusia
Jadi mari garis bawahi pernyataan ini: di sebuah daerah dengan tingkat melek huruf cukup tinggi, inovasi tertentu untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat masih terhitung minim.
Berpindah dua jam dengan berkendara motor dari Jember, kita sampai di Muncar, kecamatan dengan pelabuhan ikan terbesar kedua di Indonesia setelah Bagansiapiapi. Di sana, sebatas kemampuan fisik pemuda yang memilih Kondisi ini jelas merugikan dan intelektualnya. mengenyam pendidikan pemilik kapal. Hitungtinggi bisa dihitung dengan hitungannya begini: ongkos jari (bahkan secara ekstrem, yang diperlukan untuk sekali Reza Kurniawan, seorang pemuda setempat, melaut bisa sampai 5 juta rupiah. Ini termasuk bilang bahwa di kecamatan itu, hanya dia dan ongkos solar, bayaran buat anak buah kapal, dan adiknyalah pemuda yang lebih memilih bangku duit ini-itu buat mereka yang memudahkan proses kuliah). Bisnis warung internet bangkrut. berlabuhnya kapal. Saat kapal kembali dengan Bahkan jasa pengetikan saja sulit ditemui di sini. lambung kosong, sebesar itulah kerugian pemilik Perpustakaan? Well, sulit berharap ada rumah kapal dalam semalam. buku di sebuah daerah di mana bisnis internet saja gulung tikar. Insting untuk bertahan hidup terbukti mendorong berkembangnya kreativitas manusia sebatas Oya, saya katakan “memilih” sebab mereka jelas kemampuan fisik dan intelektualnya. Hari ini, punya kemampuan finansial untuk itu. Bila ada bisnis yang sedang tumbuh di Muncar adalah jualdi antara pembaca yang pernah berkunjung ke beli barang bekas. Yang diperjualbelikan adalah Muncar, terutama di daerah pesisirnya, tentu tak sofa, guci, lemari, hingga piring, dan sendok asing dengan rumah-rumah megah berpendingin bekas milik para juragan kapal itu. Maka kawan udara yang berdiri berjejeran dengan gudangsaya berkata begini, “Sekarang jangan heran bila gudang penyimpanan dan pengepakan ikan. lihat rumah besar-besar di Muncar, tapi bagian Juga dengan anak-anak muda yang lebih suka dalamnya kosong, minim perabot.” Maklum, putus sekolah sebab merasa yakin akan hasil alam sebagian besar sudah dijual ke pedagang barang melimpah yang menjanjikan kehidupan sejahtera loak.
Majalah Civitas | Juli 2012
5
Liputan Utama matematis—masih terbilang rendah. Lantas apakah kemampuan literasi secara fungsional bisa “menyelamatkan” nasib mereka? Mungkin bisa. Kata teman saya, Reza Kurniawan, salah satu pesaing armada laut nelayan Muncar adalah nelayan pesisir Blitar yang melaut berharihari sampai ke Selat Bali. Mereka menggunakan teknologi lebih tinggi dibanding nelayan Muncar dan konon selalu pulang dengan laba di tangan. Nelayan Blitar ini melaut menggunakan kapal yang lebih besar yang dilengkapi lampu sorot. Lampu sorot itulah yang menyebabkan ikan berkumpul di tempat tertentu, yang kemudian mudah dijaring dalam waktu relatif singkat. Lho, bukankah tingkat literasi di Indonesia sudah tinggi? Bukankah harusnya kemampuan baca menghindarkan masyarakatnya dari kemiskinan? Betul. Tapi harap diingat bahwa hitungan statistik itu hanya memuat survei terkait kemampuan baca secara teknis, bukan fungsional. Maksudnya, survei itu hanya menanyakan pada responden; apakah mereka bisa membaca atau tidak. Bukan apakah mereka sudah menjadikan bahan bacaan sebagai sarana untuk mengaktualisasikan diri, untuk menghasilkan perubahan bagi kehidupan mereka sendiri. Pada tahun 2009, OECD (Organisation for Economic Co-operation & Development) mempublikasikan hasil studi PISA (Programme for International Student Assessment)--studi literasi yang meneliti secara berkala kemampuan siswa usia 15 tahun (kelas III SMP dan Kelas I SMA) dalam membaca (reading literacy), matematika (mathematics literacy), dan sains (scientific literacy). Hasilnya, Indonesia menempati urutan 56 dari 65 negara. Artinya, dibandingkan dengan negara-negara yang diuji itu, pemahaman siswa Indonesia terhadap bacaan—tak hanya pemahaman terhadap rumus dan hitung-hitungan
6
Majalah Civitas | Juli 2012
Nah, dari mana lagi mereka belajar teknologi sederhana ini kalau bukan dari proses membaca? Inilah letak perbedaan literasi teknis dan fungsional. Ketika mereka yang sekedar bisa baca mencukupkan diri mereka dengan kemampuan baca itu, ada orang-orang yang menjadikan kegiatan membaca sebagai salah satu sarana perubahan bagi kehidupan. Orang kedua inilah yang punya peluang lebih besar untuk berperan dalam mengubah statistik kemiskinan sebuah negara. Ini barangkali yang dimaksud oleh para pakar sebagai gambaran masyarakat tercerahkan— meski dalam contoh yang relatif sederhana. Mereka yang gandrung pada buku lebih punya kesempatan untuk mengembangkan diri daripada yang ogah-ogahan membuka referensi. Mereka yang aktif membaca punya lebih banyak sikap alternatif ketimbang mereka yang membaca sekadarnya. [Reza Syam Pratama]
Liputan Utama
Minat Baca : Antara
Strategi dan Tradisi
“
Bagaimana ketika di usia mahasiswa, ketika kita sudah harus akrab dengan berbagai literatur, budaya baca masih belum muncul?
“
Majalah Civitas | Juli 2012
7
Liputan Utama
M
ana yang lebih dulu: minat baca atau harga buku? Ini mirip dengan pertanyaan tentang ayam dan telur. Berputarputar, sebab yang satu saling berkait dengan yang lainnya. Dan untuk menyederhanakan permasalahan, kita sering menunjuk salah satunya sebagai pendahulu. Pertanyaan ini membawa kita pada pertanyaan lainnya: faktor apa saja yang berperan dalam membentuk minat baca masyarakat? Jawabannya bisa bermacam-macam. Tapi semuanya mengerucut pada satu hal: kesadaran atas akses informasi. Agus M. Irkham, seorang pegiat literasi, menjawab hal ini dengan lugas. Ia menggarisbawahi bahwa harus ada keterkaitan antara sebuah bacaan dengan hal-hal yang jadi ketertarikan atau kepentingan pembacanya. Ia kemudian menyebut jajak pendapat yang dilakukan oleh salah satu media besar di Jawa Tengah. Hasil jajak pendapat itu sedikit mengejutkan: rubrik yang paling sering dibaca oleh pembaca media tersebut adalah rubrik olahraga dan surat pembaca. “Ini karena mereka merasa paling dekat dengan olahraga, khususnya sepak bola,” katanya. “Dan (isi) surat pembaca itu berkaitan dengan layanan publik; dan mereka jadi bagian dari apa yang dibicarakan itu.” Hari lainnya, ia diundang mengisi sebuah bedah bukunya yang berjudul 24 Cara Mendongkrak IPK di Universitas Negeri Yogyakarta. Pesertanya luar biasa banyak. Padahal, menurutnya, biasanya jumlah partisipan dalam seminar bertajuk literasi yang ia hadiri masih belum menggembiarakan. Ia punya penjelasan atas hal ini. “Mereka kuliah, output-nya IPK. Nah, mereka kan sedang dibicarakan langsung,” jawabnya. “Itu informasi (penting) buat mereka,” tambahnya lagi. Maka, masih kata Agus Irkham, salah satu cara agar minat baca tinggi adalah memunculkan keterkaitan
8
Majalah Civitas | Juli 2012
antara bacaan dengan kehidupan keseharian. Harus ada kesadaran bahwa kita—dan profesi yang sedang digeluti—akan berkembang ketika kita mendapatkan tambahan informasi. Selama bacaan dianggap sesuatu yang tidak memberikan pengaruh apapun terhadap apa yang kita lakoni, selama itu pula bacaan tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting. Pendidikan Literasi Setidaknya, ada dua elemen yang bertanggung jawab terhadap tingkat baca sebuah masyarakat: pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Pemerintah punya peran dalam menetapkan dan mengendalikan pelaksanaan sebuah regulasi. Sementara masyarakat—dari keluarga maupun kalangan pendidik—berperan memberikan dorongan kultural. Premis di atas akan terasa hambar bila tak ada solusi praktis atas masalah ini. Agus M. Irkham berkata, pendidikan literasi seseorang harusnya dimulai sejak dalam kandungan. Dan ia terus berlanjut di fase anak-anak hingga dewasa. Pola pendidikan ini jadi bagian dari pembentuk karakter cinta buku yang dimiliki orang tersebut. Agus mencontohkan pengalamannya sendiri. Di usia anak-anak, ibunya mengajar budaya membaca itu tanpa kata-kata. Cukup dengan teladan. Tiap sore, sesibuk apa pun, ibunya meluangkan waktu untuk membaca di depan anak-anaknya. Ini, kata Agus, menimbulkan kesan mendalam bagi dirinya. Pengalaman serupa dialami Intan Savitri, General Manager Penerbitan Sastra dan Budaya PT Balai Pustaka. Ibunya yang seorang jurnalis hampir tiap hari membawakannya rupa-rupa bacaan buat anakanaknya. Tak punya hiburan lain—sebab media informasi lain masih begitu membosankan—Intan akhirnya tenggelam dengan hobinya: baca buku. Maka, kata Agus, keluarga perlu menanamkan
Liputan Utama pengalaman bawah sadar mereka bahwa buku itu sahabat mereka, bahwa perpustakaan itu nyaman dikunjungi. Tapi bagaimana ketika di usia mahasiswa, ketika kita sudah harus akrab dengan berbagai literatur, budaya baca itu masih belum muncul? Patutkah kita menyalahkan didikan orang tua? Tidak. Kadang, cara kita bersikaplah yang perlu diubah. Agus memberikan solusi praktis ini, “Ciptakan kondisi di mana mahasiswa tidak bisa menghindar dari buku.” Wujud konkretnya, antara lain, adalah dengan menjadikan kegiatan membaca itu sebagai kegiatan sehari-hari kaum akademis, sekaligus memberikan citra bahwa kegiatan ini membawa gengsi tersendiri bagi pelakunya. Langkah-langkah itu tak tuntas di lingkungan sekitar rumah. Peran pemerintah dalam mengembangkan minat baca jadi sentral bila kita merujuk Jepang sebagai benchmark. Membaca di negeri itu adalah upaya panjang yang dibangun sejak era Meiji. Di awal era itu, angka literasi mencapai 40%, dan di akhir meningkat jadi 80%. Di era Tokugawa, para samurai, yang jadi kelompok terhormat dalam tingkatan sosial masyarakat Jepang saat itu, menginisiasi budaya membaca ini. “Akhirnya,” ujar Murni Ramli, peneliti Pusat Studi Asia Universitas Diponegoro, “karena menginginkan kehidupan yang terhormat seperti para samurai tersebut, golongan awam kemudian menjadi kelompok yang juga melek huruf dan gemar membaca.” Peran lain yang mungkin dilakukan pemerintah adalah optimalisasi perpustakaan dan taman baca. Jepang, kata Murni, sejak 1950 sudah mengeluarkan peraturan tentang perpustakaan yang menyatakan bahwa perpustakaan publik harus dibiayai dari pajak, free charge, dan harus menyediakan informasi yang dibutuhkan warga setempat. Semua sekolah di Jepang pun kini
memiliki perpustakaan. Koleksinya didukung penuh oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Menyikapi hal ini, Agus dan Intan menjawab senada: saat ini sudah ada sekitar enam ribu taman baca masyarakat di seluruh Indonesia. Taman baca ini sasarannya adalah masyarakat setempat yang kesulitan mengakses informasi yang terdapat dalam buku cetak. Artinya, sudah ada usaha nyata yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi masalah ini. Sayangnya, kata Intan, program positif ini dilaksanakan tanpa ada kontrol memadai. Tak ada evaluasi terhadap grant yang pemerintah berikan untuk program taman baca masyarakat ini. “Nanti, akan ada TBM siluman,” katanya. “Ia hanya akan ada pada saat grant diluncurkan. Begitu grant selesai, ya udah, (eksistensinya) selesai juga.” Intan menambahkan satu lagi peran pemerintah dalam meningkatkan minat baca: pendidikan. Secara sistem, menurutnya, ada dua faktor yang memengaruhi tingkat literasi masyarakat. Pertama, pendidikan. Kedua, karakter dan kepribadian bangsa tersebut. Murni Ramli menyederhanakan rumusan ini
Majalah Civitas | Juli 2012
9
Liputan Utama dengan mengambil contoh kebijakan yang diambil pemerintah Jepang terkait hal ini. Menurutnya, untuk memfasilitasi kebutuhan akan pendidikan bagi masyarakatnya, Jepang menerapkan program wajib belajar selama sembilan tahun. Karena masyarakatnya diwajibkan untuk belajar, mereka tak dibebani kebutuhan lainnya. SD dan SMP negeri di sana bebas biaya, kecuali untuk beberapa hal yang jadi kebijakan domestik sekolah tersebut. Demikian juga dengan buku-buku pelajarannya.
“Buku (cetak) yang (harganya) Rp 50 ribu bisa jadi hanya Rp 5 ribu sekali download. Atau bahkan free,” Jadi, apakah masalahnya terletak pada harga buku? Mungkin tak ada rumusan pasti yang menjelaskan masalah sekaligus solusi praktisnya. Sebab, masalah ini terletak di dua pihak: pemerintah dan masyarakatnya. Harga buku jelas di antaranya terpengaruh kebijakan fiskal pemerintah. Sementara minat baca adalah tanggung jawab masyarakat itu sendiri. Murni Ramli dan Intan Savitri sepakat harga buku bukan penentu. Ia memang bisa memfasilitasi peminat baca yang punya anggaran terbatas. Tapi tanpa minat baca, buku semurah apa pun tetap tak akan laku terjual. “Saat ini,” kata Intan, “buku sudah nonpajak.” Jadi mengapa masih terasa mahal? “Masalah distribusi,” jawabnya singkat.
10
Majalah Civitas | Juli 2012
Makin banyak distributor, makin mahal sebuah buku. Karena arus distribusi di Indonesia belum begitu lancar, penerbit mematok harga tinggi untuk sebuah buku dibandingkan ongkos produksi dan profit margin keuntungan yang diambil oleh penerbit. Sebenarnya, menurut Intan, hal itu bisa diatasi. Asalkan internet itu dimanfaatkan dengan maksimal, kita akan mendapatkan konten-konten bermutu dengan biaya sangat murah. “Buku (cetak) yang (harganya) Rp 50 ribu bisa jadi hanya Rp 5 ribu sekali download. Atau bahkan free,” katanya. Apalagi, tambahnya, sekarang berbagai macam gadget dan layanan internet sudah bukan lagi barang mewah. Bertambah banyaklah alternatif untuk mendapatkan buku dengan biaya serendah mungkin. Maka, barangkali alasannya bukan pada kaitan antara harga buku dengan minat baca. Tapi semata berasal dari seberapa besar minat baca sebuah bangsa. Murni kemudian menambahkan penegasan. “Bagi anak-anak yang gemar membaca seperti saya, harga buku murah memang akan sangat membantu,” ungkapnya. “Tapi bagi anakanak yang tidak gemar membaca, harga buku murah atau mahal, tidak ada efeknya.” Tergerus Media Hiburan Hiburan semisal acara televisi, internet, dan media sosial juga dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi minat baca. “Televisi,” kata Murni Ramli, “adalah media audio-visual pertama yang saya kira telah menyebabkan sebuah perubahan literasi terbesar di dunia.” Ia tak salah. Dan dampaknya bisa positif atau negatif. Sesungguhnya, internet mampu mendatangkan manfaat besar bagi perkembangan ilmu
Liputan Utama pengetahuan. Seseorang bisa mengakses informasi dengan mudah, cepat, dan gratis melalui mesin pencari. Internet juga memindahkan forum diskusi offline ke dunia online sehingga ia jadi semakin mudah diakses. Murni memberikan contoh dirinya sendiri. Dahulu, program berita televisi adalah salah satu pemupuk rasa penasaran tentang suatu informasi. Rasa penasaran ini yang mendorongnya begitu gandrung dengan buku. Tiap ada informasi yang tak ia ketahui, segera ia tuntaskan dengan baca buku tentang hal tersebut. Namun, perkembangan teknologi juga bisa dimaknai sebagai “pengalih perhatian”. Televisi, misalnya, yang semula punya potensi memberikan edukasi pada masyarakat, saat ini malah akrab dengan program yang kurang memberikan manfaat. Pengaruh televisi ini sangat besar. Secara kognitif, kata Intan yang alumnus Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada ini, manusia tidak berdaya ketika lihat televisi. “Kita nggak bisa milih, informasi apa pun itu, masuk,” tambahnya. Maka, katanya lagi, orang tua mestinya mengenalkan budaya baca tulis terlebih dahulu, baru alat-alat visual. [Reza Syam Pratama]
Majalah Civitas | Juli 2012
11
Liputan Utama
A
da pandangan umum yang menyebut bahwa terdapat keterkaitan antara tingkat kemiskinan sebuah negara yang masih tinggi dengan tingkat kemampuan membaca sebuah masyarakat. Dan umumnya, ini masih direspon dengan tanggapan sedikit sedikit sinis. Taraf kehidupan di Indonesia dianggap belum begitu baik untuk dibandingkan dengan kehidupan di masyarakat negara maju.
Namun, pandangan ini dibantah Murni Ramli, dosen Pendidikan dan Sastra Jepang Univesitas Diponegoro, saat dihubungi Civitas. “Berdasarkan Sensus Penduduk BPS 2010, jumlah penduduk Indonesia yang buta aksara sebesar 5% dari total penduduk,” ungkapnya. Ia lalu menambahkan data yang dikutip dari UNDP Report 2011. Data itu menyebut bahwa tingkat literasi di Indonesia sudah mencapai 92%. “Memang
12
Majalah Civitas | Juli 2012
Mengintip Statistik Literasi Indonesia masih rendah bila dibandingkan dengan negara maju seperti Jepang (99%) atau Singapura (94,7%),” tambahnya. “Namun jika dilihat dari standar UNESCO, maka angka 5% buta huruf (berdasarkan sensus 2010) itu sudah memenuhi syarat.” Di saat bersamaan, catatan perlu diberikan saat membaca statistik ini. Tahun 2005, UNESCO juga merilis statistik lain berjudul Literacy for Life. Laporan ini merangkum penelitian mereka di negara miskin dan berkembang, khususnya di kawasan Afrika dan Asia Tengah. Simpulan laporan itu menyebut ada relasi antara keberaksaraan, tingkat literasi, dengan tingkat ekonomi. Ringkasnya, kata Agus,
Liputan Utama “Semakin tinggi tingkat literasi mereka, semakin tinggi pemahaman mereka terhadap arti penting informasi, semakin tinggi pula kesejahteraan ekonomi yang mereka rasakan.” Tapi Agus tidak menganggap ini cukup. Kalau mau berkaca pada negara maju, katanya, mestinya pengukuran tingkat literasi itu baru bisa disebut memiliki akurasi dan relevansi tinggi bila yang dimaksud adalah literasi budaya. Lantas apa saja tingkatan literasi sehingga kita bisa menentukan yang satu lebih baik dari lainnya? Agus menyebut, ada jenis literasi yang bisa dirumuskan. “Pertama, orang melek huruf dulu. Kedua, mereka membaca hal yang berkaitan dengan profesi mereka. Ketiga, mereka juga membaca buku yang tidak berkaitan dengan profesi mereka.” Yang pertama, oleh Agus dalam Gempa Literasi, disebut sebagai literasi teknis; pokoknya seseorang bisa membaca terlebih dahulu. Yang kedua disebut sebagai literasi fungsional; maksudnya, kemauan
membaca seseorang muncul karena faktor pekerjaan dan hal mendesak lainnya dalam hidup mereka. “Mereka (yang berliterasi fungsional),” kata Agus, “mampu menghubungkan antara apa yang mereka baca dengan kehidupan, dalam hal ini adalah profesi dan sebagainya.” Sementara yang disebut terakhir sering dikenal dengan istilah literasi budaya. Rangkaian statistik ini, bila dicermati, bisa disimpulkan dengan narasi berikut. Tingkat literasi ternyata berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan ekonomi suatu masyarakat. Ini karena mereka yang punya kebiasaan membaca dinilai punya alternatif lebih banyak dalam mengatasi permasalahan mereka dan mengambil keuntungan dari pengetahuan tersebut. Sementara itu, statistik mengenai literasi yang sekarang digunakan sebagai dasar tak bisa dijadikan satu-satunya dasar untuk menilai perkembangan literasi suatu negara. Ini karena
Majalah Civitas | Juli 2012
13
Liputan Utama
metode penghitungannya hanya didasarkan pada berapa jumlah orang yang bisa membaca, bukan indikator lain yang mencerminkan literasi di tingkat lebih tinggi: literasi fungsional atau literasi budaya. Namun, meski demikian, seperti kata Murni Ramli, “Hasil perhitungan statistik itu masih dapat disepakati bersama sebagai alat ukur kuantitatif yang dapat diterima secara universal.” [Reza Syam Pratama]
14
Majalah Civitas | Juli 2012
Liputan Utama
“ L
Potret Intelektualitas Mahasiswa di Bingkai Literasi
“Bagaimana bisa mahasiswa disebut sebagai intelektual muda jika membaca buku saja jarang?”
iterasi menurut Campbell, dalam bukunya Assessing Literacy: The Framework for the National Adult Literacy Survey, adalah “seperangkat kemampuan mengolah informasi, jauh di atas kemampuan mengurai dan memahami bahan bacaan sekolah.” Meski kurang tepat, literasi sering diringkas jadi “kemampuan baca-tulis” saja. Tapi menurut definisi yang ditawarkan Campbell tersebut, literasi tidak hanya terbatas pada membaca dan menulis, melainkan juga mencakup bidang-bidang lain, seperti sains, sosial, lingkungan, keuangan, dan lain sebagainya. Apa pentingnya literasi? Tak dapat disangkal budaya literasi merupakan salah satu faktor kemajuan pendidikan dan peradaban yang juga akan berimbas
“
pada kemajuan suatu bangsa. Banyak negara yang sudah membuktikan budaya literasi berkaitan erat dengan kemajuan suatu bangsa. Jepang yang warganya rakus membaca misalnya, mampu bangkit dari keterpurukan pasca kekalahannya dalam Perang Dunia II dan kini menjadi salah satu negara termaju di dunia. Mahasiswa sebagai intelektual muda, golongan agen perubahan, sudah sepatutnya memiliki budaya literasi yang tinggi. Bagaimana bisa mahasiswa disebut sebagai intelektual muda jika membaca buku saja jarang? Bagaimana bisa mahasiswa membuat suatu perubahan jika mereka sendiri tidak memiliki pengetahuan bagaimana cara untuk
Majalah Civitas | Juli 2012
15
Liputan Utama membuat suatu perubahan? Oleh karena itu, sudah selayaknya para mahasiswa mempunyai jam terbang yang tinggi dalam hal literasi. Atas dasar ketertarikan akan hal-hal tersebut di atas, Civitas melakukan survei kepada para mahasiswa untuk mengetahui seberapa besar tingkat literasi di kalangan mahasiswa. Responden survei ini berasal dari berbagai universitas. Metode survei dilakukan dengan menggunakan polling melalui internet. Jumlah responden yang mengikuti jajak pendapat kali ini sebanyak 84 mahasiswa yang dipilih secara acak. Survei kali ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar tingkat membaca di kalangan mahasiswa diukur dari kuantitas dan tema-tema buku yang sering dibaca oleh mahasiswa. Selain ingin mengetahui tingkat membaca mahasiswa, survei ini juga bertujuan untuk mengetahui budaya menulis mahasiswa, baik di internet, media cetak, maupun karya ilmiah. Budaya Baca Hasil survei membuktikan mahasiswa rata-rata menghabiskan lima buku dalam waktu satu bulan. Paling banyak, mahasiswa membaca 25 buku dan paling sedikit 1 buku. Jumlah ini jauh dari ideal bagi seorang mahasiswa. Idealnya mahasiswa
16
Majalah Civitas | Juli 2012
“Mahasiswa di negara-negara maju dapat membaca 60 buku dalam sebulan, sedangkan mahasiswa di negara berkembang hanya membaca 15 buku dalam sebulan.” membaca minimal 2 buku dalam seminggu, yang artinya membaca 8 buku dalam waktu satu bulan. Menurut UNESCO, mahasiswa di negara maju membaca delapan jam sehari, sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia, hanya dua jam sehari. Jika diasumsikan satu buku habis dibaca dalam waktu empat jam, maka mahasiswa di negara-negara maju dapat membaca 60 buku dalam sebulan, sedangkan mahasiswa di negara berkembang hanya membaca 15 buku dalam sebulan. Lalu, apa saja motivasi mahasiswa dalam membaca buku? Rata-rata 41% buku yang dibaca oleh mahasiswa digunakan untuk keperluan tugas kuliah mereka. Sisanya sebanyak 39% untuk bahan pengembangan diri dan 20 % sebagai sarana hiburan. Tema buku apa saja yang sering dibaca oleh mahasiswa? Hal ini juga masih terkait dengan motivasi membaca mahasiswa. Mayoritas mahasiswa membaca buku dengan tema sosial dan sains. Dari 84 responden, 19 orang membaca buku dengan tema sosial dan 10 orang membaca buku bertema sains. Sisanya ada 9 orang membaca tema ekonomi, tema politik empat orang, dan 3 orang sisanya, masing-masing membaca buku dengan tema agama, pengembangan diri dan travelling.
Liputan Utama
Budaya Menulis di Blog Sekarang kita beralih ke urusan tulis menulis. Kita mulai dari kebiasaan mahasiswa menulis di blog. Dari hasil survei, diketahui bahwa 53 orang (63,1%) mahasiswa sudah memiliki blog sedangkan sisanya masih belum punya. Hasil ini cukup menggembirakan mengingat tingkat konsumsi buku yang tidak begitu baik. Lantas apa saja yang dituliskan para mahasiswa dalam blog mereka? Sebanyak 23 orang (42%) mahasiswa menulis tentang cerita kehidupan mereka sehari-hari dalam blog mereka. Mahasiswa yang menuliskan tentang agama, ekonomi dan politik hanya 12 orang (23%). Sisanya sebanyak 4 mahasiswa (8%) menuliskan tentang campuran dan 3 orang menulis mengenai pengembangan diri. Dari hasil di atas, dapat kita ketahui bahwa hampir separuh mahasiswa menulis dalam blog untuk
sharing pengalaman dan kehidupan mereka. Hanya seperempat mahasiswa yang menulis topiktopik yang serius. Menulis pengalaman memang tak salah. Namun tentu akan lebih bermanfaat bila mahasiswa, mengingat perannya sebagai intelektual muda, lebih sering menuliskan ilmu yang mereka miliki untuk dibagi dalam blog mereka. Survei mengenai tujuan mahasiswa membuat blog hasilnya adalah 32 mahasiswa bertujuan untuk belajar menulis. Tujuh belas mahasiswa berkeinginan untuk berbagi pengetahuan, dan jumlah mahasiswa yang sama bertujuan berbagi pengalaman. Sisanya bertujuan untuk lain-lain seperti berbagi pola pikir, kehidupan dan hobi. Budaya Menulis Opini dan Karya Ilmiah Pada survei ini juga turut ditanyakan apakah mahasiswa sudah pernah mengirim opini
Majalah Civitas | Juli 2012
17
Liputan Utama
dan sejenisnya ke media massa. Hasilnya menunjukkan 74 mahasiswa (88%) belum pernah mengirimkan opininya ke media massa, dan hanya 10 mahasiswa yang pernah mengirim. Hal ini menunjukkan bahwa minat menulis mahasiswa di media cetak lebih kecil dibandingkan menulis di media sosial seperti blog. Selain itu survei ini menayakan apakah mahasiswa pernah mengirimkan karya ilmiah? Dan hasilnya, sebanyak 61 mahasiswa (73%) belum pernah mengirim, hanya 23 mahasiswa (27%) yang sudah pernah mengirimkan. Lagi-lagi hasil ini menunjukkan masih rendahnya budaya menulis mahasiswa di bagian karya ilmiah. Hal ini juga yang menyebabkan banyak kritikan kepada para mahasiswa di Indonesia mengenai rendahnya budaya menulis karya ilmiah dibandingkan negaranegara lain. Dibandingkan dengan Malaysia saja, jumlah karya ilmiah Indonesia hanya sepertujuhnya. Atas dasar itu juga, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Dirjen Pendidikan Tinggi mengeluarkan Surat Edaran No.152/E/T/2012 mengenai kewajiban mahasiswa membuat jurnal ilmiah serta mempublikasikannya dalam jurnal sebagai syarat kelulusan. Survei kali ini juga tak luput untuk menanyakan hal ini kepada para responden. Hasilnya, sebanyak 46 mahasiswa (54,7%) setuju atas kebijakan tersebut. Alasannya, menumbuhkan
18
Majalah Civitas | Juli 2012
tradisi ilmiah yang sewajarnya diharapkan dari kalangan akademisi seperti mahasiswa. Di sisi lain, mahasiswa yang tidak setuju sebanyak 34 orang (40%) beralasan kebijakan tersebut akan makin menyuburkan praktik plagiarisme di kalangan mahasiswa. Sisanya menjawab tergantung dan tidak ada jawaban. Survei, seperti biasa, barangkali akan akrab dengan tuduhan mengenai masalah keterwakilan. Indikator-indikator yang digunakan juga rawan diperdebatkan. Tapi, paling tidak, dari jajak pendapat kali ini, kita mendapat beberapa pelajaran. Pertama, bahwa kita, mahasiswa, belum menjadi
Dibandingkan dengan Malaysia saja, jumlah karya ilmiah Indonesia hanya sepertujuhnya.
Liputan Utama
representasi masyarakat intelektual. Alat ukurnya macam-macam: minat baca, kemauan menulis, hingga kemampuan mengimplementasikan bacaan. Kedua, bila alat ukur intelektualitas seseorang diletakkan pada jumlah dan jenis buku yang dibaca seseorang, tentu kita berada di bawah rata-rata negara-negara dunia. Ini kiranya cukup jadi pengingat bagi kita untuk menggiatkan kembali budaya literasi. Status sebagai bangsa bermartabat barangkali sebagiannya bisa dinilai dari seberapa sejahtera bangsa tersebut. Tapi, kita tentu tak bisa meninggalkan premis bahwa mereka yang mampu berkembang dan punya banyak alternatif terhadap berbagai masalah adalah mereka yang menggiatkan dirinya dalam menerima arus informasi dalam bentuk apapun. [Galuh Chandra Adrianur]
Majalah Civitas | Juli 2012
19
Kacamata
Buku
dan Kunci Perubahan
Oleh Mutia Hapsari*
B
uku merupakan jendela dunia. Slogan ini nampaknya sering sekali didengungkan dalam gerakan-gerakan meningkatkan minat baca ataupun terpasang dalam acara pameran buku. Meski kalimat tersebut banyak didengungkan, tetapi makna sebenarnya justru saya rasakan ketika tinggal di sebuah masyarakat di mana kebiasaan membaca buku bukanlah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Saya merasa beruntung karena bisa melihat bagaimana keberadaan buku maupun majalah mampu memberikan suasana baru pada sebuah masyarakat. Pemandangan itu terjadi di Desa Sungai Tuak. Sesuai dengan namanya yang menggunakan kata ”sungai”, desa ini berada di pinggiran Sungai Kandilo, sebuah sungai yang menjadi ikon Kabupaten Passer, Provinsi Kalimantan Timur. Di desa ini terdapat sebuah sekolah negeri yang jumlah muridnya hanya sekitar seratus orang, SDN 015 Tanah Grogot. Secara fisik, sekolah ini cukup layak sebagai tempat belajar. Jumlah meja maupun kursi cukup. Di setiap ruang kelas terdapat papan
20
Majalah Civitas | Juli 2012
tulis serta meja dan kursi untuk guru. Terdapat pula satu WC yang khusus digunakan murid-murid dan satu WC untuk guru-guru dan kepala sekolah. Sekolah yang material utamanya adalah papanpapan kayu ini dipimpin oleh kepala sekolah yang murah senyum dan bijaksana. Kebijaksanaannya terlihat dari caranya mengelola Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sehingga dana tersebut ia gunakan untuk mencukupi kebutuhan sekolah seperti buku pelajaran dan juga biaya perawatan perahu yang digunakan sebagai alat transportasi untuk mengangkut guru-guru dan murid-murid ke sekolah. Koleksi buku pelajaran di sekolah ini cukup lengkap. Karena sering dipinjamkan ke murid-murid, tidaklah mengherankan jika banyak halamannya yang telah sobek. Lalu bagaimana dengan buku-buku yang sifatnya penunjang seperti buku cerita maupun majalah anak-anak? Apakah sekolah ini memilikinya? Ada, tetapi sayangnya buku-buku fiksi tersebut telah usang. Lembaran kertasnya sudah berjamur dan jika dibuka lembar demi lembarnya bau
Kacamata
lembab akan menyeruak. Karena tidak memiliki perpustakaan, buku-buku itu disimpan di salah satu sudut ruang guru yang jarang tersentuh –sehingga tak jarang menjadi santapan rayap maupun tikus. Maka tak mengherankan jika buku-buku tersebut tak terlalu menarik perhatian murid-murid. Tentu saja kondisi minimnya buku-buku penunjang ini nyaris dialami oleh sebagian besar sekolah tempat para pengajar muda mengajar. Cerita mengenai kondisi ketiadaan buku ini kemudian banyak tersebar ke teman-teman maupun kolega para pengajar muda karena umumnya para pengajar muda akan berbagi pengalaman mereka selama di penempatan. Cerita-cerita ini yang akhirnya mendorong banyak orang menyumbang donasi berupa buku-buku cerita, ensiklopedi, maupun majalah. Ada yang menyumbang langsung ke pengajar muda, ada pula yang menyumbang melalui Indonesia Menyala, yakni sebuah gerakan yang menghimpun masyarakat untuk menyumbang buku yang nantinya akan disalurkan ke daerah-daerah penempatan pengajar muda.
Perubahan yang Tak Sederhana Sebulan setelah saya mengajar, saya semakin menyadari bahwa mengajar dengan hanya bergantung pada buku pelajaran sering menimbulkan kendala. Terlebih lagi jika harus mengajarkan hal-hal baru yang murid-murid pelajari, tetapi gambarnya tidak tertera di dalam buku pelajaran mereka. Sering murid-murid bertanya “Seperti apa bentuk tanaman kaktus?”, “Seperti apa bentuk piramida?”, “Seperti apa bentuk helikopter?”, dan masih banyak pertanyaan lainnya. Dengan adanya buku-buku dari para donatur, saya merasa pekerjaan saya sebagai pengajar sangat terbantu. Dengan mudah saya bisa menunjukkan hal-hal yang selama ini tidak ada di lingkungan mereka. Tapi perubahan yang timbul dari sebuah buku ternyata tak sesederhana yang saya pikirkan. Kehadiran buku fiksi, ensiklopedi, maupun majalah telah menimbulkan pengaruh yang lebih besar. Buku telah mengubah kebiasaan anak-anak di desa
Majalah Civitas | Juli 2012
21
Kacamata ini. Jika dahulu setiap istirahat kegiatan muridmurid di sekolah ini hanyalah pergi ke warung dekat sekolah ataupun bermain di halaman, maka setelah adanya buku-buku cerita yang menarik, banyak di antara mereka yang rela mengantre di depan ruang guru hanya untuk bisa melihat buku-buku tersebut. Beberapa diantara mereka juga meminjam buku-buku tersebut untuk dibawa pulang dan kemudian menceritakan isinya kepada anggota keluarga mereka yang lain. Kebahagiaan karena adanya buku bacaan yang berkualitas ternyata tak hanya menjadi monopoli saya dan murid-murid semata. Beberapa guru di sekolah ini pun mencintai buku dengan caranya yang unik. Ibu Ainun, misalnya, guru honorer ini mulai memiliki ketertarikan kepada buku ketika membantu saya menginventarisasi buku-buku hasil sumbangan. Dilihatnya sebuah buku hard cover yang sampulnya menampilkan karikatur sosok Napoleon Bonaparte. Ia kemudian memutuskan untuk membawa buku tersebut ke rumah. Keesokan harinya, ia datang dengan wajah penuh senyum. Dengan semangat, ia menceritakan betapa senangnya ia bisa membaca buku yang penuh dengan cerita sejarah tetapi disampaikan secara menarik. Dan yang lebih menyenangkan lagi, buku tersebut tidak hanya menjadi hiburan bagi dirinya sendiri. Suaminya, yang seorang pegawai honorer di kantor DPRD setempat juga merasa terhibur. “Saya sampai harus berebutan membaca dengan suami saya,” ujarnya sambil tertawa.
“ 22
Ada pula pengalaman Ibu Rahma, seorang guru Bahasa Inggris yang awalnya tertarik meminjam buku karena melihat gambar-gambar yang lucu. Tak disangka begitu sampai di rumah, anakanaknya juga suka membaca buku tersebut. Bahkan setiap pagi anaknya akan menceritakan ulang kepada Ibu Rahma mengenai buku yang baru saja ia baca atau memberi tebak-tebakan yang ia dapatkan dari buku tersebut, semisal “Apakah nama Dinosaurus yang paling besar?”. Jika Ibu Ainun dan Ibu Rahma suka membaca ensiklopedi dan membaca buku cerita anak-anak, maka Ibu Eli, satu-satunya guru di sekolah ini yang berasal dari suku Dayak suka membaca majalah. Kebetulan salah seorang donatur mengirim majalah gaya hidup edisi lama. Di sela-sela waktu istirahat, ibu Eli ternyata lebih memilih untuk
Guru-guru lain yang tadinya tak begitu tertarik membaca kemudian satu persatu mengelilingi meja tempat Bu Eli membaca dan ikut membaca artikel yang ia ceritakan
Majalah Civitas | Juli 2012
“
Kacamata menyepi di salah satu sudut meja sambil sibuk membuka-buka majalah tersebut. Sesekali ia kemudian akan mengambil selembar kertas dan kemudian mencatat hal-hal yang dianggapnya menarik. Begitu selesai menuliskan apa yang dibacanya, maka Bu Eli tidak segan menceritakan kepada rekan guru yang lain mengenai apa yang dibacanya. Misalnya saja, suatu kali ia bercerita tentang artikel “Kandungan Gizi dalam Ikan” yang selesai dibacanya kepada rekanrekan gurunya. Guru-guru lain yang tadinya tak begitu tertarik membaca kemudian satu persatu mengelilingi meja tempat Bu Eli membaca dan ikut membaca artikel yang ia ceritakan. Murid-murid saya mulai suka melihat gambargambar yang terpampang di buku cerita. Guru-guru di sekolah ini juga suka membaca buku. Membaca mungkin kegiatan yang sederhana. Dimulai dari satu orang yang suka membaca lalu menular kepada orang lain. Seorang antropolog asal Amerika Serikat, Margaret Mead, pernah mengatakan “Jangan pernah meragukan bahwa sekelompok kecil masayarakat yang saling memiliki komitmen dapat mengubah dunia”. Maka bukanlah tidak mungkin jika dari kebiasaaan membaca yang berawal di sekolah ini bisa menjadi kunci perubahan bagi generasi muda di desa ini.
*)Penulis adalah alumnus Antropologi UGM, Pengajar Muda Angkatan I, Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar. Pernah meniti karir sebagai wartawan dan saat ini bekerja sebagai Corporate Communication Staff di salah satu perusahaan multinasional.
Majalah Civitas | Juli 2012
23
Kacamata
Menyalakan Semangat Membaca Anak Indonesia Oleh Fatia Qanitat*
“
Pak, nanti saya mau keliling dunia. Nanti saya mau pergi ke air terjun ini,” dengan bersemangat tangan kecil Kiranto menunjuknunjuk gambar Angel Fall, air terjun tertinggi di dunia yang terletak di negara Venezuela. Anak kelas lima SD Negeri 28 Pangkalan Nyirih, Rupat, ini tampak asik membolak-balik majalah anak yang baru saja ia peroleh. Semangat yang sama dirasakan oleh anakanak di pulau Bengkalis, yang juga kedatangan tamu istimewa dari Jakarta. Mereka berebutan mengambil buku dari dalam tas. Rela mengantre, layaknya antrean membeli sembako, hanya untuk mendapatkan hak meminjam buku yang mereka inginkan. Kalau melihat mereka mengantre sambil
24
Majalah Civitas | Juli 2012
tersenyum dengan buku berada dalam depakan tangan kecil mereka, rasanya senang sekali. “Saat buku pertama kali datang, saya meminta dua anak membantu mengambil di rumah. Tapi anakanak lain tidak mau ketinggalan, akhirnya satu kelas ikut ke rumah. Buku-buku ini diarak bersamasama, dibawa ke perpustakaan sekolah. Ketika tas dibuka, langsung mereka berebut, heboh,” kenang Nanda Yunika, Pengajar Muda yang bertugas di SDN 08 Bantan Tengah, Bantan. Lembaran penuh gambar dan warna ini dikirimkan oleh kawan-kawan di Indonesia Menyala yang ditujukan langsung kepada anak-anak di seluruh pelosok Indonesia. Melalui Pengajar Muda inilah
Kacamata lebih dari 10 ribu buku sudah disalurkan. Indonesia Menyala merupakan program dari Gerakan Indonesia Mengajar, sebagai upaya pengembangan daerah dengan berkontribusi langsung untuk membangun perpustakaan di SD penempatan Pengajar Muda. Melalui kegiatan ini, diharapkan semangatsemangat seperti itu akan tumbuh, menjamur, di seluruh belahan bumi Indonesia. Seperti yang diakui oleh Pengajar Muda Intan Nuni Wahyuni, buku-buku inilah yang menjadi penghuni pertama di perpustakaan sekolah mereka. Anakanak SD Negeri 32 Selat Baru yang sebelumnya tidak mempunyai perputakaan, merasa sangat senang menyambut anggota baru di sekolah mereka. “Ini buku pertama untuk mereka,” terang Intan. Walaupun hanya terdapat satu rak, dengan ruangan tak lebih dari 2 x 1 meter, yang merupakan bagian kecil dari sudut ruang kantor, setidaknya anak-anak sudah merasa bangga dengan perpustakaan baru ini. Banyak hal baru yang anak-anak temukan setelah membaca buku-buku ini. Ada anak yang sibuk bertanya mengenai perjalanan manusia ke bulan yang ia ketahui melalui buku yang ia baca. Ada juga anak yang terkagum-kagum melihat tokoh dongeng yang mempunyai rambut yang sangat panjang. Begitu pula dengan anak yang tak pernah bosan meminjam buku demi buku. “Ah...sedap nih Pak, sedap nih....” komentar anakanak polos sambil menatap gambar dalam buku yang mereka pegang. Biasanya kata sedap umum dipakai untuk mengomentari rasa makanan. Tapi, budaya Melayu di sini biasa menggunakan kata tersebut untuk mengungkapkan segala sesuatu yang menyenangkan bagi mereka.
Keberadaan buku-buku ini juga dirasakan manfaatnya oleh guru-guru di sekolah. Guru-guru tertarik dan ikut membaca. Beberapa buku dijadikan bahan ajar kepada siswa. Melalui buku, dapat diperoleh pengetahuan baru. Salah seorang guru mengatakan bahwa penjelasan yang sederhana serta menggunakan gambar, sangat memudahkan anak-anak untuk memahami isinya. Saat ini, anak-anak bersemangat menanti pintu perpustakaan terbuka. Tak segan mereka bertanya, “Perpus buka kan Bu hari ini?” Seringkali mereka meminta, “Bu, perpusnya buka dong.” Tak jarang mereka memaksa, “Bu, kok perpusnya belum buka?” Bukti nyata sudah membekas dengan tampilan sampul buku yang tidak diketahui lagi keberadaannya. Karena begitu seringnya buku tertentu berpindah tangan dari satu murid ke murid lainnya, guru-guru mulai menggunakan sampul dan lakban. Apakah sudah cukup? Ada juga buku-buku yang luar biasa lecek atau kotor. Kami tidak kecewa, bahkan sangat senang. Itu artinya semangat baru anak-anak untuk membaca semakin tertanam. Buku sudah menjadi candu baru untuk mereka.
* Penulis adalah lulusan Universitas Padjadjaran Fakultas Ilmu Komunikasi, Pengajar Muda Angkatan I, Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar.
Majalah Civitas | Juli 2012
25
Opini
Mencintai Literasi
dengan Sederhana
Oleh: Reza Syam Pratama*
S
ebulan belakangan, tema bacaan saya cukup tak biasa: politik. Judul semisal Konstitusi dan Konstitusionalisme karya Jimly Asshiddiqie, Dilema PKS: Antara Suara dan Syariah karya Burhanuddin Muhtadi, Antara Jama’ah dan Partai Politik karya Arief Munandar, serta Indonesia for Sale karya Dandhy Dwi Laksono jadi pendamping tema rutin yang saya baca. Oya, meski jarang punya bacaan bertema politik, saya merasa saya bukan orang yang apolitis. Tapi jujur saja, selain yang ada hubungannya dengan sejarah, saya cukup malas mencermati berita atau ulasan politik.
26
Majalah Civitas | Juli 2012
Ada beberapa alasan. Pertama, sumber berita politik yang saya baca biasanya berasal dari media online. Dan gaya penulisan di situs berita online Indonesia benar-benar susah untuk diikuti. Bayangkan, untuk satu peristiwa yang harusnya bisa disajikan dalam satu atau dua artikel saja, kadang kita harus membaca lima hingga tujuh artikel berbeda. Padahal, informasi yang disajikan ya hanya itu-itu saja. Tambahan informasinya tak begitu signifikan, meski kadang akan mengubah kesimpulan saat kita hanya membaca satu atau dua artikel saja. Bandingkan dengan situs semisal New Yorker misalnya. Memang, sejak awal New Yorker terke-
Opini nal dengan narasi panjangnya di majalah. Tapi toh ini bukan apologi yang bisa diterima mengingat, sekali lagi, berita yang ditampilkan di media online bahkan bisa ditampilkan dalam beberapa kolom saja di surat kabar konvensional. Mas Findo, senior saya di lembaga pers mahasiswa, bilang bahwa memecah-mecah berita menjadi beberapa bagian adalah bagian dari usaha media online itu untuk meraup rupiah. Maklum, media biasanya mengandalkan pemasukannya dari iklan. Dan iklan itu, dalam ruang lingkup media online, hanya bisa didapatkan dengan mudah apabila semakin banyak traffic yang terkait dengan media tersebut. Sementara, Agustinus Wisnubrata, Wakil Redaktur Pelaksana Kompas.com, menganggap ini adalah bagian dari fokus kecepatan yang dimiliki media online. Ia, saat saya temui selepas agenda Media Camp di Gedung I, mengungkapkan urgensi menampilkan berita terkait peristiwa dengan daya tarik besar dengan segera. Masalahnya, beritaberita ini kadang tak segera dapat diverifikasi saat itu juga. Wartawan juga kadang belum sempat minta pendapat orang-orang tertentu yang dianggap kapabel mengingat sempitnya waktu. Maka, dibuatlah apa yang disebut Wisnu, panggilan akrabnya, sebagai “verifikasi susulan”. Nah, verifikasi susulan inilah yang menyebabkan melimpahnya artikel untuk satu berita saja. Satu artikel minus verifikasi dan analisis lebih jauh nantinya akan dilengkapi dengan artikel lain yang berfungsi menjelaskan artikel pertama. Artikel akan bertambah ketika isu berkembang; ketika makin banyak orang merasa berkepentingan memberikan suaranya. Bagaimana dengan televisi? Saya juga jarang menyimak berita di televisi, apalagi yang bentuknya talkshow. Bahkan jalan ke ruang televisi di kos saja saya malas. Saya hanya ke sana bila mendapati teman-teman sekos berkumpul untuk sekedar ngo-
brol atau nonton Liga Inggris. Saya, seperti halnya Morrie Schwartz, tak begitu suka pada pengacara. Saya menerjemahkannya sebagai kebencian terhadap eufimisme berlebih. Kedua, adanya “pengakuan” Bill Kovach dan Tom Rosenstiel di Elements of Journalism bahwa wartawan tak pernah bisa lepas dari bias. Maka, mengharapkan wartawan bisa benar-benar netral dalam pemberitaan jelas utopis. Yang bisa dilakukan, katanya, hanyalah memperbaiki komposisi staf redaksi dan mekanisme peliputannya. Ini serupa dengan paparan Dandhy di Indonesia for Sale. Ia menulis, media saat ini sudah tak terhindar dari bias, baik itu berasal dari pemasang iklan, pemilik modal, atau orientasi politik orang yang berpengaruh di media tersebut. Pengaruh pemasang iklan ini biasa ditemui di media AS, kata Amien Rais dalam Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! Sementara bias pemilik modal tentu kita dapati di TV One dan Metro TV. Bias orientasi politik? Lihatlah Tempo. Yang sudah baca bukunya pasti ingat epilog buku itu yang menyentil Tempo, terutama dua mahaguru para wartawan yang pernah dan sedang bekerja untuk majalah pekanan itu, Goenawan Mohamad dan Fikri Jufri, yang turut beriklan mengkampanyekan kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM pada 2004 lalu. Uniknya, media ini, beberapa waktu lalu juga diterpa tuduhan bias politik terkait Joko Widodo yang maju dalam pencalonan Gubernur DKI Jakarta. Hal ini ramai diperbincangkan di Twitter. Ketiga, menurut saya, kajian politik yang ditulis oleh akademisi—apalagi yang menonjolkan kajian teori—kurang nikmat dicerna sambil bersantai. Saya makin lama makin menyukai cara para wartawan menjelaskan suatu masalah pada pembacanya. Saya menganggap mereka lebih mampu menerjemahkan hal rumit jadi sederhana. Orang boleh saja menyebut ini juga bias karena
Majalah Civitas | Juli 2012
27
Opini adanya kesamaan profesi saja, meski di ruang lingkup berbeda.
Tapi premis ini lahir sehabis saya baca buku yang saya sebut di awal tadi. Saya yang awam ini merasa paparan santai Dandhy atau Ishak Rafick, misalnya, lebih mudah dan cepat dicerna dibanding Joseph Stiglitz yang mengangkat tema serupa di Freefall. Mirip dengan tulisan Rusdi Mathari tentang kasus BLBI yang lebih nyaman dipahami dibanding buku diktat perkuliahan yang membahas uang dan lembaga keuangan.
Tentu, preferensi pribadi saya ini tak berlaku umum. Saya juga masih menjumpai akademisi yang ringkas mendaras ilmunya semisal Eep Saefulloh Fatah atau Kwik Kian Gie. Ditambah lagi, preferensi pribadi sama sekali tak menafikan potensi manfaat yang diperoleh dari memahami materi-materi akademis—meski kadang harus dengan usaha sedikit lebih keras. Inilah isu sentralnya. Mengapa kadang kita merasa bacaan kurang nyaman dicerna? Mengapa keluhan umum dari proses membaca, seperti yang pernah dikeluhkan seorang teman, adalah mengantuk— dan malas? Saya tak punya dasar pasti untuk menggeneralisasi jawaban atas pertanyaan ini. Tapi, menurut pengalaman saya, ini disebabkan dua hal. Pertama, penulis yang terlalu rumit menjelaskan gagasannya. Kedua, pembaca yang terlanjur berprasangka tentang kerumitan buku itu. Untuk yang pertama, judul buku di atas itu mungkin bisa jadi contoh. Mereka menunjukkan bahwa gaya menulis naratif ternyata lebih mudah dicerna daripada yang kental dengan hal-hal berbau analitis. Kalimat-kalimat sederhana (bukan kalimat majemuk atau kalimat tunggal yang punya terlalu banyak kata) turut mempermudah pemahaman.
28
Ini juga menjelaskan bahwa rangkaian fakta bicara lebih banyak dibanding opini. Bukan berarti saya menganggap bahwa karya akademis itu semata berangkat dari opini, tidak berdasarkan riset ilmiah. Saya hanya merasa dengan penelaahan berbelit-belit dan berpenekanan khusus pada paparan mengenai metode, orang justru akan kesulitan mencerna substansi yang hendak disampaikan.
“Penulis besar menyederhanakan hal rumit. Penulis yang ingin dilihat besar merumitkan hal sederhana.”
Majalah Civitas | Juli 2012
Saya jadi ingat pesan ustadz Muhammad Fauzil Adhim yang kira-kira begini, “Penulis besar menyederhanakan hal rumit. Penulis yang ingin dilihat besar merumitkan hal sederhana.” Yang ini, konteks kalimatnya sebenarnya ditujukan pada mereka yang ingin jadi penulis. Jangan sampai hal-hal yang sebenarnya sederhana dirumitrumitkan dengan maksud memberi kesan “wah” pada pembacanya. Dan buatlah hal rumit jadi lebih ringkas agar lebih mudah dimengerti oleh pembacanya. Toh, tujuan kita menulis itu untuk menebar gagasan kita pada sebanyak mungkin khalayak, kan? Bagi pembaca, jangan pula dihantui “ketakutan” baca buku-buku yang dinilai “berat”. Anggapan itu hanya akan membuat kita lebih susah memahami bacaan. Selama kita menganggap bacaan adalah kebutuhan yang bersinggungan langsung dengan hidup kita, selama itu pula ada dorongan untuk terus menyesap ilmu dari rupa-rupa ragam buku. Premis terakhir ini saya pelajari dari Agus M. Irkham saat saya temui untuk sebuah wawancara. Ia bilang, salah satu penyebab rendahnya minat baca adalah minimnya kesadaran bahwa ada persinggungan yang mutlak antara apa yang mereka baca dengan apa yang akan mereka hadapi di kehidupan nyata. Ia mencontohkan, saat mengisi sebuah seminar di sebuah PTS di Yogyakarta
Opini tentang bagaimana cara meningkatkan indeks prestasi, ia lihat pesertanya melimpah. Sementara ia memandang minat mahasiswa untuk menghadiri dialog bertema literasi masih belum memuaskan. Katanya, hal ini terjadi sebab seminar tentang cara meningkatkan indeks prestasi itu berdampak langsung pada salah satu hal yang dikejar mahasiswa di kampus. Sementara hal-hal terkait literasi tidak. Biasanya, hal-hal terkait teknis solusi suatu masalah, tips dan trik lulus SNMPTN misalnya, bakal mendapat tempat lebih di hati pembacanya. Adanya kejelasan tentang manfaat yang akan kita peroleh setelah membaca inilah yang, menurut Mas Agus, mendorong seseorang untuk rajin membaca.
wasan dan mendatangkan manfaat luar biasa bagi kehidupan kita di masa depan. Bahwa membaca, secara gradual, akan membentuk pola pikir yang sehat serta turut membantu menambah alternatif solusi atas masalah yang kita hadapi. Mari belajar dari Soekarno. Ia terkenal punya koleksi bibliotik terlengkap se-Bengkulu saat sedang diasingkan di sana. Tentu orang-orang di sekitarnya heran; mengapa orang dalam pengasingan masih mau menyibukkan diri dengan buku? Salah satu yang heran dan bertanya pada Soekarno adalah anak Residen Hooykaas yang juga mahasiswa Universitas Leiden. Ia menjawab, seperti dikutip Rosihan Anwar dalam Petite Histoire, “Orang muda, saya harus belajar giat sekali karena insya Allah saya akan jadi presiden negeri ini.”
Kelayakan Politikus Instan
Mengapa? Saya mencoba menjawab dengan argumen tersendiri: sebab dengan begitu, manfaat bacaan itu akan terasa secara langsung. Selesai baca, dalam waktu singkat, kita tahu langkah praktis apa yang perlu dilakukan. Kita bisa langsung merasakan perubahan dalam waktu relatif singkat, tanpa harus bersabar menunggu. Ini juga yang mendorong seseorang lebih termotivasi untuk membaca ketika didesak untuk mempresentasikan bacaannya itu. Misal, pemateri seminar yang didesak waktu untuk menyajikan makalahnya, mahasiswa yang hendak melaksanakan presentasi, atau siswa SMA yang sedang bergelut dengan karya tulisnya. Masalahnya, kadang kegiatan baca itu tak memunculkan manfaat instan. Suatu ketika, kita perlu waktu lama untuk merasakan betul hasilnya. Bagi saya, selain menambah pengetahuan tentang halhal teknis seperti yang disebutkan sebelumnya, kegiatan membaca perlahan memperkaya kehidupan dengan ilmu dan memupuk kepribadian. Frase terakhir itulah yang saya pahami dari kata-kata kawan saya suatu hari: kamu lima tahun lagi adalah buku yang kamu baca saat ini. Maka, dengan asumsi hipotesis Mas Agus itu valid, kita bisa menggunakan cara ini untuk meningkatkan minat baca: yakinkan diri sendiri, dengan cara apa pun, bahwa membaca akan meningkatkan wa-
Kamu lima tahun lagi adalah buku yang kamu baca saat ini.
Ringkasnya, ia tahu untuk apa ia membaca. Maka, inilah beberapa alternatif untuk makin mencintai dunia literasi. Jadikan sederhana apaapa yang rumit. Hilangkan persepsi negatif dalam hal apapun. Cari alasan besar bagi kita untuk tetap belajar. Memang sulit; memang perlu kesabaran. Tapi laut yang tenang tidak menghasilkan pelaut yang tangguh kan?
* Penulis adalah Mahasiswa Tingkat III Diploma 3 Akuntansi Pemerintahan
Majalah Civitas | Juli 2012
29
Obrolan Bengkel
Change!
Oleh: Rizki Saputri*
“Change is giving every child a world-class education by recruiting an army of new teachers with better pay and more support, by promising four years of tuition to any American willing to serve their community and their country, by realizing that the best education starts with parents who turn off the TV, and take away the video games, and read to our children once in awhile. … That is what change is.” ***
S
elesai perkuliahan hari itu, dosen saya menampilkan sebuah slide powerpoint yang berisi potongan pidato Barrack Obama ketika ia masih berstatus calon orang nomor satu di Amerika, sekitar tahun 2008. Potongan pidato tersebut membuat saya teringat pada gerakan bernama Indonesia Mengajar yang dipelopori oleh seorang tokoh terkemuka, Anies Baswedan.
30
Majalah Civitas | Juli 2012
Ketika beliau memberikan kuliah umumnya di Kampus STAN, saya menemukan poin sederhana dari gerakan ini: bahwa hal penting untuk memperbaiki Indonesia bukanlah terletak pada banyaknya sekolah yang bisa kita bangun, tapi pada banyaknya guru berkualitas yang mampu kita sediakan. Dalam gerakan tersebut, selain berwawasan dunia, para pengajar juga harus paham akan keadaan akar rumput bangsa. Sehingga ketika disebar ke seluruh ujung Indonesia, mereka dapat menularkan semangat untuk belajar dan memulai kebaikan dengan cara yang tepat. Saya ingat sekali kata-kata Pak Anies waktu itu, semangat yang selalu ia tanamkan pada setiap pengajar yang siap disebar, bahwa tiap-tiap mereka tidak hanya ditugasi untuk mengajarkan baca dan tulis. Ada beban moral yang lebih besar, sebuah keharusan untuk menjual karakter mereka kepada penduduk setempat dan membuat orangorang asli daerah itu berkata: “I want my children to be like him.”
Obrolan Bengkel Harapannya? Penetrasi pendidikan di pelosok daerah dapat dilakukan tanpa keterpaksaan, tapi memang karena kemauan. Sebuah perubahan besar, kan? *** Agent of change. Begitulah label yang biasa disematkan kepada segenap mahasiswa. Sebuah konsekuensi atas apa yang telah dilakukan sejarah, bahwa perubahan tak lepas dari genggam tangan para pemuda. Terlalu banyak luka, saya rasa, ketika kita mengingat lagi bagaimana Indonesia bisa sampai ke tahap ini. Pun di anak tangga yang sekarang kita pijak ini, Indonesia masih mengalami pergolakan mencari jati diri, memperbaiki cacat disana dan disini, berpegangan pada apa-yang-saya-seringsebut pseudodemokrasi. Ada keprihatinan ketika saya harus melihat bahwa perubahan harus diperjuangkan dengan caci maki yang anarki, sesuatu yang kontradiktif ketika bangsa ini luhur karena sopan santun, budi pekerti, dan ramah tamah yang—katanya—telah mendunia. Kita semua tahu benar, bahwa perubahan adalah keharusan. Lalu apakah harus dengan cara-cara seperti itu? Saya masih sering menemui orang-orang yang menganggap bahwa pendidikan (dalam hal ini, pendidikan formal) bukanlah hal yang penting dalam hidup. Mereka mengutip perkataan Bill Gates yang tidak pernah dapat nilai bagus dan menjadi pemilik Microsoft tapi di sisi lain seorang temannya yang selalu mendapat nilai sempurna hanya menjadi pegawai di perusahaannya, atau juga ‘meneladani’ riwayat pendidikan Mark Zuckerberg, Bob Sadino, atau siapapun yang memang dari kacamata sebagian besar orang, bisa sukses dan melakukan perubahan besar dalam
kehidupannya walaupun pendidikan formalnya terkatung-katung. Berlainan dengan pendapat itu, saya termasuk yang percaya bahwa jalan utama menuju perubahan malah dimulai dari pendidikan, pendidikan karakter dan akhlak tepatnya—yang menurut saya, sulit dipelajari tanpa mengecap pendidikan formal. Dengan guru yang luar biasa, pendidikan mampu membentuk karakter manusia yang juga luar biasa. Kemudian karakter itu menular dan menginspirasi orang lain untuk berbuat hal yang sama. Karena perubahan tidak hanya terletak pada kemauan dan kemampuan tangan ini untuk secara radikal mengubah sesuatu yang salah, tapi juga pada kesiapan kita untuk selalu belajar dan memberikan pelajaran. Akhirnya memang kita semua masih butuh belajar. Kita semua masih butuh kerendahan hati untuk mau belajar dan mendengarkan, sebuah langkah awal untuk melakukan perubahan.
* Penulis adalah Bendahara Media Center STAN 2011/2012
Majalah Civitas | Juli 2012
31
Liputan Khusus
Mengadu Sengketa di Lantai
9
Mendengar “pengadilan pajak” disebut, apa yang terlintas di benak Anda? Adakah keterkaitannya dengan Gayus atau Dhana?
32
Majalah Civitas | Juli 2012
Liputan Khusus
B
angunan minimalis kontemporer itu seperti terpojok di antara gedunggedung tinggi serupa yang tersusun rapi di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Ya, Lapangan Banteng, kawasan yang namanya tak asing lagi karena masyhur sebagai markas kementerian yang mengelola APBN negara. Hampir seluruh instansi yang berada di bawah naungan kementerian keuangan berkantor pusat di sini. Tepat di sudut lahan berdiri gedung Sutikno Slamet. Dari dalam gedung Sutikno Slamet inilah, terdapat sebuah badan peradilan yang hanya ada satu di seluruh Indonesia, yakni pengadilan pajak. Jangan salah mengartikan pengadilan pajak sebagai tempat untuk mengadili fiskus yang tersangkut masalah penggelapan pajak, seperti Gayus Tambunan dan Dhana Widyatmika. Karena sejatinya, pengadilan pajak berlaku sebaliknya. Justru Wajib Pajak lah yang mengajukan banding atau gugatan atas keputusan pihak berwenang menurut undang-undang perpajakan. Gedung Sutikno Slamet tidak dimiliki sendiri oleh pengadilan pajak. Beberapa lantai dipergunakan Direktorat Jenderal Anggaran. Pengadilan pajak sendiri menempati lantai 9 dan 10. Ditemui di kantor Sekretariat Pengadilan Pajak lantai 9, Jeffry Wagiu, Kepala Bagian Humas Sekretariat Pengadilan Pajak mulai menceritakan perihal seluk beluk pengadilan pajak. “Menurut undang-undang, pengadilan pajak hanya satu dan berkedudukan di ibukota negara. Jadi semua kasus yang berhubungan dengan perpajakan dan kepabeanan dan cukai, semua disidang di sini. Berapapun nominalnya, dari yang mulai 500ribu sampai ratusan milyar, tidak ada perbedaan perlakuan,” terangnya.
Karena karakteristiknya yang unik, maka sifat pengadilan pajak adalah tidak harus in persona (pihak yang berkepentingan harus dihadirkan). Dalam pengadilan pajak yang diperiksa hanyalah
Dulu, hanya dengan membayar sejumlah uang, penyelidikan pajak tidak akan berlanjut ke proses selanjutnya. dokumen berupa laporan keuangan, rekening bank, data transaksi, dan dokumen lain yang terkait. Namun seiring berkembangnya potensi masalah perpajakan di Indonesia, pengadilan pajak mulai melakukan inisiasi penyelenggaraan pengadilan di daerah lain. “Rencananya awal Juli nanti, kami akan menyelenggarakan pengadilan pajak di Yogya. Tapi cuma tempat sidang, bukan perwakilan atau cabang. Karena menurut undang-undang, pengadilan pajak hanya ada di ibukota. Untuk memudahkan wajib pajak, mungkin nantinya akan ada di daerah lain. untuk sekarang baru di Yogya yang siap untuk dijadikan percobaan.” Sejak Hindia Belanda Pengadilan pajak sudah lama ada. Tapi belum seperti kondisi sekarang setelah Tax Reform. Perubahan nama, status hukum sudah berubah beberapa kali. Batavia 1915, waktu masa pemerintahan Hindia Belanda sudah ada Institusi Pertimbangan Pajak (IPP) sebagai rintisan badan penyelesaian sengketa pajak. IPP lahir sebagai sarana penyelesaian sengketa pajak menurut staatsblad 707/1915 di Batavia (Jakarta). Pertimbangan mengapa Batavia menjadi satu satunya tempat IPP berdiri adalah Batavia sentra perdagangan pada masanya lagi pula pada waktu itu kasus perselisihan pajak belum seramai sekarang.
Majalah Civitas | Juli 2012
33
Liputan Khusus
Liputan Khusus Seiring perkembangan perekonomian nasional, tumbuhnya bisnis yang berbanding lurus dengan bertambahnya perselisihan pajak yang muncul. Akhirnya lewat Undang Undang Nomor 5 Tahun 1959, pemerintah
menyempurnakan IPP menjadi Majelis Pertimbangan Pajak (MPP).
Civitas sempat mewawancarai Ali Kadir, mantan sekretaris BPSP yang sekarang menjadi konsultan perpajakan di sebuah lembaga bantuan hukum. Ditemui disela – sela ia akan menjadi konsultan seorang WP di persidangan, ia sempat membagi ceritanya semasa menjadi sekretaris BPSP. Ia menyebut BPSP sebagai Badan Penyelesaian Semua Pajak. Menurutnya penyelesaian sengketa pajak lebih mudah dahulu ketimbang saat ini. “BPSP itu kepanjangannya Badan Penyelesaian Semua Pajak,” kelakarnya. “Karena dulu hanya dengan membayar sejumlah uang, penyelidikan pajak tidak akan berlanjut ke proses selanjutnya.” Akhirnya pada tahun 2002, dibentuklah pengadilan pajak menggantikan BPSP sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 2002. Secara umum, tugas dan wewenangnya hampir sama. Namun dari segi teknis mengalami perubahan
Dua puluh empat tahun berselang, MPP menjadi institusi yang mengalami pelemahan landasan yuridis dengan adanya pembaharuan undangundang perpajakan yang dikenal dengan nama Tax Reform.
“Kalau ruang lingkup tugasnya sama, cuma ya memang ada perbedaan. Misal, sebelumnya majelis hakim ada satu aja. Bandingkan dengan sekarang ada tujuh belas majelis hakim,” jelas Jeffry.
Salah satu produk Tax Reform adalah Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang hanya mencantumkan MPP di bagian penjelas.
[Euis K./Milki I./ Tendi A.]
Berbekal perangkat hukum Undang Undang Nomor 17 Tahun 1997, eksistensi institusi peradilan pajak disempurnakan kembali tupoksi dan kedudukannya dengan berubah wujud menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Badan ini mempunyai kewenangan yang lebih luas dan dimaksudkan menjadi pengganti MPP dan penguatan lembaga yang menangani masalah sengketa perpajakan. Selain itu, BPSP juga memutus hal yang berkaitan dengan kepabeanan dan cukai.
34
Majalah Civitas | Juli 2012
Liputan Khusus
Liputan Khusus
Dualisme Pertanggungjawaban
Pengadilan Pajak Majalah Majalah Civitas Civitas || Juli Juli 2012 2012
35 35
Liputan Khusus Hanya ada empat badan peradilan yang diakui di Indonesia; yakni peradilan umum, tata usaha negara, militer, dan agama. Lalu, dimana posisi pengadilan pajak?
R
itme kerja siang itu sama seperti kantor lain berlabel keuangan: sibuk. Orangorang berkemeja rapi lalu-lalang mengejar jam sidang yang akan diketuk palunya tanda dimulai. Mereka menenteng koper-koper kecil keluar masuk ruangan majelis. Isinya berkas– berkas pengaduan dan penguat bukti atas sengketa pajak yang dipermasalahkan. Mereka adalah Wajib Pajak (WP) yang mengadukan banding atau gugatan. Tak kalah, fiskus pihak tergugat tampak siap dengan berkas setumpuk dalam koper mulai mengisi kursi tergugat di ruang sidang. Begitulah pemandangan yang Civitas temui saat berkunjung ke satu-satunya tempat pengaduan sengketa pajak se-Indonesia, di Gedung Sutikno Slamet di komplek Kementerian Keuangan, Jalan Dr. Wahidin Raya No. 1, Jakarta Pusat. Di gedung yang berlantai dua puluh ini, lantai 9 dan 10 adalah tempat sidang pengadilan pajak dengan tujuh belas majelis. Lima belas majelis di lantai 9 menangani kasus perpajakan, dua sisanya di lantai 10 menangani kasus kepabeanan dan cukai. Dengan ruangan sejumlah itu, masuk akal kalau lantai 9 hanya memberikan tempat sidang yang tak lebih luas dari ruang kuliah untuk tiap-tiap ruang majelis. Ruang tersebut relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan pengadilan umum yang bisa menampung puluhan orang untuk menyaksikan jalannya persidangan. Jangankan puluhan, di bagian belakang hanya tersedia delapan bangku untuk “penonton”.
36
Majalah Civitas | Juli 2012
Hampir mirip dengan pengadilan umum, di tiap majelis terdapat satu hakim ketua, dua hakim pendamping, dua panitera, dan empat pembantu panitera. Mereka adalah para sarjana berlatar belakang hukum dan juga pensiunan pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang terbilang senior dalam urusan perpajakan. “Harus pensiun dulu jadi PNS baru bisa ikut tes menjadi hakim pengadilan pajak, itupun harus lulus. Jika masih berstatus sebagai pegawai, ada empat tes yang harus dijalani calon hakim pengadilan pajak. Tes IQ, tes kesehatan, penyusunan makalah, dan wawancara dengan hakim agung,” kata Jeffry Wagiu, Kepala Bagian Humas Sekretariat Pengadilan Pajak saat ditemui di ruang kerjanya. Jeffry menerangkan sering kali terjadi bongkarpasang formasi untuk menggantikan posisi hakim yang kosong karena pensiun. “Bahkan, walaupun sudah mendapat amunisi tambahan dua belas hakim baru.” Menjadi satu-satunya pengadilan yang mengurus masalah sengketa pajak memiliki konsekuensi tersendiri: ratusan kasus yang menumpuk. Angka pengaduan per tahunnya dapat mencapai puluhan sampai ratusan, baik dari Wajib Pajak Orang Pribadi
Liputan Khusus maupun Wajib Pajak Badan seluruh Indonesia. Alhasil, antrean persidangan bisa sampai berbulan– bulan. Tak pelak sehari bisa ratusan kasus yang harus diselesaikan dalam majelis sidang. Seringnya, proses persidangan berlarut–larut. Wajib Pajak harus sering datang dan kembali dari daerah ke Jakarta untuk memenuhi jadwal sidang, agar kasusnya cepat mencapai titik temu keadilan. Berangkat dari permasalahan itu, untuk memudahkan Wajib Pajak dalam hal penyelesaian sengketa pajak di daerah, pengadilan pajak berinisiatif untuk mengadakan percobaan
“... Lemahnya pengawasan akan menjadikan pengadilan pajak berpotensi diisi oleh sejumlah orang yang terlibat praktik mafia hukum.” pengadilan pajak baru di Yogya pada awal Juli ini. Namun, statusnya bukanlah cabang, sebab yang disediakan hanyalah tempat persidangan, sementara hakim didatangkan dari Jakarta. Kedudukan pengadilan pajak sendiri berada di wilayah abu-abu. Sebab, Indonesia hanya mengenal empat jenis peradilan seperti yang tersurat dalam Undang – Undang Dasar 1945, yakni peradilan umum, tata usaha negara, militer, dan agama. Mantan Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa, sebagaimana dikutip dari media online www.politikindonesia.com, menyatakan bahwa pengawasan yang dilakukan Mahkamah Agung tidak bisa dilakukan pada pengadilan pajak.
Mahkamah Agung dapat mengawasi pengadilan pajak baik secara teknis maupun administratif, pengadilan pajak harus masuk ke dalam salah satu lingkungan dari empat jenis peradilan di bawah Mahkamah Agung –dan untuk itu perlu dilakukan perubahan regulasi pengadilan pajak. Selain Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud M.D. juga berpendapat senada. Pada prinsipnya, ia menyatakan bahwa perlu dilakukan pengkajian mendalam agar bisa tercipta suatu sistem atau mekanisme yang efektif dalam mengawasi pengadilan pajak, Sebab, lemahnya pengawasan akan menjadikan pengadilan pajak berpotensi diisi oleh sejumlah orang yang terlibat praktik mafia hukum. Jeffry juga mengakui bahwa ada dualisme pertanggungjawaban di pengadilan pajak. “Kalau majelis (hakim) itu menurut Keppres, pengawasannya di bawah Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, misalnya untuk mekanisme seleksi hakim. Kalau sekretariatnya, di bawah Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Jadi beda jalurnya.” [Euis K./Milki I./Tendi A.]
Walaupun secara hukum pengadilan pajak berada di bawah Mahkamah Agung, segala urusan administrasinya ada di kementerian keuangan. Oleh karenanya menurut Harifin A. Tumpa, agar
Majalah Civitas | Juli 2012
37
Obrolan Bengkel
Indah pada Waktunya
Oleh: Nuris Dian Syah*
T
erkadang melakukan kilas balik masa lalu menjadi hiburan tersendiri. Kisah sedih, bahagia, unik, dan berbagai macam kisah lainnya mewarnai kehidupan kita. Ingatan tentang masa lalu juga menjadi pembuktian bahwa segala angan, harapan, cita-cita, mimpi –apapun namanya-- yang dahulu sempat terbersit di pikiran, telah terjawab di masa sekarang. Setiap individu memiliki beragam angan dalam hidupnya. Dan tentunya masing-masing akan mengusahakan agar apa yang diangankan dapat terwujud. Dalam hidup, pastilah akan melalui proses kehidupan mulai masa kanak-kanak hingga dewasa. Dalam tiap masa, ada cerita berbeda tentang harapan kita. Ketika berada dalam masa kanak-kanak, kita belum terlalu memikirkan tentang harapan di masa depan. Pola pikir tentang kehidupan belum terbuka lebar di masa itu. Coba saja tanya anak-anak di sekitar kita, ketika ditanyai tentang harapan, mereka bingung akan menjawab apa karena memang wawasan mereka masih terbatas. Bahkan, anak usia sekolah dasar terkadang bingung saat ditanyai cita-cita. Sama halnya dengan saya ketika masa itu, ketika ditanyai tentang cita-cita, yang bisa saya katakan adalah ingin menjadi orang yang berguna bagi keluarga, nusa, dan bangsa. Padahal jawaban tersebut hanyalah alibi saya untuk menutupi kebingungan saya untuk menentukan cita-cita yang spesifik.
38
Majalah Civitas | Juli 2012
Saat beranjak remaja, pola pikir akan mulai terbuka. Mulailah muncul keinginan-keinginan yang ingin dicapai di masa depan. Dan ketika memasuki usia dewasa, pola pikir semakin matang dan kompleks sehingga memicu timbulnya harapan yang semakin beragam. Walaupun demikian, ada sebagian yang justru tak acuh terhadap mimpi yang pernah dirajutnya. Tidak sedikit orang yang menyesal karena telah mengabaikan masa lalu, yang seharusnya dipergunakan sebagai batu loncatan untuk meraih keberhasilan tetapi justru menghabiskannya dengan bermain-main. Akan tetapi, ada pula orang yang mampu memegang teguh prinsip hidupnya, konsisten mengejar angannya hingga tercapailah harapannya di masa kini. Percaya ataupun tidak, semua yang kita peroleh saat ini merupakan hasil perbuatan yang kita lakukan di masa lalu –perbuatan sekecil apapun itu. Ketika membicarakan tentang harapan, tentu ada sebagian yang tercapai dan sebagian lainnya tidak tercapai. Hal ini sangat tergantung pada kemampuan dalam memanfaatkan waktu yang kita miliki. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama yaitu 24 jam per hari untuk mewujudkan angan dan harapan masing-masing. Jika tidak mampu memanfaatkannya dengan baik maka waktu akan terbuang sia-sia. Seperti yang diungkapkan Thomas Edison, “Waktu adalah satusatunya modal yang dimiliki oleh manusia dan ia
Obrolan Bengkel tidak boleh sampai kehilangan waktu.” Dengan modal waktu itulah kita mampu meraih angan bahkan melebihi apa yang kita rencanakan. Dengan melakukan kilas balik masa lalu, kita mampu mengevaluasi diri terhadap angan kita di masa lampau. Apa yang pernah kita pikirkan dahulu, kini terkuak semua dan menjadi sebuah kenyataan hidup yang kita peroleh sekarang.
“Waktu adalah satu-satunya modal yang dimiliki oleh manusia dan ia tidak boleh sampai kehilangan waktu.”
Saya pun menjadi teringat akan angan-angan tiga tahun lalu. Saat itu saya sangat berharap untuk dapat lolos dalam USM STAN, muncul pula dalam pikiran saya tentang khayalan nanti ketika diterima di STAN mulai dari kehidupan perkuliahan kampus STAN, persahabatan dengan teman yang samasama merantau, hingga membayangkan tentang segala kesibukan sebagai mahasiswa STAN. Dahulu itu semua hanyalah angan-angan seorang siswa yang baru lulus SMA. Kini semua ini terjawab dan menjadi sebuah fakta. Ketika resmi menjadi mahasiswa STAN, saya pun menikmati ritme kehidupan di Kampus ini. Sebagian yang terjadi sesuai bayangan saya dahulu, dan sebagian lagi keliru. Memang benar bahwa kita tidak akan pernah tahu sebelum kita sendiri yang menjalani. Jika angan masa lalu terbukti di masa kini, maka bagaimana dengan angan masa kini? Ya, akan terjawab di masa datang. Saya sebagai mahasiswa tingkat tiga, mulai memiliki angan-angan tentang bagaimana kehidupan nantinya setelah lulus STAN, misalnya tentang penempatan kerja. Dua atau tiga tahun yang akan datang, ketika saya membaca ulang tulisan ini, mungkin saya sudah berada di suatu tempat yang sesuai dengan yang saya angankan –atau malah tidak sesuai. Semuanya hanya dapat dijawab oleh waktu. Semoga harapan-harapan yang terlambung dapat terjawab indah pada waktunya. * Penulis adalah Pemimpin Perusahaan Media Center STAN 2011/2012
Majalah Civitas | Juli 2012
39
Liputan Khusus
Ajib: “Saya Enggak Akan Jadi Miskin dengan Tidak Bekerja di DJP.”
N
ama Ajib Hamdani, pemilik Diamond Grup –Diamond Futsal, Diamond Cafe, Diamond Gym, dan Diamond Badminton—, mendadak terkenal. Tuduhan korupsi atas kepemilikan rekening senilai 17 miliar rupiah dilayangkan kepadanya. Namun, ia meyakinkan bahwa tuduhan tersebut tidak kuat bukti. “Saya dibilang punya rekening gendut, punya tabungan 17 miliar. Mereka tidak pernah
40
Majalah Civitas | Juli 2012
mencantumkan 17 miliar itu dari mana,” sanggah Ajib saat wawancara dengan Civitas di Plasa Mahasiswa Selasa, 29 Mei lalu. Tak hanya soal rekening, Ajib juga dituding melakukan kongkalikong penyalahgunaan wewenang atas penilaian individu perusahaan. Diduga Ajib memalsukan data tanah dengan cara memecah sertifikat tanah bangunan di Kelapa
Liputan Khusus Gading menjadi lima buah. Namun, hanya satu yang dilaporkan sehingga pajak yang semestinya diterima negara berkurang. “Waktu itu laporannya ada tiga: pertama rekening gendut –money laundring, yang kedua Ajib memulai banyak bisnis dengan harta yang tidak benar, yang ketiga menurunkan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak –red.) PBB,” kata Ajib yang datang dengan Freed Hitam miliknya.
Dua tahun setelah penempatan ulang sebagai pelaksana di Kantor Pelayanan Pajak Kelapa Gading, 18 Agustus 2009, ia mengajukan permohonan pengunduran dirinya sebagai PNS. Alasannya, bisnisnya sedang tumbuh dan butuh perhatian khusus. “Saya ingin men-develop bisnis dengan lebih cepat, sehingga saya memutuskan untuk memilih itu di tahun 2009.”
Dalam blog ajib. diamondgroup. co.id, ia menjelaskan bahwa harta miliknya bukan hasil korupsi. Harta yang sering disebut-sebut media sebagai buah korupsi itu bukanlah hasil bekerja sebagai PNS, melainkan hasil usaha bisnis yang ia rintis.
Niat Ajib untuk keluar dari kemenkeu tampaknya sudah begitu kuat. Ikatan dinas yang masih tersisa dua tahun lagi ia pangkas meski harus membayar denda sebagai kompensasinya. Kata Ajib, semua syarat formal pengunduran diri telah ia lengkapi. Namun sampai sekarang, permohonan Ajib belum dikabulkan kementerian keuangan karena tersandung kasus penyelewengan wewenang yang ditujukan padanya. “Surat saya sudah lengkap tahun 2009, saya sudah bayar ganti rugi ke negara, dan dokumennya lengkap,” tegas Ajib. Ia juga sempat melontarkan tantangan, “Uji saja siapa yang salah. Saya yakin saya yang betul.”
“Di STAN ada nggak yang nyontek? Mungkin ada. Tapi hanya satu dua orang di antara seribu orang kan?”
Menurutnya, masalah yang menyudutkannya sekarang adalah buntut dari penolakannya memberi ‘setoran uang’ kepada rekan sesama pegawai pajak. Namun, Ajib enggan menyebut nama rekan tersebut. Sekarang, Ajib masih harus berurusan dengan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia karena kasusnya masih ada pada tahap penyelidikan yang berlarutlarut. *** Ajib adalah satu dari alumni STAN yang sempat jadi sorotan media gara–gara kasus rekening dengan jumlah tak masuk akal untuk derajat Pegawai Negeri Sipil golongan III/A. Ia resmi menjadi mahasiswa STAN jurusan Penilai/PBB pada tahun 1999 dan lulus pada tahun 2002. Kemudian pada 2004, Ajib menjadi pegawai di Kantor Pelayanan PBB Jakarta Barat Dua. Ia juga sempat mendapat tugas belajar dengan mengambil jurusan Ekonomi spesialisasi Penilai Properti di UNDIP pada 2005.
*** Mengenai pandangan negatif masyarakat terhadap institusi pajak, Ajib mengiyakan kalau itu adalah hasil dari ulah segelintir oknum sehingga menutup citra baik yang dibangun petugas pajak lainnya yang benar–benar berintegritas. “Masalahnya, kadangkadang yang kurang bagus ini menonjol, dan mereka punya jaringan. Itu yang repot,” tutur Ajib. Keberadaan mafia, menurut Ajib, memang ada. “Jadi kalau ditanya ada nggak, saya nggak peduli. Faktanya memang ada. Di STAN ada nggak yang nyontek? Mungkin ada. Tapi hanya satu dua orang di antara seribu orang kan? Jadi bukan STAN-nya yang
Majalah Civitas | Juli 2012
41
Liputan Khusus jelek, memang dasar orangnya yang jelek.” Selama memegang urusan PBB, Ajib mengaku sudah bekerja profesional. Terbukti dengan pungutan pajak yang dipegangnya tembus 100%. “Saya masuk 2007-2008, saya pegang PBB, itu penerimaanya 140%. Terbaik kedua di Jakarta Utara. Karena saya kerja profesional,” kata Ajib bangga. Dalam pengalamannya menjadi tim penilai individu banyak perusahaan, Ajib juga tidak memungkiri kemungkinan membelokkan pajak negara dengan gampang. “Saya punya banyak kesempatan untuk melakukan banyak hal yang tidak bisa Anda lakukan. Bisa saja saya tulis 100%. 40%-nya kemana? Iya. Orang yang bersentuhan dengan WP berpotensi membelokkan sesuatu. Saya keluar saja, saya nggak akan jadi miskin dengan tidak bekerja di DJP.” Pajak sejatinya merupakan uang yang dipercayakan publik untuk keperluan negara dan warga negaranya. Kepercayaan yang dipikul para pengumpulnya malah sering dilempar sia-sia. Menyalahkan sistem adalah kambing hitam yang dari dulu jadi alasan dibalik tirai aktor pencuri uang yang sebenarnya. Tinggal bagaimana orang - orang yang masih bisa diyakinkan baik yang memikul roda keuangan negeri. “Keadaan sangat mungkin berubah. Saya tetap optimis kok lihat DJP. Karena pajaklah nadinya pemerintah yang harus kita perbaiki,” tutup Ajib sebelum bergegas menemui klien bisnisnya.
[Euis K./Milki I./Tendi A.]
42
Majalah Civitas | Juli 2012
Wawancara
Konsep Freemium Adhitia Sofyan “I had everything I need, so free music for all, nothing to lose.”
Majalah Civitas | Juli 2012
43
Wawancara
D
i saat musisi lain ribut soal pembajakan, Adhitia Sofyan justru mengusung konsep freemium –mempersilakan musiknya diunduh tanpa bayar. Melalui konsep tersebut, ia pernah diundang tampil di Kobe, Jepang oleh sebuah label independen yang menemukannya di internet. Selain itu, lagunya yang bertajuk Adelaide Sky menjadi salah satu soundtrack film Kambing Jantan. Bagaimana kisah perjalanan musik Adhitia? Mengapa ia membagikan musiknya secara gratis? Berikut wawancara Civitas dengan Adhitia Sofyan. Awal mula di dunia musik?
sekarang jadi creative director. Apa sejak awal memang tidak ada tujuan komersil? Enggak juga, saya manggung dibayar. Kalo nggak dibayar ya nggak mau. Hehe. Mungkin anggapan nggak komersil itu dari album yang digratiskan. Aku tidak melihat seperti musisi pada umumnya, karena sudah kerja ya, sudah 10 tahun kerja di periklanan. Jadi, pas bermusik memang finansial udah mapan ya istilahnya, nggak ada kebutuhan untuk hidup dari musik.
Dari tahun berapa?
Jadi lagu-lagu disebarkan gratis, itu karena memang anak-anak zaman sekarang kan siapa sih yang beli CD? Okelah kita menerima kalo masih ada yang beli CD, mungkin teman-teman kita yang agak lebih tua. Tapi kita juga tidak bisa menolak kebiasaan bahwa anak sekarang cari musik di internet.
Awal 2008. Habis itu job-job mulai datang.
Tapi apa memang nggak dijual?
Pertama kali rekaman?
Ada (yang dijual). Jadi ada yang versi download, juga ada versi CD-nya, kalau mau beli ya silakan. Jadi komersil juga.
Kirim lagu di Prambors radio, lalu lagu Adelaide Sky sempat jadi nomor 1 di chart sana. Sudah. Awalnya dari situ, orang-orang mulai tahu Adhitia Sofyan.
Pertama kali tahun 2009, rilis album Quiet Down tapi versi internet, jadi gratis. Fisiknya baru ada setahun kemudian. Genrenya? Akustik slow Show paling berkesan? Sepuluh hari di Jepang, dalam rangka promosi album. Kegiatan lain? Ngantor, kita punya kantor digital advertising di daerah Mampang. Latar belakang pendidikan? Desain komunikasi, dulu belajar desain di Australia. Mulai bekerja jadi graphic desainer, art director,
44
Majalah Civitas | Juli 2012
Beberapa lagu yang saya download itu ada surprise song. Bisa diceritain nggak, itu apa? Itu awalnya waktu ada launching bukunya ownernya Es Teler 77. Judul bukunya Disini Senang Disana Senang. Bukunya bercerita tentang kesuksesan bapaknya, pendiri pertama Es Teler 77. Karena judul bukunya Disini Senang Disana Senang, jadi waktu itu diminta dadakan buat nyanyi lagu Disini Senang Disana Senang. Nah, lagu itu aku rekam di rumah. Cuma lagunya aku namain surprise song 1. Jadi orang nggak tau itu lagu apa, begitu didenger eh... (pendengar surprise –red.) Nah dari situ keterusan, kebanyakan sih lagu-lagu daerah sama lagu anakanak. Jadi itu awal mulanya. Rencana musik ke depan? Susah ya kalo kita merencanakannya. Yang penting
Wawancara kita bisa terus berkarya, dari karya itu selalu ada tawaran dan petualangan baru. Jadi nggak bisa direncanakan.
di-improve sedikit, dibuat cerita.
Nggak mau menyesuaikan selera pasar?
Nggak ada yang menginspirasi, karena saya main gitar udah mulai 14 tahun. Jadi jalan aja musiknya.
Nggak. Nanti jadi sama dong kalo gitu. Sama kayak acara musik pagi-pagi di teve. Biar ada warnanya lah, nggak perlu semuanya sama.
Musisi yang menginspirasi?
Kalau yang difavoritkan? Iron and Wine, Glenn Antar, City and Colour.
Musik menurut Mas Adhit sendiri? Musik itu pelarian, ruang galau. Kalau semua orang sudah tidur gitu, ada seperti ruang istirahat. Pelarian, pelampiasan waktu sendiri, kamar pribadi gitulah kira-kira.
[Nadia Rizqi C./ Novia F.]
Konsep dari awal memang solo sambil main gitar? Iya. Memang dari awal aku nggak punya band, lalu ehm malas keluar rumah. Di kamar ada gitar akustik dan segala macam. Jadi cuman butuh laptop dan beberapa alat, lalu bisa mulai merekam. Jadi ya buat iseng aja nggak ada tujuannya. Ternyata dengan versi simpel itu orang mau dengerin. Yasudah, sampai sekarang nggak perlu ada band. Ada sih pemain keyboard, tapi intinya bisa sendiri. Nanti mau tambah keyboard, mau tambah bass, fleksibel sih. Nulis lagu sendiri? Ya. Ispirasi dari mana? Inspirasinya dari otak aja, jadi otak tuh kalau dilihat ada departemen yang khusus bikin musik. Dan sebagian tuh kayak ada memori kejadian. Gue sebagai manusia hari ini melakukan apa gitu, ketemu orang atau apa. Jadi kayak ada dua tempat gitu. Jadi dua ini brainstorming gitu. Kayak eh gue punya nyanyian ini nih kira-kira ada kejadian apa ya yang bisa gue pinjam, gue comot gitu. Jadi, nanti
Majalah Civitas | Juli 2012
45
Obrolan Bengkel
Nama Bukan
Mainan
Gara gara label setitik, rusak wibawa selamanya.
“
Keong!”
Saya bingung, siapa yang dimaksud paman saat dia meneriakkan kata ‘Keong’ ketika kami lewat depan rumah seorang karib lamanya. Paman cuma nyengir meski sudah saya tanya dua kali: “Siapa ‘Keong’?” Tentu paman tidak berseru pada binatang, kan? Kata paman, tadi itu Keong, rekannya di pelatihan militer saat lajang dulu. Cukup lama saya mencerna perkataan paman; mencoba menghubungkan keong dengan pelatihan militer. Paman pun menjelaskan, ‘Keong’ adalah panggilan akrab yang diberikan teman-teman satu kompi. Panggilan akrab? Ketika suatu kebiasaan atau peristiwa mengingatkan kita dengan pribadi seseorang, hal tersebut bisa melekat menjadi julukan. Misalnya keong tadi. Paman bilang, temannya itu biasa menyebut kata ‘keong’ bila sedang marah. Lantas, muncul kesepakatan bersama di antara temantemannya untuk memanggilnya dengan julukan ‘Keong’. Satu hal yang saya ingat pada hari kepergian Keong. “Pak, Keong meninggal,” kata sepupu saya dengan polosnya kepada paman –yang tak lain adalah ayahnya. ***
46
Majalah Civitas | Juli 2012
Oleh: Tendi Aristo*
Melawan arus memang tidak gampang. Misalnya kisah Keong. Mungkin ia terima saja mendapat julukan itu, atau mungkin juga tidak. Tapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa ketika ada yang memanggilnya Keong. Bahkan sampai mati, ia tetap dipanggil Keong. Saya mengira-ngira, mungkin awalnya ia tidak terima dengan julukan tersebut namun kemudian ia terbiasa (baca: terpaksa merasa biasa). Toh, ia mau protes kemana? Kepada temanteman yang telanjur mengenalnya sebagai ‘Keong’? Julukannya kadung terkenal. Atas alasan keakraban, nama bisa dijadikan mainan. Masihkah bisa sebut–sebut nama adalah doa, kalau memanggil dengan nama binatang, mengganti nama jadi julukan, sudah jadi kebiasaan? Demi kedekatan, mungkin, lebih demi kesenangan. Karena apa yang dilihat adalah apa yang diingat orang, julukan yang sering muncul seringkali berkaitan dengan ciri fisik yang paling mencuri perhatian. “Eh si Pesek tuh nyariin lu dari kemarin, mau nagih hutang katanya!” Atau yang paling sering, “Ya ampun! Gue lupa ada janji sama si Gendut! Gue cabut dulu ya!” Walau terpaksa maklum kalau fisik sudah mutlak bentuknya. Walau harus terpaksa ‘iya’ saat dipanggil Pesek, terpaksa menyahut waktu dipanggil Gendut. Sayangnya kalau ini pun harus
Obrolan Bengkel Di lain kesempatan, saya juga pernah berniat memberi julukan pada salah satu teman saya. Namun ia bersikeras tidak mau. Yang saya tangkap dari penolakannya: gara–gara label setitik, rusak wibawa selamanya. Dikenangnya lama. “Saya tak mau dikenang sampai tua nanti kita bertemu, kalian mengenal saya dengan label ini. Hanya gara-gara hal yang saya lakukan saat ini –yang detik ini, baru saya kerjakan. Yang belum pernah saya lakukan.”
dimaklumi. Kalau ada kesenangan yang sengaja dipaksa dari menjuluki seseorang, seperti menempel paksa plat tertentu di jidatnya. Tak ada yang suka namanya ditulis salah. Sertifikat level internasional pun tidak sah kalau ‘n’ terselip jadi ‘m’ pada nama yang punya. Ditulis salah saja bisa jadi salah kaprah, apalagi dipanggil dengan label yang disematkan suka-suka.
Gara–gara perkataan teman saya ini, kami urung bermain julukan–julukan. Saya pun terkenang malam keakraban kelas dulu. Kala itu saya mau menjuluki teman saya, Feri Gigolo.
* Penulis adalah Sekretaris Redaktur Pelaksana Majalah Media Center STAN 2011/2012
Kalau bukan kesenangan, apalah yang memotivasi seseorang menamai dengan cara yang lain, cara yang main-main. Lagipula, susah pula bila dituntut menebak apa motivasi dari menamai seseorang seperti mainan. Kalau nama adalah identitas. Masih maukah menamai dengan label buruk –yang seringkali merugikan? Misalnya, pernyataan yang tidak jarang dilontarkan pada kita: “Oh, kamu kuliah di STAN ya? STAN kampusnya Gayus itu kan?” Label yang tidak menyenangkan. *** Usulan saya ditolak. Kebetulan saya pernah mengusulkan award untuk malam keakraban kelas dengan nama–nama yang kurang ajar. Maksud saya cuma memberi angin bahwa ini akan lucu. Buat semalam saja.
Majalah Civitas | Juli 2012
47
Jalan-Jalan
Jalan-Jalan
Menyelami Si Perut Seksi,
Jatijajar
48
Majalah Civitas | Juli 2012
Jalan-Jalan
M
atahari pertama menembus kisi–kisi jendela kereta api Senen menuju Gombong. Perjalanan 8 jam berakhir di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Ramai para tukang becak merayu penumpang yang masih layu, bekas begadang di jalan semalam untuk naik ke armadanya. Pagi sekali kami menuju Desa Sedayu, ada rumah seorang teman, beruntung sekali. Free penginapan, kendaraan, dan tentunya guide.
Arya Kamandaka galau. Usahanya melengkapi syarat sebagai penerus kerajaan Pajajaran nyaris buntu. Ia mesti beristri, maunya, istrinya itu mirip dengan almarhum ibunya. Pengembaraannya berhenti Kadipaten Pasir Luhur, Putri seorang patih di sana sangat pas dengan Denyut pertama Kebumen pagi itu adalah pemandangan yang ia cari. Dewi Ciptoroso namanya. embun tebal yang dikoyak anak – anak sekolah Ketahuan berduaan dengan Dewi, Arya Kamandaka dikejar – kejar prajurit kerajaan. Dalam pelariannya ia menemukan sebuah gua lalu ia berhenti dan bertapa, mencari petunjuk. Dalam pertapaannya, ia akan berhasil menikahi Dewi Ciptoroso dengan jalan ia harus menjadi lutung. Lutung Kasarung.
bersepeda ontel. Saya tarik nafas panjang sepanjang jalan, aroma sawah sehabis hujan. Suasana apik dan tentram, jalan aspal mulus sedikit kendaraan, barisan pohon kiri kanan tanpa putus. Saya pun mulai jatuh cinta dan kerasan.
Naik motor punya teman, kami merajai jalanan menuju gua batu kapur, Gua Jatijajar. Gampang saja untuk mencapai gua alam yang terletak di desa Jatijajar, Kecamatan Ayah ini. Cuma naik bis umum jurusan Gombong – Jatijajar, naik dari terminal Gombong, sekitar 21 Km selatan Gombong. Tapi naik kendaraan pribadi
Majalah Civitas | Juli 2012
49
Jalan-Jalan seperti motor sepertinya lebih praktis, lebih bebas, suasana alami desa lebih puas dinikmati. Dengan 5ribu rupiah per orang, kami bebas masuk ke salah satu ikon kawasan wisata Bhumi Tirta Prajamukti ini. Tak terlalu ramai pengunjung saat itu. Mungkin karena memang bukan musimnya liburan. Sepanjang menuju mulut gua, beberapa bocah sudah siap untuk menangkap koin yang dilempar para pengunjung ke pinggir kolam yang mengalir air jernih. Mereka adalah anak - anak asli penduduk di sekitar gua Jatijajar. Sesaat kami lemparkan koin ke dalam kolam. Hap! Sekejap mereka menjulurkan tangan ke permukaan air, koin itu sudah lengket ditangan mereka. Beberapa lainnya asyik menabuh – nabuh air kolam hingga menimbulkan irama khas, mirip gamelan. Wow! Lepas dari anak – anak tadi, kami lanjut menaiki beberapa anak tangga menuju gua. Hawa dingin menyentuh hidung saya saat mulai memasuki mulutnya. Panorama mengesankan langsung hidup akibat cahaya dari lampu – lampu berwarna menarik sekaligus menaikkan kemegahan gua. Apalagi 32 patung yang membentuk delapan diorama yang mewakili legenda Lutung Kasarung di atas tadi, mendudukkan saya menikmati cukup lama cerita yang keluar dari juru kunci gua. Bukan cuma cahaya lampu. Langit – langit gua ada yang jebol sebagai ventilasi alami, dan Voila! cahaya yang menyelinap masuk persis sorotan cahaya dari surga. Yang paling khas dari hampir semua gua, stalagtit dan stalagmit gua berlomba mencapai dasar atau menyentuh langit gua. Uniknya, beberapa stalagtit dan stalagmit bertemu sehingga membentuk tiang kapur. Dan lagi lampu warna warni akan mengesankan penikmatnya, langsung jepret. Gua Jatijajar punya panjang 250 meter mulai dari
50
Majalah Civitas | Juli 2012
mulut hingga pintu keluar, dengan lebar gua 15 meter serta tinggi rata-rata 12 meter. Sedangkan ketebalan langit-langit mencapai kisaran 10 meter. Trek yang cukup panjang, apalagi gua ini memiliki trek berkelok dan lantai gua yang makin menurun. Dijamin trek yang anda lalui tak kalah seru dengan petualangan ala Indiana Jones. Mitos Sungai Tanah Purbakala Gua Jatijajar diyakini sebagai gua purbakala. Beberapa penelitian bahkan menemukan fosil - fosil hewan di dinding gua kapur ini. Belum lagi dari pertumbuhan stalagtit stalagmit yang diperkirakan
Jalan-Jalan sudah tumbuh selama ribuan tahun. Nah, menuruni lagi anak tangga, di lantai bawah gua anda akan menemukan sungai bawah tanah masih deras mengalir sampai sekarang. Masih alami menembus lubang – lubang sempit dinding gua. Penduduk sekitar menyebutnya sendang (sungai). Meski sebenarnya ada 7 sendang, namun yang dapat dijangkau dengan mudah hanyalah empat sendang yaitu Sendang Puser Bumi, Sendang Jombor, Sendang Mawar, dan Sendang Kantil. Masyarakat sekitar percaya ada mitos di balik sendang – sendang ini. Konon air di Sendang Mawar diyakini berkhasiat awet muda. Lain lagi, Sendang Kantil yang dipercaya bisa mengabulkan permintaan bagi yang mandi atau sekadar mencuci muka dengan airnya. Sementara Sendang Puser Bumi dan Sendang Jombor dikeramatkan, harus seizin juru kunci dulu. Soal asal nama Jatijajar, ada yang meyakini nama Jatijajar diambil dari kata Pajajaran pada legenda Lutung Kasarung. Yang lain bilang, bahwa saat ditemukan pertama kali oleh petani bernama Jayamenawi pada 1802, Bupati Ampal yang
berkunjung melihat dua pokok jati tumbuh sejajar di tepi mulut gua. Jadilah nama Jatijajar dilekatkan sampai sekarang. Jangan lupa singgah ke pasar seni dan pusat jajanan oleh – oleh sebelum keluar lokasi wisata. Kios – kios di sini siap menyediakan suvenirnya untuk dibawa pulang –dengan membayar terlebih dulu. Ada kerajinan tangan seperti tas hingga hiasan rumah, dan tentunya lanthing, makanan khas Kebumen. Makanan dari singkong dengan bumbu khas ini bisa langsung Anda bungkus dengan 5ribu sampai 22ribu rupiah. Tergantung ukuran kemasan yang anda mau. Bagi yang mau menginap dengan suasana alami kawasan gua Jatijajar, ada beberapa penginapan dan rumah makan dengan harga terjangkau di seputaran kawasan wisata ini. Oh ya, jangan ambil apapun kecuali foto. Dan jangan tinggalkan apapun kecuali kenangan.
[Tendi Aristo]
Majalah Civitas | Juli 2012
51
Wawancara
Anies Baswedan:
“Mata uang yang bisa diterima dimanapun juga adalah karakter.”
Menjadi rektor termuda di Indonesia, Anies mampu melakukan beberapa hal revolusioner yang dianggap tidak lazim ada di dunia pendidikan swasta Indonesia. Hal tersebut di antaranya adalah memberikan beasiswa bagi ratusan mahasiswa berbakat yang kurang mampu dan mewajibkan mata kuliah antikorupsi.
52
Majalah Civitas | Juli 2012
Wawancara
L
ahir di Kuningan, Jawa Barat, pada 7 Mei 1969, Anies besar di keluarga pendidik. Doktor ilmu politik dari Northern Illinois University Amerika Serikat ini, sekarang tengah menjalankan tugasnya sebagai Rektor Universitas Paramadina. Anies dilantik menjadi rektor pada tahun 2007, ketika usianya baru 38 tahun.
orang supaya berkarakter. Nah, dari orangorang yang berkarakter itu, kita tambahkan ilmu pengetahuan, skill, tapi di akhir (yang terpenting) tetap karakter. Dan saya selalu mengatakan bahwa currency ‘mata uang’ yang bisa diterima dimanapun juga adalah karakter. Anda membawa karakter, (akan) laku dimana saja.
Pria yang masuk dalam daftar “100 Intelektual Publik Dunia” versi Majalah Foreign Policy ini juga menjadi penggagas gerakan Indonesia Mengajar, sebuah gerakan untuk mencerdaskan Indonesia dengan mengirimkan guru-guru terbaik ke seluruh pelosok Tanah Air. Dalam majalah yang dirilis pada April 2008 tersebut, Anies adalah satu-satunya orang Indonesia yang masuk di daftar, sejajar dengan nama-nama tokoh dunia lainnya seperti tokoh perdamaian, Noam Chomsky, dan para penerima penghargaan Nobel, seperti Shirin Ebadi, Al Gore, serta Muhammad Yunus. Dalam sebuah kesempatan, Reporter Media Center STAN berhasil mewawancarai Anies Baswedan mengenai pendidikan.
Bagaimana dengan urgensi Indeks Prestasi Mahasiswa?
Apa motivasi Bapak sehingga bisa melakukan suatu hal yang berpengaruh bagi perubahan Indonesia? Spiritnya begini, kami merasa bahwa memajukan bangsa ini adalah tanggung jawab bersama, dan kita yang penting, turun tangan. Karena pilihan kita memang hanya dua: turun tangan atau lipat tangan. Nah, saya memilih untuk turun tangan. Ketika turun tangan, saya sering mengajak, mari berpikir dengan pendekatan yang berbeda dalam menyelesaikan persoalan-persoalan lama. (Persoalan lama), kalau kita menggunakan pendekatan baru, Insya Allah akan bisa bikin terobosan-terobosan. Bagian terpenting dari pendidikan? Karakter. Akhlak. Itu yang fundamental. Kalau kita mau mendidik, (kita) mendidik orang-
IP tinggi itu baik dan tidak ada yang salah. Punyalah IP diatas syarat minimal untuk beasiswa, agar IP Anda tidak menjadi penghalang untuk mendapatkan beasiswa. Tapi kalau hanya IP saja maka yang didapat hanya panggilan wawancara—pasti dimana-mana Anda mudah diterima kalau IP tinggi. Tapi yang menentukan Anda berhasil di masa depan adalah karakter, leadership, communication skill. Dan itu didapatnya lewat mana? Dari aktivitas organisasi, pengembangan ilmu di luar kelas. Jadi saya sering bilang, IP tinggi itu baik. Tapi yang membawa Anda ke masa depan bukan hanya IP tapi justru leadership, karakter. Tapi jangan juga bilang IP nggak penting. IP itu penting tapi jangan fokusnya hanya di IP. Saya melihat anak yang IPnya sedikit diatas syarat beasiswa tapi aktivitasnya banyak, itu punya potensi berkembang jauh lebih besar daripada yang IP-nya sempurna tapi nggak beraktivitas. Apa pesan bagi mahasiswa STAN? Jaga stamina moral. Stamina moral ini harus dijaga dari sekarang. Dan bayangkan kerja maraton, Anda akan berada di tempat di jantung sebuah republik yang padat korupsi. Anda akan berada di jantungnya (keuangan), sekarang bergantung pada pilihan teman—teman semua disini untuk mengambil jalur yang mana. [Novia F./Rizki S.]
Majalah Civitas | Juli 2012
53
English Corner
Just Some Tips in Learning English
By: Wawan Hadinata*
I
used to think and ask why on earth people choose English as an international language. Since English is very difficult to learn. Ranging from the complexity of grammar to the difficulty in pronouncing (some words may twist your tongue to pronounce), not to mention the irregular verbs and so forth, if I keep going, I can come up with hundreds of lists of obstacles and difficulties in learning English. However, I am not going to tell you about all the problems in learning English. Instead, I want to tell you about how my point of view about English changed and how I realized that English is not that hard after all. There was a man -he was my lecturer - when I was a student of a university in Riau. I took his class for two semesters and I can say that taking his class is a turning point for me in learning English. He changed the whole mindset I used to have about English and he has a different method from any other English teacher or lecturer. People say sharing is caring, so, I’ll share some tips and
54
Majalah Civitas | Juli 2012
English Corner tricks in learning English that I got from him. Keep yourself motivated “You’ll never achieve anything in life without motivation,” he said. I couldn’t agree more, this statement is absolutely right. He told us to set a goal; a purpose in learning English. It’s something you want to achieve with your capability in English. For me, listening to his story about his experience when he was in Australia always gave me motivation. Actually, the story about how he got a scholarship to study in Australia didn’t really catch my attention. It’s already frustrating to study in Indonesia. I’m not sure if I can handle studying abroad with their disciplined culture. However, when he told us about how he got a lot of girlfriends there, it really boosted my spirit. I can imagine how awesome it would be if my girlfriend is European or American girl. I have always promised myself to learn English more and more since then. Maybe my case is not a good example, but what I’m trying to say is that you have to keep yourself motivated. Set your goal. Maybe you want to study abroad or travel around the world. Or maybe you want to speak in an international forum. If you have a goal, you’ll never give up until you reach your goal. Keep in touch with English Have you ever heard the Javanese proverb “witing tresno jalaran soko kulino”? It means, you love something because you get used to it. This proverb could be implemented in learning English. To master English, you have to like it first. To like it, you have to get used to it. To get used to it, you need to keep in touch with it every day. You like to listen to music? Listen to English songs, memorize the lyrics, and sing along every time you play the song. You like to watch movies? Watch it with
English subtitles, or without subtitles, if possible. You like to read comic books? Try to read the English version of your favorite comic books. If you stick with English every day, sooner or later you’ll fall in love with English. The English and Indonesian language has many similar words My lecturer once gave us an assignment to list the entire English vocabulary that is similar with the Indonesian vocabulary. At first, I thought it would be an easy assignment because I don’t think there are many similar words between the English and Indonesian language. However, while I wastrying to finish this task, I was surprised because I found a lot of similar words –hundreds, or even thousands. I even ran out of paper to write down all of those words I found. You can try it by yourself. Take a dictionary (if you have one) from your bookshelf and then take a piece of paper and a pen. In alphabetical order, write down every similar word. You might not believe what you’ll find. It will prove that in fact we already have the basic capital. We already know a lot of words. We are not in lack of vocabulary at all. Screw the grammar, just speak It is better to communicate badly than not communicate at all. You need to practice your English. One of the causes of our incapability in speaking in English is our lack of practice. We have been learning about grammar, structure, and so forth for more than ten consecutive years. However, we left all the stuff we’ve learnt in class. We never practice outside. From now on, you need to change. Screw the grammar and just speak. The point of communication is both parties understand each other so the information can be delivered well. It doesn’t even matter if you use the most awful and terrible English at all times.
Majalah Civitas | Juli 2012
55
English Corner Not ready to speak yet? Keep listening If you think you are not ready to speak yet, don’t push yourself too hard. If you force yourself to speak to your friend or maybe to a foreigner and some unexpected and inconvenient things happen, you will bevery embarrassed and you can be psychologically damaged. The trauma that you had from that experience will make you lose your confidence. You will stay away from English and you will hate English very much. Therefore, if you really think you are not ready to speak, don’t speak, but keep listening and keep in touch with English as I have told you before. Every time you hear or read or see something in English, your unconscious mind will save all those words or sentences in a memory of unlimited capacity: your brain. If you keep listening to words spoken in English and your unconscious mind keeps saving all that, someday you will feel that your head is full of words and sentences. When it reaches its limit, without you realizing it, you will open your mouth and one by one all those words and sentences will flow out of your mouth. When you open your mouth and begin to throw out all those words inside your head for the first time, that is the moment where you open the door of globalization, the door of the world.
*
56
The writer is Minister of Public Relation STAN English Club (SEC) 2011/2012
Majalah Civitas | Juli 2012
Ekonomi
Belajar dari China Sama–sama berangkat dari sebuah Negara bekas jajahan Jepang, China kini melesat jauh meninggalkan Indonesia. Lalu, apa saja pelajaran yang bisa diambil Indonesia untuk menemani China bergerak di arus ekonomi dunia?
Y
ang menarik dari negara berjuluk tirai bambu ini adalah fakta bahwa mereka masih berada dalam lingkar politik yang komunis di saat sistem ekonominya beranjak ke arah kapitalis. Adalah Deng Xiaoping, salah seorang pemimpin Partai Komunis China yang pada 1978 memperkenalkan konsep modernisasi masyarakat sosialis yang ditandai dengan merangkul kelompok yang berbeda, bukan meminggirkannya. Hingga pada tahun 1982 Deng menyimpulkan sebuah konsep sosisalisme baru, yakni sosialisme dengan watak China. “Kemiskinan bukan sosialisme, sosialisme justru melenyapkan kemiskinan,” ujar Deng. Saat itu, Deng telah melihat bahwa di AS, kekayaan sebagian orang tertentu ternyata membuat negara lebih makmur. Dan ia memulai sebuah negara sosialis baru; komunis di sisi politik, kapitalis di sisi ekonomi. Dalam kebijakan ekonomi, Deng melegalkan
kemajuan lebih dulu di sebagian bidang, pada sebagian orang. “Kalau standar hidup beberapa orang lebih maju dari sebagian lain, ia akan menjadi contoh yang berkesan bagi tetangganya, sehingga orang–orang di daerah itu dan unit–unit lain terdorong untuk belajar darinya,” demikian menurut Deng. Hal ini dibuktikan dengan pembangunan infrastruktur bagi kelancaran investasi yang difokuskan di daerah–daerah tertentu, dimana pemerintah menyediakan lokasi –lokasi khusus bagi investor. Ada Zona Pengembangan Ekonomi dan Teknologi Nasional (ETDZ) di sekitar 53 kota, Zona perdagangan Bebas (FTZ) yang tidak kurang dari 12 kota, Zona Pengembangan Industri Berteknologi Tinggi (HIDZ) di 53 kota, dan 14 kota yang dijadikan Zona Kerja sama Ekonomi (BECZ). Kemajuan lokomotif ekonomi di negara beraliran komunis seperti ini memberikan kontradiksi di
Majalah Civitas | Juli 2012
57
Ekonomi masyarakatnya. Saat sistem ekonomi kapitalis beranjak diterapkan, menggantikan sistem ekonomi sama rata sama rasa ala sosisalis, lahirlah lapisan masyarakat baru yang lebih kaya dan menikmati lebih besar porsi kemajuan ekonomi. Mereka inilah yang menjadi roda penggerak rotasi ekonomi yang sedang bangkit, terutama dari sektor swasta. Pemerintah bertugas mengamankan kepentingan mereka guna menjaga stabilitas laju ekonomi. Di sisi lain, tetap ada saja orang–orang yang tertinggal roda gerak ekonomi yang begitu cepat, sehingga hal ini memunculkan lapisan masyarakat miskin yang ‘jarak ekonomi’-nya jauh dari lapisan masyarakat kaya yang baru lahir. Dan tak jarang, masyarakat miskin inilah yang memunculkan unjuk rasa–unjuk rasa. Akan tetapi, atas nama stabilitas, pemerintah secara tegas membungkam unjuk rasa meskipun harus dengan kekerasan, sebagaimana yang dilakukan pemerintah China pada pristiwa Tiananmen tahun 1989. Maka, saat ditanya apakah China beraliran Komunis atau Kapitalis, Deng menjawab, “Tidak masalah apakah kucing itu berwarna hitam ataukah putih, selama dia bisa menangkap tikus, maka itu kucing yang baik”. Dengan ini, China menegaskan dirinya sebagai Negara yang tidak berbelit–belit dengan suatu
58
Majalah Civitas | Juli 2012
sistem politik dan kondisi perpolitikannya sendiri. Sehingga stabilitas yang terwujud dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk menjalankan program–program ekonominya. Ruang VIP bagi Investor dan Pengusaha Komitmen pemerintah dalam menjaga stabilitas di tengah masyarakat, menghasilkan kondisi yang lebih stabil bagi pelaksanaan program – program ekonomi pemerintah. Salah satunya dalam investasi, dimana pemerintah China mengeluarkan banyak kebijakan yang memanjakan investor.“China tidak peduli darimana datangnya investor, semuanya dilayani,” ujar Ron Zhang, pemilik Evervan group.“Bahkan jika perlu, nama Anda akan menjadi nama jalan yang ada di lokasi di mana pabrik Anda berdiri,” tambahnya. Ada sekitar 54 zona ekonomi dan teknologi tingkat nasional serta zona industri yang menikmati kebijakan khusus. Guangzhou misalnya, ibu kota dari provinsi Guangdong yang juga merupakan produsen terbesar dalam dunia industri di China ini menikmati setidaknya 23 pembebasan pungutan untuk pengusaha. Diantaranya pembebasan pungutan untuk pengelolaan jalan raya, pengelolaan limbah, izin khusus industri tertentu, penghijauan, penyimpanan barang–barang mudah
Ekonomi meledak dan lainnya. Selain menyediakan lokasi–lokasi khusus yang menarik minat investor dan pengusaha, China juga menerapkan konsep pelayanan satu atap dan kebijakan lain yang memudahkan investor asing menyalurkan dananya.
Serikat, dalam bukunya Selling China: Foreign Direct Investment during the Reform Era (Cambridge University Press, 2002), menyebutkan “…dengan bantuan kelompok diaspora (warga negara yang tersebar di banyak tempat –China menganut ius sanguinis), China telah memenangkan perlombaan untuk menjadi pabrik dunia.”
Warga di Diaspora
Potensi Indonesia
Salah satu yang menjadi tolok ukur kemajuan sebuah perekonomian adalah kemampuan memperoleh FDI (Foreign Direct Investment) yang dalam hal ini memberikan gambaran seberapa menarik negara tersebut di mata para investor dunia. Pertumbuhan yang impresif pada aktual Investasi Langsung Asing (FDI) China dimulai pada angka 600 juta dolar AS pada 1983. Dan mengalami kenaikan signifikan menjadi 40 miliar dolar AS di tahun 2000, dan naik hingga 116 miliar dolar AS pada Desember 2011 lalu.
Apa yang disisakan oleh Mao Zedong dari program revolusi kebudayaan dan lompatan jauh ke depan pada periode 1966 – 1976 tak lain hanya sebuah kenangan pahit. Saat China memulai ekonomi pasar di tahun 1979, yang ditandai dengan normalisasi hubungan dengan Amerika, negara ini seperti membangun kembali dari nol.
Dan dari 116 miliar dolar AS tersebut, Hong Kong menyumbang sebesar 77 miliar dolar AS, Taiwan 6,7 miliar dolar AS, Jepang 6,3 miliar dolar AS, dan Singapura 6,3 miliar dolar AS. Sementara sisanya bersumber dari Negara – Negara ASEAN dan Eropa serta Amerika. Semua ini angka pemerintah. Di titik ini, sulit menilai apakah investasi asing yang mengalir ke China itu memang bersumber dari ‘asing’. Karena, bisa jadi investasi itu bersumber dari keluarga warga keturunan China yang memainkan bisnis skala besar di Hongkong, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sebut saja orang-orang seperti Antoni Salim yang menggabungkan sahamnya di perusahaan manufacture TV dan Monitor teknologi Liquid Crystal Display (LCD) berskala dunia, TPV Technology Group. Yang jelas, sistem bisnis guanxi (koneksi) sangat memungkinkan masuknya investasi dari pebisnis keturunan China. Sebagaimana disampaikan oleh Yasheng Huang, pengajar Sloan School of Management Massasuchetts Institute of Technology, Amerika
Hingga pada tahun 1959-1961 China dilanda kelaparan hingga mewafatkan 14 juta orang. Era sebelum revolusi kebudayaan, yakni pada tahun–tahun 1950-an, sektor pertanian dimobilisasi, dan kepemilikan negara terhadap aset menjadi semakin kuat sehingga sektor swasta lumpuh. Penekanan difokuskan pada sektor teknologi modern. Dan pertanian kurang mendapat perhatian. Rakyat dikerahkan membangun irigasi, dan kepemilikan individu makin tak dihargai. Hingga pada tahun 1959 – 1961 China dilanda kelaparan hingga mewafatkan 14 juta orang. Kondisi ini bertahan setidaknya hingga 1968, dimana revolusi kebudayaan dihentikan. Dan tahun 1970 – 1974 adalah masa–masa aman bagi multikondisi di China untuk memulai era keterbukaan yang menjadi titik tolak keberhasilan ekonominya. Wen Biyan dari Jinan University menilai bahwa China pernah mengalami kepahitan terburuk sepanjang sejarah modern. “Jadi Indonesia tak
Majalah Civitas | Juli 2012
59
Ekonomi perlu kecil hati,” ujarnya. “Kondisi Indonesia saat ini tak sekompleks China (ketika itu),” ujar Budiarjo Tek, Direktur Utama PT Sierad Produce Tbk. Lembaga Demokrasi, sektor swasta dan investasi ada sudah ada, tinggal mengintrospeksi kelemahan–kelemahan, terutama dalam menjaga stabilitas politik yang semakin saat ini semaikn kuat dilanda isu–isu sektarian dan aksi rasial. “Kita buanglah itu jauh–jauh dan marilah kita menatap masa depan dengan kebersamaan tanpa rasa saling curiga. Bersatulah kita demi Indonesia yang punya potensi amat besar,” katanya. “Kekompakan politik adalah modal utama China, yang memudahkan China mengimplementasikan program-program ekonomi,” kata Wen Bijen. Sementara Budiarjo juga berpendapat bahwa salah satu kelemahan Indonesia adalah penyelundupan. “Perekonomian kita banyak yang hancur karena hukum yang tidak ditegakkan. Ambil saja contoh tentang penyelundupan barang impor yang mematikan produk domestik,” ujar Budiarjo. Selain perbaikan stabilitas politik, Budiarjo juga menyarankan Indonesia yang berfokus pada sektor pertanian yang merupakan salah satu pilar utama dari negara agraris macam ini. “Jangan lupa, China tak hanya menarik investasi asing, tetapi juga memiliki sektor pertanian berkualitas,” ujarnya. “Mudah mengatakan semua itu walau mungkin sulit merealisasikannya. Akan tetapi yang jelas, jika Indonesia mau, keberadaan berbagai faktor pendukung sudah ada. Kita tinggal menyadari beberapa kelemahan yang ada. Artinya, fondasi untuk bergerak maju sudah jauh lebih kuat ketimbang China di era 1980-an,” pungkas Budiarjo. [Tri Hadi Putra, dari berbagai sumber]
60
Majalah Civitas | Juli 2012
Sumber: Dharmawan, Bagus. 2006. Cermin dari China; Geliat Sang Naga di Era Globalisasi. Jakarta: PT Kompas Media Indonesia. http://english.mofcom.gov.cn/aarticle/statistic/ foreigninvestment/201202/20120207948411.html http://www.forbes.com/lists/2005/74/JFGY.html http://www.sieradproduce.com/ID/tentangsierad/ manajemen/profil/Pages/BudiardjoTek.aspx
Politik
Tingkat Korupsi pada Masa Transisi
Saat ini di media Indonesia, baik elektronik maupun cetak, mudah sekali untuk menemukan kata ‘korupsi’ diberitakan.
S
ebagai mahasiswa sekolah tinggi kedinasan yang nantinya akan menjadi pegawai di kementerian keuangan, tentu kita paham risiko inheren yang akan dihadapi. Amanat untuk mengelola sejumlah besar uang negara mungkin mendatangkan godaan untuk menjumput bagian ‘uang lelah’ yang bukan hak kita. Kini kita dihadapkan pada permasalahan bahwa masyarakat mulai antipati pada sebuah institusi yang mengelola penerimaan negara dan menaruh curiga pada kredibilitas pegawai-pegawainya. Mengapa yang ramai dibicarakan hanya kementerian keuangan? Apa ini berarti kementerian lain beersih dari kasus korupsi? Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kementerian yang terlihat adem-ayem tanpa pemberitaan belum tentu tak bermasalah. Mungkin mereka memang benar-benar bersih, atau skala korupsinya tak menarik perhatian. Jika ditinjau dari lingkup yang lebih luas, kita akan melihat bahwa persoalan ini bukan melanda satu
institusi saja. Permasalahan korupsi merupakan persoalan sistemik. Namun saya tidak setuju jika dikatakan bahwa korupsi merupakan suatu budaya. Pada dasarnya, korupsi diciptakan oleh oknum pragmatis yang kemudian berkolusi dengan rekanrekan sevisinya. M. Jasin, wakil ketua KPK, dalam suatu kesempatan menyatakan bahwa pemberantasan korupsi yang sistemik dan konsisten merupakan kunci tercapainya visi Indonesia yang bebas korupsi. Meski sulit, pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hal yang mustahil, terlebih dengan adanya lembaga seperti KPK yang mempunyai kewenangan lengkap di bidang pencegahan maupun penindakan. Tugas utama kita adalah mengubah paradigma tentang korupsi. Fahri Hamzah, dalam bukunya Demokrasi, Transisi, Korupsi, menyatakan bahwa kita harus mengubah paradigma korupsi dari ‘berisiko kecil dengan keuntungan besar’ menjadi
Majalah Civitas | Juli 2012
61
Politik ‘berisiko besar dengan keuntungan kecil’. Tak mudah memang, tapi mungkin. KPK dengan kewenangan pencegahan, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, selayaknya bisa memberi heavy kick kepada para koruptor. Mari sedikit kita bandingkan dengan Hongkong, Singapura, Australia, dan Amerika yang juga memiliki lembaga antikorupsi. Berdasarkan data yang diambil dari CPI Viewer Transparency International, Hongkong dengan lembaga antikorupsinya yaitu Independent Commission Against Corruption (ICAI) memiliki kewenangan pada pencegahan dan investigasi. Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) yang dimiliki Singapura memiliki kewenangan pencegahan dan penyidikan. Australia yang memiliki Independent Commision Against Corruption (ICAI) berkewenangan pada pencegahan dan penyidikan. Sementara Amerika dengan The US Office Government Ethics-nya hanya memiliki kewenangan pencegahan. Dari survei tersebut didapatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dengan skala 0 sampai 10. Semakin besar angka yang didapat berarti semakin baik pemberantasan korupsi. Keempat negara tersebut memiliki IPK rata-rata lebih dari 7, sedangkan Indonesia masih tertinggal dengan IPK 3,0. Otokrasi-Transisi-Demokrasi Otokrasi adalah sistem kekuasaan yang berpusat pada tangan satu orang. Sistem ini juga disebut sebagai totalitarianisme. Dalam sejarah kebangsaan Indonesia, kita pernah mengalami masa otokrasi selama 32 tahun di era Soeharto. Yang terjadi di Indonesia dalam reformasi 1998 adalah bagian dari gelombang besar arus demokratisasi. Demokratisasi menguji dan menjelaskan proses dimana pemerintah, negara, dan masyarakat mencoba beralih dari bentuk pemerintahan otoriter menuju pemerintahan yang lebih demokratis. Jean Grugel dalam bukunya A Critical Introduction, menyatakan bahwa dalam level ini terdapat perbedaan tentang
62
Majalah Civitas | Juli 2012
arti demokrasi, jenis demokrasi, dan level demokrasi yang dapat secara realistis diharapkan untuk dapat diwujudkan. Pada tahun 1999, Paldam melakukan sebuah penelitian tentang hubungan korupsi dengan sistem pemerintahan. Dari penelitian itu ia menemukan bahwa korupsi secara umum akan berkurang seiring peningkatan level demokrasi (atau perbedaan tahap transisi politik). Secara umum, hasil penelitian Paldam dapat digambarkan melalui kurva lonceng berikut.
Indonesia saat ini berada pada tahap transisi setelah sebelumnya berada pada masa otokrasi selama puluhan tahun. Karenanya tingkat korupsi Indonesia sedemikian tinggi. Indonesia sedang mencari jati diri sebagai sebuah negara demokrasi. Namun itu bukan sebuah alasan untuk mafhum. Sebuah negara tak boleh berada pada fase ini terlalu lama dan harus segera menemukan solusi untuk memecahkannya. Ketika negara telah berhasil melewati fase transisi, tingkat korupsi akan menurun pada fase demokrasi. Epilog Pada suatu masa nanti ketika kehidupan masyarakat telah terpengaruh signifikan atas tindak korupsi, kita akan merindukan suatu tatanan hidup madani yang damai. Korupsi adalah sebuah gejala, bukan penyakit. Penyakitnya adalah keadaan sulit dimasa
Politik kita hidup: rasa frustrasi masyarakat yang rindu akan ‘the good society’, yang seharusnya dapat dicapai dengan perangkat demokratik tapi dihadapkan pada sistem ekonomi yang bisa memberikan kontribusi secara material, tidak secara moral. Dalam satu kesempatan, Sri Mulyani Indrawati, mantan Menteri Keuangan RI sempat menyampaikan hal yang perlu kita jadikan bahan renungan. “Change must be formally manifested, with new laws that are widely publicized. Legislation that empowers citizens with freedom of expression, free and independent elections, and freedom of associationis crucial, and must be made clear to the public that no one is above the law. Anything less will undermine the transition. Moreover, corruption is the bane of development everywhere, so new governments should move fast to establish institutions and procedures to fight it.” [Aditya Hendriawan]
Majalah Civitas | Juli 2012
63
Obrolan Bengkel
TERAKHIR
Oleh: Hanifah Muslimah*
“Your time is limited, so don’t waste it living someone else’s life.” –Steve Jobs
64
Majalah Civitas | Juli 2012
Obrolan Bengkel
“
Entahlah, mungkin sesuatu yg berlabel ‘terakhir’ terasa lebih indah,” begitu isi tweet seorang teman. Mungkin saat menapaki tingkat tiga, Anda juga akan merasakan ‘melankoli mahasiswa tingkat akhir’. Perkuliahan terakhir, ujian terakhir, teman-teman di kelas akhir, semua terasa spesial. Bahkan, jarkom futsal terakhir pun bisa membuat orang yang selama ini malas datang jadi ingin hadir. Ada banyak teman saya yang menjadi ‘berbeda’ di tingkat tiga. Yang tadinya selalu menghindar bila diajak foto beramai-ramai, kini jadi senang dipotret –narsis malah. Adapula yang sebelumnya jarang sekali berinteraksi dengan teman sekelas, sekarang jadi rajin ikut acara kelas. Alasannya kurang lebih sama, “Kalau tidak sekarang kapan lagi? Ini kan sudah tingkat akhir.” Saya pernah membaca kalimat ini: “Sepuluh tahun ke depan kita akan menyesali hal-hal yang tidak kita lakukan dibanding hal-hal yang kita lakukan”. Mungkin itu hal yang mendasari ‘perubahan’ temanteman saya. Berada di titik akhir juga berarti merefleksi peristiwa. Bukankah ada ungkapan “Penyesalan datangnya di akhir?” Ketika masa kita telah selesai dan kesempatan sudah berlalu, barulah kita mengingat-ingat masa lalu dan berharap ada mesin waktu yang bisa mengembalikan kita ke masa itu. Mungkin, hal tersebut karena kita jarang mengambil perhentian-perhentian dalam hidup untuk merenung sejenak. Ada bagian menarik dari buku The 7 Habits of Highly Effective People karangan Stephen R. Covey, tentang “memulai dari akhir”. Covey mengajak untuk membayangkan Anda akan menghadiri acara pemakaman. Saat memasuki rumah almarhum, Anda melihat bendera kuning serta karangan bunga. Juga wajah-wajah penuh kesedihan. Anda merasakan kedukaan mendalam yang terpancar dari hati orang-orang tersebut. Kemudian, Anda pun menengok peti mati. Dan
Anda melihat wajah Anda sendiri. Ya, ini adalah pemakaman Anda. Tiga tahun dari sekarang. Orangorang datang untuk memberikan penghormatan terakhir untuk Anda. Kemudian Anda pun duduk, menunggu prosesi selanjutnya. Sebelum peti mati ditutup dan Anda dikuburkan, akan ada empat orang yang menyampaikan kesan serta berdoa untuk Anda. Empat orang tersebut adalah orangorang yang pernah terikat kuat dengan kehidupan Anda. Yang pertama, keluarga –orang-orang terdekat Anda. Yang kedua, sahabat karib yang kenal Anda luar-dalam –tempat menumpahkan segala rahasia hidup. Ketiga, rekan kerja. Dan terakhir, teman organisasi Anda. Atas apa yang akan mereka ucapkan, Anda tidak lagi memiliki hak jawab. Lantas, apa yang Anda inginkan diucapkan oleh keempat orang tadi? *** Membayangkan bahwa hal ini adalah yang terakhir dan inilah satu-satunya kesempatan yang dipunya, akan membawa kita menemukan hal yang benarbenar penting dalam hidup. Menjadi pengingat bahwa kita sudah melakukannya sesuai jalur. Sebab, tidak jarang kita terjebak dalam rutinitas dan melupakan visi hidup. Juga, hal-hal tidak penting seringkali membungkus dirinya begitu cantik sehingga ‘tampak penting’. Sebelum memulai hari, sebagai perhentian sejenak untuk meminimalisasi penyesalan kelak, ada baiknya Anda bertanya pada diri sendiri: Bagaimana bila hari ini adalah hari terakhir saya? Apa yang akan saya lakukan? Selamat memulai dari akhir.
*Penulis adalah Redaktur Pelaksana Majalah Media Center STAN 2011/2012
Majalah Civitas | Juli 2012
65
Sastra
Percakapan Senja Oleh: Aliffira*
B
arangkali aku tidak salah, barangkali ini wajar saja, barangkali ini memang sebuah skenario yang dititipkan pada anak-anak Hawa. Barangkali, diam-diam, kamu juga sedang merasakannya. Aku memecah rindu ini menjadi tiga, sama seperti tahun-tahun yang kita habiskan untuk menikmati senja bersama-sama. Kemudian setiap serpihnya ku taburkan ditiap persimpangan jalan. Agar ketika kamu berjalan pulang, kamu akan merasakan bahwa aku akan selalu membersamaimu. Seperti senja, yang selalu ada tuk mengingatkanmu betapa punggung yang lelah sedang mengharapkan penawarnya. Seperti aku, yang sedang sekarat rindu.
66
Majalah Civitas | Juli 2012
SATU. Sesekali ku tatap langit, membingkai pesawat yang melaju dengan dua bola mata, berharap ia akan luluh dan mau mengantarku kembali pulang tuk sekedar memelukmu. Kemudian pergi. Lagi. Akan selalu ada banyak pesawat yang mondar-mandir di atap rumahku, seperti kini, meramaikan langit yang ranum yang selalu—seakan—memaksaku membongkar lemari ingatan. Bukan mustahil jika terkadang aku mengangkat tangan di dada dan memohon pada Tuhan. Aku ingin hilang ingatan. Menyibak semua puisi dan memindahkannya di atas air laut, dengan jari-jemari yang saling mengepal, mencoba melawan memori bahwa jemari itu pernah mengenal sebuah genggaman hangat seorang
Sastra sahabat.
DUA.
Duhai, setiap senja selalu mampu menarikku ke dalam percakapan-percakapan melankolia. Dua orang anak Hawa. Mentahbiskan senja untuk mengikat mimpi bersama.
Aku ingin kamu tahu, aku sedang berdiri di garis batas paling rapuh. Paling sendu. Paling abu-abu meski kita sudah lama menanggalkan abu-abu. Aku ingin kamu tahu aku membatukan kalbu. Mengais penawar racun biru-ungu. Memenggal dongengdongeng masa lalu. Mengumpulkan keping-keping biografi rembulan yang kita rajut sambil menadah hujan yang kuyu. Aku ingin kamu, mengampuni rindu.
Aku ingat ketika abu-abu masih melingkar di sepanjang pinggang hingga mata kaki, dan angkot biru rasanya begitu setia menanti dan merekam buih-buih cerita khas anak muda. Mengurai benangbenang yang pernah tergantung di awan, tergulung matahari dan tali-temali yang pernah bersaksi bahwa pernah ada dua bocah yang selalu ingin berbagi cerita. Sepertinya, tak ada kata bahagia yang lebih bahagia. “Amia, aku jatuh hati pada Jogja,” “Jogja? Apa bagusnya, Re?” “Amia, kamu tau tempat paling keren untuk menikmati senja?” Aku menggeleng, sejujurnya memang tak mengerti apa kaitan antara Jogja dan senja. “Senja terlihat keren di setiap sudut Kota Jogja! Aku ingin setiap hari menikmati senja di Kota Jogja, Amia. Disana indah,” “Memangnya disini ga indah, Re?” Senyummu simpul, menjawab keningku yang berkerut. “Amia, aku ingin ketika lulus sekolah nanti aku pergi ke Jogja. Aku ingin hidup disana. Kita ke Jogja ya, Amia? Kita akan terus bercerita dibawah senja.” Bercerita dibawah senja. Di Kota Jogja. Dan hari itu menjadi hari ikrar janji. Dengan angkot biru dan deru angin jalanan sebagai saksi.
Aku ingin kamu tahu, aku tak butuh rintih gesekan biola nona-nona Skandinavia, tak butuh prosa para penyair berima satu-dua, tak butuh ilalang yang dihembus angin utara, tak butuh ucap manis-klimis warna kesumba. Tak butuh apapun untuk mendeklarasikan simpul putih berjudul persahabatan yang hampir tumbang. Aku hanya butuh sepenggal tarikan nafas sebagai wakil dari tiga tahun kerlipan cerita, untuk mengampuni, bukan untuk menghakimi. Di sebuah titik yang tak lagi terdefinisi mana rancu mana ambigu, kamu mengadu. Pada ikatan pelangi yang tiba-tiba menjadi teramat bisu, kamu genggam erat pelangi itu disudut jarimu, memuntahkan bening-bening yang menjadikanku tahu kamu tak rela aku pergi jauh. “Re, aku ga bisa ke Jogja. Aku, aku harus ke Ibukota,” “…” “Re, aku minta maaf ya,” “Berarti ga akan ada lagi cerita-cerita dibawah senja,” “Di Ibukota ada senja, Re. Ada bangunan-bangunan tinggi, ada banyak jembatan layang, ada banyak orang-orang hebat, ada banyak gedung bioskop dan mall warna-warni, ada lebih banyak tempat-tempat indah untuk menikmati senja, Re. Kita bisa sama-
Majalah Civitas | Juli 2012
67
Sastra sama ke Ibukota, kita bisa tetap bercerita dibawah senja.” Ada segaris tipis senyum yang takut-takut, kamu menggeleng pelan dan memelukku hangat. Seakan sebuah adegan baru sudah harus dimulai, sebuah jurang lompatan yang kini mendorongmu untuk memelukku sedemikian kuat dan pekat. Seakanakan, ini bukan hanya hanya sekedar pelukan seorang kawan yang akan ditinggalkan. Ini bukan hanya sededar jarak antara Ibukota dan Jogja. “Ibukota tidak menawarkan apa yang aku butuhkan, Amia. Aku akan tetap pergi ke Kota Jogja yang asri dan damai. Nanti, ketika kamu libur, jangan lupa mampir ke Jogja, jangan lupa temui aku disana,” Senyum takut-takut itu lagi, dan setitik bening yang coba kamu sembunyikan sekuat tenaga. Seketika aku merasa ada sesuatu yang kamu curi, sesuatu yang kamu bawa pergi. TIGA. Di Kota Jogja yang menentramkan ini, dibawah matahari yang redup dan keunguan, aku ingin menebus setiap senja untukmu, setiap senja yang kau pandangi sendirian tanpa kisah melankolia atau hiruk-pikuk dan kasak-kusuk kita berdua. Sebelum pesawat warna-warni kembali melambungkanku ke terik pengap Ibukota, sebelum semuanya menjadi sangat terlambat dan aku habis masa untuk membayar lunas setiap hutang pada senja. Aku ingin terus menaburkan rinduku dan menungguimu di sini selama ribuan kali senja, sehingga kita tak pernah berpisah seperti yang mungkin pernah kamu ceritakan pada sahabat barumu di Jogja. Sehingga tak akan ada pongah kemenangan betapa jarak mampu melerai genggaman kita berdua. Dan, setiap lembar tebusanku atas senjamu akan menjadikanku anak matahari yang beku ketika malam yang pekat hendak menelannya, aku akan menelusuri jejak langkah yang diberangus waktu, kemudian
68
Majalah Civitas | Juli 2012
berpegang pada titik air di sudut mata yang turun dengan butir-butir kerinduan. Entah berapa lama sejak percakapan terakhir, meski ada angka-angka yang terus berulang bersama ingatan bahwa pernah ada suara gelak tawa, di hari-hari singkat ketika kulihat kau membawa buku-buku tebalmu, berdiri di sana untuk gemuruh mimpi yang menyesaki dada. Walau akan mundur jauh ke belakang ketika mengakuinya, aku masih berharap akan bersorak memanggilmu lagi, dengan sumringah, seperti julukan-julukan yang kita sebutkan kala masih dibalut kain abu-abu, yang lebih merdu dari bisikan pelangi yang kamu simpan rapat-rapat di ujung jarimu. Lalu kita akan duduk berdua di jalur lalu lintas kehidupan, menggambar balon udara di langit senja, melambai pada setiap pesawat yang tak punya rumah. Aku merasakanmu dimana-mana di kota ini. Di Jogja yang selalu mampu membuatku ingin terus menangisi. Karena di Jogja ini, kamu telah menjadi segalanya yang pernah kamu impikan, yang pernah kamu pikirkan, yang pernah kamu ikrarkan. Aku bahkan bisa merasakan denyut nadimu yang berdetak di setiap sudut kotanya, pancaran semangatmu di setiap sendi-sendi bangunannya, aku bahkan bisa mendengar helaan nafasmu di setiap sinar mentari yang jatuh diatas ubun-ubunku. Ini tempat hidupmu, ini tempat yang menyatukanmu dengan senjamu. Ini Jogjamu. “Rerisaaaaa….!!” Mungkin senja mampu meresonansikan teriakanku untukmu, yang sedang bersembunyi di sudut jagat raya. Mungkin saja aku sedang menyampaikan rindumu untuk senja. Mungkin saja, ah, sudah habis semua kata mungkin itu. Sama sepertimu yang telah habis usia, yang telah selesai menikmati senja.
*Penulis adalah mahasiswi tingkat II Spesialisasi Kebendaharaan Negara
Resensi
,‘
,‘
We have great house but none is a home, we have great job but not career, and we have lots of money but not happiness.
U
ngkapan tersebut menggambarkan secara tepat kondisi kebanyakan pekerja dan profesional dewasa ini. Mungkin pada awalnya pembaca akan bertanya-tanya apa perbedaan antara “job” atau pekerjaan dengan karier karena selama ini makna pekerjaan dan karier cenderung dipersamakan.
Find Your Passion
and Enjoy Your
Job!
Judul Buku : Your Job is Not Your Career Pengarang : René Suhardono Penerbit : Literati Books Cetakan ke : V III, Juli 2011 Jumlah Halaman: 160 halaman dan 190 halaman
Buku ini terdiri dari 2 bagian buku: buku pertama yakni “Your Job is Not Your Career”, dan yang kedua “Career Snippet”. Jika kita membeli buku yang pertama, maka secara otomatis buku yang kedua akan didapatkan tanpa perlu membayar sebagai apresiasi atas pembelian.“This Book is Priceless”, begitulah yang terpampang pada sampul buku keduanya. Entah benar-benar peghargaan atas pembelian buku pertama ataukah strategi pemasaran perusahaan. Pemahaman dan motivasi bekerja yang telah mendoktrin pikiran kita selama ini serasa digoyahkan dan dibolak-balik ketika membaca buku ini. Bahwa tujuan kerja bukanlah sekedar uang, harta, kekayaan, pangkat, atau kesejahteraan seperti tujuan mayoritas orang selama ini, tapi lebih dalam dari itu yakni passion. Buku ini mencoba membawa kita memasuki dunia abstrak, tingkatan yang lebih tinggi daripada sekadar uang dan jabatan. René membawa kita berputar-putar di sekitar passion, purpose of life, happiness, dan fulfillment; hal-hal yang sebenarnya telah tertanam dalam diri kita. Ringan namun tidak kacangan, begitulah materi buku ini. Terdapat pemahaman tentang konsep-konsep baru
Majalah Civitas | Juli 2012
69
Resensi semisal passion, attitude, motivasi, purpose of life, happiness maupun fulfillment dimana pengertian satu sama lain terkesan abstrak dan agak sulit dibedakan. Setelah membaca definisi awalnya pembaca mungkin akan bertanya-tanya perbedaan passion dengan hobi dan keahlian, atau karakter dengan attitude. Namun René telah mengantisipasi hal tersebut dengan menyediakan penjelasan istilah-istilah tersebut dengan caranya sendiri. Pada bab-bab awal René menekankan perbedaan antara pekerjaan dan karier. Pekerjaan adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan dan berkarya, sedang karier sepenuhnya adalah tentang diri kita sendiri, terutama untuk menjalani hidup secara lebih bermakna. Karier adalah tentang passion, purpose of life, values, fulfillment, dan happiness. Mengapa karier berhubungan erat dengan hal-hal yang abstrak seperti passion dan purpose of life? Hal ini berkaitan erat dengan motivasi kita saat bekerja. Jika seseorang berkerja sesuai dengan passion dan purpose of life-nya, maka ia akan menikmati setiap detik dari pekerjaannya dan tentu akan mengupayakan yang terbaik. Tidak akan ada lagi kata jenuh, bosan, dan tertekan saat bekerja. Dan akhirnya tujuan utama yakni happiness atau kebahagiaan akan tercapai. Mengenai passion, René menggambarkannya dengan “Your strength is not what you’re good at. It’s what you enjoy the most.. it’s your passion!” Dengan kata lain passion adalah hal-hal yang kita suka sehingga tidak terpikir untuk tidak melakukannya, namun sekali lagi passion bukan hobi. Memang tidak mudah menemukan passion, tetapi kita tidak perlu berusaha terlalu keras untuk menemukannya karena passion sebenarnya telah ada di dalam diri kita. Lebih lanjut dalam buku ini terdapat panduan yang menuntun kita untuk menemukan passion. Setelah membahas passion secara panjang lebar, René menjelaskan megenai purpose of life dan bagaimana menemukan apa sebenarnya purpose of life kita. Dalam mencari purpose of life ini kita membutuhkan sesosok rockstar (idola) sebagai
70
Majalah Civitas | Juli 2012
Pemahaman dan motivasi bekerja yang telah mendoktrin pikiran kita selama ini serasa digoyahkan dan dibolak-balik ketika membaca buku ini motivator dan sosok panutan. Kunci lain yang penting dalam menemukan purpose of life ini adalah antusiasme dalam segala hal dan mencoba hal-hal baru, yakni tentang “To unlearn what we know, and to learn what we don’t know,” demikian René menjelaskan. Setelah menemukan purpose of Life René mengajak kita untuk mengetahui values, yaitu hal yang unik dalam diri kita. Pembahasan selanjutnya adalah mengenai attitude, action, fear, comfort zone, happiness, dan fulfillment. Demikian René membuat setiap bab dalam buku ini dalam bahasa asing karena ia tidak ingin menghilangkan esensi dari setiap makna—yang kadang jika diterjemahkan akan memberikan penafsiran yang berbeda. Buku yang kedua yakni “Career Snippet” berisi halhal yang lebih teknis mengenai pekerjaan. Seperti pengaruh jenjang pendidikan pada pekerjaan, panduan dalam mencari pekerjaan, dan panduan untuk dapat bertahan di tempat kerja dengan segala dinamikanya. Selain itu juga dibumbui dengan pengalaman René bersama klien-klien yang dihadapinya sebagai seorang careercoach dan cuplikan wawancara singkat dengani sosok-sosok “rockstar” bagi René. Dalam mencari pekerjaan, cara-cara “biasa” seperti mencari kerja melalui internet, mengirimkan CV kepada perusahaan secara acak, atau menjawab iklan lowongan kerja di surat kabar adalah termasuk cara-cara terburuk dalam mencari pekerjaan. Cara yang lebih efektif ialah dengan “old boy’s network” atau dengan jaringan orang-orang yang mengenal kita. Disinilah René menekankan akan pentingnya jaringan, tidak hanya sekedar titel
Resensi lulusan jenjang pendidikan yang tinggi. Cara lain yang tidak kalah efektif yakni dengan melakukan upaya terstruktur mendekati perusahaanperusahaan yang kita ketahui dan kita minati.
asing sebagai referensi pembelajaran. Your Job is Not Your Career membuat kita tidak bosan kala membacanya, karena bahasanya yang mengalir ringan dan disertai dengan ilustrasi sederhana.
Namun cara yang terbaik adalah dengan melakukan Life Changing Job Hunt, dengan tingkat efektivitas 86%. Di buku ini René menjelaskan langkah-langkah untuk melakukan Life Changing Job Hunt dengan jelas dan terperinci. Mengenai CV, René juga menjabarkan kriteria-kriteria minimal yang harus ada pada CV seseorang agar menarik seorang careercoach atau headhunter.
Jika dilihat dari judul bukunya mungkin pembaca akan mengira bahwa ini adalah buku bacaan berat meskipun sampulnya telah didesain dengan unik. Namun menginjak halaman pertama, tabir sosok bacaan berat tersebut mulai terkuak, ternyata buku ini tidak ‘seberat’ judulnya. Disertai dengan gambar, ilustrasi dan diagram yang fullcolor membuat kita merasa santai dalam membacanya. Walaupun terkadang terdapat repetisi di beberapa bagian, yakni mengenai perbedaan makna antara pekerjaan dengan karier. Karena itulah yang ingin ditekankan René, job atau pekerjaan berbeda dengan karier.
Memasuki dunia kerja, loyalitas kepada perusahaan adalah hal yang penting, tetapi itu tidak cukup untuk menjamin keberlangsungan seseorang pada perusahaan. Buku ini menjelaskan pentingnya loyalitas, selain itu buku ini juga menyampaikan strategi mengenai revitalisasi karier yang perlu dilakukan terutama bagi mereka yang tidak ingin pekerjaannya terasa stagnan.
Bahkan penggunaan ungkapanungkapan dalam bahasa asing ini memberikan daya tarik tersendiri.
Bagian
lanjutan dari buku ini menjelaskan mengenai survival kit at workplace. Di bagian ini, René mengulas lebih lanjut mengenai tips untuk bisa survive dalam pekerjaan. Antara lain bagaimana cara membangun network yang kuat, bagaimana menjual ide, cara mengelola stres saat target tidak terpenuhi, dan bagaimana menghadapi politik kantor yang tidak kondusif. Demikian seterusnya, bagian-bagian buku ini yang lain semisal tentang energi untuk bekerja maupun kepemimpinan, semuanya kembali terkait dengan passion, yang kemudian terkait lagi dengan purpose of life. Secara umum buku ini ditulis dengan gaya bahasa yang sederhana, layaknya percakapan sehari-hari, dengan penggunaan dwibahasa ciri khas motivatormotivator intelek yang kerap mengambil buku-buku
Hal yang membuat kurang nyaman bagi sebagian pembaca yang belum terbiasa adalah penggunaan ungkapan-ungkapan yang terkadang, menggunakan bahasa asing. Namun, hal tersebut bukanlah suatu kendala yang berarti karena penggunaannya yang relatif minor. Bahkan penggunaan ungkapanungkapan dalam bahasa asing ini memberikan daya tarik tersendiri. Buku ini sangat cocok bagi pembaca yang selama ini merasa tertekan dengan rutinitas pekerjaan sehari-hari dimana ia tidak memiliki minat sama sekali. Temukan passion, tujuan hidup, dan jadilah enjoy dalam bekerja! “When we get our career, we’ll get our job!” Buku ini menuntun kita menemukan passion dan purpose of life sebenarnya. Jika passion telah ditemukan, maka keputusan tetap berkecimpung di dunia kerja atau memutuskan untuk keluar ada di tangan kita. “You don’t have to quit your job. Although it is also okay to quit if you are sure.” Jadi, apakah menjadi seorang pegawai negeri memang benar-benar karier yang Anda inginkan? Apakah Akuntansi benar-benar passion Anda? Temuan jawabannya di buku ini.
[Muamaroh Husnantiya]
Majalah Civitas | Juli 2012
71
Resensi
Sisi Gelap Kisah Putri Salju
" Mirror Mirror on the wall, who's the fairest of them all?", Queen Ravenna said. " Queen, you are full fair, it is true, but Snow White is fairer than you," Mirror replied.
72
Juni2012 2012 Majalah Civitas | Juli
Resensi Judul Film : Snow White and The Huntsman Sutradara : Rupert Sanders Skenario : Evan Daugherty, John Lee Hancock,dan Hossein Amini, berdasarkan dongeng Jerman Snow White karya Brothers Grimm Pemain : Kristen Stewart, Charlize Theron, Chris Hemsworth, Bob Hoskin
T
entunya kita tidak asing dengan kutipan tersebut. Potongan dialog yang seakan menjadi trademark dari salah satu cerita sebelum tidur paling legendaris “Snow White”. Seiring berkembangnya inovasi dan kreativitas dunia perfilman, cerita klasik anak-anak tidak hanya bisa dinikmati di samping tempat tidur. Kini, mereka ‘naik kelas’ ke level layar emas. Hollywood sepertinya tidak bosan mempertahankan tren untuk menghadirkan kembali cerita dongeng sebelum tidur dalam beberapa tahun terakhir. Sebagian menuai kesuksesan, selebihnya mendapat cibiran dan komentar pedas para kritikus film. Dongeng klasik yang populer lewat Grimm Bersaudara, Snow White, memang tidak lekang ditelan zaman meski sudah sangat sering diangkat ke dalam medium pertunjukan, baik itu panggung ataupun film. Yang paling populer tentu saja versi Disney rilisan tahun 1937, Snow White and the Seven Dwarfs. Versi klasik Disney tersebut kemudian menjadi standar visualisasi dongeng yang di Indonesia dikenal dengan Putri Salju tersebut. Sekilas, Snow White and The Huntsman mampu memberi nuansa baru dalam rangkaian variasi pakem aslinya. Film besutan sutradara Rupert Sanders ini seakan mencoba menyaingi film Snow White sebelumnya yang dirilis dengan tajuk “Mirror Mirror”. Berbeda dengan Mirror Mirror yang berwarna-warni dan masih menjunjung tinggi kultur Disney ala Tarsem Singh, Snow White and The Huntsman lebih merujuk ke segmen penonton dewasa: gelap dan kelam.
Film ini bercerita tentang sebuah kerajaan antah berantah, dimana istananya yang megah terletak di tepi karang terjal di pinggir pantai. Kerajaan ini dulunya makmur sentosa, sampai suatu ketika Ratu meninggal karena sakit. Sang Raja dan putrinya, Snow White, lantas kehilangan sosok istri dan ibu. Sang Raja kemudian memutuskan untuk menyendiri. Namun, kesendirian tersebut tidak berlangsung lama. Saat berperang melawan sekumpulan pasukan kegelapan, Sang Raja bertemu dengan sesosok tawanan cantik yang berhasil mencuri hatinya. Perempuan itu, Ravenna, lantas diboyong ke istana dan kemudian diperistri oleh Sang Raja. Namun, Ravenna bukan perempuan sembarangan. Ia adalah seorang penyihir yang tampil muda dan memesona meski telah berlalu beberapa zaman karena mengisap jiwa para perempuan di seluruh negeri. Malang bagi Sang Raja, jiwanya diisap di malam pertama pernikahan. Setelah Sang Raja tiada, kerajaan segera saja jatuh ke tangan Ravenna, dan langkah pertama yang dia lakukan adalah menjadikan Snow White sebagai tawanan. Ketika Snow White beranjak dewasa, Ravenna baru menyadari bahwa ada wanita yang melebihi kecantikannya melalui bantuan cermin ajaib. Sebagai kompensasi untuk menjaga status wanita tercantik di muka bumi, Ravenna harus membunuh dan memakan jantung Sang Putri. Tidak seperti versi dongeng yang menggambarkan sosok Putri sebagai perempuan yang manis, lembut, dan suka menyanyi, pada film ini
Majalah Civitas | Juli 2012
73
Resensi tokoh Snow White dibungkus dengan tampilan yang lebih dinamis, berani, dan heroik. Namun sayang, Kristen Stewart sebatas memenuhi syarat kecantikan fisik. Sisi ekspresi dan gesture kurang dieksplorasi. Pencitraannya sebagai seorang putri yang memperjuangkan keadilan rakyat tidak cukup mengena. Lebih dari itu, sepanjang dua jam berlangsung, Kristen miskin ekspresi. Hal ini kontras dengan penampilan sangar Charlize Theron sebagai sang ibu tiri kejam yang mendominasi alur cerita. Bisa jadi, Theron menjadi alasan saya untuk tetap selalu terjaga di sepanjang film. Karakter Queen Ravenna yang jahat dan penuh kebencian diperankan secara apik. Digambarkan pula kilasan masa lalu yang menjadikan karakternya terbangun kuat, karakter yang mungkin tidak kamu dapatkan dalam Mirror-Mirror-nya Singh sekalipun dengan Julia Roberts-nya. Penampilan Theron
membuat penonton ikut gemas dan kemudian jatuh iba setelah mengetahui masa lalu Ravenna yang begitu pedih. Secara visual, film besutan Rupert Sanders ini menawarkan berbagai setting yang kontras. Sanders menawarkan pengalaman sinematis yang berbeda-beda, mulai dari suasana hutan yang gelap mengerikan dengan vegetasi jamur pembuat halusinasi yang menyelimuti hampir di seluruh permukaan, hingga nuansa warna hijau cerah yang menjadi habitat di rumah para peri yang menyejukkan mata. Hal lain yang menjadi nilai tambah dari film ini adalah akting Chris Hemsworth sebagai The Huntsman. Aktor ini dapat tampil serius dan juga lucu bila diperlukan. Ia mampu memainkan peran seorang pria yang kesepian dan tenggelam dalam kesedihan yang luar biasa dengan baik. Sayang, penokohan sebagai pemburu tidak dibarengi latar belakang kehidupannya yang memadai. Secara garis besar, Sanders tidak menghilangkan unsur-unsur yang menjadi ciri khas dari cerita happily ever after ini, cermin ajaib, ratu yang jahat, pangeran, apel beracun, kurcaci, dan sleeping beauty. Namun, hal-hal tersebut disajikan dengan biasa dan hanya sebagai pemanis saja. Misalnya, ketika adegan Ravenna menyamar sebagai William lalu memberikan apel beracun ke Snow White. Adegan yang bisa sangat monumental seolah berlalu begitu saja. Atau kisah cinta dalam diamnya William, sang pangeran yang harusnya menjadi pahlawan penyelamat bagi Putri namun tergantikan posisinya
74
Majalah Civitas | Juli 2012
Resensi oleh The Huntsman. Semua menjadi fragmen kecil dan tidak berbekas dibanding luasnya detil yang dihadirkan Sanders. Seandainya durasi Snow White and the Huntsman dimanfaatkan untuk lebih merajut setiap elemen cerita seperti Lord of the Ring, maka film ini akan menjadi sempurna. Karena film ini sebenarnya memiliki berbagai elemen yang kuat, seperti visualisasi indah, sinematografi serta efek apik, serta pemain-pemain yang sebagian besar berakting prima. Kerancuan logika dalam pemaparan ekosistem muncul saat dialog antara Snow White dan William di sebuah hutan saat dalam pelarian. Sebuah hutan yang lewat pemaparan adegan sebelumnya, belum pernah diperlihatkan. Ada dialog yang berbunyi, “It’s as if nothing’s changed here”. Bagaimana Snow White bisa tahu kondisi tempat itu sebelum dikuasai Ravenna? Dimanakah mereka? Apa yang tidak berubah?
Mengangkat kembali cerita dongeng ke sebuah film merupakan langkah yang berisiko. Karena orang sudah punya gambaran solid di benak mereka kebaikan yang akan selalu menang dari kejahatan. Bersama Charlize Theron, adaptasi Snow White versi Rupert Sanders menjadi epik. Keepikan Snow White and the Hunstman milik Ravenna dan visualisasinya, bukan milik film ini secara keseluruhan. Dan film ini hanya berakhir sebatas dongeng untuk orang dewasa yang akan terlupakan sesaat setelah mereka bangun tidur.
[Milki Izza]
Snow White and the Huntsman terasa begitu lama dalam durasi. Hal itu disebabkan karena film ini dijejali begitu banyak informasi. Justru untuk bagian penting tidak diberi porsi lebih seperti latar belakang Ravenna, The Huntsman, dan para kurcaci. Bagaimana kurcaci akhirnya menjadi pemberontak? Tidak ada yang tahu. Itu sebabnya film ini terasa tanggung. Film ini terasa terlalu berat untuk anak-anak tetapi juga masih jauh untuk menjangkau penonton dengan selera yang lebih dewasa. Desainer kostum dan animasi menyumbangkan kontribusi besar dalam membantu film ini lewat pemaparan detail kostum, serta mahluk-mahluk fantastis. Pun dengan komposer berkelas Oscar, yang menghadirkan ilustrasi musik dengan iringan orkestrasi penuh, sehingga nuansa kegelapan di Snow White and the Huntsman menjadi terangkat.
Majalah Civitas | Juli 2012
75
Psikologi
Reframing
When things go beyond your expectation…
K
esal, lelah, ‘berat’, dan ngganggu, mungkin empat hal itu paling dominan dirasakan oleh setiap orang ketika terjebak dalam suatu masalah. Ketika kemudian buntu, sampai akhirnya menyerah dan membuat energi negatif membanjir kemana-mana.
balik, buat jalan baru, apa saja, yang penting: cari. “A problem can not be solved from the same logical level it was created”
Ada sebuah kutipan retorik dari Albert Einstein, bahwasannya sebuah permasalahan tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan logika lama yang itu-itu saja. Harus dicari jalan keluar yang benar-benar berbeda. Menikung, mendaki, putar-
76
Majalah Civitas | Juli 2012
Reframing, (bukan) salah satu solusinya. Neuro-Lingustic Programming (NLP) studies the way people take information from the world, how
76
Psikologi they describe it to themselves with their senses, filter it with their beliefs and value, and act on the result—Collingwood, 2005. Singkatnya, NLP adalah studi tentang bagaimana manusia mengambil informasi dari dunia sekitar, kemudian mengubahnya menjadi informasi yang tersimpan di dalam pikiran, sampai akhirnya merepresentasikan pikiran itu menjadi sebuah tindakan. Apa hubungannya? Studi yang berasal dari tesis seorang Richard Bandler pada tahun tujuh puluhan itu kemudian memperkenalkan kepada kita sebuah konsep reframing, konsep bingkai ulang sebuah sudut pandang yang pada akhirnya membungkus manusia dalam kepositifan—ketimbang bergelut dengan perasaan-perasaan yang tidak nyaman. Konsep ini melihat bahwa sebuah kejadian hanyalah sebuah kejadian, sampai seorang manusia meletakkan sebuah bingkai (kerangka berpikir) atas kejadian tersebut, sehingga memberikan makna pada peristiwa itu. Singkatnya, konsep ini berpandangan bahwa satu peristiwa dapat memiliki sejuta makna, sesuai dengan sejuta bingkai berbeda yang digunakannya. Prinsip dasar reframing adalah mengubah keberatan menjadi keuntungan. Syaratnya, keberatan tersebut adalah sesuatu yang tidak bisa diubah lagi, atau berada di luar jangkauan pengaruh kita untuk mengubahnya menjadi sesuai apa yang kita inginkan. Misalnya? Mudah, terbitnya PMK Nomor 215/PMK.01/2011 lalu bagi mahasiswa STAN. Cukup membuat gelisah, dan berada di luar jangkauan untuk diubah. Didasarkan pada asumsi bahwa di balik setiap perilaku/kejadian terkandung maksud positif, reframing mengajak kita untuk keluar dari kerangka berpikir ‘masalah’ dan melompat ke dalam kerangka berpikir ‘solusi’ atau ‘tujuan/
outcome’. Caranya, banyaklah berlatih untuk memasang bingkai berbeda, melihat dengan sudut pandang yang beda. “Saya galau, nggak bisa mikir.” “Tapi masih tetap bisa bergerak dan melakukan sesuatu yang berguna selain duduk di depan laptop dan twitteran, ya kan?” “Kerjaan yang nggak butuh mikir bisa selesai dong? Biasanya kan disepelein.”
Karena apa yang ada di dalam pikiran adalah nyata, maka bingkailah sudut pandang dengan bingkai yang bagus dan bermakna Kita bisa simpulkan bahwa reframing ternyata memang bukan salah satu jalan keluar dari sebuah permasalahan yang sedang kita hadapi. Tapi bukan berarti hal tersebut sama sekali tidak berguna. Reframing itu ibarat ‘pelumas’ agar kita tetap dalam jalur positif sekalipun diberondong masalah, sehingga kepositifan tersebut membuat kita lebih solutif, lebih bisa berpikir lebih jernih untuk kemudian mencari solusi yang lebih tepat. Reframing = Positive Thinking? Jawabannya iya dan tidak. Bahwa kita mencari makna yang lebih positif itu benar. Namun reframing tidak melulu mencari makna yang positif, ia cenderung pada usaha untuk mencari makna positif yang ‘menggerakkan’ kita. Karena tidak semua makna positif selalu bisa ‘menggerakkan’.
Majalah Civitas | Juli 2012
77
Psikologi “Pasangan saya sangat menyebalkan, posesif sekali dia sehingga selalu menelepon saya setiap jam!” Si pemikir positif akan berpendapat, “Bukankah itu berarti ia perhatian kepada Anda?” Pertanyaannya kemudian adalah, apakah Anda mau diperhatikan dengan cara seperti itu? Berpikir positif saja ternyata tidak cukup. Dibutuhkan suatu hal yang lebih dari itu, reframing adalah jawabannya. Bingkai ulanglah sudut pandang ‘posesif yang menyebalkan’ itu menjadi sesuatu yang lebih bersifat action oriented, sesuatu yang akan mentenagai kita untuk bertindak positif. Mungkin untuk contoh kasus di atas, reframing yang dapat digunakan adalah: “Bukankah itu sinyal untukmu untuk dapat lebih peka dan mencari tahu apa penyebabnya?” Nah, apa yang bisa kita lakukan dengan keberatan ini: “Produkmu bagus, tapi harganya terlalu mahal!” Ya, tepat. Salah satunya, “Benar. Kami memang tidak ingin mengorbankan kualitas hanya demi harga jual yang murah. Bukankah Anda juga demikian?” Karena apa yang ada di dalam pikiran adalah nyata, maka bingkailah sudut pandang dengan bingkai yang bagus dan bermakna. Dari sana, tanpa mengubah sejarah, tanpa mengutuki masalah, kita bisa menyongsong masa depan lebih baik. Dan yang terpenting kita tidak terjebak untuk menyalahkan siapapun dan terperangkap di masa lalu. “You become what you think about most... But you also attract what you think about most.” ― (John Assaraf) taken from the book The Secret, Rhonda Byrne.
[Rizki Saputri, dari berbagai sumber]
78
Majalah Civitas | Juli 2012
Kesehatan
Sehat
24/7
T
ubuh manusia adalah ibarat mesin yang diciptakan untuk hidup maka kita harus merawatnya agar mesin itu dapat bekerja dengan lebih baik. Pola hidup yang baik akan menjadikan tubuh kita sehat serta jauh dari berbagai penyakit. Seseorang dapat hidup dengan usia lebih panjang karena pola hidup sehatnya, yang meliputi pola tidur, pola makan, dan pola olahraga. Setiap hari tubuh manusia melakukan berbagai aktivitas, tetapi tubuh tidak dapat dipaksakan untuk terus menerus beraktivitas secara optimal selama 24 jam. Pada saat beraktivitas, tubuh menggunakan jaringan sel hidup yang pada akhirnya jaringan tersebut akan rusak. Akibatnya, tubuh membutuhkan istirahat untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Tidur Salah satu hal yang mutlak dibutuhkan tubuh adalah tidur. Tidur dapat memperbaiki kerusakan jaringan sel dengan cara mengganti sel-sel yang rusak dengan yang baru (regenerasi) dan menetralkan racun yang ada di dalam tubuh (detoksifikasi). Tidur juga akan mempengaruhi metabolisme tubuh dan merangsang daya asimilasi. Setiap manusia memiliki kebutuhan tidur basal, yakni memerlukan sejumlah waktu tidur untuk menjadi sehat. Namun, jumlahnya bervariasi sesuai dengan umur, jenis pekerjaan, dan kebiasaan setiap individu. Data dari The National Sleep Foundation, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa bayi harus tidur sekitar 80% dari waktu 24 jam dalam sehari. Sementara bagi orang dewasa sekitar 30% atau sekitar 7—9 jam. Jika kita tidak memenuhi kebutuhan dasar tubuh untuk tidur, kita akan menumpuk hutang tidur yang dapat mempengaruhi kesehatan kita. Kurangnya waktu tidur akan merugikan kesehatan karena sel-sel tubuh kita tidak diperbarui lagi.
Majalah Civitas | Juli 2012
79
Kesehatan Penelitian dari University of Carolina, San Diego, menyebutkan bahwa tanpa tidur yang cukup, jumlah dan efektivitas sistem kekebalan tubuh menurun. Kurang tidur juga dapat menyebabkan penumpukan kalsium dalam arteri jantung yang dapat menyebabkan serangan jantung dan stroke. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kekurangan satu jam dari waktu tidur ideal akan menambah tingkat kalsium koroner sebesar 16%.
Kurang tidur mengurangi hampir 40% kemampuan untuk mempelajari hal-hal baru Akan tetapi, tidur yang terlalu lama juga tidak sehat karena tubuh akan menyerap limbah dan uapuap kotor kembali yang akan berdampak buruk bagi kesehatan. Bila kita tidur terlalu lama, tubuh bukannya terasa segar, tetapi malah terasa loyo. Saat mendapat tidur yang cukup, tubuh akan memulihkan diri dari rasa lelah. Organ-organ rileks sehingga menetralkan kerusakan yang terjadi akibat aktivitas sehari-hari. Demikian menurut penelitian Eve Van Cauter seperti dilansir Proceedings of the National Academy of Sciences. Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah kualitas tidur. Tidur lelap penting bagi kesehatan karena tidur yang sehat sangat bergantung pada kualitas, bukan kuantitas. Buruknya kualitas tidur erat hubungannya dengan perubahan nafsu makan, ketidaknormalan metabolisme, obesitas, dan risiko diabetes. Malam hari adalah waktu terbaik untuk tidur. Hal ini bukan masalah kebiasaan saja bahwa orang-orang yang bekerja pada siang hari akan tidur pada malam hari, tetapi memang secara alamiah siang hari lebih tepat digunakan untuk bekerja dan waktu malam untuk beristirahat. Namun, tidur pada waktu siang hari juga diperlukan oleh tubuh manusia. Tidur siang dapat menyegarkan tubuh kembali dan setelah
80
Majalah Civitas | Juli 2012
bangun kita akan dapat melanjutkan aktivitas dengan lebih cepat dan baik. Waktu yang optimal untuk tidur siang adalah antara jam satu hingga jam tiga sore. Menurut penelitian terbaru dari University of California di Berkeley, tidur siang tidak hanya dapat meningkatkan kesehatan, tetapi juga dapat membuat kita menjadi lebih cerdas. Dalam sebuah percobaan dengan tiga puluh sembilan orang muda dewasa, satu kelompok diminta untuk tidur siang selama sembilan puluh menit, dan kelompok lain tidak. Kelompok yang pertama meraih nilai jauh lebih baik pada tes pelajaran. Hasil tersebut menguatkan data dari tim peneliti yang sama tentang mahasiswa yang begadang sepanjang malam –belajar tergesa demi persiapan ujian. Cara ini jelas bukan ide yang bagus. Kurang tidur rupanya mengurangi hampir 40% kemampuan untuk mempelajari hal-hal baru, karena otak akan berhenti bekerja selama hilangnya waktu tidur. Tidur juga penting untuk konsolidasi memori. Itulah sebabnya pelajar menghafal sepanjang malam dan kurang tidur sulit mengingat apa yang dihafalnya.
Beberapa fakta tentang tidur: 1. Tidak ada satu zat pun di dunia ini yang dapat menggantikan fungsi restoratif tidur. 2. Kemampuan kita mengambil keputusan hanya dipengaruhi oleh tidur 3. Tidur sangat penting untuk konsolidasi memori 4. Tidur lebih awal memiliki banyak manfaat 5. Begadang dapat memicu penyakit kronis seperti kanker dan gangguan jantung
Kesehatan Seseorang yang memiliki kebiasaan tidur tengah malam atau begadang akan memiliki peluang lebih besar kemungkinan diserang penyakit kronis seperti kanker dan gangguan jantung. Hal ini karena terjadi peningkatan tekanan darah dan kadar kolesterol dalam tubuh. Selain itu, begadang dapat menyebabkan terganggunya metabolisme dalam tubuh. Menurut riset University of Chicago, Amerika Serikat, keseimbangan metabolisme terganggu bila begadang minimal tiga hari. Dampaknya sekresi hormon insulin pun tidak sempurna, berkurang 25%, sehingga gula yang mestinya diubah menjadi energi menumpuk dalam darah. Tingginya kadar gula dalam darah itulah yang disebut diabetes melitus. Oleh karena itu, sebaiknya kita membiasakan diri untuk tidur lebih awal pada malam hari. Kebiasaan tidur lebih awal memiliki banyak manfaat baik secara psikologis maupun jasmani berhubungan dengan kesehatan dan kecantikan, seperti membantu menjaga berat badan, mencegah penyakit, meningkatkan ketajaman ingatan dan energi, serta mengurangi stres. Pola Makan Untuk mendapatkan tubuh yang sehat, kita juga harus memperhatikan pola makan sehari-hari. Tubuh membutuhkan makanan sebagai sumber energi untuk dapat melakukan aktivitas. Akan lebih baik jika kita dapat memberikan tubuh kita kalori dalam jumlah yang cukup dan pada waktu yang tepat. Pola makan yang sehat akan menjadikan tubuh lebih tahan penyakit. Sebba itu, kita harus memperhatikan jumlah dan jenis makanan yang kita konsumsi serta jadwal makannya. Sebaiknya kita mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang seimbang antara jumlah makanan yang masuk dan energi yang kita keluarkan. Begitu pula dengan jenis makanan yang kita konsumsi hendaknya mempunyai proporsi yang seimbang antara karbohidrat, protein, dan lemaknya.
Jadwal makan yang ideal untuk tubuh manusia adalah 5-6 kali sehari, yakni sarapan pagi, kudapan, makan siang, kudapan sore, makan malam, dan kudapan malam. Komposisi yang disarankan oleh dokter spesialis gizi adalah 55-65% karbohidrat, 10-15% protein, dan 25-35% lemak. Jadwal makan yang ideal untuk tubuh manusia adalah 5-6 kali sehari, yakni sarapan pagi, kudapan, makan siang, kudapan sore, makan malam, dan kudapan malam. Agar terhindar dari sakit maag sebaiknya kita mengkonsumsi makanan dalam porsi kecil tapi sering. Setiap 3 jam perut pasti akan merasa lapar maka sebaiknya kita makan setiap 3 jam sekali dengan kadar makanan yang terkait dengan waktu. Sarapan pada pagi hari sangat membantu meningkatkan kesehatan dalam tubuh dan akan memberikan asupan energi untuk tubuh beraktivitas. Sebaiknya sarapan dilakukan 30 menit setelah bangun tidur karena sistem pencernaan sudah siap untuk menerima makanan sehingga dapat membantu mengoptimalkan metabolisme dalam tubuh. Personal trainer Shaun Horner mengungkapkan bahwa jika tidak memungkinkan untuk dapat sarapan dalam satu jam setelah bangun tidur, maka hal ini dapat memperbesar risiko keterlambatan metabolisme dalam tubuh yang dapat memicu kelaparan dan kekurangan makan. Makanan yang tepat untuk dikonsumsi sewaktu sarapan berupa makanan yang memiliki tinggi serat dan rendah karbohidrat seperti roti gandum, buah, dan sereal tinggi serat dan makanan yang mengandung sumber protein rendah lemak yang
Majalah Civitas | Juli 2012
81
Kesehatan dapat meningkatkan daya tahan tubuh seperti putih telur, daging kalkun, dan yoghurt. Di saat waktu tubuh sibuk beraktivitas –yakni pada siang hingga sore hari, hendaknya kita mengkonsumsi kudapan atau makan ringan. Sementara itu, mengkonsumsi makanan dengan menu yang lengkap seperti nasi, lauk pauk, dan sayur mayur dapat dilakukan pada saat makan siang dan makan malam. Makan siang ini sebaiknya dilakukan 6 jam setelah sarapan, sedangkan makan malam sebaiknya dilakukan 6 jam setelah makan siang atau 2-3 jam sebelum waktu tidur agar sebelum tidur makanan yang kita konsumsi telah selesai dicerna dan tidak mengganggu tidur kita. Olahraga Selain pola tidur dan makan yang sehat, olahraga juga diperlukan oleh tubuh agar menjadi sehat dan kuat. Olahraga dapat meningkatkan kekebalan tubuh, membantu menangkal penyakit menular, dan mengurangi akibat stres yang kronis seperti ketegangan pada jantung dan tekanan darah tinggi. Olahraga pada umumnya dibagi menjadi dua jenis aktivitas: aerobik dan anaerobik. Kedua istilah ini berhubungan dengan perbedaan tubuh membuat energi, yakni dengan oksigen atau tanpa oksigen. Pada saat tubuh beristirahat, kita memiliki banyak oksigen yang dapat digunakan untuk memecah karbohidrat dan mengubahnya menjadi energi.
Aktivitas berlari dapat membawa efek negatif untuk tulang kita, tetapi secara bersamaan juga dapat memberikan efek positif bagi jantung
82
Majalah Civitas | Juli 2012
Ketika sedang lari atau jogging, sel-sel otot kita membutuhkan lebih banyak energi, sehingga kita harus bernapas lebih keras untuk memperoleh oksigen tambahan. Jogging dan jenis olahraga lain yang membuat kita menahan napas adalah olahraga aerobik. Sementara itu, olahraga anaerobik adalah jenis olahraga yang melibatkan gerakan seperti mengangkat dumbbell, dimana selsel kita dengan cepat membutuhkan energi dalam jumlah besar. Aktivitas berlari dapat membawa efek negatif untuk tulang kita, tetapi secara bersamaan juga dapat memberikan efek positif bagi jantung. Misalnya, sebuah penelitian pada pelari wanita Inggris menemukan bahwa berlari sepuluh kilometer per minggu berhubungan dengan kepadatan tulang yang 2% lebih rendah. Mulai saat ini, mari membiasakan diri untuk hidup sehat dengan menjaga pola tidur dan makan serta melakukan olahraga secara rutin. Pada saat berolahraga, tubuh akan melepas endorfin dan zat kimia lain dalam otak yang akan membuat kita bahagia. Pola hidup sehat dapat memperbaiki kualitas hidup.
[Siti Armayani Ray, dari berbagai sumber]
Budaya
Pernikahan Adat Versi Kerajaan Paksi Pak
Sekala Brak
J
ika kita biasanya menyaksikan upacara perkawinan adat suku Jawa, kali ini agak berbeda. Ya, karena upacara perkawinan adat kali ini adalah upacara perkawinan adat dari suku Lampung. Pihak yang menyelenggarakan upacara ini langsung dari Kerajaan Paksi Pak Sekala Brak. Kerajaan ini adalah salah satu kerajaan di Lampung yang masih berdiri hingga saat ini –dan keberadaannya diakui pemerintah. Pada upacara perkawinan adat ini dinikahkan mempelai Aisyah Dina Lestari dengan Iptu Zulkarnain. Iptu Zulkarnain adalah salah satu anak dari Raja Paksi Pak Sekala Brak.
Minggu pagi itu, ada acara yang menarik perhatian pengunjung di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Bertempat di Gedung Sasono Langen Budoyo, diselenggarakan upacara pernikahan adat. Bukan warga biasa, melainkan pernikahan anggota keluarga kerajaan.
Upacara diawali dengan upacara akad nikah atau ijab kabul. Menurut tradisi Lampung, biasanya pernikahan dilaksanakan di rumah calon mempelai pria, namun seiring perkembangan zaman dan kesepakatan, maka akad nikah sudah sering diadakan di rumah calon mempelai wanita. Akan tetapi, kali ini prosesi akad nikahnya dilakukan di Gedung Sasono Langen Budoyo, TMII.
Majalah Civitas | Juli 2012
83
Budaya Rombongan calon mempelai pria diatur sedemikian rupa sehingga barisan paling depan adalah perwatin adat dan pembarep (juru bicara). Lalu, rombongan calon mempelai pria diterima oleh rombongan calon mempelai wanita dengan barisan paling depan pembarep pihak calon mempelai wanita. Rombongan calon pengantin pria dan calon pengantin wanita disekat atau dihalangi dengan Appeng (rintangan kain sabage/cindai yang harus dilalui). Setelah tercapai kesepakatan, maka juru bicara pihak calon pengantin pria menebas atau memotong Appeng dengan alat terapang. Baru rombongan calon pengantin pria dipersilahkan masuk dengan membawa seserahan berupa: dodol, urai cambai (sirih pinang), juadah balak (lapis legit), kue kering, dan uang adat. Kemudian calon pengantin pria dibawa ke tempat pelaksanaan akad nikah, didudukan di kasur usut. Selesai akad nikah, selain sungkem (sujud netang sabuk) kepada orangtua, kedua mempelai juga melakukan sembah sujud kepada para tetua yang hadir. Sesudah prosesi akad nikah selesai, maka dilanjutkan dengan prosesi Upacara Ngurukken Majeu/Ngekuruk. Pada prosesi ini mempelai wanita dibawa ke Gedung Sasono Langen Budoyo dengan menaiki rato, sejenis kereta roda empat dan jepanon (tandu). Pengantin pria memegang tombak bersama pengantin wanita dibelakangnya. Bagian ujung mata tombak dipegang pengantin pria, digantungi kelapa tumbuh dan kendi berkepala dua, dan ujung tombak bagian belakang digantungi labayan putih. Kelapa tumbuh bermakna panjang umur dan beranak pinak, kendi bermakna keduanya hendaknya dingin hati dan setia dunia sampai akhirat, dan lebayan atau benang setungkal bermakna membangun rumah tangga yang sakinah dan mawadah. Pengantin berjalan perlahan diiringi musik tradisional talo balak, alat musik tabuh mirip kulintang, dengan tema sanak mewang diejan. Lalu saat tiba di kediaman pengantin pria, rombongan kembali disambut tabuhan talo balak
84
Majalah Civitas | Juli 2012
irama girang-girang dan tembakan meriam, serta orangtua dan keluarga dekat mempelai pria. Sementara itu, seorang ibu akan menaburkan beras kunyit campur uang logam. Berikutnya pengantin wanita mencelupkan kedua kaki kedalam pasu, yakni wadah dari tanah liat beralas talam kuningan, berisi air dan anak pisang batu, kembang titew, daun sosor bebek dan kembang tujuh rupa, perlambang keselamatan, dingin hati, dan berhasil dalam rumah tangga. Lalu dibimbing oleh mertua perempuan, pengantin wanita bersama pengantin pria naik ke rumah, didudukan diatas kasur usut yang digelar didepan appai pareppu atau kebik temen, yaitu kamar tidur utama. Kedua mempelai duduk bersila dengan posisi lutut kiri mempelai pria menindih lutut mempelai wanita. Maknanya agar kelak mempelai wanita patuh pada suaminya. Selanjutnya siger (mahkota adat khas Lampung) mempelai wanita diganti dengan kanduk tiling atau manduaro (selendang dililit di kepala). Prosesi upacara selanjutnya ibu mempelai pria menyuapi kedua mempelai , dilanjutkan nenek serta bibi. Lalu ibu mempelai wanita menyuapi kedua mempelai, diikuti sesepuh lain. Kedua mempelai makan sirih dan bertukar sepah antara mereka. Istri kepala adat memberi gelar kepada kedua mempelai, menekan telunjuk tangan kiri diatas dahi kedua mempelai secara bergantian, sambil berkata : sai (satu), wow (dua), tigou (tiga), pak (empat), limau (lima), nem (enam), pitew (tujuh), adekmu untuk mempelai pria Ratu Bangsawan, untuk mempelai wanita adekmu Ratu Rujungan. Selanjutnya, netang sabik yaitu mempelai pria membuka kalung yang dipakai mempelai wanita sambil berkata : “Nyak natangken bunga mudik, setitik luh mu temban jadi cahyo begito bagiku”, lalu dipasangkan di leher adik perempuannya, dengan maksud agar segera mendapat jodoh. Kedua mempelai menaburkan kacang goreng dan permen gula-gula kepada gadis-gadis yang hadir, agar mereka segera mendapat jodoh. Seluruh anak kecil
Budaya
yang hadir diperintahkan merebut ayam panggang dan lauk pauk lain sisa kedua mempelai, dengan makna agar segera mendapat keturunan. Inilah akhir dari prosesi upacara perkawinan adat suku Lampung. Melestarikan Budaya Lampung Mungkin ada yang bertanya-tanya, mengapa upacara perkawinan ini diadakannya di TMII, bukan di Lampung saja? Menurut Rahmi, salah seorang kerabat dari Kerajaan Paksi Pak Sekala Brak, alasan diselenggarakannya upacara ini di TMII adalah untuk memperkenalkan budaya Lampung kepada masyarakat umum. Selain itu, agar upacara ini banyak dihadiri oleh sanak saudara karena banyak anggota keluarga kerajaan yang tinggal di Jakarta. Begitulah salah satu cara yang dilakukan Kerajaan Paksi Pak Sekala Brak untuk mengenalkan dan melestarikan kebudayaan Lampung. Sebab, telah
banyak kebudayaan lokal yang tergerus kebudayaan asing. Hal itu pula yang saat ini melanda suku Lampung seperti yang diutarakan Raja Hendrik Syah Pernong, Raja utusan di Lampung, ketika ditemui oleh Civitas. Ia menjelaskan bahwa kepunahan budaya lokal akibat terpaan budaya global sangat merugikan. Apalagi bagi suku Lampung, yang budayanya lebih sempurna karena memiliki aksara dan bahasa sendiri, tetapi tidak banyak warga Lampung yang peduli terhadap pelestarian budaya nenek moyang. Lalu apa langkah yang perlu diambil untuk kembali melestarikan kebudayaan Lampung? Sebagai bentuk kepedulian terhadap pelestarian dan pengembangan adat budaya Lampung, Raja Hendrik mengungkapkan bahwa kerajaan Paksi Pak Sekala Brak membangun rumah adat seluas 6.000 meter persegi. Rumah adat itu diberi nama Nuwo Balak Kedatun Keagungan Lampung yang
Majalah Civitas | Juli 2012
85
Budaya di dalamnya terdapat berbagai benda budaya. Pembangunannya dimulai tahun 1995 dan baru selesai lima tahun kemudian. Sekarang rumah ini tidak saja digunakan untuk atraksi, pesta, atau acara adat dan budaya, melainkan juga menjadi objek wisata budaya Lampung. Dalam rangka pelestarian budaya lokal, ia menyarankan jangan hanya terbatas pada bentuk fisik seperti tarian, dan atraksi tapi yang lebih penting adalah pewarisan nilai-nilai dan falsafah budaya. Misalnya, piil pesenggiri yang berarti semua gerak langkah masyarakat dalam kehidupan seharihari merupakan penerapan dari kebersihan jiwa (hati nurani). “Dalam penerapannya sehari-hari akan tercermin adanya kemanunggalan antara keimanan dan kemanusiaan pada individu yang bersangkutan. Sehingga bila dibutuhkan akan muncul keberanian untuk berkorban, baik harta maupun nyawa sekalipun demi mempertahankannya,” jelasnya. “Saat ini memang melalui mata pelajaran muatan lokal, aksara Lampung dipelajari dari SD hingga SMP. Tapi itu saja belum cukup, karena bahasa dan aksara yang dipelajari itu tidak digunakan dalam pergaulan sehari-hari,” ungkap Raja Hendrik. Ini masalah besar karena bahasa Lampung bisa punah dalam satu generasi ke depan. Lagi pula, banyak orang tua yang memandang tidak perlu mengajarkan bahasa daerah kepada anak-anaknya. Bahkan banyak orang tua yang bersuku asli Lampung juga tidak menggunakan bahasa daerah di lingkungan rumah tangganya,” ungkapnya khawatir.
86
Majalah Civitas | Juli 2012
“Oleh karena itu, tugas berat pemerintah daerah dan segenap elemen masyarakat Lampung adalah ikut peduli pada kelangsungan budayanya jika ingin tetap mengaku sebagai warga Lampung,” pungkasnya. Sekilas Kerajaan Sekala Brak Kerajaan Sekala Brak ini berada di Provinsi Lampung, di Pulau Sumatera. Kerajaan ini diyakini menjadi cikal-bakal suku bangsa etnis Lampung saat ini. Kerajaan ini terletak persis di kaki Gunung Pesagi, gunung tertinggi di Lampung. Kerajaan Sekala Brak memiliki arti yang mendalam dan penting bagi bangsa Lampung. Ia melambangkan peradaban, kebudayaan dan eksistensi Lampung itu sendiri. Kata Lampung sendiri berawal dari kata “Anjak Lambung” yang berarti berasal dari ketinggian (Diandra Natakembang: 2005). Hal ini disebabkan nenek moyang suku Lampung pertama kali bermukim menempati dataran tinggi Sekala Brak di lereng Gunung Pesagi. Pada zaman dahulu, kerajaan ini adalah kerajaan yang menganut agama Hindu yang dikenal dengan Kerajaan Sekala Brak Hindu. Namun setelah kedatangan Empat Umpu dari Pagaruyung yang menyebarkan agama Islam, kerajaan ini berubah menjadi Kepaksian Sekala Brak, yang merupakan salah satu kerajaan yang masih diakui eksistensinya oleh pemerintah Republik Indonesia hingga saat ini.
[Galuh C./Irfan S.]
Majalah Civitas | Juli 2012
87
88
Majalah Civitas | Juli 2012